DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
DISERTASI
MARYADI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ii
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul:
“VALUASI EKONOMI PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DENGAN PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT
DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN”
merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi sendiri dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan dengan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program yang sejenis di Perguruan Tinggi lainnya. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Desember 2011
Maryadi
iii
MARYADI. ECONOMIC VALUATION OF INDUSTRIAL FOREST
PLANTATION PATTERNED COMMUNITY BASED FOREST
MANAGEMENT IN PERSPECTIVE OF SUSTAINABLE DEVELOPMENT (YUSMAN SYAUKAT as Chaiman, BUNASOR SANIM and FACHRURROZIE SJARKOWI as Members of the Advisory Committee).
HTI management has been generally conventional, rigid and repressive that cause social conflict with forest communities. Coupled with the company's indifference toward the community around the forest, these conditions have led to the high of socio-economic inequality. A calculation of socio-economic valuation of HTI development with PHBM pattern is important to know the total economic value of plantation development for economy. Benefits of HTI development as a whole can be viewed from four important perspectives, i.e. companies, farmers, government, and a region. HTI development has been beneficial to the improvement of investment opportunities, creation of employment opportunities, and increase revenue through taxes, levies etc. The total economic value of MHP's HTI developmet were estimated with value of Rp3.076 trillion. Total economic value has provided positive benefits in balance of regional economic increase, improve the public welfare, efficient and competitive land management, and achievement of forest management which is environmental friendly and sustainable.
iv
MARYADI. VALUASI EKONOMI PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN
INDUSTRI DENGAN PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN (YUSMAN SYAUKAT sebagai Ketua, BUNASOR SANIM dan FACHRURROZIE SJARKOWI sebagai Anggota Komisi Pembimbing).
Salah satu kebijakan pemerintah dalam bidang kehutanan adalah pemanfaatan dan pengelolaan hutan, sehingga fungsi hutan dapat dipertahankan keberadaannya secara berkelanjutan serta melakukan upaya penanaman kembali dalam bentuk Hutan Tanaman Industri (HTI). Pengelolaan HTI selama ini umumnya masih bersifat konvensional, kaku dan represif yang banyak menyebabkan benturan sosial dengan masyarakat sekitar hutan, ditambah dengan sifat ketidakpedulian perusahaan terhadap nasib masyarakat di sekitar hutan telah menyebabkan ketimpangan sosial ekonomi yang tinggi.
Sebagai pelopor pembangunan HTI di Sumatera Selatan, PT MHP sejak tahun 1999 meluncurkan program PHBM dengan pola mengelola hutan bersama masyarakat (MHBM) dan mengelola hutan rakyat (MHR) sebagai upaya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera di sekitar kawasan konsesi perusahaan. Kedua pola ini dimaksudkan untuk mengatasi konflik yang berkepanjangan yang terjadi antara perusahaan dan masyarakat sekitar hutan. Pola ini telah berhasil meredam konflik yang terjadi hingga saat ini.
Pengelolaan HTI yang baik akan menghasilkan HTI yang bernilai ekonomi tinggi, membaiknya kualitas kehidupan sosial ekonomi masyarakat dan meningkatnya mutu ekosistem. Dengan demikian upaya untuk meningkatkan total nilai ekonomi hutan melalui pengusahaan HTI akan dapat direalisasikan guna meningkatkan kinerja ekonomi nasional dan kesejahteraan masyarakat.
Perhitungan valuasi ekonomi penting dilakukan untuk mengetahui celah kebijakan yang memungkinkan peningkatan manfaat program MHBM dan MHR bagi masyarakat. Hal ini juga diharapkan dapat meminimalisir permasalahan lingkungan dan sosial ekonomi yang terjadi, yang dapat berdampak secara luas kepada masyarakat sekitar yang dapat dipicu oleh kontrol hubungan sosial entrophy kemasyarakatan yang berkaitan dengan masalah sosial psikologi, sosial ekologi, sosial ekonomi dan sosial kultural.
Peran penting manusia dalam pembangunan HTI yang tercakup dalam aspek sosial psikologi, sosial ekologi, sosial ekonomi dan sosial kultural akan sangat menentukan nilai valuasi ekonomi pembangunan HTI dalam perspektif pembangunan yang berkelanjutan berdasarkan indikator yang meliputi aspek stabilitas (stability), produktivitas (porductivity), keberlanjutan (sustainability), dan pemerataan (equity).
v
dapat berkontribusi perusahaan dan pemerintah dalam pengelolaan hutan tanaman industri, yang lestari, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Penelitian ini dilakukan di perusahaan HTI PT MHP di Propinsi Sumatera Selatan. Data yang telah dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data dianalisis dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan kualitatif dan pendekatan kuantitatif. Metode analisis yang digunakan adalah secara deskkriptif kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisa deskriptif kualitatif dengan menggunakan tabulasi. Analisa kuantitatif dengan menggunakan metode perhitungan valuasi ekonomi dan regresi logistik.
Di tinjau dari perspektif perusahaan, pembangunan hutan tanaman adalah investasi yang tipikal dengan besarnya biaya yang harus dikeluarkan di awal, proses produksi yang panjang dan penuh resiko kegagalan, serta hasil yang diperoleh dalam jangka waktu yang lama. Dalam perspektif perusahaan pembangunan HTI dapat dilihat dari kepastian berusaha, luas lahan, skala investasi dan struktur modal, teknologi yang diperlukan, dan keuntungan yang akan diperoleh. Dari perspektif petani, pemerintah pusat dan pemerintah daerah keberadaan HTI dapat memberikan peluang bekerja, pencapaian optimal dalam manfaat ekologi, ekonomi, dan sosial, sekaligus berfungsi sebagai penyangga tanah dan air, penyangga iklim bumi, sumber keanekaragaman hayati, percepatan pembangunan daerah, peluang investasi, penciptaan kesempatan bekerja, dan peningkatan pendapatan masyarakat dan pendapatan asli daerah melalui pajak, retribusi dll.
Pelaksanaan pola MHBM dan MHR yang dilaksanakan telah berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan adanya kepastian bekerja dan kepastian dari hasil usaha, dan kepastian mendapat bagi-hasil atas produksi. Bagi perusahaan MHP program MHBM dan MHR telah berhasil memberikan manfaat yang besar berupa jaminan keberlanjutan kegiatan perusahaan di masa mendatang, dengan tersedianya lahan usaha yang tidak bermasalah, terjaminnya kelestarian produksi dan kapasitas usaha, terciptanya hubungan yang harmonis antara perusahaan dengan masyarakat. Sedangkan bagi pemerintah pusat dan daerah manfaat dari program MHBM ini adalah: 1) meningkatkan penerimaan pemerintah melalui penerimaan devisa, pajak, PSDH, dan lain-lain, 2) meningkatkan kualitas lingkungan, dan 3) meningkatkan kemakmuran masyarakat pedesaan. Disamping itu keuntungan lain yang juga penting dari program MHBM dan MHR adalah adanya rasa memiliki oleh masyarakat sebagai stakeholders sehingga mereka dapat diajak berbagi tanggung jawab dan manfaat dalam pembangunan dan perlindungan tanaman industri. Hal ini dapat meredam konflik sosial, meningkatnya kualitas lingkungan serta meningkatnya mobilitas masyarakat karena tersedianya sarana dan prasarana transportasi sebagai salah satu usaha untuk membantu memasarkan hasil-hasil pertanian masyarakat.
Berdasarkan perhitungan nilai valuasi terlihat bahwa nilai ekonomi total pembangunan hutan tanaman industri PT. MHP ditambah dengan pola MHBM dan MHR per tahun per kawasan mencapai nilai sebesar Rp3.076 triliun. Dari jumlah tersebut sebesar 65.63% kontribusi dari pola perusahaan MHP, sebesar 30.3% kontribusi dari pola MHBM, dan sebesar 4.07% kontribusi dari pola MHR.
vi
jika tanpa program MHR maka nilai manfaat ekonomi yang hilang adalah sebesar Rp125.18 lebih miliar per tahun. Jika pengelolaan HTI PT MHP dilakukan tanpa program MHBM dan MHR maka akan terjadi kehilangan manfaat ekonomi sebesar Rp1.057 triliun lebih per tahun.
Jika kita lihat nilai ekonomi total per hektar, terlihat bahwa pola perusahaan hanya menghasil nilai sebesar Rp35.208 juta, sedangkan pola MHBM sebesar Rp38.422 juta, dan pola MHR hanya sebesar Rp32.96 juta. Hal ini menunjukkan bahwa dengan pola MHBM mampu meningkatan nilai total ekonomi sebesar Rp3.214 juta per hektar dari pola Perusahaan murni, ini dikarenakan adanya multiplier efek dari pola MHBM terhadap pendapatan masyarakat melalui upah kerja, keuntungan pemborong serta adanya jasa produksi dan manajemen. Sedangkan pada pola MHR walaupun terjadi penurunan nilai total ekonomi per hektar, tetapi secara ekonomi hal ini telah meningkatkan penghasilan masyarakat dari lahan-lahan yang terlantar dan lahan-lahan yang tidak produktif.
