ASPEK HUKUM PENCATATAN KELAHIRAN ANAK
DAN KAITANNYA DENGAN HUBUNGAN ANAK DAN
ORANG TUANYA
(Studi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010)
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Hukum
Oleh :
M
M
u
u
h
h
a
a
m
m
m
m
a
a
d
d
F
F
a
a
u
u
z
z
i
i
S
S
y
y
a
a
r
r
e
e
y
y
z
z
a
a
NIM. 080200262FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
ASPEK HUKUM PENCATATAN KELAHIRAN ANAK
DAN KAITANNYA DENGAN HUBUNGAN ANAK DAN
ORANG TUANYA
(Studi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010)
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Hukum
Oleh :
M
M
u
u
h
h
a
a
m
m
m
m
a
a
d
d
F
F
a
a
u
u
z
z
i
i
S
S
y
y
a
a
r
r
e
e
y
y
z
z
a
a
NIM. 080200262Disetujui oleh:
Ketua Departemen Hukum Keperdataan
Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum
NIP. 196603031985081001
Pembimbing I
Edy Ikhsan, SH, MA NIP. 196302161988031002
Pembimbing II
Rosnidar Sembiring, SH, M.Hum NIP. 196602021991032002
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas limpahkan rahmad, nikmat dan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai
tugas akhir untuk menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar Sarjana Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dan tidak lupa shalawat
beriring salam saya sampaikan kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah
menuntun umatnya kejalan yang di ridhoi Allah SWT.
Adapun skripsi ini berjudul : “Aspek Hukum Pencatatan Kelahiran
Anak Dan Kaitannya Dengan Hubungan Anak Dan Orang Tuanya ( Studi
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010)”.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih mempunyai banyak kekurangan
di dalam penulisannya, oleh karena itu penulis berharap adanya masukan dan saran
yang bersifat membangun untuk di masa yang akan datang.
Di dalam menyelesaikan skripsi ini, telah banyak mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
terima-kasih yang sebesar-besarnya kepada :
- Bapak Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. M.Hum
selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak
Syafruddin, SH. MH. DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, Bapak Muhammad Husni, SH.M.Hum selaku
- Bapak Dr. H. Hasim Purba, SH. M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum
Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera.
- Ibu Rabiatul Syahriah, SH. M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum
Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
- Bapak Edy Ikhsan, SH. MA selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak
memberikan bimbingan dan arahan-arahan di dalam penulisan skripsi ini.
- Ibu Rosnidar Sembiring, SH. M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah
banyak memberikan bimbingan dan arahan-arahan di dalam penulisan skripsi
ini.
- Bapak dan Ibu Dosen Departemen Hukum Keperdataan serta semua unsur staf
administrasi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
- Rekan-rekan se-almamater di Fakultas Hukum khususnya dan Umumnya
Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini juga penulis mengucapkan rasa terima-kasih yang
tiada terhingga kepada Ayahanda dan Ibunda atas segala perhatian, dukungan, doa
dan kasih sayangnya hingga penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
Demikianlah yang dapat saya sampaikan, atas segala kesalahan dan
kekurangan saya mohon maaf. Atas perhatiannya saya ucapkan terima Kasih.
Medan, Agustus 2012
Penulis
DAFTAR ISI
halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
ABSTRAKSI ... v
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan ... 6
C. Tujuan Penulisan ... 6
D. Manfaat Penulisan ... 7
E. Metodologi Penulisan ... 7
F. Keaslian Penulisan ... 9
G. Sistematika Penulisan. ... 9
BAB II. PENCATATAN KELAHIRAN MENURUT UNDANG UNDANG NO. 1 TAHUN 1974……… 12
A. Pengertian Pencatatan Kelahiran Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974………. 12
B. Tujuan Pencatatan Kelahiran Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974……….... 16
C. Kendala Dalam Pelaksanaan Pencatatan Kelahiran Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974………... 18
BAB III. PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR: 46/PUU 8/2010
TANGGAL 27 PEBRUARI 2012……….... 25
A. Pengertian dan Latar Belakang Lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-8/2010 Tanggal 27 Pebruari 2010 ... 25
B. Tujuan Dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-8/2010 Tanggal 27 Pebruari 2012 ... 31
C. Substansi/Isi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-8/2010 Tanggal 27 Pebruari 2012 ... 35
BAB IV. PENCATATAN KELAHIRAN ANAK DALAM KAITANNYA DENGAN STATUS HUKUM ANAK TERHADAP ORANG TUANYA. ... 38
A. Keberadaan Pencatatan Kelahiran Anak Dalam Kaitannya Dengan Status Hukum Anak ... 38
B. Akibat Hukum Lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-8/2010 Tanggal 27 Pebruari 2012 Terhadap Status Hukum Anak ... 59
C. Permasalahan Penerapan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-8/2010 Tanggal 27 Pebruari 2012 Dalam Kaitannya Status Hukum Anak. ... 72
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 78
A. Kesimpulan ... 78
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
ASPEK HUKUM PENCATATAN KELAHIRAN ANAK DAN KAITANNYA DENGAN HUBUNGAN ANAK DAN ORANG TUANYA
(Studi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010)
Kehadiran seorang anak di luar perkawinan akan menjadikan suatu permasalahan yang cukup memprihatinkan baik bagi seorang wanita yang melahirkan maupun bagi lingkungan masyarakat setempat. Dengan adanya anak lahir di luar perkawinan itu akan menimbulkan banyak pertentangan-pertentangan di antara keluarga maupun di dalam masyarakat mengenai hak dan kewajiban anak tersebut. Kondisi dari pertentangan tentang kedudukan anak luar kawin ini kemudian semakin mengemuka tatkala Mahkamah Konstitusi pada hari Jumat tanggal 17 Februari 2012 mengabulkan sebagian permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah keberadaan pencatatan kelahiran anak dan kaitannya dengan status hukum anak, bagaimanakah akibat hukum lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-8/2010 tanggal 27 Pebruari 2012 terhadap status hukum anak, dan bagaimana permasalahan penerapan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-8/2010 dalam kaitannya status hukum anak.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis mempergunakan metode penelitian normative, dengan mengoptimalkan bahan-bahan hukum primer dan sekunder dalam menjawab permasalahan penelitian ini.
Setelah dilakukan pengumpulan dan analisis data maka diketahui akibat hukum lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-8/2010 tanggal 27 Pebruari 2012 terhadap status hukum anak adalah anak tersebut memiliki hubungan tidak saja dengan ibunya tetapi juga dengan ayahnya. Anak yang dimaksudkan disini adalah anak luar kawin dimana perkawinan antara ayah dan ibunya tidak dicatatkan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 bukan anak luar kawin dari hasil anak zina. Keberadaan pencatatan kelahiran anak dalam kaitannya dengan status hukum anak akan memberikan pembuktian hubungan keperdataan antara anak dengan orang tuanya. Permasalahan penerapan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-8/2010 dalam kaitannya status hukum anak adalah berubahnya pola pemberian pengesahan terhadap anak dari akta kelahiran, dimana selama ini dalam akta hanya diterangkan nama ibunya saja, tetapi dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-8/2010 maka nama sang ayah juga turut disertakan.
ABSTRAK
ASPEK HUKUM PENCATATAN KELAHIRAN ANAK DAN KAITANNYA DENGAN HUBUNGAN ANAK DAN ORANG TUANYA
(Studi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010)
Kehadiran seorang anak di luar perkawinan akan menjadikan suatu permasalahan yang cukup memprihatinkan baik bagi seorang wanita yang melahirkan maupun bagi lingkungan masyarakat setempat. Dengan adanya anak lahir di luar perkawinan itu akan menimbulkan banyak pertentangan-pertentangan di antara keluarga maupun di dalam masyarakat mengenai hak dan kewajiban anak tersebut. Kondisi dari pertentangan tentang kedudukan anak luar kawin ini kemudian semakin mengemuka tatkala Mahkamah Konstitusi pada hari Jumat tanggal 17 Februari 2012 mengabulkan sebagian permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah keberadaan pencatatan kelahiran anak dan kaitannya dengan status hukum anak, bagaimanakah akibat hukum lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-8/2010 tanggal 27 Pebruari 2012 terhadap status hukum anak, dan bagaimana permasalahan penerapan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-8/2010 dalam kaitannya status hukum anak.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis mempergunakan metode penelitian normative, dengan mengoptimalkan bahan-bahan hukum primer dan sekunder dalam menjawab permasalahan penelitian ini.
