• Tidak ada hasil yang ditemukan

Iklan Televisi dan Perilaku Konsumtif (Studi Deskriptif Tentang Iklan Televisi Dalam Mendorong Perilaku Konsumtif Siswa SMU St. Thomas – 1 Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Iklan Televisi dan Perilaku Konsumtif (Studi Deskriptif Tentang Iklan Televisi Dalam Mendorong Perilaku Konsumtif Siswa SMU St. Thomas – 1 Medan)"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

IKLAN TELEVISI DAN PERILAKU KONSUMTIF

(Studi Deskriptif Tentang Iklan Televisi Dalam Mendorong Perilaku

Konsumtif Siswa SMU St. Thomas – 1 Medan)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana

Program Strata 1 (S1) pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

STEVEN ANGELO FLORENSIUS BAEHA

100922024

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

PROGRAM EKSTENSI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjantakan penulis ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan berkat-Nya hingga selesainya skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi syarat untuk mencapai gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP).

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna secara struktur maupun isinya dikarenakan adanya keterbatasan pengetahuan, waktu dan tenaga yang dimiliki penulis. Karenanya dengan rendah hati penulis mengharapkan saran dan kritik sebagai masukan bagi kertas karya ini.

Penulis banyak memperoleh bantuan dari berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibuku terkasih, Dr. Marlena Ginting dan abang – abangku Boy dan Elmar, terima kasih atas segalanya terutama atas dukungan moral yang telah kalian berikan selama ini, khususnya selama proses pengerjaan skripsi ini. 2. Bapak Prof.Dr.Badaruddin, MSi selaku dekan Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dra. Fatma Wardy Lubis, MA selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Dra. Mazdalifah, M.Si selaku dosen pembimbing yang memberikan arahan, petunjuk dan nasehat bagi penulis selama mengerjakan skripsi ini. 5. Bapak Haris Wijaya, S.Sos,M.Comm selaku dosen wali yang telah

memberikan nasehat- nasehat akademik yang berguna bagi penulis

(3)

7. Seluruh staf administrasi Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU, yang telah membantu kelancaran administrasi dalam penyelesaian skripsi ini. 8. Teman – teman seperjuangan mahasiswa ekstensi angkatan 2010, terima

kasih atas kebersamaannya selama ini.

Akhir kata, penulis berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu.

Medan, November 2013

(4)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

LEMBAR PERSETUJUAN Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh:

Nama : Steven Angelo Florensius Baeha NIM : 100922024

Judul Skripsi : Iklan Televisi Dan Perilaku Konsumtif

(Studi Deskriptif Tentang Iklan Televisi Dalam Mendorong Perilaku Konsumtif Siswa SMU St.Thomas-1 Medan)

Pembimbing Ketua Departemen

Dra. Mazdalifah, M.Si Dra.Fatma Wardi Lubis, MA NIP:19650703198903 NIP:196208281987012001

Dekan FISIP USU

(5)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Iklan Televisi dan Perilaku Konsumtif, sebuah studi deskriptif kuantitatif. Permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini adalah “Bagaimana tayangan iklan televisi mendorong perilaku konsumtif di kalangan remaja siswa/I SMU St.Thomas-1 Medan”

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah periklanan, komunikasi massa, media iklan televisi dan perilaku konsumtif.

Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif yaitu metode yang hanya memaparkan situasi atau peristiwa. Penelitian ini tidak mencari hubungan atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesa atau membuat prediksi. Penarikan sampel dengan cara membuat interval dari 20% - 25%, ini digunakan jika jumlah populasi lebih dari 100, jadi sampelnya adalah 20% dari 970 siswa yaitu 194 siswa. Teknik penarikan sampel pada penelitian ini menggunakan Proporsional stratified

sampling dan selanjutnya proporsional random sampling.

Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data dalam penelitian ini. Data yang dikumpulkan dianalisa dengan menggunakan analisis tabel tunggal.

Hasil keseluruhan penelitian ini menunjukkan bahwa siswa SMU ST Thomas-1 sering menonton iklan di televisi dan rata – rata menghabiskan waktu kurang lebih 1 (satu) jam. Dalam hal konsumtif, para siswa konsumtif membeli produk makanan atau minuman.

Kata kunci :

(6)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

LEMBAR PERSETUJUAN ... iv

ABSTRAK ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... vii

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah... 1

I.2 Perumusan Masalah... 3

I.3 Pembatasan Masalah... 3

I.4 Tujuan Penelitian... 3

I.5 Manfaat Penelitian... 4

BAB II URAIAN TEORITIS II.1 Komunikasi ... 5

II.1.1 Defenisi Komunikasi... 5

II.1.2 Proses Komunikasi... 6

II.1.3 Bentuk Komunikasi... 9

II.2 Komunikasi Massa... 10

II.2.1 Defenisi Komunikasi Massa... 10

II.2.2 Karakteristik Komunikasi Massa... 11

II.3 Periklanan... 13

II.3.1 Sejarah Periklanan... 13

II.3.2 Defenisi Iklan... 16

II.3.3 Fungsi Iklan... 18

II.3.4 Tujuan Iklan... 19

II.3.5 Jenis Iklan... 20

II.4 Media Iklan Televisi... 23

(7)

II.4.2 Kelemahan Iklan Televisi... 25

II.5 Perilaku Konsumtif... 27

II.5.1 Defenisi Perilaku Konsumtif... 27

II.5.2 Karakteristik Perilaku Konsumtif... 33

II.5.3 Aspek-Aspek Perilaku Konsumtif... 33

II.5.4 Perilaku Konsumtif Remaja... 34

II.6 Kerangka Konsep... 35

II.7 Model Teoritis... 36

II.7 Operasional Variabel... 37

II.8 Defenisi Operasional... 38

II.9 Penelitian Terdahulu... 40

BAB III METODOLOGI PENELITIAN III.1 Deskripsi Lokasi Penelitian... 41

III.1.1 Sejarah Berdirinya SMU Swasta Santo Thomas 1 Medan.... 41

III.2 Metodologi Penelitian... 42

III.3 Populasi dan Sampel... 42

III.3.1 Teknik Penarikan Sampel... 43

III.4 Teknik Pengumpulan Data... 44

III.5 Teknik Analisis Data... 44

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1 Pelaksanaan Pengumpulan Data... 46

IV.1.1 Tahap Awal... 46

IV.1.2 Pengumpulan Data... 46

IV.2 Teknik Pengolahan Data... 46

IV.3 Analisis Tabel Tunggal... 47

IV.3.1 Karakteristik Responden... 47

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN V.1 Kesimpulan... 71

(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Operasional Variabel... 37

Tabel 2 : Penarikan Sampel... 43

Tabel 3.1 : Jenis Kelamin Responden... 48

Tabel 3.2 : Usia Responden... 48

Tabel 3.3 : Frekuensi Menonton... 49

Tabel 3.4 : Lamanya Menonton... 50

Tabel 3.5 : Paham Iklan... 51

Tabel 3.6 : Tampilan Produk... 52

Tabel 3.7 : Gambar Produk... 55

Tabel 3.8 : Warna Produk... 56

Tabel 3.9 : Musik Produk... 57

Tabel 3.10 : Slogan Produk... 58

Tabel 3.11 : Iklan yang disukai... 60

Tabel 3.12 : Faktor Iming – iming Hadiah... 62

Tabel 3.13 : Kemasan Produk... 63

Tabel 3.14 : Faktor Penampilan... 65

Tabel 3.15 : Faktor Harga... 66

Tabel 3.16 : Faktor Model Peran ... 67

Tabel 3.17 : Faktor Simbol Status... 68

Tabel 3.18 : Percaya Diri... 69

(9)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Iklan Televisi dan Perilaku Konsumtif, sebuah studi deskriptif kuantitatif. Permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini adalah “Bagaimana tayangan iklan televisi mendorong perilaku konsumtif di kalangan remaja siswa/I SMU St.Thomas-1 Medan”

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah periklanan, komunikasi massa, media iklan televisi dan perilaku konsumtif.

Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif yaitu metode yang hanya memaparkan situasi atau peristiwa. Penelitian ini tidak mencari hubungan atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesa atau membuat prediksi. Penarikan sampel dengan cara membuat interval dari 20% - 25%, ini digunakan jika jumlah populasi lebih dari 100, jadi sampelnya adalah 20% dari 970 siswa yaitu 194 siswa. Teknik penarikan sampel pada penelitian ini menggunakan Proporsional stratified

sampling dan selanjutnya proporsional random sampling.

Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data dalam penelitian ini. Data yang dikumpulkan dianalisa dengan menggunakan analisis tabel tunggal.

Hasil keseluruhan penelitian ini menunjukkan bahwa siswa SMU ST Thomas-1 sering menonton iklan di televisi dan rata – rata menghabiskan waktu kurang lebih 1 (satu) jam. Dalam hal konsumtif, para siswa konsumtif membeli produk makanan atau minuman.

Kata kunci :

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Dunia periklanan saat ini telah menjadi dunia yang besar, dunia yang memiliki banyak penggemar. Iklan telah menjadi media andalan bagi para produsen untuk memperkenalkan produk mereka. Karena tidak dapat dipungkiri, iklan mampu menyihir banyak khalayak.

Iklan televisi memang telah menjadi kekuatan baru yang mampu mempengaruhi khalayak untuk melakukan apa yang diinginkan pengiklan secara sukarela. Imbas dari suguhan iklan tak lain telah mengkondisikan khalayak untuk mengeluarkan uang, hanya untuk sekedar mencoba suatu produk baru yang ditawarkan dalam iklan. Bahkan tidak jarang, semua itu dilakukan hanya untuk memenuhi tuntutan gaya hidup modern.

