TINJAUAN MAKNA DAN BAHASA VISUAL PADA IKLAN
PAPAN REKLAME KAMPANYE POLITIK
(Analisis Semiotika Iklan Papan Reklame Kampanye Politik
Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara 2013)
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Program Strata 1 (S1) pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
TRIE TIFANY NATASHA.P. 090904110
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
LEMBAR PERSETUJUAN
Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh :
Nama : Trie Tifany Natasha Panggabean
NIM : 090904110
Departemen : Ilmu Komunikasi
Judul : TINJAUAN MAKNA DAN BAHASA VISUAL PADA IKLAN PAPAN REKLAME KAMPANYE POLITIK
(Analisis Semiotika Iklan Papan Reklame Kampanye Politik Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara 2013)
Dosen Pembimbing Ketua Departemen
Drs. Hendra Harahap, MA Dra.Fatma Wardi Lubis, MA NIP.196710021994031001 NIP.196208281987012001
Dekan FISIP USU
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya cantumkan sumbernya dengan benar. Jika di kemudian hari saya terbukti melakukan pelanggaran (plagiat) maka saya
bersedia di proses sesuai dengan hukum yang berlaku.
Nama : Trie Tifany Natasha Panggabean NIM : 090904110
Tanda Tangan :
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh : Trie Tifany Natasha Panggabean
Nama : Trie Tifany Natasha Panggabean
NIM : 090904110
Departemen : Ilmu Komunikasi
Judul Skripsi : Tinjauan Makna dan Bahasa Visual pada
Papan Reklame Kampanye Politik
(Analisis Semiotika Iklan Papan Reklame
Kampanye Politik Calon Gubernur dan
Wakil Gubernur Sumatera Utara 2013)
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
Majelis Penguji
Ketua Penguji :
Penguji :
Penguji Utama :
Ditetapkan di :
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah
memberikan berkat penyertaan, kemampuan dan waktu untuk menyelesaikan
skripsi dengan judul, “Tinjauan dan Makna Bahasa Visual pada Iklan Papan
Reklame Kampanye Politik (Analisis Semiotika Iklan Papan Reklame Kampanye
Politik Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara 2013)”, sebagai
salah satu syarat untuk mendapat gelar Sarjana Ilmu Komunikasi di Universitas
Sumatera Utara.
Penyelesaian skripsi ini tentunya tidak terlepas dari bantuan yang diberikan
orang-orang disekeliling penulis yang telah memberikan dukungan. Oleh sebab itu
penulis ingin berterima kasih kepada :
1. Mama yang paling saya kasihi, Idolaku yang tak pernah henti
memberikan kasih sayang, doa, nasehat serta dukungan semangat dalam
setiap langkah hidup saya.
2. Bapak, Abang dan Kakak terkasih yang mendukung penuh dan selalu
memberikan semangat untuk berjuang dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Bapak Hendra Harahap, M.A selaku dosen pembimbing yang telah
membimbing saya dalam pengerjaan skripsi.
4. Bapak Prof.Dr.Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas lmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
5. Ibu Fatma Wardy Lubis, M.A selaku Ketua Departemen Ilmu
Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera
Utara.
6. Ibu Inon Beydha, M.Si, Ph.D selaku dosen wali saya selama mengikuti
perkuliahan.
7. Kak Icut dan Kak Maya yang telah menolong dalam setiap prosedur
administrasi.
8. Seluruh keluarga Panggabean dan Manik yang telah memberikan doa
kedepannya. Terimakasih buat Ompung Bean yang tak lupa mendoakan
cucunya.
9. Sahabat-sahabat terbaik saya, Tika, Sevi, Inri, Helen, Vina dan Iche
yang tak pernah putus mendukung dan mendorong semangat saya
selama awal perkuliahan hingga penyelesaian skripsi ini. Kalian yang
terbaik.
10.Rotua, Christine, Indri, Olive, Indah, terimakasih telah menjadi sahabat
yang baik dari masa SMA.
11.Seluruh teman-teman Ilmu Komunikasi stambuk 2009 yang telah
menjadi teman selama perkuliahan serta teman berbagi cerita.
Dengan segenap kerendahan hati, penulis mengharapkan kritikan dan saran
untuk penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat
berguna bagi yang membaca baik dari lingkungan akademik maupun masyarakat
luas di masa yang akan datang.
Medan, Juni 2013
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
__________________________________________________________________
Sebagai civitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Trie Tifany Natasha Panggabean
NIM : 090904110
Departemen : Ilmu Komunikasi
Fakultas : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas : Universitas Sumatera Utara
Jenis Karya : Skripsi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non Eksklusif (Non-Exclusive Royalty- Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : Tinjauan Makna dan Bahasa Visual pada Iklan Papan Reklame Kampanye Politik ( Analisis Semiotika Iklan Papan Reklame Kampanye Politik Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara 2013) beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Medan
Pada Tanggal : 21 Juni 2013
Yang Menyatakan
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “Tinjauan Makna dan Bahasa Visual pada Iklan Papan Reklame Kampanye Politik (Analisis Semiotika Iklan Papan Reklame Kampanye Politik Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara 2013). Dalam penelitian ini akan dilakukan analisis semiotika pada iklan papan reklame kampanye politik Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara 2013. Penelitian ini fokus pada penelitian analisis semiotika yang bersifat kualitatif dan menggunakan paradigma konstruktivis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sistem tanda yang melingkupi pemaknaan dan bahasa visual serta makna semiotika yang terkandung dalam visualisasi iklan papan reklame kampanye politik Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara 2013.
Objek penelitian ini adalah iklan kampanye politik yang ditampilkan melalui media luar ruang, khususnya dalam bentuk papan reklame (billboard). Iklan papan reklame yang diambil untuk diteliti adalah papan reklame yang beredar dari bulan Januari sampai Maret 2013 dan dibatasi menjadi tiga papan reklame untuk setiap pasangan calon gubernur dan wakil gubernur. Gambar dari iklan papan reklame tersebut kemudian dianalisis menggunakan analisis semiotika. Analisis yang digunakan adalah semiologi Roland Barthes lewat model two order of signification (signifikasi dua tahap). Konsep dasar pemikiran Roland Barthes lebih menekankan kepada interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya dan interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Dengan kata lain inilah gagasan Barthes yang dikenal dengan order of signification’. Barthes melontarkan konsep tentang konotasi dan denotasi sebagai kunci dari analisisnya.
Melalui analisis semiologi Roland Barthes ini, peneliti mendapatkan hasil bahwa pada papan reklame kampanye politik dari Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara kali ini, memiliki ikon, indeks, dan simbol yang begitu beragam. Papan reklame kampanye politik ini, membawa hubungan antara penanda (signifier) dan petanda (signified) ke dalam sebuah tanda sehingga menjelaskan secara nyata sebuah tataran denotatif. Kemudian terdapat pula interaksi antara tanda dengan perasaan atau emosi pembaca serta nilai-nilai kebudayaan di dalam papan reklame, sehingga membawa kepada tataran konotasi yang mempunyai makna tersendiri dan memiliki pengaruh kepada kerangka berpikir dari pembaca. Untuk itu, analisis semiologi Barthes disini berperan untuk menyediakanmetode analisis dan kerangka berpikir, sehingga mengatasi terjadinya salah baca (misreading) ataupun salah dalam mengartikan makna suatu tanda pada iklan papan reklame kampanye politik.
