• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis usahatani dan pemasaran bunga-potong anggrek dendrobium: kasus Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis usahatani dan pemasaran bunga-potong anggrek dendrobium: kasus Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS USAHATANI DAN PEMASARAN

BUNGA-POTONG ANGGREK DENDROBIUM

(Kasus Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor)

SKRIPSI

DRESTHY AULIA ESTEFAN

H 34076053

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

RINGKASAN

DRESTHY AULIA ESTEFAN. Analisis Usahatani dan Pemasaran Bunga-Potong Anggrek Dendrobium (Kasus Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor). Di bawah bimbingan DWI RACHMINA.

Sektor pertanian terdiri atas subsektor tanaman pangan, subsektor hortikultura, subsektor kehutanan, subsektor perkebunan, subsektor peternakan, dan subsektor perikanan. Subsektor hortikultura terdiri atas komoditas buah-buahan, sayuran, tanaman hias, dan tanaman obat-obatan yang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai salah satu sumber pendapatan nasional di masa depan. Salah satu komoditas unggulan hortikultura adalah tanaman hias.

Salah satu jenis tanaman hias yang dikembangkan untuk pasar domestik dan ekspor adalah anggrek. Produksi anggrek mengalami penurunan sebesar 13 persen pada tahun 2007, namun di tahun 2008 produksi anggrek meningkat signifikan sebesar 61,42 persen, sehingga komoditas anggrek dapat memberi prospek pasar yang cerah di masa mendatang.

Kebutuhan akan anggrek menimbulkan permintaan yang telah menggerakkan sentra produksi anggrek di berbagai daerah. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi anggrek terbesar di Indonesia. Salah satu Kabupaten yang merupakan sentra produksi anggrek di Jawa Barat adalah Kabupaten Bogor. Kabupaten Bogor memiliki jumlah produksi anggrek terbanyak dibandingkan dengan Kabupaten Karawang dan Cirebon yaitu sebesar 1.878.403 tangkai.

Selisih antara harga jual yang diterima petani anggrek di Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor dengan harga yang diberlakukan pedagang (marjin pemasaran) cukup besar, dimana posisi petani diantara pelaku ekonomi adalah sebagai penerima harga (price taker). Marjin pemasaran yang semakin besar umumnya akan menyebabkan persentase bagian harga yang yang diterima oleh petani (farmer’s share) akan semakin kecil. Penyebaran marjin yang tidak merata dan harga yang rendah ditingkat petani tersebut dapat mempengaruhi pendapatan petani.

Penelitian analisis usahatani dan pemasaran bunga-potong anggrek Dendrobium bertujuan untuk: (1) Menganalisis usahatani bunga-potong anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor. (2) Menganalisis sistem pemasaran, saluran pemasaran, struktur dan perilaku pasar serta sebaran marjin pemasaran bunga potong anggrek Dendrobium dari petani sampai konsumen akhir serta memilih alternatif saluran pemasaran yang lebih efisien.

(3)

sebanyak tujuh orang, pedagang pengumpul luar daerah satu orang, pedagang besar dua orang serta tiga floris.

Petani skala I memiliki pendapatan atas biaya tunai sebesar Rp 23,67 juta per tahun dengan R/C 1,91 berarti setiap Rp 1,00 biaya tunai yang dikeluarkan petani untuk menanam anggrek, maka petani akan memperoleh penerimaan Rp 1,91. Pendapatan atas biaya total yang diperoleh sebesar Rp 4,77 juta per tahun dengan R/C 1,11 berarti setiap Rp 1,00 biaya total yang dikeluarkan petani untuk menanam anggrek, maka petani akan memperoleh penerimaan sebesar Rp 1,11.

Petani skala II memiliki pendapatan atas biaya tunai sebesar Rp 87,28 juta per tahun dengan R/C 3,79 berarti setiap Rp 1,00 biaya tunai yang dikeluarkan petani untuk menanam anggrek, maka petani akan memperoleh penerimaan Rp 3,79. Pendapatan atas biaya total yang diperoleh sebesar Rp 56,74 juta per tahun dengan R/C 1,91 berarti setiap Rp 1,00 biaya total yang dikeluarkan petani untuk menanam anggrek, maka petani akan memperoleh penerimaan sebesar Rp 1,91.

Berdasarkan analisis pendapatan dan R/C rasio, maka dapat disimpulkan bahwa skala usaha berpengaruh terhadap keuntungan atau pendapatan usahatani bunga-potong anggrek Dendrobium. Skala usaha yang lebih tinggi akan menghasilkan pendapatan atau keuntungan yang lebih besar.

Struktur pasar yang dihadapi petani bunga-potong anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur adalah oligopsoni sedangkan struktur pasar yang dihadapi pedagang pengumpul lokal dan pedagang pengumpul luar daerah adalah oligopoli. Pedagang besar menghadapi struktur pasar yang mengarah ke bentuk duopoli dan floris berada pada struktur pasar persaingan sempurna. Perilaku pasar diidentifikasi dengan mengamati kegiatan pemasaran dalam proses pembelian dan penjualan, sistem penentuan harga, sistem pembayaran dan kerjasama antar lembaga pemasaran bunga-potong anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur.

Terdapat enam saluran pemasaran bunga-potong anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur yaitu: (1) Petani → Pedagang Pengumpul Lokal

Konsumen, (2) Petani → Pedagang Pengumpul Lokal Pedagang Besar (Pasar

Bunga Rawabelong) → Konsumen, (3) Petani Pedagang Pengumpul Lokal

Pedagang Besar (Pasar Bunga Rawabelong) → Floris Konsumen, (4) Petani

Pedagang Pengumpul Lokal → Pedagang Pengumpul Luar Daerah Konsumen, (5)

Petani → Pedagang Pengumpul Lokal Pedagang Pengumpul Luar Daerah

Floris → Konsumen, (6) Petani Pedagang Pengumpul Lokal Floris

Konsumen.

(4)

ANALISIS USAHATANI DAN PEMASARAN

BUNGA-POTONG ANGGREK DENDROBIUM

(Kasus Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor)

DRESTHY AULIA ESTEFAN H34076053

Skipsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada

Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Judul Skripsi : Analisis Usahatani dan Pemasaran Bunga-Potong Anggrek Dendrobium (Kasus Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor)

Nama : Dresthy Aulia Estefan

NRP : H34076053

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Ir. Dwi Rachmina, MSi NIP. 19631227 199003 2 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen

Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002

(6)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis Usahatani dan Pemasaran Bunga-Potong Anggrek Dendrobium (Kasus Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor)” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Maret 2011

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 20 Juni 1987. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Dudi Damsyik dan Ibu Thiofany Yanaida.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Pajeleran 1 Cibinong, Bogor pada tahun 1998 dan pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2001 di SLTPN 2 Bogor. Pendidikan lanjutan menengah atas di SMUN 1 Cibadak, Sukabumi diselesaikan pada tahun 2004. Penulis diterima pada Program Studi Diploma III Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur reguler dan diselesaikan pada tahun 2007, kemudian penulis diterima di Program Sarjana Penyelenggaraan Khusus Agribisnis, Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007.

(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamiin. Segala puji senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan ridha-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penyebaran marjin yang tidak merata dan harga yang rendah di tingkat petani dapat mempengaruhi pendapatan petani anggrek di Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian mengenai analisis usahatani dan pemasaran bunga-potong anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor untuk mengetahui tingkat pendapatan petani dan memilih alternatif saluran pemasaran yang lebih efisien.

Skripsi ini berjudul “Analisis Usahatani dan Pemasaran Bunga-Potong Anggrek Dendrobium (Kasus Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor)”. Hasil dari penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Bogor, Maret 2011

(9)

UCAPAN TERIMAKASIH

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis telah dibantu oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala ketulusan dan kerendahan hati penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada:

1. Ir. Dwi Rachmina, MS selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, saran, motivasi, waktu, kesabaran, dan pengarahan yang amat berarti selama penyusunan skripsi ini.

2. Dr. Ir. Anna Fariyanti, MS selaku dosen penguji utama yang telah memberikan kritik dan saran yang berguna bagi perbaikan skripsi ini, juga selaku dosen evaluator yang telah memberikan masukan pada saat kolokium penulis.

3. Eva Yolynda Aviny, SP, MM selaku dosen penguji komdik yang telah memberikan saran untuk kesempurnaan penulisan skripsi ini.

4. Welfrin C Pangabean selaku pembahas yang telah memberikan koreksian dan masukan pada saat seminar penulis.

5. Seluruh petani anggrek Kecamatan Gunung Sindur yang telah banyak membantu dalam pencarian informasi dan penyusunan skripsi ini.

6. Kedua Orang Tuaku, atas segala doa, semangat, dukungan, limpahan kasih sayang dan perhatian yang selalu diberikan kepada penulis.

7. Yang tercinta Suamiku Sumarno, atas segala doa, semangat, dukungan, cinta, kasih sayang dan perhatian yang selalu diberikan kepada penulis.

8. Putri Kecilku tersayang, Nabila Aulia Rayya yang selalu menumbuhkan semangat kepada penulis.

9. Adik-adikku Defany Estha Adjani dan Muhammad Pramudya Aulia Santrie atas doa dan dukungan yang diberikan kepada penulis.

