PERJANJIAN SEWA MENYEWA KIOS
SEBAGAI JAMINAN KREDIT
TESIS
OLEH
ADELINA LESTARI GINTING
057011002
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister Kenotariatan Pada Sekolah Pascasarjana Program Studi Magister Kenotariatan
Universitas Sumatera Utara
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
LEMBARAN PENGESAHAN
Judul Tesis : “PERJANJIAN SEWA MENYEWA SEBAGAI
JAMINAN KREDIT”
Nama : ADELINA LESTARI GINTING
NIM : 057011002
Program Studi : Magister Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Ketua
Prof. Dr. H. Tan Kamello, SH, MS Notaris Syahril Sofyan, SH, Mkn
Anggota Anggota
Ketua Progra Studi Direktur
Magister Kenotariatan Sekolah Pasca Sarjana
Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Prof. Dr. Ir.T. Chairun Nisa B,Msc
PERJANJIAN SEWA MENYEWA KIOS SEBAGAI JAMINAN KREDIT
Secara ekonomis, ruang kios yang terdapat pada bangunan mall/plaza, memiliki nilai jual yang tinggi, sehingga secara langsung maupun tidak langsung menimbulkan nilai prestise tersendiri jika memiliki ruang kios yang ada dalam bangunan mall/plaza, walaupun kepemilikan tersebut hanya bersifat sementara karena diperoleh berdasarkan perjanjian sewa menyewa kios, namun masa sewa kios yang mencapai 20 (duapuluh) tahun membuat pelaku usaha berlomba untuk menyewa ruang kios yang terdapat pada bangunan mall/plaza, disamping pertimbangan bahwa letak bangunan mall/plaza yang terpusat di inti kota yang sangat tepat sebagai tempat berusaha. Namun apakah kios yang terdapat dalam bangunan mall/plaza dapat dijadikan sebagai jaminan kredit mengingat bahwa kios dalam bangunan mall/plaza merupakan kesatuan dari tempat usaha bersusun yang keseluruhannya membentuk satu kesatuan bangunan gedung, sehubungan dengan adanya fenomena yang demikian maka penelitian ini bertujuan : Pertama, untuk mengetahui keberadaan hukum perjanjian sewa menyewa kios, sebagai jaminan kredit. Kedua,untuk mengetahui prinsip pengikatan perjanjian sewa meyewa kios sebagai jaminan kredit. Ketiga, untuk mengetahui akibat hukum terhadap penerimaan perjanjian sewa menyewa kios sebagai jaminan yang tidak didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia.
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dan bersifat deskriptif analitis, di mana perjanjian sewa menyewa kios yang diterima sebagai jaminan kredit pada Bank BCA dan Bank Ekonomi dijadikan sebagi objek penelitian, kemudian secara deduktif dianalisis sehingga dapat ditarik kesimpulan.
Berdasarkan hasil penelitian ditarik kesimpulan, Pertama, keberadaan kios yang terdapat pada bangunan mall/plaza yang secara ekonomis dinilai memiliki harga jual yang tinggi karena dinilai menguntungkan melakukan kegiatan usaha pada kios yang terdapat dibangunan mall/plaza sehingga telah diterima sebagai jaminan kredit oleh lembaga perbankan nasional khususnya bank swasta yang ada di kota Medan, hal ini didasari oleh pemikiran bahwa hak sewa kios tersebut dapat dialihkan sehingga memungkinkan untuk difidusiakan, sepanjang pemilik bangunan mall/plaza
1
Mahasiswa Program Magister Kenotariatan Sekolah PascaSarjana Universitas Sumatera Utara.
2
memberikan persetujuan untuk mengalihkan hak sewa kiosnya kepada Kreditur, maka hak sewa itu dapat difidusiakan. Kedua, walaupun secara normatif tidak ada aturan yang mengatur mengenai perjanjan sewa menyewa kios pada bangunan mall/plaza, namun karena pemilikan kios pada bangunan mall/plaza yang terjadi atas dasar perjanjian (hak perorangan) dan berdasarkan pengembangan peraturan perundang-undang yang secara partial mengisyaratkan bahwa hak milik bangunan gedung yang berada di atas tanah orang lain yang terbit karena suatu perjanjian dianggap sebagai benda bergerak maka terhadap perjanjian sewa menyewa kios lembaga jaminannya adalah fidusia. Ketiga, penerimaan perjanjian sewa menyewa kios sebagai jaminan kredit yang tidak didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia akan menimbulkan akibat hukum tidak melahirkan perjanjian kebendaan bagi jaminan fidusia tersebut, sehingga karakter kebendaan seperti droit de suite dan hak preferensi tidak melekat pada kreditur pemberi jaminan fidusia, sehingga terhadap bentuk pengikatan jaminan yang dibuat dengan akta pemberian jaminan dan akta surat kuasa menjadi jaminan semu. Dan adapun saran dalam penelitan ini diharapkan pemerintah lebih responsif dalam menjawab tantangan dalam dunia usaha sehingga dapat menyusun konsep pembagian hak sewa kios dalam substantif pengaturan hukum kebendaan sehingga secara normatif dapat dijadikan sebagai objek jaminan kredit dan tercipta keseragaman prinsip pengikatan dan lembaga jaminannya serta adanya aturan mengenai pendaftaran hak sewa kios pada bangunan mall/plaza untuk menjamin kepastian hukum dan melahirkan hak keperdataan.
Kata Kunci : - Perjanjian Sewa Menyewa Kios - Hak Sewa Kios
KIOSK/ SHOP RENTAL AGREEMENT AS CREDIT COLLATERAL
Economically, kiosk in mall/plaza building has high sell price, so that it emerge prestige directly or indirectly if one own shop in mall/plaza building, even though the ownership is just temporarily but the rental time for 20 years , has made businessman compete to rent shop in mall/plaza building, in addition consider that the location of the mall/plaza is in the central city which is appropriate to be a business place. But is building located in the mall/plaza can be a credit collateral considering that shop in mall/plaza building is a unity of compiling business place which form a great building as a unity, related to the phenomenon then the research is purposed to : First, to find out the existence of kiosk rental agreement, as credit guarantee. Second , to find out the principle of kiosk rental agreement as credit guarantee. Third, to find out the effect of the shop rental agreement acceptance as credit card which does not registered in Fiduciary Registration Office.
This research is a juridical normative and characterized by descriptive analytical term, which the kiosk rental agreement except as credit collateral on Bank BCA and Bank Ekonomi as subject research, then take conclusion by deductive analytical approach.
Based on the result it may conclude, First, the existence of kiosks in the mall/ plaza building economically have high selling price, so it can be a credit guarantee by national banking institution, particularly private bank in Medan, based on those ascription that the kiosk rental right can be transferred and able to fiduciary, as long as the mall/plaza owner agree to transferred his shop rental right to creditor. Second, although normatively there is no rule to manage the rental agreement in mall/plaza building, but due to the shop ownership in mall/plaza emerge on personal right and based on constitution which partially signing that property right on other people’s land which emerged due to an agreement the guarantee institution is fiduciary.
______________________
1
Student of Office and Notary Master’s Degree Program, University of North Sumatera, Medan
2
Third, the acceptance of shop rental agreement as credit collateral which unregistered in Fiduciary Registration office will create constitution effect, so the material characterization will not appear for the fiduciary collateral, so that the material character like droit de suite and preference right do not stick to creditor of the fiduciary agreement, then the guarantee cordage which made by conferral guarantee certificate and authority right certification become apparent. And suggestion in this research is, government has to be more responsive to answer challenge in business world so that may compile the shop rental agreement concept substantively on the arrangement property constitution so normatively it can be a credit collateral and create similarity of binding principle and guarantee institution also the arrangement of kiosk rental right registration in mall/ plaza building to get constitution certainty and emerge civil right.
Keyword : - Kiosk / shop rental agreement - Kiosk / shop rental right
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat, berkah dan karuniaNya-lah sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul “ PERJANJIAN SEWA MENYEWA KIOS SEBAGAI
JAMINAN KREDIT “.
Pembuatan tesis ini adalah sebagai suatu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Magister Kenotariatan (MKn) pada Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.
Selanjutnya dalam rangka penyelesaian tugas tesis ini penulis tak lupa mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Chairuddin P.Lubis, DTM & H.SpA (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara;
2. Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk dapat menjadi mahasiswa di Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
4. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. H. Tan Kamello, S.H., M.S., selaku Dosen Pembimbing II dan Bapak Notaris Syahril Sofyan, S.H., MKn, selaku Dosen Pembimbing III yang dengan tulus ikhlas membimbing penulis untuk menyelesaikan tesis ini.
5. Para Bapak dan Ibu Dosen pengajar Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yang telah mendidik dan membimbing penulis sampai kepada tingkat Magister Kenotariatan.
6. Seluruh pegawai dan staf biro pendidikan, teman-teman di Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Angkatan 2005/2006 Grup A, khususnya teman baikku Donna Francy, S.H, Dewi I. Sitorus, S.H, Ingrid, S.H, Opit, S.H, M.Rizal, S.H, Ridho, S.H, MKn, Yunita Hasibuan, S.H, MKn, Bun Hai, S.H, MKn, Eni Gus, S.H, MKn, yang selalu datang untuk hadir dalam seminar dan penelitian ini serta banyak memberi bantuan dalam penyelesaian tesis ini.
