• Tidak ada hasil yang ditemukan

Biosintesis Vitamin C Dari Substrat D-Sorbitol Oleh Acetobacter Xylinum Dengan Metode Fermentasi Sistem Batch Culture Teraduk Kontinu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Biosintesis Vitamin C Dari Substrat D-Sorbitol Oleh Acetobacter Xylinum Dengan Metode Fermentasi Sistem Batch Culture Teraduk Kontinu"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

BIOSINTESIS VITAMIN C DARI SUBSTRAT D-SORBITOL

OLEH ACETOBACTER XYLINUM DENGAN METODE

FERMENTASI SISTEM BATCH CULTURE

TERADUK KONTINU

TESIS

Oleh

ENGELLINA

107006005/KIM

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

BIOSINTESIS VITAMIN C DARI SUBSTRAT D-SORBITOL

OLEH ACETOBACTER XYLINUM DENGAN METODE

FERMENTASI SISTEM BATCH CULTURE

TERADUK KONTINU

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains dalam Program Studi Ilmu Kimia pada Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

Oleh

ENGELLINA

107006005/KIM

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis :

BIOSINTESIS VITAMIN C DARI

SUBSTRAT D-SORBITOL OLEH

ACETOBACTER XYLINUM DENGAN

METODE FERMENTASI SISTEM

BATCH CULTURE TERADUK

KONTINU

Nama Mahasiswa : ENGELLINA

Nomor Pokok : 107006005

Program Studi : Magister Ilmu Kimia

Menyetujui, Komisi Pembimbing

(Dr.Yuniarti Yusak,M.S) (

Ketua Anggota

Dr.Ribu Surbakti,M.S)

Ketua Program Studi Dekan

(Prof.Basuki Wirjosentono,M.S,Ph.D) (Dr.Sutarman,M.Sc)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 23 Januari 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr.Yuniarti Yusak, M.S

Anggota : 1. Dr.Ribu Surbakti, M.S

2. Dr.Rumondang Bulan, M.S

3. Dr. Hamonangan Nainggolan, M.Sc

(5)

PERNYATAAN ORISINALITAS

BIOSINTESIS VITAMIN C DARI SUBSTRAT D-SORBITOL OLEH

ACETOBACTER XYLINUM

DENGAN METODE FERMENTASI

SISTEM BATCH CULTURE TERADUK KONTINU

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa saya mengakui semua karya tesis ini adalah hasil karya saya sendiri kecuali kutipan dan ringkasan yang tiap satunya telah dijelaskan sumbernya dengan benar

Medan, 23 Januari 2013

(6)

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai Sivitas Akademis Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Engellina NIM : 107006005

Program Studi : Magister Ilmu Kimia Jenis Karya Ilmiah : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif (Non-Exclusive Royalty Free Right) atas Tesis saya yang berjudul :

BIOSINTESIS VITAMIN C DARI SUBSTRAT D-SORBITOL OLEH

ACETOBACTER XYLINUM

DENGAN METODE FERMENTASI

SISTEM BATCH CULTURE TERADUK KONTINU

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media, memformat, mengelola dalam bentuk data-base, merawat dan mempublikasikan Tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemegang dan atau sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya

Medan, 23 Januari 2013

(7)

RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama Lengkap : Engellina

Tempat dan Tanggal Lahir : Medan, 16 Oktober 1986

Alamat Rumah : Jl. Sun Yat Sen No. 18/30 Medan Telepon / HP : (061) 7343877 / 08126496319

Email :

DATA PENDIDIKAN

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis kepada Tuhan Yang Maha Pemurah dan Maha

Penyayang, dengan limpahan karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan

dalam waktu yang ditetapkan.

Dengan rasa hormat, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Dr.Yuniarti Yusak,M.S dan Bapak Dr.Ribu Surbakti,M.S selaku pembimbing I

dan pembimbing II yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing dan

mengarahkan serta memberikan motivasi kepada penulis selama melakukan

penelitian hingga penyusunan tesis ini.

2. Bapak Prof.Basuki Wirjosentono,M.S,Ph.D dan Bapak Dr.Hamonangan

Nainggolan,M.Sc selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Kimia

Pascasarjana USU.

3. Ibu Dra.Nunuk Priyani,M.Sc selaku Kepala Laboratorium Mikrobiologi

FMIPA-USU.

4. Bapak Dekan dan Pembantu Dekan FMIPA-USU.

5. Bapak Dekan dan Pembantu Dekan Fakultas Farmasi-USU.

6. Seluruh teman-teman Mahasiswa Magister Ilmu Kimia Stambuk 2010 yang telah

membantu penulis selama kuliah dan penelitian.

7. Asisten Laboratorium Mikrobiologi FMIPA-USU stambuk 2008, 2009 khususnya

Mirza dan Ria; Asisten Laboratorium Biokimia FMIPA-USU khususnya Dian

Pratiwi dan Putri; Asisten Laboratorium Sentral Biologi FMIPA-USU khususnya

Imam dan Asisten Laboratorium Pusat Penelitian Fakultas Farmasi-USU; Bapak

Alhamra selaku Kepala Laboratorium MMH Balai Riset dan Standarisasi Industri

Medan yang telah banyak membantu dengan memberikan informasi dan saran

(9)

Dan akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada keluargaku yang sangat

kukasihi dan kucintai : Ayahku Edy Susanto dan Ibuku Lidyawati yang telah banyak

membantu dengan dukungan doa, moral dan dana kepada penulis; Adik-adik Darwin

Susanto dan Selviani yang memberikan dukungan doa kepada penulis; Rizky dan Bang

Sianturi yang telah membantu dan memberikan saran kepada penulis; Kak Sugiatik

yang telah membantu penulis; Sahabat-sahabatku Kartika Eberta dan Jenny yang

memberikan dukungan doa kepada penulis; Kak Lely Ratnawati selaku pegawai

administrasi program studi ilmu kimia Pascasarjana USU yang telah membantu penulis

selama kuliah; Suandi yang memberikan dukungan doa kepada penulis.

Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih melimpahkan berkat dan rahmat-Nya

kepada kita semua.

Medan, 23 Januari 2013

Hormat Saya,

(10)

BIOSINTESIS VITAMIN C DARI SUBSTRAT D-SORBITOL

OLEH ACETOBACTER XYLINUM DENGAN METODE

FERMENTASI SISTEM BATCH CULTURE

TERADUK KONTINU

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian tentang biosintesis vitamin C dari substrat D-sorbitol oleh Acetobacter xylinum dengan metode fermentasi sistem batch culture teraduk kontinu. Dalam penelitian ini, digunakan D-sorbitol sebagai substrat dan sumber makanan bagi bakteri Acetobacter xylinum. Penentuan kadar vitamin C dilakukan dengan metoda Polarimetri, Titrasi Iodometri, Spektrofotometri UV-Visible dan untuk menghitung jumlah bakteri yang digunakan dilakukan dengan metode Hitungan Cawan. Dengan metoda Polarimetri ; Titrasi Iodometri dan Spektrofotometri UV-Visible untuk larutan sorbitol 50 g/L setelah fermentasi diperoleh vitamin C sebesar 1,5333 g/L ; 0,105 g/L dan 1,7084 g/L. Hasil fermentasi larutan 100 g/L sorbitol setelah diuji dengan metoda Polarimetri ; Titrasi Iodometri dan Spektrofotometri UV-Visible kadar vitamin C yang diperoleh sebesar 3,6 g/L ; 0,152 g/L dan 1,7286 g/L. Dengan metoda Polarimetri ; Titrasi Iodometri dan Spektrofotometri UV-Visible untuk konsentrasi larutan sorbitol 150 g/L setelah fermentasi diperoleh vitamin C sebesar 3,5 g/L ; 0,076 g/L dan Spektrofotometri UV-Visible 0,7972 g/L. Dari hasil penelitian, diketahui bahwa sudut putar bidang polarisasi D-sorbitol telah berubah tanda (+) sebelum fermentasi menjadi (-) setelah fermentasi sehingga diperoleh asam L-askorbat.

(11)

BIOSYNTHESIS VITAMIN C FROM D-SORBITOL SUBSTRATE BY

ACETOBACTER XYLINUM WITH FERMENTATION

METHOD BATCH CULTURE CONTINUOUS

MIXING SYSTEM

ABSTRACT

The research of biosynthesis vitamin C from D-sorbitol substrate by Acetobacter xylinum with fermentation method of batch culture continuous mixing system is done. In this research, I used D-sorbitol as substrate and food supply for Acetobacter xylinum. The determination quantity of vitamin C using Polarimetri method, Iodometri Titration, Spectrophotometri UV-Visible and for accounting quantity of bacteria using Plate Count method. By using Polarimetri method ; Iodometri Titration and Spectrophotometri UV-Visible for 50 g/L sorbitol solution after the fermentation gave 1,5333 g/L ; 0,105 g/L and 1,7084 g/L of vitamin C. The result of 100 g/L sorbitol solution after it tested with Polarimetri method, Iodometri Titration and Spectrophotometri UV-Visible of vitamin C gave 3,6 g/L ; 0,152 g/L and 1,7286 g/L. By using Polarimetri method ; Iodometri Titration and Spectrophotometri UV-Visible for 150 g/L sorbitol solution after the fermentation gave 3,5 g/L ; 0,076 g/L and 0,7972 g/L of vitamin C From this research, it is known that turning angle of D-sorbitol polarization already changed from (+) marked before fermentation became (-) marked after fermentation with the result of L-ascorbic acid.

