OTORITAS JASA KEUANGAN DIHUBUNGKAN DENGAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011
TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN
THE LEGAL VIEW OF BANKING SUPERVISION
TRANSITION FROM BANK INDONESIA TO
THE FINANCIAL SERVICES AUTHORITY CONNECTED TO
UNDANG-UNDANG NUMBER 21 OF YEAR 2011 ABOUT
FINANCIAL SERVICES AUTHORITY
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Pada Ujian Skripsi Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia
Oleh :
Nama : WAHYU SAMSUL HIDAYAT NIM : 3.16.10.005
Program Kekhususan :Hukum Bisnis
Dibawah Bimbingan :
FEBILITA WULAN SARI, S.H., M.H. NIP : 4127.33.00.007
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
LEMBAR PENGESAHAN SURAT PERNYATAAN
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... v
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 9
C. Maksud Dan Tujuan ... 9
D. Kegunaan Penelitian ... 10
E. Kerangka Pemikiran ... 11
F. Metode Penelitian ... 19
BAB II BANK INDONESIA DALAM SISTEM PERBANKAN NASIONAL DAN OTORITAS JASA KEUANGAN A. Bank Indonesia Dalam Sisitem Perbankan Nasional ... 23
1. Sistem Perbankan Nasional ... 23
2. Ruang Lingkup Bank Indonesia ... 27
3. Status dan Kedudukan Bank Indonesia ... 32
4. Tugas Bank Indonesia ... 35
B. Otoritas Jasa Keuangan ... 48
1. Latar Belakang Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan ... 48
2. Ruang Lingkup Otoritas Jasa Keuangan ... 55
3. Tugas Otoritas Jasa Keuangan ... 68
BAB III PERALIHAN PENGAWASAN PERBANKAN DARI BANK INDONESIA KEPADA OTORITAS JASA KEUANGAN
A. Aspek Hukum Peralihan Pengawasan Perbankan Dari Bank
Indonesia Kepada Otoritas Jasa Keuangan ... 77
B. Pelaksanaan Pengawasan Perbankan Oleh Otoritas Jasa Keuangan ... 89
BAB IV ANALISIS HUKUM TENTANG PERALIHAN PENGAWASAN PERBANKAN DARI BANK INDONESIA KEPADA OTORITAS JASA KEUANGAN DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN A. Akibat Hukum Terhadap Bank Indonesia Atas Peralihan Pengawasan Perbankan Dari Bank Indonesia Kepada Otoritas Jasa Keuangan Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan ... 92
B. Efektivitas Peranan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Hal Pengawasan Perbankan Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan ... 103
BAB V PENUTUP A. Simpulan ... 108
B. Saran ... 109
DAFTAR PUSTAKA ... 111
A. Sumber Buku
Adler Haymans Manurung, Otoritas Jasa Keuangan : Pelindung Investor,
Adler Manurung Press, Jakarta, 2013.
Adrian Sutedi, Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan, Raih Asa Sukses,
Jakarta, 2014.
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana, Jakarta, 2013.
Ktut Silvanita, Bank Dan Lembaga Keuangan Lain, Erlangga, Jakarta, 2009.
Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2006.
Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern (Berdasarkan Undang-Undang
Tahun 1998), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.
Neni Sri Imaniyati, Hukum Perbankan, Fakultas Hukum Unisba, Bandung,
2008.
Otje Salman S. Filsafat Hukum (Perkembangan dan Dinamika Masalah),
Refika Aditama, Bandung, 2013.
---, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka
Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2013.
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada
Penelitian Tesis Dan Disertasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013.
B. Sumber Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999
tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
C. Sumber Internet
Http://www.ahmad-rifai-uin.com, Ahmad Rifai, Akibat Hukum.
Http://www.bi.go.id, Unit Khusus Museum Bank Indonesia, Sejarah Bank
Indonesia.
Http://www.bismar.wordpress.com, Bismar Nasution, Aspek Hukum
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan.
Http://www.ekonomi.kompasiana.com, Stehpanie Rebecca Ester, Ironisme
OJK: Gagal di Negara Maju, namun Diminati di Indonesia.
http://www.finansialbisnis.com, Adler Haymans Manurung, Aspek Filosofis
Arsitektur Perbankan Indonesia.
Http://www.hukumonline.com, NN, Nasionalisasi De Javasche Bank NV.
Http://www.id.wikipedia.org, Wikipedia Biografi, Margono Djojohadikusumo.
Http://www.lipsus.kontan.co.id, Tim Redaksi, Selamat Datang Wasit Baru
Industri Keuangan.
Http://www.ojk.go.id,Otoritas Jasa Keuangan, Dewan Komisioner.
Http://www.sdchronos.org, The World Business Council of for Sustainable
D. Sumber Lain
Deputi Gubernur Bidang Pengawasan, Laporan Serah Terima Pengawasan
Mikroprudensial Bank Dari Bank Indonesia Kepada Otoritas Jasa
Keuangan, Bank Indonesia, Jakarta, 2013.
Heru Soepraptomo, Analisis Ekonomi Terhadap Hukum Perbankan, makalah
pada pertemuan Ilmiah tentang analisis ekonomi terhadap hukum
dalam menyongsong era globalisasi, BPHN-Departemen
Kehakiman, Jakarta, 1996
Muliaman D. Hadad, Serah Terima Pengalihan Fungsi, Tugas Dan Wewenang
Pengaturan Dan Pengawasan Kegiatan Jasa Keuangan Di Sektor
Perbankan Dari Bank Indonesia Kepada Otoritas Jasa Keuangan,
Otoritas Jasa Keuangan, Jakarta, 2013.
Hasil wawancara peneliti dengan Agus M. Staff perpustakaan Bank Indonesia,
Kantor Perwakilan Dalam Negeri Bank Indonesia Wilayah VI.
Hasil wawancara peneliti dengan Yudi, Staff Bidang Informasi OJK, Kantor
Otoritas Jasa Keuangan Regional 2 Jawa Barat.
Tim Penyusun Pedoman GCG, Prinsip Dasar Pedoman Good Corporate
Governance Perbankan Indonesia, Komite Nasional Kebijakan
Governance, Jakarta, 2012.
Siti Sundari, Laporan Kompendium Hukum Bidang Perbankan, Kementerian
Assalamu’alaikum wr.wb.
Segala puji serta syukur Peneliti panjatkan kepada Allah S.W.T. yang
telah memberikan segala rahmat dan karunia-Nya, shalawat serta salam semoga
tercurahkan kepada Nabi besar kita Muhammad S.A.W., bahwa peneliti masih
diberikan kesempatan untuk dapat mensyukuri segala nikmat-Nya, berkat taufik
dan hidayah-Nya, Peneliti dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul
“TINJAUAN HUKUM TENTANG PERALIHAN PENGAWASAN PERBANKAN
DARI BANK INDONESIA KEPADA OTORITAS JASA KEUANGAN DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN”.
Peneliti sangat menyadari bahwa dalam pembuatan penulisan skripsi ini
masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi substansi maupun sistematika
pembahasan dan tata bahasa, sehingga kiranya masih banyak yang perlu
dipahami dan diperbaiki. Peneliti sangat mengharapkan kritik dan saran yang
insya Allah dengan kritik dan saran tersebut, diharapkan dapat memperbaiki
kekurangan dikemudian hari.