Iklan televisi membutuhkan frekuensi dan intensitas dalam penyampaiannya, dengan begitu maka iklan tersebut dapat benar – benar meresap dalam benak khalayak. Seperti kata Adhy Trisnanto, dalam bukunya Cerdas Beriklan (2007), yang menyebutkan bahwa iklan bukan sulap. Serba instan, serba ajaib. Sangat tidak mungkin, sebuah produk akan langsung terkenal hanya dengan satu atau dua kali pengiklan. Semua tetap membutuhkan proses.

Langkah terpenting dalam mengembangkan sebuah program pembuatan iklan adalah mengenali khalayak sasaran iklan tersebut. Dengan mengetahui profil khalayak sasarannya yang mencakup gaya hidup, sikap, nilai – nilai pemikirannya, maka akan memudahkan pembuatan model iklannya (Suhandang, 2005). Jenis sasaran yang dituju iklan bermacam – macam, tergantung dari produk yang diiklankan. Bila dilihat dari golongan usia, maka sasaran tersebut antara lain anak – anak, remaja, dewasa, dan orang tua.

(11)

seorang remaja akan berusaha mencari identitas dirinya. Ia merasa bahwa ada banyak hal yang harus dipersiapkan untuk memasuki fase dewasa yang akan mereka hadapi.

Proses identifikasi remaja dalam masa perkembangannya, berhasil dimanfaatkan iklan televisi untuk menciptakan ketergantungan atas produk yang diiklankan. Remaja bergerak bukan atas dasar kebutuhan, melainkan semata – mata karena keinginan dan kesenangan. Terpaan iklan televisi merupakan faktor kuat penyebab perilaku konsumtif ini. Menurut Sumartono (2002), gejala munculnya perilaku konsumtif di kalangan remaja juga disebabkan oleh adanya terpaan iklan-iklan di televisi yang menyajikan pesan – pesan yang tidak sesuai dengan kenyataannya.

Iklan televisi sering tampil dengan menyuguhkan produk yang dilebih - lebihkan, sehingga mendorong para remaja untuk mencobanya. Sebuah “kehidupan” yang didesain sedemikian rupa oleh pengiklan semata-mata untuk mempengaruhi remaja, Yasraf. A. Piliang (1997) mengistilahkannya sebagai realitas semu yang jelas menyesatkan.

Ciri khas remaja yang mudah terbujuk iklan berhasil dilirik pihak pengiklan. Meminjam istilah Jaya Suprana (1997) konsumteror, budaya konsumtif di kalangan remaja sangat menggembirakan para produsen. Tanpa ampun, mereka “memberondong” remaja dengan segudang produk kesukaan remaja. Semuanya ditembakkan dari “senapan” ampuh bernama iklan. Perilaku konsumtif remaja jelas tidak dapat dihindari lagi.

Oleh karena itu, dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan pada analisis tayangan iklan televisi dalam mendorong perilaku konsumtif remaja. Dengan asumsi, remaja memiliki tingkat konsumerisme yang paling tinggi diantara golongan usia yang lain. Peneliti melihat bagaimana saat ini para remaja seakan tak terpisahkan dengan produk-produk yang ditawarkan iklan. Akibatnya, gaya hidup konsumtif telah menjadi budaya tersendiri bagi para remaja.

(12)

untuk mengkaji bagaimana iklan televisi mendorong perilaku konsumtif di kalangan siswa-siswi SMA St. Thomas-1 Medan.

I.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka peneliti mengajukan perumusan masalah sebagai berikut :

1. Iklan apa saja yang disukai oleh siswa/siswi SMA St. Thomas-1 MEDAN 2. Faktor apa saja yang disukai dari iklan tersebut

3. Apakah iklan mendorong perilaku konsumtif terhadap siswa/siswi SMA St. Thomas-1 MEDAN?

I.3 Pembatasan Masalah

Untuk menghindari ruang lingkup penelitian yang terlalu luas sehingga dapat mengaburkan penelitian, maka peneliti membatasi masalah yang akan diteliti sebagai berikut :

1. Penelitian ini bersifat studi deksriptif, yang memaparkan suatu situasi atau peristiwa secara sistematis, tidak mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi.

2. Objek dalam penelitian ini adalah siswa-siswi SMA St. Thomas-1 Medan. 3. Penelitian ini dimulai pada bulan september sampai dengan selesai.

4. Penelitian ini terbatas hanya untuk mengetahui bagaimana iklan mendorong perilaku konsumtif di kalangan remaja.

I.4 Tujuan Penelitian

(13)

2. Faktor yang disukai dari iklan yang ditayangkan di televisi

3. Sikap perilaku konsumtif yang muncul tayangn iklan televisi tersebut.

I.5 Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memperluas pengetahuan peneliti mengenai periklanan sebagai salah satu bidang Ilmu Komunikasi.

(14)

BAB II

URAIAN TEORITIS

II.1 Komunikasi

II.1.1 Defenisi Komunikasi

Ilmu komunikasi dewasa ini telah berkembang dengan baik sehingga menjadi ilmu yang secara akademik berdisiplin mandiri dan dianggap sangat penting. Istilah komunikasi berasal dari bahasa Latin Communis yang berarti membuat kebersamaan atau membangun kebersamaan antara dua orang atau lebih. Komunikasi juga berasal dari akar kata dalam bahasa Latin Communico

yang artinya membagi (Cangara, 2006:18). Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari kata Latin communicatio, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama di sini maksudnya adalah sama makna (Effendy, 2006: 9).

Masih menurut Effendy, pengertian komunikasi yang dipaparkan di atas sifatnya dasariah, dalam arti kata bahwa komunikasi itu minimal harus mengandung kesamaan makna antara dua pihak yang terlibat. Dikatakan minimal karena kegiatan komunikasi tidak hanya informatif, yakni agar orang lain mengerti dan tahu, tetapi juga persuasif, yaitu agar orang lain bersedia menerima suatu paham atau keyakinan , melakukan suatu perbuatan atau kegiatan. Effendy menambahkan bahwa di dalam bahasa komunikasi pernyataan dinamakan pesan

(message), orang yang menyampaikan pesan disebut komunikator

(communicator) sedangkan orang yang menerima pernyataan diberi nama

komunikan (communicatee). Untuk tegasnya, komunikasi berarti proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan. Jika dianalisis pesan komunikasi terdiri dari dua aspek, pertama isi pesan (the content of the message), kedua lambang (symbol). Konkretnya isi pesan adalah pikiran atau perasaan, lambang adalah bahasa.

(15)

Pikiran dan perasaan sebagai isi pesan yang disampaikan komunikator kepada komunikan selalu menyatu secara terpadu, secara teoritis tidak mungkin hanya pikiran saja atau perasaan saja, masalahnya mana diantara pikiran dan perasaan itu yang dominan. Yang paling sering adalah pikiran yang dominan, jika perasaan yang mendominasi pikiran hanyalah dalam situasi tertentu.

Pada buku lainnya Effendy menjelaskan bahwa Harold Lasswell mengatakan bahwa cara yang baik untuk menjelaskan komunikasi ialah menjawab pertanyaan sebagai berikut: Who Says What In Which Channel To Whom With

What Effect. Paradigma Lasswell diatas menunjukkan bahwa komunikasi

meliputi lima unsur sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan itu, yakni: komunikator (communicator, source, sender), pesan (message), media (channel,), komunikan (communicant, communicate, receiver, recipient) dan efek (effect,

impact, influence). Berdasarkan paradigma Lasswell tersebut, komunikasi ialah

proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu (Effendy, 2006 : 10).

II.1.2 Proses Komunikasi

Dalam berkomunikasi ada proses yang terjadi untuk menyampaikan pesan dari komunikator ke komunikan. Ada dua tahap proses komunikasi yaitu secara primer dan secara sekunder.

a. Proses komunikasi secara primer

Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran dan atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang

(symbol) sebagai media. Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi

adalah bahasa , kial, isyarat, gambar, warna, dan lain sebagainya yang secara langsung mampu menerjemahkan pikiran dan atau perasaan komunikator kepada komunikan.

(16)

Kial (gesture) memang dapat menerjemahkan pikiran seseorang sehingga terekspresikan secara fisik. Akan tetapi menggapai tangan, atau memainkan jari- jemari atau mengedipkan mata, atau menggerakkan anggota tubuh lainnya hanya dapat mengkomunikasikan hal- hal tertentu saja (sangat terbatas). Isyarat dengan menggunakan alat seperti tongtong, bedug, sirene, dan lain- lain serta warna yang mempunyai makna tertentu. Namun lambang tersebut amat terbatas kemampuannya dalam mentransmisikan pikiran seseorang kepada orang lain.

Gambar sebagai lambang yang banyak dipergunakan dalam komunikasi melebihi kial, isyarat, dan warna dalam hal kemampuan menerjemahkan pikiran seseorang, tetapi tetap tidak melebihi bahasa. Buku- buku yang ditulis dengan bahasa sebagai lambang untuk menerjemahkan pemikiran tidak mungin diganti dengan gambar, apalagi oleh lambang- lambang lainnya. Namun demi efektifnya komunikasi, lambang- lambang tersebut sering dipadukan penggunaannya. Pikiran atau perasaan seseorang baru diketahui dan akan ada dampaknya kepada orang lain apabila ditransmisikan oleh media primer tersebut yaitu lambang- lambang. Dengan demikian, pesan (message) yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan terdiri atas isi (content) dan lambang (symbol).

