• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING DENGAN SCIENTIFIC APPROACH UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN PROSES SAINS SISWA SMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING DENGAN SCIENTIFIC APPROACH UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN PROSES SAINS SISWA SMA"

Copied!
176
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN DISCOVERY

LEARNING DENGAN SCIENTIFIC APPROACH

UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN

PROSES SAINS SISWA SMA

SKRIPSI

disajikan sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Kimia

oleh

Naila Ayadiya

4301410015

JURUSAN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

(2)

ii

Siswa SMA telah disetujui untuk diajukan dalam sidang Panitia Ujian Skripsi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Semarang pada:

hari : Senin

tanggal : 11 Agustus 2014.

Semarang, Agustus 2014 Pembimbing

(3)

iii

Approach untuk Meningkatkan Keterampilan Proses Sains Siswa SMA disusun oleh

Naila Ayadiya 4301410015

telah dipertahankan di hadapan sidang Panitia Ujian Skripsi FMIPA UNNES pada hari Senin, tanggal 11 Agustus 2014.

Panitia Ujian

Ketua, Sekretaris,

Prof. Dr. Wiyanto, M. Si. Dra. Woro Sumarni, M. Si.

NIP. 196310121988031001 NIP. 196507231993032001

Penguji I, Penguji II,

Dr. Sri Susilogati Sumarti, M. Si. Drs. Eko Budi Susatyo, M. Si.

NIP. 195711121983032002 NIP. 19651111199031003

Anggota Penguji/

Pembimbing,

Dra. Woro Sumarni, M. Si.

(4)

iv

Pendapat atau temuan orang lain dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Semarang, Agustus 2014

(5)

v

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan kepada: 1)Ibu Rianah, Bapak Isnaeni, Mas Amif,

dan Zaida. Terima kasih atas dukungan material dan spiritual sebagai keluarga yang luar biasa.

2)Sahabat – sahabatku, Diana, Dita, Selly, dan Keluarga Sastro Agastya. Terima

kasih telah menjadi teman sekaligus keluarga yang selalu memberikan motivasi.

3)Seluruh teman-teman Jurusan Kimia

(6)

vi

hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai syarat memperoleh gelar sarjana pendidikan di Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam dan Matematika, Universitas Negeri Semarang.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu baik dalam penyusunan maupun penelitian skripsi ini. Ucapan terima kasih penulis terutama disampaikan pada:

1. Rektor Universitas Negeri Semarang

2. Dekan FMIPA Universitas Negeri Semarang

3. Ketua Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Semarang

4. Dra. Woro Sumarni, M. Si., selaku pembimbing utama yang telah memberikan ilmu, petunjuk dan bimbingannya sehingga sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.

5. Kepala SMA N 1 Kendal yang telah memberikan ijin dalam penelitian ini. 6. Dra. Wiwik Sri Lestari, selaku guru mata pelajaran kimia kelas XI SMA N 1

Kendal yang telah banyak membantu terlaksananya penelitian ini.

7. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Kimia FMIPA UNNES yang telah memberikan ilmu yang berharga kepada penulis.

8. Ibu, Bapak dan keluarga yang selalu memberikan dukungan baik material maupun spiritual dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Sahabat-sahabatku yang selalu memberikan inspirasi dalam menyelesaikan skripsi ini.

Tidak sanggup rasanya penulis untuk membalas budi dan jasa beliau. Hanya

doa terpanjat semoga Allah SWT memberikan balasan yang sesuai dengan amal kebaikan beliau.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan perkembangan penelitian yang lebih baik.

.

(7)

vii

dengan Scientific Approach untuk Meningkatkan Keterampilan Proses Sains Siswa SMA. Skripsi, Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Negeri Semarang. Dosen

Pembimbing: Dra. Woro Sumarni, M.Si.

Kata kunci: discovery learning; keterampilan proses sains siswa; scientific approach

Penelitian tindakan kelas ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan proses sains siswa SMA melalui model pembelajaran discovery learning dengan

scientific approach. Model pembelajaran discovery learning memberikan

kesempatan kepada siswa untuk dapat mengembangkan keterampilan proses sains secara mandiri. Scientific approach digunakan agar pengembangan keterampilan sains siswa lebih terarah dan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Penelitian terlaksana dalam dua siklus dimana masing-masing siklus terdiri atas perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik dokumentasi dan observasi. Penilaian keterampilan proses sains siswa dilakukan dengan menggunakan instrumen lembar observasi. Hasil analisis deskriptif setelah penerapan model pembelajaran discovery learning

dengan scientific approach ditunjukkan adanya peningkatan nilai keterampilan

proses sains siswa sebesar 17,44% dari siklus I ke siklus II. Kesepuluh indikator keterampilan proses sains yang dinilai adalah mengamati, mengelompokkan atau mengklasifikasikan, menafsirkan, meramalkan, mengajukan pertanyaan, merumuskan hipotesis, merencanakan percobaan, menggunakan alat dan bahan, menerapkan konsep, dan mengkomunikasikan hasil. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran discovery learning

(8)

viii

Improve High School Students’ Science Process Skills. Skripsi, Departement of Chemistry, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Semarang State University. Supervisor: Dra. Woro Sumarni, M.Si.

Keywords: discovery learning; scientific approach; the students’ science process

skills

(9)

ix

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN ... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

BAB 1. PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 5

1.3 Rumusan Masalah ... ... 6

1.4 Tujuan Penelitian ... 6

1.5 Manfaat Penelitian ... ... 6

1.6 Pembatasan Masalah ... 7

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Model Pembelajaran Discovery Learning ... 9

2.2 Scientific Approach (Pendekatan Ilmiah) ... 12

(10)

x

2.7 Kerangka Berpikir ... 28

2.8 Hipotesis Tindakan ... 30

3. METODE PENELITIAN ... 31

3.1 Lokasi dan Subjek Penelitian ... 31

3.2 Sumber Data ... 31

3.3 Teknik dan Alat Pengumpul Data ... 31

3.4 Validasi Data ... 32

3.5 Hasil Uji Coba Instrumen ... 38

3.6 Analisis Data ... 40

3.7 Indikator Kinerja ... 43

3.8 Prosedur Tindakan... 43

4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 46

4.1 Hasil Penelitian ... 46

4.1.1 Pra-penelitian ... 46

4.1.2 Siklus I ... 48

4.1.3 Siklus II ... 55

4.2 Pembahasan ... 61

5. SIMPULAN DAN SARAN ... 66

5.1 Simpulan ... 66

5.2 Saran ... 66

DAFTAR PUSTAKA ... 67

(11)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1. Indikator dan Sub-indikator KPS ... 16

2.2. Perbandingan Sifat Larutan, Koloid, dan Suspensi ... 22

2.3. Jenis-jenis Sistem Koloid ... 23

3.1 Format Data Analisis Faktor Uji Coba Instrumen ... 33

3.2 Format Tabel Perhitungan Validitas Butir ... 34

3.3 Format Tabel Perhitungan Reliabilitas KPS ... 34

3.4 Ringkasan Anava untuk Perhitungan Reliabilitas Rating ... 36

3.5 Format Tabel Perhitungan Reliabilitas Instrumen Penilaian Kognitif ... 37

3.6 Ketentuan Kategori Nilai KPS Siswa ... 42

4.1 Analisis Nilai Ulangan Harian Siswa Kelas XI IPA 1 ... 47

4.2 Analisis Hasil Pretest dan Tes Akhir Siklus I... 53

4.3 Analisis Hasil Afektif Siswa pada Siklus I ... 53

(12)

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Kerangka Berpikir ... 29

3.1 Urutan Pelaksanaan PTK ... 44

4.1 Nilai Tiap Indikator KPS Siklus I ... 52

4.2 Nilai Tiap Indikator KPS Siklus II ... 59

4.3 Peningkatan Nilai Tiap Indikator KPS pada Siklus I dan II ... 62

(13)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Tahun ajaran 2013/2014 adalah awal penerapan kurikulum baru oleh

pemerintah di bidang pendidikan. Kurikulum yang dimaksud adalah

kurikulum 2013 sebagai pengganti dari KTSP yang telah digunakan selama

enam tahun terakhir. Perubahan kurikulum dilakukan sebagai upaya untuk

memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia agar dapat bersaing di tingkat

internasional dan juga sebagai usaha untuk mengatasi perubahan yang

terjadi akibat arus globalisasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Mulyasa

(2004: 4) yang menyatakan bahwa sistem pendidikan nasional senantiasa

harus dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan yang

terjadi baik di tingkat lokal, nasional, maupun global.

Proses pembelajaran dalam kurikulum 2013 diselenggarakan secara

interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik

untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi

prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan

perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Penyusunan perencanaan

pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, serta penilaian proses

pembelajaran dengan strategi yang benar harus dipersiapkan dengan cermat

(14)

kompetensi lulusan. Standar kompetensi lulusan adalah kriteria mengenai

kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan

keterampilan. Seluruh ilmu yang dipelajari dalam tiap satuan pendidikan

harus mampu memenuhi standar kompetensi lulusan yang diamanatkan oleh

pemerintah.

