• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggunaan Habitat Koridor Halimun Salak oleh Elang ular bido (Spilornis cheela Latham, 1790) di Taman Nasional Gunung Halimun Salak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penggunaan Habitat Koridor Halimun Salak oleh Elang ular bido (Spilornis cheela Latham, 1790) di Taman Nasional Gunung Halimun Salak"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

PENGGUNAAN HABITAT KORIDOR HALIMUN SALAK

OLEH ELANG ULAR BIDO (

Spilornis cheela

Latham, 1790)

DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK

ALYA FARYANTI PURBAHAPSARI

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Penggunaan Habitat Koridor Halimun Salak oleh Elang Ular Bido (Spilornis cheela Latham, 1790) di Taman Nasional Gunung Halimun Salak” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

ALYA FARYANTI PURBAHAPSARI. Penggunaan Habitat Koridor Halimun Salak oleh Elang Ular Bido (Spilornis cheela Latham, 1790) di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Dibimbing oleh JARWADI BUDI HERNOWO dan AGUS PRIYONO KARTONO.

Elang ular bido termasuk salah satu jenis burung pemangsa yang telah dilindungi oleh peraturan pemerintah Indonesia. Populasinya di alam terancam akibat hilangnya habitat yang disebabkan degradasi hutan. Langkah awal yang dapat dilakukan untuk melindungi jenis ini adalah mengkaji penggunaan habitat berdasarkan fungsinya, yakni sebagai cover maupun tempat mencari makan. Selain fungsi habitat, dikaji pula fungsi pendukung berupa tipe penutupan lahan, kemiringan lahan, ketinggian tempat dari permukaan laut dan jarak tempat aktivitas elang ular bido dari pusat gangguan di Koridor Halimun Salak, Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Penelitian dilakukan pada bulan April-Juni 2013 dengan metode point count. Berdasarkan pengamatan, diketahui bahwa fungsi habitat di penutupan hutan yaitu sebagai tempat beristirahat dan bersarang. Elang ini berburu di hutan serta area terbuka berupa ladang, sawah dan semak belukar yang dekat dengan hutan. Nilai-nilai fungsi pendukung yang dipilih elang ular bido berada pada area terbuka yang dekat dengan hutan.

Kata kunci: elang ular bido, koridor Halimun Salak, penggunaan habitat ABSTRACT

ALYA FARYANTI PURBAHAPSARI. Habitat Use of Halimun Salak Corridor by Crested serpent eagle (Spilornis cheela Latham, 1790) in Mount Halimun Salak National Park. Supervised by JARWADI BUDI HERNOWO and AGUS PRIYONO KARTONO.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

PENGGUNAAN HABITAT KORIDOR HALIMUN SALAK

OLEH ELANG ULAR BIDO (

Spilornis cheela

Latham, 1790)

DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK

ALYA FARYANTI PURBAHAPSARI

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)
(8)

Judul Skripsi : Penggunaan Habitat Koridor Halimun Salak oleh Elang ular bido (Spilornis cheela Latham, 1790) di Taman Nasional Gunung Halimun Salak

Nama : Alya Faryanti Purbahapsari NIM : E34090030

Disetujui oleh

Dr Ir Jarwadi Budi Hernowo, MScF Pembimbing I

Dr Ir Agus Priyono Kartono, MSi Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Sambas Basuni, MSi Ketua Departemen

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2013 ini ialah penggunaan habitat, dengan judul Penggunaan Habitat Koridor Halimun Salak oleh Elang ular bido (Spilornis cheela Latham, 1790) di Taman Nasional Gunung Halimun Salak.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Jarwadi Budi Hernowo, MScF dan Dr Ir Agus Priyono Kartono, MSi selaku pembimbing. Penghargaan penulis sampaikan kepada Dr Ir Agus Priambudi, MSc beserta seluruh staff Taman Nasional Gunung Halimun Salak, serta khususnya kepada Pak Ade, Pak Wawan, Ibu Cicah, Pak Kewen serta Pak Mus yang telah membantu selama pengumpulan data. Selain itu, terima kasih kepada teman-teman dari Fast Track 46, Anggrek Hitam (KSHE 46), serta UKM Uni Konservasi Fauna atas semangat, saran serta bantuannya selama penelitian ini berlangsung. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN viii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan 1

Manfaat 1

METODE 2

Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian 2

Bahan Penelitian 2

Peralatan Penelitian 2

Prosedur Pengambilan Data 3

Analisis Data 6

HASIL DAN PEMBAHASAN 8

Kondisi Umum Lokasi Penelitian 8

Penggunaan Habitat Berdasarkan Fungsi Cover 8

Penggunaan Habitat Berdasarkan Fungsi Pakan 11

Penggunaan Habitat Berdasarkan Tipe penutupan Lahan 15 Penggunaan Habitat Berdasarkan Ketinggian dari Permukaan Laut 18

dan Kemiringan Lahan 18

Penggunaan Habitat Berdasarkan Jarak dari Pusat Gangguan 23

SIMPULAN DAN SARAN 29

Simpulan 29

Saran 29

DAFTAR PUSTAKA 29

RIWAYAT HIDUP 39

(11)

DAFTAR TABEL

1 Lokasi pengamatan elang ular bido di KHS 3

2 Kriteria satwa pakan elang ular bido hasil modifikasi dari Chou et al.

(2004) dan Gokula (2012a) 6

3 Peubah yang diukur pada pemilihan habitat berdasarkan Indeks Neu 7 4 Penggunaan vegetasi untuk beristirahat oleh elang ular bido di KHS 9 5 Daftar jenis pakan potensial elang ular bido di KHS 12 6 Nilai chi square pemilihan habitat KHS oleh elang ular bido

berdasarkan tipe penutupan lahan 15

7 Indeks Neu untuk pemilihan habitat KHS oleh elang ular bido

berdasarkan tipe penutupan lahan 15

8 Nilai chi square pemilihan habitat KHS oleh elang ular bido berdasarkan ketinggian lahan dari permukaan laut 18 9 Indeks Neu untuk pemilhan habitat berdasarkan ketinggian lahan dari

permukaan laut 20

berdasarkan jarak dari jalan 24

13 Indeks Neu untuk pemilihan habitat KHS oleh elang ular bido

berdasarkan jarak dari jalan 24

14 Nilai chi square pemilihan elang ular bido berdasarkan jarak dari

pemukiman di KHS 26

15 Indeks Neu untuk preferensi elang ular bido berdasarkan jarak dari

pemukiman di KHS 27

DAFTAR GAMBAR

1 Peta lokasi penelitian di wilayah Koridor Halimun Salak. 2

2 Pembagian ruang tajuk pohon (Putri 2009). 3

3 Ilustrasi jalur analisis vegetasi. 4

4 Proses pembuatan peta ketinggian dan kemiringan lahan. 5 5 Proses pembuatan peta jarak dari jalan dan peta jarak dari pemukiman. 6 6 Penggunaan pohon kayu afrika (Maesopsis eminii) oleh elang ular bido

untuk beristirahat. 10

7 Aktivitas soaring elang ular bido pada area ladang di stasiun

pengamatan Guest House Cipeteuy, KHS. 13

8 Aktivitas berburu (a) elang brontok dan (b) elang hitam di KHS. 14 9 Penggunaan habitat KHS oleh elang ular bido berdasarkan tipe

penutupan lahan. 16

10 Peta sebaran perjumpaan elang ular bido berdasarkan tipe penutupan

(12)

11 Peta perjumpaan elang ular bido berdasarkan ketinggian lahan di KHS. 19 12 Penggunaan habitat KHS oleh elang ular bido berdasarkan ketinggian

