TINJAUAN YURIDIS PELANGGARAN HAM TERHADAP MUSLIM UIGHUR DI CHINA DITINJAU DARI HUKUM HUMANITER
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
O L E H
MUHAMMAD FAJRIN SARAGIH 100200016
DEPARTEMEN: HUKUM INTERNASIONAL
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
TINJAUAN YURIDIS PELANGGARAN HAM TERHADAP MUSLIM UIGHUR DI CHINA DITINJAU DARI HUKUM HUMANITER
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
O L E H
MUHAMMAD FAJRIN SARAGIH 100200016
DEPARTEMEN : HUKUM INTERNASIONAL
Disetujui oleh :
KETUA DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL
NIP : 19561210198601200 Dr. Chairul Bariah, SH, M.Hum
Pembimbing I Pembimbing II
Prof, Sulaiman, SH
NIP. 19472281979031001 NIP. 199508081980031004 Makdin Munthe, SH, M.Hum
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya,
Nama : MUHAMMAD FAJRIN SARAGIH
NIM : 100200016
Judul : TINJAUAN YURIDIS PELANGGARAN HAM TERHADAP MUSLIM UIGHUR DI CHINA DITINJAU DARI HUKUM HUMANITER
Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul karya
saya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuat oleh orang
lain.
Apabila ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana
tersebut diatas, maka saya bersedia mempertanggungjawabkan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku termasuk sanksi pencabutan gelar kesarjanaan yang telah
saya peroleh.
Medan,
NIM. 100200016
ABSTRAK
Prof, Sulaiman, SH * Makdin Munthe, SH, M.Hum **
Muhammad Fajrin Saragih ***
HAM adalah hak-hak yang melekat pada diri setiap manusia sehingga mereka diakui kemanusiaannya tanpa membedakan jenis kelamin, ras, warna kulit, bahasa, agama, politik, bangsa, status sosial, kekayaan, dan kelahirannya. Termasuk dalam hak asasi ini adalah hak untuk hidup layak, merdeka, dan selamat. Ini merupakan tugas negara untuk melindungi hak asasi warga negaranya dari pihak-pihak yang ingin mengganggu atau meniadakannya. Kepentingan Individu mulai terasa memerlukan perlindungan terhadap pemerintahannya. Individu menuntut hak-hak yang diperlukan kebebasan dari campur tangan pemerintahannya.
Permasalahan yang dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimana bentuk-bentuk masalah pelanggaran HAM terhadap muslim di Uighur, bagaimana kejahatan kemanusiaan terhadap muslim di Uighur ditinjau dari konvensi jenewa 1949 dan statuta roma dan bagaimana upaya-upaya yang telah dilakukan oleh organisasi internasional dalam meredam kericuhan yang terjadi pada muslim di Uighur.
Peristiwa kejahatan yang menimpa Muslim uighur di China telah menjurus kepada Genosida, usaha pembersihan etnis karena dilakukan secara sistematis, dimulai dengan kebijakan- kebijakan Pemerintah China yang menyudutkan keberadaan Muslim Uighur. Konvensi Jenewa (Konvensi Palang Merah) tahun 1949 mengenai perlindungan korban perang dan sengketa bersenjata non-internasional dapat dijadikan rujukan dalam melakukan perlindungan terhadap rakyat Muslim Uighur. Kasus kejahatan kemanusiaan terhadap Muslim di Uighur, seperti pembunuhan, penyiksaan, pembakaran sekolah, pemusnahan tempat beribadah dan ketidakbebasan untuk menjalankan kepercayaan dalam beribadah yang dilakukan oleh pihak berkuasa dalam hal ini negara china masih tetap ada kemungkinan bagi Mahkamah Pidana Internasional untuk melaksanakan kompetensi dan yurisdiksinya terhadap kasus ini, karena fakta-fakta yang terjadi dalam kasus kejahatan kemanusiaan terhadap Muslim di Uighur ini telah terpenuhi syarat materilnya yang ditetapkan dalam Statuta Roma khususnya yang ada di Pasal 7 berkenaan dengan kejahatan terhadap kemanusiaan. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk meredam kericuhan yang terjadi terhadap Muslim di Uighur mengajukan kasus yang terjadi ke peradilan internasional seperti International Criminal Court yang diatur dalam statuta roma tahun 1998.
Keywords: Pelanggaran HAM, Muslim di Uighur, Hukum Humaniter dan Hukum Internasional
* Dosen Pembimbing I ** Dosen Pembimbing II
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rakhmat, taufik dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beriring salam juga penulis
persembahkan kepada Junjungan Kita Nabi Besar Muhammad SAW telah
membawa kabar tentang pentingnya ilmu bagi kehidupan di dunia dan di akhirat
kelak.
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian tingkat
Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini
berjudul “TINJAUAN YURIDIS PELANGGARAN HAM TERHADAP MUSLIM UIGHUR DI CHINA DITINJAU DARI HUKUM HUMANITER”.
Di dalam menyelesaikan skripsi ini, telah banyak mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
terima-kasih yang sebesar-besarnya kepada :
- Kedua orang tua penulis, Ayahanda Rapidin Saragih dan Ibunda H.j Maria
Ulfa Pohan atas kasih sayang dan cintanya kepada penulis, tekhusus
kepada Ibunda yang penulis cintai sepanjang hayat, yang selalu
memberikan dukungan dan doanya serta bantuan baik berupa moril
maupun materil. Maafkan jika selama ini ananda belum bisa memberikan
apa-apa kepada Ibunda, karena memang tak ada yang dapat ananda
berikan untuk membalas jasa Ibunda kecuali doa, doa, dan doa, yang
hanya bisa ananda panjatkan setiap hari semoga kita dipertemukan di
Jannah-Nya di akhir nanti. Tiada kata-kata dan waktu yang cukup untuk
- Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M. Hum, selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara beserta staf-stafnya.
- Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum, selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,
- Bapak Syafruddin Hasibuan, SH.M.H.DFM, selaku Pembantu Dekan II
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,
- Bapak Dr. Oka Saidin, SH, M.hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara,
- Ibu Dr.Chairul Bariah, SH, M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum
Internasional dan Bapak Dr.Jelly Leviza, SH, M. Hum selaku Sekertaris
Departemen Hukum Internasional, yang telah memberikan kesempatan
bagi penulis untuk membuat skripsi ini,
- Bapak Prof. Sulaiman, SH, selaku Pembimbing I, yang telah sabar
menyediakan dan meluangkan waktunya untuk memberikan segala
bimbingan dan saran kepada penulis dalam penyelesaiaan skripsi ini.
- Bapak Makdin Munthe, SH, M. Hum, selaku Pembimbing II, yang juga
telah sabar untuk mnyediakan dan meluangkan waktunya dalam
memberikan segala bimbingan serta saran kepada penulis dalam
penyelesaiaan skripsi ini.
- Bapak Prof. Syamsul Arifin, SH.M.H, selaku Dosen Wali penulis yang
telah memberikan bimbingan dan konseling kepada penulis selama
- Bapak dan Ibu dosen pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara, yang telah memberikan pengajaran tentang segala ilmu pengetahuan
kepada penulis selama penulis menyelesaikan studinya,
- Kedua saudari kandung penulis kakak penulis Rafika Devi Saragih dan
adik penulis Rahdini Rizki Saragih yang saya cintai dan sayangi yang
telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan penulis, yang
menjadi motivasi penulis dalam menjalani sisa-sisa hidup yang fana ini,
- Seluruh kawan-kawan grup C stambuk 2010 yang dari awal masuk kita
selalu bersama, dan kawan-kawan ILSA stambuk 2010 yang ada di
Departemen Hukum Internasional yang menambah wawasan pergaulan
penulis selama penulis menempuh studi di Fakultas Hukum USU,
- Kepada sahabat karib penulis, Ramadhan Syahputra Siregar, Sayid
Ammar, dan lain lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu,
terima kasih telah banyak memberikan motifasi serta sudi berteman
dengan penulis selama berada dalam masa-masa belajar di Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara, dan memberikan dukungan dan
semangat kepada penulis,
- Teman teman sejak kecil penulis, Akbar Raharja, Akhmad Ridho, Ibnu
Fajar, Faisal Harahap, Yogi Nugraha, Simon Giando, Amas Gunarko,
Roemanto terima kasih telah banyak mendoakan penulis dan suskes ke
depan buat kita amin,
- Sahabat sahabat Alumni Pesantren Darul Arafah yang 12 dan 19 penulis
Uswatun Khasanah, Mai Muliani, dan semua sahabat penulis terima kasih
telah banyak meluangkan waktu untuk berbagi cerita,
- Teman terdekat penulis Fachrum Nisa Purba yang telah banyak
memberikan, dukungan, doa, motifasi,serta kasih sayang dan semoga kita
tetap bersama,
- Rekan-rekan se-almamater di Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara.
Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.
Akhir kata, atas segala budi baik semua pihak kiranya mendapat ridho
Allah SWT dan semoga ilmu yang telah dipelajari selama masa perkuliahan dapat
berguna untuk kepentingan dan kemajuan Agama, Bangsa dan Negara.
