• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Kejadian Penyakit Arteri Perifer Dengan Lamanya Menjalani Hemodialisis : Penelitian Potong Lintang Di Departemen/Smf Penyakit Dalam-Fakultas Kedokteran Usu/Rsup H Adam Malik/rsud dr. Pirngadi-medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Kejadian Penyakit Arteri Perifer Dengan Lamanya Menjalani Hemodialisis : Penelitian Potong Lintang Di Departemen/Smf Penyakit Dalam-Fakultas Kedokteran Usu/Rsup H Adam Malik/rsud dr. Pirngadi-medan"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

H

HU

U

BU

B

UN

N

GA

G

A

N

N

K

KE

EJ

JA

A

DI

D

IA

AN

N

P

PE

EN

NY

YA

A

KI

K

IT

T

A

AR

R

TE

T

ER

R

I

I

P

PE

ER

RI

IF

FE

ER

R

D

DE

EN

NG

GA

AN

N

L

LA

A

MA

M

AN

NY

YA

A

M

ME

EN

N

JA

J

AL

LA

AN

NI

I

H

HE

EM

MO

OD

D

IA

I

A

LI

L

IS

SI

IS

S.

.

PENELITIAN POTONG LINTANG DI DEPARTEMEN / SMF

PENYAKIT DALAM - FAKULTAS KEDOKTERAN USU /

RSUP H ADAM MALIK / RSUD DR. PIRNGADI - MEDAN

November 2007 – Januari 2008

TESIS

OLEH

DESKE MUHADI RANGKUTI

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

RSUP H ADAM MALIK/ RSUD DR PIRNGADI

(2)

DIAJUKAN DAN DIPERTAHANKAN DIDEPAN SIDANG LENGKAP

DEWAN PENILAI DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN USU

DAN DITERIMA

SEBAGAI SALAH SATU SYARAT

UNTUK MENDAPATKAN KEAHLIAN DALAM BIDANG

ILMU PENYAKIT

PEMBIMBING TESIS

(

(

D

D

R

R

A

A

B

B

D

D

U

U

R

R

R

R

A

A

H

H

I

I

M

M

R

R

A

A

S

S

Y

Y

I

I

D

D

L

L

U

U

B

B

I

I

S

S

,

,

S

S

p

p

P

P

D

D

-

-

K

K

G

G

H

H

)

)

DISAHKAN OLEH :

KEPALA DEPARTEMEN

KETUA PROGRAM STUDI

ILMU PENYAKIT DALAM

ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN USU

FAKULTAS KEDOKTERAN USU

(

(3)

DEWAN PENILAI :

(4)

KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan hati terlebih dahulu penulis mengucapkan segala

puji bagi kebesaran Allah SWT yang telah memberi kekuatan & rahmatnya sehingga

penulis dapat menyelesaikan tesis/karya ilmiah akhir ini dengan judul "Hubungan

Kejadian Penyakit Arteri Perifer dengan Lamanya menjalani Hemodialisis" yang

merupakan persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan Dokter Ahli dibidang Ilmu

Penyakit Dalam pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan baik isi

maupun bahasanya, namun demikian penulis berharap tulisan dapat menambah

wacana tentang kejadian Penyakit Arteri Perifer pada penderita Gagal Ginjal Kronik

yang menjalani Hemodialis.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang

setulusnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas segala jasa-jasa yang

diberikan, kepada :

Dr Salli Roseffi Nasution, SpPD-KGH, selaku Kepala Departemen Ilmu Penyakit

Dalam FK-USU/RSUP.H. Adam Malik Medan yang telah banyak memberi bimbingan,

nasehat serta kemudahan dalam pengembangan ilmu dan keahlian penulis.

Prof Dr Harun Rasyid Lubis, SpPD-KGH, selaku kepala Divisi Ginjal dan

Hipertensi, yang telah memberi bimbingan dan pengarahan tanpa jemu dan yang tak

ternilai harganya mulai dari penulis pertama kali memasuki Program Pendidikan Dokter

Spesialis Ilmu Penyakit Dalam FK USU, selama pendidikan dan sampai saat - saat akhir

tetap memberikan masukan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis penelitian ini.

Dr. Zulhelmi Bustami, SpPD-KGH sebagai ketua program studi Ilmu Penyakit

(5)

Dr. Dharma Lindarto, SpPD-KEMD selaku sekretaris program studi Ilmu Penyakit

Dalam Fakultas Kedokteran Sumatera Utara

Dr Abdurrahim Rasyid Lubis, SpPD-KGH selaku pembimbing tesis penulis yang

dengan kesabaran dan ketelitiannya membimbing dan mengarahkan penulis sampai

selesainya karya tulis ini.

Para Kepala Divisi sewaktu penulis menjalani pendidikan : Prof.Dr.Azhar

Tanjung, Prof Dr. Azmi S Kar, Prof Dr. OK. Moehad Sjah, Prof Dr. Habibah Hanum

Nasution, Prof. Dr. Pengarapen Tarigan, Prof Lukman Hakim Zain , Prof. Dr. T. Renaldi

Haroen, Dr. Sjafii Piliang, Alm Dr OK Alfien Syukran, Dr. Umar Zein, Dr. Refli Hasan,

atas segala bimbingan yang diberikan kepada penulis.

Dokter Kepala Ruangan sewaktu penulis menjalani pendidikan : Dr. R. Tunggul

Ch S, Dr. Mardianto, Dr. Tambar Kembaren, Dr. Zuhrial, Dr. Zulhelmi Bustami, Dr.

Abdurrahim Rasyid Lubis, Dr. Blondina Marpaung, Dr. Dasril Effendi, Dr llham, Dr

Zainal, Dr Calvin Damanik, Dr Soegiarto Gani, Dr. Santi Syafril, Dr Rahmat Isnanta, Dr

Dairion Gatot, Dr Armon Rahimi , Dr Heriyanto Yoesoef, Dr Saut Marpaung, Dr

Maringgan, Dr Mazhir sebagai Dokter Kepala Ruangan / Senior yang telah banyak

memberi bimbingan-bimbingan selama penulis mengikuti pendidikan.

Seluruh Staf Departemen llmu Penyakit Dalam FK-USU/RSUD Dr. Pimgadi /

RSUP. H. Adam Malik Medan : Prof. Dr. Bachtiar Fanani Lubis, Prof Dr. Sutomo

Kasiman, Prof Dr. M. Yusuf Nasution, Prof Dr. Gontar A. Siregar, Prof Dr. Harris Hasan,

Alm Dr. Rusli Pelly, Dr. Nur Aisyah, Dr. A. Adin St. Bagindo, , Dr. Lufti Latief, , Dr. Sri M.

Soetadi, Dr. Bethin Marpaung, , Dr. Mabel Sihombing, , Dr. Juwita Sembiring , Dr. Josia

Ginting, Dr. Leonardo P. Dairy , Dr. Alwinsyah Abidin, Alm. Dr Chairul Bahri, Dr. E.N.

Keliat, Dr. Pirma Siburian, yang merupakan guru-guru yang telah banyak memberi

(6)

Direktur RSUD. Dr. Pimgadi dan RSUP. H. Adam Malik Medan, Direktur RSUD.

PTP Tembakau Deli Medan yang telah memberi kemudahan dan keizinan dalam

menggunakan fasilitas / sarana Rumah Sakit dalam menjalani pendidikan.

Direktur RSU Dolok Sanggul, Humbang Hasundutan, Sumut; Dr P Siburian

yang telah memberi kesempatan kepada penulis selama ditugaskan sebagai konsultan

di bagian Penyakit Dalam di RSU Dolok Sanggul dalam rangka pendidikan ini.

Para Sejawat PPDS Interna yang saya cintai : Dr Munadi, Dr Bernard SD, Dr

Marna S Ismy, SpPD, Dr. Sabar Sembiring, SpPD, Dr. Corry Silaen, Dr. Suhartono, Dr.

Iman Tarigan, Dr. Anita, Dr. Alwi, Dr Zulfan, Dr Sahrul R dan teman-teman lainnya

yang penuh kesetiakawanan dan kebersamaan memberi bantuan, dorongan dan

pengorbanan selama menjalani pendidikan sehingga terjalin rasa persaudaraan yang

erat.

Paramedis dan seluruh karyawan/ti bagian Penyakit Dalam RSUD. Dr. Pirngadi

dan RSUP. H. Adam Malik Medan : Lely, Yanti, Theresia, Syafruddin Abdullah, Fitri dan

Deni yang telah banyak membantu dan bekerjasama dengan baik selama ini.

Kepada Drs Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes yang telah memberikan bantuan yang

tulus kepada penulis khususnya dalam metodologi penelitian ini.

Para penderita rawat inap dan rawat jalan di SMF/Departemen Ilmu Penyakit

Dalam RSUD. Dr. Pirngadi dan RSUP. H. Adam Malik Medan, karena tanpa mereka

mustahil penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini.

Pada kesempatan ini, secara khusus penulis ingin mengucapkan terima kasih

kepada: Direktur dan Staff serta seluruh Paramedis Klinik Hemodialisis Rasyida, yang

memberi banyak kemudahan dan bantuan yang tulus kepada penulis untuk

(7)

Kepada Kepala Dinas Kesehatan TK I Departemen Kesehatan RI Propinsi

Sumatera Utara, Bapak Rektor USU dan Dekan Fakultas Kedokteran USU yang telah

memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan ini.

Kepada ayahanda Alm Martua Raja Rangkuti dan ibunda Yusrawita Lubis, yang

sangat ananda sayangi dan kasihi, tiada kata-kata yang paling tepat untuk

mengungkapkan perasaan hati, rasa terima kasih atas segala jasa-jasa dan kasih

sayang serta perhatian ayahanda dan ibunda yang tiada mungkin terucapkan dan

terbalaskan, semoga Allah membalas dengan kebaikan yang lebih baik dan berlipat

ganda. Kepada martua ayahanda Dr Sjafii Piliang, SpPD KEMD dan ibunda Alm Dr

Mardiana Karim, SpA, yang ananda sayangi dan kasihi, yang dengan ikhlas sebagai

tempat sandaran penulis disaat suka dan duka dan juga terima kasih yang tak terhingga

atas dorongan serta semangat kepada penulis dalam menyelesai pendidikan ini,

semoga Allah membalas dengan kebaikan yang lebih baik dan berlipat ganda.

