• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek Hukum Pencatatan Kelahiran Anak Dan Kaitannya Dengan Hubungan Anak Dan Orang Tuanya(Studi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Aspek Hukum Pencatatan Kelahiran Anak Dan Kaitannya Dengan Hubungan Anak Dan Orang Tuanya(Studi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010)"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

ASPEK HUKUM PENCATATAN KELAHIRAN ANAK

DAN KAITANNYA DENGAN HUBUNGAN ANAK DAN

ORANG TUANYA

(Studi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

M

M

u

u

h

h

a

a

m

m

m

m

a

a

d

d

F

F

a

a

u

u

z

z

i

i

S

S

y

y

a

a

r

r

e

e

y

y

z

z

a

a

NIM. 080200262

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(2)

ASPEK HUKUM PENCATATAN KELAHIRAN ANAK

DAN KAITANNYA DENGAN HUBUNGAN ANAK DAN

ORANG TUANYA

(Studi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

M

M

u

u

h

h

a

a

m

m

m

m

a

a

d

d

F

F

a

a

u

u

z

z

i

i

S

S

y

y

a

a

r

r

e

e

y

y

z

z

a

a

NIM. 080200262

Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum

NIP. 196603031985081001

Pembimbing I

Edy Ikhsan, SH, MA NIP. 196302161988031002

Pembimbing II

Rosnidar Sembiring, SH, M.Hum NIP. 196602021991032002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas limpahkan rahmad, nikmat dan

karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai

tugas akhir untuk menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar Sarjana Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dan tidak lupa shalawat

beriring salam saya sampaikan kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah

menuntun umatnya kejalan yang di ridhoi Allah SWT.

Adapun skripsi ini berjudul : “Aspek Hukum Pencatatan Kelahiran

Anak Dan Kaitannya Dengan Hubungan Anak Dan Orang Tuanya ( Studi

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010)”.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih mempunyai banyak kekurangan

di dalam penulisannya, oleh karena itu penulis berharap adanya masukan dan saran

yang bersifat membangun untuk di masa yang akan datang.

Di dalam menyelesaikan skripsi ini, telah banyak mendapatkan bantuan

dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan

terima-kasih yang sebesar-besarnya kepada :

- Bapak Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. M.Hum

selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak

Syafruddin, SH. MH. DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara, Bapak Muhammad Husni, SH.M.Hum selaku

(4)

- Bapak Dr. H. Hasim Purba, SH. M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum

Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera.

- Ibu Rabiatul Syahriah, SH. M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum

Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

- Bapak Edy Ikhsan, SH. MA selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak

memberikan bimbingan dan arahan-arahan di dalam penulisan skripsi ini.

- Ibu Rosnidar Sembiring, SH. M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah

banyak memberikan bimbingan dan arahan-arahan di dalam penulisan skripsi

ini.

- Bapak dan Ibu Dosen Departemen Hukum Keperdataan serta semua unsur staf

administrasi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

- Rekan-rekan se-almamater di Fakultas Hukum khususnya dan Umumnya

Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini juga penulis mengucapkan rasa terima-kasih yang

tiada terhingga kepada Ayahanda dan Ibunda atas segala perhatian, dukungan, doa

dan kasih sayangnya hingga penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, atas segala kesalahan dan

kekurangan saya mohon maaf. Atas perhatiannya saya ucapkan terima Kasih.

Medan, Agustus 2012

Penulis

(5)

DAFTAR ISI

halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

ABSTRAKSI ... v

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 6

C. Tujuan Penulisan ... 6

D. Manfaat Penulisan ... 7

E. Metodologi Penulisan ... 7

F. Keaslian Penulisan ... 9

G. Sistematika Penulisan. ... 9

BAB II. PENCATATAN KELAHIRAN MENURUT UNDANG UNDANG NO. 1 TAHUN 1974……… 12

A. Pengertian Pencatatan Kelahiran Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974………. 12

B. Tujuan Pencatatan Kelahiran Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974……….... 16

C. Kendala Dalam Pelaksanaan Pencatatan Kelahiran Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974………... 18

(6)

BAB III. PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR: 46/PUU 8/2010

TANGGAL 27 PEBRUARI 2012……….... 25

A. Pengertian dan Latar Belakang Lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-8/2010 Tanggal 27 Pebruari 2010 ... 25

B. Tujuan Dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-8/2010 Tanggal 27 Pebruari 2012 ... 31

C. Substansi/Isi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-8/2010 Tanggal 27 Pebruari 2012 ... 35

BAB IV. PENCATATAN KELAHIRAN ANAK DALAM KAITANNYA DENGAN STATUS HUKUM ANAK TERHADAP ORANG TUANYA. ... 38

A. Keberadaan Pencatatan Kelahiran Anak Dalam Kaitannya Dengan Status Hukum Anak ... 38

B. Akibat Hukum Lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-8/2010 Tanggal 27 Pebruari 2012 Terhadap Status Hukum Anak ... 59

C. Permasalahan Penerapan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-8/2010 Tanggal 27 Pebruari 2012 Dalam Kaitannya Status Hukum Anak. ... 72

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 78

A. Kesimpulan ... 78

(7)

DAFTAR PUSTAKA

(8)

ABSTRAK

ASPEK HUKUM PENCATATAN KELAHIRAN ANAK DAN KAITANNYA DENGAN HUBUNGAN ANAK DAN ORANG TUANYA

(Studi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010)

Kehadiran seorang anak di luar perkawinan akan menjadikan suatu permasalahan yang cukup memprihatinkan baik bagi seorang wanita yang melahirkan maupun bagi lingkungan masyarakat setempat. Dengan adanya anak lahir di luar perkawinan itu akan menimbulkan banyak pertentangan-pertentangan di antara keluarga maupun di dalam masyarakat mengenai hak dan kewajiban anak tersebut. Kondisi dari pertentangan tentang kedudukan anak luar kawin ini kemudian semakin mengemuka tatkala Mahkamah Konstitusi pada hari Jumat tanggal 17 Februari 2012 mengabulkan sebagian permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah keberadaan pencatatan kelahiran anak dan kaitannya dengan status hukum anak, bagaimanakah akibat hukum lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-8/2010 tanggal 27 Pebruari 2012 terhadap status hukum anak, dan bagaimana permasalahan penerapan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-8/2010 dalam kaitannya status hukum anak.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mempergunakan metode penelitian normative, dengan mengoptimalkan bahan-bahan hukum primer dan sekunder dalam menjawab permasalahan penelitian ini.

Setelah dilakukan pengumpulan dan analisis data maka diketahui akibat hukum lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-8/2010 tanggal 27 Pebruari 2012 terhadap status hukum anak adalah anak tersebut memiliki hubungan tidak saja dengan ibunya tetapi juga dengan ayahnya. Anak yang dimaksudkan disini adalah anak luar kawin dimana perkawinan antara ayah dan ibunya tidak dicatatkan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 bukan anak luar kawin dari hasil anak zina. Keberadaan pencatatan kelahiran anak dalam kaitannya dengan status hukum anak akan memberikan pembuktian hubungan keperdataan antara anak dengan orang tuanya. Permasalahan penerapan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-8/2010 dalam kaitannya status hukum anak adalah berubahnya pola pemberian pengesahan terhadap anak dari akta kelahiran, dimana selama ini dalam akta hanya diterangkan nama ibunya saja, tetapi dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-8/2010 maka nama sang ayah juga turut disertakan.

(9)

ABSTRAK

ASPEK HUKUM PENCATATAN KELAHIRAN ANAK DAN KAITANNYA DENGAN HUBUNGAN ANAK DAN ORANG TUANYA

(Studi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010)

Kehadiran seorang anak di luar perkawinan akan menjadikan suatu permasalahan yang cukup memprihatinkan baik bagi seorang wanita yang melahirkan maupun bagi lingkungan masyarakat setempat. Dengan adanya anak lahir di luar perkawinan itu akan menimbulkan banyak pertentangan-pertentangan di antara keluarga maupun di dalam masyarakat mengenai hak dan kewajiban anak tersebut. Kondisi dari pertentangan tentang kedudukan anak luar kawin ini kemudian semakin mengemuka tatkala Mahkamah Konstitusi pada hari Jumat tanggal 17 Februari 2012 mengabulkan sebagian permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah keberadaan pencatatan kelahiran anak dan kaitannya dengan status hukum anak, bagaimanakah akibat hukum lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-8/2010 tanggal 27 Pebruari 2012 terhadap status hukum anak, dan bagaimana permasalahan penerapan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-8/2010 dalam kaitannya status hukum anak.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mempergunakan metode penelitian normative, dengan mengoptimalkan bahan-bahan hukum primer dan sekunder dalam menjawab permasalahan penelitian ini.