Pada proses penyusunan skripsi ini , peneliti mendapatkan bantuan dan
dukungan dari banyak pihak, khususnya terimakasih banyak kepada Bapak
Wasiman dan Ibu Partiah tercinta selaku kedua Orang Tua Peneliti atas doa dan
dukungannya. Peneliti juga mengucapkan banyak terimakasih dengan penuh
rasa hormat kepada Ibu Febilita Wulan Sari, S.H.,M.H. selaku dosen pembimbing
membimbing dalam penelitian dan penulisan Skripsi ini, selain itu dalam
kesempatan ini Peneliti juga ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Yth. Bapak Dr. Ir. Eddy Soeryanto Soegoto, Msc. selaku Rektor
Universitas Komputer Indonesia;
2. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Umi Narimawati, Dra. S.E., M.Si. selaku Wakil
Rektor I Universitas Komputer Indonesia;
3. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Ria Ratna Ariawati, S.E., M.S., A.K. selaku Wakil
Rektor II Universitas Komputer Indonesia;
4. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Aelina Surya, selaku Wakil Rektor III Universitas
Komputer Indonesia;
5. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Mien Rukmini, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Komputer Indonesia;
6. Yth. Ibu Hetty Hassanah, S.H., M.H. selaku Ketua Jurusan Ilmu
Hukum Universitas Komputer Indonesia;
7. Yth. Ibu Arinita Sandria, S.H., M.Hum. selaku Dosen Fakultas
Hukum Universitas Komputer Indonesia;
8. Yth. Ibu Febilita Wulan Sari, S.H., M.H. selaku Dosen Fakultas
Hukum Universitas Komputer Indonesia;
9. Yth. Bapak Dwi Iman Muthaqin, S.H., M.H. selaku Dosen Fakultas
Hukum Universitas Komputer Indonesia;
10. Yth. Ibu Farida Yulianti, S.H., S.E., M.M. selaku Dosen Fakultas
Hukum Universitas Komputer Indonesia;
11. Yth. Ibu Yani Brilyani Tapivah, S.H., M.H. selaku Dosen Fakultas
12. Yth. Ibu Rika Rosilawati, A.Md. selaku Staff Administrasi Fakultas
Hukum Universitas Komputer Indonesia;
13. Yth. Bapak Muray selaku Karyawan Fakultas Hukum Universitas
Komputer Indonesia;
14. Sahabat dan Teman-teman terdekat Peneliti yang tidak dapat
disebutkan satu persatu namanya.
Peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada Rizki Novri Wibowo, Bibit
Supriyadi, dan Sri Lestari atas segala bantuan dan dukungan yang diberikan,
kemudian terima kasih kepada Rizqi Vika Aurora tercinta yang selalu medoakan
dan memberi semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.
Terima kasih juga kepada teman-teman seperjuangan Fakultas Hukum
Universitas Komputer Indonesia yaitu Jajang Supriatna, Rizky Adiputra,
Rhamdan Maulana, Widia Magdewijaya, Farhan Aziz, Ricky Haryanto Nugroho,
Meiza Soraya Khaerunnisa, Ivan Rynaldi Setiawan, Adek Wahyudin, Arman
Marlando, Wiko Putra Dhiarta, Fitria Yanuari, Dian Pratama Sandi, Endang Mukti
Aristanti dan Mochamad Baasith Awaludin, serta semua adik tingkat di Fakultas
Hukum yang selalu mendukung dan memberi semangat dalam menyelesaikan
skripsi ini.
Semoga segala sesuatu dan pengorbanan yang ditujukan dan diberikan
baik moril maupun materil kepada peneliti, mendapatkan imbalan yang berlipat
ganda dari Allah S.W.T. Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang serta
Akhir kata Peneliti mengucapkan rasa syukur yang sebesar-besarnya
kepada Allah S.W.T., karena atas ijin-Nya Peneliti dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini. Semoga Skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca dan
peneliti sendiri.
Wassalammualaikum wr.wb.
Bandung, 17 Agustus 2014
Data Pribadi
Nama
: Wahyu Samsul Hidayat
Tempat, tanggal Lahir : Poncowarno Kec. Kalirejo
Kab. Lampung Tengah, 12 Januari 1992
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Kewarganegaraan
: Warga Negara Indonesia
Status Perkawinan
: Belum Menikah
Pendidikan Terakhir : SMA Negeri 1 Kalirejo
Alamat
: Jalan Sekeloa Timur No. 25 Bandung
Alamat Orang Tua
: Dusun V Desa Poncowarno Kec. Kalirejo
Kab. Lampung Tengah 34174
Telepon/HP
: 085769545477
: fuzshe@gmail.com
: facebook/wahyu.fuzshe
Hobi
: Memancing dan berpetualang.
Riwayat Pendidikan
2010 - sekarang
: Universitas Komputer Indonesia Program Studi Ilmu Hukum (S1)
Strata 1 (sedang ditempuh)
2007 - 2010
: SMA Negeri 1 Kalirejo (Berijazah) Jurusan IPS
2004 - 2007
: SMP Negeri 2 Kalirejo (Berijazah)
1998 - 2004
: SD Negeri 1 Poncowarno (Berijazah)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perekonomian suatu negara sangat dipengaruhi oleh keberadaan
lembaga perbankan, yang merupakan inti dari sistem keuangan di setiap
negara. Perekonomian yang baik dapat diwujudkan dengan adanya sistem
perbankan yang sehat. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana
dari masyarakat, badan usaha dan lembaga lainnya dalam bentuk simpanan
dan menyalurkannya kepada masyarakat atau badan usaha dalam bentuk
kredit/pembiayaan dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan di sektor perekonomian.1
Pada umumnya masyarakat menyimpan uang pada bank berdasarkan
kepercayaan, dengan harapan bank dapat mengelolanya secara baik dan
benar berupa bunga/bagi hasil. Masyarakat kemudian dapat mengambil
simpananannya sewaktu-waktu, karena bank mempunyai suatu kewajiban
untuk mengembalikan dana milik masyarakat berikut bunga/bagi hasilnya.
Sehingga kepercayaan dan perasaan aman masyarakat pada bank dapat
terjaga dan terpelihara.
Keberadaan lembaga perbankan dipengaruhi dan bergantung pada
kepercayaan masyarakat. Agar kepercayaan dan rasa aman masyarakat
dapat terpelihara, dan tujuan pembangunan serta perekonomian dapat
berjalan lancar, diperlukan suatu lembaga/institusi/badan yang membina dan
mengawasi lembaga perbankan, lembaga tersebut adalah bank sentral.
1
Bank sentral adalah lembaga negara yang mempunyai wewenang
untuk mengeluarkan alat pembayaran yang sah dari suatu negara,
merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter, serta mengatur dan
mengawasi perbankan.2 Pengawasan dari suatu lembaga yang independen dari pengaruh pemerintah sangat diperlukan dalam dunia perbankan, di
Indonesia lembaga tersebut adalah Bank Indonesia (BI).
Bank Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (yang selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Bank
Indonesia 2004) adalah lembaga negara yang independen, bebas dari campur
tangan Pemerintah dan atau pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang
secara tegas diatur dalam Undang-Undang Bank Indonesia 2004.
