• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Calling Orientation Terhadap Well-Being pada Pemimpin Kegiatan Pelayanan Rohani Kristen di Universitas Sumatera Utara (USU)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Calling Orientation Terhadap Well-Being pada Pemimpin Kegiatan Pelayanan Rohani Kristen di Universitas Sumatera Utara (USU)"

Copied!
157
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH CALLING ORIENTATION TERHADAP WELL-BEING PADA PEMIMPIN KEGIATAN PELAYANAN ROHANI KRISTEN DI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA (USU)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

GRACE SIHOTANG 111301058

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)
(3)
(4)

Pengaruh Calling Orientation Terhadap Well-Being pada Pemimpin Kegiatan Pelayanan Rohani Kristen di Universitas Sumatera Utara (USU)

Grace Sihotang dan Arliza Juairiani Lubis

Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara (USU) Medan Jl. Dr. Mansur, No. 7, Medan

11058gs@gmail.com

ABSTRAK

Calling orientation terjadi saat seseorang merasa ―terpanggil‖

dalammelakukanpekerjaannya. (Diener, 2008) mengatakan bahwa calling

orientation berhubungan dengan well-being. Sebelumnya, Waterman (1993)

membagi well-being menjadi 2, eudaimonic dan hedonic.Eudaimonic well-being

merupakan kepuasan yang diperolehkarenaaktivitas yang dilakukanmemaksimalkanpotensi; hedonic well-beingmerupakan kepuasan yang diperolehkarenamenikmatiaktivitas yang dilakukan.Salah satu kegiatan yang menggambarkan calling orientation adalah kegiatan pelayanan rohani Kristen. Di Universitas Sumatera Utara, kegiatan pelayanan rohani Kristen diwadahi oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Kebaktian Mahasiswa Kristen Universitas Sumatera Utara (UKM KMK USU). Penelitian ini mengukurpengaruh Calling Orientation

terhadap EudaimonicWell-Being danHedonic Well-Being pada Pemimpin Kelompok Kecil(PKK) sebagai bagian dari UKM KMK USU. Sebanyak 124 orang PKK yang bersedia ikut dalam penelitian ini mengisiMultidimensionality

Calling Scale (MCM) dari Hagmaier dan Abeleuntuk mengukur Calling

Orientation dan Personally Expressive Activity Questionnaire (PEAQ) untuk

mengukur kedua variabel Well-Being dari Waterman. Analisis data yang dilakukan secara parametrik dengan uji regresi linear sederhana menunjukkan ada pengaruh yang signifikan dari Calling Orientation padaEudaimonic Well-Being

(r2 = 0,357, p = 0,000) dan Hedonic Well-Being (r2 = 0,257, p = 0,000).Dapat disarankan agar setiap PKK tetap menjaga atau meningkatkan calling orientation -nya agar well-being-nya juga tetap terjaga atau bisa ikut mengalami peningkatan.

(5)

The Effects of Calling Orientation Toward Well-Being on the Leader of Religious Service Activity at University of Sumatera Utara (USU)

Grace Sihotang and Arliza Juairiani Lubis

Psychology Faculty of University Sumatera Utara (USU) Medan

Dr. Mansur 7, Medan

11058gs@gmail.com

ABSTRACT

Calling orientation is when one’s felt “called” to do his/her job.Calling

orientation at workcorrelated with well-being (Diener, 2008). Previously,

Waterman (1993) classify well-being as eudaimonic and hedonic. Eudaimonic

well-being is happinessgained by someone through activity that maximize his/her potential; hedonic well-being is happiness gainedthrough activity one wishes to possess or experience.One of the activity describing calling orientation is

religious service activity. At University of North Sumatera (USU), Christian’s

religious service activity accomodated by Christian Students Activities Unit (popular term UKM KMK USU). This study measuring the effect of Calling Orientation onEudaimonic Well-Being and Hedonic Well-Being amongthe Leaders of Small Group (PKK)in UKM KMK USU. There are 124 PKK in UKM KMK USU participate in this studyby filling Multidimensionality Calling Scale (MCM) from Hagmaier and Abele to measuring Calling Orientation andPersonally Expressive Activity Questionnaire (PEAQ) from Waterman to measure both of Well-Being. Parametric data analized by simple linear regression test shows that there are significant effect of Calling Orientation to

Eudaimonic Well-being (r2 = 0.357, p = 0.000) and Hedonic Well-Being (r2 =

0.257, p = 0.000). Thus, every PKK is advised to keep or even increase his/her Calling Orientation so that his/her Well-Being can kept constant or even elevated.

(6)

Aku melayangkan mataku ke gunung-gunung;

dari manakah akan datang pertolonganku?

Pertolonganku ialah dari TUHAN,

yang menjadikan langit dan bumi

Mazmur 121:1-2

Skripsi ini kupersembahkan untuk bapak di surga dan mamaku tersayang

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus karena penyertaan-Nya yang luar biasa kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian saya yang berjudul Pengaruh Calling Orientation Terhadap Well-Being pada Pemimpin Kegiatan Pelayanan Rohani Kristen di Universitas Sumatera

Utara (USU).

Pengerjaan penelitian ini tentunya tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari banyak pihak. Untuk itu, saya ingin mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada:

1. Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera, Prof. Dr. Irmawati, Psikolog, pihak Dekanat dan seluruh civitas akademika Fakultas Psikologi USU yang telah memberi kelancaran dalam pengerjaan penelitian ini. 2. Dosen pembimbing skripsi saya, Arliza J. Lubis, M. Si psikolog, yang

telah memberikan banyak waktu dan pikiran dalam mengarahkan dan

membimbing saya, untuk tidak pernah kehabisan cara membuat ‗si

pemalas‘ ini supaya bimbingan, dan untuk setiap motivasi yang diberikan.

Bersyukur bisa jadi anak bimbingan Kakak.

(8)

4. Dosen pembimbing akademik saya, Indri Kemala Nasution, M. Psi psikolog, yang telah memberikan bantuan dan bimbingan kepada saya dari awal masa perkuliahan hingga saat ini.

5. Kedua orangtuaku, Bapak yang sekarang udah di surga, I miss you undescribedly by word, Pa’e, dan Mama yang telah membimbing, menegur, memotivasi, dan mendoakanku, serta memberikan dukungan moril dan materiil selama pengerjaan penelitian ini. You’re my best

woman, Ma.

6. Abangku satu-satunya, Bang Manto yang selalu menasihatiku dan berusaha mendorongku untuk menjadi lebih baik, adik-adikku, Raymond yang sangat teratur tapi bisa maklum untuk ketidakteraturan waktu aku berkutat dengan penelitian ini, dan Grandsen yang gak habis pikir kenapa kakaknya sering stres dibuat penelitian ini. Juga Nenekku yang dengan candaan dan repetannya yang membuatku selalu merindukannya dan memaksaku keluar dari zona nyaman. Terimakasih telah mendoakan dan terus mendukungku dalam pengerjaan penelitian ini.

7. Kelompok kecilku JOY (Kak Lala, yang kurindukan kepolosan dan perjuangannya menghadap kami, Kak Rini yang selalu mem-bully dan membantu kami mengenali diri lebih baik, Kak Erni yang suka ketawa tapi pencemasnya luar biasa, Rahel, Friska kawan dari awal masuk kuliah, kawan sekelas, sepermainan, sepelayanan, sekelompok kecil juga, dan

(9)

Maretta (Eprida yang sangat tekun dan gampang tersentuh, Naomi yang super plegma tapi keriting kita sama, dan Gianne si melankolis yang mudah terhanyut dengan pikirannya sendiri) dan Adriell (Resmida si kolerik yang suka timbul tenggelam kayak kapal selam, Wahyuni si melankolis yang bahkan dia gak sadar kalau dia suka baper, Anjelita si sanguin overdosis toa berjalan yang gak pernah bisa diam selalu teriak-teriak, dan Mahdad si super cuek yang masih menyangkali kemelankolisannya). Makasi untuk pengenalan satu sama lain, canda, tawa, bully-an, keseriusan, motivasi, teguran, dan doa-doa kalian.

8. Sahabat-sahabatku, Desima dan Paras kawan stres kalo udah banyak tugas yang kosannya selalu jadi tempat persinggahanku, Fitri untuk 7 tahun ini dan setiap teguran dan canda tawa, Kristin si sanguin yang ngomong kadang gak ada saringannya, Rosliana si pencemas walaupun suka coba-coba melucu, Frans yang kehigienisannya melebihi kesatnya Sun Light dan selalu jadi orang yang kumintai tolong dalam mengerjakan penelitian ini, Simson yang super melankolis tapi selalu bijak dalam memotivasi, Adolf yang pikirannya gak pernah tau sebetulnya isinya apa, Rima yang jadi teman untuk saling memotivasi dan melangkah maju, Susi dan Irvine untuk motivasi dan semangatnya, dan Psikologi angkatan 2011

―Psychotroops‖ yang telah menjadi teman-teman seperjuangan dari awal masuk kuliah hingga saat ini.

