• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Tramadol 0.5 Dan 1 Mg/Kgbb Iv Dalam Mencegah Menggigil Dengan Efek Samping Yang Minimal Pada Anestesi Spinal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perbandingan Tramadol 0.5 Dan 1 Mg/Kgbb Iv Dalam Mencegah Menggigil Dengan Efek Samping Yang Minimal Pada Anestesi Spinal"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN TRAMADOL 0.5 DAN 1 MG/KGBB IV

DALAM MENCEGAH MENGGIGIL DENGAN EFEK SAMPING

YANG MINIMAL PADA ANESTESI SPINAL

T E S I S

Oleh

dr. DIANI NAZMA

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RSUP. H. ADAM MALIK

(2)

PERBANDINGAN TRAMADOL 0.5 DAN 1 MG/KGBB IV

DALAM MENCEGAH MENGGIGIL DENGAN EFEK SAMPING

YANG MINIMAL PADA ANESTESI SPINAL

T E S I S

Oleh

Dr. DIANI NAZMA

Pembimbing I : Dr. HASANUL ARIFIN, SpAn.

Pembimbing II : Dr. A. SANI P. NASUTION, SpAn. KIC

Tesis Ini Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Spesialis Anestesiologi Program Pendidikan Dokter Spesialis I Anestesiologi

dan Reanimasi

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RSUP. H. ADAM MALIK

(3)

PERBANDINGAN TRAMADOL 0.5 DAN 1 MG/KGBB IV DALAM MENCEGAH MENGGIGIL DENGAN EFEK SAMPING YANG MINIMAL

PADA ANESTESI SPINAL

T E S I S Dr. DIANI NAZMA

Menyetujui,

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

(Dr. Hasanul Arifin, SpAn) (Dr. A. Sani P. Nasution, SpAn.KIC) NIP. 130 702 001 NIP. 130 702 290

PENGUJI I PENGUJI II

(Prof. Dr. Achsanuddin Hanafie, SpAn. KIC) (Dr. Akhyar H. Nasution SpAn.) NIP. 130 900 680 NIP. 140 190 471

Mengetahui,

Ketua Program Studi Ketua Departemen

Anestesiologi dan Reanimasi Anestesiologi dan Reanimasi

FK USU-RSUP HAM FK USU-RSUP HAM

Medan Medan

(Dr. Hasanul Arifin, SpAn) (Prof. Dr. Achsanuddin Hanafie, SpAn. KIC)

(4)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahiim

Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji dan syukur hanya kepada Allah

SWT karena atas ridho dan karunia– Nya saya berkesempatan mengikuti Program

Pendidikan Dokter Spesialis I Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara serta menyusun dan menyelesaikan penelitian ini sebagai

salah satu syarat dalam penyelesaian pendidikan keahlian dibidang Anestesiologi.

Shalawat dan salam saya sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga

dan sahabat-nya Radhiallahu’anhum ajma’in yang telah membawa perubahan dari

sistem kejahiliyahan ke sistem berilmu pengetahuan seperti saat ini. Semoga karya

tulis ini merupakan sumbangsih bagi perkembangan Anestesiologi di Indonesia.

Pada kesempatan ini, saya ingin menyampaikan rasa terima kasih dan

penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan

kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I di universitas

ini.

Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, yang telah

memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter

Spesialis I di fakultas ini.

Bapak Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan, Rumah

Sakit Umum Pirngadi Medan, Rumah Sakit Haji Mina Medan yang telah

memberikan kesempatan kepada saya untuk belajar dan bekerja di lingkungan

Rumah Sakit ini.

Dengan penuh rasa hormat, saya sampaikan terima kasih tak terhingga

kepada dr. Hasanul Arifin, SpAn. dan dr. A. Sani P. Nasution, SpAn. KIC sebagai

pembimbing penelitian saya, dimana atas bimbingan, pengarahan dan sumbang saran

yang telah diberikan, saya dapat menyelesaikan penelitian ini pada waktunya.

Juga dengan penuh rasa hormat, saya sampaikan terima kasih yang tak

terhingga kepada Prof. dr. Achsanuddin Hanafie, SpAn. KIC sebagai Ketua

(5)

sebagai Sekretaris Program Studi Anestesiologi dan Reanimasi, dr. Akhyar H.

Nasution SpAn. sebagai Sekretaris Departemen Anestesiologi dan Reanimasi dan dr.

Asmin Lubis, DAF, SpAn sebagai Kepala Instalasi Anestesiolosi dan Reanimasi, atas

bimbingannya selama saya menjalani program pendidikan penelitian ini.

Rasa hormat dan terimakasih yang tak terhingga saya sampaikan kepada guru

– guru saya : Dr. Chairul Mursin, SpAn., Dr. Nadi Zaini Bakri, SpAn., Dr. Yutu

Solihat, SpAn., Dr. Soejat Harto, SpAn., Dr. Muhammad, SpAn., Dr. Veronica

H.Y.,SpAn. KIC, Dr. Tjahaya Indra Utama, SpAn, Dr. Syamsul Bahri Siregar, SpAn

dan guru-guru saya sewaktu saya menjalani program pendidikan di Fakultas

Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya Prof. Dr. Karjadi Wirjoatmojo, SpAn.

KIC, Prof. Dr. Herlien H Megawe, SpAn. KIC, Prof. Dr. Siti Chasnak Saleh,

SpAn.KNA, Prof. DR. Dr. Eddy Rahardjo, SpAn. KIC, Prof. Dr. Sri Wahjoeningsih,

SpAn. KIC, Prof. dr. Koeshartono, SpAn. KIC. Pall.Med. (ECU), Dr. Bambang

Wahjuprajitno, SpAn. KIC., Dr. Tommy Sunartomo, SpAn. KIC, Dr. Teguh

Sylvaranto, SpAn. KIC, Prof. DR. Dr. Nancy Margarita Rehatta SpAn. KNA, Dr.

Hardiono, SpAn. KIC., Dr. Herdy Sulistyono, SpAn. KIC, Dr. Elizeus Hanindito,

SpAn. KIC, Dr. Hari Anggoro D., SpAn. KIC, Dr. Puger Rahardjo, SpAn. KIC dan

lain-lain baik di Fakultas Kedokteran USU Medan maupun di Fakultas Kedokteran

Universitas Airlangga Surabaya yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang

dengan keikhlasan dan ketulusannya telah mendidik dan memberikan bimbingan

kepada saya selama mengikuti program pendidikan ini.

Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada Dr. Arlinda Sari Wahyuni,

M.Kes yang telah meluangkan waktu sebagai pembimbing metode penelitian dan

analisa statistik pada penelitian ini yang banyak memberikan masukan, arahan,

kritikan yang bersifat membangun demi kesempurnaan karya tulis ilmiah ini.

Kepada seluruh pasien dan keluarganya di RSUP. H. Adam Malik Medan, RS

Haji Medan, RS Pirngadi Medan dan RSU Dr. Soetomo Surabaya yang besar

perannya sebagai ”guru” kedua saya dalam menempuh pendidikan spesialis.

Khususnya yang berperan serta dalam penelitian ini, rasa sakit mereka telah

memotivasi saya untuk dapat memberikan yang terbaik dari ilmu yang saya dapatkan

dan pelajari, saya ucapkan banyak terima kasih dan mohon maaf bila pelayanan saya

(6)

Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada seluruh teman-teman

Program Pendidikan Dokter Spesialis I Anestesiologi dan Reanimasi, karyawan,

paramedis Anestesiologi dan Reanimasi FK USU dan FK Unair yang telah banyak

membantu dan memberi semangat dalam penyelesaian program pendidikan dan

penelitian ini.

Sembah sujud, rasa syukur dan terima kasih yang tak terhingga saya

persembahkan kepada kedua orang tua saya tercinta, papa Drs. H. Faisal Harahap,

MA dan mama Dra. Hj. Sahnim Lubis atas segala jerih payah, pengorbanan, do’a,

dan kasih sayang beliau berdua dalam mengasuh, membesarkan dan membimbing

saya. Semoga Allah mengampuni segala dosa dan kesalahan dan mengekalkan segala

amal jariyah yang telah beliau berdua kerjakan selama ini. Demikian halnya kepada

kakak Santi Aniza Harahap dan abang Achmad Fauzi Harahap, yang senantiasa

memberi nasehat, motivasi, teladan dan telah banyak memberikan bantuan moril

selama saya mengikuti program pendidikan ini.

Akhirnya hanya kepada Allah SWT jualah kita berlindung dan kembali,

semoga kita semua senantiasa diberi limpahan rahmat dan karunia-Nya. Amin ya

Robbal’alamin.

