• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Pengetahuan Perawat Tentang Perilaku Asertif Dengan Tingkat Stres Kerja Pada Perawat di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Pengetahuan Perawat Tentang Perilaku Asertif Dengan Tingkat Stres Kerja Pada Perawat di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2012"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN PENGETAHUAN TENTANG PERILAKU ASERTIF DENGAN TINGKAT STRES KERJA PADA PERAWAT

DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Oleh

Mersi Nosiami Gulo

NIM : 111121121

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

(2)
(3)

Judul : Hubungan Pengetahuan Perawat Tentang Perilaku Asertif Dengan Tingkat Stres Kerja Perawat Di RSJD Provsu Tahun 2012

Jurusan : Keperawatan

Nama : Mersi Nosiami Gulo NIM : 111121121

ABSTRAK

Pengetahuan perawat tentang perilaku asertif merupakan pemahaman perawat untuk berperilaku asertif dalam berinteraksi dengan sesamanya. Dalam melaksanakan tugasnya perawat menga lami stres kerja yang dapat mengganggu kondisi emosional, pikiran dan fisik perawat. Perilaku asertif merupakan perilaku yang dapat menurunkan tingkat stres kerja yang dialami perawat di lingkungan kerja. Penelitian ini bertujuan untuk mengindentifikasi hubungan pengetahuan perawat tentang perilaku asertif dengan tingkat stres kerja perawat. Desain penelitian deskriptif korelasi dengan jumlah sampel 30 orang dan menggunakan teknik pengambilan sampel teknik simple random sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan perawat

tentang perilaku asertif dengan tingkat stres kerja perawat (p value = 0,03, p value < 0,05). Semakin baik pengetahuan perawat tentang

perilaku asertif maka stres kerja yang dialami perawat menurun. Diharapkan perawat dapat berperilaku asertif sehingga dapat menciptakan suasana lingkungan kerja yang kondusif dan tingkat stres kerja yang dialami perawat menurun.

(4)

PRAKATA

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang

telah melimpahkan rahmat dan berkat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

penyusunan skripsi ini. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat

dalam menyelesaikan pendidikan Sarjana Keperawatan di Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara Tahun 2012 dengan Judul “ Hubungan Pengetahuan

Perawat Tentang Perilaku Asertif Dengan Tingkat Stres Kerja Pada Perawat di

RSJD PROVSU Medan”.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan

dari berbagai pihak, Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak dr. Dedi Ardinata, M.Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan USU.

2. Ibu Erniyati S.Kp, MNS, Pembantu Dekan I Fakultas Keperawatan USU.

3. Perawat Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu yang telah bersedia menjadi

responden dalam penelitian ini.

4. Ibu Sri Eka Wahyuni S.Kep, Ns, M.Kep selaku pembimbing yang telah

meluangkan waktu untuk memberikan pengarahan, bimbingan maupun saran

serta dorongan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Ibu Lufthiani S.Kep,Ns, M.Kes selaku penguji I dan Ibu Mahnum L Nasution

S.Kep,Ns, M.Kep selaku penguji II yang telah memberikan masukan dalam

penyelesaian skripsi ini.

6. Bapak dan Ibu Dosen beserta staf Fakultas Keperawatan USU yang telah

(5)

7. Teristimewa kepada kedua orang tua penulis Reminudin Gulo dan Filiami

Hia serta keluarga besarku yang telah memberikan dukungan moril maupun

materil dan senantiasa memberikan doa yang tulus untuk penulis. Kepada

adik-adikku tersayang Ratna, Fendi, Meiman dan Lauren yang senantiasa

memberikan dukungan untuk penulis.

8. Formerly Kristian Gulo S.Fam,Apt yang selalu memberikan motivasi dan

saran kepada penulis.

9. Iren Ginting dan Ahmad Husein yang menjadi teman konsul Penulis.

10. Teman-teman S1 Keperawatan Ekstensi Sore yang telah memberikan

semangat dan masukan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

Menyadari penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari

kesempurnaan, baik dari segi penulisan maupun tata bahasa, maka dengan

kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik serta masukan dari semua

pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis mengucapkan terima

kasih dan harapan penulis semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Januari 2013 Penulis

(6)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN ABSTRAK

PRAKATA ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL... v

DAFTAR SKEMA... vi

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang ... 1

2. Rumusan Masalah ... 5

3. Tujuan Penelitian ... 6

4. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1Pengertian Perilaku ... 8

2.2Perilaku Asertif ... 9

2.3Pengetahuan ... 14

2.4 Stres Kerja... 21

BAB III KERANGKA KONSEP 3.1Kerangka Konsep ... 28

3.2Defenisi Operasional ... 29

3.3Hipotesis... 30

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1Desain Penelitian ... 31

4.2Populasi dan Sampel... 31

4.3Lokasi dan Waktu Penelitian ... 32

4.4Pertimbangan Etik ... 33

4.5Instrument Penelitian dan Pengukuran Validitas-Reliabilitas ... 33

4.6Rencana Pengumpulan Data ... 35

(7)

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian ... 37

5.2 Pembahasan ... 41

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

6.1 Kesimpulan... 50

6.2 Rekomendasi ... 51

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

1. Instrumen Penelitian

2. Hasil Uji reliabilitas instrument

3. Hasil Uji penelitian

4. Surat Izin Survey Awal

5. Surat Izin Pengambilan Data

6. Lembar Persetujuan Konsul

(8)

DAFTAR SKEMA

(9)

DAFTAR TABEL

1.

Tabel 3.1 Defenisi Operasional... 29

2.

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden... 38

3.

Tabel 5.2 Distribusi Frekue nsi Pengetahuan Perawat tentang

Perilaku Asertif di RSJD Provsu... 39

4. Tabel 5.3 Distribusi Frekue nsi Tingkat Stres Kerja Perawat di

RSJD Provsu... 39

5. Tabel 5.4 Hubungan Pengetahuan Perawat Tentang Perilaku

Asertif Dengan Tingkat Stres Kerja Perawat di RSJD

(10)

Judul : Hubungan Pengetahuan Perawat Tentang Perilaku Asertif Dengan Tingkat Stres Kerja Perawat Di RSJD Provsu Tahun 2012

Jurusan : Keperawatan

Nama : Mersi Nosiami Gulo NIM : 111121121

ABSTRAK

Pengetahuan perawat tentang perilaku asertif merupakan pemahaman perawat untuk berperilaku asertif dalam berinteraksi dengan sesamanya. Dalam melaksanakan tugasnya perawat menga lami stres kerja yang dapat mengganggu kondisi emosional, pikiran dan fisik perawat. Perilaku asertif merupakan perilaku yang dapat menurunkan tingkat stres kerja yang dialami perawat di lingkungan kerja. Penelitian ini bertujuan untuk mengindentifikasi hubungan pengetahuan perawat tentang perilaku asertif dengan tingkat stres kerja perawat. Desain penelitian deskriptif korelasi dengan jumlah sampel 30 orang dan menggunakan teknik pengambilan sampel teknik simple random sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan perawat

tentang perilaku asertif dengan tingkat stres kerja perawat (p value = 0,03, p value < 0,05). Semakin baik pengetahuan perawat tentang

perilaku asertif maka stres kerja yang dialami perawat menurun. Diharapkan perawat dapat berperilaku asertif sehingga dapat menciptakan suasana lingkungan kerja yang kondusif dan tingkat stres kerja yang dialami perawat menurun.

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Keperawatan adalah pelayanan sosial yang diberikan oleh perawat

terhadap individu, keluarga dan masyarakat yang mempunyai masalah

kesehatan. Pelayanan yang diberikan adalah upaya mencapai derajat kesehatan

seoptimal mungkin sesuai dengan potensi yang dimiliki dalam menjalankan

kegiatan dibidang promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif dengan

menggunakan proses keperawatan yang dilaksanakan oleh tenaga keperawatan

bekerja sama dengan petugas kesehatan lainnya dalam mencapai derajat

kesehatan yang optimal. Keperawatan jiwa merupakan sebagian dari

penerapan ilmu tentang perilaku manusia, psikososial, biopisik dan teori- teori

kepribadian dimana penggunaan diri perawat itu sendiri secara terapeutik

sebagai alat atau instrumen yang digunakan dalam memberikan asuhan

keperawatan (Erlinafsiah, 2010).

Perawatan psikiatrik menurut American Nurses Associations (ANA)

merupakan area khusus dalam praktek keperawatan yang menggunakan ilmu

tingkah laku manusia sebagai dasar dan menggunakan diri sendiri secara

terapeutik dalam meningkatkan, mempertahankan, memulihkan kesehatan

mental klien dan kesehatan mental masyarakat dimana klien berada (Yosep,

(12)

Perawat jiwa berperan sebagai pemberi asuhan keperawatan yang dapat

dilakukan dengan mempertahankan keadaan kebutuhan dasar manusia yang

dibutuhkan melalui pemberian pelayanan keperawatan dengan menggunakan

proses keperawatan sehingga dapat ditentukan diagnosa keperawatan agar bisa

direncanakan dan dilaksanakan tindakan yang tepat sesuai dengan kebutuhan

manusia, kemudian dapat dievaluasi tingkat perkembangannya. Selain itu

perawat berperan sebagai advokat, edukator, koordinator, kolaborator dan

konsultan (Imron, 2010).