Proses komunikasi berlangsung apabila terjadi kesamaan makna dalam pesan yang diterima oleh komunikan . Dengan perkataan lain, komunikasi adalah proses membuat sebuah pesan setala (tuned) bagi komunikator dan komunikan. Pertama- tama komunikator menyandi (encode) pesan yang akan disampaikan kepada komunikan. Hal ini berarti komunikator memformulasikan pikiran dan atau perasaannya ke dalam lambang (bahasa) yang diperkirakan akan dimengerti oleh komunikan. Setelah itu komunikan mengawa- sandi (decode) pesan dari komunikator. Ini berarti komunikan menafsirkan lambang yang mengandung pikiran dan atau perasaan komunikator dalam konteks pengertiannya. Yang penting dalam proses penyandian (coding) ialah bahwa komunikator dapat menyandi dan komunikan dapat mengawa-sandi hanya ke dalam kata bermakna yang pernah diketahui dalam pengalaman masing- masing.

Wilbur Schramm, dalam karyanya “Communication Research in the

United States”, menyatakan bahwa komunikasi akan berhasil apabila pesan yang

(17)

reference), yakni paduan pengalaman dan pengertian (collection of experiences

and meanings) yang pernah diperoleh komunikan. Menurut Schramm, bidang

pengalaman (field of experience) merupakan faktor yang penting dalam komunikasi. Jika bidang pengalaman komunikator sama dengan bidang pengalaman komunikan, komunikasi akan berlangsung lancer. Sebaliknya bila pengalaman komunikan tidak sama dengan pengalaman komunikator , akan timbul kesukaran untuk mengerti satu sama lain (Effendy, 2006:11-13).

b. Proses komunikasi secara sekunder

Proses komunikasi secara sekunder adalah penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama. Seorang komunikator menggunakan media kedua dalam melancarkan komunikasinya karena komunikan sebagai sasarannya berada di tempat yang relatif jauh atau jumlahnya banyak. Surat, telepon, surat kabar, majalah, radio, televisi, film, dan banyak lagi media adalah media kedua yang sering digunakan dalam komunikasi. Media merupakan alat atau sarana yang diciptakan untuk meneruskan komunikasi dengan bahasa. Sejalan dengan berkembangnya masyarakat beserta peradaban dan kebudayaanya, komunikasi bermedia (mediated communication) mengalami kemajuan dengan memadukan komunikasi berlambang bahasa dengan komunikasi berlambang gambar dan warna. Maka film, televisi, dan video pun sebagai media yang mengandung bahasa, gambar, dan warna.

Pentingnya peranan media, yakni media sekunder, dalam proses komunikasi disebabkan oleh efisiennya dalam mencapai komunikan. Surat kabar, radio, atau televisi misalnya, merupakan media yang efisien dalam mencapai komunikan dalam jumlah yang banyak. . Akan tetapi komunikasi bermedia efektif dalam menyampaikan pesan yang bersifat informatif. Sementara untuk menyampaikan pesan persuasif komunikasi dengan tatap muka akan lebih efektif dan efisien karena acuan kerangka (frame of reference) komunikan dapat diketahui komunikator, sehingga umpan balik berlangsung seketika dan komunikator mengetahui tanggapan atau reaksi komunikan pada saat itu juga.

(18)

umpan balik tidak berlangsung pada saat itu dan dinamakan umpan balik tertunda

(delayed feedback). Hal ini karena sampainya tanggapan atau reaksi khalayak

kepada komunikator memerlukan tenggang waktu. Namun bagaimanapun juga dalam proses komunikasi bermedia, misalnya surat, poster, spanduk, radio, televisi, atau film, umpan balik akan terjadi.

Komunikasi sekunder merupakan sambungan dari komunikasi primer untuk menembusi dimensi ruang dan waktu, maka dalam menata lambang- lambang untuk memformulasikan isi pesan komunikasi, komunikator harus memperhitungkan ciri- ciri atau sifat- sifat media yang akan digunakan. Untuk menentukan media yang akan digunakan perlu didasari pertimbangan mengenai siapa komunikan yang akan dituju. Komunikan media surat, poster, atau papan pengumuman akan berbeda dengan komunikan surat kabar, radio, televisi, atau film (Effendy, 2006: 16-18).

II.1.3 Bentuk Komunikasi

1. Komunikasi Persona (Personal Communication)

a. Komunikasi antarpersona (interpersonal communication) b. Komunikasi intrapersona (intrapersonal communication) 2. Komunikasi Kelompok (Group Communication)

a. Komunikasi kelompok kecil (small group communication) 1. ceramah (lecture)

2. diskusi panel (panel discusion) 3. simposium (symposium) 4. forum

5. seminar

6. curahsaran (brainstorming)

b. Komunikasi kelompok besar (large group communication/ public

speaking)

c. Komunikasi Massa (Mass Communication) 1. pers

(19)

d. film,dan lain- lain Komunikasi Medio (MedioCommunication) 1. surat

2. telepon 3. pamflet 4. poster

5. spanduk, dan lain- lain (Effendy, 2006 : 7).

II.2 Komunikasi Massa

II.2.1 Defenisi Komunikasi Massa

Pembahasan komunikasi ynag kian pesat dan kompleks beserta penelitian yang terus menerus dilakukan menjadi bukti bahwa ilmu komunikasi massa menjadi bagian penting dalam proses kajian keilmuan. Banyak defenisi tentang komunikasi massa yang telah dikemukakan para ahli komunikasi. Pada dasarnya komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa (media cetak dan elektronik).

Menurut pendapat Tan dan Wright, dalam Liliweri 1991, komunikasi massa merupakan bentuk komunikasi yang menggunakan saluran (media) dalam menghubungkan komunikator dan komunikan secara massal, berjumlah banyak, bertempat tinggal yang jauh (terpencar), sangat heterogen, dan menimbulkan efek tertentu. Defenisi komunikasi yang paling sederhana dikemukakan oleh Bittner, yakni komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah orang (Ardianto, 2004: 3). Dari defenisi tersebut dapat diketahui bahwa komunikasi massa harus menggunakan media massa. Media komunikasi yang termasuk media massa antara lain radio dan televisi (keduanya dikenal sebagai media elektronik); surat kabar dan majalah (keduanya disebut sebagai media cetak); serta media film- film sebagai media komunikasi massa yaitu film bioskop).

Ahli komunikasi lainnya, Joseph A. Devito merumuskan defenisi komunikasi massa pada intinya merupakan penjelasan tentang pengertian massa, serta tentang media yang digunakannya. Ia mengemukakan defenisinya dalam dua

(20)

kepada massa, kepada khalayak yang luar biasa banyaknya. Ini tidak berarti bahwa khalayak meliputi seluruh penduduk atau semua orang yang menonton televisi, tetapi ini berarti bahwa khalayak itu besar dan pada umumnya agak sukar didefinisikan. Kedua, komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan oleh pemancar- pemancar yang audio dan visual. Komunikasi massa akan lebih mudah dan lebih logis bila didefinisikan menurut bentuknya : televisi, radio siaran, surat kabar, majalah dan film (Ardianto, 2004: 6). Pendapat lainnya mengenai defenisi komunikasi massa adalah alat- alat dalam komunikasi yang bisa menyebarkan pesan secara serempak, cepat kepada audience yang luas dan heterogen (Nurudin, 2004:8).

Dari beberapa defenisi komunikasi massa yang dikemukakan oleh para ahli komunikasi, nampaknya tidak ada perbedaan yang mendasar atau prinsip bahkan defenisi tersebut saling melengkapi satu sama lainnya. Bahkan secara tidak langsung dari pengertian komunikasi massa dapat diketahui pula ciri- ciri komunikasi massa yang membedakannya dengan bentuk komunikasi lainnya.

II.2.2 Karakteristik Komunikasi Massa

Komunikator dalam komunikasi massa itu bukan satu orang, tetapi kumpulan orang- orang. Artinya, gabungan antar berbagai macam unsur dan bekerja satu sama lain dalam sebuah lembaga. Seperti yang dikatakan oleh Severin dan Tankard, Jr bahwa komunikasi itu adalah keterampilan, seni, dan ilmu, dikaitkan dengan pendapat Devito bahwa komunikasi massa itu ditujukan kepada massa dengan melalui media massa dibandingkan dengan jenis- jenis komunikasi lainnya, maka komunikasi massa mempunyai ciri- ciri khusus atau karakteristik yang disebabkan oleh sifat- sifat komponennya (Effendy, 2006: 21).

Ada beberapa karakteristik komunikasi massa menurut Ardianto, yaitu sebagai berikut:

1. Komunikasi massa berlangsung satu arah

(21)

menerima pesan, namun diantara keduanya tidak dapat melakukan dialog seperti dalam komunikasi antarpribadi. Dengan demikian komunikasi massa bersifat satu arah.

2. Komunikator pada komunikasi massa melembaga

Media massa sebagai saluran komunikasi massa merupakan lembaga, yakni suatu institusi atau organisasi. Komunikator pada media massa, misalnya wartawan surat kabar atau penyiar televisi, karena media yang dipergunakan merupakan suatu lembaga dalam menyebarluaskan pesan komunikasinya bertindak atas nama lembaga, sesuai dengan ketentuan surat kabar atau stasiun televisi yang dimilikinya.

3. Pesan pada komunikasi massa bersifat umum

Komunikasi massa bersifat terbuka, artinya komunikasi massa ditujukan untuk semua orang dan tidak ditujukan untuk sekelompom tertentu. Oleh karena itu pesan komunikasinya bersifat umum dan mengenai kepentingan umum.

