• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Teknologi Budidaya yang Memanfaatkan Limbah Rumah Pemotongan Ayam pada Usaha Pembesaran Ikan Lele Dumbo Clarias sp.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi Teknologi Budidaya yang Memanfaatkan Limbah Rumah Pemotongan Ayam pada Usaha Pembesaran Ikan Lele Dumbo Clarias sp."

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

ii

ABSTRAK

AULIA NUGROHO. Evaluasi Teknologi Budidaya yang Memanfaatkan Limbah Rumah Pemotongan Ayam pada Pembesaran Ikan Lele Dumbo Clarias sp. Dibimbing oleh DADANG SHAFRUDDIN dan YANI HADIROSEYANI

Pakan merupakan komponen biaya produksi yang cukup besar yaitu mencapai 40-89% dari total biaya produksi, sehingga harga pakan komersil yang tinggi menyebabkan keuntungan yang diperoleh pembudidaya ikan lele menjadi rendah. Oleh karena itu pembudidaya menggunakan pakan dari limbah rumah pemotongan ayam (RPA) pada pembesaran ikan lele untuk menekan biaya pakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi teknologi budidaya ikan lele yang memanfaatkan limbah pemotongan ayam dibandingkan dengan sepenuhnya menggunakan pakan komersil dilihat dari aspek teknis dan ekonomis. Penelitian ini dilakukan di Desa Gunung Sindur, Kecamatan Ciseeng (teknologi 1) dan di Desa Iwul, Kecamatan Parung (teknologi 2) pada bulan Maret sampai Juli 2011. Ikan pada teknologi 1 diberi pakan komersil dari awal hingga panen, sedangkan teknologi 2 pakan komersil diberikan sampai 30 hari kemudian diganti pakan limbah RPA sampai ikan dipanen. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa teknologi penggunaan pakan limbah RPA secara hasil teknis dan ekonomis lebih baik dibandingkan dengan pakan komersil. Ikan yang diberi pakan limbah rumah pemotongan ayam memiliki kelangsungan hidup 90,68%; jumlah konsumsi pakan 720 kg pakan komersil dan 1.289,7 kg pakan limbah RPA, laju pertumbuhan harian 4,71% dan dalam luas area 1.000 m2 memiliki keuntungan Rp 44.765.645,

R/C ratio 1,30; BEP (Rp) 15.067.162 rupiah, BEP (Kg) 2.504 kg, payback period

0,4 tahun dan HPP 8.651 rupiah.

Kata kunci: ikan lele, pembesaran, limbah RPA

---

ABSTRACT

AULIA NUGROHO. Evaluation of aquaculture technology by utilizing the chicken slaughterhouse waste in catfish Clarias sp. growout. Supervised by DADANG SHAFRUDDIN and YANI HADIROSEYANI

Feed is component of production costs that is quite large reaching 40-89% of the total production cost, so that high price of commercial feed lead to low benefit of Clarias farming. In order to reduce feed cost, some fish farming in Desa Iwul use chicken slaughterhouse waste (CSW) as an alternatif feed. The commercial feed is usually used in 1 st mounth period of Clarias growing out and then continued until the fish are harvested. The purpose of the study was to evaluate performance of the use of CSW (referred as 2nd culture technology), compared to fully utilize commercial feed on Clarias culture (referred as 1st culture technology) in term of technical and economical aspect. The 1st Clarias

(2)

1

I. PENDAHULUAN

Ikan lele dumbo Clarias sp. merupakan jenis ikan air tawar yang banyak dikonsumsi masyarakat saat ini. Hal ini ditunjukkan permintaan ikan lele untuk daerah Jabodetabek saja mencapai 150 ton ikan lele per harinya. Berdasarkan informasi di atas, kebutuhan ikan lele di masa yang akan datang cenderung meningkat, hal ini mendorong Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk menargetkan peningkatkan produksi lele pada tahun 2014 sebesar 450%, yakni dari 200.000 ton per tahun menjadi 900.000 ton per tahun (Muhammad, 2011).

Ikan lele banyak dipilih oleh pembudidaya sebagai ikan yang dibudidayakan karena ikan lele dapat dibudidayakan di lahan yang sempit. Selain itu ikan lele dapat hidup di perairan yang memiliki kandungan oksigen yang rendah, hal itu disebabkan ikan lele memiliki organ pernafasan tambahan berupa arborescent organ.

(3)

2 Walaupun demikian, pakan pengganti tersebut memiliki beberapa kelemahan diantaranya memiliki kualitas yang jauh lebih rendah dibandingkan pakan komersil dan penggunaan yang relatif banyak. Selain itu penyimpanan pakan limbah rumah pemotongan ayam lebih sulit dan tidak tahan lama karena mudah membusuk. Hal ini berbeda dengan pakan komersil yang dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama. Dengan demikian perlu diketahui sejauh mana penggunaan pakan pengganti ini lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan pakan komersil.

(4)

11

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil

3.1.1 Evaluasi teknis budidaya

Hasil dari teknologi budidaya penggunaan pakan sepenuhnya pada kolam air tenang dan teknologi budidaya penggunaan pakan pengganti limbah rumah pemotongan ayam pada kolam air mengalir terdiri dari beberapa parameter yang tersaji sebagai berikut (Tabel 4).

Tabel 4. Hasil evaluasi teknologi budidaya terhadap parameter.

Parameter Teknologi Budidaya

Teknologi 1 Teknologi 2

Jumlah konsumsi pakan komersil (kg) 1.990 ± 10 720±5 Lama pemeliharaan pakan komersil (hari) 60 30 Jumlah konsumsi pakan limbah RPA (kg) - 1.289,7 ± 100

Lama pemeliharaan pakan limbah RPA (hari) - 25

Survival rate (%) 71a±4,75 90,68b±4,36

Laju pertumbuhan harian (%) 3,91a ± 0,11 4,71b ± 0,26 Keterangan: hasil di atas merupakan hasil rata-rata ± standar deviasi, huruf superscript yang sama

menyatakan antar teknologi tidak berbeda nyata (P>0.05)

Lama pemeliharaan teknologi 2 lebih cepat jika dibandingkan dengan teknologi 1 yaitu selama 55 hari dengan pemberian pakan komersil selama 30 hari dan pakan pengganti selama 25 hari sedangkan teknologi 1 pemberian pakan komersil dari awal penebaran hingga panen selama 60 hari. Pakan pengganti limbah RPA memberikan pengaruh nyata (P<0,05) terhadap nilai survival rate

(SR) dan laju pertumbuhan harian. Nilai jumlah konsumsi pakan limbah RPA pada teknologi 2 pada saat pemberian pelet sebesar (720±5), sedangkan pada saat pemberian pakan limbah RPA sebesar (1.289,7±100) setelah dikurangi bobot air sebesar 66,67%, sedangkan teknologi 1 (1.990±10).

(5)

12 Tabel 5. Kisaran kualitas air pakan komersil dan pakan pengganti limbah RPA.

Parameter Kualitas Air

Nilai parameter pada teknologi budidaya

Pustaka * Teknologi 1 Teknologi 2

DO (mg/l) 3,32-3,7 3,9–6,6 >3

(Rahman et al, 1992)

pH 7,29-7,67 7,3-8,23 6-9

(Wedemeyer, 2001) Kesadahan

107,5-273, 33 266-478,8 20-500

(Effendi, 2003) (mg/lCaCO3)

Alkalinitas

140-499,33 240–400 50-500

(mg/lCaCO3) (Wedemeyer, 2001)

TAN

0,408-1,94 0,899-1,26 1,37-2,2

(mg/lCaCO3) (Effendi, 2003)

Suhu (⁰C) 28-30 28-30,5 25-32

(Boyd, 1990) *Nilai kualitas air pada kisaran optimum untuk budidaya menurut pustaka Rahman et al. (1992), Effendi (2003), Wedemeyer (2001) dan Boyd (1990).

Berdasarkan pengukuran nilai kualitas air yang telah dilakukan diketahui bahwa nilai DO, pH, kasadahan, alkalinitas, TAN dan suhu pada teknologi 1 dan 2 secara berturut-turut berkisar antara 3,32-3,7 dan 3,9-6,6; 7,29-7,67 dan 7,3-8,23; 107,5-273,33 dan 266-478,8; 140-499,33 dan 240–400; 0,408-1,94 dan 0,899-1,26; 28-30 dan 28-30,5.

3.1.2 Perhitungan ekonomi

Perhitungan ekonomi dihitung dalam jangka waktu satu tahun. Asumsi biaya yang digunakan untuk teknologi 1 dan 2 dibedakan berdasarkan kebutuhan biaya tambahan yang dibutuhkan untuk setiap teknologi (Lampiran 9-13).

Asumsi yang digunakan sebagai berikut: I. Teknologi pakan komersil

a. Lama pemeliharaan hingga panen pada teknologi 1 selama 60 hari (5 hari untuk persiapan), dalam 1 tahun terdapat 5 kali siklus produksi, sedangkan lama pemeliharaan hingga panen pada teknologi 2 selama 55 hari (5 hari untuk persiapan), dalam 1 tahun terdapat 6 siklus produksi.

b. Harga faktor produksi dianggap tetap selama produksi.

c. Skala perhitungan biaya, penerimaan dan keuntungan menggunakan luas area 1.000 m2.

d. Padat tebar ikan pada setiap kolam sebanyak 120 ekor/m3.

(6)

13 g. Harga jual ikan ukuran daging (6-10 ekor/kg) sebesar Rp 11.500,-, ukuran BS (<5 ekor/kg) sebesar Rp 9.500,-, ukuran SS (< 3 ekor/kg) sebesar Rp 9.500-, ukuran sortiran (>11 ekor/kg) sebesar Rp 9.500,-. dan ikan yang berwarna kuning seharga Rp 4.500,-. Setiap 1 kg ikan dikenakan biaya pemanenan sebesar Rp 150.-

h. Biaya pemakain listrik batas daya 900 VA dan biaya beban Rp 18.000.-

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan didapatkan rataan hasil panen yang tersaji dalam Tabel 6.

Tabel 6. Rataan hasil panen penggunaan teknologi budidaya.