Berdasarkan Undang-Undang Bank Indonesia 2004, pihak lain
dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan
tugas Bank Indonesia. Bank Indonesia dalam melaksanakan tugasnya wajib
menolak dan mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak
manapun. Pelanggaran terhadap larangan untuk melakukan campur tangan
terhadap tugas Bank Indonesia, maupun Dewan Gubernur dan pejabat Bank
Indonesia yang tidak menolak campur tangan pihak lain, dikenai ancaman
pidana berat dan denda yang besar. Tugas dan kewenangan Bank Indonesia
di bidang pengawasan perbankan tersebut meliputi3 :
1. Kewenangan memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan
dan kegiatan usaha tertentu;
2
Ktut Silvanita, Bank Dan Lembaga Keuangan Lain, Erlangga, Jakarta, 2009, Hlm. 70
3
2. Kewenangan menetapkan peraturan di bidang perbankan;
3. Kewenangan melakukan pengawasan baik melalui pengawasan
secara langsung maupun pengawasan tidak langsung;
4. Kewenangan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan
ketentuan perundangan.
Lembaga perbankan merupakan inti dari sistem keuangan dari suatu
negara, bank merupakan suatu lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi
orang perseorangan, badan-badan usaha swasta, badan-badan usaha milik
Negara, bahkan lembaga-lembaga pemerintah menyimpan dana-dana yang
dimilikinya. Oleh sebab itu perbankan memainkan peranan yang sangat
penting bagi kemajuan suatu bangsa.
Beberapa tahun terakhir ini, terutama setelah terjadi krisis perbankan,
perhatian pemerintah di berbagai negara termasuk Indonesia, terhadap
kebijakan pengaturan dan pengawasan perbankan semakin besar. Perhatian
tersebut antara lain karena semakin didasari arti penting dan peran strategis
sektor perbankan dalam suatu perekonomian.4
Pada dunia modern seperti saat ini, peran bank sangat besar dalam
mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara. Hampir semua sektor usaha
saat ini dan masa yang akan datang tidak akan lepas dari sektor perbankan
bahkan menjadi kebutuhan untuk menjalankan aktivitas keuangan dalam
mendukung kelancaran usaha.
Bank Indonesia selaku bank sentral mempunyai peran sangat penting
di bidang pengaturan dan pengawasan perbankan, terutama dalam
memelihara kestabilan nilai rupiah. Hal tersebut senada dengan tujuan Bank
4
Indonesia yang tercantum dalam Undang-Undang Bank Indonesia 2004
bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara
kestabilan nilai rupiah, kemudian untuk mencapai tujuan tersebut Bank
Indonesia melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten,
transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di
bidang perekonomian.
Bank Indonesia dalam menjaga nilai rupiah memiliki dua tugas penting
yang dibebankannya, yaitu tugas dalam menentukan kebijakan mikro seperti
pengawasan dan pengaturan bank-bank yang ada di Indonesia dan
menentukan kebijakan makro terkait dengan kebijakan moneter dan
penangan di saat krisis. Hal itu sesuai dengan apa yang tercantum pada
Undang-Undang Bank Indonesia 2004 bahwa untuk mencapai tujuan
sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang, Bank Indonesia
mempunyai tugas sebagai berikut :
1. menetapkan dan melaksanakan kebijaksanaan moneter;
2. mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran;
3. mengatur dan mengawasi Bank.
Tugas mengatur dan mengawasi bank itu penting, tidak saja untuk
mendukung kelancaran sistem pembayaran, tetapi juga untuk meningkatkan
efektivitas kebijakan moneter dalam mempengaruhi perkembangan ekonomi
dan inflansi. Hal ini mengingat lembaga perbankan berfungsi sebagai lembaga
kepercayaan masyarakat dalam mobilisasi dana dan penyaluran kredit
perbankan ataupun dalam peredaraan uang di dalam perekonomian, baik di
Pada saat Indonesia mengalami krisis keuangan yang terjadi pada
tahun 1997-1998, Bank Indonesia dianggap pihak yang paling bertanggung
jawab akibat krisis tersebut. Hingga saat ini Bank Indonesia masih dianggap
sangat rentan dengan intervensi dari berbagai pihak terutama pemerintah dan
pengusaha yang kemungkinan dapat menimbulkan suatu kegagalan terhadap
bank. Kegagalan suatu bank, khususnya yang bersifat sistematik akan dapat
mengakibatkan terjadinya krisis yang dapat mengganggu kegiatan suatu
perekonomian. Hal tersebut serupa dengan suatu lembaga perbankan yang
apabila tidak sehat dan tidak dapat berfungsi secara optimal, maka dapat
dipastikan akan berakibat pada terganggunya kegiatan perekonomian.5
Sebagian krisis perbankan yang terjadi di berbagai belahan dunia
merupakan contoh yang terjadi karena kurangnya independensi lembaga
pengatur dan pengawas perbankan dari berbagai tekanan dan intervensi
politik maupun pemerintah. Hal tersebut mendorong pendapat bahwa
pengaturan dan pengawasan bank sebaiknya memiliki independensi, baik dari
pemerintah berupa intervensi politik maupun dari dunia usaha.6
Faktor lain yang juga mendorong menguatnya argumen perlunya
independensi pengaturan dan pengawasan bank adalah adanya
kecenderungan dalam beberapa terakhir untuk mengeluarkan fungsi
pengawasan bank dari bank sentral dan membentuk lembaga tunggal yang
independen yang mengatur dan mengawasi seluruh lembaga keuangan (baik
bank maupun lembaga keuangan non bank lainnya).
Pendapat para ahli ekonomi yang dikemukakan pada umumnya adalah
bahwa pengaturan dan pengawasan bank akan lebih baik dilakukan secara
5
Adrian Sutedi, Op. Cit., Hlm. 36 6
independen oleh bank sentral, namun banyak pula yang berpendapat bahwa
bank merupakan bagian dari lembaga keuangan dengan alasan efisiensi,
maka pengaturan dan pengawasan bank sebaiknya digabungkan menjadi
satu dengan pengaturan dan pengawasan lembaga keuangan lainnya yang
dilakukan oleh satu lembaga independen.7
Hal tersebutlah yang mendorong harus dibentuknya lembaga
pengawas perbankan yang bebas dari campur tangan pihak manapun, maka
dibentuklah lembaga pengawas di sektor jasa keuangan. Dasar hukum untuk
pembentukan lembaga pengawas di sektor Jasa keuangan yang dimaksud
adalah Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Bank Indonesia 2004 yang
menjelaskan bahwa tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga
pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan
undang-undang.
Mengenai hal di atas sempat terjadi perdebatan terhadap munculnya
Pasal 34 tersebut, banyak para ahli yang menganggap bahwa pengalihan
fungsi pengawasan nantinya akan menghambat stabilitas nilai rupiah dan
tingkat efektivitas pengalihan tersebut sangat rendah serta pemborosan dana
dan berdampak tidak bermanfaat. Pasal 34 tersebut secara tidak langsung
akan membatasi instrumen penting yang dimiliki Bank Indonesia sebagai bank
sentral untuk dikemudian harinya.
Fenomenanya dapat dilihat dari contoh kasus yang terjadi di antara
lembaga jasa keuangan. Pada akhirnya dibentuk suatu lembaga yang
memiliki tugas pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan yang
sekarang ini disebut dengan Otoritas Jasa Keuangan. Otoritas Jasa
7
Keuangan (OJK) merupakan lembaga negara yang dibentuk pada tahun 2011
berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan (yang selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Otoritas Jasa
Keuangan).
