KAJIAN PENGARUH LAJU ALIR GAS SO3 DAN SUHU REAKSI
SULFONASI PADA KARAKTERISTIK SURFAKTAN METHYL ESTER SULFONATES ACID DARI JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DENGAN
MENGGUNAKAN SINGLE TUBE FALLING FILM REACTOR
Oleh:
NOVIANUS EFRAT F34052268
2010
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
KAJIAN PENGARUH LAJU ALIR GAS SO3 DAN SUHU REAKSI
SULFONASI PADA KARAKTERISTIK SURFAKTAN METHYL ESTER SULFONATES ACID DARI JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DENGAN
MENGGUNAKAN SINGLE TUBE FALLING FILM REACTOR
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh:
NOVIANUS EFRAT F34052268
2010
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
SKRIPSI
Judul : Kajian Pengaruh Laju Alir Gas So3 dan Suhu Reaksi Sulfonasi pada Karakteristik Surfaktan Methyl Ester Sulfonates Acid dari
Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) dengan Menggunakan Single
Tube Falling Film Reactor
Nama : Novianus Efrat
NIM : F34052268
Menyetujui
Bogor, Februari 2010
Dosen Pembimbing,
Prof. Dr. Erliza Hambali
NIP 19620821 198703 2 003
Mengetahui:
Ketua Departemen,
Prof. Dr. Nastiti Siswi Indrasti
NIP 19621009 198903 2 001
Novianus Efrat. F34052268. Kajian Pengaruh Laju Alir Gas SO3 dan Suhu Reaksi Proses Sulfonasi pada Karakteristik Surfaktan Methyl Ester Sulfonates Acid dari Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) dengan Menggunakan Single Tube Falling Film Reactor. Di bawah bimbingan Erliza Hambali. 2010.
RINGKASAN
Surfaktan merupakan suatu senyawa aktif yang mempunyai kemampuan untuk menurunkan tegangan permukaan dan tegangan antar muka. Dalam aplikasinya, surfaktan digunakan hampir di semua bidang industri. Selain dari turunan minyak bumi, surfaktan juga dapat disintesis dari minyak nabati. Berdasarkan gugus hidrofiliknya, surfaktan dibagi menjadi empat kelompok, yakni surfaktan kationik, anionik, amfoterik, dan non-ionik. Surfaktan anionik merupakan surfaktan yang paling banyak diproduksi di dunia. Metil Ester Sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik berbasis minyak nabati yang sedang banyak dikembangkan karena kemampuannya yang bersaing dengan Linier Alkilbenzen Sulfonat (LAS), surfaktan anionik berbasis minyak bumi yang paling banyak diproduksi saat ini. Produksi MES dapat dipenuhi dengan menggunakan jarak pagar sebagai bahan bakunya karena produktivitas dan kadar minyak yang tinggi.
Proses sulfonasi merupakan proses yang paling utama dalam sintesis MES. Ada beberapa pereaksi yang dapat digunakan dalam proses sulfonasi, akan tetapi pereaksi yang paling umum digunakan adalah gas SO3. Pada penelitian ini, proses sulfonasi dilakukan dengan Single Tube Falling Film Reactor (STFR) dengan skala 5 liter.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh laju alir reaktan dan suhu reaksi pada proses sulfonasi terhadap sifat fisiko kimia methyl ester sulfonates acid (MESA) yang diproduksi dari metil ester minyak jarak pagar. Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan percobaan acak lengkap faktorial dengan dua kali pengulangan. Faktor yang dikaji adalah laju alir reaktan dan suhu reaksi. Taraf faktor suhu proses sulfonasi pada penelitian ini adalah 80; 100; dan 120°C, lalu untuk faktor laju alir reaktan adalah 0,8; 0,9; 1,0; dan 1,1 kg/jam. MESA yang dihasilkan dapat menurunkan tegangan permukaan air dalam rentang 41,88% hingga 50,22%. Surfaktan ini juga memiliki nilai tegangan antar muka berkisar antara 46,88-2,57 dyne/cm, bilangan iod 82,53-50,96 mg I2/ gram MESA, bilangan asam 3,43-10,79 mg NaOH/gram MESA, pH 1,42-1,73, dan kadar bahan aktif 0,08-13,66%.
Novianus Efrat. F34052268. Effect of SO3 Flow Rate and Temperature in Sulfonation Process of Methyl Ester Sulfonates Acid from Jatropha curcas L. by Using Single Tube Falling Film Reactor. Under supervised by Erliza Hambali. 2010.
SUMMARY
Surfactant is surface active agent that has ability to reduce surface and inter-facial tension. Based on its ability, surfactant is used almost in all sectors of industries. It can be synthesized from petroleum, microorganism, and vegetable oil. Based on the hydrophilic part, it is divided into four groups: cationic, anionic, non-ionic, and amphoteric. Anionic surfactant is the most produced compared to other groups. Methyl Ester Sulfonates (MES) is the anionic surfactant made from vegetable oil that is now being developed. MES has the similar, or even better, than Linear Alkylbenzene Sulfonates that is now the most produced anionic surfactant synthesized from petroleum. Jatropha curcas is potential to be developed as MES feedstock because it has high productivity and oil contain.
Sulfonation process is the main process in MES production. There are some reactants can be used in sulfonation process but SO3 in the form of gas is the most common reactant used in industry. The sulfonation process of this research uses the Single Tube Falling Film Reactor.
This research has purposes to find the effect of reactant flow rate and temperature to the characteristics of Methyl Ester Sulfonates Acid produced and also to find the best process condition. This research used factorial completely randomized design with two replications. The treatments used are reactant flow rate with levels 0.8, 0.9, 1.0, and 1.1 kg SO3/hr and temperature with levels 80, 100, and 120°C.
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Jakarta pada tanggal 24 November
1987. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara,
putra dari pasangan Bong Sian Khim dan Linda Roseawati
Wijaya. Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar
Budi Mulia Bogor pada tahun 1999, Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama Budi Mulia Bogor tahun 2002, dan Sekolah
Menengah Umum Regina Pacis Bogor pada tahun 2005.
Lulus dari tingkat SMU, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur
Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).
Selama menempuh pendidikan di Insitut Pertanian Bogor, penulis pernah
menjadi Asisten Praktikum Mata Kuliah Analisis Bahan dan Produk Agroindustri.
Penulis juga aktif dalam berbagai organisasi seperti International Association of
Students in Agriculture and Related Sciences Local Committee-Bogor Agriculture
University (IAAS LC-IPB), Komisi Pelayanan Khusus dalam Persekutuan
Mahasiswa Kristen IPB, dan Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri.
Penulis melaksanakan Praktek Lapang pada tahun 2007 dengan judul
“Mempelajari Proses Produksi Margarin” di PT. Sinar Meadow International
Indonesia, Kawasan Industri Pulo Gadung, Jakarta. Dalam menyusun skripsi
sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Industri Pertanian,
penulis melakukan penelitian dengan judul “Kajian Pengaruh Laju Alir Gas SO3 dan Suhu Reaksi Proses Sulfonasi pada Karakteristik Surfaktan Methyl Ester
Sulfonates Acid dari Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) dengan Menggunakan
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama : Novianus Efrat
NRP : F34052268
Departemen : Teknologi Industri Pertanian
Fakultas : Teknologi Pertanian
Universitas : Institut Pertanian Bogor
Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul “ Kajian Pengaruh Laju Alir Gas SO3 dan Suhu Reaksi Proses Sulfonasi pada
Karakteristik Methyl Ester Sulfonates Acid dari Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) dengan Menggunakan Single Tube Falling Film Reactor“ merupakan hasil karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing, kecuali yang dengan jelas
disebut rujukannya.
Bogor, Januari 2010
Penulis,
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan YME atas segala karunia-Nya, penulis mampu
menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Skripsi ini ditulis berdasarkan
penelitian penulis yang dilakukan di Surfactant and Bioenergy Research Center
(SBRC-IPB), Laboratorium Departemen Teknologi Industri Pertanian,
Laboratorium Quality Control PT. FINDECO, dan Laboratorium EOR Lemigas
mulai bulan Februari sampai Desember 2009.
Selama pelaksanaan dan penulisan skripsi ini penulis banyak sekali
mendapatkan bantuan baik secara moril maupun materiil dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang
setulus-tulusnya kepada:
1. Prof. Dr. Erliza Hambali selaku dosen pembimbing yang telah memberikan
bimbingan dan arahan dalam segala hal.
2. Papa, Mama, dan Koko atas segala dukungan doa, motivasi, dan kasih sayang
yang telah diberikan.
3. Staff dan laboran Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC-IPB)
yang secara langsung dan tidak langsung telah memberikan kontribusi dalam
penelitian dan penyusunan skripsi ini.
4. Staff dan laboran di Departemen Teknologi Industri Pertanian
5. Seluruh teman TIN ’42 dan semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per
satu.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini belum tercipta suatu
karya yang sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan masukan dan
kritikan yang membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak
yang membutuhkan.