(12)

DAFTAR ISI 2.2 Sorbitol, Struktur dan Sifat-Sifatnya 11

2.3 Sorbosa 12

2.4 Fermentasi Vitamin C 12

2.5 Kinetika Pertumbuhan Mikroba 20 2.6 Kinetika Pembentukan Produk 24

2.7 Pemilihan Bioreaktor 25

2.8 Acetobacter Xylinum 29

2.9 Enzim 30

2.10 Metoda Hitungan Cawan 31

(13)

BAB 3 METODOLOGI 42

3.1 Alat 42

3.2 Bahan 43

3.3 Prosedur Penelitian 44

3.3.1 Preparasi Media dan Pembuatan Larutan Pereaksi untuk Identifikasi Bakteri Acetobacter xylinum 44 3.3.1.6 Pembuatan Larutan Triple Sugar Iron Agar (TSIA) 45 3.3.1.7 Pembuatan Larutan Simmons Citrate Agar (SCA) 45 3.3.1.8 Pembuatan Larutan SIM (Sulfide Indole Motility Medium) 45 3.3.1.9 Pembuatan Larutan Gelatin 45 3.3.1.10 Pembuatan Media Starch 45 3.3.1.11 Larutan Asam Asetat Glasial 1,96% 45 3.3.1.12 Pembuatan Larutan Vitamin C Standar 45 3.3.2 Perlakuan terhadap Sampel dan Metode Pengukuran Sampel 46

3.3.2.1 Identifikasi Bakteri Acetobacter xylinum dengan Metoda

Pewarnaan Gram 46 3.3.2.2 Penentuan Jumlah Koloni Bakteri dengan Metoda Hitungan

Cawan 46

3.3.2.3 Pembuatan Starter 46 3.2.2.4 Fermentasi Larutan Fermentasi D-Sorbitol menjadi Vitamin C 47 3.3.2.5 Penentuan Vitamin C dengan Metoda Polarimetri 47 3.3.2.6 Pemanenan Hasil Larutan Fermentasi dengan Metoda Sentrifuge 47 3.3.2.7 Penentuan Vitamin C dengan Metoda Spektrofotometri

UV-Visible 48 3.3.2.8 Penentuan Vitamin C dengan Metode Titrasi Iodometri 48

3.4 Bagan Penelitian 49

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 55

4.1 Hasil Penelitian 55

4.2 Perhitungan 55 4.2.1 Penentuan Vitamin C dengan Metoda Polarimetri 55 4.2.2 Penentuan Vitamin C dengan Metoda Titrasi Iodometri 56 4.2.3 Penentuan Vitamin C dengan Metoda Spektrofotometri UV-Vis 58 4.2.4 Penentuan Jumlah Koloni Bakteri dengan Metoda Hitungan Cawan 58

(14)

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 63

5.1 Kesimpulan 63

5.2 Saran 63

DAFTAR PUSTAKA 64

(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 4.2.1 Penentuan Vitamin C dengan Metoda Polarimetri 55

Tabel 4.2.2 Penentuan Vitamin C dengan Metoda Titrasi Iodometri 56

Tabel 4.2.3 Penentuan Vitamin C dengan Metoda Spektrofotometri

UV-Visible 58

Tabel 4.2.4 Penentuan Jumlah Koloni Bakteri dengan Metoda

(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 1 Metode Pewarnaan Gram pada Bakteri Acetobacter xylinum 68

Gambar 2 Media Hassid Barker Agar (HBA) 68

Gambar 3 Identifikasi Bakteri Acetobacter xylinum 69

Gambar 4 Uji Kualitatif Vitamin C pada Larutan Fermentasi 50 g/L;

(17)

BIOSINTESIS VITAMIN C DARI SUBSTRAT D-SORBITOL

OLEH ACETOBACTER XYLINUM DENGAN METODE

FERMENTASI SISTEM BATCH CULTURE

TERADUK KONTINU

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian tentang biosintesis vitamin C dari substrat D-sorbitol oleh Acetobacter xylinum dengan metode fermentasi sistem batch culture teraduk kontinu. Dalam penelitian ini, digunakan D-sorbitol sebagai substrat dan sumber makanan bagi bakteri Acetobacter xylinum. Penentuan kadar vitamin C dilakukan dengan metoda Polarimetri, Titrasi Iodometri, Spektrofotometri UV-Visible dan untuk menghitung jumlah bakteri yang digunakan dilakukan dengan metode Hitungan Cawan. Dengan metoda Polarimetri ; Titrasi Iodometri dan Spektrofotometri UV-Visible untuk larutan sorbitol 50 g/L setelah fermentasi diperoleh vitamin C sebesar 1,5333 g/L ; 0,105 g/L dan 1,7084 g/L. Hasil fermentasi larutan 100 g/L sorbitol setelah diuji dengan metoda Polarimetri ; Titrasi Iodometri dan Spektrofotometri UV-Visible kadar vitamin C yang diperoleh sebesar 3,6 g/L ; 0,152 g/L dan 1,7286 g/L. Dengan metoda Polarimetri ; Titrasi Iodometri dan Spektrofotometri UV-Visible untuk konsentrasi larutan sorbitol 150 g/L setelah fermentasi diperoleh vitamin C sebesar 3,5 g/L ; 0,076 g/L dan Spektrofotometri UV-Visible 0,7972 g/L. Dari hasil penelitian, diketahui bahwa sudut putar bidang polarisasi D-sorbitol telah berubah tanda (+) sebelum fermentasi menjadi (-) setelah fermentasi sehingga diperoleh asam L-askorbat.

(18)

BIOSYNTHESIS VITAMIN C FROM D-SORBITOL SUBSTRATE BY

ACETOBACTER XYLINUM WITH FERMENTATION

METHOD BATCH CULTURE CONTINUOUS

MIXING SYSTEM

ABSTRACT

The research of biosynthesis vitamin C from D-sorbitol substrate by Acetobacter xylinum with fermentation method of batch culture continuous mixing system is done. In this research, I used D-sorbitol as substrate and food supply for Acetobacter xylinum. The determination quantity of vitamin C using Polarimetri method, Iodometri Titration, Spectrophotometri UV-Visible and for accounting quantity of bacteria using Plate Count method. By using Polarimetri method ; Iodometri Titration and Spectrophotometri UV-Visible for 50 g/L sorbitol solution after the fermentation gave 1,5333 g/L ; 0,105 g/L and 1,7084 g/L of vitamin C. The result of 100 g/L sorbitol solution after it tested with Polarimetri method, Iodometri Titration and Spectrophotometri UV-Visible of vitamin C gave 3,6 g/L ; 0,152 g/L and 1,7286 g/L. By using Polarimetri method ; Iodometri Titration and Spectrophotometri UV-Visible for 150 g/L sorbitol solution after the fermentation gave 3,5 g/L ; 0,076 g/L and 0,7972 g/L of vitamin C From this research, it is known that turning angle of D-sorbitol polarization already changed from (+) marked before fermentation became (-) marked after fermentation with the result of L-ascorbic acid.

(19)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pengetahuan manusia tentang bioteknologi berawal dari pembuatan makanan dan

minuman secara fermentasi. Minuman khas Jepang seperti sake, bir, anggur, makanan

keju, yoghurt, tempe, oncom, acar dan lain-lain merupakan contoh kecil proses

bioteknologi tradisional yang sudah lama dikenal.

Pada tahun 1929 s/d 1944 bioteknologi tahap kedua (lebih modern) telah

dikemukakan oleh Flemming Yi telah ditemukannnya penelitian dengan cara

fermentasi. Sejak itu berkembanglah kegiatan bioteknologi untuk menghasilkan

antibiotik, vitamin-vitamin serta asam-asam organik seperti aseton, butanol, asam sitrat

dengan metode fermentasi (Higgins, 1985).

Struktur asam askorbat pertama sekali dikemukakan oleh Haworth. Asam

askorbat disintesa secara komersial dengan bantuan bakteri berlangsung sebagai

berikut :

red oks

D-glukosa D-sorbitol L-sorbosa Vitamin C

Acetobacter

(West, 1966).

Isolasi kristalin asam askorbat pada tahun 1928 dilakukan oleh Szent-Gyorgyi

yang dilanjutkan dengan identifikasi vitamin C oleh Waugh dan King serta Svirbely

dan Szent-Gyorgyi pada tahun 1932.

Laporan pertama tentang oksidasi D-sorbitol menjadi L-sorbosa oleh bantuan

bakteri ditemukan Bertrand pada tahun 1896. Bakteri tersebut diidentifikasi dengan

(20)

Pada tahun 1953 dibuat beberapa studi dimana proses fermentasi vitamin C

dengan bantuan mikroorganisme hanya terjadi dalam 2 langkah. Hori dan Nakatani

mengubah glukosa oleh Acetobacter suboxydans menjadi asam 5-keto-D-glukonat, yang selanjutnya oleh bantuan katalis enzim dirubah menjadi asam L-idonat.

Fermentasi dengan Pseudomonas, Acetobacter, atau Aerobacter inversi senyawa akhir menjadi asam 2-keto-L-gulonat, dimana intermediat yang lazim dikenal menjadi

asam L-askorbat (Hori, 1953).

Boudrant menyatakan bahwa dengan menggunakan metoda Reichstein dan

glukosa sebagai substrat, pembentukan asam askorbat dengan metoda fermentasi oleh

bakteri Acetobacter xylinum atau Acetobacter suboxyydans hanya berlangsung dengan

5 tahap reaksi (Boudrant, 1990).

Hancock menyatakan bahwa dengan menggunakan Saccharomyces cerevisiae

dan substrat L-galaktosa, L-galaktono-1,4-lakton dan L-gulono-1,4-lakton akan

dihasilkan asam askorbat sedangkan bila menggunakan substrat glukosa,

D-galaktosa atau D-manosa akan dihasilkan asam D-erithroaskorbat (Hancock, 2000).