9. Kedua sahabatku sejak SMP, ―GAM‖; Ann yang sampai sekarang paling

sabar ‗membaca curhatan tengah malamku‘, gak pernah lupa mem-bully

(10)

remnya tapi sekarang lagi mengabdi jadi tenaga pendidik yang luar biasa. Udah 8 tahun kita sahabatan dan kalian paling kenal aku dari dulu. Makasi untuk semangat dan doa kalian.

10.Angkatanku di Asrama selama SMA ―TheUnion‖, kawan-kawan terkonyol yang bahkan busuk-busuk satu sama lain udah tau, kalian bisa dibilang saudara beda uterus, yang udah melewati banyak suka duka bersama dan saling mendukung satu sama lain. Makasi untuk persaudaraan kita 7 tahun ini, atas motivasi dan juga doanya.

11.Koordinasi UKM KMK USU UP Psikologi 2013, 2014, dan 2015 (Kak Susy yang bahkan hanya duduk aja udah lucu, Kak Lia yang super tegas

dan terus berusaha memahamkan kami di masa ‗belia‘ kami yang penuh

kepolosan, Kak Tina partner selama 2 tahun dan tempat saling

mencurhatkan semuanya dari yang super penting sampai ‗ampas

-ampasnya‘, Kak Rani yang suka diperhatikan, paling suka dipuji dan dibilang cute padahal memang cute kok dikit, Kak Mona yang walaupun plegma tapi selalu jadi tempat curhat insidental, Irvine wanita perkasa yang bahkan suara tawa dan bully-annya lebih perkasa, Nirmay yang selalu ceria tapi suka timbul tenggelam, Esther si plegmatik yang hobinya

mem-bully dan mengeraskan hati, Melfa yang setiap cerita selalu berair

(11)

12.Seluruh komponen pelayanan UKM KMK USU UP Psikologi, atas kebersamaan, semangat dan doanya selama ini.

13.Semua koordinasi dan PKK di UKM KMK USU atas partisipasinya dalam penelitian ini, untuk semua masukan dan bantuannya.

14.Untuk semua yang tidak tersebutkan dalam ucapan ini yang telah membantu, mendukung, mengkritik, dan mendoakanku.

Saya menyadari bahwa penelitian ini masih sangat sederhana dan banyak kekurangan, untuk itu saya dengan hati yang sebesar-besarnya menerima semua kritik, saran, dan masukan yang ditujukan untuk saran penelitian selanjutnya.

Besar harapan saya agar penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada para pembacanya. Semoga kasih Tuhan melingkupi kita semua. Amin.

Medan, Agustus 2015

(12)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... ERROR!BOOKMARK NOT DEFINED.

KATA PENGANTAR ... I DAFTAR ISI ... IX DAFTAR TABEL DAN GRAFIK ... XIII

BAB I ... 1

2. Motivasi Intrinsik dalam Konsep Well-Being ... 16

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Well-Being ... 18

B. CALLING ORIENTATION... 22

1. Dimensi Calling Orientation ... 25

2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Calling Orientation ... 26

3. Cara Menaikkan Calling Orientation ... 27

C. PEMIMPIN KELOMPOK KECIL ... 28

1. Definisi Pemimpin Kelompok Kecil ... 28

2. Peran Seorang Pemimpin Kelompok Kecil ... 29

D. DINAMIKA CALLING ORIENTATION TERHADAP WELL-BEING PADA PKK ... 31

E. HIPOTESIS PENELITIAN ... 36

BAB III ... 37

METODOLOGI PENELITIAN ... 37

(13)

B. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL PENELITIAN ... 37

1. Well-Being ... 37

2. Calling Orientation dalam Bekerja ... 38

C. POPULASI,SAMPEL, DAN TEKNIK PENGAMBILAN SAMPEL PENELITIAN ... 38

1. Populasi Penelitian ... 38

2. Teknik Pengambilan Sampel ... 39

3. Jumlah Sampel ... 39

D. METODE PENGUMPULAN DATA... 39

1. Alat Ukur Well-Being ... 41

2. Alat Ukur Calling Orientation ... 42

E. UJI COBA ALAT UKUR ... 44

1. Persiapan penelitian ... 46

2. Pelaksanaan Penelitian ... 47

3. Pengolahan Data ... 47

G. METODE ANALISA DATA ... 47

1. Uji asumsi ... 47

BAB IV ... 50

ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ... 50

A. GAMBARAN SUBJEK PENELITIAN... 50

1. Jenis Kelamin Subjek Penelitian ... 50

2. Usia Subjek Penelitian ... 51

3. Lama Memimpin KK Subjek Penelitian ... 51

4. Jumlah Kelompok Kecil yang Dipimpin Oleh Subjek Penelitian... 52

5. Suku ... 53

6. Partisipan yang Bekerja dan yang Tidak Bekerja ... 53

B. HASIL PENELITIAN ... 54

1. Uji Asumsi ... 54

2. Uji Hipotesis ... 59

C. KATEGORISASI SKOR PENELITIAN ... 63

(14)

2. Kategorisasi Skor Hedonic Well-Being... 65

3. Kategorisasi Skor Calling Orientation ... 67

D. HASIL TAMBAHAN ... 68

1. Gambaran Perbedaan Calling Orientation, Eudaimonic Well-Being, dan Hedonic Well-Being Ditinjau dari Jenis Kelamin ... 69

2. Gambaran Perbedaan Calling Orientation, Eudaimonic Well-Being, dan Hedonic Well-Being Ditinjau dari Usia ... 70

3. Gambaran Perbedaan Calling Orientation, Eudaimonic Well-Being, dan Hedonic Well-Being Ditinjau dari Lama Memimpin KK ... 72

4. Gambaran Perbedaan Calling Orientation, Eudaimonic Well-Being, dan Hedonic Well-Being Ditinjau dari Jumlah KK yang Dipimpin Subjek Penelitian ... 73

5. Gambaran Perbedaan Calling Orientation, Eudaimonic Well-Being, dan Hedonic Well-Being Ditinjau dari Suku... 75

6. Gambaran Perbedaan Calling Orientation, Eudaimonic Well-Being, dan Hedonic Well-Being Ditinjau dari Ada Tidaknya Pekerjaan ... 77

E. PEMBAHASAN ... 78

RELIABILITAS DAN DAYA BEDA AITEM ... 95

A. HASILTRYOUTCALLINGORIENTATIONDENGAN75SAMPEL .... 95

B. HASILTRYOUTEUDAIMONICWELL-BEINGDENGAN75SAMPEL ... 96

C. HASILTRYOUTHEDONICWELL-BEINGDENGAN75SAMPEL ... 97

LAMPIRAN 2 ... 98

ALAT UKUR ... 98

A. ALATUKURTRYOUT ... 98

B. ALATUKURUNTUKPENGAMBILANDATA ... 104

(15)

DATA SUBJEK ... 111

LAMPIRAN 4 ... 119

DATA VARIABEL ... 119

A. CALLINGORIENTATION ... 119

B. EUDAIMONICWELL-BEING ... 124

C. HEDONICWELL-BEING ... 130

LAMPIRAN 5 ... 136

(16)

DAFTAR TABEL DAN GRAFIK

Tabel.