Bogor, Januari 2010
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR TABEL ... iv
DAFTAR GAMBAR ... v
DAFTAR LAMPIRAN ... vi
I. PENDAHULUAN ... 1
A. LATAR BELAKANG... 1
B. TUJUAN PENELITIAN ... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4
A. JARAK PAGAR SURFAKTAN ... 4
B. SURFAKTAN ... 8
C. METHYL ESTER SULFONATES (MES) ... 10
D. REAKSI SULFONASI ... 12
III. METODOLOGI ... 16
A. BAHAN DAN ALAT ... 16
B. METODE PENELITIAN ... 17
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 21
A. SIFAT FISIKO-KIMIA BIJI DAN MINYAK JARAK PAGAR ... 21
B. ANALISIS METIL ESTER ... 24
C. PENGARUH FAKTOR SUHU DAN LAMA REAKSI ... 25
1. Tegangan Permukaan ... 26
2. Tegangan Antar Muka ... 29
3. Bilangan Iod ... 31
4. Bilangan Asam ... 33
6. Derajat Keasaman (pH) ... 37
V. PENUTUP ... 40
A. KESIMPULAN ... 40
B. SARAN ... 41
DAFTAR PUSTAKA ... 42
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Komponen penyusun biji jarak pagar ... 6
Tabel 2. Komposisi asam lemak minyak jarak pagar ... 7
Tabel 3. Komposisi asam lemak beberapa jenis minyak yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan MES ... 11
Tabel 4. Karakteristik metil ester untuk bahan baku MES ... 12
Tabel 5. Hasil analisis biji jarak pagar ... 21
Tabel 6. Hasil analisis minyak jarak ... 22
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Buah Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) ... 6
Gambar 2. Biji dalam buah Jarak pagar (Jatropha curcas L.) ... 6
Gambar 3. Ilustrasi struktur molekul surfaktan... 8
Gambar 4. Tampilan surfaktan pada media air ... 9
Gambar 5. Visualisasi surfaktan yang membentuk satu lapisan ... 9
Gambar 6. Reaksi sulfonasi pada pembuatan MESA ... 13
Gambar 7. Kemungkinan terikatnya pereaksi kimia dalam proses sulfonasi ... 14
Gambar 8. Visualisasi Single Tube Falling Film Reactor ... 16
Gambar 9. Diagram tahapan penelitian yang dilakukan ... 17
Gambar 10. Grafik hubungan pengaruh laju alir reaktan SO3 dan suhu proses sulfonasi terhadap nilai tegangan permukaan ……….……… 27
Gambar 11. Grafik hubungan pengaruh laju alir reaktan SO3 dan suhu proses sulfonasi terhadap nilai tegangan antar muka ... 30
Gambar 12. Grafik hubungan pengaruh laju alir reaktan SO3 dan suhu proses sulfonasi terhadap nilai bilangan iod ... 32
Gambar 13. Grafik hubungan pengaruh laju alir reaktan SO3 dan suhu proses sulfonasi terhadap nilai bilangan asam ... 34
Gambar 14. Grafik hubungan pengaruh laju alir reaktan SO3 dan suhu proses sulfonasi terhadap nilai bahan aktif ... 36
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Prosedur analisis biji jarak pagar... 44
Lampiran 2. Prosedur analisis minyak jarak pagar ... 46
Lampiran 3. Prosedur analisis metil ester ... 50
Lampiran 4. Prosedur analisis surfaktan MES ... 54
Lampiran 5. Data hasil analisis laju alir reaktan dan suhu reaksi terhadap tegangan permukaan MESA ... 60
Lampiran 6. Data hasil analisis laju alir reaktan dan suhu reaksi terhadap terhadap tegangan antar muka MESA ... 62
Lampiran 7. Data hasil analisis laju alir reaktan dan suhu reaksi terhadap terhadap bilangan iod MESA ... 64
Lampiran 8. Data hasil analisis laju alir reaktan dan suhu reaksi terhadap terhadap bilangan asam MESA ... 66
Lampiran 9. Data hasil analisis laju alir reaktan dan suhu reaksi terhadap terhadap kadar bahan aktif MESA ... 68
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Surfaktan merupakan suatu senyawa aktif yang mempunyai kemampuan
untuk menurunkan tegangan permukaan dan tegangan antar muka. Dengan
sifatnya itu, surfaktan dapat diaplikasikan hampir di setiap bidang industri.
Contoh bidang aplikasi surfaktan meliputi industri sabun, kosmetik, personal
care, tekstil, kulit, kertas, makanan, minuman, cat, farmasi, perminyakan,
pertambangan, dan lain-lain. Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk di
dunia, kebutuhan akan surfaktan pun terus meningkat setiap tahunnya.
Surfaktan sangat prospektif dikembangkan di Indonesia mengingat
kebutuhan surfaktan dalam negeri meningkat setiap tahunnya. Permintaan
surfaktan jauh lebih besar dari pada kemampuan Indonesia memproduksi sendiri.
Hal ini menyebabkan kebutuhan surfaktan yang belum bisa dipenuhi dari produksi
dalam negeri disuplai dari luar negeri.
Berdasarkan gugus hidrofiliknya, surfaktan diklasifikasikan ke dalam
empat jenis, yaitu surfaktan anionik, kationik, non-ionik, dan amfoterik. Surfaktan
anionik merupakan surfaktan yang paling banyak diproduksi di dunia. Linear
Alkylbenzene Sulfonate (LAS) merupakan surfaktan anionik yang paling banyak
diproduksi daripada jenis surfaktan yang lain. Surfaktan LAS disintesis dari
minyak bumi. Selain dibuat dari bahan yang tidak terbarukan, biaya produksi LAS
juga lebih tinggi bila dibandingkan dengan MES. Oleh karena alasan ini serta
mengingat cadangan minyak bumi yang semakin menipis, maka diperlukan bahan
baku untuk surfaktan yang bersifat terbarukan dan lebih ramah lingkungan.
Methyl Ester Sulfonates (MES) merupakan surfaktan anionik yang bersifat
terbarukan karena dibuat dari minyak nabati. MES sedang banyak dikembangkan
dan diproduksi mengingat karakteristiknya yang bersaing dengan LAS. Watkins
(2001) mengatakan bahwa beberapa kelebihan MES antara lain mampu
menggumpal pada air dengan tingkat salinitas yang tinggi, dan memiliki laju
biodegradasi yang lebih cepat dibandingkan surfaktan berbasis minyak bumi.
Di Indonesia, surfaktan MES potensial untuk dikembangkan karena bahan
baku tersedia untuk produksi dalam jumlah besar. Contoh komoditas yang
potensial untuk dikembangkan sebagai bahan baku surfaktan MES adalah jarak
pagar (Jatropha curcas L.). Jarak pagar memiliki produktivitas dan kadar minyak
yang tinggi. Produkitivitas biji jarak pagar mencapai 4,35-8,7 ton/ha/tahun
(Kemala, 2006). Kandungan minyak dalam biji jarak sebesar 54% (Swern, 1979).
Selain itu, produksi tanaman jarak pagar meningkat dari 40.00 ha pada tahun 2006
hingga mencapai 121.200 ha pada tahun 2007. Selanjutnya target yang diusung
oleh pemerintah (Direktorat Jenderal Perkebunan) untuk tahun 2010 adalah
381.500 ha (InfoTek, 2008). Jarak pagar juga sangat berpotensi untuk dijadikan
bahan baku surfaktan karena daerah penyebarannya yang luas, yakni meliputi
Lampung, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat,
Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan Tengah (Departemen Pertanian, 2008).
Selama ini, biji jarak ditingkatkan nilai tambahnya dengan mengolahnya
menjadi minyak jarak mentah (Crude Jatropha Oil atau CJO). Biji jarak dapat
lebih ditingkatkan nilai tambahnya dengan mengolahnya menjadi surfaktan.
Selain memperoleh nilai tambah, pemanfaatan biji jarak sebagai bahan baku
utama pembuatan surfaktan MES diharapkan dapat mencukupi kebutuhan
surfaktan dalam negeri sehingga mengurangi volume impor surfaktan di
Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan penelitian dalam pengembangan surfaktan
B. TUJUAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh laju alir reaktan dan
suhu reaksi proses sulfonasi terhadap sifat fisiko kimia Methyl Ester Sulfonates
Acid (MESA) yang diproduksi dari metil ester minyak jarak pagar menggunakan
reaktor Single Tube Falling Film Reactor. Penelitian ini juga bertujuan untuk
mengetahui kondisi proses terbaik dari beberapa kondisi perlakuan yang
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. JARAK PAGAR
Indonesia memiliki berbagai jenis tanaman jarak, antara lain jarak kepyar
(Ricimus communis), jarak bali (Jatropha podagrica), jarak ulung (Jatropha
gossypifolia L.) dan jarak pagar (Jatropha curcas L.). Pada umumnya, jenis
tanaman jarak yang paling sering digunakan untuk biodiesel dan bahan
oleokimia lainnya adalah jarak pagar dan jarak kepyar (Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perkebunan, 2006).
Tanaman jarak pagar merupakan tanaman tahunan yang tahan
kekeringan. Tanaman ini juga mampu tumbuh dengan cepat dan kuat di lahan
yang beriklim panas, tandus, dan berbatu. Wilayah yang cocok sebagai tempat
tumbuhnya adalah di dataran rendah hingga mencapai ketinggian 1.000 m dpl
dengan temperatur tahunan sekitar 18,0-28,5°C (Hambali et al., 2006).
Jarak pagar telah lama dikenal masyarakat di berbagai daerah di
Indonesia, yaitu sejak diperkenalkan oleh bangsa Jepang pada tahun 1942-an.
Masyarakat diperintahkan untuk menanam jarak pagar di pekarangan. Minyak
jarak pagar ini dimanfaatkan sebagai bahan bakar kendaraan untuk perang pada
masa itu (Hambali et al., 2006).
