3 Keterangan: – N
rs : koefisien korelasi peringkat Spearman di : perbedaan antara kedua rangking (x-y) N : jumlah subyek (sampel)
Perhitungan dan pengolahan data menggunakan bantuan komputer aplikasi
Micosoft Excel dan aplikasi SPSS 17.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum di Tiga Wilayah Penelitian
Provinsi Maluku Utara merupakan provinsi kepulauan yang dikelilingi oleh laut, dan secara geografis berada pada posisi 030 LU – 030 LS dan 1240 – 1290
Utara : Samudera Pasifik
BT dengan batas-batas (BPS Provinsi Maluku Utara) :
Selatan : Laut Seram dan Laut Banda
Barat : Laut Maluku
Timur : Laut Halmahera
Provinsi Maluku Utara memiliki luas wilayah sebesar 106.977,31 km2
Perairan laut Maluku dan Laut Halmahera berhubungan dengan Samudera Pasifik memiliki potensi sumberdaya ikan, baik pelagis kecil maupun pelagis besar. Berdasarkan hasil penelitian Badan Riset Depertemen Kalutan dan Perikanan dan Komisi Nasional Stock Assessment, wilayah perairan Maluku Utara berada dalam wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 8 atau 715 (Laut Maluku, Teluk Tomini dan Laut Seram) dan WPP 9 atau 716 (Laut Sulawesi dan Laut Halmahera). Ketersediaan atau mencakup 76 persen dari total luas daratan yang dimiliki. Secara administrasi terdiri atas tujuh kabupaten (Kabupaten Halmahera Barat, Kabupaten Halmahera Selatan, Kabupaten Halmahera Tengah, Kabupaten Halmahera Timur, dan Kabupaten Kepulauan Sula) serta dua kota (Kota Ternate dan Kota Tidore Kepulauan).
potensi perikanannya diperkirakan mencapai 1.035.230 ton ikan per tahun, dengan potensi lestari yang dapat dimanfaatkan sebesar 517.615 ton ikan per tahun. Potensi perikanan tersebut terdiri dari: jenis-jenis pelagis besar sebesar 211.590 ton ikan per tahun, pelagis kecil 169.834 ton per tahun, ikan demersal 135.005,24 ton ikan per tahun serta jenis-jenis ikan karang mencapai 97.801,78 ton ikan per tahun (DKP Maluku Utara, 2005).
Perikanan Tangkap
Ketersediaan sumberdaya laut yang ada memungkinkan terjadinya aktivitas di bidang perikanan tangkap. Perikanan tangkap yang dimaksud adalah suatu kegiatan
pemanfaatan sumberdaya hayati laut melalui penangkapan ikan atau pengumpulan hewan dan tumbuhan laut lainnya, yang selanjutnya hasil tangkapan tersebut digunakan untuk pemenuhan kebutuhan hidup si pelaku kegiatan (nelayan) dengan cara mengkonsumsi langsung atau memasarkannya dalam bentuk ikan segar atau olahan. Kegiatan tersebut berdasarkan jenis dan skala usahanya dapat dikelompokkan kedalam perikanan subsistem, perikanan artisanal dan perikanan industri (Satria, 2002).
Aktivitas usaha di bidang perikanan tangkap di Maluku Utara tergolong beragam. Hal ini dapat di lihat dari jumlah armada dan jumlah alat tangkap yang dimilikinya (Tabel 7). Terdapat sepuluh jenis alat tangkap ikan yang digunakan nelayan di Provinsi Maluku Utara yaitu pukat pantai, pukat cincin, jaring insang, jaring angkat, pancing, huhate, rawai, perangkap/bubu, pengumpul, dan muro ami.
