i
PENGELOMPOKAN
DATA TITIK PANAS DENGAN
KENDALA JALAN DAN SUNGAI DI LAHAN GAMBUT RIAU
PRIMA TRIE WIJAYA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengelompokan Data Titik Panas Dengan Kendala Jalan dan Sungai di Lahan Gambut Riau adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, September 2016
Prima Trie Wijaya
ii
RINGKASAN
PRIMA TRIE WIJAYA. Clustering Data Spasial Titik Panas dengan Kendala Jalan dan Sungai di Lahan Gambut Riau. Komisi Pembimbing IMAS SUKAESIH SITANGGANG, dan LAILAN SYAUFINA
Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya, dari 2 612,09 Ha pada tahun 2011 menjadi sebesar 44 411,36 Ha pada tahun 2014. Salah satu wilayah yang sering mengalami kebakaran hutan dan lahan, adalah wilayah Riau. Teknik data mining dapat diterapkan untuk menangani serta menganalisa data persebaran titik panas berukuran besar. Penelitian ini menerapkan algoritme CPO-WCC (Clustering in Presence of Obstacles with Computed number of cells) yang merupakan algoritme yang mempertimbangkan kondisi sebenarnya di lingkungan. Dengan memperhatikan jalan dan sungai sebagai hambatannya. Data yang digunakan adalah data titik panas di Provinsi Riau tahun 2014 serta data jalan dan sungai di provinsi Riau.
Penelitian ini dilakukan dalam lima tahap. Tahap pertama adalah praproses data titik panas, tahap kedua clustering data titik panas menggunakan algoritme CPO-WCC, dan algoritme DBSCAN. Tahap ketiga adalah evaluasi hasil
clustering dari masing-masing algoritme. Tahap keempat adalah melakukan analisa cluster dari kedua algoritme dengan berdasarkan karakteristik fisikal dari lahan gambut. Pada tahapan kelima dilakukan analisa cluster dari kedua algoritme berdasarkan karakteristik data cuaca, serta data sosial ekonomi.
Hasil pengujian menunjukan bahwa hasil cluster dari algoritme CPO-WCC dan DBSCAN menghasilkan jumlah cluster yang berbeda. Pada cluster
terpadat hasil algoritme CPO-WCC, persebaran titik panas terbesar terdapat pada tipe lahan gambut Hemists/Saprists (60/40) dengan tipe kedalaman gambut sangat dalam (> 400 cm) dengan tipe gambut D4 (> 400 cm), dan terletak pada area hutan rawa. Berdasarkan hasil clustering menggunakan algoritme DBSCAN, persebaran titik panas dari cluster terpadat terletak pada tipe lahan gambut
Saprists/Hemists (60/40) dengan kedalaman sangat dalam (> 400 cm) dengan tipe gambut D4 (> 400 cm) pada areal lahan gambut hutan rawa. Hasil pengujian berdasarkan data cuaca menunjukan bahwa pada cluster terpadat hasil dari algoritme CPO-WCC, titik panas terbesar pada bulan Maret. Sedangkan pada
cluster terpadat hasil dari algoritme DBSCAN persebaran titik panas terbesar terjadi pada Februari. Hasil pengujian berdasarkan data sosial ekonomi menunjukkan bahwa titik panas terbesar pada daerah dengan pendapatan penduduk yang bersumber pada bidang pertanian. Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat bagi instansi terkait dalam pengambilan keputusan dalam penanganan kebakaran hutan dan lahan
iii
SUMMARY
PRIMA TRIE WIJAYA. Density Based Clustering of Hotspots In Peatland With Road and River as Physical Obstacles. Supervised by IMAS SUKAESIH SITANGGANG and LAILAN SYAUFINA.
Land and forest fires in Indonesia has increased every year, from 2 612.09 hectares in 2011 to 44 411.36 hectares in 2014. One of areas where forest fires are frequently occurred is Riau Province. Data mining techniques can be applied to handle and analyze the large data distribution of the hotspot as one of indicators of forest and land fires. This research applies the CPO-WCC (Clustering in Presence of Obstacles with Computed number of cells) algorithm which is an algorithm that take the actual conditions of environment into considerationfor example by including road and the river as obstacles. The data used are hotspots in Riau Province in 2014, roads and rivers in Riau province .
There are five steps in this research. The first step is hotspot data preprocessing. The second step is clustering data hotspot using CPO-WCC algorithm and DBSCAN algorithm. The third step is evaluating the hotspot clusters as results from each algorithm. The fourth step is performing cluster analysis of both algorithms based on the characteristics of peat. The last step is clusters analysis based on the weather characteristics, as well as socio-economic.
The results showed that the CPO-WCC algorithm and DBSCAN algorithm produce different number of clusters. In the densest cluster asresults of CPO-WCC algorithm, the largest spread of hotspots are on the type of peatland Hemists / Saprists (60/40) with depth greater than 400 cm, and is located on swamp forests. Based on the results of clustering using the DBSCAN algorithm, distribution of hotspots on densest cluster are located in the type of peatland Saprists / Hemists (60/40) with depth greater than 400 cm in swamp forests. In addition, based on the weather characteristics, in the densest cluster as result of theCPO-WCC algorithmmajority of hotspots are occurred in March 2014 while the result of DBSCAN algorithm shows that largest spread of hotspots are occurred in February 2014. Based on socio-economic data, the largest number of hotspots are occurred in areas where income source of the population is agriculture. The results of this study is expected to be useful for related institutions in decision making on handling forest and land fires.
iv
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
i
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Komputer
pada
Program Studi Ilmu Komputer
PENGELOMPOKAN
DATA TITIK PANAS DENGAN
KENDALA JALAN DAN SUNGAI DI LAHAN GAMBUT
RIAU
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2016
ii
iv
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2014 ini ialah data
minning, dengan judul Pengelompokan Data Titik Panas Dengan Kendala Jalan dan Sungai di Lahan Gambut Riau.
Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat memperoleh gelar Magister Komputer pada program studi Ilmu Komputer Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa bantuan-bantuan dan arahan-arahan dari kedua pembimbing sangat membantu dalam menyelesaikan karya tulis ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Imas Sukaesih Sitanggang, SSi MKom selaku pembimbing I dan Ibu Dr Ir Lailan Syaufina, M.Sc selaku pembimbing II.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada:
1 Dr Ir Agus Buono, MSi, MKom selaku Ketua Departemen Ilmu Komputer dan juga sebagai penguji luar komisi pada ujian tesis.
2 Dr Ir Sri Wahjuni, MT selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Komputer. 3 Seluruh dosen dan staf pegawai tata usaha Departemen Ilmu Komputer
4 Departemen Kehutanan RI dan Wetland International Program Indonesia sebagai penyedia data.
5 Orang tua, istri, saudara dan seluruh keluarga yang selalu memberikan dorongan dan mendoakan untuk keberhasilan studi bagi penulis.
6 Seluruh mahasiswa Departemen Ilmu Komputer khususnya teman-teman angkatan tahun 2012 pada program studi S2 Ilmu Komputer.