Beberapa nama daerah (nama lokal) untuk tanaman jarak pagar adalah
jarak budeg, jarak gundul, jarak cina (jawa); baklawah, nawaih (NAD); jarak
kosta (Sunda); paku kare (Timor); peleng kaliki (Bugis); kalekhe paghar
(Madura); jarak pager (Bali); lulu mau, paku kase, jarak pageh (Nusa
Tenggara); kuman nema (Alor); jarak kosta, jarak wolanda, bindalo, bintalo,
tondo utumene (Sulawesi); dan ai huwa kamala, balacai, kadoto (Maluku)
(Hambali et al., 2006).
Tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L.) memiliki produktivitas yang
tinggi. Menurut Kemala (2006), klasifikasi teknis usaha tani jarak pagar dapat
dibedakan menurut status teknologinya yaitu: (1) tingkat rendah dengan
teratur, persentase tumbuh ± 65%, pemakaian pupuk dan obat-obatan lebih
sedikit; (2) tingkat sedang dan tinggi dengan produktivitas mencapai 6,5
ton/ha/tahun, dimana jarak pagar ditanam teratur, jumlah bibit 2750 bibit,
ukuran lubang teratur (10 x 20 cm), persentase tumbuh lebih tinggi 80% untuk
teknologi sedang dan 90% untuk teknologi tinggi, pemakaian pupuk dan
obat-obatan lebih banyak, curahan tenaga kerja lebih tinggi dari status teknologi
rendah; dan (3) teknologi tinggi dengan produktivitas sebesar 8,7 ton/ha/tahun.
Selain itu, penyebaran jarak pagar cukup luas. Jarak pagar tersebar di beberapa
daerah di Indonesia seperti: Lampung, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa
Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan Tengah
(Departemen Pertanian, 2008).
Tanaman jarak pagar termasuk famili Euphorbiaceae. Klasifikasi
tanaman jarak pagar adalah sebagai berikut.
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Euporbiales
Famili : Euphorbiaceae
Genus : Jatropha
Spesies : Jatropha curcas Linn.
Menurut Sinaga (2006), jarak pagar memiliki buah berupa buah kotak
berbentuk bulat telur dengan diameter 2 – 4 cm, berwarna hijau ketika masih
muda dan kuning jika sudah masak. Buah terbagi menjadi tiga ruang,
masing-masing ruang berisi satu biji. Biji berbentuk bulat lonjong, berwarna coklat
kehitaman, dan mengandung banyak minyak. Menurut Heller (1996), biji jarak
pagar memiliki panjang 2 cm dan lebar 1 cm. Penampakan dari buah dan biji
Gambar 1. Buah Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Sumber: www.jayveer.tradeget.com
Gambar 2. Biji dalam buah Jarak pagar (Jatropha curcas L.) Sumber: Hambali et al. (2006)
Hal yang membedakan jarak pagar dengan tanaman jarak lainnya adalah
persentase komponen penyusun dan kandungan asam lemaknya. Komponen
penyusun pada jarak pagar dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komponen penyusun biji jarak pagar
Komposisi (%)
Nilai (%)
a b c
Minyak (% b/b) 34.38 56.8− 58.4 46.24±0.37
Protein (% b/b) 17.08 22.2 – 27.2 29.40±1.04
Serat (% b/b) 22.96 - 2.57±0.35
Abu (% b/b) 3.17 3.6 – 4.3 4.90±0.26
Air (% b/b) 5.77 3.1 – 5.8 5.00 ±0.01
Karbohidrat (% b/b) - - 16.89±0.91
Sumber : Winkler et al. (1997) a Gubitz et al. (1999) b
Tanaman jarak pagar menghasilkan biji yang memiliki kandungan
minyak cukup tinggi, sekitar 30 – 50%, sehingga sangat prospektif untuk
digunakan sebagai bahan baku produk oleokimia seperti surfaktan.
Karakteristik utama yang membedakan minyak jarak dengan gliserida lain
adalah larut dalam alkohol, larut dalam pelarut polar organik, sedikit larut pada
hidrokarbon aliphatik dan petroleum eter (Kirk dan Othmer, 1964). Minyak
jarak mempunyai rasa asam dan dapat dibedakan dengan trigliserida lainnya
karena bobot jenis, kekentalan, dan bilangan asetil serta kelarutannya dalam
alkohol nilainya relatif tinggi (Ketaren, 1986).
Menurut Nanewar (2005), minyak jarak pagar mengandung 21% asam
lemak jenuh dan 79% asam lemak tak jenuh. Adapun komposisi asam lemak
pada minyak jarak pagar dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi asam lemak pada minyak jarak pagar
Kandungan asam lemak Presentase (%)
Asam miristat (C14H28O2) 0 – 0.1
Asam palmitat (C16H32O2) 14.1 – 15.3
Asam stearat (C18H36O2) 3.7 – 9.8
Asam arachidat (C20H40O2) 0 – 0.3
Asam behenat (C22H44O2) 0 – 0.2
Asam palmitoleat (C16H30O2) 0 – 1.3
Asam oleat (C18H34O2) 34.3 – 45.8
Asam linoleat (C18H32O2) 29.0 – 44.2
Asam linolenat (C18H30O2) 0 – 0.3
Sumber : Gubitz et al. (1999)
Asam lemak dominan pada minyak jarak pagar adalah asam oleat, asam
lemak tak jenuh, sedangkan asam palmitat merupakan asam lemak jenuh.
Asam oleat merupakan asam lemak yang terdapat di sebagian besar minyak
atau lemak dengan rata-rata komposisinya 50% dari total asam lemak. Menurut
Hamilton (1983), semakin tinggi jumlah asam lemak tak jenuh dalam suatu
B. SURFAKTAN
Menurut Rieger (1985), surfaktan adalah suatu zat yang bersifat aktif
permukaaan yang dapat menurunkan tegangan antar muka (interfacial tension
atau IFT) minyak-air. Surfaktan memiliki kecenderungan untuk menjadikan zat
terlarut dan pelarutnya terkonsentrasi pada bidang permukaan. Sifat-sifat
surfaktan adalah mampu menurunkan tegangan permukaan, tegangan antar
muka, meningkatkan kestabilan partikel yang terdispersi, dan mengontrol jenis
formulasi emulsi. Di samping itu, surfaktan akan terserap ke dalam permukaan
partikel minyak atau air sebagai penghalang yang akan mengurangi atau
menghambat penggabungan (coalescence) dari partikel yang terdispersi.
Molekul surfaktan dapat digambarkan seperti berudu yang terdiri dari
bagian kepala dan ekor (Gambar 3). Bagian kepala dan ekor mempunyai sifat
yang berbeda, disebabkan karena struktur molekulnya yang tak seimbang
(konfigurasi kepala-ekor). Bagian kepala yang bersifat hidrofilik merupakan
bagian yang sangat polar dan larut dengan air. Sementara bagian ekor bersifat
hidrofobik merupakan bagian non-polar dan lebih tertarik ke minyak atau
lemak. Konfigurasi kepala-ekor tersebut membuat surfaktan memiliki fungsi
dan peranan yang beragam di industri (Hui, 1996e).
Gambar 3. Ilustrasi struktur molekul surfaktan (Gervasio, 1996)
Pada Gambar 4 disajikan tampilan visual orientasi bagian kepala
surfaktan pada media air. Sementara visualisasi surfaktan yang saling berikatan
hingga membentuk satu lapisan disajikan pada Gambar 5. Hidrofobik
Gambar 4. Tampilan surfaktan pada media air Sumber: www.cems.ou.edu
Gambar 5. Visualisasi surfaktan yang membentuk satu lapisan Sumber: www.cems.ou.edu
Umumnya, bahan baku yang digunakan dalam proses pembuatan
surfaktan adalah minyak bumi, minyak nabati, karbohidrat, dan hasil aktivitas
mikroorganisme. Penggunaan minyak bumi sebagai bahan baku surfaktan
semakin menipis karena persediaannya yang tidak dapat diperbaharui. Maka,
penggunaan bahan nabati seperti minyak jarak pagar sangat prospektif untuk
digunakan sebagai bahan baku surfaktan.
Surfaktan berbasis minyak nabati dapat disintesis melalui senyawa metil
ester. Proses yang dapat diterapkan untuk menghasilkan surfaktan yaitu
asetilasi, etoksilasi, esterifikasi, sulfonasi, sulfatasi, amidasi, dan saponifikasi
(Sadi, 1994).
Berdasarkan gugus hidrofiliknya, surfaktan dibagi menjadi empat
kelompok dan digunakan secara meluas pada hampir semua sektor industri
modern. Jenis-jenis surfaktan tersebut adalah surfaktan kationik, anionik,
non-ionik, dan amfoterik. Data jumlah konsumsi surfaktan dunia menunjukkan
yaitu sebesar 50%, kemudian disusul nonionik 45%, kationik 4%, dan
amfoterik 1% (Watkins, 2001).
Menurut Matheson (1996), surfaktan anionik mempunyai karakteristik
hidrofilik akibat adanya gugus ionik yang cukup besar, yang biasanya berupa
golongan sulfat atau sulfonat. Beberapa contoh surfaktan anionik yaitu linear
alkilbenzen sulfonat (LAS), alkohol sulfat (AS), alkohol eter sulfat (AES), alfa
olein sulfonat (AOS), parafin (secondary alkalene sulfonate, SAS) dan metil
ester sulfonat (MES).