Berdasarkan hasil analisis persamaan logit diperoleh empat variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap peluang keputusan petani untuk melanjutkan program MHR pada siklus ke dua, yaitu 1) adanya rasa aman, 2) jarak lahan dari tempat tinggal, 3) pendapatan dari luar usahatani, dan 4) biaya hidup keluarga. Secara keseluruhan keberlanjutan pembangunan hutan tanaman industri PT. MHP dapat dilihat dari 4 hal, yaitu stabilitas, produktivitas, equitabilitas, dan sustainabilitas. Keempat hal tersebut secara utuh sangat menentukan keberlanjutan pembangunan hutan tanaman industri ke depan dalam jangka panjang
Pembangunan hutan tanaman yang berkelanjutan harus memperhatikan kesinambungan usaha dari generasi ke generasi dalam jangka panjang. Masyarakat cenderung menilai masa kini lebih utama dari masa depan, implikasi pembangunan berkelanjutan merupakan tantangan yang melandasi penilaian ini. Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan dilaksanakan penilaian yang utuh secara totalitas terhadap nilai ekonomi. Persepsi jangka panjang adalah perspektif pembangunan yang berkelanjutan.
Pengusahaan hutan tanaman industri merupakan peluang usaha yang cukup menjanjikan bagi para investor besar dan bagi kesejahteraan masyarakat sekitar, untuk menunjang hal ini perlu dukungan oleh iklim berusaha yang kondusif melalui kemudahan pemberian izin konsesi pada lahan yang tidak bermasalah dan pinjaman dana yang murah bagi pengusaha, peningkatkan nilai tambah, peningkatan kesejahteraan masyarakat secara lebih luas. Dalam pengelolaan hutan tanaman, sudah saatnya untuk mempertimbangkan manfaat, fungsi dan untung-rugi dalam kegiatan eksploitasi hutan dalam analisis nilai ekonomi total kawasan.
vii
@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencatumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
viii
DENGAN PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
MARYADI
DISERTASI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ix Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup:
1. Prof. Dr. Dudung Darusman M.A.
Staf Pengajar Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor
2. Dr. Ir. Aceng Hidayat, M.T.
Staf Pengajar Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor
Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka: 1. Dr. Ir. Harry Santoso
Dirjen Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial, Kementerian Kehutanan 2. Dr. Ir. Bahruni, M.S.
x
Judul Disertasi : Valuasi Ekonomi Pengusahaan Hutan Tanaman Industri Dengan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Berkelanjutan
Nama Mahasiswa : MARYADI Nomor Pokok : A161050011
Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian
Mengetahui,
1. Komisi Pembimbing
Ketua
Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec.
Prof.Dr.Ir. Bunasor Sanim, M.Sc.
Anggota Anggota
Prof.Dr.Ir. Fachrurrozi Sjarkowi, M.Sc.
Mengatahui,
2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana, Ilmu Ekonomi Pertanian,
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.A. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
xi
Segala Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat rahmat dan karuniaNya jualah penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi yang berjudul: “Valuasi Ekonomi Pengusahaan Hutan Tanaman Industri dengan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Berkelanjutan”. Disertasi ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh penulis untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat penilaian ekonomi pembangunan HTI dengan pola PHBM yang Berkelanjutan dari berbagai sudut pandang pelaku dan sasaran pembangunan itu sendiri serta melihat faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan tersebut berdasarkan faktor penghubung kontrol sosial entrophy.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec. selaku ketua komisi pembimbing, Bapak Prof.Dr.Ir. Bunasor Sanim, M.Sc. dan Prof.Dr.Ir. Fachrurrozi Sjarkowi, M.Sc. selaku anggota komisi pembimbing, atas bimbingan, arahan, dan bantuan yang telah diberikan kepada kami. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, para dosen dan teman-teman sekalian serta semua pihak yang telah banyak membantu penulis dalam penyusunan proposal penelitian disertasi ini.
Akhirnya penulis menyadari bahwa dalam tulisan ini masih banyak terdapat kekurangan, untuk itu segala masukan dan saran yang membangun akan penulis terima dengan lapang dada. Semoga disertasi ini bermanfaat bagi kita semua. Amiin.
xii
Penulis dilahirkan di Kecamatan Tulung Selapan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Propinsi Sumatera Selatan, pada tanggal 2 Januari 1965 dari pasangan Bapak Mungkim (Almarhum) dan Ibu Yamsana. Penulis beristrikan Dr. Muharni, M.Si. dan dikaruniai empat orang anak yaitu Fakhri Hardi Even, Femilia Hardina Caryn, Tasya Hardina Adha, dan Rafif Hardi Muttaqin.
xiii
Halaman
DAFTAR TABEL ……….……… xvi
DAFTAR GAMBAR ………..……..……… xviii
DAFTAR LAMPIRAN ... xix
DAFTAR SINGKATAN ... xx
I. PENDAHULUAN ………...………..……… 1
1.1. Latar Belakang ……… 1
1.2. Perumusan Masalah ………. 9
1.3. Tujuan Penelitian ………. 12
1.4. Manfaat Penelitian ………... 13
1.5. Ruang Lingkup Penelitian……… 14
II. TINJAUAN PUSTAKA ………..……….. 15
2.1. Valuasi Ekonomi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan ………..…………. 15
2.2. Pengembangan HTI Dengan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat... 24
2.3. Pembangunan Berkelanjutan ………..…… 28
2.4. Studi-studi tentang Valuasi Ekonomi ……….. 35
III. KERANGKA PEMIKIRAN ……….……… 39
3.1. Kerangka Teoritis ………..………. 39
3.1.1. Konsep Pembangunan HTI dengan Pola PHBM……….. 39
3.1.2. Konsep Valuasi Ekonomi Pengusahaan HTI ……….……. 41
3.1.3. Konsep Keberkelanjutan Pembangunan HTI ………..…… 51
3.2. Kerangka Konseptual Penelitian ………. 54
3.2.1. Model Pendekatan ………..…………. 54
IV. METODOLOGI ……….………….. 59
4.1. Tempat dan Waktu Penelitian ………. 59
4.2. Jenis dan Sumber Data………. 59
xiv
Halaman
V. KEADAAN UMUM PERUSAHAAN HTI ………...…….………….. 69
5.1. Sejarah Berdirinya Perusahaan HTI Hingga Saat Ini ………. 69
5.2. Kondisi Umum Geografis Wilayah Konsesi …………...………. 72
5.3. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Sekitar Perusahaan ……..……… 74
5.4. Interaksi Perusahaan dengan Wilayah Sekitar Perusahaan …...…... 76
5.5. Keadaan Umum Petani Peserta Program ... 83
VI. PEMBANGUNAN HTI DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF... 87
6. 1. Hutan Tanaman Industri dalam Perspektif Perusahaan …...……. 88
6. 2. Hutan Tanaman Industri dalam perspektif Petani …...……. 106
6. 3. Hutan Tanaman Industri dalam perspektif Pemerintah Pusat ...……. 108
6. 4. Hutan Tanaman Industri dalam perspektif Daerah …...……. 111
VII. PROGRAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DAN MENGELOLA HUTAN RAKYAT (MHR) 7.1. Latar Belakang Lahirnya Program MHBM dan MHR ...……. 117
7.2. Prinsip-Prinsip dan Aturan Main Program MHBM dan MHR…...…. 123
7.3. Realisasi Program MHBM dan MHR ...……. 132
7.4. Aspek Kelembagaan MHBM dan MHR ...……. 148
VIII. GERBANG PENGENDALI KEMEROSOTAN SOSIAL ... 161
8.1. Sosial Psikologis ... 165
8.2. Sosial Ekologi ... 170
8.3. Sosial Ekonomi ... 174
8.4. Sosial Budaya ... 178
IX. VALUASI EKONOMI BEBERAPA POLA PENGUSAHAAN HTI .… 183 9.1. Pola Perusahaan MHP …...……. 187
9.2. Pola Mengelola Hutan Bersama Masyarakat (MHBM) …... 210
9.3. Pola Mengelola Hutan Rakyat (MHR) …...……. 220
xv
Halaman
X. PERSPEKTIF KEBERLAJUTAN …...…... 235
10.1. Prinsip-prinsip Pembangunan Berkelanjutan ... 236
10.2. Dimensi Keberlanjutan Pembangunan HTI PT. MHP ... 242
10.3. Faktor-Faktor Kendala Keberlanjutan HTI PT. MHP ... 248
10.4. Prospek Keberlanjutan HTI PT. MHP ... 251
XI. KESIMPULAN DAN SARAN ……...…...…….………….. 263