Running menyatakan bahwa fermentasi aerobik dari D-glukosa dan pemilihan

strain yang tepat akan dihasilkan asam askorbat ekstraseluler sebesar 76 mg/L

(Running, 2002).

Rewatkar menyatakan bahwa dengan menggunakan 5 gram sorbitol; 0,5 gram

ekstrak yeast dan 2 gram agar yang dilarutkan dalam 100 mL H2

Dengan cara yang sama tetapi menggunakan bakteri Pseudomonas aeruginosa

akan dihasilkan 3,217 mg/L (4,0213%). Sedangkan bila digunakan Saccharomyces cerevisiae akan dihasilkan 1,882 mg/L (2,3525%) asam askorbat (Rewatkar, 2010).

O setelah difermentasi

selama 7 hari oleh Acetobacter suboxydans akan diperoleh sebanyak 4,997 mg/L (6,2213%) asam askorbat.

Manusia tidak dapat mensintesis vitamin C karena tidak mempunyai fungsi gen

penghasil L-gulono-1,4-lactone oxidase, dimana enzim tersebut diperlukan di dalam

(21)

Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan proses biosintesis vitamin C

dari D-sorbitol dengan bantuan bakteri Acetobacter xylinum dalam pengembangan bioteknologi.

1.2 Perumusan Masalah

Seberapa besar kemampuan Acetobacter xylinum mensintesis D-sorbitol menjadi vitamin C (asam askorbat) dengan pengaturan pH 4-4,5 dalam jangka waktu fermentasi

72 jam dengan menggunakan alat fermentor jenis Batch Culture teraduk kontinu.

1.3 Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini objek masalah dibatasi sebagai berikut :

1. D-sorbitol digunakan sebagai bahan pengganti glukosa.

2. Proses fermentasi vitamin C dari D-sorbitol dengan bantuan bakteri

Acetobacter xylinum.

3. Waktu fermentasi yang dilakukan adalah 72 jam dengan pengaturan kondisi

yang telah disesuaikan antara lain pH, temperatur serta pengadukan yang

teratur dan kontinu.

4. Metoda fermentasi yang digunakan adalah metoda Batch Culture teraduk

kontinu.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk membuktikan bahwa vitamin C dapat dibuat dengan cara fermentasi dari

bahan baku D-sorbitol.

2. Untuk mengetahui kadar vitamin C yang diperoleh dengan proses fermentasi

(22)

3. Untuk mensosialisasikan metoda-metoda bioteknologi.

4. Untuk memproduksi bahan dan jasa dengan biaya relatif murah, aman,

terbarukan dan sekaligus dapat mengurangi pencemaran lingkungan.

1.5 Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi pada

bidang Biokimia/KBM (Kimia Bahan Makanan) dimana D-sorbitol dapat

dimanfaatkan sebagai sumber biosintesis vitamin C dengan bantuan bakteri

Acetobacter xylinum.

1.6 Metodologi Penelitian

Adapun langkah-langkah analisisnya sebagai berikut :

1. Penelitian ini adalah eksperimental laboratorium.

2. Sampel yang digunakan adalah D-sorbitol sebagai bahan pengganti glukosa.

3. Waktu fermentasi oleh bakteri Acetobacter xylinum selama 72 jam. 4. Metoda fermenter yang digunakan adalah metoda Batch Culture teraduk

kontinu.

5. Sampel yang mengandung bakteri Acetobacter xylinum dilakukan pengaturan pH 4-4,5 pada suhu kamar dan diatur pengadukan yang teratur dan kontinu di

dalam wadah yang telah dipreparasi.

6. Hasil fermentasi diuji dengan Polarimeter, Spektrofotometer UV-Visible,

Titrasi Iodometri dan Metoda Hitungan Cawan.

1.7 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi FMIPA USU; Uji Sentrifuge

dilakukan di Laboratorium Penelitian Farmasi USU dan Laboratorium Sentral Biologi

(23)

Medan; Uji Spektrofotometer UV-Visible dilakukan di Laboratorium Biologi Dasar

(LIDA) USU; dan Uji Titrasi Iodometri dilakukan di Laboratorium Biokimia FMIPA

(24)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Struktur dan Sifat - Sifat Vitamin C

Vitamin C

Vitamin C atau asam askorbat mempunyai berat molekul 176,13 dengan rumus

molekul C6H8O6

Pada pH rendah vitamin C lebih stabil daripada pH tinggi. Vitamin C mudah

teroksidasi, lebih-lebih apabila terdapat katalisator Fe, Cu, enzim Askorbat oksidase,

sinar, temperatur yang tinggi. Larutan encer vitamin C pada pH kurang dari 7,5 masih

stabil apabila tidak ada katalisator seperti di atas. Oksidasi vitamin C akan terbentuk

asam dihidroaskorbat. Vitamin C dengan iodin akan membentuk ikatan dengan atom C

normor 2 dan 3 sehingga ikatan rangkap hilang (Sudarmadji, 1989).

. Dalam bentuk kristal tidak berwarna, titik cair 190-192°C. Bersifat

larut dalam air sedikit larut dalam aseton atau alkohol yang mempunyai berat molekul

rendah. Vitamin C sukar larut dalam kloroform, eter dan benzen. Dengan logam

membentuk garam. Sifat asam ditentukan dengan ionisasi enol grup pada atom C

nomor tiga.

Vitamin C merupakan senyawa turunan gula yang sangat penting. Banyak

dijumpai dalam berbagai tanaman seperti sitrus, Hungarian Paprika, Green Wallnuts

serta beberapa jaringan hewan. Vitamin C diperlukan di dalam diet (diet essensial)

(25)

Struktur asam askorbat pertama sekali dikemukakan oleh Haworth. Asam

askorbat disintesa secara komersial dengan bantuan bakteri berlangsung sebagai

berikut :

red oks

Acetobacter

red oks

D-glukosa D-sorbitol L-sorbosa Vitamin C

Acetobacter

Vitamin C merupakan asam kuat dengan nilai pKa 4,21 dalam bentuk kristal,

cukup stabil tetapi sangat mudah teroksidasi bila dalam bentuk larutan dan di udara

terbuka. Tes iodin dan 2,6-dichlorophenolindophenol adalah merupakan tes kuantitatif

yang spesifik untuk menentukan konsentrasi asam askorbat (West, 1966).

Asam askorbat (vitamin C) adalah suatu zat organik yang merupakan ko-enzim

atau ko-faktor pada berbagai reaksi biokimia di dalam tubuh. Salah satu peran utama

asam askorbat adalah proses hidroksilasi prolin dan lisin pada pembentukan kolagen.

Kolagen adalah komponen penting jaringan ikat, oleh sebab itu vitamin C

penting untuk kelangsungan hidup jaringan ikat. Dengan demikian vitamin C berperan

penting pada proses penyembuhan luka, adaptasi tubuh terhadap trauma dan infeksi.

Vitamin C ini harus tersedia secara kontinu dalam makanan sehari-hari agar tidak

sampai timbul gejala defisiensi. Khususnya pada manusia (juga pada binatang jenis

(26)

tubuh. Defisiensi vitamin C ini disebut sebagai skorbut. Kebutuhan yang dianjurkan

untuk orang dewasa di Indonesia adalah 30 mg/hari. Vitamin C adalah sebuah reduktor,

di mana sangat berperan pada proses respirasi jaringan.

Vitamin C akan diekskresikan bila berlebihan, tetapi apabila hal ini berjalan terus,

khususnya pada pemberian vitamin C dosis tinggi secara intravena dapat meningkatkan

kadar keasaman darah. Ekskresi vitamin C melalui urine yang berlebihan akan

meningkatkan kadar keasaman urine, ini mungkin tidak mengganggu, tetapi dalam

keadaan tertentu, penurunan pH darah, tidak diharapkan.

Pada binatang tertentu, vitamin C ini dapat langsung diubah menjadi CO2 dan

H2

Telah diketahui bahwa manusia dan marmut tak mempunyai enzim gulonalakton

oksidase, yang mengoksidasi 1-gulonalakton menjadi 2-keto-1-gulonalakton. Evolusi

ini terjadi 25 sampai 60 juta tahun yang menyebabkan hilangnya kemampuan manusia

dan kelompok hewan tersebut di atas untuk mensintesis vitamin C sendiri. Apakah

rekayasa genetika dapat memperbaiki ketidakmampuan tersebut di masa mendatang

sehingga dapat memasukkan kembali enzim tersebut dalam sel manusia

(Goodman,1996).

O, sehingga kelebihan vitamin C ini tidak akan menimbulkan masalah. Dilihat dari

sudut gizi, pemasukan vitamin C itu harus disesuaikan dengan pemasukan zat-zat gizi

lainnya (baik dalam jumlah maupun proporsinya) agar kesehatan dapat terbina

(Tjokronegoro, 1985).

Sudah sejak dahulu kala orang telah mengenal penyakit skorbut (Scurvy).

Gejala-gejala penyakit yang kemudian dikenal sebagai gejala defisiensi vitamin C

(asam askorbat) ini, sudah dilaporkan sejak zaman Mesir kuno, Yunani kuno dan

zaman Romawi. Gejala-gejala penyakit tadi terutama timbul pada mereka yang sedang

melakukan pelayaran jarak jauh, atau mereka yang sedang melakukan

(27)

Pengobatan dan pencegahan penyakit ini baru tampak setelah James Lind,

seorang tabib Inggris pada pertengahan abad 18, memberikan jeruk segar pada

penderita-penderita penyakit skorbut ini.

Kini vitamin C sudah sangat dikenal masyarakat luas, sebagai vitamin populer

yang selalu dikaitkan dengan faktor-faktor kesehatan, dan kesegaran jasmani seseorang.