4. Media komunikasi massa menimbulkan keserempakan

Ciri lain dari komunikasi massa adalah memiliki kemampuan untuk menimbulkan keserempakan pada pihak khalayak dalam menerima pesan- pesan yang disebarkan. Dengan jumlah sasaran khalayak atau komunikan yang dicapainya relatif banyak dan tidak terbatas, dan komunikan yang banyak tersebut secara serempak pada waktu yang bersamaan memperoleh pesan yang sama pula.

5. Komunikasi bersifat heterogen

Khalayak yang merupakan kumpulan anggota masyarakat yang terlibat dalam proses komunikasi massa sebagai sasaran yang dituju komunikator bersifat heterogen. Dalam keberadaannya terpencar- pencar, satu sama lain tidak saling mengenal dan tidak memiliki kontak pribadi, masing- masing berbeda dalam berbagai hal antara lain jenis kelamin, usia, agama, ideologi, pekerjaan, pendidikan, pengalaman, kebudayaan, pandangan hidup, keinginan, cita- cita dan sebagainya.

(22)

Setiap komunikasi melibatkan unsur isi dan unsur hubungan sekaligus. Pada komunikasi antarpribadi hal tersebut sangat penting. Sebaliknya, pada komunikasi massa, yang penting adalah unsur isi. Dalam komunikasi massa, pesan harus disusun sedemikian rupa berdasarkan sistem tertentu dan disesuaikan dengan karakteristik media massa yang akan digunakan. 7. Stimulasi alat indra terbatas

Dalam komunikasi massa, stimulasi alat indra bergantung pada jenis media massa. Pada surat kabar dan majalah, pembaca hanya melihat. Pada siaran radio dan rekaman auditif, khalayak hanya mendengar, sedangkan pada media televisi dan film, menggunakan indra penglihatan dan pendengaran.

8. Umpan balik tertunda (delayed)

Pada komunikasi massa, komunikator tidak dapat mengetahui kerangka acuan khalayak yang menjadi sasaran komunikasinya, umpan balik tidak berlangsung pada saat itu dan dinamakan umpan balik tertunda (delayed

feedback). Hal ini karena sampainya tanggapan atau reaksi khalayak

kepada komunikator memerlukan tenggang waktu (Ardianto, 2004:7-12).

II.3 Periklanan

II.3.1 Sejarah Periklanan

(23)

menjajakan obat-obatan. Stempel batu itu juga sering dicapkan pada punggung para budak belian. Tanda, simbolatau papan nama juga mulai banyak dipasang di toko-toko yang ada di kota-kota besar. Sampai sekarang, bentuk iklan pada zaman Romawi kuno tersebut ada yang masih bisa dilhat, seperti misalnya sebuah stempel batu yang ditemukan di Inggris milik T. Vindaius Arioverstus yang isinya menjajakan “obat yang paling mujarab dan tidak terkalahkan” dengan merek

Chloron. Setelah sistem percetakan ditemukan oleh Gutenberg pada tahun 1450,

maka kegiatan periklanan pun mulai dilakukan dengan menggunakan surat kabar. Sejak saat itu, iklan semakin sering digunakan untuk kepentingan komersial.

William F. Arens dalam bukunya Contemporary Advertising mengatakan bahwa iklan sebagai bagian dari kegiatan ekonomi mengalami perkembangan yang bersifat evolusioner. Perkembangan tersebut meliputi 5 tahap yaitu

pre-industrial era, pre-industrializing era, pre-industrial era, post-pre-industrial era dan global

interactive era.

Pre-Industrial Era. Era ini dimulai kurang lebih ketika perekaman sejarah sudah mulai dilakukan hingga awal aband ke-19. Pada era ini, para pemilik barang banyak menggunakan tanda-tanda atau symbol-simbol yang dipahat dan dipasang di depan tokonya sebagai sarana untuk menginformasikan barang yang ditawarkan. Selama era ini berlangsung, ada beberapa perkembangan penting yang mempengaruhi lahirnya periklanan modern. Ditemukannya kertas di Cina pada tahun 1275 dan ditemukannya mesin cetak oleh Johann Gutenberg di Jerman membawa perubahan yang besar, tidak hanya pada kegiatan periklanan tetapi juga pada kehidupan masyarakat luas. Pada awal tahun 1700-an, ketikan populasi dunia semakin besar, volume kegiatan periklanan ikut menjadi besar. Hal ini juga membawa pergeseran bagi strategi periklanan. Seni beriklan mulai mengalami perkembangan pesat. Di Amerika, misalnya, Benjamin Franklin dijuluki sebagai bapak seni periklanan, karena membuat iklan yang lebih mudah dibaca melalui penggunaan headline dan white space yang luas. Franklin juga yang diketahui sebagai orang pertama yang menggunakan ilustrasi di dalam iklan.

(24)

memproduksi barang secara massal dengan kualitas yang seragam. Dalam hal ini, periklanan menjadi alat informasi utama yang digunakan untuk mempublikasikan harga barang. Beberapa produsen bahkan mulai melihat keuntungan beriklan dimedia massa untuk menstimulasi permintaan konsumen atas barang-barang tertentu.

Di Amerika, biro iklan tertua didirikan pada tahun 1869 di Philadelphia oleh Francis Ayer. Biro iklan yang diberi nama N.W Ayer dan Son itu merupakan biro iklan pertama yang menentukan biaya pembelian ruang atau space di surat kabar dan melakukan survei pasar formal.

Perkembangan teknologi setelah Revolusi Industri membawa perubahan besar dalam kegiatan periklanan. Fotografi yang diperkenalkan pada tahun 1839 menambah kredibilitas dan dunia baru bagi kreativitas iklan. Munculnya teknologi komunikasi seperti telegraf, phonograph dan juga film, ditambah dengan perkembangan sistem perkeretaapian yang semakin baik, membawa kemajuan tersendiri bagi kegiatan periklanan. Pada akhir Perang Dunia I, periode periklanan modern mulai muncul.

Industrial Era. Era ini ditandai dengan perkembangan besar dan kedewasaan dari negara-negara yang berbasis industri. Di Amerika misalnya, pasar komoditi menjadi semakin luas, pasar-pasar baru banyak dikembangkan, merek-merek barang mewah dengan harga yang tidak terlkalu mahal mulai bermunculan, yang kemudian dikenal dengan consumer package goods.

Era ini juga diwarnai dengan kemunculan radio dan televisi, yang kemudian menjadi saran komunikasi massa dan media periklanan baru yang kuat dan berkecepatan tinggi. Televisi yang muncul pada tahun 1941 merupakan ekspansi media yang paling besar. Kreatif iklan mengalami revolusi dengan memberikan fokus pada keistimewaan produk, yang secara implicit menunjukkan penerimaan sosial, gaya, kemewahan dan kesuksesan.

(25)

yang membutuhkan energi mulai menggunakan iklan untuk memperlambat permintaan barang. Seperti ketika energi listrik mengalami penurunan, iklan menyarakan orang untuk memakai ulang mesin pencuci dan pengering mereka yang masih bisa dipakai. Pada saat yang sama perusahaan multinasional juga mulai membuat iklan korporat untuk menunjukkan kesadaran sosial mereka terhadap lingkungan. Demarketing ini lambat laun menjadi alat strategis yang semakin agresif bagi para pengiklan.

Global Interactive Era. Perkembangan teknologi baru di abad ke-21 membawa pengaruh yang besar bagi dunia periklanan. Televisi kabel dan satelit-satelit penerima memungkinkan orang untuk menonton saluran televisi yang memiliki program spesifik, seperti berita, film, olah raga, komedi dan sebagainya. Pergeseran ini mengubah televisi dan media massa yang memiliki jangkauan paling luas menjadi media yang paling khusus. Kini, perusahaan kecil dan pemasaran produk bisa menggunakan televisi untuk menjangkau khalayaknya. Pada saat yang sama, teknologi komputer juga telah memberikan pengaruh yang besar bagi dunia periklanan. Internet telah memberikan media baru bagi para pengiklan untuk menjangkau konsumen potensialnya. Hal ini merupakan cara revolusioner yang dilakukan oleh para pengiklan untuk menjangkau konsumennya. Dengan demikian, internet menjadi media iklan baru yang berkembang paling cepat sejak era televisi (Noviani, 2002 : 2-8).

II.3.2 Defenisi Iklan

(26)

sasaran. Iklan media massa bukan satu- satunya cara terbaik untuk berpromosi karena masih banyak cara lain yang sama atau bahkan lebih baik. Namun demikian, bukan berarti iklan di media massa menjadi tidak penting lagi. Hanya saja setiap produk (barang dan jasa) memiliki cara- cara berpromosi yang berbeda- beda.

Menurut Bungin, iklan adalah bagian penting dari serangkaian kegiatan mempromosikan produk yang menekankan unsur citra. Dengan demikian, objek iklan tidak sekedar tampil dalam objek yang utuh, akan tetapi melalui proses pencitraan, sehingga citra produk lebih mendominasi bila dibandingkan dengan produk itu sendiri. Pada proses ini cita produk diubah menjadi citra produk.

Banyak pendapat yang mengatakan bahwa iklan adalah bagian dari budaya populer. Jib Fowles mengatakan banyak iklan menggunakan atribut budaya populer, menggunakan kategori yang berbeda dari makna simbolis budaya tersebut (Bungin: 2008). Berbagai iklan baik di media cetak maupun media elektronik terutama iklan komersial, cenderung memperlihatkan budaya instan.