Wassalam,

Medan, Juli 2008

(7)

DAFTAR ISI

2.1.1. Termosensor dan Jalur Saraf Aferen ... 7

2.1.2. Hipotalamus-Pusat Integrasi... 9

2.1.3. Respon Efektor ... 10

2.2. PATOFISIOLOGI ... 11

2.3. ETIOLOGI ... 14

2.4. MEKANISME PERTUKARAN PANAS... 15

2.5. MONITOR TEMPERATUR... 18

2.6. PENATALAKSANAAN MENGGIGIL... 19

2.6.1. NONFARMAKOLOGIS ... 19

2.6.2. FARMAKOLOGIS... 21

3.2.TEMPAT DAN WAKTU ... 26

a. Tempat... 26

b. Waktu ... 27

3.3.POPULASI DAN SAMPEL ... 27

3.3.1. Populasi ... 27

3.3.2. Sampel ... 27

(8)

3.4.1. Kriteria Inklusi : ... 27

3.4.2. Kriteria Ekslusi ... 27

3.4.3. Kriteria Drop Out ….………..…...27

3.5.ESTIMASI BESAR SAMPEL ... 28

3.6.CARA KERJA ... 28

3.7.IDENTIFIKASI VARIABEL... 30

3.8.RENCANA MANAJEMEN DAN ANALISA DATA ... 31

3.9.DEFINISI OPERASIONAL... 31

3.10.MASALAH ETIKA ... 32

3.11.PROSEDUR KERJA... 34

BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 35

4.1. Karakteristik sampel penelitian pada kedua kelompok ... 35

4.2. Jenis operasi pada kedua kelompok penelitian... 36

4.3. Jenis suku, pendidikan dan pekerjaan pada kedua kelompok penelitian... 37

4.4. Tinggi Blok Pada Kedua Kelompok Penelitian... 38

4.5. Jumlah cairan sebelum dan selama tindakan operasi pada kedua kelompok penelitian ... 39

4.6. Perubahan hemodinamik pada kedua kelompok penelitian ... 39

4.7. Perubahan temperatur ruangan dan core pasien pada kedua kelompok penelitian ... 40

4.8. Kejadian menggigil saat sebelum, selama dan sesudah tindakan operasi pada kedua kelompok penelitian ... 42

4.9. Efek samping tramadol sebelum, selama dan sesudah tindakan operasi pada kedua kelompok penelitian ... 44

BAB 5 PEMBAHASAN ... 46

5.1. Gambaran Umum ... 46

5.2. Hemodinamik setelah pemberian tramadol ... 46

5.3. Menggigil setelah pemberian Tramadol HCl ... 47

5.4. Temperatur ruangan dan core pasien... 48

5.5. Mual dan muntah setelah pemberian Tramadol HCl... 49

5.6. Uji hipotesis... 49

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 51

6.1 KESIMPULAN ... 51

6.2 SARAN... 51

(9)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. Alur kontrol termoregulasi 8

Gambar 2.2. Hubungan hipotermia dan hipotalamus 10

Gambar 2.3. Mekanisme kontrol termoregulasi 11

Gambar 2.4. Hubungan anestesi dengan penurunan core temperatur 11

Gambar 2.5. Ambang termoregulator pada manusia normal 12

Gambar 2.6.

Gambar 2.7

Ambang termoregulator pada manusia yang teranestesi

Rumus bangun tramadol

12

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4.1. Karakteristik sampel penelitian pada kedua kelompok 35

Tabel 4.2. Jenis operasi pada kedua kelompok penelitian 36

Tabel 4.3. Jenis suku, pendidikan dan pekerjaan pada kedua kelompok penelitian

37

Tabel 4.4. Tinggi blok pada kedua kelompok penelitian 38

Tabel 4.5. Jumlah cairan sebelum dan selama tindakan operasi pada kedua kelompok penelitian

39

Tabel 4.6. Perubahan hemodinamik sebelum, selama dan sesudah tindakan operasi pada kedua kelompok penelitian

40

Tabel 4.7. Perubahan temperatur ruangan dan core pasien saat sebelum, selama dan sesudah tindakan operasi pada kedua kelompok penelitian

42

Tabel 4.8. Kejadian menggigil saat sebelum, selama dan sesudah tindakan operasi pada kedua kelompok penelitian

43

Tabel 4.9. Efek samping Tramadol sebelum, selama dan sesudah tindakan operasi pada kedua kelompok penelitian

44

(11)

DAFTAR GRAFIK

Halaman

Grafik 4.1. Timbulnya menggigil setelah pemberian tramadol 43

Grafik 4.2. Timbulnya mual setelah pemberian tramadol 45

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Riwayat Hidup Peneliti 55

Lampiran 2. Penjelasan Mengenai Penelitian 56

Lampiran 3. Randomisasi Blok Sampel dan Daftar Sampel 59

Lampiran 4. Formulir Persetujuan Mengikuti Penelitian 62

Lampiran 5. Lembaran Observasi Perioperatif Pasien 63

Lampiran 6. Persetujuan Komite Etik FK USU 65

(13)

ABSTRAK

Latarbelakang dan Objektif : Menggigil adalah komplikasi yang tidak menyenangkan dan sering terjadi, angka kejadian sekitar 40 – 60 % kasus setelah tindakan anestesi spinal. Banyak intervensi obat-obatan telah diteliti, namun efektifitasnya dalam mencegah menggigil masih belum jelas. Efek tramadol sebagai pencegah menggigil setelah tindakan anestesi spinal sudah pernah diteliti pada dosis Tramadol HCl 1 mg/kgBB. Tujuan dari penelitian ini adalah membandingkan efektifitas dari Tramadol HCl 0,5 mg/kgBB dengan 1 mg/kgBB yang diberikan secara intravena untuk mencegah terjadinya menggigil setelah tindakan anestesi spinal.

Metode : Setelah mendapatkan persetujuan dari komite etik Fakultas Kedokteran USU, 102 sampel dikumpulkan, pria dan wanita, dari umur 18 sampai 60 tahun dengan status fisik ASA 1 dan 2, yang mengikuti tindakan pembedahan elektif di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik dan Rumah Sakit Umum Pirngadi Medan. Sampel kemudian dibagi secara acak menjadi dua kelompok dengan masing-masing 51 subjek. Penelitian ini bersifat prospektif, acak terkontrol secara random tersamar ganda. Grup A menerima Tramadol HCl 0.5 mg/kgBB iv dan grup B menerima Tramadol HCl 1 mg/kgBB iv untuk mencegah menggigil setelah tindakan anestesi spinal. Tekanan darah, laju nadi, laju nafas, saturasi oksigen perifer, temperatur inti, temperatur membran timpani, menggigil, mual dan muntah diawasi dan dicatat. Semua data kemudian dianalisa menggunakan tes T – idendependent dan Chi-square.

Hasil : Tidak ada perbedaan yang signifikan antara umur (p=0,057), jenis kelamin (p=0,427), BMI (0,257) dan ketinggian blok spinal anestesi (p=0,535) antara Tramadol HCl 0,5 mg/kgBB iv dibandingkan dengan Tramadol HCl 1 mg/kgBB iv. Tekanan sistolik dan diastolik setelah pemberian dari kedua obat tersebut didapatkan berbeda secara signifikan. Menggigil, temperatur inti, mual dan muntah pada kedua kelompok tidak didapati adanya perbedaan yang bermakna.

Kesimpulan : Penelitian ini menyimpulkan bahwa Tramadol 0,5 mg/kgBB iv dapat digunakan untuk mencegah menggigil setelah tindakan anestesi spinal.

(14)

ABSTRACT

Background and Objectives : Shivering is an unpleasant and frequent complication

and is seen in 40 – 60 % cases after spinal anesthesia. Numerous pharmacological interventions have been proposed, but their relative efficacy remains unclear. The effect of Tramadol 1mg/kgBW iv in the prevention of perioperative shivering after spinal anesthesia has been studied. The aim of this study is to compare the efficacy of Tramadol HCl 0.5 mg/kgBW with 1 mg/kgBW injected intravenously for prevention of post spinal anesthesia.

Methods : After getting the approval from the ethic committee of USU Medical

school. 102 healthy samples were enrolled, men and women, age 18 to 60 yrs, physical state ASA 1 – 2, who underwent elective surgery in Adam Malik General Hospital and Pirngadi Hospital, Medan. The sample was divided randomly into two groups each with 51 subjects. In a prospective, controlled, randomised, double-blinded clinical trial. Group A received Tramadol HCl 0.5 mg/kgBW iv and group B received Tramadol HCl 1 mg/kgBW iv to prevent shivering after spinal anesthesia. Blood pressure, heart rate, respiratory rate, peripheral oxygen saturation, temperature core, temperature membrane tympani, shivering, nausea, and vomiting were determined and recorded. All data were analysed by using T- independent and Chi-square test.

Results : There were no significant difference between age (p=0.057), sex

(p=0.427), BMI (0.257) and height of block of spinal anesthesia (p=0.535) between Tramadol HCl 0.5 mg/kgBW iv compared to Tramadol HCl 1 mg/kgBW iv. The systolic (p=0.024) and diastolic (p=0.031) pressure after injection of both drugs were significantly different. Shivering, core temperature, nausea and vomiting observed between the two dosages were not statistically different.

Conclusions : This study concluded that Tramadol 0.5 mg/kgBW iv can be used to

prevent shivering after spinal anesthesia.

Key word : Tramadol HCl 1 mg/kgBW iv, Tramadol HCl 0.5 mg/kgBW iv, Spinal

(15)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Menggigil merupakan keadaan yang tidak nyaman dan salah satu komplikasi

yang sering terjadi setelah tindakan pemberian general maupun regional anestesi

pada pasien yang menjalani operasi elektif ataupun darurat.1,4,6,8 Terjadinya

menggigil bisa sesaat setelah tindakan anestesi, dipertengahan jalannya operasi

maupun di ruang pemulihan. Penyebab terjadinya menggigil sampai saat ini belum

diketahui secara pasti, tetapi kemungkinan penyebab terjadinya menggigil paska

anestesi, oleh karena obat-obat anestesi dapat menginhibisi pusat termoregulasi

sehingga terjadi perubahan mekanisme termoregulasi tubuh terhadap penurunan suhu

inti tubuh berupa menggigil.1,2,4,5,8

Angka kejadian menggigil perioperatif meningkat pada umur yang ekstrim,10

tereksposenya tubuh terhadap ruang operasi dengan lingkungan yang dingin,

memberikan cairan infus atau transfusi darah dengan suhu lingkungan ruang operasi

yang dingin atau tidak dihangatkan saat sebelum, selama, dan setelah tindakan

anestesia dan operasi yang durasinya panjang.1,2,7,9,10 Kejadian timbulnya menggigil

selama anestesi regional sekitar 40 – 60 % pada kasus - kasus yang telah di

laporkan.2,3,4,6 Telah dilakukan penelitian pendahuluan di Rumah Sakit Umum Pusat

H. Adam Malik Medan pada pasien yang menjalani pembedahan dengan spinal

anestesi sampai ketinggian blok Thorakal 10 pada 30 orang didapatkan angka

kejadian menggigil 50 %.