C. METHYL ESTER SULFONATES
Methyl Ester Sulfonates atau Metil Ester Sulfonat (MES) merupakan zat
yang disintesis dari bahan metil ester dan agen sulfonasi melalui proses
sulfonasi. Metil ester sendiri dapat dihasilkan dari berbagai bahan baku
seperti dari minyak kelapa, minyak sawit dan tallow. MacArthur et al. (2001)
menyebutkan bahwa studi tentang MES dengan rantai C16-C18 menunjukkan
bahwa MES memiliki sifat yang lebih baik daripada surfaktan LAS atau AS
dalam hal daya cuci di air dingin dan air sadah hingga 100 ppm (CaCO3). Hasil pengujian di laboratorium memperlihatkan bahwa laju biodegradasi
MES serupa dengan AS dan sabun, namun lebih cepat dibandingkan LAS.
Hal tersebut menyebabkan metil ester sulfonat pada masa mendatang
diindikasikan akan menjadi surfaktan anionik yang paling penting (Watkins,
2001).
Menurut Mac Arthur dan Sheats (2002), jenis minyak yang dapat
digunakan sebagai bahan baku pembuatan MES adalah kelompok minyak
nabati seperti minyak kelapa, minyak inti sawit, stearin sawit, minyak
kedelai, dan tallow. Pada Tabel 3 disajikan komposisi asam lemak beberapa
jenis minyak yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan MES.
Tabel 3. Komposisi asam lemak beberapa jenis minyak yang dapat digunakan
Asam Lemak
Menurut Matheson (1996), metil ester sulfonat (MES) memperlihatkan
karakteristik dispersi yang baik, sifat detergensi yang baik terutama pada air
dengan tingkat kesadahan yang tinggi (hard water) dan tidak adanya fosfat,
ester asam lemak C14, C16, dan C18 memberikan tingkat detergensi terbaik, serta bersifat mudah didegradasi (good biodegradability). Dibandingkan
petroleum sulfonat, surfaktan MES menunjukkan beberapa kelebihan
diantaranya yaitu pada konsentrasi MES yang lebih rendah daya
deterjensinya sama dengan petroleum sulfonat, dapat mempertahankan
aktivitas enzim yang lebih baik, toleransi yang lebih baik terhadap
keberadaan kalsium, dan kandungan garam (disalt) lebih rendah.
Berikut pada Tabel 4 dapat dilihat beberapa karakteristik metil ester dari
beberapa bahan baku dalam pembuatan MES yang pernah dilakukan
sebelumnya.
Tabel 4. Karakteristik Metil Ester untuk Bahan Baku MES
Bobot Molekul 218 281 284 280
Bilangan Tak tersabunkan 0.05 0.27 0.06 n/a
Bilangan Asam (mg
KOH/g ME) 0.15 0.5 3.8 0.4
Bilangan Penyabunan (mg
KOH/g ME) 252 197 191 n/a
Sumber : MacArthur (1998)
Surfaktan MES memiliki kelemahan yaitu gugus ester pada struktur MES
cenderung mengalami hidrolisis baik pada kondisi asam maupun basa.
Kecepatan reaksi hidrolisis akan semakin cepat dengan meningkatnya suhu
(Rosen, 2004).
D. REAKSI SULFONASI
Bahan baku untuk surfaktan MES adalah metil ester yang diperoleh dari
proses esterifikasi minyak. Minyak yang akan dijadikan bahan untuk produksi
surfaktan harus diolah menjadi metil ester terlebih dahulu. Asam lemak yang
telah diolah menjadi metil ester akan menjadikan senyawa yang lebih stabil
terhadap suhu rendah maupun tinggi (Ketaren, 1986).
Metil ester merupakan suatu senyawa yang mengandung gugus —COOR
dengan R dapat membentuk alkil suatu ester. Suatu ester dapat dibentuk
langsung antara suatu asam lemak dengan alkohol yang dinamakan dengan
esterifikasi. Suatu asam karboksilat merupakan suatu senyawa organik yang
mengandung gugus karboksil —COOH. Gugus karboksil mengandung sebuah
gugus karbonil dan sebuah gugus hidroksil (Fessenden dan Fessenden, 1982).
O O
SO3 + Rn C OCH3 Rn-1 C C OCH3
Sulfur Trioksida + Metil Ester Methyl Ester Sulfonate Acid
Gambar 6. Reaksi sulfonasi pada pembuatan MESA (Watkins, 2001)
Metil ester mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan asam
lemak, diantaranya yaitu: 1) pemakaian energi lebih sedikit karena
membutuhkan suhu dan tekanan lebih rendah dibandingkan dengan asam
lemak; 2) peralatan yang digunakan murah karena metil ester bersifat non
korosif sehingga tidak terlalu membutuhkan peralatan stainless steel yang kuat;
3) metil ester lebih mudah didistilasi karena titik didihnya lebih rendah dan
lebih stabil terhadap panas; 4) metil ester mudah dipindahkan dibandingkan
asam lemak karena sifat kimianya lebih stabil dan non korosif.
Proses produksi surfaktan MES dilakukan dengan mereaksikan metil
ester dengan agen sulfonasi. Menurut Bernardini (1983) dan Pore (1976),
pereaksi yang dapat dipakai pada proses sulfonasi antara lain asam sulfat
(H2SO4), oleum (larutan SO3 di dalam H2SO4), sulfur trioksida (SO3), NH2SO3H, dan ClSO3H. Untuk menghasilkan kualitas produk terbaik, beberapa perlakuan penting yang harus dipertimbangkan adalah rasio mol,
suhu reaksi, konsentrasi gugus sulfat yang ditambahkan, waktu netralisasi,
jenis dan konsentrasi katalis, pH, dan suhu netralisasi (Foster, 1996).
Dari hasil penelitian sebelumnya, surfaktan MES yang diproduksi
dengan menggunakan reaktan NaHSO3 dan H2SO4 ternyata memperlihatkan karakteristik bersifat larut minyak. Hal ini disebabkan karena proses sulfonasi
yang terjadi belum sempurna sehingga gugus sulfonat yang terbentuk hanya
sekitar 65 persen, sementara sisanya masih dalam bentuk minyak. Oleh karena
itu, kondisi proses sulfonasi untuk memproduksi surfaktan MES tersebut di
atas akan diteliti dengan menggunakan reaktan berupa gas SO3 agar dihasilkan surfaktan MES dengan karakteristik larut air yang nantinya dapat diaplikasikan
untuk berbagai keperluan.
Alasan dipilihnya gas SO3 dikarenakan oleh beberapa hal. Menurut Sherry et al. (1995), penggunaan reaktan gas SO3 memiliki beberapa keuntungan, antara lain cocok diterapkan pada skala besar dan kontinyu hingga
ton. Kapasitas untuk skala komersial dengan menggunakan teknologi gas SO3 adalah sekitar 250 sampai 20.000 kg/jam. Selain itu, proses ini menghasilkan
nilai rendemen paling tinggi yaitu sekitar 90-95%.
Reaksi sulfonasi molekul asam lemak dapat terjadi pada tiga sisi yaitu (1)
gugus karboksil; (2) bagian α-atom karbon; (3) rantai tidak jenuh (ikatan rangkap) (Gambar 7). Pemilihan proses sulfonasi tergantung pada banyak
faktor yaitu: karakteristik dan kualitas produk akhir yang diinginkan, kapasitas
produksi yang disyaratkan, biaya bahan kimia, biaya peralatan proses, sistem
pengamanan yang diperlukan, dan biaya pembuangan limbah hasil proses.
Untuk menghasilkan kualitas produk terbaik, beberapa perlakuan penting yang
harus dipertimbangkan adalah rasio mol reaktan, suhu reaksi, konsentrasi grup
sulfat yang ditambahkan (SO3, NaHSO3, asam sulfit), waktu netralisasi, pH dan suhu netralisasi (Foster, 1996).
Gambar 7. Kemungkinan terikatnya pereaksi kimia dalam proses sulfonasi (Jungermann, 1979)
Menurut Stein dan Baumann (1975), lapisan metil ester bereaksi dengan
gas SO3 dari reaktor bagian atas. Pada reaktor dipasang saluran pemisah antara fase gas dan fase cairan. Metil ester yang masuk ke dalam reaktor dengan laju
alir 600 gram/jam dan gas SO3 dengan konsentrasi 5%. Sulfonasi metil ester dilakukan pada suhu 70-90°C dengan rasio mol metil ester dan gas SO3 yaitu 1 : 1,3. Gas SO3 bersifat eksotermis dan reaksi terjadi secara cepat dengan metil ester pada suhu yang lebih rendah akibat adanya gugus karbonil dari ester,
tetapi sulfonasi belum tercapai. Untuk itu diperlukan suhu yang lebih tinggi
agar sulfonasi berlangsung sempurna.
Pengotor utama dalam proses pembuatan MES adalah terbentuknya
di-salt pada proses hidrolisis saat reaksi penetralan. Walaupun di-di-salt merupakan H H H O
H C C CH = CH C CH2 C 1 H H H OH
surfaktan, namun di-salt memiliki sifat yang tidak diinginkan, yaitu cenderung
menurunkan kinerja MES (Rosen, 2004).