10.Ayah dan Ibu mertuaku serta keluarga besar di Palembang atas doa, dukungan, kasih sayang dan perhatian yang diberikan kepada penulis.

11.Hilda Widianingsih, Allin, Zeffri, Devi, dan teman-temanku atas doa dan dukungannya.

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Perumusan Masalah ... 5

1.3.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1. Karakteristik Tanaman Anggrek ... 8

2.2. Usahatani Anggrek dan Tanaman Hias Lain ... 9

2.3. Pemasaran Anggrek dan Tanaman Hias Lain ... 11

BAB III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 16

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ... 16

3.1.1. Teori Produksi ... 16

3.1.2. Teori Biaya Produksi ... 19

3.1.3. Pendapatan Usahatani ... 23

3.1.4. Sistem Pemasaran ... 25

3.1.5. Saluran Pemasaran ... 26

3.1.6. Fungsi dan Lembaga Pemasaran ... 27

3.1.7. Struktur, Perilaku dan Keragaan Pasar ... 28

3.1.8. Marjin Pemasaran ... 30

3.1.9. Farmer’s Share ... 32

3.1.10. Efisiensi Pemasaran ... 32

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ... 33

BAB IV. METODE PENELITIAN ... 35

4.1. Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian ... 35

4.2. Jenis dan Sumber Data ... 35

4.3. Metode Penentuan Responden ... 36

4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 37

4.4.1. Analisis Usahatani ... 37

4.4.2. Analisis Saluran Pemasaran ... 39

4.4.3. Analisis Lembaga Pemasaran ... 39

4.4.4. Analisis Struktur, Perilaku dan Keragaan Pasar ... 40

4.4.5. Analisis Marjin Pemasaran ... 40

(11)

4.4.7. Analisis Farmer’s Share ... 41

BAB V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 43

5.1. Keadaan Geografis dan Keadaan Alam Kecamatan Gunung Sindur ... 43

5.2. Penduduk dan Mata Pencaharian Kecamatan Gunung Sindur ... 44

5.3. Karakteristik Petani ... 46

5.4. Karakteristik Pedagang ... 50

BAB VI. ANALISIS USAHATANI DAN PEMASARAN BUNGA-POTONG ANGGREK DENDROBIUM ... 52

6.1. Analisis Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium .. 52

6.1.1. Kegiatan Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium ... 52

6.1.2. Analisis Biaya Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium ... 56

6.1.3. Analisis Penerimaan Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium ... 62

6.1.4. Analisis Pendapatan Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium ... 64

6.2. Analisis Pemasaran Bunga-Potong Anggrek Dendrobium . 66

6.2.1. Saluran Pemasaran ... 66

6.2.2. Peranan Lembaga Pemasaran ... 69

6.2.3. Struktur Pasar ... 74

6.2.4. Perilaku Pasar (Market Conduct) ... 76

6.2.5. Keragaan Pasar (Market Performance) ... 78

6.2.6. Analisis Marjin Pemasaran ... 79

6.2.7. Farmer’s Share ... 82

6.2.8. Rasio Keuntungan dan Biaya ... 83

6.2.9. Alternatif Saluran Pemasaran ... 86

BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 87

7.1. Kesimpulan ... 87

7.2. Saran ... 88

DAFTAR PUSTAKA ... 89

(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Volume dan Nilai Ekspor Tanaman Hias Indonesia Tahun

2003 – 2008 ... 2

2. Perkembangan Produksi Tanaman Hias Indonesia Tahun 2006-

2008 ... 3

3. Penjualan Bunga-Potong di Indonesia Tahun menurut Jenia

Bunga Tahun 2007 ... 3

4. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Anggrek di Indonesia

Menurut Provinsi Tahun 2008 ... 5

5. Karakteristik Struktur Pasar ... 29

6. Sentra Produksi Tanaman Hias Unggulan di Jawa Barat

Tahun 2008 ... 35

7. Komposisi Penduduk Kecamatan Gunung Sindur Berdasarkan

Skala Umur Tahun 2010 ... 44

8. Komposisi Penduduk Kecamatan Gunung Sindur Berdasarkan

Skala Tingkat Pendidikan Tahun 2010 ... 45

9. Komposisi Penduduk Kecamatan Gunung Sindur Berdasarkan

Mata Pencaharian Tahun 2010 ... 46

10. Komposisi Responden Petani Bunga-Potong Anggrek

Dendrobium Berdasarkan Umur di Kecamatan Gunung Sindur

Tahun 2010 ... .. 47

11. Komposisi Responden Petani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Kecamatan

Gunung Sindur Tahun 2010 ... 47

12. Jumlah dan Persentase Responden Petani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium Berdasarkan Jumlah Tanaman di

(13)

13. Komposisi Responden Petani Bunga-Porong Anggrek Dendrobium Berdasarkan Status Mata Pencaharian

Petani di Kecamatan Gunung Sindur pada Tahun 2010 ... 49

14. Komposisi Responden Petani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium Berdasarkan Pengalaman Bertani di Kecamatan

Gunung Sindur pada Tahun 2010... 50

15. Komposisi Responden Pedagang Bunga-Potong Anggrek

Dendrobium Berdasarkan Umur Tahun 2010 ... 51

16. Sebaran Umur Tanaman Bunga-Potong Anggrek Dendrobium Milik Petani Responden di Kecamatan Gunung Sindur Tahun

2010 ... 53

17. Rata-rata Penggunaan Tenaga Kerja (HOK) untuk Rata-rata 7.575 Tanaman pada Usahatani Bunga-Potong Anggrek

Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur untuk Satu Tahun... 56

18. Rata-rata Biaya Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium Skala I dan Skala II di Kecamatan Gunung

Sindur Tahun 2009 - 2010 ... 57

19. Rata-rata Penggunaan Tenaga Kerja Luar Keluarga untuk Petani Skala II pada Usahatani Bunga-Potong Anggrek

Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2009-2010 .. 58

20. Nilai Rata-rata Penggunaan Pupuk, Insektisida dan Fungisida Petani Skala II pada Usahatani Bunga-Potong Anggrek

Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2009-2010 . 59

21. Rata-rata Penggunaan Tenaga Kerja Luar Keluarga untuk Petani Skala I pada Usahatani Bunga Potong Anggrek

Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2009-2010 .. 60

22. Nilai Rata-rata Penggunaan Pupuk, Insektisida dan Fungisida Petani Skala I pada Usahatani Bunga-Potong Anggrek

Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2009-2010 .. 60

23. Perbandingan Persentase Biaya Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium Skala I dan Skala II di Kecamatan

(14)

24. Rata-rata Penerimaan Petani Skala I Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur Tahun

2009 – 2010 ... 63

25. Rata-rata Penerimaan Petani Skala II Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur Tahun

2009 – 2010 ... 63

26. Rata-rata Pendapatan dan R/C Rasio Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium pada Skala I dan Skala II di Kecamatan

Gunung Sindur Tahun 2009-2010 ... 65

27. Pelaksanaan Fungsi Pemasaran di Beberapa Lembaga

Pemasaran Bunga-Potong Anggrek Dendrobium ... 70

28. Marjin Pemasaran Bunga-Potong Anggrek Dendrobium di

Kecamatan Gunung Sindur ... 81

29. Farmer’s Share, Persentase Volume Penjualan dan Persentase Total Marjin pada Saluran Pemasaran Bunga-Potong Anggrek

Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2010 ... 82

30. Rasio Keuntungan dan Biaya Lembaga Pemasaran Bunga-Potong Anggrek Dendrobium di Kecamatan

(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Fungsi Produksi dan Tiga Daerah Produksi ... 18

2. Kurva Biaya Total, Biaya Tetap Total, dan Biaya Variabel Total ... 21

3. Kurva Biaya Rata-rata, Biaya Variabel Rata-rata, dan Biaya Marjinal ... 22

4. Kemungkinan Keuntungan Perusahaan ... 24

5. Sistem Pemasaran …………... 25

6. Marjin Pemasaran... 31

7. Kerangka Pemikiran Operasional ... 34

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Rata-rata Luas Lahan dan Jumlah Tanaman Usahatani Bunga- Potong Anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung sindur

Tahun 2009-2010 ... 92

2. Rata-rata Produksi Bunga-Potong Anggrek Dendrobium pada

Skala I per Minggu di Kecamatan Gunung Sindur ... 93

3. Rata-rata Produksi Bunga-Potong Anggrek Dendrobium pada

Skala II per Minggu di Kecamatan Gunung Sindur ... 94

4. Rata-rata Penggunaan Sarama Produksi Skala I Usahatani Bunga- Potong Anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur

Tahun 2009-2010 ... 95

5. Rata-rata Biaya Tunai Skala I Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2009-2010 ... 96

6. Rata-rata Biaya Diperhitungkan Skala I Usahatani Bunga- Potong Anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur

Tahun 2009 – 2010 ... 97

7. Rata-rata Penggunaan Sarana Produksi Skala II Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung

Sindur Tahun 2009 – 2010 ... 98

8. Rata-rata Biaya Tunai Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium Skala II di Kecamatan Gunung Sindur Tahun

2009 – 2010 ... 99

9. Rata-rata Biaya Diperhitungkan Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium Skala II di Kecamatan Gunung Sindur

Tahun 2009 – 2010 ... 100

10.Penggunaan Tenaga kerja Skala I per Tahun Usahatani Bunga- Potong Anggrek Dendrobium Skala II di Kecamatan Gunung

(17)

11.Penggunaan Tenaga Kerja Skala II per Tahun Usahatani Bunga-Potong Anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung

Sindur Tahun 2009 – 2010 ... 102

12.Analisis Marjin Pemasaran Bunga-Potong Anggrek Dendrobium Saluran Satu, Dua dan Tiga di Kecamatan

Gunung Sindur ... 103

13.Analisis Marjin Pemasaran Bunga-Potong Anggrek

Dendrobium Saluran Empat, Lima dan Enam di Kecamatan

(18)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Sektor pertanian terdiri atas subsektor tanaman pangan, subsektor hortikultura, subsektor kehutanan, subsektor perkebunan, subsektor peternakan, dan subsektor perikanan. Salah satu subsektor yang menjadi unggulan adalah hortikultura. Subsektor hortikultura terdiri atas komoditas buah-buahan, sayuran, tanaman hias, dan tanaman obat-obatan yang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai salah satu sumber pendapatan nasional di masa depan.

