Ria Andayani
Ria Andayani
Berdasarkan hasil pembahasan dan penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut Pertanggungjawaban pelaku tindak pidana pencabulan anak dibawah umur yaitu ditinjau dari kemampuan seseorang bertanggungjawab berdasarkan hal-hal yang meliputi: pertama Perbuatan, Perbuatan terdakwa harus merupakan suatu tindak pidana yang diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan. Kedua Orang (subyek hukum), Terdakwa yang bernama Romli bin Aceng sebagai pelaku tindak pidana mampu bertanggungjawab atas perbuatannya dan tidak ada alasan pemaaf dan pembenar terhadapnya. Ketiga Sanksi, yaitu Suatu perbuatan harus memiliki sanksi yang mengikat, hal ini berdasarkan prinsip asas legalitas dimana seseorang tidak boleh dipidana tanpa ada aturan yang jelas melarangnya. Terdakwa Romli bin Aceng telah melanggar ketentuan dalam Pasal 81 ayat (2) dan Pasal 82 Undang-Undang 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap pencabulan terhadap anak di bawah umur yaitu hakim yang memeriksa dan memutus perkara sebelum menjatuhkan pidana telah mendengarkan keterangan saksi-saksi dan menyesuaikan keterangan saksi-saksi satu sama lain sehingga dapat menyimpulkan suatu fakta hukum atau peristwa hukum sebagaimana yang terjadi.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak adalah suatu karunia Tuhan Yang Maha Esa yang dalam dirinya juga terdapat suatu harkat
dan martabat yang di miliki oleh orang dewasa pada umumnya, maka anak juga harus mendapatkan suatu perlindungan khusus agar kelak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik,
karena anak adalah generasi muda penerus bangsa serta berperan dalam menjamin kelangsungan eksistensi suatu bangsa dan negara itu sendiri. Agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab sebagai penerus bangsa maka anak perlu mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk
tumbuh dan berkembang secara optimal, baik mental maupun fisik serta sosial maka perlu dilakukan upaya perlindungan anak terhadap pemenuhan anak tanpa ada diskriminasi.
Masyarakat perlu lebih jeli dan peka terhadap lingkungan. Perlu disadari bahwa kejahatan dapat
dilakukan oleh siapapun dan terhadap siapapun. Setiap orang dapat menjadi sasaran kejahatan, baik itu orang dewasa maupun anak di bawah umur.
Pelaku merupakan pelaksana utama dalam hal terjadinya pencabulan tetapi bukan berarti
terjadinya perkosaan tersebut semata-mata disebakan oleh perilaku menyimpang dari pelaku, tetapi dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang berada di luar diri si pelaku. Pencabulan yang dilakukan terhadap anak di bawah umur tentunya akan berdampak pada psikologis maupun
perkembangan lainnya terhadap anak tersebut. Dampak psikologis pada anak-anak akan melahirkan trauma berkepanjangan yang kemudian dapat melahirkan sikap tidak sehat, seperti
keterbelakangan mental. Keadaan tersebut kemungkinan dapat menjadi suatu kenangan buruk bagi anak korban pencabulan tersebut.
Sebagai generasi penerus bangsa anak merupakan tunas bangsa yang akan melanjutkan
eksistensi suatu bangsa, dalam hal ini adalah bangsa Indonesia. Namun pada ahkir-ahkir ini sering terdapat suatu tindak pidana mengenai pencabulan anak dibawah umur yang dilakukan
oleh orang dewasa maupun oleh anak di bawah umur, dan hal ini merupakan suatu ancaman yang sangat besar dan berbahaya bagi anak yang notabene adalah generasi penerus bangsa.
Mengenali bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak sesungguhnya tidaklah jauh dari sekitar kita. Realitas kekerasan seksual yang dialami anak–anak sampai saat ini masih menjadi masalah yang
cukup besar di Indonesia. Lihat saja pemberitaan media cetak dan elektronik mengenai kekerasan seksual pada anak dapat dijumpai setiap hari. Bentuk dan modus operandinya pun juga
cukup beragam. Berdasarkan ketentuan Konvensi Hak Anak (1989) dan protokol tambahannya KHA (option protocol Convention on the Rights of the Child) bentuk-bentuk kekerasan dibagi dalam empat bentuk. Kekerasan seksual meliputi eksploitasi seksual komersial termasuk
penjualan anak (sale children) untuk tujuan prostitusi (child prostitution) dan pornografi (child phornografy).Kekerasan seksual terhadap atau
dengan sebutan lain perlakuan salah secara seksual bisa berupa hubungan seks, baik melalui vagina, penis, oral, dengan menggunakan alat, sampai dengan memperlihatkan alat kelaminnya, pemaksaan seksual, sodomi, oral seks, onani, pelecehan seksual, bahkan perbuatan incest.
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan memandang bahwa kekerasan seksual merupakan istilah yang menunjuk pada perilaku seksual deviatif atau hubungan seksual yang menyimpang (Abdul
dan Muhammad, 2001: 40 ).
Berdasarkan data di Pengadilan Negeri Tanjung Karang terdapat 115 kasus pencabulan pada tahun 2010. Dari kasus-kasus tersebut banyak diantaranya terjadi, korbannya bukanlah orang
asing lagi baginya bahkan saudara, anak kandung dan anak-anak yang berada dibawah asuhan nya sendiri. Kasus-kasus tersebut memberi kesan kepada kita bahwa pelakunya adalah orang-orang yang tidak bermoral sehingga dengan teganya melakukan perbuatan yang terkutuk itu
terhadap putri kadungnya sendiri atau putri asuhnya sendiri. Timbulnya kasus-kasus pencabulan, disebabkan moral pelakunya yang sangat rendah.