Penggunaan Teknologi Budidaya

Ukuran panen

Teknologi 1 Teknologi 2

Jumlah (ekor) Biomassa

Persentase Biomassa Panen

(%)

Jumlah (ekor) Bobot

Persentasi Biomassa Panen (%)

(kg) (kg)

Daging 9.153 1.496 73.57 9.933 1.242 73.01

BS 1.653 413 10.16 1.458 365 10.72

Sortiran 2.647 221 16.27 1.867 156 13.72

SS - - - 47 24 0.35

Kuning - - - 300 38 2.20

Total 13.453 2.130 100 13.605 1.823 100

Analisis usaha teknologi pakan komersil dan pakan pengganti limbah rumah pemotongan ayam dapat terlihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Perhitungan ekonomi teknologi 1 dan teknologi 2 dalam luas 1.000 m2.

Teknologi Budidaya Teknologi Budidaya

Teknologi 1 Teknologi 2

Investasi (Rp) Rp 99.845.000 Rp 99.845.000

Biaya Tetap (Rp) Rp 3.729.834 Rp 3.729.834 Biaya Variabel (Rp) Rp 171.135.106 Rp 147.408.479

Total Biaya (Rp) Rp 174.864.940 Rp 151.138.313

Penerimaan (Rp) Rp 192.799.201 Rp 195.903.958

Keuntungan (Rp) Rp 17.934.261 Rp 44.765.645

R/C Ratio 1,10 1,30

BEP (Rp) Rp 33.193.586 Rp 15.067.162

BEP (kg) 3.111 2.504

Pay Back Period (tahun) 1,1 0,4

(7)

14 3.2 Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa pada teknologi budidaya penggunaan pemberian sepenuhnya pakan komersil pada kolam air tenang (teknologi 1) secara teknis pelaksanaan lebih mudah jika dibandingkan dengan teknologi pemberian pakan pengganti berupa limbah RPA pada kolam air mengalir setelah 30 hari pemeliharaan (teknologi 2). Pakan pada teknologi 1 dapat disimpan dalam waktu lama, selain itu pakan dapat langsung diberikan ke ikan lele. Sedangkan pada teknologi 2 pakan limbah tidak dapat disimpan dalam waktu lama karena kondisi limbah yang basah akan cepat mengalami pembusukan. Selain itu pemberian pakan pada teknologi 2 memerlukan penanganan sebelum diberikan ke ikan lele, terutama limbah usus ayam berupa pencacahan terlebih dahulu yang bertujuan agar mudah dimakan oleh ikan.

Penggunaan pakan limbah dapat menyebabkan kolam menjadi kotor akibat sisa-sisa pakan limbah yang tidak termakan oleh ikan, tetapi hal ini tidak terjadi karena adanya aliran air sebesar 1,2 liter /detik pada kolam sehingga kualitas air tidak memburuk. Air yang mengalir berasal dari saluran irigasi alami yang terdapat di sekitar kolam sehingga tidak menggunakan biaya. Adanya sistem budidaya dengan sistem air mengalir mengakibatkan kandungan oksigen terlarut pada teknologi 2 menjadi lebih tinggi jika dibandingkan dengan teknologi 1 (Tabel 5). Kandungan oksigen yang tinggi mengakibatkan nafsu makan ikan menjadi meningkat hal ini terlihat dari jumlah konsumsi pakan (JKP) yang tinggi pada perlakuan pakan limbah RPA.

(8)

15 pada teknologi 2 diduga disebabkan oleh kualitas pakan limbah RPA (usus ayam, darah, dan daging giling) memiliki kadar protein yang rendah yaitu 8,77% dalam bobot basah (Lampiran 1), sementara kebutuhan protein ikan lele menurut NRC (1993) yaitu 25-32%. Untuk mencukupi kebutuhan proteinnya ikan tersebut mendapatkannya dengan mengkonsumsi pakan limbah lebih banyak. Hal yang sama dinyatakan dalam NRC (1993) yang menyatakan bahwa ikan membutuhkan protein untuk tumbuh, jika kebutuhan protein tidak tercukupi pertumbuhan ikan akan terhenti oleh sebab itu untuk memenuhi kebutuhan proteinnya ikan menjadi banyak makan.

Teknologi pemberian pakan yang berbeda (limbah RPA dan pakan komersil) pada ikan memberikan pengaruh nyata (P<0,05) terhadap survival rate

(SR) dan laju pertumbuhan harian (LPH) (Tabel 4). Nilai SR dan LPH teknologi 1 lebih rendah (71±4,75%) jika dibandingkan dengan teknologi 2 (90,68±4,36%), begitu pula pada nilai LPH-nya secara berturut-turut 3,91±0,11% dan 4,71±0,26%. Tingginya nilai SR dan LPH pada teknologi 2 diduga akibat adanya sistem pergantian air yang menyebabkan kandungan oksigen air meningkat. Hal ini mendukung pertumbuhan yang baik pada ikan. Sedangkan teknologi 1 tidak terjadi pergantian air selama pemeliharan akibatnya sisa-sisa pakan yang tidak termakan akan mengalami penguraian yang akan mempengaruhi kondisi media (Tabel 5). Salah satu faktor penting dalam kegiatan budidaya yaitu keberadaan oksigen terlarut. Oksigen merupakan faktor penting untuk kehidupan ikan jika kandungan oksigen baik maka pertumbuhnya pun akan baik pula (Effendi, 2003), pernyataan tersebut sesuai dengan kondisi media budidaya pada teknologi 2 lebih baik karena memiliki nilai oksigen terlarut yang lebih tinggi dibanding teknologi 1 sehingga pertumbuhan dan sintasan ikan teknologi 2 lebih tinggi. Selain itu nilai TAN teknologi 2 tidak mengalami perubahan yang signifikan jika dibandingkan dengan teknologi 1.

Perubahan nilai TAN teknologi 1 selama pemeliharaan terjadi cukup tinggi yaitu berkisar antara 0,408-1,94 mg/lCaCO3, sementara pada teknologi 2

perubahan nilai TAN masih dibawah batas toleransi yaitu berkisar antara1,37-1,26 mg/lCaCO3 (Tabel 4), kisaran nilai TAN yang baik untuk budidaya yaitu 1,37-2,2

(9)

16

survival rate (SR) pada teknologi 2 lebih tinggi jika dibandingkan dengan teknologi 1, kadar amonia yang tinggi dan tanpa adanya pergantian air menyebabkan pertambahan bobot yang rendah dan tingginya kematian yang terjadi pada teknologi 1, hal ini didukung oleh Boyd (1990) yang menyatakan bahwa apabila kadar amonia dalam air meningkat, maka ekskresi amonia oleh ikan berkurang sehingga kadar amonia dalam darah dan jaringan meningkat yang dapat menyebabkan kematian.

Teknologi 1 dan teknologi 2 memiliki hasil panen yang berbeda (Tabel 6). Pada teknologi 1 terdapat 3 ukuran panen yaitu ukuran daging sebanyak 73%, Bs sebanyak 10,16% dan sortiran sebanyak 16,27%, sedangkan teknologi 2 terdapat 4 ukuran panen yaitu ukuran daging sebanyak 73,01%, Bs sebanyak 10,72% dan sortiran sebanyak 13,72% dan terdapat bobot yang lebih besar jika dibandingkan dengan teknologi 1 yaitu ukuran SS sebanyak 0,35% dari total panen. Hal ini disebabkan karena kandungan lemak dalam pakan limbah pada kondisi basah terlalu tinggi yaitu 24,36% sehingga ikan menjadi kebanyakan lemak, terlalu banyak lemak dalam pakan menyebabkan ikan gemuk pada bagian perut dan jaringan otot (Webster dan Lim, 2002 dalam Pamungkas, 2009).

Selain itu pada hasil panen teknologi 2 terdapat ikan lele kuning sebanyak 2,20 % yaitu ikan lele yang terserang penyakit akibat terlalu banyak memakan limbah atau kualitas air yang buruk hal ini sesuai dengan Darseno (2010) yang menyatakan bahwa penyakit kuning atau jaundince disebabkan karena malnutrisi, pakan yang kadaluarsa atau terlalu banyak memakan pakan alternatif seperti jeroan ayam. Ikan kuning memilki daya tahan tubuh yang rendah sehingga ikan mudah mati, ikan kuning dihargai lebih rendah yaitu Rp 4.500/kg.

Untuk menyamakan kapasitas produksi antara teknologi 1 dan teknologi 2 maka dikonversi menggunakan luas area 1.000 m2. Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa keuntungan yang diperoleh teknologi 2 sebesar 2,5 kali dari keuntungan yang diperoleh teknologi 1 yaitu sebesar Rp 44.765.645 sedangkan teknologi 1 sebesar Rp 17.934.261.

Nilai R/C Ratio digunkan untuk melihat besarnya uang yang akan dihasilkan jika menanamkan modal sebesar Rp 1 (Rahardi et al., 1998). Semakin besar nilai

(10)

17 teknologi 2 yaitu 1,30 artinya setiap penambahan modal sebesar Rp 1 akan mendapatkan keuntungan sebesar Rp 30, sedangkan pakan komersil sebesar 1,10 artinya setiap penambahan modal sebesar Rp 1 akan mendapatkan keuntungan sebesar Rp 10.

Nilai BEP (Rp) dan BEP (Kg) teknologi 1 secara berturut yaitu sebesar Rp 33.193.586 dan 3.111 kg sedangkan teknologi 2 secara berturut-urut sebesar Rp 15.067.162 dan 2.504 kg yang artinya titik impas pada teknologi 1 dicapai pada saat penerimaan sebesar Rp 33.193.586 dengan produksi ikan sebanyak 3.111 ekor sedangkan titik impas pada teknologi 2 dicapai pada saat penerimaan sebesar Rp 15.067.162 dengan produksi ikan sebanyak 2.504 ekor.

Payback period (PP) adalah parameter yang digunakan untuk mengetahui lamanya waktu pengembalian modal. Nilai PP teknologi 1 selama 1,1 tahun sedangkan teknologi 2 selama 0,4 tahun. Berdasarkan nilai PP tersebut diketahui bahwa pengembalian modal tercepat terdapat pada teknologi pakan pengganti limbah RPA pada kolam air mengalir.

