• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS DISPARITAS PIDANA PADA PUTUSAN PENGADILAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (TRAFFICKING IN PERSON) (Studi Putusan Nomor 1633/Pid/B/2008/PNTK dengan Putusan Nomor 384/Pid/B/2012/PNTK )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS DISPARITAS PIDANA PADA PUTUSAN PENGADILAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (TRAFFICKING IN PERSON) (Studi Putusan Nomor 1633/Pid/B/2008/PNTK dengan Putusan Nomor 384/Pid/B/2012/PNTK )"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

ANALISIS DISPARITAS PIDANA PADA PUTUSAN PENGADILAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN

ORANG (TRAFFICKING IN PERSON)

(Studi Putusan Nomor 1633/Pid/B/2008/PNTK dengan Putusan Nomor 384/Pid/B/2012/PNTK )

Oleh RIO FABRY

(2)

terpenuhinya atau tidak terpenuhinya seluruh unsur pasal yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum, pada kasus 1 terdakwa dijerat pasal 2 ayat (1) Jo pasal 11 Jo Pasal 48 Undang-Undang RI No. 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, sedangkan pada kasus 2 hanya dikenakan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang RI No. 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang. Karena pada kasus pertama penulis menganalisis telah terjadinya unsur pemufakatan jahat dan unsur penipuan yaitu dengan cara Mai Diana alias Dewi Wulandari (korban) yang mengaku dijanjikan oleh Fitriyani pekerjaan. Akan tetapi, kenyataannya korban malah dipaksa melayani tamu sampai beberapa kali di sebuah kafe milik Fitriyani di daerah Panjang yang diberi nama Kafe dan Wisma Selayang Pandang, sedangkan pada kasus 2 terdakwa Asmaniar hanya memenuhi unsur tindak pidana perdagangan orang yaitu dengan cara Anna Nurhidayah (korban) yang mengaku dijual oleh Asmaniar kepada laki-laki hidung belang, Hakim bebas untuk memilih beratnya pidana (starmaat) yang akan dijatuhkan sebab yang ditentukan oleh undang undang hanyalah maksimum dan minimumnya saja. Untuk itu diperlukan kecermatan hakim dalam membuat keputusan dan belum adanya pedoman pemidanaan dalam hukum pidana.

Berdasarkan kesimpulan maka Penulis menyarankan agar aparat penegak hukum terutama hakim agar dalam menjatuhkan putusan hakim harus dapat mempertanggungjawabkan putusan yang dihasilkannya dengan memberikan alasan yang benar dan wajar tentang perkara yang diperiksanya agar disparitas pidana akan dapat diterima oleh masyarakat dengan tidak mengusik kepuasan masyarakat terhadap putusan hakim.

Kata kunci : Disparitas Pidana Pada Tindak Pidana Perdagangan Orang(Trafficking in Person)

(3)

ANALISIS DISPARITAS PIDANA PADA PUTUSAN PENGADILAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

(TRAFFICKING IN PERSON)

(Studi Putusan No. 1633/Pid/B/2008/PNTK dengan Putusan No. 384/Pid/B/2012/PNTK)

Oleh RIO FABRY

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)

ANALISIS DISPARITAS PIDANA PADA PUTUSAN PENGADILAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN

ORANG (TRAFFICKING IN PERSON)

(Studi Putusan Nomor 1633/Pid/B/2008/PNTK dengan Putusan Nomor 384/Pid/B/2012/PNTK )

Skripsi

Oleh RIO FABRY

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)
(6)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 4

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 5

D. Kerangka Teoretis dan Konseptual ... 6

E. Sistematika Penulisan ... 10

[ II. TINJAUAN PUSTAKA ... 12

A. Putusan Hakim ... 12

1. Pengertian Putusan Hakim ... 14

2. Isi Keputusan Hakim ... 15

3. Formalitas yang harus Dipenuhi Suatu Putusan Hakim ... 16

B. Disparitas Pidana ... 17

C. Tindak Pidana Perdagangan Orang (Trafficking In Person) ... 21

1. Pengertian Tindak Pidana ... 22

2. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang ... 23

III.METODE PENELITIAN ... 28

A. Pendekatan Masalah ... 28

B. Sumber dan Jenis Data ... 28

C. Penentuan Populasi dan Sampel ... 30

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 1. Prosedur Pengumpulan Data ... 31

2. Prosedur Pengolahan Data ... 32

(7)

IV.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 33 A. Karakteristik Responden ... 33 B. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang(Trafficking In Person)(study Putusan Nomor 1633/Pid/B/2008/ PNTK dengan Putusan Nomor

384/Pid/B/2012/PNTK)………... 35 C. Hal yang melatarbelakangi Disparitas Pidana pada Putusan Pengadilan

terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (TraffickingIn

Person).(study Putusan Nomor 1633/Pid/B/2008/ PNTK dengan Putusan Nomor 384/Pid/B/2012/PNTK)……… 45

V. PENUTUP ... 52 A. Kesimpulan ... 52 B. Saran.. ... 54

(8)

Motto

Jangan Pernah berputus asa jika mengalami kegagalan,

karena sesungguhnya kegagalan adalah awal dari

keberhasilan

Berusahalah terus untuk menggapai cita-cita

Sesungguhnya Allah SWT Maha Mendengar lagi Maha

Melihat dan Selalu memberikan yang terbaik

(9)

Bismillahirrohmanirrohim

Sebuah karya sederhana sebagai awal

untuk menyelami samudera ilmu, dengan segenap cinta, kupersembahkan skripsi

ini kepada:

Allah SWT atas limpahan nikmat dan karuniaNya yang diberikan kepadaku

serta junjungan Nya nabi muhammad SAW

Papa ( Alm) dan Mama ku tersayang, Pejuang yang tak kenal lelah, penuh

pengorbanan, cinta dan kasih sayang, yang selalu berdoa untuk keberhasilanku

Abangku yang selalu menyayangiku

my beloved yang selalu menjadi motivasiku untuk terus maju menggapai semua

cita-citaku

Sahabat-Sahabatku tercinta yang telah memberikan warna indah dalam

hari-hariku

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Rio Fabry yang akrab disapa Rio. Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 13 November 1990 dan merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Fahruddin dan Seliyana.

