• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika Pengelolaan Hutan Rakyat dan Strategi Pengembangannya di Kabupaten Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dinamika Pengelolaan Hutan Rakyat dan Strategi Pengembangannya di Kabupaten Bogor"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

DINAMIKA PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT

DAN STRATEGI PENGEMBANGANNYA

DI KABUPATEN BOGOR

AHMAD SYAHRU MAULUDI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Dinamika Pengelolaan Hutan Rakyat dan Strategi Pengembangannya di Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada Perguruan Tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

Ahmad Syahru Mauludi

(4)

RINGKASAN

AHMAD SYAHRU MAULUDI. Dinamika Pengelolaan Hutan Rakyat dan Strategi Pengembangannya di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh HARDJANTO dan YULIUS HERO.

Usaha hutan rakyat telah berlangsung sejak lama dan tetap berjalan sampai saat ini. Tujuan penelitian ini untuk mengungkap perkembangan pengelolaan hutan rakyat dari masa ke masa dalam konteks kebijakan, praktek pengelolaan dan strategi pengembangannya di Kabupaten Bogor. Penelitian ini dilaksanakan selama 7 bulan pada bulan Maret–September 2013. Perkembangan kebijakan pengelolaan hutan rakyat diperoleh dengan analisis isi dan kecenderungan terhadap dokumen/data sekunder yang memuat kebijakan pengelolaan hutan rakyat. Metode sejarah digunakan untuk mengidentifikasi perkembangan pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Bogor. Strategi pengembangan pengelolaan hutan rakyat dihasilkan dari analisis SWOT dan QSPM.

Hasil penelitian perkembangan kebijakan pengelolaan hutan rakyat menunjukkan bahwa kegiatan “Gerakan Karang Kitri” (1952–1958) merupakan langkah awal pemerintah Indonesia dalam mendorong terbentuknya hutan rakyat terutama di Jawa. Gerakan ini bersifat instruksi agar masyarakat menanam bibit pohon pada lahan milik masyarakat (pekarangan) yang tidak produktif. Kegiatan utama penanaman yang bersifat instruksi berlanjut dengan kegiatan Deptan 001–022 (1966–1973), RAKGANTANG (1972–1975), Inpres Penghijauan (1974–1983), Sengonisasi (1988–1993), dan GERHAN (2003– 2007). Sedangkan kegiatan persemaian dan bantuan kredit sampai tahun 2007 merupakan kegiatan pendukung. Kegiatan persemaian yang menjadi kegiatan utama adalah Kebun Bibit Rakyat dimulai tahun 2010 sampai saat ini.

Berdasarkan perkembangan pengelolaan hutan rakyat, keberadaan

dudukuhan (tegakan pohon yang didominasi buah-buahan) di masa Orde Lama tidak mendorong munculnya industri kayu. Karena kebutuhan sehari-hari masyarakat hanya sebatas kayu bakar dan perumahan sederhana dan sudah terpenuhi dari dudukuhan. Program penghijauan tahun 1952 sampai tahun 1980-an belum b1980-anyak mendorong masyarakat dalam usaha hut1980-an rakyat. Meningkatnya harga kayu rakyat tahun 1990-an dan sengonisasi telah mendorong masyarakat untuk menanam sengon. Kemudian tahun 2000-an banyak lahan pertanian dan dudukuhan berubah menjadi hutan rakyat sengon karena usaha pertanian tidak lagi menguntungkan dan kebutuhan industri kayu yang semakin meningkat. Hal tersebut semakin menarik investor perorangan dan korparasi untuk melakukan kemitraan dengan petani dalam usaha produksi hutan rakyat.

Berdasarkan hasil analisis SWOT dan QSPM dapat dirumuskan strategi pengembangan pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Bogor, yaitu: 1) Membangun pondasi ekonomi petani yang kuat dengan pola agroforestry; 2) Meningkatkan kapasitas kelompok petani dalam pengembangan komoditas unggulan pada lahan-lahan non produktif; 3) Pola pengembangan hutan rakyat melalui subsidi ini masih perlu dilakukan; dan 4) Meningkatkan peran pemerintah dalam memfasilitasi peningkatan kemitraan hutan rakyat dalam produksi hutan rakyat.

(5)

SUMMARY

AHMAD SHAHRU MAULUDI. Dynamics of Community Forest Management and Development Strategies in the Bogor Regency. Supervised by HARDJANTO and YULIUS HERO.

Community forest businesses have existed for a long time and are still running up to now. This research aims to expose the development s of community forest management in the course of time, in the context of policies, management practices and development strategies in the Bogor Regency. This research was conducted over seven months from March–September 2013. Developments of community forest management policies are obtained through content and tendency analyses of secondary documents/data which contain policies of community forest management. The historical method is used to identify the developments of community forest management in the Bogor Regency. Development strategies of community forest management are obtained through SWOT and QSPM analyses.

Research findings of the development of community forest management policies indicate that activities of “Gerakan Karang Kitri”—Karang Kitri Movement (1952–1958) were the initial steps of the Indonesian Government in pushing for the establishment of community forests, especially on Java. This movement was in the form of an instruction so that the people would grow tree seedlings on community-owned fields (their own gardens) which were not productive. The main activity of planting based on instruction continued with actions from the Department of Agriculture 001-022 (1966–1973), Presidential Instruction on Greening (1974–1983), Sengon-ization (1988–1993) and GERHAN—Movement of Forest and Land Rehabilitation (2003–2007). Meanwhile, nursery activities and loan support until 2007 were auxiliary activities. Nursery activities, which was the main program of Kebun Bibit Rakyat

(Community Seedling Gardens) started in 2010 and are continuing up to now. Based on community forest management developments, the existence of

dudukuhan (the tree stands are dominated by fruit trees) during the Orde Lama

(Old Order) period did not lead to the emergence of the wood industry, because he people’s daily needs were limited to firewood and simple housing, which were already fulfilled with dudukuhan. The greening program from 1952 to the 1980-ies was not much to push the people towards community forest businesses. The price increase of community wood in the 1990-ies and the sengon-ization program stimulated the people to plant sengon trees (Parasarianthes falcataria). Then in the year 2000 and up, many agricultural fields and dudukuhan changed into

sengon community forests, as the agricultural business was not profitable anymore and demand for wood industry was on the increase. This matter increasingly attracted individual investors and corporations to establish partnerships with farmers in the community forest business.

Based on the SWOT and QSPM analyses, development strategies of community forest management in the Bogor Regency can be formulated as follows: 1) Develop a strong farmers economic foundation with the agro-forestry pattern; 2) Increase the capacity of farmers groups to develop prime commodities on non-productive land; 3) The pattern of community forest development through this subsidy is still to be done; and 4) Increase the Government’s role in facilitating an increase of community forest partnership in community forest production.

(6)

©Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

DINAMIKA PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT

DAN STRATEGI PENGEMBANGANNYA

DI KABUPATEN BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(8)
(9)

Judul Tesis : Dinamika Pengelolaan Hutan Rakyat dan Strategi Pengembangannya di Kabupaten Bogor

Nama : Ahmad Syahru Mauludi NIM : E151100071

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Ketua

Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS

Anggota

Dr. Ir. Yulius Hero, M.Sc.F.Trop.

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Tanggal Ujian: 18 Juli 2014 Tanggal Lulus:

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 sampai dengan September 2013 yang berjudul Dinamika Pengelolaan Hutan Rakyat dan Strategi Pengembangannya di Kabupaten Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Hardjanto, MS dan Bapak Dr Ir Yulius Hero, MScFTrop selaku pembimbing, serta Ibu Dr Ir Leti Sundawati, MScFTrop yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Ibu Ida Manik dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor, Bapak Demus Silaen, Bapak Arta Kasmin, dan Bapak Haerudin Penyuluh Kehutanan dari BKP5K Kabupaten Bogor, Bapak Dondi (Bagian Program BKP5K), Bapak Diding Suhardiwan, Bapak Nana Rusnawan, dan Bapak Beny dari BP2HP Wil VII, Bapak Maman S dari BPDAS Citarum Ciliwung, Bapak H. Sahir, Alm, Bapak Nurjen dan Bapak Odjim (Leuwi Batu Rumpin), Bapak Enjen (Jugalajaya Jasinga), H Halim (Parung Panjang), H. Encep (Gunung Bunder), Usa (Situ Udik) dan lain-lain yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, istri serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

DAFTAR AKRONIM ... vii

1 PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 2

Tujuan Penelitian ... 2

Manfaat Penelitian ... 2

2 METODOLOGI PENELITIAN ... 2

Kerangka Pemikiran Penelitian ... 2

Metode Penelitian ... 3

Analisis Isi dan Kecenderungan ... 3

Metode Sejarah ... 4

Analisis Strategi Pengembangan ... 6

3 PERKEMBANGAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT ... 8

Kerangka Konsep Perkembangan Kebijakan Pengelolaan Hutan Rakyat 8 Substansi Perkembangan Kebijakan Pengelolaan Hutan Rakyat ... 8

Tinjauan sebelum Kemerdekaan... 8

Masa Orde Lama (1945–1965) ... 11

Periode Direktorat Jenderal Kehutanan di Orde Baru (1966–1983) .... 13

Periode Departemen Kehutanan di Orde Baru (1984–1997) ... 23

Masa Reformasi (1998 – sekarang) ... 27

Kecenderungan Kebijakan Pengelolaan Hutan Rakyat ... 33

4 PERKEMBANGAN PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT ... 34

Kerangka Konsep Perkembangan Pengelolaan Hutan Rakyat ... 34

Kelola Sumberdaya ... 37

Masa sebelum Kemerdekaan ... 37

Masa Orde Lama (1945–1965) ... 39

Periode Direktorat Jenderal Kehutanan di Orde Baru (1966–1983) .... 40

Periode Departemen Kehutanan di Orde Baru (1984–1997) ... 42

Masa Reformasi (1998 – sekarang) ... 42

Kelola Produksi ... 43

Masa sebelum Kemerdekaan ... 43

Masa Orde Lama (1945–1965) ... 44

Periode Direktorat Jenderal Kehutanan di Orde Baru (1966–1983) .... 44

Periode Departemen Kehutanan di Orde Baru (1984–1997) ... 45

Masa Reformasi (1998 – sekarang) ... 48

Kelola Sosial ... 54

Masa sebelum Kemerdekaan ... 54

Masa Orde Lama (1945–1965) ... 54

Periode Direktorat Jenderal Kehutanan di Orde Baru (1966–1983) .... 55

Periode Departemen Kehutanan di Orde Baru (1984–1997) ... 55

(12)