Berdasarkan tabel 7 diketahui nilai harga pokok produksi (HPP) teknologi 2 lebih rendah jika dibandingkan dengan teknologi 1 yaitu secara berturut-turut sebesar Rp 10.163 dan Rp. 8.651. Semakin tinggi selisih nilai HPP dengan harga jual semakin tinggi juga keuntungan yang diperoleh.

Perhitungan biaya, penerimaan dan keuntungan dalam luas area 1.000 m2 (Gambar 1).

(11)

18 Biaya produksi yang tertinggi terdapat pada teknologi 1 yaitu Rp 174.864.940, sedangkan teknologi 2 sebesar Rp 151.138.313. Penerimaan dan keuntungan teknologi 2 lebih besar yaitu berturut-turut Rp 195.903.958 dan Rp 44.765.645 jika dibandingkan dengan teknologi 1 berturut-turut sebesar Rp 192.799.201 dan Rp 17.934.261.

Biaya pakan dan non pakan yang dikeluarkan untuk skala luas area per 1.000 m2 didapatkan hasil bahwa teknologi 1 mengeluarkan biaya pakan dan non pakan lebih besar jika dibandingkan dengan teknologi 2 (Gambar 2) yaitu secara berturut-turut sebesar Rp 110.113.333 dan Rp 69.569.394 sedangkan teknologi 2 secara berturut-turut sebesar Rp 98.349.000 dan Rp 57.664.680. Hal ini menunjukan bahwa teknologi pakan penganti limbah RPA dapat memotong biaya pengeluaran untuk pakan sebesar 11% jika dibandingkan dengan pakan komersil, sedangkan biaya non pakan yang dikeluarkan tidak terlalu tinggi.

Gambar 2. Grafik biaya pakan dan non pakan teknologi 1, dan teknologi 2 dalam luas area 1.000 m2.

(12)

19

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Teknologi penggunaan pakan pengganti berupa limbah rumah pemotongan ayam (RPA) pada kolam air mengalir secara hasil teknis dan ekonomis lebih baik dibandingkan dengan teknologi penggunaan sepenuhnya pakan komersil pada kolam air tenang. Teknologi pakan pengganti limbah RPA memiliki SR 90,68%: jumlah konsumsi pakan 720 kg pakan komersil dan 1.289,7 kg pakan limbah RPA, dan laju pertumbuhan harian 4,71% dan dalam luas area 1.000 m2 memiliki keuntungan sebesar Rp 44.765.645, R/C Ratio 1,3; BEP (Rp) 15.067.1624 rupiah, BEP (Kg) 2.504 kg, payback period 0,4 tahun dan harga pokok produksi 8.651 rupiah. Sedangkan teknologi sepenuhnya pakan komersil memiliki survival rate

71%, jumlah konsumsi pakan 1.990 kg, laju pertumbuhan harian 3,91%, dan dalam luas area 1.000 m2 memiliki keuntungan Rp 17.934.261, R/C Ratio 1,10; BEP (Rp) 33.193.586 rupiah, BEP (Kg) 3.111 kg, payback period 1,1 tahun dan HPP 10.163 rupiah.

4.2 Saran

(13)

3

II. BAHAN DAN METODE

2.1 Waktu dan tempat

Penelitian teknologi budidaya sepenuhnya meggunakan pakan komersil pada kolam air tenang (teknologi 1) dan teknlogi budidaya menggunakan pakan pengganti berupa limbah RPA pada kolam air mengalir (teknologi 2) dilakukan pada bulan Maret sampai dengan Juli 2011. Penelitian ini dilakukan di dua lokasi yang berbeda, yaitu teknologi 1 dilakukan di Desa Gunung Sindur, Kecamatan Ciseeng dan teknologi 2 dilakukan di Desa Iwul, Kecamatan Parung. Pengambilan data penunjang seperti pengukuran kualitas air dilakukan di Laboratorium Lingkungan Akuakultur dan analisis proksimat limbah RPA dilakukan di Laboratorium Nutrisi Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

2.2 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian menggunakan dua teknologi budidaya, yaitu teknologi dan teknologi 2, masing-masing teknologi menggunakan 3 kolam sebagai ulangan. Analisis data menggunakan menggunakan program Ms. exel 2007 dan SPSS 16.0 menggunakan uji nilai tengah (t-test).

2.3 Parameter Uji

Parameter yang diamati yaitu jumlah konsumsi pakan (JKP), survival rate

(SR), laju pertumbuhan harian (LPH), dan parameter fisika-kimia perairan.

2.3.1 Jumlah Konsumsi Pakan

(14)

4 2.3.2 Derajat kelangsungan hidup (survival rate, SR)

Derajat kelangsungan hidup atau survival rate (SR) adalah nilai perbandingan antara jumlah ikan yang hidup hingga akhir pemeliharaan dengan jumlah pada awal pemeliharaan. Perhitungan SR menggunakan persamaan yang dinyatakan oleh Goddard (1996) yaitu sebagai berikut:

SR = x 100%

Keterangan :

Nt = Jumlah ikan akhir pemeliharaan

No = Jumlah ikan awal pemeliharaan

2.3.3 Laju Pertumbuhan Harian

Laju pertumbuhan harian ikan lele dihitung berdasarkan persamaaan Huisman (1987) yaitu sebagai berikut:

LPH = - 1 x100 %

Keterangan :

LPH : Laju pertumbuhan harian (%/hari) Wt : Bobot rata-rata ikan pada hari ke- t (g) Wo : Bobot rata-rata ikan pada hari ke -0 (g) t : Waktu (hari)

2.3.4 Parameter fisika dan kimia

Parameter fisik dan kimia yang diamati yaitu suhu, oksigen terlarut (dissolved oxygen: DO), pH, TAN (total amonnia nitrogen), alkalinitas, dan kesadahan yang diukur setiap 10 hari sekali. Parameter fisika dan kimia air yang diamati beserta satuannya dan metode analisisnya dengan alat yang digunakan tersaji dalam Tebel 1 di bawah ini

(15)

5 Tabel 1. Parameter fisika kimia air dan alat serta metode yang digunakan.

Parameter Satuan

Interval Pengukuran

(hari)

Metode Alat

Suhu oC 10 - Termometer

DO mg/l 10 Winkler Botol BOD, gelas ukur, syring, erlenmeyer

pH Unit 10 Phenat pH tester

TAN mg/l 10 Titrimetri Spektofotometer

Alkalinitas mg/l CaCO3 10 Titrimetri Gelas ukur, syring, erlenmeyer

Kesadahan mg/l CaCO3 10 Titrimetri Gelas ukur, syring, erlenmeyer

2.4 Pengelolaan Budidaya

Pengelolaan budidaya teknologi 1 dan teknologi 2 memiliki kesamaan antara lain yaitu penebaran, sampling, pencegahan penyakit, dan pemanenan.

2.4.1 Penebaran

Benih ikan lele yang ditebar berukuran 12-13 cm dengan padat penebaran 120 ekor/m3. Benih berasal dari daerah Kampung Lele Desa Babakan, Bogor. Sebelum ditebar ke kolam pemeliharaaan, benih yang baru tiba dimasukkan ke dalam kolam sortir terlebih dahulu selama sehari. Benih diangkut menggunakan drum plastik dari kolam sortir ke kolam pemeliharaan selanjutnya benih ditebar di kolam pemeliharaan. Penebaran benih dilakukan pada pagi hari.

2.4.2 Sampling

Sebelum penebaran ikan terlebih dahulu dilakukan pengukuran panjang dan bobot ikan melalui pengambilan contoh secara acak dari tempat penampungan ikan sementara atau kolam stok sebanyak 30 ekor. Setelah itu setiap 10 hari sekali pengukuran diulang kembali dengan mengambil 30 ekor contoh secara acak dari setiap kolam, pengukuran meliputi kualitas air dan bobot ikan. Ikan diambil secara acak di tiga titik pengambilan dari setiap kolam menggunakan serokan kemudian ikan dimasukkan ke dalam ember berukuran 10 liter. Setelah itu ikan ditimbang seberat 1 kg, kemudian jumlah ikan dalam 1 kg dihitung.

2.4.3 Pencegahan penyakit

(16)

6 nafsu makan ikan berkurang, pemberian dilakukan dengan cara dilarutkan ke dalam air, dosis yang digunakan yaitu 1 gram/kg pakan diberikan pada 4 hari diawal pemeliharaan pada teknologi 1 dan 3 gram/kg pakan pada saat sehari sebelum pakan beralih ke pakan limbah RPA pada teknologi 2. Setiap 1 kg pakan dicampur ke dengan 250 ml air selanjutnya pakan direndam selama 5-10 menit, setelah itu pakan dapat diberikan ke ikan lele.

2.4.4. Pemanenan

Pemanenan dilakukan setelah sebagian besar bobot rata-rata ikan mencapai ukuran 6-10 ekor/kg atau ukuran daging. Sehari sebelum pemanenan ikan tidak diberi makan atau dipuasakan, hal ini bertujuan agar tidak mengurangi penyusutan bobot ikan ketika sampai ke pembeli dan mencegah penurunan kualitas air selama pengangkutan akibat kotoran ikan. Panen dilakukan pada saat pagi atau sore hari. Kolam pemeliharaan disurutkan menggunakan pompa selama 2-3 jam, air bekas pemeliharaan dibuang ke saluran air. Sambil menunggu kolam surut, dilakukan juga pemanenan dengan menggunakan jaring, hal ini bertujuan untuk menghemat waktu. Setelah kolam surut, ikan lele akan berkumpul di sudut kolam yang rendah atau di kamalir. Pemanenan dapat dilakukan dengan menyerok ikan dan kemudian dimasukkan ke dalam drum plastik untuk kemudian diangkut ke wadah penyortiran.

