• Tidak ada hasil yang ditemukan

Umumnya masyarakat pesisir-nelayan merupakan kelompok masyarakat yang relatif tertinggal secara ekonomi, sosial dan budaya dibandingkan dengan kelompok masyarakat lainnya (Dahuri, 2003). Demikian juga kebijakan pemerintah/negara dalam upaya mengentaskan nasib masyarakat-nelayan ternyata gagal sampai sekarang. Persepsi ini didasarkan pada hasil pengamatan langsung terhadap realitas kehidupan masyarakat nelayan atau dari hasil-hasil kajian akademis, seperti hasil temuan Karim (IPB) kurun waktu tahun 2002-2004 mengenai pemberdayaan nelayan di Deli Serdang, Asahan, Karawang, dan Sukabumi menunjukkan bahwa strategi

neoliberalisme ini banyak diaplikasikan sehingga mengalami kegagalan pada tingkat implementasi (Riyono, 2010). Sebagai negara maritim terbesar di dunia, menurut Purwanto (2007), mestinya keterbelakangan nelayan itu tidak harus terjadi, jika saja pilihan strategi kebijakan pembangunan tidak salah.

Berdasarkan usaha dan aktivitas ekonominya, nelayan dapat didefinisikan sebagai sekelompok orang yang tinggal di wilayah pesisir yang secara langsung memanfaatkan sumberdaya alam pesisir dan laut. Mereka terdiri dari nelayan pemilik, buruh nelayan, pembudidaya ikan dan organisme laut lainnya, pedagang ikan, pengolah ikan, pemasok faktor sarana produksi perikanan, dan lain-lain untuk menyokong kehidupan kesehariannya (Nikijuluw, 2001). Lebih lanjut dikatakan bahwa kelompok nelayan ini secara langsung mengusahakan dan memanfaatkan sumberdaya ikan melalui kegiatan penangkapan dan budidaya. Kelompok ini pula yang mendominasi pemukiman di wilayah pesisir di seluruh Indonesia, di pantai dan di pulau-pulau besar dan kecil. Sebagian besarnya adalah pengusaha skala kecil dan menengah, subsisten, serta memenuhi kebutuhan keluarga dalam jangka waktu yang pendek.

Bantuan berupa alat tangkap untuk nelayan lebih sering gagal akibat tidak melihat faktor struktural tersebut. Meskipun diberikan sampan dan peralatan tangkap tetapi dana cadangan untuk pemeliharaan (maintenance) alat tangkap tidak tersedia, akan kembali mengandalkan tokeh sebagai tempat meminjam. Sampan dan alat

tangkap bisa-bisa "tergadai", karena untuk membayar hutang. Berbagai hasil kajian penelitian, selama ini mengungkapkan bahwa kehidupan sosial ekonomi kaum nelayan sebagian besar dari mereka, khususnya yang tergolong nelayan buruh atau nelayan-nelayan kecil, hidup dalam kemiskinan. Kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar minimal kehidupan sehari-hari sangat terbatas. Bagi kaum nelayan, di antara beberapa jenis kebutuhan pokok kehidupan, kebutuhan yang paling penting adalah pangan. Adanya jaminan pemenuhan kebutuhan pangan setiap hari sangat berperan besar untuk menjaga kelangsungan hidup mereka (Kusnadi, 2003).

Terdapat beberapa definisi dan kriteria kemiskinan menurut garis kemiskinan. Tetapi secara umum para pakar ekonomi, sosial dan budaya mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu keadaan atau kondisi yang dialami oleh seseorang atau sekolompok orang yang tidak berdaya menyelenggarakan hidupnya sampai pada suatu titik yang dianggap manusiawi (Jamasy, 2004). Lebih lanjut dikatakan bahwa faktor utamanya terkait dengan pengaruh kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat yang berakibat kepada sempitnya lapangan kerja, upah kerja rendah, produtivitas kerja menurun, aset menurun, diskriminasi, tekanan harga, dan sampai pada suatu keadaan dimana setiap orang semakin mudah untuk mengorbankan harta benda, termasuk harga diri miliknya untuk dijual.

