SKRIPSI
GAMBARAN PERILAKU MASYARAKAT SUKU JAWA DALAM HAL PIJAT BAYI YANG DILAKUKAN OLEH DUKUN BAYI DI KELURAHAN
PINANGSORI KECAMATAN PINANGSORI KABUPATEN TAPANULI TENGAH
TAHUN 2012 Oleh :
NIM. 071000038 DINA PERMATASARI
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
GAMBARAN PERILAKU MASYARAKAT SUKU JAWA DALAM HAL PIJAT BAYI YANG DILAKUKAN OLEH DUKUN BAYI DI KELURAHAN
PINANGSORI KECAMATAN PINANGSORI KABUPATEN TAPANULI TENGAH
TAHUN 2012
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mengajukan Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
OLEH :
NIM . 071000038 DINA PERMATASARI
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi dengan Judul
GAMBARAN PERILAKU MASYARAKAT SUKU JAWA DALAM HAL PIJAT BAYI YANG DILAKUKAN OLEH DUKUN BAYI DI KELURAHAN
PINANGSORI KECAMATAN PINANGSORI KABUPATEN TAPANULI TENGAH
TAHUN 2012
Yang dipersiapkan dan dipertahankan oleh:
NIM. 071000038 DINA PERMATASARI
Telah Diuji dan Dipertahankan Dihadapan Tim Penguji Skripsi Pada Tanggal 25 Juli 2012
Dinyatakan Telah Memenuhi Syarat Untuk Diterima
Tim Penguji
Ketua Penguji Penguji I
Lita Sri Andayani, SKM, M.Kes Drs. Tukiman, MKM
NIP. 19690922 199403 2 002 NIP. 19611024 199003 1 003
Penguji II Penguji III
Drs. Eddy Syahrial, MS
NIP. 19590713 198703 1 001 NIP. 19721004 200003 2 001 Namora Lumongga Lubis
Medan, Juli 2012 Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara Dekan,
ABSTRAK
Pijat bayi sebagai salah satu bentuk bahasa sentuhan ternyata memiliki efek yang positif untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi. Akan tetapi tetap diperlukan teknik yang tepat dalam melakukan pijat. Sedangkan pijat bayi yang dilakukan dukun pijat bayi banyak yang tidak sesuai dengan teknik pijat bayi yang terdapat dalam pedoman pijat bayi menurut kesehatan.
Jenis penelitian ini bersifat survey deskriptif kuantitatif dengan teknik pengambilan sampling purposive. Populasi penelitian adalah seluruh ibu suku jawa yang memiliki bayi di Kelurahan Pinangsori yaitu 479 jiwa dan jumlah sampel sebagai responden diambil sebanyak 80 orang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa gambaran karakteristik yang berupa umur sebagian besar responden yaitu berusia 20-35 tahun sebanyak 51,3%, sebahagian besar responden memiliki paritas anak pertama sebanyak 88,8%, sebahagian besar responden memiliki pendidikan tamat SMP sebanyak 58,8%. Sebagian besar pengetahuan responden dikategorikan kurang yaitu sebanyak 48 orang responden (60,00%), sikap responden dikategorikan sedang yaitu sebanyak 72 orang responden (90%), niat responden dikategorikan baik sebanyak 40 orang responden (50%), kelompok acuan yang berperan adalah keluarga, faktor biaya, tempat, jarak juga dapat mempengaruhi ibu dalam melakukan pijat bayi ke dukun bayi dan Tindakan responden dikategorikan sedang yaitu sebanyak 52 orang responden (65%).
Dari hasil penelitian ini disarankan kepada puskesmas Pinangsori untuk melakukan pertemuan dengan dukun bayi dalam rangka melakukan sosialisasi tehnik pijat bayi yang sesuai dengan pedoman pijat bayi menurut kesehatan dan agar petugas kesehatan di puskesmas Pinangsori turut berpartisipasi dalam memberikan informasi mengenai pijat bayi yang sesuai dengan pedoman pijat bayi menurut kesehatan kepada masyarakat Kelurahan Pinangsori.
ABSTRACT
Baby massage as one of the form language of touch, turns out have a positive effects for growth and development the babies. However it still needed the proper technique in conducting baby.While the baby massage that carried out by the Midwife (Traditional Birth Attendants), there aren’t accordance with the baby massage techniques that found in guidelines of baby massage according to health.
The aim of this study is to determine behavior of the Javanese in terms of baby massage which is carried out by the midwife (traditional birth attendants) in Kelurahan Pinangsori Kecamatan Pinangsori Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2012. This research is descriptive quantitative study with purposive sampling collection technique. The population of this research is whole of ethnic Javanese mothers who had babies in Kelurahan Pinangsori Kecamatan Pinangsori Kabupaten Tapanuli Tengah that is 479 respondents and the number of samples taken as many as 80 people.
The results showed that the most of characteristics of majority respondents was 20-35 years old as much as 51.3%. most of the respondents have a parity first child as much as 88.8%, most of the respondents have graduated from junior high school as much as 58,8%, the category of knowledge is in less cat as much as 48 respondents (60,00%), the category of attitude generally is in average as much as 72 respondents (90%), the category of intentions generally in good as much as 40 respondents (50%), the reference group whose instrumental is the family, the cost factor, place and category of respondents action generally is in average as much as 52 respondents (65%).
From the results of this study suggested to Department of Health Tapanuli Tengah districts to conduct supervision to the midwife (traditional birth attendants) in carried out the baby massage in Kelurahan Pinangsori that collaboration with Pinangsori Health Center and Kelurahan Pinangsori.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Dina Permatasari
Tempat/Tanggal Lahir : Pinangsori, 04 Mei 1990
Agama : Islam
Status Perkawinan : Belum Menikah Jumlah Anggota Keluarga : 6 orang
Anak ke : 2 dari 4 orang bersaudara
Nama Orang Tua : Satriadi S.Pd & Warna Dongoran S.Pd
Alamat Rumah : Jl. Bandar Udara DR. Ferdinand Lumban Tobing Kelurahan Pinangsori Kecamatan Pinangsori Kabupaten Tapanuli Tengah/Jl. Jamin Ginting Gg. Sederhana No. 21 Padang Bulan-Medan
Riwatat Pendidikan
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan
rahmatNya pnulis dapat menyelesaikan skripsi in dengan judul :
“Gambaran Perilaku Masyarakat Suku Jawa Dalam Hal Pijat Bayi Yang Dilakukan Oleh Dukun Bayi Di Kelurahan Pinangsori Kecamatan Pinangsori Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2012 ”.
Skripsi ini penulis persembahkan kepada kedua orang tua, Ayahanda tercinta
Satriadi S.Pd dan Ibunda tercinta Warna Dongoran S.Pd yang telah membesarkan,
mendidik dan membimbing penulis dengan penuh kasih sayang. Terima kasih yang
sebesar- besarnya atas dukungan, nasehat dan doa yang selalu diberikan kepada
penulis.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan dukungan materil
dan moral dari berbagai pihak. Oleh akrena itu pada kesempatan ini, dengan
kerendahan hai penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Surya Utama selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sumatera Utara
2. Ibu Lita Sri Andayani, SKM, M.Kes selaku dosen pembimbing I yang telah
memberikan bimbingan dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Bapak Drs. Tukiman, MKM selaku dosen pembimbing II dan sekaligus Kepala
Bagian Departemen Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Fakultas Masyarakat
Universitas Sumatera Utara
4. Bapak Drs. Eddy Syahrial, MS selaku dosen penguji yang telah banyak memberi
5. Ibu Dr. Namora Lumongga Lubis, MSc selaku dosen penguji yang telah banyak
memberi saran dan penyempurnaan penulisan skripsi ini.
6. Seluruh staf pengajar di FKM USU dan dosen PKIP yaitu Ibu dr. Linda T. Maas,
MPH, Ibu Dra. Syarifah, MS, Bapak Drs. Alam Bakti Keloko, M.Kes dan Bapak Dr.
Drs. Kintoko Rochadi, MKM serta pegawai di departemenPKIP yang telah banyak
membantu penulis dalam penulisan skripsi ini.
7. Ibu Dr. Ir. Evawani Yunita Aritonang, M.Kes selaku Dosen Penasehat Akademik
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
8. Ibu Redina Simbolon selaku Lurah di Kelurahan Pinangsori yang telah memberikan
izin untuk melakukan penelitian kepada penulis.
9. Masyarakat Kelurahan Pinangsori yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk
menjadi responden dalam penelitian ini.
10. Kakakku dan Adik-adikku Tercinta Melisha Cintami S.Pd, Anra Wida Irta S, Ade
Amita Rahayu dan Misahra Darsih Dongoran, S.Pd yang telah memotivasi dan
mendoakan penulis.
