• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran pendamping program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir dalam pemberdayaan kelompok nelayan di Provinsi Maluku Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peran pendamping program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir dalam pemberdayaan kelompok nelayan di Provinsi Maluku Utara"

Copied!
364
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBERDAYAAN KELOMPOK NELAYAN

DI PROVINSI MALUKU UTARA

ASMAR HI. DAUD

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Peran Pendamping Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir dalam Pemberdayaan Kelompok Nelayan di Provinsi Maluku Utara” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2011

(3)

ASMAR HI. DAUD. The Role of Facilitators

The Economic Empowerment Program for Coastal Communities (

of the Economic Empowerment Program for Coastal Communities on Empowerment of Fishers Groups in North Moluccas Province. Under supervision SITI AMANAH and PANG S. ASNGARI.

Key words:

PEMP) was one program that aimed to improve coastal community welfare. Coastal community in North Moluccas was community group participated in the PEMP. PEMP had been implemented by Ministry of Marine and Fisheries Affairs since 2000 in 289 district/municipality. However, the impacts of the program varied from one places to another. There were a number of issues related to the achievement of the a includes the facilitation roles. This study aimed to analyse the role of facilitation by the facilitators of the PEMP program, to know the level of participation, and analyze the relationship between facilitation process and level of group member participation into PEMP program in North Moluccas Province. The research sites were three districts in North Moluccas Province. Survey method was used to collected data from 120 respondents. Sample respondents were selected randomly from 24 fishers groups. Data were analyzed descriptively and correlation analyses. From the research, it was found that the facilitators had not performed their facilitation properly, the level of group member participation to the PEMP was limited in implementation levels and utilization levels. There was a positive significant correlation between the role of facilitators and the group member participation.

(4)

ASMAR Hi. DAUD. Peran Pendamping Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir dalam Pemberdayaan Kelompok Nelayan di Provinsi Maluku Utara. Dibimbing oleh SITI AMANAH dan PANG S. ASNGARI.

Provinsi Maluku Utara adalah Provinsi Kepulauan, yang memiliki basis masyarakat pesisir dan keanekaragaman potensi kekayaan sumberdaya alam pesisir dan laut yang melimpah. Sebagai provinsi kepulauan dengan potensi sumberdaya pesisir dan laut (SDPL) yang besar, kenyataannya belum memberikan dampak ekonomi yang berarti bagi masyarakat pesisir, terutama bagi nelayannya. Secara fisik, berdasarkan aktivitas nelayan, kepemilikan armada dan jenis alat tangkap yang digunakan, dari tahun ke tahun tidak mengalami perkembangan, bahkan cenderung menurun. Akibat kemunduran ini, potensi kekayaan lautnya lebih banyak dimanfaatkan oleh nelayan asing. Kenyataan ini membuktikan bahwa nelayan Maluku Utara masih berada dalam kondisi terbelakang.

Pemecahan masalah kemiskinan masyarakat pesisir/nelayan dengan Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) yang digulirkan pada tahun 2000 oleh KementerianKelautan dan Perikanan memberikan harapan. Hal ini di lihat dari tujuan, visi dan misi serta sasaran program yang diembannya. Metode dan strategi pemberdayaan yang digunakan adalah melalui proses pendampingan dan kelompok sebagai media intervensi. Di Provinsi Maluku Utara, pelaksanaan Program PEMP dimulai sejak tahun 2001-2003 dan berakhir pada tahun 2004-2009. Selama pelaksanaannya, telah disalurkan dana ekonomi produktif sebagai dana bergulir yang dimanfaatkan oleh seluruh kelompok pemanfaat program (KMP) yang telah dibentuk oleh seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Maluku Utara (Kabupaten Halmahera Tengah, Kabupaten Halmahera Timur, Kabupaten Halmahera Utara, Kabupaten Halmahera Selatan, Kabupaten Kepulauan Sula, Kota Ternate dan Kota Tidore Kepulauan).

Pelaksanaan Program PEMP di Maluku Utara dalam kurun waktu tersebut dihadapkan pada berbagai kendala. Beberapa kabupaten/kota terindikasi gagal pada tahun pertama, dan tidak lagi mengusulkan program pada tahun berikutnya, sedangkan Kota Ternate dan Kota Tidore Kepulauan serta Kabupaten Halmahera Barat yang merupakan wilayah kajian masih berjalan, meskipun dengan periode yang berbeda. Indikasi kegagalan pelaksanaan Program PEMP, diduga salah satunya sebagai akibat dari lemahnya peranserta pendampingan kelompok dalam pelaksanaan kegiatannya. Hal ini yang menjadi fokus penelitian, agar dalam pelaksanaan program selanjutnya dapat diupayakan suatu program pendampingan yang lebih efektif dengan menetapkan bentuk-bentuk peran pendamping yang lebih selektif serta memiliki kompetensi dan karakter yang dapat diterima oleh komunitas yang didampinginya.

(5)

Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian survei, dalam hal ini yang disurvei adalah anggota kelompok nelayan peserta/pemanfaat (KMP) Program PEMP. Penelitian dilaksanakan pada tahun 2010 yang berlokasi di Propinsi Maluku Utara dengan wilayah kajian meliputi Kota Ternate, Kota Tidore Kepulauan dan Kabupaten Halmahera Barat.

Populasi penelitian adalah keseluruhan anggota kelompok nelayan pemanfaat/penerima Program PEMP yang ada di tiga kabupaten/kota di Provinsi Maluku Utara. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan responden anggota kelompok nelayan menggunakan kuesioner. Penentuan responden dilakukan secara simple random sampling. Jumlah responden/sampel diambil dari 24 kelompok (262 orang) yang terdistribusi di tiga wilayah kajian, masing-masing wilayah 40 responden (120 orang) Slovin (Sevilla dkk, 1993).

Data primer meliputi: Peran Pendamping (X1), Karakterisirik Kelompok (X2), Tingkat Partisipasi Anggota Kelompok (Y1) dan Tingkat Keberdayaan Kelompok (Y2

Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui gambaran umum sebaran dari variabel-variabel yang diteliti, sedangkan untuk mengetahui hubungan antara masing-masing variabel yang diteliti digunakan uji koefisien korelasi peringkat Spearman (Spearman Rank Correlation).

). Dari keempat variabel dibuat skala penilaian secara bertingkat (sangat tinggi/sangat setuju/sangat baik, tinggi/setuju/baik diberi skor rendah/kurang setuju/kurang baik, rendah sekali/sangat tidak setuju/sangat tidak baik) dengan katageri skor berturut-turut adalah 4, 3, 2 1. Data sekunder diperoleh dari lembaga terkait (Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kota/Kabupaten, Koperasi LEPP-M3 dan Konsultan Manajemen).

(6)

hubungan antara: (a) peran pendamping dengan tingkat partisipasi anggota kelompok, (b) peran pendamping dengan tingkat keberdayaan kelompok, (c) karakteristik kelompok (sejarah pembentukkan kelompok) dengan tingkat partisipasi anggota kelompok pada tahapan perencanaan, (d) terdapat hubungan antara karakteristik kelompok dengan tingkat keberdayaan kelompok, serta (e) terdapat hubungan antara partisipasi anggota kelompok dengan tingkat keberdayaan kelompok.

Peran pendampingan yang dilakukan oleh pendamping pada KMP-PEMP di Maluku Utara belum sesuai dengan harapan program, sehingga pemberdayaan yang dilakukan dengan menggunakan kelompok sebagai media intervensi belum mampu meningkatkan partisipasi dan kemandirian/keberdayaan anggota maupun KMP nelayan (kemampuan dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap dalam memecahkan masalah). Rendahnya derajat keberhasilan kinerja peran pendamping dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: (a) pengetahuan pendamping yang masih kurang terhadap program PEMP; (b) kemampuan berinteraksi dan SDM pendamping yang masih lemah; (c) program yang dijalankan masih berorientasi proyek; (d) pemberian insentif yang kurang memadai, (d) keterbatasan waktu yang diberikan kepada pendamping dalam menjalankan tugas-tugas pendampingan kelompok di lapangan, serta (d) aksebilitas (tempat tinggal pendamping dengan lokasi KMP).

(7)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(8)

PEMBERDAYAAN KELOMPOK NELAYAN

DI PROVINSI MALUKU UTARA

ASMAR HI. DAUD

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

NIM : I351080011

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc

Ketua Anggota

Prof. Dr. Pang S. Asngari

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Penyuluhan Pembangunan

Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(11)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan petunjuk-Nya, sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Tesis yang berjudul ”Peran Pendamping Program Ekonomi Masyarakat Pesisir dalam Pemberdayaan Kelompok Nelayan di Provinsi Maluku Utara,” ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister pada Program Magister Ilmu Penyuluhan Pembangunan Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB. Tesis ini merupakan hasil penelitian yang penulis kerjakan berdasarkan penelaahan lapangan di Provinsi Maluku Utara (Kota Ternate, Kota Tidore Kepulauan dan Kabupaten Halmahera Barat) pada tahun 2010.

Penulisan tesis ini terselesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tak terhingga kepada Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc dan Prof. Dr. Pang S. Asngari, selaku komisi pembimbing yang selama dalam prosesnya telah banyak memberikan bimbingan, masukan dan saran dalam penyelesaian tesis ini.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada masyarakat nelayan di Provinsi Maluku Utara, terutama kepada kelompok nelayan yang berada di Kota Ternate, Kota Tidore Kepulauan dan Kabupaten Halmahera Barat yang telah meluangkan waktunya untuk diwawancarai dan atas kesediaannya mengisi kuisioner yang diberikan.

