• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seleksi dan Identifikasi Aktinomiset sebagai Agens Hayati untuk Pengendalian Penyakit Kresek yang Diakibatkan oleh Xanthomonas oryzae pv. oryzae pada Padi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Seleksi dan Identifikasi Aktinomiset sebagai Agens Hayati untuk Pengendalian Penyakit Kresek yang Diakibatkan oleh Xanthomonas oryzae pv. oryzae pada Padi"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

SELEKSI DAN IDENTIFIKASI AKTINOMISET SEBAGAI

AGENS HAYATI UNTUK PENGENDALIAN PENYAKIT

KRESEK YANG DIAKIBATKAN OLEH

Xanthomonas oryzae pv. oryzae PADA PADI

NUR ‘IZZA FAIQOTUL HIMMAH

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

ABSTRAK

NUR ‘IZZA FAIQOTUL HIMMAH. Seleksi dan Identifikasi Aktinomiset sebagai Agens Hayati untuk Pengendalian Penyakit Kresek yang Diakibatkan oleh Xanthomonas oryzae pv. oryzae pada Padi. Dibimbing oleh GIYANTO.

Padi merupakan tanaman yang sangat penting sebagai sumber bahan pangan utama di Indonesia. Salah satu penyakit yang sering menyerang padi adalah penyakit kresek oleh bakteri Xanthomonas oryzae pv. oryzae. Penelitian ini bertujuan mengisolasi dan mengidentifikasi isolat aktinomiset yang berpotensi untuk mengendalikan penyakit kresek pada padi oleh bakteri X. oryzae pv. oryzae. Lima belas isolat aktinomiset telah diisolasi dari tanah perakaran bambu, tanah sawah, dan tanah perakaran sawit di Bogor. Lima isolat, yaitu AB10, AB11, ATS6, ATS8 dan APS7, menunjukkan aktivitas penghambatan terhadap X. oryzae pv. oryzae. Empat isolat, yaitu AB10, AB11, ATS6, dan APS7 kembali diuji untuk perlakuan perendaman benih padi. Hasil pengujian menunjukkan bahwa perlakuan perendaman benih padi dengan aktinomiset tidak memberikan pengaruh nyata terhadap persen perkecambahan, tinggi tunas, panjang akar, dan bobot kecambah. Namun demikian, perlakuan dengan isolat ATS6 dan APS7 memberikan persen perkecambahan, tinggi tunas, panjang akar, dan bobot kecambah yang lebih baik dibandingkan perlakuan lainnya. Perlakuan perendaman benih padi dengan aktinomiset dapat mengurangi jumlah inokulum bakteri X. oryzae pv. oryzae terbawa benih. Isolat ATS6 merupakan isolat aktinomiset yang menunjukkan hasil terbaik dalam penekanan bakteri X. oryzae pv. oryzae dan pertumbuhan kecambah padi. Dua isolat yang paling berpotensi dipilih dan diidentifikasi. Berdasarkan hasil identifikasi dari sekuen parsial gen 16S rRNA, isolat ATS6 dan APS7 termasuk ke dalam genus Streptomyces. Isolat ATS6 memiliki kesamaan terdekat (98%) dengan S. katrae HQ607777.1, dan isolat APS7 memiliki kesamaan terdekat (99%) dengan Streptomyces sp. HE577953.1. Kedua isolat aktinomiset tersebut berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai agens hayati untuk pengendalian penyakit kresek.

(3)

SELEKSI DAN IDENTIFIKASI AKTINOMISET SEBAGAI

AGENS HAYATI UNTUK PENGENDALIAN PENYAKIT

KRESEK YANG DIAKIBATKAN OLEH

Xanthomonas oryzae pv. oryzae PADA PADI

NUR ‘IZZA FAIQOTUL HIMMAH

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(4)

Judul skripsi : Seleksi dan Identifikasi Aktinomiset sebagai Agens Hayati untuk Pengendalian Penyakit Kresek yang Diakibatkan oleh Xanthomonas oryzae pv. oryzae pada Padi

Nama mahasiswa : Nur ‘Izza Faiqotul Himmah

NIM : A34070013

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Giyanto, M.Si. NIP 19670709 199303 1 002

Mengetahui,

Ketua Departemen Proteksi Tanaman

Prof. Dr. Ir. Dadang, M.Sc. NIP 19640204 199002 1 002

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Malang pada tanggal 7 Juli 1989. Penulis merupakan anak pertama dari lima bersaudara, dari pasangan Ir. Agus Setyarso dan drh. Luluk Maryam Fatchurrahmah.

Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar pada tahun 2001 di SD Nasional I Pondok Gede, kemudian melanjutkan ke SMP Islam Terpadu IQRO’ Bekasi sampai tahun 2004, dan lulus dari SMA Negeri 1 Madiun pada tahun 2007. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2007 sebagai mahasiswi Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian. Penulis mengambil minor supporting course.

(6)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul “Seleksi dan Identifikasi Aktinomiset sebagai Agens Hayati untuk Pengendalian Penyakit Kresek yang Diakibatkan oleh Xanthomonas oryzae pv. oryzae pada Padi”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian tugas akhir dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman pada bulan Februari sampai dengan September 2011.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Giyanto, M.Si. sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan banyak ilmu, bantuan, dan bimbingan selama penelitian dan penulisan skripsi. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Ruly Anwar, M.Si. sebagai dosen penguji tamu yang telah memberikan saran dan masukan dalam penulisan skripsi.

Rasa terima kasih tak lupa penulis sampaikan kepada rekan-rekan seperjuangan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, yaitu kepada Ida P, Nurul W, Tatit S, Yayu SN, Mbak Ratdiana, Mbak Tita W, Mbak Adelin ET, Ibu Haliatur R, Bapak Rustam, dan Bapak Agus E Prasetyo, atas bantuan dan nasihatnya selama penelitian. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ir. Djoko Prijono, MAgr.Sc. sebagai dosen pembimbing akademik yang telah memberikan nasihat dan bimbingan selama masa kuliah.

Rasa terima kasih penulis sampaikan pula kepada kepada seluruh sahabat di Proteksi Tanaman 44, khususnya kepada Alchemi PJK, Etika Ayu K, dan Nur’asiah yang senantiasa memberi semangat dan menjadi teman diskusi bagi penulis, serta kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.

Ucapan terima kasih secara khusus ingin penulis sampaikan kepada kedua orang tua (Agus Setyarso dan Luluk MF) serta adik-adik tercinta (Wildan, Firda, Fadli, dan Rifqi) yang senantiasa memberikan dukungan moral maupun materil, doa, dan kasih sayang yang tiada hentinya, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.

Tiada gading yang tak retak. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Januari 2012

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Penyakit Kresek oleh Xanthomonas oryzae pv. oryzae ... 4

Gejala Penyakit Kresek ... 4

Patogen Penyakit Kresek ... 4

Pengendalian Penyakit Kresek ... 5

Aktinomiset ... 5

BAHAN DAN METODE ... 8

Tempat dan Waktu ... 8

Bahan dan Alat ... 8

Metode Penelitian ... 8

Isolasi Aktinomiset ... 8

Isolasi Bakteri X. oryzae pv. oryzae ... 9

Uji Potensi Antibiosis Aktinomiset terhadap X. oryzae pv. oryzae ... 9

Metode Plate Diffusion ... 10

Metode Cross-Streak ... 10

Uji Reaksi Hipersensitivitas Isolat Aktinomiset Terpilih .... 10

Pengujian Aktinomiset terhadap Perkecambahan Benih Padi 11 Pengujian Aktinomiset terhadap Penekanan Populasi X. oryzae pv. oryzae pada Benih dan Kecambah Padi ... 11

Identifikasi Isolat Aktinomiset yang Berpotensi sebagai Agens Hayati X. oryzae pv. oryzae ... 12

Ekstraksi DNA Aktinomiset ... 12

Amplifikasi dan Sekuensing Gen 16S rRNA Aktinomiset ... 13

Analisis Statistik ... 13

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 15

Isolasi Aktinomiset ... 15

Isolasi Bakteri X. oryzae pv. oryzae ... 17

Uji Potensi Antibiosis Aktinomiset terhadap X. oryzae pv. oryzae . 18 Metode Plate Diffusion ... 18

Metode Cross-Streak ... 19

(8)

Pengujian Aktinomiset terhadap Perkecambahan Benih Padi ... 21

Pengujian Aktinomiset terhadap Penekanan Populasi X. oryzae pv. oryzae pada Benih dan Kecambah Padi ... 24

Identifikasi Isolat Aktinomiset yang Berpotensi sebagai Agens Hayati X. oryzae pv. oryzae ... 26

Ekstraksi DNA Aktinomiset ... 26

Amplifikasi dan Sekuensing Gen 16S rRNA Aktinomiset .. 27

KESIMPULAN DAN SARAN ... 30

Kesimpulan ... 30

Saran ... 30

DAFTAR PUSTAKA ... 31

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Isolat aktinomiset hasil isolasi dari setiap sampel tanah ... 15 2 Pembentukan zona hambatan oleh aktinomiset terhadap koloni

X. oryzae pv. oryzae pada media NA dengan metode plate diffusion 18 3 Pembentukan zona penghambatan aktinomiset terhadap X. oryzae

pv. oryzae dengan metode cross-streak ... 19 4 Persentase perkecambahan benih padi setelah perlakuan perendaman

benih dengan aktinomiset ... 22 5 Jumlah koloni X. oryzae pv. oryzae hasil pencawanan dari gerusan

25 butir benih padi ... 25 6 Jumlah koloni X. oryzae pv. oryzae hasil pencawanan dari gerusan

25 kecambah padi ... 26 7 Hasil pencarian kesamaan gen 16S rRNA antara isolat ATS6 dan