Menurut Chambers (1987), inti dari masalah kemiskinan sebenarnya terletak pada apa yang disebut deprivation trap atau lebih populer disebut dengan istilah perangkap kemiskinan. Deprivation trap dicirikan atas lima unsur yaitu: kemiskinan itu sendiri, kelemahan fisik, keterasingan atau kadar isolasi, kerentanan atau ketidakberdayaan. Kelima unsur tersebut seringkali terkait satu sama lain sehingga merupakan perangkap kemiskinan yang benar-benar berbahaya dan mematikan peluang hidup orang atau keluarga miskin.

Kemiskinan yang merupakan indikator ketertinggalan kaum nelayan, menurut Nikijuluw (2001), paling tidak disebabkan oleh tiga hal utama, yaitu: (1) kemiskinan struktural, (2) kemiskinan super-struktural, dan (3) kemiskinan kultural. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena pengaruh faktor atau variabel eksternal di luar individu. Variabel-variabel tersebut adalah struktur sosial ekonomi

masyarakat, ketersediaan insentif atau disinsentif pembangunan, ketersediaan fasilitas pembangunan, ketersediaan teknologi, dan ketersediaan sumberdaya pembangunan khususnya sumberdaya alam. Hubungan antara variabel-variabel ini dengan kemiskinan umumnya bersifat terbalik. Kemiskinan super-struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabel-variabel kebijakan makro yang tidak begitu kuat berpihak pada pembangunan nelayan. Variabel-variabel super-struktur

tersebut di antaranya adanya kebijakan fiskal, kebijakan moneter, ketersediaan hukum dan perundang-undangan, kebijakan pemerintahan yang diimplementasikan dalam

proyek dan program pembangunan. Sedangkan kemiskinan kultural adalah

kemiskinan yang disebabkan karena variabel-variabel yang melekat, inheren, dan menjadi gaya hidup tertentu. Variabel-variabel penyebab kemiskinan kultural adalah tingkat pendidikan, pengetahuan, adat, budaya, kepercayaan, kesetiaan pada pandangan-pandangan tertentu, serta ketaatan pada panutan.

Menurut Kusnadi (2003), ada dua sebab yang melatarbelakangi ketidak-berdayaan nelayan, yaitu faktor internal dan eksternal. Sebab yang pertama adalah persoalan internal kehidupan nelayan itu sendiri, yakni: (1) keterbatasan kualitas SDM nelayan; (2) keterbatasan kemampuan modal usaha, dan teknologi penangkapan; (3) hubungan kerja dalam organisasi penangkapan tidak menguntungkan nelayan buruh; (4) kesulitan melakukan diversifikasi usaha; (5) ketergantungan yang tinggi terhadap okupasi melaut; (6) pendapatan nelayan bersifat harian dan jumlahnya sulit ditentukan; (7) ketergantungan yang besar terhadap pedagang; (8) kebiasaan nelayan yang tidak mengikutsertakan perempuan dan anak-anak; serta (9) gaya hidup yang dipandang boros sehingga kurang berorientasi ke masa depan. Sedangkan sebab yang bersifat eksternal yakni berkaitan dengan kondisi di luar diri dan aktivitas nelayan itu sendiri, yakni: (1) kebijakan pembangunan perikanan yang lebih berorientasi pada produtivitas pertumbuhan ekonomi nasional dan parsial; (2) sistem pemasaran hasil perikanan lebih menguntungkan pedagang perantara; (3) kerusakan ekosistem wilayah pesisir dan laut; (4) penggunaan alat tangkap yang tidak efektif; (5) penegakan hukum yang lemah; (6) terbatasnya teknologi pengolahan hasil tangkapan pasca-panen; (7) terbatasnya peluang-peluang kerja di

sektor non perikanan yang tersedia di desa-desa nelayan; (8) kondisi alam dan fluktuasi musim yang tidak memungkinkan nelayan melaut sepanjang tahun; dan (9) rentang geografis desa nelayan yang tidak memungkinkan, menghambat atau mengganggu mobilitas barang, jasa dan manusia, termasuk tidak tersedianya akses pasar yang jauh dari wilayah tangkap mereka.