lahan. 20

13 Penggunaan habitat KHS oleh elang ular bido berdasarkan kemiringan

lahan. 21

14 Peta sebaran perjumpaan elang ular bido berdasarkan kemiringan lahan

di KHS. 22

15 Peta sebaran perjumpan elang ular bido berdasarkan jarak dari jalan di

KHS. 25

16 Penggunaan habitat KHS oleh elang ular bido berdasarkan jarak dari

jalan. 26

17 Penggunaan habitat KHS oleh elang ular bido berdasarkan jarak dari

pemukiman. 27

18 Peta sebaran perjumpaan elang ular bido berdasarkan jarak dari

pemukiman di KHS. 28

DAFTAR LAMPIRAN

1 Daftar jenis satwa di Koridor Halimun Salak 32

2 Daftar jenis tumbuhan berdasarkan strata vertikal di Koridor Halimun

Salak 35

(13)
(14)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Elang ular bido (Spilornis cheela Latham, 1790) merupakan salah satu jenis burung pemangsa di Indonesia (Supriatna 2012). Jenis ini menempati posisi sebagai pemangsa tingkat puncak (top of predator) dalam ekosistem. Oleh karena itu gangguan terhadap populasi elang ular bido akan mempengaruhi kestabilan ekosistem, baik secara langsung maupun tidak langsung. Jenis ini juga telah tercantum dalam daftar jenis satwa dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Kelestarian populasi elang ular bido di alam perlu diperhatikan karena terancam akibat penurunan luas habitat yang disebabkan oleh kerusakan hutan. Hutan di Pulau Jawa khususnya, telah mengalami kerusakan akibat penebangan liar serta pembukaan lahan untuk pertanian dan pemukiman (Supriatna 2012). Mengingat bahwa elang ular bido membutuhkan wilayah jelajah yang luas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, yaitu 16.65 km2 untuk individu jantan dan 6.93 km2 untuk individu betina (Chou et al. 2012) maka keutuhan habitatnya perlu dipertahankan. Habitat merupakan suatu kesatuan komponen fisik maupun biotik yang berfungsi sebagai tempat hidup dan berkembangnya satwa (Alikodra 2002; Stamps 2008). Hasil penelitian Prawiradilaga et al. (2001) menunjukkan bahwa Koridor Halimun Salak (KHS) merupakan salah satu habitat elang ular bido. Wilayah KHS berada di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak dengan kondisi memanjang dari arah Barat ke Timur dan menghubungkan kawasan Gunung Halimun dan kawasan Gunung Salak. Perbandingan klasifikasi citra satelit tahun 1990 dan 2001 menunjukkan adanya penurunan luas hutan di KHS sebesar 347.523 ha, serta penyempitan lebar hutan dari 1.4 km pada tahun 1990 menjadi 0.7 km pada tahun 2001 (Cahyadi 2003). Berkurangnya luas hutan sebagai habitat elang ular bido dapat mempengaruhi fungsinya dalam memenuhi kebutuhan hidup, khususnya dalam menyediakan pakan (Arroyo et al. 2004). Informasi mengenai penggunaan habitat merupakan data dasar dalam mempelajari bagaimana elang ular bido melangsungkan hidupnya di suatu habitat pada waktu tertentu. Informasi ini perlu dikumpulkan secara berkala sebagai dasar penentuan kebijakan pengelolaan kawasan. Oleh karena itu kajian mengenai penggunaan habitat KHS oleh elang ular bido penting untuk dilakukan.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi penggunaan habitat Koridor Halimun Salak oleh elang ular bido di Taman Nasional Gunung Halimun Salak.

Manfaat

(15)

2

pertimbangan dalam menentukan lokasi prioritas perlindungan habitat khususnya di wilayah Koridor Halimun Salak.

METODE

Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Koridor Halimun Salak (KHS). KHS berada dalam wilayah pengelolaan Resort Gunung Kendeng dan Resort Gunung Endut, Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Penelitian dilakukan pada bulan April hingga Juni tahun 2013. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Peta lokasi penelitian di wilayah Koridor Halimun Salak.

Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta ASTER GDEM v2 tanggal 17 Oktober 2011, peta kawasan Koridor Halimun Salak skala 1:25000, peta penutupan lahan TNGHS skala 1:25000 serta peta digital berupa peta sebaran kampung dan peta jaringan jalan.

Peralatan Penelitian

(16)

3 Prosedur Pengambilan Data

Penggunaan habitat oleh elang ular bido di KHS diketahui dengan mengumpulkan data perjumpaan dan kondisi habitat. Prosedur yang dilakukan yaitu:

1. Perjumpaan elang ular bido

Data perjumpaan dikumpulkan dengan metode point count. Berdasarkan hasil survey lapang, ditetapkan lima titik pengamatan di KHS masing-masing dengan radius 1500 m (Tabel 1). Lokasi titik pengamatan berada di puncak bukit atau dasar lembah agar mudah mendeteksi keberadaan elang ular bido. Pengamatan dilakukan pada pukul 08.00 - 16.00 WIB selama tujuh hari pada setiap titik pengamatan.

Tabel 1 Lokasi pengamatan elang ular bido di KHS

Lokasi Koordinat Keterangan

Y X

Guest House Cipeteuy 9252199.002 676632.855 puncak bukit Garehong-Cimapag 9254350.203 677083.167 dasar lembah

Growek 9253250.793 680736.585 puncak bukit

Cisarua 9252484.379 678223.568 puncak bukit

Sukagalih 9252668.318 674118.330 puncak bukit

Informasi yang dicatat mencakup tipe tutupan lahan, waktu perjumpaan, jumlah individu, posisi geografis pengamat, sudut proyeksi elang ular bido terhadap arah Utara, jarak datar elang terhadap pengamat serta ciri fisik yang terlihat seperti adanya bulu yang meluruh (molting), warna bulu dan adanya luka atau cacat. Pencatatan aktivitas dilakukan dengan metode ad-libitum sampling. Informasi yang dicatat yaitu jenis aktivitas, waktu setiap aktivitas dimulai dan diakhiri, serta jenis sumber daya yang digunakan. Apabila ditemukan aktivitas bertenger, dicatat jenis pohon serta posisi ruang tajuk yang digunakan. Pembagian ruang tajuk mengikuti kriteria Putri (2009), yang disajikan pada Gambar 2. Tajuk pohon dibagi secara vertikal menjadi ruang I, II, dan III, sedangkan secara horizontal dibagi menjadi ruang A, B, dan C.

(17)

4

2. Kondisi habitat

Data kondisi habitat yang dikumpulkan meliputi aspek vegetasi pelindung (cover), aspek pakan serta aspek fisik kawasan. Pengukuran aspek vegetasi dilakukan dengan metode jalur berpetak untuk mengetahui komposisi dan struktur vegetasi. Sebanyak empat jalur ditempatkan di wilayah KHS dengan ukuran masing-masing 100 m x 20 m. Secara teknis, jalur dibagi menjadi sub-sub petak pengamatan dengan ukuran yang berbeda. Petak 20 m x 20 m untuk pengamatan vegetasi tingkat pertumbuhan pohon, 10 m x 10 m untuk tingkat tiang, 5 m x 5 m untuk tingkat pancang dan 2 m x 2 m untuk tingkat semai serta tumbuhan bawah (Gambar 3). Data yang dikumpulkan untuk tingkat pohon dan tiang adalah jenis, diameter setinggi dada, tinggi bebas cabang dan tinggi total. Data untuk tingkat pancang, semai, dan tumbuhan bawah yang dicatat adalah jenis tumbuhan dan jumlah individu setiap jenis (Soerianegara dan Indrawan 1980).

Gambar 3 Ilustrasi jalur analisis vegetasi.

Aspek pakan diketahui dari hasil observasi terhadap jenis-jenis satwa burung, mamalia, reptil serta amfibi. Pengumpulan data dilakukan pada tiga kategori penutupan lahan, yaitu Hutan-Semak (Ht-Sm), Sawah-Ladang (Sw-Ld) dan Kebun teh (Kt). Pengamat berjalan sambil mengamati keberadaan satwa pada jalur sepanjang 1000 m di setiap kategori lahan. Pengamatan dilakukan selama tiga hari pada setiap jalur, yaitu pada pukul 06.00-07.30 WIB dan 16.30-18.00 WIB. Pengamatan reptil dan amfibi juga dikumpulkan dengan metode VES (Visual Encountered Survey) pada pukul 20.00-21.00 WIB. Satwa yang dijumpai langsung diidentifikasi nama jenisnya. Jika satwa tidak dapat diidentifikasi langsung, maka satwa ditangkap untuk kemudian diukur panjang tubuh, panjang dari ujung moncong hingga ekor serta ciri fisik lainnya. Setelah diidentifikasi, hasil tangkapan dilepaskan kembali.

Data kondisi fisik kawasan diperoleh dari tabulasi peta-peta tematik yaitu peta penutupan lahan, peta ketinggian lahan dari permukaan laut, peta kemiringan lahan, peta jarak dari jalan serta peta jarak dari pemukiman. Luas kawasan ditentukan dengan tools ‘calculate geometry’ pada ArcGIS 9.3. Proses pembuatan peta-peta tersebut yaitu sebagai berikut:

a. Tipe penutupan lahan

(18)

5 b. Ketinggian dari permukaan laut dan kemiringan lahan

Data ketinggian lahan dari permukaan laut serta kemiringan lahan diperoleh dari peta ASTER GDEM. Peta ASTER GDEM diubah menjadi peta ketinggian menggunakan Global Mapper v13.00 kemudian diubah menjadi peta kemiringan lahan menggunakan ArcGIS 9.3. Klasifikasi ketinggian lahan dilakukan dengan interval 100 m dpl, karena menurut Alan dan Zeeya (2007) setiap bertambahnya ketinggian 100 m maka suhu atmosfer akan meningkat sebanyak 0.5oC. Klasifikasi kemiringan lahan berdasarkan pada Peraturan Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial No. SK 157/V-SET/2004 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis. Kemiringan 0-8% diklasifikasikan sebagai datar, 8-15% landai, 15-25% agak curam, 25-40% curam dan >40% sangat curam. Proses pembuatan peta ketinggian dan kelerengan disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Proses pembuatan peta ketinggian dan kemiringan lahan. c. Jarak dari sumber gangguan

(19)

6

Gambar 5 Proses pembuatan peta jarak dari jalan dan peta jarak dari pemukiman.

Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1. Penggunaan habitat berdasarkan fungsi pelindung (cover)

Pohon yang digunakan untuk berlindung oleh elang ular bido berada pada strata A hingga C (Gokula 2012b; Ueta dan Minton 1998). Oleh sebab itu hasil pengukuran vegetasi pelindung di KHS dianalisa dengan menjabarkan komposisi dan struktur vegetasi pada strata vertikal A hingga C. Menurut klasifikasi Longman dan Jenik (1987), strata A terdiri atas pohon dengan tinggi lebih dari 25 m. Strata B terdiri atas pohon dengan tinggi antara 10 - 25 m, sementara strata C terdiri atas pohon dengan tinggi antara 5 - 10 m. Perhitungan kerapatan jenis pohon dilakukan dengan rumus:

Kerapatan (K) = Jumlah individu suatu jenis Luas unit contoh

2. Penggunaan habitat berdasarkan fungsi pakan

Tidak semua jenis satwa yang dijumpai di KHS termasuk dalam jenis pakan elang ular bido. Oleh sebab itu dilakukan penyaringan terhadap jenis satwa yang dijumpai di KHS. Jenis-jenis mangsa elang ular bido di KHS diketahui dari kriteria jenis pakan elang ular bido yang disarikan dari hasil pengamatan Chou et al. (2004) serta Gokula (2012a) pada Tabel 2.