Pelaksanaan pembelajaran kurikulum 2013 mengamanatkan

penggunaan pendekatan ilmiah. Pendekatan ilmiah (scientific approach)

adalah pendekatan yang menonjolkan dimensi pengamatan, penalaran,

penemuan, pengabsahan, dan penjelasan mengenai suatu kebenaran.

Pendekatan ini memberi kesempatan untuk meningkatkan kemampuan

siswa dalam melakukan observasi, bertanya, menalar, dan

mengkomunikasikan pengetahuan yang diperoleh dari proses pembelajaran.

Melalui tahapan-tahapan dalam pembelajaran yang berpendekatan scientific,

siswa dibimbing secara bertahap untuk mengorganisasikan dan melakukan

penelitian. Proses pembelajaran dengan scientific approach meliputi ranah

kognitif, psikomotorik, dan afektif sehingga dapat membentuk siswa yang

produktif, kreatif, inovatif, dan afektif melalui penguatan sikap,

keterampilan, dan pengetahuan yang terintegrasi.

Ilmu kimia sebagai salah satu mata pelajaran dalam satuan pendidikan

juga harus mampu melaksanakan amanat tersebut. Kimia merupakan ilmu

yang diperoleh dan dikembangkan berdasarkan eksperimen untuk mencari

jawaban atas pertanyaan apa, mengapa, dan bagaimana gejala-gejala alam

(15)

Pengenalan ilmu kimia dimulai sejak tingkat SMP, bergabung dengan

biologi dan fisika dalam mata pelajaran IPA. Pembelajaran kimia kemudian

dilanjutkan di tingkat SMA dan menjadi mata pelajaran mandiri yakni mata

pelajaran kimia.

Berdasarkan observasi yang telah dilakukan, terlihat bahwa

pembelajaran kimia di SMAN 1 Kendal sudah cukup baik, yakni guru sudah

mengaitkan materi dengan hal-hal yang dialami dan mudah ditemukan siswa

dalam kehidupan sehari-hari. Sistem pembelajaran yang dilakukan guru

membuat hasil belajar kognitif siswa cukup tinggi, terlihat dari rata-rata

nilai siswa kelas XI pada semester ganjil tahun ajaran 2013/2014 adalah

80,75 dimana nilai tersebut lebih dari KKM yang hanya 77.

Peneliti juga telah melakukan wawancara dengan Dra. Wiwik Sri

Lestari sebagai salah satu guru kimia di SMAN 1 Kendal. Menurut Dra.

Wiwik Sri Lestari meskipun sudah dikaitkan dengan hal-hal yang ada dalam

kehidupan sehari-hari siswa masih pasif dalam proses pembelajaran. Guru

berfungsi sebagai sumber belajar utama yang menyajikan pengetahuan

kimia kepada siswa kemudian siswa hanya memperhatikan penjelasan dan

contoh yang diberikan oleh guru tanpa terlibat langsung dalam penemuan

dan pengonstruksian pengetahuan. Kegiatan pembelajaran masih kurang

mengembangkan proses interaksi antar peserta didik, antara peserta didik

dengan guru, dan sumber belajar pada suatu lingkungan. Selain itu,

berdasarkan wawancara dengan siswa, pembelajaran di laboratorium selama

(16)

dibenarkan oleh guru mata pelajaran kimia yang menyatakan bahwa

kegiatan praktikum hanya dilakukan pada materi-materi tertentu saja.

Kurangnya kegiatan praktikum menyebabkan rendahnya keterampilan

proses sains siswa.

Berdasarkan permasalahan yang ada, peneliti menerapkan model

pembelajaran discovery learning sebagai upaya meningkatkan keterampilan

proses sains. Model ini mengedepankan peran aktif siswa dalam

pembelajaran, sedangkan guru hanya sebagai fasilitator dalam membantu

siswa menemukan dan mengonstruksikan pengetahuan yang dipelajari.

Siswa bertugas untuk menyimpulkan suatu karakterisitik berdasarkan

simulasi yang telah dilakukan (De Jong & Joolingen, 1998: 180).

Menurut Roestiyah (2001: 20), discovery learning ialah suatu cara

mengajar yang melibatkan siswa dalam proses kegiatan mental melalui

tukar pendapat, dengan diskusi, seminar, membaca sendiri dan mencoba

sendiri, agar anak dapat belajar sendiri. Siswa secara aktif menemukan

sendiri konsep-konsep dalam pembelajaran dengan pengarahan secukupnya

dari guru. Proses penemuan ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah

satunya dengan melakukan kegiatan praktikum di laboratorium. Hal ini

sesuai dengan yang disampaikan oleh Kolb (1984), bahwa pengetahuan

secara terus-menerus diperoleh dari pengalaman dan pengujian oleh

individu. Pembelajaran discovery learning memungkinkan proses

pembelajaran yang lebih bermakna sehingga tertanam dengan baik dalam

(17)

Penelitian yang berjudul The Effect of Discovery Learning on

Students’ Success and Inquiry Learning Skills yang dilakukan oleh Ali

Gunay Balim (2009) menunjukkan bahwa penerapan discovery learning

dapat meningkatkan keterampilan inkuiri, kemampuan kognitif, dan daya

ingat siswa. Berdasarkan kajian yang telah dilakukan dalam penelitian

tersebut dengan mendasarkan kegiatan siswa pada discovery learning dalam

pembelajaran sains penting untuk hasil belajar yang lebih bermakna.

Melalui kegiatan praktikum, siswa memperoleh pengalaman serta

bukti yang melalui proses pengujian oleh dirinya sendiri sehingga mereka

senantiasa mengetahui konsep dari pembelajaran yang dilaksanakan. Proses

menemukan sendiri konsep yang dipelajari akan memberikan motivasi

kepada siswa untuk melakukan penemuan-penemuan lain sehingga minat

belajarnya semakin meningkat. Oleh karena itu, model pembelajaran

discovery learning sesuai jika diterapkan dalam kegiatan praktikum karena

di dalamnya terdapat proses merencanakan, melaksanakan, dan melaporkan

hasil praktikum. Serangkaian keterampilan dalam praktikum ini dikenal

dengan Keterampilan Proses Sains (KPS).

1.2

Identifikasi Masalah

Berdasarkan observasi dan wawancara yang telah dilakukan, peneliti

mengidentifikasi masalah yang terkait kekurangan dalam proses

pembelajaran kimia:

(1) Siswa cenderung menunggu materi dari guru sehingga pembelajaran

(18)

(2) Keterlibatan siswa selama proses pembelajaran masih kurang.

(3) Guru cenderung memprioritaskan penyampaian materi di kelas daripada

melaksanakan pembelajaran di laboratorium.

(4) Kegiatan praktikum jarang dilaksanakan sehingga keterampilan proses

sains siswa rendah.

1.3

Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah disampaikan, maka permasalahan yang

akan diteliti adalah:

Apakah keterampilan proses sains siswa dapat meningkat dengan penerapan

model pembelajaran discovery learning dengan scientific approach?

1.4

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

Mengetahui adanya peningkatan keterampilan proses sains siswa dengan

penerapan model pembelajaran discovery learning dengan scientific

approach.

1.5

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai

berikut:

1.5.1 Manfaat bagi Siswa

(1) Meningkatkan keterampilan proses sains siswa.

(2) Melatih kemampuan siswa untuk berinteraksi dengan siswa lain, guru,

dan lingkungan.

(19)

1.5.2 Manfaat bagi Guru

(1) Memberikan informasi atau wacana mengenai model pembelajaran

discovery learning.

(2) Memberikan informasi atau wacana mengenai scientific approach.

(3) Sebagai alternatif bagi guru dalam pembelajaran kimia untuk upaya

peningkatan KPS siswa.

1.5.3 Manfaat bagi Sekolah

Dapat memberikan sumbangan bagi sekolah dalam rangka perbaikan sistem

pembelajaran kimia dan sebagai bentuk inovasi pembelajaran yang dapat

diterapkan pada mata pelajaran lain.

1.5.4 Manfaat bagi Peneliti

Penelitian ini dapat digunakan oleh peneliti untuk menambah wawasan dan

sebagai acuan untuk mengembangkan penelitian berikutnya.

1.6

Pembatasan Masalah

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK) yang

didasarkan pada masalah belajar yang muncul di kelas XI IPA 1, SMAN 1

Kendal. Berdasarkan identifikasi masalah, keterampilan siswa rendah dan

perlu adanya peningkatan.

Tujuan penelitian ini adalah meningkatkan keterampilan praktikum

berdasarkan sepuluh indikator KPS. Indikator-indikator tersebut meliputi

keterampilan mengamati, mengelompokkan atau mengklasifikasi,

(20)

merencanakan percobaan, menggunakan alat dan bahan, menerapkan

konsep, dan mengkomunikasikan hasil.

Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan pada semester genap tahun

ajaran 2013/2014, materi koloid. Materi ini dipilih karena banyak

diaplikasikan dan dimanfaatkan untuk keperluan hidup manusia dan

pemanfaatan serta produk-produknya sering digunakan dalam kehidupan

(21)

9

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Model Pembelajaran

Discovery Learning

Dewasa ini sudah banyak dikembangkan model-model pembelajaran

yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran. Pemilihan model

pembelajaran yang tepat sangat berperan dalam meningkatkan minat dan

semangat belajar siswa agar lebih aktif dan mencapai pemahaman konsep

yang maksimal.

Model pembelajaran discovery learning pertama kali diperkenalkan

oleh Jerome Bruner yang menekankan bahwa pembelajaran harus mampu

mendorong peserta didik untuk mempelajari apa yang telah dimiliki (Rifa’I

& Anni, 2011: 233). Menurut pandangan Bruner dalam Markaban (2008:

10) belajar dengan penemuan adalah belajar untuk menemukan, di mana

seorang siswa dihadapkan dengan suatu masalah atau situasi yang

tampaknya ganjil sehingga siswa dapat mencari jalan pemecahan.

Pembelajaran discovery learning memberikan kesempatan kepada siswa

untuk ikut serta secara aktif dalam membangun pengetahuan yang akan

mereka peroleh. Keikutsertaan siswa mengarahkan pembelajaran pada

proses pembelajaran yang bersifat student-centered, aktif, menyenangkan,

dan memungkinkan terjadinya informasi antar-siswa, antara siswa dengan

(22)

Model pembelajaran discovery learning berlandaskan pada teori-teori

belajar konstruktivis (Anyafulude, 2013: 2). Menurut pandangan

kostruktivisme, belajar adalah proses aktif siswa dalam mengonstruksi arti,

wacana, dialog, dan pengalaman fisik dimana di dalamnya terjadi proses

asimilasi dan menghubungkan pengalaman atau informasi yang sudah

dipelajari (Rifa’i & Anni, 2011: 199).

Dalam pembelajaran discovery learning siswa tidak diberikan konsep

dalam bentuk finalnya, melainkan siswa diajak untuk ikut serta dalam

menemukan konsep tersebut. Siswa membangun pengetahuan berdasarkan

informasi baru dan kumpulan data yang mereka gunakan dalam sebuah

pembelajaran penyelidikan (De Jong & Joolingen, 1998: 193).

Keikutsertaan menemukan konsep dalam pembelajaran memberikan kesan

yang lebih mendalam kepada siswa sehingga informasi disimpan lebih lama

dalam memori para siswa. Proses menemukan sendiri konsep yang

dipelajari juga memberikan motivasi kepada siswa untuk melakukan

penemuan-penemuan lain sehingga minat belajarnya semakin meningkat.

Menurut Syah dalam Kemendikbud (2013: 5), prosedur yang harus

dilaksanakan dalam proses pembelajaran disvovery learning adalah:

(1) Stimulation (Stimulasi/Pemberian Rangsangan )

Kegiatan pertama yang harus dilakukan adalah memberikan

permasalahan yang menimbulkan rasa ingin tahu siswa untuk

melakukan penyelidikan yang lebih mengenai permasalahan tersebut.

(23)

praktikum, dan aktivitas belajar lainnya yang mengarah pada persiapan

pemecahan masalah.

(2) Problem Statement (Pernyataan/Identifikasi Masalah)

Langkah selanjutnya adalah memberikan kesempatan kepada siswa

untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang ditemukan pada kegiatan

awal. Memberikan kesempatan siswa untuk mengidentifikasi dan

menganalisis permasalahan yang mereka hadapi, merupakan teknik

yang berguna dalam membangun siswa agar mereka terbiasa untuk

menemukan suatu masalah. Masalah yang telah ditemukan kemudian

dirumuskan dalam bentuk pertanyaan atau hipotesis.

(3) Data Collection (Pengumpulan Data)

Hipotesis yang telah dikemukakan, dibuktikan kebenarannya

melalui kegiatan eksplorasi yang dilakukan oleh siswa dengan

bimbingan guru. Pembuktian dilakukan dengan mengumpulkan data

maupun informasi yang relevan melalui pengamatan, wawancara,

eksperimen, jelajah pustaka, maupun kegiatan-kegiatan lain yang

mendukung dalam kegiatan membuktikan hipotesis.

(4) Data Processing (Pengolahan Data)

Data-data yang telah diperoleh selanjutnya diolah menjadi suatu

informasi yang runtut, jelas, dan bermakna. Pengolahan data dapat

dilakukan dengan berbagai cara, seperti diacak, diklasifikasikan,

maupun dihitung dengan cara tertentu serta ditafsirkan pada tingkat

(24)

(5) Verification (Pembuktian)

Pada tahap ini siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk

membuktikan kebenaran hipotesis awal yang telah dikemukakan.

Pembuktian didasarkan pada hasil pengolahan data yang telah

dilakukan pada tahap sebelumnya.

(6) Generalization (Menarik Simpulan/Generalisasi)

Tahap generalisasi atau penarikan simpulan adalah proses menarik

sebuah simpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk

semua kejadian atau masalah yang sama dengan memperhatikan hasil

verifikasi. Setelah penarikan simpulan, siswa harus memperhatikan

proses generalisasi yang menekankan pentingnya penguasaan pelajaran

atas makna dan kaidah atau prinsip-prinsip yang luas yang mendasari

pengalaman seseorang, serta pentingnya proses pengaturan dan

generalisasi dari pengalaman-pengalaman itu.

2.2

Scientific Approach

(Pendekatan Ilmiah)

Sains bukanlah pengetahuan yang statis melainkan sebuah proses yang

terus menerus tentang penjelajahan dunia dan pencarian untuk mendapatkan

sebuah pengertian yang terpercaya mengenai hal tersebut (Jarrard, 2001: 2).

Sifat dinamis yang dimiliki oleh sains mengharuskan adanya pendekatan

yang sesuai dalam membelajarkan sains kepada siswa. Pendekatan

merupakan langkah-langkah yang diciptakan berorientasi pada pencapaian

(25)

Pelaksanaan kurikulum 2013 mengamanatkan pendekatan ilmiah

dalam pelaksanaan proses pembelajaran. Pendekatan ilmiah adalah suatu

pendekatan yang menonjolkan dimensi pengamatan, penalaran, penemuan,

pengabsahan, dan penjelasan tentang suatu kebenaran. Oleh karena itu,

proses pembelajaran dengan pendekatan ilmiah harus dilaksanakan

berdasarkan nilai-nilai, prinsip-prinsip, dan atau kriteria ilmiah. Menurut

Komara (2013) terdapat beberapa kriteria suatu proses pembelajaran disebut

ilmiah, yakni :

(1) Materi pembelajaran berbasis fakta atau fenomena yang dapat

dijelaskan dengan logika atau penalaran tertentu.

(2) Penjelasan guru, respon peserta didik, dan interaksi edukatif

guru-peserta didik terbebas dari prasangka yang serta-merta, pemikiran

subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur berpikir logis.

(3) Mendorong dan menginspirasi peserta didik berpikir secara kritis,

analitis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan

masalah, dan mengaplikasikan substansi atau materi pembelajaran.

(4) Mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu berpikir hipotetik

dalam melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan satu sama lain dari

substansi atau materi pembelajaran.

(5) Mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu memahami,

menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir yang rasional dan

(26)

(6) Berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat

dipertanggungjawabkan.

(7) Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana dan jelas, namun

menarik sistem penyajiannya.

Hasil pembelajaran yang dilakukan dengan pendekatan scientific

(Scientific Approach) diperoleh melalui kegiatan proses mengamati,

menanya, mencoba atau mengumpulkan data dan atau informasi,

mengasosiasi, dan mengkomunikasikan (Kemendikbud, 2013: 5).

Penjelasan masing-masing proses adalah sebagai berikut:

(1) Kegiatan mengamati bertujuan agar pembelajaran berkaitan erat dengan

konteks situasi nyata yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.

Proses mengamati fakta atau fenomena mencakup mencari informasi,

melihat, mendengar, membaca, dan atau menyimak.

(2) Kegiatan menanya dilakukan sebagai salah satu proses membangun

pengetahuan siswa dalam bentuk konsep, prinsip, prosedur, hukum dan

teori, hingga berpikir metakognitif. Tujuannnya agar siswa memiliki

kemapuan berpikir tingkat tinggi (critical thingking skill) secara kritis,

logis, dan sistematis. Proses menanya dilakukan melalui kegiatan

diskusi dan kerja kelompok serta diskusi kelas. Praktik diskusi

kelompok memberi ruang kebebasan mengemukakan ide/gagasan

dengan bahasa sendiri, termasuk dengan menggunakan bahasa daerah.