(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Koloni isolat aktinomiset hasil isolasi dari tanah dan koleksi

laboratorium pada media WYE/YCED ... 16 2 Koloni bakteri X. oryzae pv. oryzae pada media YDCA ... 17 3 Hasil uji antibiosis aktinomiset terhadap X. oryzae pv. oryzae dengan

metode cross-streak ... 20 4 Hasil uji reaksi hipersensitif empat isolat aktinomiset terpilih pada

tanaman tembakau ... 21 5 Kecambah padi pada umur 7 hari setelah perlakuan perendaman

benih dengan aktinomiset ... 22 6 Tinggi tunas kecambah padi pada umur 7 hari setelah perlakuan

perendaman benih ... 23 7 Panjang akar kecambah padi pada umur 7 hari setelah perlakuan

perendaman benih ... 23 8 Bobot basah per 10 kecambah padi pada umur 7 hari setelah

perlakuan perendaman benih ... 24 9 Visualisasi hasil ekstraksi DNA aktinomiset isolat ATS6 dan APS7 .. 27 10 Visualisasi hasil amplifikasi PCR DNA aktinomiset ATS6 dan APS7

dengan elektroforesis gel agarose ... 27 11 Bentuk hifa berspora aktinomiset diamati pada perbesaran 400x

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Komposisi media yang digunakan dalam penelitian ... 36

2 Hasil uji patogenisitas isolat X. oryzae pv. oryzae ... 36

3 Sekuen parsial gen 16S rRNA isolat ATS6 ... 37

4 Sekuen parsial gen 16S rRNA isolat APS7 ... 37

5 Hasil analisis ragam persentase perkecambahan benih padi setelah perlakuan perendaman benih dengan aktinomiset ... 38

6 Hasil analisis ragam tinggi tunas kecambah padi pada umur 7 hari setelah perlakuan perendaman benih ... 38

7 Hasil analisis ragam panjang akar kecambah padi pada umur 7 hari setelah perlakuan perendaman benih ... 38

(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pertanian merupakan sektor komoditas utama di Indonesia. Negara yang terdiri

dari kepulauan dengan lahan yang luas adalah faktor yang mendukung Indonesia

untuk menjadi negara yang berbasis pertanian. Pertanian di Indonesia masih

menggunakan sistem yang konvensional, karena adanya anggapan bahwa petani

adalah orang yang tidak berpendidikan, padahal sektor pertanian yang dominan dalam

mendukung kelangsungan perekonomian negara. Dengan demikian perlu adanya

petani berdasi yang dapat memajukan pertanian di Indonesia.

Pertanian secara sempit terdiri atas pertanian pada subsektor tanamanan pangan

dan hortikultura serta perkebunan. Pertanian pangan dan hortikultura adalah pertanian

yang menghasilkan kebutuhan pokok makanan untuk manusia. Sedangkan pertanian

perkebunan menghasilkan tanaman tahunan yang dapat menambah devisa negara

serta untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Pada semua subsektor pertanian

tersebut banyak kendala yang dihadapi seperti keadaan cuaca atau iklim yang tidak

menentu, ketersediaan air, dan yang paling mengganggu adalah Organisme

Pengganggu Tanaman (OPT). Organisme pengganggu tanaman ini dapat

menimbulkan kerugian secara ekonomis terhadap petani maupun masyarakat.

Tikus merupakan salah satu satwa liar yang menjadi hama penting bagi

kehidupan manusia baik dalam bidang pertanian, perkebunan, maupun permukiman.

Tikus sawah merupakan salah satu hama utama padi yang dapat menimbulkan

kerusakan di seluruh bagian tanaman padi pada berbagai stadia pertumbuhan. Tikus

pohon biasanya hidup di perkebunan, pekarangan, dan persawahan sedangkan tikus

rumah biasanya hidup di permukiman manusia, rumah, dan gudang. Pada saat ini

tikus pohon dan tikus rumah dapat menyebabkan kerusakan di permukaan maupun di

areal perkebunan. Hal ini disebabkan banyaknya areal perkebunan yang tidak jauh

dari tempat permukiman manusia dan tidak tersedianya pakan yang cukup untuk tikus

disalah satu habitat tersebut. Tikus pohon dan tikus rumah dapat menyebabkan

(13)

gabah, dan beras. Selain itu tikus pohon dan tikus rumah juga dapat menyebabkan

kerusakan pada bahan bangunan karena sifat mengeratnya, kemampuannya

menurunkan produksi pertanian dan menyebarkan penyakit pada manusia.

Berdasarkan hal tersebut tikus sering dipandang oleh manusia sebagai hewan yang

memiliki efek negatif dalam ekosistem (Dickman 1988).

Pengendalian tikus dapat dikelompokkan ke dalam beberapa metode

pengendalian antara lain: pengendalian secara kultur teknis, fisik mekanis, biologi,

dan kimia. Pengendalian secara fisik mekanis bertujuan untuk mengubah faktor

lingkungan fisik menjadi di atas atau di bawah toleransi tikus secara langsung dengan

menggunakan tangan atau dengan bantuan alat. Pengendalian kimiawi dapat

dilakukan dengan menggunakan racun, baik yang bersifat akut maupun kronis

(Priyambodo 2003). Metode pengendalian yang dilakukan harus sesuai dengan

konsep IPM (Integrated Pest Management) dengan harapan agar populasi hama dapat

terus ditekan di bawah ambang ekonomi, penggunaan redentisida dikurangi sehingga

mengurangi bahaya akibat samping, penggunaan non-rodentisida ditingkatkan,

keseluruhan program itu harus efektif, efisien, aman, dan tidak mahal (Sigit 2006).

Pengendalian tikus yang sering dilakukan saat ini dan mendapatkan hasil yang

efektif adalah pengendalian secara kimiawi dengan menggunakan rodentisida sintetik.

Rodentisida yang diaplikasikan dengan baik akan didapatkan hasil produksi yang

melebihi hasil rata – rata petani. Metode tersebut sekarang banyak digunakan,

meskipun menurut konsep PHT seharusnya metode ini digunakan sebagai alternatif

terakhir jika semua cara lain yang digunakan belum memberikan hasil yang memadai

(Priyambodo 2003). Rodentisida sintetik yang diberikan pada tikus menunjukkan

daya bunuh yang efektif serta memberikan hasil kematian tikus yang nyata meskipun

penggunaan rodentisida sintetik tidak ramah terhadap lingkungan.

Alternatif dari rodentisida sintesis adalah rodentisida nabati yang termasuk

pestisida organik atau pestisida nabati, yaitu merupakan bahan aktif tunggal atau

majemuk yang berasal dari tumbuhan yang biasa digunakan untuk mengendalikan

(14)

Tikus sebagai hewan omnivora (pemakan segala) biasanya mau mengonsumsi

semua makanan yang dapat dimakan oleh manusia, baik yang berasal dari tumbuhan

(nabati) maupun yang berasal dari hewan (hewani). Sifat tikus yang mudah curiga

terhadap setiap benda yang ditemuinya, termasuk pakannya, disebut dengan

neophobia. Adapun sifat tikus yang enggan memakan umpan beracun yang diberikan

karena tidak melalui umpan pendahuluan disebut dengan jera umpan (bait shyness)

atau jera racun (poison shyness) (Priyambodo 2003).

Indera tikus khususnya penciuman, pendengaran, perasa, dan peraba sangat

berperan dalam sifat jera umpan dan jera racun terhadap beberapa jenis rodentisida

(akut dan kronis) serta neophobia atau mudah curiga untuk beberapa jenis umpan dan

perangkap. Neophobia jika diartikan menurut arti katanya adalah ketakutan pada

sesuatu yang baru tetapi jika dilihat dari maknanya adalah menghindari benda yang

tidak dikenali, termasuk bau, rasa, suara, dan makanan asing yang ada disekitarnya.

Sifat neophobia berbeda antara setiap spesies tikus, respon tikus bervariasi dan

mempunyai rangsangan yang unik. Pertumbuhan dari perilaku neophobia terhadap

tikus merupakan hal yang biasa oleh karena itu seleksi untuk banyak generasi selama

perolehan dan pemeliharaan dari habitat biasanya. Kegagalan pada aplikasi

rodentisida di lapang berdasarkan pada resistensi perilaku (behavioral resistance)

yaitu kondisi keengganan terhadap rodentisida, bukan berdasarkan resistensi

fisiologis (physiological resistance). Perilaku demikian dapat membantu tikus untuk

menghindari mengonsumsi dosis yang mematikan dari rodentisida. (Priyambodo

2002).

Sampai saat ini semakin banyak pengendalian secara kimia dengan

menggunakan rodentisida sintetik yang tidak sesuai aturan pakai, menyebabkan tikus

tersebut lebih jera umpan (bait shyness) dan jera racun (poison shyness), karena sifat

tikus yang mudah curiga. Dengan demikian perlu dilakukan penelitian tentang tingkat

kejeraan umpan (beras dan gabah) dan kejeraaan racun dari tikus sawah, tikus rumah,

dan tikus pohon terhadap beberapa rodentisida sintetis dan nabati serta mencari faktor

(15)

Tujuan Penelitian  

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menghitung tingkat kejeraan

tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon terhadap rodentisida (akut, kronis, dan

nabati) yang sering diaplikasikan di lapangan dan permukiman, dan terhadap umpan

dasar (gabah dan beras), serta mengetahui faktor yang menyebabkan tingkat kejeraan

tersebut.

Manfaat Penelitian  

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang tingkat kejeraan

tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon terhadap rodentisida dan umpan yang

sering diaplikasikan di lapang dan permukiman. Demikian juga untuk mengetahui

faktor yang menyebabkan tingkat kejeraan rodentisida dan umpan tersebut sehingga

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Tikus Sawah (Rattus argentiventer)  

Taksonomi dan Morfologi

Tikus sawah mempunyai klasifikasi sebagai berikut Kelas Mammalia, Subkelas

Theria, Infra Kelas Eutheria, Ordo Rodentia, Subordo Mymorpha, Famili Muridae,

dan Subfamili Murinae, Genus Rattus, Spesies R. argentiventer (CPC 2002).

