• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Panglima Laot Terhadap Peningkatan Partisipasi Nelayan Dalam Pengelolaan Bersama Perikanan di Lampuuk Aceh Besar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peran Panglima Laot Terhadap Peningkatan Partisipasi Nelayan Dalam Pengelolaan Bersama Perikanan di Lampuuk Aceh Besar"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN PANGLIMA LAOT TERHADAP PENINGKATAN

PARTISIPASI NELAYAN DALAM PENGELOLAAN

BERSAMA PERIKANAN DI LAMPUUK ACEH BESAR

MUHAMMAD SADRI SUGRA

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Peran Panglima Laot terhadap Peningkatan Partisipasi Nelayan dalam Pengelolaan Bersama Perikanan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

MUHAMMAD SADRI SUGRA. Peran Panglima Laot terhadap Peningkatan Partisipasi Nelayan Dalam Pengelolaan Bersama Perikanan. Dibimbing oleh SAHARUDDIN

Tujuan dari penelitian ini adalah (1) Menganalisis peran Panglima Laôt terhadap peningkatan partisipasi nelayan dalam pengelolaan bersama perikanan dan (2) Menganalisis pengaruh tingkat partisipasi nelayan terhadap aspek sosial, ekonomi dan lingkungan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung oleh kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner, observasi dan wawancara mendalam. Hasil dari penelitian adalah peran Panglima Laot dalam memberi informasi, mengawasi kegiatan, memberi semangat dan mewakili kelompok pada pengelolaan bersama perikanan tergolong kuat, namun tidak signifikan mempengaruhi peningkatan partisipasi walaupun nelayan menunjukkan tingkat partisipasi yang tinggi. Berdasarkan dampaknya, nelayan merasakan dampak yang tinggi dari pengelolaan bersama perikanan baik dari aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Analisis yang dilakukan menunjukkan tingkat partisipasi berpengaruh terhadap aspek sosial dan lingkungan, namun tidak berpengaruh terhadap aspek ekonomi nelayan.

Kata Kunci: panglima laot, pengelolaan bersama perikanan, partisipasi

ABSTRACT

MUHAMMAD SADRI SUGRA. The role of Panglima Laot to Increased Fishermen’s Participation In Fisheries Co-Management. Supervised by SAHARUDDIN

The purpose of this study are (1) to analyze the role of Panglima Laot to increased fishing participation in fisheries co-management and (2) to analyze the effect of the participation’s level of fishermen on the social, economic and environmental aspect. This study used a quantitative approach that is supported by qualitative. Data was collected through questionnaires, observations and in-depth interviews. Results of the study is the Panglima Laot’s role in giving information, supervise activities, encouraging and represent the group in fisheries co-management is quite strong, but did not significantly affect the increasing of fishermen’s participation although the fishermen showed high levels of participation. Under its impact, the fishermens felt good impact of fisheries co-management both from social, economic, and environmental. The analysis showed that the participation’s level significantly affect the social and environmental aspects, but has no effect on the economic aspects.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

PERAN PANGLIMA LAOT TERHADAP PENINGKATAN

PARTISIPASI NELAYAN DALAM PENGELOLAAN

BERSAMA PERIKANAN DI LAMPUUK ACEH BESAR

MUHAMMAD SADRI SUGRA

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Peran Panglima Laot Terhadap Peningkatan Partisipasi Nelayan Dalam Pengelolaan Bersama Perikanan di Lampuuk Aceh Besar Nama : Muhammad Sadri Sugra

NIM : I34100010

Disetujui oleh

Dr Ir Saharuddin, Msi Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Siti Amanah, MSc Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang selalu memberikan rahmat dan anugerah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir

skripsi yang berjudul “Peran Panglima Laot terhadap Peningkatan Partisipasi

Nelayan dalam Pengelolaan Bersama Perikanan (Mukim Lampuuk Kecamatan Lhoknga Kabupaten Aceh Besar)” dengan baik tanpa ada kendala

dan masalah yang berarti.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik karena dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Saharuddin, Msi, dosen pembimbing skripsi yang telah banyak mencurahkan waktu untuk membimbing dan memberikan masukan yang sangat berarti selama penulisan skripsi ini.

2. Dr. Arif Satria, SP, Msi, dosen pembimbing akademik yang telah membimbing saya dan memberi masukan dalam hal akademik.

3. Ayahanda tercinta Mulyadinsyah, Ibunda tercinta Rosdiana, Kakak dan adik-adik tercinta Kak Gitra, Sadakta , Diat, Opal, dan Faiz yang merupakan sumber motivasi utama bagi penulis. Tidak lupa kepada Yahnek, Nenek, Nekgam, Bunda Ot, Muani, Bunda Pida dan seluruh keluarga besar di Aceh yang telah memberikan dukungan secara moril dan materil kepada penulis selama masa perkuliahan.

4. Keluarga satu kontrakan Bandow Bagus, Dimas, Gerry, Iqbal, Reza, Bagus Ndut, Mayong, Prehadi dan Agung yang banyak memberikan hiburan dan semangat bagi penulis selama perkuliahan dan penulisan skripsi.

5. Teman-teman manggung Javanication Anggi, Zia, Ditha, Rere, Anna, dan Kunti yang selalu membuat suasana hangat dan menghibur bagi penulis. 6. Teman-teman SKPM 47 yang tidak pernah berhenti menyemangati dan

menginspirasi penulis selama perkuliahan dan penulisan skripsi, khususnya bagi teman satu bimbingan Jamal dan Eva yang selalu saling mengingatkan dan menyemangati satu sama lain.

7. Teman KKP Extraordinary Kautsar, Tachur, Yunus, Yazka, Indah, Endah, Dana, Miftah dan Fani yang menghibur dan mendukung satu sama lain. 8. Noni Gusmawan yang selalu memberikan semangat dan motivasi bagi

penulis selama perkuliahan, penelitian dan penulisan skripsi.

9. Dan seluruh pihak yang telah mendukung sehingga skripsi ini bisa diselesaikan dengan baik.

Akhirnya, penulis memahami betul bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang tentunya membangun sangat diharapkan. Kiranya skripsi ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI vi

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR ix

DAFTAR LAMPIRAN x

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Masalah Penelitian 3

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 4

PENDEKATAN TEORITIS 6

Panglima Laot 6

Pembangunan Wilayah Pesisir 15

Konsep Partisipasi dan Kepemimpinan 19

Kerangka Pemikiran 21

Hipotesis Penelitian 22

Definisi Operasional 22

PENDEKATAN LAPANGAN 25

Metode Penelitian 25

Lokasi dan Waktu Penelitian 25

Teknik Penentuan Informan dan Responden 26

Teknik Pengumpulan Data 26

Teknik Pengolahan dan Analisis Data 27

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 28

Kondisi Geografis dan Demografi 28

Aksesibilitas 29

Sistem Pelapisan Kepemimpinan Adat 30

Panglima Laot di Lampuuk 30

Potensi Sumberdaya Perikanan Lampuuk 31

Pengelolaan Bersama Perikanan Lampuuk 33

KARAKTERISTIK RESPONDEN 36

Karakteristik Berdasarkan Usia 36

Karakteristik Berdasarkan Tempat Tinggal 36

Karakteristik Berdasarkan Tingkat Pendidikan 37

PERAN PANGLIMA LAÔT SEBAGAI PEMIMPIN DALAM

PENGELOLAAN BERSAMA PERIKANAN LAMPUUK 38

(10)

PARTISIPASI NELAYAN DALAM PENGELOLAAN BERSAMA

PERIKANAN LAMPUUK 42

Bentuk-bentuk Partisipasi Nelayan dalam Pengelolaan Bersama

Perikanan di Lampuuk 42

Tingkat Partisipasi Nelayan Pada Tahap Perencanaan 44 Tingkat Partisipasi Nelayan Pada Tahap Pelaksanaan 45 Tingkat Partisipasi Nelayan Pada Tahap Menikmati Hasil 45 Tingkat Partisipasi Nelayan Pada Tahap Evaluasi 46 Tingkat Partisipasi Nelayan dalam Program Penanaman Pohon 47 Tingkat Partisipasi Nelayan dalam Pembuatan Kolam Penangkaran

Penyu 48

Keterkaitan Bentuk-bentuk Partisipasi dengan Tahapan Partisipasi 50 PENGARUH PERAN PANGLIMA LAOT TERHADAP TINGKAT

PARTISIPASI NELAYAN DALAM PENGELOLAAN BERSAMA

PERIKANAN DI LAMPUUK 52

Pengaruh Peran Panglima Laot terhadap Tingkat Partisipasi Nelayan

pada Program Penanaman Pohon di Lampuuk 52

Pengaruh Peran Panglima Laot terhadap Tingkat Partisipasi Nelayan

pada Pembuatan Kolam Penangkaran di Lampuuk 54

DAMPAK SOSIAL, EKONOMI, DAN LINGKUNGAN

PENGELOLAAN BERSAMA PERIKANAN TERHADAP NELAYAN 57

Dampak Sosial 57

Dampak Ekonomi 58

Dampak Lingkungan 59

PENGARUH TINGKAT PARTISIPASI NELAYAN DALAM PENGELOLAAN BERSAMA PERIKANAN TERHADAP ASPEK

SOSIAL, EKONOMI, DAN LINGKUNGAN 61

Pengaruh Tingkat Partisipasi Terhadap Aspek Sosial 61 Pengaruh Tingkat Partisipasi Terhadap Aspek Ekonomi 62 Pengaruh Tingkat Partisipasi Terhadap Aspek Lingkungan 63