1. Blue Print Alat Ukur Well-Being PEAQ-S ... 42

2. Blue Print Alat Ukur Calling Orientation MCM ... 43

3. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 50

4. Gambaran Subjek Berdasarkan Usia ... 51

5. Gambaran Subjek Berdasarkan Lama Memimpin KK... 51

6. Gambaran Subjek Berdasarkan Jumlah KK yang Dipimpin... 52

7. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Suku... 53

8. Gambaran Subjek Berdasarkan Adanya Pekerjaan... 53

9. Hasil Uji Normalitas Eudaimonic Well-Being Menggunakan Kolmogorov-Smirnov... 54

10.Hasil Uji Normalitas Hedonic Well-Being Menggunakan Kolmogorov-Smirnov... 55

11.Hasil Uji Homogenitas Calling Orientation terhadap Eudaimonic Well- Being... 57

12.Hasil Uji Homogenitas Calling Orientation terhadap Hedonic Well-Being... 57

13.Hasil Uji Linearitas Calling Orientation terhadap Eudaimonic Well-Being... 58

(17)

15.Hasil Analisa Regresi Linear Sederhana Calling Orientation terhadap

Eudaimonic Well-Being... 60 16.Hasil Analisa Regresi Linear Sederhana Calling Orientation terhadap

Hedonic Well-Being... 61 17.Koefisien Regresi Calling-Orientation terhadap Eudaimonic

Well-Being... 61 18.Koefisien Regresi Calling-Orientation terhadap Hedonic

Well-Being.... 62 19.Perbandingan Mean Hipotetik dan Mean Empirik Eudaimonic

Well-Being... 63

20.Kategorisasi Skor Eudaimonic Well-being pada PKK... 64 21.Cross-Tabulation Calling Orientation terhadap Eudaimonic Well-Being

pada PKK... 64 22.Perbandingan Mean Hipotetik dan Mean Empirik Hedonic

Well-Being... 65 23.Kategorisasi Skor Hedonic Well-Being pada PKK... 66 24.Cross-Tabulation Calling Orientation terhadap Hedonic Well-Being

pada PKK... 66 25.Perbandingan Mean Hipotetik dan Mean Empirik Calling

Orientation... 67 26.Kategorisasi Skor Calling Orientation pada PKK... 68 27.Gambaran Perbedaan Calling Orientation, Eudaimonic Well-Being,

(18)

28.Hasil Analisa Calling Orientation, Eudaimonic Well Being, dan

Hedonic Well-Being Ditinjau dari Jenis Kelamin... 69 29.Gambaran Perbedaan Calling Orientation, Eudaimonic Well-Being,

dan Hedonic Well-Being Ditinjau dari Usia... 70 30.Hasil Analisa Calling Orientation, Eudaimonic Well Being, dan

Hedonic Well-Being Ditinjau dari Usia... 71 31.Gambaran Perbedaan Calling Orientation, Eudaimonic Well-Being,

dan Hedonic Well-Being Ditinjau dari Lama Memimpin KK... 72 32.Hasil Analisa Calling Orientation, Eudaimonic Well Being, dan

Hedonic Well-Being Ditinjau dari Lama Memimpin KK... 72 33.Gambaran Perbedaan Calling Orientation, Eudaimonic Well-Being,

dan Hedonic Well-Being Ditinjau dari Jumlah KK yang Dipimpin... 73 34.Hasil Analisa Calling Orientation, Eudaimonic Well Being, dan

Hedonic Well-Being Ditinjau dari Jumlah KK yang Dipimpin... 74 35.Gambaran Perbedaan Calling Orientation, Eudaimonic Well-Being,

dan Hedonic Well-Being Ditinjau dari Suku... 75 36.Hasil Analisa Calling Orientation, Eudaimonic Well Being, dan

Hedonic Well-Being Ditinjau dari Suku... 76 37.Gambaran Perbedaan Calling Orientation, Eudaimonic Well-Being,

dan Hedonic Well-Being Ditinjau dari Ada Tidaknya Pekerjaan... 77 38.Hasil Analisa Calling Orientation, Eudaimonic Well Being, dan

(19)

Grafik.

1. Hasil Uji Normalitas Pengaruh Calling Orientation terhadap

Eudaimonic Well-Being... 55 2. Hasil Uji Normalitas Pengaruh Calling Orientation terhadap Hedonic

(20)

Pengaruh Calling Orientation Terhadap Well-Being pada Pemimpin Kegiatan Pelayanan Rohani Kristen di Universitas Sumatera Utara (USU)

Grace Sihotang dan Arliza Juairiani Lubis

Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara (USU) Medan Jl. Dr. Mansur, No. 7, Medan

11058gs@gmail.com

ABSTRAK

Calling orientation terjadi saat seseorang merasa ―terpanggil‖

dalammelakukanpekerjaannya. (Diener, 2008) mengatakan bahwa calling

orientation berhubungan dengan well-being. Sebelumnya, Waterman (1993)

membagi well-being menjadi 2, eudaimonic dan hedonic.Eudaimonic well-being

merupakan kepuasan yang diperolehkarenaaktivitas yang dilakukanmemaksimalkanpotensi; hedonic well-beingmerupakan kepuasan yang diperolehkarenamenikmatiaktivitas yang dilakukan.Salah satu kegiatan yang menggambarkan calling orientation adalah kegiatan pelayanan rohani Kristen. Di Universitas Sumatera Utara, kegiatan pelayanan rohani Kristen diwadahi oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Kebaktian Mahasiswa Kristen Universitas Sumatera Utara (UKM KMK USU). Penelitian ini mengukurpengaruh Calling Orientation

terhadap EudaimonicWell-Being danHedonic Well-Being pada Pemimpin Kelompok Kecil(PKK) sebagai bagian dari UKM KMK USU. Sebanyak 124 orang PKK yang bersedia ikut dalam penelitian ini mengisiMultidimensionality

Calling Scale (MCM) dari Hagmaier dan Abeleuntuk mengukur Calling

Orientation dan Personally Expressive Activity Questionnaire (PEAQ) untuk

mengukur kedua variabel Well-Being dari Waterman. Analisis data yang dilakukan secara parametrik dengan uji regresi linear sederhana menunjukkan ada pengaruh yang signifikan dari Calling Orientation padaEudaimonic Well-Being

(r2 = 0,357, p = 0,000) dan Hedonic Well-Being (r2 = 0,257, p = 0,000).Dapat disarankan agar setiap PKK tetap menjaga atau meningkatkan calling orientation -nya agar well-being-nya juga tetap terjaga atau bisa ikut mengalami peningkatan.

(21)

The Effects of Calling Orientation Toward Well-Being on the Leader of Religious Service Activity at University of Sumatera Utara (USU)

Grace Sihotang and Arliza Juairiani Lubis

Psychology Faculty of University Sumatera Utara (USU) Medan

Dr. Mansur 7, Medan

11058gs@gmail.com

ABSTRACT

Calling orientation is when one’s felt “called” to do his/her job.Calling

orientation at workcorrelated with well-being (Diener, 2008). Previously,

Waterman (1993) classify well-being as eudaimonic and hedonic. Eudaimonic

well-being is happinessgained by someone through activity that maximize his/her potential; hedonic well-being is happiness gainedthrough activity one wishes to possess or experience.One of the activity describing calling orientation is

religious service activity. At University of North Sumatera (USU), Christian’s

religious service activity accomodated by Christian Students Activities Unit (popular term UKM KMK USU). This study measuring the effect of Calling Orientation onEudaimonic Well-Being and Hedonic Well-Being amongthe Leaders of Small Group (PKK)in UKM KMK USU. There are 124 PKK in UKM KMK USU participate in this studyby filling Multidimensionality Calling Scale (MCM) from Hagmaier and Abele to measuring Calling Orientation andPersonally Expressive Activity Questionnaire (PEAQ) from Waterman to measure both of Well-Being. Parametric data analized by simple linear regression test shows that there are significant effect of Calling Orientation to

Eudaimonic Well-being (r2 = 0.357, p = 0.000) and Hedonic Well-Being (r2 =

0.257, p = 0.000). Thus, every PKK is advised to keep or even increase his/her Calling Orientation so that his/her Well-Being can kept constant or even elevated.

(22)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ryff (1989) mengatakan bahwa orang yang memiliki tingkat

well-being yang tinggi cenderung akan bisa berfungsi lebih optimal, dapat menjalin

hubungan yang positif dengan orang lain, mandiri, mampu beradaptasi dengan lingkungannya, serta memiliki tujuan hidup. Penelitian menunjukkan bahwa

well-being berkorelasi secara signifikan dengan aktivitas religius seperti

pelayanan rohani (Ellison, dalam Eddington & Shuman, 2006), peningkatan hubungan individu dengan Tuhan (Pollner, 1989), hubungannya dengan pengalaman doa (Poloma & Pendleton, dalam Eddington & Shuman, 2006), dan keikutsertaan dalam kegiataan keagamaan (Ellison, Gray, & Glass, dalam Eddington & Shuman, 2006).

Waterman (1993) membagi well-being menjadi dua, yaitu eudaimonic

well-being dan hedonic well-being. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan

(23)

Salah satu hal yang mempengaruhi well-being adalah agama (religiusitas). Diener (2008) mengatakan bahwa secara umum, orang yang memiliki religiusitas yang tinggi cenderung memiliki tingkat kesejahteraan mental

(well-being) yang tinggi. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh

Chamberlain & Zika (1992), Hill & Pargament (2003), serta Ivtzan, Chan, Gardner, & Prashar (2009) yaitu semakin tinggi religiusitas seseorang, maka

well-being-nya juga akan semakin tinggi.