Kelola Ekologi ... 57

Masa sebelum Kemerdekaan ... 57

Masa Orde Lama (1945–1965) ... 58

Periode Direktorat Jenderal Kehutanan di Orde Baru (1966–1983) .... 58

Periode Departemen Kehutanan di Orde Baru (1984–1997) ... 58

Masa Reformasi (1998 – sekarang) ... 59

5 STRATEGI PENGEMBANGAN PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT ... 60

Kerangka Konsep Strategi Pengembangan Pengelolaan Hutan Rakyat ... 60

Identifikasi Faktor Berdasarkan Aspek Sumberdaya Lahan ... 60

Identifikasi Faktor Berdasarkan Aspek Produksi Hutan Rakyat ... 63

Identifikasi Faktor Berdasarkan Aspek Sosial Hutan Rakyat ... 64

Strategi Pengembangan Pengelolaan Hutan Rakyat ... 67

SIMPULAN DAN SARAN... 70

SIMPULAN ... 70

SARAN ... 70

DAFTAR PUSTAKA ... 71

RIWAYAT HIDUP ... 84

DAFTAR TABEL

1 Kategori Responden ... 4

2 Matrik faktor internal dan eksternal ... 6

3 Matriks QSPM ... 7

4 Substansi kebijakan pengelolaan hutan rakyat ... 8

5 Luas DAS dan lahan kritis di Provinsi Jawa Barat ... 15

6 Prosentase luas lahan kritis di Provinsi Jawa Barat ... 16

7 Realisasi tanaman penghijauan DAS Ciliwung/Cisadane (Deptan 018) 16 8 Realiasi ‘RAKGANTANG’ Provinsi Jawa Barat tahun 1972–1975 .. 17

9 Program Bantuan Inpres Penghijauan (Penanaman) di Kab. Bogor .... 19

10 Rencana dan Realisasi Penghijauan di Provinsi Jawa Barat ... 20

11 Hasil Pemeriksaan Realisasi Penghijauan di Kab. Bogor (Pelita III) .. 21

12 Proyek pengembangan penghijauan dengan Pola Panawangan ... 22

13 Kegiatan Kelompok Penghijauan Seksi Pengembangan Hutan Rakyat Tahun 1996–1998 ... 26

14 Kegiatan tanaman hutan rakyat dalam GERHAN 2005–2007 ... 30

15 Kerangka analisis perjalanan pengelolaan hutan rakyat ... 36

16 Penggunaan lahan kering di Kabupaten Bogor tahun 1989–1989 ... 46

17 Perkembangan industri pengolahan kayu (primer dan sekunder) di Kabupaten Bogor ... 51

18 Unit usaha industri penggergajian tahun 2008 di Kabupaten Bogor .... 52

19 Sortimen dan harga kayu Sengon sampai di industri ... 53

20 Luas penggunaan lahan kering di Bogor di Kabupaten Bogor Tahun 2011 ... 61

(13)

22 Perkembangan komoditas unggulan kayu rakyat tahun 2005–2012

di Kabupaten Bogor ... 64

23 Perkembangan kelembagaan pemerintah terkait hutan rakyat ... 65

24 Banyaknya kelompok tani binaan penyuluh kehutanan Kab Bogor .... 66

25 Faktor strategis dalam pengembangan pengelolaan hutan rakyat ... 67

26 Matriks analisis SWOT perumusan alternative strategi pengembangan pengelolaan hutan rakyat ... 68

27 Prioritas strategi pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Bogor berdasarkan analisis QSPM ... 69

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka Pemikiran Penelitian ... 3

2 Perkembangan bentuk program/kegiatan pengelolaan hutan rakyat.... 33

3 Perkembangan sifat dari bentuk program/kegiatan pengelolaan hutan rakyat ... 34

4 Perkembangan penggunaan lahan hutan rakyat di Kabupaten Bogor.. 46

5 Perubahan luas hutan rakyat era reformasi di Kabupaten Bogor ... 48

6 Perkembangan luas hutan rakyat yang tumbuh tanaman bambu dan berkayu di Kabupaten Bogor ... 50

7 Perkembangan produksi kayu rakyat di Kabupaten Bogor ... 51

8 Skema pemasaran kayu rakyat di Kabupaten Bogor ... 53

9 Kerangka Analisis Strategi Pengembangan Hutan Rakyat ... 60

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kebijakan pemerintah pada era Orde Lama. ... 77

2 Kebijakan pemerintah pada era Orde Baru... 78

3 Target penyelenggaraan kebijakan GERHAN tingkat nasional ... 81

DAFTAR AKRONIM

AIK : Akademi Ilmu Kehutanan

Balitbang Pertanian : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

BPS Kab. Bogor : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor

BRLKT : Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah

Dephut : Departemen Kehutanan

Dishut Jabar : Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat

Dishutbun Bogor : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten

Bogor

Diskop Perindag Bogor : Dinas Koperasi Usaha Kecil Menengah

Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bogor

Distanhut Bogor : Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor

(14)

Ditjen RRL : Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan

Dit PT : Direktorat Penggunaan Tanah

Dit RR : Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi

FAO : Food and Agriculture Organization Of The United

Nations

HGU : Hak Guna Usaha

KanwilhutJabar : Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi

Jawa Barat

KOGM : Kegiatan Operasi Gerakan Makmur

KTH : Kelompok Tani Hutan

P3RP DAS : Proyek Perencanaan dan Pembinaan Reboisasi dan

Penghijauan Daerah Aliran Sungai

PHTA : Penyelamatan Hutan Tanah dan Air

PLP : Petugas Lapangan Penghijauan

PPN : Pekan Penghijauan Nasional

PPTK : Percobaan Perusahaan Tanah Kering

PRP Djabar : Projek Reboisasi dan Penghidjauan Propinsi Djawa

Barat

RAKGANTANG : Gerakan Gandrung Tatangkalan

(Gerakan Cinta Pepohonan)

UP-UPSA : Unit Percontohan Usaha Pelestarian Sumberdaya

Alam

UUPA : Undang-Undang Pokok Agraria

UUPK : Undang-Undang Pokok Kehutanan

(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Besarnya laju kerusakan hutan dan melemahnya dunia usaha sektor kehutanan berbasis hutan produksi1

Eksploitasi hutan terjadi juga pada masa orde baru dan masa reformasi. Berdasarkan catatan FAO (2010) Indonesia mengalami penurunan luas hutan terbesar ketiga setelah Brasil dan Australia selama tahun 2000–2010. Menurut Nurjaya (2005) penurunan luas tersebut terjadi karena kebijakan pemberian konsesi pengusahaan hutan yang tidak terbuka, tidak seletif, dan lemahnya aspek pengawasan dan penegakan hukum. Dalam kondisi keterpurukan kelestarian hutan produksi, usaha hutan rakyat yang telah berlangsung sejak lama tetap berjalan sampai saat ini.

pada dasarnya merupakan potret sejarah panjang pengelolaan hutan di Indonesia. Dimulai jaman penguasaan para raja, kemudian penjajahan Belanda (1819–1942), dilanjutkan penguasaan Jepang (1942–1945) adalah masa suram pengelolaan hutan di Indonesia. Eksploitasi besar-besaran terjadi pada periode penguasaan Belanda dan Jepang untuk kepentingan ekonomi kerajaan Belanda dan sarana pendukung perang bagi Jepang pada waktu itu (Dephut 1986).

Bertahannya usaha hutan rakyat ini telah menjadi pembahasan banyak pihak. Sampai saat ini keberadaannya semakin diakui terutama di Pulau Jawa. Keberadaannya tidak semata-mata faktor alami antara komponen biofisik, tetapi karena adanya praktek pengelolaan hutan rakyat oleh masyarakat dan berbagai kebijakan pemerintah dalam penghijauan lahan milik (Mardikanto 1995). Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu Kabupaten yang memiliki potensi hutan rakyat cukup baik. Keberadaannya sebagai dampak dari kebijakan dan praktek pengelolaan hutan rakyat belum banyak terungkap.

Studi dinamika pengelolaan hutan rakyat untuk mengungkap

keberadaannya di masa lalu dan bagaimana perjalanan sejarah pengelolaan hutan rakyat sangatlah penting dilakukan. Kemudian, perkembangan pengelolaan hutan rakyat dari waktu ke waktu dalam konteks kelola produksi, sosial dan ekologi belum terungkap terutama terkait dengan kegiatan pengelolaan hutan yang ada di masyarakat. Semuanya itu penting untuk dilakukan penelusuran sejarah tentang praktek-praktek pengelolaan hutan rakyat oleh masyarakat. Selain itu, berbagai kebijakan yang telah mendorong praktek-praktek pengelolaan hutan rakyat oleh masyarakat merupakan hal yang tidak kalah penting untuk diungkap. Penelusuran sejarah ini merupakan salah satu upaya yang dapat membantu pengembangan hutan rakyat, terutama dalam menyusun strategi pengembangannya. Strategi ini ditujukan untuk pemerintah pusat dan daerah dalam pengembangan pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Bogor.

1

(16)

Perumusan Masalah

Dalam perjalanannya pengelolaan hutan rakyat dihadapkan oleh perkembangan berbagai peristiwa (kebijakan dan non kebijakan) penting dari waktu ke waktu. Perkembangan peristiwa penting seperti perubahan program penghijauan, perubahan tataniaga kayu, krisis moneter, otonomi daerah merupakan faktor-faktor kebijakan dan non kebijakan yang telah membawa perubahan pengelolaan hutan rakyat.