Tanaman hias merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki kontribusi yang cukup besar dalam pengembangan pertanian di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) tanaman hias terhadap PDB hortikultura cukup besar dengan menunjukkan peningkatan nilai PDB yang cukup signifikan. Pada tahun 2000, kontribusi ekspor tanaman hias pada PDB Indonesia sebesar Rp 4,6 triliun, pada tahun 2008 kontribusi tersebut meningkat menjadi sebesar Rp 7,7 triliun1.

Berdasarkan Direktorat Jenderal Hortilkultura (2009) volume ekspor tanaman hias Indonesia pada tahun 2003 sampai dengan tahun 2005 terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2005 ekspor komoditas tanaman hias mengalami peningkatan sebesar 4.194.111 kg dari tahun sebelumnya, dengan nilai USD 15.027.410. Pada tahun 2006 volume ekspor tanaman hias justru mengalami penurunan, namun memiliki nilai ekspor lebih tinggi dari tahun sebelumnya dengan harga rata-rata tertinggi USD 1,08/kg. Dari data ini menunjukkan sisi permintaan ekspor bunga-potong yang tinggi dan memiliki kecenderungan meningkat. Volume dan nilai ekspor tanaman hias Indonesia tahun 2003-2008 dapat dilihat pada Tabel 1.

1

(19)

Tabel 1. Volume dan Nilai Ekspor Tanaman Hias Indonesia Tahun 2003-2008

No. Tahun Volume

(Kg)

Nilai (USD)

Harga Rata-rata (USD/Kg)

1. 2003 681.028 1.387.338 2,03

2. 2004 14.065.154 12.914.439 0,92

3. 2005 18.259.265 15.027.410 0,82

4. 2006 15.047.349 16.331.671 1,08

5. 2007 15.875.683 12.573.931 0,79

6. 2008 3.343.562 9.230.721 2,76

Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2010)

Sebagai salah satu komoditas perdagangan internasional, tanaman hias memiliki potensi atau peluang pasar luar negeri yang cukup baik. Banyak negara yang memanfaatkan tanaman hias sebagai sumber penerimaan devisa yang dominan. Negara-negara tersebut antara lain adalah Belanda, Columbia, Italia, Kenya, Zimbabwe dan Tanzania. Indonesia menempati urutan ke-51 dunia sebagai pengekspor tanaman hias dengan nilai perdagangan kurang dari USD 10 juta. Negara utama tujuan ekspor tanaman hias Indonesia adalah Singapura, Taiwan, Hongkong, Amerika Serikat dan Belanda (Direktorat Jenderal Tanaman Hias 2008).

Komoditas tanaman hias juga memiliki prospek yang cukup bagus karena setiap tahunnya rata-rata produksi tanaman hias menunjukkan peningkatan yang signifikan. Data perkembangan produksi tanaman hias dapat dilihat pada Tabel 2.

Salah satu jenis tanaman hias yang dikembangkan untuk pasar domestik dan ekspor adalah anggrek. Anggrek termasuk kelompok tanaman hias yang mempunyai kelebihan dari jenis bunga lainnya, kelebihannya adalah spektrum yang luas pada warna, bentuk, ukuran, tekstur dan banyaknya variasi.

(20)

Tabel 2. Perkembangan Produksi Tanaman Hias Indonesia Tahun 2006-2008

Jumlah 145.297 157.643 181.949

Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura, 2009

Secara umum perkembangan pasar anggrek terus berkembang pesat dengan laju rata-rata konsumsi sebesar 25 persen dan produksi sebesar 20 persen. Artinya, produksi anggrek harus ditingkatkan untuk memenuhi permintaan konsumen. Permintaan pasar terhadap bunga-potong dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Penjualan Bunga-Potong di Indonesia menurut Jenis Bunga Tahun 2007

Sumber : Majalah Flora dan Fauna, 2008

(21)

Anggrek juga memiliki peluang yang besar dalam proses pengembangan agribisnis. Prospek pengembangan anggrek juga dapat dilihat dari besarnya nilai ekspor anggrek pada tahun 2008 ( 1.710 kg dengan nilai US $ 12.085 ) bila dibandingkan dengan nilai impor anggrek ( 100 kg dengan nilai US $ 50 ) (Ditjen Hortikultura, 2008 ). Dengan kata lain anggrek memiliki potensi pasar internasional yang tinggi. Anggrek yang disukai sebagian besar masyarakat adalah jenis Dendrobium ( 34 % ), diikuti oleh Oncidium Golden Shower ( 26 % ), Cattleya ( 20 %), Vanda ( 17 % ), serta anggrek lainnya ( 3 % ). ( Litbang Deptan, 2007 ).

Data tersebut menunjukkan bahwa Dendrobium merupakan jenis anggrek yang paling banyak disukai masyarakat. Hal tersebut disebabkan karena Dendrobium memiliki keindahan, ketahanan, pertumbuhan yang relatif cepat, dan cara budidaya yang relatif mudah dibandingkan dengan anggrek lainnya. Anggrek Dendrobium dapat dinikmati keindahannya baik sebagai tanaman hias dalam pot maupun sebagai bunga potong penghias ruangan seperti rangkaian bunga dan ucapan pada acara-acara tertentu. Berdasarkan Direktorat Jenderal Hortikultura (2009), anggrek yang banyak diusahakan di Provinsi Jawa Barat adalah Dendrobium Sonia, Dendrobium Thailand White, Dendrobium Burana Green, Dendrobium Wonleng dan Dendrobium Bertha Chong. Anggrek yang banyak diusahakan di Kecamatan Gunung Sindur adalah jenis Dendrobium Thailand White atau petani sering menyebutnya dengan nama Dendrobium putih, yang kebanyakan dipasarkan dalam bentuk bunga-potong. Usaha budidaya anggrek mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi, karena usaha budidaya anggrek membutuhkan modal yang relatif besar, penguasaan teknologi dan penguasaan pasar yang baik.

(22)

berbagai faktor yang dapat menunjang pengembangan usahatani anggrek seperti iklim. Terdapatnya sarana yang memadai, seperti banyaknya tempat lembaga penelitian, laboratorium kultur jaringan dan sumberdaya manusia yang terampil, yang dapat memberikan andil dalam peningkatan usahatani anggrek di Bogor. Data luas panen, produksi dan produktivitas anggrek di Indonesia menurut provinsi dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Anggrek di Indonesia menurut Provinsi Tahun 2008

No. Provinsi Luas Panen (m2)

Produksi (tangkai)

Produktivitas (tangkai/m2)

1. Sumatera Utara 44.123 468.323 10,61

2. DKI Jakarta 188.561 385.381 2,04

3. Jawa Barat 150.554 2.342.062 15,55

4. Jawa Timur 334.123 868.962 2,60

5. Banten 284.193 1.528.201 5,37

6. Bali 35.181 106.807 3,03

7. Kalimantan Barat 49.294 551.072 11,17

8. Sulawesi Utara 25.229 248.889 9,86

Sumber : Ditjen Hortikultura dan Tanaman Hias, 2009

1.2 Perumusan Masalah

Petani anggrek di Kabupaten Bogor terpusat di Kecamatan Gunung Sindur. Berdasarkan Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor (2009) hampir 70 persen penduduk Kecamatan Gunung Sindur memiliki usaha budidaya anggrek. Petani anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur berjumlah 20 orang. Kabupaten Bogor juga memiliki pedagang pengumpul yang berjumlah ± 200

pedagang yang tersebar di Kecamatan Tajurhalang, Cibinong, Babakan Madang, dan Tamansari.

(23)

berbeda. Akibat hal tersebut maka masalah yang timbul adalah mengenai penyebaran harga dan keuntungan antar lembaga pemasaran yang tidak merata dimana petani menerima harga yang rendah sedangkan dipihak lain, konsumen membayar mahal. Berdasarkan pengamatan pada bulan Oktober 2010, harga rata-rata anggrek Dendrobium putih pada waktu normal di tingkat petani Kecamatan Gunung Sindur sebesar Rp 80.000,00/ikat, sedangkan harga rata-rata anggrek Dendrobium putih yang dijual di Pasar Rawabelong adalah Rp 125.000,00/ikat. Berdasarkan hal tersebut, apakah petani mendapatkan keuntungan? Serta bagaimanakah usahatani anggrek petani di Kecamatan Gunung Sindur, apakah sudah efisien?