Penulis menyelesaikan pendidikan formal pada Sekolah Dasar Negeri 2 Labuhan Ratu pada tahun 2003 di Bandar Lampung, Sekolah Menengah Pertama Negeri 8 Bandar Lampung pada tahun 2006, Sekolah Menengah Umum Negeri 9 Bandar Lampung pada tahun 2009.

Pada tahun 2009, penulis diterima dan terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung. Kemudian pada tahun 2012 penulis melaksanakan Praktek Kuliah Kerja Nyata selama 40 hari kerja di Mesuji.

(11)

I. PENDAHULUAN

a. Latar Belakang

Disparitas pidana tidak hanya terjadi di Indonesia. Hampir seluruh Negara di dunia menghadapi masalah ini. Disparitas pidana yang disebut sebagai the disturbing disparity of sentencing mengundang perhatian lembaga legislatif serta lembaga lain yang terlibat dalam sistem penyelenggaraan hukum pidana untuk memecahkannya. 1

Disparitas pidana adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama atau terhadap tindak pidana yang sifat bahayanya dapat diperbandingkan tanpa dasar pembenaran yang jelas. Dari pengertian tersebut dapatlah kita lihat bahwa disparitas pidana timbul karena adanya penjatuhan hukuman yang berbeda terhadap tindak pidana yang sejenis. Penjatuhan pidana ini tentunya adalah hukuman yang dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana sehingga dapatlah dikatakan bahwa figur hakim di dalam hal timbulnya disparitas pemidanaan sangat menentukan. 2

Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai

1

Muladi, Dampak Disparitas Pidana dan Usaha mengatasinya, Bandung: Alumni, hal. 1985, 52.

2

(12)

dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.3 Dalam Pasal 4 disebutkan bahwa Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi

Perdagangan Manusia atau Trafficking In Persons adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.4

Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang khususnya anak masih belum mampu secara maksimal menjadi payung hukum dan untuk kemudian menjerat para pelaku perdagangan anak perempuan yang semakin hari semakin terorganisir dan profesional. Berbagai survei, penelitian, dan pengamatan menunjukkan kasus perdagangan orang cenderung meningkat dan kian memprihatinkan. Ditambah hambatan yang dihadapi dalam menangani trafficking bukan hanya budaya hukum kita yang sangat tidak mendukung, tetapi juga sistem sosial dan sistem kultur kita

3

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak ayat 3.

4

(13)

3

yang masih sangat diskriminatif terhadap anak (dan perempuan). Dari berbagai kasus perdagangan orang di Provinsi Lampung, ada dua contoh nyatanya adalah yang kasus posisinya sebagai berikut :

Kasus 1 :

“Fitriyani Binti Musadi, terdakwa kasus perdagangan orang (trafficking), akhirnya divonis 8 (Delapan) Tahun, dan atau denda sebesar Rp. 120.000.000,- dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar harus diganti dengan kurungan selama 1 (satu) bulan dipotong masa tahanan oleh majelis Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang. Hukuman yang diterima lebih ringan dari tuntutan jaksa yaitu 12 tahun. Fitriyani dinyatakan bersalah melanggar Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 11 Jo Pasal 48 UU RI No. 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang. Kasus 2 :

“Asmaniar Binti Nasrudin, terdakwa kasus perdagangan orang (trafficking), akhirnya divonis 3(tiga) Tahun, dan atau denda sebesar Rp. 120.000.000,- dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar harus diganti dengan kurungan selama 1 (satu) bulan dipotong masa tahanan oleh majelis Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang. Hukuman yang diterima lebih ringan dari tuntutan jaksa yaitu 4 tahun. Asmaniar dinyatakan bersalah melanggar Pasal 2 ayat (1) UU RI No. 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang.

(14)

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, dengan tuntutan jaksa 4 tahun penjara sedangkan hakim menjatuhkan vonis lebih ringan yaitu 3 tahun penjara. Dari kasus yang telah dipaparkan di atas, telah terjadi disparitas pidana pada putusan kedua kasus tersebut. Oleh karena itu, perlu diadakan suatu analisis terhadap putusan hakim tersebut untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhan putusan tersebut, apakah telah memenuhi rasa keadilan bagi si korban dan si terdakwa dan apakah telah menimbulkan efek jera pada masyarakat untuk tidak meniru melakukan perbuatan tersebut dan apakah hal yang melatarbelakangi Disparitas Pidana pada Putusan Pengadilan terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Trafficking In Person).

Berdasarkan pertimbangan itulah peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian tentang Analisis Disparitas Pidana pada Putusan pengadilan terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Trafficking In Person) (Study Putusan No. 1633/Pid/B/2008/PN.TK ) dan ( Study Putusan No.384/Pid/B/2012/PN.TK )

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:

a. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhan putusan pemidanaan terhadap pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Trafficking In Person) ? (Study Putusan No. 1633/Pid/B/2008/PN.TK dengan Putusan

(15)

5

b. Apakah yang melatarbelakangi Disparitas Pidana pada Putusan Pengadilan terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Trafficking In Person) ? (Study Putusan No. 1633/Pid/B/2008/PN.TK dengan Putusan