Keberadaan hutan rakyat yang saat ini semakin diakui merupakan hasil sejarah panjang pengelolaan hutan rakyat. Tidak bisa dipungkiri bahwa kebijakan pemerintah yang merupakan kebijakan publik dan adanya praktek-praktek pengelolaan hutan rakyat oleh masyarakat yang telah berlangsung cukup lama telah membawa dampak pada keberadaan hutan rakyat. Bagaimana gambaran perkembangan kebijakan terkait pengelolaan hutan rakyat, bagaimana perkembangan pengelolaan hutan rakyat dari waktu ke waktu, bagaimana merumuskan strategi pengembangannya merupakan pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah untuk mengidentifikasi perkembangan isi substansi dan kecenderungan kebijakan terkait pengelolaan hutan rakyat, mengidentifikasi perkembangan pengelolaan hutan rakyat dari waktu ke waktu di Kabupaten Bogor dan merumuskan strategi pengembangan dan mengajukan rekomendasi strategi pilihan terhadap pengelolaan hutan rakyat ke depannya.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk para pembuat kebijakan dan pelaku usaha hutan rakyat sebagai media pembelajaran dan pemahaman praktek pengelolaan hutan dari masa lalu dan juga bermanfaat bagi peningkatkan pemahaman secara kualitatif tentang permasalahan pengelolaan hutan rakyat, guna membantu mencari solusi pengelolaan hutan rakyat yang ideal.

2 METODOLOGI PENELITIAN

Kerangka Pikir Penelitian

(17)

masyarakat (Hardjanto 2003). Maka, dalam pembahasan ini, segala aktifitas usaha vegetatif kehutanan oleh pemerintah yang berada pada tanah milik merupakan kebijakan pengelolaan hutan rakyat.

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian.

Perkembangan kebijakan pengelolaan hutan rakyat diperoleh dengan menggunakan analisis isi dan kecenderungan terhadap dokumen/data sekunder yang memuat tujuan kebijakan, program atau kegiatan pemerintah dan implementasi program/kegiatan terkait pengelolaan hutan rakyat dari tahun ke tahun dalam bentuk periodisasi. Bentuk periodisasi diawali periode tinjauan sebelum kemerdekaan, periode Orde Lama (1945–1966), periode Direktorat Jenderal Kehutanan di Orde Baru (1966–1983), periode Departemen Kehutanan di Orde Baru (1983–1997), masa reformasi (1998–sekarang). Metode sejarah digunakan untuk melihat perkembangan pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Bogor dari waktu ke waktu. Strategi pengembangan pengelolaan dihasilkan dari analisis SWOT dan QSPM.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama 7 bulan (Maret – September 2013). Metode penelitian terbagi dalam tiga bagian, yaitu: 1) Analisis isi dan kecenderungan, 2) Metode sejarah dan 3) Analisis strategi pengembangan.

Analisis Isi dan Kecenderungan

(18)

isi atau melakukan perbandingan antarwaktu dan antarsituasi yang berbeda. Desain analisis isi untuk menjaring data tentang 3 karakteristik subtansi kebijakan terkait pengelolaan hutan rakyat dari satu ke waktu yang lain. Substansi tersebut, yaitu: (1) Tujuan kebijakan, (2) Bentuk/metode program atau kegiatan (persemaian, penanaman, dan bantuan kredit) (3) Sifat program/kegiatan (instruksi, pemberdayaan masyarakat, kampanye, dan bantuan). Selanjutnya dilakukan analisis kecenderungan untuk melihat kecenderungan tujuan, bentuk dan sifat kebijakan pengelolaan hutan rakyat.

Metode Sejarah

Metode sejarah atau disebut juga metode penelitian sejarah memiliki empat tahapan, yaitu heuristik, kritik sumber sejarah, interpretasi dan historiografi (Pranoto 2010).

1. Heuristik (Pengumpulan Sumber)

Heuristik (heuristic) berasal dari bahasa yunani heuristiken yang artinya mengumpulkan atau menemukan sumber. Jadi heuristik adalah mengumpulkan atau menemukan sejumlah materi sejarah yang tersebar dan teridentifikasi (Pranoto 2010). Selanjutnya menurut Pranoto (2010), sumber sejarah merupakan bahan penulisan sejarah yang mengandung evidensi (bukti) baik lisan maupun tertulis. Langkah awal yang dilakukan dalam penelusuran sejarah adalah mengumpulkan sumber sejarah yang relevan dan berhubungan dengan permasalahan penelitian berupa sumber tulisan dan lisan dan data yang dikumpulkan berbentuk data primer dan sekunder.

Pengumpulan sumber tertulis menggunakan teknik studi literatur sebagai salah satu teknik dalam pengumpulan data. Data yang dikumpulkan berasal dari sumber buku, jurnal, disertasi, tesis, skripsi, dokumen, maupun artikel yang terkait permasalahan penelitian. Dalam proses ini, penelusuran sumber tertulis dilakukan di berbagai perpustakaan, instansi pemerintah pusat dan daerah seperti Kementerian Kehutanan, Dinas Pertanian dan Kehutanan (Distanhut) Kab. Bogor, Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyulahan Pertanian Perikanan dan Kehutanan (BKP5K) Kab. Bogor, Balai Pemantauan dan Pemanfaatan Hutan Produksi (BP2HP) Wilayah VII, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Citarum Ciliwung dan Perpustakaan Museum Manggala Wanabakti.

Tabel 1 Kategori responden.

Jenis Responden Kategori Pekerjaan Metode

Pengumpulan

Jumlah Responden (orang)

Informan kunci Pelaku Usaha snow ball

a

21 BPDAS, BP2HP, Distanhut, BKP5K snow ball 11 Informan Biasa Masyarakat sekitar hutan snow ball - a

Pengumpulan sumber tidak tertulis atau sumber lisan dilakukan dengan metode wawancara. Sebelum kegiatan wawancara, terlebih dahulu dilakukan observasi di wilayah barat Kabupaten Bogor dengan merekam kegiatan yang relevan sebagai sumber data dan dilanjutkan kegiatan mencari narasumber yang akan diwawancara. Informasi dari kantor dinas kehutanan dan pertanian dan penyuluh kehutanan di Kabupaten Bogor untuk dapat dijadikan informan kunci dan informan biasa di tiap kecamatan sebagai sumber lisan dengan kategorisasi responden dapat dilihat pada Tabel 1. Jumlah responden ditentukan di lapangan

(19)

sesuai dengan kecukupan data dan informasi (efek bola salju bergulir/ snow ball

effect).

Teknik wawancara menggunakan instrumen terbuka atau semi terstruktur, yang artinya jawaban secara mendalam dari narasumber sesuai format kerangka pertanyaan yang telah ditetapkan.

2. Kritik (Verifikasi)

Kritik sumber sejarah adalah upaya untuk mendapatkan otensitas dan kredibilitas sumber, sehingga sumber yang diperoleh dapat dipercaya (credible), penguatan saksi mata (eyewitnes), benar (truth), tidak dipalsukan (unfabricated) dan handal (reliable) (Pranoto 2010).

Kritik sumber sejarah terdiri dari kritik eksternal dan kritik internal. Kritik eskternal adalah usaha mendapatkan otensitas sumber dengan melakukan penelitian fisik terhadap suatu sumber. Kritik internal adalah kritik yang mengacu pada kredibilitas sumber artinya apakah isi dokumen ini terpercaya, tidak dimanipulasi, mengandung bias, dikecohkan, dan sebagainya (Pranoto 2010).

Kritik sumber data dan informasi merupakan tahap lanjutan dari heuristik, dengan maksud melakukan proses penyelidikan kesesuaian, keterkaitan, dan keobjektifannya secara eskternal dan internal. Kritik sumber tertulis menggunakan kajian perbandingan antara sumber-sumber tertulis lainya. Adapun kritik terhadap sumber lisan dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1) Verifikasi usia dari sumber pada waktu periode tersebut berlangsung; 2) Verifikasi latar belakang narasumber, seperti apakah sesuai dengan peristiwa yang diceritakan, atau apakah terlibat langsung atau tidak langsung atau menurut orang lain; 3) Melihat kondisi kesehatan narasumber pada waktu tersebut, seperti hilang ingatan, pelupa, dan sebagainya. 4) Melihat tabiat/gelagat informan seperti apakah melakukan ‘gerakan tutup mulut’ dan ‘antipati’.

Proses perbandingan antara sumber tertulis dengan sumber lisan merupakan tahapan selanjutnya. Tahapan ini bertujuan untuk memilah-milah data dan informasi sebagai fakta yang sesuai dengan permasalahan penelitian, sehingga membantu dalam proses selanjutnya yaitu interpretasi.

3. Interpretasi (Penafsiran)

Interpretasi atau tafsir dilakukan untuk menghasilkan cerita sejarah dari fakta yang sudah dikumpulkan. Interpretasi dapat dilakukan dengan analesis dan sitensis (Pranoto 2010). Menganalesis sama dengan menguraikan setiap kejadian untuk diambil kesimpulan. Sitesis berbeda dengan anelisis, dimana menurut Pranoto (2010) sintesis adalah menyatukan kejadian-kejadian atau sebab-sebab sejarah. Dengan kata lain sintesis adalah pengelompokan faktor-faktor yang berbeda dihubungkan menjadi suatu kesimpulan

Interpretasi dalam penelitian dilakukan dengan analisis untuk menjelaskan dan menjawab bagaimana gambaran perkembangan pengelolaan hutan rakyat dari waktu ke waktu di Kabupaten Bogor.