Kepada Istriku tercinta Dr. Lita Septina Chaniago SpPD, tiada kata yang paling

tepat selain terima kasih yang tak terhingga yang selama ini tiada bosan-bosannya

memberi bantuan, dorongan dan semangat serta doanya selama kita menjalani

pendidikan di Departemen Penyakit Dalam sehingga terselesaikannya tugas akhir ini,

mudah-mudahan Allah SWT memberi balasan yang berlipat ganda.

Kepada saudara-saudaraku : abangda Dr Kumala Raja Rangkuti, adinda Dr

Harry Surya Rangkuti, Dr Iatri Arlia, Alfi Noviansyah, Dr. Amelia Martira, SpAN, Rizky

Juniansyah , Dr. Fitri Rahmah , Nurul Yani, SPsi serta keluarga besarku yang telah

banyak membantu, memberi semangat dan dorongan serta saran selama pendidikan,

terima kasihku yang tak terhingga untuk segalanya. Khusus kepada keponakanku

Ahmad Risyad Ibrahim Ayyash, terima kasih Om ucapkan atas kasih sayangnya karena

(8)

Kepada Dr Archianda Arsyad SpKK dan istri Syarifah Hasmah serta keluarga,

hanya doa dan rasa syukur kepada Allah atas segala kebaikan dan bimbingan yang

telah mereka berikan, semoga Allah membalasnya dengan kebaikan yang lebih baik dan

berlipat ganda.

Akhimya izinkanlah penulis memohon maaf yang sebesar-besamya atas

kesalahan dan kekurangan selama mengikuti pendidikan ini, semoga segala bantuan,

dorongan dan petunjuk yang diberikan kepada penulis selama mengikuti pendidikan

kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT yang Maha Pengasih,

Maha Pemurah dan Maha Penyayang.

Amin ya Rabbal Alamin.

Medan, Februari 2008.

Penulis,

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

Kata pengantar ………... i

Daftar Isi ………... vi

Lampiran ... viii

Daftar Tabel dan Gambar ………... ix

Keterangan Daftar Singkatan ... x

Abstrak ... xi

Abstrack... xii

BAB I : PENDAHULUAN ………... 1

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gagal Ginjal ...………... 3

2.2. Penyakit Arteri Perifer………... 6

2.2.1. Patofisiologi ………... 8

2.2.2. Faktor Resiko 2.2.2.a. Faktor Resiko Tradisional …... 10

2.2.2.b. Faktor Resiko Non Tradisional ... 13

2.2.3. Diagnosa ... 16

2.2.3.1. Acute Limb Ischemia ... 17

2.2.3.2. Critical Limb Ischemia ... 17

2.2.3.3. Dianosa Non Invasif ... 18

2.2.3.3.a. Ankle Brachial Index ... 19

(10)

2.2.3.3.c. Exercise Stress Testing ... 21

2.2.3.3.d. Duplex Ultrasonography ... 21

2.2.3.3.e. Magnetic Resonance Angiography ... 21

2.2.3.3.f. Computed Tomography Angiography ... 22

BAB III : PENELITIAN SENDIRI 3.1. Latar Belakang ... 23

3.2. Perumusan Masalah ... 25

3.3. Hipotesa ... 25

3.4. Tujuan Penelitian ... 25

3.5. Manfaat Penelitian ... 25

3.6. Kerangka Konsepsional ... 26

3.7. Bahan dan Cara 3.7.1. Desain Penelitian ... 26

3.7.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 26

3.7.3. Kriteria Inklusi ... 27

3.7.4. Kriteria Eksklusi ... 27

3.7.5. Besar Sampel ... 27

3.7.6. Cara Penelitian ... 28

3.8. Analisa Data ... 29

3.9.1. Defenisi Operasional ... 29

3.9.2. Kerangka Operasional ... 30

BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN

(11)

4.1.2. Penyakit Arteri Perifer pada Pasien menjalani Hemodialisis... 32

4.1.3. Korelasi PAP terhadap variabel - variabel Pasien menjalani Hemodialisis ... 32

4.1.4. Rerata nilai ABI terhadap Etiologi Hipertensi dan Diabetik Nefropati ... 33

4.2. Pembahasan ... 34

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 39

5.2. Saran ... 40

BAB VI : DAFTAR PUSTAKA ... 41

LAMPIRAN 1. Master Tabel ... 47

2. Lembaran Penjelasan Kepada Calon Subjek ... 48

3. Surat Persetujuan Bersedia Ikut Penelitian ... 49

4. Data Peserta Penelitian ... 50

5. Persetujuan Komite Etik Tentang Penatalaksanaan Penelitian Bidang Kesehatan ... 51

(12)

DAFTAR TABEL DAN GAMBAR

Tabel 1. Beberapa kelainan klinis akibat uremia 3

Tabel 2. Kriteria klinis kategori critical limb ischemia 18

Tabel 3. Data demografi pasien ( karakteristik klinis ) 31

Tabel 4. Perbandingan pasien dengan dan tanpa PAP 32

Tabel 5. Korelasi berdasarkan etiologi dan marker HD terhadap ABI 33

Tabel 6. Perbandingan rerata ABI pada hipertensi nefropati 33

(13)

KETERANGAN DAFTAR SINGKATAN

GGK : Gagal Ginjal Kronik

PAP : Penyakit Arteri Perifer

ABI : Ankle Brachial Index

LFG : Laju Filtrasi Glomerulus

IDWG : Intra Dialisis Weigh Gain

IMT : Indeks Masa Tubuh

URR : Urea Reduction Ratio

HD : Hemodialisis

TD : Tekanan Darah

TG : Trigliserida

HDL : High Density Lipoprotein

LDL : Low Density Lipoprotein

ACC : American Collage Cardiology

ADA : American Diabetes Association

ARIC : Atheroschlerosis Risk in Communities

(14)

Hubungan Kejadian Penyakit Arteri Perifer dengan Lamanya menjalani

Hemodialisis

Deske Muhadi Rangkuti

Abstrak

Latar belakang : Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab utama morbiditas dan

mortalitas pada pasien penyakit ginjal tahap akhir. Penyakit arteri perifer (PAP) merupakan prediktor kuat kelainan aterosklerosis, terutama oklusi pada tungkai bawah. Beberapa penelitian menunjukkan prevalensi dan korelasi klinis PAP meningkat pada pasien kelainan ginjal tahap akhir. Prevalensi PAP di AS pada penderita yang baru menjalani hemodialisis berkisar 14 - 15%.

Tujuan penelitian : Mengetahui prevalensi PAP pada tungkai bawah dan hubungannya

dengan lamanya menjalani hemodialisis.

Metode : 50 pasien HD kontinyu lebih 3 bulan dilakukan pemeriksaan PAP dengan

ankle-brachial index (ABI) VaSera VS-1000TM (Fukuda Denshi) .ABI yaitu perbandingan tekanan darah sistolik arteri dorsalis pedis dan arteri tibialis posterior tungkai bawah dengan arteri brachialis lengan menggunakan doppler. Pasien dengan cimino shunt tidak dilakukan pemeriksaan pada sisi tersebut. Nilai ABI < 0,9 dianggap abnormal.

Hasil : Prevalensi PAP (ABI < 0,9) adalah 7,5 %. PAP berhubungan negatif dengan

usia ( r = -0,320 , p=0,024), tetapi tidak berkorelasi dengan lamanya HD, IDWG, Kt/v dan URR. Rerata nilai ABI berdasarkan etiologi hipertensi nefropati lebih tinggi dibanding non-hipertensi nefropati (1,052 ± 0,227 dan 1,030 ± 0,156) juga pada etiologi diabetik nefropati dibanding non diabetik nefropati (1,021 ± 0,140 dan 1,049 ± 0,209) keduanya secara statistik tidak bermakna (p > 0,05).

Kesimpulan : Prevalensi PAP pada penelitian ini 8%. ABI berhubungan negatif dengan

(15)

Association of Peripheral Arterial Disease and Duration of Hemodialysis

Deske Muhadi Rangkuti

Abstract

Background : Peripheral arterial disease (PAD) is the most common manifestation of

systemic atherosclerosis and accounts for significant morbidity and mortality among end-stage renal disease (ESRD) patients. However, few studies have identified the prevalence and clinical correlates of PAD in this specific population. In US, estimates of prevalence PAD on the basis of noninvasive diagnostic testing result range from 14 to 15%.

Aims : To calculate the prevalence of lower – extremity PAD and relationship with

duration of hemodialysis .

Methods : Fifty patients receiving stable HD > 3 months from our center were screened

for PAD using the ankle-brachial index (ABI). The ABI was measured by : systolic blood pressure of ankle divided by typical brachial blood pressure (VaSera VS 1000, Fukuda Denshi). Patient has a cimino shunt at the arm, did not measure the blood pressure at the arm having the dialysis shunt. ABI ratio of < 0,9 was considered abnormal.

Result : The prevalence rate of PAD (ABI < 0,90) was 7,5 %. ABI was negatively

correlated with age (r = -0,320, p = 0,024), and no correlated with etiology, IDWG, Kt/v and URR. Mean ABI in the differences of etiologic of nephropathy (diabetic and hypertensive group) are (1,052 ± 0,227 and 1,030 ± 0,156) and (1,021 ± 0,140 and 1,049 ± 0,209) respectively, but not seen significant differences between them for excess of PAD

Conclusion : The prevalence rate of PAD in our center was 7,5%. ABI was negatively

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

Sindroma gagal ginjal kronik ( GGK ) merupakan permasalahan bidang

nefrologi dengan angka kejadiannya masih cukup tinggi, etiologi luas dan

komplek, sering tanpa keluhan maupun gejala klinik kecuali sudah masuk ke

stadium terminal (gagal ginjal terminal).1

GGK adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam,

mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya

berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu keadaan

klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu

derejat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap , berupa dialisis atau

transplantasi ginjal.2,3 Dalam kepustakaan lainnya, GGK adalah ketidak

mampuan ginjal untuk mempertahankan keseimbangan dan integritas tubuh

yang muncul secara bertahap, diikuti penimbunan sisa metabolisme protein dan

gangguan keseimbangan elektrolit, sebelum masuk ke fase penurunan faal ginjal

tahap akhir.1 Uremia adalah suatu sindroma klinik dan laboratorik yang terjadi

pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik.2

Penyakit jantung dan pembuluh darah harus mendapat perhatian khusus,

karena merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pasien dialisis.