Menggigil menyebabkan efek fisiologi yang merugikan, seperti

vasokonstriksi perifer, kompensasi kebutuhan oksigen yang meningkat sampai 5 kali,

meningkatkan produksi karbon dioksida, menurunkan oksigen saturasi arteri,

metabolisme obat yang menurun, mengganggu terbentuknya faktor-faktor

pembekuan, menurunnya respon imun, gangguan penyembuhan luka, meningkatnya

pemecahan protein dan iskemik otot jantung.1,2,4,6,7,8,10

Efek fisiologi yang merugikan ini dapat mengakibatkan morbiditas terhadap

(16)

jantung, luka operasi menjadi infeksi, meningkatnya perdarahan sehingga kebutuhan

tranfusi darah juga dapat meningkat dan dapat meningkatkan lama tinggal pasien di

ruang ICU paska pembedahan.7,8

Pada saat menggigil, ditubuh terjadi peningkatan rangsangan simpatis

sehingga terjadi peningkatan konsentrasi katekolamin dalam sirkulasi plasma maka

terjadi peningkatan laju nadi, tekanan darah dan cardiac output.10

Keadaan ini sangat merugikan bagi pasien, maka menggigil harus dicegah

terutama pasien dengan gangguan fungsi kardiovaskular dan pulmonal (antara lain

jantung aritmia, gagal jantung, infark miokardium dan hipertensi) geriatri dan bayi.

Pada tindakan anestesi spinal terjadi blok pada sistem simpatis sehingga

terjadi vasodilatasi yang mengakibatkan perpindahan panas dari kompartemen

sentral ke perifer, hal ini yang akan menyebabkan hipotermia.1,6,7 Diduga ada tiga

penyebab terjadinya hipotermia pada anestesi spinal yaitu redistribusi panas internal

dari kompartemen sentral ke perifer7,8, hilangnya termoregulasi vasokonstriksi

dibawah ketinggian blok serta berubahnya nilai ambang vasokonstriksi dan nilai

ambang menggigil.1,6 Bila sudah terjadi hipotermia untuk meningkatkan temperatur

inti tubuh sebagai kompensasinya tubuh akan menggigil.

Usaha untuk mengatasi dan mencegah menggigil perioperatif ada beberapa

cara diantaranya dengan berbagai intervensi mekanik (alat pemanas cairan infus,

suhu lingkungan yang ditingkatkan, lampu penghangat dan selimut penghangat)1,2,7,8

dan obat-obatan baik opioid maupun non opioid yang telah diuji untuk mencegah dan

mengurangi perioperatif hipotermia dan menggigil pada pasien yang menjalani

operasi,2,4,8 tetapi tidak semua rumah sakit mampu membeli peralatan mekanik, oleh

karena itu penatalaksanaan mengigil banyak hanya dengan obat-obatan, dan ternyata

merupakan alternatif terapi yang cukup efektif.1

Untuk penggunaan obat golongan opioid khususnya Petidine, telah banyak

diteliti memang efektif untuk penanganan maupun mencegah terjadinya menggigil

pada golongan opioid. Oleh karena itu berpendapat bahwa Petidine merupakan obat

paling efektif untuk penatalaksanaan dan mencegah terhadap menggigil. Tetapi

Petidine mempunyai beberapa efek samping yang tidak diinginkan diantaranya

mendepresi pernafasan, mual, muntah, gangguan hemodinamik dan perlu

(17)

perlu pengawasan lebih ketat pada pasien post anestesi.3,4,6 Selain itu dosis yang

digunakan untuk penatalaksanaan menggigil dengan Petidine hanya 25 mg sehingga

akan bersisa ( 1 ampul berisi 100 mg ), dimana 75 mg ini akan terbuang dan

ditakutkan akan disalahgunakan, maka dicari obat-obat selain opioid yang dapat

digunakan untuk menangani menggigil.2,3,4

Telah banyak dilakukan penelitian terhadap tramadol dibandingkan dengan

petidin untuk pengobatan menggigil pasca anestesi, seperti penelitian oleh Nanda PA

dkk Tramadol HCl 1 mg/kgbb dgn Petidine 0,5 mg/kgbb, Reihanak T dkk Tramadol

HCl 0,5 mg/kgbb dgn Petidine 0,5 mg/kgbb, Dhimar AA dkk Tramadol HCl 0,5

mg/kgbb dgn Petidine 0,5 mg/kgbb didapatkan hasil yang memuaskan dengan

banyak keuntungan dari tramadol sehingga dapat mengurangi penggunaan

Petidine.3,4

Pada umumnya tramadol digunakan sebagai obat analgesik sintetik yang

bekerja di sentral dan mempunyai farmokologi yang kompleks.5 Tramadol terdiri

dari kombinasi R dan L enantiomer, dimana enantiomer L mempunyai efek klinis

terutama untuk menginhibisi reuptake dari norepinephrin sedangkan enantiomer R

mempunyai efek klinis menginhibisi reuptake serotonin ( HT /

5-hydroxytryptamine), memfasilitasi pelepasan 5-HT dan mengaktifasi reseptor .

Tramadol bekerja terutama pada reseptor –opioid agonist, dan juga mempunyai

minimal efek dari reseptor . Norepinephrin merupakan mediator utama dalam

mengkontrol sentral termoregulasi, tetapi ada yang berpendapat akibat dari aktifitas

kombinasi serotononergik dan noradrenergik maupun salah satu.5,

Untuk penggunaan tramadol sebagai terapi terhadap menggigil sudah pernah

diteliti pada dosis 3 mg/kgbb, 2 mg/kgbb 1 mg/kgbb dan 0,5 mg/kgbb ternyata pada

pemberian dosis 0,5 mg/kgbb sudah menunjukkan efektifitas untuk mengatasi

menggigil pasca anestesi dengan efek depresi nafas dan sedasi yang sangat minimal,

sedangkan dosis yang digunakan untuk mencegah menggigil pasca anestesi yang

telah dilakukan dengan Tramadol HCl pada dosis 1 mg/kgbb (Saha E dkk), dimana

dosis ini juga dipakai untuk analgetik dan masih didapatkan efek samping yang tidak

diinginkan.2 Sedangkan Tramadol HCl pada dosis 0,5 mg/kgbb sebagai pencegahan

(18)

dengan anestesi spinal belum pernah diteliti dan belum ada dosis yang jelas untuk

memberikan efek mencegah menggigil dengan efek samping yang minimal.1,2,3,4

1.2. RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang masalah di atas memberikan dasar bagi peneliti untk

merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :

Apakah pemberian Tramadol HCl pada dosis 0,5 mg/kgbb akan memberikan efek

yang sama dengan dosis 1 mg/kgbb secara intravena dalam mencegah menggigil

dengan efek samping yang minimal pada pasien yang akan dilakukan tindakan

anestesi spinal ?

1.3. HIPOTESA

Tidak ada perbedaan pada pemberian Tramadol HCl pada dosis 0,5 dengan 1

mg/kgbb secara intravena dalam mencegah menggigil dengan efek samping yang

minimal pada pasien yang akan dilakukan tindakan anestesi spinal.

1.4. TUJUAN

1.4.1. Tujuan umum : untuk mendapatkan dosis Tramadol HCl yang tepat dalam

mencegah menggigil dengan efek samping yang minimal pada tindakan

anestesi spinal.

1.4.2. Tujuan khusus :

1. Untuk mengetahui efek Tramadol HCl pada dosis 0,5 mg/kgbb dan 1

mg/kgbb intravena yang digunakan dalam mencegah menggigil pada

anestesi spinal.

2. Untuk mengetahui pada temperatur inti berapa akan terjadi menggigil.

3. Untuk mengetahui kejadian efek samping yang timbul (mual dan

muntah) setelah pemberian Tramadol HCl pada dosis 0,5 mg/kgbb dan 1

(19)

1.5. MANFAAT

1.5.1. Mendapatkan dosis Tramadol HCl yang efektif untuk mencegah mengigil

dengan efek samping yang minimal.

1.5.2. Sebagai bahan acuan penelitian lanjutan dengan menggunakan jumlah kasus

yang lebih besar.

1.5.3. Sebagai bahan acuan penelitian lanjutan dengan menggunakan dosis

Tramadol HCl yang berbeda.

1.5.4. Sebagai bahan acuan penelitian lanjutan dengan menggunakan Tramadol HCl

(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Menggigil pasca pembedahan merupakan komplikasi yang sering terjadi pada

tindakan anestesi, dilaporkan angka kejadian sebesar menggigil selama anestesi

regional sekitar 40-60% dilaporkan pada pasien-pasien yang menjalani berbagai jenis

pembedahan yang berbeda pada periode atau segera setelah pembedahan. Menggigil

adalah aktivitas otot secara menyeluruh sebagai mekanisme tubuh untuk

meningkatkan temperatur. Ciri khas menggigil adalah tremor ritmik dan dapat

merupakan respon termoregulator normal terhadap hipotermia selama pembedahan.

Gerakan mirip menggigil yang berasal dari non termoregulator dan bersifat

involunter juga bisa muncul pada periode pasca pembedahan. Menggigil non

termoregulator dapat berhubungan dengan pengendalian nyeri yang tidak adekuat

pada saat pulih sadar atau berhubungan dengan etiologi lain. Pengerasan otot tonik

pada waktu pulih sadar dari agen halogen dapat terlihat seperti mengigil. Serupa

pula, gerakan klonik spontan yang menyerupai menggigil juga dapat terlihat.

2.1. FISIOLOGI

Temperatur inti manusia normal dipertahankan antara 36,5-37,5 0C pada suhu

lingkungan dan dipengaruhi respon fisiologis tubuh. Pada keadaan homeotermik,

sistem termoregulasi diatur untuk mempertahankan temperatur tubuh internal dalam

batas fisiologis dan metabolisme normal. Tindakan anestesi dapat menghilangkan

mekanisme adaptasi dan berpotensi mengganggu mekanisme fisiologis fungsi

termoregulasi.