4. Historiografi

(20)

Analisis Strategi Pengembangan

Tahapan analisis strategi pengembangan diawali dengan analisis strategi internal eksternal yang merupakan bagian dari analisis SWOT (Strenght,

Weakness, Opportunity, Threat). Menurut Bungin (2011) analisis SWOT sering

kali dimanfaatkan dalam penelitian kualitatif untuk menganalisis masalah-masalah administrasi, kebijakan publik, manajemen dan kinerja perusahaan. Hasil analisis faktor internal dan faktor eksternal dilanjutkan dengan analisis SWOT untuk merumuskan berbagai alternatif strategi. Strategi prioritas pengembangan pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Bogor diperoleh dari analisis QSPM

(Quantitative Strategic Planning Matrix).

1. Analisis Faktor Strategi Internal Eksternal

Analisis faktor strategis internal eksternal dilakukan untuk memperoleh nilai bobot dari masing-masing faktor untuk selanjutnya digunakan dalam matriks QSPM, dengan langkah sebagai berikut:

a. Mengidentifikasi dan mengelompokkan faktor strategi dalam faktor internal dan eksternal.

b. Menentukan derajat kepentingan relatif (bobot) setiap faktor. Penentuan bobot faktor internal dilakukan dengan memberikan penilaian atau pembobotan angka pada masing-masing faktor oleh 7 responden pemangku kebijakan. Penilaian angka pembobotan adalah sebagai berikut: 5 jika faktor “sangat penting”, 4 jika faktor “penting”, 3 jika faktor “biasa saja”, 2 jika faktor “kurang penting”, 1 jika faktor “tidak penting”.

c. Rataan dari bobot dibandingkan dengan total bobot masing-masing faktor internal dan eksternal merupakan nilai bobot.

d. Nilai bobot ini digunakan sebagai faktor tertimbang dalam analisis QSPM Tabel 2 Matrik faktor internal eksternal

No.

Keterangan: R1, R2, …., R7 = pembobotan oleh responden 1, dan seterusnya

2. Analisis SWOT

Analisis SWOT menghasilkan empat alternatif strategi yaitu:

a. Strategi kekuatan-peluang. Strategi ini berusaha memanfaatkan kekuatan yang ada untuk merebut dan memanfaatkan peluang secara optimal.

b. Strategi kekuatan-ancaman. Strategi ini berusaha untuk memanfaatkan

(21)

c. Strategi kelemahan-peluang. Strategi ini digunakan untuk memanfaatkan peluang yang ada untuk meminimalkan kelemahan yang dimiliki.

d. Strategi kelemahan-ancaman. Strategi ini merupakan strategi defensif yang berusaha untuk meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman.

3. Analisis QSPM

Tahap keputusan digunakan untuk menentukan strategi alternatif mana yang paling baik untuk dipilih dan teknik yang digunakan adalah QSPM. Tahapannya adalah:

a. Memberikan bobot untuk setiap faktor internal dan eksternal. Bobot ini identik dengan yang digunakan dalam matriks IFE dan matriks EFE. Bobot dituliskan dalam kolom di sebelah kanan faktor sukses kritis internal dan eksternal.

b. Memeriksa matriks SWOT dan mengidentifikasi alternatif strategi yang harus dipertimbangkan untuk diimplementasikan. Catat semua strategi ini di baris teratas dari matriks QSPM.

c. Menetapkan nilai daya tarik (Attractiveness Score = AS) dan menentukan nilai yang menunjukkan daya tarik relatif dari setiap alternatif strategi. Nilai daya tarik ditetapkan dengan memeriksa setiap faktor internal dan eksternal satu per satu, dengan mengajukan pertanyaan, apakah faktor ini mempengaruhi strategi pilihan yang dibuat? Nilai daya tarik itu adalah 1 = tidak menarik, 2 = agak menarik, 3 = secara logis menarik, dan 4 = sangat menarik.

d. Menghitung total nilai daya tarik (Total Attractiveness Score = TAS). Total nilai daya tarik ditetapkan sebagai hasil perkalian bobot dengan nilai daya tarik dalam setiap baris (Tabel 3). Total nilai daya tarik menunjukkan daya tarik relatif dari setiap strategi alternatif, hanya mempertimbangkan dampak dari faktor sukses kritis internal dan eksternal di baris tertentu. Semakin tinggi total nilai daya tarik, semakin menarik strategi alternatif itu.

Tabel 3 Matriks QSPM

(22)

3 PERKEMBANGAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN

RAKYAT

Kerangka Konsep Perkembangan Kebijakan Pengelolaan Hutan Rakyat

Studi perkembangan kebijakan difokuskan pada implementasi kebijakan yang menyangkut hutan rakyat. Wahab (2004) mengutip penjelasan Daniel A. Mazmanian dan Paul A Sabatier tentang makna implementai kebijakan: memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijakan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijakan publik, yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada

masyarakat atau kejadian-kejadian.

Berdasarkan pandangan tersebut maka implementasi kebijakan merupakan segala peristiwa dan kegiatan yang terjadi setelah kebijakan publik disahkan. Menurut Wahab (2004) segala peristiwa yang terjadi atau sedang berlangsung bukanlah terjadi secara alami, atau sebagai sesuatu yang terjadi karena proses yang normal, melainkan kebijakan publik (public policy) yang sesungguhnya telah memberikan warna terhadap berbagai peristiwa di sekitar kita disadari atau tidak, mengerti atau tidak.

Berbekal analisis isi dan kecenderungan terhadap dokumen/artikel yang memuat kebijakan pengelolaan hutan rakyat, maka akan diuraikan khasanah baru dalam pengetahuan yang sebelumnya tidak pernah menjadi perhatian banyak pihak untuk mengungkapnya. Perkembangan atau perjalanan kebijakan pengelolaan hutan rakyat yang memuat tujuan/latar belakang, bentuk/metode, sifat, dan implementasinya serta kecenderungan kebijakan pengelolaan hutan rakyat dari waktu ke waktu dalam bentuk periodesasi. Periodesasi terbagi dalam masa sebelum kemerdekaan, Orde Lama (1945–1966), periode Direktorat Jenderal Kehutanan di Orde Baru (1966–1983), Periode Departemen Kehutanan di Orde Baru (1984–1997), masa Reformasi (1998–sekarang).

Subtansi Perkembangan Kebijakan Pengelolaan Hutan Rakyat

Subtansi perkembangan kebijakan terkait pengelolaan hutan rakyat dapat diuraikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Substansi kebijakan pengelolaan hutan rakyata

Periode/Tahun

.

Nama

Kebijakan Tujuan Kebijakan

Bentuk Program/

1. Tinjauan sebelum kemerdekaan

(23)

Tabel 4 Substansi kebijakan pengelolaan hutan rakyata (lanjutan)

Periode/Tahun Nama

Kebijakan Tujuan Kebijakan

Bentuk

1952-1958 Gerakan Karang Kitri 3. Periode Ditjen Kehutanan di Orde Baru

Pra Pelita(1966–1969)

1969-1973 Deptan 002-022 Rehabilitasi DAS tanah kritis di luar kawasan hutan

Rehabilitasi DAS tanah kritis dan peningkatan pendapatan masyarakat pangan dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam penamanan pohon

V V - V V - -

1979-1983 PPN Kampanye Penghijauan - V - - - V - 4. Periode Depertamen Kehutanan di Orde Baru

Pelita IV (1984-1988)

Penghijauan Rehabilitasi DAS tanah kritis dan peningkatan pendapatan masyarakat

V V - V V - -

Pelita V (1988-1993)

1988-1993 Sengonisasi Peningkatan pendapatan masyarakat dan pemenuhan bahan baku industri

- V - V V - -

1989-1990 Kredit Usaha Tani Konservasi 1994-1997 Kebun Bibit

Desa

Pendukung pengembangan hutan rakyat

V - - - - V -

1997 Kredit Usaha Hutan Rakyat

(24)

Tabel 4 Substansi kebijakan pengelolaan hutan rakyata (lanjutan)

Periode/Tahun Nama

Kebijakan Tujuan Kebijakan

Bentuk

5. Masa reformasi (1998-sekarang) 2001- 2004 Pembuatan dan

pemeliahraan hutan rakyat

Peningkatan pendapatan masyarakat

- V - - V - V

2004-2009 KMDN Kampanye pembinaan cinta lingkungan bagi anak-anak

- V - - - V -

2005-2009 GNRHL/GERHAN Peningkatan pendapatan masyarakat

Rehabilitasi lahan kritis

- V - V - V V

2008-2009 One Man One Tree Kampanye penanaman pohon

2010-sekarang Kebun Bibit Rakyat Peningkatan pendapatan masyarakat

Rehabilitasi lahan kritis

V V - - V - V

a

Analisis isi dokumen yang memuat kebijakan pengelolaan hutan rakyat.

Tinjauan sebelum Kemerdekaan

Pada masa VOC (Vereenig-de Oots-Indische Compagnie)2

Pembatasan akses warga pribumi dalam memanfaatkan hutan tidak serta merta meningkatnya tutupan hutan. Berdasarkan catatan yang ada, penebangan yang berlebihan telah dilakukan Jepang untuk mendukung kemenangan perang Jepang di Asia Timur (Dephut 1986) dan belum memasyarakatnya pemanfaatan penggarapan lahan dengan baik dan terpadu, menimbulkan peningkatan lahan kritis secara pesat (Djajapertjunda 2003). Soepardja (1991) menyatakan bahwa masa pendudukan Jepang mengalami sulitnya mendapatkan bahan bakar minyak, akibatnya tanaman lamtoro sebagai penguat teras digali sampai keakarnya, kemudian dijadikan pengganti bahan bakar minyak. Kondisi tersebut menimbulkan kerusakan pada sengkedan-sengkedan lahan serta mengancam terjadinya erosi yang cukup besar.

dan Pemerintahan Hindia Belanda di beberapa wilayah Indonesia, hutan banyak dibuka untuk dijadikan perkebunan rakyat (kopi, lada dan cengkeh) yang dari segi pengawetan tanah dilakukan secara gegabah (Kartasapoetra et al. 1987). Masa pendudukan Jepang terhadap sumberdaya hutan di wilayah Bogor diperkirakan mulai tahun 1942. Pembatasan akses penduduk lokal untuk memanfaatkan hutan diberlakukan di tiap daerah termasuk Bogor.