Dalam menjalankan perannya perawat mengalami stres. Stres adalah salah

satu bahaya psikologis di tempat kerja di zaman modern saat ini. Menurut

hasil survei dari PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia) tahun 2006,

sekitar 50,9% perawat yang bekerja di empat provinsi di Indonesia mengalami

stres. Selain itu American National Association for Occupational Safety

menempatkan kejadian stress pada perawat berada di urutan paling atas pada

empat puluh pertama kasus stres pada pekerja (Wahyu, 2009)

Penelitian yang dilakukan The National Institute Occupational Safety and Health (NIOSH) menunjukkan bahwa pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan rumah sakit atau kesehatan memiliki kecenderungan tinggi untuk

terkena stres kerja atau depresi. Pada penelitian yang dilakukan pada

perawat-perawat yang bekerja di rumah sakit jiwa, Dawkins dkk 1998, dalam Rahman

(2010) melacak enam kategori stresor pada perawat jiwa, yaitu karakteristik

pasien yang negatif, masalah pengorganisasian administrasi, keterbatasan

(13)

Penelitian yang dilakukan Kusumawati (2008) tentang Stres Perawat di

Instalasi Rawat Inap RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang didapati

bahwa gejala ya ng timbul pada stres perawat dalam penanganan pasien

dengan perilaku kekerasan yang dijumpai di rumah sakit jiwa meliputi sedih,

menghindar, emosi, marah, kelelahan, lebih waspada, intonasi suara jadi

tinggi, berpikir tidak realistis, dan khawatir.

Penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya

menunjukkan bahwa dari 60,98% perawat mengalami stres kerja yang tinggi.

Hal ini disebabkan lingkungan kerja, beban kerja perawat dan ancaman

serangan ditempat kerja (Ade, 2010)

Banyak perilaku yang dapat memicu atau mempertahankan respons

terhadap stres. Perubahan lama dan menggantinya dengan perilaku yang baru

dan tepat akan membantu menyelesaikan masalah yang menyebabkan stres.

Keterampilan berperilaku asertif adalah perilaku untuk merasakan dan

mengekspresikan emosi, dan pendapat. Keasertifan diri bukanlah sikap pasif

yang memperkuat persetujuan atau penolakan dan juga bukan sikap agresif

yang dapat mengintimidasi orang lain (National safety Council, 2003)

Menurut Sukaji (1983) dalam Fitri (2009) perilaku asertif adalah perilaku

seseorang dalam hubungan antar pribadi yang menyangkut ekspresi emosi

yang tepat, jujur, relatif terus terang dan tanpa perasaan cemas terhadap orang

lain. Perilaku asertif merupakan perilaku seseorang dalam mempertahankan

hak pribadi serta mampu mengekspresikan pikiran, perasaan, dan keyakinan

(14)

perilaku antar pribadi yang bersifat jujur dan terus terang dalam

mengekspresikan pikiran dan perasaan dengan me mpertimbangkan pikiran

dan kesejahteraan orang lain.

Menurut Notoadmojo (2003) dalam Umiyati (2009) pengetahuan

merupakan bagian dari perilaku manusia yakni ungkapan apa yang diketahui

atau hasil dalam pekerjaan. Pengetahuan mempunyai andil yang cukup besar

terhadap pembentukan perilaku, khususnya perilaku asertif sehingga perilaku

asertif seseorang berhubungan dengan apa yang diketahui tentang asertif dan

menjadikan hasil yakni perilaku asertif.

Hasil penelitian yang dilakukan Ratih (2009) di RSUD dr. Djoeham

Binjai menunjukkan bahwa pengetahuan perawat tentang perilaku asertif

dalam kategori cukup 68,3 %. Hal ini disebabkan pemahaman perawat tentang

perilaku asertif masih belum baik karena beranggapan bahwa perilaku asertif

bertujuan untuk membuat orang lain senang.

Sebuah penelitian deskriptif dilakukan di Minnesota (AS) untuk

menentukan tingkat ketegasan dari perawat profesional dan untuk menentukan

apakah tingkat ketegasan terkait dengan faktor- faktor demografi berdasarkan

usia, jenis kelamin, pengalaman kerja, tingkat pendidikan dan pelatihan

sebelumnya. Sampel terdiri dari 500 perawat terdaftar (tingkat respons 64%),

yang dipilih secara acak. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa Perawat

terlatih dengan tingkat pendidikan tertinggi secara signifikan lebih asertif

daripada perawat yang belum terlatih dan pendidikan masih rendah (Roger,

(15)

Hasil penelitian yang dilakukan J Nurs Manag (2007) tentang Pengaruh Pelatihan Berbasis Web Pernyataan Untuk Manajemen Stres Perawat Jepang

menunjukkan bahwa pernyataan pengetahuan dan perilaku sukarela dalam

asertif selama pelatihan meningkat dan stres kerja menurun sekitar 65,9 %.

Sebuah penelitian yang dilakukan Kristianingsih (2008) yang

mengidentifikasi Hubungan Antara Perilaku Asertif dengan Stres Kerja pada Perawat di Rumah Sakit Umum Magetan dan Rumah Sakit Griya Husada Madiun, diperoleh hubungan yang berkorelasi negatif antara stres dengan perilaku asertif yaitu semakin seorang perawat berperilaku asertif maka stres

kerjanya akan semakin rendah.

Berdasarkan hasil wawancara kepada 10 orang perawat di RSJD Provsu

Medan menunjukkan bahwa 7 orang perawat mengalami stres kerja yang

disebabkan komunikasi yang kurang antar sesama perawat, kelelahan, suasana

kerja yang tidak mendukung, kebosanan dan beban kerja. Dari 3 orang

perawat mengatakan bahwa mereka bisa mengatasi stres yang mereka alami

dengan cara menghargai sesama perawat dan menerima apa yang menjadi

tanggung jawab mereka. Berdasarkan hal diatas peneliti tertarik untuk meneliti

tentang hubungan pengetahuan perawat tentang perilaku asertif dengan tingkat

stres kerja pada perawat di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara

(16)

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah pada penelitian

ini adalah Bagaimana hubungan pengetahuan perawat tentang perilaku asertif

dengan tingkat stres kerja pada perawat di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi

Sumatera Utara ?

3. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Untuk mengidentifikasi hubungan pengetahuan perawat tentang perilaku

asertif dengan tingkat stres pada perawat di Rumah Sakit Jiwa Daerah

Provinsi Sumatera Utara Tahun 2012.

2. Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi pengetahuan perawat tentang perilaku asertif di

Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.

2. Mengidentifikasi tentang stres kerja pada perawat Rumah Sakit Jiwa

Daerah Provinsi Sumatera.

3. Mengidentifikasi hubungan pengetahuan perawat tentang perilaku

asertif dengan tingkat stres pada perawat di Rumah Sakit Jiwa Daerah

(17)

4. Manfaat Penelitian

1. Praktek Keperawatan

Bagi institusi diharapkan dapat mendukung pengetahuan perawat tentang

perilaku asertif perawat seperti pelatihan dan seminar. Dapat menjadi

seorang yang asertif bukan hal yang mudah namun perilaku asertif bisa

dipelajari dan diharapkan pemahaman akan perilaku asertif sehingga

memberikan kontribusi terciptanya suasana kerja yang diinginkan perawat.

2. Pendidikan Keperawatan

Memberikan masukan kepada institusi pendidikan keperawatan sehingga

dapat memberikan pemahaman konsep perilaku asertif.

3. Penelitian keperawatan

Dengan dilakukannya penelitian diharapkan hasilnya dapat memberikan

informasi yang penting mengenai perilaku asertif perawat dan tingkat stres

kerja pada perawat dan diharapkan menjadi sumber data yang berguna

untuk melihat pengaruh perilaku asertif terhadap tingkat stres kerja

(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Perilaku

Menurut Skinner seorang ahli psikologi merumuskan bahwa perilaku

merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari

luar). Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus

terhadap organisme dan kemudian organisme merespon (Notoadmojo, 2003).