No.384/Pid/B/2012/PN.TK ) 2. Ruang Lingkup

Untuk memfokuskan penulisan, maka ruang lingkup penulisan skripsi ini dibatasi pada lingkup substansi penelitian meliputi Analisis Disparitas Pidana pada Putusan pengadilan terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Trafficking In Person). Adapun lingkup lokasi penelitian dilakukan di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhan putusan pemidanaan terhadap pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Trafficking In Person).(Study Putusan nomor 1633/Pid/B/2008/PNTK dengan Putusan nomor 384/Pid/B/2012/PNTK)

b. Untuk mengetahui hal yang melatarbelakangi Disparitas Pidana pada Putusan Pengadilan terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Trafficking In Person). (Study Putusan nomor 1633/Pid/B/2008/PNTK dengan Putusan nomor 384/Pid/B/2012/PNTK)

2. Kegunaan Penelitian a. Kegunaan Teoritis

(16)

Orang yang terjadi di dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu sebagai bahan kajian bagi kalangan hukum dalam mengembangkan dan memperluas pengetahuan dalam bidang hukum pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya.

b. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan masukan maupun sebagai sumber informasi bagi para pengkaji ilmu hukum ataupun rekan-rekan mahasiswa lain yang ingin melakukan penelitian dalam bidang yang sama. Kegunaan praktis lain dari penulisan skripsi ini adalah sebagai pemenuhan salah satu syarat mendapat gelar sarjana.

D. Kerangka Teori dan Konsep

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil penelitian atau kerangka acuan yang pada dasarnya untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi yang dianggap relevan oleh peneliti. Setiap penelitian akan ada kerangka teoritis yang menjadi kerangka acuan dan bertujuan untuk mengidentifikasi terhadap dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.5

Analisis merupakan suatu penyelidikan terhadap suatu peristiwa. Fungsi analisis adalah untuk melakukan penyelidikan yang mendalam terhadap suatu fenomena yang terjadi di masyarakat. Dari analisis tersebut diharapkan akan didapat suatu

5

(17)

7

proses berpikir runtut yang menghasilkan suatu karya ilmiah. Analisis yuridis merupakan suatu metode penelusuran bahan-bahan hukum dan mengaitkannya dengan proses di lapangan.

Disparitas pidana adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama atau terhadap tindak pidana yang sifat bahayanya dapat diperbandingkan tanpa dasar pembenaran yang jelas.6

Hakim yang bebas dan tidak memihak merupakan ketentuan yang universal. Di Indonesia, sistem yang dianut adalah pemeriksaan di sidang pengadilan dipimpin oleh hakim, hakim harus aktif bertanya dan memberikan kesempatan kepada terdakwa yang boleh diwakili penasehat hukum untuk bertanya kepada saksi, begitu juga penuntut umum, semua itu untuk memperoleh kebenaran materiil. Seorang hakim sangat sangat menentukan melalui putusan-putusannya karena pada hakekatnya hakimlah yang menjalankan kekusaan hukum peradilan demi terselenggaranya fungsi peradilan itu.7

Putusan Hakim merupakan aspek yang sangat penting dalam upaya penyelesaian perkara pidana, disatu sisi putusan hakim berguna bagi terdakwa untuk memperoleh kepastian hukum tentang statusnya, dan sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya terhadap putusan tersebut, dalam arti menerima putusan, melakukan hukum banding, verzet, kasasi, dan sebagainya. Sedangkan disisi lain, apabila telah dicermati, melalui visi hakim yang mengadili perkara, putusan hakim adalah mahkota dan puncak pencerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran, hak asasi manusia, penguasaan hukum atau fakta secara

6

Muladi, 1986,Op.cit, hal. 52.

7

(18)

mapan, visualisasi etika, mentalitas, moralitas hakim yang bersangkutan.Tindak Pidana Perdagangan Orang Sebagai kejahatan terhadap kemanusian merupakan kejahatan luar biasa yang tidak diatur dalam KUHP. Rumusan tentang tindak pidana perdagangan orang diatur dalam Undang–Undang No. 21 tahun 2007. Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana perdagangan orang, dilakukan berdasarkan Hukum Acara Pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini. 8

Untuk memudahkan menjawab permasalahan di dalam skripsi ini, penulis juga menggunakan Undang-Undang nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu Penjelasan Pasal 28 ayat (1) dan (2) yang menyatakan:

(1) Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat.

(2) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat baik dan sifat jahat dari terdakwa.

Artinya, dalam proses penjatuhan putusan, hakim harus memperhatikan hal-hal yang memenuhi rasa keadilan, dan untuk menentukan pidana yang akan dijatuhkan, hakim harus meneliti dan menelaah juga mempertimbangkan hal yang baik dan hal yang buruk dari diri terdakwa.9

8

Undang–Undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

9

(19)

9

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah-istilah yang ingin atau akan diteliti.10

Adapun istilah yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah:

a. Analisis adalah penyelidikan dan penguraian terhadap suatu masalah untuk mengetahui keadaan yang sebenar-benarnya atau proses pemecahan masalah yang dimulai dengan dugaan akan kebenarannya.

b. Disparitas pidana adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama atau terhadap tindak pidana yang sifat bahayanya dapat diperbandingkan tanpa dasar pembenaran yang jelas.11

c. Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diungkapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segi tuntutan hukum.12

d. Pelaku Tindak Pidana berarti seseorang yang melakukan kesalahan yang dapat dikenakan pidana. Kesalahan dapat dibedakan menjadi kemampuan bertanggungjawab atau sengaja dan lalai.

e. Perdagangan orang atau Trafficking In Person adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga

10

Soerjono Soekanto, 1986 Op.cit, hal.22

11

Muladi,1986, OP.cit, hal. 52.

12

(20)

memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi 13

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Untuk mempermudah penulisan dan pemahaman terhadap skripsi ini secara keseluruhan, maka penulis menyajikan penulisan dengan sistematika sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab ini memuat latar belakang penulisan skripsi ini, rumusan masalah dan ruang lingkupnya, tujuan dan kegunaan penulisan. Bab ini juga memuat kerangka teoritis dan kerangka konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini mencakup materi-materi yang mempunyai hubungan dan dibutuhkan dalam membantu, memahami, dan memperjelas permasalahan yang akan diselidiki. Adapun bentuk bahan pustaka yang akan dijadikan data adalah buku/monograf, berkala/terbitan berseri, brosur/pamflet dan bahan non buku. Membantu dan memahami bahasan yang berkaitan dengan putusan hakim, tindak pidana perdagangan orang (Trafficking In Person).