Setelah dilakukan pengumpulan dan analisis data maka diketahui akibat hukum lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-8/2010 tanggal 27 Pebruari 2012 terhadap status hukum anak adalah anak tersebut memiliki hubungan tidak saja dengan ibunya tetapi juga dengan ayahnya. Anak yang dimaksudkan disini adalah anak luar kawin dimana perkawinan antara ayah dan ibunya tidak dicatatkan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 bukan anak luar kawin dari hasil anak zina. Keberadaan pencatatan kelahiran anak dalam kaitannya dengan status hukum anak akan memberikan pembuktian hubungan keperdataan antara anak dengan orang tuanya. Permasalahan penerapan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-8/2010 dalam kaitannya status hukum anak adalah berubahnya pola pemberian pengesahan terhadap anak dari akta kelahiran, dimana selama ini dalam akta hanya diterangkan nama ibunya saja, tetapi dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-8/2010 maka nama sang ayah juga turut disertakan.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak adalah dambaan suatu keluarga dalam suatu perkawinan yang sah,
baik itu sebagai generasi penerus ayah dan ibunya. Anak adalah harta dunia yang
sekaligus juga merupakan rahmat dan cobaan dari Allah SWT. Pada anak banyak
dibebankan harapan khususnya sebagai orang yang kelak memelihara orang tuanya
di kemudian hari.
Anak sebagai fitrah Tuhan Yang Maha Esa perlu mendapatkan perawatan
sebaik-baiknya dan merupakan tunas-tunas bangsa yang akan meneruskan cita-cita
bangsa yaitu mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur. Setiap anak
dapat atau mampu memikul tanggungjawabnya di masa depan, maka perlu
mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang
secara normal baik jasmani, rohani maupun sosial.
Namun demikian terdapat pula keadaan dimana kelahiran seorang anak
dalam suatu keluarga tidak selamanya merupakan suatu kebahagiaan. Hal ini
biasanya terjadi apabila seorang wanita yang tidak bersuami melahirkan anak.
Anak yang lahir dari seorang wanita yang tidak mempunyai suami atau laki-laki
yang bukan suaminya dinamakan anak luar kawin.
Hukum adat mengenal bermacam-macam anak, yaitu anak sah, anak
kandung, anak angkat, anak tiri dan anak yang lahir di luar perkawinan. Oleh
karena pengertian yang berbeda-beda itu, maka sebaiknya diuraikan sesuai dengan
a. Anak sah
Ialah anak yang dilahirkan dari pernikahan yang sah menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.
b. Anak kandung
Ialah anak yang dilahirkan dari kandungan ibu dan ayah biologisnya. c. Anak angkat
Ialah seorang anak yang bukan keturunan dari suami istri, namun ia diambil, dipelihara dan diperlakukan seperti halnya anak keturunannya sendiri, sehingga antara anak yang diangkat dan orang yang mengangkat anak timbul suatu hubungan kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua dan anak kandung sendiri.
d. Anak Tiri
Ialah anak kandung istri janda atau dari suami duda yang mengikuti tali perkawinan.
e. Anak yang lahir di luar perkawinan
Ialah anak yang lahir dari seorang wanita yang tidak mempunyai suami atau anak yang mempunyai bapak dan ibu yang tidak terikat dalam suatu ikatan perkawinan yang sah.1
KUHPerdata membedakan antara anak sah dan anak tidak sah atau anak
luar kawin. Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah, sedangkan anak yang tidak sah atau anak luar kawin adalah
anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah antara kedua orang tuanya. Hal
ini dinyatakan dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, bahwa anak
yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang
sah. Namun demikian, dalam Pasal ini tidak disebutkan adanya suatu tenggang
waktu untuk menentukan sah atau tidaknya seorang anak. Adapun seorang anak
yang dilahirkan dari suatu perkawinan yang sah mempunyai kedudukan yang jelas
terhadap hak-haknya termasuk hak mewarisnya.2
1
Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris Adat Di Kecamatan
Boyolali Kabupaten Boyolali”, Skripsi, Program Studi Magister Kenotariatan Universitas
Diponegoro, Semarang, 2006, hal 28-29.
2
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut; Perundangan, Hukum
Di dalam KUHPerdata dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 berlaku
prinsip bahwa keturunan yang sah didasarkan atas suatu perkawinan yang sah.
Dalam Pasal 250 KUHPerdata dinyatakan bahwa anak yang dilahirkan atau
dibesarkan selama perkawinan, memperoleh si suami sebagai ayahnya. Dengan
demikian, anak yang lahir atau dibesarkan selama perkawinan walaupun dari benih
orang lain adalah anak dari suami ibunya yang terikat dalam perkawinan.3
Kehadiran seorang anak di luar perkawinan akan menjadikan suatu
permasalahan yang cukup memprihatinkan baik bagi seorang wanita yang
melahirkan maupun bagi lingkungan masyarakat setempat. Dengan adanya anak
lahir di luar perkawinan itu akan menimbulkan banyak pertentangan-pertentangan
di antara keluarga maupun di dalam masyarakat mengenai kedudukan hak dan
kewajiban anak tersebut.
Kondisi dari pertentangan tentang kedudukan anak luar kawin ini kemudian
semakin mengemuka tatkala Mahkamah Konstitusi pada hari Jumat tanggal 17
Februari 2012 mengabulkan sebagian permohonan pengujian Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi tentang kedudukan anak luar
kawin ini menjadi suatu hal yang menarik untuk dikaji dalam bentuk skripsi
khususnya dalam kaitannya pencatatan kelahiran anak dalam kaitannya dengan
hubungan anak dengan orang tuanya.
3
Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara baru dalam struktur
kelembagaan negara Republik Indonesia yang dibentuk berdasakan amanat Pasal
24 C jo Pasal III Aturan Peralihan Perubahan UUD 1945. 4
Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu
perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul pada abad
ke-20. Ditinjau dari aspek waktu, negara kita tercatat sebagai negara ke-78 yang
membentuk MK sekaligus merupakan negara pertama di dunia pada abad ke-21
yang membentuk lembaga ini.5
Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 menetapkan bahwa
Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) merupakan salah satu lembaga
negara yang mempunyai kedudukan setara dengan lembaga-lembaga negara
lainnya, seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, Mahkamah
Agung (MA), dan yang terakhir terbentuk yaitu Komisi Yudisial (KY). Mahkamah
Konstitusi (MK) merupakan salah satu lembaga yudikatif selain Mahkamah Agung
yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.6
Mahkamah Konstitusi selanjutnya akan disebut dengan (MK) mengabulkan
sebahagian permohonan pengujian. MK menyatakan Pasal 43 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur hubungan
4
Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, Mahkamah Konstitusi, Rineka Cipta, Jakarta, 2006, hal. 18.
Diakses tanggal 8 Nopember
2012.
6
keperdataan anak di luar perkawinan bertentangan dengan UUD 1945.
Permohonan pengujian Pasal dimaksud diajukan oleh Machica Mochtar, artis yang
menikah secara siri dengan Mantan Menteri Sekretaris Negara di Era Orde Baru
Moerdiono. Machica memohonkan agar Pasal 2 ayat (2) yang mengatur masalah
pencatatan perkawinan dan Pasal 43 ayat (1) yang mengatur status keperdataan
anak luar kawin dinyatakan bertentangan dengan konstitusi dan harus dinyatakan
tidak mempunyai kekuatan hukum dengan segala akibatnya. 7
Putusan ini tentunya menimbulkan pro dan kontra di masyarakat, bagi
pihak yang mendukung menilai putusan ini merupakan terobosan hukum yang
progresif dalam melindungi anak, sedangkan bagi pihak yang kontra
mengkhawatirkan putusan ini merupakan afirmasi dan legalisasi terhadap
pernikahan siri maupun perbuatan zina, kumpul kebo.8
Apabila dilihat dari pertimbangan hukumnya, maka kekhawatiran pihak
yang kontra terhadap putusan ini sebenarnya tidak beralasan. Justru putusan ini
memberikan pesan moral kepada laki-laki untuk tidak sembarangan melakukan
hubungan seks di luar pernikahan, karena ada implikasi yang akan
dipertanggungjawabkan akibat perbuatannya tersebut. MK bermaksud agar anak
yang dilahirkan di luar pernikahan mendapatkan perlindungan hukum yang
memadai, karena pada prinsipnya anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya
di luar kehendaknya. Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah
7
Kementerian Hukum dan HAM, Kantor Wilayah Sumatera Utara, “Kedudukan Anak
Luar Nikah Pasca Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010”,
Diakses tanggal 4 Juni 2012.