Tabel 7 Banyaknya alat tangkap ikan menurut Jenis di Kabupaten/Kota di Provinsi Maluku Utara
No Jenis Alat Tangkap T ahun Jumlah (Unit) Persentasi (%) 2004 2005 2006 2007 2008 2009 1 Pukat Pantai 155 156 156 156 155 155 933 0.06 2 Pukat Cincin 182 191 208 213 200 188 1182 0.08 3 Jaring Insang 386 413 686 671 655 528 3339 0.23 4 Jaring Angkat 109 308 366 366 297 151 1597 0.11 5 Pancing 392 409 472 503 571 333 2680 0.19 6 Huhate 253 272 281 287 256 194 1543 0.11 7 Rawai 342 457 246 257 257 206 1765 0.12 8 Perangkap/bubu 211 256 158 207 202 144 1178 0.08 9 Pengumpul 12 36 31 34 24 0 137 0.01 10 Muro Ami 11 11 12 13 13 14 74 0.01 Jumlah 2053 2509 23616 2677 2630 1913 14354 1.00 Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Maluku Utara (2009)
Tabel 7 di atas menunjukkan bahwa perkembangan jenis alat tangkap ikan dalam kurun waktu 2004-2009 relatif adalah fluktuatif, kecuali penggunaan jenis alat tangkap pukat pantai dan muro ami yang relatif stabil. Jenis alat tangkap yang paling banyak digunakan oleh nelayan adalah jaring insang yakni sebesar 23 persen kemudian disusul oleh alat tangkap pancing sebesar 19 persen dan rawai sebesar 12
persen serta jaring angkat dan huhate masing-masing sebesar 11 persen. Dominannya alat tangkap ikan tersebut disebabkan karena nilai investasinya relatif murah, sehingga mudah dimiliki oleh nelayan skala kecil. Pada sisi teknologi alat tangkap tersebut sangat sederhana sehingga dengan mudah dioperasikan oleh nelayan tradisional. Daerah penangkapan yang dapat dioperasikan alat tangkap tersebut juga relatif dekat dengan wilayah pantai/pesisir sehingga dapat dijangkau oleh nelayan. Dari semua alat tangkap yang beroperasi di perairan Provinsi Maluku Utara yang terkecil jumlahnya adalah pengumpul dan muro ami, yakni masing-masing sebesar 1 persen. Demikian juga bila di lihat kepemilikan jenis alat tangkap di tiga wilayah kajian relatif tidak berbeda secara secara signifikan berdasarkan jumlah dan dominasinya (Tabel 8).
Tabel 8 Banyaknya alat tangkap ikan menurut jenis di tiga wilayah kajian di Provinsi Maluku Utara tahun 2009
No Jenis Alat Tangkap Wilayah Jumlah (Unit) Persentasi (%) Kota Ternate Kota Tidore Kabupaten
Halmahera Barat 1 Pukat Pantai 18 18 17 53 0.08 2 Pukat Cincin 24 20 22 66 0.10 3 Jaring Insang 45 85 61 191 0.28 4 Jaring Angkat 8 6 25 39 0.06 5 Pancing 50 40 44 134 0.20 6 Huhate 45 40 9 94 0.14 7 Rawai 18 14 15 47 0.07 8 Perangkap/bubu 11 9 12 32 0.05 9 Pengumpul 3 2 1 6 0.01 10 Muro Ami 5 3 4 12 0.02 Jumlah 227 237 210 674 1.00 Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Maluku Utara (2009)
Tabel 8 menunjukkan bahwa jumlah alat penangkapan ikan yang dioperasikan di tiga wilayah kajian lebih didominasi oleh alat tangkap yang bersifat tradisional, juga menggambarkan bahwa masyarakat nelayan yang ada di Provinsi Maluku Utara masih bersifat tradisional. Hal ini mengindikasikan bahwa usaha penangkapan yang ada di Provinsi Maluku Utara, terutama di tiga wilayah kajian masih sederhana dan tergolong dalam skala usaha yang masih kecil. Demikian halnya dalam kegiatan
usaha penangkapan dan/atau dalam memanfaatkan alat tangkapnya, setiap nelayan menggunakan armada penangkapan yang berbeda-beda (Tabel 9), dan masih dalam skala usaha yang kecil. Dari keseluruhan jumlah armada dan ukuran unit tangkap yang dimiliki oleh nelayan di tiga wilayah kajian mayoritas didominasi oleh perahu tanpa motor, motor tempel, dan kapal dengan ukuran 5-20 GT.