Pada waktu-waktu tertentu yang mengindikasikan naiknya kebutuhan anggrek di tingkat petani juga akan naik namun tidak terlalu besar yaitu Rp 125.000,00/ikat dan diikuti dengan kenaikan harga di tingkat pedagang yang mencapai Rp 250.000,00/ikat. Besarnya selisih antara harga jual yang diterima petani dengan harga yang diberlakukan pedagang menunjukkan adanya marjin pemasaran yang besar antara petani dan konsumen dimana posisi petani diantara pelaku ekonomi adalah sebagai penerima harga (price taker). Marjin pemasaran yang semakin besar pada umumnya akan menyebabkan persentase bagian harga yang diterima petani akan semakin kecil. Penyebaran marjin yang tidak merata dan harga yang rendah di tingkat petani dapat mempengaruhi pendapatan petani. Berdasarkan kondisi tersebut, bagaimanakah sistem pemasaran, saluran pemasaran, lembaga-lembaga dan fungsi pemasaran, struktur pasar dan perilaku pasar, serta marjin pemasaran dalam usahatani bunga-potong anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur? Apakah terdapat alternatif saluran pemasaran bunga-potong anggrek Dendrobium yang lebih efisien?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis usahatani bunga-potong anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor.

(24)

petani sampai konsumen akhir serta memilih alternatif saluran pemasaran yang lebih efisien.

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Bagi petani, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumber informasi dalam berusahatani dan memilih saluran pemasaran yang paling baik sehingga dapat meningkatkan pendapatan usahataninya.

2. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan sehubungan dengan usahatani dan pemasaran anggrek Dendrobium.

3. Sebagai bahan informasi dan bahan pembanding untuk penelitian selanjutnya.

BAB II

(25)

2.1 Karakteristik Tanaman Anggrek

Tanaman anggrek merupakan komoditas yang sangat prospektif untuk dikembangkan, sebagai komponen agribisnis memiliki potensi sumberdaya genetik yang sangat luas. Sekitar 5.000 jenis anggrek tumbuh di Indonesia dengan jumlah 1.327 jenis tumbuh di Pulau Jawa dan selebihnya tumbuh di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya dan pulau-pulau lainnya.

Sejak dekade terakhir kegiatan usaha anggrek berkembang di berbagai daerah dan berperan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi yang cukup penting. Pada masa kini kegiatan usaha anggrek dilakukan secara komersil yang mampu menggerakkan pertumbuhan industri barang dan jasa.

Windiana (2001) dalam penelitiannya menjelaskan jenis tanaman anggrek yang dikembangkan secara dominan untuk pasar domestik dan ekspor antara lain : (1) Cattleya Lisa annx Lucky Strike dan Temanggung Beauty Brasco Pacto Cattleya. (2) Phalaenopsis, berbagai silangan dengan warna ungu kehitaman dan stripe. (3) Doritaenopsis (silangan Doritis dan Phalaenopsis). (4) Meltonia sp dan Odontoglatum serta (5) Dendrobium. Manfaat utama tanaman ini adalah sebagai tanaman hias karena bunga anggrek mempunyai keindahan. Selain itu anggrek bermanfaat sebagai campuran ramuan obat-obatan, bahan minyak wangi/minyak rambut. Jenis anggrek yang banyak dibudidayakan petani di Kecamatan Gunung Sindur adalah anggrek jenis Dendrobium. Keunggulan jenis anggrek ini adalah mampu menghasilkan produk berupa bunga potong dalam jumlah tangkai cukup banyak dalam satu pohonnya.

(26)

Profil petani anggrek berdasarkan Direktorat Jenderal Hortikultura dan Tanaman Hias (2009) terdiri atas beberapa skala usaha yaitu skala usaha kecil, sedang dan besar. Skala usaha budidaya anggrek di Indonesia berkisar antara 200 m2 hingga 25 ha. Skala usaha 200-1.000 m2 dimiliki oleh petani pemula maupun petani-petani kecil, dimana skala usaha ini termasuk skala kecil. Petani tersebut umumnya memiliki keterbatasan modal. Sekitar 70 persen petani tersebut tersebar di berbagai sentra produksi anggrek, baik di Pulau Jawa maupun luar Jawa.

Usaha budidaya anggrek berskala sedang yaitu antara 1.000-5.000 m2 banyak diusahakan oleh petani-petani di Pulau Jawa. Petani tersebut umumnya telah berpengalaman dalam usaha anggrek minimal lima tahun dan telah menguasai teknologi dan pasar. Skala usaha ini tersebar di Jawa Barat, Jawa Timur, DKI, Banten, DI Yogyakarta, Jawa Tengah dan beberapa daerah di luar Jawa seperti Bali dan Medan.

Usaha anggrek dengan luasan lebih dari 5.000 m2 umumnya diusahakan oleh pengusaha besar. Pelaku usaha ini umumnya bermodal kuat, menguasai teknologi cukup baik dan daerah pemasaran yang luas. Pengusaha besar yang melakukan ekspor antara lain PT Eka Karya Graha Flora dan PT Bintang Delapan Hortikultura. Usaha budidaya anggrek dengan skala luas harus dilakukan dengan pengelolaan secara intensif terutama dalam bidang perbenihan.

2.2 Usahatani Anggrek dan Tanaman Hias Lain

(27)

present value > 0, dan IRR > discount factor. Kriteria-kriteria kelayakan tersebut

mengindikasi bahwa anggrek adalah komoditas yang layak secara finansial.

Irvani (2001) melakukan penelitian mengenai “Analisis Pendapatan dan Struktur Pemasaran Bunga Anggrek di DKI Jakarta”. Tujuan dari penelitian tersebut adalah mengetahui tingkat pendapatan, titik impas serta aspek-aspek pemasaran yang terjadi meliputi struktur pasar, fungsi pemasaran serta marjin pemasaran dari usahatani anggrek. Sampel yang digunakan adalah sepuluh anggrek dari jenis varietas berbeda. Hasil analisis rata-rata pendapatan bersih usahatani anggrek dalam satu periode produksi menunjukkan bahwa kesepuluh anggrek yang diusahakan menuntungkan, baik ditunjau dari pendapatan dan nilai R/C rasio atas biaya tunai dan totalnya. Dua jenis anggrek yang paling menguntungkan petani yaitu anggrek bulan dan anggrek Dendrobium karena memberikan penerimaan yang lebih dibandingkan dengan delapan jenis anggrek lainnya. Perhitungan titik impasnya menunjukkan bahwa usahatani tersebut berada dalam kondisi yang menguntungkan. Impas unit produk tertinggi terdapat pada anggrek Dendrobium. Tingginya nilai impas disebabkan oleh besarnya biaya tetap total untuk kedua jenis anggrek tersebut.

(28)

Selain anggrek, penelitian mengenai tanaman hias lainpun telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian Chaizar (2007) berjudul ”Analisis Pendapatan Usahatani Phillodendron Millo, Tanaman Hias Euphorbia dan Tanaman Hias Puring di PD

Atsumo, Sawangan, Depok, Jawa Barat”. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pendapatan usahatani yang diperoleh PD Atsumo dan menganasis produk apakah yang akan menjadi produk unggulan pada PD Atsumo. Analisis data dilakukan dengan analisis pendapatan usahatani dan analisis Rasio R/C untuk menganalisis produk usahatani paling efisien yang akan menjadi produk unggulan pada PD Atsumo. Berdasarkan analisis, usahatani bunga-potong Phillodendron Millo dan tanaman hias puring di PD Atsumo menguntungkan sedangkan usahatani tanaman hias tanaman hias Euphoria tidak menguntungkan. Penulis memberikan saran bahwa PD Atsumo hendaknya melanjutkan pengembangan usahataninya setelah mendapatkan produk unggulan dengan membuka kios tambahan di pasar bunga Rawa Belong atau tempat strategis lainnya agar lebih mudah dijangkau konsumen.

2.3 Pemasaran Anggrek dan Tanaman Hias Lain

Selain penelitian tentang aspek usahatani, berbagai aspek pemasaran yang terkait dengan industri tanaman anggrek dan tanaman hias lainnya juga cukup sering diteliti. Menurut Rahardi (1997), anggrek termasuk tanaman hias komersial. Hal ini dikarenakan anggrek mempunyai daya jual dan nilai ekonomi yang tinggi. Agar penurunan mutu produk dapat dicegah, maka perlu diketahui apa saja sifat tanaman hias komersial, antara lain;

a. Tidak bergantung musim, dapat ditanam dan dipanen kapan saja sesuai dengan umur panennya sehingga keberadaan di pasar tidak mengalami kelangkaan. b. Perputaran modal cepat, berumur pendek karena selang waktu antara tanam dan

panen tidak lama, sehingga produk dapat cepat terjual.

c. Mudah rusak dan beresiko tinggi. Mudah rusak oleh kesalahan perilaku fisik selama pemanenan/pengangkutan sehingga beresiko tinggi.

