• Tidak ada hasil yang ditemukan

THE CHARACTERISTICS OF TEACHER TALK IN LEARNING ACTIVITY AT GLOBAL SURYA KINDERGARTEEN BANDARLAMPUNG KARAKTERISTIK BAHASA GURU DALAM KEGIATAN PEMBELAJARAN DI TAMAN KANAK-KANAK GLOBAL SURYA BANDARLAMPUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "THE CHARACTERISTICS OF TEACHER TALK IN LEARNING ACTIVITY AT GLOBAL SURYA KINDERGARTEEN BANDARLAMPUNG KARAKTERISTIK BAHASA GURU DALAM KEGIATAN PEMBELAJARAN DI TAMAN KANAK-KANAK GLOBAL SURYA BANDARLAMPUNG"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

THE CHARACTERISTICS OF TEACHER TALK IN LEARNING ACTIVITY AT GLOBAL SURYA KINDERGARTEEN

BANDARLAMPUNG

By

Shely Nasya Putri

The problem discucced in this study is characteristics of teacher talk in learning activity at Global Surya Kindergarteen. The study aims at describing the characteristics of teacher talk such as repetition, simplification, interrogative sentence, code mixing, and code switching. The method used in this study is qualitative descriptive method.

The source of data in this study are two teachers of Global Surya Kindergarteen, one of them is teacher of Kindergarteen A and the other one of them is teacher of Kindergarteen B. The data in this study was verbal data, in from of recorded teacher speeches in learning activity that was transcripted and made into data corpus. The amount of teacher speeches that become study data consist of 177 speeches of Kindergarteen A teacher and 174 speeches of Kindergarteen B teacher.

The result shows that the characteristics of teacher talk exist in teacher speech during learning activity. Repetition can be found in the speech of Kindergarteen A teacher when explaining, asking, and ordering, in the Kindergarteen B teacher when explaining, asking, ordering, and confirming. Simplification can be found in the speech of Kindergarteen A teacher when asking and ordering, in the Kindergarteen B teacher when explaining, asking, and ordering. Interrogative sentence can be found in the speech of Kindergarteen A teacher when explaining, asking, and ordering, in the Kindergarteen B teacher when explaining, asking, ordering, and confirming. Code mixing can be found in the speech of Kindergarteen A teacher when explaining, asking, and ordering, in the Kindergarteen B teacher when explaining, asking, ordering, and confirming. Code switching can be found in the speech of Kindergarteen A teacher when explaining, asking, ordering, and confirming, in the Kindergarteen B teacher when explaining, asking, and ordering.

(2)

ABSTRAK

KARAKTERISTIK BAHASA GURU DALAM KEGIATAN PEMBELAJARAN DI TAMAN KANAK-KANAK GLOBAL SURYA

BANDARLAMPUNG

Oleh Shely Nasya Putri

Masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah karakteristik bahasa guru dalam kegiatan pembelajaran di TK Global Surya. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik bahasa guru yang berupa repetisi, penyederhanaan, kalimat tanya, campur kode, dan alih kode. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif.

Sumber data dalam penelitian ini adalah dua orang guru TK Global Surya, yaitu satu guru dari TK A dan satu guru dari TK B. Data dalam penelitian ini berupa data verbal, yaitu rekaman tuturan guru dalam kegiatan pembelajaran yang ditranskripsikan kemudian dibuat dalam korpus data. Jumlah tuturan guru yang menjadi data penelitian terdiri dari 177 tuturan guru TK A dan 174 tuturan guru TK B.

Hasil penelitian menujukkan adanya karakteristik bahasa guru pada tuturan guru saat kegiatan pembelajaran. Repetisi terdapat dalam tuturan guru TK A saat menjelaskan, bertanya, dan memerintah, sedangkan pada guru TK B saat menjelaskan, bertanya, memerintah, dan menguatkan. Penyederhanaan terdapat dalam tuturan guru TK A saat bertanya dan memerintah, sedangkan pada guru TK B saat menjelaskan, bertanya, dan memerintah. Kalimat tanya terdapat dalam tuturan guru TK A saat menjelaskan, bertanya, dan memerintah, sedangkan pada guru TK B saat menjelaskan, bertanya, memerintah, dan menguatkan. Campur kode terdapat dalam tuturan guru TK A saat menjelaskan, bertanya, dan memerintah, sedangkan pada guru TK B saat menjelaskan, bertanya, memerintah, dan menguatkan. Alih kode terdapat dalam tuturan guru TK A saat menjelaskan, bertanya, memerintah, dan menguatkan, sedangkan dalam tuturan guru TK B dalam kegiatan menjelaskan, bertanya, dan memerintah.

(3)

KARAKTERISTIK BAHASA GURU DALAM KEGIATAN PEMBELAJARAN DI TAMAN KANAK-KANAK GLOBAL SURYA

BANDARLAMPUNG

Oleh

SHELY NASYA PUTRI

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar

MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA Pada

Program Studi Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung

PROGRAM PASCASARJANA

MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDARLAMPUNG

(4)

RIWAYAT HIDUP

Sekolah Dasar Negeri 3 Srikencono Kecamatan Bumi Nabung, Kabupaten

Lampung Tengah diselesaikan pada tahun 2001, Sekolah Lanjutan Tingkat

Pertama Negeri 1 Rumbia, Kabupaten Lampung Tengah diselesaikan pada tahun

2004, dan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Rumbia, Kabupaten Lampung

Tengah diselesaikan pada tahun 2007.

Tahun 2007, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Bahasa dan

Sastra Indonesia dan Daerah, Jurusan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan (FKIP) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

(SPMB). Tahun 2012, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi

Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Bahasa dan Seni,

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lampung, dan selesai Mei

2014.

Penulis dilahirkan di Wonosari, Yogyakarta pada tanggal 7

November 1989 sebagai anak tunggal dari Nasya dan Siti

Khotimah. Pendidikan yang ditempuh penulis adalah Taman

Kanak-Kanak Al-Mutarom Kecamatan Bumi Nabung,

(5)

MOTO

Allah tidak mewajibkan orang-orang bodoh untuk menuntut ilmu kecuali terlebih dahulu mewajibkan orang-orang

yang berilmu untuk mengajar. (Ali Bin Abi Thalib)

Seseorang berhenti belajar itu tua, baik dia berumur 20 ataupun 80.

(6)
(7)

PERSEMBAHAN

Dengan penuh rasa syukur kepada Allah SWT, penulis mempersembahkan buah

karya ini kepada:

1. bapak dan ibuku tercinta yang tulus mencurahkan kasih dan sayang tanpa

mengenal batas waktu dalam mendoakan, membesarkan, mendidik dan

memotivasi penulis;

2. bapak dan ibu dosen yang telah memberikan ilmu bermanfaat kepada penulis;

(8)

SANWACANA

Puji syukur atas berkat, rahmat, dan karunia Allah Swt sehingga penulis dapat

menyelesaikan tesis yang berjudul Karakteristik Bahasa Guru dalam Kegiatan

Pembelajaran di TK Global Surya Bandarlampung. Penulis dalam menyelesaikan

tesis ini banyak menerima bantuan dan bimbingan yang sangat berharga dari

berbagai pihak, oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang tak

terhingga kepada pihak-pihak berikut ini.

1. Prof. Dr. Sugeng Hariyanto, M.S., selaku rektor Universitas Lampung.

2. Dr. Bujang Rahman, M.Si. selaku dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Lampung.

3. Prof. Dr. Sudjarwo, M.S., selaku direktur pascasarjana Universitas Lampung;

4. Dr. H. Muhammad Fuad, M.Hum., selaku ketua ketua jurusan Pendidikan

Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas

Lampung.

5. Dr. Nurlaksana Eko Rusminto, M.Pd., selaku pembimbing kedua dan ketua

Program Studi Pascasarjana Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan

dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lampung, yang dengan sabar memberikan

motivasi, bimbingan, saran, dan kritik dalam penyelesaian tesis ini.

6. Dr. Mulyanto Widodo, M.Pd., selaku pembimbing utama yang telah

memberikan motivasi, bimbingan, saran, dan kritik dalam penyelesaian tesis

(9)

7. Dr. Siti Samhati, M.Pd., selaku pembahas pada seminar proposal dan hasil,

yang telah memberikan nasihat, saran-saran, dan kritik dalam penyelesaian

tesis ini.

8. Dr. Edi Suyanto, M.Pd., selaku penguji utama pada ujian komprehensif, yang

telah memberikan saran dan kritik dalam penyelesaian tesis ini.

9. Bapak dan Ibu dosen Program Pascasarjana Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan, Universitas Lampung.

10. Orang tuaku tercinta (Nasya dan Siti Khotimah) yang tak kenal lelah

mendoakan, mendidik, memotivasi, dan menanti keberhasilan yang semoga

dapat segera ananda wujudkan.

11. Kekasihku (Rio Allen Wicaksi) yang selalu membantu, mendukung, dan

memotivasiku untuk menjadi lebih baik.

12. Rekan-rekan seperjuanganku, mahasiswa Program Studi Magister

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Lampung angkatan 2012 yang telah memberikan

bantuan dan dukungan sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan dengan

baik.