Perkembangan iklan juga tidak terlepas dari budaya populer, sehingga umur barang- barang atau produk instan juga tergantung pada seberapa jauh barang itu populer di masyarakat. Dengan demikian , maka budaya populer tidak saja berhubungan dengan kesukaan pribadi, akan tetapi menjadi pilihan- pilihan terbanyak dari masyarakat dan audiens.

Menurut Morrisan (2010: 17), iklan atau advertising dapat didefinisikan sebagai “any paid form of nonpersonal communication about an organization,

product, service, or idea by an identified sponsor (setiap bentuk komunikasi

(27)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, iklan didefinisikan:

1. Berita pesanan untuk mendorong, membujuk khalayak ramai agar tertarik pada barang dan jasa yang ditawarkan.

2. Pemberitahuan kepada khalayak mengenai barang atau jasa yang dijual, dipasang di media massa (seperti surat kabar dan majalah) atau di tempat umum.

II.3.3 Fungsi Iklan

Menurut Shimp (2003: 357), investasi besar- besaran ini menunjukkan bahwa banyak perusahaan yang memiliki keyakinan akan efektivitas periklanan. Secara umum, periklanan dihargai karena dikenal sebagai pelaksana beragam fungsi komunikasi yang penting bagi perusahaan bisnis dan organisasi lainnya. Fungsi- fungsi periklanan menurut Shimp diantaranya adalah:

1. Informing (memberi informasi)

Periklanan membuat konsumen sadar (aware) akan merek- merek baru, mendidik mereka tentang berbagai fitur dan manfaat merek, serta memfasilitasi penciptaan citra merek (brand image) yang positif. Karena merupakan bentuk suatu komunikasi yang efektif, berkemampuan menjangkau khalayak luas dengan biaya yang relatif rendah,. Periklanan memfasilitasi pengenalan (introducing) merek- merek baru, meningkatkan jumlah permintaan terhadap merek yang telah ada dan meningkatkan puncak kesadaran dalam benak konsumen (TOMA- topofmindawareness) untuk merek- merek yang sudah ada dalam kategori produk yang matang.

2. Persuasing (mempersuasi)

(28)

3. Reminding (mengingatkan)

Iklan menjaga agar merek perusahaan tetap segar dalam ingatan para konsumen. Saat kebutuhan muncul yang berhubungan dengan produk yang diiklankan. Dampak periklanan di masa lalu memungkinkan merek pengiklan untuk hadir di benak konsumen sebagai suatu merek kandidat yang akan dibeli.

4. AddingValue (memberikan nilai tambah)

Periklanan member nilai tambah pada merek dengan mempengaruhi persepsi konsumen. Periklanan yang efektif menyebabkan merek dipandang lebih elegan, lebih bergaya, lebih bergengsi dan lebih unggul dari tawaran pesaing.

5. Assisting (bantuan untuk upaya lain perusahaan)

Pada saat- saat lain, peran utama periklanan adalah sebagai pendamping yang memfasilitasi upaya- upaya lain dari periklanan adalah membantu perwakilan penjualan. Iklan mengawali produk- produk penjualan dan memberikan pendahuluan yang bernilai bagi wiraniaga sebelum melakukan kontak personal dengan para pelanggan yang prospektif (Shimp, 2003 : 357 – 361).

II.3.4 Tujuan Iklan

Tujuan- tujuan periklanan adalah tujuan- tujuan yang diupayakan untuk dicapai oleh periklanan. Penyusunan tujuan periklanan yang baik merupakan tugas yang paling sulit dari manajemen periklanan, namun tujuan- tujuan tersebut menjadi fondasi bagi seluruh keputusan periklanan yang ditetapkan (Shimp, 2003: 365-366).

(29)

untuk lebih mengembangkan kesadaran atau ingin membentuk suatu citra positif dalam jangka panjang bagi barang atau jasa yang dihasilkannya.

Tujuan penyajian iklan menurut Wibowo (2003:5) yaitu : 1. Untuk menarik perhatian masyarakat calon konsumen

2. Menjaga atau memelihara citra nama (brand image) yang terpatri dalam benak masyrakat

3. Menggiring citra nama itu hingga menjadi perilaku konsumen

II.3.5 Jenis-jenis Iklan

Jenis-jenis iklan menurut Wells (dalam Safrin, 2004:39), yaitu :

a. Iklan Merek, yaitu iklan yang dilakukan oleh produsen dari suatu produk yang tujuannya untuk menciptakan citra dari produk tersebut. Dengan kata lain, iklan jenis ini berusaha untuk menciptakan citra dan identitas dari suatu merek produk untuk jangka waktu yang lama. Iklan ini juga berusaha

membangun citra tersendiri bagi merek produk yang diiklankan. Iklan ini

berusaha menjangkau konsumen secara luas dalam skala nasional.

(30)

antara lain : produk makanan/minuman, perabot rumah tangga, elektronik, furniture, alat olahraga, pakaian, dan barang tenunan lainnya.

c. Iklan Politik (Political Advertising), yaitu iklan kegiatan periklanan yang dilakukan oleh partai-partai politik dalam rangka kegiatan pemilu. Iklan ini merupakan jenis iklan untuk mempromosikan para tokoh politik ataupun partai politik sehingga akhirnya diharapkan masyarakat akan memilih ataupun memihak kepadanya. Periklanan politik bisa disebut juga pengiklanan citra atau image, daya tarik yang diarahkan untuk membangun reputasi seseorang pejabat publik atau pencari jabatan, menginformasikan pada khalayak mengenai kualifiaksi seorang politisi, pengalamannya, latar belakang kepribadiannya, sehingga merupakan dorongan bagi prospek pemilihan calon atau kandidat yang bersangkutan dalam proses politik

d. Iklan Layanan Masyarakat, yaitu kegiatan periklanan yang bertujuan untuk mendorong solidaritas ataupun kesadaran masyarakat terhadap masalah sosial tertentu. Bentuk dari iklan layanan masyarakat ini biasanya berupa ajakan, misalnya, iklan keluarga berencana, iklan sosial mengenai penghematan energi listrik, go green atau ajakan untuk melakukan penghijauan dan contoh lainnya yang berkaitan dengan masalah sosial tertentu.

e. Iklan Kelembagaan, yaitu kegiatan periklanan yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan, swasta maupun sosial yang tujuannya untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat terhadap kegiatan lembaga tersebut.

(31)

g. Iklan Respon Langsung (Iklan Umpan Balik), yaitu kegiatan periklanan dari suatu produsen yang ditujukan kepada konsumen dengan menempatkan “space” kupon di halaman iklan yang tujuannya agar konsumen mengirimkan umpan baliknya tentang produk yang dihasilkan oleh produsen tersebut. Iklan jenis ini juga dapat menggunakan media iklan apapun, termasuk direct mail. Selanjutnya konsumen dapat langsung

memberikan respons ataupun tanggapan baik itu melalui email ataupun

telepon. Apabila konsumen tertarik maka barang tersebut akan langsung

diantarkan ke tangan konsumen

h. Iklan Directory, yaitu kegiatan periklanan yang berisikan informasi tentang tempat membeli suatu produk ataupun tempat pelayanan. Dengan kata lain, konsumen dapat langsung melihat melihat sebuah iklan pada sebuah media iklan sehingga akhirnya ia mengetahui bagaimana membeli

sebuah produk baik yang berupa barang atau jasa. Iklan jenis ini cukup

banyak kita jumpai seperti di Yellow Pages.

Didasarkan pada bentuknya, iklan produk dibagi menadi 3 bagian(Purba dkk, 2006:140), yaitu :

a. Iklan Pioneering (Iklan Perintisan)

Iklan bentuk perintisan biasanya digunakan untuk memperkenalkan produk baru dengan menceritakan tentang apa produknya, dari apa itu bisa dibuat dan dimana produk itu bisa dibuat.

b. Iklan Competitive (Iklan Kompetitif/Persaingan)

Iklan kompetitif pada hakekatnya mempromosikan ciri-ciri khusus dan keuntungan-keuntungan penggunaan dari barang atau jasa yang ditawarkannya.

c. Iklan Reminder (Iklan Pengingat)

(32)

II.4 Media Iklan Televisi

Televisi praktis ada di mana- mana. Perangkat televisi dari hari ke hari kian menjadi sumber informasi yang utama dalam keluarga. Sebagai media periklanan , keunikan televisi adalah sangat personal dan demonstratif, tetapi juga mahal dan dianggap sebagai penyebab ketidakteraturan (clutter) dalam persaingan. Para konsumen menganggap televisi sebagai media yang paling kacau

(clutter) dari semua media iklan (Shimp, 2003: 530).

Menurut Shimp (2003), pembagian hari untuk penayangan iklan dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Waktu Utama (prime time)

Periode antara jam 20.00 – 23.00 atau antara jam 19.00 – 22.00 program terbaik dan termahal ditayangkan selama periode ini. Penonton pun paling banyak ada selama prime time, dan jaringan-jaringan televisi akan mengenakan harga tertinggi untuk periklanan di primetime. Sehingga para pengiklan harus membayar mahal untuk menjangkau banyak penonton. 2. Siang Hari (day time)

Periode yang dimulai dengan tayangan berita di pagi hari (subuh), berlangsung hingga 16.30. Diawali dengan program-program berita, dilanjutkan dengan program khusus anak-anak, dan berturut-turut opera sabun, talk show, dan berita keuangan.

3. Waktu Tambahan (fringe time)

Masa sebelum dan sesudah prime time. Awal fringe time dimulai pada sore hari dan khususnya ditujukan kepada anak-anak tetapi menjadi lebih berorientasi kepada orang dewasa ketika mendekati prime time. Fringe

time pada larut malam ditujukan untuk paradewasa muda.