(29)

krisan, gladiol, dan anyelir. Produksi anggrek Indonesia ditujukan untuk pasar ekspor dan pasar dalam negeri.

Aspek pasar lainnya yang telah diteliti adalah struktur pasar dari komoditas tanaman anggrek. Menurut Irvani (2001) struktur pasar yg terbentuk untuk tanaman bunga anggrek di DKI Jakarta adalah cenderung menuju pasar bebas (free market). Kondisi tersebut didukung oleh beberapa faktor, antara lain ; jumlah lembaga pemasaran cukup banyak, tidak ada hambatan keluar masuk pasar, dan petani bebas untuk memilih lembaga pemasaran dalam penjualan produknya. Produk yang ditawarkan homogen (anggrek tidak dibedakan baik dalam harga maupun kualitas). Konsumen ditingkat pengecer membedakan anggrek tersebut berdasarkan ada tidaknya bunga serta banyak sedikitnya kuntum bunga pada tanaman anggrek tersebut.

Penelitian tentang perilaku konsumen anggrek, yang merupakan salah satu aspek pemasaran dilakukan oleh Harsono (2002) yang mengambil lokasi di Taman Anggrek Ragunan (TAR) pada tahun 2001. Aspek perilaku konsumen yang diteliti adalah ”Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah pembelian terhadap anggrek”. Dalam penelitian tersebut dikemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi pembelian konsumen terhadap anggrek, yaitu: pendapatan konsumen, harga tanaman anggrek, harga tanaman hias selain anggrek, jarak tempat tinggal, frekuensi kunjungan, usia, informasi, motivasi kunjungan, dan jenis kelamin.

(30)

sedangkan permintaan para pedagang akan meningkat pada saat harga kompetitif. Menurut Harsono (2002), bauran pemasaran yang dilakukan oleh manajemen TAR meliputi bauran produk, bauran harga, bauran promosi, dan bauran tempat. Untuk bauran produk, tanaman anggrek yang ada di TAR tersedia dalam berbagai pilihan. Pilihan tersebut mencakup jenis, umur anggrek, dan jenis transaksi (jual-beli maupun rental). Sedangkan saluran pemasaran yang ada sebagian besar ditujukan pada kalangan hobbies. Dikarenakan responden yang berhasil diwawancarai sebagian besar merupakan hobbis (56,6 %).

Penetapan harga terhadap produk anggrek merupakan bagian dari bauran harga. Terdapat perbedaan penetapan harga bagi konsumen hobbies dan bagi pedagang, dimana strategi penetapan harga yang diberlakukan untuk pedagang lebih rendah 15-30 persen dibandingkan dengan harga yang ditetapkan untuk hobbies. Perlakuan ini membuat para pedagang terutama yang berasal dari luar kota merasa diuntungkan. Sehingga TAR memiliki keunggulan kompetitif dimata para pedagang tersebut. Harsono (2002) juga mengemukakan lokasi TAR bagi konsumen luar kota (sebagian besar pedagang), dianggap sudah cukup strategis. Sedangkan promosi yang dilakukan oleh Pemda DKI sebagai pengelola TAR seringkali tidak dilakukan secara khusus, namun digabung dengan promosi pengembangan wilayah Ragunan sebagai pusat wisata alam di DKI Jakarta. Sehingga promosi yang dilakukan tersebut tidak tepat sasaran.

(31)

Dari hasil penelitian Kusumawardhanie (2003), berdasarkan analisis saluran pemasaran menunjukkan: (1) Produk, tanaman anggrek di TAIP beragam dan disajikan dalam bentuk tanaman anggrek dalam pot, baik yang belum atau sudah berbunga dengan bentuk dan warna yang bervariasi, (2) Penetapan harga jual anggrek pada setiap kavling di TAIP beraneka ragam, (3) Beberapa anggrek di TAIP melakukan penjualan ke daerah-daerah ini biasanya dilakukan oleh penganggrek yang memiliki lahan yang cukup luas, (4) Kegiatan promosi dilakukan TAIP melalui pameran yang diadakan tiga kali setahun bertempat di lapangan parkir TAIP.

Penelitian mengenai pendapatan usahatani dan pemasaran bunga gerbera di Kabupaten Sukabumi pernah dilakukan oleh Yus pada tahun 2002. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa usahatani gerbera merupakan usahatani yang layak untuk diusahakan karena memiliki R/C rasio lebih dari satu. Sedangkan pola pemasaran yang dipakai adalah pola: petani pedagang pengumpul pedagang Rawabelong Konsumen. Pengukuran keterpaduan pasar memberikan keterangan bahwa sebenarnya kondisi lokal yang berpengaruh pada pembentukan harga di pasar lokal. Peningkatan pendapatan dapat diperoleh dengan mengubah struktur pasar oliopsoni yang dihadapi sehingga petani dapat memperbaiki posisinya.

Informasi dari penelitian-penelitian terdahulu merupakan referensi yang membantu menggambarkan pemasaran komoditas hortikultura serta analisis pendapatannya. Windiana (2001) dan Irvani (2001) menggunakan anggrek sebagai komoditi yang diteliti, sama dengan komoditi yang diteliti dalam penelitian ini. Namun ada perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian terdahulu dalam hal komoditi yang dianalisis yaitu tanaman hias lainnya dan daerah penelitian.

(32)

memberikan farmer’s share terbesar sehingga pendapatan petani akan meningkat dan pada akhirnya petani akan lebih termotivasi untuk meningkatkan produksi anggrek. Selain itu juga diharapkan Kabupaten Bogor mampu mempertahankan dan mengembangkan posisinya sebagai daerah sentra produksi anggrek Dendrobium di Indonesia dan Pulau Jawa khususnya.

BAB III

KERANGKA PEMIKIRAN

(33)

Produksi adalah kegiatan menghasilkan barang dan jasa. Sumberdaya yang digunakan untuk memproduksi barang dan jasa disebut faktor-faktor produksi. Umumnya faktor-faktor produksi terdiri dari alam atau lahan, tenaga kerja dan modal. Fungsi produksi menjelaskan hubungan teknis yang mentransformasikan input (sumberdaya) dan output (komoditas) (Debertin, 1986). Sedangkan Soekartawi (2003) mendefinisikan fungsi produksi sebagai suatu fungsi yang menggambarkan hubungan fisik antara variabel yang dijelaskan (Y) dan variabel yang menjelaskan (X). Variabel yang dijelaskan biasanya berupa output dan variabel yang menjelaskan biasanya berupa input. Fungsi produksi yang baik hendaknya dapat dipertanggungjawabkan, mempunyai dasar yang logis secara fisik dan ekonomi, mudah dianalisis dan mempunyai implikasi ekonomi. Secara matematis fungsi produksi dapat ditulis sebagai berikut:

Y = f (X1, X2, X3, ... ,Xn) Keterangan:

Y = Output

X1, X2, X3, ... ,Xn = Input-input yang digunakan dalam proses produksi

Bentuk fungsi produksi dipengaruhi oleh ’Hukum Kenaikan Hasil yang Semakin Berkurang’ (The Law of Deminishing Returns). Hukum ini menjelaskan bahwa jika faktor produksi variabel dengan jumlah tertentu ditambahkan terus-menerus pada sejumlah faktor produksi tetap, akhirnya akan dicapai suatu kondisi dimana setiap penambahan satu unit faktor produksi variabel akan menghasilkan tambahan produksi yang besarnya semakin berkurang. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilih fungsi produksi (Soekartawi, 2003), yaitu:

1. Fungsi produksi harus dapat menggambarkan keadaan usahatani yang sebenarnya terjadi.

2. Fungsi produksi dapat dengan mudah diartikan khususnya arti ekonomi dan parameter yang menyusun fungsi produksi tersebut.

(34)

ukur yaitu produk m produksi yang dipakai produksi (Ep) adalah

k marjinal dan produk rata-rata. Produk marjinal yang dihasilkan dari setiap menambah satu-dipakai. Sedangkan produk rata-rata (PR) a

g dicapai setiap satuan produksi. Kedua tolak u ai berikut:

=

=

ahan dari produk yang dihasilkan disebabkan ai dapat dinyatakan dengan elastisitas produk h rasio tambahan relatif produk yang dihas ah faktor produksi yang dipakai atau persentase p an sebagai akibat persentase perubahan faktor p

1, dapat dilihat hubungan antara produk marjinal ambarkan perbandingan antara produksi total d . Pada saat produksi total sudah meningkat, prod ksi rata-rata dalam keadaan menaik.

(35)

I II III

Input

PM/PR

Produk Rata-Rata

0 X3 X2 X3 Produk Marjinal Input X

Gambar 1. Fungsi Produksi dan Tiga Daerah Produksi Sumber : (Doll and Orazem, 1984)

1. Daerah I memperlihatkan Produk Marjinal (PM) lebih besar dari produk rata-rata variabel input (X) ditransformasikan ke dalam produk (Y) meningkat hingga PR mencapai maksimal pada akhir daerah I.

2. Daerah II terjadi ketika PM menurun dan lebih rendah dari PR. Pada keadaan ini PM sama atau lebih rendah dari PR, tapi sama atau lebih tinggi dari 0 (nol). Daerah II berada diantara X2 dan X3. Efisiensi variabel input diperoleh saat awal

daerah II.