13. Kepala sekolah TK Global Surya Bandarlampung, Ibu Siti Khanifah, S.Pd.I

dan dewan guru serta karyawan (Ibu Sari, Ibu Heni, Ibu Dewi, Ibu Yeni, Ibu

Ceria, Ibu Febri, dan Ibu Reza) terima kasih untuk bantuan dan

dukungannya.

14. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu namanya yag ikut

(10)

Semoga bantuan dan amal baik yang mereka berikan kepada penulis akan

memperoleh balasan yang melimpah dari Allah Swt. Penulis berharap semoga

tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bandar Lampung, Mei 2014

Penulis,

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... ii

HALAMAN JUDUL... iv

HALAMAN PENGESAHAN... v

LEMBAR PERNYATAAN... vi

RIWAYAT HIDUP... vii

MOTO... viii

PERSEMBAHAN... ix

SANWACANA... x

DAFTAR ISI... xiii

DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR SINGKATAN... xv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 6

II. LANDASAN TEORI ... 7

2.1 Hakikat Bahasa ... 7

2.2 Fungsi Bahasa ... 9

2.3 Variasi Bahasa ... 11

2.4 Bahasa Guru ... 16

2.4.1 Pengertian Bahasa Guru ... 16

2.4.2 Jenis Karakteristik Bahasa Guru ... 19

2.4.2.1 Pengulangan atau Repetisi ... 20

2.4.2.2 Penyederhanaan... 23

2.4.2.3 Kalimat tanya ... 24

2.4.2.4 Alih Kode dan Campur Kode ... 25

(12)

2.5.1 Menjelaskan ... 28

2.5.2 Bertanya ... 28

2.5.3 Memerintah ... 30

2.5.4 Menguatkan... 31

2.6 Pembelajaran Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)... 32

III.METODE PENELITIAN ... 38

3.1 Rancangan Penelitian ... 38

3.2 Sumber Data ... 38

3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 38

3.4 Teknik Analisis Data ... 39

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN... 47

4.1 Pengantar ... 47

4.2 Hasil Penelitian ... 47

4.2.1 Karakteristik Bahasa Guru TKA ... 48

4.2.2 Karakteristik Bahasa Guru TK B ... 53

4.3 Pembahasan Penelitian ... 59

4.3.1.Repetisi ... 59

4.3.1.1 Menjelaskan ... 60

4.3.1.2 Bertanya ... 65

4.3.1.3 Memerintah ... 71

4.3.1.4 Menguatkan... 77

4.3.2 Penyederhanaan... 79

4.3.2.1 Menjelaskan ... 79

4.3.2.2 Bertanya ... 81

4.3.2.3 Memerintah ... 85

4.3.2.4 Menguatkan... 90

4.3.3 Kalimat Tanya ... 90

4.3.3.1 Menjelaskan ... 91

4.3.3.2 Bertanya ... 95

4.3.3.3 Memerintah ... 102

4.3.3.4 Menguatkan... 106

4.3.4 Campur Kode ... 107

4.3.4.1 Menjelaskan ... 108

(13)

4.3.4.3 Memerintah ... 116

4.3.4.4 Menguatkan... 119

4.3.5 Alih Kode ... 120

4.3.5.1 Menjelaskan ... 121

4.3.5.2 Bertanya ... 125

4.3.5.3 Memerintah ... 131

4.3.5.4 Menguatkan... 135

V. SIMPULAN DAN SARAN... 137

5.1 Simpulan ... 137

5.2 Saran ... 139

DAFTAR PUSTAKA.... ... 140

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Tabel 1 Karakteristik Bahasa Guru dalam Kegiatan

Pembelajaran di TK A... 51

2. Tabel 2 Karakteristik Bahasa Guru dalam Kegiatan

(15)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Bahasa adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia, yakni

sebagai alat komunikasi antarindividu dalam kehidupan bermasyarakat. Manusia

dapat berinteraksi, berkomunikasi, dan mengembangkan dirinya dengan bahasa

(Pamungkas, 2012: 19). Hal tersebut menunjukkan bahwa bahasa memang

memegang peranan yang luar biasa dalam kehidupan manusia.

Bahasa Indonesia memiliki peran yang penting untuk masyarakat Indonesia. Hal

tersebut dibuktikan dengan dipakainya bahasa Indonesia dalam berbagi aspek

kehidupan masyarakat Indonesia, baik dalam kegiatan formal maupun informal.

Salah satunya dalam dunia pendidikan, bahasa Indonesia dipakai sebagai bahasa

pengantar dalam dunia pendidikan, sesuai dengan yang tertera dalam

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 pada bab VII pasal 33 ayat 1,

yaitu “bahasa pengantar dalam pendidikan nasional adalah bahasa Indonesia”,

ayat 2, yaitu “bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam

tahap awal pendidikan dan sejauh diperlukan dalam penyampaian pengetahuan

(16)

sebagai bahasa pengantar pada satuan pendidikan tertentu untuk mendukung

kemampuan berbahasa asing peserta didik”. Hal tersebut menunjukkan bahwa

dalam kegiatan pembelajaran di sekolah, bahasa menjadi dasar berlangsungnya

proses tersebut.

Berdasarkan uraian tersebut, sudah sangat jelas bahwa bahasa merupakan sesuatu

yang wajib digunakan dalam pembelajaran. Pembelajaran di sini merupakan inti

dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan guru sebagai pemegang

peranan utama. Guru merupakan profesi yang memerlukan keahlian khusus

(Usman, 2011: 5). Pekerjaan ini tidak bisa dilakukan oleh orang yang tidak

memiliki keahlian di bidang keguruan. Hal ini mengingat bahwa mengajar

merupakan suatu perbuatan yang memerlukan tanggung jawab moral yang cukup

berat. Berhasil tidaknya pembelajaran bergantung pada pertanggungjawaban dan

kemampuan guru dalam melaksanakan tugasnya. Oleh sebab itu, untuk menjadi

seorang guru yang profesional diperlukan syarat-syarat khusus, salah satunya

adalah kemampuan berkomunikasi yang baik di kelas.

Berkaitan dengan bahasa yang digunakan guru dalam kegiatan pembelajaran, guru

memiliki ciri khasnya tersendiri. Karakteristik bahasa yang digunakan guru TK

dipengaruhi oleh mitra tuturnya, yakni siswa. Guru harus mengetahui latar

belakang kebahasaan siswanya. Hal tersebut untuk mempermudah guru dalam

menyampaikan materi pembelajaran (Iskandarwassid, 2009:109). Selain itu, usia

siswa serta kemampuan berbahasa siswa TK masih rendah, menuntut guru agar

menyesuaikan diri dengan kemampuan berbahasa siswa. Guru harus

(17)

kegiatan komunikasi serta pelajaran yang diberikan oleh guru dapat diterima

dengan baik oleh siswa. Demi terciptanya hal tersebut, guru harus melakukan

beberapa modifikasi dalam hal penggunaan bahasa, yakni dari segi diksi, struktur

kalimat, dan variasi bahasa. Berikut ini adalah contoh bahasa yang dipakai guru

dalam pembelajaran di TK.

Guru :“Agar sehat kita harus mencuci tangan. Mencuci tangan sebelum ma...”

Siswa : “maem” Guru : “maem?” Siswa : “Iya, Bu”.

Guru : “Makan. Apa Nak?” Siswa : “Makan”.

Guru : Iya, pintar sekali. Sebelum makan kita harus cuci tangan.

Bahasa guru dalam percakapan di atas menunjukkan bahwa guru melakukan

modifikasi bahasa yakni dengan melakukan pengulangan, yakni pada kata

“maem” dan kata “makan”. Selain itu, guru juga melakukan modifikasi dengan

memanfaatkan sinonim. Anak-anak lebih akrab dengan kata “maem” dari pada

“makan”. Kedua kata tersebut memiliki makna yang sama, hanya kata “maem”

merupakan bahasa anak-anak, sedangkan kata “makan” adalah bahasa Indonesia.

Guru memilih kata “makan” dengan tujuan agar anak mulai terbiasa

menggunakan kata tersebut dalam komunikasi dengan menggunakan bahasa

Indonesia. Modifikasi dengan pengulangan dan sinonim tersebut dilakukan oleh

guru agar siswa dapat mengerti dan memahami apa yang disampaikan oleh guru.

Berdasarkan peristiwa tutur tersebut, terlihat bahwa tuturan tersebut termasuk

dalam kegiatan menjelaskan yang dilakukan oleh guru. Isi penjelasan tersebut

(18)

Berdasarkan penjelasan tersebut, guru berharap siswa menjadi mengerti manfaat

mencuci tangan.

Berdasarkan uraian di atas, penggunaan bahasa pada guru TK tidak hanya

berfungsi sebagai alat untuk menyampaikan pesan, tetapi juga berkaitan dengan

pemerolehan bahasa kedua yang dialami oleh anak. Selain dipakai untuk

berkomunikasi dengan siswa, bahasa guru juga berperan dalam perkembangan

kemampuan bahasa siswa. Hal ini mengingat bahwa guru TK juga memiliki peran

terhadap perkembangan sikap dan kemampuan serta pengetahuan dan

keterampilan dasar yang diperlukan oleh siswa untuk hidup dalam masyarakat.