13

(21)

11

III. METODE PENELITIAN

Merupakan uraian tentang metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini. Bab

ini menjelaskan mengenai langkah-langkah yang digunakan penulis dalam melakukan

pendekatan masalah, yaitu dalam hal memperoleh dan mengklasifikasikan sumber

dan jenis data, cara penentuan populasi dan sampel, prosedur pengumpulan dan

pengelolaan data. Dari proses pengelolaan data, kemudian diuraikan dengan cara

melakukan analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini menguraikan pokok-pokok permasalahan dan pembahasan dari permasalahan. Adapun pembahasan yang dimaksud adalah dasar pertimbangan hakim dalam Menjatuhan putusan terhadap pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Trafficking In Person) dan apakah hal yang melatarbelakangi Disparitas pidana padaa putusan pengadilan terhadap hukum terhadap pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Trafficking In Person).

V. PENUTUP

(22)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Putusan Hakim Di dalam Persidangan

1. Pengertian Putusan Pengadilan

Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan di dalam sidang pengadilan yang terbuka untuk umum yang dapat berupa pemidanaan atau bebas, atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang.

Pengambilan keputusan diambil setelah berakhirnya proses pemeriksaan terhadap terdakwa. Pengambilan keputusan harus melalui proses musyawarah majelis hakim seperti yang telah ditentukan di dalam Pasal 182 ayat (5) KUHAP bahwa dalam musyawarah tersebut, Hakim Ketua Majelis mempersilahkan kepada hakim-hakim anggotanya, dimulai dari hakim yang termuda sampai hakim yang tertua untuk mengeluarkan pendapat disertai dengan pertimbangan beserta alasannya.Selanjutnya, diambillah suatu keputusan akhir yang merupakan hasil keputusan bersama atau permufakatan bulat. Pengambilan keputusan tersebut didasarkan pada surat dakwaan dan segala sesuatu yang telah dibuktikan di dalam persidangan.1

1

(23)

13

Sebelum putusan hakim diucapkan atau dijatuhkan, maka prosedural yang harus dilakukan hakim dalam praktek lazim melalui tahapan sebagai berikut:

1. Sidang dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwa merupakan seorang anak;

2. Terdakwa dipanggil masuk ke depan persidangan dalam keadaan bebas kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan identitas terdakwa serta terdakwa diingatkan supaya memperhatikan segala sesuatu yang didengar serta dilihatnya di dalam persidangan;

3. Pembacaan surat dakwaan untuk acara biasa (Pid.B) atau catatan dakwaan untuk acara singkat (Pid.S) oleh Penuntut Umum;

4. Selanjutnya terdakwa dinyatakan apakah sudah benar-benar mengerti akan dakwaan tersebut, apabila terdakwa dinyatakan tidak mengerti lalu Penuntut Umum atas permintaan hakim ketua sidang pengadilan wajib memberikan penjelasan yang diperlukan;

5. Keberatan terdakwa atau Penasehat Hukum terhadap surat dakwaan Penuntut Umum;

6. Dapat dijatuhkan putusan sela atau penetapan atau atas keberatan tersebut hakim berpendapat baru diputus setelah selesai pemeriksaan perkara maka sidang dilanjutkan;

7. Pemeriksaan alat bukti berupa: a. Keterangan saksi;

b. Keterangan ahli; c. Surat;

(24)

e. Keterangan terdakwa.

8. Kemudian pernyataan hakim ketua sidang bahwa pemeriksaan dinyatakan selesai dan Penuntut Umum mengajukan tuntutan pidana (Requisitor);

9. Pembelaan (Pledoi) Terdakwa atau Penasehat Hukum; 10.Replik dan duplik, selanjutnya re-replik dan re-duplik;

11.Pemeriksaan dinyatakan ditutup dan hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk menjatuhkan pidana.

Semua putusan pengadilan atau hakim ini hanya sah dan memiliki kekuatan hukum tetap apabila diucapkan di dalam persidangan yang terbuka untuk umum. Surat keputusan tersebut ditandatangani oleh hakim dan panitera seketika setelah putusan itu diucapkan.2

Hal lain yang menjadi ketentuan adalah putusan dinyatakan dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal dalam KUHAP dan Undang-Undang lain menentukan lain. Pengecualian dalam KUHAP adalah dalam hal acara pemeriksaan tepat dimana putusan dapat dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa dan juga terdakwa dapat menunjuk orang lain mewakilinya di sidang pengadilan.

Sesudah putusan pemidanaan diucapkan, hakim ketua sidang wajib memberitahu terdakwa apa yang menjadi haknya, yaitu:

1. Hak segera menerima atau segera menolak putusan;

2. Hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak putusan, dalam tenggang waktu yang ditentukan yaitu tujuh hari sesudah

2

(25)

15

putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir.3

3. Hak meminta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang untuk dapat mengajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan (Pasal 169 ayat (3) KUHAP Jo Undang-Undang Grasi); 4. Hak meminta banding dalam tenggang waktu tujuh hari setelah putusan

dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir sebagaimana dimaksud dalam (pasal 196 ayat (2) KUHAP, Pasal 196 ayat (3) Jo Pasal 233 ayat (2) KUHAP);

5. Hak segera mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud pada butir 1 (menolak putusan) dalam waktu seperti ditentukan dalam Pasal 235 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa selama perkara banding belum diputus oleh pengadilan tinggi, permintaan banding dapat dicabut sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut, permintaan banding dalam perkara itu tidak boleh diajukan lagi (Pasal 196 ayat (3) KUHAP).