Rekonstruksi kemiskinan nelayan dan cara mengatasinya adalah penting mengingat program kompensasi atas kenaikan BBM sebelumnya sudah ada secara khusus yakni Program PEMP yang dimulai sejak tahun 2001, namun faktanya, kemiskinan masih belum beranjak, malah sebaliknya semakin bertambah (Marbun, 2008). Dalam konteks ini, Menurut Ismawan (1996), penetapan kemiskinan seseorang, bukannya mereka tidak mempunyai apa-apa sama sekali (the have not), melainkan mereka mempunyai sesuatu walaupun sedikit (the have little). Bila potensi mereka yang serba sedikit digalang dan dihimpun dalam satu wadah kebersamaan yang mereka percaya dan hormati, maka mereka akan mampu mengatasi masalah-masalah dengan kekuatan sendiri. Sejalan dengan itu, Haeruman (P2KP: 1999) mengungkapkan bahwa faktor pemberdayaan kelembagaan menjadi penting untuk tidak diabaikan. Pemberdayaan masyarakat pesisir-nelayan dan institusi lokal sebagai strategi dalam pelaksanaan pemberdayaan mengandung dua unsur, yakni kemandirian dan partisipasi.

Kaitannya dengan menumbuhkan partisipasi, diperlukan agen penggerak atau agen pembangunan, yakni: (1) sebagai fasilitator dan motivator yang mampu mengarahkan dan menggerakkkan masyarakat yang diberdayakan agar mau dan mampu melakukan perubahan, (2) sebagai tempat berkonsultasi pemberi pemecahan masalah, (3) sebagai pembantu penyebaran inovasi serta member petunjuk mengenali dan merumuskan kebutuhan, mendiagnosa permasalahan dan menentukan tujuan pendapatan sumber-sumber yang relevan, memilih dan mengevaluasi, dan (4) sebagai penghubung dengan sumber-sumber yang diperlukan. Dalam konteks ini, tentu bukan kapital atau uang sebagai sumber utama untuk mobilisasi nelayan, tetapi titikberat dan yang jauh lebih penting bagi nelayan dan komunitasnya adalah kemandirian, yang tentu dengan berbagai konotasi dan stigma yang melekat pada mereka (komunitas

pesisir-nelayan) membutuhkan pendampingan yang baik untuk membangun harapan dan hari esok yang lebih baik.

Konsep Pembangunan

Pada dasawarsa 1950-an istilah “pembangunan” dianggap sebagai suatu “obat” terhadap berbagai macam masalah yang muncul di masyarakat, terutama pada negara-negara berkembang. Suatu era dimana teori “pembangunan” dikemukakan. “Teori pembangunan” dilatari oleh suatu konsep yang disebut dengan ”pertumbuhan.” Pemikiran mengenai teori pertumbuhan berasal dari suatu pandangan yang melihat ”pembangunan” sebagai ”pertumbuhan” ekonomi yang diasumsikan oleh kaum ekonom ortodoks sebagai peningkatan standar kehidupan. Dengan Gross National Product (GNP) atau Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sebagai indikator keberhasilannya (Adi, 2003). Kleinjans (Dilla, 2007) menyatakan bahwa pembangunan pada ahirnya bukan soal teknologi atau GNP, melainkan pencapaian pengetahuan dan keterampilan baru, tumbuhnya suatu kesadaran baru, perluasan wawasan manusia, meningkatnya semangat kemanusiaan, dan suntikan kepercayaan diri.