Apabila saat menempuh pendidikan prasekolah anak mendapatkan banyak

manfaat dan mempunyai banyak kesempatan mengembangkan keterampilannya,

maka anak lebih siap untuk menghadapi lingkungannya dan siap dalam mengikuti

pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi. Dengan kata lain, bahasa guru

merupakan kunci terselenggaranya keberhasilan sebuah pembelajaran terutama di

TK.

Berkaitan dengan bahasa yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran di TK

Global Surya, selain bahasa Indonesia, bahasa asing, yaitu bahasa Inggris juga

digunakan dalam kegiatan pembelajaran. Tujuan penggunaan bahasa Inggris di

TK Global Surya adalah agar siswa memiliki kemampuan bahasa asing sejak

berada di TK. Hal ini sesuai dengan salah satu misi TK Global Surya, yaitu

mengantarkan anak didik agar memiliki kemampuan berbahasa internasional dan

(19)

Peneliti memilih TK Global Surya sebagai tempat penelitian karena TK tersebut

merupakan salah satu TK terbaik di Bandarlampung yang memiliki akreditasi A.

Akreditasi tersebut dikeluarkan oleh Badan Akreditasi Nasional Sekolah/

Madrasah (BANSM) berdasarkan beberapa aspek penilaian akreditasi, meliputi

standard isi, proses, dan penilaian, standard tingkat pencapaian perkembangan,

standard pendidik dan tenaga kependidikan, dan standard sarana dan prasarana,

serta pengelolaan dan pembiayaan di TK Global Surya. Selain itu, TK Global

Surya merupakan TK yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa

pengantar dalam kegiatan pembelajaran, sehingga hal tersebut sudah

menunjukkan bahwa bahasa guru TK Global Surya memiliki karakteristik

tersendiri.

Berdasarkan alasan-alasan yang telah dikemukakan tersebut, peneliti merasa perlu

melakukan penelitian mengenai karakteristik bahasa guru yang dipakai dalam

kegiatan pembelajaran di TK Global Surya. Karakteristik bahasa guru yang

dimaksud dalam penelitian ini meliputi repetisi, penyederhanaan, kalimat tanya,

campur kode, dan alih kode.

Berkenaan dengan penelitian ini, sebelumnya telah ada penelitian yang berkaitan

dengan karakteristik bahasa guru. Penelitian tersebut dilakukan oleh mahasiswa

Universitas Negeri Malang bernama Vieta Karina dengan judul “Karakteristik

Bahasa Guru Taman Kanak-Kanak Kusuma Mulia II Jagalan, Kediri”. Pada

penelitian tersebut ruang lingkup pembahasan dibatasi pada kebakuan kata,

struktur kalimat, dan diksi yang dipakai oleh guru, sedangkan pada penelitian ini

(20)

(repetisi), penyederhanaan, kalimat tanya, campur kode, serta alih kode yang

terjadi selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Hal ini bertujuan agar analisis

mengenai karakteristik bahasa guru dapat dideskripsikan secara lebih rinci. Selain

itu, subjek dalam penelitian ini juga berbeda dengan penelitian sebelumnya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut. Bagaimanakah karakteristik bahasa guru dalam kegiatan

pembelajaran di Taman Kanak-Kanak Global Surya?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik bahasa guru dalam

kegiatan pembelajaran di Taman Kanak-Kanak Global Surya.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoretis

a. Mendukung teori di bidang kebahasaan, khususnya mengenai karakteristik

bahasa guru TK dalam kegiatan pembelajaran.

b. Memperkaya hasil penelitian yang berkaitan dengan karakteristik bahasa guru

dalam kegiatan pembelajaran.

(21)

a. Informasi dan masukan khususnya bagi para guru TK mengenai karakteristik

bahasa guru TK dalam kegiatan pembelajaran.

b. Memberikan kontribusi pengetahuan bagi para praktisi dan tenaga pendidik

khususnya dalam keterampilan komunikasi dalam kegiatan pembelajaran.

c. Referensi bagi penelitian di bidang kajian yang sama.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah sebagai berikut

a. Subjek penelitian ini adalah guru Taman Kanak-Kanak Global Surya.

(22)
(23)

II. LANDASAN TEORI

2.1 Hakikat Bahasa

Bahasa adalah sebuah sistem simbol lisan yang arbitrer yang dipakai oleh anggota

suatu masyarakat bahasa untuk berkomunikasi dan berinteraksi antar sesamanya,

berlandaskan pada budaya yang mereka miliki bersama (Djardjowidjojo, 2008:

10). Sejalan dengan pendapat tersebut Chaer dan Leonie (2010: 15) menyatakan

bahwa bahasa adalah sebuah sistem, artinya, bahasa itu dibentuk oleh sejumlah

komponen yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan. Bloch dan Trater

menyatakan bahwa aspek terpenting dalam bahasa adalah sistem, lambang, vokal,

dan arbitrer (Lubis, 1994: 1).

Bahasa merupakan sebuah sistem yang bersifat sistematis. Selain bersifat

sistematis, juga bersifat sistemis. Dengan sistematis maksudnya bahasa itu

tersusun menurut pola tertentu, tidak tersusun secara acak atau sembarangan.

Sistemis artinya sistem bahasa itu bukan merupakan suatu sistem tunggal,

melainkan terdiri dari sebuah subsistem, yakni subsistem fonologi, subsistem

morfologi, subsistem sintaksis, dan subsistem leksikon. Menurut sistem bahasa

Indonesia baik bentuk kata maupun urutan kata sama-sama penting, dan

kepentingannya itu berimbang. Oleh karena itu, lazim juga disebut bahwa bahasa

(24)

sifat khas yang tidak dimiliki oleh bahasa lain, dan universal berarti memiliki ciri

yang sama pada semua bahasa.

Sistem-sistem bahasa yang dibicarakan di atas adalah berupa lambang-lambang

dalam bentuk bunyi, yang lazim disebut bunyi ujar atau bunyi bahasa. Setiap

lambang bahasa melambangkan sesuatu yang disebut makna atau konsep.

Menurut Chaer dan Leonie, (2010: 16-18), Lambang bunyi bahasa dapat

digolongkan berdasarkan sifat-sifatnya, diantaranya adalah sebagai berikut.

1. Lambang bunyi bahasa yang bersifat arbitrer. Artinya, hubungan antar

lambang dengan yang dilambangkannya tidak bersifat wajib, bisa berubah,

dan tidak dapat dijelaskan mengapa lambang tersebut mengonsepsi makna

tertentu.

2. Lambang bunyi bahasa bersifat konvensional. Artinya, setiap penutur suatu

bahasa akan mematuhi hubungan antara lambang dengan yang

dilambangkannya.

3. Lambang bunyi bahasa itu bersifat produktif. Artinya, dengan sejumlah unsur

yang terbatas, namun dapat dibuat satu-satuan ujaran yang hampir tak

terbatas.

4. Lambang bunyi bahasa itu bersifat dinamis. Artinya, bahasa itu tidak terlepas

dari berbagai kemungkinan perubahan yang sewaktu-waktu dapat terjadi.

Perubagan itu dapat terjadi pada tataran apa saja, baik pada tataran fonologi,

morfologi, sintaksis, semantik, dan leksikon. Yang tampak jelas biasanya

(25)

yang muncul, tetapi juga ada kosakata lama yang tenggelam, tidak digunakan

lagi.

5. Lambang bunyi bahasa itu sifatnya beragam. Artinya, meskipun sebuah

bahasa mempunyai kaidah atau pola tertentu yang sama, namun karena

bahasa itu digunakan oleh penutur yang heterogen yang mempunyai latar

belakang sosial dan kebiasaan berbeda, maka bahasa itu menjadi beragam.

6. Lambang bahasa bersifat manusiawi. Artinya, bahasa sebagai alat komunikasi

verbal hanya dimiliki manusia.

2.2 Fungsi Bahasa

Secara tradisional, jika dikemukakan apakah bahasa itu, bahasa adalah alat untuk

berinteraksi atau alat untuk berkomunikasi, dalam arti, alat untuk menyampaikan

pikiran, gagasan, konsep atau perasaan. Dalam hal ini, bahasa memiliki fungsi dan

kedudukan dalam kehidupan manusia. Wardhaugh mengemukakan bahwa fungsi

bahasa adalah sebagai alat komunikasi manusia, baik tertulis maupun lisan (Chaer

dan Leonie, 2010: 19). Namun, fungsi ini tidak mencakup fungsi ekspresi,

informasi, eksplorasi, persuasi, dan hiburan.

Fishman mengemukakan bahwa fungsi bahasa itu dapat dilihat dari sudut penutur,

pendengar, topik, kode, amanat, dan pembicara (Chaer dan Leonie, 2010: 20).

Berikut akan diulas mengenai fungsi bahasa dilihat dari sudut-sudut tersebut.