Terima kasih yang tulus, penulis haturkan kepada keluarga dan teman-teman atas dorongan dan motivasi, perhatian serta doanya.

Disadari bahwa tidak ada kesempurnan dalam diri manusia kecuali terus mencari dan berharap menemukan kesempurnaan. Oleh karena itu, uraian dalam tesis ini juga tidak lepas dari keterbatasan dan kekurangannya. Penulis berharap semoga tesis ini dapat ditelaah, disempurnakan dan bermanfaat dalam pengembangan strategi peran pendampingan pemberdayaan masyarakat pesisir, khususnya kelompok nelayan di Provinsi Maluku Utara.

(12)
(13)

Penulis dilahirkan di Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara pada tanggal 11 Agustus 1975 dari pasangan Bapak Abdullah (alm) dan Ibu Nurhaya Khasyim. Penulis merupakan anak ke tiga dari delapan bersaudara. Pendidikan penulis diawali pada tahun 1982 di SD Negeri Moari Busua Kabupaten Halmahera Selatan, kemudian melanjutkan SMP Negeri 2 Kayoa Kabupaten Halmahera Selatan pada tahun 1989 dan tahun 1994 menamatkan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 4 Kota Ternate.

Pada tahun 1994 penulis menempuh pendidikan (S1) di Fakultas Pertanian Universitas Khairun Ternate Jurusan Perikanan dan tamat pada tahun 2000. Mulai tahun 2001 sampai sekarang penulis bekerja sebagai dosen di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Khairun (Unkhair) Ternate pada Program Studi Budidaya Perairan, dan pada tahun 2008 penulis berkesempatan melanjutkan tugas belajar di Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN) Institut Pertanian Bogor atas beasiswa dari Kementerian Pendidikan Nasional.

(14)

Halaman Nelayan dan Kemiskinannya ... Konsep Pembangunan ... Konsep Pemberdayaan Masyarakat... Pemberdayaan sebagai Suatu Upaya Perubahan Perilaku ... Peran Pendamping dalam Proses Pemberdayaan .………..………... Nelayan sebagai Kelompok Sosial Pemanfaat Program ...………. Partisipasi dalam Pemberdayaan Masyarakat Pesisir...

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS …... Kerangka Berpikir ... Hipot esis Penelitian...

METODE PENELITIAN... Desain Penelitian ... Lokasi dan Waktu Penelitian ... Populasi dan Sampel ... Defenisi Operasional dan Pengukuran Variabel... Validitas dan Reliabilitas ... ……. Validitas ... Reliabilitas ... Metode Pengumpulan Data ... Sumber Data ... Teknik Pengumpulan Data ... Analisis Data ...

HASIL DAN PEMBAHASAN... Gambaran Umum di Tiga Wilayah Penelitian... Perikanan Tangkap ..……….. Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP)….……… Tujuan Program PEMP….……….. Visi Program...………. Misi Program………... Sasaran Program ...……….………... Ruang Lingkup Kegiatan Program………... Organisasi dan Kelembagaan Program PEMP……...……….

(15)

xiii

Konsultan Manajemen (KM) Kabupaten/Kota………... Tenaga Pendamping Desa (TPD)……… Koperasi Ekonomi Masyarakat Pesisir Mikro Mina (LEP-M3)………….. Lembaga Perbankan Pelaksana………...

Peran Pendamping... Peran Pendamping sebagai Fasilitator……….……… Peran Pendamping sebagai Mediator……….. Peran Pendamping sebagai Motivator………. Peran Pendamping sebagai Edukator……….. Peran Pendamping sebagai Komunikator…..……….. Peran Pendamping sebagai Konselor………...………...

Karakteristik Kelompok Nelayan………... Sejarah Pembentukan Kelompok………... Aktivitas Kelompok……… Kepemimpinan Pengurus Kelompok……….. Akses Anggota ke Kelompok………. Jangkauan Usaha Kelompok………...

Tingkat Partisipasi Anggota Kelompok... ….. Tahapan Perencanaan………... Tahapan Pelaksanaan………... Tahapan Pemanfaatan………. Tahapan Evaluasi………

Tingkat Keberdayaan Kelompok Nelayan…... Produktivitas Kerja Kelompok………..………. Kemampuan memenuhi Kebutuhan Dasar Kelompok………….………... Kemandirian Kelompok Mengembalikan dan Mengembangkan dana... Kemampuan Membangun Kemitraan………. Kemampuan Memiliki Akses Modal, Barang Dan Jasa……….. Kesadaran Pemanfaatan dan Pengelolaan SDPL………

Analisis Hubungan antara Peubah-Peubah Penelitian... Hubungan Peran Pendamping dan Tingkat Partisipasi Anggota

(16)

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Jumlah kelompok nelayan tangkap perikanan penerima Program

PEMP di tiga kabupaten/kota Provinsi Maluku Utara …..……….. 46 2 Indikator, definisi operasional, parameter pengukuran peran

pendamping ... 48 3 Indikator, definisi operasional, parameter pengukuran

karakteristik kelompok ………. 49

4 Indikator, definisi operasional, parameter tingkat partisipasi

anggota kelompok ………. …. 50

5 Indikator, defenisi operasional, parameter pengukuran tingkat

keberdayaan kelompok ……….. 51

6 Nilai uji coba instrumen penelitian per peubah/variable………… 53 7 Banyaknya alat tangkap ikan menurut Jenis di Kabupaten/Kota di

Provinsi Maluku Utara ……… 57

8 Banyaknya alat tangkap ikan menurut jenis di tiga wilayah kajian

di Provinsi Maluku Utara tahun 2009 ……… 58 9 Banyaknya perahu/kapal penangkap ikan menurut jenis dan

ukuran di kabupaten/kota Provinsi Maluku Utara ………. 59 10 Distribusi peran pendamping sebagai fasilitator ………. 66 11 Distribusi indikator peran pendamping sebagai fasilitator ………. 67 12 Distribusi peran pendamping sebagai mediator ……….. 71 13 Distribusi indikator peran pendamping sebagai mediator ………. 73 14 Distribusi peran pendamping sebagai motivator ………. 76 15 Distribusi indikator peran pendamping sebagai motivator ……… 78 16 Distribusi peran pendamping sebagai educator ……….. 81 17 Distribusi indikator peran pendamping sebagai educator………… 81 18 Distribusi peran pendamping sebagai komunikator………. 84 19 Distribusi indikator peran pendamping sebagai edukator ………. 85 20 Distribusi peran pendamping sebagai konselor ……… 88 21 Distribusi indikator peran pendamping sebagai konselor………… 89 22 Distribusi karakteristik kelompok nelayan berdasarkan sejarah

pembentukan kelompok ……… 93

23 Distribusi karakteristik kelompok berdasarkan indikator

sejarah pembentukan ……… 94

24 Distribusi kelompok nelayan berdasarkan aktivitas kelompok 97 25 Distribusi karakteristik kelompok berdasarkan indikator aktivitas

kelompok ………. 97

26 Distribusi kelompok nelayan berdasarkan kepemimpinan pengurus

kelompok ……… 101

27 Distribusi karakteristik kelompok berdasarkan indikator

kepemimpinan pengurus kelompok ……….. 102 28 Distribusi kelompok nelayan berdasarkan akses anggota ke

kelompok ……….. 104

(17)

xv

30 Distribusi kelompok nelayan berdasarkan jangkauan usaha

kelompok ……… 107

31 Distribusi karakteristik kelompok berdasarkan indikator

Jangkauan usaha kelompok ……… 108

32 Distribusi anggota kelompok nelayan berdasarkan aspek

perencanaan kelompok ……… 110

33 Distribusi partisipasi anggota kelompok berdasarkan indikator

perencenaan ……….. 111

34 Distribusi anggota kelompok nelayan berdasarkan tahapan

pelaksanaan kegiatan kelompok ………. 112 35 Distribusi partisipasi anggota kelompok berdasarkan indikator

pelaksanaan ……….. 113

36 Distribusi anggota kelompok nelayan berdasarkan tahapan

pemanfaatan kegiatan kelompok ……… 115 37 Distribusi partisipasi anggota kelompok berdasarkan indikator

pemanfaatan ……….. 116

38 Distribusi anggota kelompok nelayan berdasarkan tahapan

evaluasi kegiatan kelompok ……… 118 39 Distribusi partisipasi anggota kelompok berdasarkan indikator

evaluasi ……….. 119

40 Distribusi tingkat keberdayaan berdasarkan derajat produktivitas

kerja anggota dan kelompok ……….. 123 41 Distribusi tingkat keberdayaan kelompok berdasarkan

produktivitas kinerja kelompok ………. 124 42 Distribusi tingkat keberdayaan berdasarkan kemampuan

memenuhi kebutuhan dasar anggota kelompok ………. 128 43 Distribusi tingkat keberdayaan kelompok berdasarkan

indikator kemampuan memenuhi kebutuhan dasar anggota …….. 129 44 Distribusi tingkat keberdayaan kelompok berdasarkan

kemampuan/kemandirian mengembalikan dan

mengembangkan dana pinjaman program ……… 131 45 Distribusi tingkat keberdayaan kelompok berdasarkan indikator

kemampuan/kemandirian mengembalikan dan mengembangkan

dana pinjaman program ……… 135

46 Distribusi kemampuan kelompok membangun kemitraan 136 47 Distribusi tingkat keberdayaan kelompok berdasarkan indikator

kemampuan membangun kemitraan ……….. 137 48 Distribusi tingkat keberdayaan berdasarkan kemampuan memiliki

akses, modal, barang dan jasa ……….. 140 49 Distribusi tingkat keberdayaan kelompok berdasarkan indikator

kemampuan memiliki akses ……… 141

50 Distribusi tingkat keberdayaan berdasarkan kesadaran dalam

pemanfaatan dan pengelolaan SDPL ………... 143 51 Distribusi tingkat keberdayaan kelompok berdasarkan indikator

kesadaran pemanfaatan dan pengelolaan SDPL ………. 145 52 Koefisien korelasi peran pendamping dengan partisipasi anggota

(18)

xvi

53 Koefisien korelasi karakteristik kelompok nelayan dengan

partisipasi anggota kelompok nelayan ……….. 150 54 Koefisien korelasi peran pendamping dengan keberdayaan

kelompok nelayan ………. 152

55 Koefisien korelasi Karakteristik Kelompok Nelayan dengan

tingkat keberdayaan kelompok nelayan ……… 156 56 Koefisien korelasi tingkat partisipasi anggota kelompok dengan

(19)

xvii

Halaman

1 Kerangka Berpikir Peran Tenaga Pendamping dalam Pemberdayaan kelompok Nelayan Pada Program PEMP di Provinsi Maluku Utara ………..

42

2 3

Peta Lokasi Penelitian... Model Struktur Organisasi Kelembagaan Program PEMP (DKP 2003 Maluku Utara) ...

45

(20)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Kuisioner Penelitian ………. 172

2

3

4

5

Validitas dan Reliabilitas Instrumen Peran Pendamping ………….

Validitas dan Reliabilitas Instrumen Karakteristik Kelompok...

Validitas dan Reliabilitas Instrumen Partisipasi Anggota

Kelompok Kelompok...

Validitas dan Reliabilitas Instrumen Keberdayaan Kelompok...

178

179

180

181

(21)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Nelayan merupakan komunitas pesisir yang secara langsung menggantungkan

sebagian besar kehidupannya di laut. Kebanyakan nelayan hidup di wilayah pesisir

yang terisolir, tertinggal, memiliki akses sumberdaya yang terbatas, serta kualitas dan

kemampuan SDM-nya yang masih sangat rendah. Gambaran ketidakberdayaan tersebut

memiliki relevansi dengan kondisi demografi masyarakat pesisir di Indonesia. Dari

67.439 desa yang ada di Indonesia terdapat 9.261 desa yang merupakan desa pesisir

Komunitas di dalamnya pun kebanyakan merupakan masyarakat tradisional dengan

kondisi sosial ekonomi dan latar belakang pendidikan yang relatif sangat rendah ( 90%)

hanya berpendidikan sampai sekolah dasar (Kusnadi, 2002).

Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, penduduk miskin di

Indonesia mencapai 34,96 juta jiwa dan 63,47 persen di antaranya adalah masyarakat

yang hidup di kawasan pesisir dan pedesaan. Tahun 2010 angka kemiskinan yang

dikeluarkan BPS terakhir mencapai 35 juta orang atau 13,33 persen dari jumlah

penduduk yang mencapai sekitar 237 juta jiwa, sedangkan Bank Dunia melaporkan

kemiskinan di Indonesia masih berkisar sekitar 100 juta. Data terbaru DKP

menyebutkan, poverty headcount index (PHI) pada tahun 2006 sebesar 0,3214. Berarti, sekitar 32 persen dari 16,42 juta masyarakat pesisir-nelayan di Indonesia

berada dibawah garis kemiskinan.

Fakta tentang keterbatasan kemampuan masyarakat pesisir terutama nelayan

dalam mengelola sumberdaya pesisir dan lautan ditemui pula di pesisir Maluku Utara,

dengan luas laut sebesar 106.977,31 km2

Keterbatasan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya tersebut di atas, selain

karena persoalan kapasitas SDM nelayan, armada dan alat tangkap yang dimiliki oleh atau 76 persen dari total luas daratan yang

dimiliki. Ketersediaan potensi perikanan diperkirakan mencapai 1.035.230 ton ikan

per tahun, dengan potensi lestari yang dapat dimanfaatkan sebesar 517.615 ton ikan

per tahun (DKP Maluku Utara, 2005). Akan tetapi potensi laut yang sedemikian besar

tersebut belum memberikan dampak ekonomi yang berarti bagi masyarakat pesisir,

(22)

nelayan Maluku Utara juga masih sangat terbatas. Dari 2.563 jumlah armada tangkap

yang dimiliki oleh nelayan Maluku Utara 1.124 adalah armada tanpa motor dan hanya

51 dari 261 armada tangkapnya yang berkapasitas dibawah 20 GT (DKP Maluku

Utara, 2009). Demikian juga dengan kepemilikan jenis alat tangkap. Dari 14.354 total

jenis alat tangkap yang dimiliki oleh nelayan Maluku Utara, 53 persen didominasi

oleh alat tangkap sederhana (DKP Maluku Utara, 2009). Kenyataan ini membuktikan

bahwa masyarakat nelayan Maluku Utara masih terbelakang.

Fenomena kemiskinan dan ketertinggalan masyarakat pesisir/nelayan di tanah

air, termasuk masyarakat nelayan di Maluku Utara tidak sekedar isu, tetapi sudah

menjadi fakta nasional. Pemecahan masalah tersebut dengan digulirkannya Program

Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) pada tahun 2000 oleh

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memberikan harapan. Tujuan adalah

meningkatkan kesejahteraan dan partisipasi masyarakat pesisir melalui

pengembangan kegiatan ekonomi, peningkatan SDM, penguatan kelembagaan sosial

ekonomi dengan mendayagunakan sumberdaya kelautan dan perikanan secara

optimal dan berkelanjutan.

Kaitannya dengan menumbuhkan partisipasi dan untuk mempercepat proses

perbaikan dalam pemberdayaan masyarakat pesisir, strategi dan/atau pendekatan yang

digunakan dalam Program PEMP adalah melalui pandampingan, dan kelompok

masyarakat pemanfaat program atau yang lebih dikenal dengan KMP dijadikan

sebagai media intervensi. Oleh karena itu, diperlukan agen penggerak yaitu tenaga

pendamping. Dalam konteks ini, tenaga pendamping yang disyaratkan minimal

berpendidikan Diploma III, diutamakan yang telah memiliki pengalaman dalam

program yang berbasis pemberdayaan masyarakat serta bersedia ditempatkan di

lokasi pendampingan yang bertugas mendampingi nelayan dalam pelaksanaan

kegiatan kelompok.

Pelaksanaan Program PEMP di Provinsi Maluku Utara sejak tahun 2001 telah

disalurkan dana ekonomi produktif (DEP) sebagai dana bergulir yang dimanfaatkan

oleh seluruh kelompok masyarakat pemanfaat program (KMP) dibentuk oleh seluruh

(23)

Tengah, Halmahera Utara dan Kabupaten Kepulauan Sula, serta Kota Ternate dan

Kota Tidore Kepulauan) di Provinsi Maluku Utara. Dalam pelaksanaannya selama

kurun waktu tersebut, tidak berjalan mulus. Beberapa kabupaten/kota terindikasi

gagal pada tahun pertama, dan tidak lagi mengusulkan program pada periode

berikutnya sampai dengan berakhirnya program secara nasional pada tahun 2009.

Indikasi kegagalan pelaksanaan PEMP di Provinsi Maluku Utara diduga salah

satunya adalah sebagai akibat dari lemahnya peran pendamping dalam pelaksanaan

pendampingan kegiatan KMP.

Peran pendampingan menjadi sangat penting karena kelompok masyarakat

miskin yang terlibat atau tergabung dalam program pemberdayaan apa saja, termasuk

Program (PEMP) dengan sendirinya belum mampu mengelola dana program dan

belum dapat berjalan sendiri. Diperlukan tenaga pendamping yang bertugas

mendampingi masyarakat nelayan dalam kelompoknya sehingga terjadi suatu

kebersamaan dalam upaya perbaikan taraf hidupnya (Kartasasmita, 1995). Dalam

teori peran dikatakan bahwa pelaksanaan peran yang berhasil seringkali memerlukan

kompetensi dalam sejumlah perilaku yang saling berkaitan, dan pengetahuan

seseorang yang ditempatkan pada suatu kelompok, organisasi atau masyarakat

(Horton dkk, 1989). Dengan demikian, yang terpenting dari pendampingan kelompok

menurut Baskoro (2009), adalah menempatkan pendamping yang tepat pada

kelompok yang tepat pula.

Mardikanto (1993) mengemukakan bahwa kelompok adalah kumpulan dua atau

lebih individu yang mempunyai beberapa kesamaan obyek perhatian, berinteraksi

secara mantap, menyusun struktur bersama dalam berpartisipasi dalam suatu

kegiatan, atau dengan kata lain suatu unit sosial yang terdiri dari sejumlah individu

yang mempunyai hubungan saling tergantung sesuai dengan status dan perannya,

serta terdapat norma yang mengatur tingkah laku anggotanya. Dalam kajian ini,

kelompok yang dimaksud adalah masyarakat nelayan tangkap penerima Program

PEMP. Kelompok nelayan ini diharapkan tumbuh dan berkembang atas dasar

kemauan dan kemampuan mereka sendiri, memiliki kesamaan jenis usaha, aktivitas

(24)

dimaksudkan untuk memudahkan nelayan dalam memperloleh modal usaha yang

dicanangkan oleh program, juga agar tidak menyulitkan nelayan dalam proses

menjalankan kegiatan kelompok, kekompakan dan kebersamaan anggota dalam

kelompok.

Prinsip pembetukan tersebut menuntut tenaga pendamping untuk berperan

membantu nelayan menggorganisasikan diri, mengidentifikasi kebutuhan lokal dan

memobilisasi sumberdaya yang ada pada mereka, serta memberdayakan seluruh

anggota kelompok untuk ikut berpartisipasi dalam meningkatkan keberdayaannya.

Untuk mencapai tujuan tersebut, tenaga pendamping yang memiliki pengetahuan,

sikap dan keterampilan merupakan hal yang sangat penting. Diperlukan ketersediaan

kemampuan sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas yang mampu menyertai

dan berperan dalam proses penyelenggaraan kegiatan kelompok sebagai fasilitator,

mediator, memotivator, edukator, komunikator dan sebagai konselor sewaktu

diperlukan oleh kelompok. Asumsi ini mendasari konsep bahwa tingkat efektivitas

atau keberhasilan dari program pemberdayaan akan sangat ditentukan oleh

pemahaman kelompok masyarakat terhadap aktivitas program yang dijalankannya.

Berdasarkan uraian tersebut, upaya pengkajian terhadap pelaksanaan peran

pendamping Program PEMP di Provinsi Maluku Utara, terlebih dalam upaya

meningkatkan partisipasi dan keberdayaan kelompok nelayan yang didampingi sangat

urgent untuk dilakukan. Dipilihnya peran pendamping sebagai objek kajian dimaksudkan untuk menggambarkan peran pendamping sebagai salah satu alternatif

pemberdayaan yang dilaksanakan untuk memampukan masyarakat yang tergabung

dalam KMP Program PEMP, agar dalam pelaksanaan program selanjutnya dapat

diupayakan suatu program pendampingan yang lebih efektif, selektif dan berkarakter

yang dapat diterima oleh kelompok komunitas yang didampingi atau yang

(25)

Masalah Penelitian

Hasil akhir dari suatu program pemberdayaan adalah terjadinya perubahan

perilaku masyarakat yang lebih partisipatif (kemampuan merencanakan,

melaksanakan, memanfaatkan dan mengevaluasi setiap kegiatan usaha yang

dijalankannya) serta mampu mandiri dan berdaya secara berkelanjutan. Prinsip

partisipasi digunakan untuk menghasilkan suatu kontribusi terhadap kepentingan

kegiatan kelompok nelayan yang terencana menurut potensi, kemauan dan

kemampuan yang mereka miliki. Demikian pula, harapan terhadap Program PEMP,

meskipun di beberapa daerah kab/kota di Indonesia, implementasi Program PEMP

dapat memberikan dampak positif bagi kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat

pesisir/nelayan, namun dari hasil evaluasi maupun dari laporan-laporan independen,

ternyata tidak sedikit kabupaten/kota penerima Program PEMP yang tidak berhasil,

termasuk beberapa kabupaten/kota di Provinsi Maluku Utara.

Indikator-indikator kegagalan Program PEMP dapat di lihat dari lemahnya

kegiatan sosialisasi program, pendapatan kelompok nelayan yang stagnan dan

cenderung menurun, dan kelompok yang dibentuk hanya merupakan instrumen untuk

mendapatkan modal program, serta dana program dianggap sebagai pemberian

cuma-cuma (Hasanudin, 2006). Hambatan spesifik lainnya seperti dilaporkan Miraza

(2009), bahwa kelompok tidak mendapatkan bantuan apapun dari pendamping,

kegiatan pendampingan yang seharusnya dilakukan oleh kelembagaan yang telah

dibentuk tidak berjalan optimal, termasuk akses terhadap informasi program. Demikian

juga, rendahnya partisipasi anggota kelompok nelayan dalam perencanaan dan

pelaksanaan kegiatan atau ketidak-sungguhan komitmen kelompok nelayan dalam

memanfaatkan dan mengembangkan dana program semakin memperburuk

keberhasilan program yang telah diberikan.

Fakta ini dipertegas oleh Hadi (2009), bahwa kurangnya kemauan baik

(political will) dari pemerintah, maupun dari komponen masyarakat yang tidak

partisipatif, tidak optimalnya peran pendamping dalam pendampingan masyarakat

serta ketidaksiapan peran institusi pendamping program sebagai agen perubahan

(26)

perencanaan program di tingkat lokal adalah faktor-faktor yang menjadi penyebab

gagalnya berbagai program pemberdayaan di Indonesia.

Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut di atas, secara spesifik

dirumuskan beberapa masalah penelitian sebagai berikut:

(1) Sejauh mana peran pendamping dalam pelaksanaan program pemberdayaan

KMP nelayan di Provinsi Maluku Utara?

(2) Bagaimana karakteristik KMP nelayan dalam Program PEMP?

(3) Bagaimana tingkat partisipasi anggota KMP nelayan dalam Program PEMP?

(4) Sejauh mana tingkat keberdayaan anggota KMP nelayan dalam Program PEMP?

(5) Bagaimana hubungan peran pendamping, karakteristik KMP terhadap tingkat

partisipasi anggota KMP dan tingkat keberdayaan anggota KMP nelayan dalam

pelaksanaan Program PEMP di Provinsi Maluku Utara?

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian adalah:

(1) Mengkaji peran pendamping dalam Program PEMP di Provinsi Maluku Utara

(2) Mengkaji karakteristik KMP nelayan dalam Program PEMP

(3) Mengkaji tingkat partisipasi anggota KMP nelayan dalam Program PEMP

(4) Mengkaji tingkat keberdayaan anggota KMP nelayan dalam Program PEMP

(5) Menganalisis hubungan peran pendamping, karakteristik KMP terhadap tingkat

partisipasi dan tingkat keberdayaan anggota KMP nelayan dalam pelaksanaan

Program PEMP di Provinsi Maluku Utara.

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

terhadap perkembangan ilmu pengetahuan terutama di bidang penyuluhan

pembangunan, khususnya pada aspek pendampingan serta sebagai acuan bagi para

agen perubahan sosial dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat. Manfaat praktis

dalam kajian ini diharapkan menjadi alternatif dalam upaya menjawab masalah

kemiskinan dan strategi pendampingan dalam program pemberdayaan kelompok

(27)

TINJAUAN PUSTAKA

Nelayan dan Kemiskinannya

Umumnya masyarakat pesisir-nelayan merupakan kelompok masyarakat yang

relatif tertinggal secara ekonomi, sosial dan budaya dibandingkan dengan kelompok

masyarakat lainnya (Dahuri, 2003). Demikian juga kebijakan pemerintah/negara dalam

upaya mengentaskan nasib masyarakat-nelayan ternyata gagal sampai sekarang.

Persepsi ini didasarkan pada hasil pengamatan langsung terhadap realitas kehidupan

masyarakat nelayan atau dari hasil-hasil kajian akademis, seperti hasil temuan Karim

(IPB) kurun waktu tahun 2002-2004 mengenai pemberdayaan nelayan di Deli

Serdang, Asahan, Karawang, dan Sukabumi menunjukkan bahwa strategi

neoliberalisme ini banyak diaplikasikan sehingga mengalami kegagalan pada tingkat implementasi (Riyono, 2010). Sebagai negara maritim terbesar di dunia, menurut

Purwanto (2007), mestinya keterbelakangan nelayan itu tidak harus terjadi, jika saja

pilihan strategi kebijakan pembangunan tidak salah.

Berdasarkan usaha dan aktivitas ekonominya, nelayan dapat didefinisikan

sebagai sekelompok orang yang tinggal di wilayah pesisir yang secara langsung

memanfaatkan sumberdaya alam pesisir dan laut. Mereka terdiri dari nelayan pemilik,

buruh nelayan, pembudidaya ikan dan organisme laut lainnya, pedagang ikan, pengolah

ikan, pemasok faktor sarana produksi perikanan, dan lain-lain untuk menyokong

kehidupan kesehariannya (Nikijuluw, 2001). Lebih lanjut dikatakan bahwa kelompok

nelayan ini secara langsung mengusahakan dan memanfaatkan sumberdaya ikan

melalui kegiatan penangkapan dan budidaya. Kelompok ini pula yang mendominasi

pemukiman di wilayah pesisir di seluruh Indonesia, di pantai dan di pulau-pulau besar

dan kecil. Sebagian besarnya adalah pengusaha skala kecil dan menengah, subsisten,

serta memenuhi kebutuhan keluarga dalam jangka waktu yang pendek.