(36)

Selain itu dari Gambar 1 juga dapat dilihat hubungan antara PM dan PT serta PM dan PR dengan besar kecilnya elastisitas produksi (Soekartawi, 1986):

1. Elastisitas Produksi (Ep) = 1 bila PR mencapai maksimum atau PR sama dengan PM-nya.

2. Elastisitas Produksi = 0, terjadi saat PM = 0 dalam situasi PR sedang menurun. 3. Elastisitas Produksi (Ep) > 1 bila PT menaik pada tahapan ”increasing rate”

dan PR juga menaik di daerah I. Pada kondisi ini petani masih mampu memperoleh sejumlah produksi yang cukup menguntungkan manakala sejumlah input masih ditambahkan.

4. 1>Ep>0, pada kondisi ini tambahan sejumlah input tidak diimbangi secara proporsional oleh tambahan output yang diperoleh. Peristiwa seperti ini terjadi di daerah II, dimana pada sejumlah input yang diberikan maka PT tetap menaik pada tahapan ”decreasing rate”.

5. Elastisitas Produksi (EP) < 0 yang berada pada daerah III; pada situasi yang demikian PT dalam keadaan menurun, nilai PM menjadi negatif dan PR dalam keadaan menurun. Dalam situasi ini setiap upaya untuk menambah sejumlah input tetap akan merugikan bagi petani yang bersangkutan.

Output dari suatu usahatani dipengaruhi oleh faktor-faktor produksi (input) yang digunakan. Besarnya biaya yang dikeluarkan untuk penggunaan faktor-faktor produksi akan mempengaruhi besarnya pendapatan usahatani.

3.1.2 Teori Biaya Produksi

(37)

pengeluaran terhadap faktor-faktor produksi yang dimiliki oleh perusahaan itu sendiri (Lipsey, Courant, Purvis, Steiner, 1995).

Analisis mengenai biaya produksi menganalisis juga tentang beberapa jenis biaya, antara lain :

(1) Biaya Total (TC atau Total Cost), adalah biaya total untuk menghasilkan tingkat output tertentu. Biaya total dibagi menjadi dua bagian, yaitu biaya tetap total (total fixed cost=TFC) dan biaya variabel total (total variable cost=TVC). Biaya tetap adalah biaya yang tidak berubah dengan output;biaya ini akan sama jika output sebanyak satu unit maupun lebih. Biaya yang berkaitan langsung dengan output, meningkat dengan meningkatnya produksi dan menurun dengan menurunnya produksi disebut biaya variabel.

(2) Biaya Total Rata-rata (average total cost=ATC), juga disebut biaya rata-rata (average cost=AC), adalah biaya total untuk menghasilkan jumlah output tertentu dibagi dengan jumlah output tersebut. Biaya total rata-rata dapat dibagi menjadi biaya tetap rata-rata (average fixed cost=AFC) dan biaya variabel rata-rata (average variable cost=AVC) dengan cara yang sama seperti biaya-biaya total.

(3) Biaya Marjinal (marginal cost=MC), adalah kenaikan biaya total yang disebabkan oleh meningkatnya laju produksi sebesar satu unit, karena biaya tetap tidak berubah dengan output, biaya tetap marjinal akan selalu nol. Oleh karena itu biaya marjinal adalah biaya variabel marjinal dan berubahnya biaya tetap tidak akan mempengaruhi biaya marjinal.

(38)

produksi semakin banyak, sejumlah biaya produksi tertentu yang dikeluarkan akan menghasilkan jumlah produksi yang semakin sedikit. Kurva TC adalah hasil dari penjumlahan kurva TFC dan TVC. Oleh sebab itu kurva TC bermula dari pangkal TFC, dan jika ditarik garis tegak diantara TVC dan TC panjang garis itu adalah sama dengan jarak diantara kurva TFC dengan sumbu datar.

Biaya Total

Gambar 2. Kurva Biaya Total, Biaya Tetap Total dan Biaya Variabel Total

Sumber : (Lipsey, Courant, Purvis, Steiner 1995)

Kurva biaya tetap rata (AFC), biaya variabel rata (AVC), biaya total rata-rata (ATC), dan biaya marjinal (MC) dapat dilihat pada Gambar 3. Biaya tetap rata-rata-rata-rata yang berbentuk menurun dari kiri atas ke kanan bawah karena menggambarkan bahwa semakin besar jumlah produksi, maka semakin kecil biaya tetap rata-rata. Kurva AVC, AC dan MC berbentuk huruf U. Bentuk kurva tersebut mencerminkan bahwa kegiatan produksi dipengaruhi oleh hukum kenaikan hasil yang semakin berkurang, yaitu pada waktu produksi masih sangat rendah penambahan sejumlah tertentu biaya produksi akan menyebabkan penambahan jumlah produksi yang lebih banyak, tetapi apabila produksi sudah semakin banyak, sejumlah tertentu biaya produksi akan mengakibatkan penambahan produksi yang semakin sedikit. Sebagai akibat keadaan ini, pada waktu jumlah produksi sedikit kurva AVC,

O Output

TC

TVC

(39)

AC dan MC menurun, dan pada waktu jumlah produksi sudah sangat banyak kurva AVC, AC dan MC arahnya menaik.

Biaya per Unit

MC

ATC

AVC

AFC

Output

Gambar 3. Kurva Biaya Rata-rata, Biaya Variabel Rata-rata dan Biaya Marjinal

Sumber : (Lipsey, Courant, Purvis, Steiner, 1995)

Dalam usahatani terdapat biaya usahatani yang berupa biaya tunai dan biaya tidak tunai. Biaya tunai usahatani (farm payment) didefinisikan sebagai jumlah biaya yang dikeluarkan untuk pembelian barang dan jasa usahatani. Biaya tunai usahatani merupakan biaya untuk benih, pupuk, fungisida, insektisida, media tanam, tali, tenaga kerja luar keluarga, pajak lahan dan sewa traktor. Biaya tidak tunai usahatani adalah biaya yang diperhitungkan yaitu sumberdaya milik petani atau keluarga misalnya biaya untuk penyusutan alat, tenaga kerja dalam keluaga dan sewa lahan.

3.1.3 Pendapatan Usahatani

Usahatani menurut Hernanto (1995) didefinisikan sebagai organisasi dari alam, kerja dan modal yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian. Ketatalaksanaan organisasi itu sendiri diusahakan oleh seorang atau sekumpulan

qc

(40)

orang-orang. Dengan demikian dapat diketahui bahwa usahatani terdiri atas manusia petani (bersama keluarganya), tanah (bersama fasilitas yang ada di atasnya seperti bangunan-bangunan, saluran air) dan tanaman ataupun hewan ternak.

Menurut Soeharjo dan Patong (1973), tujuan dari setiap petani dalam menjalankan usahataninya berbeda-beda. Apabila motif usahataninya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, baik dengan melalui atau tanpa melalui peredaran uang, maka usahatani demikian disebut usahatani pencakup kebutuhan keluarga (subsistence farm). Bila motif usahatani didorong oleh keinginan untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, maka usahatani yang demikian disebut usahatani komersial (commercial farm). Usahatani yang baik adalah usahatani yang bersifat produktif dan efisien yaitu mempunyai produktivitas tinggi dan bersifat kontinyu.

Pendapatan usahatani ada dua jenis, yaitu pendapatan total usahatani dan pendapatan tunai usahatani. Pendapatan total usahatani merupakan selisih antara penerimaan total dengan biaya total. Pendapatan tunai usahatani dihitung dari selisih antara penerimaan total dengan biaya tunai. Penerimaan usahatani (farm receipt) didefinisikan sebagai nilai uang yang diterima dari penjualan semua pokok usahatani (Soekartawi, 2002). Penerimaan usahatani meliputi jumlah penambahan inventaris, nilai penjualan hasil, nilai penggunaan rumah dan yang dikonsumsi (Hernanto, 1995). Penerimaan usahatani ada dua yaitu penerimaan total usahatani dan penerimaan tunai usahatani. Penerimaan total usahatani (total farm revenue) adalah nilai uang yang diterima dari penjualan produk usahatani ditambah nilai penggunaan untuk konsumsi keluarga. Penerimaan tunai usahatani didefinisikan sebagai nilai uang yang diterima dari penjualan produk usahatani.

Pendapatan dapat juga disebut keuntungan. Pada Gambar 4 digambarkan empat kemungkinan dalam corak keuntungan atau kerugian perusahaan (atau keadaan keseimbangan perusahaan), yaitu mendapat untung lebih normal, mendapat untung normal, mengalami kerugian tetapi masih dapat membayar biaya variabel, dan dalam keadaan menutup atau membubarkan perusahaan.

(41)

Gambar 4. Kemungkinan Keuntungan Perusahaan

Sumber : (Lipsey, Courant, Purvis, Steiner, 1995)

Pada Gambar 4 dapat dilihat keadaan kegiatan perusahaan yang memperoleh untung lebih normal yaitu apabila harga lebih tinggi dari biaya rata-rata minimum. Jika harga adalah P0 maka perusahaan akan mendapat keuntungan lebih normal. Keuntungan ini

dicapai pada waktu jumlah produksi adalah Q0 dan besarnya adalah P0E0A0B.