Hipertensi, gangguan metabolisme lipid dan toksin uremia memegang peranan

penting patogenesis dan patofisiologi penyakit kardiovaskular.4 Akhir - akhir ini

diketahui bahwa penyebab kematian penyakit ginjal kronis merupakan faktor

resiko yang bersifat independen, untuk timbulnya suatu generalized

atherosclerosis dan penyakit jantung koroner.5 Morbiditas dan mortalitas akibat

penyakit kardiovaskuler meningkat bila dibandingkan dengan penyebab lain,

mortalitas kardiovaskular hampir 40% dan meningkat sampai 50% bila disertai

(17)

Selama ini penyakit serebrovaskuler dan penyakit kardiovaskuler yang

termasuk dalam penyakit aterosklerosis lebih sering dilaporkan dalam

keterkaitannnya dengan penyakit ginjal kronis, bila dibandingkan dengan

penyakit arteri perifer (PAP) pada tungkai bawah. 6

Berdasarkan data yang diperoleh dari the Atherosclerosis Risk in

Communities (ARIC) Study pada 14.280 orang dewasa dengan laju filtrasi

glomerulus (LFG) ≥ 90 (normal), 60 - 89, dan 15 - 59 ml/menit per 1,73m2,

setelah diikuti selama 13,1 tahun, insiden terjadinya PAP per 1000 orang

pertahun adalah 4,7 : 4,9 dan 8,6 masing masing untuk fungsi ginjal normal,

penurunan fungsi ginjal ringan dan penyakit ginjal kronis stadium 3 dan 4.7

Prevalensi PAP sangat bervariasi, bergantung pada populasi mana yang

diteliti. Di Amerika Serikat, prevalensi penderita yang baru menjalani hemodialisis

berkisar antara 14 - 15%. Sedang pada penderita yang menjalani hemodialisis

kronis, prevalensinya meningkat menjadi 25% berdasarkan HEMO study dan

USRDS data base. 8,9

Seperti halnya pada populasi umum, PAP pada penderita penyakit ginjal

yang baru menjalani hemodialisis, prevalensinya lebih tinggi pada pria

dibandingkan wanita, lebih tinggi pada penderita diabetes dari pada non

(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. GAGAL GINJAL

Gagal ginjal kronik menurut defenisi konsepsional adalah ketidakmampuan ginjal untuk mempertahankan keseimbangan dan integritas tubuh yang muncul secara bertahap sebelum terjun ke fase penurunan faal ginjal tahap akhir atau merupakan penurunan semua faal ginjal secara bertahap diikuti penimbunan sisa metabolisme protein dan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.2 Akumulasi cairan dan sisa metabolisme tubuh dapat menyebabkan suatu keadaan yang disebut azotemia atau uremia.1,3,12

Uremia merupakan sindroma klinik dan laboratorium yang dapat menyebabkan disfungsi berbagai sistem organ sebagai akibat dari gagal ginjal akut maupun kronik yang tidak mendapat penanganan sebagaimana mestinya.1,3,12,13

(19)

Sejak tahun 1960 hemodialisis (HD) mulai diterapkan sebagai terapi pengganti ginjal pada pasien gagal ginjal akut dan gagal ginjal terminal. Hemodialisis merupakan terapi pengganti faal ginjal dengan tujuan untuk mengeluarkan (eliminasi) sisa – sisa metabolisme protein dan koreksi gangguan keseimbangan air dan elektrolit antara kompartemen darah pasien dengan kompartemen larutan dialisat (konsentrat) melalui selaput (membran) semi permiabel yang bertindak sebagai ginjal buatan (artificial kidney atau dializer).1,14

Di Indonesia hemodialisis dilakukan 2 kali seminggu, dengan setiap hemodialisis dilakukan setiap 5 jam, di pusat dialisis lainnya ada juga dialisis yang dilakukan 3 kali seminggu dengan lama dialisis 4 jam.14

Kecukupan dosis hemodialisis yang diberikan diukur dengan istilah adekuasi dialisis. Terdapat korelasi yang kuat anatara adekuasi dialisis dengan angka morbiditas dan angka mortalitas pasien dialisis.14

Pasien dialisis reguler tidak terlepas dari berbagai komplikasi medis yang terkait dengan keadaan anemia, malnutrisi, inflamasi, gangguan metabolisme kalsium dan fosfor, hipertensi, dislipidemia dan penyakit kardiovaskuler. Studi epidemiologi mengungkapkan bahwa morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovaskuler pada pasien dialisis lebih tinggi dibanding populasi umum.15

Penyakit ginjal kronik merupakan faktor resiko independen untuk berkembangnya penyakit kardiovaskuler.16-17

Kondisi – kondisi pada GGK yang merupakan faktor resiko untuk terjadinya penyakit kardiovaskuler adalah penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), mikroalbuminuria, hiperfosfatemia, hipertensi kardiak dan kardiomiopati uremik serta anemia.2

Beberapa faktor resiko pada penyakit ginjal kronik yang memperberat penyakit kardiovaskuler adalah :2

Hipertensi : lebih dari 80% penderita gagal ginjal kronik mengalami hipertensi, dan dari berbagai penelitian telah terbukti bahwa hipertensi merupakan salah satu faktor resiko penting untuk terjadinya penyakit kardiovaskuler.

Anemia : anemia terjadi pada 70 – 80% penderita penyakit ginjal kronik yang bila berlangsung lama akan meningkatkan resiko kardiovaskuler.

(20)

terjadinya gangguan kardiovaskuler. Diantara substansi uremik tersebut adalah air, fosfat, kalium, hormon paratiroid, beta2 – mikroglobulin, homosistein, faktor inflamasi dan sebagainya.

Mikroalbuminuria dan albuminuria : beberapa penelitian membuktikan bahwa mikroalbuminuria dan albuminuria berhubungan erat dengan faktor resiko dan merupakan surrogate marker penyakit kardiovaskuler.

Hipertensi dan diabetes : hipertensi dan diabetes yang sudah dipastikan merupakan faktor resiko terjadinya penyakit kardiovaskuler, juga merupakan faktor yang berpengaruh terhadap progresifitas penyakit ginjal kronik.

Dislipidemia : banyak penelitian yang menemukan bahwa dislipidemia memacu perburukan fungsi ginjal. Dalan Physician’s Health study dengan lama follow up 14 tahun, didapatkan bahwa dislipidemia berkaitan dengan peningkatan resiko perburukan fungsi ginjal (ditandai dengan peningkatan kratinin serum > 1,5 mg/dL) pada pria dengan fungsi ginjal normal. Demikian juga halnya dengan ARIC study dan Fremigham offspring study.

Merokok : merokok berkaitan dengan pertanda (marker) terjadinya kerusakan ginjal pada orang sehat dan juga merupakan faktor resiko perburukan fungsi ginjal pada pasien dengan nefropati diabetik dan hipertensi.

Sindroma metabolik : penelitian NHANES III membuktikan adanya hubungan antara sindroma metabolik (hipertensi, HDL rendah, trigliserida tinggi, glukosa tinggi dan obesitas) dengan penyakit ginjal kronik.

Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada penderita GGK termasuk penderita GGK yang menjalani terapi pengganti ginjal. Penderita GGK lebih dari 40% meninggal akibat penyakit kardiovaskuler.18 Laporan dari Cardiovascular Disease, High Blood Pressure Research, dari American Health Association menyebutkan bahwa penyakit ginjal kronik merupakan salah satu kelompok resiko tertinggi untuk terjadinya kejadian kardiovaskuler dan kematian pada penderita GGK lebih sering disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler dibandingkan oleh karena penyakit ginjalnya sendiri.

16,18-20 Diantara 30 – 45% penderita gagal ginjal terminal mempunyai komplikasi

(21)

penderita GGK adalah 10 kali lebih tinggi daripada populasi umum dan meningkat 44 kali pada penderita dengan diabetes.20 Pada penderita yang menjalani dialisis, kematian oleh karena kardiovaskuler adalah 10 – 30 kali lebih tinggi dari pada populasi umum.17

Kelainan – kelainan sistem kardiovaskuler yang dijumpai pada penderita GGK adalah penyakit jantung iskemik, gagal jantung kongestif, hipertensi dan hipertropi ventrikel kiri. Resiko terhadap kejadian infark miokard pada penderita GGK dengan terapi pengganti ginjal berdasarkan United States Renal Data Sistem (USRDS) dan European registry of the patient on renal replacement theraphy (EDTA) adalah 3,5 – 5,0 kali lebih tinggi daripada populasi umum.18

2.2. PENYAKIT ARTERI PERIFER

Yang dimaksud dengan PAP adalah semua penyakit yang terjadi pada

pembuluh darah non sindroma koroner akut setelah keluar dari jantung dan

aortoiliaka yang disebabkan oleh perubahan struktur ataupun fungsi dari

pembuluh darah arteri yang mengaliri otak, organ - organ viseral dan anggota

tubuh. Jadi PAP meliputi keempat ekstremitas, arteri karotis, arteri renalis, arteri

mesenterika, aorta abdominalis dan semua percabangan setelah keluar dari

aortoiliaka.21

PAP sering kali merupakan bagian dari proses penyakit sistemik yang

berpengaruh terhadap kelainan arteri multipel. 21,22

Proses patologi dapat disebabakan oleh stenosis atau aneurisma. Dapat

juga disebabkan oleh tromboemboli atau trombosis. Penyebab terbanyak pada

usia diatas 40 tahun adalah aterosklerosis. Insiden tertinggi timbul pada dekade

ke enam dan tujuh. Prevalensi PAP meningkat pada kasus hipertensi, diabetes

melitus, hiperkolesterolnemia, hiperhomosisteinemia dan perokok.23

PAP dapat mengenai arteri besar, sedang maupun kecil; antara lain

trombangitis obliterans (Buerger’s disease), fibromuscular dysplasia, oklusi arteri