1. Dilihat dari sudut penutur, maka bahasa itu berfungsi personal atau pribadi.

(26)

fungsi emotif. Maksudnya, si penutur menyatakan sikap terhadap apa yang

dituturkannya, si penutur bukan hanya mengungkapkan emosi lewat bahasa,

tetapi juga memperlihatkan emosi itu sewaktu menyampaikan tuturannya. Si

penutur bukan hanya mengungkapkan emosi lewat bahasa, tetapi juga

memperlihatkan emosi itu sewaktu menyampaikan tuturannya. Dalam hal

ini, pihak si pendengar juga dapat menduga apakah si penutur sedih, marah,

atau gembira.

2. Dilihat dari segi pendengar atau lawan bicara, maka bahasa itu berfungsi

direktif, yaitu mengatur tingkah laku pendengar. Finnocchiaro dan Halliday

dalam Chaer dan Leonie (2010: 20), menyebutkan fungsi instrumental;

sedangkan Jakobson dalam Chaer dan Leonie (2010: 20), menyebutkan

fungsi retorika. Di sini bahasa itu tidak hanya membuat si pendengar

melakukan sesuatu, tetapi melakukan kegiatan yang sesuai dengan yang

diminta pembicara. Hal ini dapat dilakukan si penutur dengan menggunakan

kalimat-kalimat yang menyatakan perintah, himbauan, permintaan, maupun

rayuan.

3. Dilihat dari segi kontak antar penutur dan pendengar, maka bahasa di sini

berfungsi fatik. Jakobson, Finnocchiaro dalam Chaer dan Leonie (2010: 20)

menyebutkan interpersonal; sedangkan Halliday dalam Chaer dan Leonie

(2010: 20) menyebutkan fungsi retorika, yaitu fungsi menjalin hubungan,

memelihara, memperlihatkan perasaan bersahabat, atau solidaritas sosial.

Ungkapan-ungkapan yang digunakan biasanya sudah berpola tetap, seperti

pada waktu berjumpa, pamit, membicarakan cuaca, atau menanyakan

(27)

4. Dilihat dari segi topik ujaran, maka bahasa itu berfungsi referensial.

Finnocchiaro dan Halliday dalam Chaer dan Leonie (2010: 21)

menyebutkan representational; sedangkan Jakobson dalam Chaer dan

Leonie (2010: 21) menyebutkan fungsi kognitif, maksudnya alat untuk

membicarakan objek atau peristiwa yang ada disekeliling penutur atau yang

ada dalam budaya pada umumnya. Fungsi referensial inilah yang

melahirkan paham tradisional bahwa bahasa itu adalah alat untuk

menyatakan pikiran, untuk menyatakan bagaimana pendapat sipenutur

tentang dunia di sekelilingnya.

5. Dilihat dari segi kode yang digunakan, maka bahasa itu berfungsi

metalingual atau metalinguistik (Jakobson dan Finnociaro dalam Chaer dan

Leonie, 2010: 21) yaitu bahasa digunakan untuk membicarakan bahasa itu

sendiri.

6. Dilihat dari segi amanat yang akan disampaikan, maka bahasa itu bersifat

imajinatif.

2.3 Variasi Bahasa

Variasi bahasa terjadi akibat para penuturnya yang tidak homogen, dan juga

karena kegiatan interaksi sosial yang mereka lakukan sangat beragam. Keragaman

ini akan semakin bertambah kalau bahasa tersebut digunakan oleh penutur yang

sangat banyak, serta dalam wilayah yang sangat luas. Pateda (1987: 53)

mengemukakan bahwa variasi bahasa dapat dilihat dari segi tempat, waktu,

(28)

pemakaiannya. Selain Pateda, Chaer dan Leonie (2010: 82-95) membedakan

variasi bahasa atas beberapa jenis, diantaranya adalah sebagai berikut.

1. Variasi dari Segi Penutur

a. Variasi bahasa pertama yang kita lihat berdasarkan penuturnya adalah

variasi bahasa yang disebut idiolek, yakni variasi bahasa yang bersifat

perseorangan. Menurut konsep idiolek, setiap orang mempunyai variasi

bahasanya atau idioleknya masing-masing. Variasi idiolek ini berkenaan

dengan “warna” suara, pilihan kata, gaya bahasa, susunan kalimat, dan

sebagainya. Namun yang paling dominan adalah “warna” suara itu,

sehingga jika kita cukup akrab dengan seseorang hanya dengan

mendengar suara bicaranya tanpa melihat orangnya, kita dapat

mengenalinya.

b. Variasi bahasa kedua berdasarkan penuturnya adalah yang disebut dialek,

yakni variasi bahasa dari kelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang

berada pada satu tempat, wilayah, atau area tertentu. Karena dialek ini

didasarkan pada wilayah atau area tempat tinggal penutur, maka dialek

ini lazim disebut dialek areal, dialek regional, atau dialek geografi.

Para penutur dalam suatu dialek, meskipun mereka mempunyai dialeknya

masing-masing, memiliki kesamaan ciri yang menandai bahwa mereka

berada pada satu dialek, yang berbeda dengan kelompok penutur lain,

yang berada pada dialeknya sendiri dengan cirri lain yang menandai

dialeknya juga. Misalnya, bahasa Jawa dialek Banyumas memiliki ciri

(29)

Pekalongan. Para penutur bahasa Jawa dialek Banyumas dapat

berkomunikasi dengan baik dengan para penutur bahasa dialek

Pekalongan, dialek Semarang, dialek Surabaya, karena dialek-dialek

tersebut masih termasuk bahasa yang sama, yaitu bahasa Jawa.

Kesalingmengertian antara anggota dari satu dialek dengan anggota

dialek lain bersifat relative. Jika kesalingmengertian itu tidak ada sama

sekali, maka berarti kedua penutur dari dialek yang berbeda bukanlah

dari sebuah bahasa yang sama.

c. Variasi ketiga berdasarkan penutur adalah yang disebut kronolek atau

dialek temporal yakni, variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok

sosial pada masa tertentu.

d. Variasi bahasa keempat berdasarkan penutur adalah sosiolek atau dialek

sosial, yakni variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan, dan

kelas sosial para penuturnya. Variasi ini menyangkut masalah pribadi

para penuturnya, seperti usia, pekerjaan, pendidikan, tingkat

kebangsawanan, jenis kelamin, keadaan sosial ekonomi, dan lain-lain.

e. Variasi bahasa kelima berdasarkan penuturnya adalah akrolek, yakni

variasi sosial yang dianggap lebih tinggi atau lebih bergengsi daripada

variasi sosial lainnya. Sebagai contoh akrolek ini adalah yang disebut

bahasa yang berdialek Jakarta, dimana bahasanya cenderung semakin

(30)

f. Variasi bahasa keenam berdasarkan penuturnya adalah basilek, yakni

variasi sosial yang dianggap kurang bergengsi, atau bahkan dianggap

rendahan.

g. Variasi bahasa ketujuh berdasarkan penuturnya adalah vulgar, yakni

variasi social yang ciri-cirinya tampak bahwa pemakaian bahasa oleh

mereka yang kurang terpelajar atau dari kalangan mereka yang tidak

berpendidikan.

h. Variasi bahasa kedelapan berdasarkan penuturnya adalah slang, yakni

variasi sosial yang bersifat khusus dan rahasia.

i. Kolokial, yakni variasi bahasa sosial yang digunakan dalam percakapan

hari-hari. Kata kolokial berasal dari kata colloquium (percakapan,

konversasi). Jadi kolokial berasal dari bahasa percakapan bukan bahasa

tulis.

j. Jargon, yakni variasi sosial yang digunakan secara terbatas oleh

kelompok-kelompok social tertentu. Ungkapan yang digunakan

seringkali tidak dapat dipahami oleh masyarakat umum atau masyarakat

di luar kelompoknya.

k. Argot, yakni variasi sosial yang digunakan secara terbatas pada

profesi-profesi tertentu dan bersifat rahasia. Letak kekhususan argot adalah pada

(31)

l. Ken, adalah variasi sosial tertentu yang bernada “memelas”, dibuat

merengek-rengek, penuh dengan kepura-puraan. Biasanya digunakan

oleh para pengemis.

2. Variasi Bahasa dari Segi Pemakaian

Ragam bahasa berdasarkan dengan penggunaannya, pemakaiannya, atau

fungsinya disebut fungsiolek (Nababan dalam Chaer, 2010: 89), ragam atau

register.

a. Ragam Bahasa Jurnalistik

Memiliki ciri, sifatnya sederhana karena harus dipahami dengan mudah,

komunikatif karena jurnalistik hanya menyampaikan berita secara tepat,

dan ringkas karena keterbatasan ruang (dalam media cetak). Dan

keterbatasan waktu (dalam media elektronik).

b. Ragam Bahasa Militer

Memiliki ciri ringkas dan bersifat tegas, sesuai dengan kehidupan militer

yang penuh dengan kedisiplinan dan intruksi.

(32)

Dikenal dengan cirinya yang lugas, dan bebas dari keambiguan karena

bahasa ilmiah harus memberikan informasi secara jelas tanpa keraguan

akan makna, dan terbebas dari kemungkinan tafsiran makna yang

berbeda, serta segala macam metafora dan idiom.

