• Tidak ada hasil yang ditemukan

Warung Kopi Sebagai Sarana Komunikasi Dan Sumber Informasi Bagi Profesi Wartawan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Warung Kopi Sebagai Sarana Komunikasi Dan Sumber Informasi Bagi Profesi Wartawan"

Copied!
194
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh

NOVITAYANI 127045005

M A G I S T E R I L M U K O M U N I K A S I FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar

Magister Ilmu Komunikasi dalam Program Magister Ilmu

Komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara

Oleh

NOVITAYANI 127045005

MAGISTER ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : WARUNG KOPI SEBAGAI SARANA KOMUNIKASI DAN SUMBER INFORMASI BAGI PROFESI

WARTAWAN Nama Mahasiswa : Novitayani Nomor PPokok : 127045005 Program Studi : Ilmu Komunikasi

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Ketua, Anggota,

(Drs. Amir Purba, M.A., Ph.D) (Drs. Hendra Harahap, M.Si) NIP. 1951021987011001 NIP. 196710021994031002

Ketua Program Studi, Dekan,

(Dra. Lusiana Andriani Lubis, M.A., Ph.D) (Prof. Dr. Badaruddin, M.Si) NIP. 196704051990032002 NIP. 196805251992031002

(4)

LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS

Telah diuji pada

Tanggal: 29 Agustus 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dra. Lusiana Andriani Lubis, M.A., Ph.D. Anggota : 1. Drs. Amir Purba, M.A., Ph.D.

2. Drs. Hendra Harahap, M.Si.

(5)

PERNYATAAN

WARUNG KOPI SEBAGAI SARANA KOMUNIKASI DAN SUMBER INFORMASI BAGI PROFESI WARTAWAN

Dengan ini penulis menyatakan bahwa:

1. Tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister pada Program Magister Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara benar merupakan hasil karya peneliti sendiri. 2. Tesis ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar

akademik (sarjana, magister dan/atau doktor), baik di Universitas Sumatera Utara maupun di perguruan tinggi lain.

3. Tesis ini adalah murni gagasan, rumusan dan penelitian saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Komisi Pembimbing dan masukan Tim Penguji.

4. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

5. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian tesis ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang penulis sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, 29 Agustus 2014 Penulis,

(6)

COFFEE SHOP AS COMMUNICATION MEDIA AND

AS A PLACE FOR SOURCE OF INFORMATION

FOR JOURNALISTS

ABSTRACT

This study, entitled "Coffee Shop as Communication Media and as a Place for Source of Information for Journalists", a qualitative study with a constructivist approach regarding construction of reality a coffee shop for journalists at Corner Coffee Shop, Lhokseumawe, Aceh. The objectives of this study is to determine the meaning of a coffee shop for journalists, to get to know the factors behind journalists presence at the coffee shop, to get to know the functions and role of the coffee shop for journalists.

The theories that are used as a guide in this study is Symbolic Interactionism, Phenomenology, Social Construction Theory, Interpersonal Communication, Facts, Mass Media, News, Journalists and Audiences seen from constructionist paradigm and Journalist Professionalism. Informants in this study were three people who worked as a journalist, one person is the additional informant and one person as key informant, which is an anthropologist. Data collection techiques in this study was in-depth interview, observation and documentation study, while data analysis techniques using an interactive model of Miles and Huberman through three concurrent activities: data reduction, data presentation and conclusion (verification).

The results showed that the coffee shop as a social reality interpreted as a center of information and media of communication appropriate to the journalist. The presence of journalists at a coffee shop motivated by motives, experiences and social values. The presence of journalists in coffee shops can support the roles and duties as searcher, collector and transmitter of public information, as well as a media which connects the grassroots level with the government. Coffee shop is not just a place to drink some coffee, a cozy place to refreshing and entertaining. Coffee shop has become a public space that can open up opportunities for people to discuss about social issues freely and openly.

(7)

WARUNG KOPI SEBAGAI SARANA KOMUNIKASI DAN

SUMBER INFORMASI BAGI PROFESI WARTAWAN

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul “Warung Kopi Sebagai Sarana Komunikasi dan Sumber Informasi Bagi Profesi Wartawan”, studi kualitatif dengan pendekatan konstruktivis mengenai konstruksi realitas warung kopi bagi profesi wartawan di Warung Kopi Corner Coffee, Kota Lhokseumawe. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui makna warung kopi bagi wartawan, mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi keberadaan wartawan di warung kopi dan mengetahui fungsi dan peran warung kopi bagi profesi wartawan.

Teori-teori yang digunakan sebagai pedoman dalam penelitian ini adalah Interaksionisme Simbolik, Fenomenologi, Teori Konstruksi Sosial, Komunikasi Antar Pribadi, Fakta, Media Massa, Berita, Wartawan dan Khalayak dilihat dari Paradigma Konstruksionis serta Profesionalisme Wartawan. Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah sebanyak tiga orang wartawan, satu orang informan tambahan perwakilan dari media dan satu orang informan kunci

(key informant), yakni seorang Antropolog. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan wawancara mendalam, observasi dan studi dokumentasi, sedangkan teknik analisis data menggunakan model interaktif Miles dan Huberman melalui tiga kegiatan yang bersamaan yaitu: reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan (verifikasi).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa warung kopi sebagai realitas sosial dengan berbagai fasilitas yang disediakannya dimaknai sebagai pusat informasi dan sarana komunikasi yang memadai bagi profesi wartawan. Keberadaan wartawan di warung kopi dilatarbelakangi oleh motif, pengalaman dan nilai sosial yang dimilikinya. Keberadaan para wartawan di warung-warung kopi dapat mendukung peran dan tugasnya sebagai pencari, pengumpul dan penyampai informasi publik, disamping sebagai perpanjangan tangan yang menghubungkan masyarakat akar rumput (grassroot) dengan pihak penguasa (pemerintah) sebagai bentuk demokratisasi publik. Warung kopi tidak hanya sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan akan konsumsi kopi, bersantai, mencari hiburan dan melepas lelah, namun telah menjadi sejenis ruang publik yang dapat membuka peluang bagi masyarakat untuk mendiskusikan permasalahan sosial kemasyarakatan secara bebas dan terbuka.

(8)

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan berkah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

Selama melakukan penelitian dan penulisan tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan moril dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H, M.Sc, (CTM), Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dra. Lusiana Andriani Lubis, M.A., Ph.D, selaku Ketua Magister Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Drs. Amir Purba, M.A., Ph.D, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam penulisan tesis ini.

5. Bapak Drs. Hendra Harahap, M.Si, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam penulisan tesis ini.

(9)

7. Bapak Drs. Safrin, M.Si, selaku Komisi Pembanding atas saran dan kritik yang diberikan.

8. Kedua Orang Tua dan Keluarga yang telah memberikan dukungan moril kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini.

9. Para Informan yang telah bekerjasama dengan baik dalam memberikan informasi yang dibutuhkan selama proses penelitian ini berlangsung. 10. Semua pihak yang telah membantu peneliti dalam urusan administrasi

maupun masalah teknis di lapangan selama menyelesaikan tesis ini.

Penulis menyadari tesis ini masih banyak memiliki kekurangan dan jauh dari sempurna. Namun harapan penulis semoga tesis ini dapat bermanfaat kepada seluruh pembaca. Semoga kiranya Tuhan yang Maha Esa melindungi kita semua. Amin.

