• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan terhadap Kinerja Gapoktan dan Pendapatan Usahatani Padi di Kabupaten Subang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peran Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan terhadap Kinerja Gapoktan dan Pendapatan Usahatani Padi di Kabupaten Subang"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN PROGRAM PENGEMBANGAN USAHA AGRIBISNIS

PERDESAAN TERHADAP KINERJA GAPOKTAN DAN

PENDAPATAN USAHATANI PADI DI KABUPATEN SUBANG

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Peran Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan Terhadap Kinerja Gapoktan dan Pendapatan Usahatani Padi di Kabupaten Subang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(3)

RINGKASAN

HARI HERMAWAN. Peran Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan terhadap Kinerja Gapoktan dan Pendapatan Usahatani Padi di Kabupaten Subang. Dibimbing oleh SUHARNO dan ANNA FARIYANTI.

Pembangunan Pertanian khususnya di negara berkembang (Indonesia) tidak bisa terlepas dari wilayah perdesaan. Sebab, sebagian besar penduduk di Indonesia bermukim di perdesaan dan mayoritas masih dalam kondisi miskin (17,92 juta jiwa) dari total 28,55 juta jiwa penduduk miskin. Terciptanya kondisi kemiskinan di wilayah perdesaan, salah satunya disebabkan karena faktor sulitnya penyediaan modal. Bahkan, keterbatasan akses terhadap modal (kredit) diidentifikasi sebagai salah satu faktor penyebab kemiskinan, yang akhirnya aktivitas usaha agribisnis menjadi sulit berkembang dan memperoleh peningkatan laba.

Bagi petani-petani yang menguasai lahan sempit, pengalokasian modal secara intensif merupakan kendala, karena sebagian besar petani tidak sanggup mendanai usahatani yang padat modal dengan dana sendiri. Keterbatasan modal menyebabkan sirkulasi kegiatan ekonomi tidak berjalan, sehingga proses akumulasi kapital juga tidak bisa terjadi. Selain itu, keterbatasan modal yang dimiliki petani mempengaruhi jumlah benih, pupuk, dan pestisida yang digunakan dalam usahataninya, sehingga dapat mempengaruhi tingkat produksi yang diharapkan. Upaya mengatasi masalah tersebut pemerintah mencanangkan Program Pembangunan Pertanian. Program Pembangunan Pertanian dirumuskan dalam tiga program, antara lain: (1) Program Peningkatan Ketahanan Pangan, (2) Program Pengembangan Agribisnis, dan (3) Program Peningkatan Kesejahteraan Petani. Salah satu Program Pembangunan Pertanian adalah Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP). Program PUAP merupakan program jangka menengah, yang dicanangkan Kementerian Pertanian RI dengan memfokuskan pada pembangunan pertanian perdesaan. Langkah yang ditempuh adalah melalui pendekatan pengembangan usaha agribisnis dan memperkuat kelembagaan pertanian di perdesaan.

(4)

pendapatan usahatani padi, menggunakan pendekatan analisis korelasi Pearson Product Moment (PPM). Hal ini bertujuan untuk menganalisis derajat hubungan antara variabel bebas (kinerja Gapoktan) dengan variabel terikat (pendapatan usahatani padi).

Hasil analisis kinerja Gapoktan menunjukkan bahwa perbandingan skor kinerja Gapoktan PUAP dan non PUAP nampak jelas, bahwa skor kinerja Gapoktan PUAP lebih tinggi. Dengan kata lain kinerja Gapoktan PUAP lebih unggul. Demikian halnya hasil analisis pendapatan usahatani padi petani PUAP dan non PUAP, menunjukkan bahwa petani PUAP memiliki kinerja usahatani lebih tinggi, terlihat dari capaian pendapatan usahataninya lebih tinggi. Begitu juga hasil analisis R/C dan B/C yang sering digunakan sebagai ukuran efisiensi, maka dapat dikatakan bahwa usahatani padi yang dikelola oleh petani PUAP dan non PUAP, secara finansial layak dan menguntungkan Tetapi jika ditinjau dari pemakaian input produksi, kedua kelompok responden secara rata-rata belum efisien atau belum mencukupi batas pemakaian optimal, dan perlu ditambahkan untuk mencapai optimalisasi produksi padi. Terkecuali untuk faktor produksi pestisida yang digunakan oleh petani PUAP, secara jumlah pemakaian sudah mencukupi atau sudah efisien. Hasil analisis hubungan kinerja Gapoktan terhadap pendapatan usahatani padi petani anggota, menunjukkan bahwa hubungan tersebut cukup kuat dan mengindikasikan pola hubungannya searah. Hal ini bermakna semakin tinggi kinerja Gapoktan, semakin meningkat pendapatan usahatani padi petani anggota.

Pelaksanaan program PUAP sangat membantu dalam peningkatan kapasitas organisasi petani maupun kapasitas petani sebagai aktor utama kegiatan usahatani padi. Peningkatan kapasitas organisasi terlihat dari adanya peningkatan kemampuan yang dimiliki oleh Gapoktan seperti membangun jejaring bisnis dengan Bank (permodalan organisasi), BUMN (benih unggul dan iptek), agen pemasaran di dalam dan luar Kabupaten Subang (beras), dan agen saprodi (input produksi). Sedangkan peningkatan kapasitas petani ditunjukkan oleh adanya kemampuan petani untuk melaksanakan akivitas usahatani kearah yang lebih produktif melalui proses adaptasi pemanfaatan teknologi.

Saran yang dapat diberikan yakni untuk meningkatkan kinerja Gapoktan, hal utama yang harus diperbaiki yakni (1) modal sosial yang dimiliki petani anggota, (2) membangun jaringan (networking) untuk menjalin kerjasama, dan (3) ketegasan sikap pengurus Gapoktan dalam mengawal dan mendampingi para petani dalam hal pemanfaatan pinjaman. Upaya untuk mencapai peningkatan pendapatan usahatani, perlu adanya dukungan modal usaha yang kuat, baik modal yang bersumber dari petani maupun dari luar seperti halnya Program PUAP, yang bersifat mudah untuk diakses oleh petani baik secara administrasi maupun proses pencairannya, serta tingkat bunga yang rendah. Kinerja Gapoktan memiliki peran nyata terhadap naik turunnya tingkat pendapatan usaha tani petani anggota. Sehingga kedepannya, lembaga ini dituntut untuk lebih profesional dalam hal pengelolaan aktivitas keorganisasian, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya keuangan organisasi, serta melakukan pembinaan atau pendampingan kepada petani anggota dalam hal pengelolaan usahatani.

(5)

SUMMARY

HARI HERMAWAN. The Role of Rural Agribusiness Development Program on the Performance of farmers group alliances and Rice Farming Income in Subang. Supervised by Suharno and ANNA FARIYANTI

Agricultural development, especially in developing countries (Indonesia) cannot be separated from rural areas. Therefore, the majority of Indonesia's population lives in rural areas and the majority are still in poor condition (17.92 million) of the total 28.55 million poor people. The formation of poverty in rural areas is caused by the difficulty of providing capital, to name one factor. In fact, limited access to capital (credit) is identified as one of the causes of poverty, which eventually it becomes more difficult to develop agribusiness activity and to increase profits.

Farmers with manage limited area, allocating intensive capital is a constraint, because most farmers cannot afford to fund capital-intensive farming by their own funds. Capital constraints led to the circulation of economic activity hampered.Capital constraints cause the circulation of economic activity hampered, so the process of capital accumulation cannot occur. In addition, the limited capital owned by farmers affects the amount of seed, fertilizer, and pesticide that are used in farming, that can affect the level of expected production. Efforts to overcome these problems have been made by the government by launching the Agricultural Development Program. Agricultural Development Program was formulated in three programs, among others: (1) Food Security Enhancement Program, (2) Agribusiness Development Program, and (3) Farmers Welfare Improvement Program. One of the Agricultural Development Programs is the Rural Agribusiness Development Program (PUAP). PUAP program is a medium-term program, which was launched by the Ministry of Agriculture with a focus on rural agricultural development. The approach taken is through agribusiness development and strengthening institutions of agriculture in rural areas.

(6)

independent variable (performance union) with the dependent variable (rice farming income).

Gapoktan performance analysis results indicate that the ratio of performance scores of Gapoktan PUAP and non PUAP shows that PUAP Gapoktan performance scores higher. In other words, Gapoktan PUAP has superior performance. Similarly, the results of the analysis of the rice farming income and non PUAP PUAP farmers, show that farmers farming PUAP have higher performance, showed by higher achievement farming income. Likewise, the results of the analysis of R / C and B / C is often used as a measure of efficiency, it can be said that the rice farming managed by farmers PUAP and non PUAP, is financially feasible and profitable. But when seen from the use of production inputs, both groups of respondents the average is not efficient or optimal usage limit is not sufficient, and should be added to achieve the optimization of the production of rice. Except for input of pesticides used by farmers PUAP, in the amount of usage is sufficient or already efficient. The results of correlation analysis Gapoktan performance to rice farming income of farmers, suggest that the relationship is strong enough and indicate unidirectional relationship patterns. This is significantly higher Gapoktan performance, increasing farm income of paddy farmer members.

Implementation of the PUAP is very helpful in improving the capacity of farmers' organizations and the capacity of farmers as the main actor of rice farming activities. Increased capacity of the organization can be seen from the increased capabilities of the Gapoktan to build business networks with the Bank (organizational capital), SOE (improved seed and science), the marketing agent inside and outside Subang (rice), and agency inputs (inputs). While the capacity of farmers demonstrated by the ability of farmers to carry out the activity towards more productive farming through the use of technology adaptation process.

Suggestions can be made to improve the performance of Gapoktan, the main thing that must be addressed: (1) social capital owned by the farmer members, (2) networking to establish cooperation, and (3) the attitude Gapoktan firm in guarding and assisting farmers in the use of the loan. Efforts to achieve an increase in farm income, the need for a strong venture capital support, both capital sourced from farmers and from outside as well as PUAP program, which is easily accessible by both farmers and the administration of the disbursement process, as well as low interest rates. Gapoktan performance has a real impact on the level of farm income of members. So that in the future, these institutions are required to be more professional in terms of management of organizational activities, management and utilization of financial resources of the organization, as well as to provide guidance or assistance to farmer members in farm management.

(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(8)
(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Agribisnis

PERAN PROGRAM PENGEMBANGAN USAHA AGRIBISNIS

PERDESAAN TERHADAP KINERJA GAPOKTAN DAN

PENDAPATAN USAHATANI PADI DI KABUPATEN SUBANG

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(10)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Harianto, MS

(11)

Judul Tesis : Peran Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan terhadap Kinerja Gapoktan dan Pendapatan Usahatani Padi di Kabupaten Subang

Nama : Hari Hermawan NIM : H351120251

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Suharno, MADev Ketua

Dr Ir Anna Fariyanti, MSi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Agribisnis

Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 29 Januari 2015

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2014 ini ialah Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan, dengan judul Peran Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan Terhadap Kinerja Gapoktan dan Pendapatan Usahatani Padi di Kabupaten Subang.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Suharno, M.ADev dan Ibu Dr. Ir. Anna Fariyanti, M.Si selaku pembimbing, serta Bapak Dr. Ir. Harianto, MS selaku dosen penguji luar komisi, Bapak Dr. Amzul Rifin, SP, MA selaku dosen penguji perwakilan program studi pada ujian tesis, Ibu Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS selaku Ketua Program Studi Agribisnis, dan Ibu Dr. Ir. Dwi Rachmina, M.Si yang telah banyak memberi saran, beserta seluruh staf pengajar pada Program Studi Agribisnis. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kepala Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Bapak Dr. Kasdi Subagyono, Bapak Ir. Rachmat Hendayana, MS, Bapak Ir. Sjahrul Bustaman, M.Sc, Bapak Ir. Ade Supriyatna, M.Si beserta staf BBP2TP, Bapak Dr. Syahyuti dari PSEKP, Kepala BPTP Jawa Barat, Kepala Pusat Pembiayaan Kementerian Pertanian, Dinas Pertanian Jawa Barat, BP4K Kabupaten Subang Jawa Barat, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, Harmi Andrianyta, Muhammad Haikal Harsyaputra, Hayumi Azzahra Harsyaputri, serta seluruh keluarga, atas segala doa, kasih sayang, dukungan dan pengorbanannya selama penulis mengikuti pendidikan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN viii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah Penelitian 6

Tujuan Penelitian 8

Manfaat Penelitian 8

Ruang Lingkup Penelitian 9

2 TINJAUAN PUSTAKA 9

Kebijakan Program Bantuan Pembiayaan Usaha Agribisnis 9 Pelaksanaan Program Bantuan Pembiayaan Usaha Agribisnis 12 Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) 16

Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) 18

Kinerja Organisasi Gapoktan 20

Pendapatan Usahatani Padi 24

3 KERANGKA PEMIKIRAN 26

Konsep Kinerja Organisasi Gapoktan 26

Konsep Pendapatan Usahatani 28

Pengaruh Kinerja Gapoktan terhadap Pendapatan Usahatani Padi 29 Pengaruh Kredit terhadap Pendapatan Usahatani Padi 32

Kerangka Pemikiran Operasional 36

4 METODE PENELITIAN 37

Lokasi dan Waktu Penelitian 37

Jenis dan Sumber Data 37

Teknik Pengumpulan Data 38

Metode Penentuan Sampel 40

Tahapan Penentuan Sampel Gapoktan dan Petani 41

Analisis Kinerja Gapoktan 42

Analisis Pendapatan Usahatani Padi 44

Analisis Rasio Penerimaan atas Biaya (R/C) 46

Analisis Rasio Keuntungan atas Biaya (B/C) 46

Analisis Marginal Benefit Cost Rasio (MBCR) 47

Analisis Independent Sample T Test 47

Analisis Pearson Product Moment (PPM) 48

5 GAMBARAN UMUM PELAKSANAAN PROGRAM PUAP 49

(14)

Sistem Penyaluran Dana BLM PUAP Kepada Petani 67

6 HASIL DAN PEMBAHASAN 68

Karakteristik Responden 68

Keragaan Atribut Kinerja Gapotan 73

Perbandingan Kinerja Gapoktan PUAP dan Non PUAP 78 Perbandingan Usahatani Padi antara Petani PUAP dan Non PUAP 81 Penggunaan Input Produksi untuk Usahatani Padi 81

Struktur Biaya Produksi dalam Usahatani Padi 85

Pendapatan Usahatani Padi 91

Hubungan Kinerja Gapoktan Terhadap Pendapatan Usahatani Padi 93

7 SIMPULAN DAN SARAN 94

Simpulan 94

Saran 95

DAFTAR PUSTAKA 95

RIWAYAT HIDUP 114

LAMPIRAN 13

RIWAYAT HID5

DAFTAR TABEL

1. Jumlah Gapoktan penerima dana bantuan langsung masyarakat program pengembangan usaha agribisnis perdesaan di Indonesia, tahun

2008-2013 3

2. Jumlah Gapoktan penerima dana bantuan langsung masyarakat program pengembangan usaha agribisnis perdesaan di Provinsi Jawa Barat,

tahun 2008-2011 4

3. Rekapitulasi nilai aset dan alokasi dana bantuan langsung masyarakat program pengembangan usaha agribisnis perdesaan per usaha ekonomi produktif Gapoktan PUAP di Provinsi Jawa Barat, tahun 2008-2012 5 4. Rekapitulasi Gapoktan, nilai aset dan alokasi dana bantuan langsung

masyarakat program pengembangan usaha agribisnis perdesaan per usaha ekonomi produktif di Kabupaten Subang, tahun 2008-2011 5 5. Jumlah petani sampel di tiap Gapoktan terpilih 41

6. Skala skor penilaian kinerja Gapoktan/LKM-A 44

7. Format dasar tabel usahatani padi 45

8. Interpretasi koefisien korelasi nilai r 49

9. Distribusi Gapoktan penerima dana bantuan langsung masyarakat

PUAP, Provinsi Jawa Barat 52

10. Penyebaran penerima dana bantuan langsung masyarakat PUAP tahun

2008 per sub sektor 53

11. Penyebaran penerima dana bantuan langsung masyarakat puap tahun

2009 per sub sektor 54

12. Penyebaran penerima dana bantuan langsung masyarakat puap tahun

(15)

13. Penyebaran penerima dana bantuan langsung masyarakat puap tahun

2011 per sub sektor 56

14. Penyebaran penerima dana bantuan langsung masyarakat puap tahun

2012 per sub sektor 57

15. Penyebaran penerima dana bantuan langsung masyarakat puap tahun

2013 per sub sektor 58

16. Jenis inovasi teknologi pada masing-masing komoditas 60 17. Perkembangan dana bantuan langsung masyarakat PUAP tahun 2008 di

Provinsi Jawa Barat, per 31 Desember 2011 62

18. Perkembangan dana bantuan langsung masyarakat 2009 di Provinsi

Jawa Barat, per 31 Desember 2011 62

19. Distribusi responden menurut golongan umur 69

20. Distribusi responden menurut tingkat pendidikan formal 69 21. Distribusi responden menurut pengalaman bertani 70 22. Distribusi responden menurut luas lahan usahatani padi 71 23. Distribusi responden menurut status kepemilikan lahan 71 24. Distribusi responden menurut jumlah tanggungan keluarga 72 25. Distribusi responden menurut pekerjaan utama 72 26. Distribusi responden menurut jumlah pinjaman/kredit 73 27. Hasil uji validasi aspek efektivitas organisasi 74 28. Hasil uji validasi aspek efisiensi organisasi 75 29. Hasil uji validasi aspek relevansi organisasi 76 30. Hasil uji validasi aspek pencapaian kemandirian keuangan organisasi 77

31. Hasil uji reliabilitas 77

32. Skoring terhadap kinerja Gapoktan sampel 78

33. Komparasi penggunaan input produksi berdasarkan kuantitas 81 34. Rekomendasi pupuk padi sawah di Kecamatan Ciasem dan Patokbesi 83 35. Penggunaan pupuk oleh responden pada usahatani padi sawah 83 36. Penggunaan rata-rata tenaga kerja pada responden petani PUAP dan

non PUAP per hektar 85

37. Struktur biaya rata-rata dan pendapatan usahatani padi petani PUAP dan non PUAP per hektar, Kabupaten Subang, Jawa Barat. 86 38. Hasil analisis korelasi kinerja Gapoktan dengan pendapatan usahatani

padi petani anggota 93

DAFTAR GAMBAR

1. Sebaran LKM-A di Provinsi Jawa Barat, tahun 2008-2011 4 2. Alur pendampingan dan pembinaan Gapoktan/poktan PUAP 18 3. Pengaruh kredit terhadap kombinasi penggunaan input dan peningkatan

output 34

4. Pengaruh kredit terhadap kombinasi penggunaan input dan pendapatan

usahatani padi 35

5. Kerangka pemikiran penelitian 37

6. Alur Petani Peminjam dengan Gapoktan 59

7. Struktur LKM-A Tahap Awal Berdiri 64

(16)

9. Alur usulan dan penetapan desa, gapoktan, dan pengurus 67

DAFTAR LAMPIRAN

1. Karakteristik Gapoktan Contoh Penerima PUAP 102 2. Karakteristik Gapoktan Contoh Non Penerima PUAP 103

3. Hasil Analisis Usahatani Padi Petani PUAP 104

4. Hasil Analisis Usahatani Padi Petani Non PUAP 105 5. Hasil Analisis Uji Beda (Uji T) Terhadap Pendapatan Usahatani Padi 106 6. Hasil Analisis Person Product Moment Terhadap Hubungan Kinerja

Gapoktan dengan Pendapatan Usahatani Padi 107

7. Hasil Analisis Uji Beda (Uji T) Terhadap Pemakaian Benih pada

Usahatani Padi Petani Sampel 108

8. Hasil Analisis Uji Beda (Uji T) Terhadap Pemakaian Pupuk Urea pada

Usahatani Padi Petani Sampel 109

9. Hasil Analisis Uji Beda (Uji T) Terhadap Pemakaian Pupuk TSP pada

Usahatani Padi Petani Sampel 110

10. Hasil Analisis Uji Beda (Uji T) Terhadap Pemakaian Pupuk NPK pada

Usahatani Padi Petani Sampel 111

11. Hasil Analisis Uji Beda (Uji T) Terhadap Pemakaian Pupuk Organik

pada Usahatani Padi Petani Sampel 112

12. Hasil Analisis Uji Beda (Uji T) Terhadap Pemakaian Tenaga Kerja

(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pembangunan Pertanian khususnya di negara berkembang (Indonesia) tidak bisa terlepas dari wilayah perdesaan. Sebab, sebagian besar penduduk di Indonesia bermukim di perdesaan dan mayoritas masih dalam kondisi miskin (17,92 juta jiwa) dari total 28,55 juta jiwa penduduk miskin (BPS 2013). Faktor penyebab kerentanan wilayah perdesaan antara lain karena lokasinya yang jauh dari pusat kota/pembangunan. Hal ini dicirikan oleh terbatasnya infrastruktur ekonomi, sedikitnya kesempatan kerja di luar pertanian (non-farm), jauh dari pasar, sulit mendapatkan akses ke sumber permodalan dan teknologi, serta organisasi tani yang masih lemah (Yustika 2013; Hendayana et al. 2009).

Kondisi tersebut tidaklah mungkin menyelenggarakan pembangunan di negara berkembang tanpa melibatkan wilayah perdesaan. Bahkan, pembangunan di negara berkembang harus melihat wilayah perdesaan sebagai fokus dan target pembangunan. Oleh karena itu, keberhasilan pembangunan di negara berkembang dapat dilihat dari perkembangan di wilayah perdesaan sendiri. Bila mayoritas penduduk di perdesaan bisa melakukan mobilitas sosial-ekonomi (pembangunan), maka dapat disimpulkan pembangunan di negara berkembang telah menjangkau sebagian warga negaranya, demikian sebaliknya (Yustika 2013). Wilayah perdesaan di negara berkembang biasanya dideskripsikan sebagai tempat bagi orang-orang bekerja di sektor pertanian (70% dari 20,65 juta jiwa), dimana masyarakat petani mencukupi hidup sendiri (swasembada) (Kementerian Pertanian 2010a).

Lebih lanjut, upaya komersialisasi pertanian sering kali tidak selalu akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Hal ini disebabkan sifat dari komersialisasi pasar yang meletakkan petani dalam posisi subordinat. Di mana setiap upaya modernisasi (komersialisasi) pertanian justru meletakkan petani dalam posisi yang selalu kalah. Keuntungan ekonomi pertanian justru lebih banyak jatuh pada pemilik modal atau pedagang yang relatif memiliki posisi tawar lebih tinggi dibandingkan dengan petani. Posisi pemilik modal (tuan tanah, industri pengolahan, pedagang) yang relatif tinggi bukan hanya disebabkan oleh adanya penetrasi pasar, tetapi juga disumbangkan oleh karakteristik produk pertanian yang cepat rusak. Sehingga petani tidak mungkin menahan produk tersebut untuk sementara waktu demi mendongkrak harga. Persoalan ini sebenarnya bisa diatasi apabila terdapat fasilitas penyimpanan yang memungkinkan petani menyimpan barang tanpa menimbulkan kerusakan. Tetapi mustahil dilakukan karena petani tidak memiliki modal untuk membeli fasilitas tersebut. Pada akhirnya petani berhadapan dengan kendala-kendala kelembagaan, teknologi, dan alam (Soetomo 1997). Ditambah lagi, sebagian besar pengeluaran pemerintah justru lebih tercurah ke daerah-daerah perkotaan dan berbagai sektor ekonomi, seperti sektor-sektor manufaktur modern dan sektor komersial (Todaro dan Smith 2006).

(18)

2

(Akpalu 2012). Permasalahan permodalan ini dapat berasal dari: (1) jumlah permodalan yang ada, (2) terbatasnya akses kepada sumber permodalan, (3) terbatasnya pengetahuan akan jenis-jenis modal, dan (4) kemampuan di dalam menentukan serta menyusun proposal usaha pertanian sebagai salah satu persyaratan dalam memperoleh permodalan usaha (Soekartawi 1996). Bagi petani-petani yang menguasai lahan sempit, pengalokasian modal secara intensif merupakan kendala, karena sebagian besar petani tidak sanggup mendanai usahatani yang padat modal dengan dana sendiri (Syukur et al. 2000). Keterbatasan modal menyebabkan sirkulasi kegiatan ekonomi tidak berjalan sehingga proses akumulasi kapital juga tidak bisa terjadi.

Ditambah lagi, fasilitasi bantuan modal yang diluncurkan pemerintah belum sepenuhnya dapat dinikmati oleh petani. Hal ini disebabkan karena lembaga permodalan formal yang ditunjuk untuk menyalurkannya dirasakan tidak sepenuhnya berpihak kepada petani, bunga yang terlalu tinggi, jaminan persayaratan yang tidak bisa dipenuhi petani, proses pencairan yang memakan waktu sangat lama, birokrasi yang bertele-tele, dan pelayanan yang tidak ramah (Nurmanaf et al. 2006). Akibat keterbatasan dana dan persyaratan kredit yang memberatkan bagi sebagian petani, sehingga tidak seluruh petani bisa mendapatkan kredit dari program pemerintah tersebut. Petani yang tidak memeroleh kredit, mengandalkan sumber pembiayaan produksi dari modal pinjaman ke tetangga atau tengkulak/rentenir dengan bunga yang lebih tinggi. Akibatnya akan merugikan petani karena memeroleh keuntungan yang lebih kecil (Yustika 2013).

Berbekal situasi seperti itu, pada tahun 2008 pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian, meluncurkan suatu program yang dinamakan Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP). PUAP bergerak dari aspek fasilitasi modal usaha. Modal usaha ini kemudian disebut dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM). Konsep dana BLM dalam PUAP sebagai dana stimulan atau tambahan modal usaha untuk petani “miskin” di perdesaan. Adapun tujuan jangka panjangnya yakni untuk menunjang pembentukan modal dan meningkatkan produksi, serta pendapatan usahatani dalam koridor pengembangan agribisnis perdesaan. Bahkan lebih luas lagi untuk menumbuhkembangkan lembaga ekonomi di perdesaan yakni Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A).

Dana PUAP sebagian besar dialokasikan untuk komoditas tanaman pangan, utamanya komoditas padi. Di tingkat petani, padi merupakan salah satu komoditi yang mempunyai prospek cerah guna menambah pendapatan para petani. Sehingga memberi motivasi tersendiri bagi petani untuk lebih mengembangkan dan meningkatkan produksinya, dengan harapan agar pada saat panen usaha memperoleh hasil penjualan tinggi guna memenuhi kebutuhannya. Sedangkan di tingkat nasional, padi merupakan salah satu komoditas utama pertanian, karena padi merupakan kebutuhan pokok penduduk. Komoditi ini tumbuh hampir di seluruh daerah di Indonesia. Mengingat pentingnya komoditi ini sebagai bahan makanan pokok, kiranya pengembangan komoditi padi membutuhkan perhatian khusus.

(19)

3 penguatan modal pada usaha budidaya (tanaman pangan, hortikultura, peternakan, dan perkebunan) dan usaha non budidaya (industri rumah tangga, pedagang kecil dan aktivitas lain berbasis pertanian)

Fungsi Gapoktan dalam PUAP sebagai organisasi atau kelembagaan tani dalam penyaluran dan pemanfaatan dana PUAP untuk bantuan modal usaha bagi anggota. Selain itu berperan sebagai media dalam menumbuhkan tingkat keswadayaan masyarakat petani, meningkatkan skala ekonomi dan efisiensi usaha bagi penerima dana BLM PUAP. Untuk mencapai hasil yang maksimal dalam pelaksanaan PUAP, baik dilihat dari sisi Gapoktan sebagai kelembagaan tani maupun dari sisi pencapaian kesejahteraan anggota, maka Gapoktan didampingi oleh tenaga Penyuluh Pendamping dan Penyelia Mitra Tani (PMT). Disamping mendapatkan pembinaan baik dari pemerintah pusat maupun daerah. Melalui pelaksanaan PUAP, diharapkan Gapoktan dapat menjadi lembaga ekonomi yang dimiliki dan dikelola petani, serta bisa dikatakan sebagai kelembagaan yang mempunyai pengaruh terhadap peningkatan tarap ekonomi (kesejahteraan) antar pelakunya.

Pelaksanaan PUAP dimulai tahun 2008 sampai dengan akhir tahun 2013, secara nasional sudah 47.673 Gapoktan yang menerima dana BLM PUAP, dengan dana yang tersalur sebesar Rp. 4,7 Trilyun. Jenis usaha produktif yang dikembangkan dalam Program PUAP beserta alokasi penggunaan dananya mencakup: (a) kegiatan budidaya (on-farm) di bidang tanaman pangan (Rp. 696,83 milyar), hortikultura (Rp. 164,43 milyar), perkebunan (Rp. 139,21 milyar), dan peternakan (Rp. 271,16 milyar), dan (b) kegiatan non budidaya (off-farm) di bidang industri rumah tangga pertanian, pemasaran hasil pertanian skala mikro (bakulan, dll) dan usaha lain berbasis pertanian (Rp. 347,85 milyar) (Direktorat Pembiayaan Pertanian 2013). Data jumlah Gapoktan penerima dana PUAP secara nasional disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Jumlah Gapoktan penerima dana bantuan langsung masyarakat program pengembangan usaha agribisnis perdesaan di Indonesia, tahun 2008-2013

Uraian Tahun Total

2008 2009 2010 2011 2012 2013

Jumlah Gapoktan 10.542 9.884 8.587 9.110 6.050 3.500 47.673

Jumlah Penyaluran Dana

(Trilyun) 1,053 0,988 0,858 0,911 0,605 0,350 4,765

Sumber: Direktorat Pembiayaan Pertanian (2013)

Data Gapoktan pada Tabel 1, menunjukkan jumlahnya semakin menurun, ini artinya pelaksanaan PUAP selama enam tahun berjalan, hampir menjangkau sebagian besar desa miskin yang ada di 33 provinsi. Sehingga harapannya setelah selesainya PUAP ini, seluruh desa berkategori miskin sudah mendapatkan dana BLM PUAP. Selain itu kedepannya, desa-desa yang awalnya berkategori miskin, diharapkan sudah mengalami pengembangan kearah yang lebih baik, diantaranya tumbuh dan berjalannya unit usaha produktif, memiliki dana abadi untuk permodalan usahatani, adanya peningkatan kesejahteraan petani, sampai dengan tumbuh dan berkembangnya kelembagaan ekonomi tani di perdesaan yang mapan yakni Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A).

(20)

4

dengan dana tersalur sebesar Rp. 270,3 milyar. Selama empat tahun berjalan, alokasi dana PUAP proporsi terbesar yakni untuk tanaman pangan, selanjutnya untuk perkebunan, hortikultura, peternakan, dan yang terakhir untuk kegiatan non budidaya (off farm) yang terbagi atas pengolahan hasil, pemasaran hasil dan usaha lainnya berbasis pertanian. Data jumlah Gapoktan penerima dana PUAP di Provinsi Jawa Barat disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah Gapoktan penerima dana bantuan langsung masyarakat program pengembangan usaha agribisnis perdesaan di Provinsi Jawa Barat, tahun 2008-2011

Tahun

Jumlah Pelaksana

Program PUAP Dana PUAP

(Rp. Milyar)

Realisasi Dana PUAP (%)

Kab./

Kota Kec.

Desa/ Gapoktan

Tan.

Pangan Horti Nak Bun

Off-Farm

2008 21 225 621 62,1 31,89 10,36 15,26 6,61 35,88

2009 22 276 702 70,2 35,38 9,79 10,04 10,39 34,40

2010 24 376 686 68,6 30,81 10,02 2,06 15,73 41,36

2011 24 472 694 69,4 32,69 10,05 9,12 10,91 37,21

Jumlah 2.703 270,3 130,77 40,22 36,48 43,64 148,85

Sumber: BPTP Jawa Barat (2012)

Gapoktan pelaksana PUAP lingkup Jawa Barat, dari tahun 2008-2011 sudah berhasil menumbuhkembangkan LKM-A. Data sebaran LKM-A disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Sebaran LKM-A di Provinsi Jawa Barat, tahun 2008-2011

Sumber: BPTP Jawa Barat (2012)

(21)

5 Tabel 3. Rekapitulasi nilai aset dan alokasi dana bantuan langsung masyarakat program pengembangan usaha agribisnis perdesaan per usaha ekonomi produktif Gapoktan PUAP di Provinsi Jawa Barat, tahun 2008-2012

Tahun

Pangan Hortikultura Perkebunan Peternakan

2008 35,91 9,00 1,29 0,52 3,35 6,81 20,97

Pelaksanaan PUAP di Kabupaten Subang (2008-2011), jumlah Gapoktan penerima dana PUAP mencapai 208 Gapoktan. Data rekapitulasi Gapoktan beserta nilai Aset yang dikelola disajikan pada Tabel 4. Kabupaten Subang memiliki potensi pertanian, salah satunya adalah komoditas padi, dengan produktivitas mencapai 6 – 7,5 ton/ha. Dengan demikian, proporsi dana PUAP sebagian besar dialokasikan untuk komoditas padi.

Tabel 4. Rekapitulasi Gapoktan, nilai aset dan alokasi dana bantuan langsung masyarakat program pengembangan usaha agribisnis perdesaan per usaha ekonomi produktif di Kabupaten Subang, tahun 2008-2011

Tahun Jumlah

Pangan Hortikultura Perkebunan Peternakan

2008 35 8,65 1,74 0,21 0,03 0,34 1,08

(22)

6

Perumusan Masalah Penelitian

Pertanian memiliki fungsi dan peran strategis bagi masyarakat dan pemerintah, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Pertanian tidak sekedar menghasilkan bahan pangan, tetapi juga memberikan kesempatan kerja dan pendapatan bagi masyarakat. Saat ini, makna pertanian tidak hanya mencakup pada aspek produksi usaha tani (on-farm) semata, tetapi juga mencakup kegiatan luar usaha tani yang terkait dengan produksi, baik yang berada di hulu maupun di hilir (off-farm), serta aktivitas penunjang yang mendukung penuh seluruh kegiatan pertanian. Namun, ketika berbicara tentang petani, maknanya tidak lepas dari kegiatan produksi usaha tani, karena sebagian besar petani kita masih berkutat pada on-farm, yang bertujuan untuk menghasilkan komoditas pertanian bagi pemenuhan kebutuhan pangan, pakan, serta energi.

Melihat tingkat pendapatan petani yang relatif lebih rendah daripada para pelaku sektor ekonomi lainnya, akibatnya tingkat kemiskinan di sektor ini masih relatif tinggi. Terdapat beberapa faktor penyebab rendahnya tingkat pendapatan dan tingginya tingkat kemiskinan di sektor pertanian, yaitu: (1) rendahnya kepemilikan dan penguasaan lahan, (2) rendahnya produktivitas usaha tani, (3) rendahnya harga produk di tingkat petani, (4) rendahnya pendidikan dan keterampilan petani, serta (5) minimnya akses petani terhadap sumber pembiayaan (permodalan). Inti dari beberapa bermasalahan tersebut, yakni petani memiliki keterbatasan penguasaan modal untuk menjalankan aktivitas usahataninya.

Modal dalam usahatani diklasifikasikan sebagai bentuk kekayaan, baik berupa uang maupun barang yang digunakan untuk menghasilkan sesuatu secara langsung maupun tidak langsung dalam suatu proses produksi (Hanafie 2010). Secara ekonomi modal adalah barang-barang yang bernilai ekonomi yang digunakan untuk menghasilkan tambahan kekayaan ataupun untuk meningkatkan produksi. Dalam perusahaan, modal adalah seluruh kekayaan yang digunakan dalam usaha. Modal digunakan untuk menghasilkan barang-barang konsumsi atau barang-barang modal. Pembentukan modal bertujuan untuk meningkatkan produksi dan pendapatan usahatani, serta menunjang pembentukan modal lebih lanjut. Berdasarkan pengamatan di lapangan, sumber permodalan usahatani para petani didapatkan dari: (1) modal sendiri yang relatif terbatas, dan (2) meminjam dana dari para tengkulak dan atau lembaga keuangan informal lainnya yang beroperasi di wilayah perdesaan.

Lebih lanjut, Daniel (2002) menyampaikan bahwa modal usahatani yang dimaksud adalah keseluruhan biaya-biaya dalam pengadaan bibit, pupuk, obat-obatan, upah tenaga kerja, transport, penyusutan alat dan pajak tanah. Kecukupan modal mempengaruhi ketepatan dalam penggunaan input produksi secara tepat waktu sehingga hasil padi optimal. Sebaliknya keterbatasan modal yang dimiliki petani mempengaruhi jumlah faktor produksi (benih/varietas unggul baru, pupuk, pestisida, dan tenaga kerja) yang digunakan petani dalam usahatani, dengan kata lain petani menjadi lemah dalam penerapan inovasi teknologi.

(23)

7 perdesaan. Pendekatan ini diwujudnyatakan dengan fasilitasi tambahan modal kerja atau pembiayaan usahatani melalui dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP).