3. Variasi dari Segi Keformalan

Berdasarkan tingkat keformalannya, Martin Joos (dalam Chaer, 2010: 92)

membagi variasi bahasa atas dua gaya, yakni sebagai berikut.

a. Ragam Baku atau Resmi

Merupakan variasi bahasa yang paling formal, yang digunakan dalam

situasi-situasi khidmat, dan upacara-upacara resmi. Disebut ragam baku

karena pola dan kaidahnya sudah ditetapkan secara mantab tidak boleh

diubah.

b. Ragam Ragam Santai atau Ragam Kasual

Merupakan variasi bahasa yang digunakan dalam situasi tidak resmi,

untuk berbincang-bincang dengan keluarga atau teman akrab.

4. Variasi dari Segi Sarana

Variasi bahasa dari segi sarana, berkaitan dengan sarana atau jalur yang

digunakan, misalnya ragam lisan dan tertulis, atau juga ragam bahasa yang

menggunakan sarana atau alat tertentu seperti telegram, telepon, email, dan

(33)

Berdasarkan uraian mengenai variasi bahasa, maka dapat disimpulkan bahwa

variasi bahasa dapat terjadi karena adanya perbedaan dari segi tempat, waktu,

pemakai, situasi, dialek yang dihubungkan dengan sapaan, status, dan pemakaian

bahasa. Guru merupakan salah satu pengguna bahasa yang memiliki tempat dan

mitra tutur yang khas. Tempat guru melakukan kegiatan bertutur adalah di kelas

dan mitra tuturnya adalah siswa. Penggunaan bahasa pada guru, tidak hanya

berfungsi sebagai alat untuk menyampaikan pesan, tetapi juga berkaitan dengan

pemerolehan bahasa yang dialami oleh siswa. Selain dipakai untuk berkomunikasi

dengan siswa, penggunaan bahasa oleh guru juga berperan dalam perkembangan

kemampuan bahasa siswa. Oleh sebab itu, guru memiliki variasi bahasa sendiri.

Dengan kata lain, bahasa yang dipakai oleh guru memiliki perbedaan dengan

bahasa yang dipakai oleh penutur lain.

2.4 Bahasa Guru (Teacher Talk)

2.4.1 Pengertian Bahasa Guru (Teacher Talk)

Jenis bahasa yang digunakan oleh guru untuk memberikan instruksi dalam kelas

dikenal sebagai Teacher Talk (TT). Teacher talk merupakan variasi bahasa yang

sering digunakan oleh guru dalam proses belajar mengajar. Dalam usahanya untuk

berkomunikasi dengan murid, para guru sering menyederhanakan ucapan atau

penjelasan mereka, sehingga banyak terdapat karakterisitik dan gaya bahasa yang

(34)

Selain pendapat tersebut, Ellis (1986: 145) mengemukakan bahwa teacher talk

merupakan bahasa khusus yang digunakan guru ketika mengajarkan bahasa kedua

kepada peserta didik. Ada penyederhanaan formal sistematis dalam ciri-ciri

bahasa guru . Penelitian mengenai TT dapat dibagi menjadi dua, yakni penelitian

berkaitan dengan jenis bahasa yang digunakan guru di kelas bahasa dan

penelitian berkaitan dengan jenis bahasa yang digunakan guru dalam mata

pelajaran. Bahasa yang digunakan guru untuk peserta didik di kelas bahasa

diperlakukan sebagai satu register, dengan ciri formal dan ciri linguistik tersendiri.

2.4.2 Karakteristik Bahasa Guru

Karakteristik berasal dari bahasa Inggris, yaitu characteristic yang berarti

mengandung sifat khas dari sesuatu. Dalam kamus lengkap psikologi karya

Chaplin, dijelaskan bahwa karakteristik merupakan sinonim kata karakter, watak,

atau sifat khas yang dimiliki oleh suatu objek (http://fajaralfina.blogspot.com).

Berkaitan dengan bahasa guru, Wong-Fillmore dalam Yufrizal (2008: 35--36)

mengemukakan bahwa ada beberapa karakteristik bahasa guru, yaitu sebagai

berikut.

1. Bahasa guru memiliki pemisahan bahasa yang jelas (tidak ada perubahan

atau pencampuran).

2. Bahasa guru menekankan pada pemahaman, berfokus pada komunikasi,

yaitu sebagai berikut.

a. menggunakan demonstrasi, bertujuan untuk menyampaikan makna,

b. informasi yang baru, disajikan secara kontekstual sesuai dengan

(35)

c. redundansi pesan berat.

3. Bahasa yang digunakan adalah sepenuhnya gramatikal, sesuai dengan

kegiatan berdasarkan hal-hal berikut ini.

a. Penggunaan struktur sederhana, menghindari struktur yang kompleks,

b. Pengulangan penggunaan beberapa pola kalimat, dan

c. Penggunaan pengulangan, penggunaan parafrase untuk variasi.

4. Penggunaan pertanyaan untuk memungkinkan berbagai tingkat partisipasi

siswa.

5. Teacher talk memiliki lebih banyak bahasa yang digunakan, tidak terpaku

pada buku.

Nunan (1989: 25) mengemukakan hal-hal yang termasuk dalam kajian bahasa

guru dapat berupa modifikasi cara berbicara, kuantitas bicara, cara guru

memberikan penjelasan dan pertanyaan, dan koreksi pada kesalahan bahasa siswa.

Baradja (1990: 10) menyebut bahasa guru dengan istilah Bahasa Cigu, yaitu

bahasa yang dipakai oleh guru sewaktu berinteraksi dengan anak didiknya.

Bahasa Cigu dianggap sebagai ragam bahasa tersendiri dengan ciri-cirinya yang

khas, baik formal maupun interaksional. Berikut ini adalah karakteristik bahasa

cigu yang diungkapkan oleh Baradja.

1. Penyesuaian terjadi pada semua tingkat (pemula, madya, lanjut).

2. Guru biasanya menggunakan kalimat tunggal, kecuali apabila dia berbicara

dengan murid tingkat lanjut.

3. Guru selalu menghindari ungkapan yang dapat membingungkan.

(36)

5. Pada umumnya guru berusaha agar apa yang diucapkannya itu tidak

bertentangan dengan penggunaan bahasa yang baik dan benar.

6. Bahasa cigu penuh dengan penyesuaian-penyesuaian interaksional (ulangan,

jeda diperpanjang, suara diperkeras, dan sebagainya).

Berkaitan dengan teori karakteristik bahasa guru yang dipakai dalam penelitian

ini, peneliti mengacu pada beberapa pendapat Fillmore untuk selanjutnya peneliti

merumuskan teori baru mengenai karakteristik bahasa guru tersebut.. Fillmore

menyatakan bahwa karakteristik bahasa guru dalam kegiatan pembelajaran

menggunakan struktur yang sederhana, artinya struktur kalimat yang digunakan

bukanlah struktur kalimat yang kompleks. Selain itu, karakteristik bahasa guru

ditandai dengan adanya pengulangan (repetisi). Selanjutnya, dalam karakteristik

bahasa guru juga ditemukan adanya pertanyaan-pertanyaan yang digunakan untuk

meningkatkan partisipasi siswa dalam kegiatan pembelajaran.

Selain tiga jenis karakteristik bahasa guru yang telah dikemukakan di atas,

Fillmore juga menyatakan bahwa dalam karakteristik bahasa guru terdapat lebih

banyak bahasa yang digunakan. Peneliti berpendapat bahwa dengan pemakaian

penggunaan banyak bahasa tersebut, maka akan sangat memungkinkan terjadinya

campur kode serta alih kode.

Berdasarkan pendapat Fillmore tersebut, maka peneliti merumuskan teori tentang

karakteristik bahasa guru, yaitu meliputi pengulangan (repetisi), penyederhanaan,

kalimat tanya, campur kode, serta alih kode. Kelima jenis karaktersitik tersebut

(37)

dengan yang lain. Artinya, pada setiap tuturan guru tidak menutup kemungkinan

bahwa akan muncul lebih dari satu jenis karakteristik bahasa guru.

2.4.2 Jenis Karakteristik Bahasa Guru

Berdasarkan uraian mengenai bahasa guru, maka peneliti menyimpulkan bahwa

bahasa guru memiliki ciri kesederhanaan yang setingkat dengan kemampuan

berbahasa siswa. Bentuk modifikasi tersebut dapat dilakukan dengan berbagai

cara, yaitu dengan pengulangan (repetisi), penyederhanaan, penggunaan kalimat

tanya, dan melakukan campur kode serta alih kode.

2.4.2.1 Pengulangan (Repetisi)

Repetisi atau pengulangan kata ataupun frase sebagai kata kunci dalam paragraf

biasanya dilakukan apabila tidak ada kata ganti benda dalam bahasa Indonesia,

tetapi untuk menghindari kejenuhan dapat dilakukan dengan mencari sinonimnya.

Menurut yayat (2009: 161) repetisi adalah pengulangan leksem dalam sebuah

wacana. Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Zaimar dan Harahap (2009:

142) yang menyatakan bahwa repetisi adalah pengulangan kata yang sama,

dengan acuan yang sama juga. Dalam repetisi semua komponen makna diulang.

Penggunaan repetisi tidak hanya menunjukkan sifat kohesif, melainkan untuk

memberikan konotasi suatu gagasan juga.