Medan, 29 Agustus 2014 Penulis,

(10)

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN

LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS ...iii

LEMBAR PERNYATAAN ...iv 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Fokus Masalah ... 7

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Paradigma Penelitian ... 9

2.2. Penelitian Sejenis Terdahulu ... 13

2.3. Teori Interaksionisme Simbolik ... 26

2.4. Fenomenologi ... 28

2.5. Teori Konstruksi Sosial ... 32

2.6. Komunikasi Antar Pribadi ... 34

2.7. Fakta, Media Massa, Berita, Wartawan dan Khalayak Dilihat dari Paradigma Kontruksionis ... 37

2.7.1. Fakta/peristiwa dalam pandangan paradigma konstruksionis ... 38

2.7.2. Media massa dalam pandangan paradigma konstruksionis ... 38

2.7.3. Berita dalam pandangan paradigma konstruksionis ... 39

2.7.4. Wartawan dalam pandangan paradigma konstruksionis ... 40

(11)

3.3.1.3. Kondisi demografi... 58

3.3.1.4. Warung Kopi Corner Coffee ... 59

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 60

3.5. Metode Analisis Data ... 63

3.6. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ... 65

BAB IV TEMUAN PENELITIAN 4.1. Proses Penelitian ... 68

4.2. Temuan Penelitian ... 71

4.2.1. Informan 1: Zainal Bakri ... 72

4.2.2. Informan 2: Hasan Basri ... 97

4.2.3. Informan 3: Jeffry Tamara ... 104

4.2.4. Informan Tambahan: Saiful Bahri ... 110

4.2.5. Informan Kunci (Key Informant): Teuku Kemal Fasya ... 112

BAB V PEMBAHASAN 5.1. Wartawan dan Warung Kopi ... 121

5.2. Wartawan dan Profesi ... 133

5.3. Wartawan dan Organisasi Media ...143

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan ... 152

6.2. Saran ... 153

DAFTAR PUSTAKA ... 155

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel Hal

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Hal

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Dokumentasi penelitian 2. Pedoman wawancara

(15)

COFFEE SHOP AS COMMUNICATION MEDIA AND

AS A PLACE FOR SOURCE OF INFORMATION

FOR JOURNALISTS

ABSTRACT

This study, entitled "Coffee Shop as Communication Media and as a Place for Source of Information for Journalists", a qualitative study with a constructivist approach regarding construction of reality a coffee shop for journalists at Corner Coffee Shop, Lhokseumawe, Aceh. The objectives of this study is to determine the meaning of a coffee shop for journalists, to get to know the factors behind journalists presence at the coffee shop, to get to know the functions and role of the coffee shop for journalists.

The theories that are used as a guide in this study is Symbolic Interactionism, Phenomenology, Social Construction Theory, Interpersonal Communication, Facts, Mass Media, News, Journalists and Audiences seen from constructionist paradigm and Journalist Professionalism. Informants in this study were three people who worked as a journalist, one person is the additional informant and one person as key informant, which is an anthropologist. Data collection techiques in this study was in-depth interview, observation and documentation study, while data analysis techniques using an interactive model of Miles and Huberman through three concurrent activities: data reduction, data presentation and conclusion (verification).

The results showed that the coffee shop as a social reality interpreted as a center of information and media of communication appropriate to the journalist. The presence of journalists at a coffee shop motivated by motives, experiences and social values. The presence of journalists in coffee shops can support the roles and duties as searcher, collector and transmitter of public information, as well as a media which connects the grassroots level with the government. Coffee shop is not just a place to drink some coffee, a cozy place to refreshing and entertaining. Coffee shop has become a public space that can open up opportunities for people to discuss about social issues freely and openly.

(16)

WARUNG KOPI SEBAGAI SARANA KOMUNIKASI DAN

SUMBER INFORMASI BAGI PROFESI WARTAWAN

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul “Warung Kopi Sebagai Sarana Komunikasi dan Sumber Informasi Bagi Profesi Wartawan”, studi kualitatif dengan pendekatan konstruktivis mengenai konstruksi realitas warung kopi bagi profesi wartawan di Warung Kopi Corner Coffee, Kota Lhokseumawe. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui makna warung kopi bagi wartawan, mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi keberadaan wartawan di warung kopi dan mengetahui fungsi dan peran warung kopi bagi profesi wartawan.

Teori-teori yang digunakan sebagai pedoman dalam penelitian ini adalah Interaksionisme Simbolik, Fenomenologi, Teori Konstruksi Sosial, Komunikasi Antar Pribadi, Fakta, Media Massa, Berita, Wartawan dan Khalayak dilihat dari Paradigma Konstruksionis serta Profesionalisme Wartawan. Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah sebanyak tiga orang wartawan, satu orang informan tambahan perwakilan dari media dan satu orang informan kunci

(key informant), yakni seorang Antropolog. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan wawancara mendalam, observasi dan studi dokumentasi, sedangkan teknik analisis data menggunakan model interaktif Miles dan Huberman melalui tiga kegiatan yang bersamaan yaitu: reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan (verifikasi).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa warung kopi sebagai realitas sosial dengan berbagai fasilitas yang disediakannya dimaknai sebagai pusat informasi dan sarana komunikasi yang memadai bagi profesi wartawan. Keberadaan wartawan di warung kopi dilatarbelakangi oleh motif, pengalaman dan nilai sosial yang dimilikinya. Keberadaan para wartawan di warung-warung kopi dapat mendukung peran dan tugasnya sebagai pencari, pengumpul dan penyampai informasi publik, disamping sebagai perpanjangan tangan yang menghubungkan masyarakat akar rumput (grassroot) dengan pihak penguasa (pemerintah) sebagai bentuk demokratisasi publik. Warung kopi tidak hanya sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan akan konsumsi kopi, bersantai, mencari hiburan dan melepas lelah, namun telah menjadi sejenis ruang publik yang dapat membuka peluang bagi masyarakat untuk mendiskusikan permasalahan sosial kemasyarakatan secara bebas dan terbuka.

(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Warung kopi adalah tempat yang mudah dijumpai hampir di seluruh wilayah belahan dunia, mulai dari warung kopi tradisional sampai kepada warung kopi modern sekelas Starbucks. Kebiasaan minum kopi dan menghabiskan waktu di warung kopi sambil menikmati berbagai fasilitas yang tersedia seakan telah menjadi gaya hidup bagi berbagai kalangan dari berbagai profesi dan generasi di dunia. Dewasa ini, warung kopi tidak hanya menyediakan minuman kopi dengan cita rasa yang nikmat, namun juga berbagai fasilitas seperti free Wi-Fi, TV satelit, layar lebar untuk menonton pertandingan sepak bola dunia, ruang pertemuan, live music dan lain sebagainya.

Sejumlah penelitian di belahan dunia bahkan melihat fenomena warung kopi ini sebagai “tempat ketiga” setelah rumah dan kantor, sebagai sebuah

institusi yang memungkinkan interaksi sosial terjadi di dalamnya. Di samping itu, pertumbuhan dari sebuah organisasipun melihat adanya keuntungan yang diperoleh dari fenomena “tempat ketiga” ini terhadap peluang dan keuntungan bagi hubungan sebuah organisasi dengan para karyawannya dalam melihat kebutuhan publik (Crick, 2011:63-77).

Starbucks sebagai warung kopi kelas dunia bahkan mendominasi konsumsi kopi di Taiwan dan melayani sebagai “tempat ketiga” bagi

(18)

konsumen, Starbucks telah mempengaruhi budaya minum kopi lebih daripada sekedar percakapan dari mulut ke mulut, melainkan telah menjadi gaya hidup dan memiliki hubungan yang signifikan dengan kegiatan mengkonsumsi kopi (Lin, 2012:119-128). Sementara Robinson dan Deshano (2011:642-657) melihat fenomena orang-orang yang terlibat dalam situs-situs berita lokal berusaha mencapai perasaan masyarakat dengan memanfaatkan “tempat ketiga” khas Amerika yakni warung kopi, perpustakaan dan titik-titik

pertemuan masyarakat lainnya. Para jurnalis warga (citizen journalists)

berupaya untuk memenuhi kebutuhannya akan pemberdayaan atas informasi dan koneksi komunal lokal dalam keterlibatannya terhadap situs berita lokal dan blog online.

Rosenbaum (2006:59-72) menggambarkan bagaimana dan mengapa “tempat ketiga” seperti warung kopi dan bar menjadi bermakna dalam

kehidupan para pelanggannya. Penelitian menunjukkan bahwa beberapa pelanggan mengunjungi “tempat ketiga” ini tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi mereka, tetapi juga memenuhi kebutuhan mereka akan persahabatan dan dukungan emosional. Kebutuhan-kebutuhan yang lazim dilakoni oleh para pelanggan berusia tua, yang sering mengalami kerenggangan pada hubungan sosial mereka. Oleh karena itu, pelanggan tersebut bisa berpaling kepada “persahabatan komersial” mereka di “tempat

(19)

Fenomena minum kopi dan menghabiskan waktu di warung kopi ini juga telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia. Berkembangnya warung-warung kopi dengan merk lokal di Indonesia pun kian marak dari tahun ke tahun. Di Aceh misalnya, kehadiran warung kopi di Aceh sangat terkait dengan sejarah perkembangan Aceh itu sendiri. Ketika Kesultanan Aceh berkembang, mereka kerap kali berkomunikasi dan menjalin kerjasama dengan Kesultanan Ottoman yang sekarang telah menjadi negara Turki. Bahkan hubungan dengan Turki ini sudah terjalin sejak pertengahan abad ke-16 (Said, 1981:182).