Kata kunci :
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... vi
ABSTRAK ... vii
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah ... 1
1.2 Fokus Masalah ... 5
1.3 Tujuan Penelitian ... 6
1.4 Manfaat Penelitian ... 6
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Konstruktivisme ... 7
2.2 Interaksionisme Simbolik ... 9
2.3 Semiotika ... 15
2.4 Semiologi Roland Barthes ... 19
2.5 Desain Komunikasi Visual ... 24
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian ... 58
3.2 Objek Penelitian ... 59
3.3 Subjek Penelitian ... 59
3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 60
3.6 Teknik Analisis Data ... 61
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penyajian Data ... 63
4.2 Pembahasan ... 64
4.2.1 Analisis Papan Reklame Gus Irawan dan Soekirman ... 64
4.2.2 Analisis Papan Reklame Effendi Simbolon dan Jumiran Abdi ... 84
4.2.3 Analisis Papan Reklame Chairuman Harahap dan Fadly Nurzal ... 103
4.2.4 Analisis Papan Reklame Amri Tambunan dan R.E.Nainggolan ... 127
4.2.5 Analisis Papan Reklame Gatot Pujo Nugroho dan Tengku Erry ... 144
BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... . 164
5.2 Saran ... 165
DAFTAR REFERENSI ... .... 167
DAFTAR LAMPIRAN
- Gambar Papan Reklame Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara 2013
DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman
Tabel 2.1 Teknik dalam Pengambilan dan Penyuntingan Gambar... 49
Tabel 3.1 Unit dan Level Analisis ... 60
Tabel 4.1 Data Jumlah Iklan Kampanye Politik melalui Media Luar Ruang... 63
Tabel 4.2 Identifikasi Iklan Kampanye Politik Calon Gubernur dan Wakil
Gubernur Sumatera Utara ... 64
Tabel 4.3 Teknik-Teknik dalam Pengambilan Gambar ... 65
Tabel 4.4 Ikon pada Gambar Papan Reklame Gus Irawan dan Soekirman (1).. 65
Tabel 4.5 Teknik-Teknik dalam Pengambilan Gambar ... 70
Tabel 4.6 Ikon pada Gambar Papan Reklame Gus Irawan dan Soekirman (2)..70
Tabel 4.7 Teknik-Teknik dalam Pengambilan Gambar ... 79
Tabel 4.8 Ikon pada Gambar Papan Reklame Gus Irawan dan Soekirman (3).. 80
Tabel 4.9 Teknik-Teknik dalam Pengambilan Gambar ... 84
Tabel 4.10 Ikon dalam Gambar Papan Reklame Effendi Simbolon dan Jumiran
Abdi (1)... 85
Tabel 4.11 Teknik-Teknik dalam Pengambilan Gambar ... 91
Tabel 4.12 Ikon dalam Gambar Papan Reklame Effendi Simbolon dan Jumiran
Tabel 4.13 Teknik-Teknik dalam Pengambilan Gambar ... 97
Tabel 4.14 Ikon dalam Gambar Papan Reklame Effendi Simbolon dan Jumiran
Abdi (3)... 98
Tabel 4.15 Teknik-Teknik dalam Pengambilan Gambar ...103
Tabel 4.16 Ikon dalam Gambar Papan Reklame Chairuman Harahap dan Fadly
Nurzal (1) ...104
Tabel 4.17 Teknik-Teknik dalam Pengambilan Gambar ...110
Tabel 4.18 Ikon dalam Gambar Papan Reklame Chairuman Harahap dan Fadly
Nurzal (2) ...111
Tabel 4.19 Teknik-Teknik dalam Pengambilan Gambar ...118
Tabel 4.20 Ikon dalam Gambar Papan Reklame Chairuman Harahap dan Fadly
Nurzal (3) ...119
Tabel 4.21 Teknik-Teknik dalam Pengambilan Gambar ...127
Tabel 4.22 Ikon dalam Gambar Papan Reklame Amri Tambunan dan
R.E.Nainggolan (1) ...128
Tabel 4.23 Teknik-Teknik dalam Pengambilan Gambar ...134
Tabel 4.24 Ikon dalam Gambar Papan Reklame Amri Tambunan dan
R.E.Nainggolan (2) ...135
Tabel 4.26 Ikon dalam Gambar Papan Reklame Amri Tambunan dan
R.E.Nainggolan (3) ...141
Tabel 4.27 Teknik-Teknik dalam Pengambilan Gambar ...145
Tabel 4.28 Ikon dalam Gambar Papan Reklame Gatot Pujo Nugroho dan
Tengku Erry Nuradi (1) ...145
Tabel 4.29 Teknik-Teknik dalam Pengambilan Gambar ...152
Tabel 4.30 Ikon dalam Gambar Papan Reklame Gatot Pujo Nugroho dan
Tengku Erry Nuradi (2) ...152
Tabel 4.31 Teknik-Teknik dalam Pengambilan Gambar ...159
Tabel 4.32 Ikon dalam Gambar Papan Reklame Gatot Pujo Nugroho dan
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Halaman
Gambar 2.1 Semiotic Triangle Ogden and Richards ... 18
Gambar 2.2 Semiologi Roland Barthes ... 22
Gambar 4.1 Papan Reklame GusMan (1) ... 64
Gambar 4.2 Papan Reklame GusMan (2) ... 69
Gambar 4.3 Papan Reklame GusMan (3) ... 79
Gambar 4.4 Papan Reklame Effendi Simbolon dan Jumiran Abdi (1) ... 84
Gambar 4.5 Papan Reklame Effendi Simbolon dan Jumiran Abdi (2) ... 90
Gambar 4.6 Papan Reklame Effendi Simbolon dan Jumiran Abdi (3) ... 97
Gambar 4.7 Papan Reklame Chairuman Harahap dan Fadlu Nurzal (1) .. 103
Gambar 4.8 Papan Reklame Chairuman Harahap dan Fadlu Nurzal (2) .. 110
Gambar 4.9 Papan Reklame Chairuman Harahap dan Fadlu Nurzal (3) .. 118
Gambar 4.10 Papan Reklame Amri Tambunan dan R.E.Nainggolan (1) ... 127
Gambar 4.11 Papan Reklame Amri Tambunan dan R.E.Nainggolan (2) ... 134
Gambar 4.12 Papan Reklame Amri Tambunan dan R.E.Nainggolan (3) ... 140
Gambar 4.13 Papan Reklame Gatot Pujo Nugroho dan Tengku Erry (1) ... 144
Gambar 4.14 Papan Reklame Gatot Pujo Nugroho dan Tengku Erry (2) ... 151
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “Tinjauan Makna dan Bahasa Visual pada Iklan Papan Reklame Kampanye Politik (Analisis Semiotika Iklan Papan Reklame Kampanye Politik Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara 2013). Dalam penelitian ini akan dilakukan analisis semiotika pada iklan papan reklame kampanye politik Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara 2013. Penelitian ini fokus pada penelitian analisis semiotika yang bersifat kualitatif dan menggunakan paradigma konstruktivis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sistem tanda yang melingkupi pemaknaan dan bahasa visual serta makna semiotika yang terkandung dalam visualisasi iklan papan reklame kampanye politik Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara 2013.
Objek penelitian ini adalah iklan kampanye politik yang ditampilkan melalui media luar ruang, khususnya dalam bentuk papan reklame (billboard). Iklan papan reklame yang diambil untuk diteliti adalah papan reklame yang beredar dari bulan Januari sampai Maret 2013 dan dibatasi menjadi tiga papan reklame untuk setiap pasangan calon gubernur dan wakil gubernur. Gambar dari iklan papan reklame tersebut kemudian dianalisis menggunakan analisis semiotika. Analisis yang digunakan adalah semiologi Roland Barthes lewat model two order of signification (signifikasi dua tahap). Konsep dasar pemikiran Roland Barthes lebih menekankan kepada interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya dan interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Dengan kata lain inilah gagasan Barthes yang dikenal dengan order of signification’. Barthes melontarkan konsep tentang konotasi dan denotasi sebagai kunci dari analisisnya.
Melalui analisis semiologi Roland Barthes ini, peneliti mendapatkan hasil bahwa pada papan reklame kampanye politik dari Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara kali ini, memiliki ikon, indeks, dan simbol yang begitu beragam. Papan reklame kampanye politik ini, membawa hubungan antara penanda (signifier) dan petanda (signified) ke dalam sebuah tanda sehingga menjelaskan secara nyata sebuah tataran denotatif. Kemudian terdapat pula interaksi antara tanda dengan perasaan atau emosi pembaca serta nilai-nilai kebudayaan di dalam papan reklame, sehingga membawa kepada tataran konotasi yang mempunyai makna tersendiri dan memiliki pengaruh kepada kerangka berpikir dari pembaca. Untuk itu, analisis semiologi Barthes disini berperan untuk menyediakanmetode analisis dan kerangka berpikir, sehingga mengatasi terjadinya salah baca (misreading) ataupun salah dalam mengartikan makna suatu tanda pada iklan papan reklame kampanye politik.
Kata kunci :
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Konteks Masalah
Indonesia saat ini melalui momen-momen aktivitas politik yang melibatkan
masyarakat secara luas, seperti pemilihan umum secara langsung anggota
legislatif, pemilihan langsung presiden (Pilpres) dan pemilihan langsung kepala
daerah (Pilkada). Pemilihan Umum ini merupakan suatu realisasi pelaksanaan
sistem demokrasi pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menilik
dari sejarah, pelaksanakan kegiatan pemilihan umum di Indonesia pertama sekali
diadakan pada tahun 1955, yaitu untuk memilih anggota-anggota
DewanPerwakilan Rakyat (DPR) dan anggota-anggota Dewan Konstituante.
Setelah tahun 1971, pelaksanaan Pemilu di Indonesia mulai terlaksana secara
periodik dan teratur. Pemilu ketiga diselenggarakan 6 tahun lebih setelah Pemilu
1971, yakni tahun 1977, setelah itu terjadwal sekali dalam 5 tahun. Dari segi
jadwal, sejak itulah Pemilu teratur
dilaksanakan.(http://kpud-sumutprov.go.id/sejarah-kpu.html)
Sejak Indonesia merdeka, pemilihan kepala daerah seperti gubernur,
walikota dan bupati hanya dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
setempat. Namun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004
tentang pemerintah daerah, sistem pemilihan kepala daerah kemudian berubah
menjadi pemilihan langsung oleh rakyat. Melalui pemilihan kepala daerah dan
wakil kepala daerah (PILKADA) inilah rakyat disetiap provinsi dapat memilih
pemimpin daerahnya masing-masing.