Umumnya pada binatang, gejala defisiensi vitamin C ini sukar sekali terjadi,

karena vitamin C ini dapat disintesa sendiri di dalam tubuh mereka. Tetapi pada

manusia, marmut, primata, jenis kelelawar dan jenis burung tertentu tidak dapat

membuat vitamin C sendiri. Oleh karena itu manusia harus mendapat vitamin C dalam

makanan sehari-hari.

Jumlah masukan vitamin C yang diperlukan pada orang dewasa agar jangan

sampai terjadi gejala defisiensi adalah 10 mg/hari. Sedangkan di Indonesia, kebutuhan

yang dianjurkan adalah 30 mg/hari.

Apabila dosis vitamin C yang diberikan berlebihan, maka vitamin C yang

berlebih ini akan diekskresikan melalui urine. Sebagian dari vitamin C tadi akan

diubah menjadi garam-garam oksalat, dan pada keadaan fisiologis, kira-kira 40-50 mg

garam oksalat yang diekskresikan berasal dari vitamin C, yakni kira-kira setengah dari

seluruh ekskresi oksalat.

Apabila dosis vitamin terus ditinggikan maka proporsi vitamin C yang diubah

menjadi oksalat ternyata akan menurun. Tetapi apabila orang tersebut memang

menderita gangguan metabolisme oksalat, hal ini dapat menimbulkan masalah.

Kelebihan vitamin C juga dapat menaikkan kadar keasaman darah khususnya

yang mendapat vitamin C dosis tinggi secara intravena. Pada keadaan tertentu,

penurunan pH darah tidak diharapkan. Kelebihan vitamin C akan meningkatkan

keasaman urine. Pada keadaan tertentu (gangguan metabolisme urat dan/atau oksalat

dan lain-lain) dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya batu saluran kemih.

Defisiensi vitamin C menimbulkan penyakit skorbut. Gejala-gejala klinik antara

(28)

daerah epiphisis, pendarahan dan pembengkakan gusi dan lain-lain. Penderita dengan

gejala-gejala skorbut yang jelas kini sudah jarang dijumpai. Apabila pengobatan

terlambat dilakukan, skorbut ini dapat menimbulkan kematian.

Sumber vitamin C dapat kita jumpai pada sayuran dan buah-buahan segar. Atau

dapat pula dengan tablet-tablet vitamin C yang sekarang banyak dipasarkan. Perubahan

primer yang terjadi pada skorbut disebabkan karena fungsi vitamin C ialah dalam hal

pembentukan dan mempertahankan bahan interseluler dan kolagen.

Pada defisiensi vitamin C kolagen menghilang, pendarahan timbul karena

kerusakan bahan semen dan kapiler. Gejala utama penyakit skorbut timbul akibat

kelainan tulang dan pembuluh darah. Terjadi pendarahan subperiosteal, resorpsi dentin

dan degenerasi odon-toblast.

Fragilitas dinding kapiler meningkat dan terjadi pendarahan pada trauma,

misalnya pada kulit, otot tulang, gusi. Gejala ini sulit dikenal bila defisiensi hanya

marginal, sehingga perlu diketahui tanda-tandanya, sehingga dapat diambil tindakan

yang efisien. Tanda marginal defisiensi nutrien dibagi beberapa tahap, yaitu :

1. Tahap permulaan : penurunan cadangan nutrien dalam jaringan karena

penurunan masukan, penyerapan dan metabolisme yang abnormal. Juga terjadi

penurunan ekskresi nutrien tersebut.

2. Tahap biokimia : penurunan aktivitas enzim, perubahan metabolisme dan tak

terlihat ekskresi urin.

3. Tahap fisiologik : kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan, tak dapat

tidur, mudah marah. Metabolisme obat terganggu.

4. Tahap klinik : terlihat tanda-tanda klinik defisiensi.

5. Tahap morfologik : perubahan bentuk jaringan yang dapat menimbulkan

kematian, kecuali diobati dengan nutrien tersebut.

Koreksi pada tahap dini tentu lebih menguntungkan dibanding pengobatan pada tahap

(29)

2.2 Sorbitol, Struktur dan Sifat-Sifatnya

Glukosa mempunyai 6 jumlah rantai atom C, 4 diantaranya merupakan atom C

asimetris sehingga banyak isomer yang dapat digambarkan dari molekul glukosa

tersebut. Salah satu isomer yang penting adalah isomer D-sorbitol karena merupakan

prekursor di dalam fermentasi vitamin C oleh Acetobacter xylinum.

Konversi struktur D-sorbitol ke dalam bentuk L-sorbosa sangatlah penting

karena L-sorbosa merupakan prekursor dari sintetis L-asam askorbat dengan

menggunakan larutan sorbitol 15% setelah difermentasi selama 24 jam oleh bakteri

Acetobacter suboxydans akan dihasilkan 93% L-sorbosa melalui reaksi di bawah ini :

CH2OH CH2

Pada tahap awal fermentasi, senyawa D-sorbitol akan berubah menjadi bentuk

L-sorbosa dengan adanya enzim yang dihasilkan oleh bakteri. Perubahan bentuk

D-sorbitol menjadi bentuk L-sorbosa dapat diuji dengan alat polarimeter yaitu dari

putaran sudut polarisasi dari kanan [D(+)] ke kiri [L(-)].

Gugus alkohol dari senyawa-senyawa gula dapat dioksidasi menjadi bentuk

ketosa oleh beberapa jenis bakteri dengan adanya oksigen. Sebagai contoh, D-sorbitol

dioksidasi oleh bakteri Acetobacter suboxydans sebagai berikut :

D-sorbitol + O2 → L-sorbosa + H2

(30)

2.3 Sorbosa

L-sorbosa adalah zat antara dalam produksi industri vitamin C dan L-sorbosa oleh

enzim invertase yang dihasilkan oleh mikroba maka terjadi inversi D-sorbitol menjadi

L-sorbosa yang merupakan prekursor di dalam biosintesis vitamin C. Sejak ditemukan

reaksi inversi ini maka industri pembentukan L-sorbosa (prekursor dalam biosintesis

vitamin C) berkembang pesat guna memenuhi bahan baku industri vitamin C. Produksi

sorbosa ditunjukkan dengan menggunakan inhibisi substrat dan produk secara

bersamaan. Angka oksidasi menurun secara drastis dengan penambahan konsentrasi

awal sorbitol dalam bioreaktor batch (Giridhar, 2000).

2.4 Fermentasi Vitamin C

Metode untuk mendapatkan vitamin C secara sintesis dengan urutan langkah yang

diperlukan dengan bantuan mikroba. Perkembangan vitamin C dianggap penting sekali.

Isolasi kristalin asam askorbat pada tahun 1928 dilakukan oleh Szent-Gyorgyi yang

dilanjutkan dengan identifikasi vitamin C oleh Waugh dan King serta Svirbely dan

Szent-Gyorgyi pada tahun 1932.

Vitamin C pertama kali diperoleh secara sintetis. Berbagai jenis sintetis vitamin

C diklasifikasikan menjadi empat metoda yang terpenting.

Metoda pertama dimana secara industri meliputi konversi D-glukosa menjadi

asam askorbat atau vitamin C. Langkah dari metoda tersebut meliputi oksidasi

mikrobiologi dari gugus hidroksil kedua 2,3,4,6-diisopropylidene derivative menjadi

gugus karbonil L-ascorbic acid (Vitamin C). Konfigurasi lanjutan yang penting adalah

L-sorbose, suatu senyawa gula yang jarang ditemukan. L-Sorbose dihasilkan dalam

skala besar dari D-glucitol (sorbitol) dengan pertumbuhan Acetobacter suboxydans. Penggunaan 15% larutan sorbitol, dihasilkan L-sorbose sebesar 93% setelah

difermentasi selama 24 jam dari waktu inokulasi yang ditemukan oleh Wells, Stubbs,

(31)

Sorbitol ditemukan secara umum dalam skala besar dengan cara hidrogenasi

katalitik dari D-glukosa. Laporan pertama tentang oksidasi D-sorbitol menjadi

L-sorbosa oleh enzim yang dihasilkan oleh bakteri yang ditemukan Bertrand pada tahun

1896. Bakteri tersebut diidentifikasi dengan bakteri Acetobacter xylinum.

D-glucose D-glucitol (D-sorbitol) L-sorbose

2,3,4,6-diisopropylidene derivative

2,3,4,6-diisopropylidene-2-keto-L-gulonic acid

L-ascorbic acid (Vitamin C)

Untuk menyelesaikan sintetis tersebut, L-sorbosa diubah menjadi derivat

2,3,4,6-diisopropilidena. Gugus hidroksil pertama derivat tersebut dioksidasi oleh ion

permanganat dalam larutan alkali menghasilkan asam

2,3,4,6-diisopropilidena-2-keto-L-gulonat berdasarkan Reichstein dan Grussner. Asam 2-keto-2,3,4,6-diisopropilidena-2-keto-L-gulonat atau derivat

diisopropilidena diubah menjadi asam L-askorbat dengan bermacam teknik untuk

mendapatkan hasil sempurna (Robinson, 1976).

Pada tahun 1953 dibuat beberapa studi dimana proses fermentasi vitamin C

dengan bantuan mikroorganisme hanya terjadi dalam 2 langkah. Hori dan Nakatani

mengubah glukosa oleh Acetobacter suboxydans menjadi asam 5-keto-D-glukonat, yang selanjutnya oleh bantuan katalis enzim dirubah menjadi asam L-idonat.