Gambar 4 juga menggambarkan keadaan dimana perusahaan mendapat keuntungan normal. Suatu perusahaan dikatakan mendapat keuntungan normal apabila harga adalah P1. Pada harga ini MC dipotong oleh MR1 pada titik E1, dan titik E1 tersebut

adalah titik singgung garis d1=AR1=MR1 dengan kurva AC. Karena AC=AR1, (biaya

total rata-rata = hasil penjualan rata-rata) maka biaya total adalah sama dengan hasil penjualan total.

Gambar 4 menunjukkan keadaan dimana perusahaan mengalami kerugian tetapi masih dapat beroperasi, yaitu harga lebih rendah dari biaya total rata-rata, tetapi lebih tinggi dari biaya variabel rata-rata. Hal ini berarti hasil penjualan yang diperoleh perusahaan melebihi biaya variabel yang dikeluarkan, tetapi kelebihan tersebut belum dapat menutupi biaya tetapnya. Dalam Gambar 4 kesamaan antara MC dan MR2

dicapai titik E2, maka produksi yang harus dicapai perusahaan untuk meminimumkan

kerugian adalah Q2. Biaya produksi yang dikeluarkan perusahaan adalah sebanyak

(42)

OQ2A1P1 dan hasil penjualannya adalah sebanyak OQ2E2P2. Ini berarti kerugian

minimum yang ditanggung perusahaan adalah sebesar P2E2A1P1.

3.1.4 Sistem Pemasaran

Pemasaran merupakan rangkaian tahapan fungsi yang dibutuhkan untuk mengubah input atau produk mulai dari titik produsen sampai ke titik konsumen akhir (Dahl dan Hammond, 1977). Serangkaian fungsi tersebut terdiri atas proses produksi, pengumpulan, pengolahan dan penyaluran oleh pedagang pengumpul, grosir, pedagang pengecer sampai konsumen seperti yang terlihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Sistem Pemasaran

(Sumber : Dahl dan Hammond, 1977)

3.1.5 Saluran Pemasaran

Saluran pemasaran adalah serangkaian organisasi yang saling tergantung yang terlibat dalam proses untuk menjadikan suatu produk barang atau jasa siap untuk digunakan atau dikonsumsi. Sebuah saluran pemasaran melaksanakan tugas memindahkan barang dari produsen ke konsumen. Hal itu mengatasi kesenjangan waktu, tempat dan pemilikan yang memisahkan barang atau jasa dari orang-orang yang membutuhkan atau menginginkannya.

Produsen

Produksi

Pengumpul

Pengolahan

Penyaluran

Konsumen

(43)

Menurut Hanafiah dan Saefudin (2006) dalam Faisal (2010), saluran pemasaran terdiri dari pedagang perantara yang membeli dan menjual barang dengan tidak memperdulikan apakah mereka memiliki barang dagangan atau hanya bertindak sebagai agen dari pemilik barang. Panjang atau pendeknya saluran pemasaran yang dilalui oleh suatu komoditi bergantung pada beberapa faktor, yaitu:

1. Jarak antara produsen dan konsumen. Semakin jauh jarak antara produsen dan konsumen biasanya semakin panjang saluran yang ditempuh oleh komoditi tersebut.

2. Sifat produk. Produk yang cepat atau mudah rusak harus segera diterima konsumen, sehingga menghendaki saluran yang pendek dan cepat.

3. Skala produksi. Jika produksi berlangsung dalam ukuran-ukuran kecil maka jumlah produk yang dihasilkan berukuran kecil, sehingga akan tidak menguntungkan bila produsen langsung menjual ke pasar. Hal ini berarti membutuhkan kehadiran pedagang perantara dan saluran yang akan dilalui komoditi akan cenderung panjang.

4. Posisi keuangan pengusaha. Produsen yang posisi keuangannya kuat cenderung untuk memperpendek saluran pemasaran karena akan dapat melakukan fungsi pemasaran lebih banyak dibandingkan dengan pedagang yang posisi keuangannya lemah. Dengan kata lain, pedagang yang memiliki modal kuat cenderung memperpendek saluran pemasarannya.

3.1.6 Fungsi dan Lembaga Pemasaran

(44)

1. Fungsi pertukaran adalah kegiatan yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dari barang/jasa yang dipasarkan, meliputi kegiatan pembelian dan kegiatan penjualan.

2. Fungsi fisik adalah semua tindakan yang berhubungan langsung dengan barang dan jasa yang menimbulkan kegunaan tempat, bentuk dan waktu, meliputi kegiatan penyimpanan, pengolahan, dan pengangkutan.

3. Fungsi fasilitas adalah semua tindakan yang berhubungan dengan kegiatan pertukaran yang terjadi antara produsen dan konsumen, meliputi fungsi standarisasi dan grading, fungsi penanggungan risiko, fungsi pembayaran dan fungsi informasi pasar.

Penggolongan lembaga pemasaran menurut Limbong dan Sitorus (1987) didasarkan pada fungsi, peguasaan terhadap suatu barang, kedudukan dalam suatu pasar serta bentuk usahanya yaitu:

1) Berdasarkan fungsi yang dilakukan:

a. Lembaga pemasaran yang melakukan kegiatan pertukaran, seperti pengecer, grosir dan lembaga perantara lainnya.

b. Lembaga pemasaran yang melakukan kegiatan fisik seperti pengolahan, pengangkutan dan penyimpanan.

c. Lembaga pemasaran yang menyediakan fasilitas-fasilitas pemasaran seperti informasi pasar, kredit desa, KUD, Bank Unit Desa dan lain-lain.

2) Berdasarkan penguasaan terhadap suatu barang;

a. Lembaga pemasaran yang menguasai dan memiliki barang yang dipasarkan, seperti pedagang pengecer, grosir, pedagang pengumpul dan lain-lain.

b. Lembaga pemasaran yang menguasai tetapi tidak memiliki barang yang dipasarkan seperti agen, broker, lembaga pelelangan dan lain-lain.

c. Lembaga pemasaran yang tidak menguasai dan tidak memiliki barang yang dipasarkan seperti lembaga pengangkutan, pengolahan dan perkreditan.

3) Berdasarkan kedudukannya dalam suatu pasar:

(45)

b. Lembaga pemasaran monopolistis, seperti pedagang bibit dan benih. c. Lembaga pemasaran oligopolis, seperti importir cengkeh dan lain-lain.

d. Lembaga pemasaran monopolis, seperti perusahaan kereta api, perusahaan pos dan giro dan lain-lain.

4) Berdasarkan bentuk usahanya:

a. Berbadan hukum, seperti perseroan terbatas, firma dan koperasi.

b. Tidak berbadan hukum, seperti perusahaan perseorangan, pedagang pengecer, tengkulak dan sebagainya.

3.1.7 Struktur, Perilaku dan Keragaan Pasar

Menurut Dahl dan Hammond (1977), struktur pasar adalah dimensi yang menjelaskan sistem pengambilan keputusan oleh perusahaan maupun industri, jumlah perusahaan dalam suatu pasar, konsentrasi perusahaan, jenis-jenis dan diferensiasi produk serta syarat-syarat masuk pasar. Ada empat faktor penentu dari karakteristik struktur pasar: (a) jumlah dan ukuran pasar; (b) kondisi atau keadaan produk; (c) kondisi keluar atau masuk pasar; (d) tingkat pengetahuan informasi pasar yang dimiliki oleh partisipan dalam pemasaran misalnya biaya, harga dan kondisi pasar antara partisipan.

Struktur pasar sangat diperlukan dalam analisis sistem pemasaran karena melalui analisis struktur pasar, secara otomatis akan dapat dijelaskan bagaimana perilaku partisipan yang terlibat (market performance). Dahl dan Hammond (1977) mengemukakan lima jenis struktur pasar dengan berbagai karakteristiknya, secara terinci dapat dilihat pada Tabel 5.

Struktur pasar persaingan sempurna memiliki ciri-ciri terdapat banyak penjual dan pembeli. Setiap penjual maupun pembeli menguasai sebagian kecil dari barang/jasa yang ada di pasar. Pembeli dan penjual sebagai penerima harga (price taker) dan bebas keluar masuk pasar (freedom for entry and exit), barang/jasanya

homogen (homogenous product).

(46)

yang dijual tidak homogen. Produk dapat dibedakan menurut kualitas, ciri atau gaya, service atau pelayanan yang berbeda, perbedaan pengepakan, warna kemasan dan

harga. Penjual melakukan penawaran yang berbeda untuk segmen pembeli yang berbeda dan bebas menggunakan merek, periklanan dan personal selling.

Tabel 5. Karakteristik Struktur Pasar

No.

2. Banyak Differensiasi Persaingan

Monopolistik

Persaingan Monopolistik

3. Sedikit Standar Oligopoli

murni Oligopoli murni

4. Sedikit Differensiasi Oligopoli

differensiasi

Oligopoli differensiasi

5. Satu Unik Monopoli Monopsoni

Sumber : Dahl dan Hammond, 1977

Pasar oligopoli terdiri dari beberapa penjual yang sangat peka akan strategi pemasaran dan penetapan harga perusahaan lainnya. Produk dapat berupa produk homogen atau produk heterogen. Sedikitnya jumlah penjual ini disebabkan tingginya hambatan untuk memasuki industri yang bersangkutan. Hambatan ini seperti paten, kebutuhan modal yang besar, pengendalian bahan baku, pengetahuan yang sifatnya perorangan dan lokasi yang langka.