(3) Kegiatan mencoba bermanfaat untuk meningkatkan keingintahuan

(27)

dengan mengumpulkan data, mengembangkan kreativitas, dan

keterampilan kerja ilmiah. Kegiatan ini mencakup merencanakan,

merancang, dan melaksanakan eksperimen, serta memperoleh,

menyajikan, dan mengolah data. Pemanfaatan sumber belajar termasuk

mesin komputasi dan otomasi sangat disarankan dalam kegiatan ini.

(4) Kegiatan mengasosiasi bertujuan untuk membangun kemampuan

berpikir dan bersikap ilmiah. Data yang diperoleh dibuat klasifikasi,

diolah, dan ditemukan hubungan-hubungan yang spesifik. Kegiatan

dapat dirancang oleh guru melalui situasi yang direkayasa dalam

kegiatan tertentu sehingga siswa melakukan aktivitas antara lain

menganalisis data, mengelompokkan, membuat kategori,

menyimpulkan, dan memprediksi/mengestimasi dengan memanfaatkan

lembar kerja diskusi atau praktik. Hasil kegiatan mencoba dan

mengasosiasi memungkinkan siswa berpikir kritis tingkat tinggi (high

order thinking skills) hingga berpikir metakognitif.

Pembelajaran dengan pendekatan ilmiah harus mengikuti beberapa

prinsip. Prinsip ini dibuat untuk membimbing guru dalam menyusun

langkah-langkah pembelajaran sehingga pendekatan yang digunakan terarah

dan sesuai. Menurut Kemendikbud (2013: 10) prinsip-prinsip tersebut

adalah sebagai berikut:

(1) Pembelajaran berpusat pada siswa;

(2) Pembelajaran membentuk students’ self concept;

(28)

(4) Pembelajaran memberikan kesempatan pada siswa untuk mengasimilasi

dan mengakomodasi konsep, hukum, dan prinsip;

(5) Pembelajaran mendorong terjadinya peningkatan kemampuan berpikir

siswa;

(6) Pembelajaran meningkatkan motivasi belajar siswa dan motivasi

mengajar guru;

(7) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk melatih kemampuan

dalam komunikasi;

(8) Adanya proses validasi terhadap konsep, hukum, dan prinsip yang

dikonstruksi siswa dalam struktur kognitifnya.

2.3

Keterampilan Proses Sains

Keterampilan Proses Sains (KPS) merupakan

keterampilan-keterampilan yang dimiliki oleh para ilmuwan untuk memperoleh dan

mengembangkan produk sains (Anitah, 2007: 8). KPS menekankan pada

pembentukan keterampilan memperoleh pengetahuan dan

mengkomunikasikan perolehannya. Keterampilan diartikan kemampuan

menggunakan pikiran, nalar, dan perbuatan secara efisien dan efektif untuk

mencapai suatu hasil tertentu, termasuk kreativitas.

Indikator dan sub-indikator keterampilan proses sains dapat dilihat

(29)

Tabel 2.1 Indikator dan Sub-indikator KPS

No. Indikator Keterampilan Proses Sains Sub-indikator Keterampilan Proses Sains 1 Mengamati - Menggunakan sebanyak mungkin alat indera

- Mengumpulkan dan menggunakan fakta yang relevan 2 Mengelompokkan atau

klasifikasi

- Mencatat setiap pengamatan secara terpisah - Mencari perbedaan dan persamaan

- Mengontraskan ciri-ciri - Membandingkan

- Mencari dasar pengelompokkan atau penggolongan 3 Menafsirkan - Menghubungkan hasil-hasil pengamatan

- Menemukan pola dalam suatu seri pengamatan - Menyimpulkan

4 Meramalkan - Menggunakan pola-pola hasil pengamatan

- Mengungkapkan apa yang mungkin terjadi pada keadaan yang belum diamati

5 Mengajukan pertanyaan - Bertanya apa, mengapa, dan bagaimana. - Bertanya untuk meminta penjelasan.

- Mengajukan pertanyaan yang berlatar belakang hipotesis. 6 Merumuskan hipotesis - Mengetahui bahwa ada lebih dari satu kemungkinan

penjelasan dari suatu kejadian.

- Menyadari bahwa suatu penjelasan perlu diuji kebenarannya dengan memperoleh bukti lebih banyak atau melakukan cara pemecahan masalah.

7 Merencanakan percobaan

- Menentukan alat, bahan dan sumber yang akan digunakan

- Menentukan variabel atau faktor penentu.

- Menentukan apa yang akan diukur, diamati, dicatat. - Menentukan apa yang akan dilaksanakan berupa langkah

kerja 8 Menggunakan alat dan

bahan

- Memakai alat dan bahan

- Mengetahui alasan mengapa menggunakan alat/bahan. - Mengetahui bagaimana menggunakan alat dan bahan. 9 Menerapkan konsep - Menggunakan konsep yang telah dipelajari dalam situasi

baru

- Menggunakan konsep pada pengalaman baru untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi

10 Mengkomunikasikan hasil

- Mengubah bentuk penyajian

- Menggambarkan data empiris hasil percobaan atau pengamatan dengan grafik atau tabel atau diagram - Menyusun dan menyampaikan laporan secara sistematis - Menjelaskan hasil percobaan atau penelitian

- Membaca grafik atau tabel atau diagram

- Mendiskusikan hasil kegiatan mengenai suatu masalah atau suatu peristiwa.

(30)

2.4

Hubungan antara Model Pembelajaran

Discovery Learning

dengan

Scientific Approach

dan Keterampilan Proses Sains

Discovery learning adalah suatu model pembelajaran dimana siswa

tidak diberikan pengetahuan dalam bentuk akhir, melainkan siswa berperan

aktif dalam menemukan dan membangun suatu konsep. Proses penemuan

konsep tersebut menggunakan langkah-langkah yang berorientasi pada

pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Pendekatan ilmiah (Scientific

Approach) yang berdasar atas kinerja para ilmuwan dalam menemukan

sesuatu, merupakan pendekatan yang sesuai untuk membimbing siswa

dalam proses penemuan layaknya seorang ilmuwan sehingga apa yang

ditemukan benar-benar terpercaya dan teruji.

Penemuan konsep dalam discovery learning dapat dilakukan melalui

berbagai kegiatan, salah satunya praktikum. Pelaksanaan praktikum yang

dimaksud tidak hanya kegiatan yang membuat siswa memiliki keterampilan

dalam melaksanakan praktikum saja, melainkan keterampilan yang

melibatkan 10 indikator keterampilan proses sains. Siswa dituntut untuk

terlibat dalam proses penemuan sebuah jawaban dari permasalahan yang

diberikan, sehingga keterampilan praktikum siswa dapat disebut sebagai

keterampilan proses sains. Oleh karena itu, dengan menerapkan model

pembelajaran discovery learning dengan scientific approach diharapkan

dapat meningkatkan keterampilan proses sains siswa dalam lingkup materi

(31)

2.5

Kajian Penelitian yang Relevan

2.5.1 Scientific Discovery Learning with Computer Simulations of Conceptual Domains

Penelitian yang dilakukan oleh Ton de Jong dan Wouter R. van

Joolingen (1998) membahas mengenai penggunaan simulasi komputer

dalam pembelajaran dengan model Scientific Discovery Learning. Dalam

penelitiannya, De Jong dan Van Joolingen menyampaikan efektivitas dan

efisiensi pembelajaran discovery learning. Menurut mereka, tugas utama

siswa dalam pembelajaran discovery learning adalah mengetahui

karakteristik suatu model berdasarkan simulasi. Berdasarkan hasil penelitian

dapat disimpulkan bahwa discovery learning dengan simulasi dapat

menumbuhkan inisiatif siswa dalam proses pembelajaran.

2.5.2 The Effect of Discovery Learning on Students’ Success and Inquiry

Learning Skill

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Ali

Gunay Balim (2009) bertujuan untuk mengetahui pengaruh discovery

learning pada kemampuan inkuiri, pencapaian akademik, dan ingatan

mengenai pengetahuan siswa. Objek penelitian adalah siswa kelas VII.

Balim menyatakan bahwa discovery learning adalah sebuah model yang

mendorong siswa untuk menarik simpulan berdasarkan aktivitas dan

pengamatan yang dilakukan oleh dirinya sendiri. Hasil dan simpulan dari

penelitian ini adalah model discovery learning dapat meningkatkan

(32)

2.5.3 Studying the Effect of Guided Discovery Learning on Reinforcing the Creative Thinking of Sixth Grade Girl Students in Qom during 2012-2013 Academic Year

Tujuan utama dalam penelitian yang dilakukan oleh Ali Gholamian

(2013) adalah mempelajari pengaruh guided discovery learning sebagai

salah satu model aktif membelajarkan siswa yang memiliki keterampilan

berpikir kreatif. Penelitian ini dilakukan kepada siswa perempuan kelas VI

yang berjumlah 50 orang. Siswa tersebut kemudian dibagi menjadi kelas

eksperimen dan kelas kontrol. Kelas eksperimen diberi perlakuan dengan

guided discovery learning, sedangkan kelas kontrol dengan pembelajaran

tradisional. Setelah dilakukan analisis data dapat disimpulkan bahwa guided

discovery learning adalah sebuah langkah yang efisien untuk meningkatkan

keterampilan berpikir kreatif siswa.

2.5.4 Secondary School Students’ Assessment of Innovative Teaching Strategies

in Enhancing Achievement in Physics and Mathematics

Penelitian yang dilakukan oleh Agommuoh dan Ifeanacho (2013)

adalah sebuah penelitian deskriptif untuk meneliti penilaian siswa SMA

terhadap strategi pembelajaran inovatif dalam meningkatkan pencapaian

dalam fisika dan matematika. Pencapaian yang dimaksud meliputi

pengembangan keterampilan proses (mengobservasi, mengklasifikasikan,

mengkomunikasikan, mengukur, mengestimasi, dan memprediksi),

keterampilan pemecahan masalah dan penyelidikan, berpikir logis,

menghubungkan, dan kreatif. Penelitian dilakukan dengan memilih 190

siswa dari 394 sekolah dengan teknik purposive sampling. Hasilnya adalah

(33)

inkuiri, discovery learning, diskusi, bermain peran, simulasi, permainan,

kelompok belajar, brainstorming, dan strategi sejenis dapat meningkatkan

pencapaian dalam fisika dan matematika. Peneliti merekomendasikan

strategi pembelajaran inovatif yang telah diteliti untuk digunakan dalam

proses pembelajaran fisika dan matematika di sekolah.

2.6

Analisis Materi Pokok

Materi koloid memiliki beberapa sub-materi yang harus dipahami

dengan baik oleh siswa. Sub-materi dalam materi pokok koloid adalah

sistem koloid, sifat koloid, dan pembuatan koloid. Pemahaman yang baik

akan diperoleh siswa melalui proses pembelajaran yang efektif. Oleh karena

itu, peneliti menganalisis hal tersebut.

2.6.1 Sistem Koloid

2.6.1.1 Pengertian Sistem Koloid

Campuran adalah penggabungan dua atau lebih zat di mana di

dalam penggabungan ini zat-zat tersebut mempertahankan identitasnya

masing-masing (Chang, 2008: 7). Berdasarkan ukuran partikel terlarut

dalam campuran, campuran dibagi menjadi 3, yaitu larutan, koloid, dan

suspensi (Davis, 2006: 425).

Koloid adalah campuran yang tidak mengendap atau memisah

menjadi fase yang berbeda (Jespersen et all, 2012: 264). Koloid terdiri

atas fase terdispersi dalam ukuran tertentu dalam medium pendispersi.

(34)

medium atau zat yang digunakan untuk mendispersikan disebut medium

pendispersi (pelarut).

Sistem koloid banyak dijumpai dalam bidang kimia terapan dan

kimia industri, baik dalam proses pembuatan maupun hasilnya (Kasmadi

& Gatot, 2008: 253). Hasil-hasil industri ini banyak kita gunakan dan

mudah kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari seperti kosmetik,

detergen, margarin, susu, dan lain sebagainya.

Sistem koloid berbeda dengan larutan maupun suspensi.

Meskipun ketiganya merupakan campuran tetapi ketiganya mempunyai

sifat yang berbeda antar satu dan lainnya. Perbedaan antar campuran

[image:34.595.140.519.422.685.2]

tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Perbandingan Sifat Larutan, Koloid, dan Suspensi

Larutan Koloid Suspensi

Homogen, tidak dapat dibedakan walaupun menggunakan mikroskop ultra Homogen secara makroskopis tetapi heterogen jika dilihat dengan mikroskop ultra

Heterogen, baik secara makroskopis maupun mikroskopis

Ukuran partikelnya < 1 nm

Ukuran partikelnya antara 1 nm s.d 1000 nm

Ukuran partikelnya > 1000 nm

Terdiri atas satu fase Terdiri atas dua fase Terdiri atas dua fase

Stabil Pada umumnya stabil

(tidak memisah apabila didiamkan)

Tidak stabil

Tidak dapat disaring menggunakan penyaring biasa maupun penyaring ultra

Hanya dapat disaring menggunakan

penyaring ultra

Dapat disaring

(35)

2.6.1.2 Jenis-jenis Koloid

Penggolongan sistem koloid didasarkan pada jenis fase terdispersi

dan medium pendispersinya. Koloid yang mengandung fase terdispersi

padat disebut sol, koloid yang mengandung fase terdispersi cair disebut

emulsi, dan koloid yang mengandung fase terdispersi gas disebut buih

[image:35.595.168.527.288.438.2]

(Parning et all, 2006: 161). Jenis-jenis koloid disajikan pada Tabel 2.3

Tabel 2.3 Jenis-jenis Sistem Koloid

Jenis terdispersi Fase pendispersi Medium Contoh

Busa Gas Cair Buih sabun, krim kocok

Busa padat Gas Padat Batu apung, marshmallow

Aerosol cair Cair Gas Kabut, awan

Aerosol padat Padat Gas Asap, debu di udara, asbut

Emulsi Cair Cair Krim, mayonais, susu

Emulsi padat Cair Padat Mentega, keju

Sol Padat Cair Cat, jelli (agar-agar)

Sol padat Padat Padat Panduan logam, mutiara

(Jespersen et all, 2012: 624)

Selain digolongkan berdasarkan fase terdispersi dan medium

pendispersinya koloid juga dibedakan berdasarkan sifatnya terhadap

pelarutnya. Koloid yang “suka” terhadap pelarutnya disebut koloid liofil,

contohnya adalah kanji, sabun, dan tepung. Sedangkan koloid yang takut

pelarutnya disebut koloid liofob, contohnya adalah sol emas, besi (II)

hidroksida, arsen (III) sulfat, dan lain-lain (Kasmadi & Gatot, 2008: 26).

2.6.2 Sifat-sifat Koloid

Koloid memiliki sifat khas yang berbeda dengan larutan sejati dan

(36)

(1) Efek Tyndall

Efek Tyndall adalah terhamburnya cahaya oleh partikel koloid.

Efek ini sering digunakan untuk membedakan larutan sejati dengan

koloid karena larutan sejati tidak menghamburkan cahaya.

(2) Gerak Brown

Gerak Brown adalah gerak zig-zag partikel koloid. Gerak ini dapat

diamati menggunakan mikroskop ultra. Gerak Brown terjadi akibat

tumbukan yang tidak seimbang antara fase terdispersi dengan medium

pendispersi. Gerak Brown merupakan salah satu faktor yang

menstabilkan koloid karena dengan adanya gerak Brown partikel koloid

dapat mengimbangi gaya gravitasi sehingga tidak terjadi sedimentasi

(Purba, 2004: 288).

(3) Muatan Koloid

a. Elektroforesis

Partikel koloid ada yang bermuatan dan ada yang tidak

bermuatan. Muatan suatu partikel koloid dapat diketahui melalui

elektroforesis. Elektroforesis adalah pergerakan partikel koloid

dalam medan listrik.

b. Adsorpsi

Partikel koloid yang bermuatan dapat menyerap berbagai

macam zat pada permukaan. Penyerapan pada permukaan ini

disebut adsorpsi. Zat yang diadsorpsi bukan hanya ion maupun zat

(37)

Kemampuan adsorpsi partikel koloid dimanfaatkan dalam bidang

industri dan kehidupan sehari-hari, antara lain pemutihan gula tebu,

pembuatan norit, penjernihan air, pembuatan deodoran, dan

lain-lain.

(4) Koagulasi

Penggumpalan partikel koloid disebut koagulasi. Koagulasi dapat

terjadi jika terdapat dua sol yang bermuatan bercampur, penetralan

elektroforesis muatan sol oleh elektroda, pemanasan sol, dan

penambahan elektrolit pada sol. Semakin besar valensi suatu elektrolit

semakin mudah menggumpalkan sol (Kasmadi & Gatot, 2008: 27).

Sifat partikel koloid yang dapat terkoagulasi (menggumpal)

dimanfaatkan dalam berbagai proses, contohnya penjernihan air,

penggumpalan karet dalam lateks, dan pembuatan mesin Cotrell pada

pembuangan gas di pabrik-pabrik. Selain itu fenomena pembentukan

delta di muara sungai juga merupakan salah satu contoh peristiwa

koagulasi di alam.

(5) Koloid Pelindung

Pada beberapa proses, suatu koloid perlu untuk dipecahkan. Akan

tetapi, di lain pihak koloid perlu dijaga supaya tidak menggumpal.

Perlindungan ini dilakukan dengan menambahkan suatu koloid

pelindung, yakni suatu koloid yang ditambahkan dalam sistem koloid

(38)

sifat koloid yang dapat digunakan sebagai koloid pelindung adalah

dalam pembuatan es krim, cat, dan tinta.

(6) Dialisis

Dialisis adalah suatu proses untuk menghilangkan ion-ion yang

mengganggu kestabilan koloid. Sistem kerja dialisis adalah dengan

memasukkan sistem koloid ke dalam suatu membran semipermeabel,

yakni membran yang dapat dilewati oleh partikel-partikel kecil seperti

ion dan molekul sederhana tetapi tidak dapat dilewati oleh partikel

koloid. Proses dialisis secara alamiah terjadi dalam proses pemisahan

hasil-hasil metaboliseme dalam darah oleh ginjal. Adaptasi proses ini

dilakukan dalam proses cuci darah bagi penderita penyakit ginjal.

2.6.3 Pembuatan Koloid

Suatu sistem koloid dapat dibuat dari larutan sejati maupun

suspensi (et all, 2006: 170). Pembuatan koloid dari larutan sejati dilakukan

dengan mengelompokkan partikel larutan sejati sehingga berukuran seperti

partikel koloid, cara ini disebut cara kondensasi. Cara kondensasi Parning

pada dasarnya adalah proses pembuatan koloid melalui reaksi kimia terlebih

dahulu (Kasmadi & Gatot, 2008: 27). Sedangkan pembuatan koloid dari

suspensi dilakukan dengan memperkecil partikel suspensi sehingga

berukuran seperti partikel koloid, cara ini disebut cara dispersi. Adapun

penjelasan masing-masing cara pembuatan sistem koloid adalah sebagai

(39)

(1) Cara kondensasi

a. Reaksi hidrolisis

Hidrolisis adalah reaksi suatu zat dengan air. Reaksi ini umumnya

digunakan dalam pembuatan koloi-koloid basa dari suatu garam.

b. Reaksi redoks

Reaksi redoks adalah reaksi yang disertai dengan perubahan

bilangan oksidasi. Koloid yang terjadi merupakan hasil oksidasi

atau reduksi.

c. Pertukaran ion

Reaksi pertukaran ion umumnya dilakukan untuk membuat koloid

dari zat-zat yang sukar larut (endapan) yang dihasilkan pada reaksi

kimia.

(2) Cara dispersi

a. Cara mekanik (dispersi langsung)

Cara ini dilakukan dengan memperkecil ukuran partikel fase

terdispersi. Biasanya dilakukan dengan penggilingan atau

penggerusan menggunakan lumpang atau penggiling koloid. Hasil

penggerusan atau penggilingan kemudian diaduk dengan medium

pendispersi.

b. Homogenisasi

(40)

c. Peptisasi

Cara ini dilakukan dengan memecah partikel besar dari suspensi

menjadi partikel koloid dengan bantuan zar pemeptisasi (pemecah).

d. Busur Bredig

Mekanisme Busur Bredig merupakan gabungan dari cara dispersi

dan kondensasi. Biasanya digunakan dalam pembuatan sol-sol

logam.

2.7

Kerangka Berpikir

Materi kimia SMA memang membutuhkan pemahaman cukup tinggi

sehingga membuat siswa menjumpai banyak kesulitan dalam memahami

dan mendalaminya. Materi koloid berisi konsep-konsep yang banyak

dijumpai dalam kehidupan sehari-hari akan tetapi memerlukan pemahaman

yang tinggi dalam mempelajari konsep-konsep tersebut. Pembelajaran yang

cenderung bersifat verbalisme kurang cocok diterapkan dalam materi ini

karena siswa akan cenderung menghafal sehingga lebih mudah lupa. Siswa

akan lebih paham jika melakukan praktikum karena mereka dapat

menemukan dan menguji sendiri konsep yang dipelajari. Berdasarkan

masalah pembelajaran tersebut, peneliti menyusun suatu kerangka berpikir

mengenai penerapan model pembelajaran discovery learning dengan

scientific approach untuk meningkatkan keterampilan proses sains siswa

SMA. Penerapan model dan pendekatan ini mendorong siswa untuk aktif

(41)

psikomotorik siswa karena siswa diajak untuk menemukan konsep melalui

berbagai kegiatan.

Masalah pembelajaran kimia di SMAN 1 Kendal

- Hasil belajar kognitif sudah baik ( > KKM 77)

- Siswa kurang aktif dalam pembelajaran - Kegiatan praktikum jarang dilakukan - Hasil belajar psikomotorik kurang

Keterampilan psikomotorik siswa perlu ditingkatkan

Penerapan model pembelajaran discovery learning

dengan scientific approach untuk meningkatkan

ketrampilan psikomotorik siswa melalui sepuluh indikator KPS

Keterampilan psikomotorik siswa meningkat Penelitian

Tindakan Kelas

Observasi Wawancara

[image:41.595.131.536.178.669.2]

XI IPA 1

(42)

2.8

Hipotesis Tindakan

Berdasarkan kajian teoretis dan kerangka berpikir, maka hipotesis

tindakan penelitian ini adalah penerapan model discovery learning dengan

(43)

31

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1

Lokasi dan Subjek Penelitian

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian tindakan kelas yang

dilakukan di kelas XI IPA 1 SMAN 1 Kendal tahun ajaran 2013/2014.

Teknik pemilihan kelas berdasarkan pertimbangan dari guru pengampu dan

pengamatan peneliti selama kegiatan PPL karena siswa kelas XI IPA 1

kurang aktif dalam pembelajaran dan KPS yang rendah sehingga perlu

ditingkatkan. Siswa kelas XI IPA 1 berjumlah 36 orang, terdiri atas 16 siswa

laki-laki dan 20 siswa perempuan.

3.2

Sumber Data

Data dalam penelitian ini meliputi penilaian psikomotorik siswa pada

keterampilan proses sains, penilaian afektif yang didasarkan pada hasil

pengamatan selama pembelajaran, dan penilaian kognitif siswa setelah

pembelajaran yang diperoleh melalui ulangan pada akhir bab.

3.3

Teknik dan Alat Pengumpul Data

3.3.1 Dokumentasi

Teknik dokumentasi dilakukan untuk mengumpulkan dokumen atau

data-data yang mendukung penelitian. Pengumpulan data meliputi daftar

nama siswa kelas XI IPA 1, nilai ulangan harian semester I, dan wawancara

(44)

3.3.2 Observasi

Observasi atau pengamatan dilakukan untuk mengetahui kinerja siswa

dalam melaksanakan praktikum di laboratorium dan sikap siswa dalam

pembelajaran. Observasi dilaksanakan dengan menggunakan lembar

pengamatan yang telah melalui tahap validasi dan dilakukan oleh tiga

pengamat. Kisi-kisi lembar pengamatan kinerja di laboratorium

dikembangkan berdasarkan sepuluh indikator KPS dalam lingkup materi

koloid.

3.3.3 Tes

Metode tes digunakan untuk mengetahui pencapaian siswa dalam

aspek kognitif setelah pembelajaran. Tes yang diberikan berupa soal uraian

yang diberikan setiap akhir siklus.

3.4

Validasi Data

3.4.1 Validitas Instrumen Penilaian Keterampilan Proses Sains

Pengujian validitas instrumen non-tes dilakukan secara expert validity

yaitu validitas yang disesuaikan dengan kurikulum dan dikonsultasikan serta

disetujui oleh ahli (Widodo, 2009: 60). Dalam hal ini ahli yang dimaksud

yaitu dosen dan guru pengampu.

Instrumen lembar observasi yang telah disetujui oleh para ahli

diujicobakan untuk mendapatkan validitas instrumen dan validitas butirnya.

Data yang telah ditabulasikan dilanjutkan dengan analisis faktor, yaitu

dengan mengkorelasikan antar skor item instrumen. Analisis faktor

(45)

(1) Mengklasifikasikan faktor-faktor sesuai instrumen yang digunakan.

Pada lembar observasi yang telah dibuat dengan 18 butir,

diklasifikasikan butir-butir tersebut kedalam 3 (tiga) faktor yaitu:

persiapan praktikum (faktor 1), pelaksanaan praktikum (faktor 2), dan

pelaporan praktikum (faktor 3). Dimana faktor 1 terdiri atas lima butir,

faktor 2 terdiri atas tujuh butir, dan faktor 3 terdiri atas lima butir.

(2) Membuat tabel analisis faktor berdasarkan pengklasifikasian faktor

yang telah dibuat sebelumnya.

Tabel 3.1 Format Data Analisis Faktor Uji Coba Instrumen

No. Res.

Skor Faktor 1 untuk Butir No: Jml

1 (X1)

Skor Faktor 2 untuk Butir No: Jml

2 (X2)

Skor Faktor 3

untuk Butir No: Jml 3 (X3)

Jml Skor Total (Y) 1 2 3 4 5 6 7 8 ... 12 13 14 ... 18

R-01 R-02 R-03 R-04

R-05

(3) Menghitung korelasi antara jumlah faktor 1 (X1) dengan jumlah total

(Y) sebagai ry1, jumlah faktor 2 (X2) dengan jumlah total (Y) sebagai

Ry2 dan jumlah faktor 3 (X3) dengan jumlah total (Y) sebagai Ry3. Bila

korelasi tiap faktor tersebut positif dan besarnya lebih dari 0,3 maka

faktor tersebut merupakan konstruk yang kuat (Sugiyono, 2010: 178).

(4) Menghitung korelasi antara skor butir dengan skor total (Y) untuk

mendapatkan validitas butir. Sesuai jumlah butir, maka ada 17 koefisien

(46)

dapat disimpulkan bahwa butir instrumen tersebut tidak valid sehingga

harus diperbaiki (Sugiyono, 2010: 179).

Perhitungan korelasi sederhana dihitung menggunakan rumus:

∑ (∑ ) ∑ √{ ∑ ∑ } { ∑ ∑ }

(Sudjana, 2005: 369)

Keterangan :

ryi = korelasi antara Xi dengan Y

N = jumlah responden

∑ = jumlah total Xi.Y

∑ = jumlah total Xi

∑ = jumlah total Y

∑ = jumlah kuadrat total Xi

[image:46.595.203.438.414.520.2]

∑ = jumlah kuadrat total Y = 1, 2, 3

Tabel 3.2 Format Tabel Perhitungan Validitas Butir

No. Item Rhitung Rkritis Keputusan

R1y 0,3 Valid/ Tidak valid

R2y 0,3 Valid/ Tidak valid

R3y 0,3 Valid/ Tidak valid

... 0,3 Valid/ Tidak valid R17y 0,3 Valid/ Tidak valid

R18y 0,3 Valid/ Tidak valid 3.4.2 Reliabilitas Instrumen Penilaian Keterampilan Proses Sains

Pengujian reliabilitas lembar observasi menggunakan pengujian

reliabilitas Raters dengan tiga observer. Data kemudian ditabulasikan

[image:46.595.152.471.659.742.2]

seperti dalam Tabel 3.3,

Tabel 3.3 Format Tabel Perhitungan Reliabilitas KPS

Responden Nilai Observer ΣXp (ΣXp)2

Rater 1 Rater 2 Rater 3 Rater 4

R1 x1 x10 x19 X28 ΣX1 (ΣX1)2

R2 x2 x11 x20 X29 ΣX2 (ΣX2)2

(47)

R4 x4 x13 x22 X31 ΣX4 (ΣX4)2

R5 x5 x14 x23 X32 ΣX5 (ΣX5)2

R6 x6 x15 x24 X33 ΣX6 (ΣX6)2

R7 x7 x16 x25 X34 ΣX7 (ΣX7)2

R8 x8 x17 x26 x35 ΣX8 (ΣX8)2

R9 x9 x18 x27 x36 ΣX9 (ΣX9)2

ΣXp ΣXA ΣXB ΣXC

Σ(ΣXp) Σ(ΣXp)2

(ΣXp)2 (ΣXA)2 (ΣXB)2 (ΣXC)2

(Mardapi, 2000: 18)

Keterangan:

R1/ 2/ 3.. = responden atau subjek A/ B/ C = observer

x1/ 2/ 3... = nilai dari para observer np = jumlah responden

nr = jumlah raters atau observer

kemudian dihitung dengan rumus:

(1) Jumlah Kuadrat Total (JKT)

JKT = ( ∑ ∑

dbt = (np x nr) – 1

(2) Jumlah Kuadrat antar Raters (JKt)

JKt = ∑ ∑ ∑ ∑ ∑

dbt = nr – 1

(3) Jumlah Kuadrat antar Subjek (JKs)

JKs = ∑ ∑ ∑ ∑

dbt = np– 1

(4) Jumlah Kuadrat Residu (JKr)

JKr = JKT ─ JKt ─ JKs

(48)
[image:48.595.171.503.130.232.2]

Tabel 3.4 Ringkasan Anava untuk Perhitungan Reliabilitas Rating

Variasi JK Db MK

JKT ... (np × nr) - 1 ─

JK antar raters ... nr - 1 ─

JKs ... np - 1

(Vp)

JKr ... (np - 1) × 2

(Ve)

(Mardapi, 2000: 19)

Reliabilitas instrumen penilaian untuk seorang rater atau observer:

Sedangkan untuk besarnya reliabilitas rerata dari tiga rater atau observer

adalah:

Keterangan:

R11 = reliabilitas penilaian untuk seorang rater atau observer Rkk = reliabilitas rerata dari ketiga rater atau observer

Vp = varian untuk responden

Ve = varian untuk kesalahan

k = jumlah rater atau observer

3.4.3 Validitas Instrumen Penilaian Kognitif dan Afektif

Perangkat tes dikatakan telah memenuhi validitas konstruk setelah

diuji secara construct validity yaitu validitas yang disesuaikan dengan

kurikulum dan dikonsultasikan serta disetujui oleh ahli (Sugiyono, 2010:

(49)

3.4.4 Reliabilitas Instrumen Penilaian Kognitif

Penilaian dalam ranah kognitif menggunakan soal essay. Reliabilitas

instrumen dihitung dengan menggunakan Cronbach Alpha. Data yang

diperoleh ditabulasikan seperti dalam Tabel 3.5,

Tabel 3.5 Format Tabel Perhitungan Reliabilitas Instrumen

Penilaian Kognitif No.

Responden

Skor Jawaban

TOTAL TOTAL2

1 2 3 ... 25

R-01 R-02

… …

R-36 Jumlah Jumlah2

Kemudian dihitung dengan rumus:

[ ] [ ∑ ]

Keterangan:

r = koefisien reliabilitas instrumen (cronbach alpha)

k = banyaknya butir soal

∑ = total varians butir = total varians

a) Varians butir dihitung dengan cara sebagai berikut:

(50)

b) Total varians dihitung dengan cara sebagai berikut:

3.4.5 Reliabilitas Instrumen Penilaian Afektif

Reliabilitas untuk instrumen lembar observasi menggunakan rumus

Spearman Rank yaitu dengan pemberian rangking pada variabel yang akan

diukur, rumus yang digunakan yaitu :

Keterangan:

: reliabilitas instrumen : jumlah objek yang diamati : beda peringkat pengamat 1 dan 2

(Sugiyono, 2006: 229)

3.5

Hasil Uji Coba Instrumen

3.5.1.Validitas Instrumen Penilaian Keterampilan Proses Sains

Instrumen yang telah disetujui para ahli diuji cobakan pada kelas uji

coba. Data yang telah ditabulasikan dilanjutkan dengan analisis faktor, yaitu

dengan mengkorelasikan antar skor item instrumen dengan menggunakan

rumus: ∑ (∑ ) ∑ √{ ∑ ∑ } { ∑ ∑ }

.

Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh:

1) Koefisien korelasi antara X1 dengan Y (ry1) = 0,733392

2) Koefisien korelasi antara X2 dengan Y (ry2) = 0,351835

(51)

Karena ry1, ry2, dan ry3 ≥ 0,3 maka instrumen lembar observasi dapat

dikatakan memiliki konstruk yang kuat.

Validitas butir didapat dengan menghitung korelasi antara skor butir

dengan skor total (Y). Sesuai jumlah butir, maka ada 18 koefisien korelasi

yang perlu dihitung. Bila harga korelasi dibawah 0,30 maka dapat

disimpulkan bahwa butir instrumen tersebut tidak valid sehingga harus

diperbaiki (Sugiyono, 2009: 179).

Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh nomor butir 5, 8, 12, 14

dan 15 memiliki koefisien korelasi < 0,3 sehingga dinyatakan tidak valid.

Butir yang tidak valid ini diperbaiki karena mewaliki indikator KPS yang

diajarkan.

3.5.2.Reliabilitas Instrumen Penilaian Keterampilan Proses Sains

Pengujian reliabilitas lembar observasi menggunakan pengujian

reabilitas Raters dengan tiga observer (Mardapi, 2000: 18). Setelah

dilakukan analisis data terhadap nilai KPS pada kelas uji coba, diketahui

reliabilitas untuk seorang rater atau observer sebesar 0,704083 dan

reliabilitas dari tiga observer sebesar 0,92246. Dengan α = 5% pada n = 36,

diperoleh rtabel = 0,32. Nilai rhitung ≥ rtabel sehingga dapat dikatakan bahwa

instrumen sudah reliabel. Reliabilitas raters menunjukkan kesepahaman

antar tiga observer sehingga dengan menggunakan instrumen ini hasil

(52)

3.5.3.Reliabilitas Instrumen Penilaian Kognitif

Penilaian dalam ranah kognitif menggunakan soal essay. Reliabilitas

instrumen dihitung dengan menggunakan Cronbach Alpha.

Data yang diperoleh ditabulasikan kemudian dihitung dengan rumus

reliabilitas Cronbach-Alpha. Hasil perhitungan pada α=5% dengan n=36

diperoleh rhitung = 0,794. Karena rhitung > 0,6 jadi instrumen reliabel.