Permasalahan erosi akibat degredasi hutan terjadi di mana-mana pada era 1930-an. Menurut DR. Ch. Coster diacu dalam Soepardja (1991) mengemukakan bahwa sejak 1931 perhatian dunia banyak tercurah pada

2

(25)

bahaya erosi yang terjadi di mana-mana, bahkan di seluruh dunia. Pada waktu tersebut, tanah yang menderita erosi di Yogyakarta, Surakarta dan Semarang mencapai 1.602.500 ha (Dephut 1986). Berdasarkan laporan survey dampak lingkungan Saguling oleh lembaga UNPAD bahwa tingkatan erosi selama periode 1911–1977 pada beberapa DAS di Jawa sebesar 0,25–9,0 mm/tahun. Balai Penyelidikan Bogor mengatakan tanah subur setebal 20 cm di daerah Yanlapa (Jasinga-Bogor) hanyut oleh erosi selama ± 60 tahun (Dephut 1986; Kartasapoetra et al. 1987). Artinya di wilayah Jasinga erosi secara besar-besaran sudah terjadi sejak tahun 1926-an. Angka yang lebih mengejutkan lagi, bahwa menurut Balai Penyelidikan Tanah diacu dalam Dephut (1966) sebelum masa perang, erosi menyebabkan hilangnya tanah sebanyak 5 ton/ha (tanah vulkanis) dan 65 ton/ha (formasi kapur) tiap tahun. Ini berarti di Jawa setiap tahun tidak kurang dari 200 juta ton tanah subur dihanyutkan ke dasar laut.

Masa Orde Lama (1945 – 1965)

Sepeningalan Jepang yaitu jaman perang kemerdekaan tahun 1945–1949 (Dephut 1986), pemerintah RI memberikan perhatian besar terhadap erosi ini terutama pada lahan-lahan kritis. Bangsa Indonesia pun dihadapkan pada keadaan hutan dan lahan yang memerlukan rehabilitasi berat, akibat pendudukan Jepang serta kondisi yang berat mempertahankan kemerdekaan dan memenangkan perjuangan melawan Belanda yang ingin menjajah kembali (Dephut 1986). Pendudukan kantor-kantor pemerintahan termasuk jawatan kehutanan oleh tentara Inggris yang diboncengi tentara Belanda selama 1945– 1949 berakibat pada tidak efektifnya pembangunan kehutanan. Menurut Kartasapoetra at al. (1987), Agresi Militer Belanda II (1948) menghentikan kegiatan pembangunan Waduk Lakbok (Jawa Barat) dalam usaha konservasi tanah dan air. Selanjutnya, satu-satunya pembangunan yang berhasil berkaitan dengan bidang konservasi tanah dan air adalah pembangunan waduk Sragen yang dapat diselesaikan tahun 1948. Melihat situasi tersebut Pemerintah RI mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 59 tahun 1948 tentang Militerisasi Jawatan Kehutanan dengan maksud pegawai kehutanan berperan aktif dalam perang gerilya melawan agresi Belanda II (Dephut 1986). Wilayah Bogor Barat adalah garis demarkasi pertahanan, selain dijadikan tempat dan markas pasukan tentara, sekaligus menjadi benteng pertahanan bagi daerah keresidenan Banten.

(26)

Tidak hanya Jawatan Pertanian Rakyat, pada masa demokrasi liberal Jawatan Kehutanan pun mulai menasionalisasikan lahan kehutanan yang semula dikuasai Belanda. Selain usaha pemerintah dalam nasionalisasi pengelolaan hutan dan perkebunan eks Belanda, usaha pemerintah untuk penyelematan tanah tandus dan kritis dari tahun ke tahun merupakan kebijakan pokok pemerintah. Misalnya tahun 1956 pemerintah mencetuskan

Arbor Day (hari keteduhan/pohon) pada Kongres Kehutanan di Bandung

(Kartasapoetra et al. 1987; Soepardja 1991). Kegiatan-kegiatan pengawetan tanah dan air dirasa tidak cukup mengurangi aliran sungai di permukaan ( run-off) dan erosi, karena masih banyaknya lahan-lahan yang kosong. Lahan-lahan kosong di wilayah Bogor banyak berasal dari lahan perkebunan teh yang ditinggalkan Belanda yang tidak dilanjutkan pengelolaannya.

Selanjutnya untuk menyelenggarakan penanaman tanah-tanah kosong sebagai tindakan kearah pengendalian erosi, maka dengan surat Keputusan Menteri Pertanian tanggal 18 Nopember 1952 No. 113/Um/52 telah ditetapkan pembentukan “Panitia Karang Kitri” (Ponto 1954). Pelaksanaan dilakukan di Pulau Jawa. Panitia provinsi di Jawa diberi nama “Panitia Provinsi Karang

Kitri” diketuai oleh Gubernur dan dibantu oleh wakil-wakil dari Jawatan

Pertanian Rakyat. Panitia Karang Kitri Provinsi membentuk Panitia Tingkat Kabupaten dan seterusnya sampai pada tingkat kewedanaan dan Kecamatan.

Karang Kitri dapat diartikan pekarangan (Karang) yang ditumbuhi bibit pohon (kitri)3

Dephut (1986) menyebutkan gerakan ini dilaksanakan secara gotong royong antara Jawatan Pertanian Rakyat dengan masyarakat yang melibatkan alim ulama, organisasi tani, wanita dan guru. Ruang lingkup kegiatan terdiri dari penyengkedan tanah-tanah miring, penanaman pohon ditanah gundul, pembibitan dari berbagai jenis pohon keras dan buah-buahan serta pemberian bibit kepada petani (Ponto 1954). Kegiatan Hasil gerakan tersebut secara fisik telah menanam pohon seluas 180.000 ha selama tahun 1956–1958 (Dephut 1986). Melalui gerakan inilah wilayah Bogor diperkenalkan dengan tanaman yang benama Sengon/Jeunjing dan masyarakat mulai mengenal metode jarak tanam. Tetapi, tidak diperoleh keterangan lebih lanjut tentang rincian luas dan lokasi kegiatan karang kitri di Kabupaten Bogor.

. Menurut Setiadiredja (1954) di Pulau Jawa terdapat suatu masyarakat daerah, yang bertani berdasarkan unit keluarga, terdiri dari sawah, tegal dan pekarangan. Selanjutnya di beberapa daerah di Pulau Jawa sawah adalah milik desa, tetapi pekarangan dan tegal adalah milik keluarga. Luas pekarangan di Pulau Jawa tahun 1950-an terdapat 20% dari seluruh tanah pertanian. Daerah yang penduduknya lebih banyak, luas pekarangan dapat mencapai 30–40% dari luas lahan pertanian, sehingga pekarangan merupakan bagian terpenting dari sistem pertanian. Jadi makna dari Gerakan Karang Kitri adalah untuk membangun kesadaran terhadap keluarga untuk menanami kembali pekarangan yang gundul.

Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-Pokok Agraria, menjadi dasar kebijakan dalam memelihara tanah

3

(27)

termasuk menambah kesuburan dan mencegah kerusakannya. Menteri Pertanian (dr. Aziz Saleh) yang didukung oleh Menteri Koordinator Produksi (Mayor Jenderal Soeparjogi) dan atas gagasan Hatin Soedarma4

Wirakusumah (1964) menyatakan Gerakan Karang Kitri, greening

movement (arbor day, pekan penghijauan), gerakan pertahanan tanah, dan

KOGM (Lampiran 1) merupakan usaha pemerintah untuk menghijaukan tanah-tanah gundul yang berbentuk gerakan masal. Setiap tahunnya terutama setelah tahun 1950, usaha ini tidak sedikit uang yang telah dianggarkan. Usaha seperti ini menurut Wirakusumah (1964) disebut “dorongan

gerakan-gerakan masal yang sudah terang akan membantu memadjukan gagasan

hutan rakjat”.

melakukan gerakan “Penghijauan” (Dephut 1986). Gerakan “Penghijauan” merupakan terminologi baru dalam upaya rehabilitasi tanah kosong/tandus di luar hutan negara mengganti kebijakan gerakan “Karang Kitri”. Pekan Penghijauan I tahun 1961 dilaksanakan pada lahan bukan milik petani di tengah perkebunan teh Gunung Mas, Kabupaten Bogor (Dephut 1986). Pekan penghijauan ini dinilai berhasil dan dilanjutkan secara nasional. Pekan penghijauan selanjutnya pada jaman demokrasi terpimpin (1960–1965) adalah sebagai berikut (Dephut 1986): 1) Pekan Penghijauan II dilaksanakan di Gunung Kromong Cirebon - Jawa Barat (1962); 2) Penghijauan III di Gunungkidul DI Yogyakarta (1963); 3) Penghijauan IV dan V di Blitar - Jawa Timur (1964-1965). Sampai dengan kurun waktu sebelum Pelita I (1968–1973) luas rata-rata penghijauan setiap tahunnya mencapai 30.000 ha (Dephut 1986).

Periode Direktorat Jenderal Kehutanan di Orde Baru (1966–1983)

Memasuki Orde Baru status Departemen Kehutanan5 diubah menjadi

Direktorat Jenderal Kehutanan di bawah Departemen Pertanian melalui Surat Keputusan Presiden RI No. 170 tahun 1966 tentang Struktur Dasar Organisasi dan Bidang Tugas dari Departemen-departemen dalam Kabinet Ampera. Mengerucutnya Organisasi Kehutanan tidak lantas mengerucutkan pula ruang lingkup kegiatan kehutanan, tetapi semakin berkembang. Perkembangan ruang lingkup kegiatan kehutanan ini diiringi dengan meningkatnya aneka usaha kehutanan, kebutuhan hasil hutan dan jasa lingkungan. Sebagai landasan hukum dan dasar pengambilan kebijakan bidang kehutanan yang semakin berkembang, maka Pemerintah bersama DPR menetapkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan. UU ini bersifat nasional menggantikan peraturan perundangan peninggalan kolonial Belanda yang beragam jenisnya6

4

Hatin Soedarma menjadi Pimpinan Direktorat Penggunaan Tanah Ditjen Kehutanan (1966–1971) dan Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi Ditjen Kehutanan (1971–1975) (Dephut 1986).