Penegasan mengenai tugas Otoritas Jasa Keuangan terdapat pada
Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan, yang menyatakan bahwa Otoritas
Jasa Keuangan melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap :
1. kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;
2. kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan
3. kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun,
Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.
Aturan tersebut menjelaskan fungsi Otoritas Jasa Keuangan dalam
menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi
terhadap keseluruhan kegiatan di dalam jasa keuangan. Terbentuknya
Otoritas Jasa Keuangan tersebut maka secara otomatis akan menimbulkan
suatu akibat terhadap tugas pengaturan dan pengawasan perbankan yang
sebelumnya sudah terlebih dahulu dimiliki oleh Bank Indonesia. Hal tersebut
dapat menimbulkan permasalahan baru, contohnya mengenai akibat yang
timbul terhadap kewenangan pengawasan perbankan oleh Bank Indonesia
setelah dibentuknya Otoritas Jasa Keuangan tersebut.
Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan ini diharapkan dapat
melakukan pembagian tugas dengan Bank Indonesia. Bank Indonesia yang
juga bertugas mengatur dan mengawasi perbankan, dengan terbentuknya
Otoritas Jasa Keuangan maka akan menimbulkan akibat terhadap tugas Bank
Keuangan sebagai lembaga pengawas keuangan ini tak benar-benar baru, di
dalamnya terdapat penyatuan wewenang dan kekuasaan beberapa institusi
yang sudah ada.
Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan seharusnya dapat
mempertimbangkan beberapa alasan, salah satunya adalah terkait fungsi
Bank Indonesia. Bank Indonesia yang dulunya diberi tugas mengatur dan
mengawasi sektor perbankan pada kenyataannya dianggap belum mampu
menjalankan tugasnya dengan maksimal. Keberadaan Bank Indonesia
sampai saat ini masih dianggap sangat rentan dengan intervensi dari berbagai
pihak terutama pemerintah dan pengusaha. Kondisi ini menjadi dorongan
untuk membentuk lembaga pengawas yang lebih independen. Lembaga
pengawas perbankan harus bebas dari intervensi dan campur tangan pihak
manapun sehingga mampu bekerja secara profesional.
Hubungan antara dua lembaga negara yaitu Bank Indonesia dan
Otoritas Jasa Keuangan terkait kewenangan di bidang pengawasan sektor
jasa keuangan terutama perbankan masih perlu dikaji lagi karena hal tersebut
menyangkut kepentingan umum di bidang perekonomian yang dapat
berdampak pada kesejahteraan masyarakat bersama.
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas maka peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian yang akan dituangkan dalam bentuk
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, selanjutnya dapat
dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana akibat hukum terhadap Bank Indonesia atas peralihan
pengawasan perbankan dari Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa
Keuangan dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan ?
2. Bagaimana efektivitas peranan Otoritas Jasa Keuangan dalam hal
pengawasan perbankan dihubungkan dengan Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan ?
C. Maksud Dan Tujuan
Peneliti mempunyai maksud dan tujuan atau hal-hal yang ingin dicapai
melalui penelitian ini. Maksud dan tujuan itu berupa maksud dan tujuan secara
obyektif dan secara subyektif. Adapun maksud dan tujuan penelitian ini
adalah :
1. Untuk mengetahui dan memahami akibat hukum terhadap Bank
Indonesia atas peralihan pengawasan perbankan dari Bank
Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan dihubungkan dengan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa
Keuangan.
2. Untuk mengetahui dan memahami efektivitas peranan Otoritas Jasa
Keuangan dalam hal pengawasan perbankan berdasarkan
D. Kegunaan Penelitian
Penulisan hukum ini diharapkan dapat memperoleh kegunaan, baik
secara teoritis maupun praktis. Kegunaan yang diharapkan dari penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Segi Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian diharapkan dapat menambah ilmu
pengetahuan bagi peneliti dan dapat memberikan rumusan pemikiran
umumnya di bidang ilmu hukum, khususnya di bidang Hukum
Perbankan.
2. Segi Praktis
Bagi pembuat peraturan perundang-undangan dan praktisi hukum,
hasil penelitian diharapkan dapat menjadi masukan yang berguna
dalam membuat kebijakan baru dalam bidang hukum mengenai
tugas pengaturan dan pengawasan perbankan. Bagi penulis,
seluruh rangkaian kegiatan dan hasil penelitian diharapkan dapat
lebih memantapkan penguasaan fungsi dan penerapan keilmuan
yang dipelajari selama mengikuti program perkuliahan Ilmu Hukum
di Universitas Komputer Indonesia. Bagi perguruan tinggi, hasil
penelitian diharapkan dapat menjadi dokumen akademik yang
E. Kerangka Pemikiran
Pelaksanaan pembangunan nasional yang bertujuan memajukan
kesejahteraan umum sebagaimana tercantum dalam alinea keempat
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu :
“Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan
tentang lima sila dari Pancasila. Pancasila secara substansial merupakan
konsep luhur dan murni. Luhur karena telah mencerminkan nilai-nilai bangsa
yang diwariskan turun temurun dan abstrak. Murni karena kedalaman
substansial yang mencangkup beberapa pokok, baik agamis, ekonomis,
ketuhanan, sosial, dan budaya yang memiliki corak partikular sehingga
Pancasila secara konsep dapat disebut sebagai suatu sistem tentang segala
hal, karena secara konseptual seluruh hal yang tertuang dalam sila-sila
berkaitan erat dan tidak dapat dipisahkan.8
Tujuan negara Indonesia dirumuskan dengan Pemerintahan Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
8
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial sedangkan
prinsip dasar yang dipegang teguh untuk mencapai tujuan itu adalah dengan
menyusun kemerdekaan Indonesia itu dalam suatu susunan Negara Republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat dan berdasarkan Pancasila. Rumusan
dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sekaligus
menegaskan beberapa hal, yaitu :
1. Negara Indonesia mempunyai fungsi sekaligus menjadi tujuannya,
yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan pada kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial;
2. Negara Indonesia berbentuk Republik dan berkedaulatan rakyat;
3. Negara Indonesia mempunyai dasar falsafah Pancasila, yaitu
ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab,
persatuan Indonesia, kerakyatan yang di pimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Amanat dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 di atas merupakan konsekuensi hukum yang mengharuskan pemerintah
tidak hanya melaksanakan tugas pemerintahan saja, melainkan pelayanan
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa
“Negara Indonesia adalah negara hukum”, maka segala kegiatan yang
dilakukan di Negara Indonesia harus sesuai dengan aturan yang berlaku,
tidak terkecuali dalam hal pelaksanaan pembangunan dalam kegiatan
perekonomian yang menitikberatkan pada perekonomian nasioanal dan
kesejahteraan sosial dalam pembangunan. Hal tersebut dijabarkan melalui
Pasal 33 ayat (1) dan (4) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi :
“(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”
Berkaitan dengan konsep Welfare State di mana, tujuan negara adalah
untuk memberikan kesejahteraan bagi masyarakat seperti konsep yang
dikemukakan oleh Jeremy Bentham yaitu konsep The Greatest Happiness Of
The Greatest Number, kesejahteraan menjadi dasar utama bagi kaum
masyarakat untuk berbahagia. Salah satu cara yang digunakan untuk
mencapai kesejahteraan tersebut dengan dibentuknya Bank Indonesia dan
Otoritas Jasa Keuangan. Bank Indonesia sebagai bank sentral yang
berwenang mengatur dan mengawasi perbankan di Indonesia, diatur dalam
Undang-Undang Bank Indonesia 2004.9
Pada umumnya dalam hukum perbankan dikenal beberapa prinsip
perbankan, yaitu10 :
1. prinsip kepercayaan (fiduciary relation principle),
9
Ibid. 10
2. prinsip kehatihatian (prudential principle),
3. prinsip kerahasiaan (secrecy principle), dan
4. prinsip mengenal nasabah (know how costumer principle).