Rogers dan Shoemaker (1986) mendefinisikan pembangunan sebagai suatu jenis perubahan sosial, yakni ide-ide baru diperkenalkan pada suatu sistem sosial untuk menghasilkan suatu pendapatan per kapita dan tingkat pendapatan yang lebih tinggi melalui metode produksi yang lebih modern dan organisasi sosial yang lebih baik. Pembangunan adalah moderninasi pada tingkat sistem sosial. Lebih jauh, Rogers (1986) menyatakan bahwa pembangunan sebagai suatu proses perubahan sosial dengan partisipatori yang lebih luas dalam suatu masyarakat untuk kemajuan sosial dan material (termasuk bertambah besarnya keadilan, kebebasan, dan kualitas lainnya yang dihargai) bagi mayoritas rakyat melalui kontrol yang lebih besar dari lingkungan mereka. Inayatullah (1976) mendifinisikan pembangunan sebagai perubahan menuju pola-pola masyarakat yang lebih baik dengan nilai-nilai kemanusiaan yang memungkinkan suatu masyarakat mempunyai kontrol yang lebih besar terhadap lingkungan dan tujuan politiknya, juga memungkinkan warganya memperoleh kontrol yang lebih terhadap diri mereka sendiri. Secara lebih rinci, Sandersen (Suharyanto dan

Dilla, 2007) memandang pembangunan sebagai: (1) proses, (2) program (3) aksi/gerakan dan (4) metode.

Hadad (1980) mengungkapkan bahwa dari sudut pandang historis, istilah ”pembangunan” tidak berbeda dengan istilah ”perubahan.” Masing-masing memiliki sisi positif dan negatif, tergantung kepada “apa” dan “siapa” yang mau diubah, dan “bagaimana” proses perubahan itu dilakukan. Sebagai hasilnya, ada beberapa pendekatan yang dikenal sebagai pendekatan ”utama” dalam teori pembangunan. Beberapa pendekatan itu antara lain: pendekatan pertumbuhan, pendekatan pemerataan, paradigma ketergantungan, pendekatan kebutuhan pokok, dan pendekatan kemandirian.

Pendekatan pertumbuhan (growth aproach) melihat pertumbuhan material sebagai syarat mutlak untuk suatu pembangunan yang berhasil. Penekanannya pada strategi industrialisasi dan investasi (pemilik modal besar) sebagai indikator utama dengan ukuran pendekatan Incremental Capital Output Ratio (ICOR) atau laju pertumbuhan ekonomi. Rasionalitas pendekatan ini menurut Rostow, jika pertumbuhan ekonomi tinggi akan terjadi yang disebutnya sebagai ”trickle down effect” tetesan rezeki ke bawah sampai pada akar rumput (grassroots).

Pendekatan pemerataan (redistribution aproach) mengukur keberhasilan pembangunan berdasarkan tiga indikator utama yaitu: indikator sosial budaya, indikator politik, dan indikator ekonomi. Kesimpulan dari ketiga indikator ini ialah bahwa pertumbuhan ekonomi erat kaitannya dengan partisipasi politik dan distribusi pendapatan dalam kaitannya dengan strategi pembangunan. Kemiskinan terkait dengan masalah-masalah pendistribusian, sedangkan kesenjangan sosial mempunyai akar yang lebih mendalam pada masyarakatnya. Kesenjangan sosial sangat terkait dengan struktur dan pola-pola masyarakat dalam mengolahh kekayaan, mengolahh pengetahuan, dan kemampuan dari institusi tertentu dalam masyarakat tersebut dalam proses pengambilan keputusan.

Paradigma ketergantungan (dependence paradigm) melihat bahwa munculnya sifat ketergantungan masyarakat merupakan penyebab utama terjadinya ”keterbelakangan” masyarakat. Untuk membebaskan masyarakat dari

keterbelakangan tersebut diperlukan adanya upaya ”pembebasan” (liberation) dari belenggu yang merantai mereka. Paradigma ini juga menggambarkan bahwa struktur kerjasama yang bersifat eksploitatif dapat menyebabkan terjadinya stagnasi pembangunan.