(22)

Sejarah istilah PAP adalah sebagai gambaran penyakit non kardiak yang

melibatkan seluruh sirkulasi darah, merupakan sindroma patofisiologi yang

meliputi arteri, vena dan sistim limfatik. Istilah ini berlaku untuk seluruh kelainan

vaskular secara umum. Istilah lainnya adalah peripheral arterial occlusive disase

(PAOD) atau peripheral arterial disease (PAD).24

PAP terjadi pada penduduk Amerika hampir mencapai 8-12 juta orang

dan meningkat seiring dengan pertambahan usia. Di Amerika Serikat terdapat

4,3 % individu usia diatas 40 tahun dan 14,5 % diatas 70 tahun yang mendapat

PAP. Studi epidemiologi mendapatkan angka prevalensi berkisar 1,6-12 %,

sedangkan beberapa penelitian lain dengan menggunakan deteksi penyakit

tersebut secara noninvasif mendapatkan prevalensi sebesar 3,8 % - 33 %.25-28

Pada populasi dialisis, United States Renal Data System, insiden PAP sebesar

15%.18

Ankle Brachial Index (ABI) yaitu perbandingan tekanan darah sistolik

arteri dorsalis pedis dan arteri tibialis posterior pada tungkai bawah dengan arteri

brachialis pada lengan menggunakan doppler yang telah divalidasi dibanding

angiografi dengan spesifisitas 95 % dan sensitivitas hampir 100 %. Dalam

praktek klinis, alat ini sangat mudah, murah dan akurat sehingga mudah dalam

menggunakannya dalam menegakkan suatu PAP. 25

PAP dinilai abnormal bila nilai ABI ≤ 0,9. Prevalensi PAP menggunakan

tes non invasif yang telah dilaporkan 2,5 % pada usia 40-59 tahun, 8,3 % pada

(23)

2.2.1 PATOFISIOLOGI

PAP sering kali merupakan proses penyakit sistemik yang berpengaruh

terhadap sirkulasi arteri multipel. Proses patofisiologi sistemik diantaranya

aterosklerosis, penyakit degeneratif, kelainan displasia, inflamasi vaskuler

(arteritis), trombosis in situ dan tromboemboli. Penyebab utama PAP yang

terbanyak diseluruh dunia adalah aterosklerosis. Secara epidemiologi dan

konsekuensi klinis PAP sangat erat hubungannya dengan faktor resiko

aterosklerosis klasik yaitu : hipertensi, diabetes melitus, merokok, hiperlipidemi,

genetik / riwayat keluarga, kondisi post menopouse dan penyebab lain yaitu

hiperhomosisteinemia dan inflamasi. Dapat juga disebabkan oleh penyakit

degeneratif seperti penyakit kolagen, sindroma Ehler-Danlos dan sindroma

Marfan. Penyakit displasia yang paling sering adalah fibromuskular displasia

dapat mengenai arteri renalis, arteri karotis dan arteri iliaka. Penyakit vaskulitis

dapat merusak arteri besar, sedang dan kecil.30

Penyakit arteri oklusi akibat tromboembi dapat disebabkan oleh makro

atau mikroemboli. Makroemboli biasanya berasal dari jantung, dapat berasal dari

LAA (left arterial appendage), fibrilasi atrial, trombus pada ventrikel sekunder

akibat infark miokard atau gagal jantung. Mikroemboli juga dapat berasal dari

jantung, dapat berasal dari penyakit katup atau katup protesa yang berpotensi

trombogenik, atau berasal dari arteri yang paling sering akibat plak kolesterol

yang ruptur dan menyebabkan ateroemboli distal. 27, 31

Mekanisme terjadinya aterosklerosis sama seperti yang terjadi pada arteri

koronaria. Lesi segmental yang menyebabkan stenosis atau oklusi biasanya

terjadi pada pembuluh darah berukuran besar atau sedang. Pada lesi tersebut

terjadi plak aterosklerotik dengan penumpukan kalsium, penipisan tunika media,

destruksi otot dan serat elastis disemua tempat, fragmentasi lamina elastika

(24)

yang terkena terutama pada aorta abdominal dan arteri iliaka (30% dari pasien

yang simtomatik), arteri femoralis dan poplitea (80 - 90%), termasuk arteri tibialis

dan peroneal (40-50%). Proses aterosklerosis lebih sering terjadi pada

percabangan arteri, tempat yang turbulensinya meningkat, yang diawali oleh

kerusakan tunika intima. Pembuluh darah distal lebih sering terjadi pada pasien

usia lanjut dan diabetes melitus.31 Faktor resiko seperti peningkatan usia,

diabetes melitus, merokok, peningkatan kolesterol total dan LDL kolesterol dan

hipertensi berperan penting dalam proses inisiasi dan aselerasi aterosklerosis. 32

Tingkatan aterosklerosis dibagi atas adanya lesi, pembentukan lapisan

lemak, ateroma fibroproliferatif. Adanya lesi berasal dari disfungsi endotel,

dimana lapisan lemak akibat adanya lesi inflamasi yang pertama kali

mempengaruhi arteri intima dan terjadi pembentukan sel busa. Lapisan lemak

terdiri dari sel otot polos, monosit, makrofag dan sel T dan B. Atero

fibroproliferatif berasal dari lapisan lemak yang terdiri dari banyaknya sel otot

polos yang berisi lemak. Pada lesi tahap lanjut dihasilkan dari akumulasi sel yang

membuat lapisan lemak dan atero proliferatif. Lesi tahap lanjut kaya akan sel

yang terdiri dari sel dinding vaskuler intrinsik (endotel dan otot polos) dan sel

inflamasi (monosit, makrofag dan T limposit). 32

Kompensasi arteri diawali dengan terjadi pembentukan aterosklerosis

yang dapat menyebabkan pembuluh darah meningkat ukurannya. Lesi tahap

lanjut yang mengganggu lumen yang akhirnya aliran darah menjadi terbatas

sehingga terjadi stenosis dan sindroma iskemik kronis. 32

Kejadian arteri akut terjadi jika adanya sumbatan fibrous yang

mengganggu; hasilnya terjadi pembukaan prothrombotic necrotic lipid core dan

jaringan subendotel yang memudahkan terbentuk trombus dan terjadi oklusi

(25)

2.2.2. FAKTOR RESIKO

Faktor resiko terjadinya PAD yaitu :

a. Faktor resiko tradisional 32

Adanya aterosklerosis pada pembuluh arteri karotis, koroner dan

pembuluh darah tepi. Pada penelitian Famingham Heart study, Cardiovascular

Health Study, PAD Awareness, Risk and Treatment: New Resources for Survival

(PARTNERS) program, NHANES dan Atherosclerosis Risk in Communities

(ARIC) Study, menyatakan bahawa faktor resiko utama PAP termasuk

peningkatan usia, merokok, diabetes melitus, dislipidemia dan hipertensi.

Merokok dan diabetes melitus menepati urutan terbesar terjadi PAP.

- Usia

Prevalensi PAP meningkat seiring dengan pertambahan usia. Pada

Framingham Heart study didapati usia ≥ 65 tahun meningkat resiko PAP.

Hubungan yang kuat antara bertambahnya usia (≥ 70 tahun) dan prevalensi PAP

dilaporkan NHANES dimana 4,3 % usia 40 tahun atau lebih dibandingkan

dengan 14,5 % usia 70 tahun atau lebih.

Criqui dkk telah melaporkan prevalensi PAP (dengan ABI abnormal) 2 -

3% pada individu usia ≤ 50 tahun dibanding 20 % pada usia 75 tahun atau lebih,

PARTNERS programme mendapatkan prevalensi 29 % pada individu usia diatas

70 tahun atau 50-69 tahun dengan riwayat merokok atau diabetes. Meskipun

PAP didapati juga pada usia ≤ 50 tahun tetapi jumlah kasusnya sangat kecil.

- Merokok 32 - 34

Merokok merupakan salah satu faktor resiko yang sangat penting terjadi

PAP dan komplikasinya yaitu : intermitten claudicatio dan critical limb ischemia.

Merokok meningkatkan resiko PAP 4 kali lipat dan onset terjadi PAP

(26)

Perbandingan merokok dan tidak merokok pada PAP didapati dua kali

lebih sering untuk dilakukannya tindakan amputasi dan terjadi critical limb

ischemia pada yang merokok. Hubungan merokok dan PAP dua kali lebih kuat

dibandingkan antara merokok dan penyakit jantung koroner.

- Diabetes Melitus 32 - 36

Diabetes Melitus akan meningkatkan resiko baik PAP asimptomatik

ataupun PAP simptomatik sebesar 1,5 - 4 kali lipat dan berhubungan dengan

kejadian kardiovaskuler dan mortalitas pada individu dengan PAP.

Pada penelitian Farmingham heart study didapati 20 % pasien PAP yang

simptomatik dilaporkan mendapat diabetes. NHANES melaporkan diagnosa PAP

menggunakan ABI didapati 26 % dengan diabetes, sementara Edinburgh Arteri

Study menggunakan kwasioner WHO atau nilai ABI < 0,90 mendapati prevalensi

PAP lebih tinggi dengan diabetes atau intoleransi glukosa (20,6 %) dibanding

dengan glukosa normal (12,5 %). Multi Ethnic study of Atherosclerosis (MESA)

menjumpai 26 % wanita dan 27,5 % pria dengan nilai ABI < 0,90 pada penderita

diabetes.

