UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
UJI EFEKTIVITAS TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK
PADA PASIEN DIABETES MELITUS DI RUMAH SAKIT
TNI ANGKATAN LAUT Dr. MINTOHARDJO
JAKARTA PUSAT
SKRIPSI
NINDYA NURFITRIANI AZHAR
1111102000095
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
ii
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
UJI EFEKTIVITAS TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK
PADA PASIEN DIABETES MELITUS DI RUMAH SAKIT
TNI ANGKATAN LAUT Dr. MINTOHARDJO
JAKARTA PUSAT
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
NINDYA NURFITRIANI AZHAR
1111102000095
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
iii
Skripsi ini adalah hasil karya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama : Nindya Nurfitriani Azhar
NIM : 1111102000095
Tanda Tangan :
vi
Nama : Nindya Nurfitriani Azhar
Program Studi : Farmasi
Judul : Uji Efektivitas Terapi Oksigen Hiperbarik Pada Pasien
Diabetes Melitus di Rumah Sakit TNI Angkatan Laut Dr.
Mintohardjo Jakarta Pusat
Diabetes merupakan suatu penyakit heterogen yang gejalanya ditandai dengan peningkatan gula darah yang disebabkan oleh defisiensi insulin relatif atau absolut. Selain dengan obat-obatan kimia, pengembangan teknologi dilakukan untuk penyembuhan berbagai macam penyakit termasuk penyakit diabetes yaitu terapi oksigen hiperbarik. Terapi oksigen hiperbarik adalah terapi di mana pasien berada di ruangan bertekanan tinggi dan bernafas dengan oksigen murni (100%) pada tekanan udara lebih besar daripada udara atmosfir normal. Penelitian ini untuk mengetahui efektivitas pengobatan diabetes dengan menggunakan terapi oksigen hiperbarik. Dalam penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan melakukan observasi pengendalian gula darah pada pasien diabetes yang menggunakan terapi oksigen hiperbarik. Hasil penelitian diperoleh bahwa rata-rata kadar HbA1c pasien yang menggunakan obat sebesar 9,37±1,38% sedangkan setelah terapi oksigen hiperbarik 7,5± 1,109%. Dan rata-rata kadar GDS pasien yang menggunakan obat sebesar 249,21±39,71% sedangkan setelah terapi oksigen hiperbarik 158,7± 48,82%. Hal ini menunjukan terapi DM Tipe 2 dengan OAD dan oksigen hiperbarik, kadar HbA1c dan kadar GDS pasien dapat dikendalikan mendekati normal.
vii
Name : Nindya Nurfitriani Azhar
Study Program : Pharmacy
Title : Effectiveness Test of Hyperbaric Oxygen Therapy In
Diabetes Mellitus Patient in Rumah Sakit TNI Angkatan
Laut Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat
Diabetes is a heterogeneous disease which characterized with the increased blood glucose that caused by the deficiency of relative insulin or absolute. Beside the use of chemical drug, the development of technology can be conducted to recover the several diseases particularly diabetes disease by using hyperbaric oxygen therapy. The hyperbaric oxygen therapy is a therapy in which the patient located in high pressure room and breathed with pure oxygen (100%) at the air pressure greater than the normal pressure atmosphere. The objective of this research is to study the effectiveness of diabetes treatment by using hyperbaric oxygen therapy. In this research is used cross sectional design that conducted the observation to control the blood glucose at the diabetes patient who used the hyperbaric oxygen therapy. The result in this research showed that the average of HbA1c patient that using the drug is 9,37±1,38%, while, after using the hyperbaric oxygen therapy is 7,5± 1,109%. The average of GDS patient by using the drug is 249,21±39,71%, whilst, after finishing the hyperbaric oxygen therapy is 158,7± 48,82%. The result indicated that the DM therapy type 2 with OAD and the hyperbaric oxygen therapy, the level of HbA1c and the level of GDS patient can be controlled related to the normal condition.
viii
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa mencurahkan
segala rahmat-Nya kepada kita semua, khususnya dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
mencapai gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam penulisan skripsi ini tentu banyak berbagai kesulitan dan halangan
yang menyertai, sehingga penulis tidak terlepas dari doa, bantuan, dan bimbingan
berbagai pihak. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Dr. Delina Hasan, M.Kes., Apt. sebagai Pembimbing I dan Bapak Drs.
Fakhren Kasim, MH.Kes., Apt. sebagai Pembimbing II yang telah
memberikan ilmu, nasehat, waktu, tenaga, dan dukungan moral selama masa
perkuliahan, penelitian, hingga penulisan skripsi.
2. Bapak Dr. H Arif Sumantri, SKM., M.Kes. selaku Dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Yardi, Ph.D., Apt. atas dedikasi dan profesionalitas beliau sebagai
ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Ismiarni Komala, M.Sc., Ph.D., Apt. sebagai Dosen Pembimbing
Akademik yang telah memberikan nasehat, waktu, dan dukungan moral
selama masa perkuliahan, penelitian, hingga penulisan skripsi.