Setelah dilakukan pengumpulan dan analisis data maka diketahui akibat hukum lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-8/2010 tanggal 27 Pebruari 2012 terhadap status hukum anak adalah anak tersebut memiliki hubungan tidak saja dengan ibunya tetapi juga dengan ayahnya. Anak yang dimaksudkan disini adalah anak luar kawin dimana perkawinan antara ayah dan ibunya tidak dicatatkan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 bukan anak luar kawin dari hasil anak zina. Keberadaan pencatatan kelahiran anak dalam kaitannya dengan status hukum anak akan memberikan pembuktian hubungan keperdataan antara anak dengan orang tuanya. Permasalahan penerapan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-8/2010 dalam kaitannya status hukum anak adalah berubahnya pola pemberian pengesahan terhadap anak dari akta kelahiran, dimana selama ini dalam akta hanya diterangkan nama ibunya saja, tetapi dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-8/2010 maka nama sang ayah juga turut disertakan.

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak adalah dambaan suatu keluarga dalam suatu perkawinan yang sah,

baik itu sebagai generasi penerus ayah dan ibunya. Anak adalah harta dunia yang

sekaligus juga merupakan rahmat dan cobaan dari Allah SWT. Pada anak banyak

dibebankan harapan khususnya sebagai orang yang kelak memelihara orang tuanya

di kemudian hari.

Anak sebagai fitrah Tuhan Yang Maha Esa perlu mendapatkan perawatan

sebaik-baiknya dan merupakan tunas-tunas bangsa yang akan meneruskan cita-cita

bangsa yaitu mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur. Setiap anak

dapat atau mampu memikul tanggungjawabnya di masa depan, maka perlu

mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang

secara normal baik jasmani, rohani maupun sosial.

Namun demikian terdapat pula keadaan dimana kelahiran seorang anak

dalam suatu keluarga tidak selamanya merupakan suatu kebahagiaan. Hal ini

biasanya terjadi apabila seorang wanita yang tidak bersuami melahirkan anak.

Anak yang lahir dari seorang wanita yang tidak mempunyai suami atau laki-laki

yang bukan suaminya dinamakan anak luar kawin.

Hukum adat mengenal bermacam-macam anak, yaitu anak sah, anak

kandung, anak angkat, anak tiri dan anak yang lahir di luar perkawinan. Oleh

karena pengertian yang berbeda-beda itu, maka sebaiknya diuraikan sesuai dengan

(11)

a. Anak sah

Ialah anak yang dilahirkan dari pernikahan yang sah menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.

b. Anak kandung

Ialah anak yang dilahirkan dari kandungan ibu dan ayah biologisnya. c. Anak angkat

Ialah seorang anak yang bukan keturunan dari suami istri, namun ia diambil, dipelihara dan diperlakukan seperti halnya anak keturunannya sendiri, sehingga antara anak yang diangkat dan orang yang mengangkat anak timbul suatu hubungan kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua dan anak kandung sendiri.

d. Anak Tiri

Ialah anak kandung istri janda atau dari suami duda yang mengikuti tali perkawinan.

e. Anak yang lahir di luar perkawinan

Ialah anak yang lahir dari seorang wanita yang tidak mempunyai suami atau anak yang mempunyai bapak dan ibu yang tidak terikat dalam suatu ikatan perkawinan yang sah.1

KUHPerdata membedakan antara anak sah dan anak tidak sah atau anak

luar kawin. Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat

perkawinan yang sah, sedangkan anak yang tidak sah atau anak luar kawin adalah

anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah antara kedua orang tuanya. Hal

ini dinyatakan dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, bahwa anak

yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang

sah. Namun demikian, dalam Pasal ini tidak disebutkan adanya suatu tenggang

waktu untuk menentukan sah atau tidaknya seorang anak. Adapun seorang anak

yang dilahirkan dari suatu perkawinan yang sah mempunyai kedudukan yang jelas

terhadap hak-haknya termasuk hak mewarisnya.2

1

Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris Adat Di Kecamatan

Boyolali Kabupaten Boyolali”, Skripsi, Program Studi Magister Kenotariatan Universitas

Diponegoro, Semarang, 2006, hal 28-29.

2

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut; Perundangan, Hukum

(12)

Di dalam KUHPerdata dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 berlaku

prinsip bahwa keturunan yang sah didasarkan atas suatu perkawinan yang sah.

Dalam Pasal 250 KUHPerdata dinyatakan bahwa anak yang dilahirkan atau

dibesarkan selama perkawinan, memperoleh si suami sebagai ayahnya. Dengan

demikian, anak yang lahir atau dibesarkan selama perkawinan walaupun dari benih

orang lain adalah anak dari suami ibunya yang terikat dalam perkawinan.3

Kehadiran seorang anak di luar perkawinan akan menjadikan suatu

permasalahan yang cukup memprihatinkan baik bagi seorang wanita yang

melahirkan maupun bagi lingkungan masyarakat setempat. Dengan adanya anak

lahir di luar perkawinan itu akan menimbulkan banyak pertentangan-pertentangan

di antara keluarga maupun di dalam masyarakat mengenai kedudukan hak dan

kewajiban anak tersebut.

Kondisi dari pertentangan tentang kedudukan anak luar kawin ini kemudian

semakin mengemuka tatkala Mahkamah Konstitusi pada hari Jumat tanggal 17

Februari 2012 mengabulkan sebagian permohonan pengujian Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

Lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi tentang kedudukan anak luar

kawin ini menjadi suatu hal yang menarik untuk dikaji dalam bentuk skripsi

khususnya dalam kaitannya pencatatan kelahiran anak dalam kaitannya dengan

hubungan anak dengan orang tuanya.

3

(13)

Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara baru dalam struktur

kelembagaan negara Republik Indonesia yang dibentuk berdasakan amanat Pasal

24 C jo Pasal III Aturan Peralihan Perubahan UUD 1945. 4

Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu

perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul pada abad

ke-20. Ditinjau dari aspek waktu, negara kita tercatat sebagai negara ke-78 yang

membentuk MK sekaligus merupakan negara pertama di dunia pada abad ke-21

yang membentuk lembaga ini.5

Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 menetapkan bahwa

Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) merupakan salah satu lembaga

negara yang mempunyai kedudukan setara dengan lembaga-lembaga negara

lainnya, seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan

Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, Mahkamah

Agung (MA), dan yang terakhir terbentuk yaitu Komisi Yudisial (KY). Mahkamah

Konstitusi (MK) merupakan salah satu lembaga yudikatif selain Mahkamah Agung

yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan

peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.6

Mahkamah Konstitusi selanjutnya akan disebut dengan (MK) mengabulkan

sebahagian permohonan pengujian. MK menyatakan Pasal 43 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur hubungan

4

Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, Mahkamah Konstitusi, Rineka Cipta, Jakarta, 2006, hal. 18.

Diakses tanggal 8 Nopember

2012.

6

(14)

keperdataan anak di luar perkawinan bertentangan dengan UUD 1945.

Permohonan pengujian Pasal dimaksud diajukan oleh Machica Mochtar, artis yang

menikah secara siri dengan Mantan Menteri Sekretaris Negara di Era Orde Baru

Moerdiono. Machica memohonkan agar Pasal 2 ayat (2) yang mengatur masalah

pencatatan perkawinan dan Pasal 43 ayat (1) yang mengatur status keperdataan

anak luar kawin dinyatakan bertentangan dengan konstitusi dan harus dinyatakan

tidak mempunyai kekuatan hukum dengan segala akibatnya. 7

Putusan ini tentunya menimbulkan pro dan kontra di masyarakat, bagi

pihak yang mendukung menilai putusan ini merupakan terobosan hukum yang

progresif dalam melindungi anak, sedangkan bagi pihak yang kontra

mengkhawatirkan putusan ini merupakan afirmasi dan legalisasi terhadap

pernikahan siri maupun perbuatan zina, kumpul kebo.8

Apabila dilihat dari pertimbangan hukumnya, maka kekhawatiran pihak

yang kontra terhadap putusan ini sebenarnya tidak beralasan. Justru putusan ini

memberikan pesan moral kepada laki-laki untuk tidak sembarangan melakukan

hubungan seks di luar pernikahan, karena ada implikasi yang akan

dipertanggungjawabkan akibat perbuatannya tersebut. MK bermaksud agar anak

yang dilahirkan di luar pernikahan mendapatkan perlindungan hukum yang

memadai, karena pada prinsipnya anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya

di luar kehendaknya. Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah

7

Kementerian Hukum dan HAM, Kantor Wilayah Sumatera Utara, “Kedudukan Anak

Luar Nikah Pasca Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010”,

Diakses tanggal 4 Juni 2012.