Fermentasi dengan Pseudomonas, Acetobacter, atau Aerobacter inversi senyawa akhir menjadi asam 2-keto-L-gulonat, yaitu suatu senyawa antara (intermediat) yang lazim

dikenal menjadi asam L-askorbat (Hori, 1953).

Pada tahun 1990, Boudrant menyatakan bahwa dengan menggunakan metode

(32)

fermentasi hanya berlangsung dengan 5 tahap reaksi sebagai berikut : reduksi glukosa

menjadi sorbitol dengan menggunakan katalis nikel; oksidasi sorbitol menjadi

L-sorbosa; hasil diaseton sorbosa atau 2,3:4,6-diisopropilidena-L-xylo-2-heksofuranosa

setelah perlakuan dengan aseton dan asam sulfat; oksidasi

2,3,4,6-diisopropilidena-L-xylo-2-heksofuranosa menjadi asam 2-keto-L-gulonat dengan menggunakan katalis

platinium; enolisasi dan laktonisasi internal asam 2-keto-gulonat menjadi asam

L-askorbat.

Asam L-askorbat seperti jalur di bawah ini :

(33)

Pada zaman sekarang, ditemukan ada enam proses fermentasi bakteri untuk

menghasilkan vitamin C. Semua proses tersebut memperlihatkan prekursor langsung

dari asam L-askorbat, asam gulonat, dimana dinamakan asam

2-keto-L-idonat. Perbedaan keenam jalur ini ditandai dari senyawa intermediat yang terbentuk

selama proses fermentasi.

Keenam jalur tersebut dapat dilihat sebagai berikut :

1.Jalur Sorbitol

2.Jalur asam L-idonat

3.Jalur asam L-gulonat

4.Jalur asam 2-keto-D-glukonat

5.Jalur asam 2,5-diketo-D-glukonat

(34)

Diagram jalur biosintesis vitamin C oleh berbagai jenis mikroorganisme :

(Boudrant, 1990).

1. Jalur Sorbitol

Biosintesis ini dinyatakan pertama kali oleh Motizuki. Sorbitol ditransformasikan

dengan cara fermentasi menjadi asam 2-keto-L-gulonat. Transformasi diperoleh dari

beberapa genus Pseudomonas dan Acetobacter, tetapi jenis metabolisme ini belum dikenal secara umum.

Hasil transformasi dari sorbitol menjadi asam 2-keto-gulonat tidak melampaui

10%, walaupun hasil 70% dicatat dari Acetobacter cerenusote. Selain asam 2-keto-L-gulonat, produk lain juga terbentuk. Okazaki menyarankan jalur biosintesis sebagai

(35)

Sorbitol

L-sorbose

L-idose

L-idonic acid

2-keto-L-gulonic acid

2. Jalur asam L-idonat

Biosintesis menggunakan asam L-idonat sebagai zat antara adalah transformasi

multistep. Metabolisme multistep dikenal adalah asam D-glukonat, asam

5-keto-D-glukonat, asam L-idonat, dan asam 2-keto-L-idonat.

Oksidasi pertama, transformasi D-glukosa menjadi asam D-glukonat, tidak

dijelaskan secara terperinci.

3. Jalur asam L-gulonat

Jalur asam L-gulonat terdapat pada jalur L-idonat yang meliputi dua langkah

(oksidasi asam D-glukonat dan reduksi asam 5-keto-D-glukonat). Tetapi reaksi ini

berkembang menjadi asam L-gulonat, prekursor asam 2-keto-D-idonat. Oksidasi asam

L-gulonat disampaikan oleh Kita. Menurut Kita, transformasi asam 5-keto-D-glukonat

(36)

4. Jalur asam 2-keto-D-glukonat

Ada tiga langkah pada jalur ini :

1.Oksidasi asam D-glukonat

Kebanyakan akan mentransformasi D-glukosa menjadi asam D-glukonat dengan

menggunakan jalur ini. Transformasi D-glukosa menjadi asam

2,5-diketo-gulonat yang diidentifikasikan oleh Katznelson dalam Acetobacter melanogenum

dan Pseudomonas albosesamae.

Dikenal bahwa Acetobacter suboxydans, untuk sintesis asam 5-keto-D-glukonat dari asam D-glukonat, dapat mensintesis asam 2-keto-D-glukonat.

Pada tahun 1982, Sonoyama menjelaskan kemampuan pertama kali Erwinia spp,

untuk akumulasi asam D-glukonat dan asam 2-keto-D-glukonat.

2.Oksidasi asam 2-keto-D-glukonat

Oksidasi ini diselesaikan oleh Bacterium hoshigaki dan Bacterium glucunicum

dengan produk asam 2,5-D-diketo-D-glukonat. Juga dibiosintesis oleh

Acetobacter spp khususnya Acetobacter melanogenum. Ilustrasi biokonversi glukosa dengan asam D-glukonat dan asam 2-keto-D-glukonat sebagai zat antara.

Proses transformasi langsung D-glukosa menjadi asam 2,5-diketo-D-glukonat

menggunakan Acetobacter fragum atau Acetomonas albosesamae yang diumumkan secara luas.

3.Reduksi asam 2,5-diketo-D-glukonat

Pada tahun 1975, Sonoyama menjelaskan proses yang menghasilkan asam

2-keto-D-gulonat dari asam 2,5-diketo-D-glukonat, dapat dilakukan oleh genus

Brevibacterium, Arthrobacter, Micrococcus, Staphylococcus, Pseudomonas, dan

Bacillus. Dengan Brevibacterium ketosporum, hasilnya mencapai 15% ketika konsentrasi substrat 50 g L-1. Dengan mikroorganisme lain, hasilnya tidak lebih

(37)

menghasilkan hasil produk asam 2-keto-L-gulonat sekitar 10%. Pada masa kini,

diperoleh hasil mendekati 80%. Proses lain juga dijelaskan dengan menggunakan

Citrobacter. Dapat dikatalisis hanya dengan transformasi asam 2,5-diketo-D-gulonat, dan permulaan digunakan Acetobacter cerenus. Dengan beberapa mikroorganisme, hasilnya sekitar 30%, dengan konsentrasi substrat 100 g L-1.

5.Jalur asam 2.5-diketo-D-glukonat

Proses produksi asam 2,5-diketo-D-glukonat pada langkah utama. Genus

Erwinia dijelaskan pada transformasi ini. Dijelaskan bahwa konsentrasi glukosa 200 g L-1

Proses fermentasi dengan menggunakan Acetobacter cerenus memberikan hasil sekitar 90%.

dan waktu fermentasi 20 jam yang memberikan hasil sekitar 75%.

6.Jalur asam 2-keto-L-gulonat

Jalur ini rupanya terjadi secara langsung, dan menghasilkan asam

2-keto-L-gulonat, prekursor langsung asam L-askorbat dari glukosa. Jalur ini kemungkinan

terjadi dengan pengembangan yang baru.

Beberapa diantaranya :

1.Kultur tingkat kedua atau campuran

2.Seleksi mutan

3.Isolasi reduksi asam 2,5-diketo-D-glukonat pada Corynebacterium

4.Transfer gen reduksi asam 2,5-diketo-D-glukonat pada Corynebacterium dan

Erwinia (Boudrant, 1990).

Hancock menyatakan bahwa dengan menggunakan Saccharomyces cerevisiae

dan substrat L-galaktosa, L-galaktono-1,4-lakton dan L-gulono-1,4-lakton akan

dihasilkan asam askorbat sedangkan bila menggunakan substrat glukosa,

(38)

Running menyatakan bahwa fermentasi aerobik dan pemilihan strain yang tepat

akan dihasilkan asam askorbat ekstraseluler sebesar 76 mg/L. Dengan mutagen klasik

dan metoda seleksi, kami menciptakan mutan Prototheca moriformis ATCC 75669 yang menghasilkan kuantitas asam askorbat terbesar daripada strain tipe alamiah (78,4

vs 21,9 mg AA/g sel) (Running, 2002).

Rewatkar menyatakan bahwa dengan menggunakan 5 gram sorbitol; 0,5 gram

ekstrak yeast dan 2 gram agar yang dilarutkan dalam 100 mL H2

Salah satu aspek yang penting dari proses-proses fermentasi adalah cara

pemanenan dan memurnikan hasil produk fermentasi atau bioproduk. Proses ini

dikenal dengan proses hilir (Kroner, 1984).

O setelah difermentasi

selama 7 hari oleh Acetobacter suboxydans akan diperoleh sebanyak 4,997 mg/L (6,2213%) asam askorbat. Dengan cara yang sama tetapi menggunakan bakteri

Pseudomonas aeruginosa akan dihasilkan 3,217 mg/L (4,0213%). Sedangkan bila

(39)

2.5 Kinetika Pertumbuhan Mikroba

Mikroba dapat tumbuh lebih baik pada media yang memenuhi persyaratan untuk

pertumbuhannya. Apabila suatu sel mikroba (misalnya bakteri) ditumbuhkan pada

suatu medium yang memenuhi syarat untuk tumbuh, maka mikroba tersebut akan

mengadakan multiplikasi secara aseksual dengan pembelahan sel menjadi dua sel

vegetatif yang serupa dan selanjutnya proses tersebut berlangsung terus-menerus

selama nutrisi, energi, dan persyaratan lingkungan lain masih memenuhi syarat tumbuh.

Waktu antara yang ditentukan sel untuk membelah disebut waktu generasi(g).

Waktu generasi masing-masing pembelahan sel berbeda-beda tergantung dari spesies

dan kondisi lingkungan. Namun demikian, sebagian besar bakteri mempunyai waktu

generasi antara 10-60 menit.