Berdasarkan teori Skinner maka perilaku dibedakan menjadi dua, yaitu :

a. Perilaku tertutup (covert behaviour)

Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung

atau tertutup(covert). Respons atau reaksi terhadap stimulus ini masih

terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan, dan sikap yang terjadi

pada orang yang menerima stimulus tersebut dan belum diamati secara

jelas oleh orang lain.

b. Perilaku terbuka (overt behavior)

Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata

atau terbuka.Respons terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam

bentuk tindakan atau praktek yang dengan mudah dapat diamati atau

(19)

Perilaku Asertif

Keasertifan diri didefenisikan sebagai suatu kemampuan untuk berkeinginan

kuat merasa nyaman dengan pikiran, perasaan dan tindakan kita, tidak

menghambat juga tidak membuat tindakan yang agresif, untuk memperbaiki diri

sendiri di dalam lingkungan. Keasertifan diri telah menjadi fokus utama dalam

mengubah perilaku yang berkaitan dengan stres. Keasertifan adalah salah satu dari

tiga gaya umum perilaku manusia, yang terletak diantara perilaku pasif dan

perilaku agresif (National Safety Council, 2003).

Perilaku asertif adalah kemampuan untuk mengemukakan pikiran, perasaan,

pendapat secara langsung, jujur dan dengan cara yang tepat dan sesuai dalam

penyampaiannya yaitu tidak menyakiti atau merugikan diri sendiri maupun orang

lain. Beberapa aspek dari perilaku asertif, yaitu berusaha mencapai tujuan,

kemampuan mengungkapkan perasaan, menyapa atau memberi salam kepada

orang lain, menampilkan cara yang efektif dan jujur, menanyakan alasan,

berbicara mengenai diri sendiri, menghargai pujian dari orang lain, penolakan,

menatap lawan bicara, dan respon melawan rasa takut (Retnaningsih, 2007).

2.1.2 Pendekatan dalam Membangun Perilaku Asertif

Dalam membangun assertivitas terdapat beberapa pendekatan yang

dapat ditempuh. Salah satunya adalah Formula 3 A, yang terangkai dari tiga

kata Appreciation, Acceptance, Accommodating.

(20)

atas apa yang terjadi pada diri mereka. Mereka pun seperti kita, tetap

membutuhkan perhatian orang lain. Dengan demikian, agar mereka mau

memperhatikan, memahami, dan menghargai diri kita, maka sebaiknya kita

mulai dengan terlebih dahulu menunjukkan perhatian, pemahaman dan

penghargaan kepada mereka.

Acceptance adalah perasaan mau menerima, memberikan arti sangat positif terhadap perkembangan kepribadian seseorang, yaitu menjadi pribadi

yang terbuka dan dapat menerima orang lain sebagaimana keberadaan diri

mereka masing- masing. Dalam hal ini, kita tidak memiliki tuntutan

berlebihan terhadap perubahan sikap atau perilaku orang lain (kecuali yang

negatif) agar ia mau berhubungan dengan mereka. Tidak memilih- milih

orang dalam berhubungan dengan tidak membatasi diri hanya pada

keselarasan tingkat pendidikan, status sosial, suku, agama, keturunan, dan

latar belakang lainnya.

Accomodating. Menunjukkan sikap ramah kepada semua orang, tanpa terkecuali, merupakan perilaku yang sangat positif. Keramahan senantiasa

memberikan kesan positif dan menyenangkan kepada semua orang yang kita

jumpai. Keramahan membuat hati kita senantiasa terbuka, yang dapat

mengarahkan kita untuk bersikap akomodatif terhadap situasi dan kondisi

yang kita hadapi, tanpa meninggalkan kepribadian kita sendiri. Dalam

artian, kita dapat memperlihatkan toleransi dengan penuh rasa hormat,

namun bukan berarti kita jadi ikut lebur dalam pandangan orang lain,

(21)

sekali untuk diperhatikan agar kita mampu menempatkan diri secara benar

di tengah khalayak luas, sekaligus membina saling pengertian dengan

banyak orang (Managing Partner The Jakarta Consulting Group, 2006).

2.1.2 Unsur-unsur Perilaku Asertif

Perilaku asertif perawat terdiri dari dua unsur yakni verbal dan non

verbal. Unsur verbal meliputi menyatakan tidak atau menyatakan sikap,

meminta bantuan atau mempertahankan hak dan mengungkapkan perasaan.

Sedangkan unsur non verbal mencakup kekerasan suara/volume suara,

kelancaran mengatakan kata-kata, kontak mata, ungkapan wajah, ungkapan

tubuh dan jarak pada saat berinteraksi (Lowry, 2009).

2.1.3 Keterampilan Perawat Bersikap Asertif

a. Belajar berkata “tidak” : mengajarkan untuk berkata tidak jika tidak

sanggup memikul tanggung jawab tambahan, tanpa harus merasa

bersalah atau merasa telah melukai perasaan orang lain.

b. Belajar cara menggunakan pernyataan “saya” : membantu untuk

mengklaim kepemilikan pikiran, perasaan, pendapat, persepsi dan

keyakinan.

c. Menggunakan kontak mata. Tidak adanya kontak mata akan dipandang

orang sebagai pengungkapan ketidakjujuran atau ketidaknyamanan

dengan apa yang anda ucapkan. Kontak mata sering kali sulit dilakukan

(22)

terutama jika anda merasa takut ditolak.pelatihan bersikap asertif

mendorong anda untuk melakukan kontak mata ketika mengungkapkan

pikiran, perasaan dan pendapat kepada orang lain.

d. Menggunakan bahasa tubuh yang asertif. Cara berdiri dan

memposisikan tangan, kaki, dan tubuh dapat memperkuat atau justru

memperlemah pesan anda.

e. Melakukan penolakan secara damai. Apabila pendapat dan fakta

disampaikan dengan tenang, semua sudut pandang dapat tergambar

dalam proses pembuatan keputusan sehingga penolakan tersebut

dianggap sehat.

f. Menghindari manipulasi.

g. Mencoba berespons bukan bereaksi. Belajar merespons sebuah situasi

berarti meluangkan waktu untuk memikirkan respons yang sesuai

dengan situasi saat itu dan menggunakannya.

2.1.4 Ciri-ciri Perawat Asertif

Fensterheim dan Baer (1980) berpendapat seseorang dikatakan

mempunyai sikap asertif apabila mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

a. Bebas mengemukakan pikiran dan pendapat, baik melalui kata-kata

maupun tindakan.

b. Dapat berkomunikasi secara langsung dan terbuka.

c. Mampu memulai, melanjutkan dan mengakhiri suatu pembicaraan

(23)

d. Mampu menolak dan menyatakan ketidaksetujuannya terhadap

pendapat orang lain, atau segala sesuatu yang tidak beralasan dan

cenderung bersifat negatif.

e. Mampu mengajukan permintaan dan bantuan kepada orang lain ketika

membutuhkan.

f. Mampu menyatakan perasaan, baik yang menyenangkan maupun yang

tidak menyenangkan dengan cara yang tepat.

g. Memiliki sikap dan pandangan yang aktif terhadap kehidupan.

h. Menerima keterbatasan yang ada di dalam dirinya dengan tetap

berusaha untuk mencapai apa yang diinginkannya sebaik mungkin,

sehingga baik berhasil maupun gagal ia akan tetap memiliki harga diri

(self esteem) dan kepercayaan diri (self confidence).

2.1.5 Teknik-teknik bertindak asertif a. Memberikan umpan balik.

b. Meminta umpan balik dari orang lain.

c. Menentukan batasan.

d. Membuat permintaan.

e. Berlaku persisten.

f. Mengabaikan provokasi

(24)

2.1.6 Kategori perilaku asertif

Prinsip dan bentuk asertif antara lain:

a. Pada prinsipnya asertif adalah kecakapan orang untuk berkata tidak,

untuk meminta bantuan atau minta tolong orang lain.

b. Kecakapan untuk mengekspresikan perasaan-perasaan positif maupun

negative.

c. Kecakapan untuk melakukan inisiatif dan memulai pembicaraan.

Ada 3 kategori perilaku asertif yaitu :

a. Asertif penolakan yaitu ucapan untuk memperhalus, seperti misalnya :

maaf.

b. Asertif pujian yaitu mengekspresikan perasaan positif, seperti misalnya

menghargai, menyukai, mencintai, mengagumi, memuji dan

bersyukur.

c. Asertif permintaan yaitu asertif yang terjadi kalau seseorang meminta

orang lain melakukan sesuatu yang memungkinkan kebutuhan atau

tujuan seseorang tercapai tanpa tekanan atau paksaan.

2.2 Pengetahuan

Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang

melakukan pengindraan terhadap obyek tertentu. Penginderaan terhadap

obyek terjadi melalui panca indra manusia, yakni: penglihatan, pendengaran,

penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh

(25)

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam

membentuk tindakan seseorang (Overt Behavior)

Proses Adopsi Perilaku

Penelitian Rogers (1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang

mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), di dalam diri orang tersebut

terjadi proses yang berurutan yakni :

a. Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti

mengetahui stimulus terlebih dahulu.

b. Interest yakni orang mulai tertarik kepada stimulus

c. Evaluation ( menimbang- nimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut

bagi dirinya). Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.

d. Trial ,Orang telah mulai mencoba perilaku baru.

e. Adoption, Subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,

kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.