Wadah penyortiran berupa terpal yang pinggirnya dibatasi dengan kayu atau paralon 2 inci, ikan disortir dan dimasukkan ke kolam penampungan sementara berdasarkan ukurannya yaitu ukuran daging 6-10 ekor/kg, ukuran BS 5-4 ekor/kg, ukuran SS >3 ekor/kg, ukuran sortiran >11 ekor/kg dan ikan kuning. Setelah disortir berdasarkan ukurannya ikan kemudian diserok dan ditimbang bobotnya, kemudian ikan dimasukkan ke dalam drum plastik dan siap untuk ditransportasikan.

2.4.5 Paket teknologi budidaya 1 2.4.5.1 Persiapan kolam

(17)

7 lele ditebar ke kolam pembesaran. Persiapan wadah terdiri dari perbaikan pematang, pengolahan tanah, dan pengisian air. Pematang berupa tumpukkan karung yang diisi tanah kemudian dipadatkan, pembentukan pematang bertujuan agar ikan lele tidak melubangi tanah dan mencegah rusaknya pematang. Pengolahan tanah dilakukan dengan cara mengangkat lumpur dan sisa pakan yang terdapat di dasar kolam ke pematang dan membalik tanah dasar. Pengisian air kolam menggunakan air yang berasal dari sumur. Kolam pemeliharaan dibiarkan ditumbuhi tanaman eceng gondok, tanaman ini berfungsi untuk mengurangi amonia yang tinggi akibat tidak adanya pergantian air dan mengurangi fluktuasi suhu.

2.4.5.2 Pemberian pakan

Pada teknologi pakan komersil (teknologi 1) pakan diberikan dari awal tebar sampai ikan siap panen ukuran 6-10 ekor/kg (ukuran daging). Komposisi pakan yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 2 dengan ukuran pelet 2 mm. Pelet diberikan sebanyak 2 kali sehari yaitu pagi dan sore secara at satiation

(sekenyangnya).

(18)

8 Tabel 2. Komposisi pakan komersil yang digunakan pada teknologi 1.

Analisis proksimat Persentase

Protein kasar 32%

Kadar air 12%

Lemak kasar 5%

Serat kasar 6%

Abu 8%

2.4.6 Paket teknologi budidaya 2 2.4.6.1 Persiapan kolam

Wadah budidaya pada teknologi 2 berupa kolam tanah berukuran 10 x 10 x 1,5 m sebanyak tiga kolam dengan ketinggian air 1,2 m. Kolam dibatasi dengan pematang berupa tumpukkan karung yang dipadatkan. Persiapan wadah dilakukan sebelum benih ikan lele ditebar ke kolam pembesaran. Persiapan wadah terdiri dari perbaikan pematang, pengolahan tanah, dan pengisian air. Pengolahan tanah dilakukan dengan cara mengangkat lumpur dan sisa pakan yang terdapat di dasar kolam ke pematang dan membalik tanah dasar. Pengisian air menggunakan aliran irigasi persawahan dan mata air sehingga terdapat aliran air dengan debit air yang mengalir yaitu 1,2 liter/detik.

2.4.6.2 Pemberian pakan

Ikan yang baru ditebar di kolam pemeliharaan dipuasakan terlebih dahulu selama 1-2 hari, setelah itu ikan diberi pakan komersil sampai hari ke-30 kemudian dilanjutkan dengan pemberian pakan limbah RPA sampai panen. Komposisi pakan terdapat pada Tabel 2 dengan ukuran pelet 2 mm. Pelet diberikan sebanyak 2 kali sehari yaitu pagi dan sore hari secara at satiation

(sekenyangnya).

(19)

9 Pakan limbah rumah pemotongan ayam diberikan sebanyak 1 kali sehari pada waktu sore hari secara at satiation. Sebelum diberikan pada ikan, pakan yang berupa limbah usus dicacah terlebih dahulu agar ukurannya menjadi lebih kecil sehingga ikan lele mudah untuk menelannya terutama pakan usus yang sering tercampur bulu ayam. Limbah yang tidak termakan seperti bulu ayam akan terbawa mengikuti aliran air.

Tabel 3. Komposisi pakan komersil di awal pemeliharaan pada teknologi 2.

Analisis Proksimat Persentase

Protein kasar 31%

Kadar air 13%

Lemak kasar 3%

Serat kasar 6%

Abu 13%

2.5 Analisis Usaha

Analisis usaha merupakan bagian dari analisis finansial yang digunakan untuk menghitung besarnya keutungan yang diperoleh dari suatu kegiatan usaha dalam waktu satu tahun. Anal i si s usaha di l akukan dengan m et ode deskri pt i f kuanti t atif, a nalisis usaha ini terdiri dari analisis pendapatan usaha, analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C), analisis payback period (PP), dan analisis break even point (BEP).

2.5.1 Break even point (BEP)

BEP digunakan untuk mencari kapan waktu untuk mencapai titik impas.

break even point (BEP) terdiri dari BEP harga dan BEP produksi menurut Martin (1991):

a) BEP penerimaan menunjukkan bahwa produksi dikatakan impas jika memperoleh penerimaan sebesar nominal tertentu. BEP penerimaan dihitung menggunakan rumus berikut:

(20)

10 b) BEP produksi menunjukkan bahwa produksi dikatakan impas jika telah melakukan penjualan sebesar jumlah ikan (kg) tertentu. BEP unit dihitung menggunakan rumus berikut:

BEP (Kg) =

2.5.2 Reveneu Cost Ratio (R/C Ratio)

Nilai R/C Ratio digunkan untuk melihat besarnya uang yang akan dihasilkan jika menanamkan modal sebesar Rp 1 (Rahardi et al., 1998). R/C dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:

R/C Ratio = 2.5.3 Payback Period

Analisis waktu pengembalian modal bertujuan untuk mengetahui waktu yang diperlukana untuk mengembalikan biaya investasi yang telah dikeluarkan dalam suatu usaha (Martin, 1991):

PP = (Total Investasi)/(keuntungan per tahun) x 1 tahun

2.4.4 Harga Pokok Produksi

Harga pokok produksi merupakan nilai atau biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi 1 unit produk (Rahardi et al., 1998): HPP dihitung menggunakan rumus berikut :

(21)

EVALUASI TEKNOLOGI BUDIDAYA YANG

MEMANFAATKAN LIMBAH RUMAH PEMOTONGAN

AYAM PADA PEMBESARAN IKAN LELE DUMBO

Clarias

sp.

AULIA NUGROHO

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(22)

ii

ABSTRAK

AULIA NUGROHO. Evaluasi Teknologi Budidaya yang Memanfaatkan Limbah Rumah Pemotongan Ayam pada Pembesaran Ikan Lele Dumbo Clarias sp. Dibimbing oleh DADANG SHAFRUDDIN dan YANI HADIROSEYANI

Pakan merupakan komponen biaya produksi yang cukup besar yaitu mencapai 40-89% dari total biaya produksi, sehingga harga pakan komersil yang tinggi menyebabkan keuntungan yang diperoleh pembudidaya ikan lele menjadi rendah. Oleh karena itu pembudidaya menggunakan pakan dari limbah rumah pemotongan ayam (RPA) pada pembesaran ikan lele untuk menekan biaya pakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi teknologi budidaya ikan lele yang memanfaatkan limbah pemotongan ayam dibandingkan dengan sepenuhnya menggunakan pakan komersil dilihat dari aspek teknis dan ekonomis. Penelitian ini dilakukan di Desa Gunung Sindur, Kecamatan Ciseeng (teknologi 1) dan di Desa Iwul, Kecamatan Parung (teknologi 2) pada bulan Maret sampai Juli 2011. Ikan pada teknologi 1 diberi pakan komersil dari awal hingga panen, sedangkan teknologi 2 pakan komersil diberikan sampai 30 hari kemudian diganti pakan limbah RPA sampai ikan dipanen. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa teknologi penggunaan pakan limbah RPA secara hasil teknis dan ekonomis lebih baik dibandingkan dengan pakan komersil. Ikan yang diberi pakan limbah rumah pemotongan ayam memiliki kelangsungan hidup 90,68%; jumlah konsumsi pakan 720 kg pakan komersil dan 1.289,7 kg pakan limbah RPA, laju pertumbuhan harian 4,71% dan dalam luas area 1.000 m2 memiliki keuntungan Rp 44.765.645,

R/C ratio 1,30; BEP (Rp) 15.067.162 rupiah, BEP (Kg) 2.504 kg, payback period

0,4 tahun dan HPP 8.651 rupiah.

Kata kunci: ikan lele, pembesaran, limbah RPA

---

ABSTRACT

AULIA NUGROHO. Evaluation of aquaculture technology by utilizing the chicken slaughterhouse waste in catfish Clarias sp. growout. Supervised by DADANG SHAFRUDDIN and YANI HADIROSEYANI

Feed is component of production costs that is quite large reaching 40-89% of the total production cost, so that high price of commercial feed lead to low benefit of Clarias farming. In order to reduce feed cost, some fish farming in Desa Iwul use chicken slaughterhouse waste (CSW) as an alternatif feed. The commercial feed is usually used in 1 st mounth period of Clarias growing out and then continued until the fish are harvested. The purpose of the study was to evaluate performance of the use of CSW (referred as 2nd culture technology), compared to fully utilize commercial feed on Clarias culture (referred as 1st culture technology) in term of technical and economical aspect. The 1st Clarias

(23)

ii while the 2nd culture technology at Desa Iwul, Kecamatan Parung. In first Clarias

culture technology, the fish were fed with commercial feed until harvested, but in the 2nd Clarias culture technology, fish were fed with commercial feed for 30 days and continued with chicken slaughterhouse waste until harvested. Based on the result, 2nd Clarias culture technology was better than 1st culture technology in technical and economical aspect. The survival rate of fish in the 2nd Clarias

culture technology was 90.68%; the feed consumption amount was 720 kg of commercial feed and 1,289.7 kg of chicken slaughterhouse waste, the daily growth rate was 4.71%. In 1,000 m2 area the profit was Rp 44,765,645; R/C Ratio 1.30; BEP (Rp) was 15,067,162 rupiah, BEP (Kg) was 2,504 kg, the payback period was 0.4 year and HPP was Rp 8,651.