8
seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah-tengah
masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil
terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya,
termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya
masih dipersengketakan.9
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, perumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:
a. Bagaimanakah keberadaan pencatatan kelahiran anak dalam kaitannya dengan
status hukum anak?
b. Bagaimanakah akibat hukum lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor:
46/PUU-8/2010 tanggal 27 Pebruari 2012 terhadap status hukum anak?
c. Apakah permasalahan penerapan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-8/2010 dalam kaitannya status hukum anak?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui keberadaan pencatatan kelahiran anak dalam kaitannya
dengan status hukum anak.
2. Untuk mengetahui akibat hukum lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor: 46/PUU-8/2010 tanggal 27 Pebruari 2012 terhadap status hukum anak.
9
3. Untuk mengetahui permasalahan penerapan putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 46/PUU-8/2010 dalam kaitannya status hukum anak.
D. Manfaat Penulisan
Berangkat dari permasalahan-permasalahan di atas penelitian ini
diharapkan dapat memberikan faedah sebagai berikut :
a. Dari segi teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
pemikiran mengenai perkembangan hukum keperdataan dalam kaitannya
dengan kedudukan anak luar kawin dari aspek keperdataan.
b. Secara praktis, penelitian ini diharapkan akan memberikan sumbangan kepada
berbagai pihak tentang upaya perlindungan hukum terhadap anak luar kawin.
E. Metodologi Penulisan
Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri atas:
1. Sifat/materi penelitian
Sifat penelitian ini adalah normatif atau penelitian hukum doktriner, yaitu
penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka (data sekunder) atau
penelitian hukum perpustakaan.10
2. Sumber data
Sumber data penelitian ini berasal dari data sekunder. Data sekunder yakni
didapatkan dengan melakukan pengumpulan referensi yang berkaitan dengan objek
10
atau materi penelitian yang meliputi:
a. Bahan hukum primer, dalam penelitian ini dipakai adalah Undang-Undang No.
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010.
b. Bahan hukum sekunder, berupa bacaan yang relevan dengan materi yang
diteliti.
c. Bahan hukum tertier, yaitu dengan menggunakan kamus hukum dan kamus
Bahasa Indonesia, dan internet.
3. Alat pengumpul data
Alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini
adalah melalui studi dokumen dan penelusuran kepustakaan.
4. Analisis data
Untuk mengolah dan menganalisis data yang didapatkan dari
penelusuran kepustakaan, peneliti pada kesempatan pertama membaca dan
meringkas putusan MK yang menjadi fokus dari studi ini. Setelah itu peneliti
melakukan inventarisasi peraturaan terkait, khususnya dalam KUHPerdata UU No.
1 Tahun 1974, UU No. 32 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Setelah itu
peneliti melakukan komparasi/perbandingan antara putusan MK dimaksud dengan
perundang-undangan terkait.Terakhir, peneliti mengumpulkan hasil temuan yang
F. Keaslian Penulisan
Adapun penulisan skripsi yang berjudul mengenai Aspek Hukum
Pencatatan Kelahiran Anak Dan Kaitannya Dengan Hubungan Anak Dan Orang
Tuanya ( Studi Putusan Mahkamah Konsitusi No. 46/PUU-VIII/2010) belum
pernah ditulis dan belum pernah ada pembahasan sebelumnya. Hal ini didasarkan
penelusuran yang dilakukan pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara dan perpustakaan Universitas Sumatera Utara.
Akan tetapi dari ada hasil penelitian terdahulu yang bahasanya hampir
bersamaan, yaitu :
1. Skripsi yang disusun oleh Bambang S Adi Putra dengan judul Status Anak Luar
Kawin Ditinjau Dari Hukum Perdata Dan Hukum Islam.
2. Skripsi yang disusun oleh Benedicta Arsita dengan judul Kedudukan anak Luar
Kawin Dalam Pewarisan Menurut Hukum Perdata Dan Hukum Islam.
3. Skripsi yang disusun oleh Riki Syahputra dengan judul Tinjauan Hukum
Terhadap Hak Dan Kewajiban Anak Dan Orang Tua Ditinjau Dari
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawainan Dan Hukum Islam.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa Bab, dimana dalam bab
terdiri dari unit-unit bab demi bab. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam
bentuk uraian:
Bab I. Pendahuluan
pada umumnya yaitu, Latar Belakang, Permasalahan, Tujuan
Penulisan, Manfaat Penulisan, Metodologi Penulisan, Keaslian
Penulisan serta Sistematika Penulisan.
Bab II. Pencatatan Kelahiran Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang: Pengertian
Pencatatan Kelahiran Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974,
Tujuan Pencatatan Kelahiran Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun
1974, Kendala Dalam Pelaksanaan Pencatatan Kelahiran Menurut
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 serta Pencatatan Kelahiran
Menurut KUHPerdata.
Bab III. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-8/2010 Tanggal 27
Pebruari 2012.
Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang Pengertian dan
Latar Belakang Lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor:
46/PUU-8/2010 Tanggal 27 Pebruari 2012, Tujuan Dari Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-8/2010 Tanggal 27 Pebruari
2012 serta Substansi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor:
46/PUU-8/2010 Tanggal 27 Pebruari 2012.
Bab IV. Pencatatan Kelahiran Anak Dalam Kaitannya Dengan Status Hukum
Anak Terhadap Orang Tuanya.
Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan terhadap Keberadaan
Pencatatan Kelahiran anak Dalam Kaitannya Dengan Status Hukum
Nomor: 46/PUU-8/2010 Tanggal 27 Pebruari 2012 serta Permasalahan
Penerapan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-8/2010
Tanggal 27 Pebruari 2012 Dalam Kaitannya Status Hukum Anak.
Bab V. Kesimpulan dan Saran
Bab ini adalah bab penutup, yang merupakan bab terakhir dimana akan
BAB II
PENCATATAN KELAHIRAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1
TAHUN 1974
A. Pengertian Pencatatan Kelahiran Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun
1974
Anak dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara adalah masa depan
bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga Negara berkewajiban
memenuhi hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang,
berpartisipasi, perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi. Negara,
pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua berkewajiban dan bertanggung
jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak, karena anak dari sisi
perkembangan fisik dan psikis manusia merupakan pribadi yang lemah, belum
dewasa dan masih membutuhkan perlindungan.
Akta kelahiran adalah akta catatan sipil hasil pencatatan terhadap peristiwa
kelahiran seseorang. Sampai saat ini masih banyak anak Indonesia yang
identitasnya tidak/belum tercatat dalam akta kelahiran, secara de jure
keberadaannya dianggap tidak ada oleh negara. Hal ini mengakibatkan anak yang
lahir tersebut tidak tercatat namanya, silsilah dan kewarganegaraannya serta tidak
terlindungi keberadaanya. Banyak permasalahan yang terjadi berpangkal dari
manipulasi (rekayasa) identitas anak, semakin tidak jelas identitas seorang anak,
maka semakin mudah terjadi eksploitasi terhadap anak seperti anak menjadi
korban perdagangan bayi dan anak, tenaga kerja dan kekerasan. Faktor atau
untuk melakukan pencatatan kelahiran anak terutama anak-anak dari keluarga
miskin. Selain itu disebabkan juga oleh kelalaian orang tua si anak dalam
melakukan pencatatan.
Salah satu hal penting yang melekat pada diri manusia adalah Akta
Kelahiran. Akta Kelahiran menjadi isu global dan sangat asasi karena menyangkut
identitas diri dan status kewarganegaraan. Disamping itu Akta Kelahiran
merupakan hak identitas seseorang sebagai perwujudan Konvensi Hak Anak
(KHA) dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Akta Kelahiran
bersifat universal, karena hal ini terkait dengan pengakuan negara atas status
keperdataan seseorang. Selain itu jika seorang anak manusia yang lahir kemudian
identitasnya tidak terdaftar, kelak akan menghadapi berbagai masalah yang akan
berakibat pada negara, pemerintah dan masyarakat. Dalam perspektif KHA, negara
harus memberikan pemenuhan hak dasar kepada setiap anak, dan terjaminnya
perlindungan atas keberlangsungan, tumbuh kembang anak.