Pada penderita diabetes, prevalensi PAP berhubungan erat dengan usia

dan lamanya menderita diabetes. Diabetes merupakan faktor resiko yang lebih

kuat terjadi PAP pada pria dan wanita, dan prevalensi PAP lebih tinggi pada

orang Afrika Amerika dan Hispanis dengan diabetes dibanding non Hispanis

dengan diabetes.

Tingkat keparahan diabetes berperan penting dalam terjadi PAP.

Terdapat 28 % peningkatan resiko PAP pada setiap peningkatan HbA1c, dan

lamanya menderita hiperglikemi.

Diabetes mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan penyakit oklusi

pada arteri tibialis. Pasien diabetes dengan PAP lebih sering mendapat

(27)

dibanding PAP-nya sendiri. Pasien diabetes yang mendapat PAP mempunyai

resiko lebih tinggi terjadi ulkus iskemik dan gangren.

Diabetes dipercayai merupakan kontribusi terjadinya resiko peningkatan

PAP. Pasien diabetes lebih sering mendapatkan faktor resiko tambahan PAP

pada merokok, peningkatan tekanan darah, dan peningkatan trigliserida,

kolesterol dan kelainan lipid lainnya. Hal ini juga terjadi inflamasi vaskuler,

disfungsi sel endotel, dan sel otot polos vaskuler yang abnormal dibanding

dengan tanpa diabetes. Sebagai tambahan diabetes juga dapat terjadi

peningkatan agregasi trombosit dan gangguan fungsi fibronolitik.

- Hiperlipidemia 32

Pada Framingham Heart Study didapati hubungan peningkatan kolesterol

total dengan dua kali peningkatan klaudikasio intermitten. NHANES melaporkan

lebih dari 60 % individu dengan PAP terdapat hiperkolesterolemia, sedangkan

PARTNERS menemukan prevalensi hiperlipidemi pasien dengan PAP

sebesar 77 %.

Hiperlipidemia meningkat 10 % setiap peningkatan 10 mg/dl kolesterol

total. Peningkatan total kolesterol, LDL kolesterol, very low density lipoprotein

(VLDL) kolesterol dan trigliserida merupakan faktor resiko independen terjadinya

PAP, dimana peningkatan high density lipoprotein (HDL) kolesterol dan

apolipoprotein A-1 berperan sebagai proteksi.

Bentuk dislipidemia paling sering pada pasien PAP adalah kombinasi

penurunan HDL kolesterol dengan peningkatan trigliserida yang sering didapati

pada pasien sindroma metabolik dan diabetes. Pada Cardiovascular Health study

keduanya didapati berhubungan dengan penurunan nilai ABI. ARIC study dan

Edinburgh Artery Study pada pasien diabetes didapati hanya peningkatan

(28)

- Hipertensi 32 - 36

Hampir semua penelitian epidemiologi menunjukkan hubungan yang kuat

antara hipertensi dengan PAP, dimana 50 - 92 % didapati PAP dengan

hipertensi. Pada penelitian NHANES dan PARTNERS melaporkan hubungan

PAP dengan hipertensi masing-masing 74 % dan 92 %. Cardiovascular Health

Study melaporkan 52 % pasien dengan nilai ABI kurang dari 0,90 didapati

tekanan darah tinggi dan Framingham Study menunjukkan peningkatan 2,5 - 4

kali lipat resiko klaudikasio intermiten pada pria dan wanita dengan hipertensi.

Pada Systolic Hypertension in Elderly (SHEP) melaporkan 25,5 % partisipan

dengan nilai ABI < 0,90.

The Seventh report of the Joint National Committee on Prevention,

Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure menyatakan bahwa

PAP merupakan faktor ekuivalen terjadi penyakit jantung koroner.

Pasien dengan hipertensi dan PAP peningkatannya lebih besar terjadi

stroke dan miokard infark. SHEP study dewasa dengan usia lebih tua pada

hipertensi sistolik mendapatkan nilai ABI ≤ 0,90 berhubungan dengan 2-3

peningkatan mortalitas kardiovaskuler.

b. Faktor resiko Non Tradisional

- Ras/etnis 32

Beberapa penelitian menunjukkan pada PAP terjadi ketidakseimbangan

prevalensi pada populasi kulit hitam dan hispanis walaupun sesudah dimasukkan

faktor resiko tradisional. Usia dan jenis kelamin pada data NHANES

menunjukkan pada orang kulit hitam non hispanis terjadi peningkatan PAP tiga

kali dibanding non hispanis kulit putih. Pada penelitian Multi Ethnic Study of

atherosclerosis menggambarkan prevalensi PAP paling tinggi pada kulit hitam

(29)

Criqui dkk menyimpulkan kelebihan PAP pada orang kulit hitam tidak

dapat dijelaskan dan tidak berhubungan dengan diabetes, hipertensi dan index

massa tubuh.

- Inflamasi 32

Peningkatan petanda inflamasi CRP, fibrinogen, interleukin 6(IL-6), lekosit telah

diteliti pada pasien dengan aterosklerosis pada pembuluh darah arteri perifer.

Hubungan PAP tidak begitu jelas dan hanya beberapa penelitian mendapatkan

hubungan tersebut.

Ridker dkk pada Physicians Health Study mendapatkan adanya peningkatan

CRP yang merupakan prediksi terjadi PAP. NHANES melaporkan peningkatan

fibrinogen dan CRP berhubungan dengan PAP, Wildman dkk menyatakan

peningkatan CRP atau fibrinogen atau peningkatan jumlah lekosit meningkatkan

resiko PAP dua kali lipat. McDermott dkk pada komunitas Italia menjumpai

peningkatan fibrinogen, CRP, dan IL-6 pada penderita PAP (dibandingkan

dengan tanpa PAP).

-Gagal Ginjal Kronik 32-36

Sangat sedikit penelitian epidemiologi pada gagal ginjal kronik

(penurunan fungsi ginjal pada pasien yang tanpa dialisis dan tanpa transplantasi)

mendapat resiko PAP.

Prevalensi PAP menurut National Institutes of Health’s United States

Renal Data System pada tahun 1999 sebesar 15 %. NHANES melaporkan 24 %

mendapat PAP pada populasi usia diatas 40 tahun dengan renal insufisiensi

(nilai kreatinin klirens <60 ml/min/1,73 m2), dibanding dengan 3,7 % yang nilai

kretinin klirens > 60 ml/min/1,73.

Prevalensi nilai ABI abnormal lebih tinggi pada gagal ginjal tahap akhir

(30)

38%. PAD pada gagal ginjal kronik meningkatkan terjadinya critical limb

ischemia, sedang resiko amputasi meningkat pada gagal ginjal tahap akhir.

Hubungan PAP dengan gagal ginjal kronik secara independen pada

diabetes, hipertensi, etnis dan usia, dan meskipun secara nyata alasannya belum

diketahui, mungkin berkaitan dengan peningkatan inflamasi vaskuler dan ditandai

adanya peningkatan homosistein plasma pada gagal ginjal kronik.

- Genetik 32,33

Predisposisi genetik PAP didukung oleh obsevasi peningkatan angka

penyakit kardiovaskuler (termasuk PAP) pada pasien dengan klaudikasio

intermitten. Meskipun hubungan genetik dengan lingkungan secara patogenesis

terjadinya PAP sangat sulit dipisahkan, satu studi menjumpai satu dari empat

pasien kembar dengan PAP mendapat kejadian vaskuler sebelum usia 55 tahun

dan setengahnya mendapat keluhan asimptomatik pada usia < 50 tahun.

-Hiperkoagulasi 32-34

Hiperkoagulasi atau trombofilia merupakan faktor resiko yang jarang pada

PAP. Pada beberapa pasien tertentu seperti individu lebih muda yang tidak

mempunyai faktor resiko tradisional, pasien dengan riwayat keluarga

aterosklerosis dini, dan individu yang revaskularisasi arteri yang gagal tanpa

alasan teknik apapun setelah dievaluasi kondisi tersebut didasari adanya

hiperkoagulasi.

Beberapa penelitian menyatakan adanya hubungan independen antara

PAP dan perubahan faktor hemostasis termasuk lipoprotein (a), homosistein,

antibodi antipfosfolipid dan D-dimmer.

Evaluasi peningkatan homisistein dan lipoprotein (a) kelihatan penting

pada individu dengan PAP yang tanpa faktor resiko tradisional.

Hiperhomositenemia dihubungkan dengan aterosklerosis dini dan faktor

(31)

- Rasio waist to hip abnormal 32

Meskipun hubungan ini belum jelas terhadap PAP dan IMT, tetapi

hubungan obesitas abdominal dengan PAP telah dilaporkan. Planas dkk

menggambarkan peningkatan waist to hip ratio (> 0,966) dihubungkan dengan

1,7 kali lipat peningkatan resiko PAP setelah diadjust dengan covariatenya.

2.2.3. DIAGNOSA

Untuk diagnosa yang akurat diperlukan anamnnese yang baik. Adanya

faktor resiko terjadi aterosklerosis memerlukan anamnese yang baik untuk

mengetahui keadaan pasien. Pada pasien yang asimptomatik diperlukan

pemeriksaan fisik atau tes non invasif.31,36-37

Klaudikasio intermitten yang klasik terjadi bila timbulnya rasa nyeri dan

adanya batasan dalam aktivitas yang kemudian hilang setelah istirahat dalam 10

menit.37-40

Penilai PAP harus dimulai dengan anamnese dan pemeriksaan fisik untuk

dapat mengidentifikasi faktor resiko, adanya klaudikasio intermitten,nyeri saat

istirahat, dan atau adanya gangguan fungsi. Banyaknya penyebab alternatif nyeri

tungkai saat berjalan termasuk stenosis spinal, tetapi ini harus disingkirkan.