Tabel 9 Banyaknya perahu/kapal penangkap ikan menurut jenis dan ukuran di kabupaten/kota Provinsi Maluku Utara
Kabupaten/ Kota
Ukuran Armada Tangkap
Perahu tanpa motor Motor Tempel 0 - 5 GT 5 - 10 GT 10 - 20 GT Jukung Kecil Sedang Besar
Halmahera Barat 50 48 33 15 97 5 4 0 Kota Ternate 45 35 19 15 102 26 31 12 Kota Tidore 43 45 15 15 89 15 25 15 Jumlah 138 128 67 45 288 46 60 27 Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Maluku Utara (2009)
Secara representatif menggambarkan bahwa kondisi nelayan di Provinsi Maluku Utara belum mampu melakukan penangkapan ikan melebihi jarak 6-12 mil dari perairan lokal masing-masing kabupaten/kota, seperti misalnya melakukan penangkapan di perairan Samudera Pasifik, Laut Seram dan Laut Banda, Laut Maluku, dan Laut Halmahera. Keterbatasan kapasitas armada tangkap yang dimiliki oleh nelayan di Provinsi Maluku Utara serta mayoritas masih didominasi oleh perahu tanpa motor dan motor tempel menyebabkan sumberdaya perikanan lautnya menjadi ajang perebutan eksploitasi bagi nelayan-nelayan asing dari dari provinsi lain, terutama nelayan Pilipina, Sulawesi Utara dan Gorontalo.
Berdasarkan banyaknya perahu penangkap dan alat tangkap ikan menurut jenis serta kapasitas skala besarnya usaha perikanan memberikan gambaran bahwa entitas masyarakat pesisir/nelayan di Maluku Utara masih sangat terbatas dan sangat sederhana, baik kuantitas dan kualitasnya dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan lautnya. Oleh karena itu, bila kuantitas dan kualitas alat tangkap, kapal serta SDM nelayannya di tingkatkan maka daerah penangkapan akan lebih jauh dan produksi akan meningkat serta jalur-jalur fisihing ground yang selama ini kekayaannya menjadi jarahan pembajak asing dan kerugian sekitar setengah
milyar dollar sampai empat milyar dolar per tahun akibat pencurian ikan oleh nelayan-nelayan asing diharapkan dapat diminimalisir.
Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP)
Program PEMP merupakan salah salah satu program unggulan yang dikhususkan kepada masyarakat pesisir yang dilaksanakan pada tahun 2001 di beberapa wilayah terpilih di Indonesia, termasuk Kabupaten/Kota di Provinsi Maluku Utara, dan secara nasional berakhir pada tahun 2009. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan taraf hidup kesejahteraan masyarakat pesisir.
Tujuan Program PEMP
Bantuan manajemen daerah melalui Program PEMP secara umum bertujuan untuk mendukung pelaksanaan kegiatan PEMP di daerah sehinggga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir/nelayan melalui penguatan kelembagaan sosial ekonomi dan mendayagunakan sumberdaya pesisir dan laut secara berkelanjutan. Tujuan khusus yang ingin dicapai dari kegiatan PEMP di daerah adalah:
(1) Meningkatkan partisipasi masyarakat pesisir dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pengembangan ekonomi masyarakat.
(2) Menciptakan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha. (3) Memperkuat kelembagaan ekonomi masyarakat pesisir.
(4) Mendorong bergeraknya kegiatan usaha produktif masyarakat di wilayah
pesisir.
(5) Mendorong bergeraknya mekanisme manajemen pembangunan masyarakat
yang partisipatif dan transparan.
(6) Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dalam pengelolaan kegiatan
ekonomi yang memanfaatkan sumberdaya lokal.
(7) Meningkatkan kemampuan aparat dan masyarakat pesisir dalam mengelola
(8) Mereduksi pengaruh kenaikan harga BBM terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir, melalui peningkatan dan penciptaan usaha produktif secara berkelanjutan.
Visi Program
Meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir dengan memberdayakan masyarakat melalui pendayagunaan sumberdaya lokal berbasis masyarakat.
Misi Program
Misi yang diemban dalam pelaksanaan program PEMP, yaitu:
(1) Meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian masyarakat pesisir melalui peningkatan kualitas SDM, partisipasi masyarakat, pengembangan kegiatan ekonomi, penguatan modal dan penguatan kelembagaan sosial ekonomi.
(2) Mengelola dan memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut secara optimal, lestari dan berkelanjutan.
Sasaran Program
Sasaran program PEMP adalah meningkatnya keterkaitan pengembangan ekonomi masyarakat di daerah yang diindikasikan dengan:
(1) Terbentuknya kegiatan ekonomi produktif berbasis sumberdaya pesisir dan laut, serta secara berkelanjutan.
(2) Terciptanya proses pembelajaran masyarakat serta partisipasi sebagai wujud upaya pemberdayaan masyarakat pesisir.
(3) Terbentuknya lembaga keuangan di daerah pesisir Lembaga Ekonomi
Pengembangan Pesisir ”Mikro Mitra Mina” (LEPP-M3).
(4) Berkurangnya dampak kenaikan harga BBM bagi masayarakat karena adanya
tambahan pendapatan melalui penciptaan kerja dan perluasan usaha.
(5) Terciptanya jaringan kerjasama usaha kemitraan antara pemerintah, swasta dan masyarakat di tingkat daerah yang dapat menjamin kelangsungan usaha, yang secara tidak langsung berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat.
Lingkup Kegiatan Program
Lingkup pelaksanaan kegiatan PEMP dapat dibedakan berdasarkan sasaran kegiatan, lokasi dan jenis kegiatan. Kelompok sasaran yang menjadi pemanfaat langsung dari kegiatan PEMP adalah kelompok masyarakat pesisir/nelayan dan anggota masyarakat lainnya yang mempunyai keterkaitan dengan sumberdaya pesisir dan laut dengan prioritas utama keluarga petani ikan/nelayan miskin yang dipilih berdasarkan musyawarah dan kelayakan usaha, yang dalam penelitian ini adalah kelompok nelayan tangkap pemanfaat Program PEMP yang berada di Kota Ternate, Kota Tidore Kepulauan dan Kabupaten Halmahera Barat yang secara representatif memiliki desa/kelurahan pesisir/pantai, memiliki sumberdaya alam pesisir dan laut yang dapat dikembangkan serta kebanyakan penduduknya bermatapencaharian sebagai nelayan dengan skala usaha yang masih sederhana.
Organisasi dan Kelembagaan Program PEMP
Dalam organisasi dan kelembagaan Program PEMP ada lima pihak
(stakeholder) yang terlibat di dalamnya, yaitu: Pemerintah, Konsultan Manajemen Kabupaten/Kota, dan Tenaga Pendamping Desa (TPD).
Peran Pemerintah
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Pusat, KKP Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota yang bertanggungjawab di Bidang Kelautan dan Perikanan setempat.
Konsultan Manajemen Kabupaten/Kota
Konsultan Manajemen (KM) Kabupaten/Kota adalah lembaga swadaya masyarakat (LSM), perguruan tinggi (PT) dan/atau perusahaan jasa konsultasi yang ditunjuk langsung oleh bupati/walikota melalui kepala dinas kabupaten/kota. Fungsi/tugasnya adalah: (1) membantu Dinas Kelautan dan Perikanan setempat dalam proses konsulidasi kelembagaan LEPP-M3 hingga menjadi badan hukum koperasi, (2) bersama tenaga pendamping desa (TPD) mendampingi dan memfasilitasi masyarakat pesisir kelompok masyarakat pemanfaat program (KMP) untuk
mengakses dana ekonomi produktif (DEP), dan (3) bersama TPD melakukan pendampingan teknis dan manajemen usaha.
Tenaga Pendamping Desa (TPD)
Tenaga pendamping desa adalah tenaga terdidik minimal berpendidikan Diploma III, diutamakan yang telah memiliki pengalaman dalam program pemberdayaan masyarakat serta bersedia ditempatkan di wilayah pesisir seluruh Indonesia. Pada masing-masing kabupaten/kota ditempatkan dua orang tenaga pendamping desa. Fungsi/tugas TPD adalah bersama KM mendampingi dan mefasilitasi masyarakat pesisir (KMP) untuk mengakses dana ekonomi produktif (DEP), (2) bersama KM melakukan pendampingan teknis dan manajemen usaha, (3) membantu masyarakat pesisir (KMP) untuk mengakses modal usaha yang bersumber dari dari LEPP-M3 dan pihak luar/perbankan, (4) mengembangkan usaha bersama, dan (5) bertindak sebagai fasilitator, mediator, motivator, edukator, komunikator, dan konselor. Selain menjalankan tugas pokok pendampingan tersebut, TPD berkewajiban mengikuti pelatihan yang dilaksakan oleh Dirjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Koperasi Ekonomi Masyarakat Pesisir Mikro Mitra Mina (LEP-M3)
Koperasi LEPP-M3 atau Koperasi Perikanan berperan sebagai penerima dana ekonomi produktif (DEP) sebagai modal koperasi yang pengelolaannya diserahkan kepada swamitra mina milik koperasi yang bersangkutan atau bank perkreditan rakyat (BPR) pesisir yang sahamnya juga dimiliki oleh koperasi LEPP-M3.
Lembaga Perbankan Pelaksana
Lembaga ini merupakan lembaga keuangan yang bergerak dalam bidang perbankan yang ditunjuk dan ditetapkan sebagai bank pelaksana untuk menyalurkan DEP kepada koperasi LEPP-M3/Koperasi Perikanan. Struktur kelembagaan antar stakeholder yang terlibat dalam program PEMP dapat di lihat pada Gambar 3.
Struktur Organisasi Kelembagaan PEMP
Keterangan:
Gambar 3. Model Struktur Organisasi Kelembagaan Program PEMP (Pedoman Umum Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir,
2006 )
Peran Pendamping
Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses perbaikan yang ditujukan untuk memberikan kemampuan kepada siapapun untuk mampu melakukan sesuatu yang bermanfaat. Salah satu upaya untuk mempercepat proses perbaikan dalam pemberdayaan masyarakat adalah pendampingan. Pendampingan sebagai suatu konsep berkembang dengan adanya kesadaran baru bahwa masyarakat bukanlah pihak yang tidak tahu dan tidak mau maju, sebaliknya disadari bahwa masyarakat adalah pihak yang mau, memiliki pengetahuan lokal, mempunyai potensi besar serta memiliki kearifan tradisional.
Berdasarkan konsep dasar tersebut maka pendampingan merupakan suatu aktivitas yang bermakna pembinaan, pengajaran dan pengarahan. Untuk mencapai perannya, dipandang perlu membina keakraban dengan kliennya dengan cara menciptakan kesan dapat dipercaya, jujur dan empati dengan kebutuhan dan masalah-masalah kliennya (Rogers dan Shoemaker, 1986). Dalam konteks pemberdayaan kelompok nelayan, tenaga pendamping merupakan mitra kerja, penyuluh dan petugas
Instansi Kementerian Kelautan dan Perikanan KM Pusat
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Gubernur
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten/Kota Pendampingan TPD KMP A KMP B KMP C Koperasi LEPP-M3/BPR KMP Desa/Kelurahan Bupati/Walikota KM Kab/Kota
Garis komando Garis Kemitraan
lapangan yang diharapkan mampu melakukan perubahan sosial dari yang belum berdaya menjadi berdaya, dari yang belum baik menjadi baik dan dari yang tidak percaya diri menjadi lebih percaya diri.
Menurut Leilani dan Jahi (2006), kinerja seorang pendamping dapat di lihat dari dua sudut pandang; pertama bahwa kinerja merupakan fungsi dari karakteristik individu, karakteristik tersebut merupakan variabel penting yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan dari program pemberdayaan tersebut, tersedianya SDM tenaga pendamping yang berkualitas, mempunyai pengalaman dan berkemampuan memfasilitasi perubahan kelompok, memiliki komitmen dan berdedikasi tinggi, bersedia ditempatkan di lokasi kelompok nelayan yang diberdayakan serta mempunyai motivasi yang kuat untuk membantu nelayan menjalankan aktivitas kelompoknya adalah hal yang penting yang harus dimiliki oleh pendamping.
Dimensi peran pendampingan oleh pendamping dalam kelompok masyarakat pemanfaat program (KMP) nelayan dalam Program PEMP yang diamati dalam penelitian ini adalah sebagai: (1) fasilitator, (2) mediator, (3) motivator, (4) edukator, (5) komunikator, dan (6) konselor.
Peran Pendamping sebagai Fasilitator
Dalam literatur pekerjaan sosial, peranan “fasilitator” sering disebut sebagai “pemungkin” (enabler). Keduanya bahkan sering dipertukarkan satu-sama lain. Seperti dinyatakan Parsons, Jorgensen dan Hernandez (1994), “The traditional role of enabler in sosial work implies education, facilitation, and promotion of interaction and action.” Barker (1987) memberi definisi pemungkin atau fasilitator sebagai tanggungjawab untuk membantu klien menjadi mampu menangani tekanan situasional atau transisional.
Strategi-strategi khusus untuk mencapai tujuan tersebut meliputi: pemberian harapan, pengurangan penolakan dan ambivalensi, pengakuan dan pengaturan perasaan-perasaan, pengidentifikasian dan pendorongan kekuatan-kekuatan personal dan aset-aset sosial, pemilihan masalah menjadi beberapa bagian sehingga lebih
mudah dipecahkan, serta pemiliharaan sebuah fokus pada tujuan dan cara-cara pencapaiannya (Barker, 1987). Pengertian ini didasari oleh visi pekerjaan sosial bahwa “setiap perubahan terjadi pada dasarnya dikarenakan oleh adanya usaha-usaha klien sendiri, dan peranan pekerja sosial adalah memfasilitasi atau memungkinkan klien (kelompok sasaran program) mampu melakukan perubahan yang telah ditetapkan dan disepakati bersama (Parsons, Jorgensen dan Hernandez, 1994).
Kualitas peran pendamping dalam menunjang pemberdayaan masyarakat akan sangat ditentukan oleh sejauh mana tanggungjawab, komitmen dan kemampuan pendamping dalam memfasilitasi keinginan dan kebutuhan yang di anggap penting oleh kelompok masyarakat sasaran program maupun yang dirasa perlu oleh pendamping itu sendiri.
Dimensi peran pendamping sebagai fasilitator yang diamati dalam penelitian ini terdiri dari lima komponen/indikator yaitu; (1) memfasilitasi anggota nelayan mengorganisasikan diri dalam proses pembentukan kelompok yang selanjutnya dalam program disebut sebagai kelompok pemanfaat program ekonomi masyarakat pesisir (KMP-PEMP), (2) memfasilitasi kelompok mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi, (3) memfasilitasi proses diskusi dalam pertemuan kelompok nelayan, (4) memfasilitasi kelompok nelayan memperoleh informasi teknologi penangkapan, budidaya, daerah pengkapan ikan (fishing ground), pengolahan dan pemasaran hasil/produksi kelompok (teknis dan non teknis), serta (5) memfasilitasi kelompok nelayan dalam memperoleh modal kelompok. Distribusi peran pendamping sebagai fasilitator secara keseluruhan di tiga kabupaten/kota Maluku Utara disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10 Distribusi peran pendamping sebagai fasilitator
Kategori Kota Ternate Kota Tidore Halmahera Barat Total n % n % n % n % Rendah 9 22.5 32 80 31 77.5 73 60.83 Sedang 31 77.5 8 20 9 22.5 47 39.17 Tinggi 0 0 0 0 0 0 0 0.00 Rataan skor 2.13 1.57 1.50 1.73
Tabel 10 menunjukkan bahwa secara umum responden merasakan kinerja/ pelaksanaan peranan pendamping sebagai fasilitator adalah rendah, yang ditunjukkan oleh rataan skor total yaitu 1,73 (dari rentang skor 1-4). Dengan demikian, secara umum dapat dinyatakan bahwa peran pendamping masih rendah dalam hal memfasilitasi pembentukan kelompok, membantu diskusi/pertemuan kelompok, memfasilitasi kelompok mengidentifikasi masalah, membantu kelompok nelayan memperoleh informasi teknologi penangkapan, dan membantu serta mendampingi kelompok nelayan dalam memperoleh modal usaha kelompok.
Peran pendamping sebagai fasilitor di Kota Ternate berada dalam kategori sedang, sedangkan di Kota Tidore dan Kabupaten Halmahera Barat berada dalam kategori rendah (Tabel 11). Perbedaan ini disebabkan oleh karena tiga indikator dari peran pendamping sebagai fasilitator (memfasilitasi diskusi kelompok, memfasilitasi mengindentifikasi masalah kelompok dan memfasilitasi memperoleh modal usaha) di Kota Ternate dirasakan oleh responden lebih tinggi dibandingkan dua kota/kabupaten lainnya.
Tabel 11 Distribusi indikator peran pendamping sebagai fasilitator
Indikator Peran Fasilitator Kota Ternate Kota Tidore HalBar Rata-rata skor (N=40) (N=40) (N=40) (N=120) •Memfasiliatasi pembentukkan KMP 1.9 1.5 1.4 1.9 •Memfasiliatasi diskusi kelompok 2.8 1.6 1.6 2.0 •Memfasilitasi kelompok
mengidentifikasi masalah 2.1 1.6 1.7 1.8 •Memfasilitasi memperoleh informasi
teknologi penangkapan 1.9 1.6 1.3 1.6 •Memfasilitasi memperoleh modal 2.0 1.6 1.5 1.7 Rata-rata skor 2.13 1.57 1.50 1.73 Keterangan: Rentang skor 1-1,99 = Rendah, Rentang skor 2-2,99 = Sedang, Rentang skor 3-4 = Tinggi
Rendahnya peran fasilitator di Kabupaten Halmahera Barat dan di Kota Tidore Kepulauan karena pendamping dirasakan oleh responden belum optimal membantu dan memberikan petunjuk serta arahan dalam proses pembentukan kelompok nelayan. Menurut nelayan, pendamping hadir setelah kelompok terbentuk dan program sedang berjalan. Pendamping, seharusnya, berada dilokasi sebelum dan sesudah kelompok terbentuk yaitu mulai dari indentifikasi masalah sampai pada rencana pembentukan kelompok.
Kelompok yang dibentuk merupakan hasil inisiasi nelayan, yang dipicu oleh adanya informasi bahwa terdapat proyek/program perikanan yang akan sampai di desa mereka. Informasi ini diperoleh dari utusan atau perwakilan nelayan setelah diundang oleh dinas terkait untuk mengikuti proses sosialisasi program di tingkat kabupaten/kota, sebagaimana hasil wawancara dengan anggota KMP, yang menyatakan bahwa proyek bantuan tersebut akan diberikan kepada nelayan jika mereka membentuk kelompok di tingkat desa.
Informasi tentang proyek/program perikanan ini juga melahirkan kelompok baru atau dadakan yang dibentuk secara mandiri oleh nelayan sebelum kehadiran pendamping, dan kemudian mengusulkannya ke Dinas Perikanan dan Keluatan masing-masing Kabupaten/Kota. Padahal menurut Karton (1988), kehadiran dan/atau cara LSM menjadi fasilitator adalah membantu kelompok masyarakat mengorganisasikan diri, mengidentifikasi kebutuhan lokal, dan memobilasasi sumberdaya yang ada pada mereka.
Kehadiran pendamping juga dinilai hanya sebagai agen proyek dibandingkan berperan sebagai fasilitator. Selain itu, upaya kelompok untuk mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi belum optimal, walaupun sudah difasilitasi oleh pendamping. Banyak keluhan dan permasalahan yang dihadapi oleh nelayan disampaikan kepada pendamping, antara lain meminta pendamping untuk menyampaikan kepada dinas terkait agar dapat membantu dalam penyediaan bahan bakar minyak (BBM) yang dirasakan sulit didapatkan, padahal harga yang sampai kepada nelayan relatif mahal, di samping itu diharapkan agar pendamping dapat menyampaikan tentang pengadaan alat rumpon kepada dinas terkait karena alat rumpon merupakan alat yang sangat penting untuk menangkap ikan sebagai akibat semakin jauh dan sulitnya nelayan menangkap ikan. Namun harapan tersebut belum terealisasi. Belum terealisasinya harapan nelayan, menurut nelayan, karena pendamping menyampaikan bahwa program PEMP tidak memfasilitasi alat atau bahan yang di inginkan/diminta oleh kelompok nelayan. Dengan demikian maka visi tentang semangat pemberdayaan masyarakat sebagaimana yang diungkapan oleh (Parsons, Jorgensen dan Hernandez, 1994) gagal memenuhi harapan.
Rendahnya peran pendamping sebagai fasilitator juga disebabkan karena informasi tentang teknologi penangkapan, budidaya dan/atau pengolahan ikan tidak dengan segera diperoleh dari pendamping, bahkan menurut nelayan, tidak ada hal yang baru (pengetahuan baru/inovasi baru) yang mereka peroleh dari pendamping, kecuali pengetahuan yang sudah mereka dapatkan atau peroleh secara turun-temurun. Kondisi ini tidak sejalan dengan pendapat Asngari (2001) yang menyatakan bahwa pendamping sebagai agen pembaharuan dapat berperan sebagai juru penerang (pemberi informasi), guru, penasihat, pembimbing, konsultan dan pengarah dalam kaitan dengan bisnis klien baik bisnis on farm maupun bisnis off farm serta wawasan pembaharuan dan modernisasi.
Bantuan permodalan bagi kelompok hanya didapatkan dari dana program. Setelah program berakhir, kelompok tidak lagi mendapatkan bantuan modal yang mengakibatkan ketidakberlanjutan usaha kelompok. Program yang diberikan berhenti sebelum nelayan memiliki kemampuan untuk menghasilkan modal sendiri.