Pasal 2 ayat (1) Konvensi Hak Anak berbunyi:
Negara-negara peserta akan menghormati dan menjamin hak-hak yang dinyatakan dalam konvensi yang sekarang dari setiap anak dalam jurisdiksi mereka tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun tanpa dipandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, keyakinan politik dan pendapat-pendapat lain, kebangsaan, asal etnik atau sosial, kekayaan, ketidakmampuan, kelahiran atau kedudukan lain dari anak atau orang tua anak atau pengaruhnya yang sah.
Pasal 2 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, berbunyi:
Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi:
a. Nondiskriminasi;
b. Kepentingan yang terbaik bagi anak;
d. Penghargaan terhadap pendapat anak
Posisi Anak dalam Konstitusi UUD 1945, terdapat dalam pasal 28 B ayat 2
yaitu : “Setiap Anak Berhak Atas Kelangsungan Hidup, Tumbuh dan Berkembang,
Serta Berhak Atas Perlindungan Dari Kekerasan dan Diskriminasi”.
Hak-hak Anak diberbagai Undang-Undang, antara lain UU No. 39/1999
tentang HAM maupun UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, jelas
menyatakan Akta Kelahiran menjadi hak anak dan tanggung jawab pemerintah
untuk memenuhinya.
Terdapat sejumlah manfaat atau arti penting dari kepemilikan akta
kelahiran, yakni : menjadi bukti bahwa negara mengakui atas identitas seseorang
yang menjadi warganya, sebagai alat dan data dasar bagi pemerintah untuk
menyusun anggaran nasional dalam bidang pendidikan, kesehatan, sosial dan
perlindungan anak, merupakan bukti awal kewarganegaraan dan identitas diri
pertama yang dimiliki anak, menjadi bukti yang sangat kuat bagi anak untuk
mendapatkan hak waris dari orangtuanya, mencegah pemalsuan umur, perkawinan
di bawah umur, tindak kekerasan terhadap anak, perdagangan anak, adopsi ilegal
dan eksploitasi seksual, anak secara yuridis berhak untuk mendapatkan
perlindungan, kesehatan, pendidikan, pemukiman, dan hak-hak lainnya sebagai
warga negara.11
Indonesia termasuk salah satu dari 20 negara yang cakupan pencatatan
kelahirannya paling rendah, dan keadaan di daerah pedesaan lebih buruk daripada
di perkotaan. Kesenjangan ini termasuk yang tertinggi di dunia. Banyak faktor
11
yang memengaruhi rendahnya cakupan pencatatan kelahiran, mulai dari kurangnya
kesadaran masyarakat akan pentingnya pencatatan kelahiran, biaya yang tinggi
untuk pencatatan, prosedur yang sulit, serta kurangnya akses terhadap pelayanan
pencatatan yang biasanya berada di tingkat kabupaten/kota.
Masih banyak orangtua yang belum memahami tentang pentingnya akta
kelahiran. Maklum karena akta kelahiran baru ada Undang-undangnya pada tahun
2002 melalui undang-undang perlindungan anak sehingga belum tersosialisasi.
Dalam UU tahun 2002 menyatakan bahwa pemberian akta kelahiran harus
diberikan tanpa biaya. Kemudian ada UU No. 23 tahun 2006 tentang administrasi
kependudukan yang mengatur lebih lanjut tentang pemberian akta kelahiran.
Memang menurut UU setiap bayi yang lahir, 60 hari setelah itu harus
dicatat dan diberikan akta kelahiran. Masalahnya negara kita ini geografisnya
sangat luas, dan masih banyak masyarakat adat terpencil. Departemen Dalam
Negeri dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil memberikan alternatif, bahwa
seorang anak yang lahir dari perkawinan siri tanpa dokumen maka dianggap
sebagai anak dari orangtua tunggal (ibu), tetapi masih diberikan catatan pinggir
bagian kiri ”anak diluar nikah” ini yang kita inginkan agar dihapus. Ini
memberikan labelisasi pada seorang anak, yang menurut perlindungan anak tidak
pas, karena memberikan stigmanisasi pada anak.
Anak yang diangkat oleh orangtua asuh juga diharapkan dapat mempunyai
akta. Tetapi memang kita tidak boleh menghilangkan hubungan darah antara
orangtua dan anaknya, sehingga masih tetap dicantumkan orangtua biologisnya.
maupun material ini sangat penting untuk mencegah terjadinya pemalsuan
identitas, kekerasan terhadap anak, perkawinan dibawah umur, pekerja anak.
Fungsi lainnya untuk kepastian umur untuk sekolah, paspor, KTP, dan hak politik
pada Pemilu.
Fungsi akta kelahiran untuk negara yaitu mengetahui data anak secara
akurat di seluruh Indonesia untuk kepentingan perencanaan dan guna menyusun
data statistik negara yang dapat menggambarkan demografi, kecenderungan dan
karakteristik penduduk serta arah perubahan sosial yang terjadi. Bagi mereka yang
lewat 60 hari s/d 1 tahun masih dapat membuat akta kelahiran asal disetujui oleh
Kepala Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Bila sudah lebih dari 1
tahun harus melalui penetapan pengadilan, yang biayanya tidak sedikit.
B. Tujuan Pencatatan Kelahiran Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun
1974
Sebagai salah satu sistem pencatatan yang ada pada sebuah negara,
pencatatan kelahiran bersifat universal pada dasarnya merupakan pengakuan
negara atas status keperdataan seseorang. Dalam pengertian yang lebih konkrit,
pencatatan kelahiran" memberikan pengakuan hukum dari negara terhadap
identitas, silsilah dan kewarganegaraan seseorang, yang diwujudkan melalui
dokumen pencatatan kelahiran, yaitu akta kelahiran.
Kelahiran merupakan kehadiran anggota keluarga baru yang harus segera
dilaporkan. Kepemilikan Akta Kelahiran merupakan wujud pemenuhan kewajiban
Meskipun akta kelahiran merupakan dokumen yang sangat penting, namun
masih banyak masyarakat yang enggan mengurusnya secara cepat. Mereka sering
menunda pengurusannya karena malas. bahkan masih ada yang tidak mau
mengurusnya sama sekali. Padahal idealnya, pembuatan akta kelahiran dilakukan
dalam waktu 60 hari sejak persalinan. Dengan demikian setiap kelahiran
dilaporkan dengan cepat, sehingga mendukung upaya pencatatan kependudukan
secara akurat, sebagaimana diamanahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006.
Mengapa setiap orang harus memiliki Akta kelahiran, akta Kelahiran
mempunyai banyak manfaat antara lain:
a. Sebagai wujud pengakuan negara mengenai status individu, status perdata, dan
status kewarganegaraan seseorang.
b. Sebagai dokumen/bukti sah mengenai identitas seseorang.
c. Sebagai bahan rujukan penetapan identitas dalam dokumen lain, misalnya
ijazah.
d. Masuk sekolah TK sampai perguruan tinggi.
e. Melamar pekerjaan, termasuk menjadi anggota TNI dan POLRI.
f. Pembuatan KTP, KK dan NIK.
g. Pembuatan SIM.
h. Pembuatan pasport.
i. Pengurusan tunjangan keluarga.
j. Pengurusan warisan.
k. Pengurusan beasiswa.
m. Melaksanakan pencatatan perkawinan.
n. Melaksanakan ibadah haji.
o. Pengurusan kematian.
p. Pengurusan perceraian.
q. Pengurusan pengakuan anak.
r. Pengurusan pengangkatan anak/adopsi.
Begitu besarnya manfaat Akta Kelahiran, hampir setiap urusan,
membutuhkan Akta Kelahiran. Akta Kelahiran ini bisa dikatakan sebagai
kebutuhan administrasi dasar yang harus dipenuhi oleh setiap orang.
Sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan Pasal 27, bahwa setiap kelahiran wajib dilaporkan oleh penduduk
kepada instansi pelaksana (Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil
Kabupaten/Kota) di tempat terjadinya peristiwa kelahiran paling lambat 60 (enam
puluh) hari sejak kelahiran.