Agama merupakan sejumlah aktivitas yang menjadi gaya hidup seseorang, yaitu tujuan, hasrat, gairah, dan komitmen yang dimilikinya. (Dykstra, dalam Nelson, 2009). Ninian Smart (dalam Nelson, 2009) juga mengidentifikasi agama sebagai suatu aktivitas yang terdiri dari beberapa dimensi, dan salah satu diantaranya adalah ritual seperti berdoa, penyembahan, dan meditasi. Glock dan Stark (dalam Nelson, 2009) juga memandang bahwa terdapat dimensi ritual dalam agama bersama dengan 3 dimensi lainnya yaitu pengalaman, intelektual, dan konsekuensi.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Indonesia, terdapat sekitar 92% penduduk Indonesia adalah orang yang menganut kepercayaan terhadap agama dan kepercayaan tertentu. Secara khusus, pada agama Kristen, ada juga yang menjadi kewajiban bagi tiap pemeluknya, yaitu melayani. Kongres Internasional Penginjilan Sedunia (The Lausanne Covenant) tahun 1974, juga menekankan hal ini seperti yang tertulis dalam isi deklarasi pengakuan iman poin pertama (the purpose of God), “We affirm our

belief in the one eternal God, Creator, and Lord of the world, Father, Son,

(24)

(dalam Our Heritage, 2006). Hal ini berarti semua hal yang dilakukan oleh Pemeluk Agama Kristen adalah melayani dengan cara melakukan perintah Tuhan.

Penelitian ini berfokus pada pelayanan rohani agama Kristen yang dilakukan di kampus, karena kampus merupakan tempat yang paling strategis untuk melayani mahasiswa dengan cara dibina secara mental dan karakter untuk dipersiapkan menjadi pemimpin bangsa (Chua Wee Hian, dalam Our

Heritage, 2006). Selain itu, Tadius Gunadi dalam Kamp Regional Sumatera

Bagian Utara ke-8 (KMRSU VIII) mengatakan bahwa mahasiswa adalah calon pemimpin masyarakat, gereja, universitas/bangsa, negara, dan dunia

yang nantinya akan mempengaruhi ‗kehidupan‘ atau ‗nasib‘ orang banyak.

Pelayanan mahasiswa berfungsi untuk mempersiapkan para mahasiswa agar menjadi orang yang profesional dan berintegritas tinggi, tidak korup, materialistik, atau hedonis.

Salah satu kampus yang memiliki Pelayanan Mahasiswa adalah Universitas Sumatera Utara. Kegiatan pelayanan rohani yang dilakukan di Universitas Sumatera Utara diwadahi oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Kebaktian Mahasiswa Kristen Universitas Sumatera Utara (UKM KMK USU). Bentuk-bentuk kegiatan yang dilakukan dalam Pelayanan UKM KMK USU adalah dalam bentuk Kelompok Besar (seperti Ibadah Kebaktian dan Jam Doa) dan Kelompok Kecil.

(25)

(Simanjuntak, R. dkk, 2013). Pengertian ini sejalan dengan yang dinyatakan Forsyth (dalam Aamodt, 2007), menyebut kelompok yang berjumlah 2 orang dengan dyad, 3 orang sebagai triad, dan 4-20 orang sebagai kelompok kecil. Kelompok Kecil dipandang sebagai wadah yang paling efektif untuk mempersiapkan mahasiswa menjadi seseorang yang bermoral baik dan berwawasan luas, sehingga Kelompok Kecil disebut juga sebagai ujung tombak pelayanan mahasiswa.

Kelompok Kecil terdiri dari satu orang Pemimpin Kelompok Kecil (PKK) dan beberapa orang Anggota Kelompok Kecil (AKK). PKK mengambil peranan yang sangat sentral dalam Kelompok Kecil, karena PKK bertugas untuk mengarahkan dan membina Anggota Kelompok Kecil sesuai standar dan parameter yang ditetapkan pada masing-masing tingkatan. Idealnya, kepemimpinan yang dimiliki oleh seorang PKK adalah kepemimpinan yang melayani (servant leadership). Gosling, Marturano, & Dennison (2003) mengatakan bahwa servant leadership (pemimpin pelayan) adalah kepemimpinan yang menekankan pada tugas atau peran pemimpin untuk melayani pengikutnya—kepemimpinan dipandang sebagai keinginan untuk melayani, bukan keinginan untuk mengepalai. Greenleaf (dalam Gosling, Marturano, & Dennison, 2003) mendeskripsikannya sebagai kepemimpinan yang mendahulukan kepentingan orang lain terlebih dahulu.

(26)

atau menolak tawaran tersebut. Berdasarkan observasi dan wawancara yang didapatkan oleh penulis dari lapangan, biasanya seorang AKK akan mengevaluasi kemampuan dirinya terlebih dahulu, dan saat merasa tidak sanggup maka ia akan menolak tawaran tersebut, demikian sebaliknya. Idealnya AKK yang menerima tugas tersebut adalah karena kesadaran bahwa tugas tersebut merupakan suatu bentuk pelayanan (ibadah).

Adapun standar yang ditetapkan oleh UKM KMK USU pada periode 2014 adalah PKK dan AKK yang berkualitas dilihat dari pengerjaan ritual religius, kontinuitas pertemuan dalam kelompok kecil minimal yang harus terpenuhi, terlebih bagi PKK harus bisa menjadi teladan hidup, dan melakukan pendampingan terhadap AKK. Selain dari standar yang ditetapkan oleh UKM KMK USU, seorang PKK harus memiliki kualitas pribadi yang membuatnya

mampu melakukan perannya. Whallon (dalam ―Our Heritage”, 2006) mengatakan bahwa seorang pemimpin haruslah memiliki kualitas tinggi, artinya ia adalah pemimpin yang mengetahui bagaimana memperlengkapi, memampukan, dan memperkuat orang yang dipimpinnya. Adapun karakteristik seorang pemimpin rohani yang baik menurut Tuckey (dalam

“Our Heritage”, 2006) adalah pemimpin yang visioner, inisiator, bersemangat, rendah hati, setia, memiliki peran kepemimpinan, membangun ikatan kepercayaan, serta kerja sama dan karunia.

Berkaitan dengan tanggung jawab yang harus dikerjakan oleh PKK

terhadap organisasi, PKK bisa dikatakan sebagai ‗pekerja‘ dalam organisasi

(27)

pekerjaan (job orientation), pekerja yang berorientasi terhadap karir (carrer

orientation), dan pekerja yang berorientasi terhadap panggilan jiwa (calling

orientation). Pekerja dengan job orientation tujuan utamanya dalam bekerja

adalah untuk memperoleh keuntungan dan uang, sedangkan individu dengan

carrer orientation akan lebih tertarik pada peningkatan karir, promosi, dan

status. Pekerja yang motivasinya calling orientation berbeda dengan pekerja dengan dua orientasi lainnya. Mereka akan terlibat dalam “job crafting” yaitu

pekerja yang menjadi ‗arsitek‘ pekerjaannya, melakukan tugas tambahan,

membantu rekan kerja yang lain, dan berinisiatif melakukan pekerjaan secara lebih efisien (Wrzeniewski dalam Diener, 2008).

PKK merupakan pekerjaan yang dilakukan secara sukarela tanpa mendapatkan uang ataupun adanya peningkatan karir, sehingga dapat dapat dikategorikan sebagai calling orientation. Hal ini juga didukung oleh Weber (dalam Wrzesniwsky, 2007) yang mengatakan bahwa kata ―calling‖ dalam

pekerjaan pada dasarnya digunakan dalam konteks religius, di mana orang

menyadari bahwa mereka ―dipanggil‖ oleh Tuhan untuk melakukan pekerjaan

yang berpengaruh secara signifikan terhadap moral dan sosial. Calling dalam pekerjaan bukan merupakan sesuatu yang bersifat benar-salah, atau punya dan tidak punya calling, namun merupakan sesuatu yang kontinum, artinya ada orang yang memiliki tingkat calling yang lebih tinggi atau lebih rendah dari orang lain (Dobrow, 2010).