Apabila penerimaan perilaku baru melalui proses seperti ini didasari

oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif maka perilaku

tersebut akan bersifat langgeng( Long lasting). Sebaliknya apabila

perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak

(26)

2.2.2 Tingkat Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2007) pengetahuan yang tercakup dalam domain

kognitive mempunyai 6 tingkatan:

1. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah

mengingat kembali sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang

dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.

2. Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan

secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat

menginterprestasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah

paham terhadap obyek atau materi harus dapat menjelaskan,

menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya

terhadap obyek yang dipelajari.

3. Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi

yang telah dipelajari pada suatu situasi atau kondisi sebenarnya (real). Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan

hukum- hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks

atau situasi yang lain. Misalnya penggunaan rumus statis dalam

(27)

4. Analisis (Analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau

suatu metode kedalam komponen-komponen, tetapi masih didalam

struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain.

Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja,

seperti dapat menggambarkan, memisahkan, mengelompokkan, dan

sebagainya.

5. Sintesis (Syntesis)

Sintesis menunjukkan kepada sesuatu kemampuan untuk meletakkan

atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan

yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk

menyusun formulasi baru dari formulasi- formulasi yang ada.

6. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justification

atau penilaian terhadap suatu materi atau obyek. Penilaian-penilaian

tersebut didasarkan pada suatu kriteria-kriteria yang telah ada.

2.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan dalam Diri Seseorang 1. Pendidikan

Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan

kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup.

Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan

(28)

Dengan pendidikan tinggi maka seseorang akan cenderung untuk

mendapatkan informasi, baik dari orang lain maupun dari media massa.

Semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak pula

pengetahuan yang didapat tentang kesehatan. Pengetahuan sangat erat

kaitannya dengan pendidikan dimana diharapkan seseorang dengan

pendidikan tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas pula

pengetahuannya. Namun perlu ditekankan bahwa seorang yang

berpendidikan rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah pula.

Peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh di pendidikan formal,

akan tetapi juga dapat diperoleh pada pendidikan non formal.

Pengetahuan seseorang tentang sesuatu obyek juga mengandung dua

aspek yaitu aspek positif dan negatif. Kedua aspek inilah yang akhirnya

akan menentukan sikap seseorang terhadap obyek tertentu. Semakin

banyak aspek positif dari obyek yang diketahui, akan menumbuhkan

sikap makin positif terhadap obyek tersebut .

2. Informasi

Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun non

formal dapat memberikan pengaruh jangka pendek (immediate impact)

sehingga menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan.

Majunya teknologi akan tersedia bermacam- macam media massa yang

dapat mempengaruhi pengetahuan masyarakat tentang inovasi baru.

Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi,

(29)

terhadap pembentukan opini dan kepercayan orang. Dalam penyampaian

informasi sebagai tugas pokoknya, media massa membawa pula

pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang.

Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan

kognitif baru bagi terbentuknya pengetahuan terhadap hal tersebut.

3. Sosial budaya dan ekonomi

Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa melalui

penalaran apakah yang dilakukan baik atau buruk. Dengan demikian

seseorang akan bertambah pengetahuannya walaupun tidak melakukan.

Status ekonomi seseorang juga akan menentukan tersedianya suatu

fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan tertentu, sehingga status sosial

ekonomi ini akan mempengaruhi pengetahuan seseorang.

4. Lingkungan

Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar individu, baik

lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh

terhadap proses masuknya pengetahuan ke dalam individu yang berada

dalam lingkungan tersebut. Hal ini terjadi karena adanya interaksi timbal

balik ataupun tidak yang akan direspon sebagai pengetahuan oleh setiap

individu.

5. Pengalaman

Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk

memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali

(30)

masa lalu. Pengalaman belajar dalam bekerja yang dikembangkan

memberikan pengetahuan dan keterampilan profesional serta pengalaman

belajar selama bekerja akan dapat mengembangkan kemampuan

mengambil keputusan yang merupakan manifestasi dari keterpaduan

menalar secara ilmiah dan etik yang bertolak dari masalah nyata dalam

bidang kerjanya.

6. Usia

Usia mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang.

Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap

dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin

membaik. Pada usia madya, individu akan lebih berperan aktif dalam

masyarakat dan kehidupan sosial serta lebih banyak melakukan persiapan

demi suksesnya upaya menyesuaikan diri menuju usia tua, selain itu

orang usia madya akan lebih banyak menggunakan banyak waktu untuk

membaca. Kemampuan intelektual, pemecahan masalah, dan kemampuan

(31)

2.3 Stres Kerja

Stres merupakan ketidakmampuan mengatasi ancaman yang dihadapi oleh

mental, fisik, emosional, dan spiritual manusia yang pada suatu saat dapat

mempengaruhi kesehatan fisik manusia (National Safety Council, 2003).

Stres kerja adalah suatu proses yang menyebabkan orang merasa sakit,

tidak nyaman atau tegang karena pekerjaan, tempat kerja atau situasi kerja

yang tertentu (Dadang, 2006).

Stres kerja juga merupakan penentu penting timbulnya depresi, penyebab

keempat terbesar timbulnya penyakit di seluruh dunia. Bukan suatu hal yang

mustahil jika pada kurun waktu tertentu muncul stres, karena apa yang

dikerjakan nampak sia-sia atau tidak menghasilkan sesuatu yang berarti bagi

dirinya maupun orang lain. Terlebih lagi, jika kondisi ini dibarengi dengan

faktor eksternal lainnya, seperti kurang mendapat penghargaan, tuntutan

pengembangan diri kurang, situasi lingkungan kerja yang kurang kondusif,

dan lainnya. Semakin tuntutan yang tidak terpenuhi, semakin meningkat

kualitas stres yang dihadapi (Hadi, 2011).

2.3.2 Sumber Stres Kerja dalam Keperawatan

Menurut Abraham C. dan Shanley F. (1997) sumber stres dalam

keperawatan meliputi :

a. Beban kerja berlebihan, misalnya merawat terlalu banyak pasien,

(32)

merasa tidak mampu memberi dukungan yang dibutuhkan teman sekerja

dan menghadapi masalah keterbatasan tenaga.

b. Kesulitan menjalin hubungan dengan staf yang lain, misalnya

mengalami konflik dengan teman sejawat, mengetahui orang lain tidak

menghargai sumbangsih yang dilakukan dan gagal membentuk tim kerja

dengan staf.

c. Kesulitan terlibat dalam merawat pasien kritis, misalnya kesulitan

menjalankan peralatan yang belum dikenal, mengelola prosedur atau

tindakan baru dan bekerja dengan dokter yang menuntut jawaban dan

tindakan cepat.

d. Berurusan dengan pengobatan/perawatan pasien misalnya bekerja

dengan dokter yang tidak memahami kebutuhan sosial dan emosional

pasien, terlibat dalam ketidaksepakatan pada program tindakan, merasa

tidak pasti sejauh mana harus memberi informasi pada pasien atau

keluarga dan merawat pasien yang sulit atau tidak kerja sama.

e. Merawat pasien yang gagal untuk membaik misalnya pasien lansia,

pasien yang nyeri kronis dan yang meninggal selama dirawat.

(Sunaryo,2004).

2.3.3 Gejala-gejala stres kerja

Gejala-gejala stres mencakup sisi mental, sosial dan fisik. Hal- hal ini

(33)

kepala, sering menangis, sulit tidur, perasaan was-was, frustasi dan

lain-lain.

Gejala-gejala terhadap stres dibagi menjadi menjadi empat bagian :

a. Fisik, meliputi sakit kepala, jantung berdebar-debar, lidah menjadi

kelu, kehilangan nafsu makan, sulit tidur, berkeringat secara

berlebihan, kaku dibagian dada, leher dan punggung bagian

belakang, diare, sembelit, sulit konsentrasi dan mudah merasa lelah.

b. Emosi, meliputi mudah marah, cemas, pencemburu, kurang istirahat,

tidak sabaran, mudah menangis, tidak punya inisiatif,

menyendiri,banyak pikiran, dan tidak memiliki refleksi respons

emosi yang positif. Kondisi ini dipicu karena ketidakstabilan hormon

didalam tubuh.

c. Kognitif, contohnya pelupa, khawatir berlebihan, tidak fokus, kurang

kreatif, sulit berpikir dan berpikiran negatif.

d. Lingkungan, contohnya menarik diri dari lingkungan dan tidak

peduli. (Wulandari,2010).