Sungguh rasanya satu kebanggaan tersendiri yang dalam kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada orangtuaku Ny. Nalangi Ginting Rosianna Br Tarigan karena segala bentuk kesuksesan penulis adalah berkat doa dan didikan serta perhatian yang cukup besar yang diberikan selama ini
Tesis ini juga dipersembahkan kepada ayah tercinta, Almarhum Nalangi Ginting, S.H., saudara-saudaraku yang tersayang, Ir. Edy Suramasto Ginting dan Keluarga, Kakak tersayang Eva Nita Sari Br. Ginting, Livia Wishara Br. Ginting beserta keluarga dan seluruh keluarga besar Ginting, yang dengan penuh pengertian telah memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
Terakhir sebagai penutup kata, sebagaimana pepatah mengatakan bahwa tiada gading yang tak retak, maka demikian halnya dalam penulisan tesis ini mungkin masih memiliki banyak kekurangan baik dalam hal pengumpulan bahan, teknik maupun metode penulisannya. Untuk itu dimohonkan maaf yang sebesar-besarnya atas kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat baik secara disengaja maupun tidak
sengaja.Sekian dan terima kasih.
Medan, Agustus 2007 Penyusun,
DAFTAR ISI
Halaman
INTISARI ... i
ABSTRACT ... iii
KATA PENGANTAR... v
DAFTAR ISI... viii
BAB I PENDAHULUAN... .. 1
A. Latar Belakang... 1
B. Perumusan Masalah ... 11
C. Tujuan Penelitian... 12
D. Manfaat Penelitian... 12
E. Keaslian Penelitian... 13
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 14
G. Metode Penelitian... 19
1. Sifat dan Jenis Penelitian ... 19
2. Objek Penelitian... 20
3. Metode Pengumpulan Data... 20
4. Analisis Data... 22
BAB II PERJANJIAN SEWA MENYEWA KIOS SEBAGAI OBYEK JAMINAN KREDIT ... 23
A. Perjanjian Sewa Menyewa Kios sebagai Obyek Hukum ... 23
B. Hak Sewa Kios dalam Kerangka Hukum Benda ... 26
C. Hak Kebendaan atas Hak Sewa Kios ... 34
D. Perjanjian Sewa Menyewa Kios sebagai Objek Jaminan Kredit... 36
A. Prinsip Pengikatan Perjanjian Sewa Menyewa Kios... 54
B. Prinsip Pengikatan Perjanjian Sewa Menyewa Kios sebagai Jaminan Kredit ... 59
BAB IV PERJANJIAN SEWA MENYEWA KIOS YANG TIDAK DI DAFTARKAN PADA KANTOR PENDAFTARAN FIDUSIA... 81
A. Sistem Hukum Pendaftaran Atas Benda Bukan Tanah Menurut Undang Undang Pokok Agraria... 81
B. Akibat Hukum Pendaftaran Akte Fidusia Perjanjian Sewa Menyewa Kios Pada Kantor Pendaftaran Fidusia ... 87
C. Akibat Hukum Perjanjian Sewa Menyewa Kios yang Tidak Didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia... 92
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 97
A. Kesimpulan ... 97
B. Saran... 98
DAFTAR PUSTAKA ... 100
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring dengan berjalannya waktu, kebutuhan manusia akan ruang semakin bertambah sejalan dengan bertambahnya populasi dan meningkatnya aktifitas bisnis dalam masyarakat. Kebutuhan ruang ini seringkali tidak seimbang dengan terbatasnya penyediaan tanah atau lahan untuk dibangun, serta mahalnya harga tanah menyebabkan pula perubahan strategi dalam pengembangan dan pembangunan wilayah, yang semula lebih cendrung berkembang secara horizontal sekarang sudah mulai berubah menuju ke arah vertikal.
Pembangunan dengan arah vertikal ini terjadi pada berbagai jenis penggunaan bangunan. Baik untuk rumah tinggal seperti adanya rumah susun, apartemen, maupun untuk tempat usaha bersusun seperti ruang-ruang usaha/kios/pertokoan yang ditemui dalam mall/plaza, hotel dan lain sebagainya.
Pada satu sisi, kegiatan dunia usaha secara tidak langsung menuntut lembaga perbankan untuk lebih responsif dalam menganggapi tantangan pelaku usaha yang membutuhkan modal usaha, di mana keberadaan benda jaminan selalu menjadi kendala bagi pelaku usaha dalam mengembangkan usaha yang ditekuninya, sementara di sisi lain keberadaan jaminan selain sebagai pengaman bagi pinjaman kredit juga merupakan suatu keharusan karena sudah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Kegiatan pembangunan dengan arah vertikal ini membutuhkan campur tangan Negara, dalam rangka menjaga agar hubungan hukum yang terjadi tetap dalam batas keseimbangan kepentingan semua pihak. Sejarah menunjukkan bahwa kegiatan-kegiatan ekonomi di dalam pengertian yang sangat luas mampu mempengaruhi berbagai hal di dalam masyarakat di mana kegiatan yang bersangkutan terjadi.1
Dalam rangka pembangunan ekonomi bidang hukum yang meminta perhatian serius dalam pembinaan hukumnya diantaranya ialah lembaga jaminan.2 Hukum Jaminan memiliki kaitan yang erat dengan bidang perbankan karena secara yuridis keberadaan jaminan dianggap sebagai faktor pengaman.
Persyaratan untuk mendapatkan fasilitas kredit bank merupakan suatu keharusan untuk menyediakan barang jaminan itu, bagi pencari modal usaha kadang-kadang merupakan suatu persoalan berat. Namun karena jaminan Merupakan hal yang mutlak harus dipenuhi, maka baik kreditur maupun nasabah
1
Sri Redjeki Hartono, Kapita Selekta Hukum Ekonomi, Mandar Maju : Bandung, 2000, hal :7.
2
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia, Pokok-Pokok Hukum
debitur berusaha mencari bentuk jaminan yang menguntungkan kedua belah pihak. Hal ini disebabkan lembaga jaminan kebendaan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata ( selanjutnya di singkat KUH Perdata) kurang dapat mengakomodir perkembangan masyarakat akan kebutuhan lembaga jaminan.3
Dengan munculnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun (selanjutnya disingkat UURS), telah memberi jawaban terhadap masalah keterbatasan lahan meskipun hanya terbatas pada penggunaan sebagai rumah susun. Undang-undang ini juga membuka kesempatan bagi rumah susun untuk dijadikan sebagai jaminan kredit.
Berdasarkan ketentuan Pasal 12 Sub 1 b UURS menyebutkan, bahwa rumah susun berikut tanah di atas mana bangunan itu berdiri bisa dibebani dengan fidusia jika tanahnya tanah hak pakai atas tanah Negara.
Medan sebagai ibukota Propinsi Sumatera Utara, yang juga merupakan salah satu kota besar yang ada di Indonesia, pada saat ini sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan ke arah vertikal, di mana pembangunan lebih banyak dipusatkan pada pembangunan di inti kota.
Hal ini dapat dilihat dari maraknya pembangunan mall/plaza sebagai pusat perbelanjaan, pusat jajanan dan pusat hiburan di kota Medan yang diharapkan dapat memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat metropolitan yang kompleks, yang menginginkan terpenuhinya segala kebutuhan pada satu tempat, sehingga
3
Lihat, R.Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum
Indonesia(selanjutnya disebut buku I), Alumni, Bandung, 1989, hal 29 menyatakan bahwa
pemanfaatan waktu dapat lebih efisien dan efektif mengingat aktifitas masyarakat perkotaan yang padat.
Aktifitas kegiatan masyarakat perkotaan yang aktif juga banyak di dominasi dengan perputaran laju kegiatan perekonomian dan pembangunan masyarat perkotaan, termasuk kota Medan. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat metropolitan yang kompleks yang aktifitasnya padat dan membutuhkan suatu tempat perbelanjaan yang dapat menjawab semua kebutuhan secara lengkap, maka dibangunlah mall/plaza. Mall yang dibangun sedemikian rupa terdiri dari ruang-ruang usaha/kios/pertokoan yang disewakan oleh pihak pemilik bangunan mall/plaza tersebut kepada para penyewa, masing-masing penyewa hanya berhak atas ruang usaha/kios masing-masing dan area umum yang dapat digunakan secara bersama-sama oleh para penyewa. Dasar kepemilikan dari ruang usaha/kios ini adalah perjanjian sewa-menyewa sebagaimana diatur dalam Bab ke tujuh Buku III KUH Perdata.
Dalam KUH Perdata tidak ditemukan rumusan perjanjian dalam pasal-pasalnya, tetapi dari judul Bab II Buku III KUH Perdata tersebut ditemukan istilah perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau persetujuan. Istilah perjanjian di sini merupakan terjemahan dari contract atau overeenkomst.
sumber-sumber ini tercakup dalam undang-undang. Dari pristiwa tersebut, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Dengan demikian hubungan perikatan dan perjanjian erat di mana perjanjian itu menerbitkan perikatan.