11. Teman- teman tercinta Putra Apriadi Siregar.SKM, Rizka Furnanda.SKM, Ananda
Rahman.SKM, Addlinsyah.SKM, Sasmar Aurivan Harya.SKM, Rizki El Hafiz.SKM,
Khairunnisa.SKM, Siti Afsyah.SKM, Day Santri.SKM, Eka Purwanti.SKM, Tengku
Hera Zafirah.SKM, dan Linda Rahayu.SKM, atas dukungan, do’a dan semangat yang
diberikan kepada penulis, terima kasih atas kebersamaannya selama ini.
12. Teman-teman kost Umbrella 21 dan Gedap 19, terima kasih atas do’a dan
13. Teman-teman yang di Peminatan PKIP yang tidak disebutkan satu per satu.
14. Teman-teman PBL di Dusun I Sei Ular Kak Adek, Rudy daulay, Linda, Grace, dan
Oza terima kasih atas kerjasama dan kebersamaannya selama di desa.
15. Adik-adik di FKM Annisa Mentari, Dita, Oji, Aziz, Nia, Dayat, Baim, Heri, Ical,
Mamat, Putri Irsan, terima kasih atas kebersamaannya selama di kampus tercinta.
16. Teristimewa untuk Rahmad Dian Syahputra Sinurat yang senantiasa menemani,
memotivasi, memberikan semangat dan dukungan serta mendoakan penulis.
17. Semua Pihak yang telah memberikan bantuan untuk kelancaran pembuatan skripsi
penulis, penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Semoga Alllah SWT selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua dan
semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca. Amin.
Medan, Juli 2012
3.2 Lokasi Dan Waktu Penelitian ... 56
3.2.1 Lokasi Penelitian ... 56
3.2.2 Waktu Penelitian ... 56 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 44
4.1.1 Letak Geografis ... 44
4.1.2 Demografi ... 45
4.2 Karakteristik responden ... 45
4.2.1 Umur Responden ... 45
4.2.2 Paritas Responden ... 45
4.2.3 Pendidikan Responden ... 45
4.2.4 Penghasilan Responden ... 45
4.3 Perilaku Pijat Bayi Responden ... 46
4.3.1 Pengetahuan ... 46
4.3.2 Sikap... 50
4.4 Niat Responden ... 46
4.5 Kelompok Acuan Responden ... 46
4.6 Sarana dan Prasarana ... 46
4.7 Tindakan Responden ... 46
BAB V PEMBAHASAN
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 83
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
Lampiran 1. Kuesioner Penelitian Lampiran 2. Master Data
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Responden Dari Umur Di Kelurahan Pinangsori Kecamatan Pinangsori Kabupaten Tapanuli
Tengah tahun 2012 ... 67 Tabel 4.2 Distribusi Frekue nsi Dari Paritas Responden Di Kelurahan
Pinangsori Kecamatan Pinangsori Kabupaten Tapanuli
Tengah Tahun 2012 ... 67 Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Responden Dari PendidikanTerakhir Di
Kelurahan Pinangsori Kecamatan Pinangsori Kabupaten
Tapanuli Tengah Tahun 2012 ... 68 Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Responden Dari Penghasilan
Responden Di Kelurahan Pinangsori Kecamatan Pinangsori Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2012 ... 68 Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden Tentang Pijat
Bayi ... 69 Tabel 4. 6 Distribusi Frekuensi Pengetahuan responden Tentang
Manfaat Yang Diperoleh Bayi Ketika Dilakukan Pemijatan Pada Bayi ... 69 Tabel 4. 7 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden Tentang Lama
Bayi Boleh Dipijat... 70 Tabel 4. 8 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden Tentang
Kondisi Bayi Yang Boleh Mendapatkan Pijat Bayi ... 70 Tabel 4. 9 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden Tentang Efek
Yang Mungkin Terjadi Pada Bayi Jika Pemijatan Dilakukan Tidak Sesuai ... 71 Tabel 4. 10 Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Responden
Terhadap Gambaran Perilaku Masyarakat Suku Jawa Dalam Hal Pijat Bayi Di Kelurahan Pinangsori Kecamatan
Tabel 4. 11 Distribusi Frekuensi Sikap Responden Terhadap 72 Tabel 4. 12 Distribusi Frekuensi Tingkat Sikap Responden Terhadap
Gambaran Perilaku Masyarakat Suku Jawa Dalam Hal Pijat Bayi Di Kelurahan Pinangsori Kecamatan Pinangsori
Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2012 ... 74 Tabel 4. 13 Distribusi Frekuensi Niat Responden Tentang Teman,
Tetangga, Keluarga Ibu Menyuruh Melakukan Pijat Bayi
Ke Dukun Bayi ... 74 Tabel 4. 12 Distribusi Frekuensi Niat Responden Tentang Alasan
Memilih Pijat Bayi Ke Dukun Bayi ... 74 Tabel 4. 13 Distribusi Frekuensi Tingkat Niat Responden Terhadap
Perilaku Masyarakat Suku Jawa Dalam Hal Pijat Bayi Yang Dilakukan Oleh Dukun Bayi Di Kelurahan Pinangsori Kecamatan Pinangsori Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2012 ... 75 Tabel 4. 14 Distribusi Frekuensi Keluarga Ibu Apakah Menyarankan
Untuk Melakukan Pijat Bayi Kedukun Bayi ... 75 Tabel 4. 15 Distribusi Frekuensi Tentang Sarana dan Prasarana
Responden ... 75 Tabel 4. 16 Distribusi Frekuensi Responden Yang Memberikan Pijat
Pada Bayi Dalam Keadan Sakit ... 76 Tabel 4. 17 Distribusi Frekuensi Responden Terhadap Keadaan Bayi
Yang Tidak Boleh Dipijat ... 76 Tabel 4. 18 Distribusi Frekuensi Responden Tentang Yang Ibu Lakukan
KetikaBayi Ibu Sudah Selesai Diberikan Pijatan ... 76 Tabel 4. 19 Distribusi Frekuensi Tingkat Tindakan Responden Terhadap
Gambaran Perilaku Masyarakat Suku Jawa Dalam Hal Pijat Bayi Di Kelurahan Pinangsori Kecamatan Pinangsori
ABSTRAK
Pijat bayi sebagai salah satu bentuk bahasa sentuhan ternyata memiliki efek yang positif untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi. Akan tetapi tetap diperlukan teknik yang tepat dalam melakukan pijat. Sedangkan pijat bayi yang dilakukan dukun pijat bayi banyak yang tidak sesuai dengan teknik pijat bayi yang terdapat dalam pedoman pijat bayi menurut kesehatan.
Jenis penelitian ini bersifat survey deskriptif kuantitatif dengan teknik pengambilan sampling purposive. Populasi penelitian adalah seluruh ibu suku jawa yang memiliki bayi di Kelurahan Pinangsori yaitu 479 jiwa dan jumlah sampel sebagai responden diambil sebanyak 80 orang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa gambaran karakteristik yang berupa umur sebagian besar responden yaitu berusia 20-35 tahun sebanyak 51,3%, sebahagian besar responden memiliki paritas anak pertama sebanyak 88,8%, sebahagian besar responden memiliki pendidikan tamat SMP sebanyak 58,8%. Sebagian besar pengetahuan responden dikategorikan kurang yaitu sebanyak 48 orang responden (60,00%), sikap responden dikategorikan sedang yaitu sebanyak 72 orang responden (90%), niat responden dikategorikan baik sebanyak 40 orang responden (50%), kelompok acuan yang berperan adalah keluarga, faktor biaya, tempat, jarak juga dapat mempengaruhi ibu dalam melakukan pijat bayi ke dukun bayi dan Tindakan responden dikategorikan sedang yaitu sebanyak 52 orang responden (65%).
Dari hasil penelitian ini disarankan kepada puskesmas Pinangsori untuk melakukan pertemuan dengan dukun bayi dalam rangka melakukan sosialisasi tehnik pijat bayi yang sesuai dengan pedoman pijat bayi menurut kesehatan dan agar petugas kesehatan di puskesmas Pinangsori turut berpartisipasi dalam memberikan informasi mengenai pijat bayi yang sesuai dengan pedoman pijat bayi menurut kesehatan kepada masyarakat Kelurahan Pinangsori.
ABSTRACT
Baby massage as one of the form language of touch, turns out have a positive effects for growth and development the babies. However it still needed the proper technique in conducting baby.While the baby massage that carried out by the Midwife (Traditional Birth Attendants), there aren’t accordance with the baby massage techniques that found in guidelines of baby massage according to health.
The aim of this study is to determine behavior of the Javanese in terms of baby massage which is carried out by the midwife (traditional birth attendants) in Kelurahan Pinangsori Kecamatan Pinangsori Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2012. This research is descriptive quantitative study with purposive sampling collection technique. The population of this research is whole of ethnic Javanese mothers who had babies in Kelurahan Pinangsori Kecamatan Pinangsori Kabupaten Tapanuli Tengah that is 479 respondents and the number of samples taken as many as 80 people.