Menurut Mac Arthur dan Sheat (2002), penelitian mengenai produksi
MES skala pilot plant secara sinambung telah dilakukan oleh Chemithon Corp.
di Amerika Serikat. Produksi MES dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu
tahap proses sulfonasi dimulai dengan pemasukan bahan baku metil ester dan
Gambar 8. Visualisasi Single Tube Falling Film Reactor
III. METODOLOGI
A. ALAT DAN BAHAN
Peralatan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah reaktor
sulfonasi jenis Single Tube Falling Film yang digunakan untuk mereaksikan
metil ester dengan gas SO3. Peralatan lain yang digunakan adalah spinning drop tensiometer, tensiometer Du Nuoy, density meter, pH meter, hotplate
stirrer, termometer, neraca analitis, oven, pipet, labu Erlenmeyer, dan peralatan
gelas lainnya. Penampakan visual dari reaktor sulfonasi jenis Single Tube
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah metil ester dari
minyak biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) dan gas SO3. Lalu bahan kimia yang digunakan untuk analisa antara lain KOH, H2SO4, metanol, NaOH, HCl, indikator Penolphtalein, indikator kanji, Na2SO4, air suling, sikloheksan, asam asetat glasial, kalium iodida, Na2SO2O3, K2Cr2O7, larutan Wijs, toluene, khloroform, petroleum eter, indikator metilene blue, Cetyltrimethylammonium
Bromide (CTAB), dan aseton.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap, yaitu a) analisis sifat
fisiko-kimia biji dan minyak jarak pagar, b) esterifikasi dan transesterifikasi minyak
jarak pagar, dan c) pembuatan methyl ester sulfonates acid (MESA). Diagram
alir penelitian disajikan secara lengkap pada Gambar 9.
Biji Jarak Pagar
Metil Ester Jarak Pagar Pengepresan Biji Jarak Pagar
Esterifikasi dan Trans-esterifikasi
Analisa
Bungkil
Minyak Jarak Pagar Analisa
Metanol
KOH
H2SO4
Metanol & Gliserol
A
Gambar 9. Diagram penelitian yang dilakukan
1. Analisis sifat fisiko kimia biji dan minyak jarak pagar
Biji jarak pagar merupakan bahan baku yang digunakan dalam
tahapan penelitian ini. Biji jarak pagar ini diperoleh dari PT. Rajawali
Nusantara Indonesia di Cirebon. Biji jarak pagar disortir guna
memisahkan kotoran-kotoran lalu dikeringkan di bawah sinar matahari.
Setelah itu, dilakukan analisis pada biji jarak pagar yang meliputi kadar
air, kadar abu, dan kadar minyak. Kemudian, dilakukan pengepresan
biji jarak dengan menggunakan alat screw press guna memperoleh
minyak jarak. Minyak jarak yang diperoleh kemudian dianalisis sifat
fisiko-kimianya, meliputi kadar air, kadar abu, bilangan iod, bilangan
asam, bilangan penyabunan, dan kadar asam lemak bebas. Prosedur
analisis untuk uji sifat fisiko-kimia untuk biji jarak pagar dapat dilihat
pada Lampiran 1 dan untuk minyak jarak pagar pada Lampiran 2.
2. Esterifikasi dan transesterifikasi minyak jarak pagar
Minyak jarak pagar yang telah diperoleh pada tahapan penelitian
sebelumnya diproses untuk menghasilkan metil ester dengan cara
esterifikasi dan transesterifikasi. Kemudian dilanjutkan dengan proses
pemurnian menggunakan metode Setyaningsih et al. (2007). Minyak
jarak pagar dipanaskan sampai suhu 55°C, kemudian direaksikan A
Sulfonasi:
Laju alir reaktan: 0,8; 0,9; 1,0; 1,1 (kg/jam) Suhu reaksi: 80, 100, 120 (°C) SO3
Methyl Ester Sulfonates Acid
dengan metanol sebanyak 225% dari FFA dan katalis asam sulfat 5%
FFA. Kadar asam lemak bebas (free fatty acid atau FFA) diperoleh
pada tahap analisis fisiko-kimia minyak jarak pagar. Selanjutnya
dilakukan pengadukan untuk menyeragamkan suhu sampai terbentuk
ester. Suhu campuran dipertahankan pada 55°C selama satu jam.
Setelah reaksi berlangsung sempurna, dilakukan tahap transesterifikasi
dengan menambahkan metanol sebanyak 15% dari jumlah minyak dan
NaOH sebanyak 10 gram. Pengadukan dilanjutkan kembali selama 1
jam sampai terbentuk warna kecoklatan yang menandai telah
terbentuknya gliserol sebagai produk samping. Pisahkan metil ester dan
gliserol. Kemudian cuci metil ester dengan menggunakan air hangat
dengan suhu sekitar 50°C untuk menghilangkan sisa katalis, metanol,
dan sabun. Pencucian dengan air hangat ini dilakukan berulang hingga
tiga kali pencucian. Pengeringan metil ester dilakukan dengan
pemanasan suhu 115°C sampai seluruh air menguap.
Metil ester kemudian diuji sifat fisiko-kimianya, meliputi kadar
air, bilangan iod, bilangan asam, bilangan penyabunan, fraksi tak
tersabunkan, gliserol total, dan kadar ester. Prosedur analisis untuk uji
sifat fisiko-kimia metal ester jarak pagar dapat dilihat pada Lampiran 3.
3. Pembuatan Methyl Ester Sulfonates Acid (MESA)
Pada tahapan ini dilakukan proses sulfonasi menggunakan Single
Tube Falling Film Reactor (STFR) skala 5 L. Proses sulfonasi metil
ester ini dilakukan dalam Single Tube Falling Film Reactor (STFR).
Terdapat tiga reaksi yang terjadi dalam reaktor, yaitu: kontak antara
fase gas dan fase cair, penyerapan gas SO3 dari fase gas, dan reaksi dalam fase cair. Metil ester dipompakan ke head reactor, masuk ke
liquid chamber, dan mengalir turun membentuk liquid film dengan
ketebalan tertentu yang dibentuk oleh corong head yang didisain khusus
untuk keperluan ini. Ketebalan film bisa diatur dengan mengubah lebar
jarak (gap) antara corong dengan tabung reaktor, menggunakan washer
Surfaktan MESA diproduksi menggunakan metil ester minyak
jarak pagar dengan menggunakan pereaksi gas SO3. Kondisi proses yang dikaji adalah laju alir umpan konstan 100 ml/menit; lama reaksi
45 menit; suhu proses 80, 100, 120°C; dan laju alir reaktan gas SO3 0,8; 0,9; 1,0; dan 1,1 kg/jam.
Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah
rancangan acak lengkap faktorial dengan dua faktor, yaitu laju alir
reaktan dan suhu proses sulfonasi. Pengulangan dilakukan sebanyak
dua kali ulangan. Model rancangan percobaannya adalah:
Yijk = µ + Ai + Bj + (AB)ij + έk(ij)
Di mana:
Yijk = hasil pengamatan pada ulangan ke-k, laju alir reaktan ke-i,
dan suhu reaksi ke-j
µ = rata-rata yang sebenarnya
Ai = pengaruh laju alir reaktan ke-i (i=1,2,3)
Bj = pengaruh suhu reaksi ke-j (j=1,2,3,4,5)
(AB)ij = pengaruh interaksi laju alir reaktan ke-i dan suhu reaksi ke-j
έk(ij) = galat eksperimen
Pengaruh perlakuan laju alir reaktan dan suhu reaksi pada
berbagai taraf tersebut diamati terhadap parameter tegangan antar
muka, tegangan permukaan, bilangan iod, bilangan asam, pH, dan
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. SIFAT FISIKO-KIMIA BIJI DAN MINYAK JARAK PAGAR
Biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) yang digunakan dalam penelitian
ini didapat dari PT. Rajawali Nusantara Indonesia di daerah Cirebon. Analisis
biji jarak pagar bertujuan untuk mengetahui kondisi awal bahan baku yang
digunakan dalam penelitian. Analisis yang dilakukan terhadap biji jarak pagar
ini meliputi kadar air, kadar abu, dan kadar minyak. Hasil analisis terhadap biji
jarak pagar dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil Analisis Biji Jarak Pagar
Analisis Proksimat Nilai (%)
Kadar Air 8,90
Kadar Abu 4,62
Kadar Minyak 39,87
Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa biji jarak pagar mengandung
kadar minyak sebanyak 39,87%. Jika dibandingkan dengan penelitian
sebelumnya, kadar minyak biji jarak yang diperoleh tidak berbeda terlalu jauh.
Berdasarkan beberapa literatur, kadar minyak biji jarak memang berkisar
antara 30-50%. Kadar minyak dari biji jarak pagar yang tinggi ini
menunjukkan bahwa jarak pagar sangat potensial untuk dikembangkan sebagai
sumber minyak nabati dalam produksi surfaktan methyl ester sulfonates acid
(MESA).
Dalam analisis juga diperoleh data bahwa kadar air dalam biji jarak
cukup tinggi, yakni 8,9%. Nilai kadar air yang diperoleh ini lebih tinggi jika
dibandingkan dengan literatur yakni 3,1-5,8% (Gubitz et al., 1999), 5% (Peace
and Aladesanmi, 2008), dan 5,77% (Winkler et al., 1997).
Kadar abu ini menunjukkan jumlah kandungan bahan anorganik dalam
bahwa kadar abu biji jarak pagar yang diperoleh tidak terlalu jauh jika
dibandingkan dengan literatur, yakni sebesar 4,62%. Kadar abu ini
menunjukkan jumlah kandungan bahan anorganik dalam biji jarak pagar.
Literatur menunjukkan bahwa pada penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya, kadar abu biji jarak umumnya berkisar antara 3,6-4,3% (Gubitz et
al.,1999).
Pada tahapan selanjutnya karakterisasi dilakukan terhadap minyak jarak
pagar yang diperoleh dari hasil pengepresan biji yang telah dianalisis
sebelumnya. Karakterisasi ini perlu dilakukan guna mengetahui sifat
fisiko-kima dari minyak jarak pagar kasar sebelum diolah menjadi metil ester.