2. Isi Keputusan Hakim

Setiap keputusan hakim adalah salah satu kemungkinan dari tiga kemungkinan: a. Pemidanaan atau penjatuhan pidana dan atau tata tertib;

b. Putusan bebas;

c. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum.

Seperti yang tercantum di dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP, suatu putusan

pemidanaan dijatuhkan, ”Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah

3

(26)

melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan

menjatuhkan pidana.”

Selanjutnya, putusan bebas dijatuhkan, ”Jika pengadilan berpendapat bahwa dari

hasil pemeriksaan sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus

bebas,” (pasal 191 ayat (1) KUHAP)

Kemungkinan yang terakhir, putusan lepas dari segala tuntutan, dijelaskan dalam

Pasal 191 ayat (2) KUHAP sebagai berikut: ”Jika pengadilan berpendapat bahwa

perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana maka terdakwa diputus bebas dari segala tuntutan hukum.”

3. Formalitas Yang Harus Dipenuhi Suatu Putusan Hakim

Di dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP dijelaskan tentang adanya formalitas yang harus dipenuhi suatu putusan hakim yang kalau tidak terpenuhi, keputusan tersebut akan batal demi hukum.

Ketentuan tersebut adalah:

a. Kepala putusan berbunyi: DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA;

b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, pekerjaan terdakwa;

(27)

17

d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;

e. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;

f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakandan pasal perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan;

g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;

h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan delik disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;

i. Ketentuan kepada barang siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti; j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana

letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat autentikdianggap palsu;

k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan; l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus,

dan nama panitera. B. Disaparitas Pidana

(28)

bagi terpidana bahkan masyarakat pada umumnya. Muncul pula kecemburuan sosial dan juga pandangan negatif oleh masyarakat pada institusi peradilan, yang kemudian diwujudkan dalam bentuk ketidakpedulian pada penegakan hukum dalam masyarakat. Kepercayaan masyarakat pun semakin lama semakin menurun pada peradilan, sehingga terjadilah kondisi dimana peradilan tidak lagi dipercaya atau dianggap sebagai rumah keadilan bagi mereka atau dengan kata lain terjadi kegagalan dari sistem peradilan pidana.

Main hakim sendiri pun menjadi sesuatu yang lebih baik dan lebih memenuhi rasa keadilan daripada mengajukan perkara mereka ke pengadilan. Keadaan ini tentu menimbulkan inkonsistensi putusan peradilan dan juga bertentangan dengan konsep rule of law yang dianut oleh Negara kita, dimana pemerintahan diselenggarakan berdasarkan hukum dan didukung dengan adanya lembaga yudikatif yakni institusi peradilan untuk menegakkan hukum, apa jadinya jika masyarakat tidak lagi percaya pada penegakan hukum di Indonesia. Tidak sampai disitu saja, konsep equality before the law yang menjadi salah satu ciri Negara hukum pun masih perlu dipertanyakan terkait dengan realita yang ada, dimana disparitas pidana tampak begitu nyata dalam penegakan hukum.

(29)

19

Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief, yakni:

“Terpidana yang setelah memperbandingkan pidana kemudian merasa menjadi

korban terhadap judicial caprice akan menjadi terpidana yang tidak menghargai hukum, padahal penghargaan terhadap hukum tersebut merupakan salah satu target di dalam tujuan pemidanaan. Dari ini akan Nampak suatu persoalan yang serius, sebab akan merupakan suatu indikator dan manifestasi dari kegagalan suatu sistem unutk mencapai persamaan keadilan di dalam Negara hukum dan sekaligus akan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem penyelenggaraan hukum pidana. Sesuatu yang tidak diharapkan terjadi bilamana disparitas tersebut tidak diatasi, yaitu timbulnya demoralisasi dan sikap anti rehabilitasi di kalangan terpidana yang lebih berat daripada yang lain dalam kasus yang sebanding.”4

Harkristuti Harkrisnowo yang dalam salah satu tulisannya menyatakan bahwa: Dengan adanya realita disparitas pidana tersebut, tidak heran jika publik mempertanyakan apakah hakim/pengadilan telah benar-benar melaksanakan tugasnya menegakkan hukum dan keadilan? Dilihat dari sisi sosiologis, kondisi disparitas pidana dipersepsi publik sebagai bukti ketiadaan keadilan (societal justice). Sayangnya, secara yuridis formal, kondisi ini tidak dapat dianggap telah melanggar hukum. Meskipun demikian, seringkali orang melupakan bahwa

elemen “keadilan” pada dasarnya harus melekat pada putusan yang diberikan oleh

hakim.

4

(30)

Harkristuti Harkrisnowo berpendapat salah satu pembenaran bahwa disparitas pidana telah membawa hukum kita kepada keadaan yang tidak lagi sesuai dengan tujuan penegakan hukum. Hukum yang semula dimaksudkan untuk menjadi penjaga keadilan, kemanfaatan sosial, dan kepastian hukum tidak lagi dapat dipenuhi secara utuh, karena dalam hal ini unsur keadilanlah yang oleh masyarakat dirasa tidak lagi dipenuhi atau diberikan oleh Hakim dalam menegakkan hukum.

Disparitas pidana tidak hanya terjadi di Indonesia, yang termasuk keluarga hukum eropa continental, yang tidak mengenal sistem presedent. Hampir seluruh Negara di dunia menghadapi masalah ini. Disparitas pidana yang disebut sebagai the disturbing disparity of sentencing mengundang perhatian lembaga legislatif serta lembaga lain yang terlibat dalam sistem penyelenggaraan hukum pidana untuk memecahkannya.5Sebelum mengulas lebih dalam mengenai problematika disparitas pidana, terlebih dahulu baiknya dipahami mengenai pengertian disparitas pidana, yakni: Disparitas pidana adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama atau terhadap tindak pidana yang sifat bahayanya dapat diperbandingkan tanpa dasar pembenaran yang jelas.6 Dari pengertian tersebut dapatlah kita lihat bahwa disparitas pidana timbul karena adanya penjatuhan hukuman yang berbeda terhadap tindak pidana yang sejenis. Penjatuhan pidana ini tentunya adalah hukuman yang dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana sehingga dapatlah dikatakan bahwa figur hakim di dalam hal timbulnya disparitas pemidanaan sangat menentukan.