(24)

EVALUASI TEKNOLOGI BUDIDAYA YANG

MEMANFAATKAN LIMBAH RUMAH PEMOTONGAN

AYAM PADA PEMBESARAN IKAN LELE DUMBO

Clarias

sp.

AULIA NUGROHO

SKRIPSI

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Program Studi Teknologi & Manajemen Perikanan Budidaya

Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(25)

Judul Skripsi

Nama Mahasiswa : Aulia Nugroho Nomor Pokok : C14070087

Disetujui

Pembimbing I Pembimbing II

Ir. Dadang Shafruddin M.Si Ir. Yani Hadiroseyani MM NIP. 19551015 198003 1 004 NIP. 19600131 198603 2 002

Diketahui

Ketua Departemen Budidaya Perairan

Dr. Ir. Odang Carman, M.Sc NIP. 19591222 198601 1 001

Tanggal Lulus:

(26)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:

EVALUASI TEKNOLOGI BUDIDAYA YANG MEMANFAATKAN LIMBAH RUMAH PEMOTONGAN AYAM PADA PEMBESARAN IKAN LELE DUMBO Clarias sp.

adalah benar merupakan hasil karya yang belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, November 2011

(27)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberi rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Evaluasi Teknologi Budidaya yang Memanfaatkan Limbah Rumah Pemotongan Ayam pada Pembesaran Ikan Lele Dumbo Clarias sp.” sebagai salah satu prasyarat dalam memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret sampai dengan Juli 2011 di Desa Gunung Sindur, Kecamatan Ciseeng dan Desa Iwul, Kecamatan Parung.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat Ir. Dadang Shafruddin M.Si selaku pembimbing I, Ir. Yani Hadiroseyani MM selaku pembimbing II, Dr. Dinamella Wahjuningrum selaku dosen penguji dan Dr. Odang Carman selaku Ketua Departemen Budidaya Perairan serta Dr. Mia Setiawati selaku pembimbing akademik penulis selama masa perkuliahan. Penulis mengucapkan terimakasih kepada kedua orang tua, Ayah Herry Sutejo dan Ibu Windu Wahyuni S.Pd, beserta kakak Maulana Fajri S.P dan keluarga atas segala doa, fasilitas dan kasih sayangnya, seluruh staf pengajar dan staf tata usaha Departemen BDP yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan mengenai akuakultur hingga saat ini. Tidak lupa ucapan terimakasih juga ditujukan kepada Bapak Aken, Owner CV. JBL (Jumbo Bintang Lestari) dan Bapak Saad ketua kelompok tani Mitra Bersama yang telah menyediakan tempat untuk melakukan penelitian, dan teman-teman BDP 44 atas semangat dan dukungannya.

Penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, November 2010

(28)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lampung tanggal 17 Agustus 1989 dari Ayah Herry Sutejo dan Ibu Windu Wahyuni S.Pd. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Pendidikan formal yang dilalui penulis adalah SMAN Terbanggi Besar-Lampung Tengah dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun yang sama, penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru Institut Pertanian Bogor pada program studi Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Penulis melakukan magang di Balai Besar Air Payau (BBAP) Jepara pada tahun 2008, Balai Besar Laut (BBL) Lampung pada tahun 2009, melakukan Praktik Lapangan di Balai Pengembangan Produksi Budidaya Air Tawar (BPPPBAT) Singaparna-Tasikmalaya pada tahun 2010 dan menjadi salah satu peserta kegiatan IPB GOES TO FIELD di Brebes pada tahun 2011. Penulis juga menjadi asisten mata kuliah Fisiologi Reproduksi pada semester ganjil 2009/2010, Fisika Kimia Perairan pada semester genap 2010/2011 dan Manajemen Budidaya Air Tawar pada semester ganjil 2010/2011. Selain itu, penulis juga aktif dalam Himpunan Mahasiswa Akuakultur (HIMAKUA) sebagai pengurus di divisi Infokom pada periode 2008/2009, dan sebagai pengurus di divisi marketing pada periode 2009/2010. Penulis juga aktif dalam organisasi Unit Kegiatan Mahasiswa-UKF (Uni Konservasi Fauna) 2007/2010. Penulis pernah mengikuti kegiatan Pekan Kreaktivitas Mahasiswa dibidang Kewirausahaan yang berjudul Polikultur Ikan Mas Koki Carassius auratus dengan Tanaman Air Cabomba sp. pada tahun 2009/2010.

(29)

iii

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL... ii DAFTAR GAMBAR... iii DAFTAR LAMPIRAN... iv I. PENDAHULUAN... 1 II. BAHAN DAN METODE... 3 2.1 Waktu dan tempat... 3 2.2 Rancangan penelitian... 3 2.3 Parameter uji... 3 2.2.1 Jumlah konsumsi pakan... 3 2.2.2 Derajat kelangsungan hidup (survival rate, SR)... 4 2.2.3 Laju pertumbuhan harian... 4 2.2.4 Parameter fisika dan kimia... 4 2.4 Pengelolaan budidaya... 5 2.4.1 Penebaran... 5 2.4.2 Sampling... 5 2.4.3 Pencegahan penyakit... 5 2.4.4 Pemanenan... 6 2.4.5 Paket teknologi budidaya1... 6 2.4.5.1 Persiapan kolam ... 6 2.4.5.2 Pemberian pakan... 7 2.4.6 Paket teknologi budidaya 2... 8 2.4.6.1 Persiapan kolam... 8 2.4.6.2 Pemberian pakan... 8 2.5 Analisis usaha... 9 2.5.1 Break even point (BEP)... 9 2.5.2 Revenue cost ratio(R/C Ratio)... 9 2.5.3 Payback period... 10 2.5.4 Harga pokok produksi... 10

III. HASIL DAN PEMBAHASAN 11

(30)

iii

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Parameter fisika kimia air dan alat serta metode yang digunakan. 5

2. Komposisi pakan komersil yang digunakan pada teknologi 1... 8

3. Komposisi pakan komersil di awal pemeliharaan pada teknologi

2... 9 4. Hasil evaluasi teknologi budidaya terhadap parameter uji... 11

5. Kisaran kualitas air pakan komersil dan pakan pengganti limbah

RPA... 12

6. Rataan hasil panen penggunaan teknologi budidaya... 13 7. Perhitungan ekonomi teknologi 1 dan teknologi 2 dalam luas

1.000 m2... 13

(31)

iii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1.

Grafik biaya, penerimaan, dan keuntungan menggunakan luas

area 1.000 m2...

17

2. Grafik biaya pakan dan non pakan teknologi 1, dan teknologi

[image:31.595.59.516.42.801.2]
(32)

iv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Hasil pengujian proksimat limbah rumah pemotongan ayam

(usus ayam, daging giling, dan darah ayam)... 23 2. Pengukuran bobot ikan pada teknologi 1 dan 2 setiap 10

hari... 23 3. Komposisi pemberian pakan limbah RPA pada teknologi 2

selama pemeliharaan... 23 4. Jumlah konsumsi pakan (JKP) ikan lele dumbo Clarias sp.

teknologi budidaya selama pemeliharaan... 23 5. Data survival rate (SR) ikan lele dumbo Clarias sp.

teknologi budidaya selama pemeliharaan... 24 6. Analisis uji nilai tengah survival rate (SR) menggunakan

t-test... 24 7. Data laju pertumbuhan harian (LPH) ikan lele dumbo

Clarias sp. teknologi budidaya selama pemeliharaan... 25 8. Analisis uji nilai tengah laju pertumbuhan harian

(33)

1

I. PENDAHULUAN

Ikan lele dumbo Clarias sp. merupakan jenis ikan air tawar yang banyak dikonsumsi masyarakat saat ini. Hal ini ditunjukkan permintaan ikan lele untuk daerah Jabodetabek saja mencapai 150 ton ikan lele per harinya. Berdasarkan informasi di atas, kebutuhan ikan lele di masa yang akan datang cenderung meningkat, hal ini mendorong Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk menargetkan peningkatkan produksi lele pada tahun 2014 sebesar 450%, yakni dari 200.000 ton per tahun menjadi 900.000 ton per tahun (Muhammad, 2011).

Ikan lele banyak dipilih oleh pembudidaya sebagai ikan yang dibudidayakan karena ikan lele dapat dibudidayakan di lahan yang sempit. Selain itu ikan lele dapat hidup di perairan yang memiliki kandungan oksigen yang rendah, hal itu disebabkan ikan lele memiliki organ pernafasan tambahan berupa arborescent organ.

(34)

2 Walaupun demikian, pakan pengganti tersebut memiliki beberapa kelemahan diantaranya memiliki kualitas yang jauh lebih rendah dibandingkan pakan komersil dan penggunaan yang relatif banyak. Selain itu penyimpanan pakan limbah rumah pemotongan ayam lebih sulit dan tidak tahan lama karena mudah membusuk. Hal ini berbeda dengan pakan komersil yang dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama. Dengan demikian perlu diketahui sejauh mana penggunaan pakan pengganti ini lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan pakan komersil.

(35)

3

II. BAHAN DAN METODE

2.1 Waktu dan tempat

Penelitian teknologi budidaya sepenuhnya meggunakan pakan komersil pada kolam air tenang (teknologi 1) dan teknlogi budidaya menggunakan pakan pengganti berupa limbah RPA pada kolam air mengalir (teknologi 2) dilakukan pada bulan Maret sampai dengan Juli 2011. Penelitian ini dilakukan di dua lokasi yang berbeda, yaitu teknologi 1 dilakukan di Desa Gunung Sindur, Kecamatan Ciseeng dan teknologi 2 dilakukan di Desa Iwul, Kecamatan Parung. Pengambilan data penunjang seperti pengukuran kualitas air dilakukan di Laboratorium Lingkungan Akuakultur dan analisis proksimat limbah RPA dilakukan di Laboratorium Nutrisi Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

2.2 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian menggunakan dua teknologi budidaya, yaitu teknologi dan teknologi 2, masing-masing teknologi menggunakan 3 kolam sebagai ulangan. Analisis data menggunakan menggunakan program Ms. exel 2007 dan SPSS 16.0 menggunakan uji nilai tengah (t-test).