5. Bapak dan Ibu staf pengajar, serta karyawan yang telah memberikan
bimbingan dan bantuan selama menempuh pendidikan di Program Studi
Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri
ix
7. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Haryanto dan Ibunda Sari Asri serta adik
yang sangat saya sayangi Kayla Amira Azhar yang selalu ikhlas memberikan
dukungan moral, material, nasehat, serta lantunan doa yang tiada pernah putus
di setiap waktu.
8. Teman-teman di Program Studi Farmasi 2011: Indah, Elsa, Puji,Ageng, Ani,
Nova, Annisa, Anissa, Anis, Ices, Ika, Aditya, Andis, Tari, Miyadah, Happy,
Aci, Brasti, Hala, Syaiful, serta teman-teman Farmasi 2011 beng-beng atas
semangat dan kebersamaan kita selama 4 tahun kita bersama.
9. Randi Herlambang yang selalu hadir memberi semangat dan dukungan tanpa
henti, yang selalu menemani suka duka, yang selalu memotivasi dan
menginspirasi.
10.Tiara, Erna, Rina,Agung, yang selalu menginspirasi dan menguatkan saya.
Terima kasih atas persaudaraan dan pertemanan yang berkesan selama ini.
11.Linda, Mba Rica, Tia, Mba Ita, Mba Nun, Tisa, Mba Dani, Firdha, Yane,
Henny, Karina, Kasa, Swara, Rani, Galih Fitri, Ari, Manda, Diah Ayu, terima
kasih atas dukungan, motivasi, dan kebersamaannya selama ini.
12.Semua pihak yang telah membantu penulis selama melakukan penelitian dan
penulisan.
Semoga semua bantuan yang telah diberikan mendapatkan balasan dari Allah
SWT. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun akan
penulis nantikan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan.
Ciputat, September 2015
x
Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Nindya Nurfitriani Azhar
NIM : 1111102000095
Program Studi : Farmasi
Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK)
Jenis Karya : Skripsi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah saya dengan judul :
UJI EFEKTIVITAS TERAPI HIPERBARIK PADA PASIEN DIABETES MELITUS DI RUMAH SAKIT TNI ANGKATAN LAUT DR.
MINTOHARDJO JAKARTA PUSAT
untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.
Demikian persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Jakarta
Tanggal : September 2015
Yang menyatakan,
xi
Halaman HALAMAN JUDUL ...
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...
HALAMAN PENGESAHAN ………
ABSTRAK ... ABSTRACT ... KATA PENGANTAR ...
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... DAFTAR ISI ... 1.4.2 Secara Metodologi ... 1.4.3 Secara Aplikatif ... 1.5 Ruang Lingkup Penelitian ...
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...
2.1 Diabetes Melitus ………..………...………....
2.1.1 Definisi Diabetes Melitus ………...……... 2.1.2 Klasifikasi Diabetes Melitus ………...…….….. 2.1.3 Etiologi Diabetes Melitus ………...……... 2.1.4 Patofisiologi Diabetes Melitus ………...……….. 2.1.5 Gejala Diabetes Melitus ………...……… 2.1.6 Faktor Risiko Diabetes Melitus ……… 2.1.7 Diagnosis Diabetes Melitus ………...…... 2.1.8 Komplikasi Diabetes Melitus ………...…… 2.1.9 Penatalaksanaan Diabetes Melitus ………...… 2.1.10Penggolongan Obat Diabetes Melitus ………... 2.2 Hiperbarik Oksigen ………...………...
xii
indikasi Terapi Oksigen Hiperbarik ……...… 2.2.4 Kontraindikasi Terapi Oksigen Hiperbarik …...……... 2.2.5 Protap Terapi Oksigen Hiperbarik ………...… 2.2.6 Klasifikasi Ruang Hiperbarik ………... 2.3 Hiperbarik Center RUMKITAL Dr. Mintohardjo …….…….
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS ...
3.1 Kerangka Konsep ………...………...
3.2 Definisi Operasional ………...
3.3 Hipotesis ………...
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ……….
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ………..
4.2 Desain Penelitian ………
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ……….. 4.3.1 Populasi ………...
4.3.2 Sampel ………...
4.3.2.1 Kriteria Inklusi dan Eksklusi Sampel …...
4.4 Prosedur Penelitian ………...
4.4.1 Pengumpulan Data ………... 4.4.2 Pengolahan Data ………... 4.4.3 Analisis Data ………...
BAB V HASIL …...………. 5.1 Hasil Penelitian ………... 5.1.1 Jumlah Pasien Berdasarkan Karakteristik Pasien ... 5.1.2 Kondisi Pasien yang Menggunakan OAD dan
Setelah Terapi Oksigen Hiperbarik ...