C. Kendala Dalam Pelaksanaan Pencatatan Kelahiran Menurut
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Adapun kendala dalam pelaksanaan pencatatan kelahiran menurut
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 meliputi:
1. Masih rendahnya pemahaman para orang tua dan keluarga, mengenai nilai
guna dari Akta Kelahiran serta kewajiban pelaporan kelahiran tepat waktu
(kurang dari 60 hari kerja), sehingga pendaftaran kelahiran baru dilakukan
2. Kurangnya kepemilikan persyaratan untuk pelaporan kelahiran (tidak adanya
bukti kelahiran dari penolong kelahiran, tidak dimilikinya Buku Nikah/Akta
Perkawinan Orang Tua).
3. Masih rendahnya komitmen Kepala Daerah, para pembuat kebijakan publik
dan petugas pencatatan sipil dalam mengimplementasikan proses Akta
Kelahiran bebas biaya, sehingga disebagian pemerintah daerah masih
menjadikan Akta Kelahiran sebagai sumber pendapatan daerah.
4. Masih terbatas dan belum terpenuhinya baik alokasi anggaran, kelembagaan,
ketatalaksanaan dan SDM, baik ditingkat pusat maupun daerah yang memadai
dalam proses pemberian layanan pembuatan Akta Kelahiran supaya tidak
dikenai biaya.
5. Masih ada kesan seolah pembuatan akta kelahiran mahal, prosedur birokrasi
berbelit-belit, jarak tempuh dari desa ke-kecamatan/ke-kabupaten/kota terlalu
jauh sehingga proses pengurusan banyak melibatkan jasa pihak ketiga.
6. Adanya Ketentuan perundang-undangan (UU No. 23/2006 tentang Adminduk)
yang menetapkan bahwa untuk kelahiran yang pelaporannya melebihi 1 tahun
sejak tanggal kelahirannya melalui ijin penetapan PN (saat ini baru
diberlakukan bagi kelahiran setelah UU No. 23/2006).
Upaya untuk mempercepat pemenuhan hak identitas bagi anak:
1. Pemerintah perlu melakukan harmonisasi UU No. 23/2006 tentang
Administrasi Kependudukan, pasal 32 dengan UU NO. 23/2002 tentang
Perlindungan Anak, pasal 5, 27, 28.
Administrasi Kependudukan dan UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak
kepada masyarakat.
3. Pemerintah dan Pemerintah Daerah secara terpadu perlu pro aktif dan
mendekatkan akses layanan masyarakat untuk pemenuhan akta kelahiran tidak
dipungut biaya kepada semua anak (0-18 tahun), serta mengembangkan
koordinasi dengan Instansi terkait dalam rangka menumbuhkan kondisi
kebutuhan masyarakat terhadap akta kelahiran; (sektor Kesehatan, Pendidikan
dan Peradilan)
4. Terus mendorong terwujudnya UPTD instansi pelaksana tingkat kecamatan
disamping adanya program peningkatan kualitas dan kuantitas SDM.
5. Menyerahkan kebijakan masa transisi penerapan UU No. 23/2006 (dispensasi
pencatatan kelahiran) kepada daerah sesuai dengan kebutuhan atau
pemberlakuan ketentuan keterlambatan pencatatan kelahiran lebih dari 1 (satu)
tahun melalui ijin PN diprioritaskan bagi kelahiran setelah UU No. 23/2006
dan tetap memberlakukan dispensasi bagi kelahiran sebelum UU No. 23/2006.
Mencermati permasalahan-permasalahan dalam pencatatan kelahiran
tersebut, maka persoalan-persoalan dalam pencatatan kelahiran bukan semata akta
kelahiran telah gratis saja, namun lebih jauh dari itu perlu peningkatan kualitas
pelayanan pencatatan kelahiran secara lebih luas meliputi kelembagaan,
ketatalaksanaan, alokasi anggaran, SDM, dan sebagainya. Oleh karena itu
pemberian Akta Kelahiran adalah menjadi tanggungjawab negara dalam hal ini
pemerintah pusat maupun daerah. Jadi Pemerintah, penuhilah hak anak dalam hal
(HAM) dan sesungguhnya merupakan pelaksanaan amanat UUD 1945, UU No.
23/2002 yang berkaitan keperdataan seseorang berupa hak identitas dan
kewarganegaraan.
D. Pencatatan Kelahiran Menurut KUHPerdata
Pencatatan kelahiran adalah bukti sah mengenai status anak yang
dikeluarkan oleh catatan sipil. Pencatatan kelahiran adalah akta atau catatan otentik
yang dibuat oleh pegawai catatan sipil berupa catatan resmi tentang tempat dan
waktu kelahiran anak, nama anak, dan nama orang tua anak secara lengkap dan
jelas, serta status kewarganegaraan anak.
Pada prinsipnya pencatatan kelahiran adalah hanya sebuah catatan
administratif dianggap penting karena data yang ada di dalam akta kelahiran dapat
digunakan sebagai bukti jati diri bagi si anak, sehubungan dengan hak waris atau
klaim asuransi dan pengurusan hal administratif lainnya seperti tunjangan keluarga,
paspor, KTP, SIM, pengurusan perkawinan, perizinan, mengurus beasiswa dan
lain-lain.
Pada dasarnya aspek hukum pencatatan kelahiran dalam usaha
perlindungan anak merupakan suatu wujud dari kekuatan suatu pembuktian tentang
status seorang anak yang baru dilahirkan. Dimana dengan status tersebut maka
diketahui siapa orang tuanya yang memiliki kewajiban untuk memelihara dan
mendidiknya.
Dengan demikian maka aspek hukum pelaksanaan pencatatan dalam usaha
memberikan bukti kedudukan anak baik itu statusnya, maupun juga orang tua dan
keluarganya. Sehingga pelaksanaan pencatatan tersebut dituangkan dalam suatu
bentuk akta yaitu akta kelahiran.
Sebagaimana disebutkan oleh Sudikno Mertokusumo, bahwa fungsi
terpenting dari pada akta adalah sebagai alat bukti. Sampai seberapa jauhkah akta
mempunyai kekuataan pembuktian ? tentang kekuataan pembuktian dari pada akta
dapat dibedakan antara :
1. Kekuataan pembuktian lahir.
Yang dimaksudkan dengan kekuataan pembuktian lahir, ialah kekuataan pembuktian yang didasarkan atas keadaan lahir, apa yang tampak pada lahirnya, yaitu bahwa surat yang tampaknya (dari lahir) seperti akta, dianggap (mempunyai kekuataan) seperti akta sepanjang tidak terbukti sebaliknya.
2. Kekuatan pembuktian formil.
Kekuataan pembuktian formil itu menyangkut pertanyaan :benarkah bahwa ada pertanyaan. Jadi kekuataan pembuktian formil ini didasarkan atas ada tidaknya pernyataan oleh yang bertanda tangan di bawah itu. Kekuataan pembuktian formil ini memberi tentang peristiwa bahwa pejabat dan para pihak menyatakan dan melakukan apa yang dimuat dalam akta
3. Kekuataan pembuktian materiil.
Kekuatan pembuktian materiil ini menyangkut pertanyaan : “ benarkah isi pernyataan di dalam akta itu ? jadi kekuataan pembuktian materiil ini memberi kepastian tentang materi suatu akta, kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat atau para pihak menyatakan dan melakukan seperti yang dimuat dalam akta.12
Akta catatan sipil adalah akta otentik karena akta tersebut dibuat oleh
pejabat yang berwenang yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, dimana
dalam hal ini pegawai pencatat sipil, baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang
berkepentingan yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya
oleh yang berkepentingan.
12
Menurut Pasal 165 HIR (pasal 285 Rbg,) maka akta otentik bagi para pihak
dan ahli warisnya serta mereka yang memperoleh hak dari padanya, merupakan
bukti sempurna, tentang apa yang termuat di dalamnya dan bahkan tentang yang
terdapat dalam akta sebagai pengaturan belaka, yang terakhir ini hanya sepanjang
yang dituturkan dalam akta tersebut tidak ada hubungan langsung dengan pokok
akta menurut Pasal 1871 KUH Perdata hal itu hanya akan berlaku sebagai
permulaan bukti tertulis. Adapun isi Pasal 1871 KUH Perdata adalah :
(1) Suatu akta otentik namunlah tidak memberikan bukti yang yang sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya sebagai suatu penuturan belaka, selainnya sekedar apa yang dituturkan itu ada hubungannya langsung dengan pokok isi akta.