Demikianlah penulis niatkan, semoga tulisan ilmiah penulis ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.
Assalamu’alaukim Warahmatullahi Wabarakatuh
Medan, Januari 2015
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK
LEMBAR PERNYATAAN
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6
D. Keaslian Penulisan ... 8
E. Tinjauan Kepustakaan ... 8
F. Metode Penelitian... 11
G. Sistematika Penulisan. ... 12
BAB II. TINJAUAN UMUM MENGENAI HAK ASASI MANUSIA ... 14
A. Pengertian Hak Asasi Manusia ... 14
B. Faktor-Faktor Penyebab Kejahatan Kemanusian ... 20
C. Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Internasional ... 25
BAB III. DIMENSI PELANGGARAN HAM TERHADAP MUSLIM DI UIGHUR ... 45
B. Dampak Pelanggaran HAM Yang Terjadi Di Uighur ... 50
C. Pengaturan Pelanggaran HAM Di Dalam Internasional Criminal Court ... 55
BAB IV. PELANGGARAN HAM TERHADAP MUSLIM UIGHUR DITINJAU DARI HUKUM HUMANITER ... 64
A. Bentuk-Bentuk Masalah Pelanggaran HAM Terhadap Muslim Di Uighur ... 64
B. Kejahatan Kemanusiaan Terhadap Muslim Di Uighur Ditinjau Dari Konvensi Jenewa 1949 dan Statuta Roma .... 74
C. Upaya-Upaya Yang Telah Dilakukan Oleh Organisasi Internasional Dalam Meredam Kericuhan Yang Terjadi Pada Muslim Diuighur ... 88
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 99
A. Kesimpulan ... 99
B. Saran ... 101
ABSTRAK
Prof, Sulaiman, SH * Makdin Munthe, SH, M.Hum **
Muhammad Fajrin Saragih ***
HAM adalah hak-hak yang melekat pada diri setiap manusia sehingga mereka diakui kemanusiaannya tanpa membedakan jenis kelamin, ras, warna kulit, bahasa, agama, politik, bangsa, status sosial, kekayaan, dan kelahirannya. Termasuk dalam hak asasi ini adalah hak untuk hidup layak, merdeka, dan selamat. Ini merupakan tugas negara untuk melindungi hak asasi warga negaranya dari pihak-pihak yang ingin mengganggu atau meniadakannya. Kepentingan Individu mulai terasa memerlukan perlindungan terhadap pemerintahannya. Individu menuntut hak-hak yang diperlukan kebebasan dari campur tangan pemerintahannya.
Permasalahan yang dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimana bentuk-bentuk masalah pelanggaran HAM terhadap muslim di Uighur, bagaimana kejahatan kemanusiaan terhadap muslim di Uighur ditinjau dari konvensi jenewa 1949 dan statuta roma dan bagaimana upaya-upaya yang telah dilakukan oleh organisasi internasional dalam meredam kericuhan yang terjadi pada muslim di Uighur.
Peristiwa kejahatan yang menimpa Muslim uighur di China telah menjurus kepada Genosida, usaha pembersihan etnis karena dilakukan secara sistematis, dimulai dengan kebijakan- kebijakan Pemerintah China yang menyudutkan keberadaan Muslim Uighur. Konvensi Jenewa (Konvensi Palang Merah) tahun 1949 mengenai perlindungan korban perang dan sengketa bersenjata non-internasional dapat dijadikan rujukan dalam melakukan perlindungan terhadap rakyat Muslim Uighur. Kasus kejahatan kemanusiaan terhadap Muslim di Uighur, seperti pembunuhan, penyiksaan, pembakaran sekolah, pemusnahan tempat beribadah dan ketidakbebasan untuk menjalankan kepercayaan dalam beribadah yang dilakukan oleh pihak berkuasa dalam hal ini negara china masih tetap ada kemungkinan bagi Mahkamah Pidana Internasional untuk melaksanakan kompetensi dan yurisdiksinya terhadap kasus ini, karena fakta-fakta yang terjadi dalam kasus kejahatan kemanusiaan terhadap Muslim di Uighur ini telah terpenuhi syarat materilnya yang ditetapkan dalam Statuta Roma khususnya yang ada di Pasal 7 berkenaan dengan kejahatan terhadap kemanusiaan. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk meredam kericuhan yang terjadi terhadap Muslim di Uighur mengajukan kasus yang terjadi ke peradilan internasional seperti International Criminal Court yang diatur dalam statuta roma tahun 1998.
Keywords: Pelanggaran HAM, Muslim di Uighur, Hukum Humaniter dan Hukum Internasional
* Dosen Pembimbing I ** Dosen Pembimbing II
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang
mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh
ketaqwaan dan penuh tanggung jawab untuk kesejahteraan umat manusia, oleh
pencipta-Nya dianugerahi hak asasi untuk menjamin keberadaan harkat dan
martabat kemuliaan dirinya serta keharmonisan lingkungannya. Sebagai bagian
dari harkat dan martabat hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara
kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgem, oleh karena itu
harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi,
atau dirampas oleh siapapun.
Selain hak asasi manusia, manusia juga mempunyai kewajiban dasar
antara manusia yang satu terhadap yang lain dan terhadap masyarakat secara
keseluruhan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.1
Manusia juga harus menyadari karena adanya proses interaksi antar
manusia, hidup didalam “human totality” kesatuan manusia, yang dalam hal ini
harus diperhatikan juga hak-hak orang lain termasuk pemerintahan, sehingga
diharapkan adanya keseimbangan antara masyarakat dan pemerintahan selaku
pelindung atas hak-hak masyarakatnya, sesuai dengan teori perjanjian masyarakat
dari john locke yang mengatakan bahwa manusia itu lahir bebas dan mempunyai
hak-hak yang kekal dan tidak dapat dicabut, yang tidak pernah ditinggalkan ketika
umat manusia “dikontrak” untuk memasuki keadaan sosial dari keadaan primitif
1
dan tidak pernah berkurang karena tuntutan ‘hak ilahi raja’ atau pemerintah. Inilah
suatu idealisme dari pelaksana hak-hak asasi manusia di setiap negara di atas
permukaan bumi ini, tanpa ada pengecualiannya Bahwa tujuan utama dan pokok
dari dibentuknya suatu negara atau pemerintahan adalah untuk melindungi Hak
Asasi Manusia. Konsep negara seperti ini diusung oleh John Locke dalam
bukunya Two Treatises of Civil Government. Negara ada dan dibentuk oleh
manusia semata-mata untuk menjamin perlindungan hak-hak milik manusia yakni
kehidupannya, kebebasannya dan hak miliknya. Hak-hak milik yang melekat pada
manusia inilah yang kemudian diartikan sebagai Hak Asasi Manusia, karena hak
tersebut memang dimiliki oleh manusia sejak lahir.
Perkembangan Hukum Internasional, terutama setelah Perang Dunia I,
telah memberikan status kepada individu sebagai subjek hukum Internasional
yang mandiri dalam tata hukum internasional. Individu dalam hukum
Internasional hak asasi manusia, juga dapat membela hak-haknya secara langsung,
yang pada awalnya berlaku menurut masyarakat Eropa dalam Konvensi Eropa
serta berlaku dalam Konvensi Amerika.
Pengalaman pahit dan getir dari umat manusia dari perang dunia yang
telah terjadi dua kali, dimana harkat dan martabat hak-hak asasi manusia
terinjak-injak, timbul kesadaran umat manusia menempatkan penghormatan dan
penghargaan akan hak-hak asasi manusia ke dalam Piagam PBB yang sebagai
realisasinya muncul kemudian The Universal Declaration of Human Rights
(Pernyataan Sedunia tentang Hak-Hak Asasi Manusia) yang diterima secara
aklamasi oleh Sidang Umum Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember
Dengan memperhatikan besarnya perhatian PBB dan dunia internasioanal
terhadap hak-hak asasi manusia sedunia tersebut, maka sudah sepantasnya dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara harus menghormati dan memperlakukan
setiap manusia sesuai dengan harkat dan martabat hak-hak asasinya.
Perkembangan progresif di bidang hak asasi manusia dewasa ini tidak
terlepas dengan diterimanya suatu prinsip bahwa negara (pemerintah) mempunyai
kewajiban untuk menjamin dan memberikan perlindungan HAM tersebut selain
merupakan tanggung jawab negara yang bersangkutan juga merupakan tanggung
jawab bersama masyarakat internasional.