BAB VI PEMBAHASAN …...………. 6.1 Pembahasan …...………... 6.1.1 Karakteristik Pasien ... 6.1.2 Kondisi Pasien yang Menggunakan Obat Antidiabetes dan Setelah Terapi Oksigen Hiperbarik
xiii
Halaman Gambar 2.1 Algoritma Penatalaksanaan DM tipe 2 ... 20
xiv Kriteria Pengendalian DM ... Target Pelaksanaan Diabetes Melitus ... Definisi Operasional ... Distribusi Pasien DM Tipe 2 Berdasarkan Karakteristik di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Periode Januari 2014-Maret 2015 ... Distribusi kondisi pasien selama menggunakan OAD di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Periode Januari 2014-Februari 2015 ... Distribusi kondisi pasien sebelum dan setelah terapi OHB di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Periode Januari 2014-Februari 2015 ... Rekapitulasi pasien yang menggunakan terapi oksigen hiperbarik di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Periode Januari 2014-Maret 2015 ... Frekuensi terapi oksigen hiperbarik dan jenis OAD pada keadaan pasien keluar yang terkendali di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Periode Januari 2014-Februari 2015 …... Frekuensi terapi oksigen hiperbarik dan jenis OAD pada keadaan pasien keluar yang tidak terkendali di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Periode Januari
xv
Halaman
Lampiran 1.
Lampiran 2.
Lampiran 3.
Lampiran 4.
Surat Permohonan Izin Penelitian Dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prodi Farmasi ... Surat Persetujuan Pelaksanaan Penelitian Dari RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat ... Pasien Diabetes yang Menggunakan Obat Antidiabetes dan Terapi Oksigen Hiperbarik di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat ... Uji Paired Samples T-Test dari Hasil Data HbA1c dan GDS Pasien Sebelum dan Setelah Terapi Oksigen Hiperbarik di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat Periode Januari 2014-Februari 2015 ...
71
72
73
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diabetes melitus (DM) merupakan masalah kesehatan global yang
insidennya semakin meningkat. Diabetes adalah suatu penyakit heterogen yang
gejalanya ditandai dengan peningkatan gula darah yang disebabkan oleh defisiensi
insulin relatif atau absolut (Mycek, J. Mary, 2001). Diabetes melitus adalah
penyakit metabolisme yang merupakan suatu kumpulan gejala yang timbul pada
seseorang karena adanya peningkatan kadar glukosa darah di atas nilai normal.
Penyakit ini disebabkan gangguan metabolisme glukosa akibat kekurangan insulin
baik secara absolut maupun relatif. Ada 2 tipe diabetes melitus yaitu diabetes tipe
I yaitu diabetes yang umumnya didapat sejak masa kanak-kanak dan diabetes tipe
II yaitu diabetes yang didapat setelah dewasa (ADA, 2011).
Sebanyak 346 juta orang di dunia menderita diabetes, dan diperkirakan
mencapai 380 juta jiwa pada tahun 2025 (WHO, 2011). Dan sekitar 60% jumlah
pasien tersebut terdapat di Asia. Jumlah ini diasumsikan akan meningkat tiga kali
lipat pada tahun 2030 (Hilary King et al, 2004). Prevalensi diabetes di Indonesia
berdasarkan wawancara yang terdiagnosis dokter sebesar 1,5 persen. Diabetes
melitus yang berdasarkan wawancara juga terjadi peningkatan dari 1,1 persen
(2007) menjadi 2,4 persen (2013). Prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter
tertinggi terdapat di Yogyakarta (2,6%), DKI Jakarta (2,5%), Sulawesi Utara
(2,4%) dan Kalimantan Timur (2,3%). Prevalensi diabetes yang terdiagnosis
dokter atau gejala, tertinggi terdapat di Sulawesi Tengah (3,7%), Sulawesi Utara
(3,6%), Sulawesi Selatan (3,4%) dan Nusa Tenggara Timur 3,3 persen (Rikesda,
2013).
Peningkatan terjadi akibat bertambahnya populasi penduduk usia lanjut
dan perubahan gaya hidup, mulai dari pola makan/jenis makanan yang
dikonsumsi sampai berkurangnya kegiatan jasmani. Hal ini terjadi terutama pada
kelompok usia dewasa ke atas pada seluruh status sosial-ekonomi (Zahtamal dkk,
2007). Penyakit diabetes melitus sering menimbulkan komplikasi berupa stroke,
anggota badan menderita luka gangren (Nuh Huda, 2010). Prevalensi penyakit
diabetes melitus yang terus menerus meningkat, mengharuskan pemerintah
Indonesia untuk senantiasa tanggap dalam penanganan dan pengobatan untuk
pasien diabetes melitus.
Ada 4 hal penting yang perlu dijalankan agar pasien diabetes dapat hidup
sehat kembali yang disebut dengan empat pilar pengendalian diabetes (Edukasi,
pengaturan makan, olahraga, obat seperti tablet atau insulin) (Kariadi,2009).