8

(15)

seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah-tengah

masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil

terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya,

termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya

masih dipersengketakan.9

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, perumusan masalah dalam

penelitian ini adalah:

a. Bagaimanakah keberadaan pencatatan kelahiran anak dalam kaitannya dengan

status hukum anak?

b. Bagaimanakah akibat hukum lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor:

46/PUU-8/2010 tanggal 27 Pebruari 2012 terhadap status hukum anak?

c. Apakah permasalahan penerapan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

46/PUU-8/2010 dalam kaitannya status hukum anak?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui keberadaan pencatatan kelahiran anak dalam kaitannya

dengan status hukum anak.

2. Untuk mengetahui akibat hukum lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor: 46/PUU-8/2010 tanggal 27 Pebruari 2012 terhadap status hukum anak.

9

(16)

3. Untuk mengetahui permasalahan penerapan putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 46/PUU-8/2010 dalam kaitannya status hukum anak.

D. Manfaat Penulisan

Berangkat dari permasalahan-permasalahan di atas penelitian ini

diharapkan dapat memberikan faedah sebagai berikut :

a. Dari segi teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

pemikiran mengenai perkembangan hukum keperdataan dalam kaitannya

dengan kedudukan anak luar kawin dari aspek keperdataan.

b. Secara praktis, penelitian ini diharapkan akan memberikan sumbangan kepada

berbagai pihak tentang upaya perlindungan hukum terhadap anak luar kawin.

E. Metodologi Penulisan

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri atas:

1. Sifat/materi penelitian

Sifat penelitian ini adalah normatif atau penelitian hukum doktriner, yaitu

penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka (data sekunder) atau

penelitian hukum perpustakaan.10

2. Sumber data

Sumber data penelitian ini berasal dari data sekunder. Data sekunder yakni

didapatkan dengan melakukan pengumpulan referensi yang berkaitan dengan objek

10

(17)

atau materi penelitian yang meliputi:

a. Bahan hukum primer, dalam penelitian ini dipakai adalah Undang-Undang No.

1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

46/PUU-VIII/2010.

b. Bahan hukum sekunder, berupa bacaan yang relevan dengan materi yang

diteliti.

c. Bahan hukum tertier, yaitu dengan menggunakan kamus hukum dan kamus

Bahasa Indonesia, dan internet.

3. Alat pengumpul data

Alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini

adalah melalui studi dokumen dan penelusuran kepustakaan.

4. Analisis data

Untuk mengolah dan menganalisis data yang didapatkan dari

penelusuran kepustakaan, peneliti pada kesempatan pertama membaca dan

meringkas putusan MK yang menjadi fokus dari studi ini. Setelah itu peneliti

melakukan inventarisasi peraturaan terkait, khususnya dalam KUHPerdata UU No.

1 Tahun 1974, UU No. 32 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Setelah itu

peneliti melakukan komparasi/perbandingan antara putusan MK dimaksud dengan

perundang-undangan terkait.Terakhir, peneliti mengumpulkan hasil temuan yang

(18)

F. Keaslian Penulisan

Adapun penulisan skripsi yang berjudul mengenai Aspek Hukum

Pencatatan Kelahiran Anak Dan Kaitannya Dengan Hubungan Anak Dan Orang

Tuanya ( Studi Putusan Mahkamah Konsitusi No. 46/PUU-VIII/2010) belum

pernah ditulis dan belum pernah ada pembahasan sebelumnya. Hal ini didasarkan

penelusuran yang dilakukan pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara dan perpustakaan Universitas Sumatera Utara.

Akan tetapi dari ada hasil penelitian terdahulu yang bahasanya hampir

bersamaan, yaitu :

1. Skripsi yang disusun oleh Bambang S Adi Putra dengan judul Status Anak Luar

Kawin Ditinjau Dari Hukum Perdata Dan Hukum Islam.

2. Skripsi yang disusun oleh Benedicta Arsita dengan judul Kedudukan anak Luar

Kawin Dalam Pewarisan Menurut Hukum Perdata Dan Hukum Islam.

3. Skripsi yang disusun oleh Riki Syahputra dengan judul Tinjauan Hukum

Terhadap Hak Dan Kewajiban Anak Dan Orang Tua Ditinjau Dari

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawainan Dan Hukum Islam.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa Bab, dimana dalam bab

terdiri dari unit-unit bab demi bab. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam

bentuk uraian:

Bab I. Pendahuluan

(19)

pada umumnya yaitu, Latar Belakang, Permasalahan, Tujuan

Penulisan, Manfaat Penulisan, Metodologi Penulisan, Keaslian

Penulisan serta Sistematika Penulisan.

Bab II. Pencatatan Kelahiran Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang: Pengertian

Pencatatan Kelahiran Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974,

Tujuan Pencatatan Kelahiran Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun

1974, Kendala Dalam Pelaksanaan Pencatatan Kelahiran Menurut

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 serta Pencatatan Kelahiran

Menurut KUHPerdata.

Bab III. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-8/2010 Tanggal 27

Pebruari 2012.

Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang Pengertian dan

Latar Belakang Lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor:

46/PUU-8/2010 Tanggal 27 Pebruari 2012, Tujuan Dari Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-8/2010 Tanggal 27 Pebruari

2012 serta Substansi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor:

46/PUU-8/2010 Tanggal 27 Pebruari 2012.

Bab IV. Pencatatan Kelahiran Anak Dalam Kaitannya Dengan Status Hukum

Anak Terhadap Orang Tuanya.

Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan terhadap Keberadaan

Pencatatan Kelahiran anak Dalam Kaitannya Dengan Status Hukum

(20)

Nomor: 46/PUU-8/2010 Tanggal 27 Pebruari 2012 serta Permasalahan

Penerapan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-8/2010

Tanggal 27 Pebruari 2012 Dalam Kaitannya Status Hukum Anak.

Bab V. Kesimpulan dan Saran

Bab ini adalah bab penutup, yang merupakan bab terakhir dimana akan

(21)

BAB II

PENCATATAN KELAHIRAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1

TAHUN 1974

A. Pengertian Pencatatan Kelahiran Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun

1974

Anak dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara adalah masa depan

bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga Negara berkewajiban

memenuhi hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang,

berpartisipasi, perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi. Negara,

pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua berkewajiban dan bertanggung

jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak, karena anak dari sisi

perkembangan fisik dan psikis manusia merupakan pribadi yang lemah, belum

dewasa dan masih membutuhkan perlindungan.

Akta kelahiran adalah akta catatan sipil hasil pencatatan terhadap peristiwa

kelahiran seseorang. Sampai saat ini masih banyak anak Indonesia yang

identitasnya tidak/belum tercatat dalam akta kelahiran, secara de jure

keberadaannya dianggap tidak ada oleh negara. Hal ini mengakibatkan anak yang

lahir tersebut tidak tercatat namanya, silsilah dan kewarganegaraannya serta tidak

terlindungi keberadaanya. Banyak permasalahan yang terjadi berpangkal dari

manipulasi (rekayasa) identitas anak, semakin tidak jelas identitas seorang anak,

maka semakin mudah terjadi eksploitasi terhadap anak seperti anak menjadi

korban perdagangan bayi dan anak, tenaga kerja dan kekerasan. Faktor atau

(22)

untuk melakukan pencatatan kelahiran anak terutama anak-anak dari keluarga

miskin. Selain itu disebabkan juga oleh kelalaian orang tua si anak dalam

melakukan pencatatan.

Salah satu hal penting yang melekat pada diri manusia adalah Akta

Kelahiran. Akta Kelahiran menjadi isu global dan sangat asasi karena menyangkut

identitas diri dan status kewarganegaraan. Disamping itu Akta Kelahiran

merupakan hak identitas seseorang sebagai perwujudan Konvensi Hak Anak

(KHA) dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Akta Kelahiran

bersifat universal, karena hal ini terkait dengan pengakuan negara atas status

keperdataan seseorang. Selain itu jika seorang anak manusia yang lahir kemudian

identitasnya tidak terdaftar, kelak akan menghadapi berbagai masalah yang akan

berakibat pada negara, pemerintah dan masyarakat. Dalam perspektif KHA, negara

harus memberikan pemenuhan hak dasar kepada setiap anak, dan terjaminnya

perlindungan atas keberlangsungan, tumbuh kembang anak.