(2) Jika apa yang termuat disitu sebagai suatu penuturan belaka tidak ada hubungannya langsung dengan pokok isi akta, maka itu hanya dapat berguna sebagai permulaan pembuktian dengan tulisan.
Selanjutnya menurut pasal 1872 KUH Perdata apabila akta otentik yang
bagaimanapun sifatnya diduga palsu, maka pelaksanaannya dapat ditangguhkan.
Akta catatan sipil sebagaimana diuraikan di atas adalah akta otentik yang sesuai
pasal di atas dapat dijadikan sebagai bukti tentang apa yang ada di dalamnya baik
itu tentang adanya kelahiran, kematian, pengakuan anak dan juga perceraian.
Sebagai azas berlaku acta publica probant sese ipsa, yang berarti bahwa
suatu akta yang lahirnya tampak sebagai akta otentik serta memenuhi syarat-syarat
yang telah ditentukan, maka akta itu berlaku atau dapat dianggap sebagai akta
otentik, sampai terbukti sebaliknya. Hal ini berarti bahwa tanda tangan pejabat
dianggap sebagai aslinya, sampai ada pembuktian sebaliknya.
Beban pembuktiannya terletak pada siapa yang mempersoalkan otentik
tidaknya akta catatan sipil tersebut. Beban pembuktian ini terikat pada ketentuan
Kekuataan pembuktian lahir ini berlaku bagi kepentingan atau keuntungan
dan terhadap setiap orang dan tidak terbatas pada para pihak saja.
Sebagai alat bukti maka akta otentik catatan sipil yang dikeluarkan pejabat, ini
keistimewaannya terletak pada kekuataan pembuktian lahir.
Menurut Pasal 1868 KUH Perdata “ Suatu akta otentik yalah suatu akta
yang di dalam bentuk ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan
pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akte dibuatnya “.
BAB III
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR: 46/PUU-8/2010
TANGGAL 27 PEBRUARI 2012
A. Pengertian dan Latar Belakang Lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor: 46/PUU-8/2010 Tanggal 27 Pebruari 2010
Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara baru dalam struktur
kelembagaan negara Republik Indonesia yang dibentuk berdasakan amanat Pasal
24 C jo Pasal III Aturan Peralihan Perubahan UUD 1945. 13
Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu
perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul pada abad
ke-20. Ditinjau dari aspek waktu, negara kita tercatat sebagai negara ke-78 yang
membentuk MK sekaligus merupakan negara pertama di dunia pada abad ke-21
yang membentuk lembaga ini.14
Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 menetapkan bahwa
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara pengawal konstitusi (The Guardian
of Constitution)15
13
Nuruddin Hadi, 2007, Wewenang Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Prestasi Pustaa Publishing, hal. 18.
merupakan salah satu lembaga negara yang mempunyai
kedudukan setara dengan lembaga-lembaga negara lainnya, seperti Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, Mahkamah Agung (MA), dan yang
terakhir terbentuk yaitu Komisi Yudisial (KY). Mahkamah Konstitusi (MK)
14
Scribd, Op.Cit.
15
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2009, Panduan Teknis
Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden,
merupakan salah satu lembaga yudikatif selain Mahkamah Agung yang
melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.16
Model MK sebagaimana ditegaskan di dalam UUD RI Tahun 1945 mirip
dengan model di Perancis dan Jerman. MK di Perancis diberi nama Dewan
Konstitusi yang beranggotakan sembilan orang. 17
Pembentukan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan agar tersedia jalan
hukum untuk mengatasi perkara-perkara yang terkait erat dengan penyelenggaraan
negara dan kehidupan politik. Dengan demikian konflik yang terkait dengan kedua
hal tersebut tidak berkembang menjadi konflik politik-kenegaraan tanpa pola
penyelesaian yang baku, transparan, dan akuntabel, melainkan dikelola secara
objektif dan rasional sehingga sengketa hukum yang diselesaikan secara hukum
pula. Mahkamah Konstitusi oleh karena itu sering disebut sebagai Lembaga
Negara Pengawal Konstitusi atau The Guardian and The Interpreter of The
Constitution.18
Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) diawali dengan
diadopsinya ide MK (Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang
dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada Tahun 2001
sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal
7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9
Nopember 2001. Ide pembentukan MK merupakan salah satu perkembangan
16
Scribd, Op.Cit
17
Rahmat Bagja, 2008, Melanjutkan Pelembagaan Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Democratic Reform Support Program, hal 3.
18
pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20.
Membicarakan MK di Indonesia berarti tidak dapat lepas jelajah historis
dari konsep dan fakta mengenai judicial review, yang sejatinya merupakan
kewenangan paling utama lembaga MK. Empat momen dari jelajah histories yang
patut dicermati antara lain kasus Madison vs Marbury di AS, ide Hans Kelsen di
Austria, gagasan Mohammad Yamin dalam sidang BPUPKI, dan perdebatan PAH I
MPR pada sidang-sidang dalam rangka amandemen UUD 1945. Sejarah judicial
review muncul pertama kali di Amerika Serikat melalui putusan Supreme Court
Amerika Serikat dalam perkara “Marbury vs Madison” pada 1803. Meskipun
Undang-Undang Dasar Amerika Serikat tidak mencantumkan judicial review,
Supreme Court Amerika Serikat membuat putusan yang mengejutkan. Chief
Justice John Marshall didukung empat hakim agung lainnya menyatakan bahwa
pengadilan berwenang membatalkan undang-undang yang bertentangan dengan
konstitusi. Keberanian John Marshall dalam kasus itu menjadi preseden dalam
sejarah Amerika yang kemudian berpengaruh luas terhadap pemikiran dan praktik
hukum di banyak negara. Semenjak itulah, banyak undang-undang federal maupun
undang-undang negara bagian yang dinyatakan bertentangan dengan konstitusi
oleh Supreme Court.
Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam rangka
menunggu pembentukan MK, MPR menetapkan Mahkamah Agung (MA)
menjalankan fungsi MK untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III
DPR dan Pemerintah kemudian membuat RUU mengenai Mahkamah
Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah
menyetujui secara bersama UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu
(Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316). Dua
hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden melalui Keputusan
Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 hakim konstitusi untuk pertama kalinya yang
dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana
Negara pada tanggal 16 Agustus 2003.
Lembaran perjalanan MK selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA
ke MK, pada tanggal 15 Oktober 2003 yang menandai mulai beroperasinya
kegiatan MK sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan
UUD 1945. Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu
perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul pada abad
ke-20. Ditinjau dari aspek waktu, negara kita tercatat sebagai negara ke-78 yang
membentuk MK sekaligus merupakan negara pertama di dunia pada abad ke-21
yang membentuk lembaga ini.
Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 menetapkan bahwa
Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) merupakan salah satu lembaga
negara yang mempunyai kedudukan setara dengan lembaga-lembaga negara
lainnya, seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, Mahkamah Agung
Konstitusi (MK) merupakan salah satu lembaga yudikatif selain Mahkamah Agung
yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Pembentukan Mahakamah Konstitusi dimaksudkan agar tersedia jalan
hukum untuk mengatasi perkara-perkara yang terkait erat dengan penyelenggaraan
negara dan kehidupan politik. Dengan demikian konflik yang terkait dengan kedua
hal tersebut tidak berkembang menjadi konflik politik-kenegaraan tanpa pola
penyelesaian yang baku, transparan, dan akuntabel, melainkan dikelola secara
objektif dan rasional sehingga sengketa hukum yang diselesaikan secara hukum
pula. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi sering disebut sebagai Lembaga
Negara Pengawal Konstitusi atau The Guardian and The Interpreter of The
Constitution. 19
Selanjutnya pembahasan ini akan berupaya mencari pengertian dari latar
belakang lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-8/2010 tanggal
27 Pebruari 2012.
Adalah Moerdionoseorang suami yang sudah beristri menikah lagi dengan
istri kedua, Hj. Aisyah Mokhtar, dengan akad nikah secara Islam tetapi tidak di
hadapan PPN/KUA Kec yang berwenang sehingga tidak dicatat dalam buku akta
nikah dan tidak memiliki kutipan akta nikah. Dari perkawinan tersebut dilahirkan
seorang anak laki-laki bernama Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono.