Iklan televisi yang baik harus memperhatikan syarat – syarat iklan menurut Suyanto (2005) sebagai berikut :

1. Waktu tayang, meliputi :

(33)

 Durasi tayangan : lamanya tayangan iklan tersebut berlangsung 2. Daya tarik pesan : kandungan pesan yang menarik dan memiliki arti bagi

khalayaknya untuk menyukai atau tidak iklan tersebut, meliputi :

 Isi pesan : pesan yang dibuat harus singkat, padat dan jelas, sehingga komunikan mengetahui isi pesan iklan tersebut.

 Tampilan : tampilan iklan yang dibuat untuk menarik perhatian khalayak.

 Tata gambar : penataan gambar dalam iklan yang dapat menarik minat khalayaknya.

 Warna : warna yang ditampilkan harus sesuai dengan iklan yang ditayangkan untuk menarik minat khalayaknya.

 Musik / jingle : musik yang dibuat ke dalam iklan tersebut, untuk menarik perhatian khalayaknya.

 Slogan : kalimat atau kata – kata yang dibuat dalam iklan untuk memunculkan keinginan khalayaknya.

II.4.1 Kekuatan Iklan Televisi

Televisi memiliki berbagai kelebihan dibandingkan dengan jenis media lainnya yang mencakup daya jangkauan luas, selektivitas, dan fleksibilitas, fokus perhatian, kreativitas dan efek, prestise, serta waktu tertentu. Adapun kelebihan dari televisi adalah sebagai berikut :

1. Daya jangkau luas

Daya jangkau siaran yang luas ini memungkinkan pemasar memperkenalkan dan mempromosikan produk barunya secara serentak dalam wilayah yang luas bahkan ke seluruh wilayah suatu negara.

2. Selektivitas dan Fleksibilitas

(34)

tersebut karena adanya variasi komposisi audiensi sebagai hasil dari isi program, waktu siaran, dan cakupan geografis siaran televisi.

Selain audiensi yang besar, televisi juga menawarkan fleksibilitasnya dalam hal audiensi yang dituju. Jika suatu perusahaan manufaktur ingin mempromosikan barangnya pada suatu wilayah tertentu, maka perusahaan itu dapat memasang iklan pada stasiun televisi yang terdapat di wilayah bersangkutan. Pemasang iklan dapat membuat variasi isi pesan iklan yang disesuaikan dengan kebutuhan atau karakteristik wilayah setempat. Sebaliknya, pemasang iklan yang ingin memasarkan produknya secara nasional dapat melakukan uji coba di pasar lokal terlebih dahulu sebelum dilempar ke pasar nasional.

3. Prestise

Perusahaan yang ingin mengiklankan produknya di televisi biasanya akan menjadi sangat dikenal orang. Baik perusahaan yang memproduksi barang tersebut maupun barangnya itu sendiri akan menerima status khusus dari masyarakat. Dengan kata lain, produk tersebut mendapatkan prestise tersendiri.

4. Waktu tertentu

Suatu produk dapat diiklankan di televisi pada waktu- waktu tertentu ketika pembali potensialnya berada di depan televisi. Dengan demikian, pemasang iklan akan menghindari waktu- waktu tertentu pada saat target konsumen mereka tidak menonton televisi. Salah satu alasan mengapa perusahaan deterjen atau peralatan pembersih rumah tangga lebih sering beriklan siang hari adalah karena audiensi (ibu rumah tangga) diingatkan mengenai tugas- tugas rumah tangga yang akan dikerjakan hari itu yang mungkin akan melibatkan produk- produk pembersih yang muncul pada iklan televisi (Morrisan, 2010: 240-243).

II.4.2 Kelemahan Iklan Televisi

1. Biaya mahal

(35)

media yang paling mahal untuk beriklan. Biaya iklan televisi yang mahal ini tidak saja disebabkan oleh tarif penayangan iklan yang mahal karena biaya iklan yang dikenakan kepada pemasang iklan televisi berdasarkan detik, tetapi juga biaya produksi iklan yang mahal. 2. Informasi terbatas

Dengan durasi iklan yang rata- rata hanya 30 detik dalam sekali tayang, maka pemasang iklan tidak memiliki cukup waktu untuk secara leluasa memberikan informasi yang lengkap. Siaran iklan tidak memberikan cukup waktu untuk menyampaikan seluruh informasi tentang produk yang dipromosikan. Informasi yang lebih banyak membutuhkan waktu penayangan yang lebih lama misalnya 60 detik. Durasi iklan disusun dalam waktu kelipatan waktu tertentu misalnya 30 detik, 60 detik, dan seterusnya dengan biaya yang berbeda secara signifikan.

3. Selekivitas terbatas

Walaupun televisi menyediakan selektivitas audiensi melalui program- program yang ditayangkannya dan juga melalui waktu siarannya namun iklan televisi bukanlah pilihan yang tepat bagi pemasang iklan yang membidik konsumen yang sangat khusus atau spesifik yang jumlahnya relatif sedikit. Pemasang iklan dengan target konsumen terbatas sering kali menemukan cakupan geografis siaran televisi jauh melampaui wilayah pemasaran dimana target konsumen pemasang iklan berada, dan hal ini tentu saja mengurangi biaya efektif iklan yang dikeluarkan pemasang iklan. Pemasang iklan masih dapat membidik target audiensi tertentu melalui berbagai jenis program yang ditayangkannya, namun demikian televisi belum mampu menandingi radio, surat kabar, dan majalah dalam menjangkau segmen audiensi secara lebih khusus.

4. Penghindaran

(36)

penayangan iklan untuk melakukan pekerjaan lain misalnya pergi ke kamar mandi, mengobrol, mengambil sesuatu, atau melakukan hal- hal lainnya. Kebiasaan lainnya adalah memencet remote control atau memindahkan channel ketika stasiun televisi tengah menayagkan iklan atau mengecilkan suara. Upaya audiensi menghindari siaran iklan dengan memindahkan saluran televisi tidak selalui karena program sebelumnya tidak menarik namun karena rasa ingin tahu untuk melihat program lain yang ditayangkan stasiun televisi lain pada saat bersamaan.

5. Tempat terbatas

Tidak seperti media cetak, stasiun televisi tidak dapat seenaknya memperpanjang waktu siaran iklan dalam suatu program. Stasiun televisi tidak dapat memperpanjang waktu siaran iklan tanpa mengorbankan waktu penayangan program. Jika waktu penayangan program banyak diambil untuk iklan, maka hal itu justru akan mengganggu atau bahkan merusak program itu sendiri, sebagai akibatnya audiensi akan meninggalkan acara itu. Selain itu, memperpanjang waktu siaran iklan akan melanggar peraturan pemerintah yang menetapkan bahwa waktu siaran iklan lembaaga penyiaran swasta paling banyak 20 persen dari seluruh waktu siaran setiap hari (Morrisan, 2010: 244- 246).

II.5 Perilaku Konsumtif

II.5.1 Defenisi Perilaku Konsumtif

(37)

ini muncul karena masyarakat cenderung materialistik dan memiliki hasrat yang besar untuk memiliki benda-benda tanpa memperhatikan kebutuhan.

Konsumtivisme sebagai kata sifat berkaitan dengan perilaku konsumtif. Perilaku konsumtif adalah perilaku seseorang yang dikendalikan oleh suatu keinginan untuk memenuhi hasrat kesenangan duniawi semata-mata Jhon C Mowen (2002) menjelaskan bahwa perilaku konsumen yang bertindak secara emosional tanpa didasarkan perencanaan dan kebutuhan melainkan hanya karena suatu pemuasan, pemenuhan keinginan akan suatu produk yang dianggap menarik, kemudian melakukan pembelian dengan tidak mempertimbangkan sisi keuangan. Orang yang membeli sesuatu karena keinginannya, maka orang tersebut tergolong bertindak tidak rasional dan akan menjadi perilaku yang konsumtif. Dengan lain kata, perilaku konsumen yang rasional adalah perilaku membeli yang tidak didasarkan pada emosinya melainkan rasio. Misalnya orang membeli barang tidak didasarkan pada keinginannya, tapi pada saat itu barang memang dibutuhkan dan harus segera dibeli. Misalnya orang membeli barang tidak didasarkan pada keinginannya, tapi pada saat itu barang memang dibutuhkan dan harus segera dibeli.

Menurut Sumartono (2002), munculnya perilaku konsumtif dikalangan siswa disebabkan oleh dua hal yaitu :

1. Faktor Internal

Faktor internal yang berpengaruh pada perilaku konsumtif individu adalah: a. Motivasi. Perilaku manusia ditimbulkan atau dimulai dengan adanya

motif. Motivasi merupakan dasar pembelian seseorang terhadap suatu produk atau

pada penjual tertentu (Dharmesta dan Handoko, 2000). Motivasi merupakan pendorong perilaku orang, tidak terkecuali dalam melakukan pembelian atau penggunaan jasa yang tersedia di pasar.