Semoga segala bantuan, bimbingan, dan motivasi yang telah diberikan kepada penulis senantiasa mendapat balasan dari ALLAH SWT. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2016
v
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vii
DAFTAR GAMBAR vii
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
Ruang Lingkup Penelitian 3
2 TINJAUAN PUSTAKA 3
Lahan Gambut 3
Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut 6
Titik Panas 6
Data Penelitian 12
Peralatan Penelitian 16
Tahapan Penelitian 16
Proses Pengumpulan Data 17
Proses Penyiapan Data 17
Clustering Data Titik Panas menggunakan algoritme CPO-WCC 18
Clustering Data Titik Panas menggunakan algoritme DBSCAN 19
Evaluasi Hasil Cluster 19
Analisis hasil cluster berdasarkan karakteristik lahan gambut, data cuaca,
dan sosial ekonomi 19
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 20
Pembentukan Cluster Data Titik Panas menggunakan Algoritme DBSCAN (Density Based Spatial Clustering Algoritme with Noise) 22 Pembentukan Cluster Data Titik Panas menggunakan Algoritme CPO-WCC (Clustering in Presence of Obstacle with Computed number of cells) 23
Evaluasi Hasil Cluster 25
Analisis Hasil Cluster Berdasarkan Karakteristik Lahan Gambut 26 Analisis Hasil Cluster Berdasarkan Data Cuaca 29 Analisis Hasil Cluster Berdasarkan Data Sosial Ekonomi 31
vi
Simpulan 32
Saran 32
DAFTAR PUSTAKA 33
vii
DAFTAR TABEL
1 Luas total lahan gambut untuk pertanian dan persebarannya di
Indonesia 3
2 Data penelitian 15
3 Data cuaca tahun 2014 15
4 Data sosial ekonomi 16
5 Hasil cluster yng menggunakan algoritme DBSCAN 22 6 Kerapatan data titik panas pada setiap cluster 26 7 Jumlah titik panas cluster 3 dan cluster 24 tahun 2014 30 8 Data cuaca stasiun cuaca simpang tiga Pekanbaru tahun 2014 30 9 Jumlah titik panas cluster 3 dan cluster 24 tahun 2014 berdasarkan
kabupaten 31
10 Data sosial ekonomi kota Bengkalis 31
DAFTAR GAMBAR
1 Proses pembentukan gambut di daerah cekungan lahan basah 4
2 Gambut berdasarkan kematangannya 5
3 Kebakaran bawah pada gambut 6
4 Persebaran titik panas Provinsi Riau tahun 2014 7
5 Langkah –langkah dalam proses clustering 8
6 Persebaran titik panas di suatu daerah 10
7 Hasil cluster tanpa kendala 11
8 Tahapan algoritme CPO-WCC 11
9 Peta Provinsi Riau 12
10 Peta tutupan lahan gambut, jalan, sungai, dan titik panas 13
11 Peta tipe dan kedalaman gambut 14
12 Tahapan penelitian 17
13 Jumlah titik panas pada tahun 2014 berdasarkan tipe gambut di
Provinsi Riau 20
14 Jumlah titik panas tahun 2014 berdasarkan ketebalan lahan gambut 21 15 Jumlah titik panas tahun 2014 berdasarkan tutupan lahan gambut 21 16 Titik panas pada Wilayah/Kabupaten dalam cluster 24 23
17 Hasil algoritme CPO-WCC 25
18 Sebaran titik panas berdasarkan jenis lahan gambut pada cluster 3 26 19 Sebaran titik panas berdasarkan jenis lahan gambut pada cluster 24 27 20 Sebaran titik panas berdasarkan ketebalan lahan gambut di areal
cluster 3 27
21 Sebaran titik panas berdasarkan ketebalan lahan gambut di areal
cluster 24 28
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyebaran lahan gambut di Indonesia berada pada beberapa pulau besar, seperti Sumatera, Kalimantan, dan Papua (Syaufina 2008). Area lahan gambut yang utama di Sumatera adalah di Provinsi Riau (60%), di samping Sumatera Selatan dan Jambi (Syaufina 2008). Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya, dari 2 612,09 Ha pada tahun 2011 menjadi sebesar 44 411,36 Ha pada tahun 2014 (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2016). Salah satu wilayah yang sering mengalami kebakaran hutan dan lahan adalah wilayah Riau. Dimana dari semua tempat terjadi kebakaran di provinsi Riau, Riau memiliki titik panas terbanyak. Dilihat dari kelompok faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, faktor alam tampaknya hanya memegang peranan yang sangat kecil, sedangkan faktor manusia menyebabkan hampir 100% dari kejadian kebakaran hutan dan lahan, baik sengaja maupun tidak sengaja (Syaufina 2008). Kebakaran hutan dan lahan berdampak pada aspek lingkungan, aspek sosial ekonomi, dan aspek kesehatan (Suratmo et al. 2003).
Untuk mengetahui terjadinya kebakaran hutan dan lahan salah satu indikator yang dapat digunakan adalah dengan mengetahui letak dari titik panas. Informasi titik panasini merupakan indikasi terjadinya kebakaran hutan (Suratmo
et al. 2003). Dengan mengetahui persebaran titik panas tersebut maka akan memudahkan dalam proses penanganan serta pencegahan dari kebakaran hutan dan lahan.
Teknik data mining dapat diterapkan untuk menangani serta menganalisa data persebaran titik panas berukuran besar. Teknik ini mengubah data yang telah dikumpulkan dalam jumlah besar menjadi informasi yang berguna (Han et al.
2012). Salah satu metode yang dapat digunakan dalam teknik data mining untuk pengelompokkan data spasial adalah spatial clustering. Clustering adalah proses pengelompokan kumpulan objek ke dalam cluster, sehingga objek-objek dalam satu cluster tersebut memiliki tingkat kemiripan yang tinggi tetapi tidak mirip terhadap objek dari cluster lain (Han et al. 2012). Density based clustering
merupakan salah satu metode utama untuk spatial clustering (Parimala et al.
2011). Algoritme Density Based Spatial Clustering Algoritme with Noise
(DBSCAN) mendefinisikan cluster berdasarkan kerapatannya (density), nilai kardinalitinya, dan radius dari lingkungan objeknya serta dapat memberikan nilai partisi terbaik dari setiap nilai masukan yang diberikan algoritme ini (Deborah et al. 2010). DBSCAN lebih efisien digunakan untuk mengolah basis data spasial yang besar (Ester et al. 1996).
Selain itu hambatan fisik seperti sungai, danau, dan jalan raya yang ada di dunia nyata mempengaruhi juga proses dalam clustering (El-Zawawy et al. 2009). Karena permasalahan kondisi fisik pada lingkungan nyata tersebut maka
2
kendala, salah satunya adalah algoritme CPO-WCC (Clustering in Presence of Obstacles with Computed number of cells) (El-Zawawy et al. 2009). Hasil
clustering dari titik panas DBSCAN akan dibandingkan dengan hasil clustering
dari titik panas CPO-WCC.
Dalam penelitian ini digunakan data titik panas kebakaran di Riau pada tahun 2014. Penelitian ini melakukan pengelompokkan data titik panas pada lahan gambut di wilayah Riau menggunakan algoritme CPO-WCC dengan sungai dan jalan sebagai kendalanya.
Hasil cluster terpadat dari algoritme DBSCAN dan CPO-WCC akan dibandingkan. Selanjutnya cluster terpadat dari kedua algoritme akan dianalisa berdasarkan dari karakteristik lahan gambut, berdasarkan data cuaca, dan analisa berasarkan data sosial ekonomi.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bahwa hasil cluster dari algoritme DBSCAN tidak melihat kendala pada kondisi sebenarnya pada lingkungan nyata seperti jalan dan sungai sehingga hasil cluster dari algoritme DBSCAN kurang memberikan hasil yang optimal. Sehingga perlu dilakukan
clustering dengan menggunakan algoritme yang melihat kondisi pada lingkungan nyata seperti CPO-WCC.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1 Membandingkan hasil cluster terbaik dari algoritme DBSCAN serta algoritme CPO-WCC dengan jalan dan sungai sebagai kendalanya di wilayah Riau.
2 Melakukan analisa hasil clustering berdasarkan karakteristik lahan gambut, data cuaca, dan data sosial ekonomi
Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat mempermudah instansi yang terkait dengan pengelolaan data titik panas dalam pengambilan keputusan terutama dalam upaya penanganan kebakaran hutan dan lahan. Diharapkan hasil
3
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah:
1 Teknik yang digunakan dalam clustering data titik panas adalah algoritme DBSCAN dan algoritme CPO-WCC (El-Zawawy et al. 2009). Pembatas yang dipergunakan dalam algoritme CPO-WCC adalah jalan dan sungai.
2 Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data titik panas kebakaran hutan di wilayah Riau tahun 2014 yang diperoleh dari Direktorat Kebakaran Hutan (DPKH) Departemen Kehutanan RI. Data lahan gambut diperoleh dari Wetlands Indonesia, data jalan dan sungai diperoleh dari Badan Informasi Geospatial, data cuaca yang diperoleh dari BMKG tahun 2014.
3 Karakteristik fisikal lahan gambut mencakup tipe, kedalaman dan tutupan lahan gambut. Data cuaca terdiri dari suhu minimum (0C), suhu maksimal (0C), suhu rata-rata (0C), kelembaban rata-rata. Data kondisi sosial ekonomi berisi sumber pendapatan utama dari masyarakat yang terdapat pada kecamatan yang terdapat pada wilayah Riau.
TINJAUAN PUSTAKA
Lahan Gambut
Penyebaran lahan gambut di Indonesia berada pada beberapa pulau besar, seperti Sumatera, Kalimantan, dan Papua (Syaufina 2008). Area lahan gambut yang utama di Sumatera adalah di Provinsi Riau (65%), di samping Sumatera Selatan dan Jambi (Syaufina 2008). Tabel 1 memperlihatkan persebaran lahan gambut di Indonesia (BB Litbang SDLP 2008).
Tabel 1 Luas total lahan gambut untuk pertanian dan persebarannya di Indonesia
Pulau / Provinsi Luas total (ha) Layak untuk pertanian (ha)
Sumatera 6 244 101 2 253 733
Kalimantan Selatan 331 629 162 819
Papua dan Papua Barat 7 001 239 2 273 160
4
dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum.
Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai. Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan tranportasi, berbeda dengan proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik (Hardjowigeno 1986). Gambar 1 memperlihatkan proses terbentuknya lahan gambut.
Gambar 1 Proses pembentukan gambut di daerah cekungan lahan basah (Noor 2001)
Gambar 1(a) menunjukkan terjadi proses pengisian danau dangkal oleh vegetasi lahan basah, Gambar 1(b) menunjukkan proses pembentukan gambut topogen, dan Gambar 1(c) menunjukkan pembentukan gambut ombrogen diatas gambut topogen.
5 Bahan organik hemik, adalah bahan organik yang sekitar separuhnya telah mengalami dekomposisi (hemi = separuh/pertengahan). Bahan organik saprik, adalah bahan organik yang sebagian besar telah mengalami dekomposisi (Wahyunto et al. 2005). Gambar 2 memperlihatkan tanah gambut berdasarkan tingkat kematangannya.
a) gambut fibrik b) gambut hemik
Gambar 2 Gambut berdasarkan kematangannya (Agus dan Subiksa 2008). Menurut kedalamannya gambut dapat dibedakan menjadi (Agus dan Subiksa 2008):
1 Gambut dangkal (50 – 100 cm) 2 Gambut sedang (100 – 200 cm) 3 Gambut dalam (200 – 300 cm) 4 Gambut sangat dalam (> 300 cm)
6
Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut
Kebakaran hutan adalah pembakaran yang penjalarannya bebas serta mengkonsumsi bahan bakar alami dari hutan seperti, serasah, rumput, ranting/ cabang pohon mati, snags (pohon mati yang tetap berdiri), logs, tunggak pohon, gulma, semak belukar, dedaunan dan pohon-pohonan (Suratmo et al. 2003). Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya, dari 2 612,09 Ha pada tahun 2011 menjadi sebesar 44 411,36 Ha pada tahun 2014 (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan2016). Salah satu wilayah yang sering mengalami kebakaran hutan dan lahan, adalah wilayah Riau. Dengan titik panas terbanyak dibandingkan dengan wilayah lainnya.
Berdasarkan pola penyebaran dan tipe bahan bakar, kebakaran hutan dan lahan dapat digolongkan kedalam tiga tipe, yaitu kebakaran bawah (ground fire), kebakaran permukaan (surface fire), dan kebakaran tajuk (crown fire) (Syaufina 2008). Sedangkan pada tipe kebakaran lahan gambut, api menjalar di bawah permukaan membakar bahan organik dengan pembakaran yang tidak menyala (smoldering) (Syaufina 2008). Kebakaran gambut didominasi oleh pembakaran
smoldering (membara tanpa nyala), dimana api bertahan pada laju pembakaran yang sangat rendah dari beberapa desimeter hingga puluhan meter per hari (Artsybashev 1983). Kebakaran gambut terlihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Kebakaran bawah pada gambut (Najiyati et al. 2005).
Berdasarkan kedalaman pembakaran, kebakaran gambut dapat digolongkan kedalam tiga kelas, yaitu lemah, sedang, dan kuat dengan kedalaman pembakaran berturut-turut < 25 cm, 25 – 50 cm, dan > 50 cm (Artsybashev 1983). Dampak kebakaran dari lahan gambut yang paling utama adalah biomassa dan keanekaragaman hayati, hilangnya sumber daya gambut, terjadinya proses subsiden, serta hilangnya fungsi penyerapan karbon (Syaufina 2008). Di samping itu, gambut yang terbakar juga menimbulkan kabut asap dan penyebaran asap yang menyebabkan masalah kesehatan yang serius serta gangguan transportasi (Syaufina 2008).
Titik panas
7 panas adalah salah satu piksel daerah yang memiliki suhu lebih tinggi jika dibandingkan dengan daerah/lokasi sekitar yang tertangkap oleh sensor satelit dan digital (Albar 2002). Format data titik panas berupa koordinat geografis (longtitude dan latitude), lokasi titik panas dan jumlah titik panas untuk masing-masing daerah (Suratmo et al. 2003). Gambar 4 memperlihatkan persebaran titik panas pada pada Provinsi Riau pada tanggal 12 Maret 2014.
Gambar 4 Persebaran titik panas Provinsi Riau tahun 2014 (BNPB 2016). Berdasarkan Gambar 4 terlihat jumlah data titik panas yang berbeda dari kedua satelit NOAA dan MODIS, perbedaan tersebut terdapat pada resolusi, dimana MODIS memiliki resolusi sebesar 250 Meter persegi atau 16 kali lebih detail dibandingkan citra satelit NOAA (Adinugroho et al. 2005).
Data Spasial
8
terdapat pada titik adalah bendungan air, bandara, kantor pos, contoh dari fitur diskrit yang berbentuk garis adalah jalan raya (Chang 2008).
Spatial Data Mining
Spatial data mining adalah bagaimana melakukan proses ekstraksi dari suatu pengetahuan, bagaimana mengetahui hubungan antar setiap data spasial, atau bagaimana menemukan hubungan yang menarik dari data yang tersimpan di dalam basis data spatial (Han et al. 2012). Tujuan dari spatial data mining adalah bagaimana menemukan pola atau informasi yang tersembunyi dan berguna dari basis data spasial (Leung 2010). Perbedaan utama antara data mining dalam bisnis data relasional dengan data mining dalam basis data spasial adalah bahwa atribut dari beberapa objek yang menarik dari tetangga mungkin memiliki pengaruh yang signifikan pada objek dan area disekitarnya juga harus diperhatikan. Lokasi yang eksplisit dan perluasan objek spasial juga mendefinisikan hubungan implisit dari lingkungan spasial, seperti topologi, hubungan jarak dan arah yang digunakan oleh algoritme Spatial Data Mining (Ester, et al. 1996).
Spatial Clustering
Clustering adalah proses pengelompokkan kumpulan objek ke dalam kelas-kelas (cluster) sehingga objek-objek dalam satu cluster yang sama memiliki tingkat kemiripan yang tinggi tetapi tidak mirip terhadap objek dari cluster lain (Han et al. 2012). Clustering juga dapat diartikan sebagai suatu teknik yang digunakan untuk menentukan karakteristik serupa dari sekumpulan data (Deborah
et al. 2010). Sebagai fungsi dari data mining, spatial clustering dapat digunakan sebagai alat untuk mendapatkan informasi mengenai data yang terdistribusi, sebagai alat untuk mengamati karakteristik dari setiap clustering, dan dapat lebih fokus kepada data cluster yang sedang diamati untuk melakukan tahapan analisis lebih lanjut (Han et al. 2001). Gambar 5 menunjukkan langkah-langkah dari proses clustering (Fayyad et al. 1996).
Pemilihan fitur Pemilihan algoritme Evaluasi hasil
cluster
Interpretasi hasil
clustering
9
Algoritme Density-Based Spatial Clustering Algorithm with Noise (DBSCAN)
Algoritme Density-Based Spatial Clustering Algorithm with Noise
(DBSCAN) mengidentifikasikan anggota suatu cluster serta kerapatannya (Ester
et al. 1996). DBSCAN adalah algoritme clustering yang berbasis kepadatan (density) yang popular (Ester et al. 1996).
Langkah-langkah dari proses algoritme DBSCAN adalah sebagai berikut (Muntaz et al.2010) :
1 DBSCAN pertama membutuhkan dua buah parameter yaitu ԑ (epsilon) dan jumlah minimum poin (MinPts). Pertama algoritme ini mencari titik awal yang belum pernah dikunjungi, kemudian mencari semua titik
tetangga yang berdekatan dengan ԑ dari titik awal.
2 Jika jumlah tetangga ≥ MinPts maka akan terbentuk suatu cluster. Semua titik awal dan tetangga akan ditambahkan serta titik awalnya akan ditandai sebagai daerah yang telah dikunjungi. Algoritme ini kemudian akan mengulangi untuk setiap tetangganya yang bersifat rekursif.
3 Jika jumlah tetangga kurang dari minPts, intinya ditandai sebagai noise. 4 Jika cluster sepenuhnya diperluas (semua daerah titik telah dikunjungi)
maka hasil dari iterasi algortime yang belum dikunjungi dimasukkan ke dalam dataset.
Secara sederhana pseudocode dari algoritme DBSCAN adalah sebagai berikut (Ester et al. 1996):
DBSCAN (SetOfPoints, Eps, MinPts) // SetOfpoints is UNCLASSIFIED Cluster Id := nextId(NOISE);
For I FROM 1 TO SetOfPoints.size Do Point := SetOfPoints.get(i);
IF Point.Clid = UNCLASSIFIED THEN IF ExpandCluster(SetOfPoints, Point, ClusterId, Eps, MintPts) THEN
10
Algoritme Clustering in Presence of Obstacle with Computed number of cells
(CPO- WCC)
Algoritme CPO adalah suatu algoritme yang diperkenalkan oleh El-Zawawy dan algoritme CPO akan membagi wilayah spasial ke dalam sebuah sel persegi panjang serta akan memberikan nama label dengan sebutan dense dan
non dense (berdasarkan jumlah dari titik yang terdapat di dalam sel) dan juga memberi nama padat (untuk perpotongan dari hambatan) dan tidak padat (untuk daerah yang tidak dipotong oleh hambatan ). Algoritme ini akan berhenti sampai daerah padat tidak lagi dilewati oleh hambatan (El-Zawawy et al. 2009).
Algoritme CPO-WCC akan membagi wilayah spasial ke dalam sebuah sel persegi panjang serta akan memberikan nama label dengan sebutan dense dan
non dense (berdasarkan jumlah dari titik yang terdapat di dalam sel) dan juga memberi nama obstructed (untuk perpotongan dari obstacle ) dan non obstructed
. Untuk setiap sel obstructed, algoritme ini akan mencari jumlah dari setiap
subsel dari non obstructed . Kemudian algoritme akan mencari daerah yang padat dengan sel non obstructed atau sub sel dengan pencarian pada tahap pertama sebagai cluster yang dibutuhkan serta menentukan titik pusat dari setiap daerahnya (El-Zawawy et al. 2009).
Sebagai contoh kasus terdapat kebakaran di suatu daerah yang akan di lakukan clustering. Daerah tersebut dilalui oleh jalan seperti terlihat pada Gambar 6. Gambar titik-titik merah adalah titik panas yang terdapat pada daerah tersebut, gambar garis berwarna hitam adalah gambar jalan yang melalui daerah tersebut, dan gambar garis berwarna biru adalah sungai. Jika hambatan yang ada diabaikan maka daerah cluster yang terbentuk adalah seperti pada Gambar 7 dimana hambatan yang ada tidak dipertimbangkan. Oleh sebab itu dalam melakukan
clustering, hambatan pada data rill perlu dipertimbangkan karena akan mempengaruhi dalam hasil clustering. Gambar 8 menunjukkan proses dari algoritme CPO-WCC yang dapat digunakan dalam menyelesaikan masalah dari
clustering dengan menggunakan algoritme DBSCAN.
11
Gambar 8 Tahapan algoritme CPO-WCC
Berdasarkan Gambar 7 daerah cluster terbentuk tanpa mempertimbangkan lingkungan nyata, dimana hasil cluster yang dihasilkan adalah sebanyak 4 cluster.
Hasil yang berbeda tampak pada Gambar 8, dimana daerah dibagi menjadi beberapa grid. Selanjutnya dari grid tersebut dihitung jumlah titik panas yang ada untuk menentukan daerah tersebut memiliki titik panas yang rapat atau tidak. Jika terdapat titik panas yang memiliki kerapatan tinggi serta daerah tersebut dilalui oleh kendala, maka daerah grid tersebut akan dibagi lagi menjadi grid yang lebih kecil. Proses tersebut akan terus berulang sampai tidak ditemukan lagi grid yang rapat yang dilalui oleh kendala.
Cluster 1
Cluster 2
Cluster 3
Gambar 7 Hasil cluster tanpa kendala
Cluster 4
Cluster 3
Cluster 2
12
METODE
Area Studi
Area studi dalam penelitian ini adalah areal lahan gambut pada provinsi Riau. Provinsi Riau dipilih dikarenakan, area lahan gambut yang utama di Sumatera adalah di Provinsi Riau (65%), di samping Sumatera Selatan dan Jambi (Syaufina 2008). Selain itu wilayah Riau sering mengalami kebakaran setiap tahunnya. Wilayah Provinsi Riau terletak antara 01o05’00’’ Lintang Selatan sampai 02o25’00’’ Lintang Utara dan 100o00’00’’ sampai 105o05’00’’ Bujur Timur dengan batas-batas wilayah sebagai berikut;
Sebelah Utara : Selat Malaka dan Provinsi Sumatera Utara Sebelah Selatan : Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Barat Sebelah Barat : Provinsi Sumatera Barat
Sebelah Timur : Provinsi Kepulauan Riau dan Selat Malaka Peta Provinsi Riau terlihat pada Gambar 9.
Gambar 9 Peta Provinsi Riau (Badan Informasi Geospasial 2016)
Data Penelitian
13 tipe dari lahan gambut dan kedalaman gambut terlihat pada Gambar 11, sedangkan pada Tabel 2 memperlihatkan data dari penelitian yang akan digunakan. Pada Tabel 3 menunjukkan data yang cuaca yang diperoleh dari BMKG. Sedangkan untuk data sosial ekonomi terlihat pada Tabel 4.
a) Titik Panas b) Jalan
c) Sungai
d) Tutupan lahan gambut
14
Berdasarkan Gambar 10, terlihat persebaran dari titik panas, daerah yang dilalui oleh sungai dan jalan pada provinsi Riau, dan juga persebaran tutupan lahan gambut yang terdapat pada provinsi Riau. Terdapat 15 jenis area tutupan lahan gambut yang tersebar di provinsi Riau.
a) Tipe gambut
b) Ketebalan gambut
Gambar 11 Peta tipe dan kedalaman gambut
15 Tabel 2 Data Penelitian
No Tahapan Penelitian Data (Parameter) Sumber Data 1 Clustering data titik panas
menggunakan algoritme DBSCAN
Titik panas Data Kebakaran Hutan tahun 2014 dari
Direktorat Kebakaran Hutan (DPKH) Departemen Kehutanan RI
2 Clustering data titik panas menggunakan algoritme CPO-WCC dengan kendala sungai.
Titik panas Data Kebakaran Hutan tahun 2014 dari
Direktorat
Kebakaran Hutan (DPKH) Departemen Kehutanan RI
Data sungai Badan Informasi Geospatial Data jalan Badan Informasi Geospatial 3 Evaluasi hasil clustering
untuk mendapatkan
cluster yang terbaik.
Titik panas Data Kebakaran Hutan tahun 2014 dari
Direktorat Kebakaran Hutan (DPKH) Departemen Kehutanan RI
Lahan gambut Wetlands Internasional Indonesia Programme
Data sungai Badan Informasi Geospatial Data jalan Badan Informasi Geospatial
4 Analisis cluster Titik panas Data Kebakaran Hutan tahun 2014 dari Direktorat Kebakaran Hutan (DPKH) Departemen Kehutanan RI
Data sungai Badan Informasi Geospatial Data jalan Badan Informasi Geospatial Lahan gambut Wetlands Internasional Indonesia
Programme Data cuaca
Data sosial ekonomi
BMKG BPS
Tabel 3 Data Cuaca tahun 2014
Bulan
Suhu Min. (C) Suhu Maks. (C) Suhu Kelembaban (%) Rata –Rata dalam 1 bulan
16
Tabel 4 Data Sosial ekonomi
Kabupaten / Kota Sumber Pendapatan
Kuantan Singingi Pertanian, pertambangan dan penggalian, perdagangan besar/eceran
Indragiri Hulu Pertanian, industri pengolahan, perdagangan besar/eceran, jasa, konstruksi, listrik, gas, perbankan
Indragiri Hilir Pertanian, industri pengolahan, angkutan, jasa
Pelalawan Pertanian, pertambangan dan penggalian, industri pengolahan Siak Pertanian, pertambangan dan penggalian, industri pengolahan,
perdagangan besar/ eceran, jasa, konstruksi, listrik, gas, perbankan
Kampar Pertanian, pertambangan dan penggalian, industri pengolahan, perdagangan besar/ eceran, jasa, konstruksi, listrik, gas, perbankana
Rokan Hulu Pertanian, pertambangan dan penggalian, jasa Rokan Hilir Pertanian, pertambangan dan penggalian, jasa
Bengkalis Pertanian, pertambangan dan penggalian, industri pengolahan, perdagangan besar/ eceran, jasa
Kepulauan Meranti Pertanian, industri pengolahan, perdagangan besar/ eceran, angkutan, konstruksi, listrik, gas, perbankana
Pekanbaru Pertanian, industri pengolahan, perdagangan besar/ eceran, jasa
Dumai Pertanian, industri pengolahan, perdagangan besar/ eceran, angkutan, jasa
Peralatan Penelitian
Peralatan yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri dari perangkat keras serta perangkat lunak yaitu sebagai berikut ;
a. Perangkat keras
Komputer personal dengan prosesor Intel(R) Core(TM) i3-4010U CPU@ 1.70GHz, RAM 4 Giga Byte, monitor dengan resolusi 1024 × 768 pixel, dan
mouse.
b. Perangkat lunak
• Sistem operasi :Windows 7 Ultimate
• Microsoft Excel 2007 untuk praproses data
• R 3.1 untuk pengolahan data
• Quantum GIS 2.8.3 Wien untuk pengolahan data spasial
Tahapan Penelitian
Secara umum tahapan dalam penelitian ini dimulai dengan pengumpulan data titik api serta data lahan gambut di provinsi kabupaten Riau, selanjutnya dilakukan penyiapan data. Tahapan berikutnya adalah dilakukan proses clustering
17
clustering algoritme CPO-WCC, selanjutnya dilakukan proses analisis. Tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 12.
Mulai
Proses penyiapan data, dan proses
integrasi
Clustering data titik panas menggunakan
Clustering data titik panas menggunakan algoritme DBSCAN
Analisis hasil cluster
berdasarkan data cuaca dan sosial ekonomi
Cluster titik panas dari
algoritme DBSCAN
Gambar 12 Tahapan penelitian
Proses Pengumpulan Data
Pada tahapan ini dilakukan proses pengumpulan data titik panas yang didapat dari Direktorat Kebakaran Hutan (DPKH) Departemen Kehutanan RI, data lahan gambut yang didapat dari Wetlands International Indonesia Programme, data jalan dan sungai didapat dari Badan Informasi Geospatial, data cuaca diperoleh dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, data sosial ekonomi diperoleh dari Badan Pusat Statistik.
Proses Penyiapan Data
Pada tahapan ini dilakukan proses penyiapan data dengan menghilangkan data titik panas yang terdapat di wilayah Riau dan mengubah data yang tidak konsisten menjadi konsisten. Data titik panas dari Riau yang didapat adalah sebanyak 18 339 record. Tahap selanjutnya dalam praproses data adalah seleksi atribut. Dari 12 atribut yang terdapat pada data titik panas. Penelitian ini menggunakan atribut tanggal dari munculnya titik panas, longitude (bujur) dan
18
Pada praproses data lahan gambut dilakukan fungsi spasial penggabungan untuk menggabungkan layer yang sebelumnya terpisah menjadi satu kesatuan
layer lahan gambut pada areal Riau. Tahapan praproses ini memanfaatkan Quantum GIS 2.8.3 Wien untuk melakukan penyeiapan data titik panas dengan menghilangkan atribut yang tidak digunakan sehingga nantinya hanya atribut atribut acq_date (merupakan atribut tanggal dari munculnya titik panas), longitude
(bujur) dan latitude (lintang) saja yang digunakan. Penghilangan atribut ini dilakukan untuk mengurangi ukuran dataset titik panas yang besar sehingga menjadi lebih kecil juga karena atribut lain tidak diperlukan untuk clustering. Selain itu Quantum GIS 2.8.3 Wien digunakan juga pada proses penggabungan layer lahan gambut.
Clustering Data Titik Panas menggunakan Algoritme CPO-WCC
Data hasil proses penyiapan data selnjutnya diproses dengan menggunakan algoritme CPO-WCC (Clustering in Presence of Obstacles With Computed number of Cells).Algoritme CPO-WCC (Clustering in Presence of Obstacles With Computed number of Cells) digunakan untuk menemukan cluster pada basis data
spatial yang memiliki hambatan (El-Zawawy et al. 2002).
Tahapan awal dari algoritme adalah dengan menenntukan ukuran dari grid
yang ada, dengan menentukan besar ukuran dari grid, ukuran panjang serta lebar dari grid tersebut haruslah sama, selanjutnya menentukan hambatan yang akan digunakan. Hambatan yang digunakan dalam algoritme ini adalah jalan dan sungai. Kemudian menetukan jumlah grid kecil yang dibentuk oleh setiap grid dengan kerapatan besar yang dilalui oleh hambatan.
Setelah diperoleh ukuran dari grid, hambatan yang digunakan, serta jumlah
grid-grid kecil yang terbentuk dari setiap grid padat yang dilalui oleh hambatan, maka akan dilakukan beberapa prosedur yaitu ;
1 Menghitung jumlah grid yang terbentuk
2 Menentukan setiap grid padat atau tidak, dengan menggunakan rumus
�= jumlah titik panas
jumlah grid yang terbentuk jika jumlah titik panas dari setiap grid sama
dengan atau lebih dari nilai � maka grid tersebut dikatakan padat, sebaliknya jika jumlah titik panas dari grid lebih kecil dari � maka daerah tersebut dikatakan tidak padat.
3 Membagi setiap daerah grid padat yang dilalui oleh hambatan menjadi
grid-grid kecil. Proses pembagian grid menjadi grid kecil akan terus berulang hingga setiap grid padat yang ada tidak dilaui oleh hambatan. 4 Menetukan daerah cluster yang terbentuk
19
Clustering Data Titik Panas menggunakan Algoritme DBSCAN
Data hasil proses penyiapan data selanjutnya dikelompokkan menggunakan algoritme DBSCAN. Algoritme Density-Based Spatial Clustering Algorithm with Noise (DBSCAN) mengidentifikasikan anggota suatu cluster serta kerapatannya (Ester et al. 1996). Tahapan awal dalam algoritme ini adalah dengan menentukan nilai dari Eps dan MinPts yang akan digunakan sebagai titik dalam sebuah
cluster. Hasil cluster dari algoritme DBSCAN dikatakan terbaik apabila Eps-
neigborhood memiliki jarak yang mirip dengan titik yang lain atau memiliki jarak yang sama.
Nilai dari Eps dan MinPts yang digunakan adalah Eps = 0.1 dan Minpts 6 (Usman 2014). Setelah nilai Eps dan MinPts ditentukan, maka akan dilakukan beberapa langkah yaitu;
1 Melakukan clustering dengan menghubungkan semua titik yang ada dengan jarak seluas dari nilai Eps.
2 Membuat kelompok dari setiap titik yang terhubung menjadi cluster yang terpisah dimana jumlah titik minimal dari setiap cluster adalah sebesar dari nilai Minpts 6.
Proses clustering dalam penelitian ini menggunakan perangkat lunak statistik R 3.1.
Evaluasi Hasil Cluster
Pada tahapan ini akan dilakukan evaluasi terhadap cluster hasil dari algoritme DBSCAN dan algoritme CPO-WCC. Cluster yang dipilih dari setiap algoritme yang nantinya akan dilakukan proses pembandingan adalah cluster
dengan densitas terpadat.
Analisis hasil cluster berdasarkan karakteristik lahan gambut, data cuaca, dan sosial ekonomi
20
HASIL DAN PEMBAHASAN
Titik panas pada lahan gambut di Provinsi Riau sebanyak 18 292 dimana dari total tersebut terdapat 18 246 titik panas yang terdapat di daerah lahan gambut. Jenis lahan gambut di Provinsi Riau dikategorikan berdasarkan tingkat kematangannya menjadi Fibrists, Hemists, Saprists, Saprists/Hemists, Hemists/ Saprists, Fibrists/Saprists. Gambar 13 memperlihatkan sebaran titik panas lahan gambut pada Provinsi Riau berdasarkan tipe gambut, sedangkan pada Gambar 14 diperlihatkan sebaran titik panas berdasarkan ketebalan dari lahan gambut di Provinsi Riau.
Gambar 13 Jumlah titik panas pada tahun 2014 berdasarkan tipe gambut di Provinsi Riau
Tipe gambut “Hemists/Saprists (60/40), sangat dalam” berarti kandungan
Hemists pada lahan gambut tersebut sebanyak 60% sedangkan sisanya adalah
Saprists sebanyak 40%. Sangat dalam adalah ketebalan gambut pada area tersebut, yaitu ketebalan > 400 cm. Berdasarkan Gambar 13 sebaran titik panas terbanyak pada tipe gambut Hemists/Saprists sebanyak 6 552 titik panas.
21
Gambar 14 Jumlah titik panas tahun 2014 berdasarkan ketebalan lahan gambut Berdasarkan Gambar 14 sebaran titik panas terbanyak terdapat pada gambut dengan ketebalan sangat dalam/ sangat tebal dengan ketebalan > 400 cm. Terdapat 13 jenis tutupan lahan gambut di Provinsi Riau. Jumlah titik panas berdasarkan jenis penutupan lahan tersebut terlihat pada Gambar 15.
Gambar 15 Jumlah titik panas tahun 2014 berdasarkan tutupan lahan gambut Berdasarkan Gambar 15 jumlah titik panas terbesar terdapat pada jenis tutupan lahan hutan rawa sebanyak 12 825 titik panas.
22
Pembentukan Cluster Data Titik Panas menggunakan Algoritme DBSCAN
Pada penelitian ini nilai Eps serta Minpts yang digunakan harus ditentukan terlebih dahulu untuk mendapatkan nilai cluster terbaik. Nilai cluster dan titik
noise yang relatif kecil diperoleh pada Eps = 0.1 dan Minpts 6 (Usman 2014). Tabel 5 menunjukkan hasil cluster dari algoritme DBSCAN.
Tabel 5 Hasil cluster yng menggunakan algoritme DBSCAN
Cluster Jumlah titik panas Cluster Jumlah titik panas
Cluster Jumlah titik panas
1 67 23 21 45 7
23
Gambar 16 Titik panas pada Wilayah/Kabupaten dalam cluster 24
Berdasarkan Gambar 16, persebaran titik panas dari cluster 24 hampir tersebar merata pada tiga kota di Provinsi Riau. Persebaran titik panas tersebut tersebar pada Kota Bengkalis sebanyak 1 082 titik panas (33.7 %), sebanyak 1 052 titik panas (32.7 %) tersebar pada Kepulauan Meranti, dan sebanyak 1 080 titik panas (33.6 %) tersebar di Kota Siak.
Pembentukan Cluster Data Titik Panas Dengan Algoritme CPO-WCC
24
Iterasi 1 iterasi 2 iterasi 3
Iterasi 4 iterasi 5
a) Hasil iterasi algoritme CPO-WCC
b) Hasil clustering menggunakan algoritme CPO-WCC
Berdasarkan Gambar 17(a) terlihat hasil iterasi algoritme CPO-WCC, pada Gambar 17(b) terlihat bahwa hasil akhir dari algoritme CPO-WCC menghasilkan
cluster sebanyak 3 cluster. Dengan jumlah titik panas terpadat terdapat pada
cluster 3 selanjutnya diikuti oleh cluster 1 dan cluster 2.
7,849
397
10,046
0 2000 4000 6000 8000 10000 12000
1 2 3
Cluster
25
c) Sebaran titik panas, jalan, sungai hasil algoritme CPO-WCC Gambar 17 Hasil algoritme CPO-WCC
Berdasarkan Gambar 17(c) terlihat persebaran dari titik panas tersebar pada wilayah Bengkalis, Indragiri Hilir, Indragiri Hulu, Kampar, Kota Dumai, Kota Pekanbaru, Pelalawan, Rokan Hilir, Rokan Hulu, dan Siak. Jumlah minimal titik panas sehingga grid dapat dipecah pada iterasi pertama adalah sebesar 255 titik panas atau lebih. Dan jumlah titik panas pada iterasi berikutnya adalah sebesar, 219, 146, 44, dan 5 titik panas. Grid tersebut dapat dipecah jika jumlah titik panas pada grid padat dilalui oleh sungai, jalan, ataupun dilalui oleh jalan dan sungai.
Evaluasi Hasil Cluster
26
Tabel 6 Kerapatan data titik panas pada setiap cluster
Cluster Jumlah titik
Panas
Area
Titik Panas / km2 km2 Persentase
1 7 849 81 919.36 86% 0.096
2 397 3 098.15 3% 0.128
3 10 046 10 202.10 11% 0.985
Berdasarkan Tabel 6 daerah dengan kepadatan tertinggi terdapat pada
cluster 3 dimana setiap 1 km2 terdapat 0.985 titik panas. Berdasarkan luasan areanya luas area terbesar terdapat pada cluster 1 dengan luas area sebesar 81919.36 km2. Perbedaan area tersebut terjadi disebabkan berbedanya luas cluster
seperti terlihat pada Gambar 17(c). Perbedaan ukuran tersebut terjadi dikarenakan untuk setiap daerah yang memiliki kerapatan titik panas yang besar serta daerah tersebut dilewati oleh jalan saja ataupun oleh sungai saja maupun dilewati oleh keduanya maka daerah tersebut akan akan dipotong menjadi sel yang lebih kecil seperti terlihat pada Gambar 17(c).
Berdasarkan Tabel 5, dapat disimpulkan bahwa cluster terpadat dari hasil clustering algoritme DBSCAN terdapat pada cluster 24 dengan jumlah cluster
sebanyak 3 214. Selanjutnya cluster dari 24 dari algoritme DBSCAN serta cluster
3 dari algoritme CPO-WCC akan dilakukan perbandingan.
Analisis Hasil Cluster Berdasarkan Karakteristik Lahan Gambut
Persebaran titik panas dari cluster 3 dan cluster 24 terhadap karakteristik jenis lahan gambut dari lahan gambut ditunjukkan Gambar 18 dan Gambar 19.
27
Gambar 19 Sebaran titik panas berdasarkan jenis lahan gambut pada cluster 24 Berdasarkan Gambar 18, sebaran titik panas persebaran titik panas dari
cluster 3 terbanyak terdapat di lahan gambut dengan tipe Hemists/Saprists (60/40) dengan kedalaman sangat dalam dengan jumlah titik panas sebanyak 4 257 titik panas. Dari 4 257 titik panas terbanyak tersebut sebanyak 1 690 titik panas tersebar di kecamatan Bukit Batu, sebanyak 847 titik panas di kecamatan sungai sembilan, sedangkan 1 720 titik panas sisanya tersebar pada 13 kecamatan lainnya. Sedangkan berdasarkan Gambar 19, sebaran titik panas dari cluster 24, dari total 3 214 titik panas yang ada, hanya terdapat sebanyak 3207 titik panas yang tersebar di area lahan gambut. Sebanyak 1 189 titik panas dari cluster 24 terdapat didaerah lahan gambut Saprists/Hemists (60/40) dengan kedalaman dalam, tersebar di kecamatan Merbau 273 titik panas, Putri Puyu 228 titik panas serta sisanya tersebar di 9 kecamatan lainnya.
Gambar 20 Sebaran titik panas berdasarkan ketebalan lahan gambut di areal
28
Gambar 21 Sebaran titik panas berdasarkan ketebalan lahan gambut di areal
cluster 24
Gambar 20 menunjukkan tingkat persebaran titik panas tidak merata tersebat di seluruh areal lahan gambut. Areal dengan tingkat kedalaman sangat dalam/sangat tebal (D4) (> 400 cm) memiliki tingkat titik panas tertinggi dengan jumlah titik panas mencapai 4 736 titik panas. Dari total 4 736 titik panas tersebut sebanyak 1 673 titik panas tersebar di kecamatan Bukit Batu, di kecamatan Sungai Sembilan sebanyak 754 titik panas, sedangkan 2 309 titik panas sisanya tersebar di 25 kecamatan lainnya. Gambar 21 menunjukkan tingkat persebaran titik panas tidak merata tersebar di seluruh areal lahan gambut. Areal dengan kedalaman Areal dengan tingkat kedalaman sangat dalam/sangat tebal (D4) (> 400 cm) memiliki tingkat titik panas tertinggi dengan jumlah titik panas mencapai 1 201 titik panas. Dari 1201 titik panas tersebut, sebanyak 404 titik panas tersebar di kecamatan Siak Kecil, sebanyak 317 tersebar di kecamatan Sungai Apit, dan sisanya tersebar di 6 kecamatan lainnya.
29 Gambar 22 menunjukkan tingkat persebaran titik panas tidak merata tersebat di seluruh areal tutupan lahan gambut. Sebaran titik panas dari cluster 3 di dominasi penutupan lahan hutan rawa dengan jumlah titik panas mencapai 7 634 titik panas. Dari total 7 634 titik panas tersebut sebesar 1 487 titik panas tersebar di kecamatan Bukit Batu dan sebanyak 959 tersebar di kecamatan Rupat. Sedangkan sisanya tersebar di 36 kecamatan lainnya.
Gambar 23 Sebaran titik panas berdasarkan tutupan gambut di areal cluster 24 Gambar 23 menunjukkan tingkat persebaran titik panas cluster 24 pada area tutupan lahan gambut dimana dari total titik panas 3 214 titik panas hanya terdapat 3 207 titik panas yang tersebar pada area tutupan lahan gambut. Dari 3 207 titik panas tersebut sebanyak 1671 titik panas yang tersebar di area tutupan lahan gambut berjenis hutan rawa. Dari 1671 titik panas tersebut sebayak 669 tersebar di kecamatan Sungai Apit, sisanya tersebar di 13 kecamatan lainnya. Berdasarkan jenis, ketebalan, dan tutupan lahan gambut kecamatan Bukit Batu adalah kecamatan yang memiliki titik panas terbesar diantara kecamatan lainnya pada areal cluster 3. Hasil yang berbeda terjadi pada daerah cluster 24 dimana kecamatan dengan jumlah titik panas terbesar pada jenis lahan gambut terdapat pada kecamatan Merbau, kecamatan dengan jumlah titik panas terbesar berdasarkan ketebalan lahan gambut terdapat pada kecamatan Siak Kecil, dan kecamatan dengan jumlah titik panas terbesar berdasarkan tutupan gambut terdapat pada kecamatan Sungai Apit.
Analisis Hasil Cluster Berdasarkan Data Cuaca
30
Tabel 7 Jumlah titik panas cluster 3 dan cluster 24 tahun 2014
Cluster 3 Cluster 24
Bulan Jumlah titik panas Bulan Jumlah titik panas
Januari 139 Januari 86
Tabel 8 Data cuaca dari stasiun cuaca simpang tiga pekanbaru tahun 2014
Bulan Suhu Min. (C) Suhu Maks. (C) Suhu Kelembaban (%)
Rata –Rata dalam 1 bulan
Januari 22.98 30.29 25.82 80.26
Berdasarkan Tabel 7 jumlah titik panas terbesar terjadi pada bulan Maret pada cluster 3 dimana suhu rata-rata minimum pada bulan Maret berdasarkan Tabel 8 sebesar 23.27 0 C, serta suhu maksimal sebesar 32.680 C. Dari 4 741 titik panas pada cluster 3 di bulan Maret, sebanyak 725 titik panas terdapat pada kecamatan Bukit Batu, sedangkan sisanya tersebar pada 41 kecamatan lainnya. Pada cluster 24 jumlah titik panas terbesar terjadi pada bulan Februari sebanyak 1457 titik panas dengan suhu rata-rata minimum pada bulan Februari sebesar
31
Analisis Hasil Cluster Berdasarkan Data Sosial Ekonomi
Persebaran titik panas dari cluster 3 dan cluster 24 yang berdasarkan kabupaten kota dalam pada tahun 2014 terlihat pada Tabel 9. Serta data sosial ekonomi terlihat pada Tabel 10.