Hukum perang atau yang sering disebut dengan hukum Humaniter
internasional, atau hukum sengketa bersenjata memiliki sejarah yang sama tuanya
dengan peradaban manusia, atau sama tuanya dengan perang itu sendiri. Mochtar
Kusumaatmadja mengatakan, bahwa adalah suatu kenyataan yang menyedihkan
bahwa selama 3400 tahun sejarah yang tertulis, umat manusia hanya mengenal
250 tahun perdamaian. Naluri untuk mempertahankan diri kemudian membawa
keinsyarafan bahwa cara berperang yang tidak mengenal batas itu sangat
merugikan umat manusia, sehingga kemudian mulailah orang mengadakan
pembatasan-pembatasan, menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengatur perang
antara bangsa bangsa.2
2
Mochtar Kusumaatmadja, “Konvensi-Konvensi Palang Merah 1949”, Alumni, Bandung, 2002, hlm. 34
Selanjutnya Mochtar Kusumaatmadja juga mengatakan
bahwa tidaklah mengherankan apabila perkembangan hukum internasional
modern sebagai suatu sistem hukum yang berdiri sendiri dimulai dengan tulisan
-tulisan mengenai hukum perang. Dalam sejarahnya hukum humaniter
seluruh dunia. Perkembangan modern dari hukum humaniter baru dimulai pada
abad ke-19. Sejak itu, negara-negara telah setuju untuk menyusun aturan-aturan
praktis, yang berdasarkan pengalaman pengalaman pahit atas peperangan modern.
Hukum humaniter itu mewakili suatu keseimbangan antara kebutuhan
kemanusiaan dan kebutuhan militer dari negara-negara. Seiring dengan
berkembangnya komunitas internasional, sejumlah negara di Seluruh dunia telah
memberikan sumbangan atas perkembangan hukum humaniter internasional.
Dewasa ini, hukum humaniter internasional diakui sebagai suatu sistem hukum
yang benar-benar universal.3
Pemerintah China tidak cukup hanya menduduki Turkistan Timur dan
menggabungkannya menjadi bagian dari China, tetapi ia mengubah bentuk
penjajahannya menjadi penjajahan kependudukan, di mana ia memindahkan
sekitar delapan juta bangsa China dari keturunan Han yang merupakan suku
terbesar ke Turkistan Timur. Selanjutnya mereka diberi jabatan tinggi dan
kekuasaan penuh. Sementara penduduk asli dijadikan penduduk kelas dua yang
dipekerjakan sebagai pegawai rendahan, dan pekerja kasar untuk memperoleh
penghidupannya.
Sebuah pembantaian massal (genosida) baru dilakukan oleh pihak
berwenang China terhadap kaum Muslim Uighur di wilayah mereka sendiri yang
diduduki China, yang dikenal sebagai Turkistan Timur. Sementara China
menyebutnya dengan nama Xinjiang, yang berarti blok baru. Pembantaian itu
mengakibatkan lebih dari seratus enam pulum Muslim meninggal. Sementara
menurut warga Uighur akibat dari pembantaian itu hampir empat ratus Muslim
meninggal, ratusan menderita luka-luka, dan ratusan lagi ditangkap.
3
Sesungguhnya yang melakukan kejahatan terhadap warga Uighur
sekarang, bukan hanya pemerintah dan aparatnya yang bertindak represif, namun
juga orang-orang China keturunan Han yang banyak melakukan berbagai bentuk
permusuhan dan pelecehan terhadap penduduk asli. Di mana penduduk asli
diperlakukan seperti suku Indian di Amerika.4
Kepentingan Individu mulai terasa memerlukan perlindungan terhadap
pemerintahannya. Individu menuntut hak-hak yang diperlukan kebebasan dari
campur tangan pemerintahannya. Individu menuntut hak-hak yang diperlukan
sesuai dengan martabat manusianya, baik sebagai orang perseorangan maupun
sebagai kesatuan. Landasan teori pembenaran tuntutan itu didasarkan pada hukum
alam. Teori yang mengajarkan bahwa kekuasaan pemerintah memiliki batasan.
Dengan pembatasan itu, hukum alam memberikan individu hak-hak yang bebas
dari campur tangan pemerintah, termasuk dalam hak-hak itu adalah hak asasi
manusia. 5
Berkaitan dengan hal tersebut, menjadi tanggung jawab negara pula
jaminan atas penegakan hukum terhadap pelanggaran prinsip-prinsip HAM.
Apabila negara membiarkan ketiadaan penegakan hukum atau bahkan menjadi
bagian dari pelanggaran HAM tersebut maka negara telah melakukan tindakan
yang dikatakan sebagai impunitas (impunity).6
Karena alasan inilah penulis ingin mengangkat permasalahan pelanggaran
hak asasi manusia terhadap muslim Di Uighur kedalam sebuah judul skripsi
4
http//:bungkamnya-penguasa-sekuler-negeri-islam-terhadap-genosida-china-terhadap-muslim-uighur-adalah-pengkhianatan-terhadap-umat// Diakses 5 Januari 2015 Senin, Pukul 10.00 Wib
5
Dedi Supriyadi, “Internasional (dari konsepsi sampai aplikasi)”, Bandung, Pustaka Setia, 2011, hlm . 231
6
“Tinjauan Yuridis Pelanggaran HAM Terhadap Muslim Di Uighur Ditinjau Dari Hukum Humaniter”.
B. Rumusan Masalah
Dalam pembuatan suatu karya ilmiah khususnya skripsi, maka untuk
mempermudah penulis dalam pembahasan perlu dibuat suatu permasalahan sesuai
dengan judul yang diajukan penulis. Dari uraian diatas maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana bentuk-bentuk masalah pelanggaran HAM terhadap muslim di
Uighur ?
2. Bagaimana kejahatan kemanusiaan terhadap muslim di Uighur ditinjau
dari konvensi jenewa 1949 dan statuta roma ?
3. Bagaimana upaya-upaya yang telah dilakukan oleh organisasi
internasional dalam meredam kericuhan yang terjadi pada muslim di
Uighur ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Permasalahan hak asasi manusia ini sangat luas cakupannya dan tidak
pernah habis-habisnya untuk dibicarakan karena masalahnya sangat kompleks dan
sifatnya sangat universal, baik ditinjau dari dasar pemikiran dan pelaksanaannya
di setiap negara khususnya pelanggaran Muslim di Uighur. Dan secara singkat
tujuan dan manfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Tujuan Penulisan
a. Untuk memenuhi dan melengkapi syarat kesarjanaan hukum pada jurusan
b. Untuk mengetahui bentuk-bentuk masalah pelanggaran HAM terhadap
muslim di Uighur.
c. Untuk mengetahui kejahatan kemanusiaan terhadap muslim di Uighur
ditinjau dari konvensi jenewa 1949 dan statuta roma.
d. Untuk mengetahui upaya-upaya yang telah dilakukan oleh organisasi
internasional dalam meredam kericuhan yang terjadi pada muslim di
Uighur
2. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan skripsi yang akan penulis lakukan adalah
a. Secara Teoritis
Guna mengembangkan khasanah ilmu pengetahuaan hukum internasional,
khususnya terkait mengenai Tinjauan yuridis pelanggaran HAM terhadap
Muslim Di Uighur ditinjau dari Hukum Humaniter .
b. Secara praktis
Memberikan sumbangan pemikiran yuridis tentang pelanggaran HAM
terhadap Muslim Di Uighur ditinjau dari Hukum Humaniter dan Hukum
Internasional kepada Almamater Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara sebagai bahan masukan bagi sesama rekan-rekan mahasiswa.
D. Keaslian Penulisan
Berdasarkan penelusuran kepustakaan dengan membaca literature buku
yang terkait dan informasi yang ada khususnya dilingkungan Universitas
Sumatera Utara, tulisan (skripsi) mengenai pelanggaran HAM terhadap Muslim
Di Uighur Ditinjau dari Hukum Humaniter, sehingga keaslian tulisan ini dapat
E. Tinjauan Kepustakaan
Hak asasi manusia adalah hak universal yang dimiliki oleh seorang
individu sejak lahir dan tidak boleh ditiadakan oleh orang lain. Istilah hak di sini
mengacu pada nilai-nilai khusus manusia yang dianggap sedemikian fundamental
pentingnya sehingga nilai-nilai itu harus ditegakkan apabila aspirasi terpenting
dalam tatanan sosial ingin diwujudkan.7
Aspirasi terpenting manusia itu menjelma menjadi hak-hak asasi. HAM
adalah hak-hak yang melekat pada diri setiap manusia sehingga mereka diakui
kemanusiaannya tanpa membedakan jenis kelamin, ras, warna kulit, bahasa,
agama, politik, bangsa, status sosial, kekayaan, dan kelahirannya.8
Instrumen Hak Asasi Manusia Internasional, dewasa ini telah berkembang
disiplin ilmu hukum yang mengatur tentang perlindungan HAM secara
internasional, yang pada hakikatnya merupakan cabang dari hukum internasional
publik (public international law), ilmu hukum ini disebut dengan istilah hukum
hak asasi manusia internasional (international human rights law). Definisi hukum Termasuk
dalam hak asasi ini adalah hak untuk hidup layak, merdeka, dan selamat. Ini
merupakan tugas negara untuk melindungi hak asasi warga negaranya dari
pihak-pihak yang ingin mengganggu atau meniadakannya.
Hak Asasi Manusia (Human Rights) menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) adalah hak asasi manusia secara umum didefenisikan sebagai hak yang
melekat pada diri manusia dan dengan tidak adanya hak tersebut kita tidak dapat
hidup sebagai manusia.