Karakterisasi ini meliputi analisis kadar abu, FFA, bilangan asam, bilangan
penyabunan, bilangan iod, dan densitas. Tabel 6 di bawah ini menunjukkan
hasil dari karakterisasi minyak jarak.
Tabel 6. Hasil Analisis Minyak Jarak Kasar
Analisis Satuan Nilai
Kadar Abu % 0,042
FFA % 10,98
Bilangan Asam mg KOH/g lemak 20,94
Bilangan Iod mg iod/g lemak 99,34
Bilangan Penyabunan mg KOH/g lemak 197,6
Densitas g/cm3 0,91
Berdasarkan Tabel 6 di atas dapat dilihat bahwa nilai persentase FFA dan
bilangan asam dari minyak jarak cukup tinggi, yakni berturut-turut sebesar
10,98% dan 20,94 mg KOH/g lemak. Tingginya nilai FFA dan bilangan asam
ini diduga karena biji jarak yang digunakan telah mengalami proses
penyimpanan. Secara alami, biji jarak pagar akan terus mengalami hidrolisis
karena adanya kandungan air dan enzim lipase sehingga dapat memecah
trigliserida menjadi asam lemak bebas. Dengan meningkatnya jumlah asam
lemak bebas maka akan meningkatkan jumlah asam lemak dalam minyak yang
minyak jarak harus diesterifikasi terlebih dahulu sebelum ditransesterifikasi.
Esterifikasi perlu dilakukan untuk mencegah pembentukan sabun pada saat
proses transesterifikasi yang kemudian akan menganggu proses pemisahan
gliserol dengan metil ester, serta akan berdampak langsung dalam penurunan
rendemen metil ester yang dihasilkan.
Nilai bilangan penyabunan minyak jarak pagar didapat sebesar 197,6 mg
KOH/g minyak. Hal ini tidak berbeda jauh dengan minyak jarak berdasarkan
penelitian Peace dan Aladesanmi (2008) yang menunjukkan hasil sebesar 198,5
mg KOH/g minyak.
Bilangan iod menunjukkan banyaknya gram iodine yang terserap oleh
100 gram minyak atau lemak. Tinggi atau rendahnya bilangan iod tergantung
pada komposisi asam lemak penyusunnya. Besarnya jumlah iod yang diserap
menunjukkan banyaknya ikatan rangkap tidak jenuh (Ketaren, 1986). Lebih
lanjut Sinaga (2006) menjelaskan bahwa jenis asam lemak dominan pada
minyak jarak adalah asam lemak oleat dan linoleat yang merupakan asam
lemak tidak jenuh. Berdasarkan analisis, diperoleh bilangan iod sebesar 99,34
B. ANALISIS METIL ESTER
Pada penelitian ini, metil ester diperoleh setelah proses esterfikasi dan
transesterifikasi minyak jarak pagar. Analisis metil ester diperlukan untuk
mengetahui karakteristiknya sebelum diproses lebih lanjut dengan reaksi
sulfonasi untuk memproduksi MESA. Analisis yang dilakukan terhadap metil
ester meliputi kadar air, bilangan asam, bilangan iod, bilangan penyabunan,
gliserol total, fraksi tak tersabunkan, dan kadar ester yang dapat dilihat pada
Tabel 7.
Tabel 7. Karakteristik metil ester minyak jarak pagar yang dihasilkan
No Karakter Satuan Nilai
1 Kadar air, metode oven % 1,33 – 2,29
2 Bilangan asam mg KOH/g lemak 0,155 – 0,41
3 Bilangan iod mg Iod/g lemak 98,33
4 Bilangan penyabunan mg KOH/g lemak 214,46
5 Gliserol total %-b 0,12 – 0,27
6 Fraksi tak tersabunkan % 0,39
7 Kadar ester %, dihitung 98,9
Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa metil ester yang diproduksi
sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh MacArthur
(1998). Oleh karena itu, metil ester ini dapat digunakan untuk diproses lebih
C. PENGARUH FAKTOR LAJU ALIR REAKTAN DAN SUHU REAKSI
Proses sulfonasi terhadap metil ester merupakan kegiatan utama dalam
penelitian ini. Proses ini akan menghasilkan surfaktan MESA. Metil ester yang
digunakan sebagai bahan baku diperoleh dari proses esterifikasi dan
transesterifikasi minyak jarak pagar.
MESA yang dihasilkan berwarna kehitaman. Warna hitam yang
ditimbulkan memang tidak bisa dihindari. Hal ini dikarenakan proses sulfonasi
dengan gas SO3 bersifat sangat reaktif sehingga menyebabkan adanya perubahan molekul karena panas (golongan keton dan aldehid). Panas dapat
membuat minyak atau lemak menjadi hitam akibat proses oksidasi.
Oleh karena produk hasil sulfonasi (MESA) berwarna kehitaman, maka
sebenarnya diperlukan proses pemurnian untuk menghasilkan MES. Akan
tetapi dalam penelitian ini tidak dilakukan pemurnian terhadap MESA karena
perlu diketahui terlebih dahulu mengenai pengaruh dari laju alir reaktan dan
suhu reaksi proses sulfonasi. Hal ini karena belum ada penelitian sebelumnya
tentang faktor pengaruh laju alir reaktan dan suhu reaksi dalam pembuatan
MESA berbasis minyak jarak pagar. Setelah diketahui pengaruh faktor dan
kemudian kondisi terbaik dalam penelitian ini, maka proses pemurnian perlu
dilakukan.
Pada proses sulfonasi ini, faktor yang digunakan adalah laju alir reaktan
dan suhu reaksi. Analisis yang dilakukan meliputi analisis tegangan
permukaan, tegangan antar muka, bilangan iod, bilangan asam, kadar bahan
aktif, dan pH dari MESA yang terbentuk. Data hasil analisis kemudian dihitung
dengan menggunakan analisis statistik menggunakan software SPSS for
Windows 10.0 sehingga diketahui pengaruh dari faktor-faktor yang digunakan
1. Tegangan Permukaan
Terbentuknya tegangan permukaan pada suatu cairan disebabkan
karena adanya gaya tarik menarik antara molekul-molekul pada cairan
dengan udara (Durrant, 1953). Gaya tarik-menarik antara molekul-molekul
pada cairan lebih besar daripada terhadap gas. Resultan gaya yang terjadi
pada molekul di permukaan cenderung menggerakkan
molekul-molekul tersebut menuju bagian pusat cairan sehingga menyebabkan
cairan berperilaku membentuk lapisan tipis. Gaya tersebut dihitung
sebagai tegangan permukaan.
Definisi tegangan permukaan juga dikemukakan oleh Bird et al.
(1983) sebagai suatu fenomena dari adanya ketidakseimbangan antara
gaya-gaya yang dialami oleh molekul-molekul yang berada di permukaan.
Akibat dari ketidakseimbangan gaya tersebut, maka molekul pada
permukaan cenderung meninggalkan permukaan (masuk ke dalam cairan)
sehingga permukaan cenderung menyusut. Apabila molekul dalam cairan
akan pindah ke permukaan untuk memperluas permukaan, maka
dibutuhkan usaha untuk mengatasi gaya tarik menarik antar molekul
tersebut.
Tegangan permukaan didefinisikan sebagai entalpi permukaan bebas
per unit area dan gaya dalam permukaan suatu cairan untuk meminimalkan
area dari permukaan tersebut. Ketika mengukur tegangan permukaan
berarti mengukur energi bebas antar muka per unit area batas permukaan
antara cairan dan udara di atasnya. Umumnya, tegangan permukaan
dinyatakan dalam satuan dyne/cm atau mN/M (OECD, 1995).
Hasil pengukuran tegangan permukaan menunjukkan nilai 64
dyne/cm (pada pengukuran kondisi laju alir reaktan 0,8; 0,9; dan 1,0
kg/jam) dan 68 dyne/cm (pada pengukuran kondisi laju alir reaktan 1,1
kg/jam). Setelah dilakukan penambahan MESA, nilai tegangan permukaan
yang didapat sebesar 33,85 dyne/cm sampai 37,20 dyne/cm. Hal ini
menunjukkan bahwa dengan penambahan MESA sebanyak 10% (v/v)
mampu mengurangi tegangan permukaan air dalam rentang 41,87-50,22%.
(1993) yang mendapatkan nilai penurunan tegangan permukaan sebesar
44,17% hingga 45,83%.
Gambar 10. Grafik hubungan pengaruh laju alir reaktan SO3 dan suhu proses sulfonasi terhadap nilai tegangan permukaan
Nilai tegangan permukaan cenderung menurun dengan peningkatan
laju alir reaktan dan suhu reaksi. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi
laju alir reaktan memperbesar kemungkinan tumbukan antar partikel zat
yang akan bereaksi. Dengan demikian kemungkinan terjadinya reaksi juga
akan semakin besar. Dalam proses sulfonasi ini, reaksi yang diharapkan
adalah terikatnya gugus sulfonat dari SO3 pada atom karbon metil ester. Semakin besar terikatnya gugus sulfonat akan meningkatkan jumlah gugus
hidrofilik dari MES. Gugus hidrofilik ini akan menurunkan gaya kohesi
dari molekul air sehingga mampu menurunkan tegangan permukaan.
Suhu juga memberikan pengaruh terhadap penurunan nilai tegangan
permukaan. Segel (1993) mengatakan bahwa peningkatan suhu akan
menyebabkan pada peningkatan jumlah energi bagi molekul reaktan
itu, semakin besar suhu reaksi maka akan meningkatkan jumlah gugus
hidrofilik sehingga kemampuan untuk menurunkan nilai tegangan
permukaan juga semakin baik.