Pengertian perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut
tentang bank mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara, dan
proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.11 Berdasarkan hal tersebut maka pengertian perbankan menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan (yang selanjutnya disebut dengan Undang-Undang
Perbankan 1998) yaitu :
“Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank,
mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam
melaksanakan kegiatan usahanya”.
Berdasarkan pengertian perbankan di atas, maka pengertian bank
menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Perbankan 1998 yaitu :
“Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat
dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.
Menurut Heru Soepraptomo, sebagai agen dari pembangunan, bank
diharapkan dapat memberikan kontribusi pada usaha meningkatkan tabungan
nasional, menumbuhkan kegiatan-kegiatan usaha meningkatkan tabungan
11
nasional, menumbuhkan kegiatan usaha dan meningkatkan alokasi
sumber-sumber perekonomian.12
Dari beberapa pengertian bank di atas, maka pemerintah membentuk
suatu Bank Sentral yaitu Bank Indonesia, hal tersebut diatur dalam Pasal 4
Undang-Undang Bank Indonesia 2004 yang menyebutkan bahwa :
“(1) Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia.
(2) Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-undang ini.
(3) Bank Indonesia adalah badan hukum berdasarkan undang-undang
ini.”
Pengertian Bank Indonesia di atas selaras dengan ketentuan yang
terdapat dalam Pasal 1 angka 20 Undang-Undang Perbankan 1998 yaitu:
“Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang yang berlaku.”
Bank Indonesia dalam API (Arsitektur Perbankan Indonesia)
memperkenalkan adanya enam pilar untuk tercapainya sistem perbankan
yang sehat, kuat dan efisien guna mencipatakan kestabilan sistem keuangan
dalam rangka membantu pertumbuhan ekonomi nasional. Adapun pilar
tersebut sebagai berikut13 :
1. Menciptakan struktur perbankan domestik yang sehat yang
mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dan mendorong
pembangunan ekonomi nasional yang berkesinambungan.
12
Heru Soepraptomo, Analisis Ekonomi Terhadap Hukum Perbankan, makalah pada pertemuan Ilmiah tentang analisis ekonomi terhadap hukum dalam menyongsong era globalisasi, BPHN-Departemen Kehakiman, Jakarta, 1996, Hlm. 1
13
Adler Haymans Manurung, Aspek Filosofis Arsitektur Perbankan Indonesia,
2. Menciptakan sistem pengaturan dan pengawasan bank yang
efektif dan mengacu pada standar internasional.
3. Menciptakan industri perbankan yang kuat dan memiliki daya
saing yang tinggi serta memiliki ketahanan dalam menghadapi
risiko.
4. Menciptakan good corporate governance dalam rangka
memperkuat kondisi internal perbankan nasional.
5. Mewujudkan insfrastruktur yang lengkap untuk mendukung
terciptanya industri perbankan yang sehat.
6. Mewujudkan pemberdayaan dan perlindungan konsumen jasa
perbankan.
Bank Indonesia sebagai Bank Sentral memiliki kewenangan dalam
mengatur dan mengawasi bank. Ketentuan mengenai kewenangan tersebut
terdapat dalam Pasal 29 ayat (1), dan (2) serta penjelasan Pasal 29
Undang-Undang Perbankan 1998 yaitu :
Pasal 29
“(1) Pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia. (2) Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan
ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian.”
Penjelasan Pasal 29
“Ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
Yang dimaksud dengan pembinaan dalam ayat (1) ini adalah upaya-upaya yang dilakukan dengan cara menetapkan peraturan yang menyangkut aspek kelembagaan, kepemilikan, pengurusan, kegiatan usaha, pelaporan serta aspek lain yang berhubungan dengan kegiatan operasional bank.
dini melalui penelitian, analisis, dan evaluasi laporan bank, dan pengawasan langsung dalam bentuk pemeriksaan yang disusul dengan tindakan-tindakan perbaikan.
Sejalan dengan itu, Bank Indonesia diberi wewenang, tanggung jawab, dan kewajiban secara utuh untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap bank dengan menempuh upaya-upaya baik yang bersifat preventif maupun represif.
Di pihak lain, bank wajib memiliki dan menerapkan sistem pengawasan intern dalam rangka menjamin terlaksananya proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan bank yang sesuai dengan prinsip kehati-hatian.
Mengingat bank terutama bekerja dengan dana dari masyarakat yang disimpan pada bank atas dasar kepercayaan, setiap bank perlu terus menjaga kesehatannya dan memelihara kepercayaan masyarakat padanya.”
Kewenangan mengenai tugas Bank Indonesia dalam mengatur dan
mengawasi bank juga terdapat dalam ketentuan Pasal 8 Undang-Undang
Bank Indonesia 2004 yang menyebutkan bahwa :
“Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Bank Indonesia mempunyai tugas sebagai berikut:
a. menetapkan dan melaksanakan kebijaksanaan moneter; b. mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; c. mengatur dan mengawasi Bank.”
Kewenangan mengenai tugas Bank Indonesia di bidang pengawasan
perbankan tersebut selanjutnya diatur lebih lanjut dalam Pasal 34
Undang-Undang Bank Indonesia 2004 yang menyebutkan bahwa :
“(1)Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang.
(2) Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember
2010.”
Berdasarkan ketentuan tersebut maka Pemerintah membentuk
lembaga baru yang juga bertugas mengawasi bank, dimana tugas tersebut
dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan, yang menjelaskan bahwa :
“(1) Dengan Undang-Undang ini dibentuk OJK.
(2) OJK adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali
untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang ini.”
Ketentuan mengenai tugas Otoritas Jasa Keuangan mengenai
pengaturan dan pengawasan bank diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, yang menyebutkan
bahwa :
“OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap : a. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;
b. Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal;
c. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.”
Berdasarkan ketentuan yang dikemukakan di atas, maka Otoritas Jasa
Keuangan memiliki tugas pengaturan dan pengawasan dibidang perbankan
yang juga merupakan salah satu tugas yang dimiliki Bank Indonesia sebagai
F. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan peneliti dalam menyusun skri
psi ini
adalah sebagai berikut :
1. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah deskriptif analisis, yaitu metode penelitian yang digunakan
dengan cara menggambarkan data dan fakta baik berupa:
a. Data sekunder bahan hukum primer berupa peraturan
perundang-undangan antara lain :
1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945;
2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan;
3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia;
4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia
Menjadi Undang-Undang;
5) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan;
b. Data sekunder bahan hukum sekunder berupa doktrin atau
c. Data sekunder bahan hukum tersier berupa bahan-bahan yang
di dapat dari majalah, brosur, artikel-artikel, surat kabar dan
internet.