7
Lynn H. Miller, “Agenda Politik Internasional”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, hlm. 388
8
hak asasi manusia internasional menurut pendapat Thomas Buergenthal,9
Namun, hak asasi manusia akan mengalami hambatan dalam situasi
konflik bersenjata, baik itu konflik antar negara maupun konflik dalam negeri/
dalam konflik bersenjata, penduduk sipil suatu negara atau wilayah sering menjadi
sasaran langsung dan menderita karenanya. Penduduk sipil yang tidak terlibat
dalam konflik terkadang mengalami pembantaian masal, diperkosa, disandera,
dilecehkan, diusir, dijarah, dan dihalang-halangi aksesnya terhadap makanan, air,
dan layanan kesehatan.
“…..
the international of human rights is defined as the law that deals eith the
protection of individual and groups against violations by government of their
internationally guaranteed rights and with the promotion of these rights” ( hukum
yang melindungi individu dan kelompok dari kesewenang-wenangan pemerintah
terhadap hak mereka yang dijamin secara internasional dan dengan tujuan untuk
kemajuan hak-hak tersebut).
10
Tidak selamanya saat perang atau konflik terjadi akan memikirkan tetang
HAM, namun antara hukum Humaniter dan HAM tentu memiliki kaitan dan
saling berhubungan. Dalam konvensi tentang hak asasi manusia terdapat pula
berbagai ketentuan yang penerapannya pada situasi perang. Konvensi Eropa
Tahun 1950, misalnya dalam Pasal 15 menentukan bahwa bila terjadi perang atau Hukum Humaniter Internasional adalah seperangkat aturan yang karena
alasan kemanusiaan dibuat untuk membatasi akibat-akibat dari pertikaian dan
membatasi cara-cara dan metode berperang. Hukum humaniter dikenal dengan
dengan istilah hukum perang dan hukum bersenjata.
9
bahaya umum lainnya yang mengancam stabilitas nasional, hak-hak yang dijamin
dalam konvensi ini tidak boleh dilanggar. Setidaknya terdapat 7 (tujuh) hak yang
harus dihormati, karena merupakan intisari dan konvensi ini yaitu : hak atas
kehidupan, hak kebebasan, integritas fisik, status sebagai subjek hukum,
kepribadian, perlakuan tanpa diskriminasi, dan hak atas keamanan.
Selain itu terdapat pula hak-hak yang tak boleh dikurangi (non derogable
rights), baik dalam keadaan damai maupun dalam keadaan sengketa bersenjata.
Hak-hak yang tidak boleh dikurangi tersebut meliputi hak hidup, prinsip
(perlakuan) non diskriminasi, larangan penyiksaan (torture), larangan berlaku
surutnya hukum pidana seperti yang ditetapkan dalam hukum sipil dan politik,
hak untuk tidak dipenjarakan karena ketidakmampuan melaksanakan ketentuan
perjanjian (kontrak), perbudakan (slavery), perhambaan (servitude), larangan
penyimpangan berkaitan dengan penawanan, pengakuan seseorang sebagai subjek
hukum, kebebasan berpendapat, keyakinan dan agama, larangan penjatuhan
hukum tanpa putusan yang diumumkan lebih dahulu oleh pengadilan yang lazim,
larangan menjatuhkan hukuman mati dan melaksanakan eksekusi dalam keadaan
yang ditetapkan dalam Pasal 3 ayat (1) huruf (d) yang bersamaan pada keempat
konvensi jenewa.11
Konferensi internasional mengenai hak asasi manusia yang
diselenggarakan oleh PBB di Teheran pada tahun 1968 secara resmi menjalin
hubungan antara Hak Asasi Manusia (HAM) dan Hukum Humaniter
Internasional.
10
F. Metode Penelitian
Untuk mendukung pembahasan dan analisa terhadap pokok-pokok
permasalahan di atas maka diperlukan adanya pengumpulan data yang kemudian
untuk dikonstruksikan. Dalam penyusunan penulisan ini dilakukan pengumpulan
data melalui penelitian kepustakaan (library research). Dengan Library Research
akan dihasilkan karya ilmiah yang mempunyai materi, kualitas, bobot kebenaran
ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, di mana bahan-bahan/data-data
tersebut didapat dari :
- Buku-buku ilmiah yang tersebut dalam literature.
- Naskah-naskah peraturan perundang-undangan, majalah, surat kabar,
skripsi, dan tulisan karya ilmiah, serta catatan perkuliahan, dan juga dari
internet dan bimbingan Bapak/Ibu Dosen.
Dengan menggunakan metode ini diharapkan skripsi ini dapat menjadi
suatu karya ilmiah yang baik dan berguna untuk pengembangan ilmu
pengetahuan.
G. Sistematika Penulisan
Untuk lebih memudahkan proses pembahasan tulisan dan membantu
penulis dalam penguraiannya, maka keseluruhan dari isi skripsi ini dirangkum
dalam sistematika penulisan sebagai suatu paradigma berpikir.
Dengan pedoman pada sistematika penulisan karya ilmiah pada umumnya
maka penulis berusaha untuk mendeskripsikan gambaran umum yang
berhubungan dengan cakupan skripsi ini, sebagai berikut :
11
hukum-humaniter-internasional.html//Diakses 5 Januari 2015 Senin, Pukul
BAB I : PENDAHULUAN
Didalam bab ini diuraikan mengenai pendahuluan pengantar yang
mengantarkan kita menuju uraian-uraian selanjutnya. Latar
Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian,
Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan
Sistematika Penulisan.
BAB II : TINJAUAN UMUM MENGENAI HAK ASASI MANUSIA
Terdiri dari tentang Pengertian Hak Asasi Manusia, Faktor-Faktor
Penyebab Kejahatan Kemanusian, dan Sejarah Perkembangan Hak
Asasi Manusia Dalam Hukum Internasional.
BAB III : DIMENSI PELANGGARAN HAM TERHADAP MUSLIM DIUIGHUR
Bab ini secara umum membahas tentang Peristiwa-Peristiwa
Pelanggaran HAM Yang Terjadi Di Negara-Negara Eropa,
Dampak Pelanggaran HAM Yang Terjadi Di Uighur, dan
Pengaturan Pelanggaran HAM Di Dalam Internasional Criminal
Court.
BAB IV : PELANGGARAN HAM TERHADAP MUSLIM UIGHUR DITINJAU DARI HUKUM HUMANITER DAN HUKUM INTERNASIONAL
Bab ini secara umum akan membahas tentang: Bentuk-Bentuk
Masalah Pelanggaran HAM Terhadap Muslim Di Uighur,
Kejahatan Kemanusiaan Terhadap Muslim Di Uighur Ditinjau Dari
Telah Dilakukan Oleh Organisasi Internasional Dalam Meredam
Kericuhan Yang Terjadi Pada Muslim Diuighur.
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini merupakan bab terakhir yang menutup seluruh pembahasan
dalam skripsi ini, dalam bab ini penulis mencoba merumuskan
kesimpulan yang merupakan inti dalam pembahasan yang
diuraikan pembahasan sebelumnya pada bab-bab terdahulu yang
merupakan pembahasan sebelumya, selanjutnya di ikuti dengan
saran-saran seperlunya.
BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI HAK ASASI MANUSIA A. Pengertian Hak Asasi Manusia
Secara etimologis, hak asasi berasal dari bahasa arab yaitu haqq dan
asasiy. Kata haqq adalah bentuk tunggal yang diambil dari kata haqqa, yahiquq,
haqqan, yang artinya adalah benar, nyata, pasti, tetap, dan wajib, berdasarkan
pengertian tersebut haqq adalah melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.
Sementara itu kata asasiy berasal dari kata assa, yaussu, asasaan, yang artinya
adalah membangun, mendirikan, dan meletakkan. Kata asas adalah bentuk tunggal
dari kata asus yang berarti asal, esensial, asas, pangkal, dasar dari segala sesuatu.
Sehingga dalam bahasa Indonesia HAM dapat diartikan sebagai hak-hak dasar
yang melekat pada diri manusia.12
Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang dimiliki oleh manusia
semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan
kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif melainkan semata
mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia.13
12
Majda El Muhtaj, “Dimensi-dimensi HAM mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan budaya”, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada , 2008, hlm. 17
13
Jack Donnely, “Universal Human Rights in Theory and Practice London”, Cornell, University Press, 2013, hlm. 21
Dalam arti ini, maka meskipun
setiap orang terlahir dengan ras, suku, jenis kelamin, bahasa, budaya, agama, dan
kewarganegaraan yang berbeda-beda, ia tetap mempunyai hak-hak yang harus
dijunjung tinggi oleh siapapun juga. Dalam masyarakat abad pertengahan
permasalah HAM ini belum muncul, saat itu kepentingan individu dirasakan
Kehidupan individu dan pemerintahannya merupakan satu kesatuan berdasarkan
kepercayaan agama yang sama.14
Hak-hak asasi manusia internasional adalah ideologi universal pertama di
dunia. Cita-cita agama, politik, filsafat, dan ekonomi memiliki penganutnya di
berbagai bagian dunia, akan tetapi hak-hak asasi manusia merupakan sebuah
gagasan yang sekarang ini telah diterima di seluruh dunia.
Menurut Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia Pasal 1 angka (1):
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan Anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
15
Hak asasi manusia
pada dasarnya ada sejak manusia dilahirkan, karena hak tersebut melekat sejak
keberadaan manusia itu sendiri, namun persoalan hak asasi manusia baru
mendapat perhatian ketika mengimplemantisakan dalam kehidupan manusia dan
menjadi perhatian saat adanya hubungan dan keterkaitan antara individu dan
masyarakat.16
Hak asasi ( fundamental rights) artinya hak yang bersifat mendasar, pokok
ataupun juga prinsipil,17
14
Dedi Supriyadi,Op-cit,. hlm: 223
15
Peter davies, “Hak-hak asasi manusia”, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1994, hlm. 1
16
Ahmad kosasi, “Ham dalam prespektif islam”, Jakarta, Salemba Dinniyyah, 2003, hlm.20
17
Pius A Pranoto dan M Dahlan Al Barry, “Kamus ilmiah popular”, Surabaya, Arkola, 1994, hlm. 48
dimana adanya hak pada seseorang berarti bahwa ia
mempunyai suatu keistimewaan yang membuka keinginan baginya untuk
demikian ada suatu kewajiban pada seseorang yang diminta dari suatu sikap atas
dirinya terhadap keistimewaan yang ada pada orang lain.
Hukum Internasional telah lama mengatur tentang hak dan kewajiban
individu, akan tetapi pengaturan masalah HAM dalah hukum internasional
belumlah lama. Setelah terjadinya Perang Dunia II, timbul kesadaran bahwa
penghormatan atas HAM sangat penting untuk menjamin agar orang dapat hidup
sesuai dengan martabat manusianya, pengalaman sekitar keadaan dalam Perang
Dunia II menunjukkan bahwa tidak ada penghormatan atas HAM yang
memungkinkan timbulnya kediktatoran dan tirani, yang kemudian dalam tataran
Internasional dapat menimbulkan ketegangan dan perang. Untuk kepentingan
perdamaiaan diharapkan semua negara menghormati HAM, oleh karena itu, PBB
yang dibentuk pada akhir Perang Dunia II menetapkan dalam piagam
pendiriannya dengan tujuan untuk mencapai kerjasama internasional dalam
mempromosikan dan mendorong penghormatan HAM dan kebebasan
fundamental bagi semua orang, tanpa suatu pembedaan.18
Kepedulian internasional terhadap HAM merupakan gejala yang relative
baru. Meskipun kita dapat menunjuk pada sejumlah traktat atau perjanjian
internasional yang mempengaruhi isu kemanusiaan sebelum Perang Dunia II, baru
setelah dimasukkan ke dalam piagam PBB pada tahun 1945, kita dapat berbicara
mengenai adanya perlindungan HAM yang sistematis di dalam sistem
Internasional.
19
18
Todung mulya lubis, “Jalan panjang Hak Asasi Manusia”, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2005, hlm. 216
19
Ruang lingkup hak asasi manusia dalam hukum internasional meliputi
proses peradilan terhadap pelanggaran berat hak asasi manusia menurut Hukum
HAM internasional baik berupa pelanggaran terhadap Universal Declaration of
Human Rights maupun oleh ketentuan-ketentuan khusus dalam konvensi
internasional lainnya yang menyangkut hak asasi manusia.20 Yang terpenting
dalam penegakan hak asasi manusia itu adalah pemberlakuan hukumnya perlu
dijalankan secara bertahap sambil mendidik bangsa sadar akan hak dan
kewajibannya dalam bidang hukum hak asasi manusia.21
1. Gerakan Renaisance ( Abad XV)
Sejarah hak asasi dimulai dari gagasan hak asasi manusia yang muncul
sebagai akibat dari reaksi atas kesewenang-wenangan penguasa yang memerintah
otoriter. Munculnya penguasa yang otoriter mendorong orang yang tertekan hak
asasinya untuk menyatakan keberadaannya sebagai mahluk yang bermartabat.
Kemudian dalam perkembangan perjuangan dalam hal mendukung perlindungan
hak asasi manusia dimulai dari gerakan hak asasi manusia di dunia, yaitu :
Gerakan ini muncul di Eropa dan bertujuan mengugah kembali kesadaran
manusia akan martabat sebagai mahluk berakal.
2. Gerakan Reformasi ( Abad XVI)
Gerakan ini terjadi di lingkungan agama Kristen pada tahun 1517 yang
dipimpin oleh Marthin Luther. Tujuan gerakan ini adalah membebaskan
diri dari ikatan kepausan dan melahirkan agama Protestan.
3. Revolusi Amerika
20
A.Bazar harahap, Nawangsih Sutardi, “Hak Asasi Manusia Dan Hukumnya”, Jakarta. PECIRINDO. 2007. hlm.36
21
Revolusi Amerika adalah perang kemerdekaan rakyat Amerika Serikat
melawan penjajahan Inggeris. Revolusi ini kemudian melahirkan
Declaration of independence (Deklarasi Kemerdekaan) dan Amerika
Serikat menjadi negara merdeka tanggal 4 Juli 1776.
4. Revolusi Prancis
Revolusi Prancis adalah penentangan rakyat Prancis pada rajanya sendiri
Louis XVI yang bertindak sewenang-wenang dan absolut. Revolusi
Prancis menghasilkan Declaration dres drotis de I’homme et du citoyen
(Pernyataan Hak-hak manusia dan warga negara). Pernyataan ini memuat
tiga hal yaitu, hakatas kebebasan (liberty), kesamaan (egality), dan
persaudaraan (fraternite).
HAM memperoleh legitimasinya melalui pengesahan PBB terhadap
Universal Declaration of Human Rights (UDHR) pada tanggal 10 Desember
1948. UDHR adalah sebuah pernyataan yang bersifat anjuran yang diadopsi oleh
Majelis Umum Persatuan Bangsa-Bangsa. Sebagai sebuah pernyataan yang
bersifat universal, piagam ini baru mengikat secara moral namun belum secara
yuridis. Tetapi dokumen ini mempunyai moril, politik dan edukatif yang sangat
besar, melambangkan “Commitment” moril dari dunia internasional pada
norma-norma dan hak-hak asasi. Kesadaran masyarakat internasional akan pentingnya
perlindungan HAM sangat meningkat dalam beberapa dekade terakhir. Sejak
tahun 1989, negara-negara maju dan negara-negara berkembang telah banyak
memproklamirkan dukungan terhadap HAM Internasional dengan tulus. Hal ini
universalitas yang luar biasa dalam menghargai prinsip manusia sebagai mahluk
manusia.
Magnis Suseno22 menjelaskan bahwa inti dari paham HAM terletak dari
kesadaran bahwa masyarakat atau umat manusia tidak dapat dijungjung tinggi
kecuali setiap manusia, individu, tanpa diskriminasi, tanpa pengecualian,
dihormati keutuhannya. Sementara itu Anthony Flew23
Jadi, apapun yang diartikan atau dirumuskan dengan hak asasi, gejala
tersebut tetap merupakan suatu manifestasi dari nilai-nilai yang kemudian
dikonkretkan menjadi kaedah hidup bersama. Sistem nilai yang menjelma dalam
konsep HAM tidaklah semata-mata produk Barat, melainkan memiliki dasar
pijakan yang kokoh dari seluruh budaya dan agama. Pandangan dunia tentang
HAM adalah pandangan kesemestaan bagi eksistensi dan proteksi kehidupan dan
martabat manusia.
memberikan uraiannya
tentang hak dengan mengatakan A person entitlement as a member of society,
including” liberties” such as the right to use public highway and claim righs,
such as the right to defence counsel. “To have a right” said Mill, “is to have
something society ought to protect me in the possession of”
24
Wacana HAM terus berkembang seiring dengan intesitas kesadaran
manusia atas hak dan kewajiban yang dimilikinya. Namun demikian, wacana
HAM menjadi actual karena sering dilecehkan dalam sejarah manusia sejak awal
hingga kurun waktu ini. Gerakan dan diskriminisasi HAM terus berlangsung
bahkan dengan menembus batas-batas teritorial sebuah negara. Manfred Nowak
22
Frans Magnis Suseno, “Etika Politik; Prinsip-prinsip moral dasar kenegaraan modern”,Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001, hlm. 145
23
Anthony Few, “A dictionary of philosophy”, New York, Martin’s press, 1984, hlm. 306
24
menegaskan Human rights must be considered one of the major achievents of
modern day philosophy. Ruth Gavison juga menegaskan the twentieth century is
often described as “the age of rights”. Begitu derasnya kemauan dan daya tarik
desak HAM, maka jika ada sebuah negara diidentifikasikan melanggar dan
mengabaikan HAM, dengan sekejap mata nation-state di belahan bumi ini
memberikan respon, terlebih beberapa negara yang dijuluki sebagai adi kuasa
memberikan kritik, tudingan bahkan kecaman keras seperti embargo dan
sebagainya.25
B. Faktor-Faktor Penyebab Kejahatan Kemanusiaan
Definisi kejahatan terhadap kemanusiaan menurut statuta roma pada Pasal 7
ialah Perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau
sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung
terhadap penduduk sipil.
Di dalam hukum internasional, istilah kejahatan terhadap kemanusiaan
mengacu pada tindakan pembunuhan massal dengan penyiksaan fisik. Biasanya
kejahatan kemanusiaan dilakukan atas dasar kepentingan politis, seperti yang
terjadi di Jerman oleh pemerintahan Hitler dan yang terjadi di Rwanda ataupun
Yugoslavia.
Kejahatan-kejahatan terhadap perikemanusiaan sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 7 Statuta Roma tersebut adalah serangan yang meluas atau
sistematik yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil dengan tujuan:
a. Pembunuhan;
b. Pemusnahan;
c. Perbudakan;
25
d. Pengusiran atau pemindahan penduduk;
e. Perampasan kemerdekaan / perampasan kebebasan fisik lain;
f. Menganiaya;
g. Memperkosa, perbudakan seksual, memaksa seorang menjadi pelacur,
menghamili secara paksa, melakukan sterilisasi secara paksa, ataupun
bentuk kejahatan seksual lainnya;
h. Penyiksaan terhadap kelompok berdasarkan alasan politik, ras,
kebangsaan, etnis, kebudayaan, agama, jenis kelamin (gender)
sebagaimana diatur dalam artikel 3 ICC ataupun adengan alasan-alasan
lainnya yang secara umum diketahui sebagai suatu alasan yang dilarang
oleh hukum internasional;
i. Penghilangan seseorang secara paksa;
j. Kejahatan apartheid;
k. Perbuatan lainnya yang tak berperikemanusiaan yang dilakukan secara
sengaja sehingga mengakibatkan penderitaan, luka parah baik tubuh
maupun mental ataupun kesehatan fisiknya.26
Dari definisi diatas maka dapat dilihat bahwa yang menjadi tindak pidana
pada kejahatan kemanusiaan adalah adanya serangan yang meluas atau sistematik
yang ditujukan langsung pada penduduk sipil, yang berarti bahwa suatu rangkaian
perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil.
Dari faktor penyebab terjadinya kejahatan terhadap kejahatan kemanusiaan
tersebut ada banyak faktor yang mempengaruhinya. Keinginan untuk menguasai
suatu daerah atau kelompok dengan tujuan menjadi pemimpin adalah alasan yang
26
mendasar penyebab terjadinya kejahatan kemanusiaan tersebut. Lebih lanjut
menurut Bassiouni, kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan-kejahatan
yang dilakukan sebagai bagian dari “aksi atau kebijakan negara”, bila berkaitan
dengan pelaku-pelaku yang memiliki hubungan dengan negara (state actors), dan
sebagai bagian dari suatu “kebijakan”,bila berkaitan dengan para pelaku yang
tidak memiliki hubungan dengan negara namun memiliki karakteristik negara
berkenan dengan kemampuannya menggunakan dominasi dan kontrol atas
wilayah dan rakyat (non-state actors).27
Faktor penyebab terjadinya kejahatan kemanunsiaan terhadap Muslim di
Uighur disebabkan oleh kekerasan struktural, dan kekerasan kultural. Kekerasan
kultural bersumber dari struktur politik yang menjajah. Struktur yang menjajah
memberikan kesempatan terciptanya struktur ekonomi yang timpang, di mana
sumber daya alam dari daerah minoritas dikuasai oleh pihak mayoritas. Sementara
itu, kekerasan kultural terjadi disebabkan ketiadaan politics of differentiation
untuk mengakomodasi masyarakat minoritas. Konflik yang disebabkan struktur
ekonomi tidak semata-mata dapat berkembang secara langsung menjadi tindakan
kekerasan politik apabila tidak disertai konflik yang menyangkut identitas seperti
etnis, bahasa, dan agama.28
Ada juga faktor sosiologis yang menjadikan adanya suatu kejahatan
kemanusiaan seperti diskriminasi yang terjadi terhadap Muslim di Uighur yaitu
diskriminasi ras antara lain adanya kecenderungan manusia untuk berkumpul
bersama dengan manusia lain yang berciri-ciri sama dari segi fisik, budaya, agama
nilai-nilai norma dan kebiasaan, konflik budaya dalam proses sosialisasi,
27
kebencian karena sejarah kolonialisme (historical enmity), kecenderungan
kelompok tertentu untuk bersifat eksklusif dan tidak membaur (social distance),
social jealousy.29
Selain faktor dari kebijakan dan aksi dari suatu negara, faktor kejahatan
manusia menurut Statuta Roma mungkin juga terjadi dari suatu kebijakan suatu
organisasi. Hal tersebut dapat terlihat dari terjadinya perang-perang saudara dan
disintegrasi seperti kasus bekas negara Yugoslavia. Di dalam Putusan Tadic,
Majelis Pengadilannya telah memandang bahwa entitas di balik kebijakan tersebut
bisa saja suatu organisasi dengan kekuasaan de facto atas wilayah, dan membuka
kemungkinan bahwa organisasi-organisasi lain mungkin memenuhi juga syarat
tersebut.30
28
Ibid hlm.87 29
Masyhur Effendi, Taufani S.Evandri, “HAM Dalam Dinamika/Dimensi Hukum, Politik, Ekonomi dan Sosial Edisi Keempat”. Bogor, Ghalia Indonesia. 2014. hlm.76
30
Tadic Opinion and Judgement, Trial Chamber, Paragraphs, hlm. 654-655
Dengan mencantumkan kata “kebijakan” yang memang lebih luas cakupan
dan maknanya, tampaklah kalau Statuta Roma bermaksud untuk tidak hanya
mencakup dan menjangkau perbuatan aktif bagi terjadinya kejahatan terhadap
kemanusiaan, tapi pula perbuatan-perbuatan pasif oleh pihak berwenang yang
mengetahui tentang terjadinya kejahatan-kejahatan internasional tersebut.
Perbuatan pasif demikian dalam hal ini dianggap sebagai bagian dari
terjadinya tindakan-tindakan kejahatan tersebut, lebih tepatnya ia merupakan
bagian dari rangkaian, bangunan, atau sistem terjadinya tindakan-tindakan
Beberapa aspek sosial yang oleh Kongres ke-8 PBB tahun 1990 di
Havana, Cuba, diidentifikasikan sebagai faktor kondusif penyebab terjadinya
kejahatan , antara lain:
a. Kemiskinan, pengangguran, kebutaan huruf (kebodohan), ketiadaan/
kekurangan perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta latihan
yang tidak cocok/serasi.
b. Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek (harapan)
karena 81 proses integrasi sosial, juga karena memburuknya
ketimpangan-ketimpangan sosial.
c. Mengendurnya ikatan sosial dan keluarga.
d. Keadaan-keadaan/ kondisi yang menyulitkan bagi orang-orang yang
beremigrasi ke kota-kota atau ke negara-negara lain.
e. Rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersamaan dengan
adanya rasisme dan diskriminasi menyebabkan kerugian/kelemahan
dibidang sosial, kesejahteraan dan lingkungan pekerjaan.
f. Menurun atau mundurnya (kualitas) lingkungan perkotaan yang
mendorong peningkatan kejahatan dan berkurangnya pelayanan bagi
tempat-tempat fasilitas lingkungan/bertetangga.
g. Kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk
berintegrasi sebagaimana mestinya didalam lingkungan masyarakatnya,
keluarganya, tempat kerjanya atau lingkungan sekolahnya.
h. Penyalahgunaan alkohol, obat bius dan lain-lain yang pemakaiannya juga
i. Meluasnya aktivitas kejahatan terorganisasi, khususnya perdagangan obat
bius dan penadahan barang-barang curian.
j. Dorongan-dorongan (khususnya oleh media masa) mengenai ide-ide dan
sikap-sikap yang mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan (hak)
atau sikap-sikap tidak toleransi.31
Jadi pada intinya bila suatu tindak kejahatan terhadap kemanusiaan terjadi
dan pihak berwenang mengetahuinya, maka pihak terakhir ini harus segera
mengambil tindakan-tindakan pencegahan dan penghukuman yang diperlukan.
Bila tidak, maka mereka tersebut dapat dihukum berdasarkan Pasal 7 Statuta
Roma.32
C. Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Internasional
Beberapa pakar menyatakan dapat menurut konsep hak asasi manusia
yang sederhana sampai kepada filsafat Stoika di zaman kuno lewat yurisprudensi
hukum kodrati (natural law) Grotius dan ius naturale dari Undang-Undang
Romawi, tampak jelas bahwa asal usul konsep hak asasi manusia yang modern
dapat dijumpai dalam revolusi Inggris, Amerika Serikat, dan Prancis pada abad
ke-17 dan ke-18.
Apapun juga debat teoritis atau doktrin mengenai dasar-dasar revolusi
Inggris, Amerika, Prancis, yang jelas, masing-masing revolusi itu, dengan caranya
sendiri-sendiri, telah membantu perkembangan bentuk-bentuk demokrasi liberal
dimana hak-hak tertentu dianggap sebagai hal terpenting dalam melindungi
individu terhadap kecendrungan ke arah otoriterisme yang melekat pada negara.
31
// Diakses Selasa 6 Januari 2015
Yang penting mengenai hak-hak yang diproteksi itu adalah bahwa hak-hak ini
bersifat individualistis dan membebaskan (libertarian): hak-hak ini didominasi
dengan kata-kata “bebas dari”, dan bukan “berhak atas”.
Dalam bahasa modern, hak-hak ini akan disebut hak sipil dan politik,
karena hak-hak ini terutama mengenai hubungan individu dengan organ-organ
negara. Begitu besar kekuatan ide-ide revolusioner ini, sehingga hanya sedikit
konstitusi tertulis modern yang tidak menyatakan akan melindungi hak-hak
individu ini.
Tetapi, bukan hanya hak sipil dan politik yang dilindungi oleh
konstitusi-konstitusi modern dan hukum internasional masa kini. Berbagai macam hak
ekonomi, sosial, budaya, dan yang lainnya, juga menjadi subjek berbagai bentuk
perlindungan. Karel Vasak telah mencoba mengelompokkan perkembangan hak
asasi manusia menurut slogan “Kebebasan, Persamaan, dan Persaudaraan” dari
Revolusi Prancis.33
“Persamaan”, atau hak-hak generasi kedua, sejajar dengan perlindungan
bagi hak ekonomi, sosial, dan budaya: hak atas terciptanya oleh negara kondisi
yang akan memungkinkan setiap individu mengembangkan kemampuannya
Menurut Vasak, masing-masing kata slogan ini, sedikit banyak
mencerminkan perkembangan dan kategori-kategori atau generasi-generasi hak
yang berbeda. “Kebebasan”, atau hak-hak generasi pertama, diwakili oleh hak
sipil dan politik hak individu untuk bebas dari campur tangan negara yang
sewenang-wenang.
32
Erikson Hasiholan Gultom, “Kompetensi Mahkamah Pidana Internasional dan Peradilan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Timor Timur”, PT Tatanusa, Jakarta. 2006 hlm. 43
33
sampai maksimal. “Hak atas”, yang menjadi ciri generasi kedua ini, mewajibkan
negara untuk menyusun dan menjalankan program-program bagi pelaksanaan
sepenuhnya hak-hak ini.
Hak ekonomi, sosial, dan budaya kadang-kadang dianggap sebagai suatu
warisan sosialis, atau sebagai hak derivatif (turunan) yang tidak layak
menyandang nama itu. Namun, hak semacam itu dilindungi dalam konstitusi
domestik Uni Soviet, Meksiko, dan Jerman pada awal abad ke-20, dan sejak itu,
telah dicantumkan pula dalam sejumlah konstitusi domestik lain, dan secara
eksplisit diakui oleh hukum internasional.
“Persaudaraan”, hak generasi ketiga atau hak solidaritas, merupakan
kategori hak yang terbaru dan paling kontroversial. Hak ini dibela dengan gigih
oleh negara-negara berkembang yang menginginkan terciptanya suatu tatanan
ekonomi dan hukum internasional yang akan menjamin hak atas pembangunan,
hak atas bantuan untuk penanggulan bencana, hak atas perdamaian, dan hak atas
lingkungan hidup yang baik. Jelaslah, pelaksanaan hak-hak semacam itu jika itu
memang hak akan bergantung pada kerjasama internasional, dan bukan sekadar
langkah konstitusional suatu negara.
Dari pemaparan sejarah, tampak bahwa pengertian hak asasi manusia telah
beralih dari semata-mata kepedulian akan perlindungan bagi individu dalam
menghadapi absolutisme negara, kepada penciptaan kondisi sosial dan ekonomi
yang diperhitungkan akan memungkinkan individu mengembangkan potensinya
sampai maksimal.
Dalam kata-kata Szabo, tujuan hak asasi manusia adalah
penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh aparat negara, dan pada waktu
yang bersamaan, mendorong perkembangan pribadi manusia yang
multidimensional.”
Akan tampak juga, bahwa pengertian hak asasi manusia tidaklah statis
melainkan dinamis, dan mungkin sekali akan ada banyak perdebatan mengenai
apakah kepentingan-kepentingan tertentu layak untuk digolongkan sebagai hak
dalam arti yang sebenarnya apapun artinya. Proses dialektis yang digunakan untuk
menetapkan klaim atau kepentingan yang dapat dilindungi dan yang tidak,
sangatlah menentukan apabila hak dianggap mempunyai suatu kualitas yang
secara mendasar berbeda dari peraturan hukum yang lain.
1. Perkembangan Hak Asasi Manusia Sebelum Perang Dunia II a. Individu dalam sistem internasional
Meskipun asal usul hukum hak asasi manusia dapat ditelusuri hingga
konstitusionalisme revolusioner abad ke-17 dan ke-18, barulah pada akhir Perang
Dunia II, masyarakat internasional mulai menaruh minat pada promosi dan
proteksi terhadap hak-hak semacam itu lewat hukum internasionl. Pada waktu itu,
hukum internasional hanya merupakan hukum yang mengatur hubungan diantara
negara-negara.
Negara merupakan subjek sistem hukum internasional. Negara dapat
menetapkan aturan-aturan untuk kebaikan individu, namun aturan-aturan
semacam itu tidak memberikan hak-hak substantif kepada individu itu, dan juga
tidak dapat dipaksakan melalui mekanisme prosedur apapun. Individu sebagai
kawula negara, tunduk pada kewenangan pemerintah mereka sepenuhnya, dan
mengintervensi guna melindungi mereka seandainya mereka diperlakukan dengan
semena-mena.
Tetapi, posisi warga negara asing dalam suatu negara sedikit berbeda.
Dalam kondisi tertentu, negara orang asing itu, berdasarkan hukum internasional,
berhak mengajukan tuntutan terhadap negara tuan rumah yang melanggar aturan.
Biasanya hal ini terjadi ketika orang tersebut mengalami perlakuan
sewenang-wenang di tangan aparat pemerintah, misalnya polisi, dan negara tersebut belum
mengambil tindakan perbaikan.
Negara-negara barat juga berargumentasi bahwa seharusnya ada suatu
standar perlakuan internasional yang minimal terhadap warga negara yang
berpergian keluar negeri, sehingga perlakuan suatu negara terhadap mereka dapat
di nilai dari standar tersebut. Tetapi, negara-negara berkembang menolak usul ini
dengan mengatakan bahwa warga negara asing di suatu negara tidak dapat
mengharapkan standar perlakuan yang baik ketimbang yang diberikan kepada
warga negara yang ada di negara itu sendiri.
Bagaimana pun juga, dapat dikemukakan bahwa perselisihan mengenai
mengenai standar minimal dan kesamaan perlakuan telah diambil alih oleh
perkembangan-perkembangan dalam hukum hak asasi manusia internasional.
Tujuan utama pengakuan negara semacam itu bukanlah mendapatkan kompensasi
bagi warga negara yang dirugikan, melainkan membela hak-hak negara itu, yang
secara tidak langsung telah dilanggar melalui perlakuan yang buruk terhadap
b. Intervensi kemanusiaan
Kendati posisi warga negara asing dalam hukum internasional adalah
seperti itu, proposisi umum tetap menyatakan bahwa sebelum Piagam PBB
berlaku, individu pada dasarnya tetap tunduk terhadap penguasa mereka. Suatu
pengecualian terhadap dalil ini adalah apa yang disebut sebagai intervensi
kemanusiaan.
Berdasarkan “hak” ini, negara dapat mengintervensi secara militer untuk
melindungi penduduk atau sebagian penduduk dalam suatu negara lain jika
penguasa negara tersebut memperlakukan rakyatnya sedemikian rupa sehingga
“menyangkal hak asasi mereka dan menggoncangkan hati nurani umat
manusia”.34
c. Penghapusan perbudakan
Sepanjang abad ke-19 dan awal abad ke-20 telah terjadi perkembangan
kemanusiaan tertentu pada hukum internasional, diantaranya adalah penghapusan
perdagangan perbudakan. Meskipun ekonomi perbudakan pada akhir abad ke-18
dan awal abad ke-19 secara komersial telah menjadi kurang menarik bagi
negara-negara Eropa dibanding masa sebelumnya, penghapusan perbudakan juga
merupakan suatu bentuk kepedulian kemanusiaan.
Praktek perbudakan berawal dari larangan dalam Traktat Perdamaian Paris
pada tahun 1814 antara Inggris dan Prancis, namun 50 tahun kemudian, Akta
Umum Konferensi Berlin yang mengatur kolonisasi Eropa di Afrika menyatakan
bahwa “perdagangan budak dilarang berdasarkan asas-asas hukum internasional”.
34
Aksi internasional menentang perbudakan dan perdagangan budak berlanjut
sepanjang abad 20.
Liga Bangsa-Bangsa mensahkan Konvensi untuk Melenyapkan
Perbudakan dan Perdagangan Budak pada tahun 192635 dan melarang praktek
perbudakan di daerah-daerah bekas koloni Jerman dan Turki yang berada di
bawah sistem mandat Liga Bangsa-Bangsa pada akhir Perang Dunia I. Konvensi
1926 ini masih tetap merupakan dokumen internasional utama yang melarang
praktek perbudakan, meskipun konvensi ini telah diamandemenkan dengan suatu
protokol pada tahun 195336 , dan pada tahun 195637
d. Palang Merah
diberikan tambahan mengenai
definisi tindakan-tindakan yang termasuk dalam perbudakan di zaman modern.
Kemajuan besar yang lain dalam hukum kemanusiaan internasional pada
paruh kedua abad ke-19 adalah pembentukan Komite Palang Merah Internasional
(1863) dan usaha organisasi ini dalam mendukung dua konvensi internasional
untuk melindungi korban perang dan perlakuan terhadap tawanan perang. Karya
Palang Merah Internasional ini berlanjut melewati dua perang dunia dan
sesudahnya, dan badan ini telah mendukung sejumlah konvensi yang tidak
semata-mata menangani status dan perlakuan terhadap penduduk sipil pada masa
perang dan pembatasan terhadap cara-cara berperang.
e. Organisasi Buruh Internasional (ILO)
Upaya-upaya kemanusiaan pada awal abad ke-20 sebagian besar berkaitan
dengan penyelesaian internasional pasca Perang Dunia I. Organisasi Buruh
35
60 Leagues of Nations Treaty Series 253; United Kingdom Treaty Series 16 (1927)
36
212 United Nations Treaty Series 17; United Kingdom Treaty Series 24 (1956)
37
Internasional, yang dibentuk berdasarkan Traktat Versailles (1919),38
International Labour Organisation (ILO) yang pada tahun 1946 menjadi
badan khusus PBB,
merupakan
reaksi kepedulian Sekutu mengenai keadilan sosial dan standar perlakuan terhadap
kaum buruh industri, yang terutama diilhami oleh Revolusi Bolshewik tahun
1917.
39
f. Liga Bangsa-Bangsa
dapat dianggap sebagai pendahulu sistem proteksi terhadap
hak ekonomi, sosial, dan budaya ILO telah mendukung lebih dari 150 konvensi,
yang diantaranya menyangkut kondisi kerja, remunerasi, kerja paksa dan buruh
kanak-kanak, pemberian libur dan jaminan sosial, diskriminasi dan hak-hak
serikat buruh. Aktivitas ILO berlanjut sampai sekarang, dan organisasi ini
termasuk dalam kelompok lembaga hak asasi yang penting, meskipun karyanya
jarang menarik perhatian yang selayaknya.
Liga Bangsa-Bangsa, sebuah organisasi internasional yang didirikan
setelah Perang Dunia I sebagai sistem yang akan menjamin perdamaian dan
keamanan, dan memperlancar kerjasama internasional, tidak membuat ketetapan
mengenai perlindungan hak asasi manusia. Namun, dokumen pendirian Liga
Bangsa-Bangsa yang disebut Kovenan mewajibkan negara-negara anggota untuk
berupaya ke arah sasaran-sasaran kemanusiaan tertentu seperti, menetapkan
kondisi kerja yang manusiawi bagi individu, larangan memperdagangkan wanita
dan anak-anak, pencegahan dan pengendalian penyakit, serta perlakuan yang adil
terhadap penduduk pribumi dan daerah jajahan.
38
United Kingdom Treaty Series 4 (1919); 13 American Journal of International Law suppl. 151; 16 American Journal of International Law suppl.207
39
Terciptanya sistem mandat di bawah Liga Bangsa-Bangsa ini mungkin
merupakan salah satu prestasi kemanusiaan yang besar dari organisasi
internasional ini. Di bawah sistem ini, “suatu kepercayaan yang suci dari
peradaban” diserahkan kepada negara-negara pengawas untuk mengantarkan
daerah-daerah mandat itu sampai mereka memiliki pemerintahan sendiri. Bahasa
paternalistik dari Kovenan tersebut boleh jadi kurang disukai sekarang, namun
yang jelas, negara pengawas diharuskan menjamin tiadanya diskriminasi rasial
dan agama di daerah-daerah yang berada di bawah perwaliannya.
Ternyata, beberapa daerah mandat mencapai kemerdekaannya sebelum
Perang Dunia II dan dua wilayah yaitu Palestina dan Namibia menciptakan
masalah internasional yang cukup lama. Daerah-daerah mandat yang belum
mencapai kemerdekaan sebelum Perang Dunia II selanjutnya dialihkan kepada
sistem perwalian berdasarkan Piagam PBB.
g. Traktat mengenai kaum minoritas
Berbagai traktat yang disepakati setelah Perang Dunia I banyak memuat
ketentuan yang melindungi kaum minoritas. Sementara penyelesaian perdamaian
pasca perang berupaya menghormati prinsip penentuan nasib sendiri yang
didasarkan pada konsep kohesi nasional, menjadi jelas bahwa pembentukan
kembali Polandia dan penciptaan negara-negara pengganti Kekaisaran
Austria-Hongaria yang lama, melahirkan tapal-tapal batas negara yang pasti akan
menciptakan perpecahan di kalangan kelompok penduduk tertentu, dan memaksa
mereka hidup sebagai kaum minoritas etnis, bahasa atau agama di negara-negara
Oleh karena itu, sejumlah traktat untuk menjamin proteksi terhadap hak
sipil dan politik dan kaum minoritas dibuat antara Sekutu dan negara-negara ini.
Sementara traktat-traktat khusus yang melindungi kaum minoritas dibuat dengan
Polandia, Cekoslowakia, Rumania dan Yunani, ketentuan-ketentuan mengenai
proteksi bagi kaum minoritas dimasukkan dalam traktat-traktat perdamaian
dengan Austria, Hongaria dan Turki.
Disamping traktat-traktat ini, beberapa negara tertentu yakni, Finlandia,
Albania, Latvia, Lithuania, Estonia, dan Irak membuat deklarasi yang melindungi
kaum minoritas di dalam negeri mereka, sebagai syarat untuk menjadi anggota
Liga Bangsa-Bangsa. Liga Bangsa-Bangsa juga menjalankan fungsi pengawasan
yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban yang menjadi perhatian
internasional.
Sebuah prosedur yang memungkinkan kelompok minoritas yang merasa
dilanggar haknya untuk mengadukan masalahnya kepada Dewan Liga
Bangsa-Bangsa ini ditetapkan. Kemudian, Dewan dapat mengajukan masalah itu kepada
suatu Komite ad hoc mengenai Kaum Minorits yang akan mendamaikan dan
mencoba menyelesaikan masalah itu secara bersahabat di antara para pihak itu.
Jika penyelesaian tidak kunjung tercapai, Dewan yang lengkap boleh
menyelesaikan masalah itu sendiri, atau meneruskannya ke Mahkamah
Internasional yang bersifat permanen untuk diputuskan.
Traktat-traktat yang memproteksi kaum minoritas ini jelas menyangkut
masalah hak-hak kelompok, bukan hak-hak individu. Tujuan utama traktat-traktat
itu adalah memastikan perlakuan yang sama bagi minoritas etnis, agama dan
anggota kelompok-kelompok itu melestarikan dan mengembangkan identitas
mereka sendiri yang khas di dalam kerangka negara kebangsaan itu.
Tampak juga dari negara-negara yang menandatangani traktat-traktat itu,
bahwa adanya minoritas di dalam suatu negara mereka terbukti merupakan tanah
subur untuk persengketaan sepanjang abad ke-20. Sementara nilai traktat hak asasi
manusia dalam pengeritian individu dan kebebasan yang klasik, traktat-traktat itu
sangat penting karena di dalam konteks Liga Bangsa-Bangsa mereka menjadi
dasar bagi hak kelompok, yang terdiri dari individu-individu, untuk
menyampaikan petisi menurut hukum internasional. Terlihat adanya tunas dari
hak individu, berdasarkan hukum internasional, untuk mengajukan petisi terhadap
suatu lembaga pengawasan dan proteksi internasional.
2. Perkembangan Hak Asasi Manusia Setelah Perang Dunia II a. Perserikatan Bangsa-Bangsa
Kendati kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam hukum kemanusiaan dan
perlindungan terhadap hak ekonomi, sosial dan budaya selama abad ke-19 dan
paruh pertama abad ke-20, barulah seusai malapetaka Perang Dunia II, hukum hak
asasi internasional berkembang dengan cara yang mantap dan jelas. Kekejaman
Nazi terhadap penduduknya sendiri di Jerman dan terhadap rakyat di wilayah
yang ditaklukkannya sangat mengejutkan, sehingga sebelum perang usai pun,
Sekutu telah memutuskan bahwa penyelesaian pasca perang harus mencakup
komitmen untuk melindungi hak asasi manusia.
Mereka menganggap komitmen ini sebagai prasyarat yang perlu untuk
menciptakan orde internasional yang adil dan mantap di bawah naungan