Tahun 2013 merupakan momentum bagi masyarakat Sumatera Utara
untuk melaksanakan pesta demokrasi. Pemilihan Gubernur Sumatera Utara
(PILGUBSU) 2013 merupakan suatu momen penting bagi masyarakat Sumatera
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumatera Utara telah menetapkan lima pasangan
calon gubernur dan wakil gubernur yang akan ikut serta dalam Pilkada Sumut
2013. Kelima pasangan calon gubsu dan wagubsu tersebut adalah pasangan
dengan nomor urut satu, Gus Irawan Pasaribu dan H.Soekirman; pasangan nomor
urut dua, Effendi M.S. Simbolon-Djumiran Abdi; pasangan nomor urut tiga
dengan Chairuman Harahap dan Fadly Nurzal; pasangan nomor urut empat, Amri
Tambunan dan R.E. Nainggolan; serta pasangan nomor urut lima, dengan Gatot
Pujo Nugroho dan Tengku Erry Nuradi. Pemungutan suara untuk pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara ini diadakan pada tanggal 7 Maret
2013.
Sebelum pemilihan kepala daerah dilangsungkan, para kandidat calon
kepala daerah tersebut diberikan kesempatan untuk melakukan kampanye.
Menurut Kotler dan Roberto (1989), Kampanye adalah sebuah upaya yang
dikelola oleh satu kelompok (agen perubahan) yang ditujukan untuk memersuasi
target sasaran agar bisa menerima, memodifikasi atau mendukung ide, sikap dan
perilaku tertentu (Cangara, 2009:284). Dalam konteks komunikasi politik,
kampanye dimaksudkan untuk memobilisasi dukungan terhadap suatu hal atau
seorang kandidat. Kampanye politik adalah pencitraan, dengan melakukan
pencitraan, penciptaan ulang konsep diri dan kebijakan politik kandidat dengan
menggunakan lambang signifikan dalam berkomunikasi dengan masyarakat.
Dalam pandangan Dan Nimmo dan Robert L.Savage bahwa “there is a
close relationship between candidate image and voting behavior.” Nimmo melihat bahwa kampanye membuat perbedaan, terutama bagi orang-orang yang
bersikap independen dan belum punya pilihan, dapat berubah sikap dan
perilakunya setelah melihat citra calon-calon bertarung. Nimmo lebih jauh melihat
bahwa “political campaign as a process of communication,” dimana pemilih tidak
serta merta merespons isu-isu kampanye tersebut, melainkan melalu proses
pembentukan (construct) pandangan mereka sehingga melalui kampanye akan
tiba pada suatu keputusan setelah menginterpretasi simbol-simbol kampanye yang
menerpa diri mereka sesuai dengan pengalaman yang mereka miliki (Cangara,
Menurut Charles U. Larson (1992), kampanye politik (political campaigns)
disebut juga candidate-oriented campaigns atau kampanye yang berorientasi pada
kandidat yang umumnya dimotivasi oleh hasrat untuk meraih kekuasaan politik.
Tujuannya antara lain adalah untuk memenangkan dukungan masyarakat terhadap
kandidat-kandidat yang diajukan partai politik agar dapat menduduki
jabatan-jabatan politik yang diperebutkan lewat proses pemilihan umum (Rakhmat,
2004:11).
Kegiatan kampanye juga harus memiliki saluran untuk menyampaikan
pesan kampanye. Dahulu media dianggap sebagai komponen komunikasi yang
netral karena dianggap tidak dapat mempengaruhi pemahaman dan penerimaan
pesan oleh khalayak. Namun akhirnya anggapan tersebut digugat oleh Marshall
McLuhan yang secara tegas mengatakan bahwa teknologi komunikasi baru tidak
hanya mengubah jumlah ketersediaan informasi di masyarakat tetapi juga
mempengaruhi isi pesan yang ditransmisikannnya. Dengan kata lain bentuk media
yang mempresentasikan informasi akan menentukan makna pesan yang
‘disampaikan’ dan juga derajat ambiguitas pesan tersebut (Rakhmat 2004:83).
Saluran kampanye tersebut berupa media cetak, media elektronik, media
luar ruang dan media format kecil. Berbagai jenis media tersebut dimanfaatkan
untuk kegiatan publisitas dalam bentuk iklan politik. Iklan merupakan salah satu
bentuk komunikasi yang memiliki daya jangkauan yang luas. Dalam
penyampaiannya, ada iklan yang diucapkan secara lisan dan ada juga yang
muncul dalam tulisan, seperti dalam surat kabar, majalah dan papan reklame.
Melalui Iklan, sebuah produk dapat dikenal oleh masyarakat. Iklan pada
hakikatnya adalah aktivitas menjual pesan (selling message) dengan
menggunakan keterampilan kreatif, seperti copywriting, layout, ilustrasi, tipografi,
scriptwriting dan pembuatan film. (Wibowo Wahyu, 2003: xiii). Iklan merupakan sebuah seni dari persuasi dan dapat didefenisikan sebagai desain komunikasi yang
dibiayai untuk menginformasikan dan membujuk.
Menjelang Pemilu Gubsu 2013 kali ini, media luar ruang (outdoor media)
gubernur untuk menampilkan iklan kampanye politik mereka. Media luar ruang
merupakan media yang ditempatkan pada tempat-tempat yang ramai dan dapat
dilihat orang banyak. Bentuk-bentuk media luar ruang sendiri antara lain : papan
reklame (billboard), spanduk, baliho, iklan bus atau kereta api, elektronic board,
bendera, umbul-umbul, balon dan iklan pohon (Cangara, 2009:378). Dari
beberapa bentuk media luar ruang tersebut, papan reklame (billboard) merupakan
media yang efektif dan sering digunakan dalam kegiatan kampanye. Keunggulan
dari papan reklame ini selain besar dan dipasang di tempat yang strategis, juga
bisa menampilkan gambar dan tulisan yang menarik.
Para calon gubernur dan wakil gubernur biasanya memanfaatkan papan
reklame ini untuk menampilkan gambar diri beserta jargon-jargon politik mereka.
Jargon politik merupakan salah satu alat bahasa untuk berpolitik. Menurut KBBI,
yang disebut dengan jargon adalah kosakata khusus yang dipergunakan dalam
bidang kehidupan (lingkungan) tertentu (Alwi,2003). Jargon politik memiliki
kekuatan yang besar dalam sebuah kampanye politik, khususnya untuk
pencalonan kepala daerah. Jargon politik ini juga memiliki kekuatan untuk
mengubah cara pandang dan opini publik terhadap kandidat serta menjadi alat
untuk membujuk dan meyakinkan masyarakat. Kekuatan bahasa jargon politik ini
juga mampu mendongkrak popularitas dan mengubah image dari kandidat calon
gubernur. Untuk itu bahasa yang digunakan pada jargon politik ini pun dirancang
dan dikreasikan menggunakan bahasa yang efektif dan komunikatif agar dapat
menyihir publik.
Seperti halnya pasangan nomor urut satu, Gus Irawan Pasaribu dan
Soekirman (GUSMAN) yang memilih jargon politik “Perubahan untuk Sumut
Sejahtera”. Lalu ada pasangan nomor urut dua, Effendi Simbolon dan Djumiran
Abdi (ESJA) yang memiliki jargon politik “Sumut 2013 Lebih BerWaRNa –
Bersih Berwibawa Sejahtera dan Berguna”. Pasangan nomor urut tiga, Chairuman
Harahap dan Fadly Nurzal, yang mengangkat jargon politik mereka dengan
“Membangun dari desa”. Pasangan nomor urut empat dengan Amri Tambunan
dan R.E.Nainggolan yang memiliki jargon politik “Membangun dalam
Nugroho dan Tengku Erry Nuradi (GANTENG) yang memiliki jargon politik,
“Merakyat, Membangun, Melayani SUMUT”.
Selain jargon politik, di dalam papan reklame dari masing-masing pasangan
calon gubernur dan wakil gubernur ini menampilkan foto diri mereka
masing-masing. Hal ini tentunya ditujukan agar masyarakat yang melihatnya dapat
mengenal calon pemimpin mereka. Paduan gambar, jargon dan warna yang
menarik pada papan reklame ini menciptakan visualisasi yang dapat
mempengaruhi orang yang melihatnya. Simbol dan tanda yang terdapat dalam
iklan papan reklame kampanye politik pasangan calon Gubernur dan Wakil
Gubernur Sumatera Utara, merupakan elemen dasar pada semiotika. Cara
pengkombinasian tanda serta aturan yang melandasinya memungkinkan untuk
dihasilkannya makna sebuah teks (Piliang, 2012: 304).
Iklan kampanye politik para calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera
Utara periode 2013 yang marak tersebar di setiap ruas jalan besar di kota Medan
ini, sangat menarik untuk diteliti karena penuh dengan simbol-simbol yang
mengandung makna tersendiri. Untuk itu pada penelitian ini digunakan analisis
semiotika dalam menganalisa papan reklame kampanye politik para kandidat
calon gubernur dan wakil gubernur. Hal ini memberikan jalan bagi peneliti untuk
mempresentasikan makna yang terkandung di dalam iklan kampanye politik para
calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara 2013.
1.2 Fokus Masalah
Berdasarkan konteks masalah yang telah diuraikan, peneliti merumuskan
bahwa fokus masalah yang akan diteliti adalah “Bagaimana makna semiotika dan
bahasa visual pada papan reklame iklan kampanye politik calon Gubernur dan
Wakil Gubernur Sumatera Utara 2013?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Penelitian bertujuan untuk mengetahui sistem tanda yang melingkupi
pemaknaan dan bahasa visual pada papan reklame pasangan Calon
Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara 2013.
2. Untuk mengetahui makna semiotika yang terkandung dalam visualisasi
iklan papan reklame kampanye politik calon Gubernur dan Wakil
Gubernur Sumatera Utara 2013 dengan menggunakan semiologi Roland
Barthes.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat Penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Secara Akademis, penelitian ini diharapkan mampu memperluas atau
menambah khasanah penelitian komunikasi dan menambah pengetahuan
dan pengalaman ilmu mahasiswa di Departemen Ilmu Komunikasi
FISIP USU.
2. Secara teoritis, untuk menerapkan ilmu yang telah diperoleh selama
mengikuti perkuliahan di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU
serta menambah wawasan peneliti secara khusus mengenai makna dan
bahasa visual pada papan reklame melalui analisis semiotika.
3. Secara praktis, hasil analisis ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca
agar lebih kritis dalam memaknai pesan yang disampaikan oleh media
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Paradigma Konstruktivisme
Teori konstruktivisme adalah pendekatan secara teoritis untuk komunikasi
yang dikembangkan tahun 1970-an oleh Jesse Deli dan rekan-rekan sejawatnya.
Teori konstruktivisme menyatakan bahwa individu melakukan interpretasi dan
bertindak menurut berbagai kategori konseptual yang ada dalam pikirannya.
Menurut teori ini, realitas tidak menunjukkan dirinya dalam bentuknya yang
kasar, tetapi harus disaring terlebih dahulu melalui bagaimana cara seseorang
melihat sesuatu (Morissan, 2009:107)
Konstruktivisme menolak pandangan positivisme yang memisahkan
subjek dan objek komunikasi. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak
lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan
dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pesan. Konstruktivisme justru
menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta
hubungan-hubungan sosialnya. Subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol
terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana.
Teori konstruktivisme menyatakan bahwa individu menginterpretasikan
dan beraksi menurut kategori konseptual dari pikiran. Realitas tidak
menggambarkan diri individu namun harus disaring melalui cara pandang orang
terhadap realitas tersebut. Teori konstruktivisme dibangun berdasarkan teori yang
ada sebelumnya, yaitu konstruksi pribadi atau konstruksi personal (personal
construct) oleh George Kelly. Ia menyatakan bahwa orang memahami pengalamannya dengan cara mengelompokkan berbagai peristiwa menurut
Paradigma konstruktivisme ialah paradigma dimana kebenaran suatu
realitas sosial dilihat sebagai hasil konstruksi sosial, dan kebenaran suatu realitas
sosial bersifat relatif. Paradigma konstruktivisme ini berada dalam perspektif
interpretivisme (penafsiran) yang terbagi dalam tiga jenis, yaitu interaksi
simbolik, fenomenologis dan hermeneutik. Paradigma konstruktivisme dalam
ilmu sosial merupakan kritik terhadap paradigma positivis. Menurut paradigma
konstruktivisme realitas sosial yang diamati oleh seseorang tidak dapat
digeneralisasikan pada semua orang, seperti yang biasa dilakukan oleh kaum
positivis. Konsep mengenai konstruksionis diperkenalkan oleh sosiolog
interpretative, Peter L.Berger bersama Thomas Luckman. Dalam konsep kajian komunikasi, teori konstruksi sosial bisa disebut berada diantara teori fakta sosial
dan defenisi sosial (Eriyanto 2004:13).
Paradigma konstruktivisme yang ditelusuri dari pemikiran Weber, menilai
perilaku manusia secara fundamental berbeda dengan perilaku alam, karena
manusia bertindak sebagai agen yang mengkonstruksi dalam realitas sosial
mereka, baik itu melalui pemberian makna maupun pemahaman perilaku menurut
Weber, menerangkan bahwa substansi bentuk kehidupan di masyarakat tidak
hanya dilihat dari penilaian objektif saja, melainkan dilihat dari tindakan perorang
yang timbul dari alasan-alasan subjektif. Weber juga melihat bahwa tiap individu
akan memberikan pengaruh dalam masyarakatnya.
Paradigma konstruktivis dipengaruhi oleh perspektif interaksi simbolis dan
perspektif strukturan fungsional. Perspektif interaksi simbolis ini mengatakan
bahwa manusia secara aktif dan kreatif mengembangkan respons terhadap
stimulus dalam dunia kognitifnya. Dalam proses sosial, individu manusia
dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia
sosialnya. Realitas sosial itu memiliki makna manakala realitas sosial tersebut
dikonstruksikan dan dimaknakan secara subjektif oleh individu lain, sehingga
2.2 Interaksionisme Simbolik
Interaksi simbolik pada awalnya merupakan suatu gerakan pemikiran dalam
ilmu sosiologi yang dibangun oleh George Herbert Mead. Mead yang dikenal
sebagai bapak Teori Interaksionisme Simbolik ini menekankan sebuah
pemahaman dunia sosial berdasarkan pentingnya makna yang diproduksi dan
diinterpretasikan melalui simbol-simbol dalam interaksi sosial (Ardianto dan
Anees, 2007:135). Para pemikir dalam tradisi teori interaksionisme simbolik
dibagi menjadi dua aliran, yaitu aliran Iowa dan Chicago.
Aliran Iowa meskipun mengacu pada prinsip-prinsip dasar pemikiran teori
interaksionisme simbolik, kalangan pemikir aliran Iowa banyak yang menganut
tradisi epistemologi dan metodologi post-positivis. Sedangkan Aliran Chicago
banyak melakukan pendekatan interpretif berdasarkan rintisan pemikiran George
Herbert Mead. George Herbert Mead mengemukakan bahwa makna muncul
sebagai hasil interaksi diantara manusia, baik secara verbal maupun nonverbal.
Melalui aksi dan respons yang terjadi, kita memberikan makna ke dalam kata-kata
atau tindakan, dan karenanya kita dapat memahami suatu peristiwa dengan
cara-cara tertentu (Morissan, 2009:75).
Dalam deskripsi Mead, proses “pengambilan peran” menduduki tempat
yang penting. Interaksi berarti bahwa para peserta masing-masing memindahkan
diri mereka secara mental ke dalam posisi orang lain. Dengan berbuat demikian,
mereka mencoba mencari maksud dari aksi yang diberikan oleh pihak lain,
sehingga komunikasi dan interaksi dimungkinkan. Jadi interaksi tidak hanya
berlangsung melalui gerak-gerak saja, melainkan terutama melalui simbol-simbol
yang perlu dipahami dan dimengerti maknanya. Artinya, geraklah yang
menentukan. Dalam interaksi simbolik, orang mengartikan dan menafsirkan
gerak-gerak orang lain dan bertindak sesuai dengan arti itu.
a. Manusia membuat keputusan dan bertindak pada situasi yang dihadapinya
sesuai dengan pengertian subjektifnya.
b. Kehidupan sosial merupakan proses interaksi, kehidupan sosial bukanlah
struktur atau bersifat struktural dan karena itu akan terus berubah.
c. Manusia memahami pengalamannua melalui makna dari simbol yang
digunakan di lingkungan terdekatnya (primary group), dan bahasa
merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan sosial.
d. Dunia terdiri atas berbagai objek sosial yang memiliki nama dan makna
yang ditentukan secara sosial.
e. Manusia mendasarkan tindakannya atas interpretasi mereka, dengan
mempertimbangkan dan mendefenisikan objek-objek dan tindakan yang
relevan pada situasi saat itu.
f. Diri seseorang adalah objek signifikan dan sebagaimana objek sosial
lainnya, diri didefenisikan melalui interaksi sosial dengan orang lain.
Karya Mead yang paling terkenal yang berjudul Mind, Self, and Society,
menggarisbawahi tiga konsep kritis yang dibutuhkan dalam menyusun sebuah
diskusi tentang teori interaksionisme simbolik. Ketiga konsep ini saling
memengaruhi satu sama lain dalam teori interaksionisme simbolik. Ketiga konsep
tersebut adalah pikiran manusia (mind), diri (self), dan masyarakat (society).