11.1. Kesimpulan ………...…………. 263
11.2. Saran …………...………. 264
xvi
Nomor Halaman
1. Matriks Pembangunan Berkelanjutan ……….…….. 32
2. Komponen nilai Ekonomi Total Pengusahaan HTI Pola A ... 62
3. Komponen nilai Ekonomi Total Pengusahaan HTI Pola B ... 63
4. Komponen nilai Ekonomi Total Pengusahaan HTI Pola C ... 64
5. Pembagian wilayah kerja, unit kerja, dan luas areal PT. MHP ... 72
6. Beberapa sungai yang mengalir di lokasi HTI PT MHP ... 74
7. Umur Petani Contoh ... 83
8. Tingkat Pendidikan Petani Contoh ... 84
9. Jumlah Anggota Keluarga Petani Contoh ... 85
10.Luas Lahan Petani Contoh ... 86
11.Luas areal HPHTI yang dicadangkan untuk PT Musi Hutan Persada menurut peruntukan dan kelompok hutan ... 94
12.Kinerja penanaman Acacia mangium di PT. Musi Hutan Persada ... 95
13.Rencana atau realisasi pemeliharaan tegakan dan penebangan HTI, Tahun 1990/91-2004/05 ... 96
14.Biaya dan penerimaan (Rp/ha) dari tanaman Acacia Mangium per hektar dalam sekali daur produksi, tahun 2009 ... 105
15.Proyeksi Luas Tutupan Hutan (Forest Cover) dan perubahannya di Indonesia 1998 – 2004 (tidak termasuk reboisasi) ... 110
16.Pajak, iuran dan sumbangan yang dibayarkan oleh PT MHP, tahun 2006 ... 111
17.Wilayah, kelompok masyarakat dan jumlah desa yang terlibat dalam program MHBM, tahun 2010 ... 133
18.Rincian luas MHBM per wilayah dan jumlah kepala keluarga dan jiwa per unit, tahun 2010 ... 135
19.Harga borongan pekerjaan dari MHP ke pemborong lokal dan dari pem- borong lokal ke petani program MBHM di PT MHP, tahun 2010 ... 136
20.Jasa produksi MHBM per tahun berdasarkan wilayah, 2006 – 2009 ... 138
21.Jasa manajemen MHBM per tahun berdasarkan wilayah, 2006 – 2009 ... 138
22.Luas total implementasi program MHR di masing-masing unit dan blok sampai dengan tahun 2010 ... 140
xvii
24.Rata-rata pendapatan per hektar petani peserta MHR, pendapatan peru-
sahaan, dan biaya dikeluarkan serta net Profit perusahaan MHP ... 148
25.Analisis Informasi Teknis dan Manajemen serta Pelayanan Teknis dan Manajemen SECI ... 164
26.Nilai Ekonomi Total (TEV) Hutan Tanaman Industri ... 186
27.Total Manfaat Langsung Statis HTI, Pola Perusahaan MHP, Tahun 2010 .... 193
28.Hasil analisis neraca air kawasan hutan PT Musi Hutan Persada ... 200
29.Manfaat Tak Langsung Hutan tanaman industri pola Perusahaan MHP, tahun 2010 ... 205
30.Nilai Total Ekonomi HTI Pola Perusahaan MHP Berdasarkan Kategori Manfaat per tahun, tahun 2010 ... 208
31.Total manfaat Langsung HTI, Pola MHBM, Tahun 2010 ... 216
32.Manfaat Tak Langsung HTI pola MHBM, tahun 2010 ... 219
33.Nilai ekonomi total pola MHBM, tahun 2010 ... 219
34.Rata-rata produksi, harga, penerimaan, biaya dan pendapatan yang statis dari HTI peserta MHR per hektar ... 222
35.Total Manfaat Langsung HTI dengan pola MHR, tahun 2010 ... 224
36.Manfaat Tak Langsung HTI dengan pola MHR, tahun 2010 ... 226
37.Nilai ekonomi total HTI pola MHR, tahun 2010 ... 227
38.Nilai Ekonomi Total per tahun dari masing-masing pola pembangunan HTI di PT MHP, tahun 2010 ... 231
39.Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk melanjutkan program MHR di PT. MHP, Tahun 2010 ... 255
xviii
Nomor Halaman
1. Metode Penilaian Ekonomi Total Hutan Tanaman Industri ……….…… 50
2. Diagram SECI dan Pengaruhnya terhadap Indikator Keberlanjutan …...… 55
3. Kerangka Pemikiran Pendekatan Konseptual ……….…………... 57
4. Bentuk Rumah Talang HTI PT MHP ... 78
5. Trend kenaikan produksi rata-rata di hubungkan dengan luas ... 146
xix
Nomor Halaman
1. Peta Lokasi PT Musi Hutan Persada …..……….…….. 275
2. Struktur Organisasi Pemantauan dan Pengelolaan Lingkungan PT MHP... 276
3. Data Tahun Tanam dan Panen, Produksi, Biaya, Penerimaan dan Pendapatan Petani Peserta MHR ... 277
4. Data Persamaan Logit ... 278
5. Hasil Regresi Logit Binomial ... 279
6. Pembagian Kelompok Hutan di PT MHP ... 281
xx BAP = Berita Acara Pemeriksaan
CBFM = Community Based Forest Management CSR = Corprate Social Responsibility
CVM = Contingen Valuation Methods FGD = Focus Group Discusion
HKM = Hutan Kemasyarakatan
HPHTI = Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri HTI = Hutan Tanaman Industri
MHBM = Mengelola Hutan Bersama Masyarakat MHP = Musi Hutan Persada
MHR = Mengelola Hutan Rakyat PBCR = Private Benefit Cost Ratio
PMDH = Pembinaan Masyarakat Desa Hutan PSDA = Provisi Sumberdaya Hutan
RKT = Rencana Kerja Tahunan RUTR = Rencana Umum Tata Ruang SBCR = Social Benefit Cost Ratio
SECI = Socio-Entrhropic Controlling Interface SOP = Standard Operating Procedures
SPK = Surat Perintah Kerja
TGHK = Tata Guna Hutan Kespakatan WTA = Wilingness To Accept
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tidak diragukan lagi bahwa tujuan pembangunan Hutan Tanaman Industri
(HTI) merupakan hal yang sangat selaras dengan tujuan pembangunan sektor
kehutanan nasional, yang selalu diarahkan untuk pencapaian yang optimal dalam
manfaat ekologi, ekonomi, dan sosial. HTI dapat berfungsi sebagai penyangga
tanah dan air (fungsi hidro-orologi), penyangga iklim bumi (pemanasan global),
sumber keanekaragaman hayati, serta modal atau penunjang pembangunan yang
menciptakan efisiensi, stabilitas dan pertumbuhan (Soemarwoto, 1991). Secara
sosial pembangunan HTI dapat mengatasi masalah pengangguran, kemiskinan,
dan pemberdayaan masayarakat di sekitar kawasan hutan (Askary, 2003).
Pembangunan sektor kehutanan yang hanya bertumpu pada keberadaan
hutan alam tidak dapat diharapkan lagi, mengingat laju kerusakan hutan alam di
Indonesia yang sangat cepat. Pada rentang tahun 2000-2005 kerusakan hutan di
Indonesia merupakan yang tercepat di dunia. Menurut Food and Agriculture
Organization (2005) setiap tahun rata-rata 1.87 juta hektar hutan hancur atau
sekitar 2% dari luas hutan yang tersisa 88.50 juta hektar pada tahun 2005.
Sepuluh persen dari hutan tropis dunia berada di Indonesia dan menjadi tempat
tinggal yang sangat penting bagi sekurang-kurangnya 60 juta penduduk Indonesia
di dalam dan di sekitar hutan. Meski demikian, penggundulan hutan yang sistemik
demi keuntungan jangka pendek, mempercepat kehancuran lingkungan hidup
dengan dampak sosial, ekonomi dan budaya yang luar biasa.
Saat ini sektor kehutanan sedang menghadapi permasalahan yang sangat
liar (illegal logging), penyelundupan kayu, kebakaran hutan yang terjadi hampir
setiap tahun, konflik kawasan, perambahan hutan, tumpang tindih peraturan
perundangan, sehingga menimbulkan lahan kritis seluas sekitar 43 juta hektar.
Salah satu kebijakan pemerintah dalam bidang kehutanan adalah
pemanfaatan dan pengelolaan hutan, sehingga fungsi hutan dapat dipertahankan
keberadaannya secara berkelanjutan serta melakukan upaya penanaman kembali
dalam bentuk Hutan Tanaman Industri (HTI). Hutan Tanaman Industri yang
dikelola dan diusahakan secara luas bertujuan untuk meningkatkan laju
pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Hutan Tanaman Industri merupakan salah satu alternatif pembangunan
sektor kehutanan yang sangat strategis. Namun pada kenyataannya pertumbuhan
penanaman HTI masih sangat lambat. Berdasarkan data Departemen Kehutanan
program penanaman HTI selama 15 tahun terakhir ini realisasinya sampai tahun
2009 hanya seluas 4.3 juta hektar. Ini jauh dari target semula yang ingin dicapai
bahwa setiap tahun dapat dibangun satu juta hektar HTI, dan dalam lima tahun
diharapkan dapat mengembangkan 6.5 juta hektar. Lambatnya pertumbuhan
penanaman HTI diantaranya banyak disebabkan oleh masih tumpang tindihnya
izin konsesi yang diberikan oleh pemerintah kepada perusahaan dengan
penggunaan hutan untuk peruntukan lainnya, serta masih banyak lahan-lahan
hutan yang masih diklaim milik masyarakat adat setempat di dalam wilayah
konsesi (Departemen Kehutanan, 2009).