Kombinasi antara gangguan termoregulasi yang disebabkan oleh tindakan

anestesi dan eksposur suhu lingkungan yang rendah, akan mengakibatkan terjadinya

hipotermia pada pasien yang mengalami pembedahan. Menggigil merupakan salah

satu konsekuensi terjadinya hipotermia perioperatif yang dapat berpotensi untuk

terjadi sejumlah sekuele, yaitu peningkatan konsumsi oksigen dan potensi produksi

karbon dioksida, pelepasan katekolamin, peningkatan cardiac output, takikardia,

(21)

temperatur inti 10C lebih rendah di bawah standar deviasi rata-rata temperatur inti

manusia pada keadaaan istirahat dengan suhu lingkungan yang normal (28-350C).

Kerugian paska operasi yang disebabkan oleh gangguan fungsi termoregulasi adalah

infeksi pada luka operasi, perdarahan, dan gangguan fungsi jantung yang juga

berhubungan dengan terjadinya hipotermia perioperatif.

Fungsi termoregulasi diatur oleh sistem kontrol fisiologis yang terdiri dari

termoreseptor sentral dan perifer yang terintegrasi pada pengendali dan sistem respon

eferen. Input temal aferen datang dari reseptor panas dan dingin baik itu di sentral

atau di perifer. Hipotalamus juga mengatur tonus otot pembuluh darah kutaneus,

menggigil, dan termogenesis tanpa menggigil yang terjadi bila ada peningkatan

produksi panas.

Secara historis, traktus spinotalamikus lateralis diketahui sebagai

satu-satunya jalur termoaferen menuju pusat termoregulasi di hipotalamus. Seluruh jalur

serabut saraf asendens ini terpusat pada formatio retikularis dan neuron termosensitif

berada pada daerah di luar preoptik anterior hipotalamus, termasuk ventromedial

hipotalamus midbrain, medula oblongata, dan korda spinalis. Input multiple yang

berasal dari berbagai termosensitif, diintegrasikan pada beberapa tingkat di korda

spinalis dan otak untuk koordinasi bentuk respon pertahanan tubuh.

Sistem termoregulasi manusia dibagi dalam tiga komponen : termosensor dan

jalur saraf aferen, integrasi input termal, dan jalur saraf efektor pada sistem saraf

otonom.

2.1.1. Termosensor dan Jalur Saraf Aferen

Banyak pengetahuan mengenai struktur sistem termoregulasi yang diperoleh

dari penelitian pada hewan. Input termal aferen dapat berasal dari sentral dan perifer.

Reseptor termal terdapat pada kulit dan membran mukosa yang sensitif terhadap

sensasi termal dan memberikan kontribusi terhadap refleks termoregulasi. Reseptor

spesifik dingin mengeluarkan impuls pada suhu 25-300C. Impuls ini berjalan pada

serabut saraf tipe A- . Reseptor panas mengeluarkan impuls pada suhu 45-500C dan

berjalan pada serabut saraf tipe C.

Reseptor dingin berespon terhadap perubahan sementara temperatur

(22)

perubahan temperatur lingkungan dalam waktu lama, gradual, atau cepat. Respon

yang cepat terhadap perubahan temperatur lingkungan biasanya diikuti respon

temperatur kulit. Hal ini dibuktikan pada penelitian terhadap sistem termoregulasi

manusia secara kimia. Pada penelitian tersebut, disebutkan bahwa produksi panas

tubuh selalu diukur melalui kebutuhan oksigen tubuh. Termoregulasi terhadap dingin

dipengaruhi oleh reseptor dingin pada kulit dan dihambat oleh pusat reseptor panas.

Reseptor dingin kulit merupakan sistem pertahanan tubuh terhadap temperatur dingin

dan input aferen yang berasal dari reseptor dingin ditransmisikan langsung ke

hipotalamus.

Gambar 2.1. Alur Kontrol Termoregulasi

Berbeda dengan reseptor dingin perifer, lokasi reseptor dingin sentral tidak

begitu jelas secara anatomis. Produksi panas pada temperatur kulit yang hangat

meningkat bila temperatur inti tubuh menurun kurang dari 360C. Pusat termoreseptor

dingin kurang begitu penting bila dibandingkan input sensoris dingin perifer, akan

tetapi suatu penelitian terhadap transeksi korda spinalis, menyimpulkan bahwa

proses di pusat termoregulasi akan aktif bila temperatur inti tubuh di bawah titik

(23)

2.1.2. Hipotalamus-Pusat Integrasi

Mekanisme informasi termal aferen akan diolah oleh pusat regulasi

temperatur yang berada di hipotalamus. Hipotalamus anterior menerima informasi

termal aferen secara integral dan hipotalamus posterior mengontrol jalur desendens

ke efektor. Area preoptik hipotalamus berisi saraf sensitif dan insensitif terhadap

temperatur temperatur. Beberapa ahli membaginya dalam saraf yang sensitif

terhadap panas meningkatkan respon peningkatan produksi panas lokal yang

diaktivasi oleh mekanisme pelepasan panas tubuh dan dingin sebaliknya,

meningkatkan respon terhadap dingin tubuh pada area preoptik hipotalamus. Saraf

yang sensitif tehadap stimulasi termal lokal dikontrol oleh hipotalamus posterior,

formatio retikularis, dan medula spinalis.

Hipotalamus posterior menerima rangsang aferen dingin yang berasal dari

perifer dengan stimulasi panas yang bersumber dari area preoptik hipotalamus dan

mengaktifkan respon efektor. Deteksi dingin dibedakan dengan panas berdasarkan

impuls aferen yang berasal dari reseptor dingin. Bila temperatur inti tubuh turun

0,50C dibawah nilai normal, neuron preoptik akan menjadi tidak aktif. Kulit

mengandung reseptor dingin dan panas, dimana reseptor dingin 10 kali lebih banyak

bila dibandingkan dengan reseptor panas.

Suatu penelitian terhadap manusia menyimpulkan bahwa termoregulasi

otonom bekerja melalui empat mekanisme saraf yaitu : deteksi panas sentral, deteksi

dingin perifer, pusat inhibisi panas sebagai respon metabolik terhadap dingin, dan

inhibisi termoregulasi keringat terhadap kulit yang dingin.

Temperatur set-point didefinisikan sebagai batas ambang temperatur sekitar

36,7-37,10C. Set-point ini dapat disebut juga thermoneutral zone atau interthreshold

range dan pada manusia sangat unik. Pada manusia set-point ini bervariasi, selama

tidur suhu tubuh sekitar 36,20C sampai menjelang pagi, meningkat lebih dari 10C

menjelang malam. Wanita memiliki nilai set-point yang lebih tinggi 10C selama

siklus menstruasi pada fase luteal. Pada tumor intrakranial seperti space-occupying

lesion dan keadaan dehidrasi dapat menyebabkan peningkatan temperatur set-point

(24)

Gambar 2.2. Hubungan hipotermia dan hipotalamus.

2.1.3. Respon Efektor

Respon termoregulasi ditandai dengan pertama, perubahan tingkah laku yang

secara kuantitatif mekanisme ini lebih efektif, kedua, respon vasomotor yang

ditandai dengan vasokonstriksi pembuluh darah dan piloereksi sebagai respon

terhadap dingin, dan vasodilatasi dan berkeringat sebagai respon terhadap panas,

ketiga, menggigil dan peningkatan rata-rata metabolisme.

Pada keadaan sadar, perubahan tingkah laku lebih jelas terlihat bila

dibandingkan dengan mekanisme otonom regulasi temperatur tubuh. Bila

hipotalamic termostat mengindikasikan adanya temperatur tubuh terlalu dingin,

impuls dapat sampai ke korteks serebri tanpa melalui hipotalamus untuk

menghasilkan sensasi rasa dingin. Keadaan ini menimbulkan perubahan tingkah laku

seperti peningkatan aktivitas motorik, berusaha mencari penghangat atau memakai

penghangat tambahan . Kontrol respon tingkah laku terhadap dingin didasari oleh

besarnya signal panas yang diterima kulit.

Dapat diambil kesimpulan bahwa pengaturan suhu tubuh bertujuan untuk

mempertahankan suhu tubuh inti pada batas normal dengan mekanisme seperti

(25)

Gambar 2.3. Mekanisme kontrol termoregulasi.

2.2. PATOFISIOLOGI

Fungsi termoregulasi mengalami perubahan selama dilakukan tindakan

anestesi dan mekanisme kontrol terhadap temperatur setelah dilakukan tindakan

anestesi baik umum maupun regional akan hilang. Seorang anestesiologist harus

mengetahui management kontrol termoregulasi pasien. Tindakan anestesi

menyebabkan gangguan fungsi termoregulator yang ditandai dengan peningkatan

ambang respon terhadap panas dan penurunan ambang respon terhadap dingin.

Hampir semua obat-obat anestesi mengganggu respon termoregulasi.

Temperatur inti pada anestesi umum akan mengalami penurunan antara 1,0-1,50C

selama satu jam pertama anestesi yang diukur pada membran timpani. Sedangkan

pada anestesi spinal dan epidural menurunkan ambang vasokonstriksi dan menggigil

pada tingkatan yang berbeda, akan tetapi ukurannya kurang dari 0,60C dibandingkan

anestesi umum dimana pengukuran dilakukan di atas ketinggian blok.

(26)

Pemberian obat lokal anestesi untuk sentral neuraxis tidak langsung

berinteraksi dengan pusat kontrol yang ada di hipotalamus dan pemberian lokal

anestesi intravena pada dosis ekuivalen plasma level setelah anestesi regional tidak

berpengaruh terhadap termoregulasi. Mekanisme gangguan pada termoregulasi

selama anestesi regional tidak diketahui dengan jelas, tapi diduga perubahan sistem

termoregulasi ini disebabkan pengaruh blokade regional pada jalur informasi termal

aferen.

Gambar 2.5. Ambang termoregulator pada manusia normal (tidak teranestesi).

Gambar 2.6. Ambang termoregulator pada manusia yang teranestesi.