Pasal 2 ayat (1) Konvensi Hak Anak berbunyi:

Negara-negara peserta akan menghormati dan menjamin hak-hak yang dinyatakan dalam konvensi yang sekarang dari setiap anak dalam jurisdiksi mereka tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun tanpa dipandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, keyakinan politik dan pendapat-pendapat lain, kebangsaan, asal etnik atau sosial, kekayaan, ketidakmampuan, kelahiran atau kedudukan lain dari anak atau orang tua anak atau pengaruhnya yang sah.

Pasal 2 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, berbunyi:

Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi:

a. Nondiskriminasi;

b. Kepentingan yang terbaik bagi anak;

(23)

d. Penghargaan terhadap pendapat anak

Posisi Anak dalam Konstitusi UUD 1945, terdapat dalam pasal 28 B ayat 2

yaitu : “Setiap Anak Berhak Atas Kelangsungan Hidup, Tumbuh dan Berkembang,

Serta Berhak Atas Perlindungan Dari Kekerasan dan Diskriminasi”.

Hak-hak Anak diberbagai Undang-Undang, antara lain UU No. 39/1999

tentang HAM maupun UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, jelas

menyatakan Akta Kelahiran menjadi hak anak dan tanggung jawab pemerintah

untuk memenuhinya.

Terdapat sejumlah manfaat atau arti penting dari kepemilikan akta

kelahiran, yakni : menjadi bukti bahwa negara mengakui atas identitas seseorang

yang menjadi warganya, sebagai alat dan data dasar bagi pemerintah untuk

menyusun anggaran nasional dalam bidang pendidikan, kesehatan, sosial dan

perlindungan anak, merupakan bukti awal kewarganegaraan dan identitas diri

pertama yang dimiliki anak, menjadi bukti yang sangat kuat bagi anak untuk

mendapatkan hak waris dari orangtuanya, mencegah pemalsuan umur, perkawinan

di bawah umur, tindak kekerasan terhadap anak, perdagangan anak, adopsi ilegal

dan eksploitasi seksual, anak secara yuridis berhak untuk mendapatkan

perlindungan, kesehatan, pendidikan, pemukiman, dan hak-hak lainnya sebagai

warga negara.11

Indonesia termasuk salah satu dari 20 negara yang cakupan pencatatan

kelahirannya paling rendah, dan keadaan di daerah pedesaan lebih buruk daripada

di perkotaan. Kesenjangan ini termasuk yang tertinggi di dunia. Banyak faktor

11

(24)

yang memengaruhi rendahnya cakupan pencatatan kelahiran, mulai dari kurangnya

kesadaran masyarakat akan pentingnya pencatatan kelahiran, biaya yang tinggi

untuk pencatatan, prosedur yang sulit, serta kurangnya akses terhadap pelayanan

pencatatan yang biasanya berada di tingkat kabupaten/kota.

Masih banyak orangtua yang belum memahami tentang pentingnya akta

kelahiran. Maklum karena akta kelahiran baru ada Undang-undangnya pada tahun

2002 melalui undang-undang perlindungan anak sehingga belum tersosialisasi.

Dalam UU tahun 2002 menyatakan bahwa pemberian akta kelahiran harus

diberikan tanpa biaya. Kemudian ada UU No. 23 tahun 2006 tentang administrasi

kependudukan yang mengatur lebih lanjut tentang pemberian akta kelahiran.

Memang menurut UU setiap bayi yang lahir, 60 hari setelah itu harus

dicatat dan diberikan akta kelahiran. Masalahnya negara kita ini geografisnya

sangat luas, dan masih banyak masyarakat adat terpencil. Departemen Dalam

Negeri dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil memberikan alternatif, bahwa

seorang anak yang lahir dari perkawinan siri tanpa dokumen maka dianggap

sebagai anak dari orangtua tunggal (ibu), tetapi masih diberikan catatan pinggir

bagian kiri ”anak diluar nikah” ini yang kita inginkan agar dihapus. Ini

memberikan labelisasi pada seorang anak, yang menurut perlindungan anak tidak

pas, karena memberikan stigmanisasi pada anak.

Anak yang diangkat oleh orangtua asuh juga diharapkan dapat mempunyai

akta. Tetapi memang kita tidak boleh menghilangkan hubungan darah antara

orangtua dan anaknya, sehingga masih tetap dicantumkan orangtua biologisnya.

(25)

maupun material ini sangat penting untuk mencegah terjadinya pemalsuan

identitas, kekerasan terhadap anak, perkawinan dibawah umur, pekerja anak.

Fungsi lainnya untuk kepastian umur untuk sekolah, paspor, KTP, dan hak politik

pada Pemilu.

Fungsi akta kelahiran untuk negara yaitu mengetahui data anak secara

akurat di seluruh Indonesia untuk kepentingan perencanaan dan guna menyusun

data statistik negara yang dapat menggambarkan demografi, kecenderungan dan

karakteristik penduduk serta arah perubahan sosial yang terjadi. Bagi mereka yang

lewat 60 hari s/d 1 tahun masih dapat membuat akta kelahiran asal disetujui oleh

Kepala Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Bila sudah lebih dari 1

tahun harus melalui penetapan pengadilan, yang biayanya tidak sedikit.

B. Tujuan Pencatatan Kelahiran Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun

1974

Sebagai salah satu sistem pencatatan yang ada pada sebuah negara,

pencatatan kelahiran bersifat universal pada dasarnya merupakan pengakuan

negara atas status keperdataan seseorang. Dalam pengertian yang lebih konkrit,

pencatatan kelahiran" memberikan pengakuan hukum dari negara terhadap

identitas, silsilah dan kewarganegaraan seseorang, yang diwujudkan melalui

dokumen pencatatan kelahiran, yaitu akta kelahiran.

Kelahiran merupakan kehadiran anggota keluarga baru yang harus segera

dilaporkan. Kepemilikan Akta Kelahiran merupakan wujud pemenuhan kewajiban

(26)

Meskipun akta kelahiran merupakan dokumen yang sangat penting, namun

masih banyak masyarakat yang enggan mengurusnya secara cepat. Mereka sering

menunda pengurusannya karena malas. bahkan masih ada yang tidak mau

mengurusnya sama sekali. Padahal idealnya, pembuatan akta kelahiran dilakukan

dalam waktu 60 hari sejak persalinan. Dengan demikian setiap kelahiran

dilaporkan dengan cepat, sehingga mendukung upaya pencatatan kependudukan

secara akurat, sebagaimana diamanahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006.

Mengapa setiap orang harus memiliki Akta kelahiran, akta Kelahiran

mempunyai banyak manfaat antara lain:

a. Sebagai wujud pengakuan negara mengenai status individu, status perdata, dan

status kewarganegaraan seseorang.

b. Sebagai dokumen/bukti sah mengenai identitas seseorang.

c. Sebagai bahan rujukan penetapan identitas dalam dokumen lain, misalnya

ijazah.

d. Masuk sekolah TK sampai perguruan tinggi.

e. Melamar pekerjaan, termasuk menjadi anggota TNI dan POLRI.

f. Pembuatan KTP, KK dan NIK.

g. Pembuatan SIM.

h. Pembuatan pasport.

i. Pengurusan tunjangan keluarga.

j. Pengurusan warisan.

k. Pengurusan beasiswa.

(27)

m. Melaksanakan pencatatan perkawinan.

n. Melaksanakan ibadah haji.

o. Pengurusan kematian.

p. Pengurusan perceraian.

q. Pengurusan pengakuan anak.

r. Pengurusan pengangkatan anak/adopsi.

Begitu besarnya manfaat Akta Kelahiran, hampir setiap urusan,

membutuhkan Akta Kelahiran. Akta Kelahiran ini bisa dikatakan sebagai

kebutuhan administrasi dasar yang harus dipenuhi oleh setiap orang.

Sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan Pasal 27, bahwa setiap kelahiran wajib dilaporkan oleh penduduk

kepada instansi pelaksana (Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil

Kabupaten/Kota) di tempat terjadinya peristiwa kelahiran paling lambat 60 (enam

puluh) hari sejak kelahiran.

C. Kendala Dalam Pelaksanaan Pencatatan Kelahiran Menurut

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

Adapun kendala dalam pelaksanaan pencatatan kelahiran menurut

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 meliputi:

1. Masih rendahnya pemahaman para orang tua dan keluarga, mengenai nilai

guna dari Akta Kelahiran serta kewajiban pelaporan kelahiran tepat waktu

(kurang dari 60 hari kerja), sehingga pendaftaran kelahiran baru dilakukan

(28)

2. Kurangnya kepemilikan persyaratan untuk pelaporan kelahiran (tidak adanya

bukti kelahiran dari penolong kelahiran, tidak dimilikinya Buku Nikah/Akta

Perkawinan Orang Tua).