Program pembangunan HTI yang dijalankan tanpa pengeloaan yang
berbasis pada masyarakat sekitar hutan telah menimbulkan banyak permasalahan
lingkungan dan nilai total ekonomi ekosistem. Tanpa pengelolaan yang benar dan
komprehensif keinginan untuk meningkatkan nilai total ekonomi hutan melalui
HTI hanya menjadi angan-angan. Pengelolaan HTI yang baik dan terencana
dengan melibatkan masyarakat sekitar hutan amat bernilai strategis dan rasional
sebagai salah satu alternatif pilihan. Dengan pembangunan HTI yang baik
diharapkan akan dapat meningkatkan nilai total ekonomi HTI dengan peningkatan
kinerja ekonomi nasional dan kesejahteraan masyarakat.
Dalam pembangunan HTI lahan merupakan aset yang terpenting.
Kebutuhan lahan yang luas dan terintegrasi dalam satu kawasan sering kali
menyebabkan lahan-lahan hutan dan lahan poduktif milik masyarakat sekitar
(misalnya lahan-lahan eks marga) termasuk ke dalam wilayah konsesi. Hal ini
telah menimbulkan banyak konflik yang berkepanjangan. Konflik ini jika
dibiarkan berlarut-larut dapat menjadi hambatan bagi perusahaan untuk dapat
terus berusaha dalam jangka yang panjang.
Pemanfaatan hutan dan lahan oleh perusahaan-perusahaan besar sudah
seharusnya mengacu pada konsep pembangunan ekonomi yang lestari dan
berkelanjutan dengan memperhatikan dampak keberadaan perusahaan terhadap
ekosistem dan kesejahteraan masyarakat di sekitar perusahaan (Kennedy dan
Vining, 2007).
Pengelolaan HTI selama ini sebagian besar masih bersifat konvensional
dengan hanya memperhatikan keuntungan finansial semata. Sifat kaku dan
represif perusahaan telah menyebabkan banyak benturan sosial dengan
terhadap nasib masyaarakat di sekitar hutan telah menyebabkan ketimpangan
sosial ekonomi yang tinggi.
Salah satu upaya pemerintah untuk meminimalisir biaya sosial dan ketidak
pedulian perusahaan serta mempercepat pencapaian target pembangunan HTI dan
sekaligus sebagai upaya untuk mensejahterakan masyarakat dengan membuka
kesempatan kerja dan peluang usaha, pemerintah mewajibkan perusahaan HTI
untuk melakukan pembinaan masyarakat desa di sekitar hutan.
Menteri Kehutanan sejak tanggal 14 Agustus 1997 mengeluarkan Surat
Keputusan No.523/Kpts-II/1997 tentang Pembinaan Masyarakat Desa Hutan oleh
pemegang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI). Dalam SK
tersebut ditegaskan bahwa pembinaan masyarakat itu bersifat wajib bagi
pemegang HPHTI. Dalam pelaksanaannya, perusahaan harus menyusun rencana
Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH), yang bertujuan untuk mewujudkan
terciptanya masyarakat desa yang mandiri, sejahtera, dan sadar lingkungan,
terutama masyarakat yang berada di dalam atau disekitar kawasan hutan tanaman
industri.
Salah satu pelopor pembangunan HTI di Sumatera Selatan yang telah
melaksanakan PMDH adalah PT. Musi Hutan Persada (MHP) dengan izin konsesi
seluas 296 400 ha. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.205/
Kpts-II/91 jo 316/KPts-II/91 jo 626/Kpts-II/96 dan No.038/Kpts-II/96 luas
kawasan konsesi yang dapat ditanami HTI adalah 193 500 ha, sisanya 86 450 ha
berupa hutan alam yang harus dikelola sebagai kawasan konservasi dan untuk
Untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera di sekitar kawasan HTI,
PT. MHP sejak tahun 1999 meluncurkan program mengelola hutan bersama
masyarakat (MHBM) dan mengelola hutan rakyat (MHR). Kedua pola ini
merupakan salah satu bentuk program nyata, sebagai implementasi dari
Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) yang dimaksudkan untuk
mengatasi konflik yang berkepanjangan yang terjadi antara perusahaan dan
masyarakat sekitar hutan.
Pola MHBM adalah dengan mempekerjakan anggota masyarakat dalam
areal konsesi, dalam melaksanakan pekerjaan mereka dibayar dan juga mendapat
jasa manajemen atas HTI sebesar 1% dari setiap nilai transaksi, disamping itu
mereka juga mendapat jasa produksi sebesar Rp2 500/m3.
Sedangkan pola MHR adalah perusahaan menanam HTI pada lahan milik
rakyat diluar kawasan konsesi, mereka memperoleh bayaran pada setiap
pekerjaan, mendapat bagi hasil dari nilai bersih kayu pada akhir daur dengan bagi
hasil 60% untuk perusahaan dan 40% untuk peserta.
Kesadararan akan pentingnya kesejahteraan masyarakat di sekitar wilayah
konsesi perusahaan telah melahirkan program MHBM dan MHR. Pemahaman ini
memberikan arahan bahwa korporasi bukan lagi sebagai entitas yang hanya
mementingkan dirinya sendiri saja, melainkan sebuah satuan usaha yang wajib
melakukan adaptasi kultural dengan lingkungan sosialnya.
Menurut Iskandar (2004) salah satu implementasi program PHBM dengan
pola MHBM dan MHR ini selaras dengan tujuan jangka panjang perusahaan HTI
yaitu: (1) Menunjang pembangunan industri hasil hutan dalam negeri guna
lahan dan kualitas lingkungan hidup, dan (3) Memperluas lapangan kerja
masyarakat dan lapangan usaha. Berdasarkan tujuan di atas sudah semestinya
perusahaan HTI tidak hanya mengejar keuntungan sesaat semata tetapi juga
keberlanjutan usaha dalam jangka panjang dengan memperhatikan aspek
perbaikan kualitas lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.
Salah satu dimensi penting keberlanjutan pengelolaan HTI ke depan
adalah suatu upaya yang mesti dilakukan agar kerjasama antara perusahaan dan
masyarakat tetap dalam kerangka yang saling menguntungkan serta dapat
dipertahankan secara langgeng. Agar kerjasama ini berjalan langgeng dan saling
menguntungkan kita harus memperhatikan empat indikator keberlanjutan yaitu
kontinyuitas, produktivitas, equitibilitas, dan stabilitas (Lingard, Rayner, and
Sjarkowi, 1975).
Agar pengusahaan HTI berkelanjutan dalam jangka panjang, perusahaan
perlu membangun hubungan yang harmonis dengan masyarakat tempatan,
terutama komunitas atau masyarakat disekitar wilayah kerja dan operasinya.
Salah satu prinsip moral yang sering digunakan adalah golden-rules, yang
mengajarkan agar seseorang atau suatu pihak memperlakukan orang lain sama
seperti apa yang mereka ingin diperlakukan. Dengan begitu, perusahaan yang
bekerja dengan mengedepankan prinsip moral dan etis akan memberikan manfaat
terbesar bagi masyarakat (Askary, 2002).
PHBM yang direalisasikan dalam program MHBM dan MHR tersebut akan
menjadi sia-sia jika pola kemitraan ini bersifat kontra produktif dan semi
produktif. Pola kemitraan kontra produktif akan terjadi apabila perusahaan masih
stakeholders yaitu mengejar profit sebesar-besarnya, sedangkan Pola kemitraan semi produktif terjadi di mana pemerintah dan komunitas atau masyarakat
dianggap sebagai objek dan masalah di luar perusahaan. Pola kemitraan semacam
ini dapat menimbulkan banyak konflik dan tidak menimbulkan sense of belonging
di pihak masyarakat.
Banyaknya konflik yang terjadi di lapangan, membutuhkan pola yang tepat
agar dapat mensinergikan semua pihak yang terlibat dalam kemitraan yang
bersifat produktif. Selain itu, pengembangan sumberdaya alam juga harus
memperhatikan berbagai aspek kehidupan seperti peningkatan kemakmuran dan
kesejahteraan penduduk dalam bidang ekonomi, serta memperhatikan
kelangsungan ekologi dan menghargai sistem sosial budaya lokal.
Berdasarkan penelitian Sjarkowi (2010), dalam tulisan yang berjudul
Genuine Social Acceptance of Technical Innovation to Improve Profitability for Out Growers Assosiated with a Forestry Company in South Sumatera, Indonesia menyatakan bahwa terdapat empat pertimbangan sosiologis dalam rangka
pengembangan kemitraan dengan warga masyarakat setempat yang terdiri dari
sosial-psikologi, sosial-budaya, sosial-ekologi, dan sosial-ekonomi.
Selanjutnya dalam menjalankan program MHBM dan MHR agar
berkelanjutan, perusahaan perlu melakukan kontrol faktor sosial-entrophic
(Socio-Enthropic Controlling Interface = SECI) yang menjadi penghubung bagi indikator keberlanjutan dan nilai total ekonomi dari pengelolaan HTI yang berkelanjutan.