5

Muladi, 1985, Op.cit, hal. 52

(31)

21

Harkristuti Harkrisnowo membagi disparitas pidana dapat terjadi dalam beberapa kategori yaitu:

1. Disparitas antara tindak tindak pidana yang sama.

2. Disparitas antara tindak tindak pidana yang mempunyai tingkat keseriusan yang sama

3. Disparitas pidana yang dijatuhkan oleh satu majelis hakim

4. Disparitas antara pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang berbeda untuk tindak pidana yang sama.7

Dari pendapat Harkristuti Harkrisnowo itulah dapat kita temukan wadah dimana disparitas tumbuh dan menyejarah dalam penegakan hukum di Indonesia. Disparitas tidak hanya terjadi pada tindak pidana yang sama, tetapi juga pada tingkat keseriusan dari suatu tindak pidana, dan juga dari putusan hakim, baik satu majelis hakim maupun oleh majelis hakim yang berbeda untuk perkara yang sama. Tentu saja kenyataan mengenai ruang lingkup tumbuhnya disparitas ini menimbulkan inkonsistensi di lingkungan peradilan.

C. Tindak Pidana Perdagangan Orang (Trafficking In Person)

5. Pengertian Tindak Pidana

Sumber hukum formil di Indonesia adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang bersumber pada WvS Belanda, maka dalam bahasa Indonesia istilah

7Harkristuti Harkrsnowo, “Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan terhadap Proses

Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia”, 2003, hal.28.

(32)

Aslinya pun sama yaitu Strafbaar Feit. Di dalam bahasa Indonesia, istilah

Strafbaar Feit dapat diartikan menjadi beberapa pengertian. Moeljatno dan Roeslan Saleh memakai istilah perbuatan pidana, E. Utrecht mengartikan istilah

Strafbaar Feit sebagai peristiwa pidana.

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana (yuridis normatif). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis. Kejahatan atau perbuatan jahat dalam arti yuridis normatif adalah perbuatan seperti yang terwujud in-abstarcto dalam peraturan pidana. Sedangkan kejahatan dalam arti kriminologis adalah perbuatan manusia yang menyalahi norma yang hidup di masyarakat secara konkret dan pelaku tindak pidana dapat

dikatakan merupakan “subjek tindakpidana”.8

Beberapa sarjana mengemukakan pendapat yang berbeda dalam mengartikan istilah Strafbaar Feit, sebagai berikut.

1. Simons :

Tindak pidana adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.

2. Moeljatno :

Perbuatan pidana (tindak pidana) adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.

3. Wirjono Prodjodikoro :

8

(33)

23

Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.

4. Pompe :

Menjelaskan pengertian tindak pidana menjadi dua definisi, yaitu :

Definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.

Definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian yang oleh peraturan undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.

5. Vos :

Tindak pidana adalah suatu kelakuan manusia diancam pidana oleh peraturan undang-undang, jadi suatu kelakuan yang pada umumnya dilarang dengan ancaman pidana.

6. Van Hamel :

Tindak pidana adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.

Berdasarkan pengertian-pengertian tindak pidana di atas, dapat dilihat adanya unsur-unsur dari suatu tindak pidana, Moeljatno merumuskan unsur-unsur tindak pidana tersebut sebagai berikut :

1. Perbuatan (manusia)

(34)

Melihat unsur-unsur dari tindak pidana yang dikemukakan oleh Moeljatno di atas, maka perdagangan manusia (Trafficking In Person) dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana yang sangat dilarang oleh undang-undang

6. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang (Trafficking In Person)

Trafficking In Person (khusunya anak dan perempuan) secara konseptual adalah pemindahan dari dukungan sosial atau keluarganya melalui proses direkrut, dikirim, dipindahkan, ditampung, dan diterima oleh perseorangan atau kelompok dengan menggunakan kekerasan, penculikkan, penipuan, penyalagunaan kekuasaan atau posisi rentan seseorang untuk tujuan eksploitasi seksual, ponografi, kerja paksa, prostitusi dan bentuk-bentuk lain serupa perbudakan. Secara sederhana, trafficking adalah sebuah bentuk perbudakan modern.

Definisi trafficking yang paling banyak diterima di seluruh dunia adalah definisi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang mengatakan bahwa trafficking

adalah:

”Perekrutan, pengangkutan, pengiriman, penampungan atau penerimaan orang ini, dengan cara ancaman atau penggunaan kekerasan atau jenis paksaan lainnya, penculikan, pemalsuan, penipuan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi yang rentan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau tunjangan untuk mencapai kesepakatan seseorang memiliki kendali atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi."

Memang definisi yang diberikan dalam protokol PBB tahun 2000 tersebut terasa masih rumit bagi orang awam, karena menggunakan bahasa teknis hukum. Namun, dari definisi tersebut, setidaknya ada tiga tahap bagaimana kejahatan

(35)

25

pemindahan atau penampungan atau penerimaan. Kedua, jalan atau cara, meliputi ancaman atau pemaksaan atau penculikan atau penipuan atau kebohongan atau kecurangan atau penyalagunaan kekuasaan. Dan ketiga, tujuan, yaitu prostitusi atau pornografi atau eksploitasi seksual atau kerja paksa dengan upah yang tidak layak atau perbudakan atau praktek-praktek lain yang serupa dengan perbudakan. Jika ketiga tahapan tersebut terpenuhi, maka satu kasus dapat dikatakan sebagai

Trafficking In Person atau perdagangan manusia. Dan Persetujuan dari korban tidak lagi relevan bila salah satu dari tiga tahap yang tercantum tersebut digunakan.