Kurva pertumbuhan mikroba dalam kultur :

(40)

1. Fase Adaptasi

Jika mikroba ditumbuhkan pada suatu media, pada awalnya akan mengalami

fase adaptasi (fase lag), yaitu fase untuk menyesuaikan dengan substrat dan

kondisi lingkungan sekitarnya. Pada fase ini belum terjadi pembelahan sel

karena beberapa enzim mungkin belum disintesis. Jumlah sel pada fase ini

mungkin tetap, tetapi kadang-kadang menurun. Lamanya fase adaptasi setiap

jenis mikroba sangat bervariasi. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor,

antara lain media dan lingkungan pertumbuhan serta jumlah inokulum.

a. Media dan lingkungan pertumbuhan

Mikroba yang ditumbuhkan pada media dan lingkungan pertumbuhan yang

berbeda dengan media dan lingkungan pertumbuhan sebelumnya akan

melakukan adaptasi selama beberapa waktu. Akan tetapi, perlu diketahui

bahwa selama adaptasi ini mikroba juga mensintesis enzim-enzim yang

dibutuhkan dalam metabolisme. Kecuali jika media dan lingkungannya sama

seperti media dan lingkungan sebelumnya, mungkin tidak diperlukan waktu

adaptasi. Kalaupun memerlukan waktu, ini tidak akan berlangsung lama

melainkan sangat singkat.

b. Jumlah inokulum

Jumlah sel (mikroba) awal yang semakin tinggi akan memperlambat waktu fase

adaptasi.

2. Fase Pertumbuhan Awal

Setelah penyesuaian diri, maka sel mikroba mulai membelah dengan kecepatan

rendah.

(41)

Pada fase ini pertumbuhan mencapai kecepatan maksimum. Selama fase

pertumbuhan logaritmik, tumbuh sel-sel muda yang mendominasi sebagian

besar fase ini, dimana pertambahan jumlah sel-sel muda ini mengikuti kurva

logaritmik. Kecepatan pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh media (sering kali

disebut medium) tempat tumbuhnya, seperti pH dan kandungan nutrisi, juga

kondisi lingkungan termasuk suhu dan kelembaban udara relatif. Pada fase ini

sel membutuhkan energi lebih banyak dibandingkan fase lainnya, tetapi pada

fase ini justru sel-selnya sangat sensitif terhadap keadaan lingkungan.

4. Fase Pertumbuhan Lambat

Pada fase ini pertumbuhan populasi mikroba diperlambat, karena nutrisi di

dalam media mulai berkurang dan adanya hasil-hasil metabolisme yang

barangkali beracun atau dapat menghambat pertumbuhan mikroba itu sendiri.

Pada fase ini pertumbuhan sel tidak stabil, tetapi populasi mikroba tetap naik

karena jumlah sel yang tumbuh masih lebih banyak daripada sel yang mati.

5. Fase Pertumbuhan Tetap (Statis)

Pada fase ini jumlah sel yang mati seimbang dengan sel yang tumbuh. Hal ini

disebabkan komposisi media tidak memenuhi syarat pertumbuhan dan

kemungkinan adanya racun yang diproduksi oleh mikroba itu sendiri. Ukuran

sel pada fase ini menjadi lebih kecil karena sel tetap membelah meskipun

kekurangan nutrisi.

6. Fase Menuju Kematian dan Fase Kematian

Pada fase ini sebagian populasi mikroba mulai mengalami kematian yang

disebabkan karena tiadanya nutrisi di dalam media dan habisnya energi

(42)

umurnya. Kecepatan kematian ini dipengaruhi oleh kondisi nutrisi, lingkungan,

dan jenis mikroba (Nurwantoro, 1997).

Setiap bahan pangan (biasa disebut pangan) selalu mengandung mikroba yang

jumlah dan jenisnya berbeda. Beberapa jenis mikroba yang banyak terdapat dalam

bahan pangan adalah bakteri, kapang, dan khamir.Pertumbuhan mikroba sangat

dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain : faktor fisika, kimia dan biologis.

Faktor-faktor tersebut meliputi:

1. Faktor intrinsik, merupakan sifat-sifat fisika, kimia, dan struktur yang dimiliki

oleh bahan pangan itu sendiri. Faktor intrinsik dalam bahan pangan berupa

kandungan nutrisi, pH pangan, aktivitas air(aw) pangan, potensial reduksi

oksidasi, senyawa antimikroba alamiah dalam pangan, dan struktur biologi;

2. Faktor ekstrinsik, yaitu kondisi lingkungan pada penanganan dan penyimpanan

bahan pangan, seperti suhu kelembaban, susunan gas di atmosfer. Faktor-faktor

ekstrinsik yang berpengaruh terhadap kehidupan mikroba, antara lain suhu,

kelembaban, dan susunan gas di atmosfer;

3. Faktor implisit, yang merupakan sifat-sifat yang dimiliki oleh mikroba itu sendiri.

Faktor ini sangat dipengaruhi oleh susunan biotik mikroba dalam bahan pangan.

Faktor-faktor implisit yang berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroba adalah

sinergisme dan antagonisme;

4. Faktor pengolahan, karena perubahan mikroba awal sebagai akibat pengolahan

bahan pangan (misalnya pemanasan, pendinginan, irradiasi, penambahan bahan

pengawet). Mikroba spesifik yang terdapat di dalam bahan-bahan pangan dapat

dikurangi jumlahnya oleh berbagai jenis metode pengolahan atau pengawetan

pangan. Jenis-jenis pengolahan/pengawetan pangan yang berpengaruh terhadap

kehidupan mikroba antara lain suhu tinggi, suhu rendah, penambahan bahan

pengawet, dan irradiasi (pengaruh berbagai metoda pengolahan/pengawetan

(43)

2.6 Kinetika Pembentukan Produk

Sangat jarang dijumpai bioproses yang menghasilkan produk tunggal. Setiap

pertumbuhan mikroba selalu diikuti dengan pembentukan produksi satu atau beberapa

metabolit maka reaksi secara keseluruhan selalu stoikiometri serta mengikuti hukum

kekekalan massa. Selain pemantauan biomassa secara serentak juga dilakukan

pengukuran produk metabolit serta berkurangnya substrat persatuan waktu. Hubungan

ini umumnya disajikan dalam bentuk kurva. Hubungan kinetika pertumbuhan dan

pembentukan produk metabolit tergantung pada peranan produk di dalam metabolisme

sel.

Ada tiga pola yang dikenal dalam hubungan tersebut

a.Pola pertumbuhan yang berasosiasi dengan pembentukan produk

Pada umumnya dijumpai pada proses yang produknya merupakan hasil langsung

pada suatu jalur katabolik, misalnya pada fermentasi gula menjadi etanol

b.Pola pembentukan produk yang tidak berasosiasi dengan pertumbuhan

Pada pembentukan produk yang tidak berasosiasi dengan pertumbuhan

umumnya terjadi pada fermentasi yang menghasilkan metabolit sekunder

misalnya pada fermentasi antibiotik dimana pembentukan produk terjadi pada

akhir fermentasi

c.Pola campuran pertumbuhan berasosiasi dan tak berasosiasi

Pada beberapa fermentasi pertumbuhan dan pembentukan produk mempunyai

hubungan sebagian misalnya pada fermentasi asam laktat, pululan dan xanthan.

Pola ini disebut campuran pertumbuhan berasosiasi dan tak berasosiasi, dan laju

pembentukan produk berbanding lurus baik dengan konsentrasi sel maupun laju

pertumbuhan. Model ini dikemukakan oleh Leudeking dan Piret (1959) sehingga

disebut dengan model kinetika Leudeking Piret (Bailey, 1986).

(44)

Bioreaktor adalah suatu unit alat yang digunakan untuk tempat berlangsungnya suatu

proses biokimia dari bahan mentah menjadi bahan jadi atau zat tertentu yang

dikehendaki, dikatalisis oleh suatu enzim yang terdapat pada mikroorganisme hidup

atau enzim-enzim terisolasi. Suatu bioreaktor harus dapat memberikan kondisi

optimum kepada mikroba penghasil enzim ataupun enzim terisolasi agar produksi

bahan yang dikehendaki memperoleh hasil maksimum. Untuk itu umumnya suatu

bioreaktor memerlukan pengatur-pengatur suhu, pH dan oksigen terlarut. Di samping

itu diperlukan bahan baku, bahan nutrisi yang cukup dan serasi dengan sifat enzimnya

(Muljono, 1992).

Reaktor biokimia atau bioreaktor diklasifikasikan menjadi dua kategori utama :

1) Fermenter mikrobial

2) Reaktor enzim (Rao,2005).

Dalam kegiatan bioproses terdapat 2 komponen penting yaitu biokatalis enzim

atau sel hayati penghasil enzim dan kondisi lingkungan. Kedua komponen tersebut

sangat penting dan berguna agar katalis dapat bekerja secara optimal. Lingkungan

optimal ini dapat dicapai dengan menempatkan biokatalis dalam wahana yang disebut

bioreaktor atau biofermentor.

Oleh karena itu bioreaktor dan seluruh sistem dalam bioreaktor harus dirancang

sebaik mungkin agar proses yang dilakukan oleh biokatalis dapat berlangsung

seoptimal mungkin. Selama proses suasana reaksi harus dapat dipantau dan

dikendalikan.

Bioreaktor harus memberikan lingkungan fisik sehingga biokatalis dapat

melakukan interaksi dengan lingkungan dan bahan nutrisi yang dimasukkan ke

dalamnya. Dalam praktek dikenal 2 sistem bioreaktor yakni bioreaktor monoseptik

misalnya dalam pembuatan ragi roti (yeast) dimana pembuang limbah (sisa fermentasi)

dari dalam bioreaktor dapat dilakukan tanpa sterilisasi tapi cukup dicuci saja.