Dalam kontrol penghubung faktor sosial-entrophic yang meliputi analisis yang
dapat mengakomodasikan semua kriteria keputusan yang meliputi dimensi sosial
menciptakan nilai total ekonomi secara keseluruhan dengan konsep valuasi yang
diharapkan menguntungkan semua pihak dan berkelanjutan.
Beberapa kajian yang telah dilakukan sebelumnya lebih banyak menitik
beratkan pada analisis yang menggunakan perhitungan finansial yang banyak
mengandung kelemahan. Di antaranya adalah tidak diakomodasikannya isyu-isyu
lingkungan, nilai sosial, ekonomi dan budaya, yang sesungguhnya dapat
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi kawasan secara global, sehingga
keuntungan yang diperoleh oleh satu pihak bisa jadi menimbulkan kerugian yang
lebih besar di pihak lainnya. Kajian nilai total ekonomi dengan konsep valuasi
ekonomi secara keseluruhan perlu dilakukan untuk menilai keberlanjutan program
pembangunan HTI dari sudut pandang yang menguntungkan semua pihak atau
minimal tidak ada pihak lain yang dirugikan.
Penilaian pengelolaan HTI yang baik akan menghasilkan HTI yang
bernilai ekonomi tinggi, membaiknya kualitas kehidupan sosial ekonomi
masyarakat dan meningkatnya mutu ekosistem. Dengan demikian upaya untuk
meningkatkan nilai total ekonomi hutan melalui pengusahaan HTI akan dapat
direalisasikan guna meningkatkan kinerja ekonomi nasional dan kesejahteraan
masyarakat secara berkelanjutan.
Perhitungan valuasi ekonomi pengelolaan HTI yang berbasis masyarakat
penting dilakukan untuk mengetahui celah kebijakan yang memungkinkan
peningkatan manfaat program MHBM dan MHR bagi masyarakat. Pengelolaan
HTI yang berbasis masyarakat ini diharapkan dapat meminimalisir permasalahan
dapat dipicu oleh kontrol hubungan sosial kemasyarakatan yang berkaitan dengan
masalah sosial psikologi, sosial ekologi, sosial ekonomi dan sosial kultural.
Peran penting manusia dalam pembangunan HTI yang tercakup dalam
aspek sosial psikologi, sosial ekologi, sosial ekonomi dan sosial kultural akan
sangat menentukan nilai valuasi ekonomi pembangunan HTI dalam perspektif
pembangunan yang berkelanjutan berdasarkan indikator yang meliputi aspek
stabilitas (stability), produktivitas (porductivity), keberlanjutan (sustainability),
dan pemerataan (equity).
1.2. Perumusan Masalah
Pengusahaan HTI di satu sisi telah mampu memberikan kontribusi
terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, tetapi di sisi lain ekploitasi sumber daya
alam oleh perusahaan seringkali menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan.
Karakteristik umum korporasi skala-besar biasanya beroperasi secara enclave, dan
melahirkan apa yang dalam perspektif sosiologi Booke, disebut sebagai “dual
society”, yakni tumbuhnya dua karakter ekonomi yang paradoks di dalam satu area. Di satu sisi ekonomi, di dalam enclave tumbuh secara modern dan sangat
pesat, tetapi di sisi masyarakat, ekonomi justru berjalan sangat lambat atau bahkan
mengalami stagnasi. Kehidupan ekonomi masyarakat semakin involutif, disertai
dengan marginalisasi tenaga kerja lokal. Hal ini terjadi karena basis teknologi
tinggi menuntut perusahaan-perusahaan besar lebih banyak menyedot tenaga kerja
terampil dari luar masyarakat tempatan, sehingga tenaga-tenaga kerja lokal yang
umumnya berketerampilan rendah tidak termanfaatkan. Keterpisahan (enclavism)
inilah yang kemudian menyebabkan hubungan perusahaan dengan masyarakat
Berbagai tuntutan seperti ganti-rugi atas kerusakan lingkungan, ketenagakerjaan
(employment), pembagian keuntungan, dan lain-lain sangat jarang memperoleh
solusi yang mendasar dan memuaskan masyarakat. Situasi tersebut diperparah
oleh kultur perusahaan yang didominasi cara berpikir dan perilaku ekonomi yang
bersifat profit-oriented semata.
Hutan Tanaman Industri sebagai satuan agribisnis formal dapat dibedakan
dari usahatani rakyat yang umumnya bersifat informal. Berdasarkan teori Booke
keadaan ini menyebabkan dualisme ekonomi yang terjadi karena adanya dual
society dimana terjadi enclave agribisnis formal dan usahatani rakyat. Hal ini juga berpotensi menimbulkan gesekan yang menjurus kepada konflik sosial antara
pihak enclave “perusahaan” dan usahatani rakyat.
Menurut Sjarkowi (2001), pada era otonomi daerah dan eforia reformasi
demokrasi saat ini, tuntutan untuk memanipulasi kompromi sosial diantara dua
kutub pelaku usaha dewasa ini semakin marak dirasakan. Untuk mengeliminir
gesekan dan rekayasa sosial antara dua kutub pelaku usaha diperlukan strategi
yang saling menguntungkan (win-win solution). Dari teori Booke di atas dapat
ditarik benang merah, yaitu adanya jurang antara kemampuan kelompok ekonomi
yang dapat menanggapi tuntutan pasar dengan mudah dan sebagian lainnya harus
menanggapi dengan mempertahankan pranata dan kelembagaan yang ada. Dengan
demikian telah terjadi perbedaan pada “speed of adjustment” dalam pengertian
“market responses” dari dua kelompok berbeda tersebut, yang kemudian melahirkan 3 butir konsepsional berikut ini:
1. Harus ada upaya pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat. Salah satu
program MHBM dan MHR yang menjembati ke dua belah pihak. Hal ini
sejalan dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.523/Kpts-II/1997 yang
merupakan aspek legal tentang Pembinaan Masyarakat Desa Hutan oleh
pemegang HPH dan HPHTI yang diwujudkan dalam program MHBM dan
MHR oleh perusahaan.
2. Harus ada wahana fungsional yang memanfaatkan upaya MHBM dan MHR
sebagai sarana untuk berkompromi atau bermusyawarah melalui suatu
pendekatan holistik, terpadu, dan sistemik yang dapat melahirkan solusi saling
menguntungkan (win-win solution).
3. Dalam pelaksanaannya program MHBM dan MHR yang dilakukan harus
melembaga, agar masyarakat mempunyai posisi tawar yang lebih baik, terukur,
adil dan berkelanjutan.
Dalam penerapannya di lapangan, program MHBM dan MHR masih
banyak menghadapi kendala dan benturan. Salah satu kendala yang dihadapi
perusahaan adalah besarnya biaya yang harus dikeluarkan, kendala lahan, masalah
kontrol dan pengawasan untuk wilayah yang tersebar luas. Kendala lain yang
dihadapi oleh masyarakat adalah lemahnya akses mereka terhadap kebijakan yang
dilakukan karena keterbatasan mereka secara fungsional dan institusional.
Fundamental hubungan yang baik antara perusahaan dan masyarakat
sekitarnya, harus diletakkan pada prinsip-prinsip simbiosis mutualistis, saling
pengertian dan saling memberi manfaat, yang mendorong munculnya perilaku
santun dan kooperatif terhadap eksistensi perusahaan dan sekaligus hak-hak sosial
ekonomi masyarakat sekitar. Dengan kata lain adanya hubungan yang saling
Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan beberapa permasalahan
sebagai berikut:
1. Bagaimana perspektif pembangunan HTI dengan Pengelolaan Hutan Berbasis
Masyarakat dilihat dari berbagai perspektif dalam konsep pembangunan
berkelanjutan?
2. Bagaimana prosfek pembangunan HTI pola PHBM yang berkelanjutan dilihat
dari pola mengelola hutan bersama masyarakat (MHBM) dan mengelola hutan
rakyat (MHR)?
3. Bagaimana mekanisme pengendalian kemerosotan sosial dalam pengusahaan
HTI dengan pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang berkelanjutan?
4. Berapa besar nilai ekonomi total pembangunan HTI tapa PHBM, maupun
dengan PHBM (pola MHBM dan MHR)?
5. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap keberlanjutan HTI dengan
Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian valuasi ekonomi pengembangan hutan tanaman industri pola
community based forest management dalam perspektif berkelanjutan ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis pembangunan HTI pola PHBM dari perspektif perusahaan,
petani, pemerintah dan daerah dalam konsep pembangunan berkelanjutan.
2. Menganalisis pengelolaan HTI yang menerapkan program PHBM (pola
MHBM dan pola MHR) dalam perspektif pembangunan yang berkelanjutan.
3. Menganalisis mekanisme pengendalian kemerosotan sosial dalam pengusahaan
4. Mengestimasi nilai ekonomi total capaian satuan perusahaan HTI sebagai
perusahaan tanpa PHBM maupun dengan PHBM (pola MHBM dan MHR).