Tabel 2 Kriteria satwa pakan elang ular bido hasil modifikasi dari Chou et al. (2004) dan Gokula (2012a)

Mamalia Reptil Amfibi Burung

Mamalia kecil (14 cm) hingga besar (50 cm), antara lain suku Chlorophseidae,

Columbidae, Sturnidae, Monarchidae dan Oriolidae. 3. Penggunaan habitat berdasarkan fungsi pendukung

(20)

7 terhadap peubah habitat yang digunakan oleh elang ular bido diindikasikan terjadi apabila penggunaan dilakukan secara tidak acak. Rumus yang digunakan yaitu:

Keterangan :

Oi = frekuensi pengamatan Ei = frekuensi harapan Hipotesa yang diuji adalah:

Ho : Elang ular bido menggunakan peubah habitat secara acak

H1 : Elang ular bido menggunakan peubah habitat secara tidak acak (ada pemilihan)

Keputusan yang diambil adalah sebagai berikut: a. Jika

maka tolak H0 dan terima H1.

Apabila peubah habitat yang digunakan oleh elang ular bido dilakukan secara tidak acak (ada pemilihan), maka selanjutnya dilakukan penentuan nilai peubah yang paling disukai dengan Indeks Neu (Bibby et al. 1998). Peubah yang diukur disajikan dalam Tabel 3. Jika nilai indeks pemilihan habitat lebih besar dari 1 (w ≥ 1) maka habitat tersebut disukai, sebaliknya jika bernilai kurang dari 1 (w < 1) maka habitat tersebut dihindari. Habitat yang paling disukai adalah yang memiliki nilai tertinggi pada indeks pemilihan yang distandarkan (b).

Tabel 3 Peubah yang diukur pada pemilihan habitat berdasarkan Indeks Neu

Kriteria habitat a p n u w b

(21)

8

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Kondisi Fisik

Koridor Halimun Salak (KHS) adalah area memanjang yang menghubungkan kawasan Gunung Halimun dengan Kawasan Gunung Salak. Berdasarkan klasifikasi Scmidt dan Ferguson, iklim di KHS termasuk tipe iklim B. Kawasan KHS terbagi menjadi dua wilayah curah hujan tahunan rata-rata, yaitu sedang (4000-4500 mm/tahun) yang terdapat di koridor bagian selatan, dan tinggi (4500-5000 mm/tahun) di koridor bagian utara (BTNGHS 2009). KHS merupakan hulu dari dua DAS yaitu DAS Cianten dan DAS CitariK. Das Cianten memiliki empat anak sungai yaitu anak sungai Cianten, Cimapag, Cigarehong, dan Cisurupan. Sedangkan DAS Citarik meliputi tujuh anak sungai yaitu Cisalimar, Ciawitali, Cipanas, Cisarua, Cipicung, Ciherang, dan Cipeteuy.

Data BTNGHS (2009) menunjukkan bahwa jenis tanah di kawasan KHS termasuk dalam tipe tanah mediteran yang didominasi oleh latosol coklat kemerahan serta latosol coklat. Peta ASTER GDEM v2 tanggal 17 Oktober 2011 menunjukkan bahwa ketinggian area KHS berkisar antara 728-867 m dpl. Kemiringan lahan di KHS mliputi datar hingga sangat curam. Kelas kemiringan lahan yang dominan adalah 15-25% dengan topografi landai.

Kondisi Biologi

Menurut BTNGHS (2009), jumlah jenis flora yang ditemukan di KHS meliputi 197 marga dan 80 suku. Jenis-jenis pohon yang dijumpai di KHS antara lain puspa (Schima wallichii), kimerak (Weinmannia blumei), pasang (Quercus sp.) serta saninten (Castanopsis sp.). Terbukanya kanopi hutan akibat kerusakan merangsang pertumbuhan beberapa jenis tumbuhan lantai hutan, antara lain paku andam (Dicranopteris linearis), tepus (Etlingera punicea), dan nampong (Clibadium surinamensis). Jenis-jenis fauna yang dijumpai di KHS antara lain mencakup 14 jenis mamalia dan 66 jenis burung. Jenis primata yang dijumpai antara lain owa jawa (Hylobates moloch), surili (Presbytis comata), lutung jawa (Trachypithecus auratus) dan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). Disamping itu dijumpai jenis-jenis burung pemangsa, antara lain elang ular bido (Spilornis cheela), elang hitam (Ichtinaetus malayensis), elang jawa (Spizaetus bartelsi) dan alap-alap capung (Microchierax fringillarius).

Penggunaan Habitat Berdasarkan Fungsi Cover

(22)

9 ini didasari oleh hasil penelitian Gokula (2012b) di India serta Ueta dan Minton (1998) di Jepang yang menunjukkan bahwa pohon yang digunakan untuk bertengger oleh elang ular bido berada pada strata A hingga C. Frekuensi penggunaan jenis-jenis pohon dibandingkan dengan ketersediaannya di hutan KHS disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Penggunaan vegetasi untuk beristirahat oleh elang ular bido di KHS Strata Jenis Nama Ilmiah Frekuensi

Penggunaan

BII = ruang tajuk tengah, pada jarak dua pertiga jari-jari tajuk dari pusat batang CIII = ruang tajuk bawah, pada jarak satu pertiga jari-jari tajuk dari pusat batang - = tidak ditemukan dalam plot pengamatan

(23)

10

untuk bertengger. Dua jenis pohon yang digunakan oleh elang ular bido berada di luar petak analisis vegetasi, yaitu pohon pasang (Quercus sp.) dan ki putri (Podocarpus sp.). Pohon-pohon yang digunakan untuk beristirahat di KHS memiliki ciri tajuk yang tidak rapat. Kondisi tajuk demikian dapat mempermudah akses untuk terbang masuk serta keluar dari tempat bertengger. Pohon ki putri yang digunakan elang ular bido dalam kondisi mati. Pohon ini tidak tertutup oleh tajuk sehingga memudahkan akses elang tersebut untuk bertengger.

Elang ular bido menggunakan pohon pada strata A hingga B untuk beristirahat. Pohon yang menempati strata A digunakan sebanyak enam kali sedangkan pohon pada strata B digunakan sebanyak satu kali. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Berkelman et al. (2002) terhadap elang ikan di Madagaskar yang menunjukkan bahwa frekuensi penggunaan pohon untuk bertengger terdapat korelasi positif dengan tinggi pohon. Semakin tinggi pohon maka frekuensi penggunaannya oleh elang akan semakin tinggi. Berdasarkan ruang tajuk pohon, elang ular bido menggunakan ruang tajuk BII sebanyak enam kali dan satu kali pada ruang CIII. Kondisi cabang pohon pada kedua ruang tajuk ini berukuran besar, tumbuh dengan posisi mendatar dan dekat dengan pusat batang pohon (Gambar 6). Menurut Prawiradilaga et al. (2003), berat tubuh elang ular bido berkisar antara 420 g hingga 1800 g, sehingga burung ini membutuhkan cabang pohon yang cukup kokoh untuk menopang tubuhnya selama beristirahat. Hal ini terpenuhi pada ruang tajuk BII dan CIII. Selain menyediakan cabang yang kokoh, ruang BII dan CIII juga menyediakan naungan bagi elang ular bido karena terhalangi tajuk pohon di atasnya. Aktivitas beristirahat ditemukan saat matahari bersinar terik (pukul 11.50-13.47 WIB) sehingga naungan tajuk pohon dapat memberikan perlindungan terhadap cuaca panas.

Gambar 6 Penggunaan pohon kayu afrika (Maesopsis eminii) oleh elang ular bido untuk beristirahat.

(24)

11 ranting dilakukan oleh elang ular bido pada masa inkubasi hingga masa mengasuh berakhir yaitu di bulan Februari-Juni (Chou et al. 2004; Gokula 2012a). Penggantian ranting ini dilakukan untuk mencegah tumbuhnya ektoparasit (Chou et al. 2004). Infestasi ektoparasit berbahaya bagi jenis-jenis elang karena dapat mengakibatkan iritasi, kerontokan bulu dan kerusakan pada bulu-bulu primer sehingga tidak dapat terbang lagi (Wijaya 2008).