Secara yuridis, pengertian perjanjian sebagai sumber perikatan diartikan sebagai suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan.4
Menurut pandangan Utrecht, suatu perbuatan hukum yang bersegi dua adalah tiap perbuatan yang berakibat hukumnya ditimbulkan oleh kehendak dua subjek hukum (dua pihak) atau lebih. Tiap perbuatan hukum yang bersegi dua adalah suatu perjanjian (overeenkomst).5
M.Yahya Harahap menyebutkan, Perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua pihak atau lebih memberikan kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi itu. 6
KUH Perdata mengenal berbagai jenis perjanjian7 contoh dari perjanjian yang sering ditemui dalam kegiatan perekonomian sehari-hari antara lain seperti jual-beli, sewa menyewa, tukar menukar, pinjam meminjam dan lain-lain.
4
R. Subekti, Aneka Perjanjian (untuk selanjutnya disebut buku II), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal 1.
5
Utrecht,Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1953 ,hal 144. 6
M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal.13 7
Ada 14 jenis perjanjian, antara lain :a. Perjanjian timbal balik ; b.Perjanjian Cuma-Cuma ; c.Perjanjian atas beban ; d.Perjanjian bernama ; e.Perjanjian tidak bernama ; f.Perjanjian g.Obligatoir ; h.Perjanjian Kebendaan ; i.Perjanjian Konsensual ; j.Perjanjian riil ; k.Perjanjian liberatori, l.Perjanjian pembuktian ; m.Perjanjian untung-untungan ; n.Perjanjian publik ; o.Perjanjian campuran. (Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Kompilasi Hukum Perikatan (untuk
Pasal 1548 KUH Perdata berbunyi : “sewa menyewa adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lain kenikmatan dari suatu barang selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga yang oleh pihak yang tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya”.
Dari defenisi tersebut, maka dapat ditelaah bahwa :
a. Perjanjian sewa menyewa merupakan suatu persetujuan timbal balik antara pihak yang menyewa dengan pihak penyewa, di mana pihak yang menyewakan menyerahkan sesuatu kepada penyewa yang berkewajiban membayar sejumlah harga sewa.
b. Pihak yang menyewakan menyerahkan sesuatu barang kepada si penyewa untuk sepenuhnya dinikmati atau dipakai dan bukan dimiliki. c. Penikmatan berlangsung untuk suatu jangka waktu tertentu dengan
pembayaran sejumlah harga sewa yang tertentu pula.
Perjanjian sewa menyewa ini merupakan perjanjian yang termasuk dalam jenis perjanjian timbal balik, bernama, obligatoir dan konsesuil, hal ini karena dalam perjanjian sewa menyewa menimbulkan hak dan kewajiban pada dua pihak.
Perjanjian sewa menyewa merupakan perjanjian yang bertujuan untuk menyerahkan penguasaan objek untuk digunakan dan dinikmati oleh pihak lain (penyewa). Di sini yang diperjanjikan bukan penyerahan hak milik atas benda, namun hak untuk menikmati atas suatu benda dalam kurun waktu tertentu yang disebut juga hak sewa. Sebagai konsekwensi hukumnya, pihak yang diserahkan (penyewa) berkewajiban melakukan kontra prestasi dengan membayar sejumlah harga sewa. Penyewa memiliki hak untuk menikmati benda yang disewanya selama waktu tertentu.
Meskipun demikian, peraturan tentang sewa-menyewa yang termuat dalam bab ke tujuh dari Buku III KUH Perdata berlaku untuk segala macam sewa-menyewa, mengenai semua jenis barang baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang memakai waktu tertentu maupun yang tidak memakai waktu tertentu, oleh karena “waktu tertentu” bukan syarat mutlak untuk perjanjian sewa-menyewa8.
Namun dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994 tentang Penghuni Rumah oleh Bukan Pemilik, khusus mengenai perjanjian sewa menyewa rumah haruslah di perbuat dengan suatu batas waktu tertentu dan segala bentuk perjanjian sewa menyewa rumah yang telah diperbuat tanpa batas waktu adalah batal demi hukum.
Dalam praktek ditemui perjanjian sewa menyewa kios juga diperbuat dalam suatu perjanjian tertulis dengan mencantumkan jangka waktu sewa tertentu, diantaranya ada yang memiliki jangka waktu sewa selama 20 (duapuluh) tahun. Jangka waktu sewa kios yang lama memberikan hak kepada penyewa untuk
8
menikmati atau menguasai ruang usaha/kios tersebut selama hak sewa itu masih berlaku. Dengan demikian penyewa kios dapat juga disebut sebagai pemilik kios selama hak sewa atas kios tersebut masih berlangsung, diantaranya hak sewa kios ada yang berlangsung untuk jangka waktu 20 (duapuluh) tahun.
Karenanya selama berlangsungnya masa persewaan pihak yang menyewakan harus melindungi pihak penyewa dari segala gangguan dan tuntutan pihak ketiga atas benda atau barang yang disewanya agar pihak penyewa dapat menikmati barang yang disewanya dengan bebas selama masa sewa.
Kegiatan dunia usaha secara tidak langsung menuntut lembaga perbankan untuk lebih responsif dalam menjawab tantangan pelaku usaha yang membutuhkan modal usaha. Keberadaan benda jaminan selalu menjadi kendala bagi pelaku usaha dalam mengembangkan usahanya, di sisi lain keberadaan jaminan selain sebagai pengaman bagi pinjaman kredit, keberadaan jaminan juga merupakan suatu keharusan yang harus dipenuhi karena sudah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, yaitu Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
prinsip-prinsip kehati-hatian dalam menilai watak, kepribadian, modal, jaminan/agunan dan prospek usaha dari calon nasabah debitur tersebut.
Penilaian ini bertujuan agar pemberian kredit tersebut tepat guna dan dapat mengembangkan kegiatan usaha dari nasabah debitur tersebut. Di antara faktor-faktor penilaian yang ada, faktor-faktor terpenting yang berfungsi sebagai pengaman yuridis dari kredit yang disalurkan adalah jaminan kredit. 9
Jaminan kredit adalah perjanjian antara kreditur dengan seseorang yang mengikatkan diri sebagai penanggung untuk memenuhi seluruh prestasi debitur, baik sebagai jaminan pokok ataupun sebagai jaminan kebendaan yang lain sebesar seperti tercantum dalam perjanjian pokok, baik karena ditunjuk oleh kreditur, maupun yang diajukan debitur atas perintah kreditur10.
Praktek perbankan menerima harta benda sebagai jaminan kredit antara lain dapat berupa harta benda tidak bergerak seperti tanah yang sudah bersertifikat dengan bentuk perjanjian jaminannya adalah hak tanggungan. Selain itu ada juga harta benda bergerak seperti mobil, stok barang dagangan, truk, barang setengah jadi, mesin-mesin, kapal yang berukuran tidak lebih dari 20 meter3 dengan bentuk perjanjian jaminannya adalah jaminan fidusia. Sebelum diaturnya jaminan fidusia di dalam hukum positif, jaminan fidusia lahir dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat bisnis yang menggunakan lembaga peradilan sebagai lembaga untuk menyelesaikan konflik benda yang dijadikan sebagai obyek jaminan kredit, maka pengakuan terhadap jaminan fidusia lahir melalui yurisprudensi.
9
Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan yang didambakan, Alumni,Bandung, 2006, hal:185.
10
Thomas Soebroto, Tanya Jawab Hukum Jaminan Hipotik, Fiducia, Penanggungan,
Sekarang jaminan fidusia sudah diatur dalam Undang-undang sendiri yakni dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 (selanjutnya di sebut UUJF) yang sebelumnya diatur secara parsial di dalam UURS dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 (selanjutnya disebut UUPP).
Dengan lahirnya UUJF objek jaminan fidusia meliputi benda bergerak baik berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan hak atas tanah yang tidak dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan (selanjutnya di sebut UUHT).11
Kepemilikan kios/toko yang terdapat pada tempat usaha bersusun terjadi atas dasar perjanjian ( hak perorangan ), jadi berdasarkan pengembangan dari prinsip pemisahan horizontal yang ada dalam sistem Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 (selanjutnya di sebut UUPA), terhadap perjanjian sewa menyewa kios ini, lembaga jaminannya adalah fidusia. Hal ini sejalan dengan pendapat Mariam Darus Badrulzaman, yang mengatakan bahwa “untuk hak mendirikan dan memiliki bangunan accessoir yang terjadi karena perjanjian (hak perseorangan) lembaga jaminannya adalah fidusia” 12.