SIMPULAN DAN SARAN 64

Simpulan 64

Saran 64

DAFTAR PUSTAKA 66

LAMPIRAN 68

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Jadwal Pelaksanaan Penelitian 26

Tabel 2 Kalender Musim Nelayan Lampuuk 32

Tabel 3 Jumlah dan Persentase Usia Responden Menurut Golongan Usia 36 Tabel 4 Jumlah dan Persentase Responden menurut Desa Tempat Tinggal 37 Tabel 5 Jumlah dan Persentase Responden menurut Tingkat Pendidikan 37 Tabel 6 Jumlah dan Presentase Responden menurut Peran Panglima Laot

dalam Program Penanaman Pohon 39

Tabel 7 Jumlah dan Presentase Responden menurut Peran Panglima Laot

dalam Pembuatan Kolam Penangkaran Penyu 41

Tabel 8 Jumlah dan Presentase Responden menurut Bentuk Partisipasi pada

Program Penanaman Pohon 43

Tabel 9 Jumlah dan Presentase Responden menurut Bentuk Partisipasi pada

Pembuatan Kolam Penangkaran Penyu 43

Tabel 10 Jumlah dan Presentase Responden menurut Tingkat Partisipasi pada Tahap Perencanaan Program Penanaman Pohon dan Pembuatan

Kolam Penangkaran Penyu 44

Tabel 11 Jumlah dan Presentase Responden menurut Tingkat Partisipasi pada Tahap Pelaksanaan Program Penanaman Pohon dan Pembuatan

Kolam Penangkaran Penyu 45

Tabel 12 Jumlah dan Presentase Responden menurut Tingkat Partisipasi pada Tahap Menikmati Hasil Program Penanaman Pohon dan Pembuatan

Kolam Penangkaran Penyu 46

Tabel 13 Jumlah dan Presentase Responden menurut Tingkat Partisipasi pada Tahap Evaluasi Program Penanaman Pohon dan Pembuatan Kolam

Penangkaran Penyu 46

Tabel 14 Jumlah Responden menurut Bentuk Partisipasi dan Hubungannya dengan Tahapan Partisipasi Nelayan dalam Pengelolaan Bersama

Perikanan 50

Tabel 15 Jumlah dan Presentase Responden menurut Hubungan antara Peran Panglima Laot dengan Tingkat Partisipasi Nelayan dalam Program

Penanaman Pohon 53

Tabel 16 Hasil uji statistik analisis regresi linear berganda pengaruh peran Panglima Laot terhadap tingkat partisipasi nelayan dalam kegiatan

penanaman pohon 53

Tabel 17 Jumlah dan Presentase Responden menurut Hubungan antara Peran Panglima Laot dengan Tingkat Partisipasi Nelayan dalam

Pembuatan Kolam Penangkaran Penyu 55

Tabel 18 Hasil uji statistik analisis regresi linear berganda pengaruh peran Panglima Laot terhadap tingkat partisipasi nelayan dalam kegiatan

pembuatan kolam penangakaran penyu 55

(12)

Tabel 20 Jumlah dan Presentase Responden menurut Dampak Ekonomi yang diterima dari Pengelolaan Bersama Perikanan 59 Tabel 21 Jumlah dan Presentase Responden menurut Peningkatan

Pendapatan Sebelum dan Sesudah Pengelolaan Bersama Perikanan

di Lampuuk 59

Tabel 22 Jumlah dan Presentase Responden menurut Dampak Lingkungan yang diterima dari Pengelolaan Bersama Perikanan 60 Tabel 23 Hasil uji statistik analisis regresi linear pengaruh tingkat partisipasi

nelayan dalam pengelolaan bersama perikanan terhadap dampak

sosial, ekonomi, dan lingkungan. 61

Tabel 24 Jumlah dan Presentase Responden menurut Hubungan antara Tingkat Partisipasi Nelayan dengan Dampak Sosial yang dirasakan

Nelayan 62

Tabel 25 Jumlah dan Presentase Responden menurut Hubungan antara Tingkat Partisipasi Nelayan dengan Dampak Ekonomi yang

dirasakan Nelayan 62

Tabel 26 Jumlah dan Presentase Responden menurut Hubungan antara Tingkat Partisipasi Nelayan dengan Dampak Lingkungan yang

dirasakan Nelayan 63

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Kerangka Pemikiran 21

Gambar 2 Grafik Jawaban Responden tentang Peran Panglima Laot dalam

Penanaman Pohon 38

Gambar 3 Grafik Jawaban Responden tentang Peran Panglima Laot dalam

Pembuatan Kolam Penangkaran Penyu 40

Gambar 4 Presentase Tingkat Partisipasi Nelayan pada Kegiatan

Penanaman Pohon di Lampuuk. 47

Gambar 5 Jumlah Responden berdasarkan Tahap Partisipasi pada Program

Penanaman Pohon 48

Gambar 6 Presentase Tingkat Partisipasi Nelayan pada Pembuatan Kolam

Penangkaran Penyu di Lampuuk. 49

Gambar 7 Jumlah Responden berdasarkan Tahap Partisipasi pada

Pembuatan Kolaam Penangkaran Penyu 50

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Peta Lokasi Penelitian 68

Lampiran 2 Daftar Anggota Nelayan Panglima Laot Lhokpasi Lampuuk 69

Lampiran 3 Pengolahan Data (Uji statistik) 70

Lampiran 4 Kuesioner 72

(14)
(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Secara historis bangsa Indonesia dikenal sebagai pelaut yang ulung, mereka dengan gagah berani mengarungi samudera yang luas hingga melintasi benua (Anwar 2012). Berdasarkan hal tersebut, tidak bisa dipungkiri bahwa banyak masyarakat Indonesia yang menggantungkan hidupnya di laut atau menjadi nelayan. Seperti yang kita ketahui bahwa rata-rata nelayan bertempat tinggal di wilayah pesisir. Wilayah pesisir sendiri dalam geografi dunia merupakan tempat yang sangat unik, karena di tempat ini air tawar dan air asin bercampur dan menjadikan wilayah ini sangat produktif serta kaya akan ekosistem yang memiliki keanekaragaman lingkungan laut. Oleh karena itu dengan banyaknya potensi-potensi yang dimiliki oleh wilayah pesisir, perlu dikelola secara bersama-sama dan terpadu agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.

Pembangunan dan pengelolaan wilayah pesisir sudah menjadi perhatian pemerintah sejak jaman orde baru. Namun pada masa itu pengaturan wilayah pesisir dan laut lebih banyak dilakukan oleh pemerintah pusat. Hal ini dapat dilihat pada UU nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang pasal 9 ayat 2 dimana dinyatakan bahwa wilayah lautan dan wilayah udara diatur secara terpusat menurut undang-undang. Berbeda ketika otonomi daerah hadir pada tahun 1999, yakni pada masa reformasi. Dikeluarkannya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah membuat Kabupaten/Kota memiliki kewenangan mengatur wilayah perairan yang ada di wilayahnya sejauh 4 mil dari garis pantai. Selain itu juga diterbitkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (BPHN 2009).

Salah satu contoh pelaksanaan pembangunan di wilayah pesisir dan laut adalah adanya pengelolaan perikanan. Pengelolaan bersama perikanan dapat diartikan sebagai suatu model pengelolaan yang kolaboratif yang memadukan antara unsur masyarakat pengguna (kelompok nelayan, pengusaha perikanan, dan lain-lain) dan pemerintah yang juga dikenal dengan Management. Co-Management perikanan dapat didefinisikan sebagai pembagian atau pendistribusian tanggung jawab dan wewenang antara pemerintah dan masyarakat lokal dalam mengelola sumberdaya perikanan. Berdasarkan definisi ini maka pemerintah dan masyarakat bertanggungjawab bersama-sama dalam melakukan seluruh tahapan pengelolaan perikanan. Melalui model ini, pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut dilaksanakan dengan menyatukan lembaga-lembaga terkait terutama masyarakat dan pemerintah serta stakeholder lainnya dalam setiap proses pengelolaan sumberdaya, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, dan pengawasan (Alains et al. 2009).

(16)

2

menyentuh persoalan yang sebenarnya dan tidak merugikan kepentingan publik. Oleh karena itu, sudah menjadi suatu kewajiban bahwa disetiap penyelenggaraan program atau kegiatan yang berkaitan dengan pembangunan, partisipasi masyarakat sebagai subjek pembangunan perlu diperhatikan.

Lubis (2009) menyatakan bahwa partisipasi masyarakat memiliki banyak bentuk, mulai dari yang berupa keikutsertaan langsung masyarakat dalam program pemerintahan maupun yang sifatnya tidak langsung, seperti berupa sumbangan dana, tenaga, pikiran, maupun pendapat dalam pembuatan kebijakan pemerintah. Namun demikian, ragam dan kadar partisipasi seringkali hanya ditentukan secara masif, yakni dari banyaknya individu yang dilibatkan. Padahal partisipasi masyarakat pada hakikatnya akan berkaitan dengan akses masyarakat untuk memperoleh informasi. Selain itu Korten dalam Susantyo (2007) menyatakan bahwa masyarakat akan mengalami kejenuhan apabila penyelenggaraan program pembangunan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Kejenuhan tersebut mengindikasikan bahwa masyarakat sebagai sasaran program pembangunan merasa tidak atau kurang dilibatkan, sehingga menggores minat serta adanya ketidaksesuaian dengan nilai maupun tradisi setempat.