Tikus sawah mempunyai ciri morfologi yaitu tekstur rambut agak kasar, bentuk

hidung kerucut, bentuk badan silindris, warna badan dorsal coklat kelabu kehitaman,

warna badan ventral kelabu pucat atau putih kotor, warna ekor ventral coklat gelap,

bobot badan 70-300 g, panjang badan 130-210 mm, panjang ekor 110-160 mm,

panjang secara keseluruhan dari kepala sampai ekor 240-370 mm, lebar daun telinga

19-22 mm, panjang telapak kaki belakang 32-39 mm, lebar sepasang gigi seri

pengerat pada rahang atas 3 mm, formula puting susu 3 + 3 pasang (Priyambodo

2003).

Biologi dan Ekologi

Tikus sawah bersifat omnivora serta memerlukan pakan yang banyak

mengandung zat tepung (karbohidrat) seperti biji padi, kelapa, dan umbi. Jagung dan

tebu pada umumnya kurang disukai oleh tikus sawah (Kalshoven 1981).

Tikus sawah menyerang padi pada malam hari. Pada siang hari tikus

bersembunyi di dalam lubang pada tanggul irigrasi, jalan sawah, pematang, dan

daerah perkampungan dekat sawah. Pada periode sawah bera sebagian besar tikus

sawah bermigrasi ke daerah perkampungan dekat sawah dan kembali ke sawah

setelah pertanaman padi menjelang generatif. Kehadiran tikus di daerah persawahan

dapat dideteksi dengan memantau keberadaan jejak kaki (foot print), jalur jalan (run

way), kotoran, lubang aktif, dan gejala serangan. Tikus betina bunting sekitar 21-23

hari dan mampu beranak rata-rata sejumlah 10 ekor. Tikus dapat berkembang biak

apabila makanannya banyak mengandung zat tepung. Populasi tikus sawah sangat

(17)

Tempat persembunyian tikus antara lain tanaman, semak belukar, rumpun bambu,

pematang sawah yang ditumbuhi gulma, dan kebun yang kotor (Sudarmaji 2005).

Tanaman padi merupakan pakan utama bagi tikus sawah dan semua stadia

pertumbuhan dapat dirusak. Daur perkembangan hidup tikus betina dan besarnya

kerusakan yang ditimbulkan oleh tikus sawah berkaitan erat dengan fase

pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi. Jumlah anakan padi yang dikerat oleh

seekor tikus sawah dalam semalam tergantung musim dan fase pertumbuhan

tanaman. Kerusakan tanaman padi pada waktu bunting dan bermalai adalah yang

sangat berpengaruh terhadap turunnya produksi (Brooks dan Rowe 1979).

Tikus Rumah (Rattus rattus diardii)  

Taksonomi dan Morfologi

Tikus rumah mempunyai klasifikasi sebagai berikut Kelas Mammalia, Subkelas

Theria, Infra Kelas Eutheria, Ordo Rodentia, Subordo Mymorpha, Famili Muridae,

dan Subfamili Murinae, Genus Rattus, Spesies R. rattus (CPC 2002).

Tikus rumah memiliki ciri morfologi tekstur rambut agak kasar, bentuk badan

silindris, bentuk hidung kerucut, telinga berukuran besar tidak berambut pada bagian

dalam dan dapat menutupi mata jika ditekuk ke depan, warna badan bagian perut dan

punggung coklat hitam kelabu, warna ekor coklat hitam, bobot tubuh 60-300 g,

panjang badan 130-210 mm, ukuran ekor terhadap kepala dan badan bervariasi (lebih

pendek, sama, atau panjang) (Priyambodo 2003). Pada tikus betina memiliki puting

susu 2 pasang di dada dan 3 pasang di perut (10 buah) (Rochman 1992).

Biologi dan Ekologi

Tikus rumah mempunyai distribusi geografi yang menyebar di seluruh dunia

sehingga disebut hewan kosmopolit (Priyambodo 2003). Tikus rumah biasanya hidup

di lingkungan perumahan, pasar, dan membuat sarang di loteng atau atap. Apabila

bahan makanan berkurang, tikus rumah ini akan mencari pakan di sawah sekitar

rumah atau gudang dan pekarangan di sekitar kandang ternak (Rochman dan

(18)

Tikus rumah mempunyai kemampuan berkembang biak dengan cepat dan

melahirkan anak sepanjang tahun tanpa mengenal musim, oleh sebab itu tikus disebut

sebagai hewan poliestrus. Perkembangan tersebut dipengaruhi oleh faktor habitat,

iklim, dan pakan. Selama mempertahankan kelangsungan hidupnya, tikus rumah

memanfaatkan pakan yang mengandung karbohidrat (gula pasir), lemak, protein,

mineral, dan vitamin (Meehan 1984).

Tikus rumah memiliki kemampuan reproduksi yang tinggi. Hal ini ditunjukkan

dengan adanya kemampuan melahirkan anak sebanyak 5-8 ekor dalam sekali

melahirkan. Jumlah anak yang dilahirkan tergantung ketersediaan makanan. Masa

bunting tikus selama 21 hari dan pada saat dilahirkan anak tikus tidak memiliki

rambut dan mata tertutup. Pada umur 4-5 minggu tikus mulai mencari makan sendiri,

terpisah dari induknya. Pada usia tersebut tikus dapat dengan mudah diperangkap.

Tikus rumah mencapai usia dewasa setelah berumur 35-65 hari (Kalshoven 1981).

Tikus rumah termasuk hewan arboreal yang dicirikan dengan adanya ekor yang

panjang serta tonjolan pada telapak kaki yang relatif besar dan kasar (Priyambodo

2003).

Tikus termasuk hewan omnivora, menyukai makanan yang berasal dari

biji-bijian, buah-buahan, sayur-sayuran, daging, ikan, dan telur. Dalam sehari tikus

biasanya membutuhkan pakan dalam keadaan kering sebanyak 10% dari bobot

tubuhnya, namun apabila pakan dalam keadaan basah kebutuhan pakan dapat

mencapai 15% dari bobot tubuhnya. Tikus rumah biasanya akan mengenali dan

mengambil pakan yang telah tersedia atau yang ditemukan dalam jumlah sedikit

untuk mencicipi atau untuk mengetahui reaksi yang terjadi pada tubuhnya. Apabila

tidak terjadi reaksi yang membahayakan, maka tikus akan menghabiskan pakan yang

(19)

Tikus Pohon (Rattus tiomanicus)

Taksonomi dan Morfologi

Tikus pohon mempunyai klasifikasi sebagai berikut Kelas Mammalia, Subkelas

Theria, Infra Kelas Eutheria, Ordo Rodentia, Subordo Mymorpha, Famili Muridae,

dan Subfamili Murinae, Genus Rattus, Spesies R. tiomanicus (CPC 2002).

Tikus pohon termasuk sebagai spesies tikus yang berukuran kecil hingga

menengah. Ciri khas yang dapat membedakan tikus pohon dengan spesies tikus yang

lainnya yaitu mempunyai ekor yang lebih panjang dari pada kepala dan badan, tubuh

bagian dorsal berwarna coklat kekuningan dan bagian ventralnya berwarna putih,

putih kekuningan, atau krem (Aplin, Brown, Jacob, Krebs, Singleton 2003). Tikus

pohon memiliki memiliki bentuk rambut agak kasar, bentuk hidung kerucut, bentuk

badan silindris serta warna ekor bagian atas dan bawah coklat hitam. Tikus pohon

memiliki bobot tubuh 55-300 g, panjang kepala dan badan 130-200 mm. Tikus betina

memiliki lima pasang puting susu yaitu dua pasang di dada dan tiga pasang di perut

(Rochman 1992).

Biologi dan Ekologi

Tikus pohon merupakan jenis tikus yang memiliki kemampuan meloncat,

mengerat, memanjat, dan berenang dengan baik (Rochman 1992). Kemampuan tikus

pohon dalam memanjat didukung oleh adanya tonjolan pada telapak kaki yang

disebut dengan footpad yang relatif besar dan dengan permukaan yang kasar.

Footpad ini masih ditambah oleh cakar yang berguna untuk memperkuat pegangan,

serta ekor sebagai alat untuk keseimbangan pada saat memanjat (Priyambodo 2003).

Selain itu, tikus pohon mempunyai kemampuan mengerat yang tinggi sebagai

aktivitas untuk mengurangi pertumbuhan gigi seri yang tumbuh terus menerus. Hal

ini dapat dilihat dari adanya keratin pada kelapa, tebu, dan benda lain yang dikeratnya

(Walker 1999).

Penyebaran dari tikus pohon dipengaruhi oleh penyebaran sumberdaya pakan di

lingkungannya. Habitat setiap spesies tikus berbeda-beda, tetapi hal tersebut tidak

(20)

pohon pada umumnya ditemukan pada berbagai tanaman perkebunan seperti kelapa,

kelapa sawit, tebu, dan kakao. Pada tanaman kelapa sawit, tikus pohon membuat

sarang di antara pelepah daun kelapa sawit atau celah – celah yang ada diantara

pohon. Selain itu tikus pohon juga ditemukan pada lahan persawahan, areal pertanian,

lapangan terbuka, dan pekarangan rumah (Priyambodo 2003).

Tikus pohon termasuk golongan omnivora (pemakan segala) tetapi cenderung

untuk memakan biji-bijian atau serealia. Kebutuhan pakan dalam bentuk kering bagi

seekor tikus pohon setiap hari kurang lebih sekitar 10% dari bobot tubuhnya,

sedangkan untuk pakan dalam bentuk pakan basah sekitar 15% dari bobot tubuhnya

(Priyambodo 2003).

Kerugian yang Disebabkan oleh Tikus Sawah, Tikus Rumah dan Tikus Pohon

Tikus sawah (R. argentiventer) merupakan hama utama padi yang dapat

menimbulkan kerusakan besar pada semua stadia pertumbuhan padi dari persemaian

hingga panen, bahkan juga di gudang penyimpanan. Kerusakan parah terjadi jika

tikus menyerang padi pada stadia generatif, karena tanaman padi tidak mampu lagi

membentuk anakan yang baru. Tikus merusak tanaman padi mulai dari tengah petak,

kemudian meluas ke arah pinggir, dan menyisakan satu sampai dua baris padi di

pinggir petakan pada keadaan serangan berat. Kerusakan tanaman padi pada waktu

bunting dan bermalai adalah yang sangat berpengaruh terhadap turunnya produksi

(Brooks & Rowe 1979).