3. Masih rendahnya komitmen Kepala Daerah, para pembuat kebijakan publik

dan petugas pencatatan sipil dalam mengimplementasikan proses Akta

Kelahiran bebas biaya, sehingga disebagian pemerintah daerah masih

menjadikan Akta Kelahiran sebagai sumber pendapatan daerah.

4. Masih terbatas dan belum terpenuhinya baik alokasi anggaran, kelembagaan,

ketatalaksanaan dan SDM, baik ditingkat pusat maupun daerah yang memadai

dalam proses pemberian layanan pembuatan Akta Kelahiran supaya tidak

dikenai biaya.

5. Masih ada kesan seolah pembuatan akta kelahiran mahal, prosedur birokrasi

berbelit-belit, jarak tempuh dari desa ke-kecamatan/ke-kabupaten/kota terlalu

jauh sehingga proses pengurusan banyak melibatkan jasa pihak ketiga.

6. Adanya Ketentuan perundang-undangan (UU No. 23/2006 tentang Adminduk)

yang menetapkan bahwa untuk kelahiran yang pelaporannya melebihi 1 tahun

sejak tanggal kelahirannya melalui ijin penetapan PN (saat ini baru

diberlakukan bagi kelahiran setelah UU No. 23/2006).

Upaya untuk mempercepat pemenuhan hak identitas bagi anak:

1. Pemerintah perlu melakukan harmonisasi UU No. 23/2006 tentang

Administrasi Kependudukan, pasal 32 dengan UU NO. 23/2002 tentang

Perlindungan Anak, pasal 5, 27, 28.

(29)

Administrasi Kependudukan dan UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak

kepada masyarakat.

3. Pemerintah dan Pemerintah Daerah secara terpadu perlu pro aktif dan

mendekatkan akses layanan masyarakat untuk pemenuhan akta kelahiran tidak

dipungut biaya kepada semua anak (0-18 tahun), serta mengembangkan

koordinasi dengan Instansi terkait dalam rangka menumbuhkan kondisi

kebutuhan masyarakat terhadap akta kelahiran; (sektor Kesehatan, Pendidikan

dan Peradilan)

4. Terus mendorong terwujudnya UPTD instansi pelaksana tingkat kecamatan

disamping adanya program peningkatan kualitas dan kuantitas SDM.

5. Menyerahkan kebijakan masa transisi penerapan UU No. 23/2006 (dispensasi

pencatatan kelahiran) kepada daerah sesuai dengan kebutuhan atau

pemberlakuan ketentuan keterlambatan pencatatan kelahiran lebih dari 1 (satu)

tahun melalui ijin PN diprioritaskan bagi kelahiran setelah UU No. 23/2006

dan tetap memberlakukan dispensasi bagi kelahiran sebelum UU No. 23/2006.

Mencermati permasalahan-permasalahan dalam pencatatan kelahiran

tersebut, maka persoalan-persoalan dalam pencatatan kelahiran bukan semata akta

kelahiran telah gratis saja, namun lebih jauh dari itu perlu peningkatan kualitas

pelayanan pencatatan kelahiran secara lebih luas meliputi kelembagaan,

ketatalaksanaan, alokasi anggaran, SDM, dan sebagainya. Oleh karena itu

pemberian Akta Kelahiran adalah menjadi tanggungjawab negara dalam hal ini

pemerintah pusat maupun daerah. Jadi Pemerintah, penuhilah hak anak dalam hal

(30)

(HAM) dan sesungguhnya merupakan pelaksanaan amanat UUD 1945, UU No.

23/2002 yang berkaitan keperdataan seseorang berupa hak identitas dan

kewarganegaraan.

D. Pencatatan Kelahiran Menurut KUHPerdata

Pencatatan kelahiran adalah bukti sah mengenai status anak yang

dikeluarkan oleh catatan sipil. Pencatatan kelahiran adalah akta atau catatan otentik

yang dibuat oleh pegawai catatan sipil berupa catatan resmi tentang tempat dan

waktu kelahiran anak, nama anak, dan nama orang tua anak secara lengkap dan

jelas, serta status kewarganegaraan anak.

Pada prinsipnya pencatatan kelahiran adalah hanya sebuah catatan

administratif dianggap penting karena data yang ada di dalam akta kelahiran dapat

digunakan sebagai bukti jati diri bagi si anak, sehubungan dengan hak waris atau

klaim asuransi dan pengurusan hal administratif lainnya seperti tunjangan keluarga,

paspor, KTP, SIM, pengurusan perkawinan, perizinan, mengurus beasiswa dan

lain-lain.

Pada dasarnya aspek hukum pencatatan kelahiran dalam usaha

perlindungan anak merupakan suatu wujud dari kekuatan suatu pembuktian tentang

status seorang anak yang baru dilahirkan. Dimana dengan status tersebut maka

diketahui siapa orang tuanya yang memiliki kewajiban untuk memelihara dan

mendidiknya.

Dengan demikian maka aspek hukum pelaksanaan pencatatan dalam usaha

(31)

memberikan bukti kedudukan anak baik itu statusnya, maupun juga orang tua dan

keluarganya. Sehingga pelaksanaan pencatatan tersebut dituangkan dalam suatu

bentuk akta yaitu akta kelahiran.

Sebagaimana disebutkan oleh Sudikno Mertokusumo, bahwa fungsi

terpenting dari pada akta adalah sebagai alat bukti. Sampai seberapa jauhkah akta

mempunyai kekuataan pembuktian ? tentang kekuataan pembuktian dari pada akta

dapat dibedakan antara :

1. Kekuataan pembuktian lahir.

Yang dimaksudkan dengan kekuataan pembuktian lahir, ialah kekuataan pembuktian yang didasarkan atas keadaan lahir, apa yang tampak pada lahirnya, yaitu bahwa surat yang tampaknya (dari lahir) seperti akta, dianggap (mempunyai kekuataan) seperti akta sepanjang tidak terbukti sebaliknya.

2. Kekuatan pembuktian formil.

Kekuataan pembuktian formil itu menyangkut pertanyaan :benarkah bahwa ada pertanyaan. Jadi kekuataan pembuktian formil ini didasarkan atas ada tidaknya pernyataan oleh yang bertanda tangan di bawah itu. Kekuataan pembuktian formil ini memberi tentang peristiwa bahwa pejabat dan para pihak menyatakan dan melakukan apa yang dimuat dalam akta

3. Kekuataan pembuktian materiil.

Kekuatan pembuktian materiil ini menyangkut pertanyaan : “ benarkah isi pernyataan di dalam akta itu ? jadi kekuataan pembuktian materiil ini memberi kepastian tentang materi suatu akta, kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat atau para pihak menyatakan dan melakukan seperti yang dimuat dalam akta.12

Akta catatan sipil adalah akta otentik karena akta tersebut dibuat oleh

pejabat yang berwenang yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, dimana

dalam hal ini pegawai pencatat sipil, baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang

berkepentingan yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya

oleh yang berkepentingan.

12

(32)

Menurut Pasal 165 HIR (pasal 285 Rbg,) maka akta otentik bagi para pihak

dan ahli warisnya serta mereka yang memperoleh hak dari padanya, merupakan

bukti sempurna, tentang apa yang termuat di dalamnya dan bahkan tentang yang

terdapat dalam akta sebagai pengaturan belaka, yang terakhir ini hanya sepanjang

yang dituturkan dalam akta tersebut tidak ada hubungan langsung dengan pokok

akta menurut Pasal 1871 KUH Perdata hal itu hanya akan berlaku sebagai

permulaan bukti tertulis. Adapun isi Pasal 1871 KUH Perdata adalah :

(1) Suatu akta otentik namunlah tidak memberikan bukti yang yang sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya sebagai suatu penuturan belaka, selainnya sekedar apa yang dituturkan itu ada hubungannya langsung dengan pokok isi akta.

(2) Jika apa yang termuat disitu sebagai suatu penuturan belaka tidak ada hubungannya langsung dengan pokok isi akta, maka itu hanya dapat berguna sebagai permulaan pembuktian dengan tulisan.

Selanjutnya menurut pasal 1872 KUH Perdata apabila akta otentik yang

bagaimanapun sifatnya diduga palsu, maka pelaksanaannya dapat ditangguhkan.

Akta catatan sipil sebagaimana diuraikan di atas adalah akta otentik yang sesuai

pasal di atas dapat dijadikan sebagai bukti tentang apa yang ada di dalamnya baik

itu tentang adanya kelahiran, kematian, pengakuan anak dan juga perceraian.