Pada intinya program PUAP merupakan suatu upaya penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan melalui pengembangan usaha agribisnis perdesaan. Upaya pengembangan usaha agribisnis tersebut ditempuh melalui penguatan modal petani sebagai “entry point”. Sedangkan upaya penguatan modal petani dilakukan melalui penyaluran dana BLM PUAP sebesar 100 juta rupiah per desa yang disalurkan kepada petani miskin. Penyaluran dana BLM PUAP tersebut dilaksanakan melalui Gapoktan yang harus dibentuk di setiap desa lokasi PUAP. Dana tersebut diharapkan dapat berkembang dan dikelola Gapoktan sebagai dana awal bagi pembentukan Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A), sehingga rumah tangga tani miskin secara berkelanjutan mudah mengakses dana tersebut sebagai tambahan modal usaha.

Pelaksanaan program PUAP yang kegiatannya melalui fasilitasi bantuan tambahan modal usaha, diharapkan upaya pengembangan usaha agribisnis di perdesaan dapat tercipta. Filosofinya, baiknya kinerja organisasi petani di perdesaan dalam hal ini Gapoktan, dan didukung dengan adanya tambahan modal usaha, akan mendorong usahatani padi petani anggota ke arah yang lebih produktif. Indikasinya terlihat dari meningkatknya kemampuan petani dalam pemenuhan kebutuhan input produksi, serta mengadopsi teknologi anjuran (rekomendasi). Sehingga secara normatif produksi akan meningkat. Ketika produksi meningkat diikuti dengan peningkatan kualitas, akan berdampak terhadap peningkatan pendapatan. Akan tetapi, program pemerintah semacam ini menimbulkan sejumlah masalah moral hazard, karena: (1) sebagian petani menganggap bahwa program pemerintah bersifat bantuan, sehingga tidak perlu dikembalikan, (2) sebagian kelompok tani penerima program didirikan secara mendadak, sehingga kurang memiliki pengalaman yang baik, (3) pembagian dana program yang hanya terbatas pada anggota kelompok tani penerima bantuan. Fakta ini menunjukan bahwa pendanaan semacam ini prakteknya sangat membantu, tetapi efektifitasnya perlu kita tunggu dan kita amati terus menerus, dengan pembinaan dan pengawasan yang sustainable oleh komponen baik dari tingkat paling bawah (kelompok tani) sampai tingkat atas (pemerintah).

(24)

8

organisasinya sudah baik, seperti SDM pengelola, jenis pembukuan lengkap, AD/ART, asset kelembagaan, dan administrasi.

Pengembangan permodalan dari Program PUAP sangat bervariasi, mulai tahun pertama penyaluran dana (2008) sampai dengan sekarang (2014). Banyak kelompok tani yang sudah bisa mengembangkan dana menjadi dua kali lipat dari bantuan permodalan awal, tetapi masih ada juga yang berkutat dengan proses pengembalian dana awal bantuan. Hal ini, disebabkan karena mekanisme pengembalian dana pinjaman anggota ini bervariasi, mulai dari pengembalian harian, mingguan, bulanan dan jatuh tempo atau bayar panen (yarnen). Pendanaan pada sektor on-farm pengembaliannya relatif lambat karena sebagian besar menggunakan pola yarnen, sedangkan pendanaan pada sektor off-farm relatif lebih cepat dengan pola pengembalian harian, mingguan, dan bulanan. Berbagai macam mekanisme pengelolaan dana PUAP yang diserahkan pada mekanisme musyawarah Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) membuat progress program PUAP ini di masing-masing Gapoktan bermacam-macam. Semoga fasilitasi pemerintah menjadikan trigger buat para petani, sehingga petani dan pertanian di Indonesia lebih maju dan berkembang.

Berdasarkan uraian tersebut, perlu dilakukan penelitian untuk mengungkap seberapa besar peran atau kontribusi program PUAP terhadap kinerja Gapoktan dan pendapatan usahatani padi yang dikelola oleh petani penerima dana PUAP dilokasi penelitian. Untuk melihat besarnya peran tersebut, dilakukan pendekatan with and without PUAP. Hal ini dimaksudkan untuk membandingkan antara kinerja Gapoktan penerima PUAP dengan non penerima PUAP. Pendekatan tersebut dilakukan juga pada usahatani padi petani anggota yang sudah menerima dan tidak menerima PUAP, dengan fokus terhadap tingkat pendapatan usahatani padi. Selanjutnya, melihat seberapa besar derajat keeratan hubungan antara kinerja Gapoktan terhadap pendapatan usahatani padi petani anggota.

Beranjak dari uraian perumusan masalah, pertanyaan penelitian yang ingin ditemukan jawabannya dalam penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana kinerja Gapoktan PUAP dan non PUAP?

2. Bagaimana pendapatan usahatani padi petani PUAP dengan non PUAP, serta apakah ada perbedaan yang signifikan?

3. Bagaimana hubungan kinerja Gapoktan terhadap pendapatan usahatani padi?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Menganalisis kinerja Gapoktan PUAP dan non PUAP.

2. Menganalisis pendapatan usahatani padi petani PUAP dan non PUAP.

3. Menganalisis hubungan kinerja Gapoktan terhadap pendapatan usahatani padi petani anggota.

Manfaat Penelitian

(25)

9 pusat maupun daerah, dalam menentukan langkah dan kebijakan untuk menanggulangi kemiskinan di perdesaan, serta untuk mempertahankan keberlanjutan program pembiayaan pertanian dalam koridor program pemberdayaan petani. Selain itu, diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembaca sebagai tambahan pengetahuan maupun informasi untuk melaksanakan studi yang relevan di masa mendatang.

Ruang Lingkup Penelitian

1. Penelitian dilakukan di Kecamatan Patok Besi dan Ciasem, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat, pada Gapoktan penerima dana PUAP maupun non PUAP, dimana usaha simpan pinjamnya sudah berjalan.

2. Unit analisis dalam penelitian ini terdiri atas Gapoktan dan petani anggota yang berusahatani padi sawah. Unit analisis Gapoktan diperlukan untuk menjawab tujuan pertama, yakni pengukuran terhadap kinerja Gapoktan, sedangkan unit analisis petani anggota diperlukan untuk menjawab tujuan kedua, yakni menganalisis pendapatan usahatani padi serta untuk menganalisis apakah ada perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok tersebut. Sehingga dalam penelitian ini dibatasi pada penilaian kinerja Gapoktan dan pendapatan usahatani padi, baik PUAP maupun Non PUAP. 3. Untuk mengkaji peran PUAP terhadap kinerja Gapoktan, dapat dilihat

melalui pendekatan with and without PUAP. Artinya perbandingan kinerja organisasi antara Gapoktan PUAP dengan Gapoktan non PUAP. Alat analisis yang digunakan dalam mengukur kinerja Gapoktan menggunakan instrumen form penilaian kinerja, di mana setiap pernyataan diberi skor menggunakan skala likert. Total skor merupakan pencerminan dari kinerja Gapoktan itu sendiri. Atribut penilaian kinerja Gapoktan, diadaptasi dari pedoman penilaian Gapoktan PUAP dari Kementerian Pertanian (2010b), Syahyuti (2012), dan Yustika (2013), yang semuanya diintegrasikan menjadi satu instrumen untuk penilaian kinerja Gapoktan dalam penelitian ini.

4. Untuk mengkaji peran PUAP terhadap pendapatan usahatani padi sawah, dapat dilihat melalui perbandingan antara pendapatan usahatani padi pada petani PUAP dan non PUAP. Alat analisis yang digunakan adalah analisis pendapatan usahatani, R/C, B/C, MBCR dan uji beda sampel tidak berhubungan (independent sampel T test).

5. Untuk mengkaji hubungan kinerja Gapoktan terhadap pendapatan usahatani padi, menggunakan pendekatan analisis korelasi Pearson Product Moment (PPM). Hal ini bertujuan untuk menganalisis derajat hubungan antara variabel bebas (kinerja Gapoktan) dengan variabel terikat (pendapatan usahatani padi).

2

TINJAUAN PUSTAKA

Kebijakan Program Bantuan Pembiayaan Usaha Agribisnis

(26)

10

anggaran untuk sektor pertanian dan sektor pendukungnya, dan (2) kebijakan pertanian yang mudah di akses masyarakat (Departemen Pertanian 2005).

Konteks kebijakan pemerintah, pembiayaan pertanian diwujudnyatakan dengan ketersediaan anggaran pembangunan dan penyediaan sistem insentif untuk mendorong peningkatan produksi dan pendapatan petani. Seperti yang diungkapkan oleh Prasetyo dan Joko (2009), pembiayaan pertanian merupakan bagian dana nasional maupun internasional yang digunakan untuk membiayai kegiatan produksi dan investasi disektor pertanian. Alat utama kebijakan pertanian diwujudkan melalui anggaran belanja pemerintah (fiskal) di sektor pertanian. Seperti yang diketahui, tanpa adanya pembiayaan atau permodalan yang memadai pada aktivitas usaha agribisnis, tidak mungkin dapat melakukan pengembangan usaha dan memperoleh peningkatan laba (Mirza 2000; Moeler dan Thorsen 2000)

Pembiayaan pertanian, pada intinya pemerintah ikut serta dalam kegiatan perekonomian, sehingga tidak adanya ekternalitas yang merugikan banyak pihak. Mengingat pemerintah sebagai salah satu pelaku ekonomi (rumah tangga pemerintah), memiliki fungsi penting dalam perekonomian, yaitu berfungsi sebagai stabilisasi, alokasi, dan distribusi. Fungsi-fungsi pemerintah adalah sebagai berikut: (1) fungsi stabilisasi, yakni fungsi pemerintah dalam menciptakan kestabilan ekonomi, sosial politik, hukum, pertahanan, dan keamanan, (2) fungsi alokasi, yakni fungsi pemerintah sebagai penyedia barang dan jasa publik seperti pembangunan jalan raya, gedung sekolah, penyediaan fasilitas penerangan, dan telepon, dan (3) fungsi distribusi, yakni fungsi pemerintah dalam pemerataan atau disribusi pendapatan masyarakat.

Kebijakan pembiayaan pertanian yakni pemerintah melakukan intervensi pembiayaan non pasar (non market) dalam bentuk pembiayaan langsung. Pembiayaan langsung sering dikategorikan sebagai kredit program, dan erat kaitannya untuk pemecahan masalah dalam hal kekurangan modal usaha. Masalah kekurangan modal adalah salah satu ciri penting bagi setiap negara yang memulai proses pembangunan. Kekurangan modal tidak hanya menghambat kecepatan pembangunan ekonomi yang dapat dilaksanakan tetapi dapat menyebabkan kesulitan negara tersebut untuk melepaskan dari kemiskinan.

(27)

11 Pemerintah banyak melakukan program-program bantuan modal salah satunya yakni Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-Mandiri). Selain pemerintah, badan usaha juga membantu dalam masalah kekurangan modal seperti bank, koperasi, BUMN seperti PLN dan lain-lain1. Smith and Smith (2004) dan Xiaoping (2011) menyatakan modal usaha (individu dan lembaga yang membuat investasi modal usaha) menjadi pendorong pengembangan usaha.

Menurut Ashari (2009) secara umum program bantuan kredit atau modal untuk sektor pertanian berasal dari dua sumber, yaitu: (1) dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) seperti Bimas, KUT, Kredit Ketahanan Pangan (KKP), Skim Pelayanan Pembiayaan Pertanian (SP3), Bantuan Langsung Masyarakat (BLM), Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA); dan (2) Project bantuan asing baik yang berupa hubungan bilateral seperti second Kennedy Round (SKR) maupun kerjasama multilateral seperti Program Peningkatan Pendapatan Petani/nelayan Kecil (P4K).

Adapun tujuan dari pembiayaan agribisnis yaitu dalam rangka mengatasi keterbatasan akses petani terhadap permodalan, lemahnya kapasitas kelembagaan petani, dan terbatasnya infrastruktur pertanian, maka sebagai anggaran pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian dialokasikan dalam bentuk belanja bantuan sosial untuk pemberdayaan sosial, perlindungan sosial, penanggulangan kemiskinan dan penanganan bencana di bidang pertanian.

Terkait dengan penanggulangan kemiskinan dan penanggulangan bencana, Kementerian Pertanian menyalurkan belanja bantuan sosial dalam bentuk barang kepada kelompok tani, sedangkan untuk pemberdayaan sosial dan perlindungan sosial disalurkan belanja bantuan sosial melalui transfer uang dan/atau transfer barang kepada kelompok tani, agar mampu secara mandiri dan bersama-sama meningkatkan produktivitas, nilai tambah, dan daya saing produk pertanian yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan petani.

Pembiayaan pertanian berupa kredit, memiliki peran yang strategis dalam pembangunan pertanian dan perdesaan. Hal ini telah mendorong pemerintah untuk menjadikannya sebagai instrumen kebijakan penting (Ashari 2009). Dalam tataran konseptual, menurut Tampubolon (2002) kredit dianggap mampu memutuskan “lingkaran setan” kemiskinan di perdesaan. Kredit dapat memfasilitasi transfer daya beli sementara dari satu individu atau organisasi kepada individu atau organisasi yang lain. Hal senada juga dipaparkan Jehangir et al. (2002). Menurutnya, kredit adalah penting untuk penggunaan modal kerja, modal tetap dan konsumsi yang baik. Kredit adalah elemen kunci dalam modernisasi pertanian. Tidak hanya itu menghilangkan hambatan finansial tetapi juga mempercepat laju adopsi teknologi baru.

Penggunaan modal dan adopsi teknik-teknik modern untuk produksi, yang telah menjadi sumber utama pertumbuhan output pertanian, memerlukan akses ke pasar kredit untuk pembiayaan pertanian. Sehingga dengan pasokan kredit yang optimal diharapkan dapat meningkatkan kemampuan petani dalam membeli

1

(28)

12

saprodi, yang selanjutnya berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas usahatani. Mengingat urgensi kredit ini, maka dalam proses perencanaan program pembangunan pertanian, aspek permodalan merupakan salah satu faktor penting yang selalu mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Oleh karena itu pemberian kredit program biasanya sejalan atau dijadikan sebagai unsur pelancar bagi program pembangunan pertanian lainnya.

Pelaksanaan Program Bantuan Pembiayaan Usaha Agribisnis

Pembiayaan pertanian yang bersumber dari kredit program tidak bisa dilepaskan dari sejarah pembangunan pertanian. Pengalaman menunjukkan peranan kredit pertanian sangat penting dalam pembangunan sektor pertanian. Kredit merupakan salah satu faktor pendukung utama pengembangan adopsi teknologi usahatani. Kredit pertanian bukan sekedar faktor pelancar pembangunan pertanian akan tetapi berfungsi pula sebagai satu titik kritis pembangunan pertanian (critical point of development) (Syukur et al. 1998).

Lebih lanjut Syukur et al. (1999) mengungkapkan peran kredit sebagai pelancar pembangunan pertanian antara lain: (1) membantu petani kecil dalam mengatasi keterbatasan modal dengan bunga relatif ringan, (2) mengurangi ketergantungan petani pada pedagang pelantara dan pelepas uang, sehingga bisa berperan dalam memperbaiki struktur dan pola pemasaran hasil pertanian, (3) mekanisme transfer pendapatan untuk mendorong pemerataan, dan (4) insentif bagi petani untuk meningkatkan produksi pertanian. Sementara sebagai simpul kritis pembangunan, kredit berfungsi efektif untuk menunjang perluasan dan penyebaran adopsi teknologi.

Menurut Soentoro et al. (1992) perkembangan kredit program pemerintah untuk sektor pertanian tidak dapat dipisahkan dengan program intensifikasi pertanian dan program peningkatan ekonomi perdesaan. Agenda dari program tersebut adalah untuk mencapai swasembada beras nasional. Dari upaya tersebut lahirlah Program Bimas yang keberhasilannya sangat ditunjang oleh keberadaan program kredit pertanian. Pendampingan pendanaan yang lebih populer dengan Kredit Bimas, dimaksudkan untuk mempercepat adopsi teknologi budidaya padi, yaitu dengan memberi bantuan pendanaan untuk pengadaan bibit unggul, pupuk, pestisida, dan biaya hidup (cost of living) yang bertujuan meningkatkan produktivitas usahatani padi.

Melihat sejarahnya, menurut Ashari (2009); Andin et al. (1992); Supadi dan Sumedi (2004); Sagala (2010) bahwa perkembangan pembiayaan pertanian pertama kali dengan nama Bimbingan Masal (BIMAS). Bimas merupakan program yang berorientasi pada pembangunan pertanian secara umum dan swasembada beras. Program ini merupakan bimbingan yang berhubungan dengan aplikasi ilmu dan teknologi dalam rangka mencapai hasil yang optimal. Tujuan dibentuknya program tersebut adalah untuk meningkatkan produksi, penggunaan teknologi baru dalam usahatani dan peningkatan produksi pangan secara nasional.

(29)

13 sementara tingkat bunga BRI sebesar 12 persen. Total Kredit Bimas yang disalurkan sejak dari mulai program dilaksanakan (1967/70) sampai musim tanam (1984/85) mencapai Rp.636,7 milyar dengan total nasabah 28.847 petani. Selama periode 1970-1975 jumlah pinjaman yang dilunasi tepat waktu sebesar 80 persen, sementara sejak 1976 dan selanjutnya hanya 57% yang dibayar kembali. Faktor yang turut berkontribusi terhadap tingginya tunggakan karena adanya program “pengampunan hutang” yang membangun ekspektasi diantara petani nasabah bahwa suatu hari tidak harus dibayar. Memang dengan program Bimas skala nasional, pemerintah memiliki cerita sukses berupa swasembada produksi padi pada tahun 1984, walaupun tahun 1983 program Bimas diakhiri.

Pada tahun 1985, program Kredit Usaha Tani (KUT) diintroduksikan. KUT merupakan salah satu dari program lanjutan dengan dana kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI). Target utama program ini yaitu petani yang telah mengembalikan 100 persen pinjaman program Bimas, dengan tingkat bunga 3%. KUT disediakan untuk petani yang belum memiliki kemampuan menyediakan kebutuhan yang diperlukan untuk usahatani dari sumber pembiayaan sendiri, dengan tingkat bunga 12%. KUT disalurkan melalui kantor cabang BRI ke Koperasi Unit Desa (KUD), kemudian didistribusikan pada para petani anggota KUD. Sejalan dengan perkembangannya dari tahun ke tahun ternyata pola demikian banyak menemui kesulitan terutama dalam penyaluran kredit. Hal ini diakibatkan tunggakan pada musim sebelumnya sangat tinggi dan fakta menunjukkan bahwa banyak kredit yang tidak sampai pada petani miskin akibat sangat rendahnya tingkat pengembalian. Kredit melalui KUT sangat besar yang meningkat dari Rp. 300 miliar per tahun (sebelum krisis ekonomi mencapai Rp. 8 triliun pada musim tanam 1998/1999) (Supadi dan Sumedi 2004; Ashari 2009; Soentoro et al. 1992)

Menurut Supadi dan Sumedi (2004); Ashari (2009), bahwa sejak program KUT diaplikasikan, besarnya pembayaran kembali hanya sekitar 25 persen. Tingkat bunga yang ditetapkan berubah, yaitu sebesar 14 persen pada tahun 1985-1995. Setelah sepuluh tahun berjalan akhirnya pada tahun 1995 KUT mengalami perubahan dari pemerintah dengan mencanangkan skim kredit KUT pola khusus. Tingkat bunga diturunkan menjadi 10,5 persen pada tahun 1995-1998/1999. Lebih lanjut Supadi dan Sumedi (2004); Ashari (2009), menyatakan bahwa pada pola ini, kelompok tani langsung menerima dana dari Bank pelaksana bukan melalui KUD. Sepanjang perkembangan sistem baru tersebut, ternyata terjadi penunggakan yang besar dibeberapa daerah dikarenakan anjloknya harga gabah yang diterima petani, faktor bencana alam, dan penyimpangan yang terjadi dalam proses penyaluran serta pemanfaatan dana tersebut. Salah satunya adalah pengalihan dana KUT yang seharusya untuk usahatani kemudian dialihkan untuk keperluan konsumsi rumah tangga atau pembiayaan anak sekolah. KUT berakhir seiring dengan UU No.23/1999 yang melarang BI untuk menyalurkan KLBI. Total KUT yang telah disalurkan sampai tahun 1999 mencapai sebanyak Rp. 8 triliun. KUT menghadapi permasalahan berupa tingkat pengembalian yang hanya 25%.

(30)

14

peternakan, perikanan dan perdagangan. Menurut Ashari (2009), aturan pada KKP kembali pada keikutsertaan bank yang berhadapan dengan peluang resiko (executing) menjadikan bank sangat berhati-hati dan menghindari individu-individu dan organisasi yang masih memiliki tunggakan KUT dan mempunyai riwayat buruk di masa lalu. Tingkat bunga masih disubsidi, dan dengan beberapa modifikasi kredit tersebut masih eksis.

Lebih lanjut Ashari (2009) memaparkan bahwa tingkat bunga yang ditetapkan dalam program KKP terbagi atas: 12% untuk tanaman pangan dan 16% untuk peternakan, perkebunan dan perikanan. KKP ditujukan untuk: (1) intensifikasi tanaman pangan (padi, jagung, kedelai, ubi kayu), dan (2) pengadaan pangan. KKP intinya untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional dan pendapatan petani yang sasarannya untuk fasilitasi modal usahatani. Target dari KKP adalah kelompok tani dan koperasi. Bank pelaksana adalah BUMN seperti BRI, Bank Agro, Bukopin, Bank Mandiri, dan Bank Pembangunan Daerah. Skim program ini pengaturannya adalah melalui Bank pelaksana yang disalurkan melalui koperasi dan atau kelompok tani yang selanjutnya disalurkan kepada anggotanya langsung.

Pada tahun 2006 sudah disalurkan sekitar Rp. 4,98 triliun. Maksimum pinjaman per petani (BRI) adalah Rp. 15 juta dengan maksimum kepemilikan lahan 2 ha dan periode pinjaman 12 bulan. Dalam perkembangannya KKP ini sejak tahun 2007 diubah nomenklaturnya menjadi KKP-Energi. Hingga tahun 2008 (posisi Juni), telah disalurkan sekitar Rp. 6,30 triliun. Dari total dana yang disalurkan tersebut penyerapan yang terbesar digunakan untuk pengembangan budidaya tebu, disusul untuk pengembangan peternakan serta pengembangan padi, jagung dan kedelai. Pengajuan untuk memperoleh dana tersebut dilakukan melalui Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK). Pengajuan ini dapat berbentuk proposal usaha yang selanjutnya dilakukan pemberian kredit.

Sementara itu, menurut Ashari (2009) hasil evaluasi yang pernah dilakukan Kementerian Pertanian dan Japan International Coorporation Agency/JICA (2006), Non Performing Loan (NPL) pada Juni 2006 adalah untuk tanaman pangan (6,07%), tebu (0,02%), peternakan (4,03%), perikanan (14,001%), dan pengadaan barang (3,01%). Kendala dalam KKP adalah adanya kehati-hatian ekstra dari bank yang masih trauma dengan kasus KUT sehingga pencairan dana relatif lambat, terbatasnya agunan yang dimiliki petani, dan terbatasnya avalis/guarantor kredit di pasar finansial.

Upaya untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam berusaha, Ashari (2009) menyebutkan pemerintah melalui Kementerian Pertanian tahun 2001 mengeluarkan kebijakan baru berupa program fasilitas Bantuan Langsung Tunai (BLM). Program ini diarahkan untuk kegiatan ekonomi produktif, bantuan sarana dan prasarana dasar yang mendukung kegiatan sosial ekonomi, bantuan pengembangan sumberdaya manusia untuk mendukung penguatan kelompok masyarakat dan unit pengelola keuangan dan bantuan sistem pelaporan untuk mendukung pelestarian hasil-hasil kegiatan sosial ekonomi produktif.

(31)

15 kapasitas petani dalam kredit, seleksi group dan monitoring (Supadi dan Sumedi, 2004).

Pada tahun 2003, dengan adanya Program Pemberdayaan Masyarakat Agribisnis melalui Penguatan Modal Kelompok, BPLM lebih difokuskan untuk lebih menitikberatkan pada penguatan modal dalam kelompok tani (Poktan), meneruskan pola perguliran modal dan memperkuat modal kelompok. Program ini untuk mempromosikan kepemilikan dari kelompok dengan menekan pada kontribusi anggota dalam memajukan bisnis, memperkuat monitoring dan menyarankan Dinas dan mitra pembangunan lainnya seperti universitas, NGO serta pihak swasta untuk terlibat (Supadi dan Sumedi 2004).

Periode selanjutnya adalah program Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Perdesaan (DPM-LUEP). DPM-LUEP merupakan dana talangan tanpa bunga dari APBN yang harus dikembalikan oleh penerima dana tersebut ke kas negara setiap akhir tahun. Tujuan penyelenggaraan kegiatan DPM-LUEP adalah: (1) melakukan pembelian dalam rangka menjaga stabilitas harga gabah/beras yang diterima petani minimal sesuai HPP, (2) mendekatkan petani dan atau kelompok tani terhadap pasar melalui kerjasama dengan LUEP, (3) menumbuhkembangkan dan menggerakkan kelembagaan usaha ekonomi di perdesaan, dan (4) memperkuat posisi daerah dalam ketahanan pangan wilayah. Program DPM-LUEP dilaksanakan di sebagian besar provinsi, terutama di provinsi sentra produksi padi. Jumlah provinsi yang mendapatkan DPM selalu meningkat setiap tahun yaitu dari 15 provinsi (2003) menjadi 27 provinsi (2007) (Ashari 2009).

Lebih lanjut Kementerian Pertanian meluncurkan Skim Pelayanan Pembiayaan Pertanian (SP3). SP3 merupakan skim program untuk meningkatkan akses petani pada fasilitas kredit/pembiayaan dari bank pelaksana melalui mekanisme bagi risiko (risk sharing) antara bank pelaksana dengan pemerintah. Diharapkan dengan SP3 ini dapat membantu kemudahan akses petani pada layanan perbankan melalui jasa penjaminan bagi petani/kelompok tani skala usaha mikro, kecil dan menengah yang tidak mempunyai agunan yang cukup. Pada SP3 ini lima bank pelaksana yang ikut berpartisipasi adalah Bank Mandiri, Bank Syariah, Bank Bukopin, Bank Jatim, dan Bank NTB. Total kredit yang disalurkan bank pelaksana hingga April 2008 tercatat Rp. 421 milyar lebih, dengan jumlah nasabah petani/peternak yang terlayani sebanyak 6.445 subsektor perkebunan mendominasi penyerapan SP3 dengan total dana Rp. 207 milyar dengan 3.818 nasabah. Dengan adanya program penjaminan kredit pemerintah dalam bentuk Kredit Usaha Rakyat (KUR), maka pada akhir tahun 2008, SP3 diintegrasikan dan dileburkan ke dalam KUR tersebut.

(32)

16

Program PUAP menyediakan fasilitasi dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM). Dana BLM ini sebagai tambahan modal usaha untuk mendukung gabungan kelompok tani (Gapoktan). Sasarannya adalah petani anggota, pemilik, penggarap, buruh tani maupun rumah tangga tani. Disamping itu, dengan fasilitasi modal melalui PUAP ini diharapkan mendukung terbentuknya Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A) (Kementerian Pertanian 2010a).

Keberadaan LKM-A menjadi salah satu solusi dalam mengelola keuangan dan pembiayaan sektor pertanian, utamanya untuk agribisnis berskala kecil di perdesaan (Hermawan dan Andrianyta 2012; Hendayana et al. 2009). Menurut Ashari (2009), lembaga ini yang nantinya berperan menyalurkan pinjaman modal usahatani akan dapat mengatasi keterbatasan modal, karena jasanya relatif kecil sehingga mengurangi ketergantungan petani kepada pelepas uang (rentenir). Lebih lanjut, Hermawan dan Andrianyta (2012) menyatakan tambahan modal usahatani secara normatif akan meningkatkan kemampuan petani menggunakan teknologi sehingga mendorong peningkatan produksi usahatani, yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan usahatani, bahkan lebih luas lagi terhadap kesejahteraan petani.

Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP)

Pengembangan Usaha Agribisnis Pertanian (PUAP) yang dimulai sejak tahun 2008, merupakan terobosan Kementerian Pertanian. Program ini bertujuan untuk: (1) mengurangi kemiskinan dan pengangguran melalui penumbuhan dan pengembangan kegiatan agribisnis di perdesaan sesuai dengan potensi wilayah, (2) meningkatkan kemampuan pelaku usaha agribisnis, pengurus Gapoktan, Penyuluh dan Penyelia Mitra Tani (PMT), (3) memberdayakan kelembagaan tani dan ekonomi perdesaan untuk pengembangan kegiatan usaha agribisnis, dan (4) meningkatkan fungsi kelembagaan ekonomi petani menjadi jejaring atau mitra lembaga keuangan dalam rangka akses permodalan (Kementerian Pertanian 2010a).

Adapun sasaran yang ingin dicapai dari pelaksanaan program PUAP, diantaranya: (1) berkembangnya usaha agribisnis di 10.000 desa miskin/tertinggal sesuai dengan potensi pertanian desa, (2) berkembangnya 10.000 Gapoktan/Poktan yang dimiliki dan dikelola oleh petani, (3) meningkatnya kesejahteraan rumah tangga tani miskin, petani/peternak (pemilik dan atau penggarap) skala kecil, buruh tani, dan (4) berkembangnya usaha pelaku agribisnis yang mempunyai usaha harian, mingguan, maupun musiman. Pada dasarnya program PUAP mengemban misi memberdayakan masyarakat perdesaan secara partisipatif dalam upaya meningkatkan kesejahteraan petani.

Seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, PUAP merupakan bagian dari pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-Mandiri), yang dikoordinasikan oleh kantor Menko Kesejahteraan Rakyat. PNPM Mandiri ini adalah program pemberdayaan masyarakat yng ditujukan untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesempatan kerja khususnya di wilayah perdesaan.

(33)

17 manajemen. Diklat kepemimpinan diberikan kepada ketua kelompok dan anggota gabungan kelompok tani (Gapoktan) dalam mengelola dan mengarahkan para petani yang menjadi anggota kelompok. Diklat kewirausahaan meliputi pengembangan keterampilan usaha pengolahan hasil tani agar menjadi produk yang bisa memberikan nilai tambah bagi petani tersebut. Selain itu diklat ini juga mengembangkan sikap kreatif dan inovatif yang bisa menumbuhkan ide-ide peluang usaha yang lain bagi petani. Selanjutnya, Diklat Manajemen diberikan kepada pengurus Gapoktan dalam menerapkan prinsip manajemen (planing, organising, actuating, dan controling) pada setiap operasional organisasi Gapoktan.

Adapun dana hibah yang digulirkan pada program PUAP ini merupakan sarana untuk menunjang program tersebut agar berjalan dengan baik. Dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) ditujukan untuk memberikan modal kepada kelompok tani. Arus sirkulasi perputaran uang diharapkan dapat berputar secara merata kepada setiap anggota kelompok tani. Dengan dana yang diberikan ini diharapkan Gapoktan atau Poktan memiliki Unit Usaha Otonom yang dikelola secara mandiri dan bertanggungjawab.

Untuk mengendalikan pelaksanan PUAP dan membina Gapoktan di setiap propinsi dan kabupaten dibentuk Tim Pembina Propinsi, Tim Teknis Kabupaten, Tim Teknis Kecamatan dan Komite Pengarah Desa. Di setiap desa lokasi PUAP ditempatkan pula Penyuluh Pendamping yang bertugas mendampingi Gapoktan dalam melaksanakan PUAP. Disamping itu di setiap kabupaten/kota lokasi PUAP ditempatkan pula Penyelia Mitra Tani (PMT) yang umumnya telah memiliki pengalaman dalam mengembangkan lembaga keuangan mikro. Penempatan PMT tersebut diharapkan dapat membantu Gapoktan dalam mengelola dana BLM-PUAP yang disalurkan sehingga dapat berkembang dan mengarah pada terbentuknya LKM-A. Dalam organisasi Tim Pembina Propinsi, BPTP ditempatkan sebagai Sekretariat PUAP Propinsi yang salah satu tugasnya memfasilitasi penyaluran disamping melaksanakan fungsi kesekretariatan lainnya, dana Biaya operasional Penyeliaan (BOP) dan ATK bagi PMT.

Pelaksanaan program PUAP secara substansi terdapat tiga kegiatan pokok yang harus dilaksanakan yaitu: (1) pengembangan kelembagaan Gapoktan, (2) pengembangan kelembagaan LKM yang dikelola Gapoktan, dan (3) pengembangan usaha agribisnis yang dilakukan petani miskin peserta PUAP. Dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut Gapoktan memiliki peranan kunci. Untuk mendapatkan dana BLM-PUAP Gapoktan harus mempersiapkan berbagai dokumen yang diperlukan sesuai dengan tata cara pelaksanaan PUAP yang dirumuskan oleh Kementerian Pertanian. Disamping itu Gapoktan harus menyalurkan dana BLM-PUAP kepada petani miskin, mengembangkan dana BLM PUAP yang disalurkan, membentuk kelembagaan LKM, dan memfasilitasi pengembangan usaha agribisnis yang dilakukan petani peserta PUAP kearah yang lebih produktif.

(34)

18

Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan)

Gapoktan pelaksana Program PUAP merupakan organisasi petani di perdesaan yang dibentuk secara musyawarah dan mufakat untuk meningkatkan skala ekonomi dan efisiensi usaha, dengan anggotanya terdiri dari petani (pemilik dan atau penggarap), buruh tani dan rumah tangga tani miskin di perdesaan. Gapoktan dibentuk atas dasar: (1) kepentingan yang sama diantara para anggotanya, (2) berada pada kawasan usahatani yang menjadi tanggung jawab bersama para anggotanya, (3) mempunyai kader pengelola untuk menggerakan para petani, (4) memiliki pemimpin yang diterima petani lainnya, (5) mempunyai kegiatan yang dirasakan manfaatnya, dan (6) adanya motivasi dari tokoh masyarakat setempat. Pedoman pembinaan Gapoktan berdasarkan Permentan No 273/Kpts/OT.160/4/2007, yakni diarahkan pada penerarapan sistem agribisnis dan peningkatan peran serta petani (Direktorat Pembiayaan Pertanian 2013).

Gapoktan PUAP sebagai suatu organisasi, wajib memiliki: (1) AD/ART, yang disusun berdasarkan kesepakatan anggota, (2) struktur kepengurusan. sebelum dana Rp 100 juta disalurkan, pengurus (ketua Gapoktan) dibekali ilmu dan pengetahuan tentang PUAP melalui pelatihan yang diselenggarakan oleh Badan Penyuluhan dan Penembangan Sumberdaya Manusia Pertanian (BPPSDMP), (3) Komite Pengawas Desa (KPD) memiliki tugas dan tanggung jawab sebagai pengarah, tempat konsultasi dan pengawasan, dan (4) tim pembina dan pendamping dari Dinas atau Badan Penyuluhan baik dari provinsi maupun kabupaten, BPTP, PMT dan PP (Kementerian pertanian 2013).

Gambar 2. Alur pendampingan dan pembinaan Gapoktan/poktan PUAP

Sumber: Kementerian Pertanian (2013)

Prinsip penumbuhan/penguatan kelembagaan Gapoktan/Poktan PUAP mencakup: (1) kebutuhan: ditumbuh kembangkan di lokasi potensial yang petaninya memerlukan dukungan fasilitasi permodalan, (2) fleksibel: harus disesuaikan dengan kondisi dan budaya setempat, (3) partisipatif: melibatkan

MENTERI PERTANIAN TIM PUAP PUSAT

Tim Pembina Provinsi BPTP

Penyelia Mitra Tani Kabupaten/Kota Tim Teknis

Gapoktan/Poktan

Usaha Produktif

Penyuluh

Gambar

Gambar 2. Alur pendampingan dan pembinaan Gapoktan/poktan PUAP
Gambar 3. Pengaruh kredit terhadap kombinasi
Gambar 4. Pengaruh kredit terhadap kombinasi
Gambar 5. Kerangka pemikiran penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Program PUAP (Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan) berdampak terhadap sosial ekonomi petani penerima pinjaman dana BLM-PUAP, yaitu dari sisi sosial meliputi

Program PUAP (Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan) berdampak terhadap sosial ekonomi petani penerima pinjaman dana BLM-PUAP, yaitu dari sisi sosial meliputi

Untuk mengetahui bagaimana sikap petani terhadap program PUAP di

YUKI BASTANTA (080309040) dengan judul DAMPAK PROGRAM PENGEMBANGAN USAHA AGRIBISNIS PEDESAAN (PUAP) TERHADAP KINERJA DAN PENDAPATAN USAHA TANI ANGGOTA KELOMPOK TANI (Kasus:

Pendapatan Usaha Tani Padi Sawah Sebelum Dan Sesudah Mendapatkan

Skripsi dengan judul “Analisis Perbandingan Pendapatan dan Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Usahatani Padi Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP)

Hasil penelitian dengan uji korelasi Rank Spearman menunjukan bahwa hubungan dinamika gapoktan dengan keberhasilan program PUAP memiliki koefisien korelasi sebesar

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:Pengaruh keefektifan PUAP terhadap Kinerja Gapoktan PUAP di Desa Lebanu