Pasar monopoli terdapat satu penjual yang berbentuk perusahaan monopoli, pemerintah atau swasta menurut undang-undang dan dapat berupa monopoli swasta murni. Produk hanya satu dan tidak dapat bersubstitusi dengan barang lain dan ada pengendalian harga dari penjual. Tindakan diskriminasi harga dengan menjual produk yang sama pada tingkat harga yang berbeda-beda dan pada pasar yang berbeda.

(47)

pasar dimana lembaga-lembaga tersebut melakukan kegiatan penjualan dan pembelian, penentuan harga dan kerjasama antar lembaga pemasaran. Perilaku pasar dapat diketahui dengan mengamati praktik penjualan dan pembelian yang dilakukan oleh masing-masing lembaga pemasaran, sistem penentuan harga, kemampuan pasar menerima jumlah produk yang dijual, stabilitas pasar dan pembayaran serta kerjasama di antara berbagai lembaga pemasaran. Struktur pasar dan perilaku pasar akan menentukan keragaan pasar yang dapat diukur melalui peubah harga, biaya, pemasaran dan jumlah komoditas yang diperdagangkan sehingga akan memberikan penilaian baik atau tidaknya sistem pemasaran. Keragaan pasar juga dapat diidentifikasi melalui penggunaan teknologi dalam pemasaran, pertumbuhan pasar, efisiensi penggunaan sumberdaya, penghematan pembiayaan dan peningkatan jumlah barang yang dipasarkan sehingga mencapat keuntungan maksimum (Dahl dan Hammond, 1977).

3.1.8 Marjin Pemasaran

Pengertian marjin pemasaran sering dipergunakan sebagai perbedaan antara harga di berbagai tingkat lembaga pemasaran di dalam sistem pemasaran. Pengertian marjin pemasaran ini sering digunakan untuk menjelaskan fenomena yang menjembatani gap antara pasar di tingkat petani (farmer) dengan pasar di tingkat eceran (retailer). Pengertian marjin pemasaran juga mengandung pengertian dari konsep ”derived supply” dan ”derived demand”. Permintaan turunan (derived demand) diartikan sebagai permintaan turunan dari ”primary demand” yaitu

permintaan dari konsumen akhir, sedangkan derived demand-nya adalah permintaan dari pedagang eceran. Derived supply adalah penawaran di tingkat pedagang eceran yang merupakan turunan dari penawaran di tingkat petani (primary supply) (Dahl dan Hammond, 1977). Untuk jelasnya dapat dilihat pada Gambar 6.

(48)

Sr Nilai marjin=

(Pr-Pf)

Qrf Sf

Pr

Marjin Nilai Marjin

Dr

Pf

Df

Jumlah (Q) Qr,f

Gambar 6. Marjin Pemasaran

(Sumber: Dahl dan Hammond, 1977)

Keterangan:

Pf : Harga di tingkat petani

Pr : Harga di tingkat pengecer (retailer) Sf : Penawaran dari petani (primary supply)

Sr : Penawaran dari tingkat retailer (derived supply)

Df : Permintaan output di tingkat retailer atau perantara (derived demand) Dr : Permintaam output dari konsumen akhir (primary demand)

Qr,f : jumlah output yang ditransaksikan oleh petan dan retailer

Dahl dan Hammond (1977) menyatakan bahwa nilai Marketing margin adalah selisih harga antara di konsumen dengan petani dikalikan dengan jumlah produk yang dipasarkan. Secara matematik sederhana Value of the Marketing Margin (VMM) = (Pr-Pf) Q. Gambar 6 menunjukkan nilai marjin pemasaran merupakan hasil perkalian dari perbedaan harga di tingkat lembaga pemasaran dengan jumlah produk yang dipasarkan.

(49)

Farmer’s share merupakan alat analisis yang dapat digunakan untuk

menentukan efisiensi pemasaran yang dilihat dari sisi penerimaan petani. Kohls dan Uhl (1985) mendefinisikan farmer’s share sebagai bagian yang diterima oleh petani dari harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir. Farmer’s share diperoleh dari hasil bagi antara Pf dan Pr, dimana Pf adalah harga di tingkat petani dan Pr adalah harga yang dibayar oleh konsumen akhir.

Jika harga yang ditawarkan pedagang/lembaga pemasaran semakin tinggi dan kemampuan konsumen dalam membayar harga semakin tinggi, maka bagian yang diterima oleh petani semakin sedikit. Semakin besar marjin maka penerimaan petani relatif kecil. Dengan demikian dapat diketahui adanya hubungan negatif antara marjin pemasaran dengan bagian yang diterima petani.

3.1.10 Efisiensi Pemasaran

Pemasaran yang efisien merupakan tujuan akhir yang ingin dicapai dalam sistem pemasaran, dimana sistem pemasaran memberikan kepuasan kepada setiap pihak-pihak yang terlibat, antara lain produsen, konsumen, dan lembaga-lembaga pemasaran. Menurut Sudiyono (2002) untuk mengukur efisiensi pemasaran dapat dilakukan pendekatan struktur, keragaan, dan tingkah laku pasar. Upaya perbaikan efisiensi pemasaran dapat dilakukan dengan meningkatkan output pemasaran dan mengurangi biaya pemasaran.

Menurut Sudiyono (2002) secara sederhana konsep efisiensi ini didekati dengan rasio output-input, suatu proses pemasaran dikatakan efisien apabila:

1. Output tetap konstan dicapai dengan input yang lebih sedikit. 2. Output meningkat sedangkan input yang digunakan tetap konstan.

3. Output dan input sama-sama mengalami kenaikan, tetapi laju kenaikan output lebih cepat dari pada input.

4. Output dan input sama-sama mengalami penurunan, tetapi penurunan output lebih lambat dari pada input.

(50)

berarti pengendalian fisik daripada produk dan mencakup dalam hal-hal: prosedur, teknis, dan besarnya skala operasi, dengan tujuan penghematan fisik seperti mengurangi kerusakan (waste), mencegah merosotnya mutu produk dan penghematan tenaga kerja. Sedangkan dalam pengukuran efisiensi ekonomis maka marjin pemasaran sering dipakai sebagai alat ukur.

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional

Penelitian ini akan mengkaji analisis usahatani dan aspek pemasaran bunga-potong anggrek Dendrobium di daerah sentra produksi anggrek di Bogor. Penelitian ini akan melibatkan berbagai lembaga pemasaran seperti petani, lembaga perantara (pedagang) dan konsumen akhir.

(51)

Gambar 7. Kerangka Pemikiran Operasional Masalah:

1. Apakah usahatani bunga potong anggrek Dendrobium efisien untuk diusahakan petani di Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor? 2. Bagaimana sistem,saluran, struktur dan perilaku pasar serta marjin

tataniaga bunga potong anggrek Dendrobium di Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor sudah efisien? Apakah terdapat alternatif saluran tataniaga yang lebih efisien?

Usahatani Anggrek

- Usahatani anggrek menguntungkan -Saluran pemasaran yang lebih efisien

Gambar

Tabel 1.  Volume dan Nilai Ekspor Tanaman Hias Indonesia Tahun 2003-2008
Tabel 2.  Perkembangan Produksi Tanaman Hias Indonesia Tahun 2006-2008
Tabel 4. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Anggrek di Indonesia
Gambar 2.  Kurva Biaya Total, Biaya Tetap Total
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada rantai pasok nanas Bogor di Kecamatan Cijeruk, terdapat 10 saluran pemasaran dengan anggota rantai pasok yang terdiri atas petani, pedagang pengumpul desa,

Tugas dan fungsi lembaga pemasaran pedagang pengumpul adalah melakukan fungsi pembelian dan penjualan, fungsi pengangkutan, fungsi penyimpanan sementara dan fungsi

Distribusi marjin, share, serta rasio keuntungan dan biaya pemasaran bunga mawar potong pada saluran yang kedua ini melibatkan 3 lembaga pemasaran, yaitu

Rincian biaya untuk pemasaran jagung untuk saluran dua yang dikeluarkan oleh pedagang pengumpul dan pedagang pengecer, dimana harga jagung pada tingkat

Saluran pemasaran tomat di Desa Babulu Darat adalah saluran 4 tingkat yaitu dari petani (produsen) kepedagang pengumpul, kemudian disalurkan ke pedagang besar

Rincian biaya untuk pemasaran jagung untuk saluran dua yang dikeluarkan oleh pedagang pengumpul dan pedagang pengecer, dimana harga jagung pada tingkat

2 P. menunjukkan bahwa pada proses pemasaran kelapa melibatkan pedagang pengumpul, pedagang besar dan pedagang pengecer. Pedagang pengumpul membeli kelapa kepada petani

Bentuk saluran pemasaran buah naga di Desa Sanggulan adalah saluran dua tingkat yaitu dari petani, pedagang pengumpul, pedagang pengecer, dan