• Tidak ada hasil yang ditemukan

Produktivitas Dan Laju Dekomposisi Serasah Avicennia Marina Dan Rhizophora Apiculata Di Cagar Alam Pulau Dua Banten

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Produktivitas Dan Laju Dekomposisi Serasah Avicennia Marina Dan Rhizophora Apiculata Di Cagar Alam Pulau Dua Banten"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

PRODUKTIVITAS DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH

Avicennia marina

DAN

Rhizophora apiculata

DI CAGAR ALAM

PULAU DUA BANTEN

FEBRIANA SISKA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Produktivitas dan Laju Dekomposisi Serasah Avicennia marina dan Rhizophora apiculata di Cagar Alam Pulau Dua Banten adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

FEBRIANA SISKA. Produktivitas dan Laju Dekomposisi Serasah Avicennia marina dan Rhizophora apiculata di Cagar Alam Pulau Dua Banten. Dibimbing oleh SULISTIJORINI dan CECEP KUSMANA.

Cagar Alam Pulau Dua telah mengalami degradasi ekosistem mangrove. Kondisi tersebut disebabkan oleh semakin meluasnya hamparan pertambakan, sampah-sampah yang menumpuk di sekitar muara sungai dan pesisir, kerapatan dan distribusi mangrove yang tidak merata. Ekosistem mangrove mempunyai peranan penting dalam kaitannya dengan produktivitas dan laju dekomposisi serasah. Oleh karena itu, penelitian mengenai produktivitas dan laju dekomposisi serasah Avicennia marina dan Rhizophora apiculata di Cagar Alam Pulau Dua Banten perlu dilakukan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan gambaran mengenai produktivitas dan laju dekomposisi serasah A. marina dan R. apiculata, mengingat serasah sebagai penyumbang terbesar pada kesuburan estuari dan perairan pantai.

Tujuan dilakukan penelitian ini adalah mengukur produktivitas dan laju dekomposisi serasah serta kandungan unsur hara yang dilepas (C organik, N, dan P) selama proses dekomposisi serasah pada tegakan A. marina dan R. apiculata di Cagar Alam Pulau Dua Banten.

Metode yang digunakan untuk mengukur komposisi jenis adalah metode kombinasi antara metode jalur dengan metode garis berpetak. Transek garis berada pada posisi dari arah pantai ke arah darat terdiri atas petak-petak contoh (plot) berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 10 m x 10 m untuk pohon; 5 m x 5 m untuk pancang; dan 1 m x 1 m untuk semai. Metode untuk mengukur produktivitas serasah adalah litter-trap (Jaring penampung serasah) yang berukuran 1 X 1 m2. Serasah dari 26 litter trap dikoleksi setiap dua minggu sekali selama tiga bulan. Komponen mangrove yaitu daun, ranting, dan buah/bunga dipisahkan kemudian beratnya diukur, selanjutnya dikeringkan pada suhu 80 °C sampai berat konstan dengan menggunakan satuan gram/m2/minggu.

Metode yang digunakan untuk mengukur laju dekomposisi serasah adalah litter bag, menggunakan kantung serasah berukuran 30 x 40 cm. Daun mangrove kering seberat 35 gram dimasukkan ke dalam kantong serasah lalu diikat di bawah pohon mangrove. Pengambilannya dilakukan 15 hari sekali dengan lama pengambilan 90 hari. Hasil dekomposisi dianalisis di laboratorium dan selanjutnya dilakukan pengukuran bobot kering. Penentuan kadar karbon organik, nitrogen, dan fosfor dilakukan pada contoh daun kering yang telah terurai di Laboratorium Tanah Cimanggu Bogor.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa A. marina adalah jenis dominan pada komunitas Avicennia dengan Indeks Nilai Penting (INP) pohon 300% dan kerapatan pohon 743 ind/ha, sedangkan R. apiculata adalah jenis dominan pada komunitas Rhizophora dengan INP pohon 77,83% dan kerapatan pohon 748 ind/ha.

(5)

dan 3.12%. Proporsi ini disebabkan oleh bentuk daun yang mudah gugur oleh angin dan curah hujan. Produktivitas serasah pada komunitas A. marina dan R. apiculata yaitu 6.86 ton/ha/tahun dan 7.81 ton/ha/tahun. Faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas serasah yaitu kerapatan pohon dan curah hujan.

Laju dekomposisi A. marina (k = 0,83) lebih tinggi dibandingkan R. apiculata (k = 0.41). Faktor-faktor yang memengaruhi cepat lambatnya laju dekomposisi serasah di antaranya; morfologi dan anatomi daun, Unsur N, keadaan subrat tempat hidup tumbuhan, dan faktor fisik lingkungan. Jenis A. marina memiliki morfologi daun yang tipis dibandingkan R. apiculata. Serasah daun A. marina memiliki kandungan nitrogen yang lebih tinggi jika dibandingkan serasah daun R. apiculata. Dekomposer menyukai serasah yang memiliki kandungan nitrogen yang tinggi. Lapisan anatomi daun A. marina lebih tipis jika dibandingan R. apiculata, hal ini dapat dilihat berdasarkan lapisan epidermis daun R. apiculata lebih tebal dan kelenjar garam daun A. marina yang lebih luas.

Faktor fisik lingkungan salinitas dan DO memengaruhi kecepatan laju dekomposisi serasah. Salinitas optimum untuk kecepatan laju dekomposisi serasah adalah 20-30 psu. Kisaran DO yang tinggi akan memengaruhi kecepatan dekomposisi serasah, semakin tinggi nilai DO maka kecepatan dekomposisi serasah akan semakin cepat karena makrobentos menyukai lingkungan yang kaya akan oksigen.

Kata kunci: Avicennia marina, dekomposisi serasah, produktivitas serasah, Pulau Dua, salinitas, Rhizophora apiculata.

(6)

SUMMARY

FEBRIANA SISKA Productivity and Litter Decomposition of Rate Avicennia marina and Rhizophora apiculata in Pulau Dua Banten Reserve. Supervised by SULISTIJORINI and CECEP KUSMANA.

The mangrove ecosystem in Pulau Dua Nature Reserve has been degraded due to the expansion of aquaculture and accumulation of trash around the river. It affected in low density and uneven distribution of mangrove. The mangrove ecosystem has an important role to the decomposition rate. Therefore, research on the decomposition rate of Avicennia marina and Rhizophora apiculata litters in Pulau Dua Nature Reserve, Banten, was necessary to be conducted. This research is expected to provide information and overview on decomposition rate of A. marina and R. apiculata litters as the biggest contributor to the fertility of estuaries and coastal waters.

The aims of this study were to measure the productivity, decomposition rate, and to analyze the nutrient content released (C organic, N, and P) from Avicennia marina and Rhizophora apiculata litters during decomposition process.

The method was followed line transect for vegetation analysis. Transect lines that were placed from the coast to the land direction consisted of square plots with a size of 10 m x 10 m for the trees; 5 m x 5 m for the stakes; and 1 m x 1 m for seedlings. The method used to measure litter productivity was litter-trap with a size of 1 x 1 m2. Liiter from twenty six litter trap was collected every two weeks for three months. Mangrove components such as leaves, twigs, and fruits/flower swere separated then their weights were measured, and dried at 80 °C to constant weight using units of grams/m2/week.

The litter decomposition rate was measured using litter bag with a size of 30 x 40 cm.An amount of 35 g dry leaves were placed in the litter bag and then tied on the steam or roots of the mangrove. Extraction was conducted for 15 days with observation period of 90 days. The decomposition yield was analyzed in the laboratory then measured for its dry weight. Determination of organic carbon, nitrogen, and phosphorus contents was conducted on dried leaves sample that have been decomposed in the Soil Laboratory, Cimanggu, Bogor.

The results showed that A. marina was the dominant species in the Avicennia community with IVI (Importance Value Index) of trees was 300% and tree density was 743 ind/ha, while R. apiculata was the dominant species in the Rhizophora community with IVI of trees was 77.83% and tree density was 748 ind/ha.

Contribution of highest litter productivity of A. marina and R. apiculata produced by the leaves were 68.18% and 75.91%, while the contribution of flower/fruit litter were 26.98% and 20.97%, and twigs were 4.84% and 3.12%, respectively. These proportions are due to easily falling leaves by wind and rain. Litterfall productivity in A. marina and R. apiculata communities were 6.86 ton/ha/year and 7.81 ton/ha/tyear respectively. Factors that affected the litterfall productivity were tree density and rainfall.

(7)

physical environment factors. A. marina has thinner leaves morphology compared to R. apiculata. A. marina leaf litter has higher nitrogen content than R. apiculata leaf litter. Decomposers like litter that has high nitrogen content. Anatomical layer of A. marina leaves was thinner than R. apiculata; this can be seen from thicker epidermal layer of R. apiculata leaves and wider salt glands of A. marina leaves.

Physical environment factors such as salinity and DO affected litter decomposition rate. The optimum salinity for litter decomposition rate was 20-30 psu. High range of DO would affect litter decomposition rate, in which the higher DO would increase litter decomposition rate because macrobenthos like oxygen-rich environment.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Biologi Tumbuhan

PRODUKTIVITAS DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH

Avicennia marina

DAN

Rhizophora apiculata

DI CAGAR ALAM

PULAU DUA BANTEN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(10)
(11)
(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah Produktivitas dan Laju Dekomposisi Serasah Avicennia marina dan Rhizophora apiculata di Cagar Alam Pulau Dua Banten. Sebagian dari tesis ini telah dipublikasi dengan judul “Litter Decomposition Rate of Avicennia marina and Rhizophora apiculata in Pulau Dua Nature Reserve, Banten” pada jurnal berskala internasional, The Journal of Tropical Life Science (JTROLIS) 6 (2): 110-115.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Sulistijorini, MSi dan Bapak Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS selaku komisi pembimbing yang telah banyak memberikan nasihat, motivasi, saran serta bimbingan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak dan ibu dosen Program Studi Biologi Tumbuhan (BOT) atas semua ilmu, pengalaman, bimbingan, dan nasihat yang diberikan. Selain itu penulis ucapkan terima kasih kepada penguji luar komisi Prof Dr Ir Sri Wilarso Budi R, MS, dan Dr. Ir. Miftahudin, MSi selaku Ketua Program Studi Biologi Tumbuhan IPB, yang telah memberikan motivasi dan masukan pada saat ujian sidang tesis. Terimakasih disampaikan kepada Direktorat Perguruan Tinggi (DIKTI) yang telah memberikan kesempatan melanjutkan pendidikan S2 melalui Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri-Calon Dosen tahun 2013 (BPPDN-Caldos 2013).

Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh Staf BKSDA Wilayah I Serang yang telah membantu selama pengumpulan data. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada rekan-rekan Mahasiswa Program Studi Biologi Tumbuhan yang telah memberikan dukungan moril selama proses penyelesaian studi. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, saudara serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

Kerangka Pemikiran 2

2 TINJAUAN PUSTAKA 3

Hutan Mangrove dan Zonasi 3

Produktivitas Serasah 4

Dekomposisi Serasah. 4

Unsur Hara 5

Faktor Lingkungan 6

Deskripsi Avicennia marina 6

Deskripsi Rhizophora apiculata 7

3 METODE PENELITIAN 7

Waktu dan Tempat 7

Alat dan Bahan 7

Penentuan Stasiun Penelitian 8

Analisis Vegetasi Mangrove 8

Produktivitas Serasah 9

Pengamatan Laju Dekomposisi Serasah 9

Analisis Unsur Hara (C organik, N, dan P) 10

Pengukuran Luas Daun 10

Analisis Data 11

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 12

Hasil 12

Komposisi Jenis 12

Faktor Lingkungan di stasiun pengamatan 15

Produktivitas Serasah 15

Dekomposisi Serasah 17

Spesific Leaf Are (SLA) dan Anatomi Daun 19

Pembahasan 22

Komposisi jenis 22

Produktivitas Serasah 23

(14)

5 SIMPULAN 27

DAFTAR PUSTAKA 28

(15)

DAFTAR TABEL

Kerapatan, Frekuensi dan Dominansi pada fase pertumbuhan semai, pancang dan pohon pada komunitas A. marina dan R. apiculata Cagar Alam Pulau Dua

Kerapatan pada fase pertumbuhan semai. pancang dan tiang pada kedua struktur tegakan di Cagar Alam Pulau Dua Banten

Kerapatan pohon dengan ukuran kelas diameter di dua stasiun Cagar Alam Pulau Dua

Indeks Morishita pada fase pertumbuhan semai. pancang dan pohon di komunitas A. marina dan R. apiculata Cagar Alam Pulau Dua Faktor lingkungan di dua stasiun Cagar Alam Pulau Dua Banten Produktivitas Serasah di dua komunitas hutan

Suhu, salinitas, kelembaban, DO dan pH dekomposisi serasah komunitas A. marina dan R. apiculata

Uji t produktivitas dan laju dekomposisi serasah pada komunitas A. marina dan R. apiculata

Uji t parameter lingkungan pada komunitas A. marina dan R. apicula Hasil analisis regresi faktor suhu, salinitas, kelembaban, DO, dan pH terhadap laju dekomposisi serasah A. marina dan R. apiculata

Selisih pengamatan awal dan akhir unsur C organik, N, rasio C/N, dan P pada serasah daun A. marina dan R. apiculata

13

Peta Penelitian Cagar Alam Pulau Dua.

Desain metode kombinasi antara metode jalur dengan metode garis berpetak untuk pengamatan vegetasi mangrove di lapanga

Fluktuasi rata-rata produktivitas serasah dan komponen-komponennya (daun, bunga/buah dan ranting komunitas A. marina selama periode pengamatan di Cagar Alam Pulau Dua Banten. Fluktuasi rata-rata produktivitas serasah dan komponen-komponen (daun. bunga/buah dan ranting komunitas R. Apiculata di Cagar Alam Pulau Dua Banten.

Perubahan rata-rata laju dekomposisi daun R. apiculata dan A. marina selama periode pengamatan.

Rata-rata Spesific Leaf Area (SLA) daun A. marina dan R. apiculata Penampang melintang daun A. marina dan R. apiculata (Perbesaran 40x)

Konsentrasi C Organik, nitrogen (N), rasio C/N, dan fosfor (P) serasah daun A. marina dan R.apiculata

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Produktivitas serasah (g/m2/2 minggu) daun, bunga/buah. dan ranting A. marina dan R. apiculata

Nilai uji t produktivitas serasah ada komunitas A. marina dan R. apiculata

Berat awal dan akhir serasah daun yang terdekomposisi

Nilai Uji t Laju Dekomposisi Serasah daun A. marina dan R. apiculata

Parameter lingkungan pada komunitas A. marina dan R. apiculata Analisis Regresi laju dekomposisi serasah dengan parameter lingkungan pada komunitas A. marina.

Analisis regresi Laju Dekomposisi Serasah dengan Parameter lingkungan pada komunitas R. apiculata

Konsentrasi unsur Carbon, Nitrogen, dan Fosfor pada Serasah daun A. marina dan R. apiculata

Luas daun A. marina menggunakan software ImageJ Luas daun R. apiculata menggunakan software ImageJ

Uji t Spesific Leaf Area (SLA) daun A. marina dan R. apiculata Data klimatologi wilayah Serang dan sekitarnya pada bulan Agustus-Desember 2014

(17)

1

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Formasi mangrove merupakan formasi yang tumbuh diantara daratan dan lautan (FAO 1985). Ekosistem hutan mangrove memiliki fungsi ekologis, ekonomis dan sosial yang penting di wilayah pesisir (Rawana 2002). Hutan mangrove secara ekologis berfungsi sebagai habitat atau tempat tinggal, tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi organisme yang hidup di padang lamun atau terumbu karang (Nybakken 1988). Hutan mangrove berfungsi sebagai habitat atau tempat tinggal berkaitan dengan peran mangrove sebagai pengekspor bahan hasil pelapukan yang menjadi sumber makanan penting bagi biota akuatik. Sumbangan yang paling penting dari ekosistem mangrove adalah masukan unsur hara melalui serasahnya (Cotto et al. 1986).

Serasah hutan mangrove memiliki fungsi yang amat penting bagi ekosistem mangrove, diantaranya untuk mempertahankan kesuburan tanah hutan yang bersangkutan. Kesuburan tanah dan tanaman bergantung pada produktivitas dan laju dekomposisi serasah (Aprianis 2011). Serasah akan mengalami dekomposisi, memberikan sumbangan bahan organik bagi tanah hutan, serta menjadi sumber makanan bagi kehidupan fauna tanah. Akumulasi bahan organik hasil dekomposisi serasah hutan mangrove bermanfaat memperkaya hara pada ekosistem mangrove sebagai daerah asuhan dan pembesaran (nursery ground), daerah pemijahan (spawning ground), dan perlindungan bagi aneka biota perairan (Wibisana 2004).

Proses dekomposisi yang berjalan stabil, akan menjaga suplai unsur hara ke dalam tanah. Jika dekomposisi berjalan lambat ketersediaan hara akan sedikit, begitu pula sebaliknya jika terlalu cepat hara akan hilang melalui pencucian tanah dan penguapan, akibatnya pertumbuhan tanaman akan terhambat (Asri et al. 1990). Faktor-faktor yang memengaruhi dekomposisi serasah yaitu pH, iklim (temperatur dan kelembaban), komposisi kimia dari serasah, dan mikro organisme tanah (Saetre 1998).

Secara geogafis Pulau Dua terletak pada koordinat antara 06o01’LS dan 106o12’BT, merupakan dataran rendah dengan luas sekitar 30 ha. Vegetasi yang tumbuh di Pulau ini merupakan komunitas mangrove, 60% didominansi oleh A. marina khususnya pada bagian selatan pulau, sedangkan pada bagian timur ditumbuhi oleh R. apiculata (Rusila & Andalusi 1996). Cagar Alam Pulau Dua dikenal sebagai habitat berbagai jenis burung dan tempat persinggahan burung migran (Milton & Mahardi 1985).

(18)

2

Cagar Alam Pulau Dua telah mengalami degradasi ekosistem mangrove. Kondisi tersebut disebabkan oleh semakin meluasnya hamparan pertambakan, dan sampah yang menumpuk di sekitar muara sungai, yang mengakibatkan kerapatan mangrove yang rendah dan distribusi mangrove yang tidak merata. Ekosistem mangrove mempunyai peranan penting dalam kaitannya dengan produktivitas dan laju dekomposisi serasah. Oleh karena itu, penelitian mengenai produktivitas dan laju dekomposisi serasah A. marina dan R. apiculata di Cagar Alam Pulau Dua Banten perlu dilakukan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan gambaran mengenai produktivitas dan laju dekomposisi serasah A. marina dan R. apiculata, mengingat serasah sebagai penyumbang terbesar pada kesuburan estuari dan perairan pantai.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan:

(1) Seberapa besar produktivitas dan laju dekomposisi serasah tegakan A. marina dan tegakan R. apiculata di Cagar Alam Pulau Dua Banten?

(2) Bagaimana kandungan unsur hara yang dilepas (C organik, N, dan P) selama proses dekomposisi serasah pada tegakan A. marina dan R. apiculata di Cagar Alam Pulau Dua Banten?

Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukan penelitian ini adalah mengukur produktivitas dan laju dekomposisi serasah serta kandungan unsur hara yang dilepas (C organik, N, dan P) selama proses dekomposisi serasah pada tegakan A. marina dan R. apiculata di Cagar Alam Pulau Dua Banten.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah mengetahui unsur hara yang dilepas (C organik, N, dan P) di Cagar Alam Pulau Dua Banten dan sebagai data dasar pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan, informasi tambahan tentang produktivitas serasah dan laju dekomposisinya.

Kerangka Pemikiran

(19)

3

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

Hutan Mangrove dan Zonasi

Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem produktif, yang berfungsi menstabilkan pantai (Teas 1977; Snedaker 1987; Field 1995), habitat, tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground) bagi ikan dan fauna lainnya (Teas 1977; Collete 1983; Kurian 1984; Ngoile & Shunula 1992; Sasekumar et al. 1992).

Hutan Mangrove Cagar Alam

Pulau Dua

Fungsi

Ekonomi Ekologi Fungsi Fungsi Sosial

Feeding ground

Nursery ground

Habitat/tempat tinggal

Spawning ground

Degadasi ekosistem mangrove : -Pertambakan meluas

-Kerapatan dan distribusi mangrove yang tidak merata.

-Penumpukan sampah dimuara sungai dan pesisir

Produktivitas Biologis

Laju Dekomposisi Serasah Produksi Serasah

Analisis Vegetasi

Indeks Nilai Penting (INP)

Kondisi Iklim: Curah hujan dan Suhu udara

- Pengukuran Kondisi Lingkungan:

Suhu, Salinitas. pH, DO - Analisis Ketersediaan

Unsur Hara: C organik, N dan P

- Pengukuran Specific Leaf Area (SLA) dan Anatomi daun

(20)

4

Menurut Snedaker (1978), hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah anaerob.

Kawasan mangrove dibedakan ke dalam 3 zonasi berdasarkan perbedaan penggenangan (Mall et al. 1982):

1. Zona proksimal, kawasan terdekat dengan laut, jenis yang ditemukan R. apiculata, Rhizophora mucronata dan Sonneratia alba.

2. Zona midle, kawasan terletak diantara laut dan darat, jenis yang ditemukan Sonneratia caseolaris, Sonneratia alba, Bruguiera gymnorrhiza, A. marina, Avicennia officinalis dan Ceriops tagal

3. Zona distal, kawasan terjauh dari laut, jenis yang ditemukan Heritiera littoralis, Pongamia, Pandanus spp., dan Hibiscus tiliaceus.

Produktivitas Serasah

Salah satu fungsi penting mangrove yaitu menghasilkan serasah. Hutan mangrove menghasilkan serasah yang sebagian menjadi detritus dan sebagian mendukung rantai makanan (Nagelkerken et al. 2008). Serasah merupakan organik berasal dari pohon yang mati terdiri atas daun, ranting, dan alat reproduksi yang jatuh ke tanah. Produktivitas serasah merupakan berat dari seluruh bagian material yang mati, diendapkan di permukaan tanah pada suatu waktu. Tinggi atau rendahnya produktivitas serasah dipengaruhi oleh diameter pohon, daun-daun baru yang tumbuh, dan keterbukaan pasang surut (Kusmana et al. 1997).

Brown (1984) membedakan jatuhan serasah menjadi dua, yaitu serasah pada suatu area (litter-layer) dan serasah yang dihasilkan dalam jangka waktu tertentu (litter-fall). Litter-layer merupakan serasah yang ada pada suatu wilayah tertentu dan dinyatakan dalam berat atau unit energi per area permukaan (misal m/m2, Kcal/ha). Litter-fall merupakan tingkat gugurnya serasah dalam jangka waktu tertentu (misal g/m2/hari, Kcal/ha/tahun).

Produksi serasah meningkat saat musim penghujan dan menurun saat musim kering (Twilley et al. 1986). Jumlah produksi serasah dapat menurun jika masukan air tawar berkurang, menyebabkan salinitas sedimen meningkat. Penurunan jumlah produksi serasah dapat juga dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kandungan nutrien sedimen, terutama nitrogen (N) dan fosfor (P) (Twilley et al. 1986).

Dekomposisi Serasah

(21)

5

Menurut Kuriandewa (2003) serasah yang jatuh ke lantai hutan tidak langsung mengalami pelapukan oleh mikroorganisme, tetapi memerlukan bantuan makrobentos. Makrobentos berperan sebagai dekomposer awal yang bekerja dengan cara mencacah daun menjadi bagian-bagian kecil yang kemudian dilanjutkan oleh organisme kecil, yakni mikroorganisme (bakteri dan fungi) yang menguraikan bahan organik menjadi protein dan karbohidrat.

Unsur Hara

Hara merupakan faktor penting dalam memelihara keseimbangan ekosistem mangrove. Hara dalam ekosistem mangrove dibagi menjadi dua yaitu: (a) Hara anorganik, penting untuk kelangsungan hidup organisme mangrove. Hara ini terdiri dari N, P, K, Mg, Ca, dan Na. Sumber utama hara anorganik adalah curah hujan, limpasan sungai, endapan, air laut, dan bahan organik yang terurai di mangrove; (b) Detritus organik, merupakan bahan organik yang berasal dari bioorganik yang melalui beberapa tahap pada proses microbial (Handayani 2004).

Kandungan unsur hara karbon pada serasah daun mangrove menurun seiring dengan penurunan ukuran partikel-partikel serasah, sedangkan kandungan nitrogen dan fosfor meningkat (Geenway 1994). Menurut Ito & Nakagiri (1997) tanah hutan mangrove di daerah tropis dan subtropis bersifat semi aerobik, rendahnya kandungan unsur hara, memiliki konsentrasi logam berat yang tinggi dan salinitasnya lebih tinggi dibanding dengan tanah teresterial. Serasah daun yang banyak kandungan nitrogen dan fosfor mengalami pelapukan dengan cepat tanpa penambahan unsur hara, terutama pada keadaan aerobik. Jumlah nitrogen di atmosfir 79%, dan bahkan lebih banyak lagi N sebagai sedimen organik yang berada di dalam tanah. Baik nitrogen dalam bentuk gas (N2) di udara maupun terikat dalam sedimen tanah, keduanya tidak tersedia bagi tanaman. Hanya bentuk yang teroksidasi (NO3-) atau bentuk yang tereduksi (NH4+) yang tersedia. Ikatan dengan hidrogen, yang mereduksi N, dapat terbentuk karena petir, oleh organisme penambat nitrogen. Amonia dioksidasi menjadi nitrat atau bakteri nitrifikasi. Kandungan N tumbuhan rata-rata 2-4% dan mungkin juga sebesar 6-11%.

(22)

6

Faktor Lingkungan

Salinitas

Salinitas menurut Boyd (1982) adalah kadar seluruh ion-ion yang terlarut dalam air, seperti klorida, karbonat, bikarbonat, sulfat, natrium, kalsium dan magnesium. Kondisi salinitas sangat memengaruhi komposisi mangrove. Berbagai jenis mangrove mengatasi kadar salinitas dengan cara yang berbeda-beda. Beberapa diantaranya selektif mampu menghindari penyerapan garam dari media tumbuhnya, sementara beberapa jenis yang lainnya mampu mengeluarkan garam dari kelenjar khusus pada daunnya (Noor et al. 2006).

Suhu

Suhu berperan penting dalam proses fisiologis (fotosintesis dan respirasi). Produksi daun A. marina terjadi pada suhu 18-20 OC dan jika suhu lebih tinggi maka produksi menjadi berkurang. Rhizophora stylosa, Ceriops, Excoecaria, Lumnitzera tumbuh optimal pada suhu 26-28 OC. Bruguiera tumbuh optimal pada suhu 27 OC, dan Xylocarpus tumbuh optimal pada suhu 21-26 OC (Prabudi 2013).

Kelembaban

Semakin rendah suhu tanah maka semakin tinggi kelembaban tanah sehingga dekomposisi serasah daun akan semakin tinggi (Ristanto 2006). Hal ini sejalan dengan pendapat Golley (2006) yang mengemukakan bahwa serasah membusuk rendah selama musim kering dan cepat pada musim basah.