Namun pada kenyataannya angka kematian dan komplikasi dari penyakit diabetes
melitus tetap saja tinggi. Upaya yang dilakukan yaitu memberikan penyuluhan
dan pendidikan kesehatan (edukasi) tentang perawatan dan pengobatan penyakit
diabetes melitus secara mandiri. Edukasi ini mencakup perencanaan makan (diet),
kegiatan olah raga, pemakaian obat oral dan insulin secara tepat. Pemantauan
kadar gula dalam darah dan urin serta meningkatnya motivasi penderita diabetes
melitus untuk kontrol secara teratur yang bertujuan menghilangkan gejala,
mencegah komplikasi akut dan kronik, mengurangi komplikasi yang sudah ada,
mengobati penyakit penyerta, menciptakan dan mempertahankan kesehatan tubuh,
memperbaiki kualitas hidup dan mengurangi angka kematian (Soegondo, 1995).
Kemajuan teknologi dalam bidang ilmu pengetahuan kedokteran
menghasilkan metode–metode baru dalam upaya penyembuhan penyakit,
termasuk penyakit diabetes. Salah satu pengembangan teknologi tersebut adalah
terapi oksigen hiperbarik. Telah banyak penelitian yang dilakukan terhadap
metode pengobatan terapi hiperbarik dalam bidang medis.
Terapi oksigen hiperbarik diperkenalkan pertama kali oleh Behnke pada
tahun 1930. Saat itu angkatan laut Amerika Serikat (US Navy) memulai penelitian
terhadap terapi hiperbarik untuk mengobati penyakit dekompresi dan emboli
udara pada arteri yang dialami oleh para penyelam militer. Terapi oksigen
hiperbarik hanya diberikan kepada para penyelam untuk menghilangkan gejala
penyakit dekompresi yang timbul akibat perubahan tekanan udara saat menyelam,
sehingga fasilitas terapi tersebut sebagian besar hanya dimiliki oleh beberapa
Rumah Sakit TNI AL dan Rumah Sakit yang berhubungan dengan pertambangan
Terapi hiperbarik oksigen adalah terapi dimana penderita harus berada
dalam suatu ruangan bertekanan tinggi dan bernafas dengan oksigen murni
(100%) pada tekanan udara lebih besar daripada udara atmosfir normal, yaitu
sebesar 1 ATA (Atmosfir Absolut) sama dengan 760 mmHg. Pemberian oksigen
tekanan tinggi untuk terapi dilaksanakan dalam chamber atau RUBT (Ruang
Udara Bertekanan Tinggi) (Lakesla, 2009 dalam T Nuh Huda, 2010).
Konsentrasi O2 yang digunakan dalam terapi oksigen hiperbarik berbeda
dengan O2 yang digunakan dalam tabung oksigen yang biasa karena pada
pemberian O2 di hiperbarik disertai tekanan tinggi yaitu 2,4 atm yang akan
membantu distribusi O2 dengan cepat dan terpenuhi dengan baik pada organ
tubuh. Sedangkan O2 dalam tabung oksigen tidak disertai tekanan tinggi.
Pada tahun 2003, The American Society of Hyperbaric Medicine
(Underwater and Hyperbaric Medical Society, UHMS) mempublikasikan
indikasi–indikasi untuk terapi oksigen hiperbarik yang disetujui oleh komite
tersebut berdasarkan bukti ilmiah yang ada, seperti emboli udara, keracunan
karbon monoksida, keracunan karbon monoksida dan sianida, anemia karena
pendarahan, penyakit dekompresi, abses intrakranial, infeksi nekrosis jaringan
lunak, osteomyelitis refraktur, luka bakar dan lain-lain.
Tahun 2010 Rady dwipayana, dkk meneliti tentang efek hiperbarik pada
cedera otot pada tikus putih dan hasilnya hiperbarik oksigen meningkatkan
terjadinya jaringan granulasi dan proliferasi fibroblas pada penyembuhan cedera
otot fleksor pada tikus putih. Pada tahun yang sama T. Nuh Huda meneliti tentang
pengaruh hiperbarik oksigen terhadap perfusi perifer luka gangren penderita
diabetes melitus, hasilnya ada perubahan menjadi lebih baik pada luka tetapi
tidak signifikan. Mayor Laut (K) Tituk Harnanik, dokter dan Kepala
Subdepartemen Faal Penyelaman TNI AL Armada Timur mengatakan, terapi
hiperbarik oksigen mampu mempercepat kesembuhan dan mengurangi dosis obat
yang diminum penderita diabetes.
Secara teori terapi OHB dapat meningkatkan sensitivitas jaringan terhadap
insulin dan menimbulkan hipoglikemik pada penderita diabetes melitus, di mana
terapi HBO pada 2,4 atmofir absolut menimbulkan penurunan kadar gula darah
Salah satu Rumah Sakit yang memiliki fasilitas terapi hiperbarik ini adalah
RUMKITAL Dr. Mintohardjo. Di RUMKITAL Dr. Mintohardjo ini terapi
hiperbarik banyak digunakan untuk penyembuhan pada pasien diabetes.
Walaupun sudah banyak digunakan dalam penyembuhan diabetes bagi pasien di
Rumah Sakit TNI AL Mintohardjo, tetapi belum pernah dilakukan penelitian
sebelumnya mengenai efektivitas dari penggunaan terapi hiperbarik bagi pasien
diabetes di RUMKITAL Dr. Mintohardjo.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas menunjukan bahwa pengobatan pada pasien
diabetes melitus selama ini banyak menggunakan obat-obatan kimia.