Sebagai azas berlaku acta publica probant sese ipsa, yang berarti bahwa

suatu akta yang lahirnya tampak sebagai akta otentik serta memenuhi syarat-syarat

yang telah ditentukan, maka akta itu berlaku atau dapat dianggap sebagai akta

otentik, sampai terbukti sebaliknya. Hal ini berarti bahwa tanda tangan pejabat

dianggap sebagai aslinya, sampai ada pembuktian sebaliknya.

Beban pembuktiannya terletak pada siapa yang mempersoalkan otentik

tidaknya akta catatan sipil tersebut. Beban pembuktian ini terikat pada ketentuan

(33)

Kekuataan pembuktian lahir ini berlaku bagi kepentingan atau keuntungan

dan terhadap setiap orang dan tidak terbatas pada para pihak saja.

Sebagai alat bukti maka akta otentik catatan sipil yang dikeluarkan pejabat, ini

keistimewaannya terletak pada kekuataan pembuktian lahir.

Menurut Pasal 1868 KUH Perdata “ Suatu akta otentik yalah suatu akta

yang di dalam bentuk ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan

pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akte dibuatnya “.

(34)

BAB III

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR: 46/PUU-8/2010

TANGGAL 27 PEBRUARI 2012

A. Pengertian dan Latar Belakang Lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor: 46/PUU-8/2010 Tanggal 27 Pebruari 2010

Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara baru dalam struktur

kelembagaan negara Republik Indonesia yang dibentuk berdasakan amanat Pasal

24 C jo Pasal III Aturan Peralihan Perubahan UUD 1945. 13

Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu

perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul pada abad

ke-20. Ditinjau dari aspek waktu, negara kita tercatat sebagai negara ke-78 yang

membentuk MK sekaligus merupakan negara pertama di dunia pada abad ke-21

yang membentuk lembaga ini.14

Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 menetapkan bahwa

Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara pengawal konstitusi (The Guardian

of Constitution)15

13

Nuruddin Hadi, 2007, Wewenang Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Prestasi Pustaa Publishing, hal. 18.

merupakan salah satu lembaga negara yang mempunyai

kedudukan setara dengan lembaga-lembaga negara lainnya, seperti Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan

Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, Mahkamah Agung (MA), dan yang

terakhir terbentuk yaitu Komisi Yudisial (KY). Mahkamah Konstitusi (MK)

14

Scribd, Op.Cit.

15

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2009, Panduan Teknis

Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden,

(35)

merupakan salah satu lembaga yudikatif selain Mahkamah Agung yang

melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan

peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.16

Model MK sebagaimana ditegaskan di dalam UUD RI Tahun 1945 mirip

dengan model di Perancis dan Jerman. MK di Perancis diberi nama Dewan

Konstitusi yang beranggotakan sembilan orang. 17

Pembentukan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan agar tersedia jalan

hukum untuk mengatasi perkara-perkara yang terkait erat dengan penyelenggaraan

negara dan kehidupan politik. Dengan demikian konflik yang terkait dengan kedua

hal tersebut tidak berkembang menjadi konflik politik-kenegaraan tanpa pola

penyelesaian yang baku, transparan, dan akuntabel, melainkan dikelola secara

objektif dan rasional sehingga sengketa hukum yang diselesaikan secara hukum

pula. Mahkamah Konstitusi oleh karena itu sering disebut sebagai Lembaga

Negara Pengawal Konstitusi atau The Guardian and The Interpreter of The

Constitution.18

Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) diawali dengan

diadopsinya ide MK (Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang

dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada Tahun 2001

sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal

7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9

Nopember 2001. Ide pembentukan MK merupakan salah satu perkembangan

16

Scribd, Op.Cit

17

Rahmat Bagja, 2008, Melanjutkan Pelembagaan Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Democratic Reform Support Program, hal 3.

18

(36)

pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20.

Membicarakan MK di Indonesia berarti tidak dapat lepas jelajah historis

dari konsep dan fakta mengenai judicial review, yang sejatinya merupakan

kewenangan paling utama lembaga MK. Empat momen dari jelajah histories yang

patut dicermati antara lain kasus Madison vs Marbury di AS, ide Hans Kelsen di

Austria, gagasan Mohammad Yamin dalam sidang BPUPKI, dan perdebatan PAH I

MPR pada sidang-sidang dalam rangka amandemen UUD 1945. Sejarah judicial

review muncul pertama kali di Amerika Serikat melalui putusan Supreme Court

Amerika Serikat dalam perkara “Marbury vs Madison” pada 1803. Meskipun

Undang-Undang Dasar Amerika Serikat tidak mencantumkan judicial review,

Supreme Court Amerika Serikat membuat putusan yang mengejutkan. Chief

Justice John Marshall didukung empat hakim agung lainnya menyatakan bahwa

pengadilan berwenang membatalkan undang-undang yang bertentangan dengan

konstitusi. Keberanian John Marshall dalam kasus itu menjadi preseden dalam

sejarah Amerika yang kemudian berpengaruh luas terhadap pemikiran dan praktik

hukum di banyak negara. Semenjak itulah, banyak undang-undang federal maupun

undang-undang negara bagian yang dinyatakan bertentangan dengan konstitusi

oleh Supreme Court.

Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam rangka

menunggu pembentukan MK, MPR menetapkan Mahkamah Agung (MA)

menjalankan fungsi MK untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III

(37)

DPR dan Pemerintah kemudian membuat RUU mengenai Mahkamah

Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah

menyetujui secara bersama UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu

(Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316). Dua

hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden melalui Keputusan

Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 hakim konstitusi untuk pertama kalinya yang

dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana

Negara pada tanggal 16 Agustus 2003.

Lembaran perjalanan MK selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA

ke MK, pada tanggal 15 Oktober 2003 yang menandai mulai beroperasinya

kegiatan MK sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan

UUD 1945. Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu

perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul pada abad

ke-20. Ditinjau dari aspek waktu, negara kita tercatat sebagai negara ke-78 yang

membentuk MK sekaligus merupakan negara pertama di dunia pada abad ke-21

yang membentuk lembaga ini.

Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 menetapkan bahwa

Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) merupakan salah satu lembaga

negara yang mempunyai kedudukan setara dengan lembaga-lembaga negara

lainnya, seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan

Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, Mahkamah Agung

(38)

Konstitusi (MK) merupakan salah satu lembaga yudikatif selain Mahkamah Agung

yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan

peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Pembentukan Mahakamah Konstitusi dimaksudkan agar tersedia jalan

hukum untuk mengatasi perkara-perkara yang terkait erat dengan penyelenggaraan

negara dan kehidupan politik. Dengan demikian konflik yang terkait dengan kedua

hal tersebut tidak berkembang menjadi konflik politik-kenegaraan tanpa pola

penyelesaian yang baku, transparan, dan akuntabel, melainkan dikelola secara

objektif dan rasional sehingga sengketa hukum yang diselesaikan secara hukum

pula. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi sering disebut sebagai Lembaga

Negara Pengawal Konstitusi atau The Guardian and The Interpreter of The

Constitution. 19

Selanjutnya pembahasan ini akan berupaya mencari pengertian dari latar

belakang lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-8/2010 tanggal

27 Pebruari 2012.

Adalah Moerdionoseorang suami yang sudah beristri menikah lagi dengan

istri kedua, Hj. Aisyah Mokhtar, dengan akad nikah secara Islam tetapi tidak di

hadapan PPN/KUA Kec yang berwenang sehingga tidak dicatat dalam buku akta

nikah dan tidak memiliki kutipan akta nikah. Dari perkawinan tersebut dilahirkan

seorang anak laki-laki bernama Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono.

19

Kybernologi, “Mahkamah Konstitusi The Guardian And The Interpreter Of The

Constitution”,

(39)

Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan (UUP) menyatakan bahwa: Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut

peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Kemudian Pasal 43 ayat (1) UUP

tersebut menetapkan bahwa: ‘Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya

mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”.

Oleh sebab itu, Hj. Aisyah maupun Iqbal merasa dirugikan hak

konstitusionalnya oleh ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UUP

tersebut karena perkawinan Hj. Aisyah tidak diakui menurut hukum dan anaknya

(Iqbal) tidak mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya (Moerdiono) dan

keluarga ayahnya.

Keadaan inibertentangan dengan Konstitusi, yakni Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Pasal 28B ayat (1) UUD

1945 menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan

melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”.

Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa: “Setiap anak berhak atas

kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari

kekerasan dan diskriminasi”. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa:

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum

yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Ketentuan Pasal 43 ayat

(1) UUP tersebut bertentangan dengan Konstitusi karena menutup hak anak yang

lahir di luar perkawinan atas adanya hubungan perdata dengan ayahnya dan

(40)

Hubungan darah antara anak dengan ibunya merupakan realitas sunnatullah

yang tidak dapat dipungkiri, ditutup ataupun ditutup-tutupi oleh siapapun, dengan

cara apapun, maupun oleh aturan hukum manapun. Hubungan darah inilah yang

menjadi dasar adanya hubungan perdata antara anak dengan ibunya, baik yang

dikandungnya sendiri ataupun dititipkan pada perempuan lain. Analog dengan

pemikiran tersebut, seharusnya hubungan darah antara anak dengan ayahnya juga

menjadi dasar adanya hubungan perdata antara anak dengan ayahnya. Namun

kenyataannya hubungan perdata antara anak dengan ayahnya ini tidak/belum

terlindungi dalam UUP meskipun tidak ada kesengajaan untuk menutupinya,

padahal sebenarnya antara mereka juga memiliki hubungan darah.

B. Tujuan Dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-8/2010

Tanggal 27 Pebruari 2012

Dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-8/2010 itu

selengkapnya dapat diambil beberapa poin mengenai tujuan pengubahan Pasal 43

ayat (1) UU Perkawinan, yaitu:

1. Memberi legalitas hukum hubungan darah antara anak dengan ayah

biologisnya, yakni bahwa hubungan darah antara anak dengan ayah

biologisnya yang semula hanya merupakan sebuah realitas menjadi hubungan

hukum sehingga memiliki akibat hukum.

2. Memberi perlindungan hukum atas hak-hak dasar anak, baik terhadap ayahnya

dan keluarga ayahnya maupun lingkungannya.

(41)

perkawinan orang tuanya tidak (belum) ada kepastian.

4. Menegaskan adanya hubungan perdata setiap anak dengan ayah biologisnya

dan keluarga ayahnya menurut hukum sebagaimana hubungan perdata dengan

ibunya dan keluarga ibunya.

5. Menegaskan adanya kewajiban ayah menurut hukum (legal custady)

memelihara setiap anak yang dilahirkan dari darahnya.

6. Melindungi hak waris anak dari ayahnya karena adanya hubungan darah, hak

dan tanggung jawab satu sama lain.

7. Menjamin masa depan anak sebagaimana anak-anak pada umumnya.

8. Menjamin hak-hak anak untuk mendapat pengasuhan, pemeliharaan,

pendidikan dan biaya penghidupan, perlindungan dan lain sebagainya dari

ayahnya sebagaimana mestinya.

9. Memberi ketegasan hukum bahwa setiap laki-laki harus bertanggung jawab

atas tindakannya dan akibat yang timbul karena perbuatannya itu, dalam hal ini

menyebabkan lahirnya anak.6 Mereka tidak dapat melepaskan diri dari

tanggung jawab tersebut.

Hubungan perdata yang timbul akibat dari adanya hubungan darah ini

meliputi hubungan hukum, hak dan kewajiban antara anak dengan ayah dan ibunya

yang dapat berupa:

(1) Hubungan nasab adalah hubungan kekerabatan dari jalur ayah kerana manusia

hanya dinasabkan kepada ayahnya saja

(2) Hubungan mahram adalah hubungan tentang tidak boleh menikah di antara

(42)

(3) Hubungan hak dan kewajiban.

(4) Hubungan pewarisan (saling mewarisi) yang merupakan pelanjutan hubungan

hak dan kewajiban karena nasab ketika mereka sama-sama masih hidup, dan

(5) Hubungan wali nikah antara ayah dengan anak perempuannya.

Hak-hak dasar anak (Psl 4 s/d 18 UU No. 23 th 2002 tentang Perlindungan

Anak), antara lain, adalah:

(1) Hak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar

sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan

dari kekerasan dan diskriminasi.

(2) Hak untuk beribadah menurut agamanya, berfikir, dan berekspresi sesuai sesuai

dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.

(3) Hak mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya

sendiri.

(4) Hak mendapat perlindungan dari perlakuan:

a. Diskriminasi;

b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual.

c. Penelantaran

d. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan.

e. Ketidakadilan, dan

f. Perlakuan salah lainnya.

(5) Hak diasuh oleh orang tuanya sendiri.

Penggelapan asal-usul anak merupakan tindak pidana (Pasal 277 KUH

(43)

diketahui olehnya bahwa anak dimaksud adalah bukan anaknya juga merupakan

tindak pidana (Pasal 278 KUH Pidana). Hak-hak dasar anak merupakan hak

konstitusional, yakni hak yang diakui dan dilindungi oleh UUD Tahun 1945.

Demikian pula mengenai asal-usul anak dengan segala hak-hak perdatanya, baik

dengan ibu maupun ayahnya, juga dilindungi oleh UUD Tahun 1945.

Putusan MK tersebut, secara mutatis mutandis telah menimbulkan banyak

perubahan hukum, antara lain, yaitu:

1. Mengubah hubungan darah anak dengan ayah bilogisnya yang semula hanya

bersifat alamiah (sunnatullah) semata menjadi hubungan hukum yang

mempunyai akibat hukum berupa hubungan perdata.

2. Adanya pengakuan secara hukum bahwa anak yang dilahirkan di luar

perkawinan juga mempunyai hubungan perdata dengan ayah biologisnya dan

keluarga ayahnya sebagaimana hubungan perdata anak dengan ibunya dan

keluarga ibunya. Pengakuan secara hukum ini sebelumnya tidak ada.

3. Adanya tanggung jawab menurut hukum atas ayah terhadap anak yang

dilahirkan akibat perbuatannya, meskipun anak itu lahir di luar perkawinan.

Sebelumnya, ayah biologis tidak dapat digugat untuk bertanggung jawab atas

anak biologisnya.

Mengenai wali nikah, ternyata Putusan MK tersebut tidak mengubah

ketentuan Pasal 42 UUP yang menyatakan: “Anak yang sah adalah anak yang

dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Dengan demikian

maka, ayah biologis tidak serta merta dapat bertindak sebagai wali nikah bagi anak

(44)

hukum. Hubungan wali nikah merupakan hubungan resmi yang memerlukan

legalitas hukum. Namun demikian apabila adanya hubungan nasab telah dapat

dibuktikan melalui putusan pengadilan dan telah mempunyai akta kelahiran, maka

ayahnya dapat bertindak sebagai wali nikah bagi anak perempuannya yang lahir di

luar perkawinan.

Anak yang lahir dari perkawinan yang fasid (batal), maka ia tetap menjadi

anak sah karena batalnya perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak yang lahir

dari perkawinan tersebut (Pasal 28 ayat (2) huruf a UUP). Demikian pula, analog

dengan ketentuan hukum tersebut di atas, maka anak yang dilahirkan di luar

perkawinan adalah juga anak yang sah karena ketidakabsahan perkawinan orang

tuanya tidak dapat menghapuskan hubungan hubungan darah dengan ibu dan ayah

biologisnya. Hubungan darah inilah yang menjadi dasar adanya hubungan perdata

antara anak dengan orang tuanya.

C. Substansi/Isi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-8/2010

Tanggal 27 Pebruari 2012

Subtansi dari isi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-8/2010

Tanggal 27 Pebruari 2012 pada dasarnya lahir karena adanya isi Pasal 43 ayat (1)

UUPA. Pasal 43 ayat (1) UUPA lama yang menyatakan bahwa: “Anak yang

dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya

dan keluarga ibunya”, terdapat frase ‘hanya’ yang berarti pembatasan, yakni hanya

mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya saja. Kemudian

(45)

luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya

serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu

pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai

hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”; Frase

‘hanya’ dihapus diganti dengan frase ‘serta’ pada akhir ayat yang berarti

penambahan hubungan perdata anak dengan ayahnya dan keluarga ayahnya.

Berdasarkan putusan MK Nomor 46/PUU-VII/2010 tgl 27 Februari 2012

tersebut, hubungan perdata anak dengan ayahnya dan keluarga ayahnya didasarkan

atas adanya hubungan darah secara nyata antara anak dengan ayahnya,

sebagaimana hubungan darah dengan ibunya, meskipun antara ayah dan ibunya

belum tentu ada ikatan perkawinan. Ketiadaan dan/atau ketidaksempurnaan

hubungan nikah antara ayah dengan ibunya tidak menghapuskan adanya hubungan

darah dan hubungan perdata antara anak dengan ayah kandungnya sebagaimana

hubungan perdata antara anak dengan ibu kandungnya.