Tingkatan PAP berdasarkan keparahannya mulai dengan tanpa gejala,

claudicatio intermitten, nyeri saat istirahat, sampai luka yang tidak sembuh dan

adanya gangren. 33

Dua komponen yang penting dalam pemeriksaan fisik yaitu inspeksi kaki

dan palpasi denyut nadi perifer . Pada inspeksi diamati adanya tanda – tanda

rubor, palor, tidak adanya bulu kaki, distrophia kuku ibu jari kaki dan rasa dingin

pada tungkai bawah, kulit yang kering, fisura pada kulit, hal ini merupakan tanda

insufisiensi vaskular. Di antara jari – jari kaki harus juga diamati adanya fissura,

(32)

Pada palpasi denyut nadi merupakan komponen rutin yang harus dinilai.

Penilaian meliputi arteri femoralis, poplitea dan dorsalis pedis . Pulsasi dicatat

dengan angka 0-2; dimana tidak ada pulsasi, berkurang / lemah dan normal.

Lemah atau tidak adanya pulsasi merupakan petanda PAP. Denyut arteri dorsalis

pedis akan menghilang pada 8,1 % populasi normal, sedangkan arteri tibialis

posterior pada 2,0 % populasi normal. Bila tidak dijumpai kedua denyut nadi

pada kaki tersebut diduga kuat adanya penyakit vaskular. Khan dkk

menyimpulkan pemeriksaan fisik haruslah dibarengi dengan tes diagnostik dalam

skrining adanya PAP. 37

2.2.3.1. Acute Limb Ischemia 37

Acute limb ischemia merupakan sindroma klinis yang disebabkan oleh

oklusi arteri akut yang ditandai adanya trombus yang didasari adanya plak dan

menyebabkan aterotrombosis atau tromboemboli. Acute Limb Ischemia

diklasifikasikan dengan “6P”, yaitu : Pulselessness, Pain, Pallor,

Poikilothermy(coldness), Parasthesia, Paralysis.

2.2.3.2. Critical Limb Ischemia 37

Critical limb ischemia disebabkan oleh adanya oklusi aterosklerosis

perifer dan manifestasi sebagai nyeri saat istirahat / atau adanya jaringan yang

hilang (ulkus atau gangren). Rutherford dkk mendapatkan secara detail sistem

(33)
[image:33.595.117.507.123.502.2]

Tabel 2. Kriteria klinis kategori critical limb ischemia dikutip dari 37

Grade * Category Clinical description

0 0 Asymptomatic- no hemodynamically significant

occlusive disease

1 Mid claudication

I 2 Moderate claudication

3 Severe Claudication

II 4 Ischemic rest pain

III 5 Minor tissue loss-non healing ulcer, focal

gangrene with diffuse pedal ischemia

6 Major tissue loss- extending above

Transmetatarsal level, functional foot no

longer salvageable

* Fontaine Clasification

2.2.3.3. Diagnostik Non Invasif 41

Diagnostik untuk menegakkan penyakit arteri perifer haruslah akurat,

murah, diterima secara luas, mudah dan non-invasif. Variasi teknik yang tersedia

untuk mendeteksi penyakit arteri perifer yaitu menilai adanya stenosis, tingkat

keparahan, evaluasi pasien terhadap progresivitas penyakit atau respon dari

terapi.

Beberapa teknik dapat digunakan pada rawat jalan, sebagai fasilitas yang

cepat dan akurat untuk menilai gejala dan deteksi dini pada individu yang

(34)

Variasi untuk diagnosa dan evaluasi penyakit arteri perifer :

a.Ankle Brachial Index (ABI)

Test ini mudah dan murah dalam medeteksi penyakit arteri perifer dengan

menghitung rasio TD sistolik pembuluh darah arteri pergelangan kaki dibanding

pembuluh darah arteri lengan. Pengukuran ABI dilakukan sesudah pasien

berbaring 5 – 10 menit. Test ini mencatat TD sistolik kedua arteri brachialis dan

kedua arteri dorsalis pedis serta arteri tibialis posterior. ABI dihitung pada masing

– masing tungkai dengan pembagian nilai tertinggi TD sistolik pergelangan kaki

dibagi nilai tertinggi TD sistolik lengan, yang dicatat nilai dengan 2 angka

desimal.

Interpretasi nilai ABI menurut :

1. American Collage of Cardiology / American Diabetes Association (ACC/ADA) : 42

• > 1,3 : dugaan kalsifikasi arteri

• 0,91 - 1,3 : normal

• 0,9 - 0,8 : ringan

• 0,79 – 0,5 : sedang

• <0,5 : berat

2. Hiatt dkk : 23

• > 1,30 : dugaan kalsifikasi arteri

• 0,91 - 1,30 : normal

• 0,41 - 0,90 : ringan – sedang

• 0,00 – 0,5 : berat

ABI dapat mendeteksi lesi stenosis paling sedikit 50% pada tungkai.

Pembuluh darah yang kaku ditandai dengan adanya kalsifikasi arteri. Hal ini

sering dijumpai pada pasien diabetes, orang tua, GGK dengan HD reguler dan

(35)

Pada studi kohort oleh Sikkin dkk, melaporkan 154 pasien yang dikuti

5-year cumulative survival rates dilakukan ABI didapati hasil: 63% ABI< 0,50; 71 %

ABI 0,50 -0,69; 91 % ABI 0,70 -0.89.41,42

Bila ABI tidak dapat mendeteksi penyakit arteri perifer karena pembuluh

darah yang kaku, maka digunakan test toe-brachial index . Test ini lebih baik

untuk menilai perfusi ke tungkai bawah bila nilai ABI ≥1,30. Nilai toe-brachial

index < 0,70 dapat menegakkan adanya gangguan pembuluh darah arteri

perifer.42

Petunjuk praktis penanganan PAP menurut ACC/AHA

merekomendasikan test ABI dilakukan pada :37,42

− individu yang diduga gangguan arteri perifer karena adanya gejala

exertional leg atau luka yang tidak sembuh

− usia ≥ 70 tahun

− usia 50 – 70 tahun yang mempunyai riwayat merokok atau DM

Sebagai tambahan, ADA menyarankan skrining ABI dilakukan pada

penderita DM dengan usia < 50 tahun yang mempunyai faktor resiko penyakit

arteri perifer seperti merokok, hipertensi hiperlipidemia dan lamanya

menderita DM >10 tahun.

b. Segmental Limb Pressure dan Pulse Volume Recording

Segmental Limb Pressure dapat menilai adanya penyakit arteri perifer

serta lokasinya yang dicatat dengan alat doppler dari Plaethysmographic Cuffs

yang ditempatkan pada arteri brakialis dan daerah tungkai bawah termasuk

diatas paha, dibawah lutut dan pergelangan kaki. Test ini mempunyai batasan

yang sama dengan ABI tentang adanya pembuluh darah yang kaku . 41,43-44

Segmental Limb Pressure dapat diukur tersendiri, tetapi umumnya

(36)

pengukuran ini mempunyai akurasi diagnostik 97%. Pulse volume recording

digunakan dengan sistem cuffs, dimana Pneumo Plaethysmograph mendeteksi

perubahan volume pada tungkai melalui siklus jantung. Perubahan kontur nadi

dan amplitudo juga dapat dianalisa. Gelombang normal bila kenaikannya yang

tinggi, puncak sistolik yang menajam, pulsasi yang menyempit, adanya dicrotic

notch sampai dasar. Pada gangguan arteri perifer, terdapat gambaran

gelombang yang mulai landai, puncak yang melingkar,pulsasi yang melebar,

dicrotic notch yang menghilang dan melengkung ke bawah.

c.Exercise Stress testing

Pengukuran ABI dilakukan dengan kombinasi pre dan post aktivitas

yang dapat digunakan untuk menilai gejala tungkai bawah yang disebabkan

gangguan pembuluh darah arteri perifer atau pseudo-claudication dan menilai

status fungsi pasien dengan gangguan pembuluh darah arteri perifer. Metode ini

baik dan non invasif dalam mendeteksi gangguan pembuluh darah arteri perifer,

dimana digunakan bila nilai ABI saat istirahat normal, tetapi secara klinis diduga

mengalami gangguan. 44

d.Duplex Ultrasonography

Alat ini berguna dalam mendeteksi PAP pada tungkai bawah yang juga

sangat berguna dalam menilai lokasi penyakit dan membedakan adanya lesi

stenosis dan oklusi, selain itu juga dapat sebagai persiapan untuk pasien yang

akan dilakukan tindakan / intervensi. Duplex Ultrasonography merupakan

kombinasi analisa gelombang doppler dan kecepatan aliran (velosity) doppler. 44

e. Magnetic Resonance Angiography (MRA)

MRA khusus digunakan sebagai diagnosa radiologi penyakit arteri perifer.