Sebagaimana diketahui obat-obatan kimia mempunyai banyak efek samping.
Untuk menghindari efek samping dari penggunaan obat kimia dan mempercepat
proses penyembuhan dapat dicari teknologi baru untuk pengobatan diabetes
melitus. Teknologi hiperbarik sudah dikenal dapat menyembuhkan beberapa
penyakit termasuk diabetes.
Di RUMKITAL Dr. Mintohardjo mempunyai alat hiperbarik yang sudah
digunakan untuk pengobatan diabetes, tetapi belum diketahui lebih lanjut
efektivitas pengobatan diabetes dengan terapi hiperbarik dibandingkan hanya
dengan penggunaan obat kimia di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta.
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas terapi
hiperbarik pada pasien diabetes melitus di RUMKITAL Dr. Mintohardjo pada
bulan Januari 2014 hingga Maret 2015.
1.3.2 Tujuan Khusus
Untuk mengidentifikasi fungsi dari penggunaan terapi hiperbarik terhadap
pasien diabetes.
Untuk mengetahui apakah penggunaan terapi hiperbarik lebih efektif
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan serta
wawasan tentang penggunaan terapi hiperbarik, khususnya bagi pasien diabetes
melitus.
1.4.2 Secara Metodologi
Metode penelitian ini dapat menjadi referensi untuk diaplikasikan pada
penelitian farmasi klinis sejenis.
1.4.3 Secara Aplikatif
Secara aplikatif hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan suatu bahan
pertimbangan ataupun kebijakan dalam pengobatan diabetes melitus di
RUMKITAL Dr. Mintohardjo.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian yang berjudul “Uji Efektivitas Terapi Oksigen Hiperbarik pada
Pasien Diabetes Melitus di Rumah Sakit TNI Angkatan Laut Dr. Mintohardjo
Jakarta”, terbatas hanya membahas pada pasien diabetes yang menggunakan obat
antidiabetes dan terapi oksigen hiperbarik dengan mengamati kadar HbA1c dan
GDS dari data rekam medis pasien di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta.
Desain yang digunakan adalah cross sectional dengan pendekatan retrospektif.
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Maret 2015 di RUMKITAL Dr.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Melitus
2.1.1 Definisi Diabetes Melitus
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu penyakit atau gangguan
metabolisme kronis dengan multietiologi yang ditandai dengan tingginya kadar
gula darah (hiperglikemia) disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat,
lipid, dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi
insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh
sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya
sel-sel tubuh terhadap insulin (WHO, 1999).
Diabetes Melitus (DM) atau penyakit kencing manis merupakan suatu
penyakit menahun yang ditandai dengan kadar glukosa darah (gula darah)
melebihi nilai normal yaitu kadar gula darah sewaktu sama atau lebih dari 200
mg/dl dan kadar gula darah puasa di atas atau sama dengan 126 mg/dl
(Misnadiarly, 2006).
2.1.2 Klasifikasi Diabetes Melitus
WHO (World Health Association) membagi DM menjadi dua kelas, yaitu
kelas klinis dan kelas risiko statistik.
a) Kelas klinis
Jika hasil pemeriksaan kadar glukosa darah lebih tinggi dari normal.
Kelas klinis dibedakan menjadi tiga, yaitu sebagai berikut:
1) Diabetes Melitus, seseorang termasuk kelompok penderita Diabetes
Melitus jika kadar glukosa darah dalam keadaan puasa lebih dari 140
mg/dl, atau dua jam sesudah makan (post prandial) kadarnya lebih
dari 200 mg/dl. Diabetes Melitus sendiri terbagi lagi menjadi empat,
yakni sebagai berikut:
DM tipe 1 (DM tergantung insulin/DMTI) = insulin dependent
DM/IDDM. Kelompok ini adalah penderita penyakit DM yang
masih muda dan tidak gemuk. Gejala biasanya timbul pada masa
anak–anak dan puncaknya pada usia remaja. Begitu penyakitnya
terdiagnosis, penderita langsung memerlukan suntikan insulin
karena pankreasnya sangat sedikit atau sama sekali tidak
membentuk insulin. Umumnya penyakit berkembang ke arah
ketoasidosis diabetik yang menyebabkan kematian. Tipe ini
disebabkan oleh kerusakan sel beta pankreas sehingga terjadi
kekurangan produksi/sekresi insulin absolut. IDDM umumnya
diderita oleh orang–orang di bawah umur 30 tahun, dan gejalanya
mulai tampak pada usia 10–13 tahun. Penyebab IDDM belum
begitu jelas, tetapi diduga kuat disebabkan oleh infeksi virus yang
menimbulkan autoimun yang berlebihan untuk membunuh virus.
Akibatnya sel–sel pertahanan tubuh tidak hanya membasmi virus,
tetapi juga merusak sel–sel Langerhans. Faktor genetik juga
menentukan kerentanan sel-sel beta terhadap infeksi virus.