Berdasarkan pra survey pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang, dapat diketahui salah satu contoh kasus berkaitan dengan tindak pidana pencabulan anak dibawah umur yang dikemukakan pada perkara Nomor 36/Pid.B/2011/PN.TK. Seorang terdakwa yang berstatus kakek tirinya, yaitu ROMLI BIN ACENG (terdakwa), pada waktu dan tempat sebagaimana diuraikan dalam
surat dakwaan telah dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan kepada anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul yaitu saksi korban MUSYANI
BINTI MUSTAKIM. Korban yang berusia 11 tahun masih duduk di kelas 5 SD, tinggal bertiga dengan neneknya dan kakek tirinya yaitu terdakwa. Dimana nenek saksi korban bekerja sebagai tukang urut, dan sering pulang malam sehingga Musyani (korban) sering tinggal berdua dengan
Romli (terdakwa). Melihat kondisi tersebut timbul niat terdakwa untuk melakukan perbuatan cabul terhadap korban, dimana pada saat itu saksi korban sudah tertidur di dalam kamarnya, dan
dalam kamar korban sambil membawa sebilah pisau dapur, kemudian terdakwa sempat meraba-raba korban hingga terbangun, maka terdakwa langsung menyuruh korban diam, jika tidak diam
maka terdakwa mengancam akan membunuh saksi korban, sambil mengacungkan sebilah pisau dapur kearah saksi korban, dan mengancam agar tidak mengatakan hal tersebut kepada siapa pun, lalu terdakwa berhasil melakukan perbuatan cabul tersebut untuk pertama kalinya pada
tahun 2008, tidak hanya sekali terdakwa melakukan perbuatan tersebut, pada tahun 2009 sampai tahun 2010 sudah tiga kali terdakwa melakukan perbuatan mengancam dan mencabuli saksi
korban, setelah beberapa hari dari kejadian tersebut, korban sudah tidak tahan dengan kelakuan terdakwa, korban melarikan diri kekediaman ibu kandungnya dan menceritakan kejahatan kakek tirinya (terdakwa) dan langsung melaporkan ke kantor Polisi terdekat.
Akibat dari perbuatan tersebut, terdakwa Romli dijatuhi hukuman Pasal 81 ayat (2) dan Pasal 82 Undang-Undang 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan pidana penjara selama 11 tahun dan pidana denda sebesar Rp 60.000.000 (enam puluh juta rupiah) dengan ketentuan
apabila denda tersebut tidak dibayar maka harus diganti dengan pidana selama 3 bulan.
Salah satu praktek seks yang dinilai menyimpang adalah bentuk kekerasan seksual, oleh karena
itu kekerasan seksual terhadap anak dibawah umur dikenakan Pasal 81 ayat (2) dan Pasal 82 Undang-Undang 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak.
Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang 23 Tahun 2002, menyatakan bahwa:
“Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang
yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.”
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).”
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji masalah tersebut dengan judul :
“Analisis Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Pencabulan Terhadap Anak dibawah Umur
(studikasus perkara no. 36/PID.B/2011/PN.TK)”
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian
1. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas maka dapat ditentukan beberapa masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana pencabulan anak dibawah umur (studi kasus perkara nomor 36/Pid.B/2011/ PN.TK.) ?
2. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap pelaku pencabulan terhadap anak dibawah umur (studi kasus perkara nomor
36/Pid.B/2011/PN.TK.) ?
Adapun yang menjadi ruang lingkup penelitian ini, penulis mengambil contoh kasus yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang. Lingkup
pembahasan dalam penelitian ini hanya terbatas pada Analisis Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Pencabulan terhadap anak dibawah umur (studi kasus perkara nomor 36/Pid.B/2011/Pn.Tk), dan lingkup bidang ilmu adalah bidang Hukum Pidana.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana pencabulan anak dibawah umur (studi kasus perkara nomor 36/Pid.B/2011/ Pn.Tk.)
b. Untuk mengetahui dasar-dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana
terhadap pelaku pencabulan terhadap anak dibawah umur dalam (studi kasus perkara no. 36/Pid.B/2011/Pn.Tk.)
2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penulisan ini adalah untuk pengembangan pemahaman teoritis tentang analisis pertanggungjawaban pelaku tindak pidana pencabulan anak dibawah umur (studi kasus perkara
no. 36/Pid.B/2011/PN.TK.). Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan sumbangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan hukum dan menambah pembendaharaan kepustakaan hukum.
b. Kegunaan Praktis
Secara Praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan atau masukan informasi yang lebih konkrit serta sebagai sarana pengembangan untuk menambah wawasan
pribadi dalam bidang ilmu hukum pidana.
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya masih dianggap relevan oleh penulis atau peneliti (Soerjono
Soekanto, 1986: 125).
Teori yang digunakan dalam penulisan ini mencakup tentang teori- teori pertanggungjawaban pidana dan teori dasar pertimbangan hakim.
Pertanggungjawaban pidana adalah suatu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan atau harus
Pertanggungjawaban pidana merupakan pemberian sanksi pidana kepada pelaku atau pembuat. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggung jawabkan perbuatannya tersebut
dengan pidana, apabila ia mempunyai kesalahan.
Pada suatu kesalahan hukum yang melawan hukum belumlah cukup untuk menjatuhkan hukuman, disamping perbuatan melawan hukum harus ada seorang pembuat (dader) yang bertanggungjawab atas perbuatannya pembuat, haruslah terbukti bersalah (schuld hebben) tindak
pidana yang dilakukan.
Menurut Andi Hamzah (1994: 34) Pertanggungjawaban pidana atau kesalahan terdiri dari 3 (tiga) unsur :
a.Toerekening strafbaarheid(dapat dipertanggungjawabkan) pembuat. 1. Suatu sikap psikis pembuat berhubungan dengan kelakuannya. 2. Kelakuan yang sengaja.
b. Tidak ada batasan-batasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana pembuat (unsur toerekening strafbaarheid)
c. Tidak ada alasan-alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana pembuat (unsur toerekenbaar heid).