Berkaitan dengan hal tersebut, dalam proses pembangunan, khususnya di wilayah pesisir, aspek lokalitas masyarakat setempat tidak bisa dikesampingkan. Seperti yang kita ketahui bahwa masyarakat di daerah pedesaan, khususnya di wilayah pesisir, memiliki pengetahuan lokal atau yang biasa disebut dengan kearifan lokal yang mencerminkan karakteristik masyarakat di masing-masing daerah tersebut. Kearifan lokal sendiri menurut Barkes (1999) dalam Naing et al. (2009) dengan terminologi traditional ecological knowledge (TEK), adalah kumpulan pengetahuan, praktik, keyakinan yang berkembang melalui proses adaptif (penyesuaian) yang diwariskan dari generasi ke generasi melalui saluran (transmisi) budaya berkaitan dengan hubungan antara makhluk hidup (termasuk manusia) dengan lingkungan sekitarnya.

Dalam hal pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, masyarakat adat/lokal di Indonesia memiliki beberapa kearifan lokal, salah satu contohnya dan sekaligus menjadi fokus dalam penelitian ini adalah adanya Panglima Laôt di Aceh. Penelitian Jufri (2008) menjelaskan bahwa Panglima Laôt adalah pemimpin nelayan yang secara hukum adat laut (hukum adat laôt) bertugas mengkoordinasikan satu atau lebih wilayah operasional nelayan, dan minimal satu pemukiman nelayan. Dengan demikian tugas dan tanggung jawab Panglima Laôt diantaranya mengawasi dan memelihara pelaksanaan hukum adat laut, menyelesaikan berbagai pertikaian sehubungan dengan penangkapan ikan dan menyelenggarakan upacara-upacara adat laut dan lainnya.

Wardah (2004) menuliskan bahwa sebagai suatu lembaga adat, hukum adat laôt tersebut berkuasa mengatur eksploitasi lingkungan laut didalam wilayah laut yang menjadi kekuasaannya. Kekuasaan mengatur lingkungan laut didalam jurisdiksinya bersifat otonom tidak bergantung kepada kekuasaan manapun juga. Peran Panglima Laôt disadari menjadi sangat strategis dalam upaya pembangunan di Aceh, khususnya di wilayah pesisir. Hal tersebut dibuktikan secara rinci dalam Pasal 6 Perda No. 2 Tahun 1990. Menurut pasal tersebut fungsi lembaga adat yang didalamnya termasuk lembaga Panglima Laôt adalah:

(17)

3 3. Memberi kedudukan hukum menurut hukum adat terhadap hal-hal yang

menyangkut keperdataan adat.

4. Menyelenggarakan pembinaan dan pengembangan masyarakat.

Provinsi Aceh sendiri terletak di ujung barat Indonesia yang secara geografis dikelilingi oleh laut yaitu Selat Malaka, Samudera Hindia dan pantai utaranya berbatasan dengan Selat Benggala. Wilayah pesisirnya memiliki panjang garis pantai 1.660 km dengan luas wilayah perairan laut seluas 295.370 km² terdiri dari laut wilayah (perairan teritorial dan perairan kepulauan) 56.563 km² dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) 238.807 km². Kondisi ini sangat strategis untuk usaha perikanan, khususnya penangkapan ikan di laut dan budidaya tambak. Sehingga menjadikan provinsi ini sebagai salah satu wilayah yang memiliki potensi besar di sekitar kelautan dan perikanan dan mempunyai peluang besar menjadi sektor dominan dan andalan yang dapat mengangkat serta meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat Aceh di masa depan (BPHN 2009).

Penelitian ini akan dilakukan di Lampuuk. Wilayah ini merupakan bagian dari Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Penduduk desa ini rata-rata menggantungkan hidup di laut sebagai nelayan. Sebagai wilayah yang sebagian besarnya adalah kawasan pesisir, kearifan lokal Panglima Laôt merupakan kelembagaan yang berjalan disini. Di Lampuuk ini terdapat kawasan yang bernama Kawasan Bina Bahari, dimana di kawasan tersebut dilakukan pengelolaan perikanan secara bersama yang melibatkan masyarakat pesisir, pemerintah dan Panglima Laôt. Sebagai pemimpin lembaga yang mengatur hampir seluruh kegiatan yang berhubungan dengan kelangsungan hidup masyarakat pesisir, Panglima Laôt diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan bersama perikanan ini. Oleh karena itu, berdasarkan pentingnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan perikanan di wilayah pesisir Aceh yang tentunya berpijak pada aspek kearifan lokal masyarakat setempat, yakni lembaga Panglima Laôt, maka menarik bagi penulis untuk meneliti tentang peran Panglima Laôt terhadap peningkatan partisipasi nelayan dalam pengelolaan bersama perikanan dan bagaimana dampaknya terhadap nelayan di Lampuuk, Aceh Besar.

Masalah Penelitian

(18)

4

nelayan dalam pengelolaan bersama perikanan di Lampuuk, Kabupaten Aceh Besar?

Pembangunan yang baik adalah pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan yang berkelanjutan tersebut tentunya bisa dicapai jika pembangunan tersebut tepat sasaran, artinya kebutuhan dan aspirasi masyarakat di daerah yang bersangkutan terakomodasi dengan baik. Kebutuhan dan aspirasi tersebut tentunya akan terakomodasi dengan adanya partisipasi dari masyarakat dalam proses pembangunan tersebut. Berkaitan dengan hal ini, pengelolaan bersama perikanan juga merupakan proses pembangunan di wilayah pesisir yang tentunya memiliki dampak bagi masyarakat. Dampak tersebut bisa dilihat dari sisi sosial budaya, lingkungan dan ekonominya. Oleh karena itu, perlu dikaji mengenai bagaimana pengaruh tingkat partisipasi nelayan dalam Pengelolaan Bersama Perikanan terhadap dampak sosial, ekonomi dan lingkungan?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang dan rumusan masalah di atas, penulisan proposal penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis peran Panglima Laôt terhadap peningkatan partisipasi nelayan dalam pengelolaan bersama perikanan di Lampuuk, Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar.

2. Menganalisis pengaruh tingkat partisipasi nelayan dalam Pengelolaan Bersama Perikanan terhadap dampak sosial, ekonomi dan lingkungan?

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat dan berguna bagi beberapa pihak, antara lain.

1. Kalangan Akademisi

Penelitian ini diharapkan bisa menjadi salah satu sumber informasi dan dapat menambah khasanah penelitian mengenai kearifan lokal masyarakat pesisir, khususnya Panglima Laôt. Selain itu penelitian ini diharapkan juga bisa menjadi acuan atau referensi bagi para akademisi untuk melakukan penelitian yang lebih jauh mengenai peran kearifan lokal dalam upaya pembangunan

2. Bagi Pemerintah

Penelitian ini diharapkan bisa menjadi bahan pertimbangan bagi para pembuat kebijakan atau pemerintah baik di tingkat daerah maupun pusat dalam membuat kebijakan-kebijakan yang tentunya mempertimbangkan aspek sosial budaya masyarakat nelayan. Selain itu penelitian ini juga diharapkan bisa menjadi acuan untuk pemerintah dalam membuat kebijakan mengenai pelestarian budaya lokal sebagai aset yang berharga bagi masyarakat dan daerah yang bersangkutan.

3. Bagi Masyarakat

(19)
(20)

6

PENDEKATAN TEORITIS

Panglima Laôt

Sejarah Panglima Laôt

Masyarakat nelayan Aceh merupakan nelayan yang bertempat tinggal di wilayah pesisir yang bermata pencaharian menangkap ikan di laut. Dalam kehidupan sosial nelayan di wilayah pesisir Aceh, terdapat norma-norma tradisi yang hidup dan berkembang di kalangan masyarakat nelayan Aceh. Atas dasar norma-norma tersebut, kehidupan masyarakat nelayan berjalan dengan adat istiadat yang mengkultur secara turun temurun. Adat istiadat yang berlaku dan berkembang secara umum di wilayah pesisir Aceh adalah adat laôt. Dalam prosesnya sendiri, adat laôt dipimpin oleh seseorang yang dipercayai nelayan yaitu Panglima Laôt. Wardah (2004) menuliskan bahwa sebagai suatu lembaga adat, hukum adat laôt tersebut berkuasa mengatur eksploitasi lingkungan laut didalam wilayah laut yang menjadi kekuasaannya. Kekuasaan mengatur lingkungan laut didalam jurisdiksinya bersifat otonom tidak bergantung kepada kekuasaan manapun juga.

Dalam sejarah Panglima Laôt sebagai pemimpin masyarakat di wilayah pesisir Aceh dapat diidentifikasi mulai dari pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1637), masa penjajahan kolonial Belanda (1904-1942), masa pendudukan Jepang (1942-1945), dan setelah Indonesia merdeka hingga sekarang. Kelembagaan Panglima Laôt sebagai lembaga adat di masyarakat wilayah pesisir Aceh telah ada sejak masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda dari kesultanan Samudra Pasai. Di masa lalu, Panglima Laôt merupakan perpanjangan kedaulatan Sultan atas wilayah maritim di Aceh. Dalam mengambil keputusan, Panglima Laôt berkoordinasi dengan uleebalang1, yang menjadi penguasa wilayah administratif.

Menurut C. Van Vollen Hoven tentang Panglima Laôt, dalam hasil “duek pakat”2 adat laôt atau Panglima Laôt se-Aceh, Panglima Laôt sejak jaman dulu sedah menjadi salah satu lembaga resmi yang diatur oleh negara. Sejak jaman dulu di Aceh memang sudah ada peraturan sampai seberapa jauh nelayan dapat beroperasi untuk menangkap ikan di laut. Pengaturan tersebut merupakan terusan dari surat yang diberikan Sultan kepada pembesar wilayah. Berdasarkan hal tersebut, tampak bahwa Hukôm Adat Laôt memiliki kedudukan yang kuat pada masa itu dengan dasar hukum yang jelas atas dasar ketetapan langsung dari Sultan (Sulaiman 2010).

Legitimasi Hukum

Lembaga Adat Laôt adalah lembaga yang tidak hanya diakui keberadaannya oleh masyarakat saja, namun pemerintah dan negara juga mengakuinya. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya Undang-Undang No. 44 tahun 1999 tentang penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, dimana pada bagian ketiga tentang penyelenggaraan kehidupan adat pasal 7 menyebutkan bahwa:

(21)

7 “Daerah dapat membentuk lembaga adat dan mengakui lembaga adat

yang sudah ada dan sesuai dengan kedudukan masing-masing di provinsi, kabupaten, kecamatan, kemikiman dan kelurahan/gampong.”

Selain itu Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh No. 7 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat pada pasal 1 ayat 5 menyebutkan:

“Lembaga Adat adalah suatu organisasi kemasyarakatan adat yang dibentuk oleh

suatu masyarakat hukum adat tertentu yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak dan mempunyai wewenang untuk mengatur dan mengurus serta menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan Adat Aceh”. Oleh

karena itu, berdasarkan hal tersebut Lembaga Adat Laôt harus tetap dipertahankan, dimanfaatkan, dipelihara serta diberdayakan oleh masyarakat Aceh dan tentunya dengan dukungan pemerintah (Wardah 2004).

Sementara itu, dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Keberadaan lembaga adat (termasuk Panglima Laôt) mendapatkan pengaturan tersendiri dalam Pasal 98 dan 99 BAB XIII tentang Lambaga Adat. Pasal 98 Ayat (2) menyatakan bahwa penyelesaian permasalahan sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui lembaga adat. Hal ini berarti fungsi penyelesaian sengketa masyarakat dari Panglima Laôt tetap mendapatkan pengakuan. Untuk membangun kembali (revitalisasi) Hukum Adat Laôt, khususnya budaya adat Aceh kiranya perlu memaknai kembali (re-thinking) arti dan tujuan sebuah budaya dan memfungsikan Panglima Laôt dalam menyelesaikan sengketa-sengketa yang terjadi di laut (Kurniawan 2008).

Sebagai lembaga adat yang berkembang di Aceh, Adat Laôt memiliki pemimpin yang disebut dengan Panglima Laôt. Hal tersebut menjadi jelas dengan dikeluarkannya Perda Daerah Istimewa Aceh No. 2 Tahun 1990 yang menjelaskan bahwa Panglima Laôt adalah orang yang memimpin adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam penangkapan ikan di lautan, termasuk dalam hal ini mengatur tempat atau areal penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan (Djufri 2008). Kelembagaan Panglima Laôt menjadi lebih kuat dan efektif dengan adanya pengakuan secara formal dari pemerintah setempat yaitu dengan diterbitkannya Qanun Aceh Nomor 9 tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat serta Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat oleh Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam (Kurniasari dan Nurlaili 2012).

Struktur Kelembagaan Panglima Laôt

(22)

8

Tugas Panglima Laôt tingkat kabupaten/kota adalah untuk menyelesaikan sengketa tentang kegiatan mencari ikan di laut, perselisihan tentang adat (hukum adat) laut antara Panglima Laôt Lhôk dan Pawang Laôt yang tidak terselesaikan pada tingkat Panglima Laôt Lhôk. Tugas utama lainnya adalah mengatur kenduri laôt bersamaan dengan nelayan dibawah koordinir Panglima Laôt Lhôk (Jufri 2008). Selanjutnya bila perselisihan mencakup antar kabupaten, provinsi atau bahkan internasional, akan diselesaikan di tingkat provinsi oleh Panglima Laôt Provinsi.

Secara lebih khusus dalam Wardah (2004) pertemuan para Panglima Laôt se-Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang ditetapkan di Langsa Aceh Timur pada tanggal 25 Januari 1992 memutuskan bahwa Lembaga Adat Laot adalah Hukum Adat Laot dan adat istiadat yang diperlukan masyarakat nelayan untuk menjaga ketertiban dalam penangkapan ikan dan kehidupan masyarakat nelayan di pantai. Sementara itu dipertegas pula bahwa Lembaga Adat dan Hukum Adat Laot masing-masing daerah kabupaten dan kota dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan lembaga dan Hukum Adat yang berlaku didaerahnya. Nelayan atau pengusaha perikanan yang melakukan penangkapan ikan di daerah perairan kabupaten atau kota tersebut harus tunduk pada lembaga dan hukum adat yang berlaku di daerah tersebut.

Lembaga Persidangan Hukum Adat Laut terdiri dari: a. Lembaga Persidangan Hukum Adat Laot Lhok.

1. 3 orang penasehat

2. Panglima Laôt Lhok bersangkutan (ketua lembaga persidangan) 3. 1 orang wakil ketua

4. 1 orang sekretaris (bukan anggota) 5. 3 orang dari staf lembaga (anggota)

b. Lembaga Persidangan Hukum Adat Laot Kabupaten/Kota.

1. 3 orang penasehat sekaligus sebagai pembina (Kadis Perikanan Tk. II,

4. 1 orang sekretaris bukan anggota

5. Seluruh Panglima Laôt Lhok sebagai anggota kecuali Panglima Laôt Lhok dari daerah sengketa merupakan staf lembaga.

Wilayah Kekuasaan Panglima Laôt

(23)

9 Secara lebih rinci, wilayah kekuasaan Panglima Laôt diuraikan dalam Wetlands (2007) sebagai berikut.

a. Bineh Pasie

Bineh pasie (tepi pantai) adalah kawasan di tepi pantai terhitung mulai dari pecahnya ombak hingga ke tempat dimana tanaman tahunan tidak bisa tumbuh, paling hanya ditumbuhi oleh tanaman tapak kuda. Bineh pasie merupakan kawasan darat yang berada dalam pengawasan adat laot karenanya penggunaan dan perubahan peruntukan kawasan bineh pasie untuk kepentingan selain kepentingan masyarakat nelayan haruslah atas persetujuan dari masyarakat nelayan setempat. Bineh Pasie merupakan wilayah kewenangan lembaga Panglima Laôt untuk mengatur dan mengawasi pemanfaatannya, khususnya untuk kesejahteraan kaum nelayan.

b. Leun Pukat

Leun pakat adalah kawasan bineh pasie yang digunakan untuk kegiatan menarik pukat darat (pukat banting atau pukat Aceh). Leun Pukat letaknya membujur dari tepi pantai hingga laut yang ukurannya sesuai dengan kebutuhan mendaratkan ikan bagi pukat darat. Leun Pukat merupakan kawasan yang dilindungi oleh adat dan tidak boleh dipergunakan untuk keperluan lain tanpa izin dari masyarakat nelayan. Teupien merupakan tempat nelayan mendaratkan perahunya. Sebagai salah satu pusat kegiatan nelayan disaat pulang melaut, penggunaan teupin diatur dan dilindungi oleh adat. Dengan demikian, kepentingan nelayan atas kawasan ini tetap terpelihara dan terjamin keberadaannya.

c. Uteun Bangka

Uteun bangka (hutan bakau) merupakan kawasan penyanggga bagi kehidupan di pesisir pantai. Di beberapa tempat seperti di Kabupaten Aceh Besar dan Aceh Barat berlaku adat; siapa yang menanam pohon bakau di suatu perairan, maka yang bersangkutan berhak atas tanaman tersebut. Namun karena pengelolaannya tidak terkontrol, penanaman pohon bakau terus meluas, sehingga tidak jelas lagi kepemilikannya. Disinilah peran Panglima Laôt dalam mengatur pengelolaan hutan bakau di pesisir Aceh. d. Uteun Aroen

Uteun aroen (hutan cemara) merupakan kawasan penyangga di tepi pantai yang terdiri dari pohon cemara. Perairan yang dekat dengan pesisir pantai yang banyak pohon cemara berdasarkan pengalaman nelayan setempat diyakini sangat disukai oleh kawanan ikan tertentu, terutama molusca (kerang-kerangan), kakap, kerapu dan lain-lain dimana habitat ikan tersebut lebih tertarik kepada suhu iklim sekitar kawasan pantai yang ditumbuhi pohon cemara.

e. Uteun Pasie

(24)

10

Fungsi dan Tugas Panglima Laôt

Panglima Laôt adalah pemimpin nelayan yang secara hukum adat laut (hukum adat laôt) bertugas mengkoordinasikan satu atau lebih wilayah operasional nelayan, dan minimal satu pemukiman nelayan. Dengan demikian tugas dan tanggung jawab Panglima Laôt diantaranya mengawasi dan memelihara pelaksanaan hukum adat laut, menyelesaikan berbagai pertikaian sehubungan dengan penangkapan ikan dan menyelenggarakan upacara-upacara adat laut dan lainnya.

Secara khusus, Panglima Laôt berfungsi untuk membantu Kheucik3 di bidang kelautan. Dalam hal ini, Panglima Laôt dibantu oleh Syahbandar, yakni orang yang memimpin dan mengatur perahu, lalu lintas kapal/perahu. Hal tersebut tertulis dalam Pasal 1 ayat 13, 14, 15, 16 dan ayat 17 Perda Nomor 7 Tahun 2000.

Dalam menjalankan fungsinya, maka tugas dan peran Panglima Laôt berdasarkan hasil musyawarah Panglima Laôt se-Aceh yang dilaksanakan pada tanggal 6-7 Juni, Tahun 2000 adalah sebagai berikut.

1. Memelihara dan mengawasi ketentuan-ketentuan dalam Hukum Adat Laôt 2. Mengkoordinasikan dan mengawasi setiap usaha penangkapan ikan di laut 3. Menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang terjadi diantara sesama

nelayan atau kelompoknya

4. Mengurus dan menyelenggarakan upacara adat laôt

5. Menjaga dan mengawasi agar pohon-pohon di tepi pantai/sungai tidak ditebang

6. Merupakan badan penghubung antara nelayan dengan pemerintah 7. Meningkatkan taraf hidup masyarakat nelayan, dan

8. Mengatur jadwal acara-acara ritual yang berhubungan dengan masyarakat nelayan (misalnya: Khanduri Laôt).

Berdasarkan uraian fungsi dan tugas Hukum Adat Laot di atas, bisa dikatakan bahwa jelas fungsi dan tugas dari lembaga Panglima Laôt tersebut sepenuhnya hanya dapat terlaksana apabila memiliki kekuatan dan pengakuan hukum yang kuat dan tetap dalam struktur pemerintahan sehingga mempunyai wewenang penuh dalam menjalankannya.

Aturan Adat Panglima Laôt

Kelembagaan Panglima Laôt merupakan tatanan yang dibuat oleh masyarakat dalam menjalankan tiga fungsi, yakni fungsi religi, ekonomi dan sosial. Fungsi religi terkait dengan hubungan para nelayan dengan tuhan, fungsi sosial berarti hubungan antar sesama nelayan, dan fungsi ekonomi adalah hubungan nelayan dengan alam sehingga berdampak positif pada kegiatan ekonomi masyarakat nelayan. Peran Panglima Laôt sangat strategis dalam rangka pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya laut secara bijaksana agar ketiga fungsi tersebut laut dapat tereksplorasi secara optimal dan seimbang. Hal ini terlihat dalam setiap pasal demi pasal aturan Panglima Laôt selalu mengandung nilai religi, ekonomi, dan sosial. Pemanfaatan fungsi ekonomi dan fungsi sosial dari laut harus selalu selaras dengan fungsi religinya. Dengan kata lain, segala bentuk eksplorasi

(25)

11 laut dan hubungan antar pelaku dalam memanfaatkan laut harus mempunyai nilai-nilai ibadah menurut syariat Islam.

Secara rinci hari pantang melaut yang ditetapkan oleh Panglima Laôt diuraikan dalam Wetlands (2007) sebagai berikut.

a. Kenduri adat laot

Kenduri adat laot dilaksanakan paling kurang 3 tahun sekali atau tergantung kesepakatan dan kesanggupan nelayan setempat dinyatakan 3 hari pantang melaut pada acara kenduri tersebut dihitung sejak keluar matahari pada hari kenduri hingga tenggelam matahari pada hari ketiga. b. Hari Jum’at

Dilarang melaut selama 1 hari terhitung sejak tenggelam matahari pada hari kamis hingga terbenam matahari pada hari jumat.

c. Hari Raya Iedul Fitri

Dilarang melaut selama 2 hari dihitung sejak tenggelam matahari pada hari Meugang hingga terbenam matahari pada kedua Hari Raya.

d. Hari Raya Iedul Adha

Dilarang melaut selama 3 hari dihitung sejak tenggelam matahari pada hari meugang hingga terbenam matahari padari ketiga Hari Raya.

e. Hari Kemerdekaan tanggal 17 Agustus

Dilarang melaut selama 1 hari dihitung sejak tenggelam matahari pada tanggal 16 Agustus hingga terbenam matahari pada tanggal 17 Agustus. f. Setiap tanggal 26 Desember

Dilarang melaut selama 1 hari dihitung sejak tenggelam matahari pada tanggal 25 Desember hingga terbenam matahari pada tanggal 26 Desember. Larangan ini untuk mengenang peristiwa tsunami yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004.

Pantangan ini mengandung nilai religi, nilai ekonomi dan sosial. Selain sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan YME sehingga mentalitas yang baik selalu terjaga, adanya hari pantang melaot ini berdampak positif pula terhadap stabilisasi ketersediaan ikan di laut. Dalam satu tahun, terdapat kurang lebih 60 hari dimana nelayan tidak melalut. Dengan demikian terdapat jeda dimana laut dapat melakukan rehabilitasi kondisi lingkungan baik segi kualitas berupa perbaikan lingkungan a biotik maupun segi kuantitas berupa restoking ikan dan biota lainnya. Dengan demikian stabilisasi lingkungan laut dapat terjaga sehingga dapat memenuhi kebutuhan masyarakat baik untuk generasi sekarang maupun generasi yang akan datang.

(26)

12

Adat Pemeliharaan Lingkungan Laôt

Aturan adat Panglima Laôt juga terkait dengan pemeliharaan lingkungan laut, dimana para nelayan dalam menjalankan kegiatan melautnya harus tetap menjaga kelestarian sumberdaya laut. Adat pemeliharaan lingkungan laut secara rinci diuraikan sebagai berikut.

a. Dilarang melakukan pemboman, peracunan, pembiusan, penglistrikan, pengambilanterumbu karang dan bahan-bahan lain yang dapat merusak lingkungan hidup ikan dan biota lainnya.

b. Dilarang menebang/merusak pohon-pohon kayu di pesisir pantai laut seperti pohon arun/cemara, pandan, ketapang, bakau dan pohon lainnya yang hidup di pantai.

c. Dilarang menangkap ikan/biota laut lainnya yang dilindungi (lumba-lumba, penyu dan lain sebagainya).

d. Dilarang penggunaan jaring di area terumbu karang (daerah pemijahan). e. Adanya pengaturan penangkapan ikan yang bertanda (tagging).

Selain itu, terkait dengan teknologi penangkapan ikan, peraturan yang dibuat oleh Panglima Laôt tidak menyalahi aturan hukum kemaritiman. Seperti dalam Keppres Nomor 39 Tahun 1980 yang melarang kapal ikan menggunakan alat tangkap trawl, begitu juga dengan peran kelembagaan Panglima Laôt yang menetapkan aturan yang sama, yakni melarang kapal ikan menggunakan alat tangkap trawl. Hukum negara dan hukôm adat laôt sama-sama melarang kapal ikan yang menggunakan alat tangkap trawl beroperasi diperairan laut Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dengan demikian, terlihat bahwa hukôm adat laôt memiliki dasar hukum yang kuat untuk mengambil tindakan yang melanggar peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh Panglima Laôt dan hukum negara (Jufri 2008).

Mekanisme pengambilan keputusan dalam kelembagaan Panglima Laôt menempatkan semua nelayan mempunyai hak untuk terlibat dalam pengelolaan sumberdaya laut. Hal ini dibuktikan dengan adanya rapat mingguan para nelayan tingkat lhok yang diselenggarakan di balai adat untuk membahas permasalahan dan perkembangan isu-isu kelautan. Kelembagaan Panglima Laôt tidak hanya memperhatikan hubungan sosial antar anggota masyarakat nelayan tetapi juga hubungan antara nelayan dengan pemerintah. Nelayan tidak boleh menangkap jenis ikan yang dilindungi oleh pemerintah seperti lumba-lumba dan penyu. Kolaborasi yang baik anatara pemerintah dan lembaga adat inilah yang merupakan salah satu kelebihan dan kekuatan wilayah pesisir Aceh dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain diluar Provinsi NAD (Kurniasari dan Nurlaili 2012).

Sistem Pengelolaan Lingkungan Laôt

(27)

13 persekutuan dan bidang pemeliharaan lingkungan laut. Sistem pengelolaan lingkungan laut oleh Lembaga Panglima Laôt dilakukan sebagai berikut.

a. Penetapan aturan hukum yang mengatur pengelolaan lingkungan laut. b. Diangkat seorang pemimpin yang menjalankan Hukum Adat Laot c. Diadakan sejenis pengadilan untuk mempertahankan Hukum Adat Laot. d. Menjalin hubungan dengan intansi pemerintah terkait.

Panglima Laôt dalam melaksanakan pengelolaan lingkungan laut bekerja sama dengan Dinas Kelautan dan Perikanan, Syahbandar dan polisi perairan. Segenap fungsionaris Lembaga Adat laot mendapat bimbingan dari Dinas Kelautan dan Perikanan, baik mengenai teknologi penangkapan hasil laut maupun dalam pelaksanaan peraturan pemerintah, terutama yang menyangkut pengelolaan lingkungan laut seperti pemilikan jaring yang tidak merusak lingkungan dan daerah penangkapan ikan. Syahbandar sebagai penanggung jawab terhadap pelayaran di laut sangat berkepentingan kepada Panglima Laôt . Karena itu izin pembuatan perahu/boat dan pos berlayar bagi perahu/boat disalurkan melalui Panglima Laôt dan pelaksanaannya diawasi bersama. Syahbandar memberi petunjuk-petunjuk wilayah laut yang boleh dilayari dan menangkap ikan serta cuaca di laut. Kerja sama dengan polisi perairan dilakukan dalam hal adanya pelanggaran berat dan tidak mampu diselesaikan oleh Panglima Laôt

Mengingat peran serta Panglima Laôt demikian besar dalam menjaga pelestarian fungsi laut, maka keberadaan Lembaga Panglima Laôt tersebut tetap dipertahankan oleh masyarakat. Dalam hukum adat laot telah dikembangkan sistem pelaporan untuk menjaga lingkungan laut. Jika seorang nelayan atau anggota masyarakat lainnya melihat ada oknum yang melanggar lingkungan hidup, maka pelanggaran tersebut harus dilaporkan segera pada Panglima Laôt dan atau kepada pihak yang berwajib. Panglima Laôt secara kelembagaan mengatur pengelolaan lingkungan laut dengan aturan selain memuat larangan juga mengatur cara orang bertindak terhadap lingkungan dalam lingkup yang terbatas sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya. Pengaturan seperti itu membawa konsekuensi lebih efektifnya berlaku hukum atas pengelolaan lingkungan laut.

Selanjutnya aspek-aspek yang diatur terkait dengan Lembaga Hukum Adat Laot diuraikan dalam Wardah (2004) sebagai berikut.

a. Hal-hal yang menyangkut dengan hukum adat laut 1. Aturan-aturan tentang penangkapan ikan di laut

2. Aturan tentang bagi hasil, sewa menyewa, pengupahan dan lain-lain 3. Aturan-aturan tentang tempat / wilayah khusus tempat penambahan

perahu/pukat di pantai

4. Aturan-aturan tentang tempat / wilayah penjemuran ikan, penangkapan ikan / memperbaiki kerusakan-kerusakan baik alat penangkapan ikan maupun perahu/boatnya

5. Aturan tentang larangan melakukan kegiatan di laut / pantang laut 6. Aturan-aturan tentang penemuan harta di laut

7. Aturan-aturan tentang upah atau pengganti jerih payah Panglima Laôt dan Pawang Laôt

8. Aturan-aturan tentang pertengkaran, perselisihan atau pertikaian serta perkelahian di laut

(28)

14

10. Aturan tentang pencuian ikan dilaut

11. Aturan-aturan laut yang berhubungan dengan semua kegiatan mencari nafkah di laut

b. Hal-hal yang menyangkut dengan sanksi adat atas penyelenggaraan-penyelenggaraan Hukum Adat Laot

1. Sanksi adat berupa penyitaan hasil laut 2. Sanksi adat berupa denda

3. Sanksi adat berupa perdamaian

4. Sanksi adat berupa larangan turun melaut selama jangka waktu tertentu 5. Sanksi adat berupa sanksi gabungan

c. Hal-hal yang menyangkut dengan adat-istiadat laut

1. Adat-istiadat dalam operasional melaut termasuk tata cara penangkapan ikan di laut

2. Adat-istiadat dalam kehidupan sosial ekonomi nelayan

3. Adat-istiadat dalam pemeliharaan dan pelestarian lingkungan 4. Adat-istiadat dalam mensyukuri rahmad berkaitan dengan hasil laut d. Hal-hal yang menyangkut dengan penyelesaian sengketa / perkara, baik

perkara-perkara pidana maupun perkara-perkara perdata

1. Dalam penangkapan ikan terjadi sak-sak atau menghimpit pukat 2. Sengketa mengenai yang terlebih dahulu menguasai kelompok ikan 3. Sengketa karena terjadi kerusakan pukat

4. Sengketa antar ABK (Aneuk Boat)

5. Sengketa penangkapan ikan yang dilarang 6. Sengketa kapal besar dengan perahu tradisional

7. Sengketa antara kelompok nelayan dengan kelompok nelayan

Kegiatan dan Program Panglima Laôt

Kegiatan yang dilakukan oleh lembaga Panglima Laôt telah diatur secara rinci dalam Pasal 6 Perda No. 2 Tahun 1990. Menurut pasal tersebut fungsi lembaga adat yang didalamnya termasuk lembaga Panglima Laôt adalah:

5. Membantu pemerintah dalam memperlancar pelaksanaan pembangunan. 6. Melestarikan hukum adat, adat istiadat dan kebiasaan masyarakat.

7. Memberi kedudukan hukum menurut hukum adat terhadap hal-hal yang menyangkut keperdataan adat.

8. Menyelenggarakan pembinaan dan pengembangan masyarakat.

Adapun beberapa spesifikasi program yang dilaksanakan oleh lembaga Panglima Laôt dalam Taufiq et al. (2014), antara lain : (1) penguatan masyarakat nelayan, (2) penguatan hukum adat laot masyarakat nelayan, (3) pemberdayaan masyarakat pesisir, (4) program beasiswa untuk pelajar dari kalangan nelayan miskin, (5) memelihara lingkungan darikerusakan, (6) penyelesaian konflik internal dan eksternal nelayan, dan (7) mencegah terjadinya penangkapan ikan secara illegal.

(29)

15 Panglima Laôt di Seunuddon Aceh Utara mengatakan, acara kenduri itu digunakan juga sebagai sarana mensosialisasikan kembali aturan/hukum kelautan yang telah digariskan oleh Endatu (nenek moyang).

Kenduri Laot berkembang secara turun temurun pada masyarakat pesisir Aceh. Menurut sebagian masyarakat, asal muasal peringatan kenduri laot itu dilatarbelakangi dengan peristiwa karamnya kapal yang digunakan oleh seorang anak panglima yang pergi melaut pada jaman dahulu, namun anak panglima ini selamat. Seekor ikan lumba-lumba telah mendamparkannya ke pinggir pantai. Sebagai rasa syukur atas keselamatan anak panglima itu maka diadakanlah Kenduri Laot selama tujuh hari-tujuh malam. Peringatan itu kemudian berlangsung sampai sekarang.

Kenduri Laot merupakan upacara menjelang musim timur atau ketika musim barat akan berakhir. Dahulu kenduri laot rutin dilaksanakan pada setiap desa pantai yang merupakan wilayah Panglima Laot, baik di lhok (teluk) maupun di kabupaten. Kenduri laot bagi masyarakat nelayan Aceh merupakan sebuah perwujudan hubungan antara manusia sebagai makhluk ciptaan dengan Sang penciptanya dan juga lingkungan sekitarnya dalam menghadapi lingkungan setempat. Kenduri laut ini dilangsungkan dengan menggalang iuran dari para nelayan sesuai kemampuan. Mereka yang tergolong kaya, harus menyumbang lebih banyak. Besarnya sumbangan itu ditentukan melalui musyawarah yang melibatkan warga. Musyawarah itu juga menentukan jadwal pelaksanaan kenduri.

Pembangunan Wilayah Pesisir

Potensi Sumberdaya Pesisir

Pesisir adalah jalur yang sempit dimana terjadi interaksi darat dan laut. Artinya, kawasan pesisir meliputi kawasan darat yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut (gelombang, pasang surut) dan kawasan laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami dan aktivitas manusia di daratan (sedimentasi, pencemaran). Wilayah pesisir dalam geografi dunia merupakan tempat yang sangat unik, karena di tempat ini air tawar dan air asin bercampur dan menjadikan wilayah ini sangat produktif serta kaya akan ekosistem yang memiliki keaneka ragaman lingkungan laut. Pesisir tidak sama dengan pantai, karena pantai merupakan bagian dari pesisir (BPHN 2009).

Ekosistem Pesisir Potensi pembangunan yang terdapat di wilayah pesisir secara garis besar terdiri dari tiga kelompok :

(30)

16

b. Sumber daya tak dapat pulih (non-renewable resources) Sumber daya yang tidak dapat pulih terdiri dari seluruh mineral dan geologi, antara lain minyak gas, granit, emas, timah, Bouksit, tanah liat, pasir, dan Kaolin.

c. Jasa-jasa lingkungan (environmental services). Jasa-jasa lingkungan yang dimaksud meliputi fungsi kawasan pesisir dan lautan sebagai tempat rekreasi dan parawisata, media transportasi dan komunikasi, sumber energi, sarana pendidikan dan penelitian, pertahanan keamanan, penampungan limbah, pengatur iklim, kawasan lindung, dan sistem penunjang kehidupan serta fungsi fisiologis lainnya.

Adapun terkait dengan pembangunan dan pengelolaan wilayah pesisir ini, ada beberapa persoalan yang menjadi isu-isu strategis yang diuraikan Rudyanto (2004) sebagai berikut.

a. Kondisi sumberdaya pesisir dan laut yang bersifat common property (milik bersama) dengan akses yang bersifat quasi open access. Istilah common property ini lebih mengarah pada kepemilikan yang berada di bawah kontrol pemerintah atau lebih mengarah pada sifat sumberdaya yang merupakan public domain, sehingga sifat sumberdaya tersebut bukanlah tidak ada pemiliknya. Dengan adanya sifat sumberdaya yang quasi open access tersebut, maka tindakan salah satu pihak yang merugikan pihak lain tidak dapat terkoreksi oleh pasar (market failure). Hal ini menimbulkan ketidakefisienan ekonomi karena semua pihak akan berusaha mengeksploitasi sumberdaya sebesar-besarnya, jika tidak maka pihak lain yang akan mendapat keuntungan.

b. Adanya degradasi lingkungan pesisir dan laut. Pada awal tahun 80-an, banyak pihak yang tersentak setelah menyaksikan kebijakan pembangunan yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi dan produktivitas ternyata telah menimbulkan kerusakan yang serius terhadap lingkungan. Hal ini berakibat fatal terhadap kelestarian lingkungan karena terjadi ekploitasi sumberdaya secara maksimal tanpa memperhatikan potensi lestari yang ada.

c. Kemiskinan dan kesejahteraan nelayan. Perikanan di Indonesia melibatkan banyak stakeholders, yang paling vital adalah nelayan kecil yang merupakan lapisan yang paling banyak jumlahnya. Mereka hidup dalam kemiskinan dan tekanan-tekanan sosial ekonomi yang berakar pada faktor-faktor kompleks yang saling terkait. Faktor-faktor tersebut dapat diklasifikasikan sebagai faktor alamiah dan non alamiah. Faktor alamiah berkaitan dengan fluktuasi musim dan struktur alamiah sumberdaya ekonomi desa. Sedangkan faktor non alamiah berhubungan dengan keterbatasan daya jangkau teknologi, ketimpangan dalam sistem bagi hasil, tidak adanya jaminan sosial tenaga kerja yang pasti, lemahnya jaringan pemasaran, tidak berfungsinya koperasi nelayan yang ada, serta dampak negatif kebijakan modernisasi perikanan yang ada.

(31)

17 dan potasium sianida untuk menangkap jenis-jenis ikan dengan nilai ekonomis tinggi di habitat terumbu karang telah merusak dan menimbulkan pencemaran lingkungan yang parah.

e. Peraturan dan kebijakan yang kurang kondusif. Dengan lahirnya aturan main yang menyangkut hak kepemilikan sumberdaya pada tingkat lokal, secara tidak langsung akan memberikan hak kepemilikan (property rights) kepada pemerintah daerah. Pemerintah daerah dapat mengelola sumberdaya pesisir dan laut secara lebih rasional mengingat ketersediaan sumberdaya serta terdegradasinya sumberdaya akan menentukan tingkat kemakmuran masyarakat di daerah yang bersangkutan. Kebijakan pembangunan perikanan yang dijalankan seharusnya tidak hanya mengejar kepentingan ekonomi, tetapi juga diimbangi secara proporsional dengan komitmen menjaga kelestarian sumberdaya perikanan yang ada.

Pengelolaan Perikanan Bersama

Pengelolaan perikanan merupakan sebuah kewajiban seperti yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang No 31/2004 yang ditegaskan kembali pada perbaikan undang-undang tersebut yaitu pada Undang-Undang No 45/2009. Dalam konteks adopsi hukum tersebut, pengelolaan perikanan didefinisikan sebagai semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan-peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati (KKP 2011).

Pengelolaan bersama perikanan dapat diartikan sebagai suatu model pengelolaan yang kolaboratif yang memadukan antara unsur masyarakat pengguna (kelompok nelayan, pengusaha perikanan, dan lain-lain) dan pemerintah yang juga dikenal dengan Co-Management. Co-Management perikanan dapat didefinisikan sebagai pembagian atau pendistribusian tanggung jawab dan wewenang antara pemerintah dan masyarakat lokal dalam mengelola sumberdaya perikanan. Berdasarkan definisi ini maka pemerintah dan masyarakat bertanggungjawab bersama-sama dalam melakukan seluruh tahapan pengelolaan perikanan. Melalui model ini, pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut dilaksanakan dengan menyatukan lembaga-lembaga terkait terutama masyarakat dan pemerintah serta stakeholder lainnya dalam setiap proses pengelolaan sumberdaya, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, dan pengawasan (Alains et al. 2009).

(32)

18

membutuhkan dukungan secara legal maupun finansial seperti formulasi kebijakan yang mendukung ke arah Co- Management, mengijinkan dan mendukung nelayan dan masyarakat pesisir untuk mengelola dan melakukan restrukturisasi peran para pelaku pengelolaan perikanan (Alains et al. 2009).

Hasil penelitian Kartika (2010) menuliskan dampak Co-Management Perikanan bagi masyarakat di Desa Jemluk, Pulau Bali. Adapun manfaat yang diterima adalah:

1. Pendirian dan penerapan co-management menyediakan kesempatan kepada nelayan untuk bekerja dalam bidang kepariwisataan dengan membawa wisatawan snorkeling dan diving di terumbu karang buatan.

2. Menyediakan kesempatan bagi nelayan untuk menangkap jenis ikan demersal di terumbu karang buatan.

3. Produksi ikan meningkat.

4. Masyarakat memiliki mata pencaharian baru dalam bidang wisata. 5. Pendapatan meningkat.

6. Produksi ikan meningkat, sehingga distribusi pendapatan cenderung meningkat.

Berkaitan dengan lokasi penelitian, sektor perikanan merupakan salah satu sektor andalan Provinsi Aceh, lebih kurang 55 persen penduduk Aceh bergantung kepada sektor ini baik secara langsung maupun tidak langsung (Yusuf 2003 dalam Muchlisin et al. 2009). Oleh karena itu pengembangan sektor perikanan harus menjadi salah satu prioritas pembangunan di Provinsi Aceh sehingga dapat memberikan dampak positif bagi perkembangan ekonomi secara umum di kawasan ini, khususnya bagi masyarakat nelayan Aceh yang kondisi ekonominya masih memprihatinkan. Di Aceh, pengelolaan perikanan bersama dilaksanakan di beberapa lhok, salah satunya adalah di Kawasan Bina Bahari, Lampuuk, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar. Pengelolaan Bersama Perikanan ini melibatkan Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh, Panglima Laôt, LSM Kabari dan tentunya masyarakat pesisir setempat. Secara umum, banyak kegiatan atau aktivitas yang dilakukan dalam Pengelolaan Perikanan Bersama ini diantaranya yang teridentifikasi adalah sebagai berikut.

1. Penghijauan atau reboisasi, dimana kegiatan ini memang menjadi fokus utama dalam pengelolaan bersama perikanan sejak pasca tsunami hingga sekarang. Menanam pohon dilakukan disepanjang pantai Lampuuk, termasuk pohon mangrove. Perencanaan kegiatan ini dimulai dari sosialisasi kepada masyarakat, penetapan lokasi penanaman, penetapan waktu penanaman, penyiapan bibit pohon dan perencanaan dana. Selanjutnya pada pelaksanaan dimulai dari survey lokasi, pendistribusian bibit, penyiapan lahan, penanaman dan pemeliharaan atau pewaratan. Kegiatan ini selanjutnya akan dievaluasi, yakni dengan pertemuan yang diadakan oleh pihak yang terlibat membicarakan tentang kefektifan dan dampak program yang dilaksanakan dan respon atau umpan balik masyarakat.

(33)

19 lokasi, pembuatan dan perawatan kolam. Kegiatan ini selanjutnya akan dievaluasi, yakni dengan pertemuan yang diadakan oleh pihak yang terlibat membicarakan tentang kefektifan dan dampak program yang dilaksanakan dan respon atau umpan balik masyarakat.

Konsep Partisipasi dan Kempemimpinan

Konsep Partisipasi

Sumarjo dan Saharuddin dalam Siregar (2009) mendefinisikan partisipasi sebagai peran serta seseorang atau kelompok orang dalam suatu kegiatan untuk mencapai sesuatu yang secara sadar diinginkan oleh pihak yang berkepentingan. Partisipasi merupakan proses aktif, inisiatif diambil oleh warga komunitas sendiri, dibimbing oleh cara berpikir mereka sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme) dimana mereka dapat menegaskan kontrol secara efektif. Partisipasi tersebut dapat dikategorikan: pertama, warga komunitas dilibatkan dalam tindakan yang telah dipikirkan atau dirancang oleh orang lain dan dikontrol oleh orang lain. kedua, partisipasi merupakan proses pembentukan kekuatan untuk keluar dari masalah mereka sendiri. Titik tolak partisipasi adalah memutuskan, bertindak, kemudian mereka merefleksikan tindakan tersebut sebagai subyek yang sadar (Nasdian 2006).

Cohen dan Uphoff (1979) membagi partisipasi ke beberapa tahapan, yaitu sebagai berikut:

1. Tahap perencanaan, ditandai dengan keterlibatan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan yang merencanakan program pemberdayaan yang akan dilaksanakan di desa, serta menyusun rencana kerja.

2. Tahap pelaksanaan, merupakan tahap terpenting dalam pemberdayaan, sebab inti dari pemberdayaan adalah pelaksanaannya. Wujud nyata partisipasi pada tahp ini dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu partisipasi dalam bentuk sumbangan pemikiran, bentuk sumbangan materi, dan bentuk keterlibatan sebagai anggota program.

3. Tahap menikmati hasil, yang dapat dijadikan indikator keberhasilan partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan pelaksanaan program. Selain itu, dengan melihat posisi masyarakat sebagai subjek pemberdayaan, maka semakin besar manfaat program yang dirasakan, yang artinya program tersebut berhasil mengenai sasaran.

4. Tahap evaluasi, dianggap penting sebab partisipasi masyarakat pada tahap ini dianggap sebagai umpan balik yang dapat memberi masukan demi perbaikan pelaksanaan program selanjutnya.