Berdasarkan data diatas maka peneliti bertujuan untuk
menggambarkan secara lengkap ciri-ciri keadaan, kewenangan
lembaga, tugas lembaga dengan memisahkan data yang telah
terkumpul untuk kemudian ditafsirkan, digambarkan sejauh mana
upaya lembaga jasa keuangan tertinggi dalam melaksanakan
kewenangan tugasnya untuk melakukan pengawasan terhadap
perbankan.
2. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan hukum ini
yaitu secara yuridis normatif, yaitu hukum dikonsepsikan sebagai
norma, asas atau dogma-dogma. Pada penulisan hukum ini, peneliti
mencoba melakukan penafsiran hukum gramatikal yaitu penafsiran
yang dilakukan dengan cara melihat arti kata pasal dalam
undang-undang.
Penafsiran yang dilakukan dengan hukum sosiologis yaitu
penafsiran yang dilakukan menghadapi kenyataan bahwa
kewenangan dalam melakukan pengawasan perbankan yang
tumpang tindih ternyata tidak sesuai lagi dengan tujuan untuk
mensejahterakan masyarakat yang seharusnya dijadikan contoh
3. Tahap Penelitian
a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)
Penelitian kepustakaan dilakukan untuk memperoleh bahan
hukum primer, sekunder dan tersier yang berhubungan dengan
pelaksanaan pengawasan perbankan.
b. Penelitian Lapangan (Field Research)
Penelitian lapangan dilakukan untuk menunjang dan
melengkapi studi kepustakaan dengan wawancara.
4. Teknik Pengumpulan Data
Tehnik Pengumpulan Data yang dilakukan peneliti adalah
sebagai berikut :
a. Studi Dokumen, yaitu teknik pengumpulan data yang
berupa data primer, sekunder dan tersier yang
berhubungan dengan permasalahan yang peneliti teliti.
b. Wawancara, yaitu mengadakan tanya jawab dengan pihak
Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan dengan cara
mempersiapkan pertanyaan terlebih dahulu untuk
memperlancar proses wawancara.
5. Metode Analisis Data
Hasil Penelitian dianalisis secara yuridis kualitatif untuk
mencapai kepastian hukum, dengan memperhatikan hirarki
peraturan perundang-undangan, sehingga ketentuan-ketentuan
yang satu tidak bertentangan dengan ketentuan lainnya serta
6. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian diambil untuk mendapatkan data yang
dibutuhkan dalam penyusunan skripsi ini, yaitu :
a. Perpustakaan
1) Perpustakaan Universitas Komputer Indonesia Jl. Dipati
Ukur No.112 Bandung
2) Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran
Jl. Dipati Ukur No.35 Bandung
3) Perpustakaan Bank Indonesia Jl. Braga 108 Bandung 40111
b. Instansi
1) Bank Indonesia Jl. Braga 108 Bandung 40111
2) Otoritas Jasa Keuangan Jl. Braga 108 Bandung 40111
c. Situs
1) www.bi.go.id
2) www.ojk.go.id
3) www.hukumonline.com
4) www.id.wikipedia.org
5) www.ekonomi.kompasiana.com
ANALISIS HUKUM TENTANG PERALIHAN
PENGAWASAN PERBANKAN DARI BANK INDONESIA
KEPADA OTORITAS JASA KEUANGAN DIHUBUNGKAN
DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011
TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN
A. Akibat Hukum Terhadap Bank Indonesia Atas Peralihan Pengawasan Perbankan Dari Bank Indonesia Kepada Otoritas Jasa Keuangan Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
Akibat hukum adalah akibat dari melakukan suatu tindakan untuk
memperoleh suatu akibat yang dikehendaki oleh pelaku dan atau telah
diatur/ditentukan oleh hukum. Tindakan yang dilakukan merupakan tindakan
hukum yakni tindakan yang dilakukan guna memperoleh sesuatu akibat yang
dikehendaki hukum, akibat hukum yang diperoleh tersebut dapat berupa hak
dan kewajiban.
Akibat hukum berupa hak dan kewajiban yang timbul terhadap subyek
hukum karena telah ditentukan oleh hukum dan/atau peraturan
perundang-undangan terjadi pada kasus peralihan pengawasan perbankan dari Bank
Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan. Pada dasarnya kewenangan
pengawasan perbankan diamanatkan kepada Bank Indonesia, kewenangan
yang dimiliki Bank Indonesia tersebut sebagai Bank Sentral adalah mengatur
Ketentuan mengenai kewenangan tersebut terdapat dalam Pasal 29
ayat (1), dan (2) Undang-Undang Perbankan 1998 yaitu :
“(1) Pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia. (2) Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan
ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian.”
Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 29 tersebut kemudian
ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 29 Undang-Undang Perbankan 1998
yaitu :
“Yang dimaksud dengan pembinaan dalam ayat (1) ini adalah upaya-upaya yang dilakukan dengan cara menetapkan peraturan yang menyangkut aspek kelembagaan, kepemilikan, pengurusan, kegiatan usaha, pelaporan serta aspek lain yang berhubungan dengan kegiatan operasional bank.
Yang dimaksud dengan pengawasan dalam ayat (1) ini meliputi pengawasan tidak langsung yang terutama dalam bentuk pengawasan dini melalui penelitian, analisis, dan evaluasi laporan bank, dan pengawasan langsung dalam bentuk pemeriksaan yang disusul dengan tindakan-tindakan perbaikan.
Sejalan dengan itu, Bank Indonesia diberi wewenang, tanggung jawab, dan kewajiban secara utuh untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap bank dengan menempuh upaya-upaya baik yang bersifat preventif maupun represif.
Di pihak lain, bank wajib memiliki dan menerapkan sistem pengawasan intern dalam rangka menjamin terlaksananya proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan bank yang sesuai dengan prinsip kehati-hatian.
Mengingat bank terutama bekerja dengan dana dari masyarakat yang disimpan pada bank atas dasar kepercayaan, setiap bank perlu terus menjaga kesehatannya dan memelihara kepercayaan masyarakat padanya.”
Kewenangan Bank Inonesia tersebut tidak terlepas dari ketentuan
Pasal 7 Undang-Undang Bank Indonesia 2004 yang mengatur bahwa tujuan
Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.
ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Bank Indonesia dalam
mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah tersebut dapat melakukan
aktifitas perbankan yang dianggap perlu, dan dapat dilaksanakan dengan
bentuk kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, transparan, serta
dapat juga mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah bidang
perekonomian.
Kewenangan mengenai tugas Bank Indonesia lainnya terdapat dalam
ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Bank Indonesia 2004 yang menyebutkan
bahwa :
“Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Bank Indonesia mempunyai tugas sebagai berikut:
a. menetapkan dan melaksanakan kebijaksanaan moneter; b. mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; c. mengatur dan mengawasi Bank.”
Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal ini
mempunyai keterkaitan dalam mencapai kestabilan nilai rupiah. Tugas
menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter dilakukan Bank Indonesia
antara lain melalui pengendalian jumlah uang beredar dan suku bunga.
Efektivitas pelaksanaan tugas ini memerlukan dukungan sistem pembayaran
yang efisien, cepat, aman, dan handal, yang merupakan sasaran dari
pelaksanaan tugas mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran.