The results showed that the most of characteristics of majority respondents was 20-35 years old as much as 51.3%. most of the respondents have a parity first child as much as 88.8%, most of the respondents have graduated from junior high school as much as 58,8%, the category of knowledge is in less cat as much as 48 respondents (60,00%), the category of attitude generally is in average as much as 72 respondents (90%), the category of intentions generally in good as much as 40 respondents (50%), the reference group whose instrumental is the family, the cost factor, place and category of respondents action generally is in average as much as 52 respondents (65%).
From the results of this study suggested to Department of Health Tapanuli Tengah districts to conduct supervision to the midwife (traditional birth attendants) in carried out the baby massage in Kelurahan Pinangsori that collaboration with Pinangsori Health Center and Kelurahan Pinangsori.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Setiap manusia berkeinginan untuk hidup sehat atau paling tidak akan
mempertahankan status sehat yang dimilikinya. Tindakan manusia dalam
mempertahankan kesehatan tersebut mengakibatkan terjadinya pemanfaatan
pelayanan kesehatan yang ada, baik pengobatan modern maupun pengobatan
tradisional. (Tinendung, 2008)
Pengobatan tradisional yang telah lazim dipergunakan, digunakan sebagai
istilah pembanding pengobatan modern atau pengobatan di luar pengobatan
kedokteran barat. Padahal di barat, pengobatan tradisional sudah modern, keduanya
menjadi alternatif yang dipilih pasien. Pengobatan tradisional dan modern bisa
dijadikan komplementer yang saling melengkapi (Melinda, 2009)
Menurut Azwar (2001) masyarakat di Indonesia lebih menyukai pengobatan
tradisional dibandingkan ke rumah sakit atau dokter. Pendapat diatas didukung oleh
data susenas 2007 (Depkes),menunjukkan 38,7 % masyarakat menggunakan obat
tradisional 28,1 % masyarakat mencari pengobatan dengan cara tradisional untuk
mengatasi masalah kesehatan, seperti ke dukun, tabib, dan sebagainya. Sedangkan
65,1 % lainnya melakukan pengobatan sendiri baik dengan obat modern maupun obat
tradisional. Kenyataan itu mungkin didukung dengan isu global kembali ke alam
(back to nature), sehingga menambah keyakinan mereka akan pengobatan tradisional. Banyak faktor yang memengaruhi tindakan dalam mencari pola pengobatan
ekonomi, maupun faktor dari luar yaitu sarana kesehatan serta sikap dan perilaku
petugas. Menurut Weber yang dikutip oleh Sarwono (1997), individu melakukan
suatu tindakan berdasarkan atas pengalaman, persepsi, pemahaman dan penafsiran
atas suatu obyek stimulus atau situasi tertentu. Tindakan individu ini merupakan
tindakan sosial yang rasional, yaitu mencapai tujuan atau sasaran dengan
sarana-sarana yang paling tepat
Sementara di Indonesia, sumber pengobatan mencakup tiga sektor yang saling
berhubungan yaitu pengobatan sendiri, pengobatan medis profesional, dan
pengobatan tradisional. Berdasarkan data Depkes RI (2009), diketahui bahwa
62,65% penduduk Indonesia yang sakit melakukan pengobatan sendiri dan sisanya ke
pengobatan medis, pengobat tradisional, dan tidak berobat. Menurut Azwar didalam
Melinda (2009), masyarakat di Indonesia lebih menyukai pengobatan tradisional
dibandingkan ke rumah sakit atau dokter.
Pengobatan dan penyembuhan suatu jenis penyakit yang dilakukan baik
secara tradisional dengan memanfaatkan tenaga pengobat tradisional (dukun, datuk
maupun tabib) maupun pengobatan serta penyembuhan jenis penyakit yang dilakukan
secara modern dengan memanfaatkan tenaga medis serta dengan mempergunakan
peralatan kedokteran yang serba modern. Kedua jenis (cara) ini saling berbeda dan
tidak dapat dipertemukan dan sampai saat ini kedua cara ini masih diperlukan oleh
masyarakat, baik masyarakat yang berada di perkotaan maupun masyarakat yang
berada di pedesaan (Lubis, 1995).
Menurut Melinda (2009), walaupun pelayanan kesehatan modern telah
pengobatan tradisional tetap tinggi. Bahkan ada kecenderungan minat masyarakat
terhadap pengobatan tradisional meningkat baik yang asli Indonesia maupun yang
berasal dari luar Indonesia dikarenakan meningkatnya arus masuk obat tradisional,
suplemen/herbal dan alat pengobatan dari luar negeri. Menurut Notoatmodjo (2003)
ada beberapa respons seseorang apabila sakit adalah tidak bertindak/kegiatan apa-apa
(no action), tindakan mengobati sendiri, mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas
pengobatan tradisional (traditional remedy), mencari pengobatan dengan membeli obat-obat ke warung-warung obat (chemist shop), mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan modren yang diadakan oleh pemerintah atau lembaga-lembaga
kesehatan swasta, mencari pengobatan ke fasilitas pengobatan modren yang
diselenggarakan oleh dokter praktek (private medicine) .
Data berdasarkan hasil penelitian Tukiman dan Jumirah (2001) dalam Sitorus
(2003) tentang “Perilaku masyarakat terhadap timbulnya gejala penyakit” diketahui
bahwa ketika mengalami sakit ada sebanyak 5% yang membiarkan penyakitnya tanpa
melakukan pengobatan, 5% melakukan pengobatan dengan cara sendiri, diobati
dengan jamu sebanyak 9%, memakai obat bebas sebanyak 63%, pergi ke
dokter/puskesmas sebanyak 18%. Artinya ketika mengalami sakit, sebagian besar
orang-orang akan melakukan pengobatan dengan berbagai cara. Pola pengobatan
yang dilakukan masyararakat didasarkan oleh pola pencarian pengobatan yang
dipahami dan diyakininya.
Patut diakui bahwa teknologi kedokteran yang ada saat ini belum sepenuhnya
mampu mengatasi setiap masalah kesehatan, terlebih dengan semakin
penyakit justru diketahui sebagai dampak kemajuan di bidang deteksi penyakit,
seperti penyakit genetik, keganasan dan lain sebagainya. Dengan kesadaran ini mau
tidak mau dunia kedokteran tidak bisa menutup mata dengan kemajuan pengobatan
tanpa ilmu dan teknologi kedokteran, walaupun terkadang ada metode yang terlihat
tidak rasional termasuk pijat kepada bayi (Lubis, 1995).
Bayi merupakan makhluk lemah dan sensitif yang memerlukan perawatan
secara menyeluruh dan penuh dengan kasih sayang untuk memberikan rasa aman dan
nyaman pada bayi. Pada umumnya bayi mudah terserang penyakit karena bayi belum
mampu/belum memiliki daya tahan tubuh yang baik/kuat, oleh sebab itu orangtua
harus berpartisipasi dalam merawat bayi sebelum sakit dan ketika sakit. Bila terdapat
tanda bayi sakit maka segera orang tua mengambil kebijakan untuk membawa
bayinya ke fasilitas kesehatan, untuk menghindari keparahan dari penyakit yang
dialami bayi maka beberapa orangtua memilih untuk melakukan pengobatan dengan
pijat bayi.
Sentuhan dan pijatan pada bayi segera setelah kelahiran merupakan kontak
tubuh kelanjutan yang diperlukan bayi untuk mempertahankan rasa aman. Sentuhan
dan pandangan dengan penuh kasih sayang yang ibu berikan kepada buah hati
melalui pijatan akan direspon oleh bayi sebagai bentuk perlindungan, perhatian dan
ungkapan cinta kepada bayi, sehingga akan menguatkan hubungan ibu dengan
anaknya dan mengalirkan kekuatan jalinan kasih antara keduanya (Roesli, 2001).
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, para pakar
telah membukt ikan bahwa terapi sentuh dan pijat menghasilkan perubahan psikologi
tubuh, dan kecerdasan emosi yang lebih baik. Ilmu kesehatan modern telah
membuktikan secara ilmiah bahwa terapi sentuh dan pijat pada bayi mempunyai
banyak manfaat terutama bila dilakukan sendiri oleh orang tua bayi. Penelitian
tentang pengaruh pijat bayi terhadap kenaikan berat badan bayi memperoleh hasil
bahwa pada kelompok kontrol kenaikan berat badan sebesar 6,16%, sedangkan pada
kelompok yang dipijat 9,44% (Prasetyono, 2009)
Penelitian Field & Scafidi (1986) menunjukkan bahwa pada bayi yang dipijat
akan terjadi peningkatan tonus nervus vagus (saraf otak). Peningkatan aktivitas
nervus vagus akan meyebabkan peningkatan produksi enzim penyerapan seperti gastrin dan insulin sehingga penyerapan makanan menjadi lebih baik. Kondisi inilah
yang dapat menjelaskan berat badan bayi yang dipijat lebih meningkat (Indah, 2010).