(20)

Warung kopi pun kini tak lagi sekedar tempat minum kopi. Banyak peristiwa penting berawal dari sebuah meja warung kopi, seperti penggalangan dana bagi korban bencana, sosialisasi kebijakan aparatur pemerintah seperti program “Saweu Keude Kupi (Pulang ke warung kopi)”

yang merupakan program Polda Aceh dalam mensosialisasikan program tertib lalu lintas dan sadar hukum, terbentuknya sebuah komunitas pers yang bernama Persatuan Wartawan Aceh (PWA) pada tanggal 15 Juni 2007 di warung kopi Caf Elit Jl. T. Hamzah Bendahara, Lhokseumawe oleh sejumlah wartawan, lahirnya Komunitas Wartawan Peduli Bencana (KWPB) pada awal tahun 2014 (YD, 2014) dan lain sebagainya.

Terjadinya beragam pemaknaan makna warung kopi yang ada pada saat ini, tidak terlepas dari bagaimana proses komunikasi itu terjadi. Hal ini erat kaitannya dengan konstruksi makna yang dibentuk oleh masyarakat dalam hal ini pelanggan warung kopi itu sendiri. Dalam sebuah penelitian, Citra Abadi (2013:3) menyebutkan bahwa:

“Dalam memaknai suatu hal, individu memerlukan suatu dasar yang dijadikan sebagai sebuah nilai dalam mendorong individu untuk mengkonstruksi sebuah makna. Dengan adanya nilai yang dijadikan sebagai pedoman untuk memaknai realitas, nilai tersebut akan mempengaruhi individu dalam bertindak ke depannya. Interpretasi yang dilakukan oleh individu, memunculkan sebuah motif dalam diri individu”

(21)

Berdasarkan hasil pra penelitian dalam bentuk observasi yang dilakukan terhadap para pengunjung di warung-warung kopi di Kota Lhokseumawe, peneliti mengamati bahwa ada begitu banyak pengunjung dari berbagai latar belakang yang berbeda mengunjungi warung kopi tersebut. Di beberapa warung kopi bahkan tampak dengan jelas sangat didominasi oleh kalangan-kalangan tertentu, seperti wartawan, PNS dan para mahasiswa. Pada penelitian ini peneliti memilih salah satu dari kelompok-kelompok dominan tersebut untuk menjadi fokus, yakni pada profesi wartawan saja. Hal ini dikarenakan kelompok profesi wartawan yang merupakan bagian dari pers ini memiliki kemerdekaan untuk mencari dan menyampaikan informasi sangat penting untuk mewujudkan hak masyarakat untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi.

(22)

Salah satu syarat yang dituntut oleh masyarakat modern terhadap pers adalah media harus menyajikan “pemberitaan yang benar, komprehensif dan

cerdas”. Media dituntut untuk selalu akurat dan tidak boleh berbohong. Fakta

harus disajikan sebagai fakta dan pendapat harus dikemukakan murni sebagai pendapat. Hal yang berbeda terjadi dalam masyarakat sederhana, kebenaran akan dicari dengan cara membandingkan pemberitaan media dengan informasi dari sumber-sumber lain. Namun dalam masyarakat modern, isi media merupakan sumber informasi dominan, sehingga media lebih dituntut untuk menyajikan berita yang benar (Rivers et al., 2003:105). Demikian pula halnya dengan masyarakat Aceh yang masih tergolong ke dalam masyarakat sederhana, sehingga kebenaran masih akan dicari dengan cara membandingkan pemberitaan media dengan informasi dari sumber-sumber lain, dalam hal ini warung kopi.

Pada penelitian ini, peneliti ingin melihat bagaimana keberadaan para wartawan di warung-warung kopi menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai wartawan dalam mencari, mengumpulkan dan menyampaikan informasi kepada khalayak melalui sebuah sarana, yaitu warung kopi. Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah sebanyak 3 (tiga) orang wartawan dengan mempertimbangkan data jenuh (saturated data) yang diperoleh di lapangan.

(23)

hasil penelitian, peneliti juga akan mewawancarai seorang informan perwakilan dari media dan Antropolog yang bertindak sebagai informan kunci yang akan memberikan gambaran secara menyeluruh perihal dinamika warung kopi Aceh secara umum dan kaitannya dengan profesi wartawan secara khusus.

1.2. Fokus Masalah

Berdasarkan data yang telah diperoleh peneliti dalam melakukan penelitian, maka peneliti menemukan fenomena dari realitas warung kopi bagi profesi wartawan, sehingga dapat menetapkan fokus pada penelitian ini yaitu pada bagaimana profesi wartawan memaknai realitas warung kopi di Warung Kopi Corner Coffee Kota Lhokseumawe?

1.3. Tujuan Penelitian

1) Mengetahui makna warung kopi bagi wartawan.

2) Mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi keberadaan wartawan di warung kopi.

3) Mengetahui fungsi dan peran warung kopi bagi wartawan.

1.4. Manfaat Penelitian

(24)

proses komunikasi dan interaksi sosial dan dapat menjadi bahan rujukan bagi penelitian-penelitian selanjutnya.

(25)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Paradigma Penelitian

Paradigma adalah gambaran fundamental mengenai masalah pokok dalam ilmu tertentu. Paradigma membantu dalam menentukan apa yang mesti dikaji, pertanyaan apa yang mestinya diajukan, bagaimana cara mengajukannya dan apa aturan yang harus diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperoleh. Paradigma adalah unit konsensus terluas dalam bidang ilmu tertentu dan membantu membedakan satu komunitas ilmiah (atau subkomunitas) tertentu dari komunitas ilmiah yang lain. Paradigma menggolongkan, menetapkan dan menghubungkan eksemplar, teori, metode dan instrumen yang ada di dalamnya (Ritzer dan Goodman, 2008:A-13).

(26)

konsensus umum. Teoritisi konflik cenderung menekankan kekacauan antara fakta sosial dan gagasan mengenai keteraturan dipertahankan melalui kekuatan yang memaksa dalam masyarakat.

Max Weber dalam Ritzer dan Goodman (2008:A-16) menjelaskan bahwa Paradigma Definisi Sosial ini mempelajari cara aktor mendefinisikan situasi sosial mereka dan dalam mempelajari pengaruh definisi situasi sosial ini terhadap tindakan dan integrasi berikutnya. Observasi adalah metode khusus penganut paradigma definisi sosial. Ada sejumlah besar teori yang dapat dimasukkan ke dalam paradigma ini: Teori Tindakan, Interaksionisme Simbolik, Fenomenologi, Etnometodologi dan Eksistensialisme. Paradigma definisi sosial memusatkan perhatian pada tindakan, interaksi dan konstruksi sosial dari realitas. Realitas sosial dilihat sebagai fenomena sosial yang sangat beraneka ragam yang meliputi interaksi dan perubahan yang berlangsung terus-menerus.

B.F. Skinner dalam Ritzer dan Goodman (2008:A-15) menjelaskan bahwa perhatian utama penganut paradigma perilaku sosial tertuju pada hadiah (rewards) yang menimbulkan perilaku yang diinginkan dan hukuman

(punishments) yang mencegah perilaku yang tak diinginkan. Metode khusus paradigma ini adalah eksperimen.

(27)

fakta sosial yaitu tindakan yang menggambarkan struktur dan pranata sosial. Tindakan manusia adalah hasil interaksinya dengan orang lain dalam lingkungannya.

Pandangan sebagaimana tersebut di atas sejalan dengan pendekatan interpretif/konstruktivisme yang melihat kebenaran sebagai sesuatu yang subjektif dan diciptakan oleh partisipan. Dalam hal ini, peneliti sendirilah yang bertindak sebagai salah satu partisipan. Pada pendekatan ini terdapat lebih sedikit penekanan penekanan pada objektivitas karena sifat objektif yang mutlak sangat tidak mungkin. Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa penelitian pada tradisi ini harus bergantung pada apa yang dikatakan oleh partisipan tanpa ada penilaian di luar diri peneliti (West dan Turner, 2009:75)

(28)

Asumsi dasar kalangan konstruktivisme menyatakan bahwa kebenaran tidak hanya dapat diukur dengan indra semata. Ada kebenaran yang dapat ditangkap dari pemaknaan manusia atas suatu fenomena yang tertangkap indra. Apabila membedah interpretivisme dalam sudut pandang filsafat berdasarkan aspek ontologis, epistemologis dan aksiologis, dapat dipertegas beberapa hal umum sebagai berikut. Secara ontologis, interpretivisme menuntut pendekatan holistik, menyeluruh: mengamati objek dalam konteks keseluruhan, tidak diparsialkan, tidak dieliminasi dalam variabel-variabel guna mendapat pemahaman lengkap apa adanya, karena objek tidak mekanistis melainkan humanistis. Secara epistimologis, interpretivisme menuntut menyatunya subjek dengan objek penelitian serta subjek pendukungnya, karenanya pula menuntut keterlibatan langsung peneliti di lapangan serta menghayati berprosesnya subjek pendukung penelitian. Secara aksiologis, penelitian tidak bebas nilai, karena memang tidak ada aspek sosial yang benar-benar bebas nilai (Vardiansyah, 2008:59-61).

(29)

Martin Hammersley dalam West dan Turner (2009:75), mendukung adanya realisme yang tidak kentara yang menyatakan bahwa peneliti

“memonitor berbagai asumsi dan inferensinya berdasarkan penilaian

mereka”. Pada realisme yang tidak kentara ini Hammersley berpendapat

bahwa penelitian dapat menemukan cara untuk menjadi cukup objektif. Dalam tradisi ini, peneliti percaya bahwa nilai-nilai sangat relevan dalam mengkaji komunikasi dan bahwa peneliti harus waspada terhadap nilai pribadinya dan ia harus menyatakannya secara jelas kepada pembacanya, karena niai-nilai akan secara alami masuk ke dalam penelitian. Peneliti-peneliti pada tradisi ini tidak terlalu mementingkan kontrol dan kemampuan untuk melakukan generalisasi ke banyak orang, melainkan mereka lebih tertarik untuk memberikan penjelasan yang kaya mengenai individu yang mereka teliti.

2.2. Penelitian Sejenis Terdahulu

Beberapa penelitian sejenis terdahulu juga pernah meneliti mengenai beberapa topik yang turut menjadi kajian dalam penelitian ini, sehingga dapat dijadikan sebagai bahan rujukan dan referensi bagi peneliti.

1) Penelitian yang dilakukan oleh Mark S. Rosenbaum dengan judul

“Exploring the Social Supportive Role of Third Places in Consumer’s

Lives”, Illinois University Tahun 2006 menggunakan metodologi

grounded theory. Penelitian ini menggambarkan bagaimana dan mengapa “tempat ketiga” seperti kedai kopi dan bar menjadi bermakna

(30)

bahwa beberapa pelanggan mendatangi kedai-kedai kopi dan bar tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi mereka, tetapi juga kebutuhan mereka akan persahabatan yang dapat memberikan dukungan secara emosional. Kebutuhan-kebutuhan seperti ini lazimnya hanya berlaku pada mereka dengan usia tua, dimana sering mengalami kerenggangan pada hubungan mereka. Oleh karena itu, para pelanggan bisa berpaling kepada sebuah “persahabatan komersial” mereka di

“tempat ketiga” seperti kedai kopi dan bar untuk memperoleh

dukungan.

Atas dasar kebutuhan dan memberikan kepuasan tersendiri, maka “tempat ketiga” ini dapat dilihat sebagai tempat dari sisi praktis, tempat

sebagai lokasi pertemuan dan tempat sebagai rumah. Data mengungkapkan bahwa dengan mengunjungi tempat-tempat tersebut secara rutin dapat membuat seseorang memperoleh peningkatan kualitas pada persahabatan, dukungan emosional dan loyalitas mereka. Gambaran ini pula yang akan dilihat oleh peneliti pada penelitian mengenai profesi wartawan dan warung kopi, bagaimana warung kopi dapat mendukung kebutuhan wartawan dari segi fisik maupun emosional.

2) Penelitian oleh Sue Robinson dan Cathy Deshano dengan judul

“Citizen Journalists and Their Third Places” Tahun 2011 berusaha

(31)

ketiga” bergaya Amerika, yakni sebuah istilah yang mengacu pada

kedai kopi, perpustakaan dan tempat-tempat pertemuan masyarakat lainnya. Tulisan ini berpendapat bahwa beberapa orang yang disebut sebagai “jurnalis warga” berusaha meningkatkan pemenuhan kebutuhan

mereka akan pemberdayaan informasi dan koneksi komunal lokal di saat mereka terlibat dalam situs berita lokal dan blog online. Penelitian ini juga turut menggali mengapa sebagian orang termotivasi meskipun bukan bagian dari kontributor situs-situs lokal tersebut. Empat hambatan yang ditemui adalah adanya persepsi penuh dari suatu kelompok sosial, otoritas atas informasi, kebingungan temporal dan ketidaknyamanan spasial antara dunia fisik dan virtual.

Penelitian Sue Robinson dan Cathy Deshano ini melihat peran para jurnalis warga dalam pemberdayaan informasi di situs berita lokal melalui tempat-tempat seperti warung kopi, perpustakaan dan tempat pertemuan lain, sementara peneliti ingin melihat bukan pada jurnalis warga, melainkan profesi wartawan pada sebuah media yang juga mengunjungi warung-warung kopi.

3) Penelitian oleh En-Ying Lin dengan judul “Starbucks as the Third

Place: Glimpses into Taiwan’s Consumer Culture and Lifestyles” tahun

2012 menemukan bahwa kedai kopi kelas dunia, Starbucks telah mendominasi konsumsi kopi pada masyarakat Taiwan, dimana Starbucks telah berfungsi sebagai “tempat ketiga” dalam kehidupan

(32)

mengeksplorasi faktor-faktor budaya pada konsumen serta hubungan gaya hidup dan konsumsi. Temuan menunjukkan bahwa dalam budaya konsumen, Starbucks telah mempengaruhi budaya percakapan dari mulut ke mulut di warung kopi, termasuk persoalan gaya hidup dan konsumsi kopi memiliki hubungan yang sangat signifikan. Jadi, faktor budaya disini perlu juga didalami dalam kaitannya dengan kebiasaan masyarakat tertentu mengunjungi warung kopi.

4) Anne P. Crick dalam sebuah penelitian di Tahun 2011 yang berjudul

“New Third Places: Opportunities and Challenges” membahas fenomena “tempat ketiga” sebagai sebuah institusi yang menyediakan

tempat bagi interaksi sosial di luar rumah dan kantor. Studi ini mengeksplorasi berbagai jenis “tempat ketiga” serta peluang dan tantangan yang ditawarkannya. Penelitian ini menyoroti pertumbuhan sebuah organisasi yang ingin mendapatkan keuntungan dari fenomena “tempat ketiga” dengan kesempatan untuk memperoleh keuntungan

(33)

Penelitian ini mengkaji hal yang sama dengan peneliti, yakni persoalan warung kopi dalam menciptakan peluang untuk berinteraksi, namun berbeda pada aspek kajian yang mengarah pada segi pemasaran dari warung kopi itu sendiri, yakni pada bagaimana menciptakan brand awareness pada generasi muda.

5) Neeti Gupta dan Keith N. Hampton dalam sebuah penelitian berjudul

“Grande Wi-Fi: Social Interaction in Wireless Coffee Shop” meneliti perihal interaksi dan komunitas masyarakat di warung kopi. Penelitian dilakukan di warung-warung kopi dengan fasilitas Wi-Fi gratis maupun berbayar di wilayah Boston dan Seattle. Penelitian dilakukan mulai dari Bulan Desember 2003 sampai dengan Bulan Maret 2004 dan menghabiskan 120 jam untuk mengobservasi warung-warung kopi tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa internet digunakan oleh para pengguna di warung-warung kopi tersebut untuk lingkaran sosial yang lebih kecil, sebagian bahkan berdampak pada aktivitas interpersonal dan jaringan sosial mereka. Penelitian ini juga turut mendukung penelitian sebelumnya oleh Robert Putnam, yang mengidentifikasikan bahwa tren sosial yang semakin maju ini turut menambah nilai privatisme, yakni sebuah kecenderungan dimana orang-orang lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah daripada di ruang-ruang publik atau tempat-tempat umum.

(34)

orang-orang di ruang-ruang publik, seperti warung kopi. Fasilitas Wi-Fi yang tersedia di warung-warung kopi turut memberikan kontribusi bagi masyarakat, jaringan sosial dan ikatan sosial yang menghubungkan manusia sebagai makhluk individu terhadap dukungan sosial di sekelilingnya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif.

Ada kelompok di warung kopi yang disebut sebagai “True Mobile” dan

“Place Maker”. Kelompok “True Mobile” adalah kelompok

orang-orang yang menghabiskan waktunya untuk memanfaatkan fasilitas internet dan Wi-Fi selama berada di warung kopi, teknologi baru ini sebagai pendukung aktivitas mereka dalam bekerja demi meningkatkan produktivitasnya. Kelompok ini jarang sekali terlibat dalam sebuah interaksi dengan orang lain di sekitarnya, kecuali rekan sekerja yang duduk dengannya. Kelompok “Place Maker” adalah kelompok yang pergi ke warung kopi untuk sekedar bersantai dan mencari hiburan di waktu luang. Biasanya mereka pergi ke warung kopi yang sama setiap harinya, bertemu dan berkomunikasi secara tatap muka dengan orang-orang di sekelilingnya dan menggunakan teknologi baru hanya sebagai pengikat hubungan sosial mereka saja. Umumnya kedua kelompok ini menghabiskan waktu 30 menit di setiap kunjungannya ke warung-warung kopi dan sebagian dari mereka bisa menghabiskan waktu 4-5 jam dalam setiap kunjungannya.

(35)

free Wi-Fi di warung kopi. Kategori ini nantinya dapat membantu peneliti mendapatkan gambaran masuk ke dalam kategori manakah dari informan dari peneliti.

6) Penelitian oleh Grant Blank dan Nicole Van Vooren yang berjudul

“Camping Out in the Coffee Shop World: A Sociological Analysis of

Coffee Shop Conventions”, American University menggunakan metode

penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa observasi dan wawancara. Penelitian ini meneliti tentang orang-orang yang disebut sebagai “Campers”atau “orang-orang yang berkemah” di dunia warung kopi. Para “Campers” ini bersosialisasi dengan pola-pola yang diterapkan di warung kopi, mencakup beberapa kegiatan yang bervariasi seperti: membaca buku atau surat kabar, menggunakan komputer, bekerja dan lain sebagainya. Para “Campers” ini bisa saja datang sendiri ke warung kopi tanpa ditemani oleh siapapun. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian orang merasa terpenuhi kebutuhan sosialnya dengan mengunjungi warung-warung kopi, sekalipun mereka pergi sendiri dan tidak terlibat percakapan dengan orang lain.

Penelitian ini menggambarkan pengunjung warung kopi yang disebut sebagai “Campers” yang menikmati dunianya di warung kopi, dengan

(36)

7) Fidagta Khoironi, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta Tahun 2009 dengan judul “Ekspresi Keberagaman Komunitas Warung

Kopi Blandongan di Yogyakarta” menemukan bahwa latar belakang

terciptanya komunitas warung kopi di Yogyakarta berawal dari hadirnya warung kopi itu sendiri. Bercorak nuansa kedaerahan dan cita rasa tradisional ternyata tidak menggeser eksistensinya di tengah-tengah kompleksitas kehidupan budaya modern dengan produk-produk lain seperti: Cheers Coffee Shop, Coffee Break dan Starbucks Coffee Shop. Fanatisme pelanggan Blandongan atas dasar kesenangan dan kenyamanan, pada akhirnya menciptakan komunitas penikmat kopi di dalamnya. Pada awalnya ngopi hanyalah sebentuk aktivitas mengisi waktu luang, tempat untuk istirahat dari kepenatan. Namun kemudian

ngopi menjadi sebuah gaya hidup. Komunitas lifestyle ini telah melahirkan sebuah subkultur baru yaitu komunitas Blandongan.

(37)

kultur Blandongan memiliki kecenderungan nilai dan norma yang identik dengan budaya modern. Budaya yang senantiasa toleran terhadap berbagai perbedaan yang ada. Atas dasar ini, peneliti nantinya juga ingin melihat dalam fenomena warung kopi Aceh apakah terdapat komunitas-komunitas serupa dan bagaimana mereka berinteraksi di dalam komunitas tersebut.

8) Penelitian tentang “Perkembangan Warung Kopi Phoenam 1946-2006”

yang dilakukan oleh Riswan Amri, Universitas Hasanuddin menyimpulkan bahwa Warung Kopi Phoenam kini berkembang bukan hanya sebatas tempat menyediakan kopi, namun telah berubah wajah dengan menjadi rumah kedua bagi para pengusaha, pejabat pemerintah, aktivis, politisi dan lain sebagainya, dikarenakan menikmati kopi di Warung Kopi Phoenam mewakili banyak aktivitas mulai dari negosiasi bisnis, tukar pikiran dalam pekerjaan, reuni dengan teman lama, sampai dengan berbincang-bincang formal (rapat) dan sebagainya. Pengelola Warung Kopi Phoenam telah menyediakan fasilitas ruang terbuka dan ruang tertutup yang terbilang eksklusif (VIP).

(38)

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, nantinya peneliti ingin menggali lebih dalam pada penelitian mengenai wartawan dan warung kopi ini untuk melihat keunikan apa yang dimiliki oleh warung kopi Aceh yang tidak dimiliki oleh warung kopi lainnya serta meneliti apakah ada bentuk kerjasama yang dilakukan dengan media lokal (Cth: radio) dan mengadakan acara talkshow live di warung kopi dengan mengangkat topik-topik tertentu, sehingga terbuka ruang untuk berdiskusi dengan pihak-pihak yang berkompeten di bidangnya.

9) Beberapa penelitian berikutnya yang menggunakan pendekatan fenomenologi dengan perspektif Teori Konstruksi Sosial Peter L. Berger dan Thomas Luckmann yaitu penelitian yang dilakukan oleh Faya Praditya Ridwan, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, yang berjudul “Konstruksi Makna Citizen Journalism

(39)

digunakan dalam pengumpulan data yaitu observasi, wawancara mendalam, analisis dokumen dan studi pustaka.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konstruksi makna citizen journalism oleh member program Wide Shot Metro TV diperoleh dari pengalaman dan pengetahuan baik sebelum maupun setelah bergabung dengan Wide Shot. Para member Wide Shot membangun makna citizen journalism berdasarkan motif, pemaknaan dan pengalaman mereka selama menjadi citizen journalist. Kesimpulan dari penelitian ini adalah (1) Motif yang dimiliki terdiri atas motif masa lalu (motif-karena) dan motif masa depan (motif-untuk) (2) Pemaknaan member mengenai

citizen journalism yaitu peduli terhadap perkembangan negara, kepedulian terhadap sesama manusia dan bentuk eksistensi diri (3) Pengalaman member selama menjadi citizen journalist terdapat tiga bagian, yaitu pengalaman komunikasi antara member citizen journalist

dengan narasumber, pengalaman suka dan pengalaman duka.

Hasil dalam penelitian ini menunjukkan bahwa setiap informan memiliki ke dua jenis motif yang disebutkan oleh Alfred Schutz yaitu

“because motive” dan “in order motive” dengan porsi yang

berbeda-beda. Berdasarkan hasil kajian terdahulu ini, peneliti ingin melihat

“because motive” dan “in order motive” dari profesi wartawan sebagai

pengunjung warung kopi.

(40)

Tattoo Bandung”, Jurusan Manajemen Komunikasi, Fakultas Ilmu

Komunikasi, Universitas Padjadjaran, Bandung Tahun 2012 menuangkan analisis konstruksi makna dan realitas sosial tato pada anggota komunitas Paguyuban Tattoo Bandung ke dalam model konstruksi makna. Peneliti menggunakan konsep fenomenologi transedental Husserl untuk melakukan analisis terhadap pembentukan makna secara mental pada ranah individu. Peneliti menggunakan fenomenologi Alfred Schutz untuk melakukan analisis terhadap faktor-faktor yang melatarbelakangi ketertarikan terhadap tato. Sedangkan untuk proses konstruksi makna dan realitas tato secara sosial, peneliti menggunakan konsep Berger dan Luckmann tentang konstruksi realitas secara sosial.

(41)

tiga faktor, yaitu orientasi terdahulu, orientasi sekarang dan orientasi masa depan.

Makna tato mengalami pergeseran dari dulu hingga saat ini, mulai dari kebudayaan tradisional, budaya populer, budaya tandingan, hingga konsumsi dan komersialisme. Di Indonesia tato sempat mendapat tanggapan yang negatif pada tahun 1980-an, namun saat ini penggunaan tato lebih kepada trend perkembangan fashion dan gaya hidup seseorang. Melalui kajian terdahulu ini peneliti ingin melihat proses pergeseran makna warung kopi melalui orientasi terdahulu, orientasi sekarang dan orientasi masa depan.

11) Penelitian Citra Abadi yang berjudul “Konstruksi Makna Sosialita Bagi

Kalangan Sosialita di Kota Bandung (Studi Fenomenologi Tentang Konstruksi Makna Sosialita Bagi Kalangan Sosialita Di Kota

Bandung)”, Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan

(42)

jauh tentang profesi wartawan dan keberadaannya di warung-warung kopi berdasarkan nilai sosial yang ada di lingkungannya, motif menjadi wartawan dan pengalamannya selama berada di warung kopi.

2.3. Teori Interaksionisme Simbolik

Pendekatan Interaksionisme Simbolik oleh George Herbert Mead dan Herbert Blumer berasumsi bahwa pengalaman manusia ditengahi oleh penafsiran. Objek, orang, situasi dan peristiwa tidak memiliki pengertiannya sendiri, sebaliknya pengertian itu diberikan untuk mereka. Penafsiran bukanlah tindakan bebas dan bukan pula ditentukan oleh kekuatan manusia atau bukan. Melalui interaksi seseorang membentuk pengertian. Orang dalam situasi tertentu sering mengembangkan definisi bersama (atau perspektif bersama dalam bahasa interaksi simbolik) karena mereka secara teratur berhubungan dan mengalami pengalaman bersama, masalah dan latar belakang, tetapi kesepakatan tidak merupakan keharusan (Moleong, 2006:20).

Para ahli perspektif interaksionisme simbolik melihat bahwa individu adalah obyek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang lain. Afdjani dan Soemirat (2010:59) menyebutkan bahwa:

(43)

Sunarto (2013:54) melalui tulisannya menyatakan bahwa aspek ontologis Ilmu Komunikasi tidak hanya tanda atau simbol saja, tapi juga makna yang muncul dalam proses transaksi diantara para partisipan pengguna simbol tesebut untuk memuaskan tujuan-tujuan mereka. Interaksionisme Simbolik, berfokus pada cara-cara manusia membentuk makna dan susunan dalam masyarakat melalui percakapan. Barbara Ballis Lal dalam Littlejohn dan Foss (2011:231) meringkaskan dasar-dasar pemikiran gerakan ini:

a. Manusia membuat keputusan dan bertindak sesuai dengan pemahaman subjektif mereka terhadap situasi ketika mereka menemukan diri mereka.

b. Kehidupan sosial terdiri dari proses-proses interaksi daripada susunan, sehingga terus berubah.

c. Manusia memahami pengalaman mereka melalui makna-makna yang ditemukan dalam simbol-simbol dari kelompok utama mereka dan bahasa merupakan bagian penting dalam kehidupan sosial.

d. Dunia terbentuk dari objek-objek sosial yang memiliki nama dan makna yang ditentukan secara sosial.

e. Tindakan manusia didasarkan pada penafsiran mereka, dimana objek dan tindakan yang berhubungan dalam situasi yang dipertimbangkan dan diartikan.

f. Diri seseorang merupakan sebuah objek yang signifikan dan layaknya semua objek sosial, dikenalkan melalui interaksi sosial dengan orang lain.

Masyarakat (society) atau kehidupan kelompok, terdiri atas perilaku-perilaku kooperatif anggota-anggotanya. Kerjasama manusia mengharuskan kita untuk memahami maksud orang lain yang juga mengharuskan kita mengetahui apa yang akan kita lakukan selanjutnya. Jadi, kerjasama terdiri dari “membaca” tindakan dan maksud orang lain serta menanggapinya

(44)

sosiokultural karena teori ini berangkat dari ide bahwa struktur sosial dan makna diciptakan dan dipelihara dalam interaksi sosial (Morissan dan Wardhany, 2009:39).

Bagian lainnya yang penting dari Teori Interaksionisme Simbolik ialah konstrak atau definisi tentang diri. Diri tidak dilihat sebagai yang berada dalam individu seperti “aku” atau kebutuhan yang teratur, motivasi dan

norma serta nilai dari dalam. Diri adalah definisi yang diciptakan orang (melalui interaksi dengan yang lainnya) di tempat ia berada. Dalam mengkonstrak atau mendefinisikan “aku”, manusia mencoba melihat dirinya

sebagai orang lain, melihatnya dengan jalan menafsirkan tindakan dan isyarat yang diarahkan kepada mereka dan dengan jalan menempatkan dirinya dalam peranan orang lain. Jadi, diri itu juga merupakan konstrak sosial, yaitu hasil persepsi seseorang terhadap dirinya dan kemudian mengembangkan definisi melalui proses interaksi tersebut (Moleong, 2006:22).

2.4. Fenomenologi

(45)

Fenomenologi menjadikan pengalaman sebenarnya sebagai data utama dalam memahami realitas. Apa yang diketahui seseorang adalah apa yang dialaminya. Stanley Deetz dalam Littlejohn dan Foss (2011:57), mengemukakan tiga prinsip dasar fenomenologi sebagai berikut:

1. Pengetahuan adalah kesadaran. Pengetahuan tidak disimpulkan dari pengalaman, namun ditemukan secara langsung dari pengalaman sadar.

2. Makna dari sesuatu terdiri atas potensi sesuatu itu pada hidup seseorang. Dengan kata lain, bagaimana Anda memandang suatu objek, bergantung pada makna objek itu bagi Anda.

3. Bahasa adalah “kendaraan makna” (vehicle meaning). Kita

mendapatkan pengalaman melalui bahasa yang digunakan untuk mendefinisikan dan menjelaskan dunia kita.

Proses interpretasi merupakan hal yang sangat penting dan sentral dalam fenomenologi. Interpretasi adalah proses aktif pemberian makna dari suatu pengalaman. Menurut pemikiran fenomenologi, orang yang melakukan interpretasi (interpreter) mengalami suatu peristiwa atau situasi dan ia akan memberikan makna kepada setiap peristiwa atau situasi yang dialaminya. Dengan demikian, interpretasi akan terus berubah, bolak-balik, sepanjang hidup antara pengalaman dengan makna yang diberikan kepada setiap pengalaman baru (Morissan dan Wardhany, 2009:31-32). Jadi, dalam pandangan fenomenologi sesuatu yang tampak itu pasti bermakna menurut subjek yang menampakkan fenomena itu, karena setiap fenomena berasal dari kesadaran manusia sehingga sebuah fenomena pasti ada maknanya (Bungin, 2007: 3).

(46)

merupakan tindakan untuk mengungkap pengertian sesuatu yang sedang diteliti. Yang ditekankan oleh kaum fenomenologis adalah aspek subyektif dari perilaku orang. Mereka berusaha untuk masuk ke dalam dunia konseptual para subyek yang ditelitinya sedemikian rupa sehingga mereka mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang dikembangkan oleh mereka di sekitar peristiwa dalam kehidupannya sehari-hari (Moleong, 2006:17).

Para fenomenolog percaya bahwa pada makhluk hidup tersedia pelbagai cara untuk menginterpretasikan pengalaman melalui interaksi dengan orang lain dan bahwa pengertian pengalaman kitalah yang membentuk kenyataan. Untuk paham fenomenologi sebagaimana diungkapkan Husserl, bahwa kita harus kembali kepada benda-benda itu sendiri (zu den sachen selbst), obyek-obyek harus diberikan kesempatan untuk berbicara melalui deskripsi fenomenologis guna mencari hakikat gejala-gejala (Wessenchau). Husserl berpendapat bahwa kesadaran bukan bagian dari kenyataan melainkan asal kenyataan, dia menolak bipolarisasi antara kesadaran dan alam, antara subyek dan obyek, kesadaran tidak menemukan obyek-obyek, tapi obyek-obyek diciptakan oleh kesadaran (Ikbar, 2012:65-66).

(47)

secara subjektif, sensasi, perasaan dan fantasi yang terlibat adalah titik tolak

untuk meneliti bagaimana orang menanggapi berbagai subjek (Surip, 2011:12).

Tim Fakultas Ilmu Sosial Ilmu dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro dalam Pramestaningtyas (2013:7) menulis bahwa fenomenologi mendeskripsikan pengalaman yang diperoleh secara langsung dan memahami perilaku sebagai sesuatu yang dipengaruhi fenomena pengalaman daripada realitas obyektif yang berasal dari luar diri individu. Teori Fenomenologi dari Alfred Schutz mengemukakan bahwa orang secara aktif menginterpretasikan pengalamannya dengan memberi tanda dan arti tentang apa yang mereka lihat. Interpretasi merupakan proses aktif dalam menandai dan mengartikan tentang sesuatu yang diamati, seperti bacaan, tindakan atau situasi bahkan pengalaman apapun. Lebih lanjut, Schutz menjelaskan pengalaman indrawi sebenarnya tidak punya arti. Semua itu hanya ada begitu saja; obyek-obyeklah yang bermakna. Semua itu memiliki kegunaan-kegunaan, nama-nama, bagian-bagian, yang berbeda-beda dan individu-individu itu memberi tanda tertentu mengenai sesuatu.

(48)

mereka sendiri alami. Realitas dunia tersebut bersifat intersubjektif dalam arti bahwa sebagai anggota masyarakat berbagi persepsi dasar mengenai dunia yang mereka internalisasikan melalui sosialisasi dan memungkinkan mereka melakukan interaksi atau komunikasi (Mulyana, 2008:63).

2.5. Teori Konstruksi Sosial

Istilah konstruksi sosial atas realitas (social construction of reality), menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann melalui bukunya yang berjudul “The Social Construction of

Reality, a Treatise in the Sociological of Knowledge”. Ia menggambarkan

proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, yang mana individu menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif (Bungin, 2008:189).

Substansi teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Berger dan Luckmann adalah pada proses simultan yang terjadi secara alamiah melalui bahasa dalam kehidupan sehari-hari pada sebuah komunitas primer dan semi sekunder. Basis sosial teori dan pendekatan ini adalah masyarakat transisi modern di Amerika pada sekitar tahun 1960-an dimana media massa belum menjadi sebuah fenomena yang menarik dibicarakan. Dengan demikian teori konstruksi sosial atas realitas Peter L. Berger dan Luckmann tidak memasukkan media massa sebagai variabel atau fenomena yang berpengaruh dalam konstruksi sosial atas realitas (Bungin, 2008:175).

(49)

Individu menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya. Individu bukanlah korban fakta sosial, namun sebagai media produksi sekaligus reproduksi yang kreatif dalam mengkonstruksi dunia sosialnya (Basrowi dan Sukidin, 2002:194).

Pada kenyataannya realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran individu, baik di dalamnya maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial itu memiliki makna, manakala realitas sosial dikonstruksi dan dimaknakan secara subyektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara obyektif. Individu mengkonstruksi realitas sosial dan mengkonstruksinya dalam dunia realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan subjektifitas individu lain dalam institusi sosialnya (Bungin, 2008:12).

Berger dan Luckmann dalam Yuningsih (2006:62) mengatakan bahwa dengan memandang masyarakat sebagai proses yang berlangsung dalam tiga momen dialektis yang simultan (eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi) serta masalah yang berdimensi kognitif dan normatif, maka yang dinamakan kenyataan sosial itu adalah suatu konstruksi sosial produk masyarakat sendiri

(social construction of reality) dalam perjalanan sejarahnya di masa lampau, ke masa kini dan menuju masa depan.

Berger dan Luckmann dalam Bungin (2008:193) menjelaskan bahwa tugas pokok Sosiologi pengetahuan adalah menjelaskan dialektika antara diri

(50)

mengalami proses institusionalisasi; sedangkan (3) internalisasi, yaitu proses yang mana individu mengidentifikasikan dirinya dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya.

Dunia pengalaman individual tidak dipisahkan dari dunia sosial sebagaimana diutarakan oleh Berger dan Luckmann dalam Ngangi (2011:3). Selanjutnya dinyatakan bahwa realitas terbentuk secara sosial dan sosiologi ilmu pengetahuan harus menganalisa bagaimana proses itu terjadi. Keduanya mengakui adanya realitas objektif, dengan membatasi realitas sebagai kualitas yang berkaitan dengan fenomena yang dianggap berada di luar kemauan kita (sebab sesungguhnya fenomena tersebut tidak dapat dihindarkan).

Baran dan Davis (2010:383) menyebutkan bahwa konstruksi sosial merupakan pembentukan pengetahuan yang diperoleh dari hasil penemuan sosial. Realitas memiliki makna ketika realitas sosial tersebut dikonstruksi dan dimaknakan secara subjektif oleh orang lain sehingga memantapkan realitas tersebut secara objektif. Konstruksi sosial realitas merupakan teori yang mengasumsikan sebuah persetujuan berkelanjutan atas makna, karena orang-orang berbagi sebuah pemahaman mengenai realitas.

2.6. Komunikasi Antar Pribadi

(51)

yang ditentukan oleh akumulasi, pertukaran dan penyebaran pengetahuan. Tanpa komunikasi, manusia akan tetap pada pola primitif tanpa organisasi sosial (Rivers et al., 2003:33).

Sebagian besar kegiatan komunikasi berlangsung dalam situasi komunikasi antar pribadi (komunikasi interpersonal). Komunikasi antar pribadi mempunyai berbagai macam manfaat. Melalui komunikasi antar pribadi kita dapat mengenal diri kita sendiri dan orang lain, kita dapat mengetahui dunia luar, bisa menjalin hubungan yang lebih bermakna, bisa memperoleh hiburan dan menghibur orang lain dan sebagainya. Menurut Abadi (1996:4) Komunikasi interpersonal dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu (1) komunikasi tatap muka (face to face communication) antar pribadi dan (2) komunikasi tatap muka forum (assabled). Komunikasi tatap muka antar pribadi melibatkan sekurang-kurangnya dua orang, sedangkan komunikasi tatap muka forum melibatkan banyak orang yang berhimpun di suatu tempat.

Devito (2011:258) menjelaskan efektivitas komunikasi interpersonal dalam lima kualitas umum yang dipertimbangkan, yaitu:

1) Keterbukaan (openness), ialah sikap dapat menerima masukan dari orang lain, serta berkenan menyampaikan informasi penting kepada orang lain. Hal ini tidaklah berarti bahwa orang harus dengan segera membukakan semua riwayat hidupnya, tetapi rela membuka diri ketika orang lain menginginkan informasi yang diketahuinya. Dengan kata lain, keterbukaan ialah kesediaan untuk membuka diri mengungkapkan informasi yang biasanya disembunyikan, asalkan pengungkapan informasi ini tidak bertentangan dengan asas kepatutan.

(52)

3) Sikap mendukung (supportiveness), artinya masing-masing pihak yang berkomunikasi memiliki komitmen untuk mendukung terselenggaranya interaksi secara terbuka.

4) Sikap positif (positiveness), ditunjukkan dalam bentuk sikap dan perilaku. Dalam bentuk sikap, maksudnya adalah bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi interpersonal harus memiliki perasaan dan pikiran positif, bukan prasangka dan curiga. Dalam bentuk perilaku, artinya bahwa tindakan yang dipilih adalah yang relevan dengan tujuan komunikasi interpersonal, yaitu secara nyata melakukan aktivitas untuk terjalinnya kerjasama.

5) Kesetaraan (equality), ialah pengakuan bahwa kedua belah pihak memiliki kepentingan, kedua belah pihak sama-sama bernilai dan berharga dan saling memerlukan. Memang secara alamiah ketika dua orang berkomunikasi secara interpersonal, tidak pernah tercapai suatu situasi yang menunjukkan kesetraan atau kesamaan secara utuh diantara keduanya. Kesetaraan yang dimaksud disini adalah berupa pengakuan atau kesadaran, serta kerelaan untuk menempatkan diri setara (tidak ada yang superior atau inferior) dengan partner komunikasi.

Komunikasi antar pribadi adalah komunikasi antar-perorangan dan bersifat pribadi baik yang terjadi secara langsung (tanpa medium) ataupun tidak langsung (melalui medium). Contohnya kegiatan percakapan tatap muka, percakapan melalui telepon, surat-menyurat pribadi fokus pengamatannya adalah bentuk-bentuk dan sifat-sifat hubungan (relationship), percakapan (discourse), interaksi dan karakteristik komunikator (Bungin, 2008:32).

Richard L. Weaver dalam Budyatna dan Ganiem (2012:15), menyebutkan bahwa karakteristik komunikasi antar pribadi, yaitu:

1) Melibatkan paling sedikit dua orang. 2) Adanya umpan balik atau feedback. 3) Tidak harus tatap muka.

4) Tidak harus bertujuan.

5) Menghasilkan beberapa pengaruh atau effect.

(53)

Hardjana (2003:90) dalam buku Komunikasi Intrapersonal & Interpersonal menulis bahwa komunikasi interpersonal dengan masing-masing orang berbeda tingkat kedalaman komunikasinya, tingkat intensif dan tingkat ekstensifnya. Komunikasi interpersonal merupakan kegiatan yang dinamis.