(28)

mengaktualisasikan dirinya melalui aktivitas yang dilakukannya sehingga seharusnya seorang PKK memiliki eudaimonic well-being yang tinggi. Saat seseorang merasa mampu merealisasikan potensi dirinya sewaktu melakukan suatu aktivitas, maka ia juga akan menikmati aktivitas yang dilakukannya tersebut, sehingga hal tersebut juga akan mempengaruhi hedonic

well-being-nya. Hal ini berarti, saat seseorang memiliki eudaimonic well-being yang tinggi, maka hedonic well-being-nya juga akan tinggi. Secara teoritis, tidak ada orang yang memiliki eudaimonic well-being tinggi namun memiliki

hedonic-well being yang rendah (Waterman, 1993). Hal ini juga didukung

oleh Diener (2008) yang mengatakan bahwa pekerja yang memiliki tingkat

calling yang tinggi cenderung memiliki well-being tinggi (Diener, 2008).

Penelitian yang mengatakan bahwa orang yang bekerja karena calling

memiliki well-being yang lebih tinggi juga didukung oleh Moen, Dempster-McClain, & Williams (1989, 1992); Young & Gaslow (1998), serta House, Landis, & Umberson (1998) yang melakukan penelitiannya pada pekerja relawan yang bekerja tanpa upah (dalam Thoits & Hewittt, 2001).

(29)

―Aduh dek, aku ini orangnya minder kali. Malu kali rasanya harus memimpin orang itu. Aku ini apalah, gak tau ngapa-ngapain”

(Komunikasi Personal, Oktober 2013) Pernyataan tersebut juga dipertegas oleh F, dalam komunikasi personal:

Gimana ya, kalau masalah mendekati adik-adik baru aku

orangnya apa kali, apa ya, gak percaya diri. Gugupan kali, gitulah. T’rus aku juga merasa gak pantas jadi seorang PKK, karna

menurutku masih banyak mahasiswa yang pantas jadi teladan...” (Komunikasi Personal, Desember 2014) Selain itu, ada juga perasaan takut karena ketidakmampuan memanajemen waktu dengan baik. Hal ini terungkap pada saat wawancara:

―Susah kali aku manajemen waktu kak, udah gitu aku juga bukan orang yang pintar-pintar kali, jadi takut keteteran studiku. Nanti

diliat adek-adekku kekmana.

(30)

memimpin dan mengerjakan perannya. Akan tetapi, saat kondisi seorang PKK sedang tidak baik, maka ia cenderung merasa hampa, suka marah-marah, malas memimpin, dan merasa apa yang dikatakannya kepada orang-orang yang dipimpinnya tidak berdampak dalam membawa mereka lebih mengenal Tuhan.

Melihat adanya hubungan tingkat calling seseorang terhadap

well-being-nya, penulis tertarik untuk melihat bagaimana pengaruh antara tingkat

calling orientation PKK di USU terhadap well being, baik eudaimonic

well-being maupun hedonic well-being yang dimilikinya.

B. Rumusan Masalah

Masalah dalam penelitian ini dirumuskan dengan pertanyaan penelitian

a. Apakah terdapat pengaruh calling orientation PKK di USU terhadap eudaimonic well-being-nya?‖

b. Apakah terdapat pengaruh calling orientation PKK di UKM KMK USU terhadap hedonic well-being-nya?

C. Tujuan Penelitian

(31)

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan dua manfaat, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis.

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam pengembangan ilmu psikologi, terutama Psikologi Klinis, Psikologi Kesehatan Mental, khususnya mengenai well-being.

2. Manfaat Praktis

a) Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat terutama kepada para pekerja untuk mengetahui pengaruh antara tingkat calling orientation dengan pekerjaan mereka terhadap well-being-nya.

b) Bagi PKK di UKM KMK USU, agar mereka dapat mengetahui gambaran well-being yang dimilikinya dan mengetahui cara agar lebih menikmati perannya sebagai seorang PKK.

(32)

E. Sistematika Penulisan Bab I : Pendahuluan

Bab ini berisi penjelasan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

Bab II : Landasan Teori

Bab ini berisi teori mengenai calling orientation dalam bekerja, komponen dalam pekerja yang memiliki calling orientation, teori mengenai subjective well-being, aspek-aspek dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, definisi PKK, peranan seorang PKK, serta rumusan hipotesa.

Bab III: Metode Penelitian

Bab ini terdiri atas identifikasi variabel penelitian, defenisi operasional penelitian, sampling dan populasi, dan metode analisis data.

Bab IV: Analisa Data dan Pembahasan

Bab ini terdiri atas gambaran subjek penelitian, hasil penelitian, uji hipotesis, kategorisasi skor penelitian, hasil tambahan, dan pembahasan.

Bab V: Kesimpulan dan Saran

(33)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Well-Being

1. Definisi Well-Being

Istilah well-being mengacu pada kualitas keberfungsian seseorang, baik itu pengalaman subjektif yang bersifat emosional maupun pengalaman langsung dari aktivitas yang dilakukan (Waterman, 2007).

Waterman (1993) membedakan well-being menjadi dua, yaitu

eudaimonic well-being dan hedonic well-being. Istilah eudaimonic

well-being kemudian banyak dikembangkan menjadi beberapa bagian, beberapa

diantaranya adalah psychological well-being dan flourishing (Ryff dalam Waterman 2007). Hedonic well-being juga sering disamakan dengan

subjective well-being (Ryan & Deci, dalam Waterman 2007). Secara

(34)

adalah langkah mencapai kebahagiaan (Delle Fave, Massimini, & Bassi dalam Henderson & Knight, 2012). Namun psikolog kontemporer lebih memilih untuk menggabungkannya menjadi suatu konsep yang sama-sama berpengaruh positif terhadap well-being dan memunculkan istilah

flourishing untuk menjelaskan gabungan kehadiran keduanya. (Huppert &

So; Huta & Ryan, dalam Henderson & Knight, 2012).

Waterman (1993) mengatakan bahwa eudaimonic well-being

merupakan hal yang diperoleh seseorang karena mampu merealisasikan potensi dirinya melalui aktivitas yang dilakukannya, sementara hedonic

well-being berfokus pada penikmatan aktivitas yang dilakukan seseorang.

Pada dasarnya, kedua konsep tersebut bukanlah sesuatu yang terpisah, namun memiliki korelasi satu sama lain. Saat seseorang merasa mampu merealisasikan potensi dirinya sewaktu melakukan suatu aktivitas, maka ia akan sekaligus memiliki eudaimonic well-being dan hedonic well-being

yang tinggi. Namun saat seseorang menikmati aktivitas yang dilakukannya tapi aktivitas tersebut tidak berkontribusi untuk meningkatkan potensi dirinya, maka aktivitas tersebut hanya akan menaikkan hedonic

well-being-nya namun tidak menaikkan eudaimonic well-being-nya. Secara

(35)

a. Eudaimonic Well-Being

Konsep eudaimonia pertama kali diungkapkan oleh Aristoteles yang juga dipengaruhi oleh filsuf-filsuf Yunani kuno sepeti Plato dan Zeno. Aristoteles mengatakan bahwa suatu keadaan di mana kita menjalani hidup yang penuh perenungan dan kebaikan sesuai dengan sifat seseorang (hidup sebagaimana adanya) merupakan langkah menuju kesejahteraan (Norton, dalam Henderson & Knight 2012). Aristoteles mendefinisikannya sebagai tindakan kebajikan yang terpuji dan layak; sering ditekankan sebagai kebajikan dari keadilan, kebaikan, keberanian, dan kejujuran. Aristoteles juga mengatakan lebih lanjut bahwa pengembangan potensi terbaik seseorang dalam mencapai sesuatu yang kompleks dan penuh makna merupakan hal yang menandai hidup yang baik.

(36)

hidup mencapai daimon danmemahami potensi-potensinya disebut dengan istilah eudaimonia (Waterman, 1993).

Norton (dalam Waterman 2007) mendeskripsikan eudaimonic

well-being sebagai kondisi saat seseorang ingin dan sedang melakukan

apa yang ingin dilakukannya, di mana hal tersebut memang layak untuk dilakukan.

Pada penelitian ini, eudaimonic well-being didefinisikan sebagai kepuasan dalam hidup seseorang saat melakukan aktivitas yang membuat potensi dirinya semakin berkembang dan membuatnya merasa memiliki hidup yang lebih bermakna.

b. Hedonic Well-Being

Hedonic merupakan konsep yang berasal daerah Yunani dan

dipelopori oleh para filsuf seperti Aristippus, Epicurus, Bentham, Locke, dan Hobbes (Waterman, 2008).

Istilah hedonic berarti well-being dengan kondisi emosi positif yang disertai dengan adanya kepuasan hasrat; pengalaman menyenangkan, tanpa beban, dan rasa senang yang dianggap juga merefleksikan well-being. Para filsuf meyakini bahwa manusia pada dasarnya ingin memenuhi diri mereka dengan pengalaman yang menyenangkan, dan berusaha memininimalkan rasa sakit. Kondisi

(37)

tersebut yang menentukan dan merasakan seberapa sejahteranya mereka (Diener, dalam Henderson & Knight 2012).