(38)

menyadari dan menginterpretasikan aspek lingkungan. Terjadinya pengamatan ini dipengaruhi oleh pengalaman masa lampau dan sikap dari individu (Rismiati dan Suratno, 2001). Proses pengamatan meliputi seluruh variabel pemasaran perusahaan, konsumen akan mempunyai persepsi produk, harga, periklanan dan penjualan dari kegiatan pemasaran perusahaan. Perbedaan pandangan konsumen akan menciptakan proses pengamatan dalam perilaku pembelian yang berbeda pula (Dharmesta dan Handoko, 2000). Proses pembelian yang dilkuakan oleh konsumen merupakan sebuah proses belajar, hal ini sebagai bagian dari kehidupan konsumen. Konsumen dalam proses pembeliannya selalu mempelajari sesuatu, proses belajar pada suatu pembelian terjadi apabila konsumen ingin menanggapi dan memperoleh suatu kepuasan (Rismiati dan Suratno, 2001).

c. Kepribadian dan konsep diri. Kepribadian akan ikut berpengaruh terhadap perilaku pembelian. Konsep diri merupakan pendekatan untuk menggambarkan hubungan antara konsep diri konsumen dengan image

merek, image penjual. Setiap orang memiliki kepribadian salah satunya adalah rasa percaya diri dan konsep diri yang berbeda-beda, sehingga memungkinkan adanya pandangan yang berbeda terhadap suatu barang (Dharmesta dan Handoko, 2000). Kepribadian dan konsep diri sangat berpengaruh pada perilaku pengambilan keputusan untuk membeli produk, minuman, mobil, warna pakaian dan kegiatan yang sifatnya rekreasional.

2. Faktor Eksternal

Faktor eksternal yang berpengaruh pada perilaku konsumtif individu adalah:

a. Kebudayaan

(39)

b. Kelas Sosial

Pada dasarnya manusia Indonesia dikelompokkan dalam tiga golongan (Mangkunegara, 2002) yaitu golongan atas, golongan menengah dan golongan bawah. Perilaku konsumtif antar kelas sosial satu dengan yanglain akan berbeda, dalam hubungannya dengan perilaku konsumtif Mangkunegara (2002) mengkarakteristikkan antara lain :

1. Kelas sosial golongan atas, memiliki kecenderungan membeli barang – barang yang mahal, membeli pada toko yang berkualitas dan lengkap, konservatif dalam konsumsinya, barang – barang yang dibeli cenderung untuk dapat menjadi warisan dalam keluarganya.

2. Kelas sosial menengah cenderung membeli barang untuk menampakkan kekayaannya, membeli barang dalam jumlah yang banyak dan kualitasnya cukup memadai. Mereka berkeiinginan membeli barang yang mahal dengan sistem kredit, misalnya membeli kendaraan, mobil mewah dan perabotan rumah tangga.

3. Kelas sosial golongan rendah cenderung membeli barang dengan mementingkan kuantitas daripada kualitasnya. Pada umunya mreka membeli barang untuk kebutuhan sehari – hari, memanfaatkan penjualan barang – barang yang diobral atau penjualan dengan harga promosi.

Pengelompokkan diatas dibuat berdasarkan kriteria kekayaan, kekuasan, kehormatan, dan ilmu pengetahuan. Unsur pokok dalam pembagian kelas dari masyarakat adalah kedudukan (status) dan peranan.

c. Kelompok Referensi

Kelompok referensi adalah kelompok yang pandangan atau nilai yang dianut anggotanya digunakan individu sebagai dasar bagi perilakunya, atau kelompok yang digunakan individu sebagai acuan berperilaku dalam situasi spesifik.

(40)

karena secara normal menginginkan untuk menyesuaikan diri. Bisa dikatakan bahwa kelompok referensi tersebut menciptakan suasana untuk penyesuaian yang dapat mempengaruhi pilihan orang terhadap merek dan produk (Kotler, 2006).

d. Keluarga

Keluarga sebagai bagian dari faktor eksternal mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam pembentukkan sikap dan perilaku anggotanya, termasuk dalam pembentukkan keyakinan dan berfungsi langsung dalam menetapkan keputusan konsumen. Keluarga mempengaruhi konsumen dalam membeli barang. Jumlah anggota keluarga dan keadaan sebagai bagian dari faktor eksternal mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam pembentukkan sikap dan anggotanya.

Keluarga merupakan sebuah lembaga sosial yang penting. Maka secara konsekuen dapat dikatakan bahwa keluarga merupakan kelompok referensi yang penting.

e. Demografi

Demografi digunakan untuk menggambarkan populasi dalam istilah ukuran, struktur dan distribusi. Ukuran mengandung arti jumlah individu dalam suatu populasi, struktur menggambarkan populasi dalam bentuk usia dan jenis kelamin sedangkan distribusi populasi menggambarkan lokasi tempat tinggal individu ditinjau dari segi wilayah geografis. Ukuran, struktur dan distribusi mempengaruhi perilaku konsumen serta keinginan konsumen akan jasa dan produk tertentu.

Adapun yang menjadi indikator perilaku konsumtif menurut Sumartono (2002) adalah sebagai berikut :

1. Membeli produk karena iming-iming hadiah : individu membeli suatu barang karena adanya hadiah yang ditawarkan jika membeli barang tersebut.

(41)

3. Membeli produk demi menjaga penampilan diri dan gengsi : konsumen mempunyai keinginan membeli yang tinggi, karena pada umumnya konsumen mempunyai ciri khas dalam berpakaian, berdandan, gaya rambut, dan sebagainya dengan tujuan agar individu selalu berpenampilan yang dapat menarik perhatian orang lain.

4. Membeli produk atas pertimbangan harga (bukan atas dasar manfaat atau kegunaannya) : konsumen cenderung berperilaku yang ditandakan oleh adanya kehidupan mewah sehingga cenderung menggunakan segala hal yang dianggap paling mewah.

5. Memakai produk karena unsur konformitas terhadap model yang mengiklankan : konsumen cenderung meniru perilaku tokoh yang diidolakannnya dalam bentuk menggunakan segala sesuatu yang dapat dipakai tokoh idolanya. Konsumen juga cenderung memakai dan mencoba produk yang ditawarkan bila ia mengidolakan publik figur produk tersebut.

6. Membeli produk hanya sekedar menjaga simbol status : konsumen mempunyai kemampuan membeli yang tinggi baik dalam berpakaian, berdandan, gaya rambut, dan sebagainya sehingga hal tersebut dapat menunjang sifat eksklusif dengan barang yang mahal dan memberi kesan berasal dari kelas sosial yang lebih tinggi. Dengan membeli suatu produk dapat memberikan simbol status agar kelihatan lebih keren dimata orang lain.

7. Munculnya penilaian bahwa membeli produk dengan harga mahal akan menimbulkan rasa percaya diri yang tinggi : konsumen sangat terdorong untuk mencoba suatu produk karena mereka percaya apa yang dikatakan oleh iklan yaitu dapat menumbuhkan rasa percaya diri

(42)

II.5.2 Karakteristik Perilaku Konsumtif

Handoko dan Swastha (2000) menjelaskan karakteristik perilaku konsumtif seseorang sebagai berikut:

a. Keinginan individu untuk membeli barang yang kurang diperlukan. b. Keinginan individu untuk membeli barang yang tidak diperlukan.

c. Perasaan tidak puas individu untuk selalu memilki barang yang belum dimilki.

d. Sikap individu berfoya-foya dalam membeli barang.

e. Kesenangan individu membeli barang dengan harga mahal yang tidak sesuai dengan nilai & manfaatnya.

II.5.3 Aspek – Aspek Perilaku Konsumtif

Swasta dan Handoko (2000) menjelaskan aspek perilaku konsumtif seseorang yaitu pola hidup dengan keinginan untuk membeli barang-barang yang tidak diperlukan dan perasaan tidak puas selalu menyertai bila barang-barang yang diinginkan belum dimiliki seseorang. Perilaku konsumtif ditunjukkan apabila seseorang berpola konsumsi terhadap suatu barang yang tidak sebenarnya tidak diperlukan. Semakin tinggi membeli pembelian suatu barang yang tidak diperlukan maka semakin berperilaku konsumtif. Perasaan tidak puas juga menunjukkan perilaku komsumtif seseorang. Semakin merasa tidak puas belum memiliki barang yang diinginkan maka semakin berperilaku konsumtif.

Dari uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa perilaku konsumtif dapat dilihat dari tiga unsur jenis yaitu:

1. Impulsive Buying, perilaku pembelian yang berlebih-lebihan. Perilaku

konsumen yang berlebihlebihan ditandai oleh sikap foya-foya dalam membeli barang, menghamburkan uang untuk membeli barang-barang mewah yang kurang bermanfaat dalam berbelanja.

2. Non-Rational Buying, perilaku pembelian yang tidak rasioanal. Konsumen

(43)

3. Wasteful Buying, perilaku pembelian yang bersifat boros. Perilaku pembelian yang bersifat boros ditandai oleh pembelian barang oleh konsumen yang tidak disesuaikan dengan kebutuhan yang harus dipenuhi oleh konsumen.

II.5.4 Perilaku Konsumtif Pada Remaja

Iklan memang telah memberi banyak manfaat, baik bagi produsen maupun konsumen. Namun iklan juga menimbulkan dampak negatif bagi konsumen. Sri Urip (dalam Kasali, 1993) menyebutkan dampak-dampak negatif tersebut, antara lain:

1. Iklan membuat orang membeli sesuatu yang sebetulnya tidak ia inginkan atau butuhkan.

2. Iklan mengakibatkan barang-barang menjadi lebih mahal. Karena membutuhkan dana, maka wajar saja bila ada anggapan bahwa iklan menambah harga barang.