.

5

Tahun 1964 Presiden Soekarno membentuk Kabinet Dwikora sekaligus membentuk Departemen Kehutanan. Kabinet ini hanya bertahan 14 bulan karena ada prahara G-30-S PKI tahun 1965. 6

(28)

Keberadaan hutan rakyat yang sudah lama, baru diakui secara legal dengan lahirnya UU No. 5 Tahun 1967 dengan terminologi ‘hutan millik’. Pasal 2 berikut penjelesan UU tersebut menyatakan bahwa ‘Hutan milik’ ialah hutan yang tumbuh/ditanam di atas tanah yang dibebani hak milik, yang lazimnya disebut ‘hutan rakyat’. Selanjutnya pejelasan Pasal 11 menyatakan:

Berhubung dengan fungsi sosial dari pada hutan, maka sudah sewajarnya bahwa pengurusan Hutan Milik dilakukan oleh pemiliknya dengan bimbingan dan atas pengawasan Menteri.

Sesuai dengan fungsi sosial dari pada hutan, maka sudah barang tentu pengurusan dari pada Hutan Milik pun tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, sehingga salah urus terhadap Hutan Milik dapat dikenakan tuntutan hukum, baik di bidang Hukum Administrasi maupun di bidang Hukum Perdata atau Hukum Pidana, sesudah diberi peringatan secukupnya.

Berdasarkan UU tersebut, campur tangan pemerintah dalam pengurusan hutan rakyat dipercayakan sepenuhnya kepada pemiliknya dan tidak bertentangan dengan kepentingan umum.

Pada awal masa Pra Pelita (1966–1969), fenomena kerusakan fisik tanah, banjir dan erosi masih menjadi dasar dalam kampanye/dorongan-dorongan gerakan massal rehabilitasi (penghijauan). Kerusakan fisik tanah ini menurut Dephut (1966) sebagai akibat pola pertanian lahan kering yang tidak baik khususnya di Pulau Jawa. Seluas 2.944.000 ha atau 37,4% dari luas Pulau Jawa merupakan pola pertanian lahan kering (Dephut 1966). Kondisi ini menurut Ir. J.H. de Haan7 diacu dalam Dephut (1966) menyatakan bahwa

tanah kering inilah yang luasnya tidak kurang dari 30%8

Memasuki Pelita I (1969–1973) tanah kosong

luas P Jawa merupakan penyebab meluasnya banjir-banjir besar, pendangkalan sungai-sungai dan muara, dan hanyutnya berbagai bangunan pengairan dan jembatan yang pernah terjadi di Pulau Jawa. Mengatasi hal tersebut, tentu saja kebijakan yang ada adalah masih melanjutkan kebijakan terdahulu yaitu dengan penghijauan dan reboisasi, walaupun pada masa Pra Pelita anggaran yang disediakan tidak banyak dan dikenal dengan nama Proyek Deptan 001 (Soepardja 1991). Sasaran proyek Deptan 001 adalah areal-areal kritis yang selalu terancam banjir (Dephut 1986). Pelaksanaan Proyek Deptan 001 dimulai tahun 1966 di DAS Pakem, DAS Wiroko dan DAS Kedaung yang berada di Kabupaten Wonogiri. Kemudian, dilanjutkan di daerah bekas keresidenan Surakarta sampai dengan tahun 1968.

9

7

Berdasarkan informasi yang ada, Ir. J.H. de Haan pada masa penjajahan Belanda adalah Kepala Biro der Landinrichting.

sering menjadi headline

dalam surat-surat kabar, dan menjadi permasalahan areal pada

jawatan/instansi/lembaga yang berkaitan, seperti Djawatan Pertanian,

8

Sampai sekarang pernyataan Ir. J.H. de Haan menjadi acuan kebijakan mengenai luas hutan minimal 30% dari luas daratan.

9

Berbagai pihak/instansi memberikan arti dan pendapat berbeda tentang istilah tanah kosong (bare lands). Direktorat Land Use meninjau istilah tanah kosong dari segi kelestarian dalam

(29)

Djawatan Perkebunan, Djawatan Kehutanan dan Direktorat Penggunaan Tanah Ditjen Kehutanan. Luas tanah kosong di Indonesia sangat beragam tergantung dari instansi/lembaga yang melakukan survey. Instansi yang berkompeten menyelenggarakan inventarisasi aspek kelestarian tanah adalah Instansi Land Use yang ternyata belum melakukan inventarisasi secara menyuluruh. Angka-angka pada Tabel 5 merupakan luas tanah kosong/kritik yang dijadikan dasar dalam proyek Deptan di Provinsi Jawa Barat (PRP Jabar 1971).

Tabel 5 Luas DAS dan lahan kritis di Provinsi Jawa Barata

DAS

Sub Das/

Anak Sungai Wilayah

Luas

Cimanuk, Cilanang, Cikaki, Ciwaringin, Cisanggarung Ciliman, cibungur, cidano dan Kali Banten

Banten

883.600 149.882

Cimandiri (Deptan 014)

S. Cimandiri, Cidurian, Cikepuh, Cikarang,

(Deptan 018) 452.000

Citanduy (Deptan 015)

S. Citanduy, S. Ciwulan, dan Cimedang

Tasikmalaya,

dan Ciamis 640.000 134.875

Jumlah 4.127.980 778.436

a

Jika Tabel 5 diuraikan lebih lanjut, bahwa tanah kosong di atas tersebar pada tanah-tanah bekas perkebunan, tanah guntai

Hasil ralat tabel dalam PRP Jabar (1971)

10

Mempertegas uraian di atas bahwa pada petani yang benar-benar memiliki tanah secara sungguh-sungguh berusaha untuk mencapai daya kemampuan dari tanahnya (Team Survey AIK 1970), sehingga kelestarian

dan tanah milik yang sudah menurun kesuburannya. Pada areal perkebunan dan bekas perkebunan luas tanah kosong/kritik memiliki angka prosentase yang sangat besar (Tabel 6). Menurut Djawatan Perkebunan diacu dalam Team Survey AIK (1970), tanah kosong dalam perkebunan ialah tanah-tanah dimana pohon-pohon tua sedang dikonversikan dalam proses peremajaan (pergiliran tanaman dan permudaan tanaman). Lebih lanjut diuraikan besarnya nilai tanah kritik terjadi pada tanah bekas perkebunan (tanah perkebunan yang habis konsesinya dan dibagikan kepada rakyat, tanah huma, tanah penggembalaan, dan lain-lain). Fenomena tersebut menurut Team Survey AIK (1970) dapat dipahami bahwa pada kawasan bekas perkebunan umumnya struktur kepemilikan (ownership) sangat goyah, sehingga penggarapannya pun dilakukan secara ekstensif.

10

(30)

pengawetan tanah terjaga. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi ekstensifikasi usaha tani adalah suatu keadaan turun-temurun mengusahakan pertanian dalam skala kecil dan keterbatasan kemampuan mengelola areal yang cukup luas (lahan bekas perkebunan), yang berakibat pada usaha ekstensifikasi. Sehingga usaha-usaha penghijauan yang digagas belum mendapat kemajuan karena lemahnya sumber daya.

Tabel 6 Prosentase luas lahan kritis di Provinsi Jawa Barat

Status

Perkebunan dan bekas perkebunan 659.000 269.744 33

Kehutanan (kawasan hutan) 883.600 149.882 11

Jumlah 4.127.980 778.436

a

Namun demikian usaha-usaha penghijauan yang merupakan kebijakan pemerintah terus digalakan dan menjadi prioritas dalam anggaran/APBN. Kegiatan penghijauan ini termasuk dalam proyek Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Tanah Kritis dengan nomor code Proyek 1.1.2.1 dan sebagai Pimpinan Proyek adalah Direktorat Penggunaan Tanah Ditjen Kehutanan (Dit PT 1969; PRP Djabar 1971). Proyek ini merupakan lanjutan dari proyek Deptan 001 dengan daerah kerja berupa DAS yang lebih luas dengan nama proyek Deptan 002–021 (Dephut 1986) atau proyek Rehabilitasi DAS dan Tanah Kritis (Dit PT 1969). Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat mendapat delegasi sub proyek ini pada Tahun Anggaran 1970/1971 langsung dipegang oleh Kepala Djawatan Kehutanan Provinsi Djawa Barat selaku Pimpinan Sub Proyek (PRP Djabar 1971). Selanjutnya pada tahun anggaran 1971/1972 Pimpinan Sub Proyek Penghijauan tidak lagi oleh Jawatan Kehutanan, tetapi diganti organisasi yang berstatus proyek yang dianggap mampu bertanggung jawab penuh di lapangan. Organisasi proyek penghijauan di Provinsi Jawa Barat diberi nama Projek Reboisasi dan Penghijauan (disingkat; PRP) Provinsi Jawa Barat, pada waktu itu pimpinan proyek adalah Bp. Ir. Sambas Wirakusumah, M.Sc.

Hasil ralat tabel dalam PRP Jabar (1971).

Tabel 7 Realisasi tanaman penghijauan DAS Ciliwung/Cisadane (Deptan 018)

Kecamatan/ Wilayah Tahun Keterangan

1969a 1970a 1971a 1972a 1973b

Dikutip dari Tabel Lampiran 42 dalam Jawatan Kehutanan Provinsi Jawa Barat (1973). b

(31)

Berdasarkan laporan Jawatan Kehutanan Provinsi Jawa Barat tahun 1973/1974, realisasi sub Proyek Penghijauan dari APBN selama kurun waktu Pelita I di Provinsi Jawa Barat adalah seluas 90.848 ha. Kegiatannya meliputi penghijauan massal, pengawetan tanah, unit contoh, geblong huma dan persemaian. Khusus Kabupaten Bogor tepatnya DAS Ciliwung melalui Proyek Deptan 018 telah dilakukan tanaman penghijauan seluas 7.361 ha (Tabel 7).