Pikiran manusia (mind) dan interaksi sosial diri (self) dengan yang lain digunakan
untuk menginterpretasikan dan memediasi masyarakat (society) dimana kita
hidup. Ketiga konsep tersebut memiliki aspek-aspek yang berbeda, namun berasal
dari proses umum yang sama, yang disebut ‘tindakan sosial’ (social act).
Tindakan sosial (social act) adalah suatu unit tingkah laku lengkap yang tidak
dapat dianalisis ke dalam subbagian tertentu (Morissan, 2009:144).
Mead mendefenisikan pikiran (mind) sebagai kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama. Mead percaya
bahwa manusia harus mengembangkan pikiran melalui interaksi dengan orang
lain. Bayi tidak dapat benar-benar berinteraksi dengan orang lainnya sampai ia
mempelajari bahasa (language), atau sebuah sistem simbol verbal dan nonverbal
Bahasa bergantung pada apa yang disebut Mead sebagai simbol signifikan
(significant symbol), atau simbol-simbol yang memunculkan makna yang sama
bagi banyak orang (West dan Turner, 2009:105). Contohnya, ketika orangtua
berbicara dengan lembut kepada bayinya, bayi itu mungkin akan memberikan
respons, tetapi dia tidak seutuhnya memahami makna dari kata-kata yang
digunakan orangtuanya. Namun ketika bayi tersebut mulai mempelajari bahasa,
bayi itu melakukan pertukaran makna atau simbol-simbol signifikan dan dapat
mengantisipasi respons orang lain terhadap simbol-simbol yang digunakan. Hal
ini, menurut Mead adalah bagaimana suatu kesadaran berkembang.
Dengan menggunakan bahasa dan berinteraksi dengan orang lain, kita
mengembangkan pikiran dan ini membuat kita mampu menciptakan setting
interior bagi masyarakat yang kita lihat beroperasi di luar diri kita. Jadi, pikiran
dapat digambarkan sebagai cara orang menginternalisasi masyarakat. Namun,
pikiran tidak hanya bergantung pada masyarakat. Mead menyatakan bahwa
keduanya mempunyai hubungan timbal balik. Pikiran merefleksikan dan
menciptakan dunia sosial. Ketika seseorang belajar bahasa, ia belajar berbagai
norma sosial dan aturan budaya yang mengikatnya. Selain itu, ia juga mempelajari
cara-cara untuk membentuk dan mengubah dunia sosial melalui interaksi.
Menurut Mead, salah satu dari aktivitas penting yang diselesaikan orang
melalui pemikiran adalah pengambilan peran (role taking), atau kemampuan
untuk secara simbolik menempatkan dirinya sendiri dalam diri khayalan dari
orang lain. Proses ini juga disebut pengambilan perspektif karena kondisi ini
mensyaratkan bahwa seseorang menghentikan perspektifnya sendiri terhadap
sebuah pengalaman dan sebaliknya membayangkannya dari perspektif orang lain.
Mead menyatakan bahwa pengambilan peran adalah sebuah tindakan simbolis
yang dapat membantu menjelaskan perasaan kita mengenai diri dan juga
memungkinkan kita untuk mengembangkan kapasitas untuk berempati dengan
orang lain.
berasal dari introspeksi atau dari pemikiran sendiri yang sederhana, melainkan
dari bagaimana kita dilihat oleh orang lain. Meminjam konsep yang berasal dari
sosiologis Charles Cooley, Mead menyebut hal tersebut sebagai cermin diri
(looking-glass self), atau kemampuan kita untuk melihat diri kita sendiri dalam
pantulan dari pandangan orang lain. Cooley (1972) meyakini tiga prinsip
pengembangan yang dihubungkan dengan cermin diri, yaitu : pertama, kita
membayangkan bagaimana kita terlihat di mata orang lain; Kedua, kita
membayangkan penilaian mereka mengenai penampilan kita; ketiga, kita merasa
tersakiti atau bangga berdasarkan perasaan pribadi ini. Pemikiran Mead mengenai
cermin diri ini mengimplikasikan kekuatan yang dimiliki label terhadap konsep
diri dan perilaku. Label menggambarkan prediksi pemenuhan diri, yaitu harapan
pribadi yang memengaruhi perilaku.
Ketika Mead berteori mengenai diri, ia mengamati bahwa melalui bahasa
orang mempunyai kemampuan untuk menjadi subjek dan objek bagi dirinya
sendiri. Sebagai subjek, kita bertindak, dan sebagai objek, kita mengamati diri kita
sendiri bertindak. Mead menyebut subjek, atau diri yang bertindak sebagai I, dan objek atau diri yang mengamati sebagai Me. I bersifat spontan, impulsif, dan kreatif, sedangkan Me lebih reflektif dan peka secara sosial. Mead melihat diri
sebagai sebuah proses yang mengintegrasikan antara I dan Me.
Mead mendefenisikan masyarakat (society) sebagai jejaring hubungan sosial
yang diciptakan manusia. Individu-individu terlibat di dalam masyarakat melalui
perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela. Jadi, masyarakat
menggambarkan keterhubungan beberapa perangkat perilaku yang terus
disesuaikan oleh individu-individu. Masyarakat ada sebelum individu tetapi juga
tetapi juga diciptakan dan dibentuk oleh individu, dengan melakukan tindakan
sejalan dengan orang lain.
Mead berbicara mengenai dua bagian penting masyarakat yang
teman, dan kolega di tempat kerja. Identitas dari orang lain secara khusus dan
konteksnya memengaruhi perasaan akan penerimaan sosial kita dan rasa mengenai
diri kita.
Orang lain secara umum (generalized other) merujuk pada cara pandang dari sebuah kelompok sosial atau budaya sebagai suatu keseluruhan. Hal ini
diberikan oleh masyarakat kepada kita, dan “sikap dari orang lain secara umum
adalah sikap dari keseluruhan komunitas” (Mead, 1934:154). Orang lain secara
umum menyediakan informasi mengenai peranan, aturan, dan sikap yang dimiliki
bersama oleh komunitas. Orang lain secara umum juga memberikan kita perasaan
mengenai bagaimana orang lain bereaksi kepada kita dan harapan sosial secara
umum. Perasaan ini berpengaruh dalam mengembangkan kesadaran sosial.
Herbert Blumer, mahaguru Universitas California di Berkeley, seperti
dikutip Veeger (1993), telah berusaha memadukan konsep-konsep Mead ke dalam
suatu teori sosiologi yang sekarang dikenal dengan nama interaksionisme
simbolik, sebuah ekspresi yang tidak pernah digunakan Mead sendiri. Blumer menyebutnya istilah tersebut sebagai, “a somewhat barbaric neologism that I
coined in an offhand way... The term somehow caught on” (sebuah kata baru kasar yang aku peroleh tanpa pemikiran... Istilah yang terjadi begitu saja)
(Littlejohn, 1996:160).
Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas
manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna (Mulyana,
2001:68). Herbert Blumer kemudian menyambung gagasan-gagasan Mead yang
tertulis dalam karangannya yang berjudul “Sociological Implications of the
Thought of George Herbert Mead”dan bukunya Symbolic Interactionism : Perspectove and Method (1969).
Pertama, konsep diri. Menurut Blumer, manusia bukan semata-mata organisme yang bergerak dibawah pengaruh perangsang-perangsang dari luar
maupun dalam, melainkan “organisme yang sadar akan dirinya” (an organism
Kedua, konsep perbuatan (action). Dalam pandangan Blumer, karena perbuatan manusia dibentuk dalam dan melalui proses interaksi dengan diri
sendiri, maka perbuatan itu berlainan sama sekali dari gerak makhluk-makhluk
yang bukan manusia. Manusia menghadapkan diri pada macam-macam hal seperti
kebutuhan, perasaan, tujuan, perbuatan orang lain, pengharapan dan tuntutan
orang lain, peraturan-peraturan masyarakatnya, situasinya, self image-nya,
ingatannya, dan cita-citanya untuk masa depan.
Ketiga, konsep objek. Blumer memandang, manusia hidup di tengah objek-objek. Kata “objek” dimengerti dalam arti luas dan meliputi semua yang menjadi
sasaran perhatian aktif manusia. Kata Blumer, objek dapat bersifat fisik seperti
kursi, atau khayalan, kebendaan, ataupun hal yang bersifat abstrak seperti konsep
kebebasan.
Keempat, konsep interaksi sosial. Interaksi dalam pandangan Blumer adalah bahwa para peserta masing-masing memindahkan diri mereka secara
mental ke dalam posisi orang lain. Oleh penyesuaian timbal-balik, proses interaksi
dalam keseluruhannya menjadi suatu proses yang melebihi jumlah total
unsur-unsurnya berupa maksud, tujuan dan sikap masing-masing peserta.