(37)

f. Computed Tomographic Angiography (CTA)

CTA digunakan sebagai alat terbaru diagnostik penyakit arteri perifer,

dengan kemampuan resolusi tampilan gambar lebih baik dan tiap scaning

menampilkan 64-channel menggunakan multidetector scanner. ACC / AHA

merekomendasi CTA dipakai dalam perencanaan tindakan revaskularisasi, yang

mempunyai kemampuan menampilkan gambar yang lebih cepat dan ketepatan

(38)

BAB III

PENELITIAN SENDIRI

3.1. LATAR BELAKANG

Gagal ginjal kronik (GGK) merupakan proses patofisiologi dengan etiologi

yang multipel, menyebabkan pengurangan sejumlah nefron dan fungsinya secara

progresif yang mendasari terjadinya penyakit ginjal terminal.1,3

GGK merupakan permasalahan di bidang nefrologi dengan angka

kejadian yang masih cukup tinggi. Laporan penelitian epidemiologi klinis di

Indonesia ternyata mendapatkan bahwa gagal ginjal terminal yang merupakan

akibat lanjut dari GGK menempati urutan pertama dari semua penyakit ginjal.2

Telah diketahui bahwa lebih dari 80% penyebab kematian pada penyakit

ginjal adalah kelainan kardiovaskuler.45,46 Goicechea dkk (2004) dalam sebuah

penelitian potong lintang mendapatkan bahwa kematian pada GGK : 22% akibat

penyakit jantung koroner, 18% akibat gagal jantung kingestif, 14% akibat

penyakit serebrovaskuler dan 14% akibat penyakit vaskuler perifer.47

Kondisi – kondisi pada GGK yang merupakan faktor resiko untuk

terjadinya penyakit kardiovaskuler adalah penurunan laju filtrasi glomerulus

(LFG), mikroalbuminuria, hiperfosfatemia, hipertensi kardiak dan kardiomiopati

uremik serta anemia.47

Penyakit arteri perifer (PAP) merupakan manifestasi paling sering adanya

aterosklerosis, yang mempunyai karakteristik terdapat oklusi aterosklerosis pada

tungkai bawah. Gejala PAP paling sering yaitu klaudikasio intermiten, yang

dikeluhkan sebagai : rasa nyeri, kram otot atau sakit pada telapak kaki, betis atau

bokong. Dimana, pernah dilaporkan bahwa lebih dari 50% pasien yang menderita

PAP tidak menunjukkan gejala (asimtomatik). Nyeri saat istirahat dan gangren

(39)

dilakukannya tindakan amputasi, khususnya pada penderita dengan

diabetes.46,48-49

Dimana, hanya beberapa test diagnostik non invasif yang dapat

mengungkapkan adanya suatu aterosklerosis terutama pada pasien yang

asimtomatik. Sebagai contoh, diagnostik yang murah dan mudah dilakukan

dengan mengukur tekanan darah (TD) pada pergelangan tangan dan kaki.

Ketidak sesuaian TD pergelangan kaki dapat menyebabkan aterosklerosis pada

arteri tungkai bawah. 46,48-49

Ankle Brachial Index (ABI) adalah rasio perbandingan tekanan

pergelangan tangan dan kaki, dimana ABI telah secara luas digunakan pada

penelitian baik secara klinis atau epidemiologi dalam deteksi dini PAP dan diduga

berhubungan erat dengan adanya PAP pada tungkai bawah. Deteksi PAP

menggunakan ABI dapat dihubungkan dengan prevalensi penyakit

kardiovaskular dan dapat memprediksi penyakit kardiovaskular sebagai

penyebab mortalitas pada beberapa sampel penelitian.48-49

Di AS, prevalensi PAP meningkat beberapa kali pada pasien yang

menajalani hemodialisis dibanding populasi sehat dengan usia dan jenis kelamin

yang sama. Beberapa penelitian terbaru menyatakan bahwa PAP merupakan

prediktor kuat terhadap kejadian kardiovaskular dan mortalitas keseluruhan.

Kelihatannya, PAP semakin sering dijumpai dan tidak terdiagnosa dengan baik

dalam pelayanan kesehatan terutama prediksi kardiovaskular dan mortalitas.48-51

Pasien dengan PAP meskipun tanpa riwayat penyakit jantung koroner

atau stroke, mempunyai resiko kematian karena kardiovaskuler yang sama

dengan pasien yang mempunyai riwayat PJK.45-48 Tingkat keparahan PAP

berhubungan erat dengan resiko PJK, stroke dan kematian karena penyebab

vaskular. Nilai ABI yang rendah, mempunyai prediksi lebih besar terjadi resiko

(40)

Mortalitas terhadap nilai ABI yang rendah sebesar 25%.48, 49,51 Pada

populasi dialisis, United States Renal Data System, insiden PAP sebesar 15%.18

3.2. Perumusan masalah

− Berapakah angka kejadian PAP pada penderita gagal ginjal kronik yang

menjalani hemodialisis?

− Apakah ada perbedaan angka kejadian PAP pada penderita gagal ginjal

kronik berdasarkan lamanya menjalani hemodialisis?

3.3.Hipotesa

− Terdapat perbedaan kejadian PAP pada penderita gagal ginjal kronik

berdasarkan lamanya penderita tersebut menjalani hemodialisis.

3.4.Tujuan penelitian

− Untuk mengetahui berapakah angka kejadian PAP pada penderita gagal

ginjal kronik yang menjalani hemodialisis reguler.

− Untuk mengetahui apakah ada perbedaan kejadian PAP pada penderita

gagal ginjal kronik berdasarkan lamanya penderita tersebut menjalani

hemodialisis.

3.5.Manfaat penelitian

− Hasil penelitian ini diharapkan dapat memprediksi kejadian PAP sebagai

prediktor penyakit kardiovaskuler yang dapat menyebabkan kematian

(41)

3.6. KERANGKA KONSEPSIONAL

− Stroke

− Infark miokard

− Hipertropi ventrikel kiri

− Aritmia kordis

Penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular Gagal Ginjal

Kronik

Penyakit Arteri Perifer Penatalaksanaan :

− Konservatif

Dialisis :

Hemodialisis

Peritoneal dialisis

− Transplantasi ginjal

− Merokok

− Hipertensi

− Diabetes melitus

− Dislipidemia

3.7. BAHAN DAN CARA

3.7.1 Desain Penelitian

Penelitian dilakukan dengan metode potong lintang yang bersifat

deskriptif analitik.

3.7.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan mulai bulan November 2007 s/d Januari

(42)

3.7.3. Kriteria inklusi

a. Penderita GGK rawat jalan yang menjalani hemodialisis

reguler 3 kali seminggu minimal 3 bulan di Unit Hemodialisis

Rasyida Medan

b. Usia > 40 tahun

c. Dapat dilakukan pemeriksaan ABI; pasien dengan cimino

shunt tidak dilakukan pemeriksaan pada sisi tersebut.

d. Bersedia ikut dalam penelitian

3.7.4. Kriteria eksklusi

a. Penderita dengan kelainan kardiovaskuler atau

serebrovaskuler yang nyata seperti mempunyai riwayat

penyakit jantung koroner, stroke.

b. Penderita dengan kelainan yang dapat mengganggu jalannya

penelitian (misalnya : tromboflebitis, ulkus pada kaki )

c. Nilai ABI > 1,3

3.7.5. Besar sampel

Perkiraan besar sampel :

Prevalensi GGK menjalani HD reguler dengan PAP ,ditetapkan P

= 38%

Besar sampel dengan memakai rumus :

2 2

(43)

Dimana:

Zα = nilai normal berdasarkan α = 0,05 dan Zα = 1,96

P = prevalensi PAP pada GGK = 0,38

Q = 1 –0,38 = 0,62

d = presisi (perbedaan hasil klinis, besarnya

penyimpangan yang masih dapat ditolelir), ditentukan

20% 2 2

)

20

,

0

(

)

62

,

0

)(

38

,

0

(

)

96

,

1

(

=

n

)

04

,

0

(

)

2356

,

0

)(

84

,

3

(

=

n

= 22,61

Jadi jumlah sampel minimal adalah 23 orang.

3.7.6. Cara penelitian

Terhadap semua pasien yang termasuk dalam penelitian diminta

persetujuan tertulis (informed consent). Penelitian ini dilakukan

dengan cara :

a. Dicatat umur, jenis kelamin, lama menjalani HD, riwayat merokok,

riwayat menderita diabetes, hipertensi.

b. Diukur Tinggi Badan (cm), Berat Badan intra dialisis (IDWG) (kg)

c. Diukur tekanan darah dengan alat sphymomanometer

(nova),dimana pasien dibaringkan selama 5 menit kemudian

dipasang manset pada lengan dan dilakukan pengukuran

sebanyak 2 kali dan diambil nilai reratanya.

d. Dilakukan tes ABI meggunakan alat “Vasera VS-1000” (Fukuda

(44)

dipasang manset pada masing-masing pada lengan kanan dan kiri

dengan jarak 2 cm diatas lipatan siku. Kemudian dipasangkan

manset pada kedua pergelangan kaki kiri dan kanan. Pasien

dengan cimino shunt tidak dilakukan pemeriksaan pada sisi

tersebut Setelah itu pasien disuruh tenang, jangan bicara dan

bergerak selama ± 3 - 5 menit sampai hasil data keluar.

Bila didapati interpretasi ABI sebagai berikut :

o 0,91 - 1,30 : normal

o ≤ 0,90 : abnormal

3.8. Analisa data

Variabel kontinyu disajikan dalam Mean ± SD. Student t digunakan untuk

menilai perbedaan variabel kontinyu pada variabel parametrik, dan Mann

Whitney digunakan pada non parametrik. Hubungan antara vaiabel

kontinyu dinilai dengan Pearson dan Spearman. Hubungan variabel

katagorik dinilai dengan analisa atau tes Fisher exact. Nilai p < 0,05

dinyatakan signifikan. Analisa univariat digunakan terhadap hubungan

faktor resiko dan PAP pada pasien dialisis.

2

χ

3.9.1. Defenisi Operasional

Penderita GGK dengan HD reguler : penderita GGK yang telah

menjalani hemodialisis secara teratur 3 kali seminggu dalam waktu

minimal 3 bulan.

Lamanya menjalani hemodialisis : dinilai sejak pertama kali penderita

(45)

Hipertensi : bila TD sistolik ≥ 130 mmHg atau TD diastolik ≥ 85 mmHg

atau sebelumnya mendapat pengobatan anti hipertensi.

PAP : penderita yang dijumpai bila nilai ABI ≤ 0.90 dan dijumpai ada

atau tidak simptom nyeri pada saat berjalan (claudicatio intermitten).

ABI : suatu tes yang mengukur perbandingan nilai tertinggi TD sistolik

pergelangan kaki dibagi nilai tertinggi TD sistolik lengan.