Derajat Keasaman (pH)

Aktivitas enzim selulase dipengaruhi oleh pH. Kisaran pH optimum untuk aktivitas selulase kapang berkisar antara 4.5-6.5 (Kulp 1975). Enzim pada umumnya hanya aktif pada kisaran pH yang terbatas. Nilai pH optimum suatu enzim ditandai dengan menurunnya aktivitas pada kedua sisi lainnya dari kurva yang disebabkan oleh turunnya afinitas atau stabilitas enzim. Pengaruh pH pada aktivitas enzim disebabkan oleh terjadinya perubahan tingkat ionisasi pada enzim atau substrat sebagai akibat perubahan pH (Irawadi 1991).

Oksigen Terlarut

Oksigen terlarut berperan penting dalam dekomposisi serasah karena bakteri dan fungi yang bertindak sebagai dekomposer membutuhkan oksigen untuk kehidupannya. Oksigen terlarut juga penting dalam proses respirasi dan fotosintesis. Oksigen terlarut berada dalam kondisi tertinggi pada siang hari dan kondisi terendah pada malam hari (Dewi 2009).

Deskripsi Avicennia marina

(23)

7

bentuk sedikit membulat, berwarna hijau keabu-abuan, permukaan buah berambut halus dan ujung buah sedikit tajam seperti paruh, berukuran 1.5 x 2.5 cm (Bengen 2003).

Deskripsi Rhizophora apiculata

Perawakan: pohon tinggi dapat mencapai 15 m, batang berkayu, silindris, kulit luar batang berwarna abu-abu kecoklatan dengan celah vertikal, muncul akar udara dari percabangannya. Daun: permukaan halus mengkilap, ujung runcing dengan duri, bentuk lonjong, ukuran panjang 3-13 cm, pangkal berbentuk baji, permukaan bawah tulang daun berwarna kemerahan, tangkai pendek. Karangan bunga: terletak di ketiak daun, umumnya tersusun atas 2 bunga, yang bertangkai pendek, kelopak 4, berwarna coklat kekuningan, mahkota 4, berwarna keputihan, putik 1 berbelah 2, panjang 0.5–1 mm. Buah: warna coklat, ukuran 2-3 cm, bentuk mirip buah jambu air, hipokotil silindris berdiameter 1-2 cm, panjang dapat mencapai 20 cm, bagian ujung sedikit berbintik-bintik, warna hijau keunguan. Akar: tunjang, habitat: tanah basah, berlumpur, berpasir (Ashton 1999).

3 METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian produktivitas serasah diamati bulan September sampai Desember 2014 sedangkan penelitian laju dekomposisi serasah diamati bulan September sampai Mei 2015. Penelitian ini dilaksanakan di Cagar Alam Pulau Dua Banten Penimbangan sampel serasah dilakukan di Laboratorium Ekologi, pengovenan sampel serasah di Laboratorium Fisiologi, pengamatan anatomi daun di Laboratorium Taksonomi Tumbuhan Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB, dan analisis C Organik, N, dan P serasah daun dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Tanah Cimanggu Bogor. Peta penelitian Cagar Alam Pulau Dua dapat dilihat pada Gambar 2.

(24)

8

Alat dan Bahan

Alat-alat utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS, kompas, litter trap berukuran 1 m x 1 m, litter bag, peta lokasi penelitian. Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah serasah A. marina dan R. apiculata, kantung plastik, kantung kertas, dan label.

Penentuan Stasiun Penelitian

Cagar Alam Pulau Dua terletak di Desa Kebon Baru Sawah Luhur, Kecamatan Kasemen, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Pengamatan lapangan dalam penelitian ini dilakukan di dua stasiun Cagar Alam Pulau Dua Banten. Pemilihan stasiun didasarkan atas jenis tumbuhan mangrove yang mendominansi Cagar Alam Pulau Dua yaitu komunitas R. apiculata yang tumbuh di sebelah selatan pulau dan komunitas A. marina yang tumbuh di sebelah timur pulau.

Analisis Vegetasi Mangrove

Analisis vegetasi dilakukan untuk memperoleh data terkait komposisi jenis tumbuhan dan data mengenai penyebaran, jumlah, dominansi jenis, serta pola sebaran jenis. Pengamatan vegetasi mangrove dilakukan dengan menggunakan metode kombinasi antara metode jalur dengan metode garis berpetak (jalur berpetak) (Kusmana 1997). Jarak antar transek sekitar 100 m, sedangkan panjang transek dari pantai ke arah darat bergantung pada ketebalan mangrove pada tiap-tiap stasiun pengamatan.

Transek garis berada pada posisi dari arah pantai ke arah darat dan terdiri atas petak-petak contoh (plot) berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 10 m x 10 m untuk pohon; 5 m x 5 m untuk pancang; dan 2 m x 2 m untuk semai. Rancangan plot contoh untuk pengamatan vegetasi mangrove disajikan pada Gambar 3.

(25)

9

Produktivitas Serasah

Pendugaan produktivitas serasah dilakukan dengan menggunakan metode litter trap (Brown 1984). Petak permanen dibuat sebanyak dua buah untuk setiap stasiun penelitian dengan ukuran 50 m x 50 m, jarak antar petak permanen adalah 100 m. Pada petak permanen diletakkan masing-masing 13 buah litter trap dengan luas 1 m x 1 m secara sistematik. Litter trap ini dipasang pada ketinggian di atas garis pasang tertinggi. Serasah yang terkumpul pada litter trap diambil selama 15 hari sekali selama 90 hari. Komponen-komponen serasah (daun, bunga dan buah, dan ranting) dipisahkan. Serasah dibawa ke laboratorium, ditimbang dan dikeringkan di dalam oven suhu 80 OC sampai bobot konstan. Serasah kering ditimbang (ketelitian 0.2 g) dengan menggunakan timbangan analitik.

Analisis produksi serasah dilakukan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

X j =

( g/m2) dimana:

Xj = rata-rata produksi serasah setiap ulangan pada periode waktu tertentu

Xi = produksi serasah setiap ulangan pada periode waktu tertentu (ke i = 1,2,3,..,n) n = jumlah litter trap pengamatan.

Pengamatan Laju Dekomposisi Serasah

Pengukuran laju dekomposisi serasah daun diawali dengan pengumpulan serasah daun selama dua minggu di bawah tegakan pohon. Serasah kering daun A. marina dan R. apiculata dimasukkan ke dalam 36 litter bag (ukuran 30 cm x 40 cm mesh size 2 mm) sebanyak 35 g. Kantung serasah diikatkan pada akar atau pohon agar tidak terbawa arus air laut. Setiap dua minggu sekali 6 litter bag diambil dari kedua stasiun pengamatan yaitu hari ke 15, 30, 45, 60, 75 dan 90 hari (Ashton et al. 1999). Serasah dikeluarkan dari litter bag ditimbang bobotnya dengan ketelitian 0.2 g, kemudian dimasukkan ke dalam kantung kertas untuk dioven pada suhu 80 OC sampai berat konstan, ditimbang bobot keringnya serta dianalisis kadar unsur hara C nya dengan metode Walkly and Black, N dengan metode Kjeldahl, dan P dengan metode pengabuan kering.

Analisis hara serasah mulai dilakukan hari ke 0, 15, 30, 45, 60, 75 dan 90. Pengukuran parameter lingkungan pada suhu, salinitas, pH, dan oksigen terlarut (DO) dilakukan secara in situ dengan 3 kali pengulangan. Pengambilan dilakukan pada waktu pagi hari sekitar pukul 07. 00- 10. 00 WIB, bersamaan pengambilan litter bag pada hari ke 15, 30, 45, 60, 75 dan 90.

Laju dekomposisi serasah diduga dengan menggunakan rumus dari Olson (1963):

Xt = Xo.e-kt Keterangan:

Xt = Bobot kering serasah setelah waktu; pengamatan ke -t (g);

Xo = Bobot serasah awal (g);

(26)

10

t = Waktu pengamatan (hari).

Rata-rata dekomposisi serasah secara fisik setiap periode pengamatan dihitung dengan menggunakan rumus (Dewi 1995):

Z= Keterangan:

Z = Rata-rata dekomposisi serasah secara fisik tiap periode W0 = Berat awal serasah

Wt = Berat kering serasah pada periode pengamatan ke-t n = Jumlah periode dekomposisi

Analisis Unsur Hara (C organik, N dan P)

Penentuan kadar C organik dilakukan dengan metode Walkley & Black, N dengan metode Kjeldahl dan P dengan metode pengabuan kering. Analisis unsur hara (C organik, N dan P) diperoleh dengan menggunakan rumus Yulma (2012). Analisis C organik dihitung dengan menggunakan rumus:

C organic= 5x (1- ) x 0,003 x x T: Vol.titrasi Fe (NH4)2(SO4)2 0,5 N dengan daun S: Vol titrasi Fe (NH4)2(SO4)2 0,5 N blanko Analisis N dihitung dengan menggunakan rumus:

N daun (%) = mLHCl x NHCL x 14 x 100 Berat daun kering x 100 Analisis P dihitung dengan menggunakan rumus:

P daun (%)= Plarutan x 0,2

Pengukuran Luas Daun

Untuk keperluan pengukuran luas daun diambil sebanyak 30 helai daun dari tegakan pohon A. marina dan R apiculata. Daun yang diambil adalah daun yang sehat dan tidak berlubang. Daun difoto menggunakan kamera, kemudian diukur luasnya dengan menggunakan software ImageJ.

Anatomi Daun

Metode Irisan Beku

(27)

11

dengan safranin. Setelah diwarnai, irisan diletakkan pada gelas obyek, kemudian ditetesi gliserin 30 % dan ditutup dengan gelas penutup. Preparat diamati di bawah mikroskop dan difoto menggunakan optilab. Parameter yang diamati yaitu, susunan, bentuk, dan ketebalan jaringan-jaringan

Analisi Data

Analisis data meliputi; 1) komposisi jenis dan kelimpahannya (Bengen 2004), 2) produktivitas serasah, 3) laju dekomposisi serasah. Analisis data komposisi jenis terdiri atas; Kerapatan Jenis (K), Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Jenis (F), Frekuensi Relatif (FR), Dominansi Jenis (D), Dominansi Relatif (DR) dan Indeks Nilai Penting (INP), Indeks Morishita. Produktivitas serasah menggunakan 2 sample t test.. Laju dekomposisi serasah menggunakan rumus Olson (1963), 2 Sample t test, dan Regression diuji pada tingkat signifikan adalah p < 0.05 menggunakan Minitab 16.0.

Indeks Nilai Penting (INP) (Mueller & Ellenberg 1974) menggunakan rumus:

a) Kerapatan (K) =

b) Kerapatan Relatif (KR) =

c) Frekuensi (F) =

d) Frekuensi Relatif (FR) =

e) Dominansi (D) =

Lbds : Luas bidang dasar f) Dominansi Relatif (DR) :

INP = KR+FR+DR (Pohon)

INP = KR+FR (Semai dan pancang)

Pola penyebaran jenis dianalisis menggunakan Indeks Morishita menggunakan rumus (Morishita 1959):

Iδ = Q Keterangan: Iδ = Indeks Morishita

Xi = Jumlah individu jenis X dalam petak Ke-i = (i= 1,2,3....)

Q = Jumlah seluruh petak

T = Jumlah total individu dalam semua petak

Jika Iδ = 1 pola penyebaran acak, Iδ < 1 pola penyebaran seragam, Iδ > 1 Pola penyebaran kelompok.

(28)

12

Keterangan:

X20,975 = Nilai chi-squre dari tabel dengan db (n-1), selang kepercayaan 97,5% ΣXi = Jumlah individu dari suatu spesies pada petak ukur ke –i

n = Jumlah petak ukur Derajat Pengelompokan (Iδ > 1)

Mc =

Keterangan:

X20,025 = Nilai chi-squre dari tabel dengan db (n-1), selang kepercayaan 2,5% ΣXi = Jumlah individu dari suatu spesies pada petak ukur ke –i

N = Jumlah petak ukur Standar derajat Morishita

Standar derajat Morishita (Ip) dihitung dengan empat rumus sebagai berikut: 1. Bila Iδ≥Mc> 1.0, maka dihitung:

Ip = 0,5 + 0,5

(

)

2. Bila Mc>Iδ ≥ 1.0, maka dihitung:

Ip = 0,5

(

)

3.

Bila 1,0> Iδ>Mu, maka dihitung:

Ip = -0,5

(

)

4.

Bila 1,0> Mu>Iδ, maka dihitung:

Ip = -0,5 + 0,5

(

)

Perhitungan nilai Ip akan menunjukkan pola penyebaran spesies tumbuhan yang dominan dalam suatu komunitas. Nilai dan pola penyebaran spesies tersebut adalah sebagai berikut:

Ip = 0, Spesies tumbuhan memiliki penyebaran acak (random)

Ip >0, Spesies tumbuhan memiliki penyebaran mengelompok (clumped) Ip<0, Spesies tumbuhan memiliki penyebaran merata (uniform)

4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Komposisi Jenis

Komposisi jenis mangrove di lokasi Cagar Alam Pulau Dua Banten terdiri dari 4 jenis tingkat semai, 9 jenis pada tingkat pancang dan 10 jenis pada tingkat pohon. Di Cagar Alam Pulau Dua, ditemukan 12 jenis yang terdiri dari 7 jenis mangrove sejati dan 5 jenis mangrove ikutan. Berdasarkan Indeks Nilai Penting (INP), A. marina dan R. apiculata adalah jenis dominan pada tingkat semai, pancang dan pohon untuk masing-masing komunitas (Tabel 1).

(29)

13

pada tingkat semai, pancang, dan tiang masing-masing adalah 108.33 %, 91.13 %, dan 77.83 %. Pada dua komunitas kerapatan pohon tertinggi yaitu di komunitas R. apiculata yaitu sebesar 748.27 ind/ha dan terendah di komunitas A. marina yaitu sebesar 742.86 ind/ha.

(30)

14

Tabel 2 Kerapatan pada fase pertumbuhan semai, pancang dan tiang pada kedua struktur tegakan di Cagar Alam Pulau Dua Banten

Konsosiasi apiculata stasiun Cagar Alam Pulau dua dibedakan berdasarkan kelas diameter 10≤35 cm, dengan rentang per kelas adalah 5 cm (Tabel 3). Pada komunitas A. marina terdapat pada semua kelas diameter, jumlah tertinggi yaitu pada kelas diameter 10≤15 cm. Pada komunitas R. apiculata terdapat pada semua kelas diameter, jumlah tertinggi terdapat pada kelas diameter 15≤20 cm. Berdasarkan dua stasiun, kelas diameter 10≤15 memiliki jumlah jenis tertinggi.

Tabel 3 Kerapatan pohon dengan ukuran kelas diameter di dua stasiun Cagar

(31)

15

Tabel 4 Indeks Morishita pada fase pertumbuhan semai. pancang dan pohon di komunitas A. marina dan R. apiculata Cagar Alam Pulau Dua

Stasiun Komunitas

hutan Fase pertumbuhan Jenis

Derajat Sonneratia alba 9.68 Mengelompok Rhizophora stylosa 12.89 Mengelompok Pancang R. apiculata 2.09 Mengelompok Thespesia populnea 8.29 Mengelompok Diospyros maritima 8.29 Mengelompok Bruguiera cylindrica 12.43 Mengelompok Morinda citrifolia 12.43 Mengelompok Sonneratia alba 12.43 Mengelompok Lumnitzera racemosa 11.60 Mengelompok Exeocaria agallocha 9.77 Mengelompok Pohon R. apiculata 2.21 Mengelompok Dyospiros maritima 4.34 Mengelompok Sonneratia alba 7.01 Mengelompok Aglaia elagnoidea 9.17 Mengelompok Lumnitzera racemosa 8.70 Mengelompok Allophilus cobbe 7.46 Mengelompok Thespesia populnea 3.69 Mengelompok Bruguiera cylindrica 8.70 Mengelompok Exeocaria agallocha 13.53 Mengelompok

Faktor Lingkungan di Stasiun Pengamatan

Faktor lingkungan pada kedua komunitas mangrove di Cagar Alam Pulau Dua Banten diamati bersamaan dilakukannya analisis vegetasi, adapun faktor-faktor lingkungan di lokasi pengamatan dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Faktor lingkungan di dua stasiun Cagar Alam Pulau Dua Banten Stasiun Jalur

Berdasarkan Tabel 5, dapat diketahui bahwa suhu di komunitas A. marina dan R. apiculata tergolong optimum untuk pertumbuhan mangrove, salinitas tinggi, pH agak asam, kelembaban tinggi, dan DO sedang.

Produktivitas Serasah

Pengamatan hasil produktivitas serasah A. marina dan R. apiculata di Cagar Alam Pulau Dua Banten dilakukan sebanyak 6 kali selama 90 hari. Hasil rata-rata produktivitas serasah dan komponen-komponennya (daun, bunga/buah, dan ranting) yang diambil pada dua komunitas hutan dapat dilihat pada Gambar 4 dan 5.

(32)

16

pengamatan ke 2 yaitu tanggal 06 Oktober 2014. Produktivitas serasah bunga/buah tertinggi pada komunitas A. marina yaitu waktu pengamatan terakhir yaitu tanggal 05 Desember 2014, dan terendah pada waktu pengamatan ke 4 yaitu tanggal 06 November 2014. Produktivitas serasah ranting tertinggi yaitu waktu pengamatan tanggal 20 November 2014, dan terendah tanggal 21 September 2014.

Gambar 4 Fluktuasi rata-rata produktivitas serasah dan komponen-komponennya (daun, bunga/buah dan ranting) komunitas A. marina selama periode pengamatan di Cagar Alam Pulau Dua Banten. ■ Total, ■ Daun, ■ Bunga/buah, ■ Ranting, ▲ Curah hujan

(33)

17

Produktivitas serasah daun tertinggi pada komunitas R. apiculata terjadi pada pengamatan ke 5 yaitu tanggal 20 November 2014 dan terendah pada waktu pengamatan ke 2 yaitu tanggal 06 Oktober 2014. Produktivitas serasah bunga/buah tertinggi pada komunitas R. apiculata yaitu waktu pengamatan ke 6 yaitu tanggal 05 Desember 2014, dan terendah pada waktu pengamatan ke 5 yaitu tanggal 20 November 2014. Produktivitas serasah ranting tertinggi di komunitas R. apiculata yaitu pada pengamatan ke 2 yaitu tanggal 06 Oktober 2014, dan terendah yaitu pada pengamatan ke 3 yaitu pada tanggal 21 Oktober 2014 (Gambar 5)

Pengamatan yang dilakukan selama 90 hari menghasilkan produktivitas serasah tertinggi pada komunitas R. apiculata (7.81 ton/ha/tahun) dan terendah pada komunitas A. marina (6.86 ton/ha/tahun) (Tabel 6). Produktivitas serasah yang diamati, terdiri atas serasah daun, bagian reproduksi (bunga dan buah), dan ranting. Serasah daun menghasilkan produktivitas serasah tertinggi dibandingkan serasah bunga/buah, dan ranting, yaitu pada komunitas A. marina sebesar 68.18 % lebih rendah jika dibandingkan pada komunitas R. apiculata sebesar 75.91 %. Selama 1 tahun diduga produktivitas serasah daun pada komunitas A. marina yaitu 4.68 ton/ha/tahun dan R. apiculata yaitu 5.93 ton/ha/tahun/

Produktivitas serasah bunga/buah pada komunitas A. marina lebih tinggi dibandingkan R. apiculata yaitu masing-masing untuk A. marina bernilai 26.98 % dan R. apiculata bernilai 20.97 %. Produktivitas serasah ranting pada komunitas A. marina lebih tinggi dari komunitas R. apiculata. Produktivitas serasah ranting A. marina yaitu 4.84 % dan R. apiculata yaitu 3. 12 %.

Tabel 6 Produktivitas Serasah di dua komunitas hutan Komunitas hutan

(34)

18

0 21/9 06/10 21/10 05/11 20/11 05/12

Waktu pengamatan2014

Kecepatan laju dekomposisi selain berkaitan dengan bahan-bahan organik juga dipengaruhi parameter lingkungan. Parameter lingkungan yang diamati pada penelitian ini yaitu suhu, salinitas, kelembaban, DO (Dissolved Oxygen), dan pH. Suhu dan salinitas di komunitas A. marina dan R. apiculata tergolong optimum untuk pertumbuhan mangrove, pH sedikit asam, kelembaban relatif tinggi, dan DO tinggi (Tabel 7).

Tabel 7 Suhu, salinitas, kelembaban, DO dan pH dekomposisi serasah komunitas A. marina dan R. apiculata

Stasiun Waktu Pengamatan Suhu (OC) Salinitas

(o/oo) Kelembaban (%) DO (ppm) pH yang signifikan P= 0.001 (Tabel 8).

(35)

19

Tabel 8 Uji t produktivitas dan laju dekomposisi serasah pada komunitas A. Marina dan R. apiculata

Uji t parameter lingkungan antara dua komunitas A. marina dan R. apiculata dilakukan untuk mengetahui perbedaan parameter lingkungan yang diamati. Pengujian ini dilakukan untuk melihat apakah masing-masing parameter lingkungan berbeda signifikan atau tidak diantara dua komunitas.

Hasil uji t menjelaskan bahwa pada parameter yang diamati, salinitas antara komunitas A. marina dan R. apiculata berbeda signifikan (P= 0.045), sedangkan parameter lingkungan suhu, kelembaban DO dan pH antara komunitas A. marina dan R. apiculata tidak berbeda signifikan karena nilai P-Value > 0.05 (Tabel 9). Tabel 9 Uji t parameter lingkungan pada komunitas A. marina dan R. apiculata

Parameter lingkungan P-Value

Suhu 0.470

Salinitas 0.045

Kelembaban 0.588

DO 0.700

pH 0.626

Cepat atau lambatnya laju dekomposisi serasah dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satunya yaitu parameter lingkungan. Analisis regresi adalah salah satu uji secara statistik yang digunakan untuk mengetahui apakah parameter lingkungan berpengaruh signifikan atau tidak terhadap kecepatan laju dekomposisi serasah. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa pada komunitas A. marina parameter lingkungan memengaruhi laju dekomposisi serasah (P= 0.000), sedangan pada komunitas R. apiculata parameter lingkungan cukup memengaruhi laju dekomposisi serasah (P= 0.078) (Tabel 10). Parameter lingkungan memengaruhi laju dekomposisi serasah daun A. marina sebesar 96 %, sedangkan R. apiculata sebesar 52 %.

Tabel 10 Hasil analisis regresi faktor suhu, salinitas, kelembaban, DO, dan pH terhadap laju dekomposisi serasah A. marina dan R. apiculata

Jenis R2 adj R2 Persamaan regresi Anova regresi A. marina 0.96 0.94 Y=178-1.34x1-3,74x2-1.54x3+16.2x4+3.79x5 0.000<0.05 R. apiculata 0.52 0.33 Y=-911+6.75x1+7.8x2+7.45x3+2.39x4-9.19x5 0.078>0.05

aY= laju dekomposisi; X1 = suhu; X2 = salinitas; X3 = kelembaban; X4 = DO; X5 = pH

Spesific Leaf Area (SLA) dan Anatomi Daun

Rata-rata Specific Leaf Area (SLA) daun A. marina lebih luas jika dibandingkan daun R. apiculata (Gambar 7). Hasil pengukuran ini berbanding lurus dengan hasil laju dekomposisi serasah. Serasah daun A. marina memiliki nilai laju dekomposisi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan serasah daun R. apiculata. Semakin luas nilai SLA daun maka semakin tipis daun sehingga daun mudah untuk terdekomposisi.

(36)

20

0 20 40 60 80 100 120 140

1 2

R

ata

-r

ata

SL

A

(

cm

2

/g

)

Komunitas

Gambar 7 Rata-rata Spesific Leaf Area (SLA) daun A. marina ( ) dan R. apiculata (. )

Hasil pengamatan preparat penampang melintang daun A. marina dan R. apiculata, dapat diketahui bahwa daun A. marina memiliki lapisan yang tipis dibandingkan R. apiculata. Hal ini didasarkan pada lapisan epidermis dan kelenjar garamnya. A. marina memiliki selapis epidermis atas dengan ketebalan 5 μm sedangkan R. apiculata memiliki dua lapis epidermis atas dengan ketebalan 15

μm. Kelenjar garam A. marina berbentuk terompet dengan ketebalan 27 μm, sedangkan R. apiculata memiliki kelenjar garam dengan ketebalan 4 μm (Gambar 8).

(37)

21

Kandungan C organik di dalam serasah daun memiliki nilai yang tertinggi jika dibandingkan N dan P (Gambar 9). Konsentrasi C organik pada periode waktu pengamatan mengalami penurunan jika dibandingkan pada pengamatan ke 0 sebelum terjadinya dekomposisi.

Gambar 9 Konsentrasi C Organik, nitrogen (N), rasio C/N, dan fosfor (P) serasah daun A. marina ( ) dan R. apiculata ( )

Kandungan C organik pada serasah daun A. marina lebih tinggi daripada C organik pada serasah daun R. apiculata. Konsentrasi C organik tertinggi terjadi

06/09/14 21/09/14 06/10/14 21/10/14 05/11/14 20/11/14 05/12/14

Ko

06/09/14 21/09/14 06/10/14 21/10/14 05/11/14 20/11/14 05/12/14

Ko

06/09/14 21/09/14 06/10/14 21/10/14 05/11/14 20/11/14 05/12/14

R

06/09/14 21/09/14 06/10/14 21/10/14 05/11/14 20/11/14 05/12/14

(38)

22

pada waktu pengamatan 0 dan terendah pada pengamatan 05/12/2014. Konsentrasi nitrogen serasah daun baik A. marina maupun R. apiculata mengalami peningkatan jika dibandingkan waktu pengamatan ke 0 sebelum pengamatan laju dekomposisi. Secara keseluruhan, konsentrasi nitrogen serasah daun A. marina lebih tinggi jika dibandingkan serasah daun R. apiculata. Konsentrasi nitrogen tertinggi serasah daun A. marina terjadi pada pengamatan 05/11/2014 dan terendah pada pengamatan ke 0.

Konsentrasi rasio C/N pada waktu pengamatan selama 90 hari mengalami penurunan. rasio C/N serasah daun R. apiculata lebih tinggi jika dibandingkan rasio C/N serasah daun A. marina. Konsentrasi unsur P mengalami peningkatan pada periode waktu pengamatan jika dibandingkan waktu ke 0, baik serasah daun A. marina maupun serasah daun R. apiculata (Gambar 9). Pada waktu pengamatan 20/11/14 dan 05/12/14 konsentrasi unsur P serasah daun A. marina bernilai tetap dan waktu pengamatan 21/09/14-05/11/14 serasah daun R. apiculata juga bernilai tetap. Secara keseluruhan. konsentrasi unsur P tertinggi terdapat pada serasah daun A. marina dan terendah pada serasah daun R. apiculata.

Rasio C/N memiliki nilai tertinggi dibandingkan nilai unsur C organik, N, dan P. Selisih unsur P pada serasah daun A. marina dan R. apiculata memiliki nilai terkecil, yang menunjukkan bahwa unsur P yang dilepaskan bernilai tinggi (tabel 11).

Tabel 11 Selisih pengamatan awal dan akhir unsur C organik, N, rasio C/N, da P pada serasah daun A. marina dan R. apiculata

Jenis serasah daun

Unsur

C organik N C/N P

A. marina 19.38 0.64 77.8 0.04

R. apiculata 29.03 0.62 189.5 0.03

Pembahasan

Komposisi Jenis

Cagar Alam Pulau Dua merupakan ekosistem hutan mangrove, memiliki topogafi datar, terletak pada dataran rendah yang mendekati pantai dengan ketinggian 0-4 mdpl (Silvius et al. 1987). Keadaan umum fisik tanah pada bagian Barat pulau sedikit kering sedangkan bagian Timur umumnya berawa. Kondisi tanah di Pulau Dua terdiri dari kandungan pasir yang tinggi, sumber air tawar tidak ada dan air rawa berasal dari laut yang menggenangi ketika pasang.

Faktor fisik suhu di Cagar Alam Pulau Dua tergolong optimum untuk pertumbuhan mangrove, salinitas tergolong tinggi, pH agak asam, kelembaban tinggi, dan DO sedang. Kondisi faktor fisik tersebut menunjukkan bahwa keadaan lokasi tergolong masih layak untuk mendukung kehidupan dan perkembangan biota.

(39)

23

penggenangan pasang yang lebih lama, zona pioner ini di dominasi oleh jenis Avicennia spp. dan Sonneratia spp.

Jenis R. apiculata tidak ditemukan pada komunitas A. marina, murni hanya ditemukan jenis A marina. Hal ini dapat terjadi karena kondisi substrat di komunitas A. marina sering dalam keadaan reduksi sehingga hanya jenis-jenis tertentu saja yang dapat hidup. Kathiresan (2007) menyatakan kondisi substrat yang reduksi dapat menghambat pertumbuhan mangrove. Salah satu jenis yang dapat beradaptasi terhadap kondisi substrat yang reduksi adalah Avicennia spp.

Milton & Mahardi (1985) membagi komunitas Pulau Dua menjadi 4, yaitu Rhizophora, Avicennia, Diospyros dan semak belukar. Berdasarkan 4 komunitas tersebut, dua komunitas yang diamati yaitu Rhizophora dan Avicennia menghasilkan A. marina adalah jenis dominan pada komunitas Avicennia dan R. apiculata adalah jenis dominan pada komunitas Rhizophora.

Hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dengan beragam fungsi, baik ekologi maupun ekonomi. Bagi ekologi, mangrove mempunyai peran penting berdasarkan atas produktivitas primer dan produksi bahan organik berupa serasah, bahan organik ini merupakan dasar rantai makanan di ekosistem mangrove (Taqwa 2010). Peran serasah bagi kesuburan tanah dan tanaman bergantung pada produksi dan laju dekomposisinya. Serasah berkontribusi memberikan penambahan hara ke tanah dan menghasilkan substrat yang baik bagi organisme pengurai (Effendi 2011).

Produktivitas serasah

Hasil penelitian ini menunjukkan komunitas A. marina mempunyai produktivitas serasah total yaitu 6.86 ton/ha/tahundan produktivitas serasah total komunitas R. apiculata yaitu 7.81 ton/ha/tahun. Berdasarkan hasil produktivitas serasah tersebut, produktivitas serasah A. marina di Cagar Alam Pulau dua lebih tinggi jika dibandingkan di Gazy Bay, Kenya dan lebih rendah jika dibandingan di Australia. Produktivitas serasah di Kenya sebesar 6.2 ton/ha/tahun (Ochieng 2002), dan produktivitas serasah di Australia sebesar 8.1 ton/h/tahun (Woodroffe 1982). Rendahnya produktivitas serasah di Kenya dan tingginya produktivitas serasah di Australia disebabkan karena kerapatan pohon. Kerapatan pohon A. marina di Kenya yaitu 9 ind/m2, sedangkan kerapatan pohon di Australia mencapai 33 ind/m2. Kerapatan pohon memengaruhi produksi serasah, semakin tinggi kerapan pohon maka semakin banyak produksi serasah yang dihasilkan.

(40)

24

Produktivitas serasah yang bervariasi dapat disebabkan oleh perbedaan umur pohon, kerapatan tajuk atau tegakan. Tegakan yang memiliki diameter yang tinggi maka umur pohon lebih tua, menghasilkan serasah yang lebih banyak (Bunyavejchewin & Nuyim 2001; Cuecas & Sajise 1978). Kerapatan tajuk atau tegakan merupakan faktor yang memengaruhi jatuhnya serasah, semakin rapat tajuk atau tegakan maka produktivitas serasah yang dihasilkan akan lebih banyak. Pada tajuk atau tegakan yang rapat terjadi persaingan untuk mendapatkan sinar matahari sehingga cahaya yang diperoleh tumbuhan tidak cukup dalam membantu proses fotosintesis (Proctor 1983).

Produktivitas serasah pada komunitas R. apiculata Cagar Alam Pulau Dua Banten lebih tinggi jika dibandingkan di Padang Cermin Lampung sebesar 2.044 ton/ha/tahun (Andrianto 2015). Kerapatan pohon diduga penyebab produktivitas serasah di Padang Cermin lebih rendah. Kerapatan rata-rata pohon di Padang Cermin Lampung sebesar 212 ind/ha lebih rendah jika dibandingkan di Cagar Alam Pulau Dua yaitu 748 ind/ha.

Berdasarkan hasil uji t, produktivitas serasah total A. marina dan R. apiculata tidak berbeda secara signifikan. Hal ini disebabkan karena nilai kerapatan pohon antara dua komunitas tidak memiliki perbedaan yang nyata. Dalam hal ini komunitas A. marina memiliki nilai kerapatan pohon sekitar 743 ind/ha dan komunitas R. apiculata sekitar 748 ind/ha. Pramudji & Setiadi (1987) menjelaskan bahwa kerapatan pohon memengaruhi produksi serasah, semakin tinggi kerapatan pohon maka semakin tinggi produksi serasahnya. Pada kerapatan pohon yang tinggi intensitas cahaya yang diterima oleh daun yang terletak pada bagian dalam atau bawah tajuk relatif rendah, yang mengakibatkan daun menguning dan jatuh (Taqwa 2010). Proses gugurnya daun yang tinggi salah satunya disebabkan oleh rendahnya intensitas cahaya yang akan mengurangi akumulasi karbohidrat sehingga daya tahan daun semakin rendah (Blair 1982).

Curah hujan memengaruhi produktivitas serasah (Bernini & Rezende 2010). Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geosfisika (BMKG) Banten pada tahun 2014, curah hujan pada bulan November cukup tinggi, hal ini memengaruhi hasil produktivitas serasah. Oleh karena itu produktivitas serasah tertinggi pada komunitas A. marina dan R. apiculata terjadi pada bulan November.

Menurut Soeroyo (2003) curah hujan memengaruhi guguran serasah, semakin tinggi curah hujan maka produktivitas serasah meningkat. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh (Suwarno 1985; Alrasjid 1986; Subkhan 1991), produktivitas serasah meningkat pada musim kemarau dan menurun pada musim hujan. Pada musim kemarau terjadi persaingan antar tanaman dalam hal mendapatkan cahaya. Tanaman akan cepat mengalami regenerasi akibat efisiensi proses fotosintesis.

(41)

25

Keberadaan musim ini juga berpengaruh pada fenologi tumbuhan. Aktifitas fenologi tumbuhan dipakai sebagai indikator adanya perubahan musim yang bersifat timbal balik dengan perubahan aktifitas tumbuhan, karena adanya sinkronisasi antara musim dan aktifitas fenologi tumbuhan. Menurut Ochieng (2002), produktivitas serasah A.marina mencapai puncaknya pada musim kemarau bulan Juli dan Agustus setelah melewati pertumbuhan daun yang maksimal bulan Juni. Gugurnya daun terjadi setelah sebulan daun tumbuh maksimal. A. marina berbunga pada bulan November- Maret (musim penghujan), lama pembuahan hingga masak 2-3 bulan, gugurnya bunga/buah memuncak pada bulan Juli/Agustus.

Menurut Kitamura et al. (1997) di Bali dan Lombok R. apiculata berbunga sepanjang tahun dan musim berbuah pada bulan Desember- Maret tiap tahunnya. Lama bunga berkembang sampai menjadi propagul matang adalah 5-6 bulan, dan puncaknya serasah bunga/buah dihasilkan sebulan setelahnya yaitu September atau Oktober. Hal ini berbeda dengan serasah bunga/buah yang dihasilkan di Cagar Alam Pulau Dua mencapai puncaknya pada bulan Desember.

Berdasarkan jumlah serasah yang jatuh, daun menghasilkan produktivitas serasah tertinggi jika dibandingkan bunga/buah dan ranting. Serasah daun pada komunitas A. marina meliputi 68.18 % dari serasah total sedangkan pada komunitas R. apiculata 75.91 %. Produktivitas serasah daun yang tinggi, disebabkan karena proses pembentukan daun lebih cepat jika dibandingkan organ reproduksi (bunga dan buah) dan ranting, selain itu tumbuhan mangrove melakukan adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi dengan cara menggugurkan daunnya (Zamroni & Rohyani 2008).

Laju dekomposisi serasah

Serasah yang jatuh ke tanah hutan akan mengalami proses dekomposisi. Bobot serasah daun mengalami penurunan setiap periode waktu pengamatan yang dilakukan selama 90 hari. Persentase bobot sisa serasah A. marina dan R. apiculata berbeda secara signifikan. Serasah daun A. marina memiliki konstanta (k) laju dekomposisi serasah A. marina lebih tinggi dibandingkan R. apiculata berturut-turut bernilai 0.83 dan 0.41. Hal ini menandakan bahwa serasah daun A. marina lebih cepat terdekomposisi dari daun R. apiculata. Kondisi seperti ini dapat terjadi karena beberapa faktor, di antaranya; morfologi dan anatomi daun, unsur N, keadaan subrat tempat hidup tumbuhan, dan faktor fisik lingkungan.

Jenis A. marina memiliki morfologi daun yang tipis dibandingkan R. apiculata. Hal ini dibuktikan dengan nilai Specific Leaf Area (SLA) daun A. marina yang lebih besar jika dibandingkan R. apiculata. Garnier et al. (2004) menyatakan, terdapat hubungan yang positif antara SLA dengan laju dekomposisi serasah daun, semakin besar SLA maka semakin cepat laju dekomposisinya.

(42)

26

mikroba (dekomposer) banyak terdapat di daerah bersubtrat lumpur. Lumpur banyak mengakumulasi bahan organik, yang berarti bahwa tersedia cukup banyak makanan yang potensial untuk organisme (Nontji 1993).

Lapisan anatomi daun A. marina lebih tipis jika dibandingan R. apiculata. Lapisan epidermis daun A. marina memiliki ketebalan selapis sedangkan lapisan epidermis R. apiculata memiliki ketebalan dua lapis. Ketebalan epidermis memengaruhi cepat lambatnya proses dekomposisi. Lapisan ini yang melindungi jaringan-jaringan yang ada dibawahnya agar tidak rusak. Semakin tebal lapisan epidermis maka semakin lambat daun mengalami proses dekomposisi. Selain lapisan epidermis, perbedaan anatomi ini juga dapat dilihat pada kelenjar garam yang terdapat pada daun. Kelenjar garam A. marina jauh lebih luas jika dibandingkan kelenjar garam R. apiculata. Kelenjar garam ini berfungsi menahan genangan pasang surut air laut dan memiliki kelembaban yang baik sehingga mendukung aktivitas mikroorganisme tanah dalam proses dekomposisi serasah daun (Chapman 1976). Semakin luas kelenjar garam maka semakin banyak mikroorganisme yang terdapat pada serasah karena kelembaban yang kondusif untuk terjadinya proses pembusukan serasah.

Kondisi lingkungan sangat memengaruhi proses dekomposisi serasah. Dalam hal ini suhu, salinitas, kelembaban, Dissolve Oxygen (DO), dan pH yang diamati di Cagar Alam Pulau Dua masih berada dalam kisaran yang baik untuk proses dekomposisi. Hasil analisis uji t menunjukkan bahwa salinitas air di komunitas A. marina dan R. apiculata berbeda secara signifikan. Salinitas pada komunitas A. marina lebih rendah jika dibandingkan salinitas pada komunitas R. apiculata. Salinitas air pada komunitas A. marina berkisar 25.33-27.87 psu, dan pada komunitas R. apiculata berkisar antara 28.00- 29.67 psu.

Hasil uji regresi menunjukkan, secara keseluruhan faktor kondisi lingkungan berpengaruh signifikan pada laju dekomposisi serasah daun A. marina, sedangkan faktor kondisi lingkungan cukup berpengaruh signifikan pada laju dekomposisi serasah daun R. apiculata. Faktor lingkungan salinitas dan DO berpengaruh signifikan pada laju dekomposisi serasah daun A. marina, sedangkan faktor lingkungan salinitas berpengaruh signifikan pada laju dekomposisi serasah daun R. apiculata.

Kisaran salinitas di komunitas A. marina dan R. apiculata berada pada rentang 20-30 psu, dikategorikan cukup tinggi. Yunasfi (2006) melaporkan bahwa sisa serasah yang dihasilkan pada salinitas 20-30 psu lebih sedikit jika dibandingkan salinitas <10, 10-20, dan >30. Dix dan Webster (1995) melaporkan bahwa pada salinitas 20-30 psu ditemukan jumlah cacing dan siput yang lebih banyak dibandingkan salinitas <10, 10-20, dan >30 psu. Cacing dan siput membantu dalam memecah serasah, semakin cepat serasah terpecah-pecah maka semakin cepat laju dekomposisinya.

(43)

27

memiliki kualitas perairan yaitu sebagian tercemar ringan dan sebagian lagi tidak tercemar.

Pelepasan hara dari pembusukan bahan organik amat penting bagi ekosistem. Hara akan hilang jika diuraikan terlalu cepat akibat pencucian tanah dan penguapan. Sebaliknya jika diuraikan terlalu lambat, pertumbuhan tanaman akan terhambat akibat hara yang disediakan tumbuhan sedikit (Asri et al. 1990). Kandungan C organik pada serasah daun A. marina dan R. apiculata cenderung menurun. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Ulqodry (2008) yang menunjukkan bahwa kandungan C organik cenderung menurun seiring dengan penambahan waktu dekomposisi dan pengurangan ukuran partikel serasah, penyebabnya adalah proses fotosintesis dan evaporasi.

Pengamatan kandungan N dan P menunjukkan persentase yang semakin meningkat. Peningkatan kandungan N diakibatkan oleh keterlibatan bakteri nitrogen pada serasah daun yang melakukan fiksasi nitrogen (Steinke et al. 1983), sedangkan peningkatan kandungan unsur hara fosfor menurut Wijiyono (2009) disebabkan oleh laju dekomposisi yang tinggi, menyebabkan pelepasan fosfor ke serasah lebih besar dari pada pelepasan ke lingkungan. Kandungan unsur P pada serasah lebih rendah jika dibandingkan N, karena P diperlukan lebih banyak setelah N.

Unsur P menyusun 2/5 dari total abu mikroorganisme dan P dibutuhkan 1/10 dari kebutuhan N untuk menyusun sel. Kadar fosfor total perairan diklasifikasikan menjadi tiga. yaitu perairan dengan tingkat kesuburan rendah yang memiliki kadar fosfor total berkisar 0 – 0.02 ppm, sedang kadar fosfor total berkisar 0.021 –0.05 ppm, tinggi memiliki kadar fosfor total berkisar 0.05 – 0.1 ppm (Liaw 1969). Komunitas A. marina berdasarkan klasifikasi di atas, termasuk ke dalam kategori perairan dengan tingkat kesuburan tinggi, sedangkan komunitas R. apiculata dikategorikan perairan dengan tingkat kesuburan sedang.

Faktor lain yang memengaruhi kecepatan laju dekomposisi serasah adalah nilai nutrisi pada daun. Nilai nutrisi dapat dilihat berdasarkan nilai rasio C/N (Ashton et al. 1999). Rasio C/N yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara 25 : 1 hingga 35 : 1 (Dalzell et al. 1987). Apabila rasio C/N terlalu tinggi, mikroba akan kekurangan N untuk sintesis protein sehingga dekomposisi berjalan lambat. Rasio C/N komunitas A. marina lebih rendah dari daun R. apiculata, yang menyebabkan proses dekomposisi daun A.marina lebih cepat dari R. apiculata. Nilai C/N yang rendah memperlihatkan nilai nitrogen dan nutrisi yang tinggi. Nilai nutrisi yang tinggi menunjukkan proses laju dekomposisi yang cepat (Ashton et al. 1999).

5

SIMPULAN

Gambar

Gambar 1  Kerangka pemikiran penelitian
Tabel 1   Kerapatan, Frekuensi dan Dominansi pada fase pertumbuhan semai, pancang dan pohon pada komunitas A
Tabel  2  Kerapatan pada fase pertumbuhan semai, pancang dan tiang pada kedua  struktur tegakan di Cagar Alam Pulau Dua Banten
Tabel 4 Indeks Morishita pada fase pertumbuhan semai. pancang dan pohon di komunitas A
+5

Referensi

Dokumen terkait

Konjungsi ba digunakan untuk menghubungkan anak dan induk kalimat data (5) sehingga bermakna kondisional umum, yaitu pada umumnya orang yang sudah lanjut usia

Rata-rata niat berwirausaha kelas kewirausahaan praktik adalah sebesar 11,97 sedangkan kelas kewirausahaan tanpa praktik adalah 11,45; sehingga hipotesis pertama

Ciri ini sangat penting kerana pemimpin sebenarnya adalah seorang daie (pendakwah) yang bertanggungjawab untuk menyeru ummat ke arah penghayatan Islam yang sebenar

Seperti pada blok Way Pemerihan dan Way Canguk yang memiliki satwa mangsa harimau yang cukup banyak, tetapi survai harimau dan satwa mangsanya pada periode pengamatan

Pengembangan Usaha Pertanian Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan Mendukung Ketahanan Pangan dan Pengembangan Agribisnis.. Perancangan Percobaan: Untuk Menganalisis

Kempen Hijaukan Sekolah- Membuat Buku Skrap 9..

Penelitian menggunakan format deskriptif kualitatif bertujuan untuk mendapatkan, gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena recording IB pada ternak

Kelebihan edible film yang dibuat dari hidrokoloid diantaranya memiliki kemampuan yang baik untuk melindungi produk terhadap oksigen, karbondioksida dan lipid serta memiliki