Hedonic well-being sering disamakan dengan istilah happiness

atau subjective well-being, karena yang menjadi fokus pada hedonic

well-being merupakan sensasi atau hal menyenangkan yang dialami

oleh seseorang. Subjective well-being terdiri dari 3 komponen, yaitu

life satisfaction (kepuasan dalam hidup), the presence of positive mood

(adanya suasana hati yang positif), dan ketiadaan suasana hati yang negatif (Diener & Lucas, dalam Ryan & Deci, 2001).

Pada penelitian ini, hedonic well-being yang dimaksudkan adalah kondisi emosi positif dan menyenangkan yang dialami seseorang saat melakukan aktivitas tertentu.

2. Motivasi Intrinsik dalam Konsep Well-Being

Bergerak dari perbedaan antara eudaimonic well-being dan hedonic

well-being, Waterman (2005) mengatakan bahwa konstruk motivasi

intrinsik merupakan konsep yang mempengaruhi kedua hal ini karena

enjoyment” terhadap aktivitas merupakan definisi operasional utama yang menyusun konsep motivasi intrinsik.

Interest, flow experiences, dan feelings of personal expressivenes

(38)

a. Interest

Interest merupakan bentuk ekspresi senang melakukan suatu

aktivitas (Sansone & Harackiewicz, dalam Waterman, 2005). Hal ini merupakan kecenderungan seseorang untuk lebih terlibat dalam suatu jenis aktivitas dibandingkan aktivitas yang lain (Krapp, Hidi, & Renninger dalam Waterman, 2005).

b. Flow experiences

Csikszentmihalyi (dalam Waterman, 2005) mengatakan bahwa

flow experiences merupakan kombinasi dari elemen-elemen

kognitif-afektif diantaranya (a) adanya tujuan yang jelas, (b) kesadaran akan perlunya masukan yang jelas, tepat sasaran, dan tidak ambigu terhadap hasil dari suatu aktivitas yang dilakukan, (c) kesatuan konsep aksi dan kesadaran, (d) pemusatan atensi terhadap stimulus yang terbatas yang berhubungan dengan kesadaran, (e) merasa memiliki kontrol terhadap aktivitas dan lingkungan, (f) tidak berfokus terhadap kegagalan, (g) tidak berpusat pada ego, dan (h) terjadinya perasaan distorsi waktu

c. Feelings of Personal Expressiveness

Istilah feelings of personal expressiveness dipakai oleh Waterman (1990) untuk mengacu pada pengalaman subjektif seseorang yang berhubungan dengan aktivitas yang dilakukannya,

(39)

dalam aktivitas yang mengekspresikan personal seseorang, individu akan mengalami:

(a) keterlibatan secara mendalam,

(b) kesesuaian dan kecocokan terhadap aktivitas,

(c) perasaan benar-benar hidup (intensely being alive),

(d) perasaan sempurna dan dipenuhkan (fulfillment),

(e) kesan bahwa sesuatu itu memang dimaksudkan untuk dilakukan, dan

(f) perasaan menjadi diri yang sesungguhnya.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Well-Being

Berikut ini merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi

well-being, baik hedonic well-being maupun eudaimonic well-being.

a. Jenis Kelamin

(40)

Walaupun secara matematis perbedaan tersebut kurang dari 1%, namun perbedaan dalam hal intensitas emosional mencapai 13%. Itu sebabnya, lebih banyak wanita yang berada pada tingkat ekstrem skala (Diener, Such, Lucas, & Smith, dalam Diener, 2008). Namun dalam penelitian yang dilakukan oleh Ryff (1989), terdapat perbedaan well-being yang signifikan, di mana wanita cenderung akan memiliki well-being yang lebih tinggi.

b. Usia

Penelitian yang dilakukan oleh Ryff (1989), menemukan adanya perbedaan tingkat well-being pada orang dari berbagai kelompok usia, sesuai dengan dimensi-dimensinya well-being yang dikemukakan oleh Ryff (1989).

c. Pernikahan, perceraian, dan hubungan Sosial

Jumlah atau kualitas hubungan sosial yang dimiliki seseorang berkorelasi secara signifikan terhadap well-being yang dimiliki seseorang. Pada umumnya, individu cenderung lebih bahagia saat mereka berada di antara teman dekat dan keluarga yang mendukung mereka, sedangkan orang-orang yang tidak memiliki teman dekat dan keluarga lebih cenderung tidak puas.

Well-being juga meningkat melalui adanya ikatan sosial seperti

(41)

kehidupan, dan mungkin diperlukan waktu yang cukup bagi orang untuk bangkit kembali dari dampak negatif yang dialaminya, seperti perceraian (Lucas, dalam Diener 2008).

d. Pendidikan

Tidak terdapat hubungan antara tingkat inteligensi seseorang yang diperoleh dari hasil tes IQ terhadap well-being secara umum,

namun emotional intelligence dihubungkan secara konsisten terhadap well-being (Furnham & Petrides; Schutte et al., dalam Diener 2008).

e. Pekerjaan

(42)

demands (yang dilihat dari work load (beban kerja) dan work

complexity (kompleksitas pekerjaan)) berhubungan dengan calling

seseorang, di mana semakin tinggi calling seseorang, makanya tingkat burn-out dalam bekerja juga akan semakin kecil.

f. Kepuasan diri personal, kehidupan agama atau spiritual, pembelajaran dan pertumbuhan, dan rekreasi

Bagi banyak orang ini adalah sumber kepuasan. Ketika kepuasan diri personal tidak tercapai, maka individu dapat mengalami frustrasi dan menjadi sumber kuat pemicu ketidakpuasan. Selain itu, ada hal-hal lain yang menjadi sumber kepuasan dan ketidakpuasan, seperti kesehatan, dan lain-lain sesuai dengan keunikan setiap individu (Ryff, 1989).

g. Tempramen dan Kepribadian

Sejumlah penelitian telah menunjukkan adanya peran temperamen dan kepribadian terhadap well-being. Penelitian membuktikan bahwa individu yang kembar identik menunjukkan kesamaan

well-being yang lebih besar dibandingkan dengan individu yang kembar

(43)

B. Calling Orientation

Sebelum membahas mengenai calling orientation dalam bekerja, terlebih dahulu akan dibahas mengenai pemaknaan dari pekerjaan itu sendiri. Menurut Pratt dan Ashfort (dalam Rosso 2010), pemaknaan bekerja adalah hasil pemaknaan terhadap sesuatu sebagaimana individu menginterpretasikan makna pekerjaannya, atau sumbangsih dari pekerjaannya dalam konteks kehidupannya (misalnya: pekerjaan adalah gaji, calling, sesuatu yang dilakukan, suatu paksaan).

Persepsi mengenai pemaknaan bekerja sangat ditentukan oleh masing-masing individu, meskipun hal tersebut juga dipengaruhi oleh lingkungan dan konteks sosial (Wrzesniewski dkk, 2003). Fakta bahwa suatu bagian dari pekerjaan memiliki arti tertentu bukan berarti langsung menentukan bahwa pekerjaan tersebut memiliki kebermaknaan pada seseorang. Kebermaknaan mengacu pada jumlah hal yang signifikan bagi seseorang (Pratt & Ashfort dalam Rosso, 2010). Jumlah persepsi atau perasaan signifikan terhadap sesuatu dapat sangat berbeda pada seseorang dengan individu lainnya. Kebermaknaan kerja cenderung diasosiasikan dengan hal yang signifikan memberi peranan positif bagi seseorang.

Orientasi kerja berfungsi untuk melihat bagaimana keyakinan individu bahwa pekerjaan mempengaruhi pemaknaan mereka dalam pekerjaannya (Bellah, Madsen, Sullivan, Swidler, & Tipton; Wrzesniewski, dalam Rosso 2010). Ada tiga orientasi individu dalam bekerja, yaitu bekerja dengan job orientation, bekerja dengan career

(44)

Salah satu hal yang mempengaruhi orientasi seseorang dalam bekerja menurut Dubin (dalam Rosso, 2008) adalah keyakinannya terhadap pekerjaan itu sendiri. Memenuhi calling berarti adanya keyakinan pribadi yang signifikan terhadap pekerjaannya (Elangovant dalam Hagmaier & Abele, 2012).

Individu yang bekerja dengan calling orientation adalah individu yang merasa ada panggilan yang harus dipenuhi pada pekerjaannya, menikmati dan memaknai pekerjaannya secara intrinsik, dan melihat pekerjaannya sebagai pusat identitasnya (Wrzesniewski, dalam Duffy 2013). Sedangkan menurut Wrzesniewski, McCauley, Rozin, & Schawrtz (1997), calling merupakan pekerjaan yang sangat memuaskan seseorang dan diyakini bisa membuat dunia menjadi tempat tinggal yang lebih baik. Berdasarkan pandangan tradisional, calling bermula dari konsep teologi Kristen. Menurut tradisi ini, individu ―dipanggil‖ oleh Tuhan untuk melakukan pekerjaan tertentu yang bertujuan untuk melayani Tuhan dan komunitasnya. Luther & Calvin menyatakan bahwa Tuhan akan menunjukkan calling atau panggilan bagi individu, baik melalui bakat kemampuan tertentu yang dimilikinya maupun keadaan lingkungannya (Wrzesniewski, Dekas, & Rosso, 2009). Calvin & Luther (dalam Hagmaier & Abele, 2012) juga mengatakan bahwa calling merupakan konsep religius saat Tuhan memanggil seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan yang sesuai dengan talenta dan keadaan lingkungannya.

(45)

bekerja saat merasa dirinya terlibat, termotivasi secara intrinsik, dan pekerjaan yang dilakukannya juga dirasakan berdampak positif bagi area-area lainnya. Konsep calling juga lebih berorientasi pada eksplorasi diri pemenuhan kebutuhan (Dobrow, 2006; Elangovan, Pinder, & McLean, 2006; dan Wrzesniewski, McCauley, Rozin, & Schwartz, 1997; dalam Wrzesniewski, Dekas, & Rosso, 2009).

Pandangan mengenai calling mungkin agak bergeser dari pandangan tradisional yang hanya ditemukan saat mengerjakan atau mencari jenis pekerjaan apapun yang diyakini seseorang dipanggil Tuhan untuk dikerjakan (Wrzesniewski, Dekas, & Rosso, Calling, 2009). Namun baik pada pandangan tradisional maupun pandangan modern, ada asumsi eksplisit bahwa calling berlaku untuk semua jenis pekerjaan, tidak bersifat khusus bagi pekerjaan yang dianggap orang lain layak (Wrzesniewski, Dekas, & Rosso, Calling, 2009).

Dik & Duffy (dalam Duffy & Dik, 2013) mengatakan bahwa

calling merupakan suatu spektrum yang bersifat kontinium, yang artinya

calling bukan berbicara mengenai ada atau tidak ada. Individu yang

(46)

memperoleh kesenangan dan kepuasan yang lebih besar dari pekerjaannya (Wrzesniewski A. , McCauley, Rozin, & Schawrtz, 1997).

Selain keuntungan yang diperoleh individu dalam bentuk kepuasan, bekerja dengan calling orientation memiliki harga yang harus dibayar. Individu akan mengalami perubahan perilaku, sikap dan emosional yang lebih besar yang ditunjukkan dengan kecenderungan untuk menghabiskan waktu yang lebih banyak di tempat kerja dan memiliki kecenderungan untuk mengabaikan area-area aktivitas kehidupan yang lain (Wrzesniewski A. , McCauley, Rozin, & Schawrtz, 1997).

Pada penelitian ini, individu yang memiliki calling orientation

didefinisikan sebagai individu yang menikmati pekerjaannya karena pekerjaan tersebut dapat meningkatkan potensi yang dimilikinya, memiliki kontribusi yang penting untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik, serta sesuai dengan nilai-nilai pribadi yang dimilikinya sehingga pekerjaan tersebut melekat dalam dirinya sebagai identitas pribadinya.

1. Dimensi Calling Orientation

Menurut Hagmaier dan Abele (2012), ada beberapa dimensi yang terdapat dalam calling orientation, diantaranya:

a. Trancendent Guiding Force

(47)

b. Person-Environment-Fit

Kondisi di mana terjadi kesesuaian kemampuan, bakat, dan kualifikasi seseorang dengan pekerjaan yang dilakukannya.

c. Sense and Meaning-Value Driven Behavior

Mengacu pada nilai-nilai moral dan etis yang mempengaruhi hal-hal yang berhubungan dengan perilaku, seperti kejujuran, keadilan, dan sebagainya serta bagaimana pemaknaan seseorang terhadap pekerjaannya.

2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Calling Orientation

Berikut ini merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat

calling orientation seseorang dalam bekerja menurut Longman (2011):

a. Pengaruh Teologis atau “Keimanan”

(48)

b. Kondisi Keluarga atau Relasi dalam “Keluarga”

Dukungan atau penolakan keluarga atau orang-orang yang dipersepsikan individu sebagai keluarga (kerabat atau teman) akan mempengaruhi calling orientation karena akan menentukan sense

of self dan kesempatan-kesempatan yang bisa diambil seseorang.

c. Kondisi Lingkungan

Aspek-aspek dalam lingkungan (kondisi ekonomi, lokasi geografis, komunitas lokal, gereja, teman sebaya, lingkungan kerja, dan lain-lain) akan mempengaruhi apakah seseorang bisa untuk bisa memaksimalkan calling yang dimilikinya.

d. Budaya

Keyakinan bersama dan ritual-ritual dalam kebudayaan akan mempengaruhi semua aspek dalam kehidupan (misalnya warisan kebudayaan).

3. Cara Menaikkan Calling Orientation

Sesuai dengan konsep yang dikemukakan oleh Dik & Duffy (dalam Duffy & Dik, 2013) bahwa calling merupakan suatu spektrum yang bersifat kontinum, artinya calling bisa mengalami kondisi naik dan turu. Berikut ini beberapa cara untuk menaikkan level calling seseorang, dinantaranya adalah:

a. Behavioral Involvement (Keterlibatan Perilaku)

(49)

meningkatkan calling-nya akan meningkatkan calling seseorang. Penelitian menunjukkan bahwa musisi yang berada dalam sekolah musik memiliki calling yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak.

b. Social Encouragements (Dorongan Sosial)

Orang yang mendapatkan dukungan sosial dari sekelilingnya, seperti orangtua, guru, teman atau significant person yang lain akan memiliki tingkat calling yang lebih tinggi (Dobrow, 2013).

C. Pemimpin Kelompok Kecil

1. Definisi Pemimpin Kelompok Kecil

Pemimpin dalam konteks Kekristenan berbeda dengan pemahaman kita sehari-hari. Kita sering mengasosiasikan bahwa seorang pemimpin adalah orang-orang yang duduk di bangku pemerintahan atau orang yang mengepalai suatu perusahaan, atau mereka yang memiliki jabatan tertinggi dalam suatu institusi (Sendjaya, 2012). Pemimpin dianggap sebagai orang yang menggunakan kedudukan untuk melindungi diri sendiri, memperoleh status pribadi dan kekuasaan orang lain (Barker, 2000). Sebaliknya, orang Kristen berbicara tentang pemimpin yang menjadi hamba (Barker, 2000). Kepemimpinan tidak identik dengan posisi. Kepemimpinan adalah sebuah fungsi (Sendjaya, 2012).

(50)

kelompok kecil adalah setiap tindakan yang dilakukan untuk menolong kelompok mencapai tujuannya dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan para anggota (Barker, 2010). Dalam kelompok kecil, pemimpin melayani kelompok dengan cara mengajukan usul-usul untuk perjanjian kelompok, mengambil inisiatif untuk mengadakan aktivitas agar anggota kelompok mengenal satu sama lain, memberikan dorongan kepada anggota kelompok untuk memimpin dan menggunakan kemampuan mereka dengan cara memberikan kesempatan untuk melayani kelompoknya dengan menyanyi, memimpin Pemahaman Alkitab, dsb, serta menentukan harapan-harapan kelompok (Barker, 2010).

2. Peran Seorang Pemimpin Kelompok Kecil

Barker (2000), dalam bukunya yang berjudul Buku Pegangan

Pemimpin Kelompok Kecil mengatakan bahwa pemimpin kelompok kecil

memiliki peran-peran sebagai berikut: a. Peranan dalam Kepemimpinan

(51)

Kedua, kebutuhan akan adanya tugas. Kelompok dapat melakukan penggalian terhadap Alkitab, melakukan pekabaran Injil, menolong satu dengan yang lain, dan sebagainya. Setiap kegiatan tersebut dilakukan secara bergantian sesuai kebutuhan dan agar anggota kelompok tidak merasa bosan. Setiap anggota perlu mengetahui apa yang menjadi tugasnya.