5. Menentukan serta menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
keberlanjutan pembangunan HTI dengan manajemen PHBM.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini berguna untuk merumuskan kembali teknik valuasi
ekonomi yang selama ini belum melibatkan peranan masyarakat dalam
manajemen perusahaan yang sulit di kontrol dalam penilaian satuan unit
perusahaan HTI yang bermanfaat untuk:
1. Menilai secara utuh peranan ekosistem, lingkungan, sosial ekologi, sosial
ekonomi, dan sosial kultural, dalam rangka mewujudkan kelestarian
sumberdaya alam serta keseimbangan lingkungan sosial ekologis, sosial
ekonomi, dan sosial budaya yang dapat mendukung upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia secara berkelanjutan.
2. Dapat berkontribusi dalam kebijakan pemerintah tentang pola pengusahaan
hutan tanaman industri, yang lestari, berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan.
3. Disamping itu penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi
manajemen perusahaan ke depan agar memberikan hasil yang optimal bagi
semua pihak, dengan tetap memperhatikan pengelolaan aspek ekonomi, sosial,
budaya, kemasyarakatan dan kelestarian lingkungan hidup dalam perspektif
yang berkelanjutan.
4. Strategi dan upaya Pengelolaan Hutan Tanaman Industri yang baik antara
andalan dalam mempercepat laju pertumbuhan ekonomi yang adil,
berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Unit analisis dalam penelitian ini adalah perusahaan HTI PT. MHP dengan
pengelolaan hutan berbasis masyarakat dan peserta program MHBM dan MHR.
Penelitian ini meliputi unit perusahaan HTI PT. MHP dengan luas lahan
HTI 193 500 ha, yang meliputi kelompok hutan Martapura, Subanjeriji, dan
Benakat. Penelitian ini akan berfokus pada kajian analisis ekonomi pengusahaan
HTI dari persfektif perusahaan, pemerintah, dan petani. Selanjutnya analisis
secara mendalam akan melihat HTI dengan pola PHBM yang dikembangkan
dalam dua pola yaitu: mengelola hutan bersama masyarakat (MHBM) dan
mengelola hutan rakyat (MHR).
Pola MHBM yang dianalisis adalah realisasi pola MHBM sampai tahun
2009 yang dibagi dalam 3 wilayah yang meliputi 15 unit kerja, dengan total areal
seluas 61 172.72 ha.
Pola MHR yang akan di analisis dalam penelitian ini adalah pola yang
telah dilaksanakan dalam siklus pertama tahun 2001 – 2010 seluas 9 565.53
hektar. Analisis dilakukan terhadap 60 peserta yang telah melakukan penebangan
dan menerima pembayaran yang tersebar di dua wilayah yaitu suban jeriji dan
benakat.
Untuk mengetahu nilai ekonomi dari keberadaan perusahaan dilakukan
valuasi ekonomi dari sisi perusahaan dan pola PHBM. Untuk mengetahui
faktor-faktor yang menentukan keberlanjutan pembangunan HTI dengan pola PHBM ini
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Valuasi Ekonomi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan
Valuasi Ekonomi berasal dari kata “valuation” dan “economics". Meyer dan
Herman (1947) mengatakan bahwa ekonomi menjelaskan tentang transformasi
sumberdaya alam melalui penggunaan fasilitas fisik (physical forces), energi (stored
energy), dan kapasitas manusia, menjadi barang yang berguna bagi manusia, serta cara mengangkut barang tersebut ke konsumen. Baxter dan Ray (1978)
mendefinisikan ekonomi sebagai ilmu tentang perilaku sosial dan institusi yang
menyangkut penggunaan sumberdaya yang langka untuk memproduksi dan
mendistribusikan barang dan jasa untuk mencapai kepuasan dan keinginan manusia.
Klemperer (1996) mengatakan bahwa ekonomi akan menolong kita dalam memilih
cara yang terbaik dalam menggunakan sumberdaya. Ekonomi akan menjelaskan
perilaku manusia dalam pengambilan keputusan tentang alokasi sumberdaya alam
yang terbatas. Dengan demikian paling tidak terdapat tiga hal yang harus
diperhatikan dalam ekonomi yaitu: jenis dan jumlah barang yang akan diproduksi,
bagaimana cara memproduksinya, dan bagaimana mendistribusikannya (Johnson,
2000).
Ekonomi dalam konteks valuasi ini adalah perilaku manusia yang
mencerminkan cara-cara terbaik dalam menggunakan sumber daya alam untuk
memenuhi kepuasan manusia. Cara terbaik merupakan kearifan manusia untuk
menggunakan potensi internal dan fasilitas eksternal dalam menggunakan
sumberdaya alam. Dengan demikian kegiatan ekonomi manusia akan selalu
Valuasi berasal dari kata "value" atau "nilai" yang bermakna persepsi
manusia atau orang tertentu terhadap makna suatu objek dalam waktu dan tempat
tertentu. Dengan demikian hutan dan konversinya akan memiliki nilai yang berbeda
bagi individu atau kelompok masyarakat yang berbeda. Persepsi ini sendiri
merupakan ungkapan, pandangan, perspektif seseorang (individu) tentang atau
terhadap suatu benda sebagai basil dari proses pemahaman melalui suatu pemikiran,
dimana harapan dan norma-norma yang dimiliki oleh individu atau kelompok
masyarakat sangat berpengaruh.
Valuasi merupakan prosedur yang dilakukan untuk menemukan nilai suatu
sistem (Klemperer, 1996). Nilai yang dimaksudkan di sini adalah nilai manfaat
(benefit) suatu barang yang dapat dinikmati oleh manusia atau masyarakat. Adanya
nilai yang dimiliki oleh suatu barang (sumber daya dan lingkungan) pada gilirannya
akan mengarahkan perilaku individu, masyarakat ataupun organisasi dalam suatu
pengambilan keputusan. Menemukan nilai suatu barang atau jasa lingkungan
merupakan tema utama dalam bidang ekonomi lingkungan dan merupakan hal yang
krusial bagi pembangunan berkelanjutan. Masalahnya adalah bahwa menilai suatu
asset lingkungan bukan sesuatu yang mudah oleh karena banyak aset lingkungan
yang tidak memiliki pasar sehingga tidak mempunyai harga. Sebagai contoh adalah
fungsi perlindungan hutan, atau diversitas biologi hutan tropis. Fungsi lingkungan ini
sangat dibutuhkan keberadaannya oleh masyarakat tetapi karena tidak memiliki
pasar seperti yang dimiliki barang lainnya, misalnya ikan dan kayu bakar, maka
terdapat kesulitan untuk menentukan nilai fungsi lingkungan tersebut.
Demikian halnya total manfaat ekonomi dan total biaya ekonomi yang
(valuasi ekonomi) apakah program pembangunan HTI selama ini secara keseluruhan
menguntungkan atau justru merugikan perlu dilakukan. Barton (1994) menjelaskan
bahwa nilai ekonomi dari ekosistem hutan merupakan nilai dari seluruh instrument
yang ada padanya termasuk sumber makanan dan jasa ekologis. Nilai dari seluruh
instrumen yang terdapat pada ekosistem hutan yang dapat dikuantifikasi melalui
metode valuasi ekonomi total (Total Economic Valuation).
Valuasi ekonomi, menurut Fauzi (2004) dapat didefinisikan sebagai upaya
untuk memberikan nilai kuantitatif terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh
sumberdaya alam dan lingkungan baik atas nilai pasar (market value) maupun nilai
non pasar (non market value). Penilaian ekonomi sumberdaya alam merupakan suatu
alat ekonomi (economic tool) yang menggunakan teknik penilaian tertentu untuk
mengestimasi nilai uang dari barang dan jasa yang diberikan oleh suatu sumberdaya
alam. Tujuan dari penilaian ekonomi antara lain digunakan untuk menunjukkan
keterkaitan antara konservasi sumberdaya alam dan pembangunan ekonomi, maka
valuasi ekonomi dapat menjadi suatu peralatan penting dalam peningkatan apresiasi
dan kesadaran masyarakat terhadap lingkungan itu sendiri.
Penilaian ekonomi sumberdaya merupakan suatu bentuk penilaian yang
komprehensif. Dalam hal ini tidak saja nilai pasar (market value) dari barang
tetapi juga nilai jasa (nilai ekologis) yang dihasilkan oleh sumberdaya alam yang
sering tidak terkuantifikasi kedalam perhitungan menyeluruh sumberdaya alam.
Menurut Constanza (1991) tujuan valuasi ekonomi adalah menjamin tercapainya
tujuan maksimisasi kesejahteraan individu yang berkaitan dengan keberlanjutan
adanya valuasi ekosistem berdasarkan tiga tujuan utama yaitu efisiensi, keadilan,
dan keberlanjutan.
Valuasi ekonomi penggunaan sumberdaya alam hingga saat ini telah
berkembang pesat. Di dalam konteks ilmu ekonomi sumberdaya dan lingkungan,
perhitungan-perhitungan tentang biaya lingkungan sudah cukup banyak
berkembang. Menurut Hufscmidt et al. (1983) secara garis besar metode penilaian manfaat ekonomi (biaya lingkungan) suatu sumberdaya alam dan
ling-kungan pada dasarnya dapat dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu
berdasarkan pendekatan yang berorientasi pasar dan pendekatan yang berorientasi
survai atau penilaian hipotetis.