Partisipasi juga suatu bentuk khusus dalam pembagian kekuasaan, tugas dan tanggung jawab dalam komunitas. Selain itu partisipasi dipengaruhi oleh kebutuhan motivasi, struktur sosial, stratifikasi sosial dalam masyarakat, orang akan berpartisipasi menyangkut adanya kebutuhan akan kepuasan, mendapatkan keuntungan, dan meningkatkan status. Madrie (1986) membedakan partisipasi menjadi beberapa jenis yaitu:

1. Partisipasi dalam menerima hasil-hasil pembangunan:

(34)

20

b. Mau memelihara, menghargai hasil pembangunan yang ada.

c. Mau memanfaatkan dan mengisi kesempatan pada hasil pembangunan. d. Mau mengembangkan hasil-hasil pembangunan.

2. Partisipasi dalam memikul beban pembangunan: a. Ikut menyumbang tenaga.

b. Ikut menyumbang uang, bahan serta fasilitas lainnya. c. Ikut menyumbang pemikiran, gagasan, dan keterampilan. d. Ikut menyumbang waktu, tanah, dan lain sebagainya.

3. Partisipasi dalam pertanggungjawaban pelaksanaan pembangunan: a. Ikut menerima informasi dan memberikan informasi yang diperlukan. b. Ikut dalam kelompok-kelompok yang melaksanakan pembangunan. c. Ikut mengambil keputusan tentang pembangunan yang dilaksanakan. d. Iktu merencanakan dan melaksanakan pembangunan.

e. Ikut menilai efektivitas, efisiensi dan relevansi pelaksanaan program. Lubis (2009) menyatakan bahwa partisipasi masyarakat memiliki banyak bentuk, mulai dari yang berupa keikutsertaan langsung masyarakat dalam program pemerintahan maupun yang sifatnya tidak langsung, seperti berupa sumbangan dana, tenaga, pikiran, maupun pendapat dalam pembuatan kebijakan pemerintah. Namun demikian, ragam dan kadar partisipasi seringkali hanya ditentukan secara masif, yakni dari banyaknya individu yang dilibatkan. Padahal partisipasi masyarakat pada hakikatnya akan berkaitan dengan akses masyarakat untuk memperoleh informasi.

Konsep Kepemimpinan

Melihat fakta bahwa Panglima Laôt merupakan seorang pemimpin, maka konsep tentang kepemimpinan tidak bisa dilewatkan. Secara etimologi kata pemimpin dalam bahasa Inggris adalah leader. Akar katanya adalah to lead. Melalui pendekatan bahasa Mangunhardjana (1995) mengemukakan bahwa pemimpin adalah orang yang bergerak lebih awal, berjalan di depan, mengambil langkah pertama, berbuat paling dulu, memelopori, mengarahkan pikiran-pendapat-pikiran orang lain, membimbing, menuntun, menggerakkan orang lain melalui pengaruhnya. Kartono (1994) juga berpendapat bahwa pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan, khususnya kecakapan dan kelebihan disatu bidang, sehingga dia mampu mempengaruhi orang-orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu, demi pencapaian satu atau beberapa tujuan.

(35)

21

Kerangka Pemikiran

Pokok pikiran penelitian ini tidak terlepas dari judul penelitian, yakni peran Panglima Laôt terhadap peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan bersama perikanan. Partisipasi sendiri sebagai suatu indikator keaktifan suatu individu dalam suatu proses kegiatan tertentu dirasa berperan penting dalam mencapai tujuan, termasuk pada proses pembangunan. Sebagai seorang pemimpin, Panglima Laôt berperan penting untuk melancarkan proses pembangunan di wilayah pesisir Aceh sehingga pembangunan berjalan sesuai dengan harapan masyarakat. Adanya partisipasi dari masyarakat menjadi kunci keberhasilan dari pembangunan tersebut. Oleh karena itu peran Panglima Laôt dalam meningkatkan partisipasi masyarakat di wilayah pesisir, khususnya masyarakat nelayan, diperlukan. Indikator untuk mengukur peran Panglima Laôt berdasarkan peran pemimpin Robbins (2002), yakni memberi informasi, mengawasi kegiatan, memberi semangat untuk mencapai tujuan, dan mewakili kelompok.

Tingkat partisipasi pada penelitian ini akan diuji berdasarkan penjabaran tingkat partisipasi dari Cohen dan Uphoff (1979) membagi partisipasi ke beberapa tahapan, yaitu keterlibatan dalam perencanaan, pelaksanaan, menikmati hasil dan evaluasi. Selanjutnya tingkat partisipasi ini akan dilihat berdasarkan dimensi atau bentuk partisipasi, yakni sumbangan pemikiran, tenaga, materi dan waktu. Keempat dimensi tersebut akan dilihat dari setiap aktivitas atau kegiatan dalam Pengelolaan Bersama Perikanan, yakni pemenanaman pohon dan pembuatan kolam penangkaran penyu. Selain itu, sebagai suatu program pembangunan, Pengelolaan Bersama Perikanan tentunya diharapkan memiliki manfaat atau dampak yang positif bagi masyarakat. Dampak atau manfaat tersebut akan dilihat dari aspek sosial, ekonomi dan lingkungan.

 Tahap manfaat &hasil

(36)

22

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, maka hipotesis penelitian yang didapatkan ialah:

1. Diduga peran Panglima Laôt sebagai pemimpin akan mempengaruhi tingkat partisipasi nelayan dalam pengelolaan bersama perikanan.

2. Diduga tingkat partisipasi nelayan dalam Pengelolaan Bersama Perikanan mempengaruhi dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan pada nelayan.

Definisi Operasional

Peran Panglima Laôt

Peran Panglima Laôt sebagai pemimpin dalam hal ini adalah usaha yang dilakukan pemimpin dalam mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan Pengelolaan Bersama Perikanan, yakni penanaman pohon dan pembuatan kolam penangkaran penyu. Indikator yang digunakan adalah memberi informasi, mengawasi kegiatan, memberi semangat untuk mencapai tujuan dan mewakili kelompok. Indikator tersebut diukur dari frekuensi Panglima Laôt dalam menerapkan empat indikator tersebut sebagai pemimpin masyarakat. Frekuensi tersebut dilihat berdasarkan persepsi masyarakat dalam empat kategori, yaitu (1) Tidak Pernah, (2) Jarang, (3) Sering, dan (4) Selalu. Selanjutnya skor setiap indikator akan dihitung berdasarkan peran Panglima Laôt pada setiap kegiatan yang dilakukan. Skor maksimal di setiap kegiatan adalah 48 dan minimal 12. Pembagian skor peran Panglima Laôt adalah (3) Kuat (37-48), (2) Sedang (25-36) dan (1) Lemah (12-24). Semua indikator akan didefinisikan secara operasional sebagai berikut.

1. Memberi informasi adalah upaya dari seorang pemimpin dalam menyampaikan dan mengingatkan informasi terkait dengan kegiatan/program yang dilaksanakan. Peran ini diukur berdasarkan intensitas dari seorang pemimpin dalam memberikan informasi tersebut.

2. Mengawasi kegiatan adalah upaya dari seorang pemimpin dalam mengkoordinasikan dan mengontrol berlangsungnya kegiatan, termasuk dalam memantau keterlibatan masyarakat dalam kegiatan tersebut. Peran ini diukur berdasarkan intensitas pengawasan yang dilakukan.

3. Memberi semangat untuk mencapai tujuan adalah upaya dari seorang pemimpin dalam memberikan motivasi dan dorongan kepada masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan/program pembangunan yang dilakukan. Peran ini diukur berdasarkan intensitas seorang pemimpin dalam memacu semangat masyarakat untuk berpartisipasi.

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Tabel 1 Jadwal Pelaksanaan Penelitian
Tabel 2 Kalender Musim Nelayan Lampuuk
Tabel 3 Jumlah dan Persentase Responden menurut Golongan Usia
+7

Referensi

Dokumen terkait

GLP didirikan pada Februari 2016 untuk pengembangan proyek pembangkit listrik tenaga uap (“PLTU”) dengan kapasitas 2x50 MW di Propinsi Gorontalo, Sulawesi setelah memperoleh

Berdasarkan hasil penelitian yang penulis dapatkan, disimpulkan bahwa implementasi PP No 43 tahun 2004 tentang pelaksanaan upaya peningkatan kesejahteraan sosial

Setelah melakukan analisis data maka diketahui bahwa terdapat empat belas (14) skema aktansial dan lima (5) struktur fungsional dalam cerpen Haru no Tori. Serta ditemukan tiga hal

Tujuan penelitian ini mengetahui struktur morfologi dan anatomi secara makroskopis dan mikroskopis kulit benih mindi serta kandungan kimia pada benih yang meliputi

Hasil yang diperoleh dari pengujian hipotesis dengan teknik analisis korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang sangat signifikan antara identitas sosial dengan

Hasil menunjukkan bahwa galur IPB 161-F-6-1-1 merupakan galur terbaik dibandingkan galur-galur lainnya, dan menunjukkan sifat-sifat penting padi tipe baru antara

Hal ini kemudian dimodelkan dengan menggunakan teori analisis kompartemen dan kinetika biokimia yang mempertim- bangkan waktu transkripsi dan translasi sebagai faktor delay

Melalui Visi ini, Divisi InfraTEL akan berusaha untuk menjadi sebuah Unit Bisnis Produk Owner Infrastructure yang akan merealisasikan visi Telkom di kawasan regional Asia