Trafficking, menurut International Catholic Migration Commission (ICMC) dan

American Center for International Labor Solidarity (ACILS) tidak hanya merampas hak asasi tapi juga membuat korban rentan terhadap pemukulan, penyakit, trauma kejiwaan (psikologi) dan bahkan kematian. Pelaku trafficking

menipu, mengancam, mengintimidasi dan melakukan tindak kekerasan fisik untuk menjerumuskan korban ke dalam prostitusi, pornografi, kerja paksa, perbudakan dan lain-lain. Pelaku trafficking menggunakan berbagai teknik untuk menanamkan rasa takut pada korban supaya bisa terus diperbudak oleh mereka.

Menurut Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2000 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapus Eksploitasi Seksual Komersial Pada Anak, Trafficking in Persons atau Perdagangan Manusia adalah:

(36)

penipuan, pemberdayaan, penyalahgunaan kekuasaan atau ketergantungan atau dengan pemberian atau penerimaan pembayaran atau imbalan lain dalam memperoleh persetujuan dari seseorang yang memiliki kendali atas orang lainnya, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi setidak-tidaknya akan meliputi eksploitasi dalam bentuk pemelacuran orang lain atau dalam bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan, penghambatan, dan atau pengambilan organ tubuh.

2. Rekruitmen, transportasi, penampungan atau penerimaan seorang anak untuk tujuan eksploitasi akan dianggap sebagai Trafficking (Perdagangan) manusia bahkan apabila hal tersebut tidak melibatkan cara-cara sebagaimana dipaparkan dalam sub 1.

3. Anak berarti setiap orang yang umurnya belum mencapai 18 (delapan belas) tahun.

Berdasarkan Keputusan Presiden tersebut, telah dapat dikategorikan bahwa

Trafficking untuk tujuan seksual anak apabila memenuhi unsur-unsur:

1. Rekruitmen, transportasi, penampungan atau penerimaan orang, yang umurnya belum mencapai 18 (delapan belas) tahun.

2. Untuk tujuan eksploitasi dengan menjerumuskannya ke dalam prostitusi atau dalam bentuk eksploitasi seksual lainnya

(37)

27

penculikan, penyekapan, pemalsuan,penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

Ada empat hal sifat dasar Trafficking in Persons, yaitu :

a. Bersifat manipulatif atau penyalahgunaan, yaitu penyimpangan dari rencana semula atau hal yang diinformasikan kepada korban. Pada saat membujuk dikatakan akan diberikan pekerjaan layak tetapi pada kenyataannya dijadikan budak, dieksploitasi, dipekerjakan pada pekerjaan buruk, dijadikan obyek transplantasi, dan sebagainya.

b. Ada transaksi, dalam trafiking terjadi transaksi uang antara calo, penjual dan pembeli atau pemakai.

c. Tidak mengerti, yakni korban pada umumnya tidak mengerti bahwa ia akan menjadi korban dari tindak pidana, karena ketika akan bermigrasi dalam niatnya akan mencari pekerjaan atau tujuan lainnya yang tidak ada hubungan dengan sindikat tindak pidana.

(38)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan dengan cara pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris.

Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan masalah dengan melihat, menelaah, menginterprestasikan hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum yang berupa konsepsi, peraturan perundang-undangan, pandangan, doktrin-doktrin hukum dan sistem hukum yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas.

Pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan masalah dengan menelaah hukum dalam kenyatan baik berupa penilaian, pendapat, sikap yang berkaitan dengan amar putusan pengadilan dalam penetapan dan penerapan Undang-undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang.

B. Sumber dan Jenis Data

(39)

29

Sumber data yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini berupa data primer dan data sekunder.

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari lapangan terutama dari orang-orang yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti dalam penulisan skripsi. Data primer ini akan diambil dari Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang, Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari penelusuran studi kepustakaan dengan mempelajari berbagai literatur, dokumen resmi dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan objek penelitian. Baik itu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.1

a. Bahan Hukum Primer terdiri dari :

1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana selanjutnya disebut KUHAP.

2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana selanjutnya disebut KUHP. 3) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana

Perdagangan Orang.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberi penjelasan mengenai bahan-bahan primer, seperti :

1

(40)

1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 tahun 2008 tentang Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu Bagi Saksi dan atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang.

2) Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 4 tahun 2008 tentang Pelayanan Terhadap Hak-hak Anak.

3) Kasus nyata yang pernah terjadi dan telah putus di Pengadilan yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang (Trafficking In Person) (Putusan Nomor 1633/Pid/B/2008/PN.TK dan Putusan Nomor 384/Pid/B/2012/PNTK).

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus, pendapat para sarjana, buku-buku literatur dan bahan non-buku.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Populasi yaitu jumlah keseluruhan dari unit analisis yang ciri-cirinya dapat diduga. Populasi dalam penelitian ini adalah Hakim Pengadilan Negeri Kelas I A Tanjung Karang, Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung.