Putusan MK tersebut berkenaan dengan uji materi undang-undang.20

20

Maruarar Siahaan, 2011, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 22.

Oleh

karena itu, putusan MK ini berlaku sebagai undang-undang sehingga bersifat

general, tidak individual, dan tidak kasuistis (Pasal 56 ayat (3) jo Pasal 57 ayat (1)

UUMK). Putusan ini dipergunakan oleh para hakim untuk menyelesaikan

kasus-kasus yang bertalian dengan asal-usul anak dengan segala akibat hukumnya.

Dengan adanya putusan MK ini, maka: setiap anak yang dilahirkan mempunyai

hubungan perdata baik dengan ibunya dan keluarga ibunya maupun dengan

(46)

yang batal, perkawinan yang syubhat, perkawinan tidak tercatat, ataupun lahir di

luar perkawinan.

Putusan MK tersebut berlaku mengikat sejak diucapkan dalam sidang

terbuka untuk umum tanggal 27 Februari 2012 (Pasal 47 UUMK). Dengan adanya

putusan MK tersebut maka ketentuan Pasal 43 (1) UUP tidak berkekuatan hukum

lagi sehingga tidak mengikat, dan digantikan dengan putusan MK tersebut.

Demikian pula halnya dengan ketentuan Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam (KHI)

yang isinya sama dengan Pasal 43 ayat (1) UUP juga tidak berlaku lagi.

Pengubahan Pasal 43 ayat (1) UUP ini merupakan penelusuran kembali mengenai

asal-usul anak, yakni agar diketahui dan ditetapkan secara hukum siapakah

(47)

BAB IV

PENCATATAN KELAHIRAN ANAK DALAM KAITANNYA DENGAN

STATUS HUKUM ANAK TERHADAP ORANG TUANYA

A. Keberadaan Pencatatan Kelahiran Anak Dalam Kaitannya Dengan Status

Hukum Anak

Suatu akta kelahiran akan membuktikan bagi anak tersebut :

1. Dalam menuntut hak-haknya pada orang tuanya

2. Dalam menuntut hak-haknya pada orang lain menggantikan kedudukan

dari orang tuanya.

3. Sebagai bukti bahwa anak tersebut adalah berhak atas warisan orang

tuanya.

Pada dasarnya keberadaan pencatatan kelahiran anak dalam kaitannya

dengan status hukum anak merupakan suatu wujud dari kekuatan suatu pembuktian

tentang status seorang anak yang baru dilahirkan. Dimana dengan status tersebut

maka diketahui siapa orang tuanya yang memiliki kewajiban untuk memelihara

dan mendidiknya.

Dengan demikian maka keberadaan pencatatan kelahiran anak dalam

kaitannya dengan status hukum anak memberikan suatu keadaan bahwa pencatatan

tersebut akan memberikan bukti kedudukan anak baik itu statusnya, maupun juga

orang tua dan keluarganya. Sehingga pelaksanaan pencatatan tersebut dituangkan

dalam suatu bentuk akta yaitu akta kelahiran.

Sebagaimana disebutkan oleh Sudikno Mertokusumo, bahwa fungsi

(48)

mempunyai kekuataan pembuktian ? Tentang kekuataan pembuktian dari pada akta

dapat dibedakan antara :

1. Kekuataan pembuktian lahir.

Yang dimaksudkan dengan kekuataan pembuktian lahir, ialah kekuataan pembuktian yang didasarkan atas keadaan lahir, apa yang tampak pada lahirnya, yaitu bahwa surat yang tampaknya (dari lahir) seperti akta, dianggap (mempunyai kekuataan) seperti akta sepanjang tidak terbukti sebaliknya.

2. Kekuatan pembuktian formil.

Kekuataan pembuktian formil itu menyangkut pertanyaan :benarkah bahwa ada pertanyaan. Jadi kekuataan pembuktian formil ini didasarkan atas ada tidaknya pernyataan oleh yang bertanda tangan di bawah itu. Kekuataan pembuktian formil ini memberi tentang peristiwa bahwa pejabat dan para pihak menyatakan dan melakukan apa yang dimuat dalam akta

3. Kekuataan pembuktian materiil.

Kekuatan pembuktian materiil ini menyangkut pertanyaan: “benarkah isi pernyataan di dalam akta itu ? jadi kekuataan pembuktian materiil ini memberi kepastian tentang materi suatu akta, kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat atau para pihak menyatakan dan melakukan seperti yang dimuat dalam akta.21

Akta catatan sipil adalah akta otentik karena akta tersebut dibuat oleh

pejabat yang berwenang yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, dimana

dalam hal ini pegawai pencatat sipil, baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang

berkepentingan yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya

oleh yang berkepentingan.

Menurut Pasal 165 HIR (pasal 285 Rbg,) maka akta otentik bagi para

pihak dan ahli warisnya serta mereka yang memperoleh hak dari padanya,

merupakan bukti sempurna, tentang apa yang termuat di dalamnya dan bahkan

tentang yang terdapat dalam akta sebagai pengaturan belaka, yang terakhir ini

hanya sepanjang yang dituturkan dalam akta tersebut tidak ada hubungan langsung

21

(49)

dengan pokok akta menurut Pasal 1871 KUH Perdata hal itu hanya akan

berlaku sebagai permulaan bukti tertulis. Adapun isi Pasal 1871 KUH Perdata

adalah :

(1) Suatu akta otentik namunlah tidak memberikan bukti yang yang sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya sebagai suatu penuturan belaka, selainnya sekedar apa yang dituturkan itu ada hubungannya langsung dengan pokok isi akta.

(2) Jika apa yang termuat disitu sebagai suatu penuturan belaka tidak ada hubungannya langsung dengan pokok isi akta, maka itu hanya dapat berguna sebagai permulaan pembuktian dengan tulisan.22

Selanjutnya menurut pasal 1872 KUH Perdata apabila akta otentik yang

bagaimanapun sifatnya diduga palsu, maka pelaksanaannya dapat ditangguhkan.

Akta catatan sipil sebagaimana diuraikan di atas adalah akta otentik yang

sesuai pasal di atas dapat dijadikan sebagai bukti tentang apa yang ada di dalamnya

baik itu tentang adanya kelahiran, kematian, pengakuan anak dan juga perceraian.

Sebagai azas berlaku acta publica probant sese ipsa, yang berarti bahwa

suatu akta yang lahirnya tampak sebagai akta otentik serta memenuhi syarat-syarat

yang telah ditentukan, maka akta itu berlaku atau dapat dianggap sebagai akta

otentik, sampai terbukti sebaliknya. Hal ini berarti bahwa tanda tangan pejabat

dianggap sebagai aslinya, sampai ada pembuktian sebaliknya.

Beban pembuktiannya terletak pada siapa yang mempersoalkan otentik

tidaknya akta catatan sipil tersebut. Beban pembuktian ini terikat pada ketentuan

khusus seperti yang diatur dalam pasal 1348 HIR.

Kekuataan pembuktian lahir ini berlaku bagi kepentingan atau keuntungan

dan terhadap setiap orang dan tidak terbatas pada para pihak saja.

22

(50)

Sebagai alat bukti maka akta otentik catatan sipil yang dikeluarkan pejabat, ini

keistimewaannya terletak pada kekuataan pembuktian lahir.

Menurut Pasal 1868 KUH Perdata “ Suatu akta otentik yalah suatu akta

yang di dalam bentuk ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan

pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akte dibu

Referensi

Dokumen terkait

Daya tarik wisata pantai yang menempati prioritas utama dalam pengembangan adalah Pantai Marina didasarkan pada skor potensi gabungan tertinggi, disusul dengan

koloni yang tumbuh dan merupakan perkiraan atau dugaan dari jumlah. mikroba dalam suspensi tertentu

Kriteria unjuk kerja merupakan bentuk pernyataan yang menggambarkan kegiatan yang harus dikerjakan untuk memperagakan hasil kerja/karya pada setiap elemen

[r]

Dapat disimpulkan bahwa variabel profesionalisme – dimensi pengabdian pada profesi berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat materialitas, sehingga apabila

kesempatan dari dokter spesialis karena dokter spesialis tidak selalu berada di lingkungan rumah sakit/ UGD selama 24 jam, maka untuk tindakan medik yang dilakukan atas

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penelitian ini telah mencapai tujuannya yaitu concurrency control dapat mengatur operasi-operasi di dalam semua transaksi yang

pada silabus, modul, lembar kerja siswa (LKS), rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), modul, dan soal evaluasi disisipkan aspek NEP ( New Ecological Paradigm