Namun apakah satuan tempat usaha bersusun seperti ruang usaha/kios yang terdapat dalam plaza atau mall dapat dijadikan sebagai jaminan kredit mengingat bahwa tempat usaha bersusun pada hakekatnya merupakan kesatuan dari tempat usaha yang dibuat secara bersusun sehingga kesemuanya membentuk
11
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia ( Seri Hukum Bisnis ), Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2000,hal.122
12
Mariam Darus Badrulzaman, Beberapa Masalah Hukum dalam Perjanjian Kredit Bank
satu kesatuan gedung dalam fungsinya sebagai pemenuh keperluan warga masyarakat akan tempat usaha yang layak. Sedang keadaan eksistensi yang umum dan ideal dari suatu tempat usaha bersusun itu pada dasarnya sama saja dengan keadaan eksistensi suatu rumah susun dan segala seluk beluk, situasi, kondisi, letak, posisi dan konstruksi bangunannya secara umum yang pada intinya tetap terkonsentrasi pada prinsip pasangan kembar antara tempat usaha yang ada pada suatu gedung tempat usaha bersusun tersebut.13
Dalam praktek kalangan perbankan dan notaris sebagai pejabat pembuat akta pengikatan kredit bank berpendapat, bahwa secara yuridis hak tanggungan dan jaminan fidusia memiliki fungsi pengaman yang sama dalam perjanjian kredit yakni sebagai jaminan kebendaan dalam hukum positif.14
B. Perumusan Masalah
Dari uraian yang telah dikemukakan dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana eksistensi hukum perjanjian sewa menyewa kios, sebagai obyek jaminan kredit?
2. Bagaimana prinsip pengikatan perjanjian sewa menyewa kios sebagai jaminan kredit?
3. Bagaimana akibat hukum terhadap penerimaan perjanjian sewa menyewa kios sebagai jaminan yang tidak didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia?
13
A.Ridwan Halim, Hukum Kondimidium dalam Tanya jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta; 1987, hal.105.
14
C. Tujuan Penelitian
Bertitik tolak dari rumusan masalah tersebut diatas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui keberadaan hukum perjanjian sewa menyewa kios,
sebagai obyek jaminan kredit.
2. Untuk mengetahui prinsip pengikatan perjanjian sewa meyewa kios sebagai jaminan kredit.
3. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap penerimaan perjanjian sewa menyewa kios sebagai jaminan yang tidak didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia.
D. Manfaat Penelitian.
Di samping tujuan yang hendak dicapai di atas, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis, yaitu :
1. Secara teoritis, hasil penelitian ini akan memberikan sumbang saran kepada ilmu hukum perdata, khususnya komponen hukum jaminan.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelitian pada kepustakaan, khususnya dilingkungan Perpustakaan Hukum Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara sepanjang yang diketahui dari hasil-hasil penelitian yang sudah ada maka belum ada penelitian yang menyangkut masalah Perjanjian Sewa Menyewa Kios Sebagai Jaminan Kredit. Akan tetapi ada peneliti yang meneliti tentang Perjanjian Sewa tetap atas bangunan toko yang dilaksanakan oleh Muhammad Hanafiah, Mahasiswa Program Pascasarjana Jurusan Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, dengan judul tesis “ Kajian Yuridis Terhadap Perjanjian Sewa Tetap atas Bangunan Toko Milik Pemerintah Kota Banda Aceh”.
Permasalahannya :
1. Bagaimanakah proses terjadinya, bentuk dan substansi perjanjian sewa tetap bangunan toko milik Pemerintah Kota Banda Aceh?
2. Apa sajakah hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian sewa tetap tersebut dan bagaimnakah pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut?
3. Bagaimanakah konstruksi hukum mengenai perjanjian sewa tetap tersebut?
Temuannya adalah :
1. Perjanjian sewa tetap dengan obyek bangunan toko milik Pemerintah Kota Banda Aceh ada yang dibuat dalam bentuk lisan dan dalam bentuk tertulis, dan dalam bentuk tertulis ada dua macam perjanjian yang isinya khusus mengenai pemberian sewa dan perjanjian yang isinya tidak khusus mengenai pemberian sewa, tetapi berupa perjanjian pemborongan kerja yang di dalamnya ada klasuka pemberian sewa tetap.
2. Dalam pelaksanaan perjanjian sewa tetap, ditemui adanya wanprestasi berupa tunggakan pembayaran sewa bulanan oleh penyewa dan adanya penyewaan toko kepada pihak ketiga tanpa diberitahukan kepada Pemerintah Kota.
Di lihat dari titik permasalahan dari penelitian di atas terdapat adanya perbedaan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, oleh karena itu penelitian dengan judul tesis tentang Perjanjian Sewa Menyewa Kios Sebagai
Jaminan Kredit, benar belum pernah dilakukan penelitian sebelumnya, sehingga
penelitian ini dapat dibuktikan keasliannya baik dari segi materi maupun metode pendekatan dalam menganalisis data.
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi
Teori yang digunakan dalam menganalisa obyek penelitian adalah perubahan masyarakat harus diikuti oleh perubahan hukum.15 Dalam kehidupan bermasyarakat kebutuhan akan hukum sangat diperlukan untuk menjaga agar terjaganya kehidupan masyarakat yang ketertiban dan aman, oleh karena itu untuk menjaga perubahan masyarakat di bidang hukum tetap teratur harus dikuti dengan pembentukan norma-norma sehingga dapat berlangsung secara tertib dan harmonis. Dalam menguraikan perjanjian sewa menyewa kios sebagai jaminan kredit, dilakukan dengan berpedoman kepada kerangka hukum positif artinya peraturan tentang perjanjian sewa menyewa dan hukum jaminan akan dijadikan pegangan dalam penganalisa fakta di lapangan oleh karenanya dipandang perlu untuk menguraikan tentang sistem hukum kebendaan, perjanjian, hukum jaminan fidusia dan jaminan kebendaan lainnya.
Teori fidusia yang menjadi pedoman dalam penulisan ini adalah perjanjian pengalihan hak kemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan
15
hak kemilikan atas benda yang dialihkan itu tetap berada dalam penguasaan si pemilik benda.16
Perjanjian sewa menyewa adalah sebagai salah satu bentuk perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata dan merupakan perjanjian timbal balik yang selalu mengacu kepada asas konsensuilitas atau yang berdasarkan kesepakatan para pihak dan merupakan salah satu jenis perjanjian yang sering terjadi dalam kehidupan masyarakat.17 Perjanjian sewa menyewa sudah sah dan mengikat pada detik tercapainya kesepakatan mengenai unsur-unsur pokoknya, yaitu barang dan harga.18
M.Yahya Harahap, mengemukakan bahwa sewa menyewa adalah persetujuan antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa. Pihak yang menyewakan atau pemilik menyerahkan barang yang hendak disewa kepada penyewa untuk dinikmati sepenuhnya.19
Perjanjian sewa meyewa merupakan perjanjian yang bertujuan untuk menyerahkan penguasaan obyek untuk digunakan dan dinikmati oleh pihak lain (penyewa). Di sini yang diperjanjikan bukan penyerahan hak milik atas benda, namun hak untuk menikmati atas suatu benda dalam kurun waktu tertentu yang disebut juga hak sewa. Sebagai konsekwensi hukumnya, pihak yang diserahkan (penyewa) berkewajiban melakukan kontra prestasi dengan membayar sejumlah harga sewa. Penyewa memiliki hak untuk menikmati benda yang disewanya selama waktu tertentu.
16
Ibid. 17
Rahayu Hartini, Hukum Komersial, UMM Press, Malang, 2005, hal.53 18
R.Subekti, buku II, Op.Cit.hal 40 19
Perjanjian sewa menyewa merupakan suatu bentuk perjanjian yang bersifat perseorangan dan bukan perjanjian yang bersifat hak kebendaan yaitu dengan perjanjian sewa menyewa ini kepemilikan terhadap kios tersebut tidaklah beralih kepada penyewa tetapi tetap menjadi hak milik dari pihak yang menyewakan/developer mall.
Dalam dunia usaha, tempat usaha bersusun yang terdapat di pusat-pusat perbelanjaan/mall seperti kios/toko20 adalah merupakan hasil dari pembangunan ke arah vertikal. Istilah kios berasal dari bahasa Belanda (kiosk), yang berarti sebuah toko kecil atau warung.21
Bangunan kios dahulu lebih banyak dikenal sebagai sebuah bangunan kecil di pusat keramaian kota atau daerah-daerah wisata; terbuat dari bahan sederhana dan berfungsi sebagai tempat penjualan Koran, majalah, rokok, bahan makanan, minuman dan lain sebagainya22. Namun dalam perkembangannya hingga saat ini, kios lebih dikenal sebagai sebuah tempat tertutup yang di dalamnya terjadi kegiatan perdagangan dengan jenis benda atau barang yang spesifik, misalnya buku, pakaian, alat-alat elektronik, makanan dan lain sebagainya.23
Adapun pengertian kios yang dimaksudkan dalam tesis ini, adalah ruang-ruang usaha yang dibuat secara bersusun sehingga kesemuanya membentuk satu kesatuan bangunan gedung bertingkat yang dijadikan sebagai pusat perbelanjaan atau mall. Ruangan kios tersebut dimiliki oleh sebuah perusahaan yang secara
20
Kios adalah ruang-ruang usaha, tempat berjualan (W.J.S.Poerwadarminta, Kamus
Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1983,hal 510)
21
http://id.wikipedia.org/wiki/Kios, diakses pada tanggal 19/04/2007 22
Ensiklopedia Indonesia Seri 3, Ichtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta, 1982, hal.1783. 23
langsung juga bertindak sebagai pengelola dari seluruh bangunan gedung bertingkat tersebut.