Asosiasi tikus dengan manusia banyak bersifat parasitisme. Tikus rumah (R.

rattus diardii) menyebabkan banyak kerugian yaitu kerusakan pada bangunan rumah,

kantor, gudang, dan pabrik. Aktivitas tikus dalam mengeratkan gigi serinya dan

menggali tanah atau membuat sarang dapat menimbulkan kerusakan pada bangunan

kantor, pabrik, gudang, atau rumah. Tikus rumah juga dapat menyebabkan

berkurangnya simpanan bahan makanan di rumah dan gudang makanan, kontaminasi

(21)

Leptospira sp., amoeba Entamoeba histolytica, Giardia muris dari tikus ke manusia

dan hewan peliharaan (zoonosis) (Priyambodo 2003).

Serangan tikus pohon (R. tiomanicus) menyebabkan kerugian yang cukup besar

pada bidang pertanian di Indonesia dan di banyak negara. Tikus pohon mampu

menyerang tanaman kelapa sawit, baik yang belum maupun yang sudah

menghasilkan. Pada tanaman yang baru ditanam dan belum menghasilkan, tikus

mengerat serta memakan bagian pangkal pelepah daun, sehingga mengakibatkan

pertumbuhan tanaman terhambat atau bahkan tanaman dapat mati jika keratan tikus

mengenai titik tumbuhnya. Pada tanaman kelapa sawit yang sudah menghasilkan,

tikus pohon dapat memakan buahnya (Sipayung, Sudharto, Lubis 1987). Bila pakan

yang ada di sekitar tikus berlimpah, maka tikus akan berkembang biak sangat cepat

sehingga kerusakan yang ditimbulkan juga semakin besar. Perkembangan tikus

sangat dipengaruhi oleh keadaan pakan dan lingkungan sekitar (Aplin et al 2003).

Metode Pengendalian Tikus Sawah, Tikus Rumah dan Tikus Pohon

Pengendalian tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon telah banyak

dikembangkan, hal ini bertujuan untuk mengurangi dampak kerugian yang

ditimbulkan. Pengendalian yang dapat dilakukan antara lain dengan cara kultur teknis

yaitu dengan membuat lingkungan yang tidak menguntungkan atau tidak mendukung

bagi kehidupan dan perkembangan populasi tikus, seperti membatasi makanan dan

tempat perlindungannya. Modifikasi lingkungan atau sanitasi merupakan

pengendalian jangka panjang, sedangkan penggunaan perangkap dan umpan beracun

merupakan pengendalian jangka pendek. Pengendalian sanitasi dengan melakukan

tindakan mengelola dan memelihara lingkungan sehingga tidak menarik dan tidak

sesuai bagi kehidupan dan perkembangbiakan tikus (Priyambodo 2003).

Pengendalian fisik-mekanis dengan usaha untuk mengubah lingkungan fisik

menjadi di atas atau di bawah toleransi tikus dan juga merupakan usaha manusia

untuk mematikan atau memindahkan tikus secara langsung dengan menggunakan

tangan atau dengan bantuan alat (Priyambodo 2003). Penggunaan perangkap

(22)

dalam aplikasinya metode ini merupakan cara yang efektif, aman, dan ekonomis

karena perangkap dapat mengurangi jumlah tenaga kerja (Darmawansyah 2008).

Penggunaan perangkap juga merupakan cara yang ramah lingkungan karena dalam

aplikasinya tidak menggunakan bahan kimia.

Pengendalian biologis adalah pengendalian menggunakan parasit, patogen dan

predator dan secara genetik yang dilakukan dengan pelepasan individu tikus yang

membawa gen perusak dan pelepasan individu steril atau mandul pada populasi tikus

untuk menurunkan laju reproduksi tikus. Pengendalian kimiawi dapat dilakukan

dengan menggunakan bahan kimia yang mampu mematikan atau mengganggu

aktivitas tikus (Priyambodo 2003).

Dalam upaya menekan kerusakan oleh tikus, pengendalian hama tikus secara

kimia merupakan alternatif yang paling umum dilakukan dibandingkan dengan

upaya pengendalian lainnya. Metode ini sangat mudah diaplikasikan dan didapatkan

hasil yang nyata. Meskipun demikian penggunaan bahan kimia dapat menimbulkan

beberapa masalah yaitu dapat meracuni hewan bukan sasaran, berbahaya bagi

lingkungan, serta harganya yang mahal menyebabkan cara ini kurang ekonomis.

Menurut cara kerjanya, rodentisida dibedakan menjadi racun akut dan racun kronis.

Racun akut bekerja lebih cepat dalam membunuh tikus dengan cara merusak system

syaraf dan melumpuhkannya. Racun kronis (antikoagulan) bekerja lebih lambat

dengan cara menghambat proses koagulasi atau penggumpalan darah serta memecah

pembuluh darah kapiler (Priyambodo 2003).

Rodentisida

Rodentisida merupakan bahan kimia yang digunakan dalam mengendalikan

tikus. Ditinjau dari cara penggunaannya, terdapat dua macam rodentisida yang umum

digunakan yaitu fumigasi dan umpan beracun. Fumigasi bersifat racun nafas dan

bahan yang biasanya banyak digunakan yaitu belerang oksida. Umpan beracun

bersifat racun perut yang berdasarkan cara kerjanya dibagi menjadi dua golongan

(23)

Rodentisida sintetik memberikan dampak negatif seperti keracunan bagi

manusia juga mencemari lingkungan tetapi keracunan pada manusia akibat racun

tikus tergantung kepada kandungan bahan aktif. Gejala keracunan akibat konsumsi

rodentisida ini akan terlihat dalam waktu yang cukup lama yaitu lebih dari dari 24

jam (Meehan 1984), sehingga diperlukan penggunaan rodentisida nabati yang lebih

ramah lingkungan. Keunggulan rodentisida nabati adalah murah dan mudah dalam

proses pembuatan, aman terhadap lingkungan, serta sulit menimbulkan resistensi

pada tikus (Sudarmo 2005).

Rodentisida Akut

Rodentisida akut merupakan kelompok rodentisida yang dapat menyebabkan

kematian tikus dalam 24 jam atau kurang setelah pemberian pada dosis yang

mematikan (Buckle dan Smith 1996). Kurun waktu tersebut berhubungan dengan

tingkat dosis yang diberikan, akibat dari peracunan dapat terlihat nyata dengan waktu

yang sangat cepat ketika diberikan rodentisida dalam jumlah besar. Racun akut

bekerja lebih cepat dalam membunuh tikus dengan cara merusak system syaraf dan

melumpuhkannya (Priyambodo 2003).

Rodentisida akut merupakan racun yang sangat berbahaya dan tidak memiliki

antidot yang spesifik, oleh karena itu jenis rodentisida ini dibatasi keberadaannya di

beberapa negara. Biasanya rodentisida ini hanya diizinkan digunakan oleh

profesional. Salah satu rodentisida akut yang sering digunakan dan merupakan

satu-satunya rodentisida akut yang diizinkan untuk digunakan oleh non profesional adalah

rodentisida yang berbahan aktif seng fosfida. Bahan aktif lain dari rodentisida yang

tergolong rodentisida akut adalah brometalin, crimidine, dan arsen trioksida.

Keseluruhan bahan aktif tersebut bekerja secara cepat dengan cara merusak jaringan

syaraf dalam saluran pencernaan dan masuk ke dalam aliran darah (Priyambodo

2003).

Seng Fosfida (Zn3P2). Seng fosfida umum digunakan sebagai rodentisida akut dan merupakan satu-satunya bahan aktif yang tersedia sangat luas dan diizinkan

(24)

berwarna hitam atau abu-abu dengan kemurnian 80-95%, mempunyai bau yang

menyengat, dan merupakan racun dengan kisaran luas pada hewan pengerat. Seng

fosfida diaplikasikan dengan menggunakan umpan dengan kisaran konsentrasi 1-5%

walaupun konsentrasi 1% merupakan konsentrasi yang paling banyak digunakan.

Formulasi yang tersedia merupakan bentuk siap pakai untuk langsung digunakan

(Ready-for-use) khususnya di Amerika Serikat.

Menurut Corrigan (1997) seng fosfida adalah suatu tepung yang berwarna

hitam keabu-abuan, dengan bau seperti bawang putih, yang diproduksi dengan cara

mengarahkan kombinasi antara seng dengan fosfor. Seng fosfida telah dikenal sejak

dulu sebagai racun tikus yang efektif, dapat tercampur dalam karbon disulfida dan

benzene, tetapi tidak dapat larut dalam alkohol dan air. LD50 seng fosfida terhadap

tikus adalah 45.7 mg/kg. Burung juga sangat sensitif terhadap racun ini. Racun akut

ini telah digunakan secara luas terhadap tikus. Lama kematian tikus setelah

mengkonsumsi rodentisida antara 17 menit sampai dengan beberapa jam.

Bahan aktif seng fosfida menghasilkan gas fosfin (PH3) yang dapat merusak

saluran pencernaan, masuk ke aliran darah dan menghancurkan liver (hati).

Rodentisida ini juga membunuh hewan vertebrata lainnya seperti anjing, kucing,

babi, ayam, dan itik dengan LD50 seng fosfida terdapat pada kisaran 20-40 mg/kg

(Buckle 1996).

Rodentisida Kronis

Rodentisida kronis merupakan racun yang bekerja secara lambat dengan cara

mengganggu metabolime vitamin K serta menganggu proses pembekuan darah

(Oudejans 1991). Menurut Sunarjo (1992) rodentisida kronis adalah kelompok

rodentisida yang mengandung senyawa yang dapat menghambat pembentukan

protrombin (bahan yang di dalam darah bertanggung jawab terhadap pembekuan

darah) dan merusak pembuluh kapiler sehingga merusak pembuluh darah internal.