3.5.4 Reliabilitas Instrumen Penilaian Afektif

Reliabilitas untuk instrumen lembar observasi afektif menggunakan

rumus Spearman Rank yaitu dengan pemberian rangking pada variabel yang

akan diukur. Perhitungan menunjukkan rho hitung=0,556. Nilai rho hitung >

0,399 sehingga lembar pengamatan reliabel dan terjadi kesepakatan antara

pengamat I dan II.

3.6

Analisis Data

Analisis data digunakan untuk mengolah data yang diperoleh setelah

mengadakan penelitian, sehingga didapat suatu kesimpulan tentang keadaan

yang sebenarnya dari obyek yang diteliti. Analisis data yang digunakan pada

penelitian ini adalah sebagai berikut:

3.6.1.Uji Normalitas Nilai Keterampilan Proses Sains Siswa

Uji kenormalan dilakukan untuk mengetahui apakah data

berdistribusi normal atau tidak sehingga langkah selanjutnya tidak

menyimpang dari kebenaran dan dapat dipertanggungjawabkan. Uji statistik

(53)

(Sudjana, 2005: 273)

Keterangan :

X2 = chi kuadrat

Oi = frekuensi hasil pengamatan Ei = frekuensi yang diharapkan K = banyaknya kelas

Harga X2hitung yang diperoleh dikonsultasikan dengan X2tabel dengan

taraf signifikan 5% dan derajat kebebasan (dk) = k – 3. Data berdistribusi

normal jika X2hitung < X2tabel (Sudjana, 2005: 273).

Setelah perhitungan diketahui bahwa data berdistribusi normal,

maka dilakukan uji statistika parametrik.

3.6.2.Uji Peningkatan Nilai Keterampilan Proses Sains Siswa

Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui apakah nilai KPS siswa

telah mengalami peningkatan secara signifikan. Rumus yang digunakan

sebagai berikut:

√ ⁄

(Sugiyono, 2010: 96)

Keterangan:

Sd = standar deviasi n = banyaknya siswa B = selisih rata-rata

Hipotesis yang diuji dalam analisis ini yaitu :

(54)

Ha : µ2≥ µ1 (nilai KPS meningkat secara signifikan)

Melalui uji pihak kiri, apabila thitung > ttabel dengan dk = n-1, maka

peningkatan nilai keterampilan proses sains siswa signifikan atau berarti.

3.6.3.Analisis Presentase Peningkatan Nilai Keterampilan Proses Sains Siswa

Analisis ini bertujuan untuk mengetahui presentase peningkatan

nilai KPS siswa dari siklus I ke siklus II, dihitung dengan rumus berikut ini:

Keterangan:

= rata-rata nilai KPS siswa siklus I

= rata-rata nilai KPS siswa siklus II

3.6.4.Kategorisasi Nilai Keterampilan Proses Sains Siswa

Nilai KPS siswa dikonversikan pada skala 0 – 100 terlebih dahulu

dengan rumus sebelum nilai dikategorisasi:

(Sudjana, 2005: 47)

Kemudian nilai yang sudah dikonversikan, dikategorisasi sesuai ketentuan

[image:54.595.248.407.633.717.2]

pada Tabel 3.6.

Tabel 3.6 Ketentuan Kategori Nilai KPS Siswa

Rentang Nilai Kategori

85 ≤ x Sangat Baik

(55)

3.6.4 Analisis Ketercapaian Indikator Keberhasilan

Analisis ini bertujuan untuk mengetahui presentase ketercapaian

klasikal (keberhasilan kelas). Rumus yang digunakan untuk mengetahui

presentase ketercapaian indikator keberhasilan yaitu:

Keterangan:

n = jumlah seluruh siswa

X = jumlah siswa

(Anonim dalam Melly, 2009: 40)

3.7

Indikator Kinerja

Indikator kinerja dalam penelitian tindakan kelas ini adalah lebih dari

sama dengan 70% dari jumlah siswa kelas XI IPA 1 mendapat nilai

keterampilan proses sains siswa dalam kategori minimal baik. Hal ini berarti

minimal 22 dari 36 siswa kelas XI IPA 1 mendapat nilai keterampilan

proses sains lebih dari sama dengan 75.

3.8

Prosedur Tindakan

Prosedur penelitian tindakan kelas pada penelitian ini didasarkan pada

pendekatan yang dikembangkan oleh Lewin yang terdiri atas perencanaan,

tindakan, pengamatan, dan refleksi (Arikunto, 2006: 92). Adapun rancangan

(56)
[image:56.595.139.564.105.467.2]

Gambar 3.1 Urutan Pelaksanaan PTK

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan

dalam dua siklus dimana setiap siklus terdiri atas empat langkah yaitu

perencanaan (planning), tindakan (acting), pengamatan (observing), dan

refleksi (reflecting). Berikut penjelasan mengenai empat tahap tersebut:

1. Perencanaan (Planning)

Langkah perencanaan merupakan skenario yang dilakukan untuk

melakukan tindakan, dimana di dalamnya dilakukan kolaborasi antara

peneliti dengan guru pengampu. Perencanaan tindakan meliputi

pembuatan RPP, persiapan bahan ajar, persiapan media pembelajaran,

dan instrumen penilaian.

Observasi Permasalahan Perencanaan

Tindakan

Pengamatan

Refleksi Perencanaan

Tindakan

Pengamatan

Refleksi

Siklus I

(57)

2. Tindakan (Acting)

Langkah tindakan merupakan implementasi dari apa yang telah

direncanakan. Dalam penelitian ini tindakan untuk tiap siklus adalah

mengajarkan keterampilan praktikum sebagai keterampilan proses sains

dengan model pembelajaran discovery learning dengan scientific

approach.

3. Pengamatan (Observing)

Pelaksanaan tindakan dan pengamatan dilakukan secara bersamaan, dan

pengamatan dilakukan oleh tiga pengamat untuk menghindari

subjektivitas. Pengamatan dilakukan dengan instrumen lembar

observasi beserta panduan penilaian.

4. Refleksi (Reflecting)

Langkah refleksi merupakan langkah dimana pada tahap ini dianalisis

kemajuan keterampilan proses sains siswa dan kendala-kendala yang

muncul ketika dilaksanakan tindakan untuk perbaikan pada siklus

(58)

46

BAB 4

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1

Hasil Penelitian

Penelitian tindakan kelas ini terlaksana dalam dua siklus dan

dilakukan pada 6 Mei 2014 sampai 30 Mei 2014 pada materi koloid.

Berdasarkan hasil penelitian, peneliti memperoleh data hasil penelitian

berupa angka-angka yang dianalisis untuk mengetahui ada atau tidaknya

peningkatan KPS siswa setelah model pembelajaran discovery learning

dengan scientific approach diterapkan dalam pembelajaran. Data-data

tersebut meliputi hasil observasi KPS siswa, hasil tes kognitif, dan hasil

observasi afektif yang dilaksanakan selama penelitian.

4.1.1 Pra-penelitian

Penelitian ini diawali dengan kegiatan pra-penelitian sebelum masuk

ke siklus I. Kegiatan pra-penelitian bertujuan untuk mengetahui masalah

belajar siswa secara spesifik. Kolaborasi dengan guru pengampu dilakukan

dalam kegiatan ini karena guru pengampu merupakan pihak yang paling

mengetahui keadaan siswa.

Identifikasi masalah belajar siswa dilakukan melalui dokumentasi

nilai, observasi,

Gambar

Tabel
Tabel 2.1 Indikator dan Sub-indikator KPS
Tabel 2.2 Perbandingan Sifat Larutan, Koloid, dan Suspensi
Tabel 2.3 Jenis-jenis Sistem Koloid
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penerapan model pembelajaran Project Based Learning dengan metode Eksperimen dalam penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan proses sains siswa yang

meningkatkan keterampilan proses sains siswa kelas XI IPA SMA Kristen Petra Malang melalui modul pembelajaran biologi berbasis Home Science Process Skill (HSPS)

Penerapan Model Pembelajaran Process Oriented Guided Inquiry Learning Untuk Meningkatkan Kemampuan Kognitif Dan Keterampilan Proses Sains Siswa SMA. Universitas Pendidikan Indonesia

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) penerapan model discovery learning untuk meningkatkan keterampilan bertanya siswa kelas VII pada mata pelajaran SKI

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa LKS berbasis discovery learning untuk meningkatkan keterampilan proses sains pada materi

Lembar Kegiatan Siswa (LKS) berbasis model discovery learning pada materi getaran dan gelombang untuk melatihkan keterampilan proses sains dinyatakan layak

Lembar Kegiatan Siswa (LKS) berbasis model discovery learning pada materi getaran dan gelombang untuk melatihkan keterampilan proses sains dinyatakan layak

Hasil penelitian menunjukkan bahwa model pembelajaran Scientific Inquiry lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran konvensional dalam meningkatkan keterampilan proses