Bioreaktor aseptis misalnya dalam pembuatan antibiotik asam-asam amino,

(45)

autoklaf. Optimasi pertumbuhan biokatalis dan pembentukan produk dalam bioreaktor

harus memperhatikan faktor-faktor berikut ini

1.PH

2.Suhu

3.Media/Sumber Energi

4.Inhibitor

5.Inokulum yang baik

6.Kondisi fisiko kimiawi yang baik yang optimal

Bioreaktor sebagai wahana proses memegang peran penting dalam industri yang

mendayagunakan reaksi-reaksi biokimia yang dilakukan oleh sel (mikroba, tanaman

atau hewan) sebagai penghasil enzim (Aiba, 1973). Alat atau perlengkapan yang

memberi kondisi untuk berlangsungnya bioreaksi dinamakan pula fermentor. Alat ini

dapat dibuat dalam berbagai tipe. Menurut Denbigh dan Turner, jenis fermentor dapat

digolongkan dalam tipe berikut :

1.Fermentor Batch (FB)

2.Fermentor Teraduk Kontinu (FTK)

3.Fermentor Tubular (FT)

4.Fermentor Bed Cair (FBC)

Perkembangan terciptanya tipe-tipe tersebut sebagian besar dipengaruhi

sifat-sifat dasar mikroorganisme yang sangat bervariasi. Salah satu sifat-sifat mikroorganisme

yang menguntungkan adalah pada umumnya kadar airnya cukup tinggi sekitar

60-95% sehingga kerapatannya hanya berbeda sedikit dari air. Jadi untuk menjaga

suspensi bakteri hanya diperlukan gerakan hidrodinamik yang kecil, antara lain dapat

dilakukan dengan menggerakkan perlahan-lahan cairan sekitarnya dengan alat

pengaduk atau mekanik mengalirkan udara melalui media atau mengoncangnya.

Fermentor tipe batch (FB) adalah jenis yang asli yang mempunyai kelemahan

terutama dalam kecepatan produksi. Kondisi bahan maupun mikroorganisme dalam

(46)

sampai pada tingkat tertentu saat pemanenan harus dilakukan untuk proses lebih lanjut,

seperti pemurnian dan lain sebagainya.

Pada fermentor teraduk kontinu terdiri dari deretan bejana silindrik yang

dilengkapi masing-masing dengan alat pengaduk. Pemasukan bahan diberikan ke

dalam bejana secara periodik. Bahan terfermentasi sebagian dipindahkan ke bejana

selanjutnya dalam periode yang sama dalam pemberian pertama. Setelah melalui

bejana, bahan terfermentasi dipanen untuk diproses lebih lanjut. Fermentor demikian

mudah mengontrol pH dan suhunya.

Fermentor tubular terdri dari suatu tabung yang biasanya agak memanjang untuk

menjamin berlangsungnya fermentasi secukupnya selama proses dalam tabung untuk

dipanen pada terminal terakhir. Fermentor demikian umumnya lebih sulit untuk

dilengkapi dengan sarana kontrol kondisi dan penyiapan alatnya sedemikian rupa

sehingga menjamin homogenitas untuk seluruh ruangan dan mengurangi pengaruh

perubahan fisik terhadap waktu proses (Muljono, 1992).

Sistem bioreaktor bagi pertumbuhan mikroorganisme dapat diklasifikasikan

sebagai sistem tertutup atau terbuka. Suatu sistem dipandang tertutup bila bagian

esensial sistem tersebut tidak dapat memasuki atau meninggalkan sistem tersebut. Jadi,

dalam sistem batch tradisional atau sistem fermentasi tertutup, semua komponen

nutrien ditambahkan pada awal proses fermentasi dan sebagai hasilnya, laju

pertumbuhan organisme yang ada di dalamnya akhirnya akan berkurang hingga

mencapai jumlah nol karena penurunan jumlah nutrien atau pemupukan limbah yang

beracun.

Karena alasan inilah, metabolisme organisme dalam proses batch tertutup selalu

berada dalam keadaan berubah-ubah. Akan tetapi, sebagian besar sistem bioteknologi

yang mutakhir akan bekerja sebagai proses batch dengan kondisi yang dibuat optimal

untuk menghasilkan pembentukan maksimal produk yang dikehendaki, misalnya

(47)

Ukuran bioreaktor produksi dalam industri berkisar antara 10.000 hingga 20.000

liter walaupun sebuah bioreaktor raksasa yang berukuran 4 juta liter baru-baru ini

diizinkan pembangunannya. Bioreaktor yang berukuran kecil terutama digunakan

untuk menghasilkan produk dengan volume rendah dan harga tinggi, seperti enzim

serta zat-zat kimia tertentu, sementara bioreaktor yang berukuran besar digunakan

secara luas untuk menghasilkan antibiotik, asam-asam organik, dan lain-lain.

Modifikasi pada proses batch tersebut adalah sistem fed-batch dan dalam sistem

ini dapat ditambahkan sejumlah nutrien selama proses fermentasi untuk mengatasi

deplesi nutrien, atau ditambahkan sejumlah senyawa yang baru sebagai aktivator

selektif, misalnya dalam proses membuat ragi untuk industri pembuatan roti. Namun

demikian, sistem tersebut tetap tertutup karena tidak ada aliran keluar yang kontinu.

Berbeda dengan sistem di atas, suatu sistem fermentasi dianggap terbuka bila

semua komponen pada sistem tersebut (seperti organisme dan nutrien) dapat

terus-menerus memasuki dan meninggalkan bioreaktor. Jadi, sistem bioreaktor terbuka atau

aliran kontinu mempunyai masukan media nutrien yang baru dan keluaran biomassa

serta produk lainnya secara kontinu (Smith, 1995).

Dari penelitian yang dilakukan, digunakan alat pengaduk pada proses fermentasi

untuk memutuskan proses terbentuknya asam asetat dengan bantuan bakteri

Acetobacter xylinum sehingga diperoleh hasil vitamin C. Peneliti juga mengatur pH 4-4,5 pada suhu kamar dengan menjaga kondisi optimal bakteri dalam proses biosintesis

vitamin C.

2.8 Acetobacter Xylinum

Acetobacter mempunyai sel-sel yang terbentuk elips atau tongkat yang melengkung.

Acetobacter merupakan bakteri aerob, yang memerlukan respirasi dalam metabolisme.

(48)

pada buah-buahan dan sayur-sayuran. Bakteri inilah yang menyebabkan pengasaman

jus buah-buahan dan minuman beralkohol (bir dan anggur) (Banwart,1981).

Spesies Acetobacter yang telah dikenal antara lain : A.aceti, A.orleanensis,

A.liquefasiensis, dan A.xylinum. Meskipun ciri-ciri yang dimiliki hampir sama dengan spesies lainnya. A.xylinum dapat dibedakan dengan spesies yang lainnya karena sifatnya yang unik.

Bila A.xylinum ditumbuhkan pada medium yang mengandung gula, bakteri itu dapat memecah komponen gula dan mampu membentuk suatu polisakarida yang

dikenal dengan selulosa ekstraseluler. Selain itu mempunyai aktivitas oksidasi lanjutan

atau “over oxydizer” yaitu mampu mengoksidasi lebih lanjut asam asetat menjadi CO2

dan H2

Sifat inilah yang umumnya mempunyai sifat “under oxydizer” yaitu hanya

mengubah alkohol menjadi asam asetat. Dalam medium cair Acetobacter xylinum

mampu membentuk suatu lapisan yang dapat mencapai ketebalan beberapa sentimeter.

Bakteri terperangkap dalam massa benang-benang yang dibuatnya. Untuk

menghasilkan massa yang kokoh, kenyal, tebal, putih dan tembus pandang perlu

diperhatikan suhu fermentasi (inkubasi), komposisi medium dan pH medium. O.

Menurut Warisno, biakan murni Acetobacter xylinum digunakan sebagai starter yang bisa mensintesa air kelapa hingga menjadi nata de coco. Biakan murni ini bisa

diperbanyak menjadi bibit atau starter. Bibit atau starter berisi mikroba dengan jumlah

dan kondisi fisiologis yang siap diinokulasi ke dalam media fermentasi (Daulay,2003).

(49)

Berdasarkan metabolisme di atas, terjadi reaksi enzimatis dimana substrat glukosa

dapat diubah menjadi D-sorbitol melalui proses hidrogenasi dengan pengaturan

tekanan pada 80-125 atm, suhu 140°C - 150°C dan penggunaan katalis Ni. Selanjutnya

D-sorbitol diubah menjadi L-asam askorbat dengan bantuan enzim yang dihasilkan

oleh bakteri. Adapun enzim-enzim yang dihasilkan oleh bakteri dalam proses

biosintesis vitamin C sebagai berikut :

1. Enzim D-sorbitol dehydrogenase pada proses perubahan D-sorbitol menjadi

(50)

2. Enzim sorbose dehydrogenase pada proses perubahan sorbose menjadi

L-sorbosone

3. Enzim L-sorbosone dehydrogenase pada proses perubahan L-sorbosone menjadi

2-keto-L-gulonic acid

Selanjutnya melalui proses esterifikasi/laktonisasi, 2-keto-L-gulonic acid dapat diubah

menjadi L-asam askorbat (Hancock, 2002).

2.10 Metoda Hitungan Cawan

Metoda hitungan cawan didasarkan pada anggapan bahwa setiap sel yang dapat hidup

akan berkembang menjadi suatu koloni. Jumlah koloni yang muncul pada cawan

merupakan suatu indeks jumlah mikroba yang hidup terkandung dalam sampel. Hal

yang perlu dikuasai dalam hal ini adalah teknik pengenceran. Setelah inkubasi, jumlah

koloni masing-masing cawan diamati. Untuk memenuhi persyaratan statistik, cawan

yang dipilih untuk dihitung mengandung 30-300 koloni. Untuk memenuhi persyaratan

tersebut harus melakukan sederetan pengenceran dan pencawanan. Jumlah mikroba

dalam sampel ditentukan dengan mengalikan jumlah koloni dengan faktor pengenceran

pada cawan yang bersangkutan.