Menurut penelitian T.Field (1986) dan Scafidi (1990), menunjukkan bahwa pada 20
bayi prematur (berat badan 1.280 dan 1.176 gr), yang dipijat selama 3 kali 15 menit
selama 10 hari, terjadi kenaikan berat badan 20% - 47% per hari, lebih dari yang tidak
dipijat (Indah, 2010). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Dasuko (2003) tentang
pengaruh pijat bayi terhadap kenaikan berat badan bayi memperoleh hasil bahwa
pada kelompok kontrol kenaikan berat badan sebesar 6,16%, sedangkan pada
kelompok yang dipijat 9,44% (Amelia, 2010)
Pijat bayi menjadi penyelesaian masalah dari setiap ibu yang mempunyai
bayi. Dengan memijat bayi-bayi mereka, rasa percaya diri orang tua bertambah.
Mereka belajar untuk memperhatikan dan memahami reaksi bayi-bayi pada saat
disentuh, mengetahui perkembangan naluri alamianya, apa-apa yang disukai dan
terkadang menjadi sabar disaat mereka tidak sanggup menenangkannya. Saat para
orang tua memperhatikan dan mengenali reaksi anak-anaknya dan memberikan
responnya, para bayi memberikan reaksinya kembali dan terbangunlah sebuah
hubungan yang positif di antara mereka (Ameilia, 2010)
Pijat bayi merupakan salah satu bentuk pengobatan tradisional terapi sentuh
tertua yang dikenal manusia dan yang paling populer. Dengan kata lain pijat bayi
adalah seni perawatan di bidang kesehatan dan pengobatan tradisional yang
dipraktekkan sejak berabad-abad silam (Indah, 2010). Laporan tertua tentang seni
pijat untuk pengobatan tercatat di Papyrus Ebers, yaitu catatan kedokteran zaman
Mesir Kuno, Ayur-Veda buku kedokteran tertua di India (sekitar 1800 sebelum
Masehi) yang menuliskan tentang pijat, diet dan olahraga sebagai cara penyembuhan
utama masa itu. Sekitar 5000 tahun yang lalu para dokter di cina dari Dinasti Tang
juga meyakini bahwa pijat bayi adalah salah satu 4 teknik pengobatan penting
(Roesli, 2001).
Pijat bayi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia di
Cina. Masyarakat Cina modern telah lebih dulu mengenal pijat bayi modern. Namun,
negara-negara di daratan Asia lain yang telah lama mengenal pijat bayi sebagai seni
dan terapi adalah Mesir kuno dan India. (Surbakti , 2008).
Perkembangan pijat bayi khususnya di India, pijat bayi menjadi bagian tradisi
dalam perawatan keseharian. Para ibu mempelajari teknik pemijatan dari ibu mertua
atau ibu mertua. Terkadang, pijatan mulai dilakukan pada hari pertama bayi baru
lahir, tapi biasanya saat bayi berumur lima hari, yaitu saat tali pusar sudah lepas dan
Pijat bayi di Afrika telah menjadi bagian dari kepercayaan dan sugesti yang
sangat kuat sejak zaman nenek moyang mereka. Keterbatasan dan kekurangan dalam
akses pengetahuan serta kesejahteraan menyebabkan terbatasnya masyarakat Afrika
kuno untuk belajar. Karenanya, ketika terjadi masalah kesehatan, pijat bayi adalah
pilihan yang sangat diandalkan. Berbagai penyakit disembuhakan dengan cara
pemijatan. Kini, pijat bayi menjadi aktivitas rutin para orangtua di Afrika agar
anaknya tumbuh sehat. Beberapa teknik pijat bayi ala Afrika bahkan ditiru oleh
negara-negara lain. Sementara itu, bangsa Eropa kuno di duga telah lama mengenal
pijat bayi, bahkan sejak tanah Eropa didiami manusia.
Pijat bayi ini dilakukan sebagai penyembuhan berbagai macam penyakit dan
penenang. Kemudian ketika orang-orang Yunani semakin giat berlomba-lomba dalam
ilmu pengetahuan, berbagai temuan kemudian bermunculan. Banyak ilmuan Yunani
yang menghasilkan temuan dalam bidang kesehatan. Para ilmuan menulis buku dan
disebarkan kepada masyarakat.
Kini bangsa Eropa telah menjadi bangsa yang memimpin dalam bidang
kedokteran. Pijat bayi pun dikenal sebagai bagian penting dalam perawatan dan
kebiasaan sehat bayi. Para dokter dan ilmuan semakin banyak yang
merekomendasikan pentingnya pemijatan bagi bayi karena banyak manfaatnya.
Di Indonesia, pijat adalah metode penyembuhan tradisional yang sangat
akrab bagi masyarakat. Namun, pijat tradisional ini tidak diimbangi dengan
penjelasan ilmiah dan manfaatnya. Pijat tradisional hanya diyakini dengan sugesti.
Pijat bayi yang dimasyarakatkan di Indonesia tepatnya diperkotaan ini dapat dimulai
telah menjadi kebiasaan bagi ibu-ibu modern karena kebanyakan dari mereka
melakukan proses persalinan dan kelahiran dirumah sakit. Rumah sakit inilah yang
biasanya memperkenalkan pijat bayi kepada pasiennya sebagai terapi sehat dan
bermanfaat. Beda halnya kita temukan di pedesaan, pijat bayi yang dilakukan oleh
dukun pijat dengan ilmu yang turun-temurun hanya ditujukan untuk menyembuhkan
penyakit (Surbakti , 2008).
Penduduk Sumatera Utara yang memiliki penduduk multi etnik dan
kebudayaan yang beraneka ragam mempunyai warisan pusaka pengobatan tradisional
yang telah digunakan turun temurun secara meluas oleh masyarakat dan menjadi
milik masyarakat. Walaupun pelayanan modern telah berkembang di Indonesia dan
khususnya di daerah Sumatera Utara, namun penggunaan fasilitas kesehatan belum
mampu menjangkau masyarakat secara luas karena faktor biaya, hubungan sosial,
komunikasi maupun kebiasaan/tradisi khususnya dalam hal pijat bayi. Daerah
perkotaan di Sumatera Utara pijat bayi biasanya diperkenalkan kepada pasien oleh
rumah sakit atau bidan tempat proses persalinan. Berbeda dengan daerah pedesaan,
dimana masyarakat pedesaan pada umumnya memanfaatkan pelayanan kesehatan
yang bersifat tradisional seperti pelayanan ke dukun bayi.
Kabupaten Tapanuli Tengah merupakan salah satu kabupaten yang ada di
wilayah Privinsi Sumatera Utara yang memiliki 15 kecamatan dengan jumlah
penduduk di tahun 2010 sebanyak 311.232 orang. Kabupaten Tapanuli Tengah
memiliki penduduk multi etnik yaitu suku Batak, Minang, Jawa - Madura, Bugis,
Cina, Aceh, Melayu, Sunda, dan lain-lain. Penggunaan Pengobatan tradisional pijat
bayi oleh dukun bayi menurut persepsi masyarakat suku Jawa di Kabupaten Tapanuli
Tengah pijat bayi merupakan salah satu pengobatan tradisional yang cukup popular
dikalangan ibu khususnya yang bersuku Jawa untuk mengobati bayi mereka ataupun
untuk mencegah anak mereka terhindar dari sakit yang biasanya dilakukan oleh
dukun pijat bayi di beberapa kecamatan di Kabupaten Tapanuli Tengah.
Kecamatan Pinangsori merupakan salah satu kecamatan yang berada di
Kabupaten Tapanui Tengah dan Kotamadya Sibolga yang membuat wilayah ini
sangat dekat dengan fasilitas kesehatan. Kecamatan Pinangsori memiliki 7 kelurahan
dengan jumlah penduduk 22.550 orang.
Kelurahan Pinangsori merupakan salah satu wilayah di kecamatan pinangsori
yang memiliki jumlah penduduk 8560 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk 1651
jiwa/km2. Kelurahan Pinangsori merupakan salah satu wilayah yang dihuni dengan
mayoritas suku jawa. Rasio perbandingan berdasarkan suku antara suku jawa dan
selain suku jawa adalah 55% dan 45%. Di Kelurahan Pinangsori pengobatan
tradisional masih bekembang dengan baik termasuk dalam penggunaan jasa dukun
bayi dalam melakukan pijat bayi, dimana suku Jawa di Kelurahan Pinangsori ini
memiliki kepercayaan bahwa bayi mereka yang sedang sakit akan semakin sehat jika
semakin sering diberikan pijat bayi, selain itu jika bayi mereka sering menangis maka
ada kepercayaan bahwa sang bayi sedang lelah dan ingin diberikan pijat bayi. Karena
ditujukan untuk menyembuhkan penyakit, pijat bayi sering dipaksakan. Akibatnya,
bayi menangis keras dan meronta-ronta. Setelah dipijat, bayi lelap karena kelelahan
menangis, bukan karena tenang setelah dilakukan pemijatan oleh sang dukun bayi.