DM tipe II (DM tidak tergantung insulin/DMTT) = non insulin
dependent DM = NIDDM. Kelompok Diabetes Melitus tipe II tidak
tergantung insulin. Kebanyakan timbul pada penderita berusia di
atas 40 tahun. Penderita DM tipe II inilah yang terbanyak di
Indonesia. Data sementara menyebabkan, hampir 90% penderita
diabetes di Indonesia adalah penderita NIDDM dan umumnya
disertai dengan kegemukan dan kegagalan pankreas mensekresi
insulin (defisiensi insulin) untuk mengkompensasi resistensi
insulin. Pengobatannya diutamakan dengan perencanaan menu
makanan yang baik dan latihan jasmani secara teratur. NIDDM
diduga disebabkan oleh faktor genetik dan dipicu oleh pola hidup
yang tidak sehat, tetapi munculnya terlambat. Dengan pola hidup
modern saat ini, prevalensi NIDDM semakin meningkat dengan
penderita yang berusia di bawah 40 tahun. DM tipe II dibagi lagi
menjadi dua, penderita tidak gemuk (non obese), penderita gemuk
DM terkait malnutrisi (DMTM) = malnutrition related DM
(MRDM). Diabetes Melitus yang terkait dengan malnutrisi
biasanya terjadi di negara–negara berkembang di kawasan tropis
yang sebagian besar penduduknya masih berpendapat perkapita
rendah sehingga terjadi gangguan atau kekurangan makan
(malnutrisi) dan tidak didapati adanya ketosis. DMTM dibagi lagi
menjadi dua, yakni fibrocalculous pancreatic DM (FCPD) dan
protein deficient pancreatic DM (PDRD).
Diabetes Melitus tipe lain yang berhubungan dengan keadaan atau
sindrom tertentu, misalnya penyakit pankreas, penyakit hormonal,
obat-obatan atau bahan kimia lain, kelainan insulin atau
reseptornya, sindrom genetik tertentu, dan penyebab lain yang
belum diketahui. Diabetes Melitus tipe ini adalah penderita yang
mengalami diabetes melitus akibat komplikasi penyakit yang
dideritanya. Misalnya, penderita mengidap penyakit pankreas
sehingga fungsi organ tersebut terganggu dan tidak mampu
menghasilkan hormon insulin akibatnya kadar gula darahnya
meningkat, efek samping konsumsi obat-obatan untuk
menyembuhkan penyakit lain, dan sebagainya.
2) Gangguan toleransi glukosa (GTG)
Penderita GTG ditandai dengan terjadinya peningkatan kadar glukosa
darah pada tes toleransi glukosa oral (TTGO) yang nilainya berada di
daerah perbatasan, yaitu di atas normal, tetapi di bawah nilai
diagnostik untuk diabetes melitus. Penderita GTG sangat berisiko
untuk menjadi penderita diabetes melitus tidak tergantung insulin dan
terserang penyakit kardiovaskuler, seperti penyakit jantung koroner
dan stroke.
3) DM pada kehamilan (Gestational DM)
Gestational Diabetes Melitus merupakan penyakit diabetes melitus
yang muncul pada saat mengalami kehamilan padahal sebelumnya
kadar glukosa darah selalu normal. Diabetes Melitus pada masa
kandungan jika tidak segera dilakukan pengobatan dengan benar.
Kelainan yang dapat timbul pada bayi, misalnya kelainan bawaan,
gangguan pernafasan, bahkan kematian janin. Umumnya diabetes tipe
ini akan diderita selama masa kehamilan dan kembali normal setelah
melahirkan. Meski begitu, terdapat sejumlah kasus yang tidak
terkendali sehingga diabetes melitus dapat berkembang lebih lanjut
pasca melahirkan.
Oleh karena bisa berkembang lebih lanjut, diabetes tipe ini harus
ditangani secara ekstra. Caranya dengan berkonsultasi ke dokter ahli
secara rutin, diperlukan suntikan insulin untuk mengontrol kadar
glukosa darah yang tinggi, dan didukung perencanaan makan yang
baik. Perencanaan makan harus memperhatikan kebutuhan kalori
perhari, komposisi zat makanan, dan kebutuhan vitamin serta
mineral.
Penderita Gestational DM sebaiknya melakukan pengukuran HbA1c.