Pada masa ini kegiatan proyek hanya diikuti oleh sebagian kecil masyarakat yang mempunyai lahan kritis yang terlantar dengan cara menanami lahan dengan tanaman jenis sengon dan sedikit buah-buahan.

Proyek Penghijauan dari APBD Provinsi Jawa Barat dimulai tahun 1971. Dalam mempercepat proses penghijauan secara meluas dan merata, maka Gubernur Provinsi Jawa Barat Letjend (Purn.) H. Solihin Gautama Purwanegara (Solihin GP) menggagas proyek penghijauan APBD tahun 1972–1975 melalui Gerakan Gandrung Tatangkalan (RAKGANTANG) melalui Instruksi Gubernur No. 284/A-II/5/Instr/72 tgl 26 Oktober 1972 (Tabel 8).

Tabel 8 Realisasi RAKGANTANG Provinsi Jawa Barat Tahun 1972–1975a

Kegiatan/

.

Jenis Tanaman Satuan

Tahun

Jumlah 1972/73 1973/74 1974/75 1975/76

PENANAMAN

Metode kerja RAKGANTANG adalah pembuatan persemaian, penanaman (penghijauan), turinisasi

Sumber: Dihitung kembali dari Tabel dalam Soepardja (1991).

11

11

Penanaman dengan jenis turi (Sesbania grandiflora) untuk ketinggian di bawah 500 m dpl (Jawatan Kehutanan Propinsi Jawa Barat 1973). Dipilih jenis turi dalam kegiatan rehabilitasi tersebut karena jenis ini memiliki kemampuan untuk mengikat nitrogen yang dapat menyuburkan tanah.

(32)

terbang khusus pegunungan yang gundul dan dua tahun terakhir pemberian insentif kepada petani dalam bentuk uang yang besarnya tiap hektar sangat terbatas. RAKGANTANG dilaksanakan di beberapa Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Barat termasuk Kabupaten Bogor. Berdasarkan catatan yang ada sampai dengan Desember 1972, di Kabupaten Bogor telah disebar 10.350 kg benih Maesopsis, dan 7.700 kg benih Turi (Jawatan Kehutanan Provinsi Jabar 1973). Berdasarkan informasi yang diperoleh pada tahun 1970-an, masyarakat Bogor telah memperoleh bantuan benih buah-baahan seperti Durian dan Alpukat.

Mulai tahun anggaran 1976/1977 pada Pelita II (1974–1978) terdapat perubahan dalam organisasi keproyekan. Organisasi perencanaan proyek berubah, yang semula Proyek Reboisasi dan Penghijauan (PRP) DAS menjadi Proyek Perencanaan dan Pembinaan Reboisasi dan Penghijauan DAS (disingkat: P3RP-DAS). Kegiatan penghijauan mendapat tambahan pintu anggaran selain anggaran sektoral (Deptan), yaitu program bantuan (Inpres) penghijauan atau dikenal program penyelematan hutan, tanah dan air (PHTA) yang dimulai tahun 1976. Bantuan Inpres tersebut langsung diberikan kepada Kabupaten Daerah Tingkat II (Pasal 5 Inpres No. 8 Tahun 1976). Inpres no. 8 Tahun 1976 menyebutkan bahwa Program bantuan reboisasi diberikan pada Provinsi Daerah Tk I dan bantuan penghijauan diberikan pada Kabupaten Daerah Tk II.

Metode penghijauan tidak jauh berbeda dari sebelumnya, yaitu pembuatan tanaman, pembuatan terasering, pemeliharaan tanaman, pembuatan persemaian dan pemeliharaan persemaian. Selain proyek penghijauan tersebut, dilakukan pula peningkatan penyuluhan kepada petani dengan mengangkat PLP (Petugas Lapangan Penghijauan) dengan daerah kerja satu orang per kecamatan. Tahun 1976 status kepegawaian petugas PLP di bawah P3RP DAS dan tahun 1977 di bawah proyek penghijauan Bupati. Selain pola penghijauan di atas dilakukan juga melalui penghijauan serentak melalui kegiatan Pekan Penghijauan Nasional (PPN) yang dilaksanakan setiap tahun sejak 1961. PPN ini meliputi kegiatan sebagai berikut:

1. Kampanye penyelematan hutan, tanah dan air melalui kegiatan penerangan dan penyuluhan kepada masyarakat.

2. Pelaksanaan penanaman pohon-pohonan secara massal yang diharapkan

dapat dilakukan sampai di tingkat kecamatan di seluruh Indonesia.

Pada Pelita II telah terealisasi penghijauan seluas 359.481 ha di Provinsi Jawa Barat dengan tingkat keberhasilan 52% (Ditjen Kehutanan 1979). Khusus di Kabupaten Bogor berdasarkan P3RP DAS Ciliwung-Cisadane-Cimandiri (1978/1979) dilaporkan bahwa telah terealisasi penghijauan (penanaman) jenis Albizia (Sengon) dan kaliandra seluas 2.018 ha (1977) dan seluas 5.888 ha (1978) dengan tingkat keberhasilan penghijauan 58,24%. Inpres penghijauan di Kabupaten Bogor pada perode ini tersebar di 14 kecamatan (Tabel 9).

(33)

penghijauan serta diperburuk dengan ketidakandalan data tanah kosong yang ada. Selanjutnya dilaporkan pula bahwa pembuatan persemaian yang terlalu singkat serta dukungan dana selalu terlambat dari pusat berakibat pada kuantitas dan kualitas bibit yang tidak baik.

Tabel 9 Program Bantuan Inpres Penghijauan (penanaman) di Kab. Bogor

Kecamatan

Diolah dari Laporan Tahunan DAS Ciliwung-Cisadane-Cimandiri TA 1977/1978. b

Kebijakan penghijauan pada Pelita III (1979–1983) tidak berbeda dari sebelumnya dalam organisasi pelaksana. Biaya dan fisik bantuan penghijauan dan reboisasi setiap tahunnya selalu meningkat dan ditentukan melalui Instruksi Presiden. Pada periode ini, Inpres Penghijauan terakhir melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 1983 tanggal 7 Mei 1983 tentang Bantuan Penghijauan dan Reboisasi Tahun 1983/1984. Sama dengan Inpres sebelumnya, bahwa Daerah Tingkat I (Provinsi) diberikan bantuan APBN untuk melaksanakan reboisasi dan pengadaan bibit reboisasi. Untuk daerah Tingkat II (Kabupaten) diberikan bantuan APBN untuk melaksanakan penghijauan dan pengadaan bibit penghijauan.

Diolah dari Laporan Tahunan P3RP DAS Ciliwung TA 1978/1979.

Pada Pelita III lahan kritis di luar kawasan hutan masih menjadi isu penting bagi pemerintah dan menjadi dasar kebijakan penghijauan. Upaya rehabilitasi melalui penghijauan terus digalakan melalui Inpres penghijauan. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya lahan kritis di Jawa memiliki sejarah panjang. Seperti pada Blok Cirandu-Loa Desa Tamansari Kec. Ciomas (sekarang dimekarkan menjadi Kecamatan Taman Sari) pada tahun 1965 telah terjadi penebangan liar, sehingga hutan menjadi hancur. Pada tahun 1967– 1973 lahan kritis tersebut dijadikan perkebunan teh, cengkeh dan karet milik negara. Selajutnya pada periode 1980–1983 tidak ada lagi yang menggarap dan mengelola lahan tersebut, sehingga berupa lahan tidur yang penuh alang-alang (Andriani 2008). Lahan-lahan eks perkebunan selalu menjadi penyebab besarnya angka-angka lahan kritis.

(34)

Indonesia khususnya di Provinsi Jawa Barat pada periode ini (tepatnya mulai tahun 1980) pembangunan hutan rakyat menjadi bagian dari metode penghijauan, selain metode lama berupa penanaman pada lahan kritis diluar hutan negara. Program UP-UPSA (Unit Percontohan Usaha Pelestarian Sumberdaya Alam) juga dimulai pada tahun 1980-an. Program ini untuk merangsang areal dampak pembangunan hutan rakyat secara swadaya. Kegiatan UPSA menurut Hardjanto (2001b) yaitu:

1. Penanaman jenis pohon berkayu dengan jarak tanam 3 x 2 m pada

kemiringan lahan lebih dari 40 %;

2. Penanaman jenis pohon berkayu dengan jarak 5 x 5 m dicampur dengan tanaman semusim (pangan) pada kemiringan lahan 25 – 40%;

3. Penanaman jenis pohon berkayu dan tanaman semusim, namun lebih

dominan tanaman semusimnya pada kemiringan lahan kurang dari 25 %. Pembuatan hutan rakyat di Provinsi Jawa Barat melalui kegiatan penghijauan bersumber dari APBN dan APBD cenderung meningkat dari tahun ke tahun (Tabel 10). Berdasarkan Inpres Penghijauan No. 8 tahun 1980 tentang Bantuan Penghijauan dan Reboisasi tahun 1980/1981 dinyatakan bahwa pembuatan hutan rakyat adalah usaha pembuatan hutan di areal kritis milik rakyat yang diterlantarkan dengan menanam jenis kayu-kayuan seperti halnya pada reboisasi. Pembuatan hutan rakyat direncanakan atas persetujuan atau atas permintaan pemilik lahan yang bersangkutan, dan dilaksanakan dengan cara upah harian.