2.3.4 Tahapan Stres Kerja

Menurut Van Amberg (1979) sebagaimana dikemukakan oleh Hawari

(2001) bahwa tahapan stress adalah sebagai berikut:

a. Stres Tahap Pertama (paling ringan), yaitu stres yang disertai dengan

(34)

pekerjaan tanpa memperhitungkan tenaga yang dimiliki dan penglihatan

menjadi tajam.

b. Stres Tahap kedua, yaitu stres yang disertai keluhan, seperti bangun pagi

badan tidak terasa segar dan merasa letih, lekas capek pada saat

menjelang sore hari, lambung atau perut tidak nyaman, jantung berdebar,

otot tengkuk dan punggung menjadi tegang. Hal ini disebabkan karena

cadangan tenaga yang tidak memadai.

c. Stres tahap ketiga, yaitu tahapan stres dengan keluhan, seperti defekasi

yang tidak teratur, otot semakin tegang, emosional, insomnia, mudah

terjaga dan sulit untuk tidur kembali, bangun terlalu pagi, koordinasi

tubuh terganggu dan mau jatuh pingsan.

d. Stres tahap keempat, yaitu tahapan stres dengan keluhan, seperti tidak

mampu bekerja sepanjang hari (loyo), aktivitas pekerjaan terlalu sulit dan

menjenuhkan, kegiatan rutin terganggu, dan gangguan pada pola tidur,

sering menolak ajakan, konsentrasi dan daya ingat menurun, serta dapat

menimbulkan ketakutan serta kecemasan.

e. Stres tahap kelima, yaitu tahapan stres yang ditandai dengan kelelahan

secara fisik dan mental, ketidakmampuan menyelesaikan pekerjaan yang

sederhana dan ringan, gangguan pencernaan berat, meningkatnya rasa

takut dan cemas, bingung dan panik.

f. Stres tahap keenam, yaitu tahapan stres dengan tanda-tanda seperti

jantung berdebar keras, sesak nafas, badan gemetar, dingin dan keluar

(35)

2.3.5 Akibat Stres Kerja a. Kelelahan akibat kerja

Meliputi kelelahan fisik, emosional, dan mental yang disebabkan oleh

adanya keterlibatan dalam waktu yang lama dengan situasi yang

menuntut secara emosional. Misalnya sedih tanpa sebab, bingung,

kehilangan orientasi, mudah marah, hilangnya kepedulian atau

kesabaran, mudah sinis, gangguan somatis atau fisik berupa sakit kepala,

sakit kepala, sakit sendi, gangguan perut, dan lain- lain yang tidak jelas

penyebabnya dan tidak kunjung sembuh.

b. Psikosomatis

Psikosomatis adalah penyakit yang berupa gejala-gejala fisik yang

disebabkan atau diperburuk oleh faktor mental atau psikologis.

Sebenarnya segala penyakit melibatkan reaksi pikiran dan fisik, namun

beberapa penyakit dapat diperburuk oleh faktor mental seperti stres

misalnya penyakit jantung atau tekanan darah tinggi.

c. Trauma

Secara psikologis trauma mengacu pada pengalaman yang mengagetkan

dan menyakitkan yang melebihi situasi stres yang dialami manusia dalam

kondisi wajar.

d. Trauma sekunder

Trauma sekunder adalah gejala trauma yang dapat dialami oleh orang

(36)

e. Kelelahan kepedulian

Merupakan kelelahan emosional disebabkan karena empati dan

kepedulian yang terus-menerus sebagai tuntutan dan sifat pekerjaan yang

terus menerus harus memperhatikan orang lain. Orang yang mengalami

kelelahan kepedulian biasanya cenderung mengalami kelelahan fisik

yang sangat, perasaan tak berdaya, sedih tanpa sebab, bingung dan

perasaan bersalah yang terus- menerus karena tidak bisa membantu orang

lain ya ng memerlukan bantuan (Wulandari, 2010).

2.3.6 Penanganan Stres Kerja

Stres sebenarnya tidak selalu buruk dan merupakan bagian normal dari

kehidupan sehari- hari. Stres merupakan motivasi yang dibutuhkan

seseorang untuk aktif karena merupakan suatu energi. Namun, stres dapat

menimbulkan perasaan tidak nyaman jika seseorang tidak mampu

menanganinya. Cara penanganan stres kerja yang dialami adalah :

a. Merencanakan dengan baik aktivitas : apa, mengapa, bagaimana,

kapan dan siapa yang bertanggung jawab terhadap tugas-tugas yang

akan dikerjakan.

b. Membangun iklim kerja yang menyenangkan yaitu dengan bersikap

terbuka dan berkomunikasi dengan sesama rekan kerja.

c. Mengerti terhadap tugas dan tanggung jawab, serta tidak ragu untuk

bertanya.

d. Melakukan beberapa kali istrahat untuk beberapa menit selama

(37)

e. Memiliki sikap toleransi kepada sesama rekan kerja.

f. Mendelegasikan sebagian tanggung jawab kepada rekan kerja

g. Mempertahankan semangat tim kerja.

h. Menyediakan lingkungan kerja yang baik, meminimalkan

gangguan-gangguan seperti suara, ventilasi, cahaya dan suhu.

i. Berolahraga secara teratur.

j. Melakukan meditasi. Para ahli kesehatan mengatakan bahwa alat yang

sangat ampuh dalam mengatasi stres adalah meditasi. Meditasi sangat

membantu membersihkan pikiran kita dan meningkatkan konsentrasi.

(38)

BAB III

KERANGKA PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian adalah suatu uraian dan visualisasi hubungan

atau kaitan antara konsep yang satu terhadap konsep yang lainnya atau antara

variabel yang satu dengan variabel yang lain dari masalah yang ingin diteliti

(Notoadmojo, 2010).

Kerangka konsep ini menjelaskan dugaan bahwa ada hubungan diantara

dua variabel yakni variabel independen, pengetahuan perawat tentang

perilaku asertif dan variabel dependen, tingkat stres kerja perawat.

Skema 3.1 : Hubungan Pengetahuan Perawat Tentang Perilaku Asertif

dengan Tingkat Stres Kerja Pada Perawat di RSJD

PROVSU Medan

Pengetahuan Perawat tentang perilaku asertif :

1. Pendekatan dalam membangun asertif

2. Unsur-unsur perilaku asertif 3. Keterampilan bersikap asertif 4. Ciri-ciri perawat asertif

5. Teknik-teknik bertindak asertif 6. Kategori perilaku asertif

(39)

3.2 Defenisi Operasional

Variabel Defenisi operasional Alat Ukur Hasil ukur Skala

Pengetahuan

Perawat

tentang

perilaku

asertif

Segala informasi yang

diketahui dan dipahami

perawat di RSJD Provsu

tentang perilaku asertif

yang meliputi :

pendekatan dalam

membangun asertif,

unsur-unsur perilaku

asertif, keterampilan

bersikap asertif, ciri-ciri

perawat asertif,

teknik-teknik bertindak asertif

dan kategori perilaku

asertif Kuesioner yang terdiri dari 20 pertanyaan Baik (14-20)

Cukup (7-13)

Rendah (<6)

Ordinal

Tingkat

stres kerja

perawat

Hasil penilaian terhadap

berat ringannya stres

yang dialami perawat di

(40)

3.3 Hipotesis

Ho : Hipotesis yang menyatakan tidak ada hubungan antara variabel yang

satu dengan variabel lainnya.

Ha : Hipotesis yang menyatakan ada hubungan antara variabel yang satu

dengan variabel lainnya

Hipotesa yang akan dibuktikan dalam penelitian ini adalah ada hubungan

antara pengetahuan perawat tentang perilaku asertif dengan tingkat stres kerja

(41)

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah desain deskriptif korelatif yang

digunakan untuk mendeskripsikan pengetahuan perawat tentang perilaku

asertif dan menganalisis hubungan pengetahuan perawat tentang perilaku

asertif dengan tingkat stres kerja perawat di RSJD Provinsi Sumatera Utara.

.

4.2 Populasi dan Sampel 4.2.1 Populasi

Populasi penelitian adalah subjek yang memenuhi kriteria yang

telah ditetapkan (Nursalam, 2008). Populasi dalam penelitian ini adalah

seluruh perawat yang bekerja diruang inap RSJD Provinsi Sumatera Utara

yaitu sebanyak 122 orang.

4.2.2 Sampel

Sampel merupakan bagian populasi atau bagian jumlah dari

karakteristik yang dimiliki populasi. Menurut Arikunto, bila populasi lebih

dari 100, maka pengambilan sampel dapat diambil 10% - 15% atau 20% -

25%. Maka peneliti mengambil 25% dari 122 orang sehingga jumlah

sampel dalam penelitian ini adalah 30 orang. Dengan kriteria inklusi :

- Responden merupakan perawat yang bekerja diruang rawat inap

(42)

- Bersedia menjadi responden

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini

adalah simple random sampling yaitu suatu cara pengambilan sampel dimana tiap unsur yang membentuk populasi diberi kesempatan yang sama

untuk terpilih menjadi sampel, dilakukan dengan cara mengundi anggota

populasi di RSJD Provinsi Sumatera Utara. Peneliti akan mendaftar semua

anggota populasi, kemudian masing- masing anggota populasi diberi

nomor, masing- masing dalam satu kertas kecil-kecil telah diberi nomor

kemudian digulung. Gulungan kertas yang telah berisi nomor- nomor

tersebut, kemudian dimasukkan ke dalam suatu kotak yang digunakan

untuk mengaduk sehingga tempatnya tersusun secara acak. Setelah proses

pengadukan dianggap sudah merata, kemudian peneliti atau orang lain

yang diawasi peneliti, mengambil gulungan kertas satu persatu sampai

diperoleh sejumlah sampel yang diperlukan.