Kadar HbA1c yang meningkat pada 12 minggu pertama kehamilan
menandakan adanya kehamilan dengan diabetes melitus yang dapat
meningkatkan risiko cacat lahir (kelainan kongenital). Jika pada
kehamilan dini kadar HbA1c lebih besar dari 12% risiko keguguran
(abortus) juga semakin meningkat. Keracunan kehamilan yang berat,
air ketuban berlebih, hipertensi, janin tumbuh besar, kematian janin
dalam kandungan, dan gawat janin adalah faktor yang mempersulit
persalinan ibu hamil dengan diabetes melitus. Oleh karenanya, ibu
hamil yang terkena diabetes melitus harus melahirkan di Rumah Sakit
untuk mengurangi risiko kematian bayi dan ibu.
b) Kelas Risiko Statistik
Kelas ini mencakup mereka yang mempunyai kadar glukosa dalam batas
toleransi normal, tetapi mempunyai risiko lebih besar untuk mengidap
diabetes melitus. Orang–orang yang termasuk dalam kelas ini antara lain:
Toleransi glukosa pernah abnormal, Kedua orang tua mengidap DM, dan
American Diabetes Association (ADA) juga menggolongkan penyakit
Diabetes Melitus ke dalam klasifikasi sebagai berikut:
DM tipe 1 (IDDM) DM tipe II (NIDDM) DM dengan kehamilan
DM tipe lain, terdiri dari defek genetik fungsi sel beta (MODY, DNA
mitokondria), defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas
(pankreatitis, tumor/pankreatektomi, pankreatopati fibrokalkulus),
endokrinopati (akromegali, sindroma cushing, feokromositoma,
hipertiroideisme), obat zat kimia, infeksi, imunologi, dan sindrom
genetik lain yang berkaitan dengan DM.
2.1.3 Etiologi Diabetes Melitus
Penyebab diabetes melitus menurut American College of Clinical
Pharmacy berdasarkan klasifikasinya adalah:
1) Diabetes Melitus (DM) tipe 1
Diakibatkan oleh hancurnya sel β pankreas sehingga menyebabkan produksi insulin berkurang. Hampir 5%-10% yang menderita DM tipe 1.
Dikenal sebagai insulin independent diabetes atau juvenile onset diabetes.
Prevalensi di America 0,12% atau sekitar 340.000 penderita pasien DM.
Biasanya diderita oleh anak-anak atau orang dewasa muda. Biasanya pada
anak-anak, gejala onsetnya lebih cepat dibandingkan dengan orang dewasa
tua.
2) Diabetes Melitus tipe 2
Diakibatkan karena adanya resistensi insulin akibat kerusakan eksresi
insulin. Hampir 90%-95% yang mederita DM tipe 2. Dikenal sebagai
insulin non insulin dependent diabetes atau adult onset diabetes. Prevalensi
di Amerika 7,8% atau sekitar 23,6 juta. Penderita DM tipe 2 ini biasanya
3) MODY ( Maturity-Onset Diabetes of the Young)
Diakibatkan karena penyakit genetik yang disebabkan oleh melemahnya
aksi insulin. Biasanya diderita pada umur dibawah 25 tahun dan termasuk
DM tipe 1 dan tipe 2.
4) Diabetes Gestational
Terjadi intoleransi glukosa selama masa kehamilan. Prevalensi 1%-14%
pada wanita hamil. Hanya terjadi pada trimester ketiga.
5) Prediabetes
Lemahnya toleransi glukosa. Lemahnya glukosa puasa.
6) Tipe DM lain
Kerusakan genetik pada fungsi sel β atau aksi insulin. Penyakit pada pankreas (seperti, pankreatitis, neoplasia, dan cystic fibrosis). Induksi
kimia atau obat (seperti, glukokortikoid, asam nikotinat, penghambat
protease, dan antipsikosis atipikal).
2.1.4 Patofisiologi Diabetes Melitus
Secara normal insulin dihasilkan oleh sel pankreas. Dalam keadaan sehat
pankreas secara spontan akan memproduksi insulin saat gula darah tinggi. Proses
awalnya adalah jika kadar gula darah rendah, maka glukagon akan dibebaskan
oleh sel alfa pankreas, kemudian hati akan melepaskan gula ke darah yang
mengakibatkan kadar gula normal. Sebaliknya jika kadar gula darah tinggi, maka
insulin akan dibebaskan oleh sel beta pankreas, kemudian sel lemak akan
mengikat gula yang mengakibatkan gula darah kembali normal (Black & Hwak,
2005).
Patofisiologi DM secara klinis dibagi 2 yaitu DM tipe 1 dan 2. DM tipe 1
disebabkan kurangnya sekresi insulin. Kelainan dasar pada DM tipe 2 yaitu
resistensi insulin dan kegagalan pankreas mensekresi insulin (defisiensi insulin)
2.1.5 Gejala Diabetes Melitus
Gejala diabetes melitus tipe I dan tipe II tidak banyak berbeda. Hanya pada
diabetes melitus tipe I, gejalanya lebih ringan dan prosesnya lambat, bahkan
kebanyakan orang tidak merasakan adanya gejala. Akibatnya, penderita baru
mengetahui menderita diabetes melitus setelah timbul komplikasi, seperti
penglihatan menjadi kabur atau bahkan mendadak buta, timbul penyakit jantung,
penyakit ginjal, gangguan kulit dan saraf, atau bahkan terjadi pembusukan pada
kaki (gangren). Berikut ini adalah gejala yang umumnya dirasakan penderita
diabetes melitus (Tobing dr. Ade, 2008):
Sering buang air kecil. Tingginya kadar gula dalam darah yang
dikeluarkan lewat ginjal selalu diiringi oleh air atau cairan tubuh maka
buang air kecil menjadi lebih banyak. Bahkan tidur di malam hari kerap
terganggu karena harus bolak–balik ke kamar kecil.