Sistem pembayaran yang efisien, cepat, aman, dan handal tersebut
memerlukan sistem perbankan yang sehat, yang merupakan sasaran tugas
mengatur dan mengawasi Bank. Selanjutnya, sistem perbankan yang sehat
akan mendukung pengendalian moneter mengingat pelaksanaan kebijakan
Tugas mengatur dan mengawasi bank sesuai Pasal 8 huruf c
selanjutnya dipertegas dengan Pasal 24 Undang-Undang Bank Indonesia
2004 yang berbunyi :
“Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c, Bank Indonesia menetapkan peraturan memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari Bank, melaksanakan pengawasan Bank dan mengenakan sanksi terhadap Bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Berkaitan dengan bunyi pasal di atas terdapat pengaturan untuk
melaksanakan pengawasan bank. Tugas pengawasan tersebut merupakan
kewenangan yang paling mendasar yang diperlukan oleh otoritas
pengawas bank. Pengawasan bank dilaksanakan melalui pengawasan
tidak langsung (off site supervision) yaitu pengawasan yang dilakukan
melalui alat pantau seperti laporan berkala yang disampaikan bank,
laporan hasil pemeriksaan, dan informasi lainnya. Otoritas pengawas
dengan data yang diperoleh melalui alat pantau tersebut, kemudian
melakukan penilaian terhadap keadaan usaha dan kesehatan bank.
Pengawasan di atas tersebut selain melalui pengawasan tidak
langsung, otoritas pengawas dari Bank Indonesia selaku bank sentral juga
melakukan pengawasan secara langsung (on site examination) yang dapat
berupa pemeriksaan umum dan pemeriksaan khusus. Pengawasan
langsung ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang ketaatan
terhadap peraturan yang berlaku serta untuk mengetahui apakah terdapat
praktik-praktik yang tidak sehat yang membahayakan kelangsungan usaha
bank.
Pengawasan Bank oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
kemudian di perjelas dalam Penjelasan Pasal 27 Undang-Undang Bank
Indonesia 2004 yaitu :
“Yang dimaksud dengan pengawasan langsung adalah dalam
bentuk pemeriksaan yang disusul dengan tindakan-tindakan perbaikan.
Yang dimaksud dengan pengawasan tidak langsung terutama dalam bentuk pengawasan dini melalui penelitian, analisis dan
evaluasi laporan Bank.”
Bank Indonesia mewajibkan Bank untuk menyampaikan laporan,
keterangan dan penjelasan sesuai dengan tata cara yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia untuk melakukan pengawasan dan pemeriksaan bank. Hal
ini selaras dengan ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Bank Indonesia
2004 yang menyatakan sebagai berikut :
“(1) Bank Indonesia melakukan pemeriksaan terhadap Bank, baik secara berkala maupun setiap waktu apabila diperlukan.
(2) Apabila diperlukan, pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan terhadap perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait, pihak terafiliasi dan debitur Bank.
(3) Bank dan pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib memberikan kepada pemeriksa :
a. keterangan dan data yang diminta;
b. kesempatan untuk melihat semua pembukuan, dokumen dan sarana fisik yang berkaitan dengan kegiatan usahanya, hal-hal lain yang diperlukan.”
Pengawasan bank tersebut selain dilakukan oleh Bank Indonesia
akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang
independen, ini telah ditentukan dalam Pasal 34 Undang-Undang Bank
Indonesia 2004 yaitu :
(2) Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31
Desember 2010.”
Pasal 34 ayat (1) di atas kemudian diperjelas dalam Penjelasan
Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Bank Indonesia 2004, yang berbunyi
sebagai berikut :
“Lembaga pengawasan jasa keuangan yang akan dibentuk
melakukan pengawasan terhadap Bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat.
Lembaga ini bersifat independen dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar pemerintah dan berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Dalam melakukan tugasnya lembaga ini (supervisory board) melakukan koordinasi dan kerjasama dengan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang akan diatur dalam Undang-undang pembentukan lembaga pengawasan dimaksud.
Lembaga pengawasan ini dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan Bank dengan koordinasi dengan Bank Indonesia dan meminta penjelasan dari Bank Indonesia keterangan dan data makro yang diperlukan.
Berkaitan dengan ketentuan di atas mengenai pengawasan bank,
terlihat bahwa ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Bank Indonesia 2004
tersebut dapat menimbulkan suatu akibat hukum. Tugas pengawasan bank
yang mulanya dilaksanakan oleh Bank Indonesia selanjutnya akan beralih dan
dilaksanakan oleh lembaga pengawas independen baru, apabila lembaga
tersebut telah terbentuk berdasarkan undang-undang.
Menurut Pasal 34 Undang-Undang Bank Indonesia 2004,
pembentukan lembaga pengawas bank sebagaimana dimaksud di atas
akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010. Pada
Otoritas Jasa Keuangan terbentuk berdasarkan Undang-Undang Otoritas
Jasa Keuangan yang diundangkan tanggal 22 November 2011.
Pasal 2 Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan menyatakan
bahwa :
“(1) Dengan Undang-Undang ini dibentuk OJK.
(2) OJK adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam
Undang-Undang ini.”
Otoritas Jasa Keuangan merupakan lembaga yang independen,
dan bebas dari campur tangan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan di atas, yang kemudian dibentuk dengan tujuan tertentu. Pasal 4
Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan menyebutkan bahwa :
“OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:
a. Terselenggara secara teratur, adil, transparan, akuntabel; b. Mampu mewujudkan sistem keuanganyang tumbuh secara
berkelanjutan dan stabil;
c. Mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.”
Mengenai fungsi Otoritas Jasa Keuangan itu sendiri telah dijabarkan
dalam Pasal 5 Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan yang menyatakan
bahwa :
“OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan
pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di
dalam sektor jasa keuangan.”
Pengaturan dan pengawasan terintegrasi yang dimaksud di atas
selanjutnya diatur lebih rinci dalam Pasal 6 Undang-Undang Otoritas Jasa
Keuangan, yaitu :
“OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:
b. Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan
c. Kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.”
Berdasarkan bunyi pasal di atas Otoritas Jasa Keuangan jelas
memiliki tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa
keuangan khususnya di sektor perbankan. Tugas pengaturan dan
pengawasan di sektor perbankan tersebut, secara keseluruhan diatur lebih
lanjut dalam Pasal 7 Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan yang
berbunyi :
“Untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, OJK mempunyai wewenang :
a. Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi :
1. Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank; dan
2. Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa;
b. Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi :
1. Likudasi, rentabilitas, solvabilitas, kualitas asset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank;
2. Laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank;
3. Sistem informasi debitur:
4. Pengujian kredit (credit testing); dan 5. Standar akuntansi bank;
c. Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank meliputi :
1. Manajemen risiko; 2. Tata kelola bank;
3. Prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan 4. Pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan;
dan
Ketentuan selanjutnya mengenai tugas pengawasan sektor Jasa
Keuangan yang terdapat dalam ketentuan pasal 6 secara keseluruhan
diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan, yang
menyatakan :
“Untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang :
a. Menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan;
b. Mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif;
c. Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
d. Memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak tertentu;
e. Melakukan penunjukan pengelola statuter; f. Menetapkan penggunaan pengelola statuter;
g. Menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan
h. Memberikan dan/atau mencabut : 1. Izin usaha;
2. Izin orang perseorangan;
3. Efektifnya pernyataan pendaftaran; 4. Surat tanda terdaftar;
5. Persetujuan melakukan kegiatan usaha; 6. Pengesahan;
7. Persetujuan atau penetapan pembubaran; dan 8. Penetapan lain,
Sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.”