Pengaruh dari berbagai perlakuan terhadap penurunan tegangan
permukaan dapat dihitung dengan menggunakan analisis sidik ragam
menggunakan rancangan percobaan acak lengkap faktorial. Hasil analisis
sidik ragam menunjukkan adanya pengaruh laju alir reaktan (X) dan suhu
reaksi (Y) terhadap nilai tegangan permukaan. Pada selang kepercayaan
95% (α=0,05), suhu reaksi dan laju alir reaktan memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap penurunan nilai tegangan permukaan.
Akan tetapi interaksi antara laju alir reaktan dan suhu reaksi (X*Y) tidak
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penurunan nilai tegangan
permukaan.
Hasil uji lanjut Duncan terhadap faktor suhu reaksi menunjukkan
bahwa suhu reaksi 100°C dan 120°C tidak berbeda nyata tetapi berbeda
nyata dengan suhu 80°C. Hasil uji lanjut Duncan terhadap faktor laju alir
reaktan menunjukkan bahwa masing-masing laju alir reaktan SO3 (0,8; 0,9; 1,0; 1,1 kg/jam) berbeda nyata satu sama lain terhadap nilai tegangan
permukaan. Hasil uji sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap nilai
tegangan permukaan dapat dilihat pada Lampiran 5.
Kondisi proses yang mampu menurunkan nilai tegangan permukaan
paling rendah ditunjukkan oleh laju alir reaktan gas SO3 1,1 kg/jam dan suhu reaksi 120°C. Pada kondisi ini, MESA yang dihasilkan mampu
menurunkan tegangan permukaan air dari 68 dyne/cm hingga 33,85
dyne/cm atau ekuivalen dengan penurunan sebesar 50,22%. Tegangan
permukaan akan semakin menurun dengan semakin banyak molekul
surfaktan yang terbentuk (Cox et al., 1997). Nilai tegangan permukaan
paling tinggi terdapat pada suhu reaksi 80°C dan laju alir reaktan 0,8
kg/jam. Hal ini diduga karena pada kondisi tersebut proses sulfonasi masih
2. Tegangan Antar Muka
Pengujian tegangan antar muka dilakukan dengan menggunakan alat
Spinning Drop Tensiometer. Dalam pengujian ini, surfaktan yang sudah
dilarutkan dalam air formasi 400 ppm diinjeksikan dengan cairan minyak
bumi. Setelah itu, diuji nilai tegangan antar muka pada kecepatan rotasi
3000 rpm dan suhu 70°C.
Menurut Lapedes (1978), tegangan antar muka merupakan suatu
gaya yang timbul sepanjang garis permukaan suatu cairan. Gaya ini timbul
karena adanya kontak antara dua cairan yang berbeda fasa. Untuk
menurunkan tegangan antar muka di antara dua cairan yang berbeda fasa
tersebut perlu ditambahkan surfaktan. Surfaktan tersusun atas gugus
hidrofilik dan hidrofobik pada molekulnya dan memiliki kecenderungan
untuk berada pada bagian antar muka antara dua fasa yang berbeda
polaritasnya sehingga surfaktan dapat membentuk film pada bagian antar
muka dua cairan yang berbeda fasa. Pembentukan film tersebut
mengakibatkan turunnya tegangan permukaan kedua cairan yang berbeda
fasa tersebut, sehingga mengakibatkan turunnya tegangan antar muka.
Pada penelitian ini, MESA yang dihasilkan memiliki tegangan antar
muka yang berkisar antara 2,57 – 46,88 dyne/cm. Semakin kecil nilai
tegangan antar muka berarti semakin baik kualitas dari surfaktan yang
dihasilkan. Untuk lebih jelasnya mengenai hasil nilai tegangan antar muka
Gambar 11. Grafik hubungan pengaruh laju alir reaktan SO3 dan suhu proses sulfonasi terhadap nilai tegangan antar muka
Dari Gambar 11 dapat dilihat bahwa peningkatan laju alir reaktan
dan suhu reaksi dapat menurunkan tegangan antar muka. Nilai penurunan
tegangan antar muka kemungkinan dipengaruhi oleh jumlah surfaktan
yang terbentuk selama proses sulfonasi. Semakin banyak surfaktan yang
dihasilkan, maka akan semakin besar kemampuan surfaktan dalam
menurunkan tegangan antar muka, sehingga nilai penurunan tegangan
antar muka akan semakin tinggi. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi
laju alir reaktan memperbesar kemungkinan tumbukan antar partikel zat
yang akan bereaksi. Dengan demikian kemungkinan terjadinya reaksi juga
akan semakin besar. Begitu pula halnya dengan suhu. Menurut Steinfeld
(1989), peningkatan suhu dapat mempercepat laju reaksi dengan
meningkatkan jumlah fraksi molekul yang mencapai energi aktivasi.
Kondisi ini memungkinkan semakin besarnya peluang untuk terjadinya
tumbukan dan mempercepat terjadinya reaksi. Oleh karena itu,
peningkatan laju alir reaktan dan suhu reaksi akan meningkatkan jumlah
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan adanya pengaruh laju alir
reaktan (X) dan suhu reaksi (Y) terhadap nilai tegangan antar muka. Pada
selang kepercayaan 95% (α=0,05), laju alir reaktan dan suhu reaksi memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap penurunan nilai
tegangan antar muka. Interaksi antara laju alir reaktan dan suhu reaksi
(X*Y) juga memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap
penurunan nilai tegangan antar muka.
Hasil uji lanjut Duncan terhadap faktor suhu reaksi menunjukkan
bahwa suhu reaksi 100°C dan 120°C tidak berbeda nyata tetapi berbeda
nyata dengan suhu 80°C. Hasil uji lanjut Duncan terhadap faktor laju alir
reaktan menunjukkan bahwa masing-masing laju alir reaktan SO3 (0,8; 0,9; 1,0; 1,1 kg/jam) berbeda nyata satu sama lain terhadap nilai tegangan
antar muka. Hasil uji sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap nilai
tegangan antar muka dapat dilihat pada Lampiran 6.
Kondisi proses yang mampu memberikan nilai tegangan antar
muka paling rendah ditunjukkan oleh laju alir reaktan gas SO3 1,1 kg/jam dan suhu reaksi 100°C. Pada kondisi ini, MESA yang dihasilkan
mempunyai nilai tegangan antar muka sebesar 2,57 dyne/cm. Hal ini
diduga karena pada kondisi tersebut, proses sulfonasi berjalan lebih
sempurna dibandingkan kondisi yang lain. Proses sulfonasi yang lebih baik
akan menghasilkan molekul surfaktan yang lebih banyak. Gugus hidrofilik
dan gugus hidrofobik dari surfaktan inilah yang akan mampu menurunkan
tegangan antar muka.
3. Bilangan Iod
Bilangan iod menunjukkan banyaknya gram iodine yang terserap
oleh 100 gram minyak atau lemak. Tinggi atau rendahnya bilangan iod
tergantung pada komposisi asam lemak penyusunnya. Besarnya jumlah iod
yang diserap menunjukkan banyaknya ikatan rangkap tidak jenuh
Gambar 12. Grafik hubungan pengaruh laju alir reaktan SO3 dan suhu proses sulfonasi terhadap bilangan iod
Bilangan iod dari MESA yang dihasilkan berkisar antara
50,96-82,53 mg I2/g MESA. Berdasarkan Gambar 12, penurunan bilangan iod terjadi seiring dengan peningkatan laju alir reaktan dan suhu reaksi.
Penurunan bilangan iod juga terjadi dari metil ester ke MESA.
Semakin menurunnya bilangan iod, berarti semakin banyak jumlah ikatan
rangkap metil ester yang diadisi oleh gas SO3 yang kemudian terbentuk molekul-molekul surfaktan dengan gugus sulfonat.
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan adanya pengaruh laju alir
reaktan (X) dan suhu reaksi (Y) terhadap nilai bilangan iod. Pada selang
kepercayaan 95% (α=0,05), laju alir reaktan dan suhu reaksi memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap penurunan bilangan iod.
Interaksi antara laju alir reaktan dan suhu reaksi (X*Y) juga memberikan
pengaruh yang sangat signifikan terhadap penurunan nilai bilangan iod.
Semakin besar laju alir reaktan dan suhu reaksi akan menurunkan
nilai bilangan iod. Hal ini dikarenakan proses sulfonasi akan semakin
sempurna dengan peningkatan laju alir reaktan dan suhu reaksi. Proses
dapat terserap oleh surfaktan MESA yang dihasilkan. Jungermann (1979)
mengemukakan bahwa ikatan rangkap pada metil ester merupakan salah
satu tempat terjadinya reaksi sulfonasi.
Hasil uji lanjut Duncan terhadap faktor suhu reaksi menunjukkan
bahwa masing-masing suhu reaksi (80, 100, 120°C) berbeda nyata satu
sama lain terhadap nilai bilangan iod. Hasil uji lanjut Duncan terhadap
faktor laju alir reaktan menunjukkan bahwa masing-masing laju alir
reaktan SO3 (0,8; 0,9; 1,0; 1,1 kg/jam) berbeda nyata satu sama lain terhadap nilai bilangan iod. Hasil uji sidik ragam dan uji lanjut Duncan
terhadap nilai bilangan iod dapat dilihat pada Lampiran 7.