4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian

Pene litian ini diadakan di RSJD Provinsi Sumatera Utara. RSJD Provinsi

Sumatera Utara merupakan rumah sakit jiwa terbesar yang ada di Sumatera

Utara dan menjadi rumah sakit pendidikan bagi mahasiswa yang akan praktek

keperawatan jiwa. Penelitian ini dilaksanakan pada Oktober s/d November

(43)

4.4 Pertimbangan Etik

Prosedur penelitian dilakukan setelah mendapat izin penelitian, kemudian

dilakukan dengan pengumpulan data, menganalisa data, dan menampilkan

data penelitian yang hanya dilakukan untuk kepentingan penelitian. Jika

responden bersedia diteliti maka lebih dahulu menandatangani lembar

persetujuan. Bila responden menolak untuk diteliti maka peneliti tidak akan

memaksa dan tetap menghormati hak responden. Untuk menjaga kerahasiaan

responden pada lembar pengumpulan data yang akan diajukan pada

responden lembar tersebut hanya diberi No. kode responden. Kerahasiaan

informasi yang diberikan di jamin kerahasiaan oleh peneliti (Nursalam,

2001).

4.5 Instrumen Penelitian

4.5.1 Kuesioner Data Demografi

Meliputi umur, jenis kelamin, agama, suku, pendidikan dan lama bekerja.

4.5.2 Kuesioner pengetahuan perawat tentang perilaku asertif

Kuesioner pengetahuan perawat tentang perilaku asertif dengan

berpedoman pada tinjauan pustaka yang meliputi pendekatan dalam

membangun asertif, unsur-unsur perilaku asertif, keterampilan bersikap

asertif, Ciri-ciri perawat asertif, teknik-teknik bertindak asertif dan

kategori perilaku asertif. Kuesioner ini terdiri dari 20 pertanyaan. Jika

(44)

skornya adalah 0. Jadi total skor tertinggi adalah 20 dan skor terendah

adalah 0. Jawaban akan dikategorikan berpengetahuan baik jika skor

diantara (14-20), cukup (7-13) dan rendah (<6).

4.5.3 Kuesioner stres kerja perawat

Kuesioner ini terdiri dari 18 pertanyaan berisi tentang stres kerja

pada perawat yang disesuaikan dengan tinjauan pustaka untuk mengukur

tingkat stres kerja pada perawat. Kuesioner ini menggunakan skala

Guttman yaitu skala tegas yang hanya memiliki 2 pilihan jawaban dalam

hal ini menggunakan jawaban ya dan tidak. Skor tersebut akan dibagi

dalam tiga kategori yaitu berat (14-18), sedang (7-13) dan ringan (<6).

4.5.4 Pengukuran Validitas

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat

kevalidan atau kesahihan suatu instrumen. Suatu instrumen yang valid

atau sahih mempunyai validitas tinggi. Sebaliknya instrumen yang

kurang valid berarti memiliki validitas rendah. Suatu instrumen dikatakan

valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan (Arikunto, 2006).

Validitas selanjutnya dikonsultasikan kepada yang ahli dalam

penyusunan instrumen ini.

4.5.5 Pengukuran Realibilitas

Uji realibilitas instrumen adalah suatu uji yang dilakukan untuk

mengetahui konsistensi dari instrumen sehingga dapat digunakan untuk

penelitian selanjutnya dalam ruang lingkup yang sama. Dalam penelitian

(45)

diantaranya pemberian instrumen hanya sekali dengan bentuk instrumen

kepada satu subjek studi.

Uji realibilitas dilakukan terhadap 10 orang perawat di ruang rawat

jalan RSJD PROVSU. Pada bagian pertanyaan tentang pengetahuan dan

stres kerja pada perawat dilakukan perhitungan manual menggunakan

KR-20. Hasil realibilitas terhadap 10 orang responden diperoleh hasil

koefisien sebesar 0,77 hal ini berarti instrumen telah reliabel (Setiadi,

2007).

4.6 Rencana Pengumpulan Data

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti mengajukan permohonan izin

kepada Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan kepada

Direktur RSJD Provinsi Sumatera Utara. Setelah mendapatkan izin penelitian,

peneliti melanjutkan dengan proses pengambilan data. Pengambilan data

dilakukan dengan cara membagikan kuesioner kepada responden untuk diisi.

Setelah pertemuan tersebut peneliti menunggu hasil pengisian kuesioner

sambil menjelaskan hal- hal mana yang belum bisa dimengerti. Setelah semua

kuesioner terisi dan dikembalikan kepada peneliti maka seluruh data tersebut

dilakukan proses analisa data.

(46)

4.7 Analisa Data

Analisa data di lakukan setelah semua data terkumpul melalui beberapa tahap dimulai dengan editing untuk memeriksa kelengkapan identitas dan data responden serta memastikan bahwa semua jawaban telah di isi,kemudian

data yang sesuai diberi kode.koding untuk memudahkan penelitian dalam melakukan tabulasi dan analisa data yang telah dikumpulkan. Selanjutnya

memasukan Entry data ke dalam computer. Data demografi akan ditampilkan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan persentasi. Hasil analisa data juga

disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan presentasi, yang

bertujuan untuk Mengidentifikasi Hubungan Pengetahuan Perawat Tentang

Perilaku Asertif Dengan Tingkat Stres Kerja Perawat di RSJD Provsu Medan.

Untuk menguji ada tidaknya hubungan antara kedua variabel digunakan Uji

chi square. Uji chi square dapat digunakan untuk menganalisis hasil untuk

mengetahui apakah terdapat hubungan yang signifikan pada penelitian

dengan tingkat kemaknaan a = 0,05. Hasil yang diperoleh pada analisis chi

square dengan menggunakan program SPSS yaitu nilai p value, kemudian

dibandingkan dengan a = 0,05 apabila nilai p < dari a = 0,05 maka ada

hubungan antara dua variabel tersebut (signifikan) dan jika p > a maka tidak

(47)

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

Dalam bab ini diuraikan hasil penelitian dan pembahasan penelitian

mengenai karakteristik responden dan hubungan pengetahuan perawat tentang

perilaku asertif dengan tingkat stres kerja perawat di RSJD Provsu Medan

dengan jumlah sampel sebanyak 30 orang.

5.1.1. Karakteristik Responden

Berdasarkan Tabel 5.1 dibawah ini menunjukkan bahwa sebagian

besar perawat berjenis kelamin perempuan sebanyak 20 responden

(66,6%), sebagian besar berumur 25-30 tahun sebanyak 10 responden

(33,3%) dan berumur 37-42 tahun sebanyak 10 responden (33,3%),

sebagian besar beragama Islam sebanyak 16 responden (53,3%), sebagian

besar adalah suku Batak sebanyak 10 responden (33,3%), sebagian besar

perawat berpendidikan D3 Keperawatan sebanyak 18 responden (60%),

(48)
[image:48.596.157.514.177.542.2]

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Tahun 2012. (n = 30)

Karakteristik Frekuensi Persentase(%)

Jenis Kelamin

Laki-laki 10 33,3

Perempuan 20 66,6

Umur

25-30 10 33,3

31-36 37-42 43-48 49-54 6 10 2 2 20 33,3 6,7 6,7 Agama Islam Kristen Katolik Kristen Protestan 16 7 7 53,3 23,3 23,3 Suku Batak Karo Jawa Lain-lain 10 7 8 5 33.3 23.3 26,7 16,7 Pendidikan D3 S1 18 12 60 40 Lama Kerja <1 Tahun 1-5 Tahun > 5 Tahun

(49)

5.1.2 Pengetahuan Perawat Tentang Perilaku Asertif

Berdasarkan Tabel 5.2 dibawah ini menunjukkan bahwa mayoritas

perawat memiliki pengetahuan tentang perilaku asertif dalam kategori

cukup yakni sebanyak 15 orang (50%).

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Perawat tentang Perilaku Asertif di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Tahun 2012. (n=30)

5.1.3 Stres Kerja Perawat

Berdasarkan tabel 5.3 dibawah ini menunjukkan bahwa tingkat stres

kerja pada perawat di RSJD Provsu mayoritas dalam kategori sedang yakni

[image:49.596.136.518.310.379.2]

sebanyak 18 orang (60%).