Kelima, konsep joint action. Pada konsep ini Blumer mengganti istilah social act dari Mead dengan istilah joint action. Artinya aksi kolektif yang lahir dimana perbuatan-perbuatan masing-masing peserta dicocokkan dan diserasikan
satu sama lain. Sebagai contoh, Blumer menyebutkan: transaksi dagang, makan
bersama keluarga, upacara perkawinan, dan sebagainya. realitas sosial dibentuk
dari joint actions dan merupakan objek sosiologi yang sebenarnya.
Pemikiran Blumer memiliki pengaruh cukup luas dalam berbagai riset
sosiologi. Blumer berhasil mengembangkan teori interaksionisme simbolik pada
tingkat metode yang cukup rinci. Teori interaksionisme simbolik yang dimaksud
Blumer bertumpu pada tiga premis utama, yaitu :
1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada
2. Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan
orang lain.
3. Makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial
sedang berlangsung.
2.3 Semiotika
Semiotika berasal dari bahasa Yunani semeion yang berarti ‘tanda’ atau
seme yang berarti ‘penafsir tanda’. Tanda-tanda (signs) adalah basis dari seluruh komunikasi (Littlejohn, 1996:64). Semiotika adalah studi mengenai tanda (signs)
dan simbol yang merupakan tradisi penting dalam pemikiran tradisi komunikasi.
Tradisi semiotika mencakup teori utama mengenai bagaimana tanda mewakili
objek, ide, situasi, keadaan, perasaan, dan sebagainya yang berada di luar diri
(Morissan, 2009:27).
Konsep dasar yang menyatukan tradisi semiotika ini adalah ‘tanda’ yang
diartikan sebagai suatu stimulus yang mengacu pada sesuatu yang bukan dirinya
sendiri. Semiotika, atau dalam istilah Roland Barthes, semiologi, pada dasarnya
hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal
(things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan
dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa
objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek-objek-objek itu hendak
berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Barthes,
1988:179).
Semiotika didefenisikan oleh Ferdinand de Saussure di dalam Course in
General Linguistic, sebagai ilmu yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Implisit dalam defenisi Saussure adalah prinsip bahwa
semiotika sangat menyandarkan dirinya pada aturan main atau kode sosial yang
berlaku di dalam masyarakat, sehingga tanda dapat dipahami maknanya secara
kolektif (Piliang, 2012:300). Saussure dengan model dyadic, menyatakan bahwa
tanda terdiri atas : signifier (signifiant) yaitu forma atau citra tanda tersebut, atau
dengan kata lain wujud fisik dari tanda; dan signified (signifie) yaitu konsep yang
yang tak dapat dipisahkan dari bidang penanda (signifier) dan bidang petanda
(signified). Suatu penanda tanpa petanda tidak memiliki arti apa-apa.
Charles Sanders Pierce, pendiri semiotika modern, mendefenisikan
semiotika sebagai suatu hubungan antara tanda (simbol), objek dan makna. Tanda
mewakili objek (referent) yang ada di dalam pikiran orang yang
menginterpretasikannya (interpreter). Pierce menyatakan bahwa representasi dari
suatu objek dengan interpretant. Tanda merupakan sesuatu yang hidup dan
dihidupi (cultivated). Tanda dan referen harus saling bekerja sama agar suatu
tanda dapat berfungsi. Pierce mengatakan bahwa tanda-tanda berkaitan dengan
objek-objek yang menyerupainya dimana keberadaannya memiliki hubungan
sebab-akibat dengan tanda atau karena ikatan konvensional dengan
tanda-tanda tersebut. Ia menggunakan istilah icon untuk kesamaannya, indeks untuk
hubungan sebab-akibat, dan symbol untuk asosiasi konvensional.
Pembagian tipe-tipe tanda berdasarkan objeknya menjadi ikon, indeks dan
simbol menjadi sangat bermanfaat dan fundamental mengenai sifat tanda. Tanda
merupakan suatu yang mewakili sesuatu yang dapat berupa pengalaman, pikiran,
gagasan atau perasaan. Jika sesuatu misalnya A adalah asap hitam yang mengepul
dari kejauhan, maka ia dapat mewakili B, yang misalnya sebuah kebakaran
(pengalaman). Tanda semacam ini dapat disebut sebagai indeks yakni antara A
dan B ada ketertarikan (contiguity). Tanda juga bisa berupa lambang ataupun
simbol, seperti contoh burung dara yang sudah diyakini sebagai tanda atau
lambang perdamaian. Burung dara tidak dapat begitu saja digantikan dengan
burung atau hewan yang lainnya.
Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan dalam bentuk alamiah. Atau dengan kata lain, ikon adalah hubungan
antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan (Sobur, 2004:41).
Contohnya saja potret foto seseorang yang dapat dikatakan sebagai suatu ikon,
begitu juga dengan peta atau gambar yang ditempel pada pintu kamar kecil pria
dan wanita yang merupakan sebuah ikon. Pada dasarnya ikon adalah suatu tanda
yang disebut sebagai objek acuan tersebut tidak hadir. Ikon adalah suatu benda
fisik (dua atau tiga dimensi) yang menyerupai apa yang dipresentasikannya.
Model tanda objek interpretant dari Pierce merupakan sebuah ikon dalam
upayanya mereproduksi dalam konkret struktur relasi yang abstrak diantara
unsur-unsurnya. Dapat pula dikatakan sebagai ikon atau tanda yang memiliki ciri yang
sama dengan apa yang dimaksudkan. Contohnya: Peta Indonesia yang merupakan
ikon dari wilayah Indonesia yang tergambar dalam peta tersebut, atau foto
Megawati sebagai ikon presiden perempuan pertama di Indonesia.
Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda
yang langsung mengacu pada kenyataan (Sobur, 2004:42). Contohnya yang paling
jelas adalah asap sebagai tanda adanya api. Selain itu, tanda tangan (signature)
merupakan indeks dari keberadaan seseorang yang menorehkan tanda tanda
tangan tersebut.
Simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dan petandanya. Simbol juga merupakan tanda yang berdasarkan konvensi
(perjanjian) atau peraturan yang telah disepakati bersama. Simbol dapat dipahami
jika seseorang sudah mengerti arti yang telah disepakati sebelumnya. Contohnya
seperti burung Garuda bagi masyarakat Indonesia adalah sebagai lambang
Pancasila yang memiliki makna, namun bagi orang yang memiliki latar budaya
yang berbeda sepeti orang indian, mereka menganggap burung garuda dianggap
seperti burung yang biasa saja dan tidak memiliki arti apa-apa.
Hubungan antara ikon, indeks dan simbol tersebut memiliki sifat
konvensional. Hubungan antara simbol, thought of reference (pikiran atau
referensi) dengan referent (acuan) dapat digambarkan melalui bagan semiotic
Pikiran atau Referensi
Simbol Acuan
Gambar 2.1 : Semiotic Triangle Ogden and Richards
Sumber : Sobur, Alex.2004. Semiotika Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Hlm.159
Berdasarkan bagan di atas dapat dijelaskan bahwa pikiran merupakan
mediasi antara simbol dan acuan. Atas dasar hasil pemikiran itu pula terbuahkan
referensi yang merupakan hasil penggambaran maupun konseptualisasi acuan
simbolik. Dengan demikian referensi merupakan gambaran hubungan antara tanda
kebahasaan berupa kata-kata maupun kalimat dengan dunia acuan yang
membuahkan satuan pengertian tertentu. Simbol berbeda dengan tanda. Tanda
berkaitan langsung dengan objek, sedangkan simbol memerlukan proses
pemaknaan yang lebih intensif setelah menghubungkan dia dengan objek. Dengan
kata lain, simbol lebih substansif daripada tanda.
Semiotika dibagi ke dalam tiga wilayah, yaitu:
1. Semantik
Semantik membahas bagaimana tanda berhubungan dengan
referennya, atau apa yang diwakili suatu tanda. Semiotika
menggunakan dua dunia, yaitu dunia benda (world of things) dan dunia
tanda (world of signs) dan menjelaskan hubungan keduanya. Prinsip
dasar semiotika adalah bahwa representasi selalu diperantarai atau
dimediasi oleh kesadaran interpretasi seorang individu, dan setiap
interpretasi atau makna dari suatu tanda akan berubah dari satu situasi
ke situasi lainnya (Morissan, 2009: 29).
2. Sintaktik
Sintaktik (syntactics) yaitu studi mengenai hubungan diantara
tanda adalah selalu menjadi bagian dari sistem tanda yang lebih besar
atau kelompok tanda yang diorganisir melalui cara tertentu. Sistem
tanda seperti ini disebut dengan kode (code). Secara umum, sintaktik
sebagai aturan yang digunakan manusia untuk menggabungkan atau
mengkombinasi berbagai tanda ke dalam suatu sistem makna yang
kompleks. Aturan yang terdapat pada sintatik memungkinkan manusia
menggunakan berbagai kombinasi tanda yang sangat banyak untuk
mengungkapkan arti atau makna (Morissan 2009:30).