Tabel 9 Jumlah titik panas cluster 3 dan cluster 24 tahun 2014 berdasarkan kabupaten
Cluster 24 Cluster 3
Provinsi Kabupaten Jumlah titik panas
Provinsi Kabupaten Jumlah titik panas
Riau Kep. Meranti 1 052 Riau Indragiri Hulu 100
Riau Siak 1 080 Riau Kep. Meranti 1 185
Riau Bengkalis 1 082 Riau Rokan Hilir 1 046
Riau Dumai 1 752
Riau Indragiri Hilir 626
Riau Siak 1 240
Bengkalis 3 545
Pelalawan 552
Total 3 214 Total 1 0046
Tabel 10 Data sosial ekonomi kabupaten Bengkalis
Kecamatan Sumber Pendapatan
Mandau perdagangan besar/ eceran, pertambangan dan penggalian, pertanian Pinggir pertambangan dan penggalian, pertanian
Bukit batu industri pengolahan, pertanian Bantan Pertanian
Rupat Pertanian Rupat utara Pertanian Siak kecil Pertanian
Bengkalis jasa, perdagangan besar/eceran, pertanian
32
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Clustering 18 292 titik panas di provinsi Riau dari algoritme CPO-WCC(Clustering in Presence of Obstacles With Computed number of Cells) menghasilkan 3 cluster. Dari ketiga cluster tersebut, daerah dengan jumlah titik panas terpadat terjadi pada derah yang banyak dilalui oleh jalan dan sungai. Daerah tersebut memiliki titik panas terbanyak dikarenakan mudahnya akses yang dapat dilaui oleh para oknum yang melakukan pembakaran gambut. Dari sebanyak 18 292 titik panas terdapat 18 246 (99,75%) titik panas yang terdapat diwilayah lahan gambut. Dari total 10 046 titik panas pada daerah cluster terpadat dari algoritme CPO-WCC terdapat 4 257 titik panas (42,4%) yang terletak di daerah Hemists/Saprists (60/40) sangat dalam, sebanyak 4 736 (47,1%) titik panas terletak pada areal dengan tingkat kedalam sangat dalam/sangat tebal (D4) (> 400 cm), serta sebanyak 7 634 (76%) titik panas terletak pada penutupan lahan hutan rawa. Berdasarkan data cuaca yang ada terdapat 4 741 (47%) titik panas terjadi pada bulan Maret untuk wilayah areal terpadat dari algoritme CPO-WCC, dimana suhu rata-rata minimumnya sebesar 23.270 C, dan suhu rata-rata minimumnya sebesar 32.680 C. Sedangkan untuk area terpadat dari algoritme DBSCAN sebanyak 1 457 (45%) terjadi pada bulan Februari dimana suhu minimum rata-rata sebesar 23.510 C dan suhu maksimal rata-rata sebesar 32.490 C. Berdasarkan data sosial ekonomi daerah dengan dengan jumlah titik panas terpadat dari kedua
cluster terdapat pada kabupaten Bengkalis, dengan penduduk yang bekerja pada sektor pertanian. Kelebihan dari perhitungan algoritme CPO-WCC adalah perhitungan daerah dengan kerapatan tinggi untuk titik panas menjadi lebih akurat dikarenakan mempertimbangkan adanya kendala jalan dan sungai.
Saran
33
DAFTAR PUSTAKA
Agus, F. dan I.G. M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF), Bogor, Indonesia.
Adinugroho WC, Suryadiputra INN, Saharjo BH, Siboro L. 2005. Panduan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut. Bogor. Wetlands International.
Albar I. 2002. Fenomena El Nino dan Hotspot: Pemicu dan Solusi Kebakaran Hutan. Direktorat Penanggulangan Kebakaran Hutan, Departemen Kehutanan. Jakarta.
Artsybashev, ES. 1983. Forest fire and Their Control. K. Badaya Trans., V. Pandit ed., Oxonian Press Pvt., New Delhi, India.
BB Litbang SDLP. 2008. Laporan Tahunan 2008, Konsorsium Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim pada Sektor Pertanian. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor.
Badan Informasi Geospasial (2016), "Peta Provinsi", Available online: http://www.big.go.id/peta-provinsi/ Riau(accessed Agustus 2016).
BNPB (2016),"Peta sebaran titik api"; Available online : http://geospasial.bnpb.go.id/2014/03/13/peta-sebaran-titik-api-di-prov-riau-tgl-12-maret-2014/(accessed Agustus 2016).
Chang Kang-Tsung. 2008. Introduction To Geographic Information System.
Singapore (SNG): Mc Graw Hill.
Deborah LJ, Baskaran R, Kannan A. 2010. A survey on Internal Validity Measure for Cluster Validation. International Journal of Computer Science & Engineering Survey (IJCSES). Vol. 2(2): 85-102.
El-Zawawy MA, El-Sharkawi ME. 2009. Clustering With Obstacless In Spatial Databases. eprint arXiv:0909.4409.
El-Zawawy MA. 2002. Efficient Techniques for Mining Spatial Databases
[Thesis]. Cairo: Faculty of Science. Cairo University.
Ester M, Kriegel HP, Sander J, Xu X. 1996. A Density-Based Algorithm for Discovering Clusters in Large Spatial Databases with Noise. In Proc. KDD.
Fayyad MU, Piatesky-Shapiro G, Smuth P, Uthurusamy R. 1996. Advances in Knowledge Discovery and Data Mining. AAAI Press.
Han J, Kamber M, Pei J. 2012. Data Mining : Concepts and Techniques 3rd ed.
USA: Morgan-Kaufmann Publisher.
Hardjowigeno, S. 1986. Sumber daya fisik wilayah dan tata guna lahan: Histosol. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Hal. 86-94.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2016), “Data Luas Kebakaran”; Available online: http://sipongi.menlhk.go.id/hotspot/luas_kebakaran (accessed Maret 2016).
34
Mumtaz K, Duraiswamy K. 2010. An Analysis on Density Based Clustering of Multi Dimensional Spatial Data. Indian Journal of Computer Science and Engineering. Vol. 1(1): 8-12.
Najiyati S, Muslihat L, Suryadiputra INN. 2005. Panduan Pengelolaan Lahan Gambut untuk pertanian berkelanjutan. Bogor: Wetlands International – Indonesia Programme.
Noor, M. 2001. Pertanian Lahan Gambut: Potensi dan Kendala. Penerbit Kanisius. Jakarta.
Parimala M, Lopez D, Senthikumar NC. 2011. A Survey on Density Based Clustering Algorithms for Mining Large. International Journal of Advanced Science and Technology. Vol.31: 59-66.
Suratmo FG, Husaeni EA, Jaya NS, Sahardjo BA, Rachmatsjah O, Hirorki I, Nicolas MVJ, Ismunandar S, Prabowo D, Soedarmo, Sumatri, Prakoso JH. 2003. Pengetahuan Dasar Pengendalian Kebakaran Hutan. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.
Syaufina L. 2008. Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia Perilaku Panas, Penyebab, dan Dampak Kebakaran. Malang: Bayumedia.
Tung AKH, Hou J, and Han J. 2001. Spatial Clustering in the Presence of Obstacles. International Conference Data Engineering (ICDE). Page :359-367. doi: 10.1109/ICDE.2001.914848.
Usman M. 2014. Spatial Clustering Berbasis Densitas Untuk Persebaran Titik Panas Sebagai Indikator Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut di Sumatera [Thesis]. Institut Pertanian Bogor.
35
RIWAYAT HIDUP