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Tingkat Stres Kerja Perawat di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Tahun 2012.(n=30) Pengetahuan Perawat

tentang Perilaku Asertif Frekuensi Persentase(%)

Baik 6 20

Cukup 15 50

Rendah 9 30

Stres Kerja Perawat Frekuensi Persentase(%)

Tinggi 5 16,7

Sedang 18 60

[image:49.596.147.474.611.659.2]
(50)
[image:50.596.108.538.176.341.2]

5.1.4 Hubungan Pengetahuan Perawat tentang Perilaku Asertif dengan Tingkat Stres Kerja Perawat

Tabel 5.4 Hubungan Pengetahuan Perawat Tentang Perilaku Asertif Dengan Tingkat Stres Kerja Perawat di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Tahun 2012. (n=30)

Hasil analisis hubungan antara pengetahuan perawat tentang

perilaku asertif dengan tingkat stres kerja perawat diperoleh bahwa

perawat berpengetahuan asertif yang cukup mengalami tingkat stres kerja

yang sedang sebanyak 9 orang (60%) sedangkan perawat yang

berpengetahuan asertif yang rendah mengalami tingkat stres kerja yang

tinggi sebanyak 4 orang (44,5%). Hasil uji statistik diperoleh nilai ? = 0,03

maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan stres kerja pada perawat

berpengetahuan asertif yang baik dengan yang berpengetahuan asertif

yang rendah (ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan perawat

tentang perilaku asertif dengan tingkat stres kerja perawat). Pengetahuan

perawat tentang perilaku asertif

Stres kerja perawat

Total

P value Rendah Sedang Tinggi

n % n % n % N %

Baik 1 16,6 4 66,7 1 16,6 6 100

0,03

Cukup 6 40 9 60 0 0 15 100

Rendah 0 0 5 55,5 4 44,5 9 100

(51)

5.2. Pembahasan

5.2.1 Pengetahuan Perawat Tentang Perilaku Asertif Di RSJD Provsu Dalam penelitian ini pengetahuan perawat tentang perilaku asertif

adalah semua pemahaman perawat tentang perilaku asertif yang meliputi

pendekatan dalam membangun asertif, unsur-unsur perilaku asertif,

keterampilan bersikap asertif, ciri-ciri perawat asertif, teknik-teknik

bertindak asertif dan kategori perilaku asertif.

Hasil penelitian tentang pengetahuan perawat tentang perilaku

asertif menunjukkan bahwa mayoritas pengetahuan perawat tentang

perilaku asertif termasuk dalam kategori cukup sebanyak 15 orang (50%),

6 orang (20%) dengan pengetahuan asertif yang baik dan 9 orang (30%)

berpengetahuan asertif yang rendah.

Pengetahuan perawat tentang perilaku asertif termasuk kategori

cukup karena responden pada umumnya memiliki pemahaman bahwa

perilaku asertif merupakan perilaku yang positif misalnya sabar, ramah

kepada pasien dan sesama perawat, suka membantu teman, dan

mempunyai sifat yang kooperatif. Berdasarkan kuesioner yang telah

dibagikan pada responden diketahui bahwa responden mau menerima dan

menghargai tema n mereka, merespon keluhan sesama perawat dan pasien,

mengungkapkan pendapat mereka secara jujur serta mampu membangun

kerjasama antar sesama perawat. Namun sebagian dari responden tidak

(52)

mengecewakan orang lain sehingga dirinya tidak diterima diantara

teman-temannya.

Berdasarkan wawancara peneliti dengan para responden, perawat

di RSJD Provsu masih belum memiliki pemahaman yang baik tentang

asertif karena mereka beranggapan bahwa perilaku asertif bertujuan untuk

membuat orang lain senang, misalnya mereka tidak menolak ketika teman

meminta tolong walau hal itu bertentangan dengan keinginan mereka. Hal

ini merupakan pemahaman yang salah, karena asertif merupakan suatu

kejujuran dan usaha untuk melakukan hal yang terbaik yang dapat kita

lakukan dan tujuannya bukan untuk menyenangkan orang lain.

Hal ini sejalan dengan pendapat Pratanti (2007), bahwa

kebanyakan orang tidak mau bersikap asertif karena ada rasa takut

mengecewakan orang lain, takut jika akhirnya dirinya tidak disukai atau

diterima. Selain itu alasan untuk mempertahankan kelangsungan hubungan

juga sering menjadi alasan karena salah satu pihak tidak ingin membuat

pihak lain sakit hati. Padahal, dengan membiarkan diri untuk bersikap

tidak asertif justru akan mengancam hubungan yang ada karena salah

satu pihak kemudian akan merasa dimanfaatkan oleh pihak lain.

Perawat di RSJD Provsu sebagian besar berjenis kelamin

perempuan. Jenis kelamin juga menentukan perilaku asertif dimana

perawat perempuan lebih memilih diam jika menghadapi suatu konflik

baik itu yang datang dari sesama perawat, dokter maupun pasien dengan

(53)

Hal ini juga dilatar belakangi oleh tingkat pendidikan, perawat

yang bekerja di RSJD Provsu sebagian besar adalah tamatan D3

keperawatan. Pengetahuan mereka tentang perilaku asertif masih belum

baik, hal ini disebabkan karena mereka merupakan perawat vokasional

yang lebih menjurus kepada praktek. Pendidikan mempunyai andil yang

cukup besar terhadap pembentukan perilaku, khususnya perilaku asertif.

Pendidikan mempunyai tujuan untuk menghasilkan individu yang mudah

menerima dan menyesuaikan diri terhadap lingkungan kerja, lebih mampu

untuk mengungkapkan pendapatnya, memiliki rasa tanggung jawab dan

lebih berorientasi ke pendapatnya.

Hal ini sejalan dengan penelitian Muing A. (2012) di RSUD

Labuang Baji Makassar yang menyatakan bahwa Perawat belum

semuanya bersikap asertif dalam pelayanan keperawatan. Hal ini

disebabkan oleh latar belakang pend idikan perawat yang mayoritas

berpendidikan D3 keperawatan sebanyak 96,7 %.

Hal ini juga berkaitan dengan lama kerja perawat tersebut di rumah

sakit. Pengalaman dalam menghadapi pasien dan teman sekerja akan

mempengaruhi perilaku asertif seorang perawat. Rata-rata perawat di

RSJD Provsu telah bekerja > 5 tahun, Pengalaman belajar dalam bekerja

yang dikembangkan memberikan pengetahuan dan keteramp ilan dalam

berperilaku asertif terhadap pasien dan sesama perawat.

Hal ini sesuai dengan pendapat Notoadmojo (2003) yang

(54)

dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain pendidikan, usia, jenis

kelamin dan pengalaman kerja.

5.2.2 Tingkat Stres Kerja Perawat Di RSJD Provsu

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar

responden dikategorikan dalam tingkat stres kerja sedang yakni sebanyak

18 orang (60%), tingkat stres yang rendah sebanyak 7 orang (23,3%) dan 5

orang (16,7%) responden mengalami stres dalam kategori tinggi . Hal ini

menunjukkan bahwa perawat di RSJD Provsu telah menyesuaikan diri

dengan situasi kerja dan memahami apa yang menjadi penyebab dari stres

kerja mereka sebagai seorang perawat sehingga stres kerja yang mereka

alami menurun.

Menurut Hans Selye dalam Sunaryo (2002) stres merupakan respon

tubuh yang sifatnya nonspesifik terhadap setiap tuntutan beban yang ada

dalam dirinya. Misalnya bagaimana respon tubuh perawat ketika

mengalami beban pekerjaan yang berlebihan. Bila perawat sanggup

mengatasinya artinya tidak ada gangguan pada fungsi organ tubuh, maka

perawat tidak mengalami stress. Namun jika perawat mengalami gangguan

pada fungsi organ tubuh sehingga tidak dapat menjalankan pekerjaannya

dengan baik maka ia mengalami stress.

Abraham C. dan Shanley F. (1997) menyatakan bahwa sumber stres

dalam keperawatan meliputi beban kerja berlebihan, kesulitan menjalin

(55)

kritis, berurusan dengan pengobatan/perawatan pasien dan merawat pasien

yang gagal untuk membaik.

Berdasarkan wawancara dan kuesioner yang telah dibagikan kepada

responden beban kerja yang dialami perawat di RSJD Provsu tergolong

sedang, hal ini disebabkan pasien yang dirawat sebagian telah mampu

beraktivitas seperti biasa dan membantu perawat dalam mengawasi serta

merawat pasien yang masih belum mampu seperti membersihkan ruangan,

memandikan pasien, memberi makan dan obat pada pasien. Pembagian

shift kerja disesuaikan dengan proporsi kerja dimana shift pagi lebih

banyak perawat jaganya karena jumlah kerja lebih banyak di pagi hari

daripada sore dan malam hari.

Waktu yang tersisa setelah melaksanakan tugasnya dalam merawat

pasien digunakan untuk mendokumentasikan asuhan keperawatan yang

diberikan kepada pasien, bercakap-cakap dengan pasien atau sesama

perawat. Namun banyaknya waktu luang diantara jam kerja dan

melakukan kegiatan yang sama setiap hari membuat perawat merasa jenuh

bekerja, perawat bosan untuk bekerja yang menyebabkan potensi perawat

merasakan keletihan.