3. Pragmatik
Pragmatik adalah bidang yang mempelajari bagaimana tanda
menghasilkan perbedaan dalam kehidupan manusia, atau dengan kata
lain studi yang mempelajari penggunaan tanda serta efek yang
dihasilkan tanda. Aspek pragmatik dari tanda memiliki peran penting
dalam komunikasi, khususnya untuk mempelajari mengapa terjadi
pemahaman (understanding) atau kesalahpahaman (misunderstanding)
dalam berkomunikasi (Morissan 2009:30).
2.4 Semiologi Roland Barthes
Kancah penelitian semiotika tidak bisa begitu saja melepaskan nama Roland
Barthes, ahli semiotika yang ahli semiotika yang mengembangkan kajian yang
sebelumnya punya warna kental strukturalisme kepada semiotika teks. Barthes
berpendapat bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan
asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Roland Barthes
adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks
pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi
kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan
makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya. Roland Barthes
meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan
pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam
Barthes ini dikenal dengan “order of significations” (Kriyantono, 2010 : 272).
Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya dalam tanda
adalah peran pembaca (the reader).
Tradisi Semiotika pada awal kemunculannya hanya sebatas makna-makna
denotatif atau semiotika denotasi. Sementara bagi Barthes ada makna lain yang
bermain pada level yang lebih mendalam, yaitu pada level konotasi. Tambahan ini
adalah sumbangan dari Barthes yang sangat berharga untuk menyempurnakan
pemikiran Saussure, yang hanya berhenti pada tataran denotatif semata. Dengan
membuka wilayah pemaknaan konotatif ini, pembaca teks dapat memahami
penggunaan bahasa kiasan dan metafora yang tidak mungkin dapat dilakukan
pada level denotatif (Manneke Budiman, dalam Christomy dan Yuwono,
2004:255). Barthes melontarkan konsep tentang konotasi dan denotasi ini sebagai
kunci dari analisisnya. Dalam Mithologies-nya (1983) secara tegas ia
membedakan antara denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama dengan
sistem pemaknaan tataran kedua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada
sebelumnya. Sistem kedua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif.
Lewat model Signifikasi dua tahap (two order of signification) Barthes
menjelaskan bahwa denotasi atau signifikansi tahap pertama merupakan hubungan
antara penanda (signifier) dan petanda (signified) di dalam sebuah tanda terhadap
realitas external. Itu yang disebut Barthes sebagai denotasi yaitu makna paling
nyata dari tanda (sign). Denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama,
sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Hal ini menggambarkan interaksi
yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca seta
nilai-nilai dari kebudayaannya. Konotasi mempunyai makna yang subjektif dan
paling tidak intersubjektif. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang
digambarkan tanda terhadap sebuah objek, sedangkan makna konotasi adalah
bagaimana cara mengggambarkannya (Wibowo, 2011:37).
Konotasi bekerja dalam tingkat subjektif sehingga kehadirannya tidak
disadari. Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda tetap membutuhkan
konotatif sebagai fakta denotatif. Karena itu, salah satu tujuan analisis semiotika
adalah untuk menyediakan metode analisis dan kerangka berpikir dan mengatasi
terjadinya salah baca (misreading) atau salah dalam mengartikan makna suatu
tanda. Penanda-penanda konotasi, yang dapat disebut sebagai konotator terbentuk
dari tanda-tanda (kesatuan penanda dan petanda) dari sistem yang bersangkutan.
Beberapa tanda dapat membentuk sebuah konotator tunggal.
Dalam iklan, susunan tanda-tanda nonverbal dapat menutupi pesan yang
ditunjukkan. Citra yang terbangun di dalamnya meninggalkan ‘pesan lain’, yakni
sesuatu yang berada di bawah citra kasar atau penanda konotasinya. Sedangkan
untuk petanda konotasi, karakternya umum, global dan tersebar sekaligus
menghasilkan fragmen ideologis. Dapat dikatakan bahwa ideologi adalah suatu
form penanda-penanda konotasi, sementara tampilan iklan melalui ungkapan atau gaya verbal, nonverbal dan visualisasinya merupakan elemen bentuk (form) dari
konotator-konotator.
Konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebut sebagai ’mitos’ dan
berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai
dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Konotasi merupakan aspek
bentuk dari tanda, sedangkan mitos adalah muatannya. Dalam mitos juga terdapat
pola tiga dimensi penanda, petanda dan tanda pada sistem pemaknaan tataran
kedua
mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya, atau
dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran kedua. Di
dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki penanda (Sobur, 2004:71).
Misalnya saja Imperialisme Inggris, yang ditandai oleh berbagai ragam penanda
seperti teh, bendera Union Jack serta bahasa Inggris yang menjadi bahasa
internasional. Artinya dalam segi jumlah, petanda lebih miskin jumlahnya
daripada penanda, sehingga dalam praktiknya terjadilah pemunculan sebuah
konsep secara berulang-ulang dalam bentuk-bentuk yang berbeda.
Dalam realitas yang termediasi, banyak mitos yang diciptakan media di
dalam tingkat bahasa yang dalam bahasa Barthes disebut sebagai ‘adibahasa’ atau
metalanguage (Strinati, 1995 : 113). Dibukanya pemaknaan konotatif dalam kajian semiotika memungkinkan ‘pembaca’ iklan memaknai bahasa metaforik
yang maknanya hanya dapat dipahami pada tataran konotatif. Dalam mitos,
hubungan antara penanda dan petanda terjadi secara termotivasi. Berbeda dengan
level denotasi yang tidak menampilkan makna (petanda) yang termotivasi, level
konotasi menyediakan ruang bagi berlangsungnya motivasi makna ideologis.
Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja, berikut peta
tanda Roland Barthes :
Gambar 2.2 : Semiologi Roland Barthes
Sumber :
Pada tingkatan pertama (Language), Barthes meperkenalkan signifier (1)
dan signified (2), yang gabungan keduanya menghasilkan sign (3) pada tingkatan
pertama. Pada tingkatan kedua, sign (3) kembali menjadi signifier (I) dan
digabungkan dengan signified (II) dan menjadi sign (III). Sign yang ada di tingkatan kedua inilah yang berupa myth (mitos) disebut juga sebagai
metalanguage. Di sini dapat dikatakan bahwa makna denotatif adalah makna yang digunakan untuk mendeskripsikan makna definisional, literal, gamblang atau
common sense dari sebuah tanda dan makna konotatif mengacu pada asosiasi-asosiasi budaya sosial dan personal berupa ideologis, emosional dan lain
Roland Barthes dalam bukunya S/Z seperti dikutip Yasraf A.Piliang
mengelompokkan kode-kode menjadi lima kisi-kisi kode, yakni :
Kode hermeneutik, yaitu artikulasi sebagai cara pertanyaan, teka-teki, respons, enigma, penangguhan jawaban, akhirnya menuju pada jawaban. Atau
dengan kata lain, kode hermeneutik berhubungan dengan teka-teki yang timbul
dalam sebuah wacana. Siapakah mereka? Apa yang terjadi? Halangan apakah
yang muncul? Bagaimanakah tujuannya? Jawaban yang satu menunda yang lain.
Kode Semantik, yaitu kode yang mengandung konotasi pada level penanda. Misalnya konotasi feminitas, maskulinitas. Dengan kata lain, kode
semantik adalah tanda-tanda yang ditata sehingga memberikan suatu konotasi
maskulin, feminim, kebangsaan, kesukuan, loyalitas.
Kode Simbolik, yaitu kode yang berkaitan dengan psikoanalisis, antitesis, kemenduaan, pertentangan dua unsur, skizofrenia. Kode narasi atau proairetik,
yaitu kode yang mengandung cerita, urutan, narasi atau antinarasi. Terakhir ada
Kode kebudayaan atau kultural, yaitu suara-suara yang bersifat kolektif, anonim,
bawah sadar, mitos, kebijaksanaan, pengetahuan, sejarah, moral, psikologi, sastra,
seni dan legenda.
Roland Barthes menganalisa iklan berdasarkan iklan yang dikandungnya
berupa :
1. Pesan linguistik (semua kata dan kalimat dalam iklan)
2. Pesan ikonik yang terkodekan (konotasi yang muncul dalam foto iklan
yang hanya dapat berfungsi jika dikaitkan dengan sistem tanda yang lebih
luas dalam masyarakat)
2.5 Desain Komunikasi Visual
Sejak awal sejarah terciptanya manusia di dunia ini, komunikasi antar
manusia merupakan bagian yang paling penting dalam kehidupan. Selain
kata-kata, unsur rupa juga sangat berperan dalam kegiatan berkomunikasi tersebut.