Bahan aktif pada rodentisida kronis berdasarkan saat produksi terbagi menjadi

dua yaitu generasi I seperti warfarin, kumatetralil, fumarin, difasinon, pival dan

(25)

2003). Rodentisida antikoagulan generasi II dibuat karena sudah terjadi atau

diperkirakan akan terjadi resistensi tikus terhadap racun antikoagulan generasi I.

Dengan diproduksinya rodentisida antikoagulan generasi II ini diharapkan resistensi

tikus dapat dicegah. Rodentisida kronis lebih sering digunakan dibandingkan dengan

racun akut dalam pengendalian tikus karena dapat mengurangi sifat curiga dari tikus

yang lain. Bahan aktif dari rodentisida kronis bekerja dalam tubuh tikus dengan

lambat sehingga tikus tidak langsung mati di tempat setelah mengonsumsi racun

(Smith 1996).

Kumatetralil (C19H16O3). Kumatetralil merupakan salah satu dari sekian banyak rodentisida antikoagulan generasi pertama yang tersebar luas dan ditemukan

di Jerman beberapa tahun yang lalu dan racun tersebut tidak tersedia di Amerika

Serikat. Rodentisida ini berbentuk bubuk kristal berwarna putih kekuningan, tidak

dapat larut dalam air tetapi dapat larut dalam aseton dan ethanol. Rodentisida ini

merupakan suatu antikoagulan yang tidak menyebabkan jera umpan. Formulasi yang

digunakan sebesar 0.0375% yang telah dicampur dengan umpan. LD50 akut oral 16

mg/kg, tikus betina lebih peka terhadap racun ini dari pada tikus jantan (Prakash

1988).

Bromadiolon (C10H23BrO4). Bromadiolon merupakan jenis rodentisida yang digunakan untuk mengendalikan hewan pengerat pada bidang pertanian dan bekerja

dengan cara mengganggu peredaran darah normal. Bromadiolon termasuk racun

antikoagulan generasi kedua yang efektif terhadap tikus dan hewan pengerat lainnya,

juga terhadap tikus yang tahan terhadap racun antikoagulan generasi pertama.

Konsentrasi yang banyak digunakan yaitu 0.005% yang hanya memerlukan 24 jam

untuk dapat membunuh tikus sawah dan lima hari untuk membunuh tikus rumah

(Prakash 1988). Bromadiolon merupakan jenis rodentisida yang digunakan untuk

mengendalikan tikus dan mencit pada bidang pertanian dan perumahan (Meehan

1984). Bentuk fisik racun ini adalah blok berwarna hijau gelap atau biru.

Brodifakum (C31H23BrO). Brodifakum merupakan salah satu rodentisida antikoagulan generasi II yang potensial, terutama efektif terhadap spesies tikus yang

(26)

adalah blok dengan warna hijau dan biru sedangkan bentuk asli racun ini berupa

bubuk putih (Oudejans 1991). Cara kerjanya ditunjukkan dengan aktivitas dari

senyawanya yang dapat membuat tikus mati hanya satu hari setelah mengkonsumsi

umpan, yang merupakan bagian dari pakannya. Brodifakum merupakan produk yang

hampir tidak dapat larut dalam air. LD50 untuk tikus jantan adalah 0.27 mg/kg dan

untuk tikus betina 0.4 mg/kg. Hewan pengerat dapat menyerap dosis yang mematikan

dengan hanya 50 mg bahan aktif/ kg umpan sebagai bagian pakanannya. Brodifakum

bekerja sebagai antikoagulan yang tidak langsung terhadap tikus, termasuk juga

terhadap strain tikus yang resisten terhadap antikoagulan jenis lainnya (Oudejans

1991).

Flokumafen. Flokumafen merupakan senyawa kimia yang sama dengan

brodifakum, tidak larut dalam air, sedikit larut dalam alkohol dan larut dalam aseton.

Senyawa ini direkomendasikan penggunaannya dengan konsentrasi 0.005% pada

umpan beracun. Bentuk fisik racun ini adalah bentuk padat berwarna biru.

Rodentisida Nabati

Rodentisida nabati termasuk pestisida organik atau pestisida nabati, yaitu

merupakan bahan aktif tunggal atau majemuk yang berasal dari tumbuhan yang biasa

digunakan untuk mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan. Penggunaan

rodentisida nabati dapat mengurangi pencemaran lingkungan, selain itu harga relatif

lebih murah dibandingkan dengan rodentisida sintetik. Rodentisida nabati dapat

dibuat secara sederhana berupa larutan hasil perasan, rendaman, ekstrak, dan rebusan

bagian tumbuhan. Keunggulan rodentisida nabati yaitu murah dan mudah dalam

proses pembuatan, aman terhadap lingkungan, serta sulit menimbulkan resistensi

pada tikus. Selain itu terdapat pula kelemahannya yaitu daya kerja relatif lambat,

kurang praktis, serta tidak tahan disimpan (Sudarmo 2005).

Kelompok tumbuhan rodentisida nabati adalah kelompok tumbuhan yang

menghasilkan pestisida pengendali hewan rodentia. Tumbuhan-tumbuhan ini terbagi

menjadi dua jenis yaitu sebagai penekan kelahiran (efek aborsi atau kontrasepsi) dan

(27)

kelahiran umumnya mengandung steroid, sedangkan yang tergolong penekan

populasi biasanya mengandung alkaloid.

Gadung. Dalam bahasa latin gadung disebut Dioscorea hispidae Denust.

Umbi gadung ini memiliki kandungan 0.2 - 0.7% diosgenin dan 0.044% dioscorine.

Racun ini dapat menyebabkan kelumpuhan sistem saraf pusat (Flach and Rumawas

1996). Rodentisida dari umbi tanaman merambat ini menjadi salah satu bahan yang

dapat digunakan sebagai racun tikus yang berbahan alamiah yang bersifat mudah

terurai di alam sehingga tidak akan mengakibatkan pencemaran terhadap lingkungan

sekitar.

Mahoni. Mahoni (Swietenia mahagoni Jacq.) merupakan tanaman yang

termasuk dalam Famili Meliaceae. Untuk tanaman mahoni yang akan digunakan

sebagai tanaman obat, maka tidak boleh diberi pupuk kimia (anorganik) maupun

pestisida. Kandungan kimia mahoni ada dua macam, masing-masing saponin dan

flavonoida. Saponin banyak dijumpai dalam biji-biji seperti pada kedelai dan kecipir.

Dalam jumlah besar, saponin dapat memberi pengaruh negatif terhadap ternak

(Tangendjaja et al. 1991).

Jarak. Jarak (Ricinus communis) merupakan tanaman anggota Famili

Euphorbiaceae yang mempunyai sinonim R. inermis, R. speciosus, R. viridis, dan

Croton spinosa. Biji jarak memiliki kandungan ricin, suatu protein yang bersifat

toksin terhadap manusia, hewan, dan insekta. Semua bagian dari tanaman ini

mengandung ricin, namun konsentrasi tertinggi racun tersebut terdapat pada bijinya.

Mekanisme zat aktif ini menghalangi proses penyusunan protein esensial tubuh yang

dapat menyebabkan keabnormalan fungsi organ, seperti gagal ginjal. Racun lain yang

terkandung dalam biji jarak adalah RCA (Ricinus Comunic Agglutinin) yang

menyebabkan penggumpalan darah dan sebagai akibatnya hemolisis yang

mengakibatkan pecahnya sel-sel darah.

Bintaro. Bintaro (Cerbera odollam Gaertn.) merupakan tanaman yang

termasuk dalam Famili Apocynaceae. Walaupun berbentuk indah namun buah bintaro

tidak dapat dikonsumsi karena mengandung zat yang bersifat racun terhadap manusia.

(28)

yang disebut “cerberin” yaitu racun yang dapat menghambat saluran ion kalsium di

dalam otot jantung manusia, sehingga mengganggu detak jantung dan dapat

menyebabkan kematian. Bahkan asap dari pembakaran kayunya dapat menyebabkan

keracunan (Wibowo 2009).

Umpan Dasar

Beras

Beras merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk dunia.

Produksi beras dunia menempati peringkat ke dua setelah gandum (Tasar 2000).

Beras merupakan bagian dalam dari gabah yang telah digiling dan ditumbuk.

Permukaan beras ditutupi oleh selaput tipis yang mengandung protein, vitamin,

karbohidrat, mineral, dan lemak. Selaput tipis yang melingkupi permukaan beras ini

menentukan warna beras. Berdasarkan selaput yang melingkupi permukaan beras,

beras terbagi menjadi tiga yaitu beras ketan putih, beras merah, dan beras ketan hitam

(Soemadi dan Mutholib 1994).

Beras merupakan pangan paling penting di dunia untuk konsumsi manusia.

Sebagian terbesar karbohidrat di beras adalah pati dan hanya sebagian kecil pentosa,

selulosa, hemiselulosa, dan gula. Antara 85% hingga 90% dari berat kering beras

berupa pati. Pati pada endosperm beras berbentuk granula polyhedral berukuran 3 – 5

μm (Haryadi 2006).

Di gudang penyimpanan, beras merupakan media yang sangat baik untuk

perkembangan hama tikus dan hama gudang lainnya. Serangan hama pada perumahan

dan gudang penyimpanan dapat menurunkan kualitas dan kuantitas beras karena

jumlahnya yang melimpah sehingga sangat memungkinkan jika beras dapat

mengundang kedatangan hama (Nurdono 1990). Selain itu, beras juga digunakan

dalam campuran pada racun kronis dengan memenuhi kriteria umpan campuran pada

(29)

Gabah

Gabah merupakan bulir atau buah pada tanaman padi yang telah dipisahkan dari

jeraminya dan akan menjadi beras setelah dipisahkan dari kulitnya. Semua stadia

pertumbuhan padi sangat rentan terhadap serangan tikus. Tikus rumah dan tikus

pohon dapat menyerang pertanaman padi di sawah, terutama apabila ketersediaan

pakan di habitatnya berkurang. Biasanya pertanaman tersebut dekat dengan

perkebunan dan perumahan (Buckle and Smith 1996).