Salah satu dari pelaksana hukum yaitu hakim. Hakim diberi wewenang oleh undang-undang untuk menerima, memeriksa serta memutus suatu perkara pidana. Oleh karena itu hakim dalam menangani suatu perkara harus dapat berbuat adil. Seorang hakim dalam memberikan putusan
dimungkinkan adanya perbedaan cara pandang sehingga mempengaruhi pertimbangan dalam memberikan keputusan (Oemar Seno Aji, 1997: 12).
Hakim dalam mengambil suatu keputusan atau vonis, memang bukan suatu masalah yang sulit. Pekerjaan membuat suatu putusan merupakan pekerjaan rutin yang setiap hari dilakukan. Namun demikian, justru karena rutinitas tersebut seringkali hakim mengabaikan standar normatif yang
harus ditempuh untuk membuat suatu putusan. Kondisi tersebut bisa dilihat pada pertimbangan hukum yang diambil para majelis hakim ketika mengambil suatu putusan. Banyak pertimbangan hukum yang dibuat secara asal-asalan, bahkan apabila hal tersebut hanya menyangkut
perkara-perkara pasaran yang setiap hari ditanganinya. Hal ini menyebabkan di lingkungan pengadilan masih sedikit ditemukan putusan hakim yang mempunyai kualitas ilmiah untuk dapat dikaji
secara akademik bagi pengembangan hukum (Satjipto Rahardjo, 2000 : 20).
Rumusan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menjelaskan pada Bagian keempat Pembuktian dan Putusan Dalam Acara Pemeriksaan Biasa Pasal 183 yang menentukan :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Fungsi utama dari seorang hakim adalah memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan
kepadanya, di mana dalam perkara pidana, hal itu tidak terlepas dari sistem pembuktian negatif, yang pada prinsipnya menentukan bahwa suatu hak atau peristiwa atau kesalahan dianggap telah
Dasar pertimbangan hakim adalah landasan-landasan yuridis dan subyetifitas yang digunakan oleh hakim untuk menjatuhkan vonis terhadap terdakwa hakim memiliki kebebasan untuk
memilih jenis pidana yang dicantumkan dalam undang-undang sebagai konsekuensi system alternative dalam KUHP sebagai landasan dalam mempertimbangkan menjatuhkan vonis hakim juga bebas memilih berat ringannya pidana yang dijatuhkan sehubungan dengan adanya asas
minimum umum serta maksimum yang jelas sehingga berat ringannya pidana yang dijatuhkan tergantung pada subyektifitas hakim (Roeslan Saleh, 1999 : 32).
Tiga teori dalam dasar pertimbangan hakim : 1. Teori Kepastian Hukum
2. Teori Kemanfaatan
3. Teori Keadilan
Menurut Lilik Mulyadi (2007: 136), Teori dasar pertimbangan hakim yaitu putusan hakim yang baik, mumpuni dan sempurna, hendaknya putusan tersebut dapat diuji dengan empat kriteria
dasar pertanyaan (the four way test), berupa : 1. Benarkah putusanku ini?
2. Jujurkah aku dalam mengambil putusan? 3. Adilkah bagi pihak-pihak putusanku ini ? 4. Bermanfaatkah putusanku ini ?
Hakikatnya pada pertimbangan yuridis merupakan pembuktian unsur-unsur dari suatu tindak
pertimbangan-pertimbangan yuridis ini secara langsung akan berpengaruh terhadap amar putusan hakim (Lilik Mulyadi, 1996: 219).
Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam menjatuhkan pidana wajib mempertimbangakan
hal-hal sebagai berikut (Bambang Waluyo, 2004 : 91):
a. Kesalahan pembuat tindak pidana
b. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana c. Cara melakukan tindak pidana
d. Sikap batin pembuat tindak pidana
e. Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat tindak pidana f. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana g. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana h. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan i. Pengurus tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban j. Apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana
2. Konseptual
Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep
khusus yang merupakan arti-arti yang berkaitan dengan istilah-istilah yang ingin diketahui (Soerjono Soekanto, 1986 : 232).
Adapun batrasan dan pengertian yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah:
b. Pertanggungjawaban pidana adalah suatu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan atau harus dipertanggungjawabkan kepada sipembuat
pidananya atas perbuatan yang telah dilakukannya. (Roeslan Saleh, 1981 : 80). c. Tindak Pidana Adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan Hukum, larangan yang sama disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu,
bagi barang siapa menlanggar larangan tersebut. (Moeljatno, 2000 : 2)
d. Tindak Pidana Pencabulan adalah segala macam wujud perbuatan, baik yang dilakukan pada orang lain mengenai dan berhubungan dengan alat kelamin atau bagian alat tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu seksual. (Adami Chazawi, 2005 : 80)
e. Anak dibawah umur adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. Termasuk anak yang masih dalam kandungan. (Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak).
E. Sistematika Penulisan
Mempermudah dalam melakukan pembahasan, penganalisaan, serta penjabaran isi dari
penelitian ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan hukum ini sebagai berikut :
I. PENDAHULUAN
Pada Bab.1 penulis mengemukakan latar belakang permasalah, pokok permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka konseptual, dan sistematika penulisan hokum yang
digunakan untuk memberikan pemahaman terhadap isi penelitian ini secara garis besar.
Pada Bab.2 penulis memaparkan secara singkat mengenai sistim hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia berdasarkan pada KUHAP. Secara urut penulis akan membahas mengenai
tinjauan umum tentang pertanggungjawaban pelaku tindak pidana pencabulan anak di bawah umur Studi Kasus Perkara Nomor 36/PID.B/2011/PN.TK.
III. METODE PENELITIAN
Pada Bab.3 ini penulis akan membahas dan menjawab permasalahan yang telah ditentukan sebelumnya. Pertama, rumusan tindak pidana dan saksi pidana pencabulan anak di bawah umur dalam KUHP dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Kedua,
penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur dalam putusan nomor: 36/Pid.B/20011/PN.TK.