Kepemilikan kios/toko yang terdapat pada tempat usaha bersusun terjadi atas dasar perjanjian ( hak perorangan ), jadi berdasarkan pengembangan dari prinsip pemisahan horizontal yang ada dalam sistem UUPA, terhadap perjanjian sewa menyewa kios ini, lembaga jaminannya adalah fidusia. Hal ini sejalan dengan pendapat Mariam Darus Badrulzaman, yang mengatakan bahwa “untuk hak mendirikan dan memiliki bangunan accessoir yang terjadi karena perjanjian (hak perseorangan) lembaga jaminannya adalah fidusia” 24.
Dalam ketentuan UUBG Pasal 8, terkandung asas hukum mengenai kepemilikan terhadap tanah dan bangunan yang berada di atas tanah secara terpisah dengan tanah yang menjadi alasnya. Tanah dan bangunan sebagai sub sistem dari hukum benda mengandung arti bahwa benda tersebut dapat dijadikan sebagai obyek perikatan dan dapat dialihkan kepemilikan benda itu untuk kepentingan pihak yang menguasai dari benda tersebut.
Sebenarnya dalam literature tidak mengenal istilah jaminan, sebab kata recht secara subyektif berarti hak, sehingga dalam rangkaiannya zekerheids
rechten adalah hak-hak jaminan25. Hak adalah suatu hubungan hukum antara subyek hak dan obyek hak. Dengan demikian jika hendak merumuskan hukum jaminan maka dapat dikatakan sebagai ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang jaminan. Pada umumnya, arti jaminan adalah tagihan kreditur atas hutang
24
Mariam Darus Badrulzaman, buku II, Op.Cit, hal.169 25
debitur.26 R. Subekti berpendapat bahwa memberikan suatu barang sebagai jaminan kredit berarti melepaskan sebagian kekuasaan atas barang itu 27.
Pada asasnya yang harus dilepaskan itu adalah kekuasaan untuk memindahkan milik atas barang itu dengan cara apapun juga seperti menjual, menukar atau menghibahkan.28
A.Veehoven berpendapat bahwa : “Semua benda baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak yang secara yuridis dapat diserahkan hak miliknya dapat juga diserahkan hak miliknya atas kepercayaan sebagai jaminan, hal ini sesuai dengan asas yang ada dalam UUPA tentang asas horizontal.29
Lembaga jaminan mempunyai tugas melancarkan dan mengamankan pemberian kredit, maka jaminan yang baik dan ideal adalah :
a. Yang dapat secara mudah membantu memperoleh kredit oleh pihak yang memerlukan.
b. Yang tidak melemahkan kedudukan si pemberi kredit untuk mejalankan usahanya.
c. Yang memberikan kepastian pada pemberi kredit bahwa barang jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi, yaitu bila perlu dapat dengan mudah diuangkan untuk melunasi hutangnya30. Peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia saat ini belum ada yang mengatur secara eksplisit mengenai status hak atas rumah susun, perumahan, satuan ruang usaha/kios dan bangunan perkantoran, suatu saat bangunan itu menyatu dengan hak atas tanah, tetapi pada saat lain terpisah dengan tanah. Hal ini disebabkan konsekuensi dari asas assesi vertikal, sedangkan pemisahannya adalah sebagai konsekuensi dari asas pemisahan horizontal. Ruang usaha/kios
26
Ibid, hal.54 27
Subekti, buku I, Op.Cit.hal 9-12 28
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Benda (selanjutnya di sebut buku III), Intermasa, Jakarta, 1983, hal.72
29
Thomas Soebroto, Op.Cit.hal 127. 30
dalam kerangka hukum perdata dapat dikonstruksikan sebagai benda bergerak karena terlepas dari hak atas tanahnya sehingga pengikatan jaminan kios dapat digunakan lembaga jaminan fidusia. Pengakuan jaminan fidusia tersebut semakin jelas dinyatakan dalam UUJF yang menyatakan bahwa yang tidak dapat dibebani hak tanggungan adalah obyek jaminan fidusia.31
Pembentuk hukum dalam membentuk hukum positif harus berorientasi pada asas-asas hukum sebagai jantung peraturan hukum tersebut.32 Analisis masalah yang diajukan adalah lebih berfokus pada sistem hukum positif khususnya mengenai substanstif hukum, yakni ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan keberadaan hak sewa kios sebagai jaminan kredit yang secara partial di atur dalam UUBG, UUJF, UUPP, UURS, dan KUH Perdata.
G. Metode Penelitian
1. Sifat dan Jenis Penelitian
Penelitian tesis ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analitis, artinya bahwa penelitian ini menggambarkan, menelaah dan menjelaskan
31
Lihat, Pasal 1 ayat 2 jo Penjelasan Pasal 3 huruf a Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.
32
secara analitis perikatan perjanjian sewa menyewa kios sebagai jaminan kredit dalam praktek perbankan, khususnya yang terjadi di kota Medan. Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah yuridis normatif33 yang diartikan sebagai penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang di dukung dengan data dokumen yaitu dimaksudkan sebagai pendekatan terhadap masalah dengan melihat dari segi peraturan-peraturan yang berlaku dan dihubungkan dengan kenyataan yang terjadi mengenai pengikatan perjanjian sewa menyewa kios sebagai jaminan kredit dalam praktek perbankan.
2. Objek Penelitian
Yang menjadi objek dari penelitian ini adalah lembaga perbankan yang memberikan pinjaman kredit dengan perjanjian sewa menyewa kios sebagai jaminan kredit.
3. Metode Pengumpulan Data
Data yang di ambil dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data di peroleh melalui lembaga perbankan yang menerima perjanjian sewa menyewa kios sebagai jaminan kredit, melalui alat pengumpulan data yakni :
a. Studi Dokumen, yang mempelajari dan memahami bahan pustaka yang berkaitan dengan obyek penelitian. Studi dokumen ini di lakukan terhadap dokumen yang tersedia di perpustakaan maupun
33
yang ada di lapangan yakni dokumen-dokumen perikatan perjanjian sewa menyewa kios sebagai jaminan kredit yang ada di lembaga perbankan yang di lakukan dihadapan pejabat umum Notaris.
b. Wawancara langsung dengan para informan yang dapat di percaya. Wawancara terhadap informan ditentukan dengan menetapkan informan yang terlibat langsung dalam proses perikatan perjanjian sewa menyewa kios sebagai jaminan kredit.
Populasi34 dalam penelitian ini adalah lembaga perbankan yang ada di kota Medan yang menerima perjanjian sewa menyewa kios sebagai jaminan kredit. Namun oleh karena tidak memadainya waktu untuk meneliti seluruh populasi, maka diambil sampel penelitian secara acak (random sampling) dan ditemui ada 2 (dua) bank swasta nasional yang berkantor cabang di Medan, yang menerima perjanjian sewa menyewa kios sebagai jaminan kredit, yaitu PT. Bank Central Asia yang menerima perjanjian sewa menyewa kios pada bangunan Sun Plaza sebagai jaminan kredit dan PT.Bank Ekonomi Raharja yang menerima perjanjian sewa menyewa kios pada bangunan Medan Mall sebagai jaminan kredit. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan tetap menjaga kerahasiaan bank.
Data sekunder diperoleh dari penelitian kepustakaan yang meliputi tiga bahan hukum yakni :
a. Bahan Hukum Primer
34
yang terdiri dari peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan sistem hukum benda, hukum perjanjian dan hukum jaminan, khususnya UUJF, dan juga peraturan terkait mengenai jaminan yang terdapat dalam UURS, UUPP dan UUBG .
b. Bahan Hukum Sekunder
Terdiri dari buku-buku, laporan-laporan penelitian dan dokumen yang berkenaan dengan perjanjian sewa menyewa kios sebagai jaminan kredit.
c. Bahan Hukum Tertier
terdiri atas kamus ensiklopedia sebagai petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
4. Analisis Data
Kegiatan analisis dalam penulisan ini dimulai dengan dilakukannya pemeriksaan terhadap data yang terkumpul baik melalui wawancara, inventarisasi peraturan perundangan-undangan yang berkaitan dengan sewa menyewa dan hukum jaminan, karya ilmiah, dokumen-dokumen resmi yang berkaitan dengan perjanjian sewa menyewa kios sebagai jaminan kredit. Kemudian data primer dan data sekunder yang ada dianalisis secara kualitatif sehingga dapat ditarik kesimpulan dengan cara deduktif35 dan di harapkan dapat menjawab permasalahan yang ditetapkan dalam tesis ini.
35
BAB II
PERJANJIAN SEWA MENYEWA KIOS SEBAGAI
OBYEK JAMINAN KREDIT
A. Perjanjian Sewa-menyewa Kios sebagai Obyek Hukum
Dalam Perjanjian sewa menyewa selalu terdapat dua pihak yang saling mengikat diri untuk berprestasi satu sama lain. Pihak inilah yang merupakan subjek hak sewa menyewa. Penyewa dan yang memberikan sewa adalah pihak yang menjadi subyek hak dalam perjanjian sewa menyewa sehingga subyek sewa menyewa merupakan subyek hukum.