Secara substansial bisa dikatakan bahwa kewenangan Otoritas Jasa
Keuangan merupakan amanat konstitusi yang bertujuan agar sektor jasa
keuangan berjalan dengan tertib, teratur, adil, transparan, serta akuntabel.
yang stabil dan berkelanjutan. Berdasarkan ketentuan didalam Pasal 34
Undang-Undang Bank Indonesia 2004 beserta penjelasannya dapat dikatakan
bahwa Otoritas Jasa Keuangan akan menjalankan tugas pengawasan
terhadap bank setelah dibentuk dengan undang-undang.
Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa Otoritas Jasa
Keuangan telah terbentuk berdasarkan Undang-Undang Otoritas Jasa
Keuangan yang diundangkan tanggal 22 November 2011, dan juga telah
dijelaskan mengenai tugas pengawasan terhadap sektor perbankan.
Berkaitan dengan hal itu maka tugas pengawasan bank dari Bank Indonesia
akan beralih kepada Otoritas Jasa Keuangan, namun peralihan tugas
pengawasan bank tersebut harus melewati beberapa proses masa transisi.
Tahap pertama masa transisi ini adalah pembentukan struktur Dewan
Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, setelah itu dilanjutkan dengan proses
peralihan tugas pengawasan bank dari Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa
Keuangan dan kemudian yang terakhir adalah acara serah terima
pengawasan perbankan dari bank sentral (Bank Indonesia) kepada Otoritas
Jasa Keuangan. Pada pertengahan tahun 2012, anggota sekaligus Ketua
Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan terpilih dan kemudian disahkan
oleh Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat, selanjutnya Otoritas Jasa
Keuangan mulai melakukan peralihan pengawasan untuk menjadi lembaga
pengawas bank independen yang baru.
Peralihan pengawasan tersebut dilakukan berdasarkan dengan
Naskah Keputusan Bersama antara Otoritas Jasa Keuangan dan Bank
Indonesia yang ditandatangani tanggal 18 Oktober 2013 perihal “Kerjasama
Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan”. Keputusan bersama ini merupakan
landasan untuk lebih memperlancar dan mengoptimalkan koordinasi
pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang Bank Indonesia dan Otoritas Jasa
Keuangan baik pada masa transisi maupun dalam pelaksanaan tugas di masa
depan (setelah masa transisi).
Selanjutnya untuk melaksanakan amanat Undang-Undang Bank
Indonesia 2004 dan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan, maka pada
hari Selasa 31 Desember 2013 Bank Indonesia yang diwakili oleh Gubernur
Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan yang diwakili oleh Ketua
Otoritas Jasa Keuangan melaksanakan upacara penandatanganan Berita
Acara Serah Terima (BAST) fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan
pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan dari Bank Indonesia
ke Otoritas Jasa Keuangan. Dalam upacara serah terima ini, Bank Indonesia
juga menyerahkan Buku Laporan Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia di
Bidang pengaturan, perizinan dan pengawasan bank sebagai gambaran
pelaksanaan fungsi dan tugas pengawasan bank oleh Bank Indonesia selama
ini.
Acara serah terima yang diselenggarakan pada 31 Desember 2013
merupakan momentum penting dan bersejarah, karena sejak acara serah
terima tersebut selesai, Otoritas Jasa Keuangan telah resmi beroperasi penuh
dalam menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan terhadap
keseluruhan kegiatan di dalam sektor perbankan. Acara serah terima tersebut
merupakan langkah awal dan resmi bagi Otoritas Jasa Keuangan untuk
mengemban tugas sebagai lembaga pengawas perbankan, dalam hal ini
bahwa pengawasan perbankan akan dialihkan kepada lembaga pengawas
independen yang dibentuk dengan undang-undang (yaitu Otoritas Jasa
Keuangan).
Berdasarakan amanat Pasal 34 Undang-Undang Bank Indonesia 2004
dan upacara penandatanganan Berita Acara Serah Terima (BAST) fungsi,
tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di
sektor perbankan dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan yang
diselenggarakan pada 31 Desember 2013, maka akibat hukum terhadap Bank
Indonesia atas peralihan pengawasan perbankan dari Bank Indonesia
kepada Otoritas Jasa Keuangan dihubungkan dengan Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan adalah gugurnya hak
dan kewajiban Bank Indonesia sebagai pengemban tugas pengawasan bank
karena suatu keadaan hukum yang telah diatur/ditentukan oleh hukum.
B. Efektivitas Peranan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Hal Pengawasan Perbankan Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
Anthony Allot mengemukakan tentang efektivitas hukum, bahwa
hukum akan menjadi efektif jika tujuan keberadaan dan penerapannya dapat
mencegah perbuatan-perbuatan yang tidak diinginkan (menghilangkan
kekacauan). Hukum yang efektif secara umum dapat membuat apa yang
dirancang untuk diwujudkan. Jika suatu kegagalan maka kemungkinan terjadi
pembetulan secara mudah, jika terjadi keharusan untuk melaksanakan atau
menerapkan hukum dalam suasana baru yang berbeda, hukum akan sanggup
menyelesaikannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan itu
dikatakan berhasil atau efektif apabila norma itu ditaati dan dilaksanakan oleh
masyarakat, subyek hukum, maupun aparatur penegak hukum itu sendiri.
Maksud kata ditaati dan dilaksanakan adalah bahwa norma hukum
(perundang-undangan) dalam mencapai keefektifannya tidak terlepas dari
suatu peranan oleh masyarakat, subyek hukum, maupun penegak hukum
yang telah diatur dalam norma hukum tersebut.
Berkaitan dengan peranan oleh subyek hukum, maupun penegak
hukum disini adalah peranan Otoritas Jasa Keuangan (sebagai subyek
hukum) dalam hal pengawasan perbankan. Peranan Otoritas Jasa
Keuangan dalam hal pengawasan perbankan harus sesuai dengan tujuan
dibentuknya lembaga tersebut, sebagaimana telah diamanatkan Pasal 4
Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan, yaitu :
“OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan :
a. terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel; b. mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara
berkelanjutan dan stabil; dan
c. mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.”
Pada kenyataannya berdasarkan data yang diperoleh peneliti,
pelaksanaan yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan masih belum sesuai
dengan tujuan dari amanat dalam Pasal 4 Undang-Undang Otoritas Jasa
Keuangan. Masih banyaknya kasus yang terjadi sejak dialihkannya
pengawasan perbankan kepada Otoritas Jasa Keuangan, khususnya
berkaitan dengan perbankan mengenai pelayanan dan perlindungan
konsumen/nasabah secara tidak langsung mengartikan bahwa tujuan
peranan Otoritas Jasa Keuangan telah dilaksanakan yakni sebagai
lembaga pengawasan perbankan.
Peranan Otoritas Jasa Keuangan dalam hal pengawasan
perbankan harus sesuai dengan Pasal 7 Undang-Undang Otoritas Jasa
Keuangan, yaitu :
“Untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, OJK mempunyai wewenang :
a. Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi :
1. Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber day