PEMBERDAYAAN KELOMPOK NELAYAN
DI PROVINSI MALUKU UTARA
ASMAR HI. DAUD
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Peran Pendamping Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir dalam Pemberdayaan Kelompok Nelayan di Provinsi Maluku Utara” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, September 2011
ASMAR HI. DAUD. The Role of Facilitators
The Economic Empowerment Program for Coastal Communities (
of the Economic Empowerment Program for Coastal Communities on Empowerment of Fishers Groups in North Moluccas Province. Under supervision SITI AMANAH and PANG S. ASNGARI.
Key words:
PEMP) was one program that aimed to improve coastal community welfare. Coastal community in North Moluccas was community group participated in the PEMP. PEMP had been implemented by Ministry of Marine and Fisheries Affairs since 2000 in 289 district/municipality. However, the impacts of the program varied from one places to another. There were a number of issues related to the achievement of the a includes the facilitation roles. This study aimed to analyse the role of facilitation by the facilitators of the PEMP program, to know the level of participation, and analyze the relationship between facilitation process and level of group member participation into PEMP program in North Moluccas Province. The research sites were three districts in North Moluccas Province. Survey method was used to collected data from 120 respondents. Sample respondents were selected randomly from 24 fishers groups. Data were analyzed descriptively and correlation analyses. From the research, it was found that the facilitators had not performed their facilitation properly, the level of group member participation to the PEMP was limited in implementation levels and utilization levels. There was a positive significant correlation between the role of facilitators and the group member participation.
ASMAR Hi. DAUD. Peran Pendamping Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir dalam Pemberdayaan Kelompok Nelayan di Provinsi Maluku Utara. Dibimbing oleh SITI AMANAH dan PANG S. ASNGARI.
Provinsi Maluku Utara adalah Provinsi Kepulauan, yang memiliki basis masyarakat pesisir dan keanekaragaman potensi kekayaan sumberdaya alam pesisir dan laut yang melimpah. Sebagai provinsi kepulauan dengan potensi sumberdaya pesisir dan laut (SDPL) yang besar, kenyataannya belum memberikan dampak ekonomi yang berarti bagi masyarakat pesisir, terutama bagi nelayannya. Secara fisik, berdasarkan aktivitas nelayan, kepemilikan armada dan jenis alat tangkap yang digunakan, dari tahun ke tahun tidak mengalami perkembangan, bahkan cenderung menurun. Akibat kemunduran ini, potensi kekayaan lautnya lebih banyak dimanfaatkan oleh nelayan asing. Kenyataan ini membuktikan bahwa nelayan Maluku Utara masih berada dalam kondisi terbelakang.
Pemecahan masalah kemiskinan masyarakat pesisir/nelayan dengan Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) yang digulirkan pada tahun 2000 oleh KementerianKelautan dan Perikanan memberikan harapan. Hal ini di lihat dari tujuan, visi dan misi serta sasaran program yang diembannya. Metode dan strategi pemberdayaan yang digunakan adalah melalui proses pendampingan dan kelompok sebagai media intervensi. Di Provinsi Maluku Utara, pelaksanaan Program PEMP dimulai sejak tahun 2001-2003 dan berakhir pada tahun 2004-2009. Selama pelaksanaannya, telah disalurkan dana ekonomi produktif sebagai dana bergulir yang dimanfaatkan oleh seluruh kelompok pemanfaat program (KMP) yang telah dibentuk oleh seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Maluku Utara (Kabupaten Halmahera Tengah, Kabupaten Halmahera Timur, Kabupaten Halmahera Utara, Kabupaten Halmahera Selatan, Kabupaten Kepulauan Sula, Kota Ternate dan Kota Tidore Kepulauan).
Pelaksanaan Program PEMP di Maluku Utara dalam kurun waktu tersebut dihadapkan pada berbagai kendala. Beberapa kabupaten/kota terindikasi gagal pada tahun pertama, dan tidak lagi mengusulkan program pada tahun berikutnya, sedangkan Kota Ternate dan Kota Tidore Kepulauan serta Kabupaten Halmahera Barat yang merupakan wilayah kajian masih berjalan, meskipun dengan periode yang berbeda. Indikasi kegagalan pelaksanaan Program PEMP, diduga salah satunya sebagai akibat dari lemahnya peranserta pendampingan kelompok dalam pelaksanaan kegiatannya. Hal ini yang menjadi fokus penelitian, agar dalam pelaksanaan program selanjutnya dapat diupayakan suatu program pendampingan yang lebih efektif dengan menetapkan bentuk-bentuk peran pendamping yang lebih selektif serta memiliki kompetensi dan karakter yang dapat diterima oleh komunitas yang didampinginya.
Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian survei, dalam hal ini yang disurvei adalah anggota kelompok nelayan peserta/pemanfaat (KMP) Program PEMP. Penelitian dilaksanakan pada tahun 2010 yang berlokasi di Propinsi Maluku Utara dengan wilayah kajian meliputi Kota Ternate, Kota Tidore Kepulauan dan Kabupaten Halmahera Barat.
Populasi penelitian adalah keseluruhan anggota kelompok nelayan pemanfaat/penerima Program PEMP yang ada di tiga kabupaten/kota di Provinsi Maluku Utara. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan responden anggota kelompok nelayan menggunakan kuesioner. Penentuan responden dilakukan secara simple random sampling. Jumlah responden/sampel diambil dari 24 kelompok (262 orang) yang terdistribusi di tiga wilayah kajian, masing-masing wilayah 40 responden (120 orang) Slovin (Sevilla dkk, 1993).
Data primer meliputi: Peran Pendamping (X1), Karakterisirik Kelompok (X2), Tingkat Partisipasi Anggota Kelompok (Y1) dan Tingkat Keberdayaan Kelompok (Y2
Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui gambaran umum sebaran dari variabel-variabel yang diteliti, sedangkan untuk mengetahui hubungan antara masing-masing variabel yang diteliti digunakan uji koefisien korelasi peringkat Spearman (Spearman Rank Correlation).
). Dari keempat variabel dibuat skala penilaian secara bertingkat (sangat tinggi/sangat setuju/sangat baik, tinggi/setuju/baik diberi skor rendah/kurang setuju/kurang baik, rendah sekali/sangat tidak setuju/sangat tidak baik) dengan katageri skor berturut-turut adalah 4, 3, 2 1. Data sekunder diperoleh dari lembaga terkait (Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kota/Kabupaten, Koperasi LEPP-M3 dan Konsultan Manajemen).
hubungan antara: (a) peran pendamping dengan tingkat partisipasi anggota kelompok, (b) peran pendamping dengan tingkat keberdayaan kelompok, (c) karakteristik kelompok (sejarah pembentukkan kelompok) dengan tingkat partisipasi anggota kelompok pada tahapan perencanaan, (d) terdapat hubungan antara karakteristik kelompok dengan tingkat keberdayaan kelompok, serta (e) terdapat hubungan antara partisipasi anggota kelompok dengan tingkat keberdayaan kelompok.
Peran pendampingan yang dilakukan oleh pendamping pada KMP-PEMP di Maluku Utara belum sesuai dengan harapan program, sehingga pemberdayaan yang dilakukan dengan menggunakan kelompok sebagai media intervensi belum mampu meningkatkan partisipasi dan kemandirian/keberdayaan anggota maupun KMP nelayan (kemampuan dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap dalam memecahkan masalah). Rendahnya derajat keberhasilan kinerja peran pendamping dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: (a) pengetahuan pendamping yang masih kurang terhadap program PEMP; (b) kemampuan berinteraksi dan SDM pendamping yang masih lemah; (c) program yang dijalankan masih berorientasi proyek; (d) pemberian insentif yang kurang memadai, (d) keterbatasan waktu yang diberikan kepada pendamping dalam menjalankan tugas-tugas pendampingan kelompok di lapangan, serta (d) aksebilitas (tempat tinggal pendamping dengan lokasi KMP).
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
PEMBERDAYAAN KELOMPOK NELAYAN
DI PROVINSI MALUKU UTARA
ASMAR HI. DAUD
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
NIM : I351080011
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc
Ketua Anggota
Prof. Dr. Pang S. Asngari
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Penyuluhan Pembangunan
Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan petunjuk-Nya, sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Tesis yang berjudul ”Peran Pendamping Program Ekonomi Masyarakat Pesisir dalam Pemberdayaan Kelompok Nelayan di Provinsi Maluku Utara,” ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister pada Program Magister Ilmu Penyuluhan Pembangunan Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB. Tesis ini merupakan hasil penelitian yang penulis kerjakan berdasarkan penelaahan lapangan di Provinsi Maluku Utara (Kota Ternate, Kota Tidore Kepulauan dan Kabupaten Halmahera Barat) pada tahun 2010.
Penulisan tesis ini terselesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tak terhingga kepada Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc dan Prof. Dr. Pang S. Asngari, selaku komisi pembimbing yang selama dalam prosesnya telah banyak memberikan bimbingan, masukan dan saran dalam penyelesaian tesis ini.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada masyarakat nelayan di Provinsi Maluku Utara, terutama kepada kelompok nelayan yang berada di Kota Ternate, Kota Tidore Kepulauan dan Kabupaten Halmahera Barat yang telah meluangkan waktunya untuk diwawancarai dan atas kesediaannya mengisi kuisioner yang diberikan.
Terima kasih yang tulus, penulis haturkan kepada keluarga dan teman-teman atas dorongan dan motivasi, perhatian serta doanya.
Disadari bahwa tidak ada kesempurnan dalam diri manusia kecuali terus mencari dan berharap menemukan kesempurnaan. Oleh karena itu, uraian dalam tesis ini juga tidak lepas dari keterbatasan dan kekurangannya. Penulis berharap semoga tesis ini dapat ditelaah, disempurnakan dan bermanfaat dalam pengembangan strategi peran pendampingan pemberdayaan masyarakat pesisir, khususnya kelompok nelayan di Provinsi Maluku Utara.
Penulis dilahirkan di Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara pada tanggal 11 Agustus 1975 dari pasangan Bapak Abdullah (alm) dan Ibu Nurhaya Khasyim. Penulis merupakan anak ke tiga dari delapan bersaudara. Pendidikan penulis diawali pada tahun 1982 di SD Negeri Moari Busua Kabupaten Halmahera Selatan, kemudian melanjutkan SMP Negeri 2 Kayoa Kabupaten Halmahera Selatan pada tahun 1989 dan tahun 1994 menamatkan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 4 Kota Ternate.
Pada tahun 1994 penulis menempuh pendidikan (S1) di Fakultas Pertanian Universitas Khairun Ternate Jurusan Perikanan dan tamat pada tahun 2000. Mulai tahun 2001 sampai sekarang penulis bekerja sebagai dosen di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Khairun (Unkhair) Ternate pada Program Studi Budidaya Perairan, dan pada tahun 2008 penulis berkesempatan melanjutkan tugas belajar di Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN) Institut Pertanian Bogor atas beasiswa dari Kementerian Pendidikan Nasional.
Halaman Nelayan dan Kemiskinannya ... Konsep Pembangunan ... Konsep Pemberdayaan Masyarakat... Pemberdayaan sebagai Suatu Upaya Perubahan Perilaku ... Peran Pendamping dalam Proses Pemberdayaan .………..………... Nelayan sebagai Kelompok Sosial Pemanfaat Program ...………. Partisipasi dalam Pemberdayaan Masyarakat Pesisir...
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS …... Kerangka Berpikir ... Hipot esis Penelitian...
METODE PENELITIAN... Desain Penelitian ... Lokasi dan Waktu Penelitian ... Populasi dan Sampel ... Defenisi Operasional dan Pengukuran Variabel... Validitas dan Reliabilitas ... ……. Validitas ... Reliabilitas ... Metode Pengumpulan Data ... Sumber Data ... Teknik Pengumpulan Data ... Analisis Data ...
HASIL DAN PEMBAHASAN... Gambaran Umum di Tiga Wilayah Penelitian... Perikanan Tangkap ..……….. Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP)….……… Tujuan Program PEMP….……….. Visi Program...………. Misi Program………... Sasaran Program ...……….………... Ruang Lingkup Kegiatan Program………... Organisasi dan Kelembagaan Program PEMP……...……….
xiii
Konsultan Manajemen (KM) Kabupaten/Kota………... Tenaga Pendamping Desa (TPD)……… Koperasi Ekonomi Masyarakat Pesisir Mikro Mina (LEP-M3)………….. Lembaga Perbankan Pelaksana………...
Peran Pendamping... Peran Pendamping sebagai Fasilitator……….……… Peran Pendamping sebagai Mediator……….. Peran Pendamping sebagai Motivator………. Peran Pendamping sebagai Edukator……….. Peran Pendamping sebagai Komunikator…..……….. Peran Pendamping sebagai Konselor………...………...
Karakteristik Kelompok Nelayan………... Sejarah Pembentukan Kelompok………... Aktivitas Kelompok……… Kepemimpinan Pengurus Kelompok……….. Akses Anggota ke Kelompok………. Jangkauan Usaha Kelompok………...
Tingkat Partisipasi Anggota Kelompok... ….. Tahapan Perencanaan………... Tahapan Pelaksanaan………... Tahapan Pemanfaatan………. Tahapan Evaluasi………
Tingkat Keberdayaan Kelompok Nelayan…... Produktivitas Kerja Kelompok………..………. Kemampuan memenuhi Kebutuhan Dasar Kelompok………….………... Kemandirian Kelompok Mengembalikan dan Mengembangkan dana... Kemampuan Membangun Kemitraan………. Kemampuan Memiliki Akses Modal, Barang Dan Jasa……….. Kesadaran Pemanfaatan dan Pengelolaan SDPL………
Analisis Hubungan antara Peubah-Peubah Penelitian... Hubungan Peran Pendamping dan Tingkat Partisipasi Anggota
xiv
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Jumlah kelompok nelayan tangkap perikanan penerima Program
PEMP di tiga kabupaten/kota Provinsi Maluku Utara …..……….. 46 2 Indikator, definisi operasional, parameter pengukuran peran
pendamping ... 48 3 Indikator, definisi operasional, parameter pengukuran
karakteristik kelompok ………. 49
4 Indikator, definisi operasional, parameter tingkat partisipasi
anggota kelompok ………. …. 50
5 Indikator, defenisi operasional, parameter pengukuran tingkat
keberdayaan kelompok ……….. 51
6 Nilai uji coba instrumen penelitian per peubah/variable………… 53 7 Banyaknya alat tangkap ikan menurut Jenis di Kabupaten/Kota di
Provinsi Maluku Utara ……… 57
8 Banyaknya alat tangkap ikan menurut jenis di tiga wilayah kajian
di Provinsi Maluku Utara tahun 2009 ……… 58 9 Banyaknya perahu/kapal penangkap ikan menurut jenis dan
ukuran di kabupaten/kota Provinsi Maluku Utara ………. 59 10 Distribusi peran pendamping sebagai fasilitator ………. 66 11 Distribusi indikator peran pendamping sebagai fasilitator ………. 67 12 Distribusi peran pendamping sebagai mediator ……….. 71 13 Distribusi indikator peran pendamping sebagai mediator ………. 73 14 Distribusi peran pendamping sebagai motivator ………. 76 15 Distribusi indikator peran pendamping sebagai motivator ……… 78 16 Distribusi peran pendamping sebagai educator ……….. 81 17 Distribusi indikator peran pendamping sebagai educator………… 81 18 Distribusi peran pendamping sebagai komunikator………. 84 19 Distribusi indikator peran pendamping sebagai edukator ………. 85 20 Distribusi peran pendamping sebagai konselor ……… 88 21 Distribusi indikator peran pendamping sebagai konselor………… 89 22 Distribusi karakteristik kelompok nelayan berdasarkan sejarah
pembentukan kelompok ……… 93
23 Distribusi karakteristik kelompok berdasarkan indikator
sejarah pembentukan ……… 94
24 Distribusi kelompok nelayan berdasarkan aktivitas kelompok 97 25 Distribusi karakteristik kelompok berdasarkan indikator aktivitas
kelompok ………. 97
26 Distribusi kelompok nelayan berdasarkan kepemimpinan pengurus
kelompok ……… 101
27 Distribusi karakteristik kelompok berdasarkan indikator
kepemimpinan pengurus kelompok ……….. 102 28 Distribusi kelompok nelayan berdasarkan akses anggota ke
kelompok ……….. 104
xv
30 Distribusi kelompok nelayan berdasarkan jangkauan usaha
kelompok ……… 107
31 Distribusi karakteristik kelompok berdasarkan indikator
Jangkauan usaha kelompok ……… 108
32 Distribusi anggota kelompok nelayan berdasarkan aspek
perencanaan kelompok ……… 110
33 Distribusi partisipasi anggota kelompok berdasarkan indikator
perencenaan ……….. 111
34 Distribusi anggota kelompok nelayan berdasarkan tahapan
pelaksanaan kegiatan kelompok ………. 112 35 Distribusi partisipasi anggota kelompok berdasarkan indikator
pelaksanaan ……….. 113
36 Distribusi anggota kelompok nelayan berdasarkan tahapan
pemanfaatan kegiatan kelompok ……… 115 37 Distribusi partisipasi anggota kelompok berdasarkan indikator
pemanfaatan ……….. 116
38 Distribusi anggota kelompok nelayan berdasarkan tahapan
evaluasi kegiatan kelompok ……… 118 39 Distribusi partisipasi anggota kelompok berdasarkan indikator
evaluasi ……….. 119
40 Distribusi tingkat keberdayaan berdasarkan derajat produktivitas
kerja anggota dan kelompok ……….. 123 41 Distribusi tingkat keberdayaan kelompok berdasarkan
produktivitas kinerja kelompok ………. 124 42 Distribusi tingkat keberdayaan berdasarkan kemampuan
memenuhi kebutuhan dasar anggota kelompok ………. 128 43 Distribusi tingkat keberdayaan kelompok berdasarkan
indikator kemampuan memenuhi kebutuhan dasar anggota …….. 129 44 Distribusi tingkat keberdayaan kelompok berdasarkan
kemampuan/kemandirian mengembalikan dan
mengembangkan dana pinjaman program ……… 131 45 Distribusi tingkat keberdayaan kelompok berdasarkan indikator
kemampuan/kemandirian mengembalikan dan mengembangkan
dana pinjaman program ……… 135
46 Distribusi kemampuan kelompok membangun kemitraan 136 47 Distribusi tingkat keberdayaan kelompok berdasarkan indikator
kemampuan membangun kemitraan ……….. 137 48 Distribusi tingkat keberdayaan berdasarkan kemampuan memiliki
akses, modal, barang dan jasa ……….. 140 49 Distribusi tingkat keberdayaan kelompok berdasarkan indikator
kemampuan memiliki akses ……… 141
50 Distribusi tingkat keberdayaan berdasarkan kesadaran dalam
pemanfaatan dan pengelolaan SDPL ………... 143 51 Distribusi tingkat keberdayaan kelompok berdasarkan indikator
kesadaran pemanfaatan dan pengelolaan SDPL ………. 145 52 Koefisien korelasi peran pendamping dengan partisipasi anggota
xvi
53 Koefisien korelasi karakteristik kelompok nelayan dengan
partisipasi anggota kelompok nelayan ……….. 150 54 Koefisien korelasi peran pendamping dengan keberdayaan
kelompok nelayan ………. 152
55 Koefisien korelasi Karakteristik Kelompok Nelayan dengan
tingkat keberdayaan kelompok nelayan ……… 156 56 Koefisien korelasi tingkat partisipasi anggota kelompok dengan
xvii
Halaman
1 Kerangka Berpikir Peran Tenaga Pendamping dalam Pemberdayaan kelompok Nelayan Pada Program PEMP di Provinsi Maluku Utara ………..
42
2 3
Peta Lokasi Penelitian... Model Struktur Organisasi Kelembagaan Program PEMP (DKP 2003 Maluku Utara) ...
45
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Kuisioner Penelitian ………. 172
2
3
4
5
Validitas dan Reliabilitas Instrumen Peran Pendamping ………….
Validitas dan Reliabilitas Instrumen Karakteristik Kelompok...
Validitas dan Reliabilitas Instrumen Partisipasi Anggota
Kelompok Kelompok...
Validitas dan Reliabilitas Instrumen Keberdayaan Kelompok...
178
179
180
181
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Nelayan merupakan komunitas pesisir yang secara langsung menggantungkan
sebagian besar kehidupannya di laut. Kebanyakan nelayan hidup di wilayah pesisir
yang terisolir, tertinggal, memiliki akses sumberdaya yang terbatas, serta kualitas dan
kemampuan SDM-nya yang masih sangat rendah. Gambaran ketidakberdayaan tersebut
memiliki relevansi dengan kondisi demografi masyarakat pesisir di Indonesia. Dari
67.439 desa yang ada di Indonesia terdapat 9.261 desa yang merupakan desa pesisir
Komunitas di dalamnya pun kebanyakan merupakan masyarakat tradisional dengan
kondisi sosial ekonomi dan latar belakang pendidikan yang relatif sangat rendah ( 90%)
hanya berpendidikan sampai sekolah dasar (Kusnadi, 2002).
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, penduduk miskin di
Indonesia mencapai 34,96 juta jiwa dan 63,47 persen di antaranya adalah masyarakat
yang hidup di kawasan pesisir dan pedesaan. Tahun 2010 angka kemiskinan yang
dikeluarkan BPS terakhir mencapai 35 juta orang atau 13,33 persen dari jumlah
penduduk yang mencapai sekitar 237 juta jiwa, sedangkan Bank Dunia melaporkan
kemiskinan di Indonesia masih berkisar sekitar 100 juta. Data terbaru DKP
menyebutkan, poverty headcount index (PHI) pada tahun 2006 sebesar 0,3214. Berarti, sekitar 32 persen dari 16,42 juta masyarakat pesisir-nelayan di Indonesia
berada dibawah garis kemiskinan.
Fakta tentang keterbatasan kemampuan masyarakat pesisir terutama nelayan
dalam mengelola sumberdaya pesisir dan lautan ditemui pula di pesisir Maluku Utara,
dengan luas laut sebesar 106.977,31 km2
Keterbatasan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya tersebut di atas, selain
karena persoalan kapasitas SDM nelayan, armada dan alat tangkap yang dimiliki oleh atau 76 persen dari total luas daratan yang
dimiliki. Ketersediaan potensi perikanan diperkirakan mencapai 1.035.230 ton ikan
per tahun, dengan potensi lestari yang dapat dimanfaatkan sebesar 517.615 ton ikan
per tahun (DKP Maluku Utara, 2005). Akan tetapi potensi laut yang sedemikian besar
tersebut belum memberikan dampak ekonomi yang berarti bagi masyarakat pesisir,
nelayan Maluku Utara juga masih sangat terbatas. Dari 2.563 jumlah armada tangkap
yang dimiliki oleh nelayan Maluku Utara 1.124 adalah armada tanpa motor dan hanya
51 dari 261 armada tangkapnya yang berkapasitas dibawah 20 GT (DKP Maluku
Utara, 2009). Demikian juga dengan kepemilikan jenis alat tangkap. Dari 14.354 total
jenis alat tangkap yang dimiliki oleh nelayan Maluku Utara, 53 persen didominasi
oleh alat tangkap sederhana (DKP Maluku Utara, 2009). Kenyataan ini membuktikan
bahwa masyarakat nelayan Maluku Utara masih terbelakang.
Fenomena kemiskinan dan ketertinggalan masyarakat pesisir/nelayan di tanah
air, termasuk masyarakat nelayan di Maluku Utara tidak sekedar isu, tetapi sudah
menjadi fakta nasional. Pemecahan masalah tersebut dengan digulirkannya Program
Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) pada tahun 2000 oleh
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memberikan harapan. Tujuan adalah
meningkatkan kesejahteraan dan partisipasi masyarakat pesisir melalui
pengembangan kegiatan ekonomi, peningkatan SDM, penguatan kelembagaan sosial
ekonomi dengan mendayagunakan sumberdaya kelautan dan perikanan secara
optimal dan berkelanjutan.
Kaitannya dengan menumbuhkan partisipasi dan untuk mempercepat proses
perbaikan dalam pemberdayaan masyarakat pesisir, strategi dan/atau pendekatan yang
digunakan dalam Program PEMP adalah melalui pandampingan, dan kelompok
masyarakat pemanfaat program atau yang lebih dikenal dengan KMP dijadikan
sebagai media intervensi. Oleh karena itu, diperlukan agen penggerak yaitu tenaga
pendamping. Dalam konteks ini, tenaga pendamping yang disyaratkan minimal
berpendidikan Diploma III, diutamakan yang telah memiliki pengalaman dalam
program yang berbasis pemberdayaan masyarakat serta bersedia ditempatkan di
lokasi pendampingan yang bertugas mendampingi nelayan dalam pelaksanaan
kegiatan kelompok.
Pelaksanaan Program PEMP di Provinsi Maluku Utara sejak tahun 2001 telah
disalurkan dana ekonomi produktif (DEP) sebagai dana bergulir yang dimanfaatkan
oleh seluruh kelompok masyarakat pemanfaat program (KMP) dibentuk oleh seluruh
Tengah, Halmahera Utara dan Kabupaten Kepulauan Sula, serta Kota Ternate dan
Kota Tidore Kepulauan) di Provinsi Maluku Utara. Dalam pelaksanaannya selama
kurun waktu tersebut, tidak berjalan mulus. Beberapa kabupaten/kota terindikasi
gagal pada tahun pertama, dan tidak lagi mengusulkan program pada periode
berikutnya sampai dengan berakhirnya program secara nasional pada tahun 2009.
Indikasi kegagalan pelaksanaan PEMP di Provinsi Maluku Utara diduga salah
satunya adalah sebagai akibat dari lemahnya peran pendamping dalam pelaksanaan
pendampingan kegiatan KMP.
Peran pendampingan menjadi sangat penting karena kelompok masyarakat
miskin yang terlibat atau tergabung dalam program pemberdayaan apa saja, termasuk
Program (PEMP) dengan sendirinya belum mampu mengelola dana program dan
belum dapat berjalan sendiri. Diperlukan tenaga pendamping yang bertugas
mendampingi masyarakat nelayan dalam kelompoknya sehingga terjadi suatu
kebersamaan dalam upaya perbaikan taraf hidupnya (Kartasasmita, 1995). Dalam
teori peran dikatakan bahwa pelaksanaan peran yang berhasil seringkali memerlukan
kompetensi dalam sejumlah perilaku yang saling berkaitan, dan pengetahuan
seseorang yang ditempatkan pada suatu kelompok, organisasi atau masyarakat
(Horton dkk, 1989). Dengan demikian, yang terpenting dari pendampingan kelompok
menurut Baskoro (2009), adalah menempatkan pendamping yang tepat pada
kelompok yang tepat pula.
Mardikanto (1993) mengemukakan bahwa kelompok adalah kumpulan dua atau
lebih individu yang mempunyai beberapa kesamaan obyek perhatian, berinteraksi
secara mantap, menyusun struktur bersama dalam berpartisipasi dalam suatu
kegiatan, atau dengan kata lain suatu unit sosial yang terdiri dari sejumlah individu
yang mempunyai hubungan saling tergantung sesuai dengan status dan perannya,
serta terdapat norma yang mengatur tingkah laku anggotanya. Dalam kajian ini,
kelompok yang dimaksud adalah masyarakat nelayan tangkap penerima Program
PEMP. Kelompok nelayan ini diharapkan tumbuh dan berkembang atas dasar
kemauan dan kemampuan mereka sendiri, memiliki kesamaan jenis usaha, aktivitas
dimaksudkan untuk memudahkan nelayan dalam memperloleh modal usaha yang
dicanangkan oleh program, juga agar tidak menyulitkan nelayan dalam proses
menjalankan kegiatan kelompok, kekompakan dan kebersamaan anggota dalam
kelompok.
Prinsip pembetukan tersebut menuntut tenaga pendamping untuk berperan
membantu nelayan menggorganisasikan diri, mengidentifikasi kebutuhan lokal dan
memobilisasi sumberdaya yang ada pada mereka, serta memberdayakan seluruh
anggota kelompok untuk ikut berpartisipasi dalam meningkatkan keberdayaannya.
Untuk mencapai tujuan tersebut, tenaga pendamping yang memiliki pengetahuan,
sikap dan keterampilan merupakan hal yang sangat penting. Diperlukan ketersediaan
kemampuan sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas yang mampu menyertai
dan berperan dalam proses penyelenggaraan kegiatan kelompok sebagai fasilitator,
mediator, memotivator, edukator, komunikator dan sebagai konselor sewaktu
diperlukan oleh kelompok. Asumsi ini mendasari konsep bahwa tingkat efektivitas
atau keberhasilan dari program pemberdayaan akan sangat ditentukan oleh
pemahaman kelompok masyarakat terhadap aktivitas program yang dijalankannya.
Berdasarkan uraian tersebut, upaya pengkajian terhadap pelaksanaan peran
pendamping Program PEMP di Provinsi Maluku Utara, terlebih dalam upaya
meningkatkan partisipasi dan keberdayaan kelompok nelayan yang didampingi sangat
urgent untuk dilakukan. Dipilihnya peran pendamping sebagai objek kajian dimaksudkan untuk menggambarkan peran pendamping sebagai salah satu alternatif
pemberdayaan yang dilaksanakan untuk memampukan masyarakat yang tergabung
dalam KMP Program PEMP, agar dalam pelaksanaan program selanjutnya dapat
diupayakan suatu program pendampingan yang lebih efektif, selektif dan berkarakter
yang dapat diterima oleh kelompok komunitas yang didampingi atau yang
Masalah Penelitian
Hasil akhir dari suatu program pemberdayaan adalah terjadinya perubahan
perilaku masyarakat yang lebih partisipatif (kemampuan merencanakan,
melaksanakan, memanfaatkan dan mengevaluasi setiap kegiatan usaha yang
dijalankannya) serta mampu mandiri dan berdaya secara berkelanjutan. Prinsip
partisipasi digunakan untuk menghasilkan suatu kontribusi terhadap kepentingan
kegiatan kelompok nelayan yang terencana menurut potensi, kemauan dan
kemampuan yang mereka miliki. Demikian pula, harapan terhadap Program PEMP,
meskipun di beberapa daerah kab/kota di Indonesia, implementasi Program PEMP
dapat memberikan dampak positif bagi kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat
pesisir/nelayan, namun dari hasil evaluasi maupun dari laporan-laporan independen,
ternyata tidak sedikit kabupaten/kota penerima Program PEMP yang tidak berhasil,
termasuk beberapa kabupaten/kota di Provinsi Maluku Utara.
Indikator-indikator kegagalan Program PEMP dapat di lihat dari lemahnya
kegiatan sosialisasi program, pendapatan kelompok nelayan yang stagnan dan
cenderung menurun, dan kelompok yang dibentuk hanya merupakan instrumen untuk
mendapatkan modal program, serta dana program dianggap sebagai pemberian
cuma-cuma (Hasanudin, 2006). Hambatan spesifik lainnya seperti dilaporkan Miraza
(2009), bahwa kelompok tidak mendapatkan bantuan apapun dari pendamping,
kegiatan pendampingan yang seharusnya dilakukan oleh kelembagaan yang telah
dibentuk tidak berjalan optimal, termasuk akses terhadap informasi program. Demikian
juga, rendahnya partisipasi anggota kelompok nelayan dalam perencanaan dan
pelaksanaan kegiatan atau ketidak-sungguhan komitmen kelompok nelayan dalam
memanfaatkan dan mengembangkan dana program semakin memperburuk
keberhasilan program yang telah diberikan.
Fakta ini dipertegas oleh Hadi (2009), bahwa kurangnya kemauan baik
(political will) dari pemerintah, maupun dari komponen masyarakat yang tidak
partisipatif, tidak optimalnya peran pendamping dalam pendampingan masyarakat
serta ketidaksiapan peran institusi pendamping program sebagai agen perubahan
perencanaan program di tingkat lokal adalah faktor-faktor yang menjadi penyebab
gagalnya berbagai program pemberdayaan di Indonesia.
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut di atas, secara spesifik
dirumuskan beberapa masalah penelitian sebagai berikut:
(1) Sejauh mana peran pendamping dalam pelaksanaan program pemberdayaan
KMP nelayan di Provinsi Maluku Utara?
(2) Bagaimana karakteristik KMP nelayan dalam Program PEMP?
(3) Bagaimana tingkat partisipasi anggota KMP nelayan dalam Program PEMP?
(4) Sejauh mana tingkat keberdayaan anggota KMP nelayan dalam Program PEMP?
(5) Bagaimana hubungan peran pendamping, karakteristik KMP terhadap tingkat
partisipasi anggota KMP dan tingkat keberdayaan anggota KMP nelayan dalam
pelaksanaan Program PEMP di Provinsi Maluku Utara?
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian adalah:
(1) Mengkaji peran pendamping dalam Program PEMP di Provinsi Maluku Utara
(2) Mengkaji karakteristik KMP nelayan dalam Program PEMP
(3) Mengkaji tingkat partisipasi anggota KMP nelayan dalam Program PEMP
(4) Mengkaji tingkat keberdayaan anggota KMP nelayan dalam Program PEMP
(5) Menganalisis hubungan peran pendamping, karakteristik KMP terhadap tingkat
partisipasi dan tingkat keberdayaan anggota KMP nelayan dalam pelaksanaan
Program PEMP di Provinsi Maluku Utara.
Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan terutama di bidang penyuluhan
pembangunan, khususnya pada aspek pendampingan serta sebagai acuan bagi para
agen perubahan sosial dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat. Manfaat praktis
dalam kajian ini diharapkan menjadi alternatif dalam upaya menjawab masalah
kemiskinan dan strategi pendampingan dalam program pemberdayaan kelompok
TINJAUAN PUSTAKA
Nelayan dan Kemiskinannya
Umumnya masyarakat pesisir-nelayan merupakan kelompok masyarakat yang
relatif tertinggal secara ekonomi, sosial dan budaya dibandingkan dengan kelompok
masyarakat lainnya (Dahuri, 2003). Demikian juga kebijakan pemerintah/negara dalam
upaya mengentaskan nasib masyarakat-nelayan ternyata gagal sampai sekarang.
Persepsi ini didasarkan pada hasil pengamatan langsung terhadap realitas kehidupan
masyarakat nelayan atau dari hasil-hasil kajian akademis, seperti hasil temuan Karim
(IPB) kurun waktu tahun 2002-2004 mengenai pemberdayaan nelayan di Deli
Serdang, Asahan, Karawang, dan Sukabumi menunjukkan bahwa strategi
neoliberalisme ini banyak diaplikasikan sehingga mengalami kegagalan pada tingkat implementasi (Riyono, 2010). Sebagai negara maritim terbesar di dunia, menurut
Purwanto (2007), mestinya keterbelakangan nelayan itu tidak harus terjadi, jika saja
pilihan strategi kebijakan pembangunan tidak salah.
Berdasarkan usaha dan aktivitas ekonominya, nelayan dapat didefinisikan
sebagai sekelompok orang yang tinggal di wilayah pesisir yang secara langsung
memanfaatkan sumberdaya alam pesisir dan laut. Mereka terdiri dari nelayan pemilik,
buruh nelayan, pembudidaya ikan dan organisme laut lainnya, pedagang ikan, pengolah
ikan, pemasok faktor sarana produksi perikanan, dan lain-lain untuk menyokong
kehidupan kesehariannya (Nikijuluw, 2001). Lebih lanjut dikatakan bahwa kelompok
nelayan ini secara langsung mengusahakan dan memanfaatkan sumberdaya ikan
melalui kegiatan penangkapan dan budidaya. Kelompok ini pula yang mendominasi
pemukiman di wilayah pesisir di seluruh Indonesia, di pantai dan di pulau-pulau besar
dan kecil. Sebagian besarnya adalah pengusaha skala kecil dan menengah, subsisten,
serta memenuhi kebutuhan keluarga dalam jangka waktu yang pendek.
Bantuan berupa alat tangkap untuk nelayan lebih sering gagal akibat tidak
melihat faktor struktural tersebut. Meskipun diberikan sampan dan peralatan tangkap
tetapi dana cadangan untuk pemeliharaan (maintenance) alat tangkap tidak tersedia,
tangkap bisa-bisa "tergadai", karena untuk membayar hutang. Berbagai hasil kajian
penelitian, selama ini mengungkapkan bahwa kehidupan sosial ekonomi kaum nelayan
sebagian besar dari mereka, khususnya yang tergolong nelayan buruh atau
nelayan-nelayan kecil, hidup dalam kemiskinan. Kemampuan mereka untuk memenuhi
kebutuhan dasar minimal kehidupan sehari-hari sangat terbatas. Bagi kaum nelayan, di
antara beberapa jenis kebutuhan pokok kehidupan, kebutuhan yang paling penting
adalah pangan. Adanya jaminan pemenuhan kebutuhan pangan setiap hari sangat
berperan besar untuk menjaga kelangsungan hidup mereka (Kusnadi, 2003).
Terdapat beberapa definisi dan kriteria kemiskinan menurut garis kemiskinan.
Tetapi secara umum para pakar ekonomi, sosial dan budaya mendefinisikan
kemiskinan sebagai suatu keadaan atau kondisi yang dialami oleh seseorang atau
sekolompok orang yang tidak berdaya menyelenggarakan hidupnya sampai pada suatu
titik yang dianggap manusiawi (Jamasy, 2004). Lebih lanjut dikatakan bahwa faktor
utamanya terkait dengan pengaruh kebijakan pembangunan yang belum menjangkau
seluruh masyarakat yang berakibat kepada sempitnya lapangan kerja, upah kerja
rendah, produtivitas kerja menurun, aset menurun, diskriminasi, tekanan harga, dan
sampai pada suatu keadaan dimana setiap orang semakin mudah untuk mengorbankan
harta benda, termasuk harga diri miliknya untuk dijual.
Menurut Chambers (1987), inti dari masalah kemiskinan sebenarnya terletak
pada apa yang disebut deprivation trap atau lebih populer disebut dengan istilah
perangkap kemiskinan. Deprivation trap dicirikan atas lima unsur yaitu: kemiskinan itu
sendiri, kelemahan fisik, keterasingan atau kadar isolasi, kerentanan atau
ketidakberdayaan. Kelima unsur tersebut seringkali terkait satu sama lain sehingga
merupakan perangkap kemiskinan yang benar-benar berbahaya dan mematikan peluang
hidup orang atau keluarga miskin.
Kemiskinan yang merupakan indikator ketertinggalan kaum nelayan, menurut
Nikijuluw (2001), paling tidak disebabkan oleh tiga hal utama, yaitu: (1) kemiskinan
struktural, (2) kemiskinan super-struktural, dan (3) kemiskinan kultural. Kemiskinan
masyarakat, ketersediaan insentif atau disinsentif pembangunan, ketersediaan fasilitas
pembangunan, ketersediaan teknologi, dan ketersediaan sumberdaya pembangunan
khususnya sumberdaya alam. Hubungan antara variabel-variabel ini dengan
kemiskinan umumnya bersifat terbalik. Kemiskinan super-struktural adalah
kemiskinan yang disebabkan karena variabel-variabel kebijakan makro yang tidak
begitu kuat berpihak pada pembangunan nelayan. Variabel-variabel super-struktur tersebut di antaranya adanya kebijakan fiskal, kebijakan moneter, ketersediaan hukum
dan perundang-undangan, kebijakan pemerintahan yang diimplementasikan dalam
proyek dan program pembangunan. Sedangkan kemiskinan kultural adalah
kemiskinan yang disebabkan karena variabel-variabel yang melekat, inheren, dan
menjadi gaya hidup tertentu. Variabel-variabel penyebab kemiskinan kultural adalah
tingkat pendidikan, pengetahuan, adat, budaya, kepercayaan, kesetiaan pada
pandangan-pandangan tertentu, serta ketaatan pada panutan.
Menurut Kusnadi (2003), ada dua sebab yang melatarbelakangi
ketidak-berdayaan nelayan, yaitu faktor internal dan eksternal. Sebab yang pertama adalah
persoalan internal kehidupan nelayan itu sendiri, yakni: (1) keterbatasan kualitas
SDM nelayan; (2) keterbatasan kemampuan modal usaha, dan teknologi
penangkapan; (3) hubungan kerja dalam organisasi penangkapan tidak
menguntungkan nelayan buruh; (4) kesulitan melakukan diversifikasi usaha; (5)
ketergantungan yang tinggi terhadap okupasi melaut; (6) pendapatan nelayan bersifat
harian dan jumlahnya sulit ditentukan; (7) ketergantungan yang besar terhadap
pedagang; (8) kebiasaan nelayan yang tidak mengikutsertakan perempuan dan
anak-anak; serta (9) gaya hidup yang dipandang boros sehingga kurang berorientasi ke
masa depan. Sedangkan sebab yang bersifat eksternal yakni berkaitan dengan kondisi
di luar diri dan aktivitas nelayan itu sendiri, yakni: (1) kebijakan pembangunan
perikanan yang lebih berorientasi pada produtivitas pertumbuhan ekonomi nasional dan
parsial; (2) sistem pemasaran hasil perikanan lebih menguntungkan pedagang
perantara; (3) kerusakan ekosistem wilayah pesisir dan laut; (4) penggunaan alat
tangkap yang tidak efektif; (5) penegakan hukum yang lemah; (6) terbatasnya teknologi
sektor non perikanan yang tersedia di desa-desa nelayan; (8) kondisi alam dan fluktuasi
musim yang tidak memungkinkan nelayan melaut sepanjang tahun; dan (9) rentang
geografis desa nelayan yang tidak memungkinkan, menghambat atau mengganggu
mobilitas barang, jasa dan manusia, termasuk tidak tersedianya akses pasar yang jauh
dari wilayah tangkap mereka.
Rekonstruksi kemiskinan nelayan dan cara mengatasinya adalah penting
mengingat program kompensasi atas kenaikan BBM sebelumnya sudah ada secara
khusus yakni Program PEMP yang dimulai sejak tahun 2001, namun faktanya,
kemiskinan masih belum beranjak, malah sebaliknya semakin bertambah (Marbun,
2008). Dalam konteks ini, Menurut Ismawan (1996), penetapan kemiskinan seseorang,
bukannya mereka tidak mempunyai apa-apa sama sekali (the have not), melainkan
mereka mempunyai sesuatu walaupun sedikit (the have little). Bila potensi mereka
yang serba sedikit digalang dan dihimpun dalam satu wadah kebersamaan yang mereka
percaya dan hormati, maka mereka akan mampu mengatasi masalah-masalah dengan
kekuatan sendiri. Sejalan dengan itu, Haeruman (P2KP: 1999) mengungkapkan bahwa
faktor pemberdayaan kelembagaan menjadi penting untuk tidak diabaikan.
Pemberdayaan masyarakat pesisir-nelayan dan institusi lokal sebagai strategi dalam
pelaksanaan pemberdayaan mengandung dua unsur, yakni kemandirian dan partisipasi.
Kaitannya dengan menumbuhkan partisipasi, diperlukan agen penggerak atau
agen pembangunan, yakni: (1) sebagai fasilitator dan motivator yang mampu
mengarahkan dan menggerakkkan masyarakat yang diberdayakan agar mau dan
mampu melakukan perubahan, (2) sebagai tempat berkonsultasi pemberi pemecahan
masalah, (3) sebagai pembantu penyebaran inovasi serta member petunjuk mengenali
dan merumuskan kebutuhan, mendiagnosa permasalahan dan menentukan tujuan
pendapatan sumber-sumber yang relevan, memilih dan mengevaluasi, dan (4) sebagai
penghubung dengan sumber-sumber yang diperlukan. Dalam konteks ini, tentu bukan
kapital atau uang sebagai sumber utama untuk mobilisasi nelayan, tetapi titikberat dan
yang jauh lebih penting bagi nelayan dan komunitasnya adalah kemandirian, yang
pesisir-nelayan) membutuhkan pendampingan yang baik untuk membangun harapan
dan hari esok yang lebih baik.
Konsep Pembangunan
Pada dasawarsa 1950-an istilah “pembangunan” dianggap sebagai suatu “obat”
terhadap berbagai macam masalah yang muncul di masyarakat, terutama pada
negara-negara berkembang. Suatu era dimana teori “pembangunan” dikemukakan. “Teori
pembangunan” dilatari oleh suatu konsep yang disebut dengan ”pertumbuhan.”
Pemikiran mengenai teori pertumbuhan berasal dari suatu pandangan yang melihat
”pembangunan” sebagai ”pertumbuhan” ekonomi yang diasumsikan oleh kaum
ekonom ortodoks sebagai peningkatan standar kehidupan. Dengan Gross National
Product (GNP) atau Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sebagai indikator keberhasilannya (Adi, 2003). Kleinjans (Dilla, 2007) menyatakan bahwa pembangunan
pada ahirnya bukan soal teknologi atau GNP, melainkan pencapaian pengetahuan dan
keterampilan baru, tumbuhnya suatu kesadaran baru, perluasan wawasan manusia,
meningkatnya semangat kemanusiaan, dan suntikan kepercayaan diri.
Rogers dan Shoemaker (1986) mendefinisikan pembangunan sebagai suatu jenis
perubahan sosial, yakni ide-ide baru diperkenalkan pada suatu sistem sosial untuk
menghasilkan suatu pendapatan per kapita dan tingkat pendapatan yang lebih tinggi
melalui metode produksi yang lebih modern dan organisasi sosial yang lebih baik.
Pembangunan adalah moderninasi pada tingkat sistem sosial. Lebih jauh, Rogers
(1986) menyatakan bahwa pembangunan sebagai suatu proses perubahan sosial dengan
partisipatori yang lebih luas dalam suatu masyarakat untuk kemajuan sosial dan
material (termasuk bertambah besarnya keadilan, kebebasan, dan kualitas lainnya yang
dihargai) bagi mayoritas rakyat melalui kontrol yang lebih besar dari lingkungan
mereka. Inayatullah (1976) mendifinisikan pembangunan sebagai perubahan menuju
pola-pola masyarakat yang lebih baik dengan nilai-nilai kemanusiaan yang
memungkinkan suatu masyarakat mempunyai kontrol yang lebih besar terhadap
lingkungan dan tujuan politiknya, juga memungkinkan warganya memperoleh kontrol
Dilla, 2007) memandang pembangunan sebagai: (1) proses, (2) program (3)
aksi/gerakan dan (4) metode.
Hadad (1980) mengungkapkan bahwa dari sudut pandang historis, istilah
”pembangunan” tidak berbeda dengan istilah ”perubahan.” Masing-masing memiliki
sisi positif dan negatif, tergantung kepada “apa” dan “siapa” yang mau diubah, dan
“bagaimana” proses perubahan itu dilakukan. Sebagai hasilnya, ada beberapa
pendekatan yang dikenal sebagai pendekatan ”utama” dalam teori pembangunan.
Beberapa pendekatan itu antara lain: pendekatan pertumbuhan, pendekatan
pemerataan, paradigma ketergantungan, pendekatan kebutuhan pokok, dan
pendekatan kemandirian.
Pendekatan pertumbuhan (growth aproach) melihat pertumbuhan material
sebagai syarat mutlak untuk suatu pembangunan yang berhasil. Penekanannya pada
strategi industrialisasi dan investasi (pemilik modal besar) sebagai indikator utama
dengan ukuran pendekatan Incremental Capital Output Ratio (ICOR) atau laju
pertumbuhan ekonomi. Rasionalitas pendekatan ini menurut Rostow, jika
pertumbuhan ekonomi tinggi akan terjadi yang disebutnya sebagai ”trickle down
effect” tetesan rezeki ke bawah sampai pada akar rumput (grassroots).
Pendekatan pemerataan (redistribution aproach) mengukur keberhasilan
pembangunan berdasarkan tiga indikator utama yaitu: indikator sosial budaya,
indikator politik, dan indikator ekonomi. Kesimpulan dari ketiga indikator ini ialah
bahwa pertumbuhan ekonomi erat kaitannya dengan partisipasi politik dan distribusi
pendapatan dalam kaitannya dengan strategi pembangunan. Kemiskinan terkait
dengan masalah-masalah pendistribusian, sedangkan kesenjangan sosial mempunyai
akar yang lebih mendalam pada masyarakatnya. Kesenjangan sosial sangat terkait
dengan struktur dan pola-pola masyarakat dalam mengolahh kekayaan, mengolahh
pengetahuan, dan kemampuan dari institusi tertentu dalam masyarakat tersebut dalam
proses pengambilan keputusan.
Paradigma ketergantungan (dependence paradigm) melihat bahwa munculnya
sifat ketergantungan masyarakat merupakan penyebab utama terjadinya
keterbelakangan tersebut diperlukan adanya upaya ”pembebasan” (liberation) dari
belenggu yang merantai mereka. Paradigma ini juga menggambarkan bahwa struktur
kerjasama yang bersifat eksploitatif dapat menyebabkan terjadinya stagnasi
pembangunan.
Pendekatan kebutuhan pokok (the basic needs aproach) melihat bahwa
kebutuhan pokok masyarakat tidak akan dipenuhi jika mereka masih berada di bawah
garis kemiskinan serta tidak mempunyai pekerjaan untuk mendapatkan pendapatan
yang lebih baik. Untuk itu harus ada lapangan pekerjaan bagi masyarakat, meningkat
pertumbahan ekonomi, dan memenuhi kebutuhan pokok masyarakatnya. Pendekatan
ini harus diterapkan secara komprehensif dan melibatkan masyarakat di pedesaan dan
sektor informal dengan mengembangkan potensi dan kemampuan masyarakat itu
sendiri untuk mengorganisir diri, serta membangun sesuai dengan tujuan yang
dikehendaki. Menurut Hadad, bahwa pada titik tertentu, juga menjembatani
pendekatan kebutuhan pokok dengan pendekatan kemandirian (self-reliance aproach)
kelompok masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan. Pendekatan
kemandirian (self-reliance aproach) adalah suatu pendekatan yang digunakan untuk
mengukur sejauh mana masyarakat melepaskan diri dari ketergantungannya terhadap
institusi/lembaga di luar dirinya. Konsep kemandirian menyajikan dua perspektif,
yang pertama adalah penekanan yang lebih diutamakan pada hubungan timbal balik
dan saling menguntungkan dalam perdagangan dan kerjasama pembangunan,
sedangkan yang kedua adalah lebih mengandalkan pada kemampuan sumberdaya
sendiri.
Cara terbaik untuk mengatasi masalah pembangunan adalah dengan membiarkan
semangat wiraswasta tumbuh dalam kehidupan masyarakat-berani mengambil resiko,
berani bersaing, menumbuhkan semangat positif untuk bersaing secara positif dan
menemukan hal-hal baru (inovasi) melalui partisipasi aktif masyarakat. Strategi
pembangunan meletakan partisipasi masyarakat sebagai fokus isu utama pembangunan,
sedangkan strategi pemberdayaan meletakkan partisipasi aktif masyarakat ke dalam
Pembaharuan dalam strategi pembangunan daerah yang memadukan
pertumbuhan dan pemerataan pada dasarnya mempunyai tiga arah: pertama, pemihakan
dan pemberdayaan masyarakat. Kedua, pemberian otonomi dan pendelegasian
wewenang dalam pengelolaan pembangunan di daerah. Ketiga, modernisasi melalui
penajaman dan pemantapan arah dari perubahan struktur sosial ekonomi dan budaya
masyarakat. Lebih lanjut dikatakan bahwa perhatian khusus diwujudkan dalam
langkah-langkah strategis yang diarahkan secara langsung pada perluasan akses kepada
sumberdaya pembangunan. Di samping itu, disertai penciptaan peluang yang
seluas-luasnya bagi masyarakat di lapisan bawah untuk berpartisipasi dalam proses
pembangunan. Dengan perluasan seperti itu peranserta masyarakat menjadi penentu
keberhasilan pembangunan daerah. Masyarakat akan makin terbuka, makin
berpendidikan, dan makin tinggi kesadarannya (Soemadiningrat, 1997).
Supaya pembangunan masyarakat berlangsung dengan tepat maka pemerintah
hanya mempersiapkan dan memfasilitasi lingkungan yang sehat bagi peningkatan,
perluasan, serta pendalaman kegiatan-kegiatan yang telah dimiliki oleh masyarakat
sendiri. Hal ini merupakan makna pemberdayaan yaitu mengembangkan hal-hal yang
telah ada pada masyarakat menjadi lebih besar skalanya, lebih ekonomis, dan lebih
berdayaguna dan berhasilguna (Nikijuluw, 2001).
Salah satu perbedaan penting antara pembangunan yang memihak rakyat dan
pembangunan yang mementingkan produksi ialah bahwa yang kedua itu secara terus
menerus menundukkan kebutuhan rakyat dibawah kebutuhan sistem agar sistem
produksi tunduk kepada kebutuhan rakyat (Korten, 1984). Perbedaan paradigma
pembangunan yang mementingkan produksi yang dewasa ini unggul dan
pembangunan yang lebih berpihak kepada rakyat sebagai tandingannya, mengandung
arti penting bagi penciptaan masa depan yang lebih manusiawi. Khususnya
pemahaman akan perbedaan itu penting artinya bagi pemilihan teknik sosial termasuk
cara pemberdayaan masyarakat dilakukan secara tepat untuk mencapai tujuan-tujuan
yang mementingkan rakyat. Penyadaran diri (conscienzacione), satu di antara
argumen-argumen yang paling telak dan tajam diajukan oleh Paulo Freire (1984)
pandangan dan cakrawala rakyat yang tersekap dalam kemiskinan dan sering
menghayati kehidupan mereka dalam keterpencilan (isolasi) dan kekumuhan, harus
diubah ke arah suatu keinsyafan, perasaan, pemikiran, gagasan, bahwa hal-ihwal
dapat menjadi lain, dan tersedia alternatif-alternatif (sumberdaya yang dimiliki oleh
masyarakat).
Konsep Pemberdayaan Masyarakat
Konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan selalu dihubungkan dengan
konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja, dan keadilan. Prinsipnya diletakkan pada
kekuatan individu dan sosial (Hikmat, 2001). Konsep atau istilah pemberdayaan dalam
banyak kegiatan dan program aksi diarahkan kepada muara yang relatif sama, yakni
membuat sasaran atau masyarakat memiliki kemampuan “daya” agar masyarakat
sasaran terangkat dari keterpurukannya. Dalam konsep aslinya, pemberdayaan
masyarakat lebih difokuskan kepada nuansa agar masyarakat sasaran dapat diposisikan
terlibat aktif dalam proses pembangunan.
Pemberdayaan ekonomi kerakyatan (dalam penerapan untuk nelayan kecil)
berarti menuju kepada terbentuknya kemandirian nelayan itu, yaitu berperilaku efisien,
modern dan berdaya saing tinggi. Perilaku efisien artinya berpikir dan bertindak serta
menggunakan sarana produksi secara tepatguna atau berdayaguna. Berperilaku modern
artinya mengikuti dan terbuka terhadap perkembangan dan inovasi serta perubahan
yang ada (Sasono, 1999), sedangkan berdaya saing tinggi yaitu mampu berpikir dan
bertindak serta menggunakan sarana produksi atas dasar memperhatikan mutu hasil
kerjanya dan kepuasan konsumen yang dilayaninya (Sumardjo, 1999).
Gagasan pemberdayaan ekonomi kerakyatan menurut Mahmudi (1999) adalah
upaya mendorong dan melindungi tumbuh dan berkembangnya kekuatan ekonomi
lokal dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) oleh masyarakat yang
berbasiskan pada kekuatan rakyat. Muatan gagasan ini tidak saja dituntut untuk dapat
mendayagunakan dan menghasilgunakan potensi sumberdaya lokal untuk kepentingan
kesejahteraan rakyat, tetapi juga terlindunginya hak-hak rakyat dalam pengelolaan
Kartasasmita (1997) menyatakan bahwa upaya memberdayakan masyarakat
dapat di lihat dari tiga sisi: Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang
memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Titik tolaknya adalah
bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat
dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena,
kalau demikian akan sudah punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk pembangunan
daya itu, dengan mendorong, memotivasikan dan membangkitkan kesadaran akan
potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. Kedua,
memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering). Dalam
rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya menciptakan
iklim dan suasana. Penguatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut
penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses ke dalam berbagai
peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya.
Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena
kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Melindungi harus di lihat sebagai
upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, dan eksploitasi
yang kuat atas yang lemah.
Kegiatan pemberdayaan masyarakat harus mampu mengembangkan
teknik-teknik pendidikan tertentu yang imajinatif untuk menggugah kesadaran masyarakat.
Menurut Sikhondze (Karsidi, 2001), orientasi pemberdayaan haruslah membantu
sasaran (nelayan) agar mampu mengembangkan diri atas dasar inovasi-inovasi yang
ada, ditetapkan secara partisipatoris, yang pendekatan metodenya berorientasi pada
kebutuhan masyarakat sasaran dan hal-hal yang bersifat praktis, baik dalam bentuk
layanan individu maupun kelompok, sedangkan peran petugas pemberdayaan
masyarakat (pendamping) sebagai outsider people adalah sebagai konsultan, peran pembimbingan dan peran penyampai informasi. Dengan demikian peranserta
kelompok sasaran (masyarakat itu sendiri) menjadi sangat dominan. Belajar dari
peranserta masyarakat dipandang sebagai kewajiban, maka masyarakat justru
terpinggirkan dari proses pembangunan.
Sebagai suatu proses belajar, konsep pemberdayaan berkonotasi aktif, positif
dan dinamis. Umumnya dilakukan dari dan oleh orang-orang di luar sistem sosial
masyarakat (pendidikan non-formal), sebagai pengantar perubahan (outsider change
agents), bekerja sama dengan orang-orang dari dalam sistem sosial masyarakat sebagai pengantar perubahan (insider change agents) yang bertujuan agar di dalam
sistem sosial masyarakat itu cepat atau lambat akan terjadi perubahan yang lebih
positif dalam daya-daya yang tergolong masih rendah dan perlu ada peningkatan.
Antara outsider maupun insider, change agents umumnya adalah orang-orang yang memiliki kepedulian dan obsesi yang tinggi serta terpanggil untuk secara ikhlas
membantu membebaskan masyarakat dari keterpurukannya.
Menurut Slamet (2003), pemberdayaan adalah suatu proses belajar yang
ditawarkan kepada masyarakat sasaran, agar dengan berbagai potensi (daya) yang
mereka miliki dapat belajar menolong dirinya sendiri sehingga pada gilirannya akan
tercapai kondisi baru yang lebih baik sesuai harapan yang dicita-citakan.
Memberdayakan berarti memberi daya kepada yang tidak berdaya dan atau
mengembangkan daya yang sudah dimiliki menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat bagi
masyarakat yang bersangkutan. Sebagai suatu proses ke arah perubahan, maka
pemberdayaan masyarakat mengandung makna: masyarakat membangun dirinya,
mereka menjadi tahu, mengerti, paham, bermotivasi, berkesempatan, mampu melihat
dan memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerja sama, tahu adanya berbagai
alternatif, mampu mengambil keputusan, berani menghadapi resiko, mampu menyerap
informasi dan mampu bertindak sesuai situasi dan daya/potensi yang mereka miliki
dengan tetap teguh kepada nilai-nilai luhur yang bermartabat. Pemberdayaan
masyarakat akan menghasilkan masyarakat yang dimanis, kritis, dan progresif secara
berkelanjutan sesuai dengan motivasi intristik dan sekaligus ekstrinstik.
Sebagai suatu proses belajar, antara agen pembaharuan/pendamping/penyuluh
dan masyarakat yang menjadi sasaran pemberdayaan atau yang diberdayakan harus
yang kondusif terjadinya interaksi dan komunikasi antar keduanya. Pemberdayaan juga
merupakan kegiatan mendidik, karena itu prosesnya haruslah mendidik dan bukan
“dipaksa-terpaksa-terbiasa.” Bagaimana pun sulitnya secara ideal harus selalu dengan
proses mendidik. Kesabaran menunggu perkembangan individu/kelompok yang
diberdayakan sampai benar-benar berdaya dan mandiri adalah kunci pemberdayaan
(Asngari, 2008).
Pemberdayaan masyarakat dimaksudkan untuk memperkuat kemampuan
(capacity strenghtening) masyarakat, agar mereka dapat berpartisipasi secara aktif
dalam keseluruhan proses pembangunan, terutama pembangunan yang ditawarkan
oleh penguasa/pemerintah dan atau pihak luar (pendampingan, LSM, dll). Dengan
demikian, memberdayakan masyarakat berarti menciptakan peluang bagi masyarakat
untuk menentukan kebutuhannya, merencanakan dan melaksanakan kegiatannya,
yang akhirnya menciptakan kemandirian permanen dalam kehidupan masyarakat itu
sendiri (Syarief, 2001).
Menurut Weissglass dan Bustang (2008), pemberdayaan (empowement) adalah
suatu proses yang mendukung orang-orang untuk membangun suatu pengertian dan
tindakan yang baru mengenai kebebasan yang mereka pilih (a process of supporting
people to construct meaning and exercise their freedom to choise), sedangkan Cristensen dan Robinson (1984) mengungkapkan pemberdayaan adalah suatu proses
pribadi dan sosial. Memberdayakan mengandung makna pembebasan kemampuan
pribadi, kompetisi, kreativitas, dan kebebasan bertindak, sedangkan diberdayakan
mengandung makna memberikan suatu gelombang kekuatan dari seseorang kepada
yang lainnya dan juga berasal dari dalam, khususnya kekuatan untuk bertindak dan
berkembang untuk menjadi sesuatu yang disebut oleh Paolo Freire “lebih
memanusiakan manusia.” Pemberdayaan masyarakat adalah menciptakan suasana
atau iklim untuk mewujudkan pengembangan potensi masyarakat dengan mendorong,
memotivasi, menyadarkan potensi yang dimilikinya untuk berkembang.
Memberdayakan masyarakat dalam bentuk tindakan nyata berupa penyediaan dan
keberlanjutan suasana/iklim interaksi timbal balik yang beretika antar elemen
masyarakat (Sumodiningrat, 1997).
Lebih lanjut dikatakan oleh Sumodiningrat bahwa upaya memberdayakan
masyarakat dapat dilakukan melalui tiga jalur. Pertama, menciptakan suasana atau
iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Titik tolaknya adalah
pengenalan bahwa setiap manusia dan masyarakat memiliki potensi (daya) yang
dapat dikembangkan. Pemberdayaan masyarakat adalah upaya membangun daya itu
dengan mendorong, memberikan motivasi, dan membangkitkan kesadaran agar
potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. Kedua,
memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering). Dalam
kerangka ini diperlukan langkah-langkah yang positif dan nyata, penyediaan berbagai
masukan (input, serta pembukaan akses kepada berbagai peluang yang akan membuat
masyarakat menjadi makin dalam memanfaatkan setiap peluang). Ketiga,
memberdayakan berarti juga melindungi. Dalam proses pemberdayaan harus dicegah
yang lemah menjadi bertambah lemah.
Sebagai bentuk implementasi dari pemberian kekuatan (power) kepada
masyarakat, maka pada umumnya pemberdayaan dilakukan kepada sekelompok
orang yang dianggap belum memiliki kekuatan yang diperlukan untuk kemajuan
masyarakat pesisir-nelayan. Dimensi pemberdayaan masyarakat pesisir-nelayan
mestinya mengacu pada konsep keberlanjutan (Charles dan Satria, 2009). Pertama,
keberlanjutan ekologis terwujud dari praktek perikanan yang tidak merusak
lingkungan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir yang tidak melebihi daya dukung
lingkungan. Kedua, keberlanjutan sosial ekonomi mengacu pada tercapainya kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat pesisir. Ketiga, keberlanjutan komunitas
mengacu pada stabilitas sistem sosial, terjaminnya peran masyarakat dalam
pembangunan, dan akses masyarakat pada sumberdaya baik untuk kepentingan
pemanfaatan maupun pengelolaan. Empat, keberlanjutan institusi merupakan
prasyarat bagi tercapainya tiga dimensi sebelumnya, yaitu keberlanjutan yang
mencakup institusi politik (kapabilitas birokrasi desa), institusi sosial-ekonomi
Kerangka berpikir dalam proses pemberdayaan setidaknya mengandung tiga
tujuan penting, yaitu: (1) menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan
potensi masyarakat berkembang, (2) memperkuat potensi atau daya yang dimiliki
oleh masyarakat atau kelompok yang akan diberdayakan melalui peningkatan taraf
pendidikan dan akses terhadap sumber-sumber kemajuan, dan (3) upaya melindungi
(protect) terjadinya persaingan yang tidak seimbang, menciptakan keadilan serta
menciptakan kebersamaan dan kemitraan antara yang sudah maju dengan yang belum
berkembang. Pemberdayaan dengan menekankan kepada ketiga ketentuan tersebut
diyakini merupakan strategi jitu dalam menekan angka kemiskinan (Jamasy, 2004).
Untuk menekan kemiskinan masyarakat dengan pendekatan pemberdayaan
menurut analisis kritis Nugroho (Jamasy, 2004), ada enam syarat penting yang harus
dipenuhi, yaitu: (1) menekan perasaan ketidakberdayaan (impotensi) masyarakat
miskin bila berhadapan dengan struktur sosial politik. Langkah konkritnya adalah
meningkatkan kesadaran kritis atas posisinya; (2) memutus hubungan-hubungan yang
bersifat eksploitatif terhadap lapisan orang perlu dilakukan; (3) menanamkan rasa
persamaan (egaliter) dengan memberikan gambaran bahwa kemiskinan bukanlah
persoalan takdir tetapi sebagai penjelmaan dari persoalan konstruksi sosial; (4)
merealisasikan perumusan pembangunan dengan melibatkan masyarakat miskin
secara penuh (ini bisa tercapai jika komunikasi politik antara pemegang kekuasaan
dengan kelompok strategis dan masyarakat miskin tidak mengalami distorsi; (5)
perlunya pembangunan sosial dan budaya bagi masyarakat miskin (seperti
perencanaan hidup, peningkatan produtivitas kerja dan kualitas kerja; dan (6)
distribusi infrastruktur pembangunan yang lebih merata. Strategi pemberdayaan
masyarakat pesisir meliputi: bentuk dukungan, peningkatan kapasitas manusia,
penguatan kapasitas kelembagaan, dan peningkatan kemandirian berbasis
sumberdaya alam lokal.
Menurut Bustang, (2008), bahwa pemberdayaan pada hakekatnya adalah upaya
pemberian kesempatan, kewenangan dan kemampuan untuk berpartisipasi dalam
pelaksanaan pembangunan di seluruh bidang, sesuai dengan profesi, peranan dan
pemahaman masalah kebutuhan, penguasaan dan kemampuan untuk
mendayagunakan sumberdaya yang dimiliki terarah untuk perbaikan nasib,
sedangkan masyarakat berdaya adalah masyarakat yang tahu, mengerti, paham,
termotivasi, berkesempatan memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerja sama,
tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani mengambil resiko,
mampu mencari dan menangkap informasi dan mampu bertindak sesuai dengan
situasi (Slamet, 2004).
Ciri-ciri masyarakat berdaya menurut Sumarjo, Pardosi dan Bustang, (2008),
yaitu: (1) mampu memahami diri dan potensinya, (2) mampu merencanakan
(mengantisipasi kondisi perubahan ke depan), (3) mampu mengarahkan dirinya
sendiri, (4) memiliki kekuatan untuk berunding, (5) memiliki posisi tawar yang
memadai dalam melakukan kerjasama yang saling menguntungkan, serta (6) mampu
bertanggungjawab atas tindakannya. Selanjutnya Kartasasmita (1996)
mengemukakan bahwa kemandirian adalah hakekat dari kemerdekaan. Kemandirian
adalah aspek penting dalam falsafah pemabangunan. Kemandirian juga dapat
diartikan sebagai perwujudan kemampuan seseorang untuk memanfaatkan potensi
dirinya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan dicirikan oleh kemampuan dan
kebebasan menentukan perilaku yang terbaik, sedang Ismawan (1994) mengartikan
kemandirian sebagai kemampuan untuk memilih berbagai alternatif yang tersedia
agar dapat digunakan untuk melangsungkan kehidupan yang serasi dan berkelanjutan.
Berdasarkan kensep-konsep tersebut maka kemandirian kelompok dapat terjadi
apabila kondisi kelompok tersebut menunjukan kedamisan yang ditandai dengan
adanya partisipasi aktif yang terus menerus dari anggota kelompok.
Pemberdayaan sebagai Suatu Upaya Perubahan Perilaku
Permasalahan sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat bukannya hanya
disebabkan oleh adanya penyimpangan perilaku atau masalah kepribadian, melainkan
juga akibat dari masalah struktural, kebijakan yang keliru, implementasi kebijakan
yang tidak konsisten dan tidak adanya partisipasi masyarakat dalam pembangunan
Psikolog behavioris, memandang perilaku sebagai hasil interaksi seseorang
dengan lingkungannya. Bagi behavioris, semua perilaku dipelajari dan dalam
mewujudkan perubahan organisasi dengan cara mengubah stimuli eksternal yang
mampu mempengaruhi individu. Gestalt-Field menyatakan bahwa perilaku seseorang
merupakan produk lingkungan dan penalaran, sedangkan pembelajaran merupakan
suatu proses perolehan atau perubahan wawasan, pandangan, ekpektasi atau pola
pemikiran. Belajar diartikan sebagai suatu proses perubahan perilaku yang dihasilkan
dari praktek-praktek dalam lingkungan kehidupan. Perilaku bukan sekedar produk
stimuli eksternal, namun lebih bisa dijelaskan dari cara individu memakai
penalarannya untuk menginterprestasikan stimuli (Sarwono, 2002).
Salah satu faktor yang signifikan mendorong perilaku adalah motivasi.
Motivasi diartikan sebagai suatu dorongan untuk bertindak dalam rangka mencapai
suatu tujuan, juga dapat terwujud dalam bentuk perilaku, yang ada pada diri
seseorang yang dapat mendorong, mengaktifkan, menggerakkan dan mengarahkan
perilaku seseorang (Hasibuan, 1999). Dengan kata lain motivasi itu ada dalam diri
seseorang dalam wujud niat, harapan, keinginan dan tujuan yang ingin dicapai.
Maslow (Zainun, 1987) berpendapat bahwa manusia memiliki satu kesatuan jiwa dan
raga yang bernilai baik, dan memiliki potensi-potensi (daya). Yang dimaksud baik itu
adalah yang mengakibatkan perkembangan ke arah aktualisasi diri. Untuk dapat
sampai pada tingkat aktualisasi diri semua kebutuhan-kebutuhan pokok manusia pada
tingkat sebelumnya harus terpenuhi. Selain kebutuhan pokok tersebut yang disebut
basic needs manusia juga memiliki metaneeds
Para ahli konstruktivis menyatakan bahwa belajar melibatkan konstruksi
pengetahuan saat pengalaman baru diberi makna oleh pengetahuan terdahulu.
Menurut teori ini, persepsi yang dimiliki oleh klien mempengaruhi pembentukan
persepsi baru. Klien menginterprestasi pengalaman baru dan memperoleh
pengetahuan baru berdasar realitas yang telah terbentuk di dalam pikiran klien. sebagai kebutuhan pertumbuhan
seperti keadilan, keindahan, keteraturan, dan kesatuan.