Fajar (2008:78) menyebutkan bahwa komunikasi antar pribadi dapat digunakan untuk berbagai tujuan, antara lain sebagai berikut:

1) Mengenal Diri Sendiri dan Orang Lain 2) Mengetahui Dunia Luar

3) Menciptakan dan Memelihara Hubungan Menjadi Bermakna 4) Mengubah Sikap dan Perilaku

5) Bermain dan Mencari Hiburan

Komunikasi merupakan pendorong proses sosial, yang ditentukan oleh akumulasi, pertukaran dan penyebaran pengetahuan. John Dewey dalam Rivers et al. (2003:33), mengatakan bahwa masyarakat manusia bertahan berkat adanya komunikasi. Dengan komunikasi, manusia melakukan berbagai penyesuaian diri yang diperlukan dan memenuhi berbagai kebutuhan dan tuntutan yang ada sehingga masyarakat manusia tidak tercerai-berai. Melalui komunikasi pula manusia mempertahankan institusi-institusi sosial berikut segenap nilai dan norma perilaku, tidak hanya dari hari ke hari, namun juga dari generasi ke generasi.

2.7. Fakta, Media Massa, Berita, Wartawan dan Khalayak Dilihat dari Paradigma Kontruksionis

(54)

2.7.1. Fakta/peristiwa dalam pandangan paradigma konstruksionis

Dalam paradigma konstruksionis, realitas itu besifat subjektif dan tidak ada realitas yang bersifat objektif, karena realitas itu tercipta lewat konstruksi dan pandangan tertentu dari wartawan. Realitas bisa berbeda-beda, tergantung bagaimana konsepsi ketika realitas itu dipahami oleh wartawan yang mempunyai pandangan berbeda. Menurut James W. Carey dalam Eriyanto (2002:22), realitas bukanlah sesuatu yang diberi begitu saja, seakan-akan ada, realitas sebaliknya diproduksi. Hal yang utama dalam pandangan konstruktivisme adalah fakta itu sendiri bukan sesuatu yang terberi, melainkan ada dalam benak kita, yang melihat fakta tersebut. Kitalah yang memberi definisi dan menentukan fakta tersebut sebagai kenyataan. Kita secara aktif mendefinisikan dan memaknai peristiwa/fakta tersebut sebagi sesuatu. Karena fakta itu diproduksi dan ditampilkan secara simbolik, maka realitas tergantung pada bagaimana ia dilihat dan bagaimana fakta tersebut dikonstruksi.

2.7.2. Media massa dalam pandangan paradigma konstruksionis

(55)

subjek yang mengonstruksikan realitas, lengkap dengan pandangan, bias dan pemihakannya.

Berita yang disajikan selain menggambarkan realitas dan menunjukan pendapat sumber berita, juga menggambarkan konstruksi realitas dari media itu sendiri. Media massa memilih realitas mana yang diambil dan mana yang tidak diambil. Selain itu, secara sadar atau tidak sadar, media massa juga memilih aktor yang dijadikan sumber berita, sehingga hanya sebagian saja dari sumber berita yang tampil dalam pemberitaan. Media massa juga berperan dalam mendefinisikan aktor dan peristiwa lewat bahasa yang digunakan dalam pemberitaan. Media massa dapat membingkai suatu peristiwa dengan bingkai tertentu yang pada akhirnya menentukan bagaimana cara khalayak harus melihat dan memahami peristiwa dalam kaca mata tertentu.

Eriyanto (2002:24) menyebutkan bahwa pekerjaan media massa pada dasarnya adalah pekerjaan yang berhubungan dengan pembentukan realitas. Peran media dalam membentuk realitas bisa dilihat dalam tiga tingkatan, yaitu:

1) Media massa membingkai peristiwa dalam bingkai tertentu.

2) Media massa memberikan simbol-simbol tertentu pada peristiwa dan aktor yang terlibat dalam berita.

3) Media massa juga menentukan apakah peristiwa ditempatkan sebagai hal yang penting atau tidak.

2.7.3. Berita dalam pandangan paradigma konstruksionis

(56)

dan nilai-nilai wartawan atau media. Menurut Eriyanto (2002:25), bagaimana realitas itu dijadikan berita sangat tergantung pada bagaimana fakta dipahami dan dimaknai oleh media atau wartawan.

Dalam pembentukan dan penulisan berita, secara sadar atau tidak sadar akan melibatkan nilai-nilai tertentu yang dimiliki wartawan atau media, sehingga mustahil berita merupakan pencerminan realitas. Realitas yang sama bisa jadi menghasilkan berita yang berbeda, karena adanya cara pandang yang berbeda. Oleh karena itu, berita bersifat subjektif karena saat melihat realitas wartawan atau media melihat dengan perspektif dan pertimbangan subjektif. Hal ini dapat dilihat dari contoh sederhana, yakni bagaimana seorang tokoh lebih ditonjolkan pendapatnya dan mendapat ruang yang lebih besar dalam sebuah berita dibandingkan tokoh lainnya. Namun dalam pandangan konstruksionis, perbedaan antara realitas yang sesungguhnya dengan berita tidak dianggap kesalahan, tetapi suatu kewajaran karena berita adalah produk jurnalistik bukan representasi dari realitas. Sebuah berita yang hadir di tengah-tengah khalayak pun tidak serta-merta jadi, tetapi telah melalui proses seleksi agar memenuhi kriteria kualifikasi yang berlaku dalam sebuah media tertentu.

2.7.4. Wartawan dalam pandangan paradigma konstruksionis

(57)

tidak terlepas dari peran serta dari jurnalis yang melakukan proses pengumpulan berita. Wartawan atau jurnalis merupakan orang yang bertugas atau bekerja untuk mencari, mengumpulkan, memilih, mengolah berita dan menyajikannya secara cepat kepada khalayak luas yang dapat dilakukan melalui media cetak atau media elektronik.

Menurut Eriyanto (2002:28), dalam melakukan tugasnya, wartawan sebetulnya bukan hanya mengambil realitas yang sebenarnya, tapi juga membentuk berita: ia menguraikan, mengurutkan, mengonstruksi peristiwa demi peristiwa, sumber demi sumber, serta membentuk citra dan berita tertentu. Saat meliput satu peristiwa dan menuliskannya, ia secara sengaja atau tidak menggunakan dimensi perseptualnya. Dengan begitu realitas yang berserakan dipahami dan ditulis dengan melibatkan konsepsi yang mau tidak mau sulit dilepaskan dari unsur subjektivitas. Apa yang kemudian tersaji dan muncul sebagai berita, pada dasarnya adalah hasil olahan dan konstruksi wartawan. Sebagai konsekuensinya, realitas yang dihasilkan bersifat subjektif.

(58)

produk individual wartawan, melainkan juga merupakan bagian dari proses organisasi dan interaksi antara wartawannya.

Dalam pandangan paradigma konstruktivisme, fenomena “realitas” adalah penciptaan kognitif manusia. Dengan demikian, pemikiran konstruktivisme sangat meragukan kemampuan jurnalis untuk “mencerminkan” realitas murni di lapangan seperti apa adanya. Sebab,

berita yang disajikan wartawan adalah salah satu versi dari realitas di lapangan (Hanitzsch, 2001).

2.8. Profesionalisme Wartawan

Profesi (profession) adalah penghargaan atas karya etika profesi berarti suatu cabang ilmu yang secara sistematis merefleksikan moral yang melekat pada suatu profesi. Etika profesi juga dipahami sebagai nilai-nilai dan asas moral yang melekat pada pelaksanaan fungsi profesional tertentu dan wajib dilaksanakan oleh pemegang profesi itu (Masduki, 2004:35). Di Indonesia, wartawan adalah sebuah profesi dan menjadi wartawan adalah pilihan profesional. Bagaimana wartawan mendefinisikan pekerjaannya akan mempengaruhi isi media yang ia produksi.

Gambar

Tabel 3.2 Kepadatan Penduduk Kota Lhokseumawe
Tabel 4.1

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif sangat mementingkan proses daripada produk, dan bermaksud mencari makna dengan menganalisis data secara

Di sektor lain yakni di perusahaan publik yang terdaftar di BEI hanya 62 persen perusahaan yang telah memiliki website untuk mempublikasikan beberapa

Semarang terpilih sebagai lokasi terbaik dikarenakan dianggap memiliki keunggulan dibandingkan dengan lokasi lainnya, terutama dari sisi pasar yaitu jalan nasional

Berikut ini penulis mempersembahkan sebuah makalah yang berisikan studi kasus komunikasi massa mengenai media massa dan kaitannya terhadap peran pencegahan tindak pidana

Within the scope of the regency/ municipality, Local Development Planning Board or can be abbreviated Planning Board (Bappeda) has a strategic role in the

Mengacu pada penelitian yang telah dilaksanakan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa bahan penstabil jenis surfaktan anionik SLS dan koagulan jenis asam organik

musibah “ Tsunami ” tahun 2004 silam yang menelan sekitar 250.000 jiwa ini. Hal lain yang menjadi realita saat ini bahwa masyarakat Aceh khususnya siswa hanya menjadikan