Kondisi proses yang mampu memberikan nilai bilangan iod paling
rendah ditunjukkan oleh laju alir reaktan gas SO3 1,1 kg/jam dan suhu reaksi 120°C. Pada kondisi ini, MESA yang dihasilkan mempunyai nilai
bilangan iod sebesar 50,96 mg I2/ gr MESA. Hal ini diduga karena pada kondisi tersebut, proses sulfonasi berjalan lebih sempurna dibandingkan
kondisi yang lain. Proses sulfonasi yang lebih baik akan menghasilkan
molekul surfaktan yang lebih banyak. Gugus hidrofilik dan gugus
hidrofobik dari surfaktan inilah yang akan mampu menurunkan tegangan
antar muka.
4. Bilangan Asam
Bilangan asam merupakan derajat keasaman yang ditunjukkan
dengan banyaknya miligram KOH atau NaOH yang digunakan untuk
menetralkan satu gram sampel (Ketaren, 1986). Semakin banyak KOH
atau NaOH yang digunakan untuk menetralkan suatu sampel menunjukkan
Gambar 13. Grafik hubungan pengaruh laju alir reaktan SO3 dan suhu proses sulfonasi terhadap nilai bilangan asam
Bilangan asam dari MESA yang dihasilkan berkisar antara 3,43 –
10,79 mg NaOH/g MESA. Seiring dengan peningkatan laju alir reaktan
dan suhu reaksi akan meningkatkan nilai bilangan asam dari MESA yang
dihasilkan. Reaktan gas SO3 bersifat asam. Oleh karena itu, banyaknya gugus SO3 yang teradisi dalam ikatan rangkap akan meningkatkan bilangan asam dari MESA yang terbentuk. Peningkatan laju alir reaktan
gas SO3 akan memperbesar kemungkinan tumbukan antar partikel zat yang akan bereaksi. Dengan demikian kemungkinan terjadinya reaksi juga akan
semakin besar. Dalam proses sulfonasi ini, reaksi yang diharapkan adalah
terikatnya gugus sulfonat dari SO3 pada atom karbon metil ester. Hal yang sama terjadi pada suhu reaksi. Peningkatan suhu akan menyebabkan
peningkatan jumlah energi bagi molekul reaktan sehingga tumbukan antar
molekul per waktu lebih produktif (Segel, 1993). Oleh karena itu, semakin
besar suhu reaksi maka akan meningkatkan jumlah gugus hidrofilik yang
bersifat asam semakin banyak terbentuk sehingga nilai bilangan asam juga
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan adanya pengaruh laju alir
reaktan (X) dan suhu reaksi (Y) terhadap nilai bilangan asam. Pada selang
kepercayaan 95% (α=0,05), laju alir reaktan dan suhu reaksi memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap peningkatan bilangan asam.
Interaksi antara laju alir reaktan dan suhu reaksi (X*Y) juga memberikan
pengaruh yang sangat signifikan terhadap peningkatan nilai bilangan asam.
Hasil uji lanjut Duncan terhadap faktor suhu reaksi menunjukkan
bahwa masing-masing suhu reaksi (80, 100, 120°C) berbeda nyata satu
sama lain terhadap nilai bilangan asam. Hasil uji lanjut Duncan terhadap
faktor laju alir reaktan menunjukkan bahwa masing-masing laju alir
reaktan SO3 (0,8; 0,9; 1,0; 1,1 kg/jam) berbeda nyata satu sama lain terhadap nilai bilangan asam. Hasil uji sidik ragam dan uji lanjut Duncan
terhadap nilai bilangan asam dapat dilihat pada Lampiran 8.
Kondisi proses yang mampu memberikan nilai bilangan asam paling
tinggi ditunjukkan oleh laju alir reaktan gas SO3 1,1 kg/jam dan suhu reaksi 120°C. Pada kondisi ini, MESA yang dihasilkan mempunyai nilai
bilangan asam sebesar 10,79 mg NaOH/g MESA. Hal ini diduga karena
pada kondisi tersebut, proses sulfonasi berjalan lebih sempurna
dibandingkan kondisi yang lain sehingga semakin banyak jumlah adisi
molekul SO3 yang bersifat asam dalam ikatan rangkap metil ester.
5. Kadar Bahan Aktif
Bahan aktif menunjukkan jumlah kandungan bahan aktif
permukaan yang terkandung dalam suatu bahan. Semakin besar nilainya,
maka akan semakin baik kualitas bahan tersebut. Berdasarkan penelitian
ini, kadar bahan aktif berkisar antara 0,08-13,66%.
Pada penelitian ini dilakukan analisis kadar bahan aktif dengan
metode Ephtone. Menurut Stache (1995) prinsip dasar dari uji ini adalah
titrasi bahan aktif anionik menggunakan cetylpiridinium bromide, yang
merupakan salah satu jenis surfaktan kationik. Indikator yang digunakan
kloroform sehingga tercipta dua fasa yaitu fasa kloroform di bagian bawah
dan fasa larutan surfaktan dan methylen blue yang berada di bagian atas.
Bahan aktif yang larut pada methylen blue akan memberikan warna biru
pekat pada larutan surfaktan. Langkah selanjutnya adalah dititrasi dengan
surfaktan kationik. Dalam proses titrasi ini warna biru akan berpindah ke
fasa kloroform hingga warna dua fasa tersebut seragam. Bila titrasi
diteruskan maka fasa kloroform akan menjadi lebih pucat lalu
lama-kelamaan akan menjadi bening.
Gambar 14. . Grafik hubungan pengaruh laju alir reaktan SO3 dan suhu proses sulfonasi terhadap nilai bahan aktif
Gambar 14 menunjukkan bahwa peningkatan laju alir reaktan dan
suhu reaksi meningkatkan kadar aktif bahan MESA yang dihasilkan.
Peningkatan suhu berdampak pada peningkatan jumlah energi bagi
molekul reaktan, sehingga tumbukan antar molekul per satuan waktu lebih
produktif (Segel, 1993). Peningkatan laju alir reaktan gas SO3 akan memperbesar kemungkinan tumbukan antar partikel zat yang akan
semakin besar. Peningkatan kadar bahan aktif menunjukkan bahwa
semakin banyak molekul MES yang terbentuk.
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan adanya pengaruh laju alir
reaktan (X) dan suhu reaksi (Y) terhadap kadar bahan aktif. Pada selang
kepercayaan 95% (α=0,05), laju alir reaktan dan suhu reaksi memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap peningkatan kadar bahan aktif.
Akan tetapi interaksi antara laju alir reaktan dan suhu reaksi (X*Y) tidak
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kadar bahan aktif.
Hasil uji lanjut Duncan terhadap faktor suhu reaksi menunjukkan
bahwa masing-masing suhu reaksi (80, 100, 120°C) berbeda nyata satu
sama lain terhadap kadar bahan aktif. Hasil uji lanjut Duncan terhadap
faktor laju alir reaktan menunjukkan bahwa masing-masing laju alir
reaktan SO3 berbeda nyata satu sama lain terkecuali pada laju alir 0,8 kg/jam dan 1,1 kg/jam yang tidak berbeda nyata terhadap peningkatan
kadar bahan aktif. Hasil uji sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap
kadar bahan aktif dapat dilihat pada Lampiran 9.
Kondisi proses yang mampu memberikan kadar bahan aktif paling
tinggi ditunjukkan oleh laju alir reaktan gas SO3 1,1 kg/jam dan suhu reaksi 120°C. Pada kondisi ini, MESA yang dihasilkan mempunyai kadar
bahan aktif sebesar 16,00%. Hal ini diduga karena pada kondisi tersebut,
proses sulfonasi berjalan lebih sempurna dibandingkan kondisi yang lain
sehingga semakin banyak jumlah molekul surfaktan yang terbentuk.
6. pH
Derajat keasaman atau yang lebih dikenal dengan pH digunakan
untuk menyatakan tingkat keasaman atau kebasaan dari suatu bahan. Nilai
pH didefinisikan sebagai logaritma negatif dari konsentrasi ion hidrogen
(Fessenden dan Fessenden, 1995). Menurut Bodner dan Pardue (1989),
nilai pH berkisar antara 0-14. Kisaran nilai pH dari 0-6 menunjukkan
suatu larutan bersifat basa. Larutan dengan nilai pH 7 menunjukkan bahwa
larutan tersebut bersifat netral.
Pengukuran pH pada MESA dalam penelitian ini menggunakan
alat pH meter Schott Instruments handylab pH11/Set. Berdasarkan hasil
penelitian diperoleh nilai pH dari MESA berkisar antara 1,42 sampai 1,73.
Ini menunjukkan bahwa MESA yang terbentuk masih bersifat asam. Hal
ini disebabkan karena MESA yang terbentuk belum melalui tahap
netralisasi dalam proses pemurnian.
Gambar 15. Grafik hubungan pengaruh laju alir reaktan SO3 dan suhu proses sulfonasi terhadap nilai pH
Berdasarkan Gambar 15 di atas, dapat dilihat bahwa peningkatan
laju alir reaktan dan suhu reaksi berakibat pada penurunan nilai pH.
Penurunan nilai pH ini diduga karena semakin besar laju alir reaktan SO3 akan memperbesar tumbukan antar partikel yang berarti terbentuknya
gugus sulfonat pada metil ester semakin besar. Demikian pula dengan suhu
reaksi yang semakin tinggi akan mempercepat terjadinya proses sulfonasi.
Keberadaan gugus sulfonat yang bersifat asam inilah yang menyebabkan