Komunikasi visual hadir sebagai suatu sistem pemenuhan kebutuhan manusia di
bidang informasi visual melalui lambang-lambang kasat mata. Komunikasi visual
merupakan komunikasi yang menggunakan bahasa visual, dimana unsur dasar
bahasa visual yang menjadi kekuatan utama dalam menyampaikan komunikasi,
adalah segala sesuatu yang dapat dilihat dan dapat dipakai untuk menyampaikan
arti, makna atau pesan. Sekalipun ungkapan visual ditujukan untuk indra
penglihatan, tetapi melaui konsep multimedia dapat dikembangkan imajinasi dan
kreatifitas dengan berbagai kemungkinan.
Desain komunikasi visual adalah suatu disiplin ilmu yang bertujuan
mempelajari konsep-konsep komunikasi serta ungkapan kreatif melalui berbagai
media untuk menyampaikan pesan dan gagasan secara visual dengan mengelola
elemen-elemen grafis berupa bentuk dan gambar, tatanan huruf, komposisi warna,
lay out bahkan musik ataupun suara. Dengan demikian gagasan bisa diterima oleh orang atau kelompok yang menjadi sasaran penerima pesan (Kusrianto, 2007:2).
Keberadaan desain komunikasi visual sangat lekat dengan hidup dan
kehidupan kita sehari-hari. Komunikasi visual tidak bisa lepas dari sejarah
manusia karena menjadi salah satu usaha manusia untuk meningkatkan kualitas
hidup. Bagi Widagdo (1993:31) desain komunikasi visual dalam pengertian
modern adalah desain yang dihasilkan dari rasionalitas. Dilandasi pengetahuan,
bersifat rasional dan pragmatis. Jagat desain komunikasi visual senantiasa
dinamis, penuh gerak dan perubahan. Hal itu karena peradaban dan ilmu
pengetahuan modern memungkinkan lahirnya industrialisasi. Sebagai produk
kebudayaan yang terkait dengan sistem sosial dan ekonomi, desain komunikasi
visual juga berhadapan dengan konsekuensi sebagai produk massal dan konsumsi
Desain komunikasi visual pada dasarnya merupakan bagian desain grafis
yang memiliki cakupan elemen yang luas. Desain komunikasi visual hanya
terbatas sebagai ilmu yang mempelajari segala upaya untuk menciptakan suatu
rancangan (desain) yang bersifat kasat mata (visual) untuk mengkomunikasikan
pesan. Misalnya dalam bentuk poster, iklan media cetak, ataupun foto. Elemen
atau unsur adalah bagian dari suatu karya desain. Elemen-elemen tersebut saling
berhubungan satu sama lain dimana masing-masing elemen memiliki sikap
tertentu terhadap yang lain. Misalnya, sebuah garis mengandung warna dan style
garis yang utuh, yang terputus-putus, yang mempunyai tekstur bentuk dan
sebagainya. Elemen-elemen seni visual ini tersusun dalam suatu bentuk organisasi
dasar prinsip-prinsip desain.
Pada prinsipnya desain komunikasi visual adalah perancangan guna
menyampaikan pola pikir dari penyampai pesan kepada penerima pesan, dalam
bentuk visual yang komunikatif, efektif, efesien, tepat, terpola, terpadu serta
estetis melalui media tertentu sehingga dapat mengubah sikap positif sasaran.
Seorang desainer komunikasi visual adalah penerjemah dalam komunikasi
gagasan yang tidak sama seperti seniman yang mementingkan ekspresi perasaan
dalam dirinya. Karena itulah desain komunikasi visual mengajarkan berbagai
bahsa visual yang dapat digunakan untuk menerjemahkan pikiran dalam bentuk
visual. Desainer komunikasi visual harus memahami seluk beluk pesan yang ingin
disampaikannya. Ia juga harus mempunyai kemampuan menafsir, kecendrungan
dan kondisi fisik ataupun jiwa dari manusia atau kelompok masyarakat yang
menjadi sasarannya. Selain itu, seorang desainer komunikasi visual harus dapat
memilih jenis bahasa dan gaya bahasa yang sesuai dengan pesan yang
dibawakannya serta tepat untuk diterima secara efektif oleh penerima pesan.
Dalam perkembangannya selama beberapa abad desain komunikasi visual
menurut Cenadi (1994:4) mempunyai tiga fungsi dasar, yaitu:
a. Desain komunikasi visual sebagai sarana identifikasi
Fungsi dasar yang utam dari desain komunikasi visual adalah sebagai
atau dari mana asalnya. Demikian juga dengan suatu benda, produk
ataupun lembaga, jika mempunyai identitas akan dapat mencerminkan
kualitas produk atau jasa itu dan mudah dikenali, baik oleh baik oleh
produsennya maupun konsumennya. Kita akan lebih mudah membeli
minyak goreng dengan menyebutkan merek X ukuran Y liter daripada
hanya mengatakan membeli minyak goreng saja. Atau kita akan membeli
minyak goreng merek X karena logonya berkesan bening, bersih, dan
sehat. Jika desain komunikasi visual digunakan untuk identifikasi
lembaga seperti sekolah, maka orang akan lebih mudah menentukan
sekolah A atau B sebagai favorit, karena sering berprestasi dalam kancah
nasional atau meraih peringkat tertinggi di daerah itu.
b. Desain komunikasi visual sebagai sarana informasi dan instruksi
Sebagai sarana sarana informasi dan instruksi, desain komunikasi visual
bertujuan menunjukkan hubungan antara suatu hal dengan hal yang lain
dalam petunjuk, arah, posisi dan skala, contohnya peta, diagram, simbol
dan penunjuk arah. Informasi akan berguna apabila dikomunikasikan
kepada orang yang tepat, pada waktu dan tempat yang tepat, dalam bentuk
yang dapat dimengerti, dan dipresentasikan secara logis dan konsisten.
Simbol-simbol yang kita jumpai sehari-hari seperti tanda dan rambu lalu
lintas, simbol-simbol di tempat-tempat umum seperti telepon umum,
toilet, restoran dan lain-lain harus bersifat informatif dan komunikatif,
dapat dibaca dan dimengerti oleh orang dari berbagai latar belakang dan
kalangan. Inilah sekali lagi salah satu alasan mengapa desain komunikasi
visual harus bersifat universal.
c. Desain komunikasi visual sebagai sarana presentasi dan promosi
Tujuan dari desain komunikasi visual sebagai sarana presentasi dan
promosi adalah untuk menyampaikan pesan, mendapatkan perhatian
(atensi) dari mata (secara visual) dan membuat pesan tersebut dapat
diingat; contohnya poster. Penggunaan gambar dan kata-kata yang
Umumnya, untuk mencapai tujuan ini, maka gambar dan kata-kata yang
digunakan bersifat persuasif dan menarik, karena tujuan akhirnya adalah
menjual suatu produk atau jasa.
Komunikasi visual sebagai suatu sistem pemenuhan kebutuhan manusia di
bidang informasi visual melalui lambang-lambang kasat mata, dewasa ini
mengalami perkembangan sangat pesat. Hampir di segala sektor kegiatan,
lambang-lambang atau simbol-simbol visual hadir dalam bentuk gambar, sistem
tanda, coorporate identity, sampai berbagai display produk di pusat pertokoan dengan aneka daya tarik. Gambar merupakan salah satu wujud lambang atau
bahasa visual yang di dalamnya terkandung struktur rupa seperti: garis, warna dan
komposisi. Keberadaannya dikelompokkan dalam kategori bahasa komunikasi
non verbal, berbeda dengan bahasa verbal yang berwujud tulisan atau ucapan.
Desain komunikasi visual sendiri banyak memanfaatkan daya dukung gambar
sebagai lambang visual pesan, guna mengefektifkan komunikasi (Tinarbuko,
2003:32).
Semiotika Komunikasi Visual adalah sebuah upaya memberikan interpretasi
terhadap keilmuan semiotika itu sendiri, yaitu semiotika sebagai metode
pembacaan karya komunikasi visual. Dilihat dari sudut pandang semiotika, desain
komunikasi visual adalah sistem semiotika khusus, dengan perbendaharaan tanda
(vocabulary) dan sintaks (syntagm) yang khas. Di dalam sistem semiotika
komunikasi visual melekat fungsi komunikasi, yaitu fungsi tanda dalam
menyampaikan pesan dari sebuah pengirim pesan kepada para penerima tanda
berdasarkan aturan atau kode-kode tertentu. Fungsi komunikasi mengharuskan
ada relasi (satu atau dua arah) antara pengirim dan penerima pesan, yang
dimediasi oleh media tertentu (Piliang, 2012: 339).
Upaya mendayagunakan lambang-lambang visual ini berangkat dari premis
bahwa bahasa visual memiliki karakteristik yang bersifat khas bahkan sangat
istimewa untuk menimbulkan efek tertentu pada pengamatnya. Hal demikian ada
kalanya sulit dicapai bila diungkapkan dengan bahasa verbal. Menurut Umar Hadi