19
Kybernologi, “Mahkamah Konstitusi The Guardian And The Interpreter Of The
Constitution”,
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan (UUP) menyatakan bahwa: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Kemudian Pasal 43 ayat (1) UUP
tersebut menetapkan bahwa: ‘Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”.
Oleh sebab itu, Hj. Aisyah maupun Iqbal merasa dirugikan hak
konstitusionalnya oleh ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UUP
tersebut karena perkawinan Hj. Aisyah tidak diakui menurut hukum dan anaknya
(Iqbal) tidak mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya (Moerdiono) dan
keluarga ayahnya.
Keadaan inibertentangan dengan Konstitusi, yakni Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Pasal 28B ayat (1) UUD
1945 menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan
melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”.
Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa: “Setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi”. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa:
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Ketentuan Pasal 43 ayat
(1) UUP tersebut bertentangan dengan Konstitusi karena menutup hak anak yang
lahir di luar perkawinan atas adanya hubungan perdata dengan ayahnya dan
Hubungan darah antara anak dengan ibunya merupakan realitas sunnatullah
yang tidak dapat dipungkiri, ditutup ataupun ditutup-tutupi oleh siapapun, dengan
cara apapun, maupun oleh aturan hukum manapun. Hubungan darah inilah yang
menjadi dasar adanya hubungan perdata antara anak dengan ibunya, baik yang
dikandungnya sendiri ataupun dititipkan pada perempuan lain. Analog dengan
pemikiran tersebut, seharusnya hubungan darah antara anak dengan ayahnya juga
menjadi dasar adanya hubungan perdata antara anak dengan ayahnya. Namun
kenyataannya hubungan perdata antara anak dengan ayahnya ini tidak/belum
terlindungi dalam UUP meskipun tidak ada kesengajaan untuk menutupinya,
padahal sebenarnya antara mereka juga memiliki hubungan darah.
B. Tujuan Dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-8/2010
Tanggal 27 Pebruari 2012
Dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-8/2010 itu
selengkapnya dapat diambil beberapa poin mengenai tujuan pengubahan Pasal 43
ayat (1) UU Perkawinan, yaitu:
1. Memberi legalitas hukum hubungan darah antara anak dengan ayah
biologisnya, yakni bahwa hubungan darah antara anak dengan ayah
biologisnya yang semula hanya merupakan sebuah realitas menjadi hubungan
hukum sehingga memiliki akibat hukum.
2. Memberi perlindungan hukum atas hak-hak dasar anak, baik terhadap ayahnya
dan keluarga ayahnya maupun lingkungannya.
perkawinan orang tuanya tidak (belum) ada kepastian.
4. Menegaskan adanya hubungan perdata setiap anak dengan ayah biologisnya
dan keluarga ayahnya menurut hukum sebagaimana hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya.
5. Menegaskan adanya kewajiban ayah menurut hukum (legal custady)
memelihara setiap anak yang dilahirkan dari darahnya.
6. Melindungi hak waris anak dari ayahnya karena adanya hubungan darah, hak
dan tanggung jawab satu sama lain.
7. Menjamin masa depan anak sebagaimana anak-anak pada umumnya.
8. Menjamin hak-hak anak untuk mendapat pengasuhan, pemeliharaan,
pendidikan dan biaya penghidupan, perlindungan dan lain sebagainya dari
ayahnya sebagaimana mestinya.
9. Memberi ketegasan hukum bahwa setiap laki-laki harus bertanggung jawab
atas tindakannya dan akibat yang timbul karena perbuatannya itu, dalam hal ini
menyebabkan lahirnya anak.6 Mereka tidak dapat melepaskan diri dari
tanggung jawab tersebut.
Hubungan perdata yang timbul akibat dari adanya hubungan darah ini
meliputi hubungan hukum, hak dan kewajiban antara anak dengan ayah dan ibunya
yang dapat berupa:
(1) Hubungan nasab adalah hubungan kekerabatan dari jalur ayah kerana manusia
hanya dinasabkan kepada ayahnya saja
(2) Hubungan mahram adalah hubungan tentang tidak boleh menikah di antara
(3) Hubungan hak dan kewajiban.
(4) Hubungan pewarisan (saling mewarisi) yang merupakan pelanjutan hubungan
hak dan kewajiban karena nasab ketika mereka sama-sama masih hidup, dan
(5) Hubungan wali nikah antara ayah dengan anak perempuannya.
Hak-hak dasar anak (Psl 4 s/d 18 UU No. 23 th 2002 tentang Perlindungan
Anak), antara lain, adalah:
(1) Hak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi.
(2) Hak untuk beribadah menurut agamanya, berfikir, dan berekspresi sesuai sesuai
dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.
(3) Hak mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya
sendiri.
(4) Hak mendapat perlindungan dari perlakuan:
a. Diskriminasi;
b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual.
c. Penelantaran
d. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan.
e. Ketidakadilan, dan
f. Perlakuan salah lainnya.
(5) Hak diasuh oleh orang tuanya sendiri.
Penggelapan asal-usul anak merupakan tindak pidana (Pasal 277 KUH
diketahui olehnya bahwa anak dimaksud adalah bukan anaknya juga merupakan
tindak pidana (Pasal 278 KUH Pidana). Hak-hak dasar anak merupakan hak
konstitusional, yakni hak yang diakui dan dilindungi oleh UUD Tahun 1945.
Demikian pula mengenai asal-usul anak dengan segala hak-hak perdatanya, baik
dengan ibu maupun ayahnya, juga dilindungi oleh UUD Tahun 1945.
Putusan MK tersebut, secara mutatis mutandis telah menimbulkan banyak
perubahan hukum, antara lain, yaitu:
1. Mengubah hubungan darah anak dengan ayah bilogisnya yang semula hanya
bersifat alamiah (sunnatullah) semata menjadi hubungan hukum yang
mempunyai akibat hukum berupa hubungan perdata.
2. Adanya pengakuan secara hukum bahwa anak yang dilahirkan di luar
perkawinan juga mempunyai hubungan perdata dengan ayah biologisnya dan
keluarga ayahnya sebagaimana hubungan perdata anak dengan ibunya dan
keluarga ibunya. Pengakuan secara hukum ini sebelumnya tidak ada.
3. Adanya tanggung jawab menurut hukum atas ayah terhadap anak yang
dilahirkan akibat perbuatannya, meskipun anak itu lahir di luar perkawinan.
Sebelumnya, ayah biologis tidak dapat digugat untuk bertanggung jawab atas
anak biologisnya.
Mengenai wali nikah, ternyata Putusan MK tersebut tidak mengubah
ketentuan Pasal 42 UUP yang menyatakan: “Anak yang sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Dengan demikian
maka, ayah biologis tidak serta merta dapat bertindak sebagai wali nikah bagi anak
hukum. Hubungan wali nikah merupakan hubungan resmi yang memerlukan
legalitas hukum. Namun demikian apabila adanya hubungan nasab telah dapat
dibuktikan melalui putusan pengadilan dan telah mempunyai akta kelahiran, maka
ayahnya dapat bertindak sebagai wali nikah bagi anak perempuannya yang lahir di
luar perkawinan.
Anak yang lahir dari perkawinan yang fasid (batal), maka ia tetap menjadi
anak sah karena batalnya perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak yang lahir
dari perkawinan tersebut (Pasal 28 ayat (2) huruf a UUP). Demikian pula, analog
dengan ketentuan hukum tersebut di atas, maka anak yang dilahirkan di luar
perkawinan adalah juga anak yang sah karena ketidakabsahan perkawinan orang
tuanya tidak dapat menghapuskan hubungan hubungan darah dengan ibu dan ayah
biologisnya. Hubungan darah inilah yang menjadi dasar adanya hubungan perdata
antara anak dengan orang tuanya.
C. Substansi/Isi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-8/2010
Tanggal 27 Pebruari 2012
Subtansi dari isi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-8/2010
Tanggal 27 Pebruari 2012 pada dasarnya lahir karena adanya isi Pasal 43 ayat (1)
UUPA. Pasal 43 ayat (1) UUPA lama yang menyatakan bahwa: “Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya”, terdapat frase ‘hanya’ yang berarti pembatasan, yakni hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya saja. Kemudian
luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya
serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai
hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”; Frase
‘hanya’ dihapus diganti dengan frase ‘serta’ pada akhir ayat yang berarti
penambahan hubungan perdata anak dengan ayahnya dan keluarga ayahnya.