Selain menyerang pertanaman di sawah, tikus juga menyerang gabah pada

tempat penyimpanan. Serangan tikus dapat menyebabkan berkurangnya simpanan

gabah. Kerusakan yang ditimbulkan jauh lebih besar dari pada yang dikonsumsinya

karena cara makan yang sedikit demi sedikit pada bulir gabah. Untuk memenuhi

kebutuhan konsumsinya, tikus lebih banyak memakan bulir padi dan nyisakan bekas

bulir yang tidak dapat digunakan lagi (Nurdono 1990).

Tikus menyerang tanaman padi pada berbagai stadia pertumbuhan. Pada stadia

persemaian, tikus merusak tanaman padi dengan mencabut benih yang sudah mulai

tumbuh (bibit) untuk memakan bagian biji yang masih tersisa (endosperm). Pada

stadia vegetative, tikus memotong bagian pangkal batang untuk memakan bagian

batangnya. Pada stadia generatif, tikus dapat menyerang bagian malai atau bulir

(30)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen

Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor serta daerah

pengambilan tikus uji di Kabupaten Bogor (Kampung Carangpulan, Desa

Cikarawang, Kecamatan Dramaga), Kabupaten Subang (Kecamatan Patok Beusi) dan

Kabupaten Pati (Desa jambean, Kecamatan Margorejo). Penilian berlangsung dari

bulan September hingga Desember 2011.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah gelas tempat air minum,

mangkok tempat makan, pinset, bumbung bambu tempat persembunyian tikus,

timbangan elektronik (analytical top loading animal balance) (Gambar 1), timbangan

manual (triple beam animal balance) (Gambar 2), kandang tunggal (single cage)

(Gambar 3) sebagai tempat pengujian.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus sawah (R.

argentiventer), tikus rumah (R. rattus diardii) dan tikus pohon (R. tiomanicus),

rodentisida [berbahan aktif seng fosfida 1%, kumatetralil 0.005%, bromadiolon

0.005%, brodifakum 0.005%, flokumafen 0.005%, gadung (10%, 20%, 25%, 30%),

mahoni (8%, 16%, 24%, 32%), jarak (8%, 16%, 24%, 32%), bintaro (8%, 16%, 24%,

32%)], umpan dasar (beras dan gabah). Serta kuesioner mengenai pemahaman, sikap,

dan tindakan petani dari berbagai daerah tempat tikus uji tersebut diambil yang

(31)

[image:31.595.106.498.64.819.2]

Gambar 1 Timbangan elektronik

Gambar 2 Timbangan manual

[image:31.595.271.349.115.221.2]

Gambar 3 Kurungan tunggal (single case)

Metode

Tahap Persiapan

Sebelum dilakukan penelitian, maka terlebih dahulu dilakukan persiapan pada

hewan uji, rodentisida, umpan dasar dan kuesioner. Persiapan hewan uji dengan

mendatangkan tikus sawah dari hasil penangkapan di lahan persawahan Kabupaten

Subang dan Pati. Tikus rumah dan tikus pohon berasal dari hasil penangkapan

(32)

digunakan dalam pengujian ini sebanyak 1.228 ekor tikus sawah, 367 ekor tikus

rumah, dan 644 ekor tikus pohon.

Data juga didapatkan dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti di

Laboratorium Vertebrata Hama sejak Januari 2010 sampai Agustus 2011 yang

digunakan untuk membandingkan tingkat kejeraan tikus terhadap umpan dan

rodentisida jika dilihat dari waktu pengambilan tikus uji tersebut.

Untuk dapat digunakan sebagai hewan uji, tikus – tikus tersebut harus

memenuhi kriteria sebagai berikut: tidak bunting, berat badan lebih dari 70 g, dewasa,

perbandingan jenis kelamin 1:1, dan dalam keadaan sehat. Sebelum dilakukan

pengujian tikus yang diperoleh dari lapang tersebut perlu diadaptasikan terlebih

dahulu dengan diberi pakan gabah dan minuman yang berlimpah (ad libium) setiap

hari selama tiga sampai tujuh hari.

Setelah diadaptasikan tikus tersebut dipindahkan ke kandang tunggal (single

cage) yang sebelumnya ditimbang dahulu bobotnya dengan menggunakan timbangan

elektronik atau timbangan manual serta dilihat jenis kelaminnya. Setelah itu segera

diberi rodentisida atau umpan yang digunakan untuk pengujian.

Persiapan berikutnya adalah persiapan umpan dan rodentisida. Umpan yang

digunakan dalam pengujian ini adalah umpan dasar seperti gabah dan beras. Gabah

dan beras tersebut didapatkan dari penggilingan padi yang berada di sekitar kampus

IPB, Dramaga, Bogor serta dibeli dari toko. Rodentisida akut yang digunakan adalah

rodentisida berbentuk tepung yang aplikasinya dicampur dengan beras dan diberi

sedikit minyak nabati agar tepung menempel pada beras yang berbahan aktif seng

fosfida 1%. Rodentisida siap pakai (ready to use) yang digunakan adalah rodentisida

kronis yang berbahan aktif warfarin 0.005%, kumatetralil 0.005%, bromadiolon

0.005%, brodifakum 0.005%, flokumafen 0.005%. Rodentisida nabati yang

digunakan dibuat dengan mengambil ekstrak tumbuhan gadung (10%, 20%, 25%,

30%), mahoni (8%, 16%, 24%, 32%), jarak (8%, 16%, 24%, 32%), bintaro (8%,

16%, 24%, 32%). Untuk gadung, umbinya dibuat dalam bentuk blok sedangkan

mahoni, jarak merah, dan bintaro dalam bentuk ekstrak kasar yang campur dengan

(33)

Persiapan yang terakhir adalah pembuatan kuesioner. Kuesioner tersebut

berisikan tentang pemahaman, sikap, dan tindakan petani tentang tikus sawah, tikus

rumah, dan tikus pohon yang berada di daerah tempat tikus uji tersebut diambil.

Kuesioner tersebut berisi 20 pertanyaan dan diberikan kepada 67 responden.

Tahap Pengujian Rodentisida

Pengujian rodentisida dilakukan untuk mengetahui tingkat kejeraan tikus

terhadap rodentisida. Pengujian tingkat kejeraan tikus tersebut menggunakan metode

tanpa pilihan (no choice test). Asumsi konsumsi untuk setiap jenis rodentisida adalah

jika blok atau capuran umpan dan rodentisida tersebut telah dimakan ≥ 1 g.

Rodentisida akut (Gambar 4) yang berbahan aktif seng fosfida sebanyak 1%

dicampur dengan beras dan ditambah minyak nabati agar bubuk seng fosfida tersebut

menempel pada beras. Campuran beras dan bubuk seng fosfida tersebut ditaruh pada

mangkok sebanyak 10-11 g. Campuran tersebut diberikan pada tikus dan dilihat

jumlah hari penundaan konsumsi oleh tikus tersebut untuk menentukan tingkat

kejeraan tikus tersebut.

Rodentisida kronis (Gambar 5) yang berbahan aktif kumatetralil,

bromadiolon, brodifakum, dan flokumafen diletakkan pada mangkok sebanyak 4-5

blok (tergantung bobot tubuh tikus). Sebelum diberikan kepada tikus, rodentisida

kronis ditimbang dahulu bobot blok tersebut. Blok tersebut diberikan pada tikus dan

dilihat jumlah hari penundaan konsumsi oleh tikus tersebut untuk menentukan tingkat

kejeraan tikus tersebut.

Rodentisida nabati (Gambar 6) yang berbahan aktif gadung diberikan dalam

bentuk blok. Setiap mangkok diberi 1 blok yang sebelumnya ditimbang terlebih

dahulu bobotnya. Untuk bahan aktif mahoni, jarak merah, dan bintaro diberikan

dalam ekstrak kasar yang dicampur dengan beras dan bahan tambahan lainnya. Setiap

mangkok diberikan 15-16 g. Rodentisida tersebut diberikan pada tikus dan dilihat

jumlah hari penundaan kansumsi oleh tikus tersebut untuk menentukan tingkat

(34)

Semua rodentisida tersebut diujikan pada tikus sawah, tikus rumah dan tikus

pohon. Pengamatan dilakukan setiap hari untuk menghitung konsumsi terhadap

rodentisida dengan cara mengurangi bobot awal dengan bobot akhir termasuk

rodentisida yang tercecer pada bagian dasar kandang.

Setelah konsumsi tikus tersebut sudah dihitung makan dapat diketahui tingkat

kejeraaan tikus dari rodentisida yang diberikan. Pencatatan dilakukan terhadap

jumlah hari penundaan konsumsi. Kemudian dilakukan perhitungan persentasi

terhadap tingkat jera tikus terhadap rodentisida dengan skala skoring.

Tahap Pengujian Umpan Dasar

Pengujian tingkat jera umpan pada tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon

dengan umpan dasar (Gambar 7) yaitu beras dan gabah. Pengujian ini dilakukan

untuk mengetahui tingkat kejeraan tikus terhadap umpan dasar serta sebagai

pembanding terhadap rodentisida. Pengujian dilakukan dengan memberikan beras dan

gabah sebesar 20-21 g setiap mangkok kepada tikus uji. Pengamatan dilakukan setiap

hari dan dicatat konsumsi tikus terhadap umpan dasar tersebut (asumsi konsumsi

adalah umpan tersebut telah dimakan ≥ 1 g) serta jumlah hari penundaan konsumsi.

Setalah itu dilakukan perhitungan persentase tingkat jera tikus terhadap umpan

dengan skala skoring.

Tahap Pemberian Kuesioner

Metode ini dilakukan untuk mengetahui faktor penyebab tingkat kejeraan

tikus terhadap umpan dan rodentisida dengan melakukan wawancara dan pemberian

kuesioner terhadap petani yang sawahnya digunakan untuk mengambil tikus sawah di

Kabupaten Subang dan Pati. Demikian juga pemberian kuesioner kepada masyarakat

yang rumahnya digunakan untuk mengambil tikus rumah dan petani yang ladangnya

digunakan untuk mengambil tikus pohon di Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga,

Kabupaten Bogor. Kuesioner tersebut berisi kurang lebih 20 pertanyaan yang

diberikan kepada 67 responden tentang pemahaman, sikap, dan tindakan terhadap

(35)

rodentisida. Data tersebut dikumpulkan, diolah, dilihat pengaruhnya, serta

dihubungkan dan dibandingkan dengan hasil perhitungan tingkat kejeraan tikus

terhadap umpan dan rodentisida. Dari hasil pembandingan tersebut dapat diambil

[image:35.595.103.504.109.753.2]

korelasi faktor yang menjadi penyebab tingkat kejeraan tersebut.

Gambar 4 Rodentisida akut

kumatetralil granural kumatetralil blok bromadiolon 2

bromadiolon 3 bromadiolon 4 brodifakum 1

(36)

brodifakum 7 brodifakum 8 brodifakum 10

brodifakum 13 brodifakum 15 brodifakum 16

[image:36.595.102.507.98.790.2]

brodifakum 17 flokumafen

Gambar 5 Rodentisida kronis

gadung mahoni jarak bintaro

(37)
[image:37.595.358.479.118.212.2]

beras gabah

Gambar 7 Umpan dasar (beras dan gabah)  

Perhitungan Tingkat Kejeraan Tikus terhadap Umpan dan Rodentisida

Perhitungan tingkat kejeraan umpan dan rodentisida didapatkan dengan

metode skoring jera konsumsi umpan dan rodentisida.

Tabel 1 Skoring tingkat kejeraan tikus terhadap umpan dan rodentisida

Skala Skor Konsumsi Tikus Hari ke- Tingkat Kejeraan

0 0 tidak ada

1 1-2 sangat rendah

2 3-4 rendah

3 5-6 sedang

4 7-8 tinggi

5 >8 sangat tinggi

Setelah dikelompokkan tingkat kejeraan konsumsi tikus terhadap umpan dan

rodentisida maka dilanjutkan dengan menghitung persentasi tingkat kejeraan dengan

menggunakan rumus:

PK =   ∑    

(38)

Keterangan: PK = Persentasi Kejeraan

vi = Skoring/nilai

V = Nilai skor terbesar

ni = Jumlah tikus uji di dalam skor

N = Jumlah tikus uji yang diamati

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan untuk mengamati tingkat kejeraan tikus

terhadap rodentisida kronis (berbahan aktif bromadiolon) dan umpan dasar (beras)

adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 hewan uji dan 3 daerah yaitu tikus

sawah Subang, tikus sawah Pati, tikus rumah Bogor, dan tikus pohon Bogor yang

digunakan sebagai perlakuan dan presentase kejeraan tikus dari setiap rodentisida dan

umpan sebagai ulangan. Perbandingan nilai tengah dan analisis ragam diproses

dengan one way ANOVA, apabila hasil yang diperoleh berbeda nyata maka

dilanjutkan dengan Uji Selang Ganda Duncan (Duncan Multiple Range Test) pada

taraf α = 5% dan taraf α = 1% menggunakan bantuan program SAS for Windows V.

(39)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengujian Tingkat Kejeraan Tikus Sawah (R. argentiventer) dan Tikus Rumah (R. rattus diardii) terhadap Rodentisida Seng Fosfida

Pengujian tingkat kejeraan tikus sawah dan tikus rumah terhadap seng fosfida

dengan perlakuan no-choice diperoleh hasilpada Tabel 2.

Tabel 2 Tingkat kejeraan tikus sawah dan tikus rumah terhadap seng fosfida

Perlakuan Tingkat kejeraan (%)

Tikus sawah Subang Tikus sawah Pati Tikus rumah Bogor

Seng fosfida 1 12.43 NT NT

Seng fosfida 2 14.00 NT NT

Seng fosfida 3 NT 14.05 10.00

Seng fosfida 4 NT 0.00 NT

Rataan 13.22 7.03 10.00

Ket. NT tidak dilakukan pengujian

Seng fosfida merupakan bahan aktif dari rodentisida akut yang dapat

mematikan tikus hanya dalam beberapa jam dan hanya dengan sedikit konsumsi

rodentisida tersebut. Pada umumnya seng fosfida diaplikasikan untuk tikus sawah

tetapi juga beberapa diaplikasikan untuk tikus rumah. Seng fosfida tersebut memiliki

kelemahan, karena dapat mematikan tikus dengan cepat. Pada aplikasi di lapangan

jika seekor tikus sudah memakan rodentisida tersebut dengan umpan beras lalu mati

tidak jauh dari tempat pemberian, maka tikus lain yang melihat seekor tikus sudah

mati setelah memakan rodentisida, tidak mau memakannya lagi (jera racun).

Tingkat kejeraan tikus sawah Subang terhadap rodentisida akut berbahan aktif

seng fosfida menunjukkan bahwa terhadap seng fosfida 2 (14%) memiliki tingkat

kejeraan terhadap rodentisida yang lebih tinggi dari pada seng fosfida 1 (12.43%).

Hasil tersebut tidak berbeda jauh karena menurut hasil wawancara melalui kuesioner

terhadap petani di Kabupaten Subang, dari 20 responden, semua menggunakan seng

fosfida untuk mengendalikan tikus sawah. Tikus sawah pada uji tersebut sudah jera

terhadap seng fosfida karena bahan aktif tersebut merupakan racun akut dengan bau

(40)

Tingkat kejeraan tikus sawah Pati terhadap rodentisida akut berbahan aktif seng

fosfida menunjukkan bahwa tingkat kejeraan yang lebih tinggi terhadap seng fosfida

3 (14.05%) dibandingkan dengan seng fosfida 4 (0%). Hal tersebut karena perbedaan

waktu dalam pengambilan, serta alat transportasi yang digunakan untuk mengambil

tikus sawah uji tersebut. Pengambilan tikus sawah uji untuk perlakuan seng fosfida 3

lebih dahulu serta menggunakan alat transportasi berupa bus dan ditempatkan pada

bagasi sehingga panas. Tikus sawah pada seng fosfida 4 diambil dengan yang

menggunakan alat transportasi mobil sedan sehingga lebih mendapat udara bebas

yang berpengaruh terhadap kondisi psikologis dari tikus sawah tersebut.

Untuk tikus rumah jarang diberi perlakuan seng fosfida karena tikus rumah

biasanya akan jera jika melihat tikus lain mati setelah mengonsumsi umpan yang

diberi seng fosfida tersebut. Seng fosfida mempunyai kelebihan yaitu matinya tikus

tidak jauh dari tempat memakan umpan yang diberi seng fosfida, maka dapat

langsung diambil dan dikubur. Sementara itu pada rodentisida kronis tikus dapat mati

di sembarang tempat, sehingga dapat menimbulkan bau yang tidak sedap. Persentase

kejeraan tikus rumah terhadap seng fosfida sebesar 10% karena tikus rumah tersebut

mengalami penundaan konsumsi yang cukup lama.

Pengujian Tingkat Kejeraan Tikus Sawah (R. argentiventer) dan Tikus Pohon (R. tiomanicus) terhadap Rodentisida Kumatetralil

Pengujian tingkat kejeraan tikus sawah dan tikus pohon terhadap kumatetralil

dengan metode perlakuan no-choice didapatkan hasil persentase kejeraan yang

terdapat pada Tabel 3. Tingkat kejeraan tikus sawah Subang terhadap rodentisida

kronis berbahan aktif kumatetralil menunjukkan bahwa tingkat kejeraan tertinggi

terhadap kumatetralil 1 (38.33%) dan tingkat kejeraan terendah terhadap kumatetralil

3 (14.44%). Hal tersebut karena tikus sawah uji mengalami penundaan konsumsi

terhadap kumatetralil 1. Dari 36 tikus uji, selama 1 hari mengalami penundaan

konsumsi 1 tikus, 1 tikus selama 8 hari, 9 tikus selama 9 hari, 1 tikus selama 11 hari.

Penyebabnya adalah faktor pemerangkapan tikus, yang mempengaruhi kejeraan tikus

(41)

hari sehingga kurang lama yang menyebabkan tikus sawah kurang nyaman dengan

kondisi lingkungan sekitar karena minimal waktu untuk adaptasi adalah 3 hari agar

tikus mulai terbiasa dengan keadaan di dalam laboratorium pengujian (Permadi

2009).

Tabel 3 Tingkat kejeraan tikus sawah dan tikus pohon terhadap kumatetralil

Perlakuan Tingkat Kejeraan (%)

Tikus sawah Subang Tikus sawah Pati Tikus pohon Bogor

Kumatetralil 1 38.33 9.33 NT

Kumatetralil 2 NT NT 6.38

Kumatetrallil 3 14.44 NT 1.21

Rataan 26.39 9.33 3.80 Ket. NT tidak dilakukan pengujian

Tingkat kejeraan tikus sawah Pati terhadap rodentisida kronis berbahan aktif

kumatetralil menunjukkan bahwa persentase kejeraan terhadap kumatetralil sebesar

9.33%. Tingkat kejeraan tersebut seharusnya tidak setinggi ini, tetapi hal tersebut

dapat terjadi karena perpindahan jarak yang jauh dari Kabupaten Pati sampai ke

Bogor menyebabkan kondisi tikus menjadi kurang sehat dan psikologis tikus menjadi

terganggu sehingga nafsu makan tikus menurun yang menyebabkan penundaan

terhadap konsumsi rodentisida.

Tingkat kejeraan tikus pohon Bogor terhadap rodentisida kronis berbahan aktif

kumatetralil menunjukkan bahwa kumatetralil 2 (6.38%) mempunyai tingkat kejeraan

tikus yang lebih tinggi dari pada kumatetralil 3 (1.21%). Hal tersebut karena tikus

pohon mengalami penundaan konsumsi yang cukup lama untuk kumatetralil 2 yaitu

ada 2 tikus yang mengalami penundaan konsumsi selama 5 hari, 1 tikus selama 3

hari, 3 tikus selama 2 hari, dan 4 tikus selama 1 hari. sedangkan untuk kumatetralil 3

hanya 2 tikus pohon yang mengalami penundaan konsumsi selama 3 hari.