Haus dan banyak minum. Banyaknya urin yang keluar menyebabkan
cairan tubuh berkurang sehingga kebutuhan akan air (minum) meningkat.
Fatigue (lelah). Rasa lelah muncul karena energi menurun akibat berkurangnya glukosa dalam jaringan/sel. Kadar gula dalam darah yang
tinggi tidak bisa optimal masuk dalam sel disebabkan oleh menurunnya
fungsi insulin sehingga orang tersebut kekurangan energi.
Rasa lelah, pusing, keringat dingin, ridak bisa konsentrasi, disebabkan oleh
menurunnya kadar gula. Setelah seseorang mengonsumsi gula, reaksi
pankreas meningkat (produksi insulin meningkat), menimbulkan
hipoglikemik (kadar gula rendah).
Meningkatnya berat badan. Berbeda dengan diabetes melitus tipe 1 yang kebanyakan mengalami penurunan berat badan, penderita tipe 2 seringkali
mengalami peningkatan berat badan. Hal ini disebabkan terganggunya
metabolisme karbohidrat karena hormon lainnya juga terganggu.
Gatal. Gatal disebabkan oleh mengeringnya kulit (gangguan pada regulasi
cairan tubuh) yang membuat kulit mudah luka dan gatal. Akibatnya, energi
panas meningkat (damp heat) menyebabkan timbulnya iritasi di kulit
Gangguan immunitas. Meningginya kadar glukosa dalam darah
menyebabkan pasien diabetes sangat sensitif terhadap penyakit infeksi.
Hal ini disebabkan oleh menurunnya fungsi sel–sel darah putih. Infeksi
yang sering muncul pada pasien diabetes melitus ialah infeksi kandung
kemih, infeksi kulit (acne), infeksi jamur (candidiasis), dan infeksi saluran
pernafasan.
Gangguan mata. Penglihatan berkurang disebabkan oleh perubahan cairan
dalam lensa mata. Pandangan akan tampak berbayang disebabkan adanya
kelumpuhan pada otot mata.
Polyneuropathy. Gangguan sensorik pada saraf periferal (kesemutan) di
kaki dan tangan.
2.1.6 Faktor Risiko Diabetes Melitus
Penyakit DM kebanyakan adalah penyakit keturunan, bukan penyakit
menular. Meskipun demikian tidak berarti penyakit ini pasti menurun pada anak.
Berikut ini adalah urutan yang menunjukan siapa saja yang mempunyai
kemungkinan akan menderita penyakit DM yaitu (Misnadiarly, 2006):
Kedua orang tuanya mengidap penyakit DM.
Salah satu orang tuanya atau saudara kandungnya mengidap penyakit DM.
Salah satu anggota keluarga (nenek, paman, bibi, keponakan, sepupu)
mengidap DM.
Pernah melahirkan bayi dengan berat badan lahir >4 kg.
Pada waktu pemeriksaan kesehatan pernah ditemukan kadar glukosa
darah melebihi antara 140–200 mg/dl.
Kelompok usia dewasa tua (>45 tahun). Tekanan darah tinggi (>140/90 mmHg).
Kegemukan (BB(kg)) >120% BB idaman atau IMT >27 (kg/m2)).
Dislipidemia (HDL <35 mg/dl dan atau Trigliserida >250 mg/dl). Menderita penyakit lever (hati) kronik atau agak berat.
Terlalu lama minum obat–obatan, mendapat suntikan atau minum
penyakit kulit, penyakit reumatik, dan lain–lain) misalnya, prednison,
oradexon, kenacort, rheumacyl, kortison, hidrokortison.
Terkena infeksi virus tertentu misalnya virus morbili, virus yang menyerang kelenjar ludah, dan lain–lain.
Terkena obat–obatan antiserangga (insektisida).
2.1.7 Diagnosis Diabetes Melitus
Diagnosis klinis khas DM pada umumnya adalah bahwa terdapat keluhan
khas DM yaitu, poliuria (banyak kencing), polidipsia (banyak minum), polifagia
(banyak makan), dan penurunan berat badan yang tidak jelas sebabnya, dan
keluhan lainnya seperti, kesemutan, gatal, mata kabur, dan impotensia pada pria,
prioritis vulva pada wanita (Misnadiarly, 2006).
Kriteria diagnosis diabetes melitus dan gangguan toleransi glukosa
menurut ahli diabetes di Surabaya tahun 1987 merupakan modifikasi dari kriteria
diagnosis diabetes melitus yang ditetapkan di WHO tahun 1985 seperti berikut:
1) Diagnosis diabetes melitus apabila:
Terdapat gejala-gejala diabetes melitus ditambah dengan
Salah satu dari, GDP 120 mg/dL, 2 jam PP 200 mg/dL, atau
glukosa darah acak > 200 mg/dL.
2) Diagnosis diabetes melitus apabila:
Tidak terdapat gejala-gejala diabetes melitