PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pentingnya sektor pertanian dalam konteks ekonomi Indonesia tidak perlu
diragukan lagi. Walaupun kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik
Bruto (PDB) terus menurun secara relatif, Namun nilai absolutnya terus
meningkat dari tahun ke tahun. Pentingnya sektor pertanian bukan saja karena
kontribusinya terhadap penyerapan tenaga kerja. Hingga tahun 1991 yang lalu,
sektor pertanian masih mampu menyediakan lapangan tenaga kerja 50% dari
angkatan kerja yang ada. Disamping peranan sektor pertanian terhadap PDB dan
penyediaan lapangan kerja; sektor ini juga berperan sangat sentral terhadap
penyediaan bahan pangan; penganekaragaman menu makanan dan penerimaan
devisa. Lebih dari itu pengurangan orang-orang miskin di perdesaan berkurang
relatif lebih besar dibandingkan di perkotaan yang salah satu sebabnya adalah
mampunya sektor ini terhadap pemberian tambahan pendapatan masyarakat
perdesaan (Soekartawi, dkk. 1993; 1).
Proses produksi baru bisa berjalan bila persyaratan yang dibutuhkan
tanaman, ternak, ataupun ikan dapat dipenuhi. Persyaratan ini lebih dikenal
dengan faktor produksi. Faktor produksi terdiri dari empat komponen, yaitu tanah,
modal, tenaga kerja, dan skill atau manajemen (pengelolaan). Masing-masing
faktor mempunyai fungsi yang berbeda dan saling terkait satu sama lain. Kalau
salah satu faktor tidak tersedia maka proses produksi tidak akan berjalan, terutama
akan jalan karena tidak ada tenaga kerja. Tanpa tenaga kerja, apa yang dapat
dilakukan, begitu juga dengan faktor lainnya seperti modal. Kalau tanah tersedia,
tenaga kerja ada, tetapi tidak ada modal, apa yang akan ditanam atau dipelihara.
Bagaimana cara membeli bibit, pupuk, dan lain-lainnya. Begitu juga kalau hanya
ada modal dan tenaga kerja tanpa tanah, jelas usaha tani tidak bisa dilakukan, di
mana usaha akan dilakukan atau di mana tanaman akan ditanam
(Daniel, 2002; 50).
Di negara yang sedang berkembang, petani yang sering dijumpai adalah
petani “kecil”, petani “miskin”, petani ”tidak cukupan”, petani “tidak komersial”
atau petani yang sejenisnya. Biasanya, golongan petani yang demikian
diklasifikasikan sebagai petani yang tidak bermodal kuat. Karena itulah mereka
memerlukan kredit usaha tani agar mereka mampu mengelola usaha taninya
dengan baik. Bila tidak ada pinjaman yang berupa kredit usaha tani ini, maka
mereka sering menjual harta bendanya atau pinjaman kepada pihak lain untuk
membiayai usaha taninya itu. Bila dalam keadaan yang mendesak, pinjaman ini
dapat berjumlah relatif besar dan kalau mereka pinjam pada swasta, maka bunga
pinjamannya akan tinggi (Soekartawi, 1989; 23).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tahun 2009 jumlah
penduduk miskin tercatat 32,53 juta jiwa di Indonesia. Dari jumlah tersebut
sekitar 20,65 juta jiwa berada di perdesaan dengan mata pencaharian utama di
sektor pertanian. Pada umumnya petani di perdesaan berada pada skala usaha
mikro yang memiliki luas lahan lebih kecil dari 0,3 hektar. Kemiskinan di
perdesaan merupakan masalah pokok nasional yang penanggulangannya tidak
kesejahteraan sosial. Oleh karena itu pembangunan ekonomi nasional berbasis
pertanian dan perdesaan secara langsung maupun tidak langsung berdampak pada
pengurangan penduduk miskin (Peraturan Menteri Pertanian, 2008; 1).
Sampai saat ini pembicaraan mengenai masalah perdesaan akan sangat
menarik. Tidak saja penduduk Indonesia sebagian besar tinggal di daerah
perdesaan, tetapi yang lebih penting lagi adalah karena evaluasi keberhasilan
pembangunan nasional akan sangat dipengaruhi oleh berhasil tidaknya
menyingkirkan atau mengurangi permasalahan-permasalahan penting yang
berkembang di perdesaan, baik yang menyangkut aspek ekonomi, sosial maupun
politik. Karena itu bisa dipahami kalau dalam setiap perencanaan pembangunan,
perdesaan menjadi salah satu prioritas utama garapannya (Suharso, 2002; 1).
Masalah paling mendasar bagi sebagian besar petani Indonesia adalah
masalah keterbatasan modal yang dimiliki oleh para petani. Masalah modal
tersebut diantaranya adalah sebagian besar petani mengalami kekurangan modal
untuk berusaha dan memenuhi kebutuhan hidupnya, belum adanya asuransi
pertanian, masih adanya sistem ijonk dan sistem perbankan yang kurang peduli
kepada petani. Jika ditelusuri lebih lanjut, permasalahan yang dihadapi dalam
permodalan pertanian berkaitan langsung dengan kelembagaan selama ini yaitu
lemahnya organisasi tani, sistem dan prosedur penyaluran kredit yang rumit,
birokrasi dan kurang memperhatikan kondisi lingkungan sosial budaya petani
perdesaan (Anonimous a, 2004).