Ketiga, kebutuhan akan pemeliharaan kelompok. Tidak hanya kebutuhan pribadi anggota kelompok yang harus diperhatikan, tetapi kebutuhan kelompok juga. Ada saat untuk bersenang-senang, ada saat untuk menghadapi konflik, dan ada saat untuk mengevaluasi kelompok

i. Peranan Pemimpin dalam Tugas 1) Pemberi informasi dan opini 2) Pencari informasi dan opini

3) Pemrakarsa kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh kelompok

4) Pengarah yang memusatkan perhatian kelompok terhadap pekerjaan yang harus dilakukan dan cara menyelesaikannya

5) Pembuat ringkasan hal-hal pokok yang telah dibicarakan dalam diskusi kelompok

(52)

7) Pembuat diagnosa yang menganalisa masalah-masalah yang dihadapi kelompok dalam menjalankan suatu tugas untuk mencapai tujuan

8) Pemberi semangat

9) Penguji yang merangsang kelompok untuk memikirkan manfaat dan kemungkinan lain dari usulan-usulan yang telah diberikan anggota kelompok

10)Penilai yang memperkirakan seberapa jauh kelompok telah berhasil mencapai tujuannya

ii. Peranan Pemimpin dalam Pemeliharaan Kelompok 1) Pendorong partisipasi anggota

2) Pencipta keharmonisan dan kesepakatan 3) Mengurangi ketegangan

4) Penolong dalam komunikasi 5) Penilai keadaan emosi 6) Pengamat proses 7) Penentu standar 8) Pendengar yang aktif 9) Pembangun kepercayaan

10)Menyelesaikan masalah atau konflik antar pribadi

D. Dinamika Calling Orientation Terhadap Well-Being pada PKK

(53)

pengalaman langsung dari aktivitas yang dilakukan (Waterman, 2007). Waterman (1993) membedakan well-being menjadi dua, yaitu eudaimonic

well-being dan hedonic well-being. Eudaimonic well-being didefinisikan

sebagai kepuasan dalam hidup seseorang saat melakukan aktivitas yang membuat potensi dirinya semakin berkembang dan membuatnya merasa memiliki hidup yang lebih bermakna. Sementara itu, hedonic well-being

merupakan kondisi emosi positif dan menyenangkan yang dialami seseorang saat melakukan aktivitas tertentu, terlepas dari apakah aktivitas tersebut berhubungan dengan pengembangan potensi dirinya atau tidak.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi well-being seseorang, diantaranya jenis kelamin (Diener, Such, Lucas, & Smith dalam Diener, 2008); Ryff (1989); & Jaramillo (2011), usia (Ryff, 1989); hubungan sosial (Helliwell, Barrington-Leigh, Harris & Huang, dalam Diener, 2008), pendidikan (Furnham & Petrides; Schutte dan koleganya, dalam Diener 2008), kepuasan diri personal (Ryff, 1989), tempramen atau kepribadian (Diener, Lucas, & Fujita, dalam Diener & Ryan, 2009), dan pekerjaan (Wrzesniewski, dalam Diener, 2009); Boyd (2010).

Penelitian yang dilakukan oleh Ryff (1989) pada sampel orang dewasa dengan berbagai latar belakang untuk melihat tingkat well-being

mereka, menunjukkan adanya perbedaan well-being jika ditinjau dari jenis kelamin.

(54)

dewasa madya dan dewasa akhir, memiliki tingkat well-being yang lebih tinggi dibandingkan dengan dewasa muda.

Pekerjaan merupakan faktor yang mempengaruhi well-being

seseorang. Penelitian yang dilakukan oleh Bowling & Hammond (dalam Jaramillo, 2011) menunjukkan bahwa kepuasan seseorang terhadap pekerjaannya mempengaruhi well-being seseorang. Lebih lanjut, Kwok dan koleganya mengatakan bahwa motivasi pekerja voluntir berhubungan dengan well-being seseorang (Kwok, Chui, & Wong, 2013), di mana semakin tingggi motivasinya, maka well-being-nya juga akan semakin tinggi. Seniati (2006) mengatakan bahwa kepuasan kerja seseorang (yang merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi well-being) juga dipengaruhi oleh masa bekerja seseorang. Wrzesniewski (dalam Diener, 2009) mengatakan bahwa orang yang memiliki well-being yang lebih tinggi dalam pekerjaannya adalah orang yang bekerja karena calling

orienation. Saat seseorang bekerja karena calling orientation, tidak

berpengaruh apakah pekerjaan tersebut dibayar ataupun tidak dibayar, dia akan cenderung memiliki kepuasan hidup dan memiliki well-being yang lebih tinggi.

(55)

dimanifestaskan dalam bentuk kegiatan-kegiatan rohani yang didalamnya tercakup berdoa, penyembahan, dan meditasi (Glock & Starck, dalam Nelson, 2009). Pada penelitian ini, kegiatan rohani yang difokuskan adalah yang dilakukan di kampus dalam bentuk Kelompok Kecil. Forsyth, (dalam Aamodt, 2007) mengatakan bahwa kelompok kecil terdiri dari 4-20 orang. Pada penelitian ini, Kelompok Kecil diwadahi oleh suatu organisasi Kristen dalam kampus yang didalamnya terdiri dari Anggota Kelompok Kecil dan Pemimpin Kelompok Kecil. Seorang Pemimpin Kelompok Kecil adalah orang yang bertanggungjawab untuk mengarahkan dan membina Anggota Kelompok Kecil (AKK) yang dipimpinnya yaitu dengan memperlengkapi, memampukan, dan memperkuat orang yang dipimpinnya (Whallon, dalam Our Heritage, 2006). Gosling, Marturano, dan Dennison (2003) menyebut kepempinan yang seperti ini sebagai kepemimpinan yang melayani (servant leadership). PKK merupakan pekerjaan yang dilakukan secara sukarela tanpa mendapatkan uang maupun adanya peningkatan karir, sehingga jika ditinjau dari tiga orientasi kerja yang dikemukakan oleh Wrzesniewski (dalam Diener, 2008), pekerjaan yang dilakukan oleh PKK adalah karena calling orientation

yaitu orang yang bekerja karena panggilan jiwa.

(56)

karena calling berarti individu tersebut menikmati pekerjaannya karena pekerjaan tersebut dapat meningkatkan potensi yang dimilikinya, memiliki kontribusi yang penting untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik, serta sesuai dengan nilai-nilai pribadi yang dimilikinya sehingga pekerjaan tersebut melekat dalam dirinya sebagai identitas pribadinya.

Semakin tinggi calling seseorang dalam bekerja, maka

well-being-nya juga akan semakin tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Boyd (2010), bahwa burn-out karena job demands (yang dilihat dari work load (beban kerja) dan work complexity (kompleksitas pekerjaan) berhubungan dengan calling seseorang, di mana semakin tinggi

calling seseorang, maka tingkat burn-out dalam bekerja juga akan semakin

kecil, dan kepuasan kerjanya akan cenderung lebih besar. Kepuasan kerja merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi well-being seseorang (Kwok, Chui, & Wong, 2013).

(57)

E. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

a. Ho: Tidak ada pengaruh calling orientation terhadap eudaimonic

well-being pada PKK di UKM KMK USU.

b. Ho: Tidak ada pengaruh calling orientation terhadap hedonic

well-being pada PKK di UKM KMK USU.

c. Ha : Ada pengaruh calling orientation terhadap eudaimonic

well-being pada PKK di UKM KMK USU.

d. Ha : Ada pengaruhcalling orientation terhadap hedonic well-being

(58)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif pengaruh yang bertujuan untuk melihat pengaruh tinggi rendahnya calling orientation PKK terhadap tinggi rendahnya well-being yang dimilikinya.

A. Identifikasi Variabel

Dalam penelitian ini ada dua variabel yang akan diuji yaitu variabel bebas dan variabel tergantung. Variabel-variabel yang akan diukur adalah sebagai berikut:

a. Variabel Tergantung (DV) : Well-being

b. Variabel Bebas (IV) : Calling orientation dalam bekerja

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian 1. Well-Being

Well-being dalam penelitian ini dibagi menjadi dua bagian,

yaitu eudaimonic well-being dan hedonic well-being. Eudaimonic

well-being diartikan sebagai suatu kondisi subjektif saat individu

Gambar

Tabel 3.1. Blue Print PEAQ-S
Tabel 3.2. Blue Print MCM (Multidimensionality Calling Scale)
Tabel 4.2 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia
Tabel 4.4 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jumlah
+7

Referensi

Dokumen terkait

(2011) melaporkan kepatutan sosial merupakan prediktor kuat dari subjective well-being , karena seseorang akan mendapatkan kepuasan hidup dan mempunyai emosi positif tinggi