(41)

31

Sampel yang akan dijadikan responden adalah :

1. Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang : 1 orang 2. Jaksa Kejaksaan Negeri Bandar Lampung : 1 orang 3. Dosen Fakultas Hukum bagian Hukum Pidana : 1 orang

Jumlah Responden : 3 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini didapat melalui langkah-langkah sebagai berikut :

a. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan melalui rangkaian kegiatan membaca literatur yang berkenaan dengan analisis putusan hakim terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang. Literatur tersebut berupa buku-buku, makalah-makalah dan opini kerja, hasil seminar dan menganalisa peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan permasalahan.

b. Studi Lapangan

Dilakukan untuk memperoleh data primer dengan menggunakan metode wawancara secara langsung dengan responden yang telah direncanakan sebelumnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun

(42)

2. Prosedur Pengolahan Data

Data yang telah terkumpul melalui kegiatan pengumpulan data diproses melalui pengolahan data. Pengolahan data dilakukan dengan cara :

a. Identifikasi data, yaitu mencari data yang diperoleh untuk disesuaikan dengan pokok bahasan, yaitu buku-buku atau literatur dan instansi yang berhubungan. b. Editing, yaitu memeriksa kembali kelengkapan jawaban, kejelasan dan

relevansi dengan penelitian.

c. Seleksi data, yaitu data yang diperoleh untuk disesuaikan dengan pokok bahasan, dengan mengutip data yang diperoleh dari buku-buku, literatur dan instansi yang berhubungan dengan pokok bahasan.

d. Klasifikasi data, yaitu menempatkan data-data sesuai dengan ketetapan dan aturan yang telah ada.

e. Sistematika data, yaitu menyusun data menurut tata urutan yang telah ditetapkan sesuai konsep, tujuan dan bahan sehingga mudah dianalisa.

E. Analisis Data

(43)

52

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut:

(44)

a. Putusan hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut mendasarkan pada terpenuhinya atau tidak terpenuhinya seluruh unsur pasal yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum, setelah itu akan ditentukan apakah perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tersebut adalah pelanggaran hukum atau bukan merupakan pelanggaran hukum.

b. Setelah diketahui bahwa perbuatan itu melanggar hukum, maka hakim menentukan bahwa terdakwa mampu bertanggungjawab atas perbuatan yang telah dilakukannya yang selanjutnya menjatuhkan pidana dan jika sebaliknya maka hakim akan menjatuhkan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.

c. Jenis pidana yang akan dijatuhkan mempertimbangkan: 1. Tingkat kesalahan yang telah dilakukan.

2. Pengaruh tindak pidana yang telah dilakukan terhadap korban atau masyarakat. 3. Ancaman terhadap pasal yang didakwakan.

4. Hal yang meringankan dan hal yang memberatkan. 5. Hasil laporan kemasyarakatan.

6. Fakta-fakta hukum yang terungkap dalam persidangan.

(45)

54

Undang-Undang RI No. 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang. Karena pada kasus pertama penulis menganalisis telah terjadinya unsur pemufakatan jahat dan unsur penipuan yaitu dengan cara Mai Diana alias Dewi Wulandari (korban) yang mengaku dijanjikan oleh Fitriyani pekerjaan. Akan tetapi, kenyataannya korban malah dipaksa melayani tamu sampai beberapa kali di sebuah kafe milik Fitriyani di daerah Panjang yang diberi nama Kafe dan Wisma Selayang Pandang, sedangkan pada kasus 2 terdakwa Asmaniar hanya memenuhi unsur tindak pidana perdagangan orang yaitu dengan cara Anna Nurhidayah (korban) yang mengaku dijual oleh Asmaniar kepada laki-laki hidung belang, Hakim bebas untuk memilih beratnya pidana (starmaat) yang akan dijatuhkan sebab yang ditentukan oleh undang undang hanyalah maksimum dan minimumnya saja. Untuk itu diperlukan kecermatan hakim dalam membuat keputusan dan belum adanya pedoman pemidanaan dalam hukum pidana.

B. SARAN

1. Agar aparat penegak hukum terutama hakim tidak menjadikan perbuatan yang bertentangan dengan norma sebagai dasar pertimbangan hakim untuk membuat putusan karena hal tersebut telah menjadi dasar penetapan bahwa perbuatan memperdagangkan orang adalah sebuah tindak pidana.

(46)

DAFTAR PUSTAKA

Andrisman, Tri. 2005. Hukum Pidana: Asas-Asas Dan Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Muladi, 1985, Dampak Disparitas Pidana dan Usaha Mengatasinya, Masalah- masalah Hukum, Fakultas Hukum UNDIP , Semarang.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Teori-teori dan Kebijakan Hukum Pidana, Alumni bandung.

Gultom, Maidin. 2006. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia. Refika aditama.

Hamzah, Andi. 2000. Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta. Harahap, M. Yahya. 2003. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,

Sinar Grafika, Jakarta.

Kansil, CST. 2002. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.

Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Citra Aditya Bakti. Bandung

Prodjodikoro, Wirjono. 2003. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Refika Aditama, Bandung.

Singarimbun, Masri dan Sofyan Effendi 1989. Metode Penelitian Survey, LP3ES. Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. Sudarsono. 2002. Kamus Hukum. Jakarta: Rineka Cipta

(47)

Universitas Lampung. 2004. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, Universitas Lampung. Bandar Lampung

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. 2005. Sinar Grafika. Jakarta.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara Dan Mekanisme Pelayanan Terpadu Bagi Saksi Dan/Atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Referensi

Dokumen terkait

ANALISIS KOMPETENSI PEKERJA LULUSAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN SEBAGAI IMPLEMENTASI PROGRAM PRAKTEK KERJA INDUSTRI.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Privasi, Kepercayaan, Keamanan, Reputasi dan keinginan terhadap keputusan nasabah menggunakan fasilitas internet

Berdasarkan pada hasil analisis dan pembahasan, maka kesimpulan pada penelitian ini adalah : (1) Untuk dimensi percaya diri berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan suatu penelitian dengan judul: “ Pengembangan dan Efektivitas Modul Pembelajaran Inovatif untuk

BULU ATAU RAMBUT ??.. VARIATION

[r]

Seseorang yang mempunyai kemampuan interpersonal memadai akan menjadi pelaku tari yang baik. Ini disebabkan seperti Edi Sedyawati katakan bahwa rasa indah yang dihayati kemudian

Kartini adalah satu-satunya perempuan pribumi yang ada disana, teman perempuan Kartini hanya anak-anak menir Belanda, jadi tak heran bahwa kartini