VI. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Selanjutnya pada Bab.4 penulis akan mencoba untuk menyajikan pembahasan tentang permasalahan yang telah ditentukan sebelumnya. Pertama, apa yang menjadi dasar hukum hakim menyutujui pelaksanaan proses tindak pidana persetubuhan terhadap anak di bawah umur.
Kedua, bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur berdasarkan undang-undang perlindungan anak.
V. PENUTUP
Bab.5 ini menguraikan mengenai simpulan atas perumusan masalah yang diteliti dan uraian penulis mengenai saran yang ingin disampaikan berdasarkan jawaban yang diuraikan dalam
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Anak dibawah Umur
Pengertian anak menurut Kamus Bahasa Indonesia yang dapat disimpulkan ialah keturunan yang
kedua yang berarti dari seorang pria dan seorang wanita yang melahirkan keturunannya, yang dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian
berkembang biak di dalam rahim wanita berupa suatu kandungan dan kemudian wanita tersebut pada waktunya nanti melahirkan keturunannya.
Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan
martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak merupakan tunas sumber potensi dan generasi muda penerus perjuangan cita-cita bangsa dimasa yang akan datang nantinya, oleh karna itu harus kita jaga dan kita lindungi dari perbuatan buruk ataupun sebagai korban dari perbuatan buruk
seseorang.
Definisi anak sendiri terdapat banyak pengertiannya, pengertian tersebut terdiri dari beberapa peraturan yang berlaku di Indonesia, diantaranya yaitu :
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Dalam Pasal 1 butir 1 undang-undang ini pengertian anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sehingga anak
undang-undang ini terdapat pengertian mengenai anak telantar, anak yang menyandang cacat, anak yang memiliki keunggulan, anak angkat dan anak asuh.
2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak
Definisi anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah berumur 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin (Pasal 1 ayat
(1) ) Sedangkan dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini menyebutkan bahwa batasan umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak adalah anak yang sekurangkurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah
kawin.
3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak
Dalam Pasal 1 ayat (2) undang-undang ini anak didefinisikan sebagai seseorang yang belum
mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.
4. Konvensi PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa)
Dalam Konvensi PBB yang di tanda tangani oleh Pemerintah Republik Indonesia tanggal 1990
di katakan batasan umur anak adalah di bawah umur 18 (delapan belas) tahun).
Peraturan perundang-undangan di Indonesia memang tidak seragam dalam menentukan
bagaimanakah dapat dikatakan sebagai anak, akan tetapi dalam setiap perbedaan pemahaman tersebut, tergantung situasi dan kondisi dalam pandangan yang mana yang akan dipersoalkan
Pengertian anak memiliki arti yang sangat luas, anak di kategorikan menjadi beberapa kelompok usia, yaitu masa anak anak (berumur 0-12 tahun), masa remaja (berumur 13-20 tahun), dan masa dewasa (berumur 21-25 tahun). Pada masa anak-anak sendiri anak cenderung memiliki sifat yang
suka meniru apa yang dilakukan orang lain dan emosinya sangat tajam.
Pada masa ini pula anak mulai mencari teman sebaya dan memulai berhubungan dengan orang-orang dalam lingkungannya, lalu mulai terbentuk pemikiran mengenai dirinya sendiri.
Selanjutnya pada masa ini pula perkembangan anak dapat berkembang dengan cepat dalam segala bidang baik itu perubahan tubuh, perasaan, kecerdasan, sikap sosial dan kepribadian (Gatot Supramono, 2000 : 2-3).
Anak merupakan generasi penerus suatu bangsa, maka anak juga mempunyai suatu hak-hak yang harus di akui dan di lindungi Negara, hak anak juga merupakan bagian dari HAM meskipun anak masih dalam kandungan seorang ibu. Yang dimaksud dengan perlindungan anak sendiri adalah
segala upaya yang ditujukan untuk mencegah, merehabilitasi dan memberdayakan anak yang mengalami tindak perlakuan salah, eksploitasi dan penelantaran agar dapat menjamin
kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak secara wajar, baik fisik maupun sosialnya. (Sholeh Soeaidy, 2001 : 4).
Sedangkan dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pengertian
perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat
mengenai perlindungan anak yang dalam suatu tindak pidana kesusilaan sebagai seorang korban ataupun pelakunya, hal ini di tegaskan dalam Pasal 17 ayat (2) yang berbunyi:
“Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan”.
B. Pengertian Tentang Pertanggungjawaban Pidana
Perbuatan cabul yang dilakukan orang dewasa kepada anak yang masih dibawah umur harus
dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responbility atau “pertanggungjawaban” itu merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan.
Hukum pidana merupakan sarana yang penting dalam penanggulangan kejahatan atau mungkin
sebagai obat dalam memberantas kejahatan yang meresahkan dan merugikan masyarakat pada umunya dan korban pada khususnya. Penanggulangan kejahatan tersebut dapat dilakukan secara preventif (pencegahan) dan refresif (penindakan). Bentuk penanggulangan tersebut dengan diterapkannya sanksi terhadap pelaku tindak pidana, sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya. Sanksi
pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama/terbaik dan suatu etika merupakan pengancaman yang utama dari kebebasan manusia.
Tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam Undang-Undang. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan
dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang
Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Tindak pidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan asas pertanggung jawaban pidana, oleh sebab itu dalam
hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan.
Berdasarkan hal tersebut maka pertanggungjawaban pidana atau kesalahan menurut hukum
pidana, terdiri atas tiga syarat yaitu :
1. Kemampuan bertanggung jawab atau dapat dipertanggungjawabkan dari si pembuat.
2. Adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis si pelaku yang berhubungan
dengan kelakuannya yaitu : Disengaja dan Sikap kurang hati-hati atau lalai.
3. Tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggung jawaban pidana bagi
si pembuat.
Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, adalah merupakan faktor akal (intelektual factor) yaitu dapat membedakan perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Dan kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan tersebut adalah merupakan faktor perasaan
(volitional factor) yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak.
Sebagai konsekuensi dari dua hal tadi maka tentunya orang yang tidak mampu menentukan
Kemampuan bertanggung jawab merupakan unsur kesalahan, maka untuk membuktikan adanya kesalahan unsur tadi harus dibuktikan lagi. Mengingat hal ini sukar untuk dibuktikan dan
memerlukan waktu yang cukup lama, maka unsur kemampuan bertanggungjawab dianggap diam-diam selalu ada karena pada umumnya setiap orang normal batinnya dan mampu bertanggungjawab, kecuali kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin
jiwanya tidak normal. Dalam hal ini, hakim memerintahkan pemeriksaan yang khusus terhadap keadaan jiwa terdakwa sekalipun tidak diminta oleh pihak terdakwa. Jika hasilnya masih
meragukan hakim, itu berarti bahwa kemampuan bertanggungjawab tidak berhenti, sehingga kesalahan tidak ada dan pidana tidak dapat dijatuhkan berdasarkan asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.
Masalah kemampuan bertanggung jawab ini terdapat dalam Pasal 44 ayat 1 dalam KUHP yang menentukan:
“Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya
karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena cacat, tidak dipidana.”
Kalau tidak dipertanggung jawabkan itu disebabkan hal lain, misalnya jiwanya tidak normal dikarenakan dia masih muda, maka pasal tersebut tidak dapat dikenakan, apabila hakim akan
menjalankan Pasal 44 KUHP, maka sebelumnya harus memperhatikan apakah telah dipenuhi dua syarat sebagai berikut :
2. Syarat Psychologisialah gangguan jiwa itu harus pada waktu si pelaku melakukan perbuatan pidana, oleh sebab itu suatu gangguan jiwa yang timbul sesudah peristiwa tersebut, dengan
sendirinya tidak dapat menjadi sebab terdakwa tidak dapat dikenai hukuman.
Menentukan adanya pertanggungjawaban, seseorang pembuat dalam melakukan suatu tindak pidana harus ada “sifat melawan hukum” dari tindak pidana itu, yang merupakan sifat terpenting
dari tindak pidana. Tentang sifat melawan hukum apabila dihubungkan dengan keadaan psikis (jiwa) pembuat terhadap tindak pidana yang dilakukannya dapat berupa kesengajaan (opzet) atau karena kelalaian (culpa). Akan tetapi kebanyakan tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan
bukan unsur kelalaian. Hal ini layak karena biasanya, yang melakukan sesuatu dengan sengaja.
C. Pengertian Tindak Pidana Pencabulan
Istilah mengenai tindak pidana merupakan terjemahan dari bahasa Belanda yaitu strafbaarfeit ataudelict, namun dalam perkembangan hukum istilahstrafbaarfeit ataudelictmemiliki banyak definisi yang berbeda-beda, sehingga untuk memperoleh pendefinisian tentang tindak pidana secara lebih tepat sangatlah sulit mengingat banyaknya pengertian mengenai tindak pidana itu
sendiri.
Pengertian Tindak Pidana (Strafbaar Feit) menurut salah satu ahli hukum yaitu Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana, yang didefinisikan sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi
Pencabulan berasal dari kata “cabul”. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memuat arti kata
sebagai berikut: “keji dan kotor”, tidak senonoh (melanggar kesopanan, kesusilaan). Perbuatan
cabul digolongkan sebagai salah satu bentuk kejahatan terhadap kesusilaan.
KUHP belum mendefinisikan dengan jelas maksud perbuatan cabul itu sendiri dan terkesan mencampur arti kata persetubuhan maupun perkosaan. Dalam rancangan KUHP sudah terdapat
penambahan kata “persetubuhan” disamping kata perbuatan cabul. Perumusan tersebut dapat dilihat bahwa pengertian perbuatan cabul dan persetubuhan sangatlah berbeda. Perbuatan cabul tidak menimbulkan kehamilan.
Menurut Simon ”ontuchtige handelingen” atau cabul adalah tindakan yang berkenaan dengan kehidupan dibidang seksual, yang dilakukan dengan maksud-maksud untuk memperoleh
kenikmatan dengan cara yang sifatnya bertentangan dengan pandangan umum untuk kesusilaan (Lamintang, 1997 : 159).
Ketika seorang dewasa melakukan hubungan seksual dengan anak yang belum berumur 18 tahun maka orang tersebut akan dianggap sebagai pelaku yang telah melakukan penyimpangan seksual
ataupun kejahatan seksual kepada anak. Secara Yuridis orang dewasa yang melakukan hubungan seksual dengan anak dianggap mempunyai kelainan dan telah melakukan perbuatan cabul pada
anak, namun dewasa ini perbuatan cabul juga sering dilakukan oleh ayah kepada anaknya, saudara ataupun teman dan hubungan kekasih. Perbuatan cabul ini dilakukan oleh orang dewasa kepada anak asuhannya sendiri.
dalam lingkungan nafsu birahi kelamin misalnya mencium, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada. Persetubuhan masuk pula dalam pengertian perbuatan cabul akan tetapi
dalam undang-undang ditentukan sendiri (R.Soesilo.KUHP).
Tindak pidana pencabulan merupakan salah satu kejahatan kesusilaan, yang diatur di dalam KUHP Buku II Bab XIV Pasal 294 ayat (1) yang ancaman hukumannya adalah pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun. Meskipun perbuatan ini selalu harus dilakukan oleh kedua belah pihak secara bersama-sama, namun yang dihukum hanyalah seorang yang sudah dewasa. Apabila perbuatan cabul dilakukan pelaku tidak tercapai maksudnya, karena adanya perlawanan
dari pihak korban, ia dipersalahkan melakukan percobaan pencabulan yang ketentuannya diatur dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP yang berbunyi: “Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika
niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri”.