Perbedaan beban kerja memberikan gambaran terhadap terjadinya stres

kerja yang berbeda dimana setiap individu memiliki batasan ukuran

kemampuan dalam bekerja, bila beban terlalu ringan maka timbul

kebosanan dan bila terlalu berat akan menimbulkan kelelahan yang

(56)

Supardi (2007) di RS Putri Hijau Kesdam Medan menunjukkan bahwa

perawat dengan beban kerja yang sedang mengalami stres kerja yang

disebabkan oleh kebosanan, kondisi kerja yang kurang baik dan

ketidakpuasan.

Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Chusna (2010) di RSU Islam

Surakarta yang menyatakan bahwa perawat mengalami tingkat stres kerja

yang tinggi. Peningkatan beban kerja yang dialami oleh perawat dalam

memberikan pelayanan menimbulkan stres yang menyebabkan kondisi

perawat menjadi tidak stabil. Dari hasil analisis data terdapat hubungan

yang signifikan antara beban kerja dengan stres kerja. Hal ini

membuktikan bahwa beban kerja yang berlebihan pada perawat dapat

menyebabkan timbulnya stres kerja yang dialami oleh perawat.

Konflik yang mereka alami antara sesama perawat jarang terjadi

karena mereka telah mengetahui perannya masing- masing . Mereka tidak

kesulitan dalam berinteraksi dengan staf yang lain misalnya dokter, bagian

obat-obatan. Hal ini juga dipengaruhi lama kerja perawat di RSJD Provsu

mayoritas <5 tahun (50%), hal ini memberikan pengaruh terhadap

kematangan pengalaman perawat di ruangan baik dalam merawat pasien

maupun berkomunikasi dengan sesama perawat, perawat dengan

sendirinya telah menyesuaikan diri dengan sifat dan macam pekerjaan

yang harus dilakukan, lama kerja setiap hari, penyesuaian dengan teman

sejawat dan para pimpinan, dengan lingkungan pekerjaan dan peraturan

(57)

Namun sebagian responden yakni 5 orang (16,7%) mengalami stres

kerja yang tinggi, hal ini disebabkan perawat masih belum bisa

menyesuaikan dirinya dengan lingkungan kerja dan kurang berinteraksi

dengan perawat yang lain, hal ini biasanya dialami perawat yang masih

baru kerja di RSJD Provsu, mereka masih canggung untuk berkomunikasi

dengan perawat yang telah lama bekerja disana. Perawat merasa bosan

dengan pekerjaan mereka yang menurut mereka terus berulang setiap hari

dan merasa tidak mampu memberi dukungan yang dibutuhkan teman

sekerjanya serta tidak mampu merawat pasien dengan baik. Bahkan ada

yang mengalami konflik dengan sesama perawat yang lain dan tidak bisa

berkomunikasi dengan baik kepada pasien hal ini semua menyebabkan

mereka mengalami stres kerja

Hal ini sejalan dengan penelitian Andreas K (2008) terhadap perawat

di RS tipe C Semarang yang menyatakan bahwa komunikasi yang kurang

antara sesama perawat menjadi faktor pemicu stres yang dialami perawat

di tempat kerja. Selain itu, kemampuan individu dalam mengambil sikap di

tempat kerja memberi pengaruh yang cukup besar sebagai penyebab stres

kerjsa.

Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Ade (2010) di

Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya yang mengatakan bahwa perawat di

Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya mengalami stres kerja yang tinggi. Hal

ini disebabkan oleh lingkungan kerja yang tidak kondusif, beban kerja

(58)

5.2.3 Hubungan Pengetahuan Perawat Tentang Perilaku Asertif Dengan Tingkat Stres Kerja Perawat Di RSJD Provsu

Berdasarkan hasil analisa statistik yang diperoleh menunjukkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan perawat tentang perilaku asertif

dengan tingkat stres kerja perawat di RSJD Provsu. Dari analisa statistik

diperoleh nilai signifikan p = 0,03. Nilai ini lebih kecil dari nilai signifikan

a = 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesa diterima artinya

bahwa adanya hubungan antara pengetahuan perawat tentang perilaku

asertif dengan tingkat stres kerja perawat di RSJD Provsu dapat diterima.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Kristianingsih (2008) menunjukkan adanya hubungan yang berkorelasi

negatif antara stres kerja dengan perilaku asertif yaitu semakin seorang

perawat berperilaku asertif maka stres kerjanya akan semakin rendah.

Perawat yang mengalami stres kerja disebabkan oleh lingkungan

kerja yang tidak mendukung, komunikasi antara sesama staf tidak terjalin

dengan baik dan beban kerja yang berlebihan. Untuk itu perawat harus

beradaptasi dengan lingkungan dimana dia bekerja, lebih terbuka dengan

staf yang lain sehingga komunikasi bisa terjalin dengan baik dan menerima

tanggung jawab dan perannya dengan baik.

Perawat berpengetahuan asertif yang baik mengalami penurunan

stres kerja karena perawat mampu menghargai dan menerima tugas dan

(59)

pasien. Perawat mampu mengungkapkan pendapatnya secara langsung dan

bersikap tegas dalam menghadapi pasien dan sesama perawat.

Pengetahuan perawat tentang perilaku asertif berhubungan dengan

tingkat stres kerja perawat di tandai dengan perawat yang memiliki

pemahaman tentang perilaku asertif misalnya sabar, ramah kepada pasien

dan sesama perawat, suka membantu teman, menghargai sesama staf dan

menerima tanggung jawabnya masing- masing seperti merawat pasien,

memandikan pasien, memberi makan dan obat kepada pasien mampu

untuk beradaptasi dengan situasi kerja, mampu mengungkapkan

pendapatnya dan mampu berinteraksi dengan sesama perawat dan pasien.

Hal ini dapat menurunkan stres kerja yang dialami perawat selama

bekerja.

Perawat berpengetahuan asertif yang rendah cenderung mengalami

tingkat stres yang tinggi, hal ini disebabkan perawat masih belum mampu

mengeluarkan pendapatnya dan terus memendamnya karena takut dirinya

tidak diterima diantara teman-temannya sehingga hal ini memicu

munculnya stres kerja. Selain itu kemampuan berinteraksi dengan

lingkungan kerja juga kurang, merasa bosan dengan pekerjaan mereka

yang menurut mereka terus berulang setiap hari.

Hal ini sejalan dengan penelitian Putri (2012) yang menyatakan

bahwa ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara kecerdasan

emosi dengan stres kerja pada perawat ICU dan perawat IGD. Seorang

(60)

dan tekanan lingkungan (lingkungan pekerjaannya), mereka akan tetap

tenang walaupun berada dibawah tekanan dan mampu bekerja dengan

baik.

Namun berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada

perawat yang berpengetahuan asertif yang baik memiliki stres kerja ya ng

tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa tinggi rendahnya stres kerja tidak

hanya dipengaruhi oleh perilaku asertif seorang perawat, tetapi lama

bekerja perawat < 5 tahun yang merasa bosan dengan pekerjaannya

misalnya melakukan pendokumentasian keperawatan pada pasien

gangguan jiwa yang dilakukan secara berulang- ulang, melakukan

intervensi keperawatan pada pasien gangguan jiwa setiap hari secara rutin

dan kondisi psikologis individu yang mengalami stres kerja serta cara

pandang perawat tersebut dalam menangani stres yang dialaminya.

Hal ini sejalan dengan Rasmun (2004) yang mengatakan bahwa

Gambar

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Tahun 2012
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Perawat tentang Perilaku Asertif di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Tahun 2012
Tabel 5.4 Hubungan Pengetahuan Perawat Tentang Perilaku Asertif

Referensi

Dokumen terkait

 Informasi tujuan pembelajaran yaitu: dengan menggunakan langkah-langkah pemecahan masalah yang logis dan sesuai dengan algoritma pemecahan masalah peserta didik

Jumlah peserta yang telah mengunggah (upload) dokumen kualifikasi dan dokumen penawaran sampai dengan batas akhir waktu pemasukan penawaran sebanyak 1 (satu) peserta,

Panitia Pengadaan Bar ang dan Jasa Badan Koor dinasi Keluar ga Ber encana dan Pember dayaan Per empuan Kota Bandar Lampung akan melaksanakan Pemilihan Langsung

Panitia Pengadaan Bar ang/ Jasa pada Badan Koor dinasi Keluar ga Ber encana dan Pember dayaan Per empuan Kota Bandar Lampung akan melaksanakan Pelelangan Umum dengan

[r]

Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan Daerah Kementerian Keuangan Provinsi Jawa Barat melaksanakan PEMBATALAN LELANG/PELELANGAN ULANG pada Pelelangan

Dalam hal tersebut, Grup mempertimbangkan, berdasarkan fakta dan situasi yang tersedia, termasuk namun tidak terbatas pada jangka waktu hubungan dengan pelanggan

tingkat kecamatan dan tingkat kota Terlaksananya pertemuan/ rembug KTNA kecamatan dan KTNA Kota Terlaksananya penilaian kemampuan kelompok tani dan pokdakan. Terlaksananya