Mulai tahun 2008 Departemen Pertanian memberikan dana Bantuan
Langsung Masyarakat (BLM) sebesar Rp.100.000.000 (seratus juta) per desa
ini adalah program terobosan Departemen Pertanian untuk menanggulangi
kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja di perdesaan khususnya desa miskin
dan tertinggal. Tahun 2008 pemerintah telah menyalurkan dana BLM-PUAP
sebesar Rp 1 Triliun kepada 10.000 Gapoktan/desa yang tersebar di 3.003
kecamatan, 389 kabupaten/kota 33 provinsi. Untuk tahun 2009, PUAP
dilaksanakan di 988 Gapoktan/desa yang tersebar 3410 kecamatan, 417
kabupaten/kota di 33 provinsi. (Anonimous b, 2010).
Pada tahun 2008, Kabupaten Deli Serdang Menerima dana BLM-PUAP
sebesar Rp 3.500.000.000 dan dibagikan kepada 35 Gapoktan/desa PUAP yang
tersebar di 7 kecamatan yaitu Kecamatan Bangun Purba, STM Hulu, Pantai Labu,
Labuhan Deli, Hamparan Perak, Pancur Batu dan STM Hilir. Masing-masing
Tabel 1. Desa Penerima BLM-PUAP di Kabupaten Deli Serdang, 2008.
Dari tabel 1, dapat diketahui bahwa Kecamatan Pantai Labu mendapatkan
dana BLM-PUAP sebesar Rp 1.100.000.000. berarti 31,42% dari total dana BLM
PUAP Kabupaten Deli Serdang tahun 2008. Dana BLM PUAP yang diterima
Kecamatan Pancur Batu sebesar Rp 700.000.000 (20%), Kecamatan Bangun
Purba sebesar Rp 700.000.000 (20%), Kecamatan Hamparan Perak sebesar Rp
400.000.000 (11,43%), Kecamatan STM Hulu Rp 400.000.000 (11,43%),
Kecamatan Labuhan Deli sebesar Rp 100.000.000 (2,86%) dan Kecamatan STM
Hilir sebesar Rp 100.000.000 (2,86%).
Kecamatan Pancur Batu menerima dana BLM-PUAP sebesar Rp
700.000.000 dengan 7 desa PUAP. Berarti Kecamatan Pancur Batu menempati
no. urut dua (2) terbesar penerima dana BLM-PUAP selain Kecamatan Bangun
Purba dan setelah Kecamatan Pantai Labu se Kabupaten Deli Serdang tahun 2008.
Dari uraian di atas, penulis tertarik melakukan penelitian di Kecamatan
Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang yang menerima dana BLM-PUAP pada
tahun 2008 sebesar Rp 700.000.000. Penulis ingin mengetahui proses penetapan
dan kriteria Gapoktan penerima dana BLM-PUAP, bagaimana pelaksanaan
program PUAP yang telah berjalan, apakah telah sesuai dengan perencanaan yang
telah ditetapkan oleh pemerintah. Selain itu, peneliti ingin mengetahui sistem
penyaluran dana BLM-PUAP (Bantuan Langsung Masyarakat-Pengemangan
Usaha Agribisnis Perdesaan), tingkat penggolongan pengembalian pinjaman dana
BLM-PUAP, sikap petani terhadap program PUAP dan dampak program PUAP
Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang, maka dapat dirumuskan beberapa
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana proses penetapan dan kriteria Gapoktan (Gabungan Kelompok
Tani) penerima BLM-PUAP (Bantuan Langsung Masyarakat-Pengembangan
Usaha Agribisnis Perdesaan) di daerah penelitian?
2. Bagaimana sistem penyaluran dana BLM-PUAP kepada petani di daerah
penelitian?
3. Bagaimana tingkat penggolongan pengembalian pinjaman dana BLM-PUAP di
daerah penelitian?
4. Bagaimana Sikap petani terhadap program PUAP di daerah penelitian?
5. Apa saja dampak program PUAP terhadap sosial ekonomi (komunikasi antar
petani dan kemudahan memperoleh pinjaman) petani di daerah penelitian?
Tujuan Penelitian
Sesuai dengan identifikasi masalah maka tujuan penelitian adalah
1. Untuk mengetahui proses penetapan dan kriteria Gapoktan (Gabungan
Kelompok Tani) penerima BLM-PUAP (Bantuan Langsung
Masyarakat-Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan) di daerah penelitian.
2. Untuk mengetahui sistem penyaluran dana BLM-PUAP kepada petani di
daerah penelitian.
3. Untuk mengetahui tingkat penggolongan pengembalian pinjaman dana
4. Untuk mengetahui bagaimana sikap petani terhadap program PUAP di daerah
penelitian.
5. Untuk mengetahui dampak program PUAP terhadap sosial ekonomi (pertemuan
petani dan kemudahan memperoleh pinjaman) petani di daerah penelitian.
Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian ini adalah
1. Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pertanian Fakultas
Pertanian Universitas Sumatera Utara.
2. Sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah maupun lembaga lainnya dalam
mengambil kebijakan untuk menyusun program pertanian di masa mendatang.
3. Sebagai bahan masukan bagi para pembaca dan khalayak ramai yang ingin
mengetahui bagaimana Monitoring dan Evaluasi Program Pengembangan