Sanksi pidana mengenai perbuatan cabul terhadap anak diatur pula di luar KUHP yaitu terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, ketentuan tersebut
dalam pasal 81 yaitu sebagai berikut: Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang
lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Ketentuan dalam Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjelaskan bahwa: “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp
1
III. METODE PENELITIAN
Penelitian adalah suatu proses, yaitu suatu rangkaian langkah-langkah yang
dilakukan secara terencana dan sistematis guna mendapatkan pemecahan masalah atau mendapatkan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tertentu. (Sumadi Suryabrata, 2003 : 11), sedangkan pengertian metode dalam pelaksanaan suatu
penelitian adalah persoalan pokok yang cukup menentukan, metode merupakan suatu unsur yang mutlak harus ada di dalam penelitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan (Soerjono Soekanto, 1986 : 7). Dari pengertian tersebut maka metodelogi penelitian diartikan sebaga cara yang teratur dan sistematik secara runtut dan baik dengan menggunakan metode ilmiah yang bertujuan untuk
mendapatkan data baru guna membuktikan kebenaran maupun ketidak benaran dari suatu gejala atau hipotesa. Adapun metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
A. Pendekatan Masalah
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan normatif dilakukan dengan cara mempelajari buku-buku, bahan-bahan bacaan literature peraturan perundang-undangan yang
menunjang dan berhubungan sebagai penelaahan hukum tertulis. Penelitian normatif dilakukan terhadap hal-hal yang bersifat teoritis asas-asas hukum, dasar
hukum dan konsep-konsep hukum.
2
penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin
tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Maksud dari penelitian deskriptif adalah terutama untuk mempertegas hipotesis-hipotesis agar dapat
membantu dalam memperkuat teori-teori baru. Sedangkan di tinjau dari metodenya, penelitian ini termasuk penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang dilakukan dengan melakukan pengumpulan data
berupa kata-kata, gambar-gambar, serta informasi verbal atau normatif dan bukan dalam bentu angka (Soerjono Soekanto, 1986 : 10)
B. Jenis dan Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini berasal dari kepustakaan dan lapangan.
Sedangkan jenis data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.
1. Data Primer
Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari penelitian di
lapangan pada obyek yang diteliti, beberapa keterangan dari aparat penegak hukum di kejaksaan dan pengadilan negeri yang ada kaitannya dengan permasalahan dalam skripsi ini.
3
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan yang
meliputi :
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersumber dari :
1. Undang-Undang Dasar 1945.
2. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. 3. Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Pokok-Pokok
Kekuasaan Kehakiman.
4. Undang-Undang nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
5. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 6. Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor : 36/Pid.B/2010/
PN.TK.
b. Bahan hukum sekunder , yaitu bahan hukum yang bersumber dari :
1. Penjelasan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209)
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP.
3. Penjelasan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun
1983 tentang Pelaksanaan KUHAP.
4. Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No-M-01-PW-07
003 Tahun 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP. 5. Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak
4
c. Bahan hukum tersier , yaitu bahan hukum yang bersumber dari : karya -karya
ilmiah, bahan seminar, literatur dan pendapat para sarjana yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang dibahas.
C. Penentuan Populasi dan Sample
Menurut Soerjono Soekanto (1986 : 172) yang dimaksud dengan populasi adalah
sejumlah manusia atau unit yang mempunyai ciri-ciri dan karakteristik yang sama. Populasi dalam penulisan skripsi ini adalah pihak-pihak yang berkaitan dengan
dasar hukum pertimbangan Hakim memutus perkara. Penentuan populasi dalam penelitian ini adalah Akademisi atau Dosen, dan Hakim.
Adanya populasi dalam penelitian ini secara otomatis akan menimbulkan adanya
sampel. Adapun sampel dari penelitian ini adalah Hakim Pengadilan Tinggi Tanjung Karang, dan Dosen yang Fakultas Hukum Universitas Lampung. Masri Singarimbun dan Sofian Effendi (1987 : 172) memberikan pengertian mengenai
5
Adapun Responden dalam penelitian ini sebanyak 6 (enam) orang, yaitu: 1. Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang = 2 orang 2. Jaksa Pengadilan Negeri Tanjung Karang = 2 orang
3. Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung = 2 orang +
Jumlah = 6 orang
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolaan Data
1. Prosedur Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam penelitian guna menyusun penulisan hukum ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai
berikut :
a. Studi Kepustakaan (Library Research)
Merupakan cara teknik pengumpulan data dengan membaca dan memperoleh bahan–bahan tertulis seperti buku–buku ilmiah, peraturan perundangan, hasil
penelitian, artikel–artikel yang berhubungan dengan masalah yang diteliti oleh penulis.
b. Studi Lapangan (Field Research)
Merupakan penelitian secara langsung terhadap obyek penelitian dalam rangka mengumpulkan data primer :
1) Pengamatan (observasi)
Observasi merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan mengadakan pengamatan secara langsung terhadap obyek yang diteliti, untuk
6
2) Wawancara (interview)
Teknik wawancara yang dilakukan yaitu dengan bertatap muka dengan mengadakan tanya jawab langsung guna memperoleh data yang diperlukan dalam
penelitian ini.
2. Pengolaan Data
Setelah data terkumpul,baik studi kepustakaan maupun studi lapangan, maka data
diproses melalui pengolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Editing, yaitu memeriksa kembali kelengkapan, kejelasan, dan relevasi dengan penelitian.
b. Klasifikasi data yaitu mengklasifikasi/mengelompok data yang diperoleh menurut jenisnya untuk memudahkan dalam menganalisis data.
c. Sistematisasi data, yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data pada setiap pokok secara sistematis sehingga mempermudah interpretasi data dan tercipta keteraturan dalam menjawab permasalahan.
E. Analisis Data
Langkah yang dilakukan setelah memperoleh data adalah menganalisis data
tersebut. Teknik analisis data adalah proses pengorganisasian dan pengurutan data dalam pola, kategori dan uraian dasar, sehingga akan dapat ditemukan tema dan
dapat dirumuskan hipotesis kerja.