Dari kedua pendekatan tersebut selanjutnya Hufscmidt et al. (1983) mengembangkan lebih lanjut metode penilaian untuk masing-masing kelompok
seperti berikut ini :
1. Pendekatan Orientasi Pasar
- Penilaian manfaat menggunakan harga pasar aktual barang dan jasa (actual
market based methods) :
a. Perubahan dalam nilai hasil produksi (change in productivity)
b. Metode kehilangan penghasilan (loss of earning methods)
- Penilaian biaya dengan menggunakan harga pasar aktual terhadap masukan
berupa perlindungan lingkungan :
a. Pengeluaran pencegahan (averted defensif expenditure methods)
b. Biaya penggantian (replacement cost methods)
c. Proyek bayangan (shadow project methods)
- Penggunaan metode pasar pengganti (surrogate market-based methods) :
a). Barang yang dapat dipasarkan sebagai pengganti lingkungan
b). Pendekatan nilai pemilikan
c). Pendekatan lain terhadap nilai tanah
d). Biaya perjalanan (travel cost)
e). Pendekatan perbedaaan upah (wage differential methods)
f). Penerimaan konpensasi/pampasan
2. Pendekatan Orientasi Survai
- Pertanyaan langsung terhadap kemauan membayar (Willingness to Pay)
- Pertanyaan langsung terhadap kemauan di bayar (Willingness to Accept)
Dalam metode perhitungan yang berorientasi pasar, metode penilaian
manfaat kualitas lingkungan menggunakan harga pasar aktual. Harga pasar
tersebut dapat diubah menjadi harga bayangan bilamana diperlukan (Hufscmidt et
al., 1983).
Untuk mengukur nilai sumberdaya dilakukan berdasarkan konsep nilai
ekonomi total (total economic value) yaitu nilai kegunaan atau pemanfaatan (use
value) dan nilai bukan kegunaan atau non use values. Konsep use value pada dasarnya mendefinisikan suatu nilai dari konsumsi aktual maupun konsumsi
potensial dari suatu sumberdaya (Krutila, 1967).
Barton (1994) membagi konsep use value kedalam nilai langsung (direct
use value) dan nilai tidak langsung (indirect use value) adalah nilai yang dihasilkan dari pemanfaatan aktual dari barang dan jasa serta nilai pilihan (option
dan nilai warisan (bequest values) jika nilai-nilai tersebut dijumlahkan akan
diperoleh nilai ekonomi total (total economic values).
Nilai guna langsung meliputi seluruh manfaat dari sumberdaya yang dapat
diperkirakan langsung dari konsumsi dan produksi dimana harga ditentukan oleh
mekanisme pasar. Nilai guna ini dibayar oleh orang secara langsung mengunakan
sumberdaya dan mendapatkan manfaat darinya. Nilai guna tidak langsung terdiri
dari manfaat-manfaat fungsional dari proses ekologi yang secara terus menerus
memberikan kontribusi kepada masyarakat dan ekosistem (Miyata, 2007).
Nilai pilihan (Option value) meliputi manfaat-manfaat sumberdaya alam
yang disimpan atau dipertahankan untuk tidak dieksplorasi sekarang demi
kepentingan yang akan datang. Contohnya spesies, habitat dan biodiversity.
Nilai Keberadaan (existance values) adalah nilai yang diberikan
masyarakat kepada sumberdaya tertentu atas manfaat spiritual, estetika, dan
kultural. Nilai guna ini tidak berkaitan dengan penggunaan oleh manusia baik
untuk sekarang maupun masa datang, semata-mata sebagai bentuk kepedulian atas
keberadaan sumberdaya sebagai obyek.
Nilai warisan (bequest value) adalah nilai yang diberikan masyarakat yang
hidup saat ini untuk sumberdaya alam tertentu agar tetap utuh untuk diberikan
kepada generasi selanjutnya. Nilai ini berkaitan dengan konsep penggunaan masa
datang, atau pilihan dari orang lain untuk menggunakannya.
Munasinghe (1993) menyatakan bahwa kebanyakan hasil hutan non kayu
dikonsumsi secara lokal (nasional). Namun demikian produk ini merupakan
sumber daya yang sangat bernilai dan nilai komersialnya per hektar dapat
nilai ekonomi sebesar US$ 6 280 yang dihasilkan oleh oleh buah dan lateks.
Sedangkan kayu (logging) hanya memberikan kontribusi sebesar 7% dari TEV.
Hasil hutan non kayu tertentu memiliki pasar intemasional yang penting. Rotan,
lateks, coklat, vanilla, dan lain sebagainya merupakan komoditas yang telah
memiliki pasar hingga ke negara-negara maju. Ekotourisme di hutan tropis juga
merupakan aktivitas ekonomi yang telah berkembang dan memiliki potensi
mancanegara. Pengunjung lokal juga memiliki potensi untuk mendatangkan
benefit tetapi tingkat WTPnya masih rendah bila dibandingkan dengan turis
mancanegara.
Nilai kegunaan tak langsung berhubungan dengan dukungan atas
perlindungan yang disediakan oleh hutan tropis terhadap aktivitas ekonomi
lainnya yang berada di luar wilayah hutan tropis. Sebagai contoh adalah fungsi
perlindungan DAS (Daerah Aliran Sungai) hutan tropis yang mengatur tingkat
sedimentasi dan banjir sehingga pengaruhnya sangat menentukan produktivitas
ekonomi pada kawasan pertanian dan perikanan di sekitarnya. Nilai tak langsung
sering sulit ditentukan karena tidak dapat diduga secara langsung melalui
observasi manusia atau perilaku pasar (Bann, 1998).
Nilai option adalah tipe nilai kegunaan yang berhubungan dengan kegunaan masa depan hutan tropis. Nilai option muncul karena masyarakat
memiliki pilihan tentang kegunaan hutan tropis di masa yang akan datang.
Konsekuensinya adalah terdapat upaya masyarakat untuk melindungi hutan.
Dengan demikian tingkat penggunaan hutan tropis sekarang akan rendah dengan
harapan dapat mempunyai nilai masa depan yang lebih tinggi dalam lingkup ilmu
nilai option adalah nilai warisan (bequest value) yang merupakan hasil dari penghargaan yang tinggi terhadap konservasi hutan untuk memenuhi kebutuhan
generasi yang akan datang. Motifnya adalah keinginan untuk memberikan
sesuatu kepada keturunan. Seperti halnya nilai kegunaan tak langsung, nilai option
dan bequest value sulit untuk diakses karena menyangkut asumsi-asumsi yang berhubungan dengan pendapatan dan preferensi masa depan (Wallander, 2007).
Selanjutnya seperti yang telah dikemukakan di atas untuk sumber daya
alam yang mudah diukur kuantitasnya dan diketahui harganya di pasar baik
melalui pasar yang sesungguhnya ataupun pasar tiruan (surrogate), valuasinya
dapat menggunakan unit rent atau unit price. Untuk fungsi-fungsi hutan yang sifatnya tidak harus melalui nilai penggunaan, valuasinya (non-use value) akan
menggunakan “benefit transfer”, karena penghitungan secara langsung biasanya
dengan menggunakan survei lapangan akan memakan waktu yang lama dan biaya
yang mahal.
Menurut Simangunsong (2003), nilai ekonomi fungsi hutan dapat
dibedakan menjadi nilai guna (use value) dan nilai tanpa penggunaan (non-use
value). Selanjutnya nilai guna dibedakan menjadi nilai guna langsung dan nilai guna tidak langsung. Contoh dari nilai guna langsung adalah nilai untuk kayu
bulat, kayu bakar, dan hasil hutan lainnya seperti madu dan air. Nilai guna tidak
langsung, di antaranya nilai terhadap konservasi lahan dan air, penyerap karbon,
pencegah banjir, dan keanekaragaman hayati. Kemudian nilai tanpa penggunaan
meliputi nilai pilihan dan nilai keberadaan.
Untuk melakukan penilaian terhadap barang dan jasa yang tidak memiliki
refers to the assignment of money value to non-marketed assets, goods and services, where the money values have a particular and precise meaning. Non-marketed goods and services refer to those which may not be directly bought and sold in the market place. Bila suatu barang dan/atau jasa memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan manusia maka dikatakan bahwa barang dan jasa tersebut
memiliki nilai ekonomi (economic value). Nilai ekonomi didefinisikan sebagai
nilai yang menggambarkan ukuran moneter sebagai hasil transaksi yang terjadi di
pasar. Dengan demikian valuasi ekonomi merupakan suatu kajian yang
menawarkan suatu tantangan yang menarik tentang metode pengukuran sehingga
nilai jasa atau barang yang tidak memiliki harga pasar dapat ditransformasi ke
nilai moneter. Oleh sebab itu valuasi ekonomi juga melibatkan analisis ekologi
guna memahami semua komponen dan atribut feature atau hutan yang dinilai.