Menurut hukum, setiap manusia merupakan orang yang berarti pembawa hak. Subyek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban. Menurut R.Suroso, subyek hukum adalah sesuatu yang menurut hukum berwenang untuk melakukan perbuatan hukum atau siapa yang mempunyai hak dan cakap bertindak dalam hukum, sesuatu pendukung hak yang menurut hukum berkuasa bertindak menjadi pendukung hak ( rechtsbevoegdheid) dan merupakan sesuatu yang menurut hukum mempunyai hak dan kewajiban.36
36
Selain manusia sebagai pembawa hak, maka badan-badan atau perkumpulan-perkumpulan pun juga dapat dipandang sebagai subyek hukum, karena mempunyai hak dan kewajiban, yang disebut sebagai badan hukum.37
Dalam Pasal 1548 KUH Perdata tentang pengertian sewa menyewa tidak disebutkan dengan tegas apa saja yang merupakan subyeknya. Dalam Pasal tersebut hanya disebut istilah “pihak yang satu dan pihak yang lainnya”. Pihak inilah yang dimaksud dengan subyek sewa menyewa.
Dalam perjanjian sewa menyewa juga ditemui adanya sesuatu yang menjadi obyek. Pada dasarnya apa yang menjadi obyek sewa menyewa adalah apa yang merupakan obyek.
Yang dimaksud dengan obyek hukum ( rechts object ) adalah “segala sesuatu yang bermanfaat dan dapat dikuasai oleh subyek hukum serta dapat dijadikan obyek dalam suatu hubungan hukum”.38
Hampir sama dengan defenisi tersebut, C.S.T.Kansil memberi pengertian obyek hukum sebagai segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum dan yang dapat menjadi obyek sesuatu perhubungan hukum dan biasanya obyek hukum itu disebut benda.39
R.Suroso memberi pengertian obyek hukum sebagai segala sesuatu, yang berguna bagi subyek hukum ( manusia/badan hukum) dan yang dapat menjadi pokok permasalahan dan kepentingan bagi para subyek hukum, oleh karenannya dapat dikuasai oleh subyek hukum.40
37
Rahayu Hartini, Op.Cit.hal.14 38
R.Subekti, Buku II Op.Cit.hal.40. 39
C.S.T.Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1980, hal.118
40
Apa yang menjadi obyek hukum tentunya sesuatu yang mempunyai harga dan nilai, sehingga memerlukan penentuan siapa yang berhak atasnya dan penguasaannya di atur oleh hukum. Sesuatu yang mempunyai harga dan nilai adalah benda. Oleh karena itu pada dasarnya yang merupakan obyek hukum itu adalah benda (zaak).
Bertalian dengan hal di atas, Mochtar Kusumaatmaja dan Arief Sidharta berpendapat bahwa pada umumnya yang dapat di pandang sebagai obyek hukum adalah urusan-urusan dan benda-benda41. Pengertian yang paling luas dari perkataan “benda” (zaak) ialah segala sesuatu yang dapat dihaki oleh orang. Di sini benda berarti obyek sebagai lawan dari subyek atau “orang” dalam hukum42. Menurut KUH Perdata Pasal 499, Benda adalah barang-barang dan hak-hak yang dapat dimiliki oleh orang.
Merujuk pada Pasal 1548 KUH Perdata mengenai defenisi sewa menyewa, maka dapat diketahui bahwa yang menjadi obyek dari suatu perjanjian sewa menyewa adalah suatu barang atau benda. Dalam Pasal tersebut dikatakan bahwa “… pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari suatu barang, …”. Sesuatu barang yang dimaksud dalam pasal ini adalah yang merupakan obyek dari sewa menyewa. Namun demikian, pasal ini tidak jelas benda apa saja yang bisa menjadi obyek sewa menyewa, tetapi dari uraian pasal 1548 KUH Perdata dapat disimpulkan bahwa bezit atas sesuatu benda dapat jadi obyek perjanjian sewa menyewa.
41
Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta,Pengantar Ilmu Hukum, Buku I, Alumni, Bandung, 2000, hal.82
42
Dalam Perjanjian sewa menyewa kios, yang menjadi obyek adalah hak sewa atas kios tersebut. Sesungguhnya satuan ruang usaha/kios dibangun oleh pengembang/developer mall/paza untuk dijual kepada pihak lain (pedagang), obyek yang dijual pihak pengembang di sini bukan hak milik atas kios tersebut, tetapi hak sewa atas kios tersebut tetapi hak sewa kios tersebut sudah menjadi hak kebendaan menurut perjanjian dan selama berlakunya perjanjian itu sendiri. Hal ini karena hak milik atas kios tetap berada pada pengembang itu sendiri.
Setelah terjadi kesepakatan terhadap harga sewa kios selama masa sewa dengan cara pembayaran harga sewa kios diterima secara tunai oleh pemilik /pengelola bangunan mall/plaza, pedagang berhak atas kios tersebut dengan hak sewa dan secara otomatis melahirkan hubungan hukum dalam bentuk sewa menyewa antara pembeli dengan pemilik mall/plaza. Dengan tercapainya kesepakatan antara penyewa dengan pengelola/pemilik bangunan mall/plaza yang dituangkan dalam perjanjian sewa menyewa kios, maka muncullah hak penyewa atas bangunan kios yang disewanya sehingga penyewa kios pada bangunan mall/plaza dapat mempertahankan haknya untuk mengusahakan ruang kios
B. Hak Sewa Kios dalam Kerangka Hukum Benda
Keberadaan kios yang terdapat pada bangunan mall/plaza merupakan tuntutan akan ruang yang tidak seimbang dengan terbatasnya lahan, dan kios merupakan salah satu solusi bagi pemenuhan kebutuhan ruang usaha. Fenomena keberadaan kios pada bangunan mall/plaza semakin berkembang seiring dengan meningkatnya pembangunannya ke arah vertikal. Fenomena ini juga menimbulkan masalah hukum khususnya menyangkut status kemilikannya yang didasari oleh perjanjian sewa menyewa yang mana hak sewa kios itu memiliki masa sewa mencapai 20 (duapuluh) tahun bahkan lebih. Hak sewa yang terjadi atas dasar perjanjian (hak perorangan) ini memberikan wewenang bagi penyewa untuk mengusahakan kios selama masa sewa, namun masa sewa yang panjang juga memberikan keleluasaan bagi penyewa untuk mengembangkan usahanya dalam kios itu secara bebas termasuk memberikan kesempatan bagi penyewa untuk menjadikan hak sewa kios tersebut sebagai jaminan kredit, mengingat harga sewa satu kios yang terdapat pada bangunan mall/plaza memiliki nilai ekonomis yang juga tinggi. Walaupun dalam kenyataan ada pro kontra mengenai hal ini, namun hasil penelitian menunjukkan bahwa perjanjian sewa menyewa kios di terima sebagai jaminan kredit pada bank-bank swasta yang ada di kota Medan.
Undang-undang yang mengatur tentang satuan ruang usaha/kios hingga saat ini belum ada tetapi secara partial ada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai bangunan gedung yang terdapat di dalam UURS, UUPP, dan UUBG. Ketiga undang-undang tersebut hanya mengatur tentang bangunan gedung yang berada di atas tanah dari segi administratif, sehingga dalam menelaahnya harus melalui pendekatan sistem dalam Hukum Benda dan UUPA.
Pengaturan mengenai benda di dalam KUH Perdata pada prinsipnya memuat pengertian benda, jenis-jenis benda dan jenis-jenis hak kebendaan. Pengertian tentang benda ini terdapat di dalam Pasal 499 KUH Perdata yang menyatakan bahwa benda (zaak) ialah segala sesuatu atau yang dapat43 dikuasai subyek hukum dan menjadi obyek hukum berupa hal milik.
Istilah benda dalam kerangka hukum pertama terdapat dua istilah yakni benda (zaak) dan barang (goed), jika diperhatikan paham KUH Perdata terlihat bahwa istilah benda tidak sama dengan barang. Barang adalah bagian benda dari benda yang dapat dikuasai oleh hak milik. Demikian juga halnya hak adalah bagian benda yang dapat menjadi obyek hukum.44
Penggunaan kata zaak dalam KUH Perdata tidak hanya dalam arti barang berwujud saja, melainkan juga dalam arti bagian dari pada harta kekayaan
43
Lihat, Mariam Darus Badrulzaman, Buku I Op.Cit., hal. 35 menyatakan bahwa kata “dapat” disini mempunyai arti yang penting, karena membuka berbagai-bagai kemungkinan, yaitu pada saat-saat yang tertentu sesuatu itu belum tentu berstatus sebagai obyek hukum, namun pada saat-saat yang lain merupakan obyek hukum, seperti aliran listrik. Untuk menjadi obyek hukum ada syarat yang harus dipenuhi yaitu penguasaan manusia dan mempunyai nilai ekonomi dan karena itu dapat dijadikan obyek (perbuatan) hukum. Terlihat disini “proses” yang terikat pada waktu jika seseorang membuka hutan dan mengolahnya, lahirnya penguasaan terhadap tanah tersebut. Penguasaan itu menjadi pasti setelah pohon-pohon yang ditanami pembuka hutan itu tumbuh bebruah, sehingga hutan yang dibuka itu tadi, bukan lagi merupakan “res nullius” akan tetapi sudah ada pemiliknya.