Selama ini pemijatan tidak hanya dilakukan bila bayi sehat, tetapi juga pada
bayi sakit atau rewel dan sudah menjadi rutinitas perawatan bayi setelah lahir
(Prasetyono, 2009). Padahal sudah banyaknya penelitian yang ditemukan tentang tata
cara pemijatan bayi yang dilakukan oleh tenaga kesehatan tetapi masyarakat Suku
Jawa di Kelurahan Pinangsori masih kerap melakukan pemijatan bayi kepada dukun
bayi dan ini akan membahayakan bagi bayi. Hal ini dikarenakan menurut Brainbridge
kesehatan bayi sebelum dilakukan pemijatan. Apabila dilakukan pemijatan pada bayi
yang memiliki kondisi kesehatan kurang baik, hal ini dapat menyebabkan
penyakitnya akan semakin parah. Bayi tidak boleh diberikan pemijatan pada saat bayi
dalam keadaan demam jika kita tidak yakin apa yang menjadi penyebabnya. Pijat
bayi yang dilakukan pada bayi yang terkena kanker akan menyebabkan kanker
tersebut bisa menyebar. Selain itu, apabila bayi memiliki alergi dan diberikan
pemijatan dengan menggunakan minyak yang sembarangan maka hal ini dapat
menimbulkan alergi yang semakin banyak dan dapat menimbulkan iritasi pada kulit
bayi. Pernyataan Roesli, (2008) yang mengatakan bahwa cara pemijatan pada setiap
umur bayi berbeda. Jika seluruh gerakan pemijatan dilakukan dengan tekanan dan
waktu yang lama ketakutannya akan berakibat terjadinya pergeseran atau gangguan
pada struktur tulang pada bayi. Oleh sebab itu, Bayi yang berusia 0-3 bulan
disarankan lebih mendekati usapan-usapan dan gerakan halus disertai dengan tekanan
yang ringan dalam waktu yang singkat. Hal ini juga di dukung oleh pernyataan
Surbakti, (2008) yang mengatakan bahwa pijat bayi merupakan teknik relaksasi yang
lembut dan jarang menyebabkan efek samping. Namun bila pemijatan dilakukan
terlalu dalam, dapat menyebabkan pendarahan serta penumpukan darah pada organ
vital seperti hati.
Pada umumnya dukun bayi di Pinangsori hanyalah masyarakat biasa yang
tidak memiliki pendidikan, bahkan ada yang buta huruf. Pekerjaan sebagai dukun
bayi umumnya tidak bertujuan untuk mencari uang, tetapi panggilan untuk menolong
sesama tetapi tidak jarang dukun bayi ini juga menerima upah ataupun ongkos yang
bayi. Disamping menjadi dukun bayi mereka mempunyai pekerjaan lainnya yang
tetap seperti bertani atau berdagang sehingga dapat dikatakan pekerjaan dukun bayi
hanyalah pekerjaan sambilan. Selain itu, dukun bayi di kelurahan Pinangsori
merupakan orang yang cukup dikenal dan dihormati oleh masyarakat dikelurahan
Pinangsori. Dukun bayi di Pinangsoi merupakan orang tua yang dapat dipercayai dan
sangat besar pengaruhnya pada keluarga yang mereka tolong.
Pijat bayi yang dilakukan oleh dukun bayi di Kelurahan Pinangsori tidak
mengetahui ketentuan-ketentuan yang seharusnya dilakukan sebelum dan sesudah
melakukan pijat bayi yang sesuai dengan ketentuan medis. Disamping Hal ini sesuai
menurut pendapat pendapat Heath, (2006) bahwa sebelum melakukan pijat bayi ada
ketentuan persiapan pemijatan seperti pemeriksaan kondisi fisik seorang bayi
sebelum dilakukan pemijatan untuk memastikan kondisi kesehatan bayi, penggunaan
alat untuk pijat bayi seperti minyak zaitun (Olive Oil), ketentuan bayi yang boleh dipijat dan tehnik pemijatan bayi yang sesuai dengan ketentuan medis. Hal ini
didukung oleh pernyataan Roesli, (2008) yang mengatakan bahwa sebelum
melakukan pijat bayi, seharusnya seorang pemijat harus mengatahui petunjuk
pemijatan bayi, pedoman dasar pijat bayi, urutan pijat bayi yang sesuai dengan
ketentuan medis, agar memberikan manfaat yang maksimal bagi bayi.
Menurut observasi peneliti, Pijat bayi yang dilakukan oleh dukun bayi di
kelurahan Pinangsori belum mengikuti pedoman dan tahapan pemijatan bayi dengan
baik. Dukun bayi di kelurahan Pinangsori pada umumnya memijat bayi yang sedang
dalam keadaan sakit. Hal ini tidak sesuai menurut pedoman yang sebaiknya bayi yang
pemijatan dalam keadaan sakit sebaiknya harus dilakukan pemeriksaan kondisi
kesehatan apabila tidak diketahui penyebabnya. Pada umumnya pijat bayi yang
dilakukan oleh dukun bayi dikelurahan Pinangsori ditujukan untuk mengatasi
penyakit, pijat bayi ini sering dipaksakan. Akibatnya, bayi menangis keras dan
meronta-ronta. Setelah dipijat, bayi lelap karena kelelahan menangis, bukan karena
tenang. Sedangkan pijat bayi sehat yang dimasyarakatkan seharusnya menunggu
kesiapan bayi. Hal ini akan membuat bayi senang. Setelah itu, menjadi santai dan
tidur karena puas dan nyaman. Selain itu, minyak pijat bayi yang dipakai oleh dukun
bayi di kelurahan Pinangsori menggunakan ramuan-ramuan pemijatan yang
terkadang tidak menjamin aman bagi kulit bayi. Misalnya parutan jahe, bawang, atau
dedaunan yang dihancurkan dan dicampurkan kedalam minyak tanpa melakukan tes
alergi pada kulit bayi terlebih dahulu. Ramuan ini mengandung minyak atsiri yang
dapat menyebabkan rasa gatal, panas, atau perih pada kulit bayi. Hal Berbeda dengan
pedoman yang dilakukan secara medis, minyak yang dipakai untuk pemijatan
sebaiknya harus dilakukan tes alergi sebelum dioleskan ke permukaan kulit bayi
untuk meyakinkan kulit bayi tidak mengalami alergi atau iritasi yang disebabkan
ramuan-ramuan atau minyak yang digunakan
Oleh karena itu, hal ini bertentangan dengan cara pandang masyarakat di
Kelurahan Pinangsori tentang pijat bayi yang dilakukan oleh dukun bayi. Masyarakat
di Kelurahan Pinangsori memilih pijat bayi yang dilakukan oleh dukun bayi. Hal ini
dikarenakan unsur pengalaman masa lalu, unsur sosial budaya dan pengetahuan yang
persepsi antara masyarakat dan petugas kesehatan inilah yang sering menimbulkan
masalah dalam melaksanakan program kesehatan khususnya dalam hal pijat bayi.
Dari uraian diatas menunjukkan bahwa, walaupun pengobatan modern seperti
tenaga medis dan dokter telah banyak tersebar baik di daerah perkotaan maupun
pedesaan, namun pengobatan secara tradisional pada dukun bayi masih berfungsi
dalam masyarakat baik masyarakat kota maupun masyarakat desa, sehingga setiap
individu melakukan suatu tindakan berdasarkan atas pengalaman, persepsi,
pemahaman dan penafsiran atas pijat bayi. Tindakan individu ini merupakan tindakan
sosial yang rasional, yaitu mencapai tujuan atau sasaran dengan sarana-sarana yang
paling tepat.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya dapat
dirumuskan masalah penelitian ini adalah bagaimana gambaran perilaku masyarakat
suku Jawa dalam hal pijat bayi yang dilakukan oleh dukun bayi di Kelurahan
Pinangsori Kecamatan Pinangsori Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2012.
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran perilaku masyarakat suku Jawa dalam hal pijat
bayi yang dilakukan oleh dukun bayi di Kelurahan Pinangsori Kecamatan Pinangsori
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui karakteristik (umur, parietas, pendidikan, penghasilan
keluarga) ibu dalam melakukan pijat bayi ke dukun bayi di Kelurahan Pinangsori
Kecamatan Pinangsori Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2012
2. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan ibu dalam hal pijat bayi yang dilakukan
oleh dukun bayi di Kelurahan Pinangsori Kecamatan Pinangsori Kabupaten
Tapanuli Tengah Tahun 2012
3. Untuk mengetahui tingkat sikap ibu dalam hal pijat bayi yang dilakukan oleh
dukun bayi di Kelurahan Pinangsori Kecamatan Pinangsori Kabupaten Tapanuli
Tengah Tahun 2012
4. Untuk mengetahui niat ibu dalam menggunakan jasa dukun bayi untuk
melakukan pijat bayi di Kelurahan Pinangsori Kecamatan Pinangsori Kabupaten
Tapanuli Tengah Tahun 2012.
5. Untuk mengetahui kelompok acuan dalam hal penggunaan pijat bayi yang
dilakukan oleh dukun bayi di Kelurahan Pinangsori Kecamatan Pinangsori
Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2012.
6. Untuk mengetahui Sarana dan Prasarana yang digunakan dalam melakukan pijat
bayi di Kelurahan Pinangsori Kecamatan Pinangsori Kabupaten Tapanuli Tengah
Tahun 2012.
7. Untuk mengetahui tingkat tindakan ibu dalam hal pijat bayi yang dilakukan oleh
dukun bayi di Kelurahan Pinangsori Kecamatan Pinangsori Kabupaten Tapanuli
1.4 Manfaat Penelitian
1. Untuk memberikan informasi mengenai gambaran perilaku masyarakat Suku
Jawa dalam hal pijat bayi yang dilakukan oleh dukun bayi di Kelurahan
Pinangsori Kecamatan Pinangsori Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2012.
2. Sebagai bahan masukan bagi dinas kesehatan untuk melakukan berbagai kegiatan
mengenai pemberian informasi kesehatan khususnya mengenai pijat bayi yang
dilakukan oleh dukun bayi di Kelurahan Pinangsori Kecamatan Pinangsori
Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2012.
3. Sebagai masukan bagi berbagai pihak yang akan melanjutkan penelitian ini
ataupun penelitian yang ada kaitannya dengan penelitian ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perilaku Kesehatan
Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme
(makhluk hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis
semua makhluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang, sampai dengan
manusia itu berperilaku, karena mereka mempunyai aktivitas masing-masing.
Perilaku manusia merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta interaksi
manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan
tindakan. Dengan kata lain, perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang
terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respon ini
bersifat pasif (tanpa tindakan: berpikir, berpendapat, bersikap) maupun aktif
(melakukan tindakan). Sesuai dengan batasannya perilaku kesehatan dapat
dirumuskan sebagai segala bentuk pengalaman dan interaksi individu dan
lingkungannya, khususnya yang menyangkut pengetahuan, sikap tentang
kesehatannya serta tindakannya yang berhubungan dengan kesehatan.
Menurut L.W. Green, faktor penyebab masalah kesehatan adalah faktor
perilaku dan non perilaku. Faktor perilaku khususnya perilaku kesehatan dipengaruhi
oleh 3 faktor yaitu :
1. Faktor-faktor predisposisi (Predisposing factors), adalah faktor yang terwujud dalam kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan juga variasi demografi seperti
status ekonomi, umur, jenis kelamin, dan susunan keluarga. Faktor ini lebih
2. Faktor-faktor pemungkin (enabling factors), adalah faktor pendukung yang
terwujud dalam lingkungan fisik, yang termasuk di dalamnya adalah berbagai
macam sarana dan prasarana, misal : dana, transportasi, fasilitas, kebijakan
pemerintah dan sebagainya.
3. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors), adalah faktor-faktor yang meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku
petugas termasuk petugas kesehatan, termasuk juga disini undang-undang,
peraturan-peraturan baik dari pusat maupun pemerintah daerah yang terkait
dengan kesehatan.
Perilaku dapat dibatasi sebagian jiwa (berpendapat, berfikir, bersikap dan
sebagainya) (Notoadmojo, 1999). Untuk memberikan respon terhadap situasi diluar
objek tersebut. Respon ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan).
Bentuk operasional dari perilaku dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu :
1. Perilaku dalam bentuk pengetahuan, yaitu dengan mengetahui situasi dan
rangsangan.
2. Perilaku dalam bentuk sikap, yaitu tanggapan perasaan terhadap keadaan atau
rangsangan dari luar diri si subjek sehingga alam itu sendiri akan mencetak
perilaku manusia yang hidup di dalamnya, sesuai dengan sifat keadaan alam
tersebut (lingkungan fisik) dan keadaan lingkungan sosial budaya yang bersifat
non fisik tetapi mempunyai pengaruh kuat terhadap pembentukan perilaku
manusia. Lingkungan ini adalah merupakan keadaan masyarakat dan segala budi
3. Perilaku dalam bentuk tindakan, yang sudah konkrit berupa perbuatan terahadap
situasi dan rangsangan dari luar.
2.1.1. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan ini terjadi
melalui panca indera manusia yakni penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan
raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia, yaitu indra penglihatan,
penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan merupakan domain yang
sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (ever behavior). Pada dasarnya pengetahuan terdiri dari sejumlah fakta dan teori yang memungkinkan seseorang
dapat memahami sesuatu gejala dan memecahkan masalah yang dihadapi.
Pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman langsung ataupun melalui
pengalaman orang lain. Pengetahuan dapat ditingkatkan melalui penyuluhan baik
secara individu maupun kelompok untuk meningkatkan pengetahuan kesehatan yang
bertujuan untuk tercapainya perubahan perilaku individu, keluarga dan masyarakat
dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan optimal.
Menurut Notoatmodjo (1993), pengetahuan mempunyai enam tingkatan yaitu:
1. Tahu (know)
Diartikan sebagai pengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya,
termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali terhadap
diterima. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari
antara lain : menyebutkan, mendefenisikan, mengatakan.
2. Pemahaman (Comprehension)
Diartikan sebagai kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek
yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang
telah memahami terhadap objek atau materi atau harus dapat menjelaskan,
menyebutkan contoh, menyampaikan, meramalkan terhadap objek yang dipelajari.
3. Aplikasi (Aplication)
Aplikasi diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya. Aplikasi disini dapat
diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan buku, rumus, metode, prinsip dalam
konteks, atau situasi lain. Misalnya adalah dapat menggunakan rumus statistik dalam
perhitungan-perhitungan hasil penelitian dan dapat menggunakan prinsip-prinsip
siklus pemecahan masalah kesehatan dari kasus-kasus yang diberikan.
4. Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek
dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam struktur organisasi, dan masih ada
kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata
kerja seperti dapat menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan
dan sebagainya.
5. Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk menghubungkan
adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dan formulasi-formulasi
yang ada. Misalnya: dapat menyusun, merencanakan, meringkas, menyesuaikan dan
sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.
6. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan-kemampuan untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian ini
berdasarkan kriteria yang telah ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria
yang ada.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket
yang menanyakan isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden.
Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan
dengan tingkatan-tingkatan di atas (Notoadmojo, 2003).
2.1.2. Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap
suatu stimulus atau objek. Sikap tidak langsung dilihat tetapi hanya dapat ditafsirkan
terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi
adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan
sehari-hari adalah merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial
(Notoadmojo, 1993).
Secara umum sikap dapat dirumuskan sebagai kecenderungan untuk merespon
(secara positif atau negatif) terhadap orang, objek atau situasi tertentu. Sikap
mengandung suatu penelitian emosional/afektif (senang, benci, sedih dan
yang berbeda-beda (sangat benci, agak benci, dan sebagainya). Sikap itu tidaklah
sama dengan perilaku dan perilaku tidaklah selalu mencerminkan sikap seseorang.
Sebab sering kali terjadi bahwa seseorang dapat berubah dengan memperlihatkan
tindakan yang bertentangan dengan sikapnya. Sikap sesorang dapat berubah dengan
diperolehnya tambahan informasi tentang objek tersebut melalui persuasi serta
tekanan dari kelompok sosialnya.
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau obyek. Manifestasi sikap itu tidak langsung dapat
dilihat, tetapi dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup.
Allport (1954) dalam Soekijo (1993), menjelaskan bahwa sikap itu
mempunyai tiga komponen pokok yaitu :
a. Kepercayaan (kenyakinan), ide dan konsep terhadap suatu obyek.
b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu obyek.
c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave) Sikap ini terdiri dari 4 (empat) tingkatan yaitu :
1. Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperlihatkan stimulus
yang diberikan (objek). Misalnya sikap orang terhadap gizi dapat dilihat dari
kesediaan dan perhatian orang itu terhadap ceramah-ceramah tentang gizi.
2. Merespon (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya. Mengerjakan dan menyelesaikan tugas
menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan
itu benar atau salah, adalah berarti orang menerima ide tersebut.
3. Menghargai (Valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah
adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya: seorang ibu yang mengajak ibu
yang lain untuk pergi menimbangkan anaknya ke posyandu, atau mendiskusikan
tentang gizi, adalah suatu bukti bahwa si ibu tersebut telah mempunyai sikap positif
terhadap gizi anak.
4. Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala
resiko merupakan sikap yang paling tinggi.
Ciri-ciri sikap adalah :
1. Sikap bukan dibawa sejak lahir melainkan dibentuk atau dipelajari sepanjang
perkembangan orang itu dalam hubungan dengan objeknya. Sifat ini
membedakannya dengan sifat motif-motif biogenetis seperti lapar, haus atau
kebutuhan akan istirahat.
2. Sikap dapat berubah-ubah karena sikap dapat dipelajari dan karena itu pula sikap
dapat berubah-ubah pada orang bila terdapat keadaan-keadaan dan syarat-syarat
tertentu yang mempermudah sikap pada orang itu.
3. Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mempunyai hubungan tertentu
terhadap suatu objek. Dengan kata lain sikap itu terbentuk, dipelajari atau
4. Objek sikap itu dapat merupakan satu hal tertentu tetapi dapat juga merupakan
kumpulan dari hal-hal tersebut.
5. Sikap mempunyai segi motivasi dari segi-segi perasaan. Sifat ilmiah yang
membedakan sikap dan kecakapan-kecakapan atau pengetahuan-pengetahuan
yang dimiliki orang (Purwanto, 1999).
Fungsi sikap dibagi menjadi empat golongan, yakni :
1. Sebagai alat untuk menyesuaikan diri. Sikap adalah sesuatu yang bersifat
communicable artinya sesuatu yang mudah menjalar sehingga mudah pula menjadi milik bersama.
2. Sebagai alat pengatur tingkah laku. Kita tahu bahwa tingkah laku anak kecil atau
binatang umumnya merupakan aksi-aksi yang spontan terhadap sekitarnya.
Antara perangsang dan reaksi tidak ada pertimbangan tetapi pada orang dewasa
dan yang sudah lanjut usianya, perangsang itu pada umumnya tidak diberi reaksi
secara spontan akan tetapi terdapat adanya proses secara sadar untuk menilai
perangsang-perangsang itu. Jadi antara perangsang dan reaksi terhadap sesuatu
yang disisipkannya yaitu sesuatu yang berwujud pertimbangan-pertimbangan
atau penilaian-penilaian terhadap perangsang itu. Jadi antara perangsang dan
reaksi terhadap sesuatu yang disisipkannya yaitu sesuatu yang berwujud
pertimbangan-pertimbangan atau penilaian-penilaian terhadap perangsang itu
sebenarnya bukan hal yang berdiri sendiri tetapi merupakan sesuatu yang erat
hubungannya dengan cita-cita orang, tujuan hidup orang, peraturan-peraturan
kesusilaan yang ada dalam bendera, keinginan-keinginan pada orang itu dan
3. Sebagai alat pengatur pengalaman-pengalaman. Dalam hal ini perlu
dikemukakan bahwa manusia di dalam menerima pengalaman-pengalaman dari
dunia luar sikapnya tidak pasif tetapi diterima secara aktif artinya semua
pengalaman yang berasal dari luar itu tidak semuanya dilayani oleh manusia
tetapi juga manusia memilih mana-mana yang perlu dan mana yang tidak perlu
dilayani. Jadi semua pengalaman ini diberi penilaian lalu dipilih.
4. Sebagai pernyataan kepribadian. Sikap sering mencerminkan kepribadian
seseorang. Ini sebabnya karena sikap tidak pernah terpisah dari pribadi yang
mendukungnya. Oleh karena itu dengan melihat sikap-sikap pada obyek-obyek
tertentu, sedikit banyak orang bisa mengetahui pribadi orang tersebut. Jadi sikap
sebagai pernyataan pribadi. Apabila kita akan mengubah sikap sesorang kita
harus mengetahui keadaan sesungguhnya dari sikap orang tersebut dengan
mengetahui keadaan sikap itu kita akan mengetahui pula mungkin tidaknya sikap
tersebut dapat diubah dan bagaimana cara mengubah sikap-sikap tersebut
(Purwanto, 1999).
2.1.3. Tindakan
Suatu sikap belum optimis terwujud dalam suatu tindakan. Untuk terwujudnya
sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung/suatu kondisi yang
memungkinkan (Notoadmojo, 1993).
Tindakan terdiri dari empat tindakan, yaitu :
1. Persepsi (Perception)
Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang
2. Respon Terpimpin (guided response)
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan
contoh adalah merupakan indikator praktek tingkat dua.
3. Mekanisme (mechanism)
Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara optimis,
atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktek tingkat
tiga.
4. Adopsi (adoption)
Adaptasi adalah praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik.
Artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya tanpa mengurangi kebenaran tindakan
tersebut.
2.2 Theory of Reasoned Action (TRA)
TRA pertama kali diperkenalkan pada tahun 1967 untuk melihat hubungan
keyakinan, sikap, niat dan perilaku. Fishbein, 1967 mengembangkan TRA ini dengan
sebuah usaha untuk melihat hubungan sikap dan perilaku (Glanz, 2002).
Teori alasan berperilaku merupakan teori perilaku manusia secara umum.
Sebenarnya, teori ini digunakan dalam berbagai perilaku manusia, kemudian
berkembang dan banyak digunakan untuk menentukan faktor-faktor yang berkaitan
dengan perilaku kesehatan (Glanz, 2009).
Teori ini menghubungkan antara keyakinan (belief), sikap (attitude), niat
(intention) dan perilaku. Niat (kehendak) merupakan prediktor terbaik perilaku, artinya jika ingin mengetahui apa yang dilakukan seseorang, cara terbaik adalah
perhatian (salience), yaitu mempertimbangkan sesuatu yang dianggap penting (Glanz, 2009).
Niat ditentukan oleh sikap dan norma subjektif. Komponen sikap merupakan
hasil pertimbangan untung rugi dari perilaku tersebut dan pentingnya
konsekuensi-konsekuensi bagi individu. Di lain pihak, komponen norma subjektif atau sosial
mengacu pada keyakinan seseorang terhadap bagaimana dan apa yang dipikirkan
orang-orang yang dianggap penting dan motivasi seseorang mengikuti pikiran
tersebut. Jika orang yang dianggap penting (kelompok referensi) menyetujui tindakan
tersebut, terdapat kecenderungan positif untuk berperilaku (Glanz, 2009).
Gambar 2.1 Diagram Theory of Reasoned Action (TRA)
2.3 Konsep Sehat Sakit
Kesehatan adalah suatu konsep yang telah sering digunakan namun sukar
untuk dijelaskan artinya. Faktor yang berbeda menyebabkan sukarnya
mendefenisikan kesehatan, kesakitan dan penyakit. Meskipun demikian, kebanyakan
sumber ilmiah setuju bahwa defenisi kesehatan apapun harus mengandung paling
tidak komponen biomedis, personal dan sosiokultural (Ryadi, 1982). Sikap yang
mempengaruhi prilaku
Norma Sosial
Pandangan orang tentang kriteria tubuh sehat atau sakit sifatnya tidaklah
selalu objektif. Bahkan lebih banyak unsur subjektivitasnya dalam menentukan
kondisi tubuh seseorang. Persepsi masyarakat tentang sehat sakit ini sangatlah
dipengaruhi oleh unsur pengalaman masa lalu, disamping unsur sosial budaya.
Sebaliknya petugas kesehatan berusaha sedapat mungkin menerapkan kriteria medis
yang objektif berdasarkan simptom yang nampak guna mendiagnosa kondisi fisik
seorang individu. Perbedaan persepsi antara masyarakat dan petugas kesehatan inilah
yang sering menimbulkan masalah dalam melaksanakan program kesehatan.
(Sarwono, 1992)
Gagasan orang tentang ”sehat” dan ”sakit” sangatlah bervariasi. Gagasan ini
dibentuk oleh pengalaman, pengetahuan, nilai dan harapan-harapan, disamping juga
pandangan mereka tentang apa yang akan mereka lakukan dalam kehidupan
sehari-hari dan kebugaran yang mereka perlukan untuk menjalankan peran mereka (Elwes
dan Sinmett, 1994).
Cara hidup dan gaya hidup manusia merupakan fenomena yang dapat
dikaitkan dengan munculnya berbagai macam penyakit, selain itu hasil berbagai
kebudayaan juga dapat menimbulkan penyakit. Masyarakat dan pengobatan
tradisional menganut dua konsep penyebab sakit, yaitu: personalistik dan naturalistik
(Foster/Anderson, 2005). Personalistik adalah suatu sistem dimana penyakit disebabkan oleh intervensi dari suatu agen yang aktif, yang dapat berupa makhluk
supranatural (makhluk gaib atau dewa), makhluk yang bukan manusia (seperti hantu,
roh leluhur, atau roh jahat) maupun manusia (tukang sihir atau tukang tenung).
istilah-istilah sistemik yang bukan pribadi, disini agen yang aktif menjalankan
peranannya. Dalam sistem ini keadaan sehat sesuai dengan model keseimbangan :
apabila unsur-unsur dasar dalam tubuh - ”humor”, yin dan yang, serta dosha dalam Ayurveda – berada dalam keadaan seimbang menurut usia dan kondisi individu,
maka tercapailah kondisi sehat. Apabila keseimbangan ini terganggu dari luar
maupun dalam oleh kekuatan-kekuatan alam panas, dingin, atau kadang-kadang
emosi yang kuat, maka terjadilah penyakit.