WWF (2004) menggunakan analisis ekologi dalam model valuasi
ekosistem untuk menghitung nilai moneter kerusakan lahan basah di daerah
mediterane, Eropa Selatan. Tujuan analisis ini adalah mengidentifikasi nilai
ekologi yang dimiliki setiap elemen-elemen bentang alam di lahan basah Kalloni.
Model ini difokuskan pada sensitivitas habitat alami terhadap gangguan yang
diakibatkan oleh aktivitas manusia.
Pemahaman tentang konsep valuasi ekonomi memungkinkan para
pengambil keputusan dapat menentukan penggunaan sumberdaya alam dan
lingkungan dapat digunakan dengan mengaitkan antara konservasi sumberdaya
alam dan pembangunan ekonomi, sehingga dengan demikian valuasi ekonomi
dapat menjadi suatu alat penting dalam peningkatan apresiasi dan kesadaran
2.2. Pengembangan HTI Dengan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat
Pengusahaan Hutan Tanaman Industri diatur di dalam Pasal 1
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1990
sertat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 228/Kpts-II/1990 tentang Tata Cara
dan Persyaratan Permohonan Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri.
Dasar pemikiran dikeluarkannya peraturan tentang Hak Pengusahaan
Hutan Tanaman Industri, adalah karena: (1) menurunnya potensi hutan alam yang
disebabkan antara lain oleh luasan hutan yang makin berkurang, kerusakan hutan
akibat kebakaran, dan sebab lainnya, dan (2) hutan alam tidak dapat diandalkan
sebagai pemasok bahan baku jangka panjang sehingga potensi dan
produktivitasnya perlu ditingkatkan.
Pembangunan hutan tanaman industri, bertujuan untuk: (1) meningkatkan
produktivitas kawasan hutan yang kurang produktif, (2) mendukung industri hasil
hutan dalam negeri guna meningkatkan nilai tambah dan devisa, (3) melestarikan
lingkungan hidup melalui konservasi hutan, dan (4) memperluas lapangan kerja
dan berusaha.
Ada tiga prinsip yang harus diperhatikan dalam mengelola hutan tanaman
industri: (1) kelestarian lingkungan hidup, (2) sumber daya alamiah, dan (3)
prinsip ekonomi. Ketiga prinsip itu harus diperhatikan secara saksama oleh
pemegang izin Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri dalam mengelola
kawasan hutan.
Hutan Tanaman industri merupakan hutan tanaman yang dikelola dan
diusahakan oleh suatu organisasi atau perusahaan dalam rangka meningkatkan
industri hasil hutan berdasarkan azas manfaat yang lestari dan azas ekonomi yang
efisien dengan menerapkan sistim silvikultur intensif (Departemen Kehutanan,
1990).
Menurut Alrasjid (1984), kebijaksanaan pembangunan hutan tanaman
industri umumnya diarahkan pada 4 tujuan pokok, yaitu :
1. memenuhi kebutuhan industri, antara lain berupa pulp untuk bahan baku
kertas, kayu gergajian, panel dan sebagainya,
2. memenuhi tuntutan perlindungan, antara lain untuk kebutuhan hidro-orologi,
3. memenuhi kebutuhan energi, dan meningkatkan pendapatan dan kebutuhan
masyarakat terutama yang ada di sekitar areal pembangunan hutan tanaman
industri.
Tujuan pemerintah dalam pembangunan HTI diharapkan secara bertahap
akan mengubah lahan kritis menjadi produktif dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Secara langsung pembangunan HTI akan mengubah penyerapan
tenaga kerja yang sebelumnya bekerja untuk illegal logging menjadi tenaga
pembangunan HTI (Departemen Kehutanan, 1996).
Keberhasilan pembangunan HTI diharapkan akan mampu meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, serta penerimaan devisa negara. Selain
itu, HTI akan membangkitkan kembali pembangunan ekonomi, karena membuka
peluang bagi peningkatan investasi asing dan domestik, penyerapan tenaga kerja,
penyediaan lapangan usaha, terjaminnya bahan baku industri, serta meningkatkan
nilai ekspor yang berdampak terhadap perolehan devisa negara. Keberhasilan ini
akan mendorong banyak aspek terkait yang berdampak pada pembangunan
Pengelolaan HTI berbasis masyarakat atau Community Based Forest
Management (CBFM) merupakan salah satu pendekatan pengelolaan sumberdaya hutan yang meletakkan pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal
sebagai dasar pengelolaan (Darmawan dkk., 2004).
Menurut Suharjito et al. (2000) pengelolaan hutan berbasis masyarakat
adalah sistem pengelolaan hutan yang dilakukan oleh individu atau kelompok
suatu komunitas, pada lahan negara, lahan komunal, lahan adat atau lahan milik
perusahaan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan masyarakat, serta
diusahakan secara komersial ataupun subsisten.
Sementara itu, Carter (1996) memberikan definisi pengelolaan
sumberdaya berbasis masyarakat yaitu, suatu strategi untuk mencapai
pembangunan yang berpusat pada manusia. Pusat pengambilan keputusan
mengenai pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan di suatu daerah
terletak/berada di tangan organisasi-organisasi dalam masyarakat di daerah
tersebut. Beberapa kelebihan model pengelolaan hutan berbasis masyarakat
antara lain:
1. Mampu mendorong pemerataan dalam pengelolaan sumber daya alam,
2. Mampu merefleksikan kebutuhan masyarakat yang spesifik,
3. Mampu meningkatkan manfaat lokal bagi seluruh anggota masyarakat,
4. Mampu meningkatkan efisiensi secara ekonomi dan ekologi,
5. Responsif dan adaptif terhadap variasi kondisi sosial dan lingkungan lokal,
6. Masyarakal lokal termotivasi untuk mengelola sumberdaya alam secara
Keberhasilan pembangunan HTI diharapkan akan mampu meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, serta penerimaan devisa negara. Selain
itu, HTI akan membangkitkan kembali pembangunan ekonomi, karena membuka
peluang bagi peningkatan investasi asing dan domestik,penyerapan tenaga kerja,
penyediaan lapangan usaha, terjaminnya bahan baku industri, serta meningkatkan
nilai ekspor yang berdampak terhadap perolehan devisa negara. Keberhasilan ini
akan mendorong banyak aspek terkait yang berdampak pada pembangunan
ekonomi nasional secara menyeluruh. Sebagai ilustrasi dapat digambarkan bahwa
sampai dengan tahun 2007 pembangunan HTI di Indonesia telah mencapai 254
unit dengan luas 3.57 juta hektar. Pada tahun 2006 nilai investasi HTI sebesar
US$ 3 milyar (nilai perolehan tidak termasuk nilai standingstock (tegakan),
menyerap 135 ribu tenaga kerja dan mendukung 7 unit industri pulp dan kertas.
Nilai investasi pulp dan kertas sebesar US$ 16 milyar dengan kapasitas produksi
sekitar 8.5 juta ton/tahun (peringkat 12 besar dunia) dan menyerap tenaga kerja
178 600 orang, dengan penerimaan devisa negara dari pulp dan paper sekitar US$
6 milyar per tahun (Barr, 2001)
Keberhasilan yang diharapkan jika tidak diikuti dengan pengelolaan yang
baik akan menyebabkan kerugian ekonomi yang besar. Penebangan liar,
pengelolaan konsesi hutan yang sangat buruk, konversi hutan menjadi
perkebunan, dan kebakaran hutan setiap tahun membuat hutan tropis Indonesia
kian menyusut, komunitas-komunitas yang bergantung pada hutan dengan cepat
kehilangan sumber daya alam masa depannya (Global Forest Watch, 2002).
Biaya sosial, finansial dan lingkungan yang ditimbulkannya amat besar.
sebesar US$ 15 milyar setahunnya, dan hilangnya hutan langsung mempengaruhi
mata pencaharian lebih dari satu milyar penduduk di negara berkembang yang
hidup dalam kemiskinan yang parah. Hilangnya hutan juga diikuti oleh maraknya
kebakaran, tanah longsor, dan banjir yang mengambil nyawa ribuan orang.
Penebangan liar juga telah mengancam eksistensi banyak spesies yang rentan.
Dampak negatif dari perusakan tersebut secara langsung dirasakanoleh
masyarakat yang tinggal di sekitar hutan yaitu berupa banjir, tanah longsor,
kebakaran hutan, dan kekeringan dimana kualitas dan kuantitasnya semakin
meningkat dari tahun ke tahun (World Bank, 2002)
2.3. Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan (sustainability) didefinisikan sebagai pembangunan multidimensional untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik
untuk semua orang (Bond et al., 2001). Selanjutnya Roderic et al. (1997), menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan memerlukan pengelolaan tentang
skala keberlanjutan ekonomi terhadap dukungan sistem ekologi, pembagian
distribusi sumberdaya dan kesempatan antara generasi sekarang dan yang akan
datang secara berimbang serta adil, serta efisiensi dalam pengalokasian
sumberdaya.
Pembangunan berkelanjutan adalah kerangka berpikir yang telah menjadi
wacana secara internasional. Dalam Agenda 21 Kantor Menteri Negara