3. Iklan yang baik akan membuat produk yang berkualitas rendah dapat terjual.

4. Iklan adalah pemborosan.

Dari berbagai dampak tersebut, dapat disimpulkan bahwa iklan mampu menggiring khalayak untuk menjadi konsumtif. Menurut Heri Kusumawati dan Soemardi (1996), pola hidup konsumtif biasanya dipicu oleh gengsi dan dorongan untuk mengikuti mode agar mendapat penghargaan tertentu. Hal ini sejalan dengan pendapat Lubis (dalam Sumartono, 2002) yang mengatakan bahwa sering terjadi keinginan untuk memperoleh sesuatu barang atau jasa bukan didasarkan oleh kebutuhan, tetapi sekedar simbol status agar kelihatan lebih keren di mata orang lain. Lubis mengistilahkannya sebagai perilaku konsumtif.

(44)

Hurlock (1997) pun berpendapat bahwa remaja pada masa transisinya memiliki kondisi emosional yang labil, sehingga mudah dipengaruhi oleh kelompoknya. Kebanyakan dari mereka beranggapan bahwa penampilan dan gaya hidup yang serba “wah”, akan menaikkan status sosial mereka di dalam kelompoknya. Maka tidak heran bila kemudian mereka saling bersaing dalam penampilan dirinya dengan mengkonsumsi pakaian, sepatu, handphone, kosmetik dan barang mewah lainnya.

Tidak hanya kelompok referensi, tak dapat disangkal, iklan televisi pun telah menjadi “tersangka utama” dalam memberikan pengaruh yang kuat bagi terciptanya perilaku konsumtif remaja. Terpaan iklan-iklan produk remaja di televisi yang menyajikan pesan-pesan yang atraktif dan terkesan berlebihan, jelas membuat para remaja terbuai. Lemahnya filter dalam menyeleksi informasi yang datang serta rasa ingin tahu yang besar, berhasil dimanfaatkan pihak produsen yang menjadikan remaja sebagai sasaran empuk. Hal ini ditandai dengan banyaknya iklan-iklan produk remaja yang lalu-lalang di televisi. Para produsen berlomba untuk menciptakan produk-produk yang digemari remaja, agar mereka mau mengkonsumsinya.

Kekuatan audio-visual iklan televisi telah mempengaruhi kognisi serta afeksi remaja. Dengan tujuan akhirnya tentu saja muncul perilaku untuk membeli produk yang ditawarkan, sekaligus menjadikan produk tersebut sebagai bagian hidupnya yang tak terpisahkan. Akibatnya, menurut Sumartono (2002), efek negatif hadirnya iklan televisi yakni munculnya sikap hedonism dan glamorisme seakan tidak dapat dielakkan lagi. Pengaruh iklan telah membelokkan haluan kebutuhan ke arah keinginan untuk mencoba seluruh produk yang disaksikan, meskipun mungkin tidak dibutuhkan.

II.6 Kerangka Konsep

Konsep adalah generalisasi dari sekelompok fenomena yang sama. Konsep dibangun dari teori – teori yang digunakan untuk menjelaskan variabel – variabel yang akan diteliti (Bungin, 2005 : 57).

(45)

a. Waktu penayangan:

 Frekuensi penayangan

 Durasi b. Daya tarik pesan:

 Isi pesan

 Tampilan

 Tata gambar

 Warna

 Musik/jingle  Slogan

2. Variabel perilaku konsumtif yang terdiri dari: a. Membeli produk karena iming – iming hadiah b. Membeli produk karena kemasan menarik c. Membeli produk demi penampilan

d. Membeli produk atas pertimbangan harga

e. Memakai sebuah produk karena unsur konformitas terhadap model yang mengiklankan produk

f. Membeli produk hanya sekedar menjaga simbol status

g. Muncul penilaian bahwa membeli produk dengan harga mahal akan menimbulkan rasa percaya diri yang tinggi

h. Mencoba lebih dari dua produk yang sejenis (merk berbeda)

II.7 Model Teoritis

Berdasarkan kerangka konsep yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat dibuat teoritis dalam penelitian ini sebagai berikut :

Perila Konsumtif Berulang – ulang Disukai

(46)

II.8 Operasional Variabel

Berdasarkan kerangka teori dan kerangka konsep yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat dibuat operasional variabel yang berfungsi untuk membentuk kesatuan dan kesesuaian dalam penelitian yaitu sebagai berikut :

Tabel 1

Operasional Variabel

No Variabel Teoritis Variabel Operasional 1 Variabel

Tayangan Iklan

1. Waktu Penayangan

 Frekuensi Penayangan

 Durasi

2. Daya Tarik Pesan

 Isi pesan

 Tampilan

 Tata gambar

 Warna

 Music / jingle  Slogan 2 Variabel Perilaku

Konsumtif

1. Membeli produk karena iming – iming hadiah 2. Membeli produk karena kemasan yang menarik 3. Membeli produk demi menjaga penampilan 4. Membeli produk atas pertimbangan harga

5. Memakai sebuah produk karena unsur konformitas terhadap model yang mengiklankan produk

6. Membeli produk hanya sekedar menjaga simbol status 7. Munculnya penilaian bahwa membeli produk dengan harga

(47)

II.9 Defenisi Operasional

Defenisi operasional merupakan suatu petunjuk pelaksanaan untuk mengukur variabel-variabel. Adapun yang menjadi defenisi operasional dalam penelitian ini adalah :

1. Variabel Tayangan Iklan 1) Waktu penayangan

 Frekuensi penayangan : tingkat keseringan iklan ditayangkan agar suatu pesan iklan mendapatkan perhatian audiensnya.

 Durasi tayangan : lamanya tayangan iklan tersebut berlangsung 2) Daya tarik pesan

 Isi pesan : pesan yang dibuat harus singkat, padat dan jelas, sehingga komunikan mengetahui isi pesan iklan tersebut.

 Tampilan : tampilan iklan yang dibuat untuk menarik perhatian khalayak.

 Tata gambar : penataan gambar dalam iklan yang dapat menarik minat khalayaknya.

 Warna : warna yang ditampilkan harus sesuai dengan iklan yang ditayangkan untuk menarik minat khalayaknya.

 Musik / jingle : musik yang dibuat ke dalam iklan tersebut, untuk menarik perhatian khalayaknya.

 Slogan : kalimat atau kata – kata yang dibuat dalam iklan untuk memunculkan keinginan khalayaknya.

2. Variabel Perilaku Konsumtif

1) Membeli produk karena iming-iming hadiah : individu membeli suatu barang karena adanya hadiah yang ditawarkan jika membeli barang tersebut.

(48)

membeli produk tersebut hanya karena produk tersebut dibungkus dengan rapi dan menarik.

3) Membeli produk demi menjaga penampilan diri dan gengsi : konsumen mempunyai keinginan membeli yang tinggi, karena pada umumnya konsumen mempunyai ciri khas dalam berpakaian, berdandan, gaya rambut, dan sebagainya dengan tujuan agar individu selalu berpenampilan yang dapat menarik perhatian orang lain.

4) Membeli produk atas pertimbangan harga (bukan atas dasar manfaat atau kegunaannya) : konsumen cenderung berperilaku yang ditandakan oleh adanya kehidupan mewah sehingga cenderung menggunakan segala hal yang dianggap paling mewah.

5) Memakai produk karena unsur konformitas terhadap model yang mengiklankan : konsumen cenderung meniru perilaku tokoh yang diidolakannnya dalam bentuk menggunakan segala sesuatu yang dapat dipakai tokoh idolanya. Konsumen juga cenderung memakai dan mencoba produk yang ditawarkan bila ia mengidolakan publik figur produk tersebut.

6) Membeli produk hanya sekedar menjaga simbol status : konsumen mempunyai kemampuan membeli yang tinggi baik dalam berpakaian, berdandan, gaya rambut, dan sebagainya sehingga hal tersebut dapat menunjang sifat eksklusif dengan barang yang mahal dan memberi kesan berasal dari kelas sosial yang lebih tinggi. Dengan membeli suatu produk dapat memberikan simbol status agar kelihatan lebih keren dimata orang lain.

7) Munculnya penilaian bahwa membeli produk dengan harga mahal akan menimbulkan rasa percaya diri yang tinggi : konsumen sangat terdorong untuk mencoba suatu produk karena mereka percaya apa yang dikatakan oleh iklan yaitu dapat menumbuhkan rasa percaya diri 8) Mencoba lebih dari dua produk sejenis (merek berbeda) : konsumen

Gambar

Tabel 1 Operasional Variabel
Tabel 2
Tabel 3.1 Jenis Kelamin
Tabel 3.3
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Pendataan siswa yang kurang berprestasi di bidang akademik untuk.. mendapatkan bimbingan dari

Penulisan hukum ini bertujuan untuk mengetahui unsur-unsur wanprestasi dan tindak pidana penipuan, apakah wanprestasi dalam perjanjian termasuk salah satu bentuk tindak

Tiga nanas unggul yang telah dikembangkan oleh Pusat Kajian Buah Tropika (PKBT) Institut Pertanian Bogor yakni: Delika Subang, Mahkota Bogor, dan Pasir Kuda. Pasir Kuda

Terdapat banyak cara untuk menghubungkan satu piranti dengan piranti yang lain, sehingga akan timbul masalah jika tidak ada aturan dari interface tersebut.. Produsen piranti

Pada kegiatan belajar mengajar, seorang guru melakukan kegiatan belajar sesuai dengan rencana pelaksanaan pembelajaran yang telah dipersiapkan. Selama proses belajar

Kisaran jumlah jenis lumut epifit per plot maupun per pohon menunjukkan bahwa hutan primer di Mandalawangi dan Gunung Bunder memiliki kekayaan jenis yang lebih tinggi

Pada hari ini Rabu tanggal Dua Puluh Sembilan bulan Agustus tahun Dua ribu dua belas , Kami selaku Panitia Pengadaan Barang / Jasa Pekerjaan Kontruksi Rehabilitasi 2