3.9.2. KERANGKA OPERASIONAL

Subjek :

Penderita GGK dengan HD reguler yang memenuhi kriteria

inklusi

Dicatat : Umur

Jenis kelamin

TB, BB (IDWG)

Riwayat merokok

Riwayat hipertensi, DM

Lamanya HD

ABI

Normal : 0,91 – 1,30

Abnormal : ≤ 0,90

(46)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

[image:46.595.110.517.187.448.2]

4.1. HASIL PENELITIAN

Tabel 3 : Data demografi pasien ( karakteristik klinis )

Karakteristik Keseluruhan pasien ( n = 50 )

Usia (tahun) 55,20 ± 8,61 Jenis kelamin

Pria 30 (60 %)

Wanita 20 (40 %)

IMT (kg/m2) 23,11 ± 3,67 Riwayat merokok 12 (24 %) TD sistolik (mmHg) 157,22 ± 26,73 TD diastolik (mmHg) 92,10 ± 13,85 Lamanya HD (bulan) 27,92 ± 27,10 IDWG (kg) 3,13 ± 1,60

Kt/v 1,68 ± 0,58

URR (%) 0,88 ± 0,09

Hipertensi nefropati 23 (46%) Diabetik nefropati 15 (30%)

ABI 1,04 ± 0,19

4.1.1. Karateristik sampel penelitian

Pada tabel 3 didapati subjek yang dilibatkan dalam penelitian ini

sebanyak 50 orang, yang didapati dari pemeriksaan pasien pada Unit Dialisis

Rasyida di Medan yang telah menjalani HD reguler minimal 3 bulan, dengan

jumlah dialisis minimal 3 kali seminggu, lama hemodialisis ≥ 3,5 jam tiap kali

tindakan. Prevalensi PAP pada pasien GGK menjalani hemodialisis adalah 8% .

Pria dan wanita masing - masing 30 orang (60%) dan 20 orang (40%). Usia rata -

rata adalah : 55,20 ± 8,61 tahun. Lamanya kelompok penelitian menjalani

hemodialisis 27,92 ± 27,10 bulan. Etiologi hipertensi dan diabetik yang

mendasari timbulnya nefropati masing - masing 23 orang (46%) dan 15 orang

(30%). Dialisis dilakukan tiga kali perminggu dengan Kt/v ≥ 1,3 dan URR > 70%

(47)

4.1.2. Penyakit Arteri Perifer pada Pasien yang menjalani Hemodialisis

PAP (ABI < 0,9) dijumpai pada 4 orang (8 %) dari 50 subjek penelitian.

Usia rata - rata pada kelompok PAP : 61,00 ± 10,74 tahun ( p = 0,613).

Timbulnya PAP berdasarkan jenis kelamin : pria 3 orang (75%) lebih banyak

dibanding wanita 1 orang (25%). Riwayat merokok dijumpai pada 2 subjek

penelitian (50%). Lamanya hemodialisis 14,50 ± 9,037 bulan dan secara statistik

tidak bermakna untuk menimbulkan PAP ( p = 0,307). Hipertensi nefropati dan

diabetik nefropati masing – masing 1 orang (25%) dan 2 orang (50%) untuk

timbulnya PAP, dimana hasil ini tidak bermakna secara statistik (p = 0,614 dan

[image:47.595.98.532.315.617.2]

p= 0,574) (tabel 4)

Tabel 4 : Perbandingan pasien dengan dan tanpa PAP

ABI 0,9 – 1,3 (n= 46) ABI <0,9 (n = 4) p Sig

Usia (tahun) 54,70 ± 8,36 61,00 ± 10,74 0,163 NS

Jenis Kelamin

Pria 27 (58,7%) 3 (75%)

Wanita 19 (41,3%) 1(25%) 0,641 NS IMT 23,237 ± 3,706 21,650 ± 3,384 0,413 NS

Riwayat Merokok 10(21,7%) 2 (50 %) 0,240 NS

TD Sistolik 156,50 ± 26,355 165,50 ± 33,985 0,524 NS

TD Diastolik 92,65 ± 13,280 85,75 ± 20,759 0,344 NS

Hipertensi 41(89,1%) 3(75%) 0,411 NS

Lamanya HD (bulan) 29,09 ± 27,876 14,50 ± 9,037 0,307 NS

IDWG 3,244 ±1,626 1,885 ± 0,452 0,001 Sig

URR 0,890 ± 0,094 0,827 ± 0,112 0,213 NS

Kt/v 1,705 ± 0,602 1,480 ± 0,234 0,465 NS

Etiologi

Hipertensi Nefropati 22 (47,8%) 1(25%) 0,614 NS

Diabetik Nefropati 13 (28,3%) 2(50%) 0,574 NS

4.1.3. Korelasi PAP terhadap variabel Pasien menjalani Hemodialisis

Nilai ABI berhubungan negatif dengan usia dan bermakna secara statistik

(r = -0,320; p = 0,024). PAP tidak menunjukkan korelasi terhadap variabel

(48)

p = 0,736), Kt/v (r = 0,042; p = 0,766) dan URR (r = 0,164; p = 0,239).

Kecenderungan terjadinya PAP pada pasien GGK dengan hemodialis reguler

juga tidak menunjukkan hubungan signifikan terhadap IMT, TD sistolik dan

diastolik, status hipertensinya, etiologi hipertensi nefropati maupun diabetik

[image:48.595.115.457.235.468.2]

nefropati (tabel 5).

Tabel 5 : Korelasi berdasarkan etiologi dan marker HD terhadap ABI

Variabel r p Sig

Usia -0,320 0,024 Sig

IMT -0,063 0,661 NS

Riwayat Merokok -0,126 0,384 NS

TD Sistolik -0,026 0,849 NS

TD Diastolik 0,222 0,121 NS

Hipertensi 0,079 0,462 NS

Lamanya HD 0,10 0,480 NS

IDWG 0,196 0,169 NS

URR 0,182 0,206 NS

Kt/v 0,040 0,781 NS

Etiologi Hipertensi Nefropati 0,057 0,696 NS

Diabetik Nefropati -0,067 0,645 NS

4.1.4. Rerata nilai ABI terhadap Etiologi hipertensi dan diabetik nefropati.

Tabel 6: Perbandingan rerata ABI pada Hipertensi Nefropati

Etiologi

Hipertensi Nefropati

Non Hipertensi Nefropati

p

[image:48.595.105.510.555.662.2]
(49)
[image:49.595.111.500.109.231.2]

Tabel 7 : Perbandingan rerata ABI pada Diabetik Nefropati

Etiologi

Diabetik Nefropati

Non Diabetik Nefropati

p

ABI 1,021 ± 0,140 1,049 ± 0,209 0,645 NS

Rerata nilai ABI berdasarkan etiologi hipertensi nefropati lebih tinggi

dibanding non-hipertensi nefropati (1,052 ± 0,227 dan 1,030 ± 0,156) dan secara

statistik tidak bermakna (p = 0,696). Hal berbeda terlihat pada etiologi diabetik

nefropati dibanding non-diabetik nefropati (1,021 ± 0,140 dan 1,049 ± 0,209);

dimana secara statistik tidak bermakna (p = 0,645).

4.2. PEMBAHASAN

Pemeriksaan PAP pada pasien GGK merupakan hal penting, tidak hanya

sebagai pertanda kelainan kardiovaskular, tetapi juga dapat memberi masukan

nilai prognostik prognostik tingginya angka mortalitas.5-7,9 ABI memiliki

sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dalam diagnosis PAP, dibanding dengan

arteriografi sebagai baku emas, tehnik pengoperasian yang mudah dalam

diagnosis PAP. 6-7,9,16 Pasien dengan kelainan ginjal memiliki resiko lebih tinggi

terjadinya kalsifikasi pembuluh darah, dimana kondisi ini mempengaruhi

sensitivitas pemeriksaan, tetapi tidak mempengaruhi spesifisitasnya terhadap

deteksi PAP.9,11

ABI adalah rasio perbandingan tekanan pergelangan tangan dan kaki;

sehingga dapat menilai pada kedua sisi kanan dan kiri. Pada penelitian ini,

pasien dengan cimino shunt tidak dilakukan pemeriksaan pada sisi tersebut,

(50)

gangguan (turbulensi berlebihan, stasis aliran darah dan penyumbatan bahkan

cedera langsung pada dinding pembuluh darah), sehingga nilai ABI yang dipakai

pada setiap pasien HD adalah nili ABI pada satu sisi saja atau nilai ABI yang

terendah. Adekuasi hemodialisis pada penelitian ini telah sesuai dengan yang

direkomendasikan yaitu jumlah dialisis tiga kali perminggu dengan Kt/v ≥ 1,3 dan

URR > 70% dengan lama HD ≥ 3 jam (R ≤ 0,32) untuk keseluruhan pas

Gambar

Tabel 7.  Perbandingan rerata ABI pada diabetik nefropati
Tabel 1. Beberapa kelainan klinis akibat uremia dikutip dari 3
Tabel 2. Kriteria klinis kategori critical limb ischemia dikutip dari 37
Tabel  3 : Data demografi pasien  ( karakteristik klinis )
+4

Referensi

Dokumen terkait

For instance, although there are widely used standards for 3D city models that partially define LoD, such as CityGML (Open Geospa- tial Consortium, 2012) the concept of level of

Meski pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) telah menjadi prioritas kebijakan dalam pe- mantapan kawasan hutan, di tingkat tapak pem- bentukan wilayah KPH masih

Didalam masyarakat Islam, hanya ada dua kelompok yaitu: Pertama , Kelompok ulama sebagai pewaris nabi, dan orangnya tidak banyak para ulama ini adalah orang-orang yang

Pengaruh penyuluhan personal hygine terhadap perilaku pencegahan dermatitis di Dusun Karangwringin Desa Baleraksa Karangmonco Purbalingga Jawa Tengah tahun

Namun para pemikir dan pemerhati pendidikan Islam terus berupaya untuk mengikis dikotomi tersebut, salah satu bentuknya adalah adanya pesantren yang

Pemasar juga harus memperhitungkan kejadian atau transisi hidup yang penting- Pernikahan, kelahiran, sakit, pindah tempat, perceraian, perubahan karier, menjadi janda-

Trapesium adalah sebuah segiempat yang memiliki sepasang sisi yang berhadapan sama panjang (hanya dua sisi, kalau persegi atau persegi panjang 2

rancapan, endak-endakan, dan wudulan. Finishing memakai Sn yang menimbulkan warna hitam pada latar kejadian dan finishing poles merupakan tahap selanjutnya, tahap