2.3 Parameter Uji

Parameter yang diamati yaitu jumlah konsumsi pakan (JKP), survival rate

(SR), laju pertumbuhan harian (LPH), dan parameter fisika-kimia perairan.

2.3.1 Jumlah Konsumsi Pakan

(36)

4 2.3.2 Derajat kelangsungan hidup (survival rate, SR)

Derajat kelangsungan hidup atau survival rate (SR) adalah nilai perbandingan antara jumlah ikan yang hidup hingga akhir pemeliharaan dengan jumlah pada awal pemeliharaan. Perhitungan SR menggunakan persamaan yang dinyatakan oleh Goddard (1996) yaitu sebagai berikut:

SR = x 100%

Keterangan :

Nt = Jumlah ikan akhir pemeliharaan

No = Jumlah ikan awal pemeliharaan

2.3.3 Laju Pertumbuhan Harian

Laju pertumbuhan harian ikan lele dihitung berdasarkan persamaaan Huisman (1987) yaitu sebagai berikut:

LPH = - 1 x100 %

Keterangan :

LPH : Laju pertumbuhan harian (%/hari) Wt : Bobot rata-rata ikan pada hari ke- t (g) Wo : Bobot rata-rata ikan pada hari ke -0 (g) t : Waktu (hari)

2.3.4 Parameter fisika dan kimia

Parameter fisik dan kimia yang diamati yaitu suhu, oksigen terlarut (dissolved oxygen: DO), pH, TAN (total amonnia nitrogen), alkalinitas, dan kesadahan yang diukur setiap 10 hari sekali. Parameter fisika dan kimia air yang diamati beserta satuannya dan metode analisisnya dengan alat yang digunakan tersaji dalam Tebel 1 di bawah ini

(37)
[image:37.595.111.524.102.231.2]

5 Tabel 1. Parameter fisika kimia air dan alat serta metode yang digunakan.

Parameter Satuan

Interval Pengukuran

(hari)

Metode Alat

Suhu oC 10 - Termometer

DO mg/l 10 Winkler Botol BOD, gelas ukur, syring, erlenmeyer

pH Unit 10 Phenat pH tester

TAN mg/l 10 Titrimetri Spektofotometer

Alkalinitas mg/l CaCO3 10 Titrimetri Gelas ukur, syring, erlenmeyer

Kesadahan mg/l CaCO3 10 Titrimetri Gelas ukur, syring, erlenmeyer

2.4 Pengelolaan Budidaya

Pengelolaan budidaya teknologi 1 dan teknologi 2 memiliki kesamaan antara lain yaitu penebaran, sampling, pencegahan penyakit, dan pemanenan.

2.4.1 Penebaran

Benih ikan lele yang ditebar berukuran 12-13 cm dengan padat penebaran 120 ekor/m3. Benih berasal dari daerah Kampung Lele Desa Babakan, Bogor. Sebelum ditebar ke kolam pemeliharaaan, benih yang baru tiba dimasukkan ke dalam kolam sortir terlebih dahulu selama sehari. Benih diangkut menggunakan drum plastik dari kolam sortir ke kolam pemeliharaan selanjutnya benih ditebar di kolam pemeliharaan. Penebaran benih dilakukan pada pagi hari.

2.4.2 Sampling

Sebelum penebaran ikan terlebih dahulu dilakukan pengukuran panjang dan bobot ikan melalui pengambilan contoh secara acak dari tempat penampungan ikan sementara atau kolam stok sebanyak 30 ekor. Setelah itu setiap 10 hari sekali pengukuran diulang kembali dengan mengambil 30 ekor contoh secara acak dari setiap kolam, pengukuran meliputi kualitas air dan bobot ikan. Ikan diambil secara acak di tiga titik pengambilan dari setiap kolam menggunakan serokan kemudian ikan dimasukkan ke dalam ember berukuran 10 liter. Setelah itu ikan ditimbang seberat 1 kg, kemudian jumlah ikan dalam 1 kg dihitung.

2.4.3 Pencegahan penyakit

(38)

6 nafsu makan ikan berkurang, pemberian dilakukan dengan cara dilarutkan ke dalam air, dosis yang digunakan yaitu 1 gram/kg pakan diberikan pada 4 hari diawal pemeliharaan pada teknologi 1 dan 3 gram/kg pakan pada saat sehari sebelum pakan beralih ke pakan limbah RPA pada teknologi 2. Setiap 1 kg pakan dicampur ke dengan 250 ml air selanjutnya pakan direndam selama 5-10 menit, setelah itu pakan dapat diberikan ke ikan lele.

2.4.4. Pemanenan

Pemanenan dilakukan setelah sebagian besar bobot rata-rata ikan mencapai ukuran 6-10 ekor/kg atau ukuran daging. Sehari sebelum pemanenan ikan tidak diberi makan atau dipuasakan, hal ini bertujuan agar tidak mengurangi penyusutan bobot ikan ketika sampai ke pembeli dan mencegah penurunan kualitas air selama pengangkutan akibat kotoran ikan. Panen dilakukan pada saat pagi atau sore hari. Kolam pemeliharaan disurutkan menggunakan pompa selama 2-3 jam, air bekas pemeliharaan dibuang ke saluran air. Sambil menunggu kolam surut, dilakukan juga pemanenan dengan menggunakan jaring, hal ini bertujuan untuk menghemat waktu. Setelah kolam surut, ikan lele akan berkumpul di sudut kolam yang rendah atau di kamalir. Pemanenan dapat dilakukan dengan menyerok ikan dan kemudian dimasukkan ke dalam drum plastik untuk kemudian diangkut ke wadah penyortiran.

Wadah penyortiran berupa terpal yang pinggirnya dibatasi dengan kayu atau paralon 2 inci, ikan disortir dan dimasukkan ke kolam penampungan sementara berdasarkan ukurannya yaitu ukuran daging 6-10 ekor/kg, ukuran BS 5-4 ekor/kg, ukuran SS >3 ekor/kg, ukuran sortiran >11 ekor/kg dan ikan kuning. Setelah disortir berdasarkan ukurannya ikan kemudian diserok dan ditimbang bobotnya, kemudian ikan dimasukkan ke dalam drum plastik dan siap untuk ditransportasikan.

2.4.5 Paket teknologi budidaya 1 2.4.5.1 Persiapan kolam

(39)

7 lele ditebar ke kolam pembesaran. Persiapan wadah terdiri dari perbaikan pematang, pengolahan tanah, dan pengisian air. Pematang berupa tumpukkan karung yang diisi tanah kemudian dipadatkan, pembentukan pematang bertujuan agar ikan lele tidak melubangi tanah dan mencegah rusaknya pematang. Pengolahan tanah dilakukan dengan cara mengangkat lumpur dan sisa pakan yang terdapat di dasar kolam ke pematang dan membalik tanah dasar. Pengisian air kolam menggunakan air yang berasal dari sumur. Kolam pemeliharaan dibiarkan ditumbuhi tanaman eceng gondok, tanaman ini berfungsi untuk mengurangi amonia yang tinggi akibat tidak adanya pergantian air dan mengurangi fluktuasi suhu.

2.4.5.2 Pemberian pakan

Pada teknologi pakan komersil (teknologi 1) pakan diberikan dari awal tebar sampai ikan siap panen ukuran 6-10 ekor/kg (ukuran daging). Komposisi pakan yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 2 dengan ukuran pelet 2 mm. Pelet diberikan sebanyak 2 kali sehari yaitu pagi dan sore secara at satiation

(sekenyangnya).

(40)

8 Tabel 2. Komposisi pakan komersil yang digunakan pada teknologi 1.

Analisis proksimat Persentase

Protein kasar 32%

Kadar air 12%

Lemak kasar 5%

Serat kasar 6%

Abu 8%

2.4.6 Paket teknologi budidaya 2 2.4.6.1 Persiapan kolam

Wadah budidaya pada teknologi 2 berupa kolam tanah berukuran 10 x 10 x 1,5 m sebanyak tiga kolam dengan ketinggian air 1,2 m. Kolam dibatasi dengan pematang berupa tumpukkan karung yang dipadatkan. Persiapan wadah dilakukan sebelum benih ikan lele ditebar ke kolam pembesaran. Persiapan wadah terdiri dari perbaikan pematang, pengolahan tanah, dan pengisian air. Pengolahan tanah dilakukan dengan cara mengangkat lumpur dan sisa pakan yang terdapat di dasar kolam ke pematang dan membalik tanah dasar. Pengisian air menggunakan aliran irigasi persawahan dan mata air sehingga terdapat aliran air dengan debit air yang mengalir yaitu 1,2 liter/detik.

2.4.6.2 Pemberian pakan

Ikan yang baru ditebar di kolam pemeliharaan dipuasakan terlebih dahulu selama 1-2 hari, setelah itu ikan diberi pakan komersil sampai hari ke-30 kemudian dilanjutkan dengan pemberian pakan limbah RPA sampai panen. Komposisi pakan terdapat pada Tabel 2 dengan ukuran pelet 2 mm. Pelet diberikan sebanyak 2 kali sehari yaitu pagi dan sore hari secara at satiation

(sekenyangnya).

(41)

9 Pakan limbah rumah pemotongan ayam diberikan sebanyak 1 kali sehari pada waktu sore hari secara at satiation. Sebelum diberikan pada ikan, pakan yang berupa limbah usus dicacah terlebih dahulu agar ukurannya menjadi lebih kecil sehingga ikan lele mudah untuk menelannya terutama pakan usus yang sering tercampur bulu ayam. Limbah yang tidak termakan seperti bulu ayam akan terbawa mengikuti aliran air.

Tabel 3. Komposisi pakan komersil di awal pemeliharaan pada teknologi 2.

Analisis Proksimat Persentase

Protein kasar 31%

Kadar air 13%

Lemak kasar 3%

Serat kasar 6%

Abu 13%

2.5 Analisis Usaha

Analisis usaha merupakan bagian dari analisis finansial yang digunakan untuk menghitung besarnya keutungan yang diperoleh dari suatu kegiatan usaha dalam waktu satu tahun. Anal i si s usaha di l akukan dengan m et ode deskri pt i f kuanti t atif, a nalisis usaha ini terdiri dari analisis pendapatan usaha, analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C), analisis payback period (PP), dan analisis break even point (BEP).

