KONSEP JALUR HIJAU JALAN DI KOTA TANGERANG
SEPTHYAN SUSETYO ARIBOWO
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perencanaan Jalur Hijau Jalan di Kota Tangerang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dalam karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2013
Septhyan Susetyo Aribowo
ABSTRAK
SEPTHYAN SUSETYO ARIBOWO. Perencanaan Jalur Hijau Jalan di Kota Tangerang. Dibimbing oleh BAMBANG SULISTYANTARA.
Telah dilakukan penelitian perencanaan jalur hijau jalan di Kota Tangerang, Provinsi Banten. Kota Tangerang merupakan kota besar di Indonesia yang mengalami dampak buruk dalam penataan ruang sehingga kualitas lingkungan Kota Tangerang mengalami penurunan baik dari suhu udara maupun kualitas udaranya. Penggunaan wilayah pada Kota Tangerang harus mempertimbangkan penataan ruang yang baik dalam pemanfaatan ruang sebagai jalur hijau. Penelitian perencanaan jalur hijau jalan ini dilakukan di tiga penggunaan lahan meliputi wilayah industri, perdagangan dan pemukiman yang tersebar di kecamatan Batu Ceper, Tangerang dan Cipondoh. Dari hasil penelitian menyatakan bahwa pemanfaatan jalur hijau jalan di wilayah tersebut belum dimanfaatkan secara optimal. Hal ini terlihat dari belum teraturnya jarak penanaman, kurangnya tanaman, tanaman yang tidak terawat dan tanaman mati. Hasil penelitian ini menunnjukkan perlunya perubahan perencanaan dibeberapa titik jalur hijau jalan di Kota Tangerang sehingga manfaat jalur hijau jalan dapat meningkatkan kualitas lingkungan.
Kata kunci: jalur hijau, jalan, perencanaan kota
ABSTRACT
SEPTHYAN SUSETYO ARIBOWO. Planning of Green Line Street in Tangerang City. Supervised by BAMBANG SULISTYANTARA.
Planning of green line street was studied in Tangerang City, Banten Province. Tangerang is a city in Indonesia that has bad impact in spatial planning such as the intensive building development, so the quality of the environment in this city decreases especially in air quality. The land use in this city should consider on good spatial planning with land use as a green line. Study of planning of green line street was conducted in 3 landuse includes industry area, commertial area, and residential area wich diffused in Batuceper subdisctirck, Tangerang subdisctrick dan Cipondoh subdistrick. The result of this study show that the fuction of green line street in this area was not optimum used. It is seen from irregular of planting plant, less plant, not maintained properly of plant and dead plant. These results showed necessary to make planning of green line street in Tangerang City so it can be increase the quality of environment.
KONSEP JALUR HIJAU JALAN DIKOTA TANGERANG
SEPTHYAN SUSETYO ARIBOWO
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
pada
Departemen Arsitektur Lanskap
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Judul Skripsi : Konsep Jalur Hijau Jalan di Kota Tangerang Nama : Septhyan Susetyo Aribowo
NIM : A44080028
Disetujui oleh
Dr. Ir. Bambang Sulistyantara , M.Agr Pembimbing
Diketahui oleh
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kesempatan, waktu, ide, dan pertolongan yang telah dianugerahkan-Nya sehingga skripsi penelitian dengan judul Perencanaan Jalur Hijau Jalan di Kota Tangerang dapat terselesaikan. Skripsi penelitian ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Keberhasilan studi ini tidak terlepas dari kukungan berbagai pihak, dan pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. Ir. Bambang Sulistyantara, M.Agr sebagai dosen pembimbing skripsi atas bimbingannya selama penyusunan skripsi
2. Fitriah Nurul HU, ST MT sebagai dosen pembimbing akademik atas bimbingannya selama masa perkuliahan.
3. Semua dosen, staf administarsi dan pegawai Departemen Arsitektur Lanskap IPB.
4. Kedua orang tua, Sumadi dan Arini Nurhandayani atas doa, bimbingan, dukungan serta motivasi yang tidak pernah henti.
5. Drs. Atep Mahpud, M.Si sebagai Kepala Badan Kesbang dan Politik Provinsi Banten
6. Drs. H. Habibullah, M.Si sebagai Kepala Kantor KesBangLinMas Kota Tangerang.
7. Teman-teman ARL 45 atas kebersamaannya selama ini.
8. Rathih Wulansari, STP atas dukungan dan motivasinya selama ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa isi skripsi penelitian ini belum sempurna. Walaupun demikian, penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat.
Bogor, Desember 2013
DAFTAR ISI
Tanaman Jalur Hijau 5
Kota 7
Jalan 7
METODOLOGI 8
Waktu Dan Tempat Penelitian 8
Alat Dan Bahan 9
Vegetasi Jalan Arteri Kawasan Industri 23
Vegetasi Jalan Arteri Kawasan Perdagangan 23
Vegetasi Jalan Arteri Kawasan Pemukiman 24
Vegetasi Jalan Kolektor Kawasan Industri 24
Vegetasi Jalan Kolektor Kawasan Perdagangan 24
Vegetasi Jalan Kolektor Kawasan Pemukiman 25
Vegetasi Jalan Lokal Kawasan Industri 25
Vegetasi Jalan Lokal Kawasan Perdagangan 26
Vegetasi Jalan Lokal Kawasan Pemukiman 26
Vegetasi 29
Drainase 30
SINTESIS 30
Topografi 30
Geologi 31
Hidrologi 31
Penggunaan Lahan 31
Jaringan Sirkulasi 31
Kendaraan Transportasi 32
Fasilitas Umum 33
Vegetasi 33
Drainase 35
PERENCANAAN 35
Jalan Arteri 35
Kawasan Industri 35
Kawasan Perdagangan 39
Kawasan Pemukiman 42
Jalan Kolektor 45
Kawasan Industri 45
Kawasan Perdagangan 48
Kawasan Pemukiman 51
Jalan Lokal 54
Kawasan Industri 54
Kawasan Perdagangan 57
Kawasan Pemukiman 60
SIMPULAN DAN SARAN 63
DAFTAR PUSTAKA 64
DAFTAR
TABEL
Tabel 1 Matriks Elemen Jalan Berdasarkan Klasifikasi Jalan dan
Penggunaan Lahan pada Wilayah Industri 11
Tabel 2 Matriks Elemen Jalan Berdasarkan Klasifikasi Jalan dan
Penggunaan Lahan pada Wilayah Perdagangan 12
Tabel 3 Matriks Elemen Jalan Berdasarkan Klasifikasi Jalan dan
Penggunaan Lahan pada Wilayah Pemukiman 12
Tabel 4 Luas Daerah menurut Kecamatan di Kota Tangerang Banten 2011 14
Tabel 5 Topografi Wilayah dan Ketinggian 15
Tabel 6 Daerah Aliran Sungai di Kota Tangerang 16
Tabel 7 Danau di Kota Tangerang 17
Tabel 8 Temperatur dan Kelembaban Udara di Kota Tangerang 17
Tabel 9 Curah Hujan di Kota Tangerang 18
Tabel 10 Luasan Penggunaan Lahan Tahun 2010 19
Tabel 11 Matriks Elemen Jalan Berdasarkan Klasifikasi Jalan pada Wilayah
Industri 20
Tabel 12 Matriks Elemen Jalan Berdasarkan Klasifikasi Jalan pada Wilayah
Tabel 13 Matriks Elemen Jalan Berdasarkan Klasifikasi Jalan pada Wilayah
Pemukiman 21
Tabel 14 Jumlah Rata-rata Kendaraan yang Melintasi Kota Tangerang
Berdasarkan Penggunaan Lahan dan Klasifikasi Jalan 21
Tabel 15 Populasi Kendaraan menurut Jenis Kendaraan di Kota Tangerang,
2011 22
Tabel 16 Tingkat Polusi Udara Kota Tangerang Berdasarkan Jumlah
Kendaraan 33
Tabel 17 Rencana Pola Penanaman dan Jarak Tanam 34
Tabel 18 Matriks Pemilihan Karakter Tanaman Ideal Berdasarkan
Penggunaan Lahan 34
Tabel 19 Matriks Pemilihan Karakter Tanaman Ideal Berdasarkan
Penggunaan Lahan dan Pola Tanam 63
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Nilai fungsional vegetasi (Carpenter et al. 1975) 4
Gambar 2 Provinsi Banten Gambar 3 Kota Tangerang 9
(googlemaps.com) (googlemaps.com) 9
Gambar 4 Tahapan Perencanaan Jalur Hijau Jalan 10
Gambar 5 Peta Administrasi Kecamatan Kota Tangerang 14
Gambar 6 Peta Jaringan Jalan di KotaTangerang 20
Gambar 7 JPO di Jalan Arteri Kawasan Pemukiman 22
Gambar 8 Perbaikan Pedestrian di Jalan Arteri Kawasan Pemukiman 22
Gambar 9 Vegetasi Jalan Arteri Kawasan Industri 23
Gambar 10 Vegetasi Jalan Arteri Kawasan Perdagangan 23
Gambar 11 Vegetasi Jalan Arteri Kawasan Pemukiman 24
Gambar 12 Vegetasi Jalan Kolektor Kawasan Industri 24
Gambar 13 Vegetasi Jalan Kolektor Kawasan Perdagangan 25
Gambar 14 Vegetasi Jalan Kolektor Kawasan Pemukiman 25
Gambar 15 Vegetasi Jalan Lokal Kawasan Industri 25
Gambar 16 Vegetasi Jalan Lokal Kawasan Perdagangan 25
Gambar 17 Vegetasi Jalan Lokal Kawasan Pemukiman 25
Gambar 18 Drainase Jalan Arteri di Kawasan Pemukiman 26
Gambar 19 Drainase Jalan Kolektor di Kawasan Perdagangan 26
Gambar 20 Drainase Jalan Lokal di Kawasan Pemukiman 26
Gambar 21 Ilustrasi Jalan Arteri di Kawasan Industri 36
Gambar 22 Site Plan Jalan Arteri di Kawasan Industri 37
Gambar 23 Potongan Jalan Arteri di Kawasan Industri 38
Gambar 24 Ilustrasi Jalan Arteri di Kawasan Perdagangan 39
Gambar 25 Site Plan Jalan Arteri di Kawasan Perdagangan 40
Gambar 26 Potongan Jalan Arteri di Kawasan Perdagangan 41
Gambar 27 Ilustrasi Jalan Arteri di Kawasan Pemukiman 42
Gambar 28 Site Plan Jalan Arteri di Kawasan Pemukiman 43
Gambar 29 Potongan Jalan Arteri di Kawasan Pemukiman 44
Gambar 30 Ilustrasi Jalan Kolektor di Kawasan Industri 45
Gambar 32 Potongan Jalan Kolektor di Kawasan Industri 47
Gambar 33 Ilustrasi Jalan Kolektor di Kawasan Perdagangan 48
Gambar 34 Site Plan Jalan Kolektor di Kawasan Perdagangan 49
Gambar 35 Potongan Jalan Kolektor di Kawasan Perdagangan 50
Gambar 36 Ilustrasi Jalan Kolektor di Kawasan Perumahan 51
Gambar 37 Site Plan Jalan Kolektor di Kawasan Perumahan 52
Gambar 38 Potongan Jalan Kolektor di Kawasan Perumahan 53
Gambar 39 Ilustrasi Jalan Lokal di Kawasan Industri 54
Gambar 40 Site Plan Jalan Lokal di Kawasan Industri 55
Gambar 41 Potongan Jalan Lokal di Kawasan Industri 56
Gambar 42 Ilustrasi Jalan Lokal di Kawasan Perdagangan 57
Gambar 43 Site Plan Jalan Lokal di Kawasan Perdagangan 58
Gambar 44 Potongan Jalan Lokal di Kawasan Industri 59
Gambar 45 Ilustrasi Jalan Lokal di Kawasan Pemukiman 60
Gambar 46 Site Plan Jalan Lokal di Kawasan Pemukiman 61
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kota besar di Indonesia memiliki wilayah yang luas untuk pembangunan kota. Penggunaan wilayah kota saat ini lebih mengarah pada pembangunan gedung-gedung bertingkat. Pertambahan penduduk yang tinggi menyebabkan penggunaan ruang pada wilayah kota menjadi buruk, seperti adanya pemukiman kumuh di kawasan sungai. Kota mengalami peningkatan suhu dibandingkan dengan wilayah di sekitarnya akibat pembangunan gedung yang intensif. Menurunnya kuantitas dan kualitas ruang terbuka publik yang ada di perkotaan, baik berupa ruang terbuka hijau (RTH) dan ruang terbuka non-hijau telah mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan perkotaan. Penurunan kualitas lingkungan tersebut mengakibatkan seringnya terjadi banjir di perkotaan, tingginya polusi udara, meningkatnya kerawanan sosial (kriminalitas dan krisis sosial), dan menurunnya produktivitas masyarakat akibat stress karena terbatasnya ruang publik yang tersedia untuk interaksi sosial (Agung Dwiyanto 2009).
Kota Tangerang terletak di Provinsi Banten, Indonesia, tepat di sebelah barat kota Jakarta, serta dikelilingi oleh Kabupaten Tangerang di sebelah selatan, barat, dan timur. Kota Tangerang merupakan salah satu kota besar di Provinsi Banten (164.54 km2) serta ketiga terbesar di kawasan perkotaan Jabotabek setelah Jakarta. Kota Tangerang merupakan kota besar di Indonesia yang mengalami dampak buruk dalam penataan ruang seperti pembangunan gedung industri yang intensif sehingga kualitas lingkungan Kota Tangerang mengalami penurunan baik dari suhu udara maupun kualitas udaranya. Berdasarkan pengamatan Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Pemerintah Kota Tangerang, mutu udara di Kota seribu industri ini menunjukan parameter yang melebihi baku mutu (REO 2011). Hal tersebut juga ditambah dengan meningkatnya jumlah kendaraan bermotor dari berbagai golongan yang melintasi jalan tol di kota ini yaitu sebanyak 60 057 184 kendaraan. Kota Tangerang sampai saat ini belum memiliki ruang terbuka hijau (penghijauan) yang cukup. Daerah ruang terbuka hijau di kota ini sekitar 27.918% dari luas kotanya yang menjadi ruang terbuka hijau (PEMKOT Tangerang 2010).
Berdasarkan pengamatan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), suhu udara di Kota Tangerang juga terus meningkat, yaitu dari 31 oC naik menejadi 33 oC sampai 34 oC di siang hari (BPS Kota Tangerang 2011). Sedangkan, untuk malam hari, suhu mencapai 25 oC sampai 26 oC. Hal ini menandakan bahwa penataan RTH yang kurang tepat pada kota ini mengakibatkan menurunnya kualitas kota, penurunan kualitas udara, serta menaikkan suhu kota.
daerah hunian yang butuh udara bersih sehingga kualitas udara disekitar jalur hijau akan meningkat. Contohnya jalur hijau sekitar kawasan industri, jalur hijau sekitar jalan raya yang padat sehingga dapat mencegah pencemaran udara ke luar daerah serta menurunkan suhu di daerah tersebut. Pemanfaatan jalur hijau pada kota ini diharapkan mampu meningkatkan mutu kota serta meningkatkan kualitas udara.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Membuat konsep jalur hijau jalan arteri, kolektor dan lokal untuk kota Tangerang,
2. Membuat klasifikasi jalan serta spesifikasi karakter tanaman ideal dan pola tanam untuk jalur hijau jalan di kota Tangerang.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai pedoman untuk melakukan perencanaan jalur hijau. Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan pertimbangan bagi penatagunaan lahan untuk jalur hijau jalan di Kota Tangerang yang akan datang.
Batasan Studi
Studi ini dibatasi sampai pada tahap perancangan jalur hijau jalan dengan penyusunan site plan dan gambar yang berbentuk gambar detail, perspektif, dan potongan.
TINJAUAN PUSTAKA
Perencanaan
Simonds (1983) mengemukakan bahwa perencanaan adalah suatu proses sintesis yang kreatif, kontinyu, tanpa akhir dan dapat bertambah. Di dalam perencaan teradapat urutan pekerjaan yang panjang yang terdiri dari bagian-bagian pekerjaan yang saling berhubungan, sehingga bila terjadi perubahan pada suatu bagian akan mempengaruhi bagian lain. Perencanaan yang terbaik adalah perencanaan yang batas-batasnya dapat terlihat dengan jelas. Perencaan tersebut juga menyelesaikan suatu kendala sebagai bagian dari permasalahan yang makro.
Menurut Laurie (1994) menyatakan bahwa perencanaan dan perancangan yang baik merupakan hasil dari suatu proses yang mengindahkan sifat manusia dan alam. Sejauh ini telah menekankan kendala-kendala alam pada perencanaan kawasan regional dan perencanaan tapak. Suatu kriteria bagi perumahan, fasilitas rekreasi dan daerah-daerah fungsional lain, telah memperkirakan sejumlah besar sifat-sifat manusia.
secara khusus dengan tapak dan daerah sekitarnya. Data ini harus meliputi hal-hal seperti rencana induk dan penelaahannya, peraturan penzonaan, peta dasar dan udara, survey, data topografi, informasi geologi, hidrologi dari daerah tersebut, tipe tanah vegetasi dan ruang terbuka yang ada. Setelah semua informasi yang diperoleh, maka informasi tersebut harus diperiksa dan dianalisis. Salah satu sasarannya adalah untuk menetapkan keunggulan dan keterbatasan tapak. Berdasarkan kesimpulan-kesimpulan ini, selanjutnya dapat ditentukan apakah tapak tersebut sesuai dengan kegunaan yang direncanakan. Kegiatan perencanaan sumberdaya juga harus disesuaikan terhadap sifat-sifat fisiografi setempat. Perbedaan dan permukaan lapangan, iklim dan vegetasi sangat mempengaruhi kendala-kendala serta kesempatan membangun. Faktor yang dapat dipertimbangkan berdasarkan suatu kerangka kerja struktur sumberdaya alam dan budaya adalah tanah, vegetasi, hidrologi, iklim, topografi, estetika, ciri historis, tataguna lahan, rintangan fisiografi.
Proses perencanaan-perancangan menurut Simonds (1983) terdiri dari tahap-tahap commission (persiapan), research (inventarisasi), analysis
(analisis), synthesis (sintesis), construction (pelaksanaan), dan operation
(pemeliharaan).
Commission adalah tahap paling awal dimana klien menyatakan keinginan atau kebutuhannya serta mendefinisikan pelayanan dalam suatu kontrak kerja sehingga diperoleh suatu kesepakatan. Research adalah tahap survei untuk mengumpulkan semua data yang dibutuhkan melalui wawancara, pengamatan langsung maupun fotografi. Pada tahap analisis, kemungkinan pengembangan dan kendala yang muncul pada setiap aspek diidentifikasi. Simonds (1983) menjelaskan tahap analisis ini dengan teknik overlay, yaitu menggabungkan peta tematik yang satu dengan yang lainnya untuk mendapatkan berbagai kemungkinan-kemungkinan pengembangan pada tapak serta kendala-kendalanya.
Pada tahap sintesis, konsep umum dikembangankan dari tujuan awal perencanaan dan dijabarkan dalam bentuk rencana skematik. Pada rencana skematik dijelaskan berbagai tindakan pemanfaatan yang dilakukan pada tapak, namun bersifat kasar. Hasil akhir pada tahap ini adalah pengembangan rencana skematik menjadi conceptual plan. Pada conceptual plan diterapkan standar dimensi ukur untuk tiap tindakan pemanfaatan, sehingga pada tahap selanjutnya (pelaksanaan) dapat dikembangkan menjadi dokumen pelaksaan berupa gambar detail.
Jalur Hijau
Carpenter et al. (1975) menyatakan bahwa prinsip yang diperhatikan dalam penanaman pada jalan bebas hambatan adalah kesederhanaan, skala atau proporsi, keseimbangan, irama, kontras dan kesatuan yang dapat memberikan nilai keindahan dan menambah kualitas lingkungan.
Menurut Hong dan Oguchi (2005) menyatakan bahwa jalur hijau yang baik yakni jalur hijau yang memiliki fungsi kompensasi dan keindahan, fungsi penahan bising meliputi penyerapan dan pemantulan suara, fungsi pembersihan udara meliputi penyerapan debu, polutan berbentuk gas dan fungsi penyekat untuk menutupi pemandangan buruk.
Tata Hijau
Vegetasi merupakan bagian yang paling terlihat pada suatu lanskap. Vegetasi juga merupakan sebuah tolak ukur yang sensitif terhadap kondisi suatu lanskap yang tidak terlihat, kecuali oleh pengukuran dan observasi yang cermat (Marsh 1991). Keanekaragaman jenis-jenis vegetasi dan distribusinya pada sebuah kawasan dipengaruhi oleh berbagai variable seperti iklim, kondisi ari, jenis dan keadaan tanah, serta topografi dan kemiringan (Laurie 1994). Laurie (1994) menyatakan bahwa vegetasi asli sebaiknya dipertahankan dimana mungkin dan dirasa perlu, karena pada umumnya jenis tersebut memiliki daya penyesuaian yang paling erat dengan daerahnya sendiri.
Gambar 1 Nilai fungsional vegetasi (Carpenter et al. 1975)
suhu, pengendali kelembaban dan hujan, penyaring polutan, pengendali kebisingan, pengendali erosi, habitat alami, dan estetika (Gambar 1).
Pada perencanaan suatu lanskap alami, pemahaman vegetasi yang baik akan dapat mempertahankan spesies yang telah terdapat di kawasan tersebut. Pada lanskap buatan, seleksi vegetasi yang direncanakan untuk ditanam hendaknya berdasar pertimbangan tempat hinggap, tempat istirahat atau habitat satwa sehingga pemeliharaan ide suatu lanskap dapat terjadi secara alami (Nurisjah & Pramukanto 1996). Menurut Laurie (1994) perencanaan tata hijau merupakan aspek penting dalam perencanaan suatu lahan yang mencakup fungsi tanaman, peletakan tanaman, tujuan perencanaan, habitat tanaman dan prinsip desain penanaman.
Tanaman Jalur Hijau
Tanaman jalur hijau merupakan semua jenis tanaman yang mampu tumbuh dan beradaptasi pada daerah yang berupa jalur (jalan) sehingga jalur tersebut akan memperoleh manfaat dengan adanya tanaman disekelilingnya.
Manfaat dengan adanya jalur hijau pada kota yaitu : 1. Merupakan ruang terbuka hijau utama dalam kota 2. Menyebar rata dalam kota
3. Dominan memberi karakter lanskap kota
4. Peranan ekologisnya berkontribusi besar dalam meningkatkan kualitas lingkungan kota
Menurut PU (1996) dikatakan bahwa fungsi tanaman pada tepi jalan adalah sebagai peneduh, penyerap polusi udara, peredam kebisingan, pemecah angin dan pembatas pandang. Pada median jalan, fungsi tanaman adalah sebagai penahan silau lampu kendaraan.
Beberapa istilah yang sering digunakan dalam mengklasifikasikan tanaman secara arsitektural biasanya ditinjau dari tajuk, bentuk massa dan struktur tanaman. Menurut PU (1996), pengertian dari beberapa istilah tersebut adalah :
1. Tajuk merupakan keseluruhan bentuk dan kelebaran maksimal tertentu dari ranting dan daun suatu tanaman,
2. Struktur Tanaman ialah bentuk tanaman yang terlihat secara keseluruhan.
Berdasarkan bentuk massa, tajuk dan struktur tanaman, Laurie (1994) mengelompokkan tanaman menjadi:
1. Tanaman pohon
Tanaman pohon adalah jenis tanaman berkayu yang biasanya mempunyai batang tunggal dan dicirikan dengan pertumbuhan yang sangat tinggi. Biasanya, tanaman pohon digunakan sebagai tanaman pelindung dan centre point. Pengelompokan pohon lebih dicirikan oleh ketinggiannya yang mencapai lebih dari 8 m.
2. Tanaman perdu
perdu rendah, perdu sedang, dan perdu tinggi. Bunga sikat botol, krossandra dan euphorbia termasuk dalam golongan tanaman perdu.
3. Tanaman semak (shrubs)
Tanaman golongan semak dicirikan dengan batang yang berukuran sama dan sederajat. Bambu hias termasuk dalam golongan tanaman ini. Pada umumnya tanaman ini mempunyai ketinggian di bawah 8 m. 4. Tanaman merambat (liana)
Tanaman golongan liana lebih banyak digunakan untuk tanaman rambat dan tanaman gantung. Liana dicirikan dengan batang yang tidak berkayu dan tidak cukup kuat untuk menopang bagian tanaman lainnya. Alamanda termasuk dalam golongan tanaman liana.
5. Tanaman Herba, Terna, Bryoids dan Sukulen
Golongan herba (herbaceous) atau terna merupakan jenis tanaman dengan sedikit jaringan sekunder atau tidak sama sekali (tidak berkayu) tetapi dapat berdiri tegak. Kana dan tapak darah termasuk dalam golongan tanaman herba. Tanaman bryoids, terdiri dari lumut, paku-pakuan, dan cendawan. Ukurannya dibagi berdasarkan tinggi vegetasi. Bentuk dan ukuran daunnya ada yang besar, lebar, menengah, dan kecil (jarum dan rumput-rumputan) dan campuran. Tekstur daun ada yang keras, papery dan. Coverage biasanya sangat beragam, ada tumbuhan yang sangat tinggi dengan penutupan horizontal dan luas, relatif dapat sebagai penutup, ada yang menyambung dan terpisah-pisah. Penutupan tumbuhan merupakan indikasi dari sistem akar di dalam tanah. Sistem akar sangat penting dan mempunyai pengaruh kompetisi pada faktor-faktor ekologi. Tanaman sekulen adalah jenis tanaman ’lunak’ yang tidak berkayu dengan batang dan daun yang mampu menyimpan cadangan air dan tahan terhadap kondisi yang kering. Kaktus termasuk dalam golongan tanaman sekulen
Kriteria tanaman untuk jalur hijau jalan menurut MENPU (2008) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 5/PRT/M/2008 tentang pedoman penyediaan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan adalah sebagai berikut:
1. Berasal dari biji terseleksi sehat dan bebas penyakit,
2. Memiliki pertumbuhan sempurna baik batang maupun akar, 3. Perbandingan bagian pucuk dan akar seimbang,
4. Batang tegak dan keras pada bagian pangkal, 5. Tajuk simetris dan padat,
6. Sistim perakaran padat,
7. Tumbuh baik pada tanah padat,
8. Sistem perakaran masuk kedalam tanah, tidak merusak konstruksi dan bangunan,
9. Fase anakan tumbuh cepat, tetapi tumbuh lambat pada fase dewasa, 10.Ukuran dewasa sesuai ruang yang tersedia,
11.Batang dan sistem percabangan kuat,
12.Batang tegak kuat, tidak mudah patah dan tidak berbanir, 13.Perawakan dan bentuk tajuk cukup indah,
15.Ukuran dan bentuk tajuk seimbang dengan tinggi pohon, 16.Daun sebaiknya berukuran sempit (nanofill),
17.Tidak menggugurkan daun,
18.Daun tidak mudah rontok karena terpaan angin kencang, 19.Saat berbunga/berbuah tidak mengotori jalan,
20.Buah berukuran kecil dan tidak bisa dimakan oleh manusia secara langsung,
21.Sebaiknya tidak berduri atau beracun,
22.Mudah sembuh bila mengalami luka akibat benturan dan akibat lain, 23.Tahan terhadap hama penyakit,
24.Tahan terhadap pencemaran kendaraan bermotor dan industri, 25.Mampu menjerap dan menyerap cemaran udara,
26.Sedapat mungkin mempunyai nilai ekonomi, dan 27.Berumur panjang.
Kota
Kota dalam arti lengkap adalah jejaring geografis, organisasi ekonomi, proses kelembagaan, teater aksi sosial, simbol dan unit kolektif. Di satu sisi kota adalah rangka fisik untuk kegiatan domestik dan kegiatan ekonomi, di sisi lain, kota adalah pengatur kesadaran untuk tindakan yang lebih signifikan dan lebih mendesak dari budaya manusia (Simonds 1983). Kota juga merupakan kawasan pemukiman yang secara fisik ditunjukkan oleh kumpulan rumah-rumah yang mendominasi tata ruangnya dan memiliki berbagai fasilitas untuk mendukung kehidupan warganya secara mandiri. Kota merupakan suatu permukiman yang relatif besar, padat dan permanen, terdiri dari kelompok individu yang heterogen heterogen dari segi sosial. Kota juga merupakan suatu permukiman yang dirumuskan bukan dari ciri morfolgi kota tetapi dari suatu fungsi yang menciptakan ruang.
Jalan
Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel (PP RI 2006).
Jalan raya adalah jalur - jalur tanah di atas permukaan bumi yang dibuat oleh manusia dengan bentuk, ukuran dan jenis konstruksinya sehingga dapat digunakan untuk menyalurkan lalu lintas orang, hewan dan kendaraan yang mengangkut barang dari suatu tempat ke tempat lainnya dengan mudah dan cepat (Oglesby 1999).
lajur. Pada sistem jalan kolektor, lebar jalan kolektor adalah sebesar 18 m dengan jumlah lajur kendaraan sebanyak 2 hingga 4 lajur. Pada sistem jalan lokal, lebar jalan lokal adalah sebesar 15 m dengan jumlah lajur kendaraan sebanyak 2 lajur.
Perencanaan jalan raya yang baik, bentuk geometriknya harus ditetapkan sedemikian rupa sehingga jalan yang bersangkutan dapat memberikan pelayanan yang optimal kepada lalu lintas sesuai dengan fungsinya, sebab tujuan akhir dari perencanaan geometrik ini adalah menghasilkan infrastruktur yang aman, efisiensi pelayanan arus lalu lintas dan memaksimalkan rasio tingkat penggunaan biaya juga memberikan rasa aman dan nyaman kepada pengguna jalan.
Daerah manfaat jalan (DAMAJA) merupakan ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar tinggi dan kedalaman ruang batas tertentu. Ruang tersebut diperuntukkan bagi median, perkerasan jalan, jalur pemisah, bahu jalan, saluran tepi jalan, trotoar, lereng, ambang pengaman, timbunan dan galian, gorong-gorong, perlengkapan jalan dan bangunan pelengkap lainnya
Daerah milik jalan (DAMIJA) merupakan ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar dan tinggi tertentu yang dikuasai oleh Pembina Jalan. DAMIJA ini diperuntukkan bagi daerah manfaat jalan (DAMAJA) dan pelebaran jalan maupun penambahan jalur lalu-lintas dikemudian hari serta kebutuhan ruang untuk pengamanan jalan
Daerah pengawasan jalan (DAWASJA) merupakan ruang sepanjang jalan di luar daerah milik jalan (DAMIJA) yang dibatasi oleh lebar dan tinggi tertentu, dan diperuntukkan bagi pandangan bebas pengemudi dan pengamanan konstruksi jalan.
Menurut Landcome (2008), elemen utama penyusun jalan adalah sebagai berikut :
1. Jalan Kendaraan
Area dari jalan cadangan yang disediakan untuk pergerakan atau parkir kendaraan dihitung dari tepi atau tepi jalan lainnya.
2. Bahu Jalan (Jalan Cadangan)
Area tapak yang di atur pada tepi untuk jalan kendaraan dan tepi jalan menghubungkan fasilitas yang satu dengan fasilitas yang lain.
3. Jalur Perpindahan
Bagian dari jalan kendaraan dimana digunakan untuk perpindahan kendaraan dan tidak termasuk area normal untuk parkir.
4. Tepi Jalan
Bagian antara bahu jalan dan jalan kendaraan. Bagian ini mungkin dapat mengakomodasi utilitas publik, jalur pedestrian, area penanaman bunga, lampu jalan dan area taman.
METODOLOGI
Waktu Dan Tempat Penelitian
Gambar 2 Provinsi Banten Gambar 3 Kota Tangerang
(googlemaps.com) (googlemaps.com)
Alat Dan Bahan
Alat yang digunakan untuk penelitian ini antara lain peralatan untuk mengumpulkan data (meteran, buku sketsa, kamera digital, GPS), alat-alat gambar, komputer untuk mengolah data dan menulis. Sedangkan bahan yang digunakan adalah : buku-buku sebagai referensi dan tinjauan pustaka, peta sebagai acuan.
Metode Studi
Penelitian jalur hijau jalan ini menggunakan metode pendekatan proses perencaan Simonds (1983) yang disesuaikan dengan pertimbangan bentuk data dan tujuan studi, yaitu Planning Design Proses meliputi beberapa tahapan, diantaranya Commision, research, analysis, synthesis, construction dan
operation. Pada studi ini, tahapan yang dilaksanakan yaitu commision, research, analysis, synthesis sementara tahap construction dan operation tidak dilaksanakan seperti pada Gambar 4.
1. Commision (Persiapan)
Tahap ini merupakan pertemuan antara mahasiswa dengan pengelola Kota Tangerang untuk menjelaskan tugas yang di berikan. Kemudian mahasiswa menggambarkannya dalam bentuk rancangan jalur hijau jalan Kota Tangerang. Dalam hal ini, rancangan yang dibuat harus mengacu pada konsep awal jalur hijau jalan yang sebelumnya telah dilaksanakan oleh pengelola Kota Tangerang. Tahapan ini juga meliputi studi pustaka, penyusunan proposal, perizinan dan sampling jalan. Sampling akan dilakukan pada jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal yang berada di wilayah pemukiman, industri dan pusat perdagangan.
Pada tahap ini akan dilakukan pengumpulan data primer berupa data jalan arteri, jalan lokal dan jalan kolektor yang berupa badan jalan, jalur lalu linta kendaraan, jalur pedestrian, tanaman, median, drainase, dan data sekunder berupa data fisik, iklim, badan air, vegetasi, struktur bangunan, dan sosial budaya.
Gambar 4 Tahapan Perencanaan Jalur Hijau Jalan 3. Analysis (Analisis)
Data jalan yang diperoleh pada tahap inventarisasi, dianalisis berdasarkan klasifikasi sistem jalan menurut Harris dan Dinnes (1998) dan fungsi tanaman pada jalur hijau menurut Anonim (1996) Keputusan Direktur Jenderal Bina Marga No :033/T/Bm/1996 Tata Cara Perencanaan Tektik Lanskap Jalan, yang membagi jalan berdasarkan kelas-kelas tertentu seperti :
1. Sistem Jalan bebas hambatan (termasuk jalur cepat dan jalur lambat). Sistem klasifikasi ini menghubungkan pergerakan cepat dan efisien dari volume kendaraan yang melewati dan TAHAPAN
Data primer dan data sekunder
menyebrang area kota. Fungsi median yaitu sebagai penghalang silau lampu kendaraan.
2. Sistem jalan arteri. Sistem ini menghubungkan pergerakan lalu lintas kendaraan yang melewati dan menyebrang area kota dengan akses langsung menuju fasilitas kota. Sistem ini menentukan pengendalikan jalur masuk, jalur keluar dan membatasi penggunaan jalan. Fungsi tanaman tepi yaitu sebagai penyerap polutan dan pembatas pandang. Fungsi tanaman median yaitu sebagai penghalang silau lampu kendaraan. Fungsi tanaman tikungan yaitu sebagai pengarah pandang.
3. Sistem jalan kolektor. Sistem ini menghubungkan pergerakan lalulintas antara jalur arteri dan jalan lokal, dengan akses langsung menuju fasilitas kota. Pengaturan lalulintas pada sistem ini biasanya disediakan dengan rambu lalulintas pada tepi jalan. Fungsi tanaman tepi yaitu sebagai penyerap polutan dan peredam bising. Fungsi median yaitu sebagai penghalang silau lampu kendaraan. Fungsi tanaman tikungan yaitu sebagai pengarah pandang.
4. Sistem jalan local. Sistem ini menghubungkan pergerakan lalulintas lokal dan akses langsung menuju fasilitas kota. Fungsi tanaman tepi pada sistem ini berupa penyerap polutan, peredam bising, peneduh, pemecah angin.
Hal ini dilakukan karena setiap jalan yang ada disuatu tempat memiliki ciri dan karakteristik yang berbeda. Selanjutnya hasil analisa digunakan untuk untuk mengidentifikasi kendala dan pengembangan tapak serta kecocokan fungsi tanaman untuk kenyamanan pengguna. Dari hasil identifikasi, setiap data jalan dibuat matriks elemen jalan seperti pada Tabel 1, Tabel 2, dan Tabel 3.
Tabel 1 Matriks Elemen Jalan Berdasarkan Klasifikasi Jalan dan Penggunaan Lahan pada Wilayah Industri
Penggunaan lahan
Klasifikasi Jalan
Elemen jalan Jalan arteri Kolektor Lokal
4. Systhesis (Sintesis)
Konsep umum jalur hijau jalan dibuat berdasarkan tujuan perencanaan dengan pertimbangan kemungkinan pengembangan dan kendala yang diidentifikasi dalam tahap analisis. Pada tahap ini, setelah konsep ditentukan akan dibuat perencanaan jalur hijau jalan yang lebih dikembangkan baik potensi maupun kendala yang ada. Tabel 2 Matriks Elemen Jalan Berdasarkan Klasifikasi Jalan dan Penggunaan Lahan pada Wilayah
Perdagangan
Penggunaan lahan
Klasifikasi Jalan
Elemen jalan Jalan arteri Kolektor Lokal
Perdagangan
Tabel 3 Matriks Elemen Jalan Berdasarkan Klasifikasi Jalan dan Penggunaan Lahan pada Wilayah Pemukiman
Penggunaan lahan
Klasifikasi Jalan
Elemen jalan Jalan arteri Kolektor Lokal
Dari hasil sintesis ditentukan kriteria jalur hijau. Kriteria untuk jalur hijau ini adalah menciptakan kenyamanan dan keamanan serta meningkatkan kualitas lingkungan.
Selanjutnya dibuat perencanaan yang diperkuat dengan metode pelaksanaan yang sesuai bagi kondisi tapak. Hasil sintesis dijadikan ide konsep perancangan dalam rencana awal pengembangan (development preliminary plan). Selain itu pada tahap ini akan dilengkapi dengan klasifikasi jalan dan model jalur hijau jalan yang baik untuk setiap klasifikasinya. Untuk lebih memperjelas, beberapa bagian dilengkapi dengan gambar tampak atau sketsa.
INVENTARISASI
Inventarisasi merupakan tahap pengambilan data berupa data primer (data langsung atau survey lapang) dan data sekunder (data tidak langsung) di Kota Tangerang, Provinsi Banten.
Kondisi Umum
Kota Tangerang memiliki luas wilayah 164.55 km² dimana tidak termasuk Bandara Soekarno-Hatta dengan luas 19.69 km² (Tabel 4). Kota Tangerang memiliki jumlah penduduk sebesar 1 798 601 (2010) dan kepadatan penduduk sebesar 9.037 jiwa/km². Secara administratif, wilayah Kota Tangerang termasuk di dalam Provinsi Banten, dan terbagi menjadi 13 Kecamatan, 104 Kelurahan, 956 Rukun Warga (RW), dan 4 704 Rukun Tetangga (RT).
Secara geografis, wilayah Kota Tangerang terletak antara 6° 6' sampai 6° 13' Lintang Selatan dan 106° 36' sampai 106° 42' Bujur Timur (Gambar 5), dengan batas administrasi wilayah sebagai berikut:
1. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Teluknaga dan Kecamatan Sepatan, Kabupaten Tangerang,
2. Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Curug, Kabupaten Tangerang, serta Kecamatan Serpong dan Pondok Aren, Kota Tangerang Selatan,
3. Sebelah timur berbatasan dengan Jakarta Barat dan Jakarta Selatan, Provinsi DKI Jakarta,
Gambar 5 Peta Administrasi Kecamatan Kota Tangerang
Tabel 4 Luas Daerah menurut Kecamatan di Kota Tangerang Banten 2011
No Kecamatan Luas (Km²) Persentase Terhadap Luas
Kota Tangerang
1 Batuceper 11.58 4.99
2 Benda 5.92 14.84
3 Cibodas 9.61 5.08
4 Ciledug 8.77 4.87
5 Cipondoh 17.91 9.72
6 Jatiuwung 14.41 7.93
7 Karang Tengah 10.47 5.64
8 Karawaci 13.48 7.28
9 Larangan 9.40 4.47
10 Neglasari 16.08 8.12
11 Periuk 9.54 6.34
12 Pinang 21.59 12.13
13 Tangerang 15.79 7.28
Luas Kota Tangerang* 164.55 100.00
Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Tangerang
Topografi
Secara topografi, wilayah Kota Tangerang termasuk kedalam wilayah dataran, sebagian besar berada pada ketinggian 10-18 m diatas permukaan laut (dpl). Wilayah bagian utara (meliputi sebagian besar wilayah Kecamatan Benda) memiliki ketinggian rata-rata 10 m dpl, sedangkan di bagian selatan memiliki ketinggian 18 m dpl. Untuk lebih jelas topografi dan ketinggian setiap kecamatan di Kota Tangerang dapat dilihat pada Tabel 5.
Dilihat dari kemiringan tanahnya, sebagian besar Kota Tangerang mempunyai tingkat kemiringan tanah 0%-30% dan sebagian kecil (yaitu di bagian Selatan kota) kemiringan tanahnya antara 3%-8% berada di Kelurahan Parung Serab, Kelurahan Paninggilan Selatan dan Kelurahan Cipadu Jaya.
Tabel 5 Topografi Wilayah dan Ketinggian
No Kecamatan Topografi
Wilayah
Ketinggian di Atas Permukaan Laut (m)
1 Ciledug Dataran 18
2 Larangan Dataran 18
3 Karang
Tengah Dataran 18
4 Cipondoh Dataran 14
5 Pinang Dataran 14
6 Tangerang Dataran 14
7 Karawaci Dataran 14
8 Cibodas Dataran 14
9 Jatiuwung Dataran 14
10 Periuk Dataran 14
11 Neglasari Dataran 14
12 Batu Ceper Dataran 14
13 Benda Dataran 10
Rata-rata 14.62
Sumber : Bakosurtanal, Satuan Peta Topografi
Geologi
Batuan yang menutupi Kota Tangerang terdiri dari endapan alluvium, endapan kipas alluvium vulkanik muda, dan satuan Tuf Banten. Deskripsi singkat mengenai jenis batuan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Endapan Alluvium. Endapan ini terdiri dari lempung, lanau, pasir, kerikil, kerakal, dan bongkah. Endapan ini berumur kuarter dan tersebar pada daerah pedataran serta sekitar aliran sungai.
2. Endapan Kipas Alluvium Vulkanik Muda. Endapan ini terdiri dari material batupasir dan batu lempung tufan, endapan lahar, dan konglomerat. Ukuran butiran pada endapan kipas aluvial ini akan berubah menjadi semakin halus ke arah utara. Satuan ini terbentuk oleh material endapan volkanik yang berasal dari gunung api di sebelah selatan Kabupaten Tangerang, seperti Gunung Salak dan Gunung Gede-Pangrango. Batuan ini diendapkan pada umur Plistosen (dua juta tahun). Kipas aluvial vulkanik tersebut terbentuk pada saat gunung api menghasilkan material vulkanik dengan jumlah besar. Kemudian ketika menjadi jenuh air, tumpukan material tersebut bergerak ke bawah dan membentuk aliran sungai. Ketika mencapai tempat yang datar, material tersebut akan menyebar dan membentuk endapan seperti kipas yang disebut kipas aluvial.
3. Satuan Batuan Tuf Banten. Satuan ini terdiri atas lapisan tuf, tuf batu apung, dan batu pasir tufan yang berasal dari letusan Gunung Rawa Danau. Tuf tersebut menunjukkan sifat yang lebih asam (pumice) dibandingkan dengan batuan vulkanik yang diendapkan sesudahnya. Bagian atas satuan tersebut menunjukkan adanya perubahan kondisi lingkungan pengendapan dari lingkungan pengendapan di atas permukaan air menjadi di bawah permukaan air. Satuan ini berumur Plio-Plistosen atau sekitar dua juta tahun yang lalu.
Hidrologi
Wilayah Kota Tangerang dilalui oleh 3 aliran sungai besar, yaitu sungai Cisadane, kali Angke dan kali Cirarab, dengan panjang daerah yang dilalui 32 km seperti pada Tabel 6.
Selain sungai, di Kota Tangerang juga terdapat 6 buah danau yang memiliki luas 152.31 Ha dengan kedalaman antara 2-3 meter (Tabel 7). Kota Tangerang juga mempunyai 46 saluran pembuangan dengan total panjang
Tabel 6 Daerah Aliran Sungai di Kota Tangerang
Nama Daerah
122,66 Km, dan 16 saluran irigasi dengan total panjang mencapai 62 488.30 km.
Tabel 7 Danau di Kota Tangerang
No Nama Danau Luas (Ha) Kedalaman (m)
1 Situ/ Rawa Cipondoh 126.17 3.0
2 Situ/ Rawa Besar 5.07 3.0
3 Situ/ Rawa Cangkring 6.17 3.0
4 Situ/ Rawa Bojong 0.60 2.0
5 Situ/ Rawa Kunciran 0.30 2.0
6 Situ/ Rawa Bulakan 15.00 2.5
Sumber: Kota Tangerang Dalam Angka 2011
Klimatologi
Keadaan iklim Kota Tangerang pada tahun 2010 didasarkan pada penelitian di Stasiun Geofisika Kelas I Tangerang, yaitu berupa data temperatur (suhu) udara, kelembaban udara, dan curah hujan seperti pada Tabel 8. Temperatur udara rata-rata berkisar antara 24.1 °C – 32.5 °C, temperatur maksimum tertinggi pada bulan April yaitu 34.2 °C dan temperatur minimum terendah pada bulan Oktober yaitu 23.4 °C. Rata-rata kelembaban udara 81.2%.
Tabel 8 Temperatur dan Kelembaban Udara di Kota Tangerang
Bulan Kelembaban
Udara (%)
Temperatur Maksimum
(°C)
Temperatur Minimum
(°C)
Temperatur Rata-rata (°C)
Januari 83.0 31.0 23.9 27.1
Februari 84.4 32.4 24.6 27.7
Maret 81.8 32.7 24.7 28.0
April 76.6 34.2 24.7 29.0
Mei 79.3 33.9 24.8 28.6
Juni 83.3 32.3 23.8 27.6
Juli 82.0 32.1 23.8 27.4
Agustus 80.0 32.5 23.9 27.7
September 84.1 32.1 23.6 27.0
Oktober 80.2 32.6 23.4 27.4
Nopember 79.3 32.8 24.3 27.9
Desember 80.5 31.9 23.8 27.3
Tabel 9 Curah Hujan di Kota Tangerang
Bulan Banyak Hari Hujan (hari)
Banyak Curah Hujan
(mm)
Curah Hujan Maksimum
Tanggal Volume (mm)
Januari 18 264.4 18 76.2
Februari 13 213.6 18 53.3
Maret 17 214.8 29 58
April 6 55.4 29 28.9
Mei 14 67.8 23 18
Juni 18 184.5 7 72.3
Juli 13 124.1 17 34
Agustus 16 108 13 27.2
September 18 187.4 21 47.7
Oktober 13 181.7 25 69.7
Nopember 11 87.1 18 20.8
Jumlah 157 1688.8 218 110.0
Sumber: Badan Meteorologi Klimatologi Dan Geofisika
Tabel 9 menunjukkan bahwa kondisi curah hujan di Kota Tangerang pada tahun 2010 volume setahun adalah 1688.88 mm, dengan curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari, yaitu 264.4 mm. Curah hujan tertinggi dalam 1 hari adalah pada tanggal 18 Januari dengan volume mencapai 76.2 mm.
Penggunaan Lahan
Tabel 10 Luasan Penggunaan Lahan Tahun 2010
No Jenis Penggunaan Lahan Luas (Km²) Persentase (%)
1 Bangunan Bersejarah 0.007 0.004
2 Fasilitas Umum 2.428 1.335
3 Gedung Pemerintah 0.402 0.221
4 Infrastruktur Wilayah 0.121 0.066
5 Kawasan Perairan 5.887 3.236
6 Kawasan Pertanian 39.516 21.723
7 Lahan Terbuka 18.840 10.357
8 Lahan Terbuka Hijau 50.786 27.918
9 Pabrik Industri 7.309 4.018
10 Pemukiman Teratur 11.603 6.379
11 Pemukiman Tidak Teratur 28.671 15.761
12 Sarana Kesehatan 0.042 0.023
13 Sarana Olah Raga 2.012 1.106
14 Sarana Pendidikan 0.331 0.182
15 Sarana Peribadatan 0.257 0.141
16 Sarana Transportasi 13.700 7.531
Jumlah 187.653 100
Sumber: Kota Tangerang Dalam Angka 2011
Jaringan Jalan
Gambar 6 menunjukkan sistem jalan di Kota Tangerang merupakan bagian dari jalan Nasional dan Propinsi. Jalan Tol Sukarno-Hatta, Jalan Daan
Sumber Badan Perencana Daerah Kota Tangerang
Mogot, Jalan Gatot Subroto, Jalan Thamrin dan Jalan Jendral Sudirman merupakan jalan negara yang menghubungkan Kota Tangerang dengan Kota Jakarta dan Kabupaten Tangerang dan diklasifikasikan sebagai jalan arteri primer. Jalan Cokroaminoto, Jalan M. Toha, Jalan Maulana Hasanudin, Jalan Kisamaun, Jalan Perintis Kemerdekaan, Jalan Raden Saleh dan Jalan Raden Patah yang menghubungkan Kota Tangerang dan Jakarta diklasifikasikan sebagai jalan arteri sekunder
Menurut PEMKOT Tangerang (2003) panjang jalan Kota Tangerang sekitar 555.59 km yang statusnya terdiri dari jalan negara, jalan propinsi dan jalan kota. Adapun panjang jalan berdasarkan klasifikasi fungsi jalan yang ada meliputi jalan arteri sepanjang 57.81 km, jalan kolektor sepanjang 174.42 km dan jalan lokal sepanjang 323.36 km.
Sumber Badan Perencana Daerah Kota Tangerang
Gambar 6 Peta Jaringan Jalan di KotaTangerang
Tabel 11 Matriks Elemen Jalan Berdasarkan Klasifikasi Jalan pada Wilayah Industri
No Elemen jalan Klasifikasi Jalan
Jalan arteri (8 km) Kolektor (2.1 km) Lokal (1.3 km)
1 Jalur Lalu
Lintas Kendaraan
Kondisi Baik Baik Baik
Ukuran 8.7 m /jalur 7.15 m /jalur 7 m /2jalur
Material yang digunakan Aspal Cor semen Aspal
2
Jalur Pedestrian
Keberadaan Ada Ada Ada
Kondisi Baik Baik Kurang terawat
Ukuran 1.2 m 1.2 m 1.2 m
Paving yang digunakan Paving block Paving block Cor semen
3
Median
Kondisi Baik Baik Tidak ada
Ukuran 0.6 m 2.45 m Tidak ada
Keberadaan tanaman Tidak ada
Ada, akasia,
Data primer penelitian ini diambil di lokasi penggunaan lahan industri, pemukiman dan perdagangan di Kecamatan Tangerang, Batuceper dan Cipondoh Kota Tangerang. Tabel 11 menunjukkan data survey lapang elemen jalan arteri, kolektor dan lokal yang berada di kawasan industri.
Tabel 12 menunjukkan data survey lapang elemen jalan arteri, kolektor dan lokal yang berada di kawasan perdagangan dan Tabel 13 menunjukkan data survey lapang elemen jalan arteri, kolektor dan lokal yang berada di kawasan pemukiman.
Transportasi
Kendaraan transportasi yang berada pada Kota Tangerang dibagi menurut jenis kendaraan berupa sedan, jeep, minibus, mikro bus, bus pick up, truk, kendaraan alat berat, dan sepeda motor. Tabel 15 menunjukkan jumlah kendaraan transportasi yang melewati Kota Tangerang.
Tabel 12 Matriks Elemen Jalan Berdasarkan Klasifikasi Jalan pada Wilayah Perdagangan
No Elemen jalan Klasifikasi Jalan
Jalan arteri (8 km) Kolektor (2.1 km) Lokal (1.3 km)
Kondisi Menyatu dengan
area bangunan
Cukup baik,
terdapat lubang Tidak teratur
Ukuran 1.2 m 1.2 m 1.2 m
Tabel 13 Matriks Elemen Jalan Berdasarkan Klasifikasi Jalan pada Wilayah Pemukiman
No Elemen jalan Klasifikasi Jalan
Jalan arteri (8 km) Kolektor (3.1 km) Lokal (0.4 km)
Kondisi Sedang diperbaiki Tidak ada
Tidakterawat,
Tabel 14 Jumlah Rata-rata Kendaraan yang Melintasi Kota Tangerang Berdasarkan Penggunaan Lahan dan Klasifikasi Jalan
Fasilitas Umum
Fasilitas umum yang berada di Kota Tangerang ini berupa halte, jembatan penyebrangan orang dan zebracross. Halte terdapat pada bagian jalan arteri di kawasan perumahan, dan kawasan industri. Halte juga berada dalam kondisi yang kurang terawat. Lebar ukuran halte adalah 5 m dan berada 0.5 m dari tepi jalan.
Jembatan penyeberangan orang (JPO) juga berada pada bagian jalan arteri kawasan perumahan seperti pada Gambar 7. Jembatan penyeberangan Tabel 15 Populasi Kendaraan menurut Jenis Kendaraan di Kota Tangerang,
2011 Jenis Kendaraan
Populasi Awal
Kendaraan Baru
Mutasi Masuk
Mutasi Keluar
Populasi Akhir Sedan dan
Sejenisnya 9 649 1 003 6 236 10 422
Jeep dan
Sejenisnya 3 517 612 208 347 3 990
Mini Bis dan
Sejenisnya 38 517 6 793 2 085 3 046 44 349
Mikro Bis dan
Sejenisnya 826 80 55 54 907
Bis dan
Sejenisnya 347 38 26 2 409
Pick Up dan
Sejenisnya 5 664 979 203 664 6 182
Truk dan
Sejenisnya 10 440 206 34 16 10 664
Kendaraan Alat
Berat 4 - - - 4
Sepeda Motor 428 905 51 570 5 816 8 269 478 022
Sumber Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Provinsi BantenUnit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Cikokol
Gambar 7 JPO di Jalan Arteri Kawasan Pemukiman
Gambar 8 Perbaikan Pedestrian di Jalan Arteri Kawasan
orang (JPO) berada dalam kondisi yang baik dan berfungsi dengan baik. Panjang JPO adalah 18 m dengan lebar 1.2 m.
Pedestrian berada pada jalan arteri, beberapa jalan kolektor, dan beberapa jalan lokal. Lebar jalur pedestrian bervariasi, tergantung kelas jalan yang ada di Kota Tangerang. Selain itu terdapat perbaikan pada pedestrian di jalan arteri kawasan pemukiman seperti pada Gambar 8.
Vegetasi
Vegetasi Jalan Arteri Kawasan Industri
Jenis tanaman tepi pada jalan arteri di kawasan industri terdiri dari pohon angsana, damar, petai dan tanaman penutup tanah (rumput gajah). Jarak tanam pada tanaman tersebut tidak teratur, rata-rata antara 3 m sampai 4 m. Kondisi tanaman pohon berada dalam kondisi baik, yaitu memiliki daun hijau, batang utuh dan sistem perakaran tidak merusak jalan seperti pada Gambar 9. Sedangkan kondisi tanaman penutup tanah berada dalam kondisi kurang baik yakni terdapat rumput liar dan tersebar tidak merata. Jenis tanaman pada median jalan tidak ada.
Vegetasi Jalan Arteri Kawasan Perdagangan
Jenis tanaman tepi pada jalan arteri di kawasan perdagangan terdiri dari pohon angsana, damar dan petai dan tanaman penutup tanah (rumput gajah). Jarak tanam pada tanaman tersebut tidak teratur, rata-rata antara 3 m sampai 4 m. Kondisi tanaman pohon berada dalam kondisi baik, yaitu memiliki daun hijau, batang utuh dan sistem perakaran tidak merusak jalan seperti pada Gambar 10. Sedangkan kondisi tanaman penutup tanah berada dalam kondisi kurang baik yakni terdapat rumput liar dan tersebar tidak merata. Jenis tanaman pada median jalan tidak ada.
Gambar 9 Vegetasi Jalan Arteri Kawasan Industri
Vegetasi Jalan Arteri Kawasan Pemukiman
Jenis tanaman tepi pada jalan arteri di kawasan pemukiman terdiri dari pohon angsana, damar dan petai dan rumput gajah. Jarak tanam pada tanaman tersebut tidak teratur, rata-rata antara 3 m sampai 4 m seperti pada Gambar 11. Kondisi tanaman pohon berada dalam kondisi baik, yaitu memiliki daun hijau, batang utuh dan sistem perakaran tidak merusak jalan. Sedangkan kondisi tanaman penutup tanah berada dalam kondisi kurang baik yakni terdapat
rumput liar dan tersebar tidak merata. Jenis tanaman pada median jalan tidak ada.
Vegetasi Jalan Kolektor Kawasan Industri
Jenis tanaman tepi pada jalan kolektor di kawasan industri terdiri dari pohon angsana. Jarak tanam pada tanaman tersebut tidak teratur, rata-rata antara 3 m sampai 5 m. Kondisi tanaman pohon tersebut berada dalam kondisi baik, yaitu memiliki daun hijau, batang utuh dan sistem perakaran tidak merusak jalan. Jenis tanaman pada median jalan terdiri dari pohon akasia, teh-tehan dan tanaman penutup tanah (rumput gajah) seperti pada Gambar 12. Jarak tanaman antar pohon akasia adalah 5 m, sedangkan untuk semak teh-tehan adalah 5 m. Kondisi tanaman median jalan berada pada kondisi yang kurang baik dan tidak terawat. Pohon angsana memiliki daun hijau tetapi layu. Batang dari pohon tersebut berukuran kecil. Semak teh-tehan tidak tumbuh merata dan daunnya tertutupi oleh debu yang tebal.
Vegetasi Jalan Kolektor Kawasan Perdagangan
Jenis tanaman tepi pada jalan kolektor di kawasan perdagangan terdiri dari pohon kelapa dan kersen seperti pada Gambar 13. Jarak tanam pada tanaman tersebut tidak teratur, rata-rata antara 5 m sampai 6 m. Kondisi tanaman pohon berada dalam kondisi baik, yaitu memiliki daun hijau, batang
Gambar 11 Vegetasi Jalan Arteri Kawasan Pemukiman
utuh dan sistem perakaran tidak merusak jalan akan tetapi dikelilingi oleh bangunan perdagangan. Jenis tanaman pada median jalan ini tidak ada.
Vegetasi Jalan Kolektor Kawasan Pemukiman
Jenis tanaman tepi pada jalan kolektor di kawasan pemukiman terdiri dari pohon angsana, mahoni, ketapang dan damar seperti pada Gambar 14. Jarak
tanam pada tanaman tersebut tidak teratur, rata-rata antara 4 m sampai 5 m. Kondisi tanaman pohon berada dalam kondisi baik, yaitu memiliki daun hijau, batang utuh dan sistem perakaran tidak merusak jalan. Jenis tanaman pada median jalan ini tidak ada.
Vegetasi Jalan Lokal Kawasan Industri
Jenis tanaman tepi pada jalan kolektor di kawasan pemukiman terdiri dari pohon bambu dan angsana. Jarak tanam pada tanaman tersebut tidak teratur,
Gambar 13 Vegetasi Jalan Kolektor Kawasan Perdagangan
Gambar 14 Vegetasi Jalan Kolektor Kawasan Pemukiman
Gambar 15 Vegetasi Jalan Lokal Kawasan Industri
Gambar 16 Vegetasi Jalan Lokal Kawasan Perdagangan
rata-rata antara 4 m sampai 6 m. Kondisi tanaman pohon berada dalam kondisi baik, yaitu memiliki daun hijau, batang utuh dan sistem perakaran tidak merusak jalan. Jenis tanaman pada median jalan ini tidak ada seperti pada Gambar 15.
Vegetasi Jalan Lokal Kawasan Perdagangan
Jenis tanaman tepi pada jalan kolektor di kawasan pemukiman tidak ada dan jenis tanaman pada median jalan ini tidak ada seperti pada Gambar 16
. VegetasiJalan Lokal Kawasan Pemukiman
Jenis tanaman tepi pada jalan kolektor di kawasan pemukiman tidak ada dan jenis tanaman pada median jalan ini tidak ada. Umumnya tanaman merupakan perpanjangan dari taman yang ada di perumahan seperti pada Gambar 17.
Drainase (Saluran Air)
Jalan arteri di kawasan indsutri memiliki sistem drainase tertutup dengan lebar 0.7 m dan kedalaman 0.7 m. Jalan arteri di kawasan perdagangan memiliki sistem drainase tertutup dengan lebar 0.7 m dan kedalaman 0.5 m sedangkan jalan arteri di kawasan pemukiman memiliki sistem drainase terbuka dengan lebar 0.7 m dan kedalaman 0.56 seperti pada Gambar 18 .
Jalan kolektor di kawasan industri memiliki sistem drainase tertutup
dengan lebar 1 m dan kedalaman 1.2 m. Jalan kolektor di kawasan perdagangan memiliki sistem drainase terbuka dengan lebar 1 m dan kedalaman 1.2 m seperti pada Gambar 19 sedangkan sistem drainase yang
Gambar 18 Drainase Jalan Arteri di Kawasan Pemukiman
Gambar 19 Drainase Jalan Kolektor di Kawasan Perdagangan
berada di jalan kolektor kawasan perumahan mengalami kerusakan dan drainase tidak berfungsi dengan baik.
Jalan lokal di kawasan industri memiliki sistem drainase tertutup dengan lebar 1 m dan kedalaman 0.7 m. Jalan lokal di kawasan perdagangan memiliki sistem drainase tertutup dengan lebar 0.5 m dan kedalaman 0.56 m sedangkan jalan lokal kawasan pemukiman memiliki sistem drainase tertutup dengan lebar 1.2 m dan kedalaman 0.5 m seperti pada Gambar 20.
ANALISIS
Topografi
Menurut PU (1990a) tentang Buku Petunjuk Teknis Perencanaan dan Penanganan Longsoran menyatakan bahwa pembagian sudut lereng suatu daerah dapat dibuat dengan selang sudut kemiringan 0%-5%, 6%-15%, 16%-30%, 31%-70%, dan lebih dari 70%. Gerakan tanah umumnya terjadi pada sudut kemiringan 15%-70% karena tempat tersebut sering ditempati batuan lempung dan bahan rombakan yang mudah longsor sehingga wilayah Kota Tangerang pada tingkat kemiringan tanah 15%-30% berada pada tingkat kemiringan rawan longsor dan dibagian selatan Kota Tangerang pada tingkat kemiringan 3%-8% sudah sesuai untuk pembuatan model jalur hijau jalan karena pada tingkat kemiringan tersebut tidak berada pada sudut kemiringan rawan longsor.
Wilayah Kota Tangerang secara umum terdapat pada ketinggian 14.62 m diatas permukaan laut. Menurut Lestari dan Kencana (2011) menyatakan bahwa dataran rendah merupakan daerah dengan ketinggian 1-700 m dpl sehingga Kota Tangerang yang memiliki ketinggian 14.62 m dpl berada pada dataran rendah.
Geologi
Batuan yang menutupi Kota Tangerang terdiri dari endapan alluvium, endapan kipas alluvium vulkanik muda, dan satuan Tuf Banten. Endapan ini mempunyai sifat fisik yang baik. Secara umum endapan tersebut tergolong subur dan baik untuk penanaman.
Menurut Anonim (2007) menyatakan bahwa setiap tanaman mempunyai adaptasi yang berbeda terhadap batuan induk tanah, sehingga tanaman untuk jalur hijau di Kota Tangerang yang sesuai dengan endapan aluvium tersebut adalah Krai Payung (Filicium decipiens), Tanjung (Mimusops elengi), Angsana (Ptherocarphus indicus), Oleander (Nerium oleander), Bogenvil (Bougenvillea
Sp), Teh-tehan (Acalypha microphylla).
Hidrologi
Berdasarkan data inventarisasi, terdapat genangan air dan banjir di beberapa segmen dari jalan arteri, kolektor, lokal.
jalan arteri, kolektor, lokal adalah 0.7 m dan lebar drainase pada jalan arteri, jalan kolektor dan jalan lokal berkisar 0.7 m.
Menurut Lestari dan Kencana (2011) menyatakan bahwa setiap tanaman membutuhkan kadar air yang berbeda, tergantung pada waktu, ukuran tanaman dan keadaan lingkungan.
Penggunaan Lahan
Menurut MENPU (2008) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 05/PRT/M/2008 menyatakan bahwa proporsi RTH pada wilayah perkotaan adalah sebesar minimal 30% dari luas wilayah yang terdiri dari 20% ruang terbuka hijau publik dan 10% terdiri dari ruang terbuka hijau privat sehingga Kota Tangerang yang memiliki RTH sebesar 27.918% belum mencukupi kebutuhan akan RTH Kota yakni sebesar 30% dari luas wilayahnya.
Jaringan Sirkulasi
Berdasarkan data inventarisasi, beberapa bagian jalan (arteri, kolektor, lokal) mengalami kerusakan akibat muatan berlebih. Dibeberapa segmen jalan (arteri, kolektor, lokal) terdapat kendaraan umum yang berhenti sembarangan serta adanya kendaraan yang ingin memutar arah. Selain itu juga, para pejalan kaki juga menyebrang jalan sembarangan.
Selain itu juga, persentase jumlah panjang jalan lokal, kolektor, dan arteri memiliki perbedaan yang besar. Jalan lokal memiliki jumlah panjang jalan lebih banyak daripada jalan kolektor dan jalan arteri. Hal ini menunjukkan bahwa jalan lokal mendominasi di wilayah Kota Tangerang.
Menurut Harris dan Dinnes (1998) menyatakan bahwa standar lebar jalan arteri adalah 36.575 m atau lebih, sedangkan pada penelitian ini diperoleh data bahwa jalan arteri di kawasan industri, perdagangan dan pemukiman hanya selebar 17.4 m (Tabel 11, Tabel 12, Tabel 13).
Menurut Harris dan Dinnes (1998) juga menyatakan bahwa standar lebar jalan kolektor adalah 21.335 m, sedangkan pada penelitian ini diperoleh data bahwa jalan kolektor di kawasan industri, perdagangan dan pemukiman belum sesuai standar yaitu sebesar 17.1 m, 17.2 m dan 14.3 m (Tabel 11, Tabel 12, Tabel 13).
Menurut Harris dan Dinnes (1998) menyatakan bahwa standar lebar jalan lokal adalah 18.290 m, sedangkan pada penelitian ini diperoleh data bahwa lebar jalan lokal di kawasan industri, perdagangan dan pemukiman belum sesuai standar yaitu sebesar 14.6 m, dan 14 m (Tabel 11, Tabel 12, Tabel 13).
Menurut Anonim (1990) tentang Petunjuk Perencanaan Trotoar menyatakan bahwa lebar jalur pedestrian di kawasan industri dan perdagangan adalah 2 m sedangkan pada penelitian ini, diperoleh lebar pedestrian jalan arteri, kolektor dan lokal pada kawasan industri dan perdagangan adalah adalah 1.2 m (Tabel 11 dan tabel 12).
1.3 m. Untuk jalan kolektor di kawasan pemukiman tidak memiliki jalur pedestrian. Jalur pedestrian jalan lokal di kawasan tersebut berada pada kondisi yang kurang baik yaitu ada beberapa segmen yang ditumbuhi tanaman liar. Jalur pedestrian jalan arteri di kawasan ini berada dalam masa perbaikan sepanjang 5 m (Tabel 13).
Kendaraan Transportasi
Menurut BPS Kota Tangerang (2011) jumlah kendaraan di Kota Tangerang mencapai 554 949 buah. Berdasarkan data inventarisasi peneltian, jumlah kendaraan permenit yang melewati kota tangerang adalah 107 mobil per menit dan 215 motor permenit (Tabel 14). Hal ini menunjukkan jumlah kendaraan tersebut tergolong tinggi. Disamping itu, terdapat persimpangan dimana salah satu jalannya menuju area penyempitan jalan sehingga banyak kendaraan menumpuk dan menyebabkan kemacetan. Seringnya kendaraan umum berhenti sembarangan pada jalan tertentu menyebabkan kemacetan terutama pada jalan arteri.
Fasilitas Umum
Menurut Binamarga (1996) tentang Pedoman Teknis Perekayasanaan Tempat Perhentian Kendaraan Penumpang Umum menyatakan bahwa perlunya perencanaan halte agar tidak mengganggu kelancaran arus lalu-lintas. Sedangkan data inventarisasi penelitian, pada segmen jalan arteri terdapat beberapa pengguna jalan yang menunggu kendaraan umum di tepi jalan, tanpa menunggu di halte sehingga menimbulkan kemacetan. Keadaan dari halte tersebut kurang terawat akan tetapi pengguna halte tersebut cukup banyak. Selain itu juga, pada beberapa titik jalan arteri industri, terdapat area penyebrangan tetapi tidak didukung fasilitas penyebrangan seperti JPO dan zebra cros.
Selain itu, pada titik tertentu, kendaraan umum sering kali berhenti tidak pada tempatnya hanya untuk mengakut penumpang sehingga menyebabkan kemacetan. Sebagian jalan arteri, kolektor, lokal juga tidak memiliki halte untuk kawasannya sehingga menimbulkan kemacetan.
Vegetasi
Menurut Lestari dan Kencana (2011) jika tanaman penutup tidak tersebar merata, maka daerah yang tidak merata tersebut akan ditanami tanaman liar sehingga dapat merusak fungsi tanaman. Berdasarkan data inventarisasi, beberapa vegetasi pada jalan (lokal, arteri, kolektor) tidak terawat dengan baik dan dikelilingi oleh lahan terbangun. Beberapa tanaman penutup tanah, tidak tersebar merata pada area tanamnya.
Jarak tanam juga tidak teratur yakni berkisar 3m – 6 m. Menurut Lestari dan Kencana (2011) jarak tanam sangat penting dalam proses pertumbuhan tanaman agar tanaman mampu tumbuh sempurna.
PU (1996) tentang Tata Cara Perencanaan Teknik Lansekap Jalan menyatakan bahwa jalan lokal kawasan pemukiman seharusnya memiliki area tanaman tepi agar dapat memberikan fungsi peneduh bagi pengguna jalan. Menurut MENPU (2008) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 05/PRT/M/2008 perlu adanya RTH pada kota baik dalam berbentuk ruang ataupun berbentuk jalur dengan penambahan tanaman pada bagian ruang dan jalur tersebut.
Drainase
Menurut Anonim (1990) tentang Pedoman Konstruksi dan Bangunan Perencanaan Sistem Drainase Jalan menyatakan bahwa standar drainase pada jalan arteri, kolektor, lokal adalah 0.7 m. Sedangkan berdasarkan data penelitian menyatakan bahwa jalan arteri di kawasan indsutri, perdagangan dan pemukiman memiliki sistem drainase tertutup dan terbuka dengan lebar 0.7 m dan kedalaman 0.7 m dan sesuai untuk sistem drainase jalan. Jalan kolektor di kawasan industri, perdagangan memiliki sistem drainase tertutup dengan lebar 1 m dan kedalaman 1.2 msesuai untuk sistem drainase jalan sedangkan sistem drainase yang berada di jalan kolektor kawasan pemukiman tidak ada dan sistem drainase jalan tidak berfungsi dengan baik. Jalan lokal di kawasan industri dan pemukiman memiliki sistem drainase tertutup dengan lebar 1 m sampai 1.2 m dan kedalaman 0.5 m sampai 0.7 m dan sesuai untuk sistem drainase jalan sedangkan sistem drainase yang berada di kawasan perdagangan dengan lebar 0.5 m belum sesuai untuk sistem drainase jalan.
Berdasarkan hasil inventarisasi, sistem drainase jalan di Kota Tangerang sudah diterapkan pada sejumlah jalan arteri dan lokal, akan tetapi pada jalan kolektor tidak terdapat sistem drainase. Hal tersebut akan menimbulkan genangan air disejumlah segmen jalan dan mengganggu pergerakan kendaraan.
SINTESIS
Topografi
Menurut Anonim (1990) tentang Buku Petunjuk Teknis Perencanaan dan Penanganan Longsoran menyatakan bahwa wilayah Kota Tangerang pada tingkat kemiringan tanah 15% sampai 30% diperlukan rencana penanganan longsoran agar sesuai untuk pembuatan model jalur hijau jalan karena berada pada sudut kemiringan longsor dan dibagian selatan Kota Tangerang pada tingkat kemiringan 3% sampai 8% sudah sesuai untuk pembuatan model jalur hijau jalan karena tidak berada pada sudut kemiringan longsor.
Berdasarkan analisis, wilayah Kota Tangerang berada pada wilayah dataran rendah. Menurut Lestari dan Kencana (2011) menyatakan bahwa tanaman yang sesuai untuk model jalur hijau di kota tersebut adalah Krai Payung (Filicium decipiens), Tanjung (Mimusops elengi), Angsana
Geologi
Batuan yang menutupi Kota Tangerang terdiri dari endapan alluvium, endapan kipas alluvium vulkanik muda, dan satuan Tuf Banten. Menurut Anonim (2007) menyatakan bahwa setiap tanaman mempunyai adaptasi yang berbeda terhadap batuan induk tanah, sehingga tanaman untuk jalur hijau di Kota Tangerang yang sesuai dengan endapan aluvium tersebut adalah Krai Payung (Filicium decipiens), Tanjung (Mimusops elengi), Angsana (Ptherocarphus indicus), Oleander (Nerium oleander), Bogenvil (Bougenvillea
Sp), Teh-tehan (Acalypha microphylla).
Hidrologi
Berdasarkan hasil analisis, genangan air dibeberapa segmen jalan arteri, kolektor dan lokal disebabkan tidak berfungsinya drainase pada jalan sehingga diperlukan perbaikan pada sistem drainase agar dapat berfungsi kembali.
Menurut Lestari dan Kencana (2011) menyatakan bahwa setiap tanaman membutuhkan kadar air yang berbeda, tergantung pada waktu, ukuran tanaman dan keadaan lingkungan.Berdasarkan data inventarisasi, terdapat genangan air dan banjir di beberapa segmen dari jalan (arteri, kolektor, lokal) sehingga menurut Binamarga (1990b) tentang Petunjuk Perencanaan Trotoar menyatakan bahwa diperlukan pembuatan drainase yang baik agar air tersebut dapat mengalir keluar dari segmen jalan.
Menurut Lestari dan Kencana (2011) menyatakan bahwa setiap tanaman membutuhkan kadar air yang berbeda, tergantung pada waktu, ukuran tanaman dan keadaan lingkungan sehingga spesifikasi tanaman yang dapat tumbuh dan beradaptasi di Kota Tangerang adalah Krai Payung (Filicium decipiens), Tanjung (Mimusops elengi), Angsana (Ptherocarphus indicus), Oleander (Nerium oleander), Bogenvil (Bougenvillea Sp), Teh-tehan (Acalypha microphylla).
Penggunaan Lahan
Berdasarkan hasil analisis, Kota Tangerang yang memiliki RTH sebesar 27.918% belum mencukupi kebutuhan akan RTH Kota yakni sebesar 30 % dari luas wilayahnya sehingga memerlukan penambahan 2.082% atau 3.907 km2 dari luasan kotanya.
Jaringan Sirkulasi
arah. Selain itu juga, para pejalan kaki juga menyebrang jalan sembarangan sehingga diperlukan dibuatkan fasilitas penyebrangan untuk pejalan kaki baik berupa JPO ataupun zebracross.
Berdasarkan hasil analisis menyatakan bahwa lebar jalan arteri di kawasan industri, perdagangan dan pemukiman (dengan lebar 17.4 m) belum sesuai standar lebar jalan arteri yaitu selebar 36.575 m dan diperlukan pelebaran jalan sebesar 19.175 m.
Berdasarkan hasil analisis menyatakan lebar jalan kolektor di kawasan industri (dengan lebar 17.1 m) belum memenuhi standar lebar jalan kolektor yaitu sebesar 21.335 m dan diperlukan pelebaran jalan sebesar 4.235 m. Lebar jalan kolektor di kawasan perdagangan (dengan lebar 17.2 m) belum memenuhi standar lebar jalan kolektor dan diperlukan pelebaran jalan sebesar 4.135 m. Lebar jalan kolektor di kawasan pemukiman (dengan lebar 14.3 m) belum memenuhi standar lebar jalan kolektor dan diperlukan pelebaran jalan sebesar 7.035 m.
Berdasarkan hasil analisis menyatakan bahwa lebar jalan lokal di kawasan industri dan perdagangan (dengan lebar 14 m) belum sesuai dengan standar lebar jalan lokal yaitu sebesar 18.290 m dan diperlukan pelebaran jalan sebesar 4.29 m. Lebar jalan lokal di kawasan pemukiman (dengan lebar 14.6 m) belum memenuhi standar dan diperlukan pelebaran jalan sebesar 3.69 m.
Berdasarkan hasil analisis menyatakan bahwa lebar jalur pedestrian di kawasan industri untuk jalan arteri, kolektor dan lokal di kawasan pemukiman (dengan lebar 1.2 m) belum sesuai dengan standar lebar jalur pedestrian di kawasan industri yaitu 2 m dan memerlukan pelebaran jalur pedestrian sebesar 0.8 m.
Berdasarkan hasil analisis menyatakan bahwa lebar jalur pedestrian jalan arteri dan kolektor di kawasan perdagangan (dengan lebar 1.2 m) belum sesuai dengan standar lebar pedestrian di kawasan perdagangan yaitu sebesar 2 m dan diperlukan pelebaran jalur pedestrian selebar 0.8 m. Lebar jalur pedestrian jalan lokal di kawasan perdagangan (dengan lebar 1.2 m) belum sesuai dengan standar lebar pedestrian di kawasan perdagangan dan diperlukan pelebaran jalur pedestrian selebar 0.2 m sampai 0.8 m.
Berdasarkan hasil analisis menyatakan bahwa lebar jalur pedestrian jalan arteri di kawasan pemukiman (dengan lebar 1.5 m) sudah sesuai dengan standar lebar jalur pedestrian di kawasan pemukiman, sedangkan lebar jalur pedestrian jalan lokal (dengan lebar 1.3 m) belum sesuai dengan standar lebar jalur pedestrian di kawasan pemukiman yaitu sebesar 1.5 m. Jalan kolektor di kawasan pemukiman belum memiliki jalur pedestrian sehingga diperlukan pembuatan jalur pedestrian jalan kolektor di kawasan pemukiman yang sesuai standar lebar jalur pedestrian di kawasan tersebut sebesar 1.5 m..
Kendaraan Transportasi