Pengujian Tingkat Kejeraan Tikus Sawah (R. argentiventer), Tikus Rumah (R. rattus diardii) dan Tikus Pohon (R. tiomanicus) terhadap Rodentisida

Bromadiolon

Pengujian tingkat kejeraan tikus terhadap rodentisida bromadiolon yang

(42)

no-choice (tanpa pilihan) diperoleh hasil persentase kejeraan seperti yang ditunjukkan

pada Tabel 4.

Tabel 4 Tingkat kejeraan tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon terhadap bromadiolon

Perlakuan Tingkat Kejeraan (%)

Tikus sawah Subang Tikus rumah Bogor Tikus pohon Bogor

Bromadiolon 1 5.64 NT NT

Bromadiolon 2 14.35 NT NT

Bromadiolon 3 NT 5.33 NT

Bromadiolon 4 NT 1.29 NT

Bromadiolon 5 8.52 NT NT

Bromadiolon 6 18.71 NT NT

Bromadiolon 7 18.33 NT 11.67

Rataan 13.11 3.31 11.67 Ket. NT tidak dilakukan pengujian

Tingkat kejeraan tikus sawah Subang terhadap rodentisida kronis yang

berbahan aktif bromadiolon menunjukkan paling tinggi pada bromadiolon 6 (18.71%)

dan paling rendah pada bromadiolon 1 (5.64%). Hal ini karena pada bromadilon 6

dilakukan pengujian terhadap tikus sawah uji terlebih dahulu dibandingkan dengan

bromadiolon 1. Menurut hasil wawancara melalui kuesioner terhadap petani di

Kabupaten Subang, dalam sejarahnya pengendalian hama tikus sebelum tahun 80-an

dilakukan dengan digali dan dipukul (gropyok). Mulai tahun 80-an digunakan

emposan dan rodentisida. Awal tahun 2000-an digunakan sistem TBS (Trap Barrier

System) serta gropyokan yang setiap minggu berjalan dengan baik, sementara

penggunaan rodentisida sudah mulai berkurang. Efek dari penggunaan rodentisida

yang secara intensif adalah meningkatkan kejeraan tikus terhadap rodentisida. Sejak

awal tahun 2000-an penggunaan rodentisida sudah mulai berkurang tetapi efeknya

dapat dirasakan sampai beberapa tahun ke depan, maka tingkat kejeraan tikus

terhadap rodentisida tersebut mulai menurun setelah jarang digunakan rodentisida.

Tingkat kejeraan tikus rumah Bogor terhadap rodentisida kronis berbahan aktif

bromadiolon menunjukkan bahwa bromadiolon 3 (5.33%) menunjukkan tingkat

kejeraan yang lebih tinggi dari pada bromadilon 4 (1.29%). Menurut hasil wawancara

(43)

responden ada 7 orang yang menggunakan rodentisida dan 2 diantaranya

menggunakan bromadiolon 4, sehingga bromadiolon 4 lebih dikenali oleh tikus

rumah, dilihat dari tingginya tingkat konsumsi, sehingga tingkat kejeraannya lebih

rendah dibandingkan bromadiolon 3.

Tikus pohon Bogor diprediksi menunjukkan tingkat kejeraan yang paling

rendah dibandingkan dengan tikus sawah dan tikus rumah tetapi pada bromadiolon 7

mencapai 11.67%. Hal tersebut karena dari 12 tikus ada 1 tikus yang bertahan sampai

hari ke 10 dengan tidak mengonsusmsi rodentisida tersebut dan akhirnya perlakuan

dihentikan.

Pengujian Tingkat Kejeraan Tikus Sawah (R. argentiventer), Tikus Rumah (R. rattus diardii) dan Tikus Pohon (R. tiomanicus) terhadap Rodentisida

Brodifakum

Hasil yang diperoleh dari pengujian tingkat kejeraan tikus sawah, tikus rumah,

dan tikus pohon terhadap rodentisida brodifakum menunjukkan persentase kejeraan

pada Tabel 5. Tingkat kejeraan tikus sawah Subang terhadap rodentisida kronis

berbahan aktif brodifakum menunjukkan bahwa brodifakum 14 (41.25%) memiliki

tingkat kejeraan tertinggi dan brodifakum 16 (8.09%) memiliki tingkat kejeraan

terendah. Tingkat kejeraan tersebut dikarenakan perbedaan waktu pengambilan tikus

sawah tersebut. Dari hasil wawancara melalui kuesioner terhadap petani di Kabupaten

Subang terhadap 20 petani, 3 diantaranya menggunakan rodentisida kronis berbahan

aktif brodifakum dan juga rodentisida akut berbahan aktif seng fosfida. Alasan

kurang menggunakan rodentisida akut karena rodentisida tersebut akan luntur jika

terkena hujan. Rodentisida akut berbentuk tepung, dengan umpan gabah yang

dicampur dengan oli atau minyak sayur sebagai perekat. Pada musim hujan

digunakan rodentisida kronis berbahan aktif brodifakum dengan dosis yang tidak

(44)
[image:44.595.110.526.152.529.2]

Tabel 5 Tingkat kejeraan tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon terhadap brodifakum

Perlakuan Tingkat kejeraan (%)

Tikus sawah Subang

Tikus sawah Pati

Tikus rumah Bogor

Tikus pohon Bogor

Brodifakum 1 NT NT NT 4.00

Brodifakum 2 NT NT NT 10.91

Brodifakum 3 20.87 NT NT NT

Brodifakum 4 10.91 NT 4.76 5.90

Brodifakum 5 13.30 NT 8.00 4.00

Brodifakum 6 NT NT 5.37 NT

Brodifakum 7 NT NT NT 7.22

Brodifakum 8 27.59 NT NT NT

Brodifakum 9 13.60 NT NT NT

Brodifakum 10 NT NT 6.38 NT

Brodifakum 11 33.33 5.93 0.00 3.45

Brodifakum 12 30.77 4.44 6.67 1.94

Brodifakum 13 40.87 4.29 3.33 0.61

Brodifakum 14 41.25 6.67 NT 4.52

Brodifakum 15 NT NT NT 6.00

Brodifakum 16 8.09 NT NT NT

Brodifakum 17 NT NT NT 4.00

Brodifakum 18 20.53 NT NT NT

Brodifakum 19 14.55 NT NT 1.67

Brodifakum 20 20.00 NT NT 4.62

Brodifakum 21 25.00 NT NT 0.00

Brodifakum 22 NT NT NT 1.67

Brodifakum 23 18.58 NT NT 0.00

Rataan 22.62 5.33 4.93 3.78

Ket. NT tidak dilakukan pengujian

Tingkat kejeraan tikus sawah Pati terhadap rodentisida kronis berbahan aktif

brodifakum menunjukkan bahwa tingkat kejeraan tertinggi pada brodifakum 14

(6.67%) dan tingkat kejeraan terendah pada brodifakum 13 (4.29%). Hal tersebut

disebabkan oleh tikus sawah uji pada brodifakum 14 mengalami penundaan konsumsi

lebih lama dibandingkan dengan brodifakum 13. Pada perlakuan brodifakum 14 ada

satu tikus yang mengalami penundaan konsumsi sampai 5 hari yang dapat disebabkan

oleh kondisi tikus yang kurang fit atau faktor psikologis dari tikus tersebut. Menurut

hasil wawancara melalui kuesioner terhadap petani di Kabupaten Pati, pengendalian

(45)

mengalami tekanan pengendalian dari manusia, sehingga belum memiliki tingkat

kejeraan yang tinggi.

Tingkat kejeraan tikus rumah Bogor terhadap rodentisida kronis berbahan aktif

brodifakum menunjukkan persentase kejeraan tertinggi terhadap brodifakum 5 (8%)

dan terendah terhadap brodifakum 13 (3.33%). Brodifakum 5 lebih sering

diaplikasikan sehingga seharusnya tikus lebih mengenali brodifakum 5 dibandingkan

brodifakum 13 karena menurut hasil wawancara yang dilakukan melalui kuesioner

terhadap masyarakat Desa Cikarawang, Dramaga, Bogor bahwa dari 16 responden

ada 7 orang yang pengendaliannya menggunakan rodentisida dan 4 diantaranya

menggunakan brodifakum 5. Dengan sering diaplikasikan, maka tikus rumah sudah

mengenali rodentisida tersebut maka seharusnya tikus tidak mengalami penundaan

konsumsi tetapi yan

Gambar

Gambar 3 Kurungan tunggal (single case)
Gambar 4 Rodentisida akut
Gambar 5 Rodentisida kronis
Gambar 7 Umpan dasar (beras dan gabah)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil estimasi dengan pendekatan model ADL menunjukkan bahwa dari ketiga variabel bebas, hanya variabel pendapatan (GDP) yang berpengaruh signifikan dan positif

(P), mengukur besarnya net shift Kabupaten Kediri yang diakibatkan oleh komposisi sektor-sektor PDRB Kabupaten Kediri yang berubah. Apabila P>0, artinya Kabupaten

Untuk mewujudkan hal tersebut, adanya perpaduan dari Pendekatan Healing Environment dirasa perlu untuk memberikan kesan alam yang dapat memberikan kenyamanan pada

Berdasarkan ketentuan di atas dengan adanya suatu bentuk perjanjian yang di tuangkan dalam Surat Perintah Kerja harus di sertai dengan perjanjian khusus yang

Dari gambar transformasi diatas bentuk atap asli rumah adat bali yang di transformasikan menjadi sebuah simple design pada elemen estetika pada pengaplikasian dinding

Sedangkan menurut Bapak guru pendidikan agama islam sebagai berikut: “bahwa faktor penghambat pelaksanaan pendidikan agama islam adalah kurangnya minat peserta didik mengenai

The steps that the researcher used in collecting the data are; the researcher asked the students to compose a descriptive text, the researcher collected the data