Rani (2004: 130) mengemukakan bahwa repetisi atau ulangan merupakan salah

(38)

dibentuk dengan mengulang sebagian kalimat. Pengulangan yang berlebihan

dapat membuat sebuah wacana menjadi membosankan untuk dibaca. Sejalan

dengan itu, jenis ulangan atau repetisi berdasarkan data pemakaian bahasa

Indonesia terdiri atas ulangan penuh dan ulangan dengan penggantian/ sinonim.

Ulangan penuh berarti mengulang satu fungsi dalam kalimat secara penuh tanpa

pengurangan dan perubahan bentuk. Pengulangan tersebut dapat berfungsi untuk

memberi tekanan pada bagian yang diulang. Berikutnya adalah ulangan dengan

sinonim. Istilah sinonimi berasal dari kata Yunani Kuno onoma ‘nama’ dan kata

syn ‘dengan’, jadi kurang lebih arti harfiahnya ‘nama lain untuk benda sama’.

Dengan kata lain, sinonim ialah ungkapan (biasanya sebuah kata, tetapi dapat pula

berupa frase atau malah kalimat) yang kurang lebih sama maknanya dengan suatu

ungkapan yang lain (Verhaar, 1987: 132). Sejalan dengan itu, Parera (2004: 61)

menyatakan bahwa sinonim adalah dua buah ujaran, apakah ujaran dalam bentuk

morfem terikat, kata, frase, atau kalimat yang menunjukkan kesamaan makna.

Alwasilah (1990: 149) menyatakan bahwa sinonim adalah beberapa kata (leksem)

yang berbeda tetapi memunyai arti yang sama. Dengan kata lain, beberapa leksem

tersebut mengacu pada satu unit semantik yang sama. Relasi seperti ini disebut

sinonimi, sedangkan kata-kata yang bersamaan arti dalam relasi sinonimi disebut

sinonim.

Chaer (2008: 388) menyatakan bahwa sinonim adalah dua buah kata atau lebih

yang maknanya kurang lebih sama. Dikatakan “kurang lebih” karena memang

tidak akan ada dua buah kata berlainan yang maknanya persis sama. Sebenarnya

(39)

Sejalan dengan pendapat Chaer, Baylon dan Fabre (dalam Zaimar dan Harahap

2009:143) mengemukakan bahwa unsur leksikal yang berupa sinonim dapat

saling menggantikan tanpa mengubah makna ujaran.

Yayat (2009: 37) mengemukakan bahwa sinonim adalah nama lain untuk benda

atau hal yang sama. Sinonim merupakan kata-kata yang bermakna pusat

(denotasi) sama tetapi berbeda nilai, rasa, nuansa, atau konotasinya sejalan dengan

itu, Djajasudarma (1999: 36) mengemukakan bahwa sinonim digunakan untuk

menyatakan sameness of meaning ‘kesamaan arti’. Hal tersebut dilihat dari

kenyataan bahwa penyusun kamus menunjukkan sejumlah perangkat kata yang

memiliki makna sama; semua bersifat sinonim, atau satu sama lain sama makna,

atau hubungan diantara kata-kata yang mirip (dianggap mirip) maknanya.

Hubungan makna antara dua buah kata yang bersinonim bersifat dua arah. Pada

dasarnya dua buah kata yang bersinonim tidak ada yang bersifat sempurna

(kesamaannya tidak bersifat mutlak). Berkaitan dengan hubungan ini, Collinson

dalam Pateda (2001: 225) membagi perbedaan jenis sinonim menjadi sembilan,

yaitu sebagai berikut.

a. Sinonim yang salah satu anggotanya memiliki makna yang lebih umum (one

term is more general than another), bandingkan misalnya kata

menghidangkan dan menyediakan atau menyiapkan.

b. Sinonim yang salah satu anggotanya memiliki unsur makna yang lebih intensif

(one term is more intens than another), misalnya kata kejam dan bengis,

(40)

c. Sinonim yang salah satu anggotanya lebih menonjolkan makna emotif (one

term is more emotive than another), misalnya kata mungil dan kecil,

meninggal dan mampus, memohon dan meminta.

d. Sinonim yang salah satu anggotanya lebih profesional dari yang lain (one term

is more profesional than another), misalnya kata riset lebih profesional

daripada kata penelitian, kata studi lebih profesional daripada kata belajar.

e. Sinonim yang salah satu anggotanya lebih dapat mencakup penerimaan atau

penolakkan dari segi moral (one term may imply moral aprrobation or censure

where another is neutral), misalnya kata sedekah dan pemberian, kata

bersetubuh dengan kata hubungan intim, hubungan badan, hubungan seksual.

f. Sinonim yang salah satu anggotanya lebih bersifat literer (one term is more

literary than another), misalnya kata puspa dan kata bunga.

g. Sinonim yang salah satu anggotanya lebih kolokial (one term is more

coloquial than another), misalnya kata situ dan saudara.

h. Sinonim yang salah satu anggotanya lebih bersifat lokal atau kedaerahan (one

term is more local or idealectal than another), misalnya kata ngana (dialek

manado) dan kata saudara.

i. Sinonim yang salah satu anggotanya dipakai dalam bahasa kanak-kanak (one

of the synonyms belongs to child-talk), misalnya kata mimik dan minum, bobo

dan tidur, mam dan makan.

Berdasarkan pendapat para pakar di atas, peneliti menyimpulkan bahwa sinonim

merupakan beberapa satuan bahasa yang memiliki bentuk yang berbeda namun

(41)

dan makna tambahan, nilai rasa (emotif), dan kelaziman pemakaian leksem

tersebut.

2.4.2.2 Penyederhanaan

Penyederhanaan dapat menyebabkan sebuah kalimat menjadi tidak sesuai dengan

stuktur kalimat yang sebenarnya. Santoso (1990: 143) menyebutnya sebagai

kalimat tidak normatif, yaitu kalimat yang tidak memenuhi syarat struktural.

Chaer (2011: 349) menyebutkan bahwa penyederhanaan dapat menciptakan

kalimat elips. Kalimat elips adalah kalimat yang dibentuk dari sebuah klausa yang

tidak lengkap. Klausa dalam kalimat elips ini mungkin tidak bersubjek, mungkin

tidak berpredikat, dan mungkin juga tidak mempunyai subjek dan predikat,

sehingga yang ada hanya keterangan saja. Kalimat elips biasa terjadi kalau situasi

atau konteks petuturan itu secara keseluruhan sudah diketahui oleh orang-orang

yang terlibat dalam pertuturan itu. Misalnya dalam situasi di kelas, tanya jawab,

atau pun sebuah diskusi.

2.4.2.3 Kalimat Tanya

Cook dalam Tarigan (2011: 21) menyebut kalimat tanya sebagai kalimat

pertanyaan. Kalimat pertanyaan merupakan kalimat yang dibentuk untuk

memancing responsi yang berupa jawaban. Sejalan dengan pendapat Cook,

(Chaer, 2011: 350) menyatakan bahwab kalimat tanya adalah kalimat yang isinya

(42)

pendapat dari pihak pendengar atau pembaca. Berdasarkan reaksi jawaban yang

diharapkan, kalimat tanya dibedakan sebagai berikut.

a. Kalimat tanya yang meminta pengakuan jawaban ya atau tidak/ bukan.

b. Kalimat tanya yang meminta keterangan mengenai salah satu unsur kalimat.

c. Kalimat tanya yang meminta alasan.

d. Kalimat tanya yang meminta pendapat atau buah pikiran orang lain.

e. Kalimat tanya yang menyungguhkan.

Alwi (2003: 357) menyebut kalimat tanya sebagai kalimat interogatif, yaitu

kalimat yang secara formal ditandai oleh kehadiran kata tanya seperti apa, siapa,

berapa, kapan, dan bagaimana, Kalimat interogatif diakhiri dengan tanda tanya

(?) pada bahasa tulis dan pada bahasa lisan dengan suara naik, terutama jika tidak

ada kata tanya atau suara turun. Kalimat interogatif biasanya digunakan untuk

meminta jawaban ya atau tidak atau informasi mengenai seseorang dari lawan

bicara atau pembaca.

2.4.2.4 Alih Kode dan Campur Kode

Appel dalam Chaer dan Leonie (2010: 107) mendefinisikan alih kode sebagai

gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi. Contoh, Nining

dan Asrur adalah pelaku tindak tutur yang berbahasa ibu bahasa Sunda. Ketika

mereka sedang bercakap-cakap di satu taman, bahasa yang mereka gunakan

adalah bahasa Sunda. Lalu, mereka melakukan alih kode ke bahasa Indonesia

(43)

Pada awalnya, Nining dan Asrur berada dalam situasi “kesundaan”, kemudian

situasi berubah menjadi “keindonesiaan” setelah Dudhe datang. Nining dan

Asrur melakukan alih kode karena mereka tahu bahwa Dudhe tidak mengerti

bahasa Sunda. Mereka memilih bahasa Indonesia karena bahasa Indonesialah

yang dipahami oleh mereka bertiga. Secara sosiologis, alih kode tersebut memang

seharusnya dilakukan untuk menjaga kepantasan dan keetisan salam bertindak

tutur. Alangkah tidak pantas dan etis jika Nining dan asrur tetap mempertahankan

tindak tutur yang menggunakan bahasa Sunda sementara ada Dudhe di situ.

Tidak lama kemudian, datang Zidam yang sebahasa ibu dengan Dudhe . Mereka

berempat masih menggunakan bahasa Indonesia. Tetapi, setelah Nining dan

Asrur pergi, Dudhe dan Zidam mulai menggunakan bahasa Manado. Artinya,

Nining dan Asrur telah melakukan alih kode dari bahasa Sunda ke bahasa

Indonesia, sedangkan Dudhe dan Zidam telah melakukan alih kode dari bahasa

Indonesia ke bahasa Manado.

Sementara itu, Hymes mengemukakan bahwa alih kode bukan hanya terjadi

antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang

terdapat dalam suatu bahasa (Chaer dan Leonie, 2010: 108). Contohnya adalah

pergantian ragam bahasa Indonesia santai ke ragam bahasa Indonesia resmi dalam

ruang kuliah. Rahmat dan Wulan berbincang-bincang sambil menunggu dosen

datang menggunakan bahasa Indonesia ragam santai. Kemudian, dosen datang

dan mengajak mereka bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia ragam resmi.

Rahmat dan Wulan telah melakukan alih kode dari bahasa Indonesia ragam santai

ke bahasa Indonesia ragam resmi. Lalu, setelah dosen selesai mengajar, Rahmat

(44)

disimpulkan bahwa alih kode adalah peristiwa pergantian bahasa yang terjadi

pada pemakaian bahasa , situasi, dan ragam bahasa.

Istilah campur kode oleh Kridalaksana (1984:32) dikatakan mempunyai dua

pengertian. Pertama, campur kode diartikan sebagai interferensi, sedang

pengertian kedua campur kode diartikan sebagai penggunaan satu bahasa dari

suatu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa,

termasuk di dalamnya pemakaian kata, klausa, idiom dan sapaan.

Nababan (1984: 32) berpendapat bahwa seseorang dikatakan melakukan

campur kode apabila dia mencampurkan bahasa atau ragam bahasa dalam suatu

tindak bahasa tanpa adanya sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang

menuntut percampuran bahasa.

Thealander mengatakan bahwa campur kode terjadi apabila di dalam suatu

peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri atas

klausa dan frase campuran dan masing-masing klausa, frase tidak lagi mendukung

fungsi sendiri-sendiri (Chaer dan Leonie, 2010: 151-152). Seorang penutur

misalnya yang dalam berbahasa Indonesia banyak menyelipkan serpihan-serpihan

bahasa daerahnya dapat dikatakan telah melakukan campur kode.

2.5 Jenis Kegiatan Guru dalam Pembelajaran

Suyono (2012: 212) mengemukakan bahwa sebagai seorang pengajar, guru harus

(45)

menerapkan berbagai variasi dalam kegiatan pembelajaran. Hal ini terkait dengan

tujuan pembelajaran serta cara yang terbaik untuk mencapai tujuan tersebut.

Dalam kegiatan pembelajaran, guru akan menghadapi berbagai siswa yang

memiliki kemampuan dalam menyerap informasi dan memiliki perbedaan juga

dalam hal menunjukkan kemampuannya saat memahami pengetahuan. Dalam

kaitan ini, guru berusaha menggunakan berbagai bentuk interaksi dan cara

mengajar untuk membantu para siswa agar dapat menyerap informasi dan

memperkuat pemahamannya. Suyono (2012: 213) mengemukakan berbagai

kegiatan yang guru lakukan dalam kegiatan pembelajaran yakni sebagai berikut.

a. Bertanya, mengajukan pertanyaan.

b. Menjelaskan, menerangkan.

c. Memberikan instruksi (memerintah).

d. Memberikan penguatan.

e. Modeling.

f. Demonstrasi

g. Mememberikan variasi dalam pembelajaran.

h. Membuka dan menutup pelajaran

Berdasarkan pendapat Suyono tentang berbagai kegiatan yang dilakukan oleh

guru dalam kegiatan pembelajaran, peneliti membatasi jenis kegiatan yang akan

diteliti, yaitu meliputi kegiatan guru saat menjelaskan, bertanya, memerintah, dan

menguatkan. Alasan peneliti memilih empat kegiatan tersebut karena jika

dibandingkan dengan jenis kegiatan yang lain, empat kegiatan tersebut merupakan

(46)

memiliki kaitan yang sangat erat dengan kemampuan komunikasi dan pemakaian

bahasa oleh guru. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa

kegiatan guru saat menjelaskan, bertanya, memerintah, dan menguatkan sangat

cocok apabila diteliti dari segi karakteristik bahasa guru yang digunakan saat

melakukan kegiatan tersebut. Selain karena memiliki kaitan yang erat dengan

penggunaan bahasa, empat kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang paling

utama dan sering dilakukan oleh guru ketika pembelajaran sedang berlangsung.

Berikut ini adalah uraian mengenai pengertian empat jenis kegiatan yang

dilakukan guru dalam sebuah kegiatan pembelajaran.

2.5.1 Menjelaskan

Menjelaskan, menerangkan, atau memberikan informasi sama dengan memberi

ceramah dengan menyampaikan wacana tentang subjek khusus yang terbuka bagi

umum, biasanya di dalam suatu kelas. Menjelaskan adalah mendeskripsikan

secara lisan tentang suatu benda, keadaan, fakta, dan data sesuai dengan waktu

dan hukum-hukum, prinsip, konsep, kaidah, dan aturan yang berlaku (Suyono,

2012: 215). Menjelaskan merupakan suatu aspek penting yang harus dikuasai

guru, karena pembelajaran apapun,baik yang bersifat konvensional maupun

penerapan pembelajaran kolaboratif dan kooperatif, selalu memerlukan penjelasan

(47)

Kemampuan guru dalam menjelaskan sesuatu, pokok bahasan tertentu secara

jelas, jernih, gamblang, teratur, sistematis, menarik perhatian, sesuai dengan

kompetensi, dasar yang harus dikuasai siswa, sehingga mampu diterima oleh

siswanya dengan baik, akan meningkatkan penghargaan dan rasa percaya siswa

kepada guru.

2.5.2 Bertanya

Guru melakukan kegiatan bertanya untuk mengumpulkan informasi tentang segala

yang baru dipelajari siswa untuk mengetahui apakah siswa sudah benar-benar

belajar atau sudah memperoleh hikmah pembelajaran (Suyono, 2012: 213). Ada

dua jenis pertanyaan yang dapat diajukan oleh guru, yaitu pertanyaan dasar dan

pertanyaan lanjutan. Agar suatu pertanyaan dasar menjadi efektif, maka sebaiknya

dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut.

a. Pertanyaan yang jelas dan singkat, dengan memperhitungkan kemampuan

berpikir dan perbendaharaan kata yang dikuasai siswa.

b. Memberikan acuan, berupa pertanyaan atau penjelasan singkat berisi informasi

yang sesuai dengan jawaban yang diharapkan.

c. Memusatkan perhatian, pertanyaan digunakan untuk memusatkan perhatian

siswa.

d. Memberikan giliran berbicara kepada siswa.

(48)

Berikutnya adalah pertanyaan lanjutan yang merupakan kegiatan bertanya yang

dilakukan untuk perubahan tingkat kognitif, pengaturan pertanyaan, pertanyaan

pelacak, dan peningkatan terjadinya interaksi antara guru dan siswa. Berikut ini

adalah penjelasan mengenai tujuan guru melakukan pertanyaan lanjutan.

a. Perubahan tuntunan tingkat kognitif artinya meningkatkan derajat pertanyaan

dari yang hanya memerlukann kecakapan berpikir tingkat rendah, menuju

kecakapan berpikir tingkat tinggi.

b. Pengaturan urutan pertanyaan artinya pertanyaan diajukan mulai dari yang

sederhana ke yang kompleks secara berurutan.

c. Pertanyaan pelacak artinya pertanyaan yang diberikan kepada siswa jika

jawaban yang diberikan peserta didik kurang tepat.

d. Meningkatkan terjadinya interaksi artinya memberikan kesempatan kepada

seluruh siswa untuk mengemukakan pendapatnya.

Guru bertanya atau menanyakan sesuatu kepada siswa bukanlah tanpa tujuan.

Umumnya tujuan pertanyaan guru terhadap siswa adalah sebagai berikut.

a. Mengetahui tingkat kemampuan siswa. Berdasarkan pertanyaan yang

diajukan guru kepada siswa serta jawaban yang diberikan siswa, guru dapat

menyimpulkan seberapa jauh daya serap siswa terhadap materi pembelajaran.

b. Meningkatkan minat belajar siswa dengan cara memunculkan rasa ingin tahu

(49)

c. Meningkatkan perhatian siswa agar tetap fokus pada guru dan materi

pembelajaran.

d. Mengembangkan pembelajaran aktif, misalnya dengan tanya jawab yang

terarah dan terpadu dimulai dari materi yang mudah sampai ke yang sulit.

e. Mendiagnosis kesulitan belajar siswa.

f. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan ide atau

gagasannya.

g. Membangun suasana demokratis dan keterbukaan dalam pembelajaran.

2.5.3 Memerintah

Kegiatan berikutnya yang sering dilakukan oleh guru adalah memerintah. Hal

yang melatarbelakangi guru melakukannya adalah siswa masih membutuhkan

banyak kontrol dari guru berkaitan dengan apa yang harus dilakukan maupun

yang diucapkannya di kelas. Selain itu, kegiatan memerintah sering dipakai oleh

guru untuk membimbing siswa saat belajar. Bimbingan tersebut berupa perintah

kepada siswa untuk melakukan sesuatu.

Reaksi yang diharapkan oleh guru ketika memerintah siswa adalah berupa

tindakan fisik dari siswa. Melalui perintah, guru dapat melihat apakah siswa

mampu atau tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan oleh guru. Dengan kata

lain, keberhasilan siswa melakukan perintah tersebut dapat dijadikan indikator

(50)

2.5.4 Menguatkan

Guru harus mampu mendorong dan memotivasi siswa untuk dapat belajar dengan

baik. Hal ini misalnya dapat dilakukan oleh guru pada saat awal pembelajaran

terkait dengan apersepsi atau pada saat guru menjlaskan berbagai manfaat yang

dapat diraih siswa dari mempelajari pokok bahasan tertentu. Pada saat refleksi

guru melakukan penilaian bersama siswa tentang sesuatu yang dipelajari pada hari

itu.

Menguatkan atau memberi penguatan terutama berkaitan dengan kebiasaan guru

memberikan penghargaan kepada siswa (Suyono, 2012: 226). Penghargaan

mempunyai pengaruh positif kepada siswa. Hal ini dapat mendorong mereka

untuk memperbaiki tingkah laku serta meningkatkan kegiatan belajarnya. Berikut

ini adalah tujuan guru memberikan penguatan saat kegiatan pembelajaran.

a. Meningkatkan perhatian siswa.

b. Melancarkan atau memudahkan proses belajar.

c. membangkitkan dan mempertahankan motivasi.

d. Mengontrol atau mengubah sikap atau tingkah laku siswa yang mengganggu

ke arah yang positif.

e. Mengembangkan dan mengatur siswa dalam kegiatan pembelajaran.

(51)

Berdasarkan empat jenis kegiatan yang dilakukan oleh guru dalam kegiatan

pembelajaran, peneliti menggunakan seluruh jenis kegiatan pembelajaran ini

dalam penelitian. Kegiatan pembelajaran tersebut meliputi kegiatan saat guru

menjelaskan, bertanya, memerintah, dan memberi penguatan kepada siswa.

Keempat jenis kegiatan guru dalam pembelajaran ini selanjutnya akan dijadikan

wadah dalam melakukan penelitian terhadap karakteristik bahasa guru.

2.6 Pembelajaran Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)

Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) merupakan salah satu satuan pendidikan

yang diperuntukkan untuk anak umur nol sampai enam tahun. Dengan kata lain,

PAUD merupakan pendidikan yang paling rendah tingkatannya, tetapi memiliki

makna yang paling tinggi dari satuan-satuan pendidikan yang lainnya.

Keberhasilan seseorang dalam menempuh pendidikan dasar, menengah, dan tinggi

sangat ditentukan oleh apa yang dialami dan diperoleh di PAUD (Mulyasa, 2012:

iv).

Dalam implementasinya, PAUD berfungsi membina dan menumbuhkembangkan

seluruh potensi anak secara optimal agar terbentuk perilaku dan kemampuan dasar

yang selaras, serasi, dan seimbang dengan tahap perkembangannya sehingga

memiliki kesiapan untuk memasuki pendidikan selanjutnya dalam mewujudkan

tujuan pendidikan nasional. Mengingat pentingnya PAUD tersebut, pemerintah

telah mengatur berbagai kebijakan untuk mengatur implementasinya agar dapat

(52)

Secara nasional, kebijakan yang mengatur pendidikan secara umum yang di

dalamnya terdapat PAUD, dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 20/2003

tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Standar Pendidikan Anak Usia

Dini diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 58 tahun 2009,

dikemukakan bahwa PAUD diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar,

melaui jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. Pada jalur pendidikan

formal berbentuk Taman Kanak-Kanak (TK), Raudatul Athfal (RA), dan bentuk

lain yang sederajat; pada jalur nonformal berbentuk kelompok Bermain

(KOBER), Taman Penitipan Anak (TPA), dan bentuk lain yang sederajat;

sedangkan pada jalur informal berbentuk pendidikan keluarga dan pendidikan

yang diselenggarakan oleh lingkungan (Mulyasa, 2012: 5).

Mengenal karakteristik peserta didik untuk kepentingan proses pembelajaran

merupakan hal yang penting. Adanya pemahaman yang jelas tentang karakteristik

peserta didik akan memberikan kontribusi terhadap pencapaian tujuan

pembelajaran secara efektif. Berdasarkan pemahaman yang jelas tentang

karakteristik peserta didik, para guru dapat merancang dan melaksanakan kegiatan

pembelajaran sesuai perkembangan anak. Berikut ini adalah sejumlah ciri yang

dapat dilihat dari aspek fisik, sosial, emosi dan kognitif (Snowman dalam

Patmonodewo, 2000: 32).

1. Ciri Fisik

a. Anak prasekolah umumnya sangat aktif. Anak pada usia ini sangat

menyukai kegiatan yang dilakukan atas kemauan sendiri. Kegiatan mereka

(53)

b. Anak membutuhkan istirahat yang cukup. Dengan adanya sifat aktif, maka

biasanya setelah melakukan banyak aktivitas anak memerlukan istirahat

walaupun kadangkala kebutuhan untuk beristirahat ini tidak disadarinya.

c. Otot-otot besar anak usia prasekolah berkembang dari kontrol jari dan

tangan. Dengan demikian anak usia prasekolah belum bisa melakukan

aktivitas yang rumit seperti mengikat tali sepatu.

d. Sulit memfokuskan pandangan pada objek-objek yang kecil ukurannya

sehingga koordinasi tangan dan matanya masih kurang sempurna.

e. Walaupun tubuh anak ini lentur, tetapi tengkorak kepala yang melindungi

otak masih lunak sehingga berbahaya jika terjadi benturan keras.

f. Dibandingkan dengan anak laki-laki, anak perempuan lebih terampil dalam

tugas yang bersifat praktis, khususnya dalam tugas motorik halus.

2. Ciri Sosial

a. Anak pada usia ini memiliki satu atau dua sahabat tetapi sahabat ini cepat

berganti. Penyesuaian diri mereka berlangsung secara cepat sehingga

mudah bergaul. Umumnya mereka cenderung memilih teman yang sama

jenis kelaminnya, kemudian pemilihan teman berkembang kejenis kelamin

yang berbeda.

b. Anggota kelompok bermain jumlahnnya kecil dan tidak terorganisir

dengan baik. Oleh karena itu, kelompok tersebut tidak bertahan lama dan

cepat berganti-ganti.

c. Anak yang lebih kecil usianya seringkali bermain bersebelahan dengan

(54)

d. Pola bermain anak usia prasekolah sangat bervariasi fungsinya sesuai

dengan kelas sosial dan gender.

e. Perselisihan sering terjadi, tetapi hanya berlangsung sebentar kemudian

hubungannya menjadi baik kembali. Anak laki-laki lebih banyak

melakukan tingkah laku agresif dan perselisihan.

f. Anak usia prasekolah telah mulai mempunyai kesadaran terhadap

perbedaan jenis kelamin dan peran sebagai anak laki-laki dan anak

perempuan. Dampak kesadaran ini dapat dilihat dari pilihan terhadap

alat-alat permainan.

3. Ciri Emosional

a. Anak usia prasekola

Referensi

Dokumen terkait

Survei yang melibatkan 5.423 perempuan di Asia dan dilakukan pada sembilan negara termasuk Indonesia, menunjukkan hanya 2% perempuan yang mengetahui Human Papiloma

Model transformasi gelombang, termasuk model difraksi yang berdasarkan pada teori gelombang linier, diformulasikan dengan anggapan bahwa potensial aliran gelombang

Sebuah elektron bergerak mendatar ke arah utara dengan kecepatan 1,5 x 10 8 m/s melewati medan magnet homogen yang arahnya ke barat berkekuatan 0,01 weber/m 2b. Gambarkan arah

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) asal-usul Penamaan kampung di Kenagarian Kapalo Hilalang Kecamatan 2X11 Kayu Tanam

bahwa kekayaan Negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 1993/1994 dan 1996/1997, Konversi Pinjaman Pemerintah tahun buku 1994

Saldo defisit perseroan sebelum kuasi reorganisasi pada 1 Januari 2012 sebesar USD1,37 miliar dieliminasi dengan selisih penilaian kembali aset dan liabilitas sebesar USD42,28

​ Ibu Tien Soeharto yang bertitik tolak dari moral dan tidak bermoralnya ajang ini. Di samping ajang kecantikan dewasa ini dianggap sebagai medium promosi pariwisata,

Setelah dilakukan perbaikan oleh guru pada tahap mengajukan pertanyaan- pertanyaan yang berkaitan dengan materi dengan cara meningkatkan keterampilan bertanya dan membina