Berdasarkan hasil pengamatan, jenis pohon di area koridor yang berpotensi untuk digunakan sebagai pohon sarang elang ular bido adalah rasamala (Altingia excelsa), puspa (Schima wallichii) dan ki hujan (Engelhardia spicata). Elang tidak sembarangan dalam menggunakan pohon untuk bersarang. Penelitian Gokula (2012b) menunjukkan bahwa pohon yang digunakan elang ular bido untuk bersarang memiliki tinggi dan diameter yang berbeda signifikan dengan pohon lain yang diukur pada petak acak di habitat yang sama. Pohon sarang memiliki tinggi dan diameter yang lebih besar dibandingkan dengan pohon lain, atau emergent trees. Hal yang sama juga terbukti pada pohon sarang elang ikan (Haliaeetus vociferoides) di Madagaskar (Berkelman et al. 2002). Jenis-jenis pohon emergent pada area KHS adalah rasamala, puspa dan ki hujan. Penggunaan jenis pohon rasamala dan puspa untuk tempat bersarang juga pernah terdokumentasi pada jenis elang lain, yaitu elang jawa (Prawiradilaga 2006) dan elang hitam (Supriatna dan Suparman 2005). Selain ukuran pohon, aspek keterbukaan tajuk juga menjadi pertimbangan oleh elang dalam pemilihan pohon sarang (Berkelman et al. 2002). Hal ini terpenuhi pada jenis-jenis pohon yang tajuknya tidak rapat, seperti kondisi pada pohon rasamala, puspa dan ki hujan.

Penggunaan Habitat Berdasarkan Fungsi Pakan

(25)

12

Tabel 5 Daftar jenis pakan potensial elang ular bido di KHS

No Nama lokal Nama Jenis Suku Frekuensi 5 Wiwik uncuing Cacomantis

sepulcralis Cuculidae 1 0 0

cochinchinensis Chloropseidae 2 0 0 10 Seriwang asia Terpsiphone paradisi Monarchidae 1 0 0 3 Bunglon hutan Gonocephalus

chamaeleontinus Agamidae 1 0 0

4 Kadal terbang Draco volans Agamidae 0 0 2

5 Kadal kebun Eutropis

multifasciata Scincidae 0 2 1

6 Kadal rumput Takydromus

sexlineatus Lacertidae 0 0 2

Ht-Sm = hutan-semak; Kt = kebun teh; Sw-Ld = sawah-ladang

(26)

13 Burung pemangsa termasuk predator opportunis, sehingga relatif memangsa jenis-jenis pakan yang melimpah dan mudah diperoleh (Watson et al. 1991). Berkumpulnya jenis-jenis mangsa elang ular bido pada tempat dan waktu yang sama berpotensi besar untuk dimangsa oleh elang tersebut.

Aktivitas mencari mangsa oleh elang ular bido teramati pada area koridor khususnya pada daerah tepi, baik berupa tutupan lahan hutan maupun semak belukar. Selain di koridor, aktivitas mencari mangsa juga dilakukan di area terbuka yang berbatasan langsung dengan hutan, yaitu pada penutupan lahan sawah, dan ladang. Berdasarkan hasil pengamatan, elang ular bido dijumpai melakukan aktivitas terbang berputar tanpa mengepakkan sayap. Aktivitas ini disebut sebagai soaring. Penelitian Wiersma dan Richardson (2009) terhadap elang laut perut putih (Haliaeetus leucogaster) menunjukkan bahwa aktivitas mencari makan dapat dilakukan dengan teknik soaring. Elang ular bido di KHS juga melakukan soaring untuk memindai mangsa (Gambar 7). Oleh karena itu daerah tepi hutan koridor digunakan sebagai area berburu bagi elang ular bido. Penggunaan daerah tepi hutan didukung pula oleh hasil penelitian Ueta dan Minton (1998) di Jepang, bahwa elang ular bido paling banyak menggunakan daerah yang berjarak 0-10 m dari tepi hutan untuk mengintai mangsa.

Gambar 7 Aktivitas soaring elang ular bido pada area ladang di stasiun pengamatan Guest House Cipeteuy, KHS.

(27)

14

menyambar mangsa pada posisi terbang. Teknik ambush hunting umum digunakan oleh jenis-jenis elang karena meningkatkan peluang tertangkapnya mangsa terestrial (Li 2008). Elang ular bido dijumpai bertengger pada saat berburu. Hal ini wajar terjadi karena menurut Li (2008) aktivitas berburu menghabiskan banyak energi, sehingga elang menggunakan pohon untuk beristirahat sejenak di sela-sela aktivitas berburu.

Elang ular bido bukan burung pemangsa tunggal di KHS. Hasil pengamatan menunjukkan adanya empat jenis burung pemangsa diurnal lain yang bersifat penetap. Burung pemangsa tersebut yaitu elang hitam (Ictinaetus malayensis), elang brontok (Spizaetus cirrhatus), elang jawa (Spizaetus bartelsi) dan sikep madu asia (Pernis ptilorhynchus). Selain jenis tersebut, data Endangered Species Team (2005) juga menunjukkan adanya jenis alap-alap capung (Microchierax fringillarius). Keberadaan jenis-jenis burung pemangsa diurnal ini memungkinkan terjadinya persaingan dalam mencari pakan. Elang umumnya memiliki rentang jenis mangsa yang sama, mencakup mamalia kecil, burung dan reptil. Perrins dan Birkhead (1983) memaparkan bahwa jika terdapat tiga atau lebih spesies yang ko-eksis dalam suatu ruang dengan relung yang overlap, maka setiap spesies akan cenderung memiliki relung yang lebih sempit. Elang ular bido umumnya mempersempit relung dengan memangsa jenis-jenis reptil secara eksklusif (Li 2008).

Area yang dijelajahi elang ular bido di KHS digunakan pula oleh elang brontok dan elang hitam untuk mencari makan (Gambar 8). Elang brontok teramati berburu ayam hutan merah (Gallus gallus) pada area kebun teh Garehong-Cimpag. Sementara elang hitam teramati berburu di area sawah dan ladang Sukagalih, area kebun teh Garehong-Cimapag serta area kebun teh Growek. Jenis mangsa yang diburu oleh elang hitam adalah tikus (Rattus sp.). Kedua jenis elang ini mendeteksi keberadaan mangsa dengan cara terbang berputar-putar mengelilingi area buru. Meski menggunakan lokasi yang sama untuk mencari mangsa, namun tidak terlihat persaingan secara langsung antara ketiga jenis elang ini. Menurut Alikodra (2002), persaingan terjadi jika terdapat penggunaan sumberdaya yang sama dalam kondisi yang terbatas. Tidak dijumpainya persaingan antar jenis dalam memperoleh pakan menunjukkan bahwa habitat di KHS masih dapat memenuhi kebutuhan pakan bagi jenis-jenis burung pemangsa tersebut.

(a) (b)

(28)

15 Ketiga jenis elang tersebut menunjukkan perbedaan waktu berburu. Elang ular bido teramati berburu pada pukul 09.45-11.28 WIB sementara elang brontok pada pukul 10.40-11.20 WIB. Aktivitas berburu elang hitam teramati hampir sepanjang hari, yaitu pukul 09.41-15.29 WIB. Berdasarkan hasil pengamatan, elang ular bido terlihat tidak aktif bergerak hingga suhu udara mulai panas (pukul 09.00 WIB). Aktivitas terbang menghabiskan banyak energi sehingga beberapa jenis burung pemangsa menggunakan bantuan suhu panas untuk terbang soaring ketika memindai mangsa (Li 2008). Strategi ini juga dilakukan oleh elang ular bido di KHS.

Penggunaan Habitat Berdasarkan Tipe penutupan Lahan

Berdasarkan hasil pengamatan, elang ular bido menggunakan seluruh tipe penutupan lahan di KHS untuk beraktivitas, yaitu hutan (n=28), kebun teh (n=5), sawah (n=4), semak (n=9), dan ladang (n=16). Tipe habitat sawah tidak disertakan dalam perhitungan pemilihan habitat karena tidak memenuhi syarat pengujian chi square yaitu nilai sel kurang dari lima. Pengujian chi square pada tingkat kepercayaan 95% (Tabel 6) menghasilkan nilai χ2 hitung (21.03) yang lebih besar dari χ2 tabel (7.82). Hal ini menunjukkan bahwa elang ular bido menggunakan tipe penutupan lahan secara tidak acak atau terdapat pemilihan.

Tabel 6 Nilai chi square pemilihan habitat KHS oleh elang ular bido berdasarkan tipe penutupan lahan

Berdasarkan perhitungan Indeks Neu, elang ular bido paling menyukai tutupan lahan berupa ladang untuk digunakan. Nilai indeks pemilihan yang distandarkan pada tipe penutupan ladang menunjukkan nilai yang terbesar, yaitu 0.43 (Tabel 7). Hal ini disebabkan oleh tingginya proporsi penggunan oleh elang tersebut (0.28) dibandingkan dengan proporsi ketersediannya (0.13).

(29)

16

Elang ular bido paling menyukai area ladang untuk beraktivitas, namun tipe penutupan lahan lain juga digunakan oleh elang ini (Gambar 10). Salah satu faktor yang mempengaruhi penggunaan habitat adalah distribusi sumber daya khususnya pakan (Block dan Brennan 1993). Pada area KHS, seluruh tipe penutupan lahan menyediakan pakan potensial bagi elang ular bido dengan jumlah jenis yang berbeda. Pakan potensial di hutan dan semak paling tinggi, yaitu sembilan jenis burung, satu jenis mamalia serta dua jenis reptil. Sementara itu, potensi pakan di kebun teh meliputi tiga jenis burung, dua jenis mamalia dan satu jenis reptil. Potensi pakan di ladang dan sawah meliputi satu jenis burung, empat jenis reptil dan dua jenis amfibi. Berdasarkan hasil pengamatan, ladang digunakan oleh elang ular bido untuk soaring dan terbang berpindah. Hutan dipergunakan oleh elang ular bido untuk soaring, berpindah, berburu, beristirahat dan mengumpulkan ranting. Area sawah dan semak digunakan untuk soaring dan berpindah, sementara kebun teh digunakan untuk berpindah. Penggunaan habitat KHS oleh elang ular bido berdasarkan tipe penutupan lahan disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9 Penggunaan habitat KHS oleh elang ular bido berdasarkan tipe penutupan lahan.