7
yang sudah terkumpul dengan cara yang benar dapat menghasilkan jawaban dari
58
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab-bab terdahulu dapat disimpulkan hal-hal sebagai
berikut:
1. Pertanggungjawaban pelaku tindak pidana pencabulan anak dibawah umur yaitu ditinjau dari kemampuan Romli (terdakwa) dapat bertanggungjawab
berdasarkan hal-hal : Perbuatan terdakwa harus merupakan suatu tindak pidana yang diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan yaitu
melakukan perbuatan pencabulan terhadap anak dibawah umur. Terdakwa yang bernama Romli bin Aceng sebagai pelaku tindak pidana mampu bertanggungjawab atas perbuatannya dan tidak ada alasan pemaaf dan
pembenar terhadapnya.
Suatu perbuatan harus memiliki sanksi yang mengikat, hal ini berdasarkan prinsip asas legalitas dimana seseorang tidak boleh dipidana tanpa ada aturan yang jelas melarangnya. Maka sanksi yang dikenakan Romli bin
Aceng sudah cukup berat karna telah melanggar ketentuan dalam Pasal 81 ayat (2) Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
59
2. Dasar Pertimbangan Hakim dalam memutus perkara dalam menjatuhkan
putusan pidana terhadap pencabulan terhadap anak di bawah umur yaitu hakim yang memeriksa dan memutus perkara sebelum menjatuhkan
pidana telah mendengarkan keterangan saksi-saksi dan menyesuaikan keterangan saksi-saksi satu sama lain sehingga dapat menyimpulkan suatu fakta hukum atau peristwa hukum sebagaiaman yang terjadi (kebenaran
Materil). Pertimbangan hakim tidak hanya terletak pada unsur-unsur yang didakwakan tetapi juga mengaitkan antara keterangan satu sama lain.
hal-hal yang memberatkan yaitu membuat saksi korban trauma, telah merusak masa depan saksi korban, dan hal yang meringankan terdakwa Romli yaitu bersikap sopan dalam persidangan dan secara terus terang mengakui
perbuatannya.
B. Saran
Selanjutnya disarankan hal-hal sebagai berikut:
1. Perlu adanya aturan yang jelas mengenai perlindungan anak,
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak belum maksimal memberikan perlindungan kepada anak secara keseluruhan.
2. Perlu meningkatakan gerakan perlindungan anak dengan cara memberikan
arahan dan sosialisasi mengenai hak-hak anak, dan bagaiman tata cara
melaporkan apabila anak mengalami ancaman baik fisik maupun psikis dikarnakan akan merusak masa depan anak karna anak adalah generasi
ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR
(Studi Kasus Perkara Nomor 36/PID.B/2011/PN.TK) (Skripsi)
Oleh RIA ANDAYANI
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR
(Studi Kasus Perkara Nomor 36/PID.B/2011/PN.TK)
Oleh RIA ANDAYANI
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
DAFTAR ISI
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian ... 06
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 07
D. Kerangka Teori dan Konseptual ... 08
E. Sistematika Penulisan ... 13
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dibawah Umur ... 15
B. Pengertian Tentang Pertanggungjawaban Pidana ... 18
C. Pengertian Tindak Pidana Pencabulan ... 22
III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 26
B. Jenis dan Sumber Data ... 27
C. Penentuan Populasi dan Sampel ... 29
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 30
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Responden ... 33 B. Gambaran Umum perkara Nomor Register 36/Pid.B/2011/PN.TK... 34 C. Pertanggungjawaban Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana
Pencabulan Anak Dibawah Umur (Studi Kasus Perkara Nomor 36/Pid.B/2011/Pn.Tk.)... 36 D. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim dalam Menjatuhkan Putusan
Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencabulan Anak Dibawah Umur (Studi Kasus Perkara Nomor 36/Pid.B/2011/Pn.Tk.) ... 48
V. PENUTUP
A. Kesimpulan ... 58 B. Saran ... 59
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku dan Kamus
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan. 2001. Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan,Bandung : Refika Aditama.
Adami Chazawi. 2002.Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994)
Johny Ibrahim. 2006.Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif. Malang : Banyumedia Publishing.
Lamintang. 1997.Dasar-Dasar untuk mempelajari Hukum Pidana yang Berlaku di Indonesia. Bandung. PT Citra Aditya Bakti.
Lilik Mulyadi. 2007.Suatu Tinjauan Khusus terhadap suatu Dakwaan Eksepsi dan Putusan Peradilan. Bandung : Citra Aditya,
Moeljatno,Asas-asas Hukum Pidana,cetakan ke enam, (Jakarta : Rineka Cipta, 2000)
Moeljatno. 2000. Perbuatan Pidana Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara.
Oemar Seno Adji, 1997,Mass Media Hukum, Erlangga, Jakarta: Alumni Roeslan Saleh. 1981.Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, dua
Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana.Jakarta: Aksara Baru R. Soesilo. 1966.KUHP serta komentar-komentarnya,Politeria, Bogor Sholeh Soeaidy & Zulkhair. 2001.Dasar hukum perlindunganAnak, Jakarta:
NovindoPustaka Mandiri.
Seutherland, Edwin H. dan Donald R. Cressey. 1977.Azas-Azas Kriminologi = Principles of Criminology. Bandung: Alumni.
Soerdjono Soekanto. 1986.Ilmu Kedokteran Forensik,Jakarta: UI, Sudarsono. 1992.Kamus Hukum.Jakarta : PT Rineka Cipta.
Soerjono Soekanto. 1986.Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas Indonesia (UI-Press). Hal. 232
Tanpa Pengarang. 1999.KUHAP Lengkap: Jakarta. Bumi Aksara.
Tim Penyusun Kamus. 1997.Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Kamus Besar Bahasa Indonesia.Balai Pustaka, Jakarta.
Universitas Lampung. 2009.Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Universitas Lampung Press, Bandar Lampung.
2. Peraturan Perundang-Undangan
Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Kitab undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-2.