Menurut Jordan dan Sudarti yang dikutip Sarwono (1992), mengatakan bahwa
persepsi masyarakat tentang sehat sakit dipengaruhi oleh unsur pengalaman masa
lalu, disamping unsur sosial budaya.
Sudarti dan Soejati (2006) menggambarkan secara deskriptif persepsi
masyarakat beberapa daerah di Indonesia mengenai sakit dan penyakit; masyarakat
menganggap bahwa sakit adalah keadaan individu mengalami serangkaian gangguan
fisik yang menimbulkan rasa tidak nyaman. Anak yang sakit ditandai dengan tingkah
laku rewel, sering menangis dan tidak nafsu makan. Orang dewasa dianggap sakit
jika lesu, tidak dapat bekerja, kehilangan nafsu makan, atau ”kantong kering” (tidak
punya uang). Selanjutnya masyarakat menggolongkan penyebab sakit ke dalam 3
bagian yaitu :
1. Karena pengaruh gejala alam (panas, dingin) terhadap tubuh manusia.
2. Makanan yang diklasifikasikan ke dalam makanan panas dan dingin.
3. Supranatural (roh, guna-guna, setan dan lain-lain).
Untuk mengobati sakit yang termasuk golongan pertama dan ke dua, dapat
tenaga kesehatan. Untuk penyebab sakit yang ke tiga harus dimintakan bantuan
dukun, kyai dan lain-lain. Dengan demikian upaya penanggulangan tergantung
kepada kepercayaan mereka terhadap penyebab sakit.
2.4 Teori Tentang Penggunaan Pelayanan Kesehatan
Menurut Levey dan Loombo yang dijabarkan oleh Azrul Azwar (1996),
menyatakan bahwa pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan
secara sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara
dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta
memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan ataupun masyarakat.
Dalam mencapai kesejahteraan dan pemeliharaan penyembuhan penyakit
sangat diperlukan pelayanan kesehatan yang bermutu dan menyeluruh di wilayah
Indonesia ini dan tidak akan tercapai derajat kesehatan yang optimal (Azwar, 1996).
Dari beberapa hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan
pola-pola penggunaan pelayanan kesehatan pada beberapa daerah. Hal ini tidak dapat
dijelaskan hanya karena ada perbedaan morbidity rate atau karakteristik demografi penduduk, tetapi faktor-faktor sosial budaya atau faktor-faktor penting yang
menyebabkan tidak digunakannya fasilitas kesehatan. Penggunaan pelayanan
kesehatan tidak perlu diukur hanya dalam hubungannya dengan individu tetapi dapat
diukur berdasarkan unit keluarga. (Sarwono, 1992).
Banyak teori yang berkaitan dengan alasan seseorang ketika memilih dan
2.4.1. TheorySocial Learning
Untuk melangsungkan kehidupannya, manusia perlu belajar. Dalam hal ini
ada dua macam belajar, yaitu belajar secara fisik, misalnya menari, olah raga
mengendarai mobil dan lain sebagainya; dan belajar psikis. Dalam belajar psikis ini
termasuk juga belajar sosial (social learning) yakni, kontak sosial. Selanjutnya orang tersebut akan menyesuaikan tingkah lakunya dengan peran sosial yang telah
dipelajarinya. Cara yang sangat penting dalam belajar sosial menurut teori stimulus-
respon adalah tingkah laku tiruan (imitation). Teori tentang tingkah laku tiruan yang penting disajikan disini adalah teori dari NE. Miller, dan J. Dollard serta teori A.
Bandura dan RH. Walters.
2.4.1.1 Teori Belajar Sosial dan Tiruan dari NE. Miller dan J. Dollard
Pandangan NE. Miller dan J. Dollard bertitik-tolak dari teori Hull yang
kemudian dikembangkan menjadi teori tersendiri. Mereka berpendapat bahwa tingkah
laku manusia merupakan hasil proses belajar sosial, kita harus mengetahui
prinsip-prinsip psikologi belajar. Prinsip-prinsip-prinsip belajar ini terdiri atas 4, yakni dorongan
(drive), isyarat (cue), tingkah laku balas (response), dan ganjaran (reward). Keempat prinsip ini saling mengait satu sama lain dan saling dipertukarkan, yaitu dorongan
menjadi isyarat, isyarat menjadi ganjaran, dan seterusnya.
Disebutkan juga ada 3 macam mekanisme tingkah laku tiruan yaitu :
1. Tingkah laku sama
berbelanja di toko yang sama dan dengan barang yang sama. Tingkah laku yang sama
ini tidak selalu tiruan, maka tidak dibahas lebih lanjut
2. Tingkah laku tergantung (matched dependent behavior)
Tingkah laku ini timbul dalam interaksi dua pihak. Salah satu pihak mempunyai
kelebihan (lebih pandai, lebih mampu, lebih tua dan sebagainya) dari pihak lain.
Dalan hal ini pihak lain atau pihak yang kuang tersebut akan menyesuaikan tingkah
laku (match) dan akan tergantung (depend) pada pihak yang lebih misalnya, kakak adik yang sedang menunggu ibunya pulang dari pasar. Biasanya ibu mereka
membawa coklat. Mendengar ibunya pulang, si kakak segera menjemput ibunya,
kemudian diikuti oleh si adik. Ternyata mereka mendapat coklat (ganjaran). Adik
yang semula hanya meniru tingkah laku kakaknya, di lain waktu meskipun kakaknya
tidak ada, ia akan lari menjemput ibunya yang pulang dari pasar
3. Tingkah laku salinan (copying behavior)
Seperti tingkah laku tergantung, pada tingkah laku salinan, peniru bertingkah
laku atas isyarat yang berupa tingkah laku yang diberikan oleh model. Pengaruh
ganjaran dan hukuman sangat besar terhadap kuat atau lemahnya tingkah laku tiruan.
Perbedaannya dalam tingkah laku tergantung si peniru hanya bertingkah laku
terhadap isyarat yang diberikan oleh model pada saat itu saja, sedangkan pada tingkah
laku salinan si peniru memperhatikan juga tingkah laku model di masa lalu maupun
yang akan dilakukan di masa mendatang. Hal ini berarti perkiraan tentang tingkah
laku model dalam kurun waktu yang relatif panjang ini akan dijadikan patokan oleh si
peniru untuk memperbaiki tingkah lakunya sendiri di masa yang akan datang,
2.5. Aspek Sosial Budaya Dalam Pencarian Pelayanan Kesehatan
Walaupun jaminan kesehatan dapat membantu banyak orang yang
berpenghasilan rendah dalam memperoleh perawatan yang mereka butuhkan, tetapi
ada alasan lain disamping biaya perawatan kesehatan, yaitu adanya celah diantara
kelas sosial dan budaya dalam penggunaan pelayanan kesehatan (Sarafino, 2002).
2.5.1. Faktor Sosial Dalam Penggunaan Pelayanan Kesehatan
a. Cendrung lebih tinggi pada kelompok orang muda dan orang tua.
b. Cenderung lebih tinggi pada orang yang berpenghasilan tinggi dan
berpendidikan tinggi.
c. Cenderung lebih tinggi pada kelompok Yahudi dibandingkan dengan
penganut agama lain.
d. Persepsi sangat erat hubungannya dengan penggunaan pelayanan kesehatan.
(Sarifano, 2002).
2.5.2. Faktor Budaya Dalam Penggunaan Pelayanan Kesehatan
Faktor kebudayaan yang mempengaruhi penggunaan pelayanan kesehatan
diantaranya adalah :
a. Rendahnya penggunaan pelayanan kesehatan pada suku bangsa terpencil.
b. Ikatan keluarga yang kuat lebih banyak menggunakan fasilitas pelayanan
kesehatan.
c. Meminta nasehat dari keluarga dan teman-teman.
d. Pengetahuan tentang sakit dan penyakit. Dengan asumsi jika pengetahuan
tentang sakit meningkat maka penggunaan pelayanan kesehatan juga
e. Sikap dan kepercayaan masyarakat terhadap provider sebagai pemberi
pelayanan kesehatan.
2.6 .Reaksi Dalam Proses Mencari Pengobatan
Menurut Suchman yang dijabarkan oleh Sarwono (2004), menganalisa pola
proses pencarian pengobatan dari segi individu maupun petugas kesehatan. Menurut
pendapatnya, terdapat lima macam reaksi dalam proses pencarian pengobatan:
1. Shopping, adalah proses mencari alternatif sumber pengobatan guna menemukan seseorang yang dapat memberikan diagnosa dan pengobatan
sesuai dengan harapan si sakit.
2. Fragmentation adalah proses pengobatan oleh beberapa fasilitas kesehatan pada lokasi yang sama. Contoh : berobat ke dokter sekaligus ke sinse dan
dukun.
3. Procastination ialah proses penundaan pencarian pengobatan meskipun gejala penyakitnya sudah dirasakan.
4. Self medication adalah proses pengobatan sendiri dengan menggunakan berbagai ramuan atau obat-obatan yang dinilainya tepat baginya.