Elang ular bido melakukan soaring pada area ladang sebanyak sepuluh kali dan berpindah sebanyak enam kali. Menurut Wiersma dan Richardson (2009), soaring dilakukan dengan tujuan mencari potensi mangsa. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa elang ular bido cenderung berburu jenis-jenis reptil. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Chou et al. 2004 di Taiwan dan Gokula (2012a) di India yang menunjukkan bahwa elang ular bido paling banyak memakan reptil, khususnya jenis-jenis ular. Pada area KHS, reptil paling banyak dijumpai di tutupan lahan berupa ladang dan sawah. Jenis-jenis tersebut khususnya berada di area ladang KHS pada pagi hari, saat melakukan aktivitas berjemur atau busking. Ketika berjemur, reptil berada pada area terbuka yang terpapar sinar matahari secara langsung. Kondisi demikian memungkinkan pemangsa untuk mendeteksi keberadaan mangsanya dengan mudah. Hasil penelitian Ontiveros (2005) terhadap elang bornelli (Hieraaetus fasciatus) di Spanyol menunjukkan bahwa jumlah mangsa yang dimakan oleh burung pemangsa berhubungan lebih erat dengan aksesibilitas dan detektabilitas terhadap mangsa dibandingkan dengan kelimpahan mangsa. Oleh sebab itu meski mangsa potensial elang ular bido dapat dijumpai di beberapa tipe penutupan lahan di KHS, elang ini paling banyak mencari mangsa pada area dimana mangsa mudah dideteksi yaitu pada area terbuka berupa ladang.

1 1

Hutan Sawah Semak Ladang Kebun teh

(30)

17

(31)

18

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tutupan hutan secara khusus dipergunakan elang ular bido untuk berlindung. Pohon-pohon tinggi atau emergent trees pada tutupan lahan ini digunakan untuk tempat beristirahat dan membangun sarang. Hal tersebut mengindikasikan bahwa hutan memiliki peran penting bagi keberlangsungan hidup elang ular bido. Namun fungsi hutan sebagai habitat elang ular bido terancam menurun. Hasil penelitian Cahyadi (2004) menunjukkan bahwa luas hutan KHS berkurang sebesar 347.52 ha pada tahun 1990 hingga 2001 akibat aktivitas penebangan dan perambahan lahan. Hasil penelitian Sambas (2010) di KHS juga menunjukkan bahwa pada daerah bekas penebangan dan perambahan hutan ditumbuhi jenis-jenis paku antara lain Pteridium sp., Dicranopteris linearis dan Cyathea contaminans. Dominasi tumbuhan tersebut menyebabkan anakan pohon kurang berkembang sehingga pohon-pohon tinggi tidak terbentuk. Aktivitas penduduk berupa pemangkasan daun untuk pakan ternak juga menyebabkan tanaman menjadi kerdil (Sambas 2010). Berkurangnya ketersediaan pohon khususnya pohon-pohon tinggi, dapat mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan elang ular bido untuk berlindung. Oleh sebab itu pencegahan terhadap aktivitas penebangan dan perambahan lahan di KHS perlu dilakukan. Selain itu juga dibutuhkan upaya penanaman dan pemeliharaan pohon agar fungsi hutan KHS sebagai habitat elang ular bido tidak menurun.

Penggunaan Habitat Berdasarkan Ketinggian dari Permukaan Laut dan Kemiringan Lahan

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa elang ular bido menggunakan lahan pada ketinggian 796-1098 m dpl (Lampiran 3). Kelas ketinggian yang digunakan elang tersebut yaitu 700-800 m dpl (n=2), 800-900 m dpl (n=23), 900-1000 m dpl (n=21), dan 1000-1100 m dpl (n=16). Hal ini sesuai dengan pernyataan MacKinnon et al. (2010) dan Prawiradilaga (2003) bahwa elang ular bido hidup pada daerah berhutan hingga ketinggian 1900 m dpl. Kelas ketinggian 700-800 m dpl memiliki nilai penggunaan kurang dari 5 sehingga tidak disertakan dalam pengujian chi square untuk pemilihan habitat. Hasil pengujian chi-square pada tingkat kepercayaan 95% (Tabel 8) menunjukkan bahwa nilai χ2 hitung (6.73) lebih besar dari χ2 tabel (5.99). Hal ini menunjukkan bahwa elang ular bido menggunakan kelas ketinggian lahan secara tidak acak. Artinya elang ini melakukan pemilihan terhadap kelas ketinggian yang digunakan untuk beraktivitas. Peta sebaran perjumpaan elang ular bido berdasarkan ketinggian lahan disajikan dalam Gambar 11.

Tabel 8 Nilai chi square pemilihan habitat KHS oleh elang ular bido berdasarkan ketinggian lahan dari permukaan laut

Ketinggian lahan (m dpl) 800-900 900-1000 1000-1100 Jumlah

(32)

19

(33)

20

Hasil perhitungan Indeks Neu menunjukkan bahwa elang ular bido paling memilih daerah dengan ketinggian 1000-1100 m dpl untuk digunakan. Nilai indeks pemilihan yang distandarkan pada daerah dengan ketinggian tersebut merupakan yang terbesar, yaitu 0.41. Hal ini disebabkan oleh nilai proporsi penggunaan area tersebut (0.27) yang lebih besar dibandingkan proporsi ketersediaannya (0.19). Hasil perhitungan Indeks Neu untuk pemilihan habitat berdasarkan ketinggian lahan disajikan dalam Tabel 9.

Tabel 9 Indeks Neu untuk pemilhan habitat berdasarkan ketinggian lahan dari permukaan laut

Ketinggian

Daerah dengan ketinggian 1000-1100 m dpl berada pada tepi hutan koridor, yang umumnya berbatasan langsung dengan area terbuka berupa ladang. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa daerah tersebut digunakan elang ular bido untuk mencari makan, yaitu dengan terbang soaring. Aktivitas lain yang dilakukan elang ular bido pada ketinggian 1000-1100 m dpl adalah berpindah dan beristirahat. Aktivitas yang dilakukan elang ular bido pada masing-masing kelas ketinggian di KHS disajikan dalam Gambar 12.

Gambar 12 Penggunaan habitat KHS oleh elang ular bido berdasarkan ketinggian lahan.

Berdasarkan kemiringan lahan, elang ular bido menggunakan daerah datar hingga curam untuk beraktivitas (Tabel 10). Frekuensi penggunaan daerah sangat curam kurang dari lima, yaitu satu kali, sehingga tidak disertakan dalam pengujian pemilihan habitat. Pengujian chi-square pada tingkat kepercayaan 95% menghasilkan nilai χ2

hitung (16.57) lebih besar dari χ2 tabel (7.82). Hal ini mengindikasikan bahwa elang ular bido menggunakan kelas kemiringan lahan secara tidak acak, atau terdapat pemilihan.

(34)

21 Tabel 10 Nilai chi square pemilihan habitat KHS oleh elang ular bido

berdasarkan kemiringan lahan

Kemiringan lahan Datar Landai Agak curam Curam Jumlah

Frekuensi perjumpaan (Oi) 23 23 10 5 61

Hasil perhitungan Indeks Neu menunjukkan bahwa elang ular bido paling menyukai daerah datar untuk beraktivitas. Indeks pemilihan yang distandarkan pada daerah datar menunjukkan nilai yang terbesar, yaitu 0.51 (Tabel 11). Hal ini disebabkan oleh proporsi penggunan (0.38) yang lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi ketersediannya (0.17).

Tabel 11 Nilai Indeks Neu untuk pemilihan habitat KHS oleh elang ular bido berdasarkan kemiringan lahan

Lokasi aktivitas elang ular bido di KHS banyak dijumpai pada daerah yang datar yaitu 23 perjumpaan. Daerah ini digunakan oleh elang ular bido untuk soaring, berpindah, dan beristirahat (Gambar 13). Topografi datar dijumpai pada area terbuka berupa ladang, sawah dan kebun teh (Gambar 14). Telah dijelaskan sebelumnya bahwa elang ular bido menyukai area terbuka khususnya berupa ladang untuk mencari mangsa. Hal ini lah yang menyebabkan tingginya jumlah perjumpaan elang ular bido pada daerah yang datar.

(35)

22

(36)

23 Daerah dengan kemiringan lahan landai hingga sangat curam di KHS juga digunakan oleh elang ular bido untuk beraktivitas. Aktivitas bersarang dijumpai pada hutan koridor bagian Selatan. Elang tersebut berada pada kemiringan agak curam dan bergerak menuju daerah yang curam. Hasil penelitian Chou et al. (2004) di Taiwan menunjukkan bahwa sarang elang ular bido diletakkan pada daerah yang tingkat kemiringannya tinggi, dengan rata-rata kemiringan lahan 30.6% atau curam (Chou et al. 2004). Hal ini sesuai dengan kondisi kemiringan lahan di hutan koridor. Sepanjang lereng pada hutan koridor bagian Selatan didominasi oleh kemiringan curam. Sementara hutan koridor bagian Utara keadaannya curam hingga sangat curam (Gambar 14). Oleh sebab itu hutan koridor baik pada bagian Selatan maupun Utara berpotensi digunakan elang ular bido untuk bersarang. Ontiveros (2005) berpendapat bahwa kesuksesan reproduksi pada elang dikendalikan oleh faktor lingkungan salah satunya yaitu keberadaan tebing atau lereng. Peletakan sarang pada tempat yang tinggi dan kelerengan curam dilakukan untuk menghindari serangan predator terhadap telur dan anakan yang berada di dalam sarang (Gokula 2012).