Prinsip dari metoda hitungan cawan adalah bila sel mikroba yang masih hidup

ditumbuhkan pada medium, maka mikroba tersebut akan berkembang biak dan

membentuk koloni yang dapat dilihat langsung, dan kemudian dihitung tanpa

menggunakan mikroskop. Metoda ini merupakan cara yang paling sensitif untuk

menentukan jumlah jasad renik, dengan alasan :

- Hanya sel mikroba yang hidup yang dapat dihitung

- Beberapa jasad renik dapat dihitung sekaligus

- Dapat digunakan untuk isolasi dan identifikasi mikroba, karena koloni yang

terbentuk mungkin berasal dari mikroba yang mempunyai penampakan spesifik

Selain keuntungan-keuntungan tersebut di atas, metoda hitungan cawan juga memiliki

(51)

- Hasil perhitungan tidak menunjukkan jumlah sel yang sebenarnya, karena

beberapa sel yang berdekatan mungkin membentuk koloni

- Medium dan kondisi inkubasi yang berbeda mungkin menghasilkan jumlah yang

berbeda pula

- Mikroba yang ditumbuhkan harus dapat tumbuh pada medium padat dan

membentuk koloni yang kompak, jelas, tidak menyebar

- Memerlukan persiapan dan waktu inkubasi relatif lama sehingga pertumbuhan

koloni dapat dihitung

Dalam metoda hitungan cawan, bahan yang diperkirakan mengandung lebih dari

300 sel mikroba per ml atau per gram atau per cm (jika pengambilan sampel dilakukan

pada permukaan), memerlukan perlakuan pengenceran sebelumnya ditumbuhkan pada

medium agar di dalam cawan petri. Setelah inkubasi, akan terbentuk koloni pada

cawan tersebut dalam jumlah yang dapat dihitung, di mana jumlah yang terbaik adalah

di antara 30 sampai 300 koloni. Pengenceran biasanya dilakukan secara desimal, yaitu

1:10, 1:100, 1:1000, dan seterusnya. Larutan yang digunakan untuk pengenceran dapat

berupa larutan buffer fosfat, 0,85% NaCl atau larutan Ringer. Metoda hitungan cawan

dibedakan atas dua cara, yakni metoda tuang (pour plate) dan metoda permukaan

(surface/spread plate) (Waluyo,L.,2010).

2.11 Metoda Analisa Vitamin C

Metoda analisa vitamin C dalam bahan pangan dapat dikelompakkan menjadi beberapa

metoda.

1. Metoda fisika

a. Metoda spektroskopi

Metoda ini berdasarkan pada kemampuan vitamin C yang terlarut dalam air untuk

menyerap sinar ultraviolet, dengan panjang gelombang maksimum 265 nm. Karena

(52)

dengan cara ini harus dilakukan secepat mungkin. Untuk memperbaiki hasil

pengukuran, sebaiknya ditambahkan senyawa pereduksi yang lebih kuat dari vitamin C.

Hasil terbaik diperoleh dengan menambahkan sejumlah ekuimolar (kira-kira) larutan

KCN (sebagai stabilizer) ke dalam larutan vitamin.

b. Metoda polarografik

Metoda ini berdasarkan pada potensial oksidasi asam askorbat dalam larutan asam atau

bahan pangan yang bersifat asam, misalnya ekstrak buah-buahan dan sayuran.

2. Metoda Kimia

Metoda kimia merupakan cara pengukuran vitamin C paling banyak macamnya dan

paling sering digunakan. Sebagian besar metode kimia didasarkan pada kemampuan

vitamin C karena senyawa dehidro asam askorbat (memiliki aktivitas vitamin C

sebesar 80%) tidak bersifat pereduksi, maka untuk mengukur vitamin C dalam bahan

pangan terlebih dahulu harus dilakukan perlakuan pendahuluan menggunakan senyawa

pereduksi seperti H2S untuk mengubah dehidro asam askorbat menjadi asam askorbat.

Di samping itu, terdapat sejumlah vitamin C yang terikat dengan komponen protein

dan bersifat non pereduksi. Bentuk terikat ini harus dibebaskan lebih dahulu dalam

penentuan kandungan vitamin C dalam suatu bahan.

3. Metoda Biokimia (Metoda asam askorbat oksidase)

Metoda ini berdasarkan kemampuan enzim asam askorbat oksidase untuk

mengoksidasi asam askorbat. Reaksi oksidasi ini ternyata tidak bersifat spesifik untuk

menghasilkan hasil yang memuaskan karena enzim tersebut dapat juga mengoksidasi

komponen-komponen organik lain yang terdapat dalam ekstrak jaringan hewan,

terutama senyawa organik yang dapat mereduksi biru metilen (methyken blue). Lebih

lanjut dibuktikan bahwa enzim asam askorbat yang diisolasi dari labu tidak bereaksi

(53)

4. Metoda Biologi

Walaupun banyak diganti dengan metoda fisika dan kimia untuk menentukan vitamin

C, metoda biologi tetap merupakan metoda penentuan vitamin C yang paling realistis

dan paling mendekati kebenaran

5. Larutan 2,6-diklorofenol indofenol dalam suasana netral atau basis akan berwarna

biru sedang dalam suasana asam akan berwarna merah muda. Apabila 2,6-diklorofenol

indofenol direduksi oleh asam askorbat maka akan menjadi tidak berwarna, dan bila

semua asam askorbat sudah mereduksi 2,6-diklorofenol indofenol maka kelebihan

larutan 2,6-diklorofenol indofenol sedikit saja sudah akan terlihat dengan terjadinya

pewarnaan. Untuk perhitungan maka perlu dilakukan standarisasi larutan dengan

vitamin C standar (Sudarmadji, 1989).

Dalam metoda biologi untuk mengukur vitamin C, hewan percobaan yang

digunakan hanya marmot (guinea pigs). Jika mereka diberi ransum tanpa vitamin C,

dalam waktu 2-3 minggu akan menderita Scurvy.

Terdapat 3 cara pengukuran biologis dengan menggunakan guinea pigs yaitu:

a. Metoda preventif, untuk mengukur jumlah terkecil vitamin C yang dapat mencegah

timbulnya tanda-tanda Scurvy secara makro, misalnya penurunan berat badan.

b. Metoda kuratif, untuk mengukur jumlah vitamin C terkecil untuk menyembuh

guinea pigs yang menderita Scurvy

c. Metoda histology, memeriksa gigi guinea pigs, lapisan odontoblas tidak teratur,

terjadi pengapuran predentive dan terbentuk lapisan tulang yang tidak beraturan di

antara odontoblast dan predentive

(54)

2.12 Penentuan Vitamin C secara Metoda Spektroskopi Ultraviolet-Sinar Tampak

Prinsip spektroskopi didasarkan adanya interaksi dari energi radiasi elektromagnetik

dengan zat kimia. Dengan mengetahui interaksi yang terjadi, dikembangkan

teknik-teknik analisis kimia yang memanfaatkan sifat-sifat dari interaksi tersebut. Hasil

interaksi tersebut bisa menimbulkan satu atau lebih peristiwa seperti : pemanasan,

pembiasan, interferensi, difraksi, penyerapan (absorpsi), fluoresensi, fosforiensi dan

ionisasi. Dalam analisis kimia, peristiwa absorpsi merupakan dasar dari cara

spektroskopi karena proses absorpsi tersebut bersifat unik/spesifik untuk setiap zat

kimia atau segolongan zat kimia (aplikasi kualitatif). Di samping itu adalah kenyataan

bahwa banyaknya absorpsi berbanding lurus dengan banyaknya zat kimia (aplikasi

kuantitatif) (Sudarmadji, 1989).

Radiasi ultraviolet dan sinar tampak diabsorpsi oleh molekul organik aromatik,

molekul yang mengandung elektron-π terkonjugasi dan/atau atom yang mengandung

elektron-n, menyebabkan transisi elektron di orbit terluarnya dari tingkat energi

elektron dasar ke tingkat energi elektron tereksitasi lebih tinggi. Besarnya absorban

radiasi tersebut sebanding dengan banyaknya molekul analit yang mengabsorpsi dan

dapat digunakan untuk analisa kuantitatif. Frekuensi radiasi ultraviolet dan sinar

tampak, terletak antara 1,5x108 Hz sampai 4,28x107 Hz, dengan panjang gelombang

antara 200 nm sampai 700 nm, serta energi yang besarnya antara 9,939x10-26 joule

sampai 2,836x10-26

aromatik, molekul yang mengandung elektron-π terkonjugasi dan/atau molekul

heterosiklik mengandung atom dengan elektron-n, untuk meningkatkan elektron dalam

orbit molekul terluarnya ke tingkat tereksitasi. Kegunaan spektrofotometri ultraviolet

dan sinar tampak dalam analisis kualitatif sangat terbatas, karena rentang daerah

radiasi yang relatif sempit (500 nm) hanya dapat mengakomodasi sedikit sekali puncak

absorpsi maksimum dan minimum, karena itu identifikasi senyawa yang tidak

diketahui, tidak memungkinkan.

Gambar

gambar di bawah ini.
Gambar 1 Metode Pewarnaan Gram pada Bakteri  Acetobacter xylinum
Gambar 3 Identifikasi Bakteri Acetobacter xylinum

Referensi

Dokumen terkait