44
(vermogens bestanddel)45, sehingga pengertian benda lebih luas dari pengertian
barang, misalnya pasal 580 KUH Perdata menentukan bahwa beberapa hak yang disebut dalam pasal ini merupakan benda tak bergerak. Pasal 511 KUH Perdata juga menyebutkan beberapa hak, bunga uang, perutangan dan penagihan sebagai benda bergerak.
Pengertian benda yang dimaksud oleh pembentuk Undang-undang adalah elipu
ngka KUH Perdata menegaskan bahwa benda empu
Pasal 506, 507 dan 508 KUH Perdata, rmasu
m ti barang berwujud dan tidak berwujud, barang bergerak dan tidak bergerak. Barang yang tidak berwujud ditentukan juga sebagai barang bergerak dan barang tidak bergerak.46 Ketentuan ini juga menunjukkan bahwa pengertian benda bukan saja berada dalam lingkup hukum benda tetapi juga berada dalam lapangan hukum harta kekayaan.47
Ketentuan benda dalam kera
m nyai hubungan yang erat dengan hak milik. Hal ini dapat kita lihat pada beberapa peraturan dalam bentuk pasal-pasal di KUH Perdata yang selalu mengaitkan benda dengan hak milik.48
Dari uraian yang terdapat dalam
te k dalam kebendaan tidak bergerak adalah :
kepentingan hukum misalnya pasal 1354 KUHPerdata dan kenyataan hukum misalnya pasal 1263 KUHPerdata.
Lihat, Ketentuan yang terdapat dalam pasal 570, 584, 588 KUHPerdata. 45
Lihat, Djuhaedah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan bagi Tanah dan Benda Lain
Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1996, hal. 52 menyatakan bahwa di Belanda dengan KUHPerdata yang baru (NNBW) disebutkan bahwa :”Goederen zijn alle zaken en alle vermogensrechten” artinya barang terdiri atas benda dan semua hak-hak kekayaan.
46
Pasal 511 dan 508 KUHPerdata. 47
Lihat, Mariam Darus Badrulzaman, Bab-bab Tentang Kreditverband, gadai dan fidusia
(selanjutnya disebut Buku III), BPHN, Yogyakarta, 1997, hal.255, bahwa seminar mencapai
konsensus untuk membagi segala benda itu dalam tiga golongan, yaitu : a. benda tak bergerak, b. benda bergerak, c. benda tak berujud atau hak-hak.
a. Tanah dan segala sesuatu yang didirikan di atasnya,
b. Bangunan beserta segala macam sarana dan prasarana yang peruntukannya tidak dapat dipisahkan dari bangunan tersebut, yang dianggap menyatu dengan bangunan tersebut,
c. Pohon-pohon dan tanaman-tanaman serta buah-buah yang belum di petik dari pohonnya,
d. Barang-barang tambang,
e. Pipa-pipa, saluran-saluran bawah tanah yang bersatu dengan tanah,
f. Segala hak-hak yang terbit sehubungan dengan penggunaan, pemanfaatan dan penuntutan kembali atas kebendaan bergerak yang disebutkan pada uraian di atas.49
Sedangkan yang termasuk sebagai kebendaan bergerak adalah :
a. Benda-benda yang karena sifatnya dapat berpindah atau yang dapat dipindahkan,
b. Kapal-kapal dan perahu-perahu serta tongkang-tongkang selain dari yang termasuk dalam kebendaan tidak bergerak,
c. Hak-hak yang terbit atas pemakaian dan penggunaan serta penuntutan kembali atas kebendaan bergerak,
d. Sero-sero atau saham-saham atau andil-andil yang diterbitkan oleh Perusahaan.50
Berdasarkan beberapa pengertian dalam KUH Perdata di atas dapatlah dianalogikan bahwa hak sewa kios dapat dikontruksikan sebagai benda baik bergerak maupun tidak bergerak, karena dalam KUH Perdata pengertian benda bukan hanya sebatas barang berwujud semata melainkan juga barang tak berwujud.
Berbeda halnya dalam kerangka hukum adat yang tidak memberikan pengertian tentang benda karena pengertian benda tertuju kepada tanah atau yang dipersamakan dengan tanah dan bukan tanah, dalam sistem hukum pertanahan yang didasarkan pada hukum adat maka benda-benda yang ada di atas tanah
49
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.Cit, hal54 50
bukan termasuk benda tanah tetapi benda memiliki identitas tersendiri, ini berarti bahwa hukum adat yang mengintrodusir UUPA menganut asas pemisahan horizontal sebagaimana yang diungkapkan oleh Sudargo Gautama, cs “according to adat law a clear distinction can be drawn between land and the building on
the
land”. Adat law does not recognize the rule land down in art 571 of the
Indonesian civil code”.51 Berdasarkan asas ini maka kedudukan bangunan gedung di atas tanah orang lain memiliki status hukum sendiri terlepas dari tanah sebagai benda pokoknya maka menurut Mahadi bangunan/rumah tersebut di pandang sebagai benda bergerak.52
Bertalian dengan pendapat Mahadi, jika bangunan kios/satuan ruang usaha adalah merupakan bagian dari bangunan mall/plaza maka dapat diasumsikan bahwa kios memiliki status hukum tersendiri terlepas dari tanah di mana bangunan mall/plaza itu berdiri sehingga kios/ruang usaha itu dapat juga di pandang sebagai benda bergerak.
Keberadaan atau pembagian kebendaan ke dalam kebendaan tanah dan bukan tanah makin diperkuat dengan diberlakukannya UURS. Dalam UURS diatur berbagai hal yang berhubungan dengan kepemilikan rumah susun, sebagai suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang masing-masing secara fungsional dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah sebagai tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama, tanah bersama dan benda bersama53.
51
Lihat, Mahadi, Hak Milik Dalam Perdata Nasional, Proyek BPHN, 1981, hal. 61. 52
Ibid. 53
Kerangka hukum yang mengatur tentang status bangunan gedung di luar KUH Perdata dalam bentuk undang-undang mensyaratkan bahwa di satu sisi status bangunan gedung menyatu dengan hak atas tanah sebagai konsekuensi dari asas assesi vertikal, tetapi pada saat lain ia terpisah dengan tanah sebagai konsekuensi dari asas pemisahan horizontal.
Sentral dari obyek hukum dalam hukum benda adalah tanah sebagaimana juga yang dikenal dalam beberapa sistem hukum benda secara menyeluruh. Dengan jelasnya pembagian benda sangat berpengaruh dan menentukan lembaga hukum jaminan kebendaan atas bangunan gedung.
Sifat dari bangunan gedung yang terdapat dalam rumah susun dan perumahan pada umumnya bersifat tetap di atas tanah. Oleh karena sifatnya tetap maka bangunan gedung harus tunduk kepada ajaran hukum benda yang mengajarkan bahwa untuknya diperlukan “publikasi”. Maksudnya masyarakat perlu mengetahui siapa pemilik bangunan tersebut, sedangkan sampai saat ini bangunan yang sudah diatur pendaftarannya adalah rumah susun dan perumahan.
Hal ini dapat kita lihat dalam aturan teknis dan administratif pembangunan rumah susun,54 sedangkan undang-undang yang mengatur tentang bangunan
rumah yang diberi nomor urut per tahun per kabupaten/kotamadya atau persatuan wilayah kerja kantor pertanahan.
54
gedung lainnya seperti UUBG tidak dicantumkannya asas publisitas berupa pendaftaran atas bangunan gedung dan lebih cendrung bersifat pendataan secara administratif.55 Saat ini banyak didirikan bangunan-bangunan gedung bertingkat dalam berbagai fungsi yang secara e onomis memiliki nilai jual yang tinggi dan k
mengisyarat bahwa hak milik tu
ap dan diperlakukan sebagai benda bergerak.
i atur dalam perjanjian sewa.
nilai prastise tersendiri sehingga sangat diminati oleh masyarakat khususnya pelaku bisnis dan dunia usaha.
Ketentuan yang terdapat di dalam UUBG
bangunan gedung yang berada di atas tanah orang lain yang terbit karena sua perjanjian dan dianggap sebagai benda bergerak.56
Adapun ciri-ciri dari hak milik bangunan di atas tanah orang lain yaitu : 1. Bangunan di bangun oleh pemilik dengan bahan-bahan milik sendiri di
atas tanah orang lain.
2. Hak membangun didasarkan atas persetujuan dengan pemilik tanah. 3. Bangunan di angg
4. Tanah dan bangunan merupakan dua benda yang terpisah (zelfstandige zaak) dan dapat dialihkan.
5. Hubungan pemilik tanah dan pemilik bangunan d
55
Lihat, Penjelasan Pasal 8 Ayat (3) Undang-undang Nomor 8 Tahun 2002, bahwa pendataan termasuk pendaftaran bangunan gedung dilakukan pada saat proses perizinan mendirikan bangunan dan secara priodik, yang dimaksudkan untuk keperluan tertib pembangunan dan pemanfaatan bangunan gedung, memberikan kepastian hukum tentang status kepemilikan bangunan gedung dan sistem informasi. Berdasarkan pendataan bangunan gedung sebagai pelaksana dari asas pemisahan horizontal, selanjutnya pemilik bangunan gedung memperoleh surat bukti kepemilikan bangunan gedung dari pemerintah.
56
6. Jika hak sewa berakhir, pemilik bangunan tidak memperoleh ganti rugi. Pemilik tanah tidak wajib mengambil alih bangunan dan karena 7. Pemutusan sewa harus seizin pejabat yang berwenang.
Ketentuan substantif yang terdapat dalam penjelasan UUBG ini juga secara implisit mengkontruksikan bahwa bangunan yang berada di atas hak milik tanah orang lain sebagai benda bergerak dengan izin pemanfaatan sebagai persetujuan yang dinyatakan dalam perjanjian tertulis antara pemegang hak atas
nah atau pemilik tanah dan pemilik bangunan gedung.
C. Hak Kebendaan atas Hak Sewa Kios
Hak kebendaan (zakelijkrecht) adalah hak mutlak atas suatu benda di mana hak itu memberikan kekuasaan langsung atas sesuatu benda dan dapat dipertahankan terhadap siapapun. Rumusan ini menyatakan bahwa hak kebendaan adalah hak mutlak yang berarti juga hak absolut dan dapat dipertentangkan atau dihadapkan dengan hak relatif, hak nisbi atau yang biasanya di sebut persoonlijk atau hak perorangan. Hak perorangan ini hanya dapat dipertahankan terhadap orang tertentu tidak terhadap semua orang seperti hak kebendaan. Adanya karakter dalam membedakan hak absolut dan hak relatif sangat diperlukan dalam menentukan ciri pokok hak keperdataan, ciri antara
sgevolg atau droit de suite (hak mengikuti). Artinya hak
itu pemilik bangunan wajib membongkar bangunan itu.
57
ta
58
kedua hak keperdataan ini adalah sebagai berikut :
a. Merupakan hak mutlak, dapat dipertahankan terhadap siapapun juga. b. Mempunyai zaak
itu terus mengikuti bendanya dimanapun juga (dalam tangan siapapun juga) benda itu berada. Hak itu terus saja mengikuti orang yang mempunyainya.
57
Jan verwer dalam Mariam Darus, Permasalahan Mengenai Hak Mendirikan Dan
Memiliki Bangunan Di Atas Tanah Orang Lain Dalam Kaitannya Dengan Hipotik (selanjutnya disebut buku IV), Himpunan Laporan Hasil Pengkajian Bidang Hukum Perdata Tahun 1982/1983
dan 1983/1984, (BPHN), hal. 59 dalam Tan Kamello, Op.Cit.hal177.
58
c. Sistem yang dianut dalam hak kebendaan dimana terhadap yang lebih dahulu terjadi mempunyai kedudukan dan tingkat yang lebih tinggi dari pada yang terjadi kemudian. Misalnya seorang eigenar menghipotikkan tanahnya, kemudian tanah tersebut juga diberikan kepada orang lain dengan hak memungut hasil, maka disini hak hipotik itu masih ada pada
derajat dan ut hasil yang baru terjadi preference (hak yang didahulukan).
e. f.
Demikian ciri-ciri hak kebendaan itu meskipun dalam praktek ciri-ciri itu kelihatannya tidak tajam lagi apabila dihadapkan dengan hak perorangan. Artinya perbedaan yang semacam itu tidak begitu penting lagi dalam praktek. Sebab dalam kenyataannya ada hak perorangan yang mempunyai ciri-ciri sebagaimana ciri-ciri yang terdapat pada hak kebendaan. Hal ini dapat kita lihat sifat absolut terhadap hak sewa yang dilindungi berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata, hak sewa ini mempunyai sifat mengikuti bendanya (droit de suite). Hak sewa ini juga terus mengikuti bendanya meskipun berpindahnya atau dijualnya barang yang di sewa, perjanjian sewa tidak akan putus. Demikian juga halnya sifat droit de preference.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, mengenai hak kebendaan ini di bagi
ak yang memberikan kenikmatan yang tidak penuh atas suatu benda. Jika dibandingkan dengan hak milik. dibandingkan dengan hak milk.
tanah yang dibebani hak memungut hasil. Dan mempunyai tingkat yang lebih tinggi daripada hak memung
kemudian.
d. Mempunyai sifat droit de
Adanya apa yang dinamakan gugat kebendaan.
Kemungkinan untuk dapat memindahkan hak kebendaan itu dapat secara sepenuhnya dilakukan.59
atas dua bagian, yaitu :
1. Hak kebendaan sempurna adalah hak kebendaan yang memberikan kenikmatan yang sempurna (penuh) bagi si pemilik. Selanjutnya untuk hak yang demikian dinamakannya hak kemilikan.
2. Hak kebendaan terbatas adalah h
Artinya hak kebendaan terbatas itu tidak penuh atau kurang sempurna jika
60
60
Mariam Darus Badrulzaman, Buku III Op.cit., hal. 43. 59
Apabila pembedaan hak kebendaan dan hak perorangan ini kita letakkan dalam lapangan hukum bangunan tentunya menjadi persoalan yang perlu pemikiran mendalam, apakah hak milik atas bangunan merupakan hak kebendaan ataukah hak perorangan? Untuk menjawab ini maka kita harus melakukan pendekatan sistem hukum benda yang diatur dalam KUH Perdata dan ketentuan normatif di luar KUH Perdata tentang status pemilikan atas bangunan dengan mengacu pada tertib hukum yang terpadu (integrited). Hak milik bangunan yang didaftarkan memiliki sifat yang lebih kuat dari hak milik bangunan yang tidak didaftarkan. Sebab semua syarat-syarat yang diperjanjikan para pihak yakni pemilik tanah dan pemilik bangunan diketahui semua orang melalui pendaftaran. Perbedaannya dengan hak guna bangunan adalah bahwa hak guna bangunan tidak bersifat accesoir kepada hak sewa dan terdaftar. Hak ini memiliki sifat kebendaan. Konsekuensi sifat accesoir ini adalah terhadap peralihannya diperlukan izin pemilik tanah, jika izin pemilik tanah itu dicantumkan dalam
mempergunakan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 sebagaimana diganti perjanjian sewa bangunan yang didaftarkan maka izin tidak perlu lagi pada saat hak milik atas bangunan itu akan dialihkan.
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 yang mensyaratkan perjanjian penyerahannya diperbuat dalam bentuk PPAT dan kemudian di daftar. Di sini hak milik bangunan horizontal yang terjadi karena jual beli memiliki sifat
ebendaan.
nnya debitur wanprestasi dan beritikad tidak baik untuk pelunasan
nggupan nasabah debitur untuk melakukan pelunasan sebagai kewajibannya.
k
D. Perjanjian Sewa-menyewa Kios sebagai Obyek Jaminan Kredit
Masalah jaminan dalam perjanjian membuka kredit merupakan persyaratan mutlak dan harus dipenuhi, hakekat harus tersedianya barang jaminan bagi bank yaitu untuk mendapatkan kepastian atas kredit yang diberikan kepada orang yang berutang dapat diterimanya kembali sesuai dengan persyaratan yang disetujukan dalam perjanjian kredit. Jadi eksistensi jaminan dalam pemberian kredit adalah menghindari risiko dan dengan adanya jaminan bank akan merasa aman atas keselamatan kreditnya jika terjadi wanprestasi (ingkar janji) di pihak debitur, bank akan menjual atau melelang barang yang dijadikan sebagai obyek jaminan tersebut, sebaliknya jika bank mengabaikan persyaratan harus adanya barang jaminan maka dapat dipastikan bank itu menghadapi risiko atas kemungkina
hutangnya.
Praktek perbankan dalam pemberian kredit terlebih dahulu melakukan lima pertimbangan yang lazim dilakukan perbankan adalah character (watak, kepribadian), capital (modal), collateral (jaminan, agunan), capacity (kemampuan) dan conditions of ekonomic. Hal yang sangat krusial dalam pemberian kredit kepada nasabah adalah masalah penilaian jaminan atau agunan menyangkut tentang harta benda milik nasabah debitur atau dapat juga milik pihak ketiga yang merupakan jaminan tambahan dan merupakan jalan terakhir untuk mengamankan kredit perbankan.
Sebenarnya jaminan bukan merupakan hal yang diharuskan, namun secara tersirat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menyebutkan bahwa lembaga jaminan itu penting. Hal ini di sebutkan dalam Pasal 8 ayat (1) : “Dalam memberikan kredit atau Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.”
Sementara Penjelasan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 menyebutkan bahwa kredit mengandung risiko, karenanya untuk mengurangi risiko tersebut maka keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi hutangnya adalah dengan adanya jaminan.