Pendekatan kebutuhan pokok (the basic needs aproach) melihat bahwa

kebutuhan pokok masyarakat tidak akan dipenuhi jika mereka masih berada di bawah garis kemiskinan serta tidak mempunyai pekerjaan untuk mendapatkan pendapatan yang lebih baik. Untuk itu harus ada lapangan pekerjaan bagi masyarakat, meningkat pertumbahan ekonomi, dan memenuhi kebutuhan pokok masyarakatnya. Pendekatan ini harus diterapkan secara komprehensif dan melibatkan masyarakat di pedesaan dan sektor informal dengan mengembangkan potensi dan kemampuan masyarakat itu sendiri untuk mengorganisir diri, serta membangun sesuai dengan tujuan yang dikehendaki. Menurut Hadad, bahwa pada titik tertentu, juga menjembatani pendekatan kebutuhan pokok dengan pendekatan kemandirian (self-reliance aproach) kelompok masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan. Pendekatan kemandirian (self-reliance aproach) adalah suatu pendekatan yang digunakan untuk mengukur sejauh mana masyarakat melepaskan diri dari ketergantungannya terhadap institusi/lembaga di luar dirinya. Konsep kemandirian menyajikan dua perspektif, yang pertama adalah penekanan yang lebih diutamakan pada hubungan timbal balik dan saling menguntungkan dalam perdagangan dan kerjasama pembangunan, sedangkan yang kedua adalah lebih mengandalkan pada kemampuan sumberdaya sendiri.

Cara terbaik untuk mengatasi masalah pembangunan adalah dengan membiarkan semangat wiraswasta tumbuh dalam kehidupan masyarakat-berani mengambil resiko, berani bersaing, menumbuhkan semangat positif untuk bersaing secara positif dan menemukan hal-hal baru (inovasi) melalui partisipasi aktif masyarakat. Strategi pembangunan meletakan partisipasi masyarakat sebagai fokus isu utama pembangunan, sedangkan strategi pemberdayaan meletakkan partisipasi aktif masyarakat ke dalam efektivitas, efisiensi, dan sikap kemandirian (Hikmat, 2001).

Pembaharuan dalam strategi pembangunan daerah yang memadukan pertumbuhan dan pemerataan pada dasarnya mempunyai tiga arah: pertama, pemihakan dan pemberdayaan masyarakat. Kedua, pemberian otonomi dan pendelegasian wewenang dalam pengelolaan pembangunan di daerah. Ketiga, modernisasi melalui penajaman dan pemantapan arah dari perubahan struktur sosial ekonomi dan budaya masyarakat. Lebih lanjut dikatakan bahwa perhatian khusus diwujudkan dalam langkah-langkah strategis yang diarahkan secara langsung pada perluasan akses kepada sumberdaya pembangunan. Di samping itu, disertai penciptaan peluang yang seluas-luasnya bagi masyarakat di lapisan bawah untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan. Dengan perluasan seperti itu peranserta masyarakat menjadi penentu keberhasilan pembangunan daerah. Masyarakat akan makin terbuka, makin berpendidikan, dan makin tinggi kesadarannya (Soemadiningrat, 1997).

Supaya pembangunan masyarakat berlangsung dengan tepat maka pemerintah hanya mempersiapkan dan memfasilitasi lingkungan yang sehat bagi peningkatan, perluasan, serta pendalaman kegiatan-kegiatan yang telah dimiliki oleh masyarakat sendiri. Hal ini merupakan makna pemberdayaan yaitu mengembangkan hal-hal yang telah ada pada masyarakat menjadi lebih besar skalanya, lebih ekonomis, dan lebih berdayaguna dan berhasilguna (Nikijuluw, 2001).

Salah satu perbedaan penting antara pembangunan yang memihak rakyat dan pembangunan yang mementingkan produksi ialah bahwa yang kedua itu secara terus menerus menundukkan kebutuhan rakyat dibawah kebutuhan sistem agar sistem produksi tunduk kepada kebutuhan rakyat (Korten, 1984). Perbedaan paradigma pembangunan yang mementingkan produksi yang dewasa ini unggul dan pembangunan yang lebih berpihak kepada rakyat sebagai tandingannya, mengandung arti penting bagi penciptaan masa depan yang lebih manusiawi. Khususnya pemahaman akan perbedaan itu penting artinya bagi pemilihan teknik sosial termasuk cara pemberdayaan masyarakat dilakukan secara tepat untuk mencapai tujuan-tujuan yang mementingkan rakyat. Penyadaran diri (conscienzacione), satu di antara argumen-argumen yang paling telak dan tajam diajukan oleh Paulo Freire (1984) adalah inti dari usaha mengangkat rakyat dari kelemahannya selama ini. Kesempitan

pandangan dan cakrawala rakyat yang tersekap dalam kemiskinan dan sering menghayati kehidupan mereka dalam keterpencilan (isolasi) dan kekumuhan, harus diubah ke arah suatu keinsyafan, perasaan, pemikiran, gagasan, bahwa hal-ihwal dapat menjadi lain, dan tersedia alternatif-alternatif (sumberdaya yang dimiliki oleh masyarakat).

Konsep Pemberdayaan Masyarakat

Konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan selalu dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja, dan keadilan. Prinsipnya diletakkan pada kekuatan individu dan sosial (Hikmat, 2001). Konsep atau istilah pemberdayaan dalam banyak kegiatan dan program aksi diarahkan kepada muara yang relatif sama, yakni membuat sasaran atau masyarakat memiliki kemampuan “daya” agar masyarakat sasaran terangkat dari keterpurukannya. Dalam konsep aslinya, pemberdayaan masyarakat lebih difokuskan kepada nuansa agar masyarakat sasaran dapat diposisikan terlibat aktif dalam proses pembangunan.

Pemberdayaan ekonomi kerakyatan (dalam penerapan untuk nelayan kecil) berarti menuju kepada terbentuknya kemandirian nelayan itu, yaitu berperilaku efisien, modern dan berdaya saing tinggi. Perilaku efisien artinya berpikir dan bertindak serta menggunakan sarana produksi secara tepatguna atau berdayaguna. Berperilaku modern artinya mengikuti dan terbuka terhadap perkembangan dan inovasi serta perubahan yang ada (Sasono, 1999), sedangkan berdaya saing tinggi yaitu mampu berpikir dan bertindak serta menggunakan sarana produksi atas dasar memperhatikan mutu hasil kerjanya dan kepuasan konsumen yang dilayaninya (Sumardjo, 1999).

Gagasan pemberdayaan ekonomi kerakyatan menurut Mahmudi (1999) adalah upaya mendorong dan melindungi tumbuh dan berkembangnya kekuatan ekonomi lokal dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) oleh masyarakat yang berbasiskan pada kekuatan rakyat. Muatan gagasan ini tidak saja dituntut untuk dapat mendayagunakan dan menghasilgunakan potensi sumberdaya lokal untuk kepentingan kesejahteraan rakyat, tetapi juga terlindunginya hak-hak rakyat dalam pengelolaan sumberdaya lokal sesuai dengan kepentingan ekonomi dan sosialnya.

Kartasasmita (1997) menyatakan bahwa upaya memberdayakan masyarakat dapat di lihat dari tiga sisi: Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Titik tolaknya adalah bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena, kalau demikian akan sudah punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk pembangunan daya itu, dengan mendorong, memotivasikan dan membangkitkan kesadaran akan

potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. Kedua,

memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Penguatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya.

Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Melindungi harus di lihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, dan eksploitasi yang kuat atas yang lemah.

Kegiatan pemberdayaan masyarakat harus mampu mengembangkan teknik-teknik pendidikan tertentu yang imajinatif untuk menggugah kesadaran masyarakat. Menurut Sikhondze (Karsidi, 2001), orientasi pemberdayaan haruslah membantu sasaran (nelayan) agar mampu mengembangkan diri atas dasar inovasi-inovasi yang ada, ditetapkan secara partisipatoris, yang pendekatan metodenya berorientasi pada kebutuhan masyarakat sasaran dan hal-hal yang bersifat praktis, baik dalam bentuk layanan individu maupun kelompok, sedangkan peran petugas pemberdayaan masyarakat (pendamping) sebagai outsider people adalah sebagai konsultan, peran pembimbingan dan peran penyampai informasi. Dengan demikian peranserta kelompok sasaran (masyarakat itu sendiri) menjadi sangat dominan. Belajar dari pengalaman menunjukkan bahwa ketika peran penguasa sangat dominan dan

peranserta masyarakat dipandang sebagai kewajiban, maka masyarakat justru terpinggirkan dari proses pembangunan.

Sebagai suatu proses belajar, konsep pemberdayaan berkonotasi aktif, positif dan dinamis. Umumnya dilakukan dari dan oleh orang-orang di luar sistem sosial masyarakat (pendidikan non-formal), sebagai pengantar perubahan (outsider change agents), bekerja sama dengan orang-orang dari dalam sistem sosial masyarakat sebagai pengantar perubahan (insider change agents) yang bertujuan agar di dalam sistem sosial masyarakat itu cepat atau lambat akan terjadi perubahan yang lebih positif dalam daya-daya yang tergolong masih rendah dan perlu ada peningkatan. Antara outsider maupun insider, change agents umumnya adalah orang-orang yang memiliki kepedulian dan obsesi yang tinggi serta terpanggil untuk secara ikhlas membantu membebaskan masyarakat dari keterpurukannya.

Menurut Slamet (2003), pemberdayaan adalah suatu proses belajar yang ditawarkan kepada masyarakat sasaran, agar dengan berbagai potensi (daya) yang mereka miliki dapat belajar menolong dirinya sendiri sehingga pada gilirannya akan tercapai kondisi baru yang lebih baik sesuai harapan yang dicita-citakan. Memberdayakan berarti memberi daya kepada yang tidak berdaya dan atau mengembangkan daya yang sudah dimiliki menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat bagi masyarakat yang bersangkutan. Sebagai suatu proses ke arah perubahan, maka pemberdayaan masyarakat mengandung makna: masyarakat membangun dirinya, mereka menjadi tahu, mengerti, paham, bermotivasi, berkesempatan, mampu melihat dan memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerja sama, tahu adanya berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani menghadapi resiko, mampu menyerap informasi dan mampu bertindak sesuai situasi dan daya/potensi yang mereka miliki dengan tetap teguh kepada nilai-nilai luhur yang bermartabat. Pemberdayaan masyarakat akan menghasilkan masyarakat yang dimanis, kritis, dan progresif secara berkelanjutan sesuai dengan motivasi intristik dan sekaligus ekstrinstik.

Sebagai suatu proses belajar, antara agen pembaharuan/pendamping/penyuluh dan masyarakat yang menjadi sasaran pemberdayaan atau yang diberdayakan harus terjalin kerjasama dalam proses tersebut. Suasana yang demokratis merupakan sarana

yang kondusif terjadinya interaksi dan komunikasi antar keduanya. Pemberdayaan juga merupakan kegiatan mendidik, karena itu prosesnya haruslah mendidik dan bukan “dipaksa-terpaksa-terbiasa.” Bagaimana pun sulitnya secara ideal harus selalu dengan proses mendidik. Kesabaran menunggu perkembangan individu/kelompok yang diberdayakan sampai benar-benar berdaya dan mandiri adalah kunci pemberdayaan (Asngari, 2008).

Pemberdayaan masyarakat dimaksudkan untuk memperkuat kemampuan (capacity strenghtening) masyarakat, agar mereka dapat berpartisipasi secara aktif dalam keseluruhan proses pembangunan, terutama pembangunan yang ditawarkan oleh penguasa/pemerintah dan atau pihak luar (pendampingan, LSM, dll). Dengan demikian, memberdayakan masyarakat berarti menciptakan peluang bagi masyarakat untuk menentukan kebutuhannya, merencanakan dan melaksanakan kegiatannya, yang akhirnya menciptakan kemandirian permanen dalam kehidupan masyarakat itu sendiri (Syarief, 2001).

Menurut Weissglass dan Bustang (2008), pemberdayaan (empowement) adalah suatu proses yang mendukung orang-orang untuk membangun suatu pengertian dan tindakan yang baru mengenai kebebasan yang mereka pilih (a process of supporting people to construct meaning and exercise their freedom to choise), sedangkan

Dokumen terkait