Pada anestesi spinal akan menurunkan ambang menggigil sampai dan pada

inti hipotermi pada jam pertama atau setelah dilakukan anestesi spinal akan menurun

sekitar 1–2 0C, hal ini berhubungan dengan redistribusi panas tubuh dari

kompartermen inti ke perifer dimana spinal menyebabkan vasodilatasi.

Pada anestesi spinal terjadi menggigil di atas blokade dari lokal anestesi

(27)

untuk terjadinya menggigil. Sama seperti pada anestesi umum, hipotermia terjadi

pada jam pertama anestesi, atau setelah dilakukan tindakan anestesi spinal. Hal ini

terjadi karena proses redistribusi panas inti tubuh ke perifer oleh vasodilatasi yang

disebabkan blokade anestesi spinal.

Terjadinya hipotermia tidak hanya murni karena faktor blokade spinal itu

sendiri tapi juga karena faktor lain seperti cairan infus atau cairan irigasi yang dingin,

temperatur ruangan operasi dan tindakan pembedahan. Pasien akan mengalami

penurunan temperatur tubuh oleh karena terjadi redistribusi panas di bawah

ketinggian blok ditambah pemberian cairan dengan suhu yang rendah akan

memberikan implikasi yang tidak baik pada pasien yang menjalani pembedahan

terutama pasien dengan usia tua karena kemampuan untuk mempertahankan

temperatur tubuh pada keadaan stress sudah menurun.

Pemberian obat lokal anestesi yang dingin seperti es, akan meningkatkan

kejadian menggigil dibandingkan bila obat dihangatkan sebelumnya pada suhu 300C,

tetapi penghangatan ini tidak berlaku pada pasien yang tidak hamil karena tidak ada

perbedaan jika diberikan dalam keadaan dingin atau hangat. Menggigil selama

anestesi regional anestesi dapat dicegah dengan mempertahankan suhu ruangan yang

optimal, pemberian selimut dan lampu penghangat atau dengan pemberian obat yang

efektifitasnya sama untuk mengatasi menggigil paska anestesi umum.

Terjadinya hipotermia selama regional anestesi tidak dipicu oleh sensasi

terhadap dingin. Hal ini menggambarkan suatu kenyataan bahwa persepsi dingin

secara subjektif tergantung pada input aferen suhu pada kulit dan vasodilatasi perifer

yang disebabkan oleh regional anestesi. Setelah terjadi redistribusi panas tubuh ke

perifer pada induksi anestesi umum dan regional, hipotermia selanjutnya tergantung

pada keseimbangan antara pelepasan panas pada kulit dan metabolisme panas yang

akan melepas panas tubuh. Selama anestesi spinal terdapat dua faktor yang akan

mempercepat pelepasan panas dan mencegah timbulnya perubahan temperatur inti

yang terlihat setelah anestesi : pertama, dengan menurunkan ambang vasokonstriksi

yang digabungkan dengan vasodilatasi pada tungkai bawah selama blok terjadi. Oleh

karena itu kehilangan panas terus berlangsung selama anestesi spinal meskipun

mekanisme aktivitas efektor berlangsung di atas ketinggian blok. Hal ini terlihat

(28)

spinal menurunkan ambang vasokonstriksi selama tindakan anestesi dan

meningkatkan rata-rata sensasi dingin bila dibandingkan hanya dengan anestesi

umum saja karena vasokonstriksi yang secara kuantitatif terpenting pada ekstremitas

bawah dihambat oleh blokade itu sendiri.

Menggigil merupakan mekanisme pertahanan terakhir yang timbul bila

mekanisme kompensasi yang lain tidak mampu mempertahankan suhu tubuh dalam

batas normal. Rangsangan dingin akan diterima afektor diteruskan ke hipothalamus

anterior dan memerintahkan bagian efektor untuk merespon berupa kontraksi otot

tonik dan klonik secara teratur dan bersifat involunter serta dapat menghasilkan

panas sampai dengan 600% diatas basal. Mekanisme ini akan dihambat oleh tindakan

anestesia dan pemaparan pada lingkungan yang dingin dan dapat meningkat pada

saat penghentian anestesia.

Penurunan laju metabolisme yang disebabkan oleh hipotermia dapat

memperpanjang efek anestesi sedangkan menggigil yang menyertainya akan

meningkatkan konsumsi oksigen 100% - 600%2,4 , dan meningkatkan resiko angina

dan aritmia pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler.2 Morbiditas yang mungkin

terjadi dan telah dilaporkan cukup bermakna adalah peningkatan kebutuhan

metabolik (hal ini dapat membahayakan pada pasien dengan cadangan hidup yang

terbatas dan yang berada pada resiko kejadian koroner), menimbulkan nyeri pada

luka, meningkatkan produksi CO2, denyut jantung, memicu vasokonstriksi dan

dengan demikian meningkatkan resistensi vaskular, tekanan darah, dan volume

jantung sekuncup sehingga terjadi peningkatan tekanan intraokuler dan intrakranial.

Sebagai tambahan, resiko perdarahan dan infeksi luka bedah akan meningkat pada

pasien hipotermik. Karena alasan-alasan itulah, mempertahankan pasien pada suhu

normal merupakan baku perawatan.

2.3. ETIOLOGI

Etiologi menggigil pasca pembedahan masih belum jelas, tetapi diperkirakan

bahwa hipotermia selama pembedahan dan gangguan pada pusat termoregulator

merupakan faktor penyebab yang utama. Penelitian elektromiografi menunjukkan

bahwa menggigil post anestesia berbeda dengan menggigil yang disebabkan oleh flu.

(29)

anestesi, dan respon febril.Menggigil merupakan respon terhadap hipotermia selama

pembedahan terhadap perbedaan antara suhu darah dan kulit dengan suhu inti tubuh.

Setiap pasien yang menjalani pembedahan berada dalam resiko mengalami

hipotermia.1 Ahli anestesi menempatkan menggigil pada posisi ke-8 sebagai yang

sering terjadi, dan ke-21 sebagai komplikasi yang perlu dicegah.15 Pada manusia,

suhu inti tubuh dipertahankan dalam batas yang sempit dari 36.5 - 37.5°C.18,19

Walaupun literatur yang ada saat ini tidak memberikan definisi yang jelas tentang

normotermia ataupun hipotermia, adalah merupakan konsensus dari para ahli bahwa

normotermia didefinisikan terbaik sebagai temperatur inti yang berkisar antara

36ºC-38ºC (96.8ºF-100.4ºF). Hipotermia didefinisikan sebagai temperatur inti yang kurang

dari 36ºC (96.8ºF). Hipotermia dapat terjadi diluar temperatur tersebut jika pasien

mengeluh merasa kedinginan atau menampilkan gejala hipotermia seperti menggigil,

vasokonstriksi perifer, dan piloereksi. 1

Hipotermia sering terjadi sebagai efek samping dari anestesia.2 Yang diakibatkan

oleh vasodilatasi akibat hambatan pada pusat pengaturan suhu dan transfer panas

antar kompartemen. Faktor yang mendukung kejadian hipotermia bervariasi,

meliputi berikut ini :1

• Usia ekstrim (Anak-anak dan orangtua) • Kehamilan

• Suhu ruangan

• Lama dan jenis prosedur bedah

• Kondisi yang ada sebelumnya (kehamilan, luka bakar, luka terbuka, dll) • Status hidrasi

• Penggunaan cairan dan irigasi yang dingin • Pemberian anestesia umum

• Pemberian anestesia regional

2.4. MEKANISME PERTUKARAN PANAS

Pertukaran gas antara tubuh dan lingkungan sekitar dicapai dengan berbagai cara

seperti yang dijelaskan berikut ini :

(30)

Radiasi mengarah kepada hilangnya panas via sinar panas infrared (sebuah tipe

gelombang elektromagnetis) yang meradiasi keluar dari kulit. Gelombang ini

berasal dari semua benda yang ada dengan suhu diatas nol mutlak (absolute zero

temperature), dan intensitas radiasi meningkat sebanding dengan peningkatan

suhu benda. Dalam kondisi normal, radiasi meliputi sekitar 60 % dari panas yang

hilang dari tubuh manusia.

b. Konduksi

Konduksi adalah perpindahan panas dari benda dengan suhu yang lebih tinggi ke

benda dengan suhu yang lebih rendah. Ini adalah sifat panas sebagai energi

kinetik. Perpindahan panas dengan konduksi sendiri bertanggung jawab untuk

15% dari hilangnya panas dari tubuh.

c. Konveksi

Ketika panas hilang dari kulit, ia akan menghangatkan udara tepat di atas

permukaan kulit. Peningkatan suhu permukaan ini membatasi kehilangan panas

tubuh yang berlebih akibat konduksi. Akan tetapi ketika aliran udara dari kipas

(atau hembusan angin) melewati kulit, ia akan menggantikan lapisan hangat dari

udara di atas permukaan kulit dan menggantinya dengan udara yang lebih dingin,

hal ini menyebabkan hilangnya panas tubuh terus menerus akibat konduksi. Efek

yang sama dihasilkan dengan peningkatan alirandarah tepat di bawah permukaan

kulit. Aksi dari aliran (darah dan udara) menyebabkan hilangnya panas yang

dikenal dengan konveksi.

d. Evaporasi

Perubahan air dari fase zat cair mejadi gas memerlukan panas, dan ketika air atau

keringat berevaporasi dari permukaan tubu, panas yang digunakan adalah panas

tubuh. Normalnya, evaporasi meliputi 20% dari hilangnya panas tubuh

(kebanyakan merupakan akibat dari insensible fluid loss dari paru). Evaporasi

memainkan peran penting dalam adaptasi stress thermal.

Panas adalah suatu bentuk energi, dan temperatur adalah pengukuran dari

panas tubuh. Keseimbangan panas dihubungkan dengan jumlah panas tubuh,

meningkat dengan produksi panas dan berkurang oleh evaporasi melalui keringat.

(31)

tergantung keadaan lingkungan. Sebagai contoh, jika temperatur ruangan lebih besar

dari temperatur tubuh, radiasi akan meningkatkan panas tubuh, begitu juga

sebaliknya bila temperatur ruangan kurang dari temperatur tubuh. Proses terjadinya

panas tubuh adalah obligat, hal ini terjadi tanpa melalui mekanisme termoregulasi,

atau fakultatif yang terjadi karena manipulasi oleh mekanisme termoregulasi untuk

menyimpan panas. Panas obligat termasuk dalam basal metabolisme rate (BMR).

Pengeluaran energi ini untuk mempertahankan homeostasis normal tubuh dan

rata-rata kurang lebih 40 Kcal/m2/jam. Energi ini akan meningkat pada usia muda,

juga adanya perangsangan sistem saraf simpatis oleh demam dan oleh hormon

tiroksin, androgen, dan growth hormon. Pengeluaran energi akan menurun seiring

dengan pertambahan usia, selama tidur, dan malnutrisi. Panas tubuh fakultatif

termasuk latihan fisik yang dapat meningkatkan produksi panas 20 kali BMR.

Menggigil akan meningkatkan produksi panas enam kali lipat di atas BMR dan

termogenesis tanpa menggigil merupakan hal yang penting bagi neonatus tetapi tidak

untuk orang dewasa.

Pelepasan panas pada saat istirahat lebih banyak (75%) melalui konduksi,

konveksi, dan radiasi. Kehilangan panas karena konveksi terjadi njika lapisan luar

kulit hilang atau rusak. Kehilangan panas karena radiasi adalah proporsional

perbedaan temperatur antara pasien dan suhu lingkungan. Sisanya, 25% kehilangan

panas pada waktu istirahat adalah evaporasi melalui insensible water loss, yang

secara prinsipil evaporasi terjadi melalui saluran pernafasan. Berkeringat terjadi

karena sekresi air pada kulit yang disebabkan oleh evaporasi spesifik panas laten

sebesar 0,58 cal/g, proses evaporasi ini dapat melepaskan panas lebih dari 20 kali

BMR.

Pasien dengan normal temperatur inti 370C yang teranestesi, permukaan

tubuhnya akan terpapar dengan suhu ruang operasi antara 20-250C. Terpapar dengan

suhu dingin ini sering diperberat dengan pemberian larutan dingin antiseptik dan

diikuti dengan evaporasi dipermukaan kulit atau cairan dingin yang diberikan ke

tubuh pasien atau oleh pemberian caitan infus intravena yang akan meningkatkan

kehilangan panas secara konduksi.

Pengukuran terhadap panas tubuh tidak dapat dilakukan secara langsung.

(32)

dan panas tubuh. Pengukuran rata-rata tempertur tubuh (Tbody) diperoleh dengan

menggunakan rumus sebagai berikut:

Tbody = 0,66 Tcore + 0,34 Tskin

Tcore = temperatur inti tubuh dan Tskin = rata-rata temperatur kulit tubuh

Akurasi hasil pengukuran ini tergantung adekuasi pengukuran temperatur kulit.

2.5. MONITOR TEMPERATUR

Efek fisiologik dari perubahan temperatur tubuh adalah alasan utama untuk

memonitor temperatur tubuh sewaktu tindakan anestesi. Selain hipotermi sebagai

suatu indikasi operasi, sebagai proteksi terhadap iskemik jaringan adalah

direkomendasikan temperatur inti intraoperatif harus dijaga diatas 360C.

Pengukuran temperatur harus akurat dan konsisten. Merupakan kewajiban

dari praktisi untuk menentukan metode terbaik untuk mengawasi temperatur inti

pasien, dan untuk menggunakan perangkat pengawasan suhu secara benar, sekaligus

memperkirakan bagian mana yang akan diukur, kenyamanan pasien, dan keamanan.

Temperatur yang terukur dapat berbeda tergantung dari lokasi atau bagian

tubuh mana yang diperiksa. Selama periode perioperatif, temperatur tubuh dapat

berubah dengan cepat, maka sebaiknya temperatur yang diukur adalah temperatur

inti. Temperatur inti adalah suhu darah perfusi pada sistem organ vital. Temperatur

inti diukur pada arteri pulmonal, distal esofagus, nasofaring dan membran timpani.

Distal esofagus (25% dari bagian bawah esofagus) memberikan gambaran temperatur

darah dan serebral. Temperatur membran timpani dan aural kanal memberikan

estimasi temperatur hipotalamus dan berkorelasi dengan temperatur esofagus.

Temperatur inti juga dapat diperkirakan dengan menggunakan bagian oral, aksiler,

ataupun kandung kencing. Temperatur kulit dan rektal yang disesuaikan dapat

menggambarkan temperatur inti dengan cukup baik, tetapi menjadi tidak dapat

diandalkan ketika terjadi Krisis Hipertermia Maligna.

Beberapa penelitian terakhir menyatakan bahwa pengawasan timpani

menggunakan infra merah merupakan metode pengukuran temperatur sebelum dan

pasca pembedahan yang lebih disukai. Perlu diingat bahwa ketepatan pembacaan

(33)

2.6. PENATALAKSANAAN MENGGIGIL

2.6.1. NONFARMAKOLOGIS

Pencegahan terjadinya proses redistribusi yang menyebabkan hipotermia

dapat dilakukan dengan pemberian selimut hangat. Redistribusi panas terjadi dengan

adanya vasodilatasi yang disebabkan oleh tindakan anestesi sehingga panas

berpindah dari inti tubuh ke perifer. Penghangatan di seluruh permukaan tubuh

secara pre-emtive dapat dilakukan dengan menggunakan forced air warming. Alat ini

tidak meningkatkan temperatur inti tubuh, tetapi meningkatkan panas tubuh,

khususnya pada daerah kaki dan panas dilepas melalui permukaan kulit. Penggunaan

alat ini tidak efektif dan jarang digunakan dalam praktek klinis karena membutuhkan

waktu satu jam untuk proses penghangatan sebelum digunakan. Tindakan

penghangatan yang terlalu berlebihan justru dapat menyebabkan pasien mengalami

keringat yang banyak dan tidak nyaman.

Penghangat pasif, termasuk menggunakan kain katun dapat digunakan pre

operatif untuk mengurangi pelepasan panas ke lingkungan. Melapisi permukaan

tubuh dengan penghangat pasif sangat penting dan lebih efektif. Bagaimanapun,

penghangat pasif atau dengan penambahan penghangat lain tidak memperbaiki

konservasi panas secara signifikan dan sistem penghangat pasif tidak efektif dalam

jangka waktu lama, apalagi pada operasi besar.

Hanya 10% produksi panas dihasilkan dengan pemanasan dan humidifying

inspired gas, metode ini relatif tidak efektif untuk mempertahankan suhu

normotermia. Temperatur kamar disesuaikan oleh pelepasan panas dari tubuh pasien

dengan cara radiasi dan konveksi dan selalu ada pada suhu > 23˚C untuk

mempertahankan dalam batas normotermia. Penggunaan water mattresses tidak

efektif untuk mencegah pelepasan panas karena panas yang dikeluarkan relatif

sedikit dari bagian belakang. Kehilangan panas secara konduksi dapat dikurangi bila

cairan intravena dihangatkan terlebih dahulu sebelum digunakan.

Sistem forced air-warming yang terbaik untuk mempertahankan suhu tubuh

dalam batas normotermia pada prosedur pembedahan. Pembedahan yang

berlangsung lama dan akan efektif khususnya bila digunakan intraoperatif pada

(34)

intraoperatif dan postoperatif sehingga mengurangi kejadian menggigil pascaanastesi

dan ketidaknyamanan pasien.

Strategi khusus untuk pengendalian temperatur tubuh adalah sebagai berikut:

1. Mempertahankan temperatur ruang operasi yang sesuai dengan usia dewasa yaitu

24-26˚C.

2. Menggunakan gas inspirasi yang hangat dengan menggunakan penghangat

humidifiers, alat ini dapat mengurangi kehilangan panas tetapi tidak untuk

pencegahan.

3. Menggunakan sistem penghangat konveksi dengan forced warm air.

4. Menggunakan selimut penghangat, untuk mengurangi kehilangan panas, cairan

intravena dan cairan irigasi harus dihangatkan terlebih dahulu di atas temperatur

tubuh (cairan intravena 40˚C; cairan untuk irigasi 40˚ C).

5. Menggunakan lampu penghangat secara langsung dapat menyebabkan kulit

menjadi merah terutama daerah dada, wajah, dan leher karena alat ini mempunyai

densitas yang tinggi pada termoreseptor.

Salah satu penyebab terjadinya menggigil adalah pemberian cairan kristaloid

intravena dan cairan lainnya pada suhu antara 20-22˚C (suhu kamar operasi). Pada

penelitian terhadap wanita hamil, menggigil terjadi pada 64% dan jika cairan

intravena diberikan pada suhu 30-33˚C, kejadian menggigil berkurang hingga 15%.

Hasil penelitian ini merekomendasikan bahwa pada pemberian semua cairan

intravena hendaknya dihangatkan terlebih dahulu.

Kamar operasi dengan temperatur kurang dari 20˚C dapat menyebabkan

penurunan temperatur tubuh. Pada pasien tua, menggigil dapat terjadi jika temperatur

tubuh turun sekitar 0,7˚C. Hal ini disebabkan karena pada usia tua kapasitas

termoregulasi sudah menurun. Setelah pemberian obat-obat anestesi, kehilangan

panas meningkat oleh karena vasodilatasi khususnya pada regional anestesi. Pada

pasien didapatkan bahwa cairan irigasi yang dihangatkan dapat mengurangi

(35)

2.6.2. FARMAKOLOGIS

Hampir semua anestetis akan berusaha mengobati keadaan menggigil pada

periode pasca pembedahan. Mekanisme kerja dan lokasi kerja dan dosis optimal

obat-obat yang memiliki kemampuan menghilangkan menggigil masih belum jelas.

Sebagian besar diduga dengan cara menurunkan ambang menggigil. Banyak sediaan

obat digunakan untuk tujuan ini, walaupun masih dalam tahap uji klinis seperti

clonidine, doxapram, ketanserin, alfentanil, dexametason dosis rendah, Magnesium

sulfat, Ketamin dll. Salah satu obat yang paling efektif adalah Meperidin, tetapi oleh

karena memiliki efek samping yang berbahaya maka perlu dilakukan pengawasan

secara ketat, oleh sebab itu dicari alternatifnya dan dari penelitian-penelitian terakhir

didapatkan tramadol lebih efektif dari meperidine dengan efek samping yang lebih

minimal.

Salah satu jenis atypical central-acting opioids adalah tramadol hydrocloride

yang merupakan sintetik 4-phenyl-piperidine yang analog dengan kodein dan

merupakan derivat dari aminocyclohexanol. Tramadol merupakan obat analgesik

sintetik yang bekerja di sentral dan mempunyai farmokologi yang kompleks.5

Tramadol terdiri dari kombinasi R dan L enantiomer, dimana enantiomer L

mempunyai efek klinis terutama untuk menginhibisi reuptake dari norepinephrin

sedangkan enantiomer R mempunyai efek klinis menginhibisi reuptake serotonin

(5-HT / 5-hydroxytryptamine), memfasilitasi pelepasan 5-(5-HT dan mengaktifasi reseptor

. Tramadol bekerja terutama pada reseptor –opioid agonist, dan juga mempunyai

minimal efek dari reseptor . Norepinephrin merupakan mediator utama dalam

mengkontrol sentral termoregulasi, tetapi ada yang berpendapat akibat dari aktifitas

kombinasi serotononergik dan noradrenergic maupun salah satu.5,

2.6.2.1. SEJARAH

Pada tahun 1962 ahli kimia perusahaan farmasi Gr nenthal, Jerman, saat

mencari struktur campuran obat baru dengan efek antihistamin antialergi dan

spasmolitik, ternyata campuran obat ini mempunyai sifat seperti opioid. Obat

tersebut secara farmakologi menunjukkan aktifitas antinociceptive dan efek pada

system syaraf pusat. Campuran obat yang asli terdiri dari L- dan R- enantiomer

(36)

Uji farmakologis pada 12 orang, R-enantiomer menunjukkan analgetik yang lebih

kuat, kemudian campuran ini diberi nama tramadol.

Gambar 2.7. Rumus bangun tramadol.

2.6.2.2. FARMAKOKINETIK

Pada pemberian oral, tramadol diabsorbsi secara cepat oleh usus kecil sebesar

95-100% dan bioavailabilitasnya 70% pada dosis tunggal. Mula kerja tramadol 5-10

menit dengan half-life (T1/2) 5,1 (SD±0 ,8 ) jam dan peak plasma concentrations

tercapai pada 2-4 jam. Tramadol melewati sawar plasenta sebesar 1% dan 0,1%

berada dalam air susu ibu.

Metabolisme tramadol terjadi dihati. Jalur metabolisme utama tramadol

adalah N- dan O- demethylasi dan glucuronidasi atau sulfasi. Hasil metabolit aktif

dari tramadol yaitu O-desmethyltramadol dikenal sebagai M1. Metabolit M1

dikalisa oleh isozim CYP2D6 pada sitokrom P-450. Proses metabolisme menurun

pada pasien dengan kelainan fungsi hati.

Volume distribusi tramadol adalah 2,6 dan 2,9 liter/ kg pada laki-laki dan

wanita (rata-rata 2,7 L/kg) setelah pemberian 100 mg intravena. Tramadol mengikat

protein plasma hanya 20%, sebanyak 86% tramadol yang diabsorbsi, dan ikatan

sendiri juga terlihat pada konsentrasi 10 g/ml.

Tramadol dan metabolitnya diekskresi terutama melalui urin dengan waktu

paruh plasma 6,3 jam, sisanya kurang dari 1% tramadol diekskresi melalui saluran

biliaris.

Pasien dengan gangguan fungsi organ (hepar atau ginjal) sangat berpengaruh

(37)

total menjadi setengahnya, misalnya dosis 200 mg/hari dibagi dalam dua dosis per 12

jam pada gagal ginjal kronik, dan 50 mg tiap 12 jam pada gangguan fungsi hepar

kronik.

2.6.2.3. FARMAKODINAMIK

Tramadol memiliki afinitas lemah terhadap reseptor µ opioid dan juga pada

reseptor K, dan . Kekuatan afinitas tramadol 6000 kali lebih lemah dari morfin, 100

kali lebih lemah dari dextropropoxyphene, 10 kali lebih lemah dari kodein, dan

ekuivalen dengan dekstrometorpan. Tramadol adalah obat recemic mixture dan tiap

enantiomer memiliki opioid binding affinities yang berbeda dan juga dalam

penghambatan terhadap monoaminergik re-uptake. Enantiomer (+) tramadol dan

metabolitnya berikatan kuat dengan reseptor µ opioid dibanding enantiomer (-)

tramadol. Enantiomer (+) memiliki efek inhibisi re-uptake 5-hydroxy tryptamine

(5-HT atau serotonin) empat kali lebih kuat. Hal ini menyebabkan stimulasi pelepasan

5-HT presinaptik. Enantiomer (-) berefek inhibisi re-uptake noradrenalin. Aktivitas

tramadol sebagian dapat dihambat oleh nalokson (30%).

Tramadol diindikasikan untuk terapi nyeri moderat hingga nyeri berat dan

berpotensi analgetik yang sama dengan petidin. Memiliki potensi 1/1.000 kali

fentanyl dan 1/10 kali morfin intravaskular. Tramadol 50-150 mg ekuivalen dengan

morfin 5-15 mg intravaskular. Tramadol 1 mg/kgBB intravena sangat efektif untuk

mengobati menggigil pascaoperasi dan berpotensi anti menggigil yang sama dengan

meperidin pada dosis efektif 25-60 mg. Untuk meminimalisasi efek samping yang

terjadi, hendaknya tramadol diberikan secara perlahan dalam 2 sampai 3 menit.

Tramadol dapat meningkatkan transmisi monoaminergik sehingga obat ini tidak

diberikan pada pasien yang sedang diterapi dengan monoamine oxidase inhibitors,

dan pasien dengan riwayat epilepsi. Depresi pernafasan jarang terjadi pada

pemberian tramadol dibanding pemberian morfin intravena dan tidak mempengaruhi

fungsi jantung sehingga aman diberikan pada pasien dengan gangguan

kardiovaskular. Terhadap gastrointestinal, tramadol tidak mempengaruhi peristaltik

usus dan sfinkter oddi. Efek samping yang sering terjadi walaupun kejadiannya kecil

adalah nyeri kepala (5,3%), mual (4,8%), sedasi (2,4%), dan mulut kering (2,2%)

(38)

pelepasan histamin dan estimasi kejadiannya diperkirakan 1 dalam 700.000. Pada

kasus pasien cedera kepala dengan peningkatan kadar katekolamin darah, tramadol

tidak dianjurkan untuk diberikan karena dapat menimbulkan kejang. Ondansetron

dapat mengurangi potensi analgetik tramadol apabila diberikan secara bersamaan.

2.6.2.4. TRAMADOL SEBAGAI ANTI MENGGIGIL

Pada tahun 1963, Feldberg dan Myers mengemukakan suatu terori yang

disebut monoamine theory pada sistem termoregulasi. Teori ini menyatakan bahwa

the body temperature set point dikontrol oleh keseimbangan antara norepineprin dan

serotonin ( 5 hydroxy triptamine [5-HT] ) yang berada di area preoptik anterior

hipotalamus.

Tramadol merupakan obat analgetikm yang secara farmakologis sangat

kompleks dan mengandung enentiomer (+) dan (-). Peranan tramadol untuk

mengatasi menggigil adalah dengan cara inhibisi re-uptake norepinefrin oleh

enantiomer (-) sedangkan enantiomer (+) menghambat re-uptake 5-HT, sehingga

memfasilitasi pelepasan 5HT dan mengaktivasi reseptor µ opioid. Norepinefrin

adalah mediator terbesar pada kontrol sistem termoregulasi. Sebagai contoh,

penyuntikan norepinefrin intrventrikuler dapat menurunkan temperatur inti dan

metabolisme tubuh pada hewan primata. Pengaruh 5 HT masih kontroversi, akan

tetapi banyak para ahli percaya bahwa 5 HT bekerja menghambat sistem kontrol

termoregulasi tubuh. Peranan reseptor µ opioid adalah menurunkan ambang

vasokonstriksi dan menggigil, pengaruh ini sama seperti pada anastesi volatile atau

anestesi intravena.

2.6.2.5. INDIKASI

- Terapi nyeri sedang sampai berat pada kondisi akut maupun kronik. Dosis yang digunakan 1 – 3 mg/kgbb secara intravena setiap 8 jam dengan dosis

maksimum 400 mg per hari.

- Anti menggigil

Dosis yang digunakan untuk terapi menggigil 0,5 – 2 mg/kgbb secara

intravena, dan sebagai pencegahan dosis yang sudah digunakan secara

(39)

2.6.2.6. EFEK SAMPING

Efek samping tramadol sama seperti opioid antara lain mual, muntah dan

mengantuk. Kejadian pruritus maupun reaksi pada kulit sangat sedikit.

2.7. KERANGKA KONSEP

Vasodilatasi Suhu ruangan

Status hidrasi

Cairan irigasi

yg dingin

Lama operasi

Tindakan op

ANESTESI

SPINAL

Redistribusi panas tubuh dari inti ke perifer

Tramadol HCl 0,5 mg/kgbb

Tramadol HCl 1 mg/kgbb Hipotalamus

Pembedahan

Menggigil

Tekanan darah

Tindakan pembedahan

Mual Muntah

Inhibisi reuptake serotonin (5-HT) Fasilitasi pelepasan 5-HT

Keterangan :

(40)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. DESAIN

Penelitian ini menggunakan uji klinis acak terkontrol secara random tersamar

ganda untuk mengetahui perbedaan efek pemberian Tramadol HCl dosis 0,5

mg/kgbb dengan 1 mg/kgbb dalam mencegah menggigil pada anestesi spinal dengan

efek samping yang minimal. Random dilakukan dengan memakai cara randomisasi

blok. Randomisasi blok yang dimaksud sebagai berikut :

1. Dilakukan oleh relawan yang telah dilatih sebelumnya.

2. Dengan memakai tabel angka random.(18)

3. Pena dijatuhkan diatas tabel angka random, angka yang terkena merupakan

urutan untuk memulai penelitian.

4. Kelompok A adalah Tramadol HCl 0.5 mg/kgbb iv dan Kelompok B adalah

Tramadol 1 mg/kgbb iv.

5. Untuk kelompok AB adalah angka 0 sampai 4 dan untuk kelompok BA

adalah angka 5 sampai 9.

6. Randomisasi dilakukan satu kali, urutan AB atau BA dibuat dan disimpan

daftarnya oleh relawan yang melakukan randomisasi yang telah dilatih

(desain daftar pasien terlampir).

7. Obat disiapkan oleh relawan yang melakukan randomisasi (peneliti dan

pasien tidak mengetahui komposisi obat dalam spuit).

8. Setelah melakukan randomisasi dan menyiapkan obat oleh relawan yang

melakukan randomisasi, obat tersebut diberikan ke peneliti didalam amplop

putih.

3.2. TEMPAT DAN WAKTU

a) Tempat

a. Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik, Medan

(41)

b) Waktu

Maret 2008 s/d Mei 2008

3.3. POPULASI DAN SAMPEL

3.3.1. Populasi

Populasi adalah pasien yang menjalani pembedahan elektif di RSUP Haji Adam

Malik Medan dan RSU Pirngadi Medan.

3.3.2. Sampel

Diambil dari pasien dengan status fisik ASA 1-2 yang akan menjalani

pembedahan elektif dengan spinal anestesi.

Setelah dihitung secara statistik, seluruh sample dibagi secara random menjadi 2

kelompok. Kelompok A mendapat Tramadol HCl 0,5 mg/kgBB dan kelompok B

mendapat Tramadol HCl 1 mg/kgBB secara intravena 15 menit sebelum

dilakukan anestesi spinal.

3.4. KRITERIA INKLUSI DAN EKSKLUSI

3.4.1. Kriteria Inklusi :

a. Bersedia ikut dalam penelitian.

b. Usia 17-60 tahun.

c. Operasi pada ektremitas bawah, urologi, digestif dan obgyn dengan

anestesia spinal.

d. PS ASA 1-2.

e. Tinggi blok Th 6-8.

f. Temperatur ruang operasi 22-240C.

g. Temperatur ruang pemulihan 24-260C.

h. Status nutrisi normal ( BMI 18.5 – 24 kg/m2 ).

3.4.2. Kriteria Ekslusi :

a. Pasien dengan kontraindikasi spinal anestesi.

(42)

c. Pasien dengan kehamilan.

d. Pasien dengan irigasi ( TURP).

e. Pasien dengan riwayat peminum alkohol.

f. Temperatur axila tubuh pre operasi <360C / > 380C.

3.4.3. Kriteria drop out :

a. Penurunan tekanan darahlebih dari 20% tekanan darah basal setelah

spinal punctur.

b. Pasien dengan blok total spinal.

c. Pasien dengan riwayat alergi atau hipersensitif terhadap tramadol.

3.5. ESTIMASI BESAR SAMPEL

Besar sampel dihitung dengan rumus uji hipotesis terhadap 2 proporsi : 15

n1 = n2 = (Z √2 PQ + Z √P1Q1 + P2Q2 )2

( P1 – P2 ) 2

n1 = n2 = {1,96 √2 x 0,9 x 0,1 + 1,28 √(1x0) + (0,8x0,2) }2 = 45,84 ~ 46

( 1– 0,8) 2

Keterangan :

Z = Kesalahan tipe I = 5%, hipotesis dua arah 1,96

Z = Kesalahan tipe II=10%, maka 1,28

P1 = Power Tramadol HCl 1 mg 80 % 1

P2 = Power Tramadol HCl 0,5 mg 80 % 0,8

P = ½ ( P1 + P2 ) = ½ ( 1 + 0,8 ) = 0,9

n = Besar sampel untuk tiap kelompok 46 orang

Total sampel 2 kelompok = 92 orang + 10 % = 102 orang

Maka besar sampel tiap kelompok 51 orang

3.6. CARA KERJA

Persiapan pasien dan obat :

a. Setelah mendapat informed consent dan disetujui komite etik semua sampel yang

(43)

b. Sampel dibagi secara random menjadi 2 kelompok dan dilakukan randomisasi

tersamar ganda oleh relawan yang sudah dilatih.

c. Kedua kelompok menjalani prosedur persiapan operasi elektif.

Pada hari penelitian :

a. Obat disiapkan oleh relawan yang melakukan randomisasi pada saat akan

dilakukan penelitian dengan cara Tramadol HCl 2 cc (100 mg) diencerkan

menjadi 10 cc menggunakan spuit 10 cc sehingga tiap cc mengandung 10 mg dan

Tramadol HCl 1 cc (50 mg) diencerkan menjadi 10 cc menggunakan spuit 10 cc

sehingga tiap cc mengandung 5 mg. Kemudian obat dimasukkan ke dalam ampop

putih. Sebagai contoh :

Sampel dengan berat badan 60 kg menggunakan :

Tramadol 0.5 mg/kgbb akan diberikan 30 mg pada kelompok A = 6 cc

Tramadol 1 mg/kgbb akan diberikan 60 mg pada kelompok B = 6 cc

Pada kedua kelompok sama-sama diberikan 6 cc obat.

Hal ini dilakukan supaya peneliti tidak mengetahui obat apa yang diberikan ke

sampel penelitian.

b. Kedua kelompok diberikan infus preload cairan Ringer Lactat sebanyak 15

ml/kgbb pada suhu ruangan.

c. 15 menit sebelum dilakukan spinal anestesi, pasien diberikan obat Tramadol HCl

yang ada dalam amplop putih selama 2-3 menit oleh peneliti. Setelah selesai

pasien dinilai kembali tekanan darah, nadi, nafas, dan temperatur membran

timpani. Peneliti sendiri yang akan mengobservasi pasien.

d. Pasien dimiringkan posisi lateral dekubitus untuk dilakukan anestesi spinal

dengan Bupivacain 0,5% 2 ml, setelah itu diposisikan supine kembali dan

diberikan oksigen 3 L/menit nasal prong. Tindakan anestesi spinal dilakukan oleh

PPDS anestesi semester 2 keatas.

e. Dinilai tinggi blok dilakukan oleh relawan.

f. Dilakukan pencatatan dan pengamatan pada pasien:

Kriteria menggigil, mual, muntah dan temperatur membran timpani setiap 15

menit setelah tindakan anestesi spinal sampai tindakan pembedahan selesai dan

(44)

g. Setelah semua sampel terkumpul relawan memberikan daftar identitas pasien dan

jenis obat yang diberikan kepada pasien selama penelitian.

h. Kriteria menggigil berdasarkan tanda klinis pada derajat 3 dan 4.

Skor menggigil (Crossley & Mahajan)4 =

Skor MENGGIGIL

0 Tidak ada menggigil

1 Piloereksi atau peripheral vasokonstriksi

2 Aktrifitas otot hanya pada satu grup otot

3 Aktifitas otot lebih dari satu grup otot

4 Seluruh tubuh menggigil

YA TIDAK

MENGGIGIL

MUAL

MUNTAH

i. Hasil kriteria menggigil, mual, muntah, dan temperatur core pasien pada

sebelum, durante dan setelah operasi dibandingkan secara statistik.

j. Penelitian dihentikan bila subjek menolak berpartisipasi, terjadi blok total spinal,

kegawatan jalan nafas, jantung, paru dan otak yang mengancam jiwa.

3.7. IDENTIFIKASI VARIABEL

a. Variabel independen :

1. Tramadol HCl 0,5 mg/kgBB

2. Tramadol HCl 1 mg/kgBB

b. Variabel dependen :

a. Skor menggigil

b. Mual

c. Muntah

Gambar

Gambar 2.6.  Ambang termoregulator pada manusia yang teranestesi
Grafik  4.3. Timbulnya muntah setelah pemberian tramadol
Gambar 2.1. Alur Kontrol Termoregulasi
Gambar 2.2. Hubungan hipotermia dan hipotalamus.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ulama sependapat bahwa terbenam- nya matahari pada ufuk barat merupakan permulaan hari dalam Islam, oleh karena itu permulaan tanggal Hijri &gt; yah pun dimulai ketika

 Bunyi berasal dari benda yang bergetar  Contohnya : Senar gitar yang dipetik.. ENERGI terbagi menjadi 3

Pokja Pekerjaan Konstruksi Unit Layanan Pengadaan {ULP) Kabupaten Lebong dengan ini mengumumkan hasil.. Pelelangan Umum dengan Paseakuatifikasi Bada Dinas'pekerjaan

Tekanan darah lansia penderita hipertensi di Dusun Pundung Nogotirto Gamping Sleman Yogyakarta sebelum melakukan senam ergonomis didapatkan lansia yang mengalami

Dasar Pembelajaran Materi Kegiatan Pembelajaran Indikator Penilaian Alokasi Waktu Sumber Belajar RPP menduplikat sebuah obyek S.Kom.2007.Pand uan Lengkap

dilakukan di taman kanak-kanak, karena dalam kegiatan melukis di atas. air ada beberapa hal yang dapat dilakukan pendidik antara lain:

[r]

Metode pengumpulan datanya dengan Teknik dokumentasi atau studi dokumenter yaitu dengan meneliti sejumlah kepustakaan ( library research ), kemudian memilah-milahnya dengan