Berdasarkan putusan MK Nomor 46/PUU-VII/2010 tgl 27 Februari 2012
tersebut, hubungan perdata anak dengan ayahnya dan keluarga ayahnya didasarkan
atas adanya hubungan darah secara nyata antara anak dengan ayahnya,
sebagaimana hubungan darah dengan ibunya, meskipun antara ayah dan ibunya
belum tentu ada ikatan perkawinan. Ketiadaan dan/atau ketidaksempurnaan
hubungan nikah antara ayah dengan ibunya tidak menghapuskan adanya hubungan
darah dan hubungan perdata antara anak dengan ayah kandungnya sebagaimana
hubungan perdata antara anak dengan ibu kandungnya.
Putusan MK tersebut berkenaan dengan uji materi undang-undang.20
20
Maruarar Siahaan, 2011, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 22.
Oleh
karena itu, putusan MK ini berlaku sebagai undang-undang sehingga bersifat
general, tidak individual, dan tidak kasuistis (Pasal 56 ayat (3) jo Pasal 57 ayat (1)
UUMK). Putusan ini dipergunakan oleh para hakim untuk menyelesaikan
kasus-kasus yang bertalian dengan asal-usul anak dengan segala akibat hukumnya.
Dengan adanya putusan MK ini, maka: setiap anak yang dilahirkan mempunyai
hubungan perdata baik dengan ibunya dan keluarga ibunya maupun dengan
yang batal, perkawinan yang syubhat, perkawinan tidak tercatat, ataupun lahir di
luar perkawinan.
Putusan MK tersebut berlaku mengikat sejak diucapkan dalam sidang
terbuka untuk umum tanggal 27 Februari 2012 (Pasal 47 UUMK). Dengan adanya
putusan MK tersebut maka ketentuan Pasal 43 (1) UUP tidak berkekuatan hukum
lagi sehingga tidak mengikat, dan digantikan dengan putusan MK tersebut.
Demikian pula halnya dengan ketentuan Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam (KHI)
yang isinya sama dengan Pasal 43 ayat (1) UUP juga tidak berlaku lagi.
Pengubahan Pasal 43 ayat (1) UUP ini merupakan penelusuran kembali mengenai
asal-usul anak, yakni agar diketahui dan ditetapkan secara hukum siapakah
BAB IV
PENCATATAN KELAHIRAN ANAK DALAM KAITANNYA DENGAN
STATUS HUKUM ANAK TERHADAP ORANG TUANYA
A. Keberadaan Pencatatan Kelahiran Anak Dalam Kaitannya Dengan Status
Hukum Anak
Suatu akta kelahiran akan membuktikan bagi anak tersebut :
1. Dalam menuntut hak-haknya pada orang tuanya
2. Dalam menuntut hak-haknya pada orang lain menggantikan kedudukan
dari orang tuanya.
3. Sebagai bukti bahwa anak tersebut adalah berhak atas warisan orang
tuanya.
Pada dasarnya keberadaan pencatatan kelahiran anak dalam kaitannya
dengan status hukum anak merupakan suatu wujud dari kekuatan suatu pembuktian
tentang status seorang anak yang baru dilahirkan. Dimana dengan status tersebut
maka diketahui siapa orang tuanya yang memiliki kewajiban untuk memelihara
dan mendidiknya.
Dengan demikian maka keberadaan pencatatan kelahiran anak dalam
kaitannya dengan status hukum anak memberikan suatu keadaan bahwa pencatatan
tersebut akan memberikan bukti kedudukan anak baik itu statusnya, maupun juga
orang tua dan keluarganya. Sehingga pelaksanaan pencatatan tersebut dituangkan
dalam suatu bentuk akta yaitu akta kelahiran.
Sebagaimana disebutkan oleh Sudikno Mertokusumo, bahwa fungsi
mempunyai kekuataan pembuktian ? Tentang kekuataan pembuktian dari pada akta
dapat dibedakan antara :
1. Kekuataan pembuktian lahir.
Yang dimaksudkan dengan kekuataan pembuktian lahir, ialah kekuataan pembuktian yang didasarkan atas keadaan lahir, apa yang tampak pada lahirnya, yaitu bahwa surat yang tampaknya (dari lahir) seperti akta, dianggap (mempunyai kekuataan) seperti akta sepanjang tidak terbukti sebaliknya.
2. Kekuatan pembuktian formil.
Kekuataan pembuktian formil itu menyangkut pertanyaan :benarkah bahwa ada pertanyaan. Jadi kekuataan pembuktian formil ini didasarkan atas ada tidaknya pernyataan oleh yang bertanda tangan di bawah itu. Kekuataan pembuktian formil ini memberi tentang peristiwa bahwa pejabat dan para pihak menyatakan dan melakukan apa yang dimuat dalam akta
3. Kekuataan pembuktian materiil.
Kekuatan pembuktian materiil ini menyangkut pertanyaan: “benarkah isi pernyataan di dalam akta itu ? jadi kekuataan pembuktian materiil ini memberi kepastian tentang materi suatu akta, kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat atau para pihak menyatakan dan melakukan seperti yang dimuat dalam akta.21
Akta catatan sipil adalah akta otentik karena akta tersebut dibuat oleh
pejabat yang berwenang yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, dimana
dalam hal ini pegawai pencatat sipil, baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang
berkepentingan yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya
oleh yang berkepentingan.
Menurut Pasal 165 HIR (pasal 285 Rbg,) maka akta otentik bagi para
pihak dan ahli warisnya serta mereka yang memperoleh hak dari padanya,
merupakan bukti sempurna, tentang apa yang termuat di dalamnya dan bahkan
tentang yang terdapat dalam akta sebagai pengaturan belaka, yang terakhir ini
hanya sepanjang yang dituturkan dalam akta tersebut tidak ada hubungan langsung
21
dengan pokok akta menurut Pasal 1871 KUH Perdata hal itu hanya akan
berlaku sebagai permulaan bukti tertulis. Adapun isi Pasal 1871 KUH Perdata
adalah :
(1) Suatu akta otentik namunlah tidak memberikan bukti yang yang sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya sebagai suatu penuturan belaka, selainnya sekedar apa yang dituturkan itu ada hubungannya langsung dengan pokok isi akta.
(2) Jika apa yang termuat disitu sebagai suatu penuturan belaka tidak ada hubungannya langsung dengan pokok isi akta, maka itu hanya dapat berguna sebagai permulaan pembuktian dengan tulisan.22
Selanjutnya menurut pasal 1872 KUH Perdata apabila akta otentik yang
bagaimanapun sifatnya diduga palsu, maka pelaksanaannya dapat ditangguhkan.
Akta catatan sipil sebagaimana diuraikan di atas adalah akta otentik yang
sesuai pasal di atas dapat dijadikan sebagai bukti tentang apa yang ada di dalamnya
baik itu tentang adanya kelahiran, kematian, pengakuan anak dan juga perceraian.
Sebagai azas berlaku acta publica probant sese ipsa, yang berarti bahwa
suatu akta yang lahirnya tampak sebagai akta otentik serta memenuhi syarat-syarat
yang telah ditentukan, maka akta itu berlaku atau dapat dianggap sebagai akta
otentik, sampai terbukti sebaliknya. Hal ini berarti bahwa tanda tangan pejabat
dianggap sebagai aslinya, sampai ada pembuktian sebaliknya.
Beban pembuktiannya terletak pada siapa yang mempersoalkan otentik
tidaknya akta catatan sipil tersebut. Beban pembuktian ini terikat pada ketentuan
khusus seperti yang diatur dalam pasal 1348 HIR.
Kekuataan pembuktian lahir ini berlaku bagi kepentingan atau keuntungan
dan terhadap setiap orang dan tidak terbatas pada para pihak saja.
22
Sebagai alat bukti maka akta otentik catatan sipil yang dikeluarkan pejabat, ini
keistimewaannya terletak pada kekuataan pembuktian lahir.
Menurut Pasal 1868 KUH Perdata “ Suatu akta otentik yalah suatu akta
yang di dalam bentuk ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan
pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akte dibu