Terdapat enam jenis satwa yang berpotensi sebagai predator bagi telur dan anakan elang ular bido di KHS. Potensi jenis predator ini diidentifikasi dari jenis satwa yang dijumpai dari hasil observasi (Lampiran 1). Jenis-jenis tersebut adalah monyet ekor panjang (Macaca faccicularis), musang (Paradoxurus hermaphroditus), serta jenis-jenis elang lain seperti elang hitam (Ictinaetus malayensis), elang brontok (Spizaetus cirrhatus), elang jawa (Spizaetus bartelsi), serta sikep madu asia (Pernis ptilorhynchus). Elang hitam khususnya sering memburu telur serta anakan burung lain (Utami 2002), sehingga jenis ini lebih berpotensi sebagai predator sarang elang ular bido dibandingkan degan jenis lainnya

Penggunaan Habitat Berdasarkan Jarak dari Pusat Gangguan

Gangguan terhadap elang di suatu daerah tidak terlepas dari pola aktivitas manusia di daerah tersebut. Aktivitas manusia yang berpotensi mengganggu elang ular bido secara tidak langsung adalah adalah penebangan kayu, pengumpulan kayu bakar, pengambilan pakan ternak serta pembukaan hutan untuk pertanian (Endangered Species Team 2005). Data BTNGHS (2009) menyebutkan bahwa pada wilayah KHS telah dibangun infrastruktur berupa jalan dan bangunan. Infrastruktur jalan dibangun melintasi hutan koridor untuk menghubungkan pemukiman yang berada di bagian Utara koridor (Kabupaten Bogor) dengan pemukiman yang berada di bagian Selatan koridor (Kabupaten Sukabumi). Keberadaan jalan dapat meningkatkan akses manusia terhadap hutan, sehingga potensi gangguan terhadap elang ular bido akan meningkat. Selain jalan yang membelah hutan koridor, telah dibangun pula jalan-jalan di sekitar hutan. Jalan tersebut berada pada kawasan perkebunan teh PTPN VIII, PT Chevron Geothermal serta jalan di area sawah dan ladang yang berbatasan dengan hutan.

(37)

24

200-400 m sebanyak 13 kali, 400-600 m sebanyak 6 kali dan >600 m sebanyak 5 orang. Pengujian chi-square pada tingkat kepercayaan 95% menghasilkan nilai χ2 hitung (46.00) yang lebih besar dari χ2 tabel (7.82). Hal ini mengindikasikan bahwa elang ular bido menggunakan kelas jarak dari jalan secara tidak acak atau terdapat pemilihan. Perhitungan uji chi-square disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12 Nilai chi square pemilihan habitat KHS oleh elang ular bido berdasarkan jarak dari jalan

Jarak dari Jalan (m) 0-200 200-400 400-600 >600 Jumlah

Berdasarkan perhitungan Indeks Neu, elang ular bido paling menyukai daerah dengan jarak 0-200 m dari jalan untuk beraktivitas. Indeks pemilihan yang distandarkan pada kelas jarak 0-200 m dari jalan menunjukkan nilai yang terbesar yaitu 0.42 (Tabel 13). Hal ini disebabkan oleh proporsi penggunan (0.61) yang lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi ketersediannya (0.39). Infrastruktur jalan di KHS dibangun pada lahan-lahan terbuka. Kondisi ini sesuai dengan hasil perhitungan sebelumnya, bahwa elang ular bido paling menyukai lahan terbuka berupa ladang. Area tersebut digunakan untuk beraktivitas, khususnya untuk mencari makan. Hal ini lah yang menyebabkan tingginya penggunaan daerah dengan jarak 0-200 m dari jalan.

Tabel 13 Indeks Neu untuk pemilihan habitat KHS oleh elang ular bido berdasarkan jarak dari jalan

(38)

25

(39)

26

Gambar 16 Penggunaan habitat KHS oleh elang ular bido berdasarkan jarak dari jalan.

Aktivitas menusia dapat menimbulkan gangguan bagi elang ular bido baik secara langsung maupun tidak langsung. Gangguan secara langsung yaitu perburuan terhadap elang untuk dijual atau dijadikan peliharaan (Balen et al. 1998). Sementara gangguan secara tidak langsung yaitu perusakan habitat hutan dan perburuan jenis satwa mangsa. Oleh sebab itu keberadaan jalan perlu diwaspadai karena dapat mempermudah akses terhadap habitat elang ular bido dan jenis-jenis mangsanya. Gangguan terhadap elang ular bido juga diasumsikan berasal dari pemukiman. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa elang ular bido dijumpai pada jarak 0.37 hingga 3283.57 m dari pemukiman terdekat di KHS (Lampiran 3). Wilayah KHS berbatasan langsung dengan Desa Cihamerang, Desa Kabandungan dan Desa Cipeteuy di sebelah Selatan serta Desa Purwabakti di sebelah Utara. Keempat desa ini merupakan pusat aktivitas masnusia di KHS. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa elang ular bido dijumpai pada kelas jarak 0-400 m (n=22), 400-800 m (n=22), 800-1200 m (n=7), dan >1200 m (n=11). Penggunaan kelas jarak 1200-1600 m dan 1600-2000 m dari pemukiman menunjukkan nilai yang kurang dari lima, sehingga tidak disertakan dalam pengujian chi square untuk penentuan pemilihan habitat. Pengujian chi-square pada tingkat kepercayaan 95% menghasilkan nilai χ2 hitung (11.42) yang lebih besar dari χ2

tabel (7.82). Hal ini mengindikasikan bahwa elang ular bido menggunakan kelas jarak dari pemukiman secara tidak acak atau terdapat pemilihan. Perhitungan uji chi-square disajikan pada Tabel 14.

Tabel 14 Nilai chi square pemilihan elang ular bido berdasarkan jarak dari pemukiman di KHS

Jarak dari Pemukiman (m) 0-400 400-800 800-1200 >1200 Jumlah

Frekuensi perjumpaan (Oi) 22 22 7 11 62

Berdasarkan perhitungan Indeks Neu, elang ular bido paling memilih daerah dengan jarak 400-800 m dari pemukiman untuk beraktivitas. Indeks Neu yang distandarkan pada kelas jarak 400-800 m dari pemukiman menunjukkan

(40)

27 nilai yang terbesar, yaitu 0.37. Hal ini disebabkan oleh proporsi penggunan (0.35) yang lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi ketersediannya (0.24). Hasil perhitungan Indeks Neu disajikan pada Tabel 15.

Tabel 15 Indeks Neu untuk preferensi elang ular bido berdasarkan jarak dari pemukiman di KHS Jarak dari

Aktivitas elang ular bido pada jarak 400-800 m dari pemukiman adalah membawa ranting, soaring, berpindah dan beristirahat (Gambar 17). Area ini berada pada area terbuka. Pemilihan daerah yang dekat dari pemukiman untuk digunakan beraktivitas disebabkan keberadaan jenis mangsa pada area tersebut. Masyarakat di KHS umumnya membangun ladang dan sawah dekat dari pemukiman. Telah dijelaskan pula sebelumnya bahwa elang ular bido paling menyukai area terbuka khususnya ladang untuk mencari mangsa. Hal ini lah yang menyebabkan tingginya penggunaan daerah yang dekat dengan pemukiman oleh elang tersebut.

Gambar 17 Penggunaan habitat KHS oleh elang ular bido berdasarkan jarak dari pemukiman.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa elang ular bido melakukan aktivitas bersarang pada jarak yang cukup dekat dengan pemukiman, yaitu 400-800 m. Menurut Gokula (2012a) elang ular bido di India memilih lokasi sarang yang jauh dari pemukiman, yaitu rata-rata pada jarak 3,4 km. Hal ini berbeda dengan kondisi di KHS. Kedekatan jarak antara lokasi aktivitas bersarang dengan pemukiman di KHS menunjukkan bahwa elang ular bido telah memiliki toleransi terhadap keberadaan manusia. Peta sebaran perjumpaan elang ular bido berdasarkan jarak dari pemukiman disajikan pada Gambar 18.

(41)

28

(42)

29

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Penggunaan habitat KHS oleh elang ular bido untuk berlindung paling banyak di tutupan lahan hutan, namun untuk berburu elang ini juga menggunakan ladang, sawah dan semak belukar yang dekat dengan hutan. Elang ular bido cenderung memakan jenis-jenis reptil. Potensi pakan berupa reptil di KHS mencakup jenis Ahaetulla prasina, Dendrelaphis pictus, Bronchocela cristatella, Bronchocela jubata, Gonocephalus chamaeleontinus, Draco volans, Eutropis multifasciata dan Takydromus sexlineatus. Nilai-nilai fungsi pendukung yang paling dipilih elang ular bido berada pada area terbuka yang dekat dengan hutan.

Saran

Aktivitas penebangan pohon dan pembukaan hutan di KHS harus dicegah, karena elang membutuhkan pohon berukuran besar dan tinggi untuk berlindung. Area bekas penebangan dan perambahan pada hutan KHS sebaiknya ditanami jenis-jenis pohon yang potensial digunakan oleh elang ular bido untuk berlindung yaitu ki putri (Podocarpus sp.), pasang (Quercus sp.), rasamala (Altingia excelsa), puspa (Schima wallichii) dan ki hujan (Engelhardia spicata). Selain itu, area terbuka di KHS yang berada dekat dengan hutan perlu diawasi secara ketat dari gangguan.

DAFTAR PUSTAKA

Alan S, Zeeya M. 2007. Visualizing Physical Geography. Boston (US): Wiley and National Geographical Society.

Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwaliar. Bogor (ID): Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB.

Arroyo B, Redpath S, Vinuela J. 2004. Conflicts in raptor conservation: an overview. Di dalam: Meyburg BU, Chancellor RD, editor. Raptors Worldwide. London (GB): World Working Group for Birds of Prey and Owls. hlm 307-315.

Balen S. 1998. Tropical forest raptors in Indonesia: recent information on distri-bution, status, and conservation. Journal of Raptor Research. 32(1):56-63. Berkelman J, Fraser JD, Watson RT. 2002. Nesting and perching habitat use of

the madagascar fish eagle. Journal of Raptor Research. 36(4):287-293. Bibby C, Marsden S, Fielding A. 1998. Bird Habitat Study. London (UK): Royal

Geographical Society.

Bird DM, Bildstein KL. 2007. Raptor Research and Management Techniques. Washington DC (US): Raptor Research Foundation.

(43)

30

[BTNGHS] Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak. 2009. Rencana Aksi Restorasi Koridor Halimun Salak (2009-2013). Sukabumi (ID): BTNGHS. Cahyadi I. 2003. Analisis spasial struktur dan fungsi koridor hutan antara Taman

Nasional Gunung Halimun dan Hutan Lindung Gunung Salak [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Chou TC, Walther BA, Lee PF. 2012. Spacing pattern of the crested serpent-eagle (Spilornis cheela hoya) In Southern Taiwan. Taiwania. 57(1): 1-13.

Chou PC, Lee PF, Chen H. 2004. Breeding Biology of the Crested Serpent Eagle Spilornis cheela hoya in Kenting National Park, Taiwan. Di dalam: Meyburg BU, Chancellor RD, editor. Raptors Worldwide. London (GB): World Working Group for Birds of Prey and Owls. hlm 557-568.

Endangered Species Team. 2005. Ecological Study Halimun-Salak Corridor Mount Halimun-Salak National Park. Sukabumi (ID): GHSNPMP-JICA. Gokula V. 2012a. Nest-site selection of the crested serpent-eagle (Spilornis

cheela) in Kolli Hills, Tamilnadu, India. Ornis Mongolica. 1: 60-62.

Gokula V. 2012b. Breeding ecology of the crested serpent eagle Spilornis cheela (Latham, 1790) (Aves: Accipitriformes: Accipitridae) in Kolli Hills, Tamil Nadu, India. Tapobanica. 4(2):77-82.

Li YD .2008. An Introduction to the Raptors of Southeast Asia. Singapura (SN): Nature Society

Longman KA, Jenik J. 1987. Tropical Forest and Its Environment. New York (US): John Wiley and Sons Inc.

MacKinnon J, Phillips K, van Balen B. 2010. Burung-Burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Bogor: Burung Indonesia.

Ontiveros D, Pleguezuelos J, Caro J. 2005. Prey density, prey detectability and food habits: the case of Bonelli’s eagle and the conservation measures. Biological Conservation. 123 : 19–25. doi: 10.1016/j.biocon.2004.10.004. Prawiradilaga DM. 2001. Diversity and distribution of raptors at Gunung Halimun

National Park with particular reference to javan hawk-eagle. Berita Biologi 5(6): 649-657.

Prawiradilaga DM, Murate T, Muzakkir A, Inoue T, Kuswandono, dkk. 2003. Panduan Survei Lapangan dan Pemantauan Burung Pemangsa. Bogor (ID): Biodiversity Conservation Project- JICA.

Prawiradilaga DM. 2006. Ecology and conservation of endangered javan hawk-eagle Spizaetus bartelsi. Ornithological Science. 5:177-186.

Putri AS. 2009. Pola penggunaan ruang owa jawa (Hylobates moloch Audebert, 1798) berdasarkan perilaku bersuara di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Provinsi Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sambas EN. 2010. Pengelolaan Koridor Halimun Salak Berbasis data Ekologi:

Kajian Dampak Penebangan Liar dan Perambahan Hutan terhadap Kelestarian Flora Fauna Terancam Punah. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Soerianegara I, Indrawan A. 1980. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Stamps J. 2008. Habitat. Di dalam: Jorgensen SE. 2008. Encyclopedia of Ecology. Amsterdam (NL): Elsevier BV. hlm 1807-1810.

(44)

31 Sukmantoro W, Irham M, Novarino W, Hasudungan F, Kemp N, Muchtar M. 2007. Daftar Burung Indonesia No. 2. Bogor (ID): Indonesian Ornithologists’ Union.

Supriatna AA. 2012. Current status of diurnal raptors in Indonesia and its conservation challenges. Ornis Mongolica. 1: 67-73.

Supriatna AA, Suparman U. 2005. Observation on Nests of Ictianetus m. malayensis Found in Jawa. Bogor (ID): ARRCN.

Ueta M, Minton JS. 1996. Habitat preference of crested serpent eagles In Southern Japan. Journal of Raptor Research. 30(2):99-100.

Utami BD. 2002. Kajian potensi pakan elang jawa (Spizaetus bartelsi Stressman, 1924) di Gunung Salak [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Wiersma JM, Richardson A. 2009. Foraging of white bellied sea eagle Haliaeetus

leucogaster in relation to marine fish farms in Tasmania. Corella. 33(3): 71-79.

(45)

32

Lampiran 1 Daftar jenis satwa di Koridor Halimun Salak

No Nama lokal Nama Jenis Suku Frekuensi Perjumpaan

Ht-Sm Kt Sw-Ld Burung1

1 Sikep madu asia Pernis ptilorhynchus Accipitridae - - -

2 Elang ular bido Spilornis cheela Accipitridae - - -

3 Elang alap Nipon Accipiter gularis Accipitridae - - -

4 Elang hitam Ictinaetus malayensis Accipitridae - - -

5 Elang brontok Spizaetus cirrhatus Accipitridae - - -

6 Elang jawa Spizaetus bartelsi Accipitridae - - -

7 Ayam hutan merah Gallus gallus Phasianidae 1 2 0

8 Uncal Macropygia sp. Columbidae 5 0 0

9 Tekukur biasa Streptopelia chinensis Columbidae 1 9 0

10 Wiwik lurik Cacomantis sonneratii Cuculidae 1 0 0

11 Wiwik uncuing Cacomantis sepulcralis Cuculidae 1 0 0

12 Kadalan kembang Zanclostomus javanicus Cuculidae 3 0 0

13 Bubut alang-alang Centropus bengalensis Cuculidae 0 3 2

14 Beluk jempuk Bubo sumatranus Strigidae 1 0 0

15 Walet Colocalia sp. Apodidae 34 14 21

16 Cekakak jawa Halcyon cyanoventris Alcedinidae 3 1 4

17 Cekakak sungai Halcyon chloris Alcedinidae 2 4 7

18 Caladi ulam Dendrocopos macei Picidae 0 1 1

19 Layang-layang batu Hirundo tahitica Hirundinidae 0 0 2

20 Kapasan kemiri Lalage nigra Campephagidae 1 0 0

21 Sepah hutan Pericrocotus flammeus Campephagidae 3 0 0

22 Jingjing batu Hemipus hirundinaceus Campephagidae 1 0 0

23 Cipoh kacat Aegithina tiphia Chloropseidae 4 0 0

24 Cica daun sayap biru Chloropsis cochinchinensis Chloropseidae 2 0 0

25 Cucak kutilang Pycnonotus aurigaster Pycnonotidae 4 14 12

26 Cucak gunung Pycnonotus bimaculatus Pycnonotidae 4 0 0

27 Merbah cerukcuk Pycnonotus goiavier Pycnonotidae 0 0 2

28 Bentet kelabu Lanius schach Laniidae 0 2 0

(46)

33

Lampiran 1 Daftar jenis satwa di Koridor Halimun Salak (lanjutan)

No Nama lokal Nama Jenis Suku Frekuensi Perjumpaan

Ht-Sm KT Sw-Ld

30 Pelanduk belukar Malacocincla sepiarium Timaliidae 4 1 0

31 Tepus leher putih Stachyris thoracica Timaliidae 7 0 0

32 Tepus pipi perak Stachyris melanothorax Timaliidae 3 0 0

33 Cica koreng jawa Megalurus palustris Horsfield Sylviidae 0 5 2

34 Perenjak coklat Prinia polychroa Sylviidae 0 0 2

35 Perenjak jawa Prinia familiaris Sylviidae 0 0 2

36 Cinenen pisang Orthotomus sutorius Sylviidae 0 0 5

37 Cinenen jawa Orthotomus sepium Sylviidae 3 0 0

38 Sikatan belang Ficedula westermanni Muscicapidae 1 0 0

39 Seriwang asia Terpsiphone paradisi Monarchidae 1 0 0

40 Gelatik batu kelabu Parus major Paridae 1 0 0

41 Pentis pelangi Prionochilus percussus Dicaeidae 1 0 0

42 Cabai bunga api Dicaeum trigonostigma Dicaeidae 4 0 1

43 Cabai gunung Dicaeum sanguinolentum Dicaeidae 5 0 0

44 Cabai jawa Dicaeum trochileum Dicaeidae 6 0 0

45 Burung madu belukar Anthreptes singalensis Nectariniidae 9 0 0

46 Burung madu pengantin Leptocoma sperata Nectariniidae 1 0 0

47 Burung madu ekor merah Aethopyga temminckii Nectariniidae 1 0 0

48 Pijantung gunung Arachnothera affinis Nectariniidae 1 0 0

49 Kacamata gunung Zosterops montanus Zosteropidae 21 0 0

50 Bondol jawa Lonchura leucogastroides Estrildidae 0 0 28

51 Bondol peking Lonchura punctulata Estrildidae 0 5 2

52 Srigunting kelabu Dicrurus leucophaeus Dicruridae 11 0 0

Mamalia

1 Tupai Tupaia glis Tupaiidae 1 0 1

2 Bajing kelapa Callosciurus notatus Sciuridae 2 2 1

3 Babi hutan Sus scrofa Suidae 1 1 0

4 Owa jawa Hylobates moloch Hylobatidae 2 3 0

(47)

34

Lampiran 1 Daftar jenis satwa di Koridor Halimun Salak (lanjutan)

No Nama lokal Nama Jenis Suku Frekuensi Perjumpaan

Ht-Sm Kt Sw-Ld

6 Monyet ekor panjang Macaca fascicularis Cercopithecidae 2 0 0

7 Musang luwak Paradoxurus hermaphroditus Viverridae 1 0 0

8 Garangan Herpestes javanicus Herpestidae 1 0 0

9 Macan tutul Panthera pardus Felidae 1 0 0

Reptil

1 Bunglon mahkota Bronchocela cristatella Agamidae 0 0 1

2 Bunglon surai Bronchocela jubata Agamidae 0 0 3

3 Bunglon hutan Gonocephalus chamaeleontinus Agamidae 1 0 0

4 Kadal terbang Draco volans Agamidae 0 0 2

5 Kadal kebun Eutropis multifasciata Scincidae 0 2 1

6 Kadal rumput Takydromus sexlineatus Lacertidae 0 0 2

7 Ular lidah api Dendrelaphis pictus Colubridae 0 0 1

8 Ular pucuk Ahaetulla prasina Colubridae 1 0 0

Amfibi

1 Katak pohon hijau Rhacophorus reindwardtii Rhacophoridae 0 1 0

2 Katak pohon bergaris Polypedates leucomystac Rhacophoridae 0 0 1

3 Katak serasah Megophris montana Megophryidae 1 0 0

4 Kodok tegalan Fejervarya limnocharis Ranidae 0 0 8

5 Kodok buduk Bufo melanostictus Bufonidae 0 0 2

6 Kodok buduk Bufo asper Bufonidae 0 0 1

Ht-Sm = hutan-semak; Kt = kebun teh; Sw-Ld = sawah-ladang; - = tidak dijumpai di jalur pengamatan

1

(48)

35 Lampiran 2 Daftar jenis tumbuhan berdasarkan strata vertikal di Koridor Halimun

Salak

Strata tajuk Jenis Nama Ilmiah Suku

A Puspa Schima wallichii Theaceae

Lame Alstonia scholaris Apocynaceae

Rasamala Altingia excelsa Hamamelidaceae

Damar Agathis damara Araucariaceae

Ki hujan Engelhardia spicata Juglandaceae Kayu afrika Maesopsis eminii Rhamnaceae

B Damar Agathis damara Araucariaceae

Ki wates Eurya acuminata Theaceae

Jeret Mastixia trichotoma Cornaceae Kaliandra putih Calliandra emarginata Leguminosae Kayu afrika Maesopsis eminii Rhamnaceae Ki hujan Engelhardia spicata Juglandaceae

Kurai Trema orientalis Cannabaceae

Puspa Schima wallichii Theaceae

Jirag Symplocos fasciculata Symplocaceae Mara Macaranga tanarius Euphorbiaceae

C Damar Agathis damara Araucariaceae

Kenung Helica javanica Proteaceae

Ki sampang Melicope latifolia Rutaceae

Puspa Schima wallichii Theaceae

Kalapacing Horfieldia glabra Myristicaceae Gompong Arthrophyllum diversifolium Araliaceae Kaliandra putih Calliandra emarginata Leguminosae

D Damar Agathis damara Araucariaceae

Jirak Symplocos fasciculata Symplocaceae Kaliandra merah Calliandra calothyrsus Leguminoceae

Kenung Helica javanica Proteaceae

Sampang Melicope latifolia Rutaceae Ki leho Saurauaia bracteosa Actinidiaceae Barebeuy Helicia serrata Proteaceae E Gompong Arthrophyllum diversifolium Araliaceae Areuy kisariawan Symplocos odoratissima Symplocaceae Babadotan Ageratum conyzoides Asteraceae

Bambu air Gigantochloa sp. Poaceae

Begonia Begonia robusta Begoniaceae

Beunying Ficus fistulosa Moraceae

Cariang Schismatologlottis rupestris Araceae Darangdan Ficus melinocarpa Moraceae Gompong Arthrophyllum diversifolium Araliaceae

Hamerang Ficus padana Moraceae

Hanjuang gunung Cordyline fruticosa Agavaceae Harendong bulu Clidemia hirta Melastomataceae

Hareueus Rubus moluccanus Rosaceae

Huru putih Litsea sp. Lauraceae

Ilat kebo Fimbristylismiliacea Cyperaceae Jarong Achyranthes aspera Amaranthaceae Kaliandra merah Calliandra calothyrsus Leguminoceae

Karag Antiaris toxicaria Moraceae

Karet kebo Ficus elastica Moraceae

Kaso Saccharum spontaNeum Poaceae

Keji beling Hemigraphis alternata Acanthaceae

Keladi Caladium sp. Araceae

Kenung Helica javanica Proteaceae

(49)

36

Lampiran 2 Daftar jenis tumbuhan berdasarkan strata vertikal di Koridor Halimun Salak (lanjutan)

Strata tajuk Jenis Nama Ilmiah Suku

E Ki piit hutan Radermachera glandulosa Bignoniaceae Ki rinyuh Sambucus javanica Caprifoliaceae Ki sireum Syzygium lineatum Myrtaceae Lolo badak Saurauaia bracteosa Actinidiaceae

Mara Macaranga tanarius Euphorbiaceae

Mareme Glochidion rubrum Euphorbiaceae

Pacing Costus speciosus Zingiberaceae

Pakis Cycas rumphii Cycaceae

Paku andam Gleichenia linearis Gleicheniaceae Paku kaal

Paku rane Selaginella plana Selaginelaceae Paku sirinding

Pandan Pandanus sp. Pandanaceae

Pasang Lithocarpus sp. Fagaceae

Patat Phrynium pubinerve Maranthaceae

Pinding Hornstedtia pinanga Zingeberaceae Rambat duri

Rambat talas

Rande Staurogyne elongata Acanthaceae

Rasamala Altingia excelsa Hamamelidaceae

Reunghas Gluta renghas Anacardiaceae

Rotan Calamus sp. Arecaceae

Rumput A Rumput badak

Rumput jampang jawa Eleusine indica Poaceae Rumput kawat Memecylon garcinioides Melastomataceae Rumput sauheun Orophea hexandra Annonaceae

Sulangkar Leea indica Leeaceae

Gambar

Gambar 1  Peta lokasi penelitian di wilayah Koridor Halimun Salak.
Gambar 4  Proses pembuatan peta ketinggian dan kemiringan lahan.
Tabel 4  Penggunaan vegetasi untuk beristirahat oleh elang ular bido di KHS
Tabel 5  Daftar jenis pakan potensial elang ular bido di KHS
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertama, Pengadilan Agama Sumenep dalam penetapan nomer 0247/Pdt.P2014/PA.Smp menolak permohonan isbat nikah berdasarkan

(3) hubungan yang signifikan antara prestasi belajar dan peningkatan softskills dengan minat berwira usaha pada mahasiswa FKIP UNS berdasarkan perhitungan Ry(x

Dari hasil meteodologi penelitian yang dilaksanakan didapatkan hasil aplikasi sistem informasi geografis mobile untuk sebaran kantor pemerintahan. Pembuatan aplikasi ini

Dengan bukti audit yang cukup dan tepat, auditor sudah menekan risiko audit, namun tidak mungkin samapai ke tingkat nol, karena. adanya kendala bawaaan dalam

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian untuk mengetahui pengaruh content, bentuk, dan media komunikasi terhadap kesuksesan proyek IT di Bank ABC

Jika terdapat bukti obyektif bahwa kerugian penurunan nilai pada aset keuangan yang dinilai dengan biaya perolehan diamortisasi telah terjadi, jumlah kerugian tersebut

Dengan adanya Sistem Informasi monitoring penilaian kinerja driver transportasi online dengan metode SAW yang hasilnya disajikan berupa grafik dari hasil penilaian yang telah

[r]