2.5.1 Break even point (BEP)

BEP digunakan untuk mencari kapan waktu untuk mencapai titik impas.

break even point (BEP) terdiri dari BEP harga dan BEP produksi menurut Martin (1991):

a) BEP penerimaan menunjukkan bahwa produksi dikatakan impas jika memperoleh penerimaan sebesar nominal tertentu. BEP penerimaan dihitung menggunakan rumus berikut:

(42)

10 b) BEP produksi menunjukkan bahwa produksi dikatakan impas jika telah melakukan penjualan sebesar jumlah ikan (kg) tertentu. BEP unit dihitung menggunakan rumus berikut:

BEP (Kg) =

2.5.2 Reveneu Cost Ratio (R/C Ratio)

Nilai R/C Ratio digunkan untuk melihat besarnya uang yang akan dihasilkan jika menanamkan modal sebesar Rp 1 (Rahardi et al., 1998). R/C dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:

R/C Ratio = 2.5.3 Payback Period

Analisis waktu pengembalian modal bertujuan untuk mengetahui waktu yang diperlukana untuk mengembalikan biaya investasi yang telah dikeluarkan dalam suatu usaha (Martin, 1991):

PP = (Total Investasi)/(keuntungan per tahun) x 1 tahun

2.4.4 Harga Pokok Produksi

Harga pokok produksi merupakan nilai atau biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi 1 unit produk (Rahardi et al., 1998): HPP dihitung menggunakan rumus berikut :

(43)

11

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil

3.1.1 Evaluasi teknis budidaya

[image:43.595.86.517.63.819.2]

Hasil dari teknologi budidaya penggunaan pakan sepenuhnya pada kolam air tenang dan teknologi budidaya penggunaan pakan pengganti limbah rumah pemotongan ayam pada kolam air mengalir terdiri dari beberapa parameter yang tersaji sebagai berikut (Tabel 4).

Tabel 4. Hasil evaluasi teknologi budidaya terhadap parameter.

Parameter Teknologi Budidaya

Teknologi 1 Teknologi 2

Jumlah konsumsi pakan komersil (kg) 1.990 ± 10 720±5 Lama pemeliharaan pakan komersil (hari) 60 30 Jumlah konsumsi pakan limbah RPA (kg) - 1.289,7 ± 100

Lama pemeliharaan pakan limbah RPA (hari) - 25

Survival rate (%) 71a±4,75 90,68b±4,36

Laju pertumbuhan harian (%) 3,91a ± 0,11 4,71b ± 0,26 Keterangan: hasil di atas merupakan hasil rata-rata ± standar deviasi, huruf superscript yang sama

menyatakan antar teknologi tidak berbeda nyata (P>0.05)

Lama pemeliharaan teknologi 2 lebih cepat jika dibandingkan dengan teknologi 1 yaitu selama 55 hari dengan pemberian pakan komersil selama 30 hari dan pakan pengganti selama 25 hari sedangkan teknologi 1 pemberian pakan komersil dari awal penebaran hingga panen selama 60 hari. Pakan pengganti limbah RPA memberikan pengaruh nyata (P<0,05) terhadap nilai survival rate

(SR) dan laju pertumbuhan harian. Nilai jumlah konsumsi pakan limbah RPA pada teknologi 2 pada saat pemberian pelet sebesar (720±5), sedangkan pada saat pemberian pakan limbah RPA sebesar (1.289,7±100) setelah dikurangi bobot air sebesar 66,67%, sedangkan teknologi 1 (1.990±10).

(44)
[image:44.595.122.513.99.270.2]

12 Tabel 5. Kisaran kualitas air pakan komersil dan pakan pengganti limbah RPA.

Parameter Kualitas Air

Nilai parameter pada teknologi budidaya

Pustaka * Teknologi 1 Teknologi 2

DO (mg/l) 3,32-3,7 3,9–6,6 >3

(Rahman et al, 1992)

pH 7,29-7,67 7,3-8,23 6-9

(Wedemeyer, 2001) Kesadahan

107,5-273, 33 266-478,8 20-500

(Effendi, 2003) (mg/lCaCO3)

Alkalinitas

140-499,33 240–400 50-500

(mg/lCaCO3) (Wedemeyer, 2001)

TAN

0,408-1,94 0,899-1,26 1,37-2,2

(mg/lCaCO3) (Effendi, 2003)

Suhu (⁰C) 28-30 28-30,5 25-32

(Boyd, 1990) *Nilai kualitas air pada kisaran optimum untuk budidaya menurut pustaka Rahman et al. (1992), Effendi (2003), Wedemeyer (2001) dan Boyd (1990).

Berdasarkan pengukuran nilai kualitas air yang telah dilakukan diketahui bahwa nilai DO, pH, kasadahan, alkalinitas, TAN dan suhu pada teknologi 1 dan 2 secara berturut-turut berkisar antara 3,32-3,7 dan 3,9-6,6; 7,29-7,67 dan 7,3-8,23; 107,5-273,33 dan 266-478,8; 140-499,33 dan 240–400; 0,408-1,94 dan 0,899-1,26; 28-30 dan 28-30,5.

3.1.2 Perhitungan ekonomi

Perhitungan ekonomi dihitung dalam jangka waktu satu tahun. Asumsi biaya yang digunakan untuk teknologi 1 dan 2 dibedakan berdasarkan kebutuhan biaya tambahan yang dibutuhkan untuk setiap teknologi (Lampiran 9-13).

Asumsi yang digunakan sebagai berikut: I. Teknologi pakan komersil

a. Lama pemeliharaan hingga panen pada teknologi 1 selama 60 hari (5 hari untuk persiapan), dalam 1 tahun terdapat 5 kali siklus produksi, sedangkan lama pemeliharaan hingga panen pada teknologi 2 selama 55 hari (5 hari untuk persiapan), dalam 1 tahun terdapat 6 siklus produksi.

b. Harga faktor produksi dianggap tetap selama produksi.

c. Skala perhitungan biaya, penerimaan dan keuntungan menggunakan luas area 1.000 m2.

d. Padat tebar ikan pada setiap kolam sebanyak 120 ekor/m3.

(45)

13 g. Harga jual ikan ukuran daging (6-10 ekor/kg) sebesar Rp 11.500,-, ukuran BS (<5 ekor/kg) sebesar Rp 9.500,-, ukuran SS (< 3 ekor/kg) sebesar Rp 9.500-, ukuran sortiran (>11 ekor/kg) sebesar Rp 9.500,-. dan ikan yang berwarna kuning seharga Rp 4.500,-. Setiap 1 kg ikan dikenakan biaya pemanenan sebesar Rp 150.-

h. Biaya pemakain listrik batas daya 900 VA dan biaya beban Rp 18.000.-

[image:45.595.94.513.16.820.2]

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan didapatkan rataan hasil panen yang tersaji dalam Tabel 6.

Tabel 6. Rataan hasil panen penggunaan teknologi budidaya.

Penggunaan Teknologi Budidaya

Ukuran panen

Teknologi 1 Teknologi 2

Jumlah (ekor) Biomassa

Persentase Biomassa Panen

(%)

Jumlah (ekor) Bobot

Persentasi Biomassa Panen (%)

(kg) (kg)

Daging 9.153 1.496 73.57 9.933 1.242 73.01

BS 1.653 413 10.16 1.458 365 10.72

Sortiran 2.647 221 16.27 1.867 156 13.72

SS - - - 47 24 0.35

Kuning - - - 300 38 2.20

Total 13.453 2.130 100 13.605 1.823 100

[image:45.595.114.511.525.734.2]

Analisis usaha teknologi pakan komersil dan pakan pengganti limbah rumah pemotongan ayam dapat terlihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Perhitungan ekonomi teknologi 1 dan teknologi 2 dalam luas 1.000 m2.

Teknologi Budidaya Teknologi Budidaya

Teknologi 1 Teknologi 2

Investasi (Rp) Rp 99.845.000 Rp 99.845.000

Biaya Tetap (Rp) Rp 3.729.834 Rp 3.729.834 Biaya Variabel (Rp) Rp 171.135.106 Rp 147.408.479

Total Biaya (Rp) Rp 174.864.940 Rp 151.138.313

Penerimaan (Rp) Rp 192.799.201 Rp 195.903.958

Keuntungan (Rp) Rp 17.934.261 Rp 44.765.645

R/C Ratio 1,10 1,30

BEP (Rp) Rp 33.193.586 Rp 15.067.162

BEP (kg) 3.111 2.504

Pay Back Period (tahun) 1,1 0,4

(46)

14 3.2 Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa pada teknologi budidaya penggunaan pemberian sepenuhnya pakan komersil pada kolam air tenang (teknologi 1) secara teknis pelaksanaan lebih mudah jika dibandingkan dengan teknologi pemberian pakan pengganti berupa limbah RPA pada kolam air mengalir setelah 30 hari pemeliharaan (teknologi 2). Pakan pada teknologi 1 dapat disimpan dalam waktu lama, selain itu pakan dapat langsung diberikan ke ikan lele. Sedangkan pada teknologi 2 pakan limbah tidak dapat disimpan dalam waktu lama karena kondisi limbah yang basah akan cepat mengalami pembusukan. Selain itu pemberian pakan pada teknologi 2 memerlukan penanganan sebelum diberikan ke ikan lele, terutama limbah usus ayam berupa pencacahan terlebih dahulu yang bertujuan agar mudah dimakan oleh ikan.

Penggunaan pakan limbah dapat menyebabkan kolam menjadi kotor akibat sisa-sisa pakan limbah yang tidak termakan oleh ikan, tetapi hal ini tidak terjadi karena adanya aliran air sebesar 1,2 liter /detik pada kolam sehingga kualitas air tidak memburuk. Air yang mengalir berasal dari saluran irigasi alami yang terdapat di sekitar kolam sehingga tidak menggunakan biaya. Adanya sistem budidaya dengan sistem air mengalir mengakibatkan kandungan oksigen terlarut pada teknologi 2 menjadi lebih tinggi jika dibandingkan dengan teknologi 1 (Tabel 5). Kandungan oksigen yang tinggi mengakibatkan nafsu makan ikan menjadi meningkat hal ini terlihat dari jumlah konsumsi pakan (JKP) yang tinggi pada perlakuan pakan limbah RPA.