Tabel 10 Rencana dan realisasi kegiatan penghijauan di Provinsi Jawa Barat Tahun

a

Metode Penghijauan Rencana (ha) Realisasi (ha) %

1979 Penanaman 58.616,73 41.752,70 71,23

1980 Penanaman 64.728,54 60.844,83 94,00

Pembuatan hutan rakyat 3.700,00 2.886,00 78,00

1981 Penanaman 38.734,00 38.176,23 98,56

Pembuatan hutan rakyat 8.721,00 8.244,83 94,54

1982 Penanaman 18.984,00 17.041,94 89,77

Pembuatan hutan rakyat 8.622,00 7.871,89 91,30

Pembuatan UPSA 88 unit 87 unit 99,25

1983 Penanaman 14.211,00 10.339,92 72,76

Pembuatan hutan rakyat 11.867,00 8.374,54 70,57

Pembuatan UPSA 188 unit 181 unit 96,49

a

Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap realisasi penghijauan pada periode Pelita III, tercatat angka kegagalan yang relatif tidak sedikit di wilayah Kabupaten Bogor (Tabel 11). Angka-angka pada Tabel 11 memberikan gambaran bahwa pelaksanaan penghijauan khususnya pembangunan hutan rakyat belum memberikan hasil yang sebagaimana diharapkan. Sebanyak 46,67% pembangunan hutan rakyat mengalami kegagalan. Menurut informasi dari penyuluh kehutanan yang bertugas pada waktu itu, bibit yang ditanam banyak yang dicabut oleh masyarakat diganti oleh tanaman pangan, karena pohon yang sudah besar dari hasil

(35)

penghijauan sebelumnya tidak laku dipasaran12

Tabel 11 Hasil pemeriksaan realisasi penghijauan di Kab. Bogor (Pelita III). . Jenis-jenis yang digemari pada waktu itu lebih pada jenis kayu keras seperti rasamala, puspa, dan

nangka. Sedangkan jenis pohon penghijauan umumnya jenis fast growing

species yang relatif lunak.

Kecamatan

1979a 1980b

Penanaman Penanaman Pembuatan Hutan Rakyat

Dikutip dari Tabel 11 dalam P3RP DAS Ciliwung-Cisadane-Cimandiri (1981). b

Pembuatan hutan rakyat yang menjadi gagasan pemerintah pada periode ini memiliki hambatan-hambatan pengembangannya di lapangan pada waktu itu, terutama dalam pengetahuan dan kebiasaan menanam bahan makanan. Hal tersebut terutama terjadi pada daerah yang penduduknya padat dan sumberdaya lahannya terbatas. Pada Pelita III menurut Alrasjid (1979) hutan rakyat merupakan hal yang baru bagi masyarakat serta pemikiran ke arah kemauan menanam pohon masih kurang. Sehingga campur tangan pemerintah masih harus dilakukan. Bahkan menurutnya, di negara-negara yang sudah berkembang partisipasi pemerintah dalam pembinaan hutan rakyat masih tetap dilakukan.

Dikutip dari Tabel 5 dalam P3RP DAS Ciliwung-Cisadane-Cimandiri (1982).

Untuk mendukung usaha swasembada pangan di masyarakat, mengakomodasi keinginan bertani tanaman pangan dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penanaman pohon secara swadaya, maka di Provinsi Jawa Barat dilaksanakan proyek pengembangan penghijauan dengan pola penawangan yang tersebar di beberapa Kabupaten di Provinsi Jawa Barat termasuk kabupaten Bogor (Tabel 12). Penghijauan pola panawangan merupakan Pilot Demontration Farm Panawangan. Proyek ini diawali tahun

12

(36)

1980 dengan kegiatan survey, pengukuran, perencanaan dan kursus tani. Pengolahan lahan dilakukan penyengkedan. Pola penghijauan dengan komoditas padi, jagung, ubi kayu, kacang tanah, sorgum, jawawut kacang tunggak, dan domba.

Tabel 12 Proyek pengembangan penghijauan dengan pola Panawangana

Tahun

Subang Desa Cisampih

Kec. Kalijati 25 45 10

Bandung Desa Cikawari

Kec. Cicadas 25 40 50

1983 Lebak Desa Sankanwangi

Kec. Leuwidamar 25 40 -

Jawa Barat 375 740 880

a

Proyek penghijauan panawangan (Tabel 12) baru berjalan beberapa tahun, kemudian telah dihentikan Bappenas, maka hasil dari usaha dapat dirasakan oleh masyarakat yang terkena dampaknya, walaupun belum meluas. Besarnya areal dampak penghijauan di Kabupaten Bogor (Cisarua) dipengaruhi oleh beberapa hal:

Dihitung kembali dari tabel VI.2. dalam Kanwilhut Jabar (1986).

(37)

kering atau basah, sehingga introduksi usahatani cepat diserap oleh masyarakat.

2. Jenis tanaman penghijauan sangat cocok dengan selera masyarakat.

Proyek ini mengutamakan tanaman pangan sehingga sesuai dengan keinginan masyarakat.

3. Dihentikannya proyek membuat masyarakat (petani) Provinsi Jawa Barat yang gurem sangat berat untuk melaksanakan penyengkedan, sehingga petani yang lain tidak dapat merasakan kesempatan terhadap peningkatan produksi pangan dan income.

Masa Departemen Kehutanan di Orde Baru (1984–1998).

Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 49 tahun 1983 tentang Susunan Organisasi Departemen dan Keputusan Presiden Nomor 45/M tahun 1983 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan IV, maka struktur organisasi pemerintah yang membidangi kehutanan berubah dari Direktorat Jenderal Kehutanan menjadi Departemen Kehutanan yang pada waktu itu dipimpin oleh Soejarwo (1983–1988). Seiring dengan perubahan organisasi Kementerian Kehutanan, maka sejak Desember 1983 organisasi perencana dan pembinaan reboisasi dan penghijauan yang semula berstatus proyek, berubah secara struktur organisasinya.

Sejak Desember 1983 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 98/Kpts-II/1983 fungsi perencana dan pembina reboisasi dan penghijauan dilaksanakan oleh Unit Pelaksana Teknis yang diberi nama Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (BRLKT) yang sebelumnya dilaksanakan oleh P3RP DAS. Kegiatan penghijauan pada periode IV (1984–1986) tidak jauh berbeda dari periode sebelumnya. Hanya saja pola pelaksanaannya dititikberatkan pada kelompok tani, penambahan dan peningkatan kemampuan petugas lapangan penghijauan (PLP) serta peningkatan pembangunan hutan rakyat di DAS Prioritas. Sebanyak 36 DAS dan 163 sub-DAS telah ditetapkan menjadi areal kerja penghijauan di seluruh Indonesia sebagaimana tertuang Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan dan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 19 Tahun 1994, Nomor 059/Kpts-II/1984, Nomor: 124/Kpts/1984 tentang Penanganan Konservasi Tanah dalam rangka Pengamanan Daerah Aliran Sungai Prioritas. Peraturan tersebut menjadi landasan dalam program Penyelamatan Hutan, Tanah dan air (PHTA) yang memuat di dalamnya proyek/kegiatan penghijauan. Kegiatan fisik penghijauan berupa pembuatan unit percontohan usahatani pelestarian sumberdaya alam (UPSA), pemberian bantuan bibit, pembuatan dam pengendali dan pembuatan tanaman hutan rakyat atau kebun rakyat.

Program penyuluhan sebagai bagian dari proyek penghijauan terus meningkat. Pada periode ini sudah terdapat 8000 orang PLP tersebar di 36 DAS Prioritas (Kehutanan Indonesia 1987). Hasil penelitian Setiajati (2012) pada tahun 1980-an di Tenjo Kabupaten Bogor telah terbentuk Kelompok Tani Hutan (KTH) atas dorongan PLP wilayah Bogor Barat. Kemudian KTH diberi kesempatan hak garap untuk mengelola tanah negara dengan status HGU13

13

HGU atau Hak Guna Usaha diberikan oleh pemerintah kepada pengusaha perkebunan untuk tanaman keras seperti karet, kopi, coklat, teh, kelapa sawit, dan lain-lain. Tanah yang dibebani

Gambar

Tabel 6 Prosentase luas lahan kritis di Provinsi Jawa Barata
Tabel 8 Realisasi RAKGANTANG Provinsi Jawa Barat Tahun 1972–1975a.
Tabel 9 Program Bantuan Inpres Penghijauan (penanaman) di Kab. Bogor
Tabel 10 Rencana dan realisasi kegiatan penghijauan di Provinsi Jawa Barata
+7

Referensi

Dokumen terkait

 Motivasi kerja bisa dipertahankan dengan cara Motivasi kerja bisa dipertahankan dengan cara melihat 2 melihat 2 macam situasi yang mempengaruhi individu terhadap macam situasi

Pengujian keseluruhan sistem obstacle avoidence pada differential steering mobile robot ini meliputi pengujian penentuan arah menghindar robot dan pemilihan

Electrolarynx yang bebas genggam ( hands-free ) dengan kontrol on/off otomatis menjadikan EL lebih praktis dan akan membuat pasien lebih fleksibel. Beberapa penelitian

pasal.. pasal ini sudah bisa melaksanakan, karena prosesnya ini panjang. Kan ini orang yang tidak mau bayar pajak. Ternyata terobosan ke bank sudah boleh,

Secara umum tujuan pendidikan moral dalam keluarga adalah mendidik dan membina anak menjadi manusia dewasa yang memiliki mentalitas dan moralitas yang luhur dan

Standar ini meliputi ruang lingkup, acuan normatif, istilah dan definisi, syarat mutu, pengambilan contoh, cara uji, syarat lulus uji, pengemasan dan penandaan

medis umum. Berbeda dengan pasien skizofrenia dan gangguan kepribadian skizotipal, pasien dengan gangguan skizoid tidak memiliki sanak saudara skizofrenik, dan

Anton Wibowo bisa diarani dadi paraga tambahan amarga dheweke mung disebutake sethithik ing sajrone carita NK lan nyengkuyung prekara kang tuwuh antarane Fransiska