Judul Skripsi :ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU
TINDAK PIDANA PENCABULAN ANAK DIBAWAH UMUR (Studi Kasus Perkara Nomor 36/Pid.B/2011/PN.TK)
Nama Mahasiswa :RIA ANDAYANI
Nomor Pokok Mahasiswa : 0852011181
Bagian : Hukum Pidana
Fakultas : Hukum
MENYETUJUI
1. Komisi Pembimbing
Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H. Maya Shafira, S.H., M.H.
NIP 19620817 198703 2 003 NIP 19770601 200501 2 002
2. Ketua Bagian Hukum Pidana
Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H.
MENGESAHKAN
1. Tim Penguji
Ketua :Diah Gustiniati .M, S.H., M.H .
...
Sekretaris/Anggota :Maya Shafira, S.H., M.H .
...
Penguji Utama :Tri Andrisman, S.H., M.H
..
...
2. Dekan Fakultas Hukum
Dr. Heryandi, S.H., M.S.
NIP 19621109 198703 1 003
RIWAYAT HIDUP
Ria Andayani dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 25
Agustus 1990, yang merupakan anak ke tiga dari tiga bersaudara buah hati pasangan Bapak Drs. Hi. Agus Saleh
dan Ibu Hj. Heryanti.
Pendidikan Formal yang pernah ditempuh penulis yaitu di Taman Kanak-kanak Sari Teladan Beringin dan diselesaikan pada tahun 1996, pendidikan Sekolah
Dasar Negeri 1 Beringin Raya diselesaikan pada tahun 2002, penulis melanjutkan studinya di Sekolah Menengah Pertama Kartika II-2 Bandar Lampung pada tahun 2005 dan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 3 Bandar Lampung yang
diselesaikan pada tahun 2008. Dengan mengikuti Seleksi Penerimaan Mahasiswi akhirnya penulis diterima di Fakultas Hukum Universitas Lampung pada Tahun
2008.
Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif mengikuti beberapa kegiatan. Selain itu, pada Tahun 2011 penulis mengikuti kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN)
PERSEMBAHAN
Dengan mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT, atas limpahan berkah serta lindungan-Nya skripsi ini dapat terselesaikan, maka dengan ketulusan dan kerendahan hati serta setiap perjuangan dan jerih payahku, aku persembahkan
sebuah karya ini kepada :
Ayah dan Ibu yang kuhormati, kusayangi, dan kucintai
Terima kasih untuk setiap pengorbanan kesabaran, perhatian dan kasih sayang
yang tulus serta do’a demi keberhasilanku… dan kepada
MOTTO
Kunci Utama Kesuksesan adalah percaya pada diri sendiri serta keberanian menjalani suatu tantangan dan rintangan hidup dan tak mudah putus asa, agar bisa
menjadi manusia yang bisa diandalkan.
Kesuksesanjauh lebih sempurna jika adanya Usaha dan Do’a.
Kebanyakan dari diri kita tidak mensyukuri apa yang sudah kita miliki,
SANWACANA
Alhamdulillahirobbil’alamien.
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya, serta salawat dan salam atas Nabi besar Muhammad SAW yang telah membimbing manusia kejalan yang benar sehingga penulis dapat
menyeleasaikan skripsi ini yang berjudul : ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR (Studi Kasus Perkara Nomor 36/Pid.b/2011/PN.TK).
Dalam penulisan skripsi ini, Penulis menyadari masih banyak terdapat kelemahan dan kekurangan. Hal tersebut dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan
kemampuan yang dimiliki. Penulis skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak baik moril maupun materil. Maka kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:
1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Pj. Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.
2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum
Pembimbing I yang telah sabar memberikan saran dan meluangkan
waktunya sehingga proses penyelesaian skripsi dapat berjalan lancar.
3. Ibu Maya Shafira, S.H., M.H. selaku Pembimbing II yang telah banyak
membimbing dan mengarahkan penulis selama penyelesaian skripsi ini. 4. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H. dan Ibu Dona M., S.H., M.H. sebagai
Pembahas Pertama dan Pembahas Kedua yang telah banyak memberikan
kritikan, koreksi dan masukan demi kebaikan penyelesaian skripsi ini. 5. Bapak Shafruddin, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik selama
penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.
6. Bapak Dr. Eddy Rifai, S.H., M.H. dan Bapak Shafruddin, S.H., M.H. yang telah meluangkan waktunya untuk melakukan wawancara demi penelitian
skripsi ini.
7. Para Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tak bisa disebutkan satu persatu, atas bimbingan dan pengajarannya selama penulis menjadi
mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.
8. Seluruh staf dan karayawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang
telah membantu penulis dalam proses akademis dan kemahasiswaan atas bantuannya selama penyusunan skripsi.
9. Kedua Orang tuaku tercinta ayah Drs. Hi. Agus Saleh dan ibu Hj. Heryanti,
terima kasih yang sebesar-besarnya atas semua kesabaran menghadapiku, pengorbanan dan keikhlasan doa mu yang tak pernah putus untuk
10. Kakak-kakak ku Tuan Fandi, dan Atu Asti beserta seluruh keluarga besar
yang telah memberikan kasih sayang, perhatian, dukungan dan do’a yang selam ini telah diberikan.
11. My best Friend Echi, Dugong, Fredi yang selalu mengerti aku, mendengarkan keluh kesahku baik senang maupun susah.
12. Untuk Reza, Gema, Dira, Queen, Tia, Citra, Lucky, Inez, Selvi, Silca, Ika,
Wirda, dan teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu persatu terimakasih atas dukungan, kebersamaan dan kekompakannya.
13. Kepada babe Narto, Mbak Sri dan Mbak Yanti, terima kasih atas do’a dan dukungnya serta bantuannya selama ini.
14. Almamaterku tercinta yang sudah memberi banyak wawasan dan
pengalaman berharga.
Semoga Allah memberikan balasan atas jasa dan budi baik yang telah diberikan kepada penulis, segala kritik dan Saran yang bersifat membangun penulis akan
terima dengan senang hati. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membaca. Amin.
Bandar Lampung, 16 Mei 2012 Penulis