Bantuan berupa alat tangkap untuk nelayan lebih sering gagal akibat tidak

melihat faktor struktural tersebut. Meskipun diberikan sampan dan peralatan tangkap

tetapi dana cadangan untuk pemeliharaan (maintenance) alat tangkap tidak tersedia,

(28)

tangkap bisa-bisa "tergadai", karena untuk membayar hutang. Berbagai hasil kajian

penelitian, selama ini mengungkapkan bahwa kehidupan sosial ekonomi kaum nelayan

sebagian besar dari mereka, khususnya yang tergolong nelayan buruh atau

nelayan-nelayan kecil, hidup dalam kemiskinan. Kemampuan mereka untuk memenuhi

kebutuhan dasar minimal kehidupan sehari-hari sangat terbatas. Bagi kaum nelayan, di

antara beberapa jenis kebutuhan pokok kehidupan, kebutuhan yang paling penting

adalah pangan. Adanya jaminan pemenuhan kebutuhan pangan setiap hari sangat

berperan besar untuk menjaga kelangsungan hidup mereka (Kusnadi, 2003).

Terdapat beberapa definisi dan kriteria kemiskinan menurut garis kemiskinan.

Tetapi secara umum para pakar ekonomi, sosial dan budaya mendefinisikan

kemiskinan sebagai suatu keadaan atau kondisi yang dialami oleh seseorang atau

sekolompok orang yang tidak berdaya menyelenggarakan hidupnya sampai pada suatu

titik yang dianggap manusiawi (Jamasy, 2004). Lebih lanjut dikatakan bahwa faktor

utamanya terkait dengan pengaruh kebijakan pembangunan yang belum menjangkau

seluruh masyarakat yang berakibat kepada sempitnya lapangan kerja, upah kerja

rendah, produtivitas kerja menurun, aset menurun, diskriminasi, tekanan harga, dan

sampai pada suatu keadaan dimana setiap orang semakin mudah untuk mengorbankan

harta benda, termasuk harga diri miliknya untuk dijual.

Menurut Chambers (1987), inti dari masalah kemiskinan sebenarnya terletak

pada apa yang disebut deprivation trap atau lebih populer disebut dengan istilah

perangkap kemiskinan. Deprivation trap dicirikan atas lima unsur yaitu: kemiskinan itu

sendiri, kelemahan fisik, keterasingan atau kadar isolasi, kerentanan atau

ketidakberdayaan. Kelima unsur tersebut seringkali terkait satu sama lain sehingga

merupakan perangkap kemiskinan yang benar-benar berbahaya dan mematikan peluang

hidup orang atau keluarga miskin.

Kemiskinan yang merupakan indikator ketertinggalan kaum nelayan, menurut

Nikijuluw (2001), paling tidak disebabkan oleh tiga hal utama, yaitu: (1) kemiskinan

struktural, (2) kemiskinan super-struktural, dan (3) kemiskinan kultural. Kemiskinan

(29)

masyarakat, ketersediaan insentif atau disinsentif pembangunan, ketersediaan fasilitas

pembangunan, ketersediaan teknologi, dan ketersediaan sumberdaya pembangunan

khususnya sumberdaya alam. Hubungan antara variabel-variabel ini dengan

kemiskinan umumnya bersifat terbalik. Kemiskinan super-struktural adalah

kemiskinan yang disebabkan karena variabel-variabel kebijakan makro yang tidak

begitu kuat berpihak pada pembangunan nelayan. Variabel-variabel super-struktur tersebut di antaranya adanya kebijakan fiskal, kebijakan moneter, ketersediaan hukum

dan perundang-undangan, kebijakan pemerintahan yang diimplementasikan dalam

proyek dan program pembangunan. Sedangkan kemiskinan kultural adalah

kemiskinan yang disebabkan karena variabel-variabel yang melekat, inheren, dan

menjadi gaya hidup tertentu. Variabel-variabel penyebab kemiskinan kultural adalah

tingkat pendidikan, pengetahuan, adat, budaya, kepercayaan, kesetiaan pada

pandangan-pandangan tertentu, serta ketaatan pada panutan.

Menurut Kusnadi (2003), ada dua sebab yang melatarbelakangi

ketidak-berdayaan nelayan, yaitu faktor internal dan eksternal. Sebab yang pertama adalah

persoalan internal kehidupan nelayan itu sendiri, yakni: (1) keterbatasan kualitas

SDM nelayan; (2) keterbatasan kemampuan modal usaha, dan teknologi

penangkapan; (3) hubungan kerja dalam organisasi penangkapan tidak

menguntungkan nelayan buruh; (4) kesulitan melakukan diversifikasi usaha; (5)

ketergantungan yang tinggi terhadap okupasi melaut; (6) pendapatan nelayan bersifat

harian dan jumlahnya sulit ditentukan; (7) ketergantungan yang besar terhadap

pedagang; (8) kebiasaan nelayan yang tidak mengikutsertakan perempuan dan

anak-anak; serta (9) gaya hidup yang dipandang boros sehingga kurang berorientasi ke

masa depan. Sedangkan sebab yang bersifat eksternal yakni berkaitan dengan kondisi

di luar diri dan aktivitas nelayan itu sendiri, yakni: (1) kebijakan pembangunan

perikanan yang lebih berorientasi pada produtivitas pertumbuhan ekonomi nasional dan

parsial; (2) sistem pemasaran hasil perikanan lebih menguntungkan pedagang

perantara; (3) kerusakan ekosistem wilayah pesisir dan laut; (4) penggunaan alat

tangkap yang tidak efektif; (5) penegakan hukum yang lemah; (6) terbatasnya teknologi

(30)

sektor non perikanan yang tersedia di desa-desa nelayan; (8) kondisi alam dan fluktuasi

musim yang tidak memungkinkan nelayan melaut sepanjang tahun; dan (9) rentang

geografis desa nelayan yang tidak memungkinkan, menghambat atau mengganggu

mobilitas barang, jasa dan manusia, termasuk tidak tersedianya akses pasar yang jauh

dari wilayah tangkap mereka.

Rekonstruksi kemiskinan nelayan dan cara mengatasinya adalah penting

mengingat program kompensasi atas kenaikan BBM sebelumnya sudah ada secara

khusus yakni Program PEMP yang dimulai sejak tahun 2001, namun faktanya,

kemiskinan masih belum beranjak, malah sebaliknya semakin bertambah (Marbun,

2008). Dalam konteks ini, Menurut Ismawan (1996), penetapan kemiskinan seseorang,

bukannya mereka tidak mempunyai apa-apa sama sekali (the have not), melainkan

mereka mempunyai sesuatu walaupun sedikit (the have little). Bila potensi mereka

yang serba sedikit digalang dan dihimpun dalam satu wadah kebersamaan yang mereka

percaya dan hormati, maka mereka akan mampu mengatasi masalah-masalah dengan

kekuatan sendiri. Sejalan dengan itu, Haeruman (P2KP: 1999) mengungkapkan bahwa

faktor pemberdayaan kelembagaan menjadi penting untuk tidak diabaikan.

Pemberdayaan masyarakat pesisir-nelayan dan institusi lokal sebagai strategi dalam

pelaksanaan pemberdayaan mengandung dua unsur, yakni kemandirian dan partisipasi.

Kaitannya dengan menumbuhkan partisipasi, diperlukan agen penggerak atau

agen pembangunan, yakni: (1) sebagai fasilitator dan motivator yang mampu

mengarahkan dan menggerakkkan masyarakat yang diberdayakan agar mau dan

mampu melakukan perubahan, (2) sebagai tempat berkonsultasi pemberi pemecahan

masalah, (3) sebagai pembantu penyebaran inovasi serta member petunjuk mengenali

dan merumuskan kebutuhan, mendiagnosa permasalahan dan menentukan tujuan

pendapatan sumber-sumber yang relevan, memilih dan mengevaluasi, dan (4) sebagai

penghubung dengan sumber-sumber yang diperlukan. Dalam konteks ini, tentu bukan

kapital atau uang sebagai sumber utama untuk mobilisasi nelayan, tetapi titikberat dan

yang jauh lebih penting bagi nelayan dan komunitasnya adalah kemandirian, yang

(31)

pesisir-nelayan) membutuhkan pendampingan yang baik untuk membangun harapan

dan hari esok yang lebih baik.

Konsep Pembangunan

Pada dasawarsa 1950-an istilah “pembangunan” dianggap sebagai suatu “obat”

terhadap berbagai macam masalah yang muncul di masyarakat, terutama pada

negara-negara berkembang. Suatu era dimana teori “pembangunan” dikemukakan. “Teori

pembangunan” dilatari oleh suatu konsep yang disebut dengan ”pertumbuhan.”

Pemikiran mengenai teori pertumbuhan berasal dari suatu pandangan yang melihat

”pembangunan” sebagai ”pertumbuhan” ekonomi yang diasumsikan oleh kaum

ekonom ortodoks sebagai peningkatan standar kehidupan. Dengan Gross National

Product (GNP) atau Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sebagai indikator keberhasilannya (Adi, 2003). Kleinjans (Dilla, 2007) menyatakan bahwa pembangunan

pada ahirnya bukan soal teknologi atau GNP, melainkan pencapaian pengetahuan dan

keterampilan baru, tumbuhnya suatu kesadaran baru, perluasan wawasan manusia,

meningkatnya semangat kemanusiaan, dan suntikan kepercayaan diri.

Rogers dan Shoemaker (1986) mendefinisikan pembangunan sebagai suatu jenis

perubahan sosial, yakni ide-ide baru diperkenalkan pada suatu sistem sosial untuk

menghasilkan suatu pendapatan per kapita dan tingkat pendapatan yang lebih tinggi

melalui metode produksi yang lebih modern dan organisasi sosial yang lebih baik.

Pembangunan adalah moderninasi pada tingkat sistem sosial. Lebih jauh, Rogers

(1986) menyatakan bahwa pembangunan sebagai suatu proses perubahan sosial dengan

partisipatori yang lebih luas dalam suatu masyarakat untuk kemajuan sosial dan

material (termasuk bertambah besarnya keadilan, kebebasan, dan kualitas lainnya yang

dihargai) bagi mayoritas rakyat melalui kontrol yang lebih besar dari lingkungan

mereka. Inayatullah (1976) mendifinisikan pembangunan sebagai perubahan menuju

pola-pola masyarakat yang lebih baik dengan nilai-nilai kemanusiaan yang

memungkinkan suatu masyarakat mempunyai kontrol yang lebih besar terhadap

lingkungan dan tujuan politiknya, juga memungkinkan warganya memperoleh kontrol

(32)

Dilla, 2007) memandang pembangunan sebagai: (1) proses, (2) program (3)

aksi/gerakan dan (4) metode.

Hadad (1980) mengungkapkan bahwa dari sudut pandang historis, istilah

”pembangunan” tidak berbeda dengan istilah ”perubahan.” Masing-masing memiliki

sisi positif dan negatif, tergantung kepada “apa” dan “siapa” yang mau diubah, dan

“bagaimana” proses perubahan itu dilakukan. Sebagai hasilnya, ada beberapa

pendekatan yang dikenal sebagai pendekatan ”utama” dalam teori pembangunan.

Beberapa pendekatan itu antara lain: pendekatan pertumbuhan, pendekatan

pemerataan, paradigma ketergantungan, pendekatan kebutuhan pokok, dan

pendekatan kemandirian.

Pendekatan pertumbuhan (growth aproach) melihat pertumbuhan material

sebagai syarat mutlak untuk suatu pembangunan yang berhasil. Penekanannya pada

strategi industrialisasi dan investasi (pemilik modal besar) sebagai indikator utama

dengan ukuran pendekatan Incremental Capital Output Ratio (ICOR) atau laju

pertumbuhan ekonomi. Rasionalitas pendekatan ini menurut Rostow, jika

pertumbuhan ekonomi tinggi akan terjadi yang disebutnya sebagai ”trickle down

effect” tetesan rezeki ke bawah sampai pada akar rumput (grassroots).

Pendekatan pemerataan (redistribution aproach) mengukur keberhasilan

pembangunan berdasarkan tiga indikator utama yaitu: indikator sosial budaya,

indikator politik, dan indikator ekonomi. Kesimpulan dari ketiga indikator ini ialah

bahwa pertumbuhan ekonomi erat kaitannya dengan partisipasi politik dan distribusi

pendapatan dalam kaitannya dengan strategi pembangunan. Kemiskinan terkait

dengan masalah-masalah pendistribusian, sedangkan kesenjangan sosial mempunyai

akar yang lebih mendalam pada masyarakatnya. Kesenjangan sosial sangat terkait

dengan struktur dan pola-pola masyarakat dalam mengolahh kekayaan, mengolahh

pengetahuan, dan kemampuan dari institusi tertentu dalam masyarakat tersebut dalam

proses pengambilan keputusan.

Paradigma ketergantungan (dependence paradigm) melihat bahwa munculnya

sifat ketergantungan masyarakat merupakan penyebab utama terjadinya

(33)

keterbelakangan tersebut diperlukan adanya upaya ”pembebasan” (liberation) dari

belenggu yang merantai mereka. Paradigma ini juga menggambarkan bahwa struktur

kerjasama yang bersifat eksploitatif dapat menyebabkan terjadinya stagnasi

pembangunan.

Pendekatan kebutuhan pokok (the basic needs aproach) melihat bahwa

kebutuhan pokok masyarakat tidak akan dipenuhi jika mereka masih berada di bawah

garis kemiskinan serta tidak mempunyai pekerjaan untuk mendapatkan pendapatan

yang lebih baik. Untuk itu harus ada lapangan pekerjaan bagi masyarakat, meningkat

pertumbahan ekonomi, dan memenuhi kebutuhan pokok masyarakatnya. Pendekatan

ini harus diterapkan secara komprehensif dan melibatkan masyarakat di pedesaan dan

sektor informal dengan mengembangkan potensi dan kemampuan masyarakat itu

sendiri untuk mengorganisir diri, serta membangun sesuai dengan tujuan yang

dikehendaki. Menurut Hadad, bahwa pada titik tertentu, juga menjembatani

pendekatan kebutuhan pokok dengan pendekatan kemandirian (self-reliance aproach)

kelompok masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan. Pendekatan

kemandirian (self-reliance aproach) adalah suatu pendekatan yang digunakan untuk

mengukur sejauh mana masyarakat melepaskan diri dari ketergantungannya terhadap

institusi/lembaga di luar dirinya. Konsep kemandirian menyajikan dua perspektif,

yang pertama adalah penekanan yang lebih diutamakan pada hubungan timbal balik

dan saling menguntungkan dalam perdagangan dan kerjasama pembangunan,

sedangkan yang kedua adalah lebih mengandalkan pada kemampuan sumberdaya

sendiri.

Cara terbaik untuk mengatasi masalah pembangunan adalah dengan membiarkan

semangat wiraswasta tumbuh dalam kehidupan masyarakat-berani mengambil resiko,

berani bersaing, menumbuhkan semangat positif untuk bersaing secara positif dan

menemukan hal-hal baru (inovasi) melalui partisipasi aktif masyarakat. Strategi

pembangunan meletakan partisipasi masyarakat sebagai fokus isu utama pembangunan,

sedangkan strategi pemberdayaan meletakkan partisipasi aktif masyarakat ke dalam

(34)

Pembaharuan dalam strategi pembangunan daerah yang memadukan

pertumbuhan dan pemerataan pada dasarnya mempunyai tiga arah: pertama, pemihakan

dan pemberdayaan masyarakat. Kedua, pemberian otonomi dan pendelegasian

wewenang dalam pengelolaan pembangunan di daerah. Ketiga, modernisasi melalui

penajaman dan pemantapan arah dari perubahan struktur sosial ekonomi dan budaya

masyarakat. Lebih lanjut dikatakan bahwa perhatian khusus diwujudkan dalam

langkah-langkah strategis yang diarahkan secara langsung pada perluasan akses kepada

sumberdaya pembangunan. Di samping itu, disertai penciptaan peluang yang

seluas-luasnya bagi masyarakat di lapisan bawah untuk berpartisipasi dalam proses

pembangunan. Dengan perluasan seperti itu peranserta masyarakat menjadi penentu

keberhasilan pembangunan daerah. Masyarakat akan makin terbuka, makin

berpendidikan, dan makin tinggi kesadarannya (Soemadiningrat, 1997).

Supaya pembangunan masyarakat berlangsung dengan tepat maka pemerintah

hanya mempersiapkan dan memfasilitasi lingkungan yang sehat bagi peningkatan,

perluasan, serta pendalaman kegiatan-kegiatan yang telah dimiliki oleh masyarakat

sendiri. Hal ini merupakan makna pemberdayaan yaitu mengembangkan hal-hal yang

telah ada pada masyarakat menjadi lebih besar skalanya, lebih ekonomis, dan lebih

berdayaguna dan berhasilguna (Nikijuluw, 2001).

Salah satu perbedaan penting antara pembangunan yang memihak rakyat dan

pembangunan yang mementingkan produksi ialah bahwa yang kedua itu secara terus

menerus menundukkan kebutuhan rakyat dibawah kebutuhan sistem agar sistem

produksi tunduk kepada kebutuhan rakyat (Korten, 1984). Perbedaan paradigma

pembangunan yang mementingkan produksi yang dewasa ini unggul dan

pembangunan yang lebih berpihak kepada rakyat sebagai tandingannya, mengandung

arti penting bagi penciptaan masa depan yang lebih manusiawi. Khususnya

pemahaman akan perbedaan itu penting artinya bagi pemilihan teknik sosial termasuk

cara pemberdayaan masyarakat dilakukan secara tepat untuk mencapai tujuan-tujuan

yang mementingkan rakyat. Penyadaran diri (conscienzacione), satu di antara

argumen-argumen yang paling telak dan tajam diajukan oleh Paulo Freire (1984)

(35)

pandangan dan cakrawala rakyat yang tersekap dalam kemiskinan dan sering

menghayati kehidupan mereka dalam keterpencilan (isolasi) dan kekumuhan, harus

diubah ke arah suatu keinsyafan, perasaan, pemikiran, gagasan, bahwa hal-ihwal

dapat menjadi lain, dan tersedia alternatif-alternatif (sumberdaya yang dimiliki oleh

masyarakat).

Konsep Pemberdayaan Masyarakat

Konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan selalu dihubungkan dengan

konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja, dan keadilan. Prinsipnya diletakkan pada

kekuatan individu dan sosial (Hikmat, 2001). Konsep atau istilah pemberdayaan dalam

banyak kegiatan dan program aksi diarahkan kepada muara yang relatif sama, yakni

membuat sasaran atau masyarakat memiliki kemampuan “daya” agar masyarakat

sasaran terangkat dari keterpurukannya. Dalam konsep aslinya, pemberdayaan

masyarakat lebih difokuskan kepada nuansa agar masyarakat sasaran dapat diposisikan

terlibat aktif dalam proses pembangunan.

Pemberdayaan ekonomi kerakyatan (dalam penerapan untuk nelayan kecil)

berarti menuju kepada terbentuknya kemandirian nelayan itu, yaitu berperilaku efisien,

modern dan berdaya saing tinggi. Perilaku efisien artinya berpikir dan bertindak serta

menggunakan sarana produksi secara tepatguna atau berdayaguna. Berperilaku modern

artinya mengikuti dan terbuka terhadap perkembangan dan inovasi serta perubahan

yang ada (Sasono, 1999), sedangkan berdaya saing tinggi yaitu mampu berpikir dan

bertindak serta menggunakan sarana produksi atas dasar memperhatikan mutu hasil

kerjanya dan kepuasan konsumen yang dilayaninya (Sumardjo, 1999).

Gagasan pemberdayaan ekonomi kerakyatan menurut Mahmudi (1999) adalah

upaya mendorong dan melindungi tumbuh dan berkembangnya kekuatan ekonomi

lokal dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) oleh masyarakat yang

berbasiskan pada kekuatan rakyat. Muatan gagasan ini tidak saja dituntut untuk dapat

mendayagunakan dan menghasilgunakan potensi sumberdaya lokal untuk kepentingan

kesejahteraan rakyat, tetapi juga terlindunginya hak-hak rakyat dalam pengelolaan

(36)

Kartasasmita (1997) menyatakan bahwa upaya memberdayakan masyarakat

dapat di lihat dari tiga sisi: Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang

memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Titik tolaknya adalah

bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat

dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena,

kalau demikian akan sudah punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk pembangunan

daya itu, dengan mendorong, memotivasikan dan membangkitkan kesadaran akan

potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. Kedua,

memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering). Dalam

rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya menciptakan

iklim dan suasana. Penguatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut

penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses ke dalam berbagai

peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya.

Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena

kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Melindungi harus di lihat sebagai

upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, dan eksploitasi

yang kuat atas yang lemah.

Kegiatan pemberdayaan masyarakat harus mampu mengembangkan

teknik-teknik pendidikan tertentu yang imajinatif untuk menggugah kesadaran masyarakat.

Menurut Sikhondze (Karsidi, 2001), orientasi pemberdayaan haruslah membantu

sasaran (nelayan) agar mampu mengembangkan diri atas dasar inovasi-inovasi yang

ada, ditetapkan secara partisipatoris, yang pendekatan metodenya berorientasi pada

kebutuhan masyarakat sasaran dan hal-hal yang bersifat praktis, baik dalam bentuk

layanan individu maupun kelompok, sedangkan peran petugas pemberdayaan

masyarakat (pendamping) sebagai outsider people adalah sebagai konsultan, peran pembimbingan dan peran penyampai informasi. Dengan demikian peranserta

kelompok sasaran (masyarakat itu sendiri) menjadi sangat dominan. Belajar dari

(37)

peranserta masyarakat dipandang sebagai kewajiban, maka masyarakat justru

terpinggirkan dari proses pembangunan.

Sebagai suatu proses belajar, konsep pemberdayaan berkonotasi aktif, positif

dan dinamis. Umumnya dilakukan dari dan oleh orang-orang di luar sistem sosial

masyarakat (pendidikan non-formal), sebagai pengantar perubahan (outsider change

agents), bekerja sama dengan orang-orang dari dalam sistem sosial masyarakat sebagai pengantar perubahan (insider change agents) yang bertujuan agar di dalam

sistem sosial masyarakat itu cepat atau lambat akan terjadi perubahan yang lebih

positif dalam daya-daya yang tergolong masih rendah dan perlu ada peningkatan.

Antara outsider maupun insider, change agents umumnya adalah orang-orang yang memiliki kepedulian dan obsesi yang tinggi serta terpanggil untuk secara ikhlas

membantu membebaskan masyarakat dari keterpurukannya.

Menurut Slamet (2003), pemberdayaan adalah suatu proses belajar yang

ditawarkan kepada masyarakat sasaran, agar dengan berbagai potensi (daya) yang

mereka miliki dapat belajar menolong dirinya sendiri sehingga pada gilirannya akan

tercapai kondisi baru yang lebih baik sesuai harapan yang dicita-citakan.

Memberdayakan berarti memberi daya kepada yang tidak berdaya dan atau

mengembangkan daya yang sudah dimiliki menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat bagi

masyarakat yang bersangkutan. Sebagai suatu proses ke arah perubahan, maka

pemberdayaan masyarakat mengandung makna: masyarakat membangun dirinya,

mereka menjadi tahu, mengerti, paham, bermotivasi, berkesempatan, mampu melihat

dan memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerja sama, tahu adanya berbagai

alternatif, mampu mengambil keputusan, berani menghadapi resiko, mampu menyerap

informasi dan mampu bertindak sesuai situasi dan daya/potensi yang mereka miliki

dengan tetap teguh kepada nilai-nilai luhur yang bermartabat. Pemberdayaan

masyarakat akan menghasilkan masyarakat yang dimanis, kritis, dan progresif secara

berkelanjutan sesuai dengan motivasi intristik dan sekaligus ekstrinstik.

Sebagai suatu proses belajar, antara agen pembaharuan/pendamping/penyuluh

dan masyarakat yang menjadi sasaran pemberdayaan atau yang diberdayakan harus

(38)

yang kondusif terjadinya interaksi dan komunikasi antar keduanya. Pemberdayaan juga

merupakan kegiatan mendidik, karena itu prosesnya haruslah mendidik dan bukan

“dipaksa-terpaksa-terbiasa.” Bagaimana pun sulitnya secara ideal harus selalu dengan

proses mendidik. Kesabaran menunggu perkembangan individu/kelompok yang

diberdayakan sampai benar-benar berdaya dan mandiri adalah kunci pemberdayaan

(Asngari, 2008).

Pemberdayaan masyarakat dimaksudkan untuk memperkuat kemampuan

(capacity strenghtening) masyarakat, agar mereka dapat berpartisipasi secara aktif

dalam keseluruhan proses pembangunan, terutama pembangunan yang ditawarkan

oleh penguasa/pemerintah dan atau pihak luar (pendampingan, LSM, dll). Dengan

demikian, memberdayakan masyarakat berarti menciptakan peluang bagi masyarakat

untuk menentukan kebutuhannya, merencanakan dan melaksanakan kegiatannya,

yang akhirnya menciptakan kemandirian permanen dalam kehidupan masyarakat itu

sendiri (Syarief, 2001).

Menurut Weissglass dan Bustang (2008), pemberdayaan (empowement) adalah

suatu proses yang mendukung orang-orang untuk membangun suatu pengertian dan

tindakan yang baru mengenai kebebasan yang mereka pilih (a process of supporting

people to construct meaning and exercise their freedom to choise), sedangkan Cristensen dan Robinson (1984) mengungkapkan pemberdayaan adalah suatu proses

pribadi dan sosial. Memberdayakan mengandung makna pembebasan kemampuan

pribadi, kompetisi, kreativitas, dan kebebasan bertindak, sedangkan diberdayakan

mengandung makna memberikan suatu gelombang kekuatan dari seseorang kepada

yang lainnya dan juga berasal dari dalam, khususnya kekuatan untuk bertindak dan

berkembang untuk menjadi sesuatu yang disebut oleh Paolo Freire “lebih

memanusiakan manusia.” Pemberdayaan masyarakat adalah menciptakan suasana

atau iklim untuk mewujudkan pengembangan potensi masyarakat dengan mendorong,

memotivasi, menyadarkan potensi yang dimilikinya untuk berkembang.

Memberdayakan masyarakat dalam bentuk tindakan nyata berupa penyediaan dan

(39)

keberlanjutan suasana/iklim interaksi timbal balik yang beretika antar elemen

masyarakat (Sumodiningrat, 1997).

Lebih lanjut dikatakan oleh Sumodiningrat bahwa upaya memberdayakan

masyarakat dapat dilakukan melalui tiga jalur. Pertama, menciptakan suasana atau

iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Titik tolaknya adalah

pengenalan bahwa setiap manusia dan masyarakat memiliki potensi (daya) yang

dapat dikembangkan. Pemberdayaan masyarakat adalah upaya membangun daya itu

dengan mendorong, memberikan motivasi, dan membangkitkan kesadaran agar

potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. Kedua,

memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering). Dalam

kerangka ini diperlukan langkah-langkah yang positif dan nyata, penyediaan berbagai

masukan (input, serta pembukaan akses kepada berbagai peluang yang akan membuat

masyarakat menjadi makin dalam memanfaatkan setiap peluang). Ketiga,

memberdayakan berarti juga melindungi. Dalam proses pemberdayaan harus dicegah

yang lemah menjadi bertambah lemah.

Sebagai bentuk implementasi dari pemberian kekuatan (power) kepada

masyarakat, maka pada umumnya pemberdayaan dilakukan kepada sekelompok

orang yang dianggap belum memiliki kekuatan yang diperlukan untuk kemajuan

masyarakat pesisir-nelayan. Dimensi pemberdayaan masyarakat pesisir-nelayan

mestinya mengacu pada konsep keberlanjutan (Charles dan Satria, 2009). Pertama,

keberlanjutan ekologis terwujud dari praktek perikanan yang tidak merusak

lingkungan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir yang tidak melebihi daya dukung

lingkungan. Kedua, keberlanjutan sosial ekonomi mengacu pada tercapainya kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat pesisir. Ketiga, keberlanjutan komunitas

mengacu pada stabilitas sistem sosial, terjaminnya peran masyarakat dalam

pembangunan, dan akses masyarakat pada sumberdaya baik untuk kepentingan

pemanfaatan maupun pengelolaan. Empat, keberlanjutan institusi merupakan

prasyarat bagi tercapainya tiga dimensi sebelumnya, yaitu keberlanjutan yang

mencakup institusi politik (kapabilitas birokrasi desa), institusi sosial-ekonomi

(40)

Kerangka berpikir dalam proses pemberdayaan setidaknya mengandung tiga

tujuan penting, yaitu: (1) menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan

potensi masyarakat berkembang, (2) memperkuat potensi atau daya yang dimiliki

oleh masyarakat atau kelompok yang akan diberdayakan melalui peningkatan taraf

pendidikan dan akses terhadap sumber-sumber kemajuan, dan (3) upaya melindungi

(protect) terjadinya persaingan yang tidak seimbang, menciptakan keadilan serta

menciptakan kebersamaan dan kemitraan antara yang sudah maju dengan yang belum

berkembang. Pemberdayaan dengan menekankan kepada ketiga ketentuan tersebut

diyakini merupakan strategi jitu dalam menekan angka kemiskinan (Jamasy, 2004).

Untuk menekan kemiskinan masyarakat dengan pendekatan pemberdayaan

menurut analisis kritis Nugroho (Jamasy, 2004), ada enam syarat penting yang harus

dipenuhi, yaitu: (1) menekan perasaan ketidakberdayaan (impotensi) masyarakat

miskin bila berhadapan dengan struktur sosial politik. Langkah konkritnya adalah

meningkatkan kesadaran kritis atas posisinya; (2) memutus hubungan-hubungan yang

bersifat eksploitatif terhadap lapisan orang perlu dilakukan; (3) menanamkan rasa

persamaan (egaliter) dengan memberikan gambaran bahwa kemiskinan bukanlah

persoalan takdir tetapi sebagai penjelmaan dari persoalan konstruksi sosial; (4)

merealisasikan perumusan pembangunan dengan melibatkan masyarakat miskin

secara penuh (ini bisa tercapai jika komunikasi politik antara pemegang kekuasaan

dengan kelompok strategis dan masyarakat miskin tidak mengalami distorsi; (5)

perlunya pembangunan sosial dan budaya bagi masyarakat miskin (seperti

perencanaan hidup, peningkatan produtivitas kerja dan kualitas kerja; dan (6)

distribusi infrastruktur pembangunan yang lebih merata. Strategi pemberdayaan

masyarakat pesisir meliputi: bentuk dukungan, peningkatan kapasitas manusia,

penguatan kapasitas kelembagaan, dan peningkatan kemandirian berbasis

sumberdaya alam lokal.

Menurut Bustang, (2008), bahwa pemberdayaan pada hakekatnya adalah upaya

pemberian kesempatan, kewenangan dan kemampuan untuk berpartisipasi dalam

pelaksanaan pembangunan di seluruh bidang, sesuai dengan profesi, peranan dan

(41)

pemahaman masalah kebutuhan, penguasaan dan kemampuan untuk

mendayagunakan sumberdaya yang dimiliki terarah untuk perbaikan nasib,

sedangkan masyarakat berdaya adalah masyarakat yang tahu, mengerti, paham,

termotivasi, berkesempatan memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerja sama,

tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani mengambil resiko,

mampu mencari dan menangkap informasi dan mampu bertindak sesuai dengan

situasi (Slamet, 2004).

Ciri-ciri masyarakat berdaya menurut Sumarjo, Pardosi dan Bustang, (2008),

yaitu: (1) mampu memahami diri dan potensinya, (2) mampu merencanakan

(mengantisipasi kondisi perubahan ke depan), (3) mampu mengarahkan dirinya

sendiri, (4) memiliki kekuatan untuk berunding, (5) memiliki posisi tawar yang

memadai dalam melakukan kerjasama yang saling menguntungkan, serta (6) mampu

bertanggungjawab atas tindakannya. Selanjutnya Kartasasmita (1996)

mengemukakan bahwa kemandirian adalah hakekat dari kemerdekaan. Kemandirian

adalah aspek penting dalam falsafah pemabangunan. Kemandirian juga dapat

diartikan sebagai perwujudan kemampuan seseorang untuk memanfaatkan potensi

dirinya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan dicirikan oleh kemampuan dan

kebebasan menentukan perilaku yang terbaik, sedang Ismawan (1994) mengartikan

kemandirian sebagai kemampuan untuk memilih berbagai alternatif yang tersedia

agar dapat digunakan untuk melangsungkan kehidupan yang serasi dan berkelanjutan.

Berdasarkan kensep-konsep tersebut maka kemandirian kelompok dapat terjadi

apabila kondisi kelompok tersebut menunjukan kedamisan yang ditandai dengan

adanya partisipasi aktif yang terus menerus dari anggota kelompok.

Pemberdayaan sebagai Suatu Upaya Perubahan Perilaku

Permasalahan sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat bukannya hanya

disebabkan oleh adanya penyimpangan perilaku atau masalah kepribadian, melainkan

juga akibat dari masalah struktural, kebijakan yang keliru, implementasi kebijakan

yang tidak konsisten dan tidak adanya partisipasi masyarakat dalam pembangunan

(42)

Psikolog behavioris, memandang perilaku sebagai hasil interaksi seseorang

dengan lingkungannya. Bagi behavioris, semua perilaku dipelajari dan dalam

mewujudkan perubahan organisasi dengan cara mengubah stimuli eksternal yang

mampu mempengaruhi individu. Gestalt-Field menyatakan bahwa perilaku seseorang

merupakan produk lingkungan dan penalaran, sedangkan pembelajaran merupakan

suatu proses perolehan atau perubahan wawasan, pandangan, ekpektasi atau pola

pemikiran. Belajar diartikan sebagai suatu proses perubahan perilaku yang dihasilkan

dari praktek-praktek dalam lingkungan kehidupan. Perilaku bukan sekedar produk

stimuli eksternal, namun lebih bisa dijelaskan dari cara individu memakai

penalarannya untuk menginterprestasikan stimuli (Sarwono, 2002).

Salah satu faktor yang signifikan mendorong perilaku adalah motivasi.

Motivasi diartikan sebagai suatu dorongan untuk bertindak dalam rangka mencapai

suatu tujuan, juga dapat terwujud dalam bentuk perilaku, yang ada pada diri

seseorang yang dapat mendorong, mengaktifkan, menggerakkan dan mengarahkan

perilaku seseorang (Hasibuan, 1999). Dengan kata lain motivasi itu ada dalam diri

seseorang dalam wujud niat, harapan, keinginan dan tujuan yang ingin dicapai.

Maslow (Zainun, 1987) berpendapat bahwa manusia memiliki satu kesatuan jiwa dan

raga yang bernilai baik, dan memiliki potensi-potensi (daya). Yang dimaksud baik itu

adalah yang mengakibatkan perkembangan ke arah aktualisasi diri. Untuk dapat

sampai pada tingkat aktualisasi diri semua kebutuhan-kebutuhan pokok manusia pada

tingkat sebelumnya harus terpenuhi. Selain kebutuhan pokok tersebut yang disebut

basic needs manusia juga memiliki metaneeds

Para ahli konstruktivis menyatakan bahwa belajar melibatkan konstruksi

pengetahuan saat pengalaman baru diberi makna oleh pengetahuan terdahulu.

Menurut teori ini, persepsi yang dimiliki oleh klien mempengaruhi pembentukan

persepsi baru. Klien menginterprestasi pengalaman baru dan memperoleh

pengetahuan baru berdasar realitas yang telah terbentuk di dalam pikiran klien. sebagai kebutuhan pertumbuhan

seperti keadilan, keindahan, keteraturan, dan kesatuan.

Gambar

Gambar 1. Kerangka Berpikir Peran Tenaga Pendamping dalam Pemberdayaan
Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian (Bakosurtanal, 2009)
Tabel 1 Jumlah kelompok nelayan tangkap perikanan penerima  Program
Tabel 2 Indikator, definisi operasional, parameter pengukuran peran                         Pendamping
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada tingkat global, sesuai dengan yang telah disampaikan pada awal tahun 2010, diplomasi Indonesia akan terus meningkatkan perannya untuk berkontribusi dalam mengatasi

• Kripik yang mudah menyerah air dari udara menyebabkan produk mudah rusak apabila tidak dikemas dengan bahan yang

[r]

Realisasi PAD agregat seluruh Pemda di Provinsi Sulawesi Tengah sampai dengan triwulan III-2019 sebesar Rp1,48 triliun atau 61,62 persen dari target PAD tahun 2019

Sebagai pegangan kasar untuk menentukan diameter pipa pada berbagai debit dan panjang pipa dapat digunakan Tabel 17 yang didasarkan pada kecepatan aliran dalam pipa lebih kecil dari

Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan Program Studi Sistem Informasi S-1 pada Fakultas Teknik Universitas

Dengan arti kata bahwa pertumbuhan ekonomi yang meningkat di suatu daerah akan tetapi tidak diikuti oleh peningkatan pertumbuhan ekonomi di daerah lain maka akan

Bentuk rumusan gagasan Trisakti yang ter- diri dari 1). berdaulat dalam politik, 2). berdikari dalam ekonomi dan 3). berkepribadian dalam bu- daya. Kemudian diperluas dalam