(47)

15 pada teknologi 2 diduga disebabkan oleh kualitas pakan limbah RPA (usus ayam, darah, dan daging giling) memiliki kadar protein yang rendah yaitu 8,77% dalam bobot basah (Lampiran 1), sementara kebutuhan protein ikan lele menurut NRC (1993) yaitu 25-32%. Untuk mencukupi kebutuhan proteinnya ikan tersebut mendapatkannya dengan mengkonsumsi pakan limbah lebih banyak. Hal yang sama dinyatakan dalam NRC (1993) yang menyatakan bahwa ikan membutuhkan protein untuk tumbuh, jika kebutuhan protein tidak tercukupi pertumbuhan ikan akan terhenti oleh sebab itu untuk memenuhi kebutuhan proteinnya ikan menjadi banyak makan.

Teknologi pemberian pakan yang berbeda (limbah RPA dan pakan komersil) pada ikan memberikan pengaruh nyata (P<0,05) terhadap survival rate

(SR) dan laju pertumbuhan harian (LPH) (Tabel 4). Nilai SR dan LPH teknologi 1 lebih rendah (71±4,75%) jika dibandingkan dengan teknologi 2 (90,68±4,36%), begitu pula pada nilai LPH-nya secara berturut-turut 3,91±0,11% dan 4,71±0,26%. Tingginya nilai SR dan LPH pada teknologi 2 diduga akibat adanya sistem pergantian air yang menyebabkan kandungan oksigen air meningkat. Hal ini mendukung pertumbuhan yang baik pada ikan. Sedangkan teknologi 1 tidak terjadi pergantian air selama pemeliharan akibatnya sisa-sisa pakan yang tidak termakan akan mengalami penguraian yang akan mempengaruhi kondisi media (Tabel 5). Salah satu faktor penting dalam kegiatan budidaya yaitu keberadaan oksigen terlarut. Oksigen merupakan faktor penting untuk kehidupan ikan jika kandungan oksigen baik maka pertumbuhnya pun akan baik pula (Effendi, 2003), pernyataan tersebut sesuai dengan kondisi media budidaya pada teknologi 2 lebih baik karena memiliki nilai oksigen terlarut yang lebih tinggi dibanding teknologi 1 sehingga pertumbuhan dan sintasan ikan teknologi 2 lebih tinggi. Selain itu nilai TAN teknologi 2 tidak mengalami perubahan yang signifikan jika dibandingkan dengan teknologi 1.

Perubahan nilai TAN teknologi 1 selama pemeliharaan terjadi cukup tinggi yaitu berkisar antara 0,408-1,94 mg/lCaCO3, sementara pada teknologi 2

perubahan nilai TAN masih dibawah batas toleransi yaitu berkisar antara1,37-1,26 mg/lCaCO3 (Tabel 4), kisaran nilai TAN yang baik untuk budidaya yaitu 1,37-2,2

(48)

16

survival rate (SR) pada teknologi 2 lebih tinggi jika dibandingkan dengan teknologi 1, kadar amonia yang tinggi dan tanpa adanya pergantian air menyebabkan pertambahan bobot yang rendah dan tingginya kematian yang terjadi pada teknologi 1, hal ini didukung oleh Boyd (1990) yang menyatakan bahwa apabila kadar amonia dalam air meningkat, maka ekskresi amonia oleh ikan berkurang sehingga kadar amonia dalam darah dan jaringan meningkat yang dapat menyebabkan kematian.

Teknologi 1 dan teknologi 2 memiliki hasil panen yang berbeda (Tabel 6). Pada teknologi 1 terdapat 3 ukuran panen yaitu ukuran daging sebanyak 73%, Bs sebanyak 10,16% dan sortiran sebanyak 16,27%, sedangkan teknologi 2 terdapat 4 ukuran panen yaitu ukuran daging sebanyak 73,01%, Bs sebanyak 10,72% dan sortiran sebanyak 13,72% dan terdapat bobot yang lebih besar jika dibandingkan dengan teknologi 1 yaitu ukuran SS sebanyak 0,35% dari total panen. Hal ini disebabkan karena kandungan lemak dalam pakan limbah pada kondisi basah terlalu tinggi yaitu 24,36% sehingga ikan menjadi kebanyakan lemak, terlalu banyak lemak dalam pakan menyebabkan ikan gemuk pada bagian perut dan jaringan otot (Webster dan Lim, 2002 dalam Pamungkas, 2009).

Selain itu pada hasil panen teknologi 2 terdapat ikan lele kuning sebanyak 2,20 % yaitu ikan lele yang terserang penyakit akibat terlalu banyak memakan limbah atau kualitas air yang buruk hal ini sesuai dengan Darseno (2010) yang menyatakan bahwa penyakit kuning atau jaundince disebabkan karena malnutrisi, pakan yang kadaluarsa atau terlalu banyak memakan pakan alternatif seperti jeroan ayam. Ikan kuning memilki daya tahan tubuh yang rendah sehingga ikan mudah mati, ikan kuning dihargai lebih rendah yaitu Rp 4.500/kg.

Untuk menyamakan kapasitas produksi antara teknologi 1 dan teknologi 2 maka dikonversi menggunakan luas area 1.000 m2. Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa keuntungan yang diperoleh teknologi 2 sebesar 2,5 kali dari keuntungan yang diperoleh teknologi 1 yaitu sebesar Rp 44.765.645 sedangkan teknologi 1 sebesar Rp 17.934.261.

Nilai R/C Ratio digunkan untuk melihat besarnya uang yang akan dihasilkan jika menanamkan modal sebesar Rp 1 (Rahardi et al., 1998). Semakin besar nilai

(49)

17 teknologi 2 yaitu 1,30 artinya setiap penambahan modal sebesar Rp 1 akan mendapatkan keuntungan sebesar Rp 30, sedangkan pakan komersil sebesar 1,10 artinya setiap penambahan modal sebesar Rp 1 akan mendapatkan keuntungan sebesar Rp 10.

Nilai BEP (Rp) dan BEP (Kg) teknologi 1 secara berturut yaitu sebesar Rp 33.193.586 dan 3.111 kg sedangkan teknologi 2 secara berturut-urut sebesar Rp 15.067.162 dan 2.504 kg yang artinya titik impas pada teknologi 1 dicapai pada saat penerimaan sebesar Rp 33.193.586 dengan produksi ikan sebanyak 3.111 ekor sedangkan titik impas pada teknologi 2 dicapai pada saat penerimaan sebesar Rp 15.067.162 dengan produksi ikan sebanyak 2.504 ekor.

Payback period (PP) adalah parameter yang digunakan untuk mengetahui lamanya waktu pengembalian modal. Nilai PP teknologi 1 selama 1,1 tahun sedangkan teknologi 2 selama 0,4 tahun. Berdasarkan nilai PP tersebut diketahui bahwa pengembalian modal tercepat terdapat pada teknologi pakan pengganti limbah RPA pada kolam air mengalir.

Berdasarkan tabel 7 diketahui nilai harga pokok produksi (HPP) teknologi 2 lebih rendah jika dibandingkan dengan teknologi 1 yaitu secara berturut-turut sebesar Rp 10.163 dan Rp. 8.651. Semakin tinggi selisih nilai HPP dengan harga jual semakin tinggi juga keuntungan yang diperoleh.

Perhitungan biaya, penerimaan dan keuntungan dalam luas area 1.000 m2 (Gambar 1).

(50)

18 Biaya produksi yang tertinggi terdapat pada teknologi 1 yaitu Rp 174.864.940, sedangkan teknologi 2 sebesar Rp 151.138.313. Penerimaan dan keuntungan teknologi 2 lebih besar yaitu berturut-turut Rp 195.903.958 dan Rp 44.765.645 jika dibandingkan dengan teknologi 1 berturut-turut sebesar Rp 192.799.201 dan Rp 17.934.261.

Biaya pakan dan non pakan yang dikeluarkan untuk skala luas area per 1.000 m2 didapatkan hasil bahwa teknologi 1 mengeluarkan biaya pakan dan non

Gambar

Tabel 4. Hasil evaluasi teknologi budidaya terhadap parameter.
Tabel 6. Rataan hasil panen penggunaan teknologi budidaya.
Tabel 1. Parameter fisika kimia air dan alat serta metode yang digunakan.
Grafik biaya, penerimaan, dan keuntungan menggunakan luas
+5

Referensi

Dokumen terkait

KAMIS 2 Gedung E Lantai III E-13 4 AB S1 Ekonomi Pembangunan EKU1441 MANAJEMEN KEUANGAN BANK 3 S1 Ekonomi Pembangunan Vietha Devia SS., SE.,ME 21.. KAMIS 2 Gedung E Lantai III E-16 4

(a) Arus Khatulistiwa Utara, merupakan arus panas yang mengalir menuju ke arah barat sejajar dengan garis khatulistiwa dan ditimbulkan serta didorong oleh angin pasat timur laut..

Dalam penelitian ini proses penelusuran data dilakukan dengan cara mengamati data rekam medik pasien. Tahap pertama untuk mengambil sampel dilakukan adalah pemilihan sampel dari

Dari hasil wawancara dengan ibu Sri Utami, petugas Bimpas diperoleh keterangan bahwa mereka yang belum bisa baca dan tulis diajari membaca dan menulis sampai mereka bisa dan

Aktor merupakan orang, proses, atau sistem lain yang berinteraksi dengan sistem informasi yang akan dibuat di luar sistem informasi yang akan dibuat itu sendiri, jadi walaupun

Peningkatkan pengetahuan, keterampilan dan keahlian tenaga Kesehatan bidan di Puskesmas Dinas kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan , Dimana petunjuk Teknis IVA

Dapatan kajian ini menyokong kajian Williamson di mana min kepada elemen komunikasi pada tahap tertinggi bagi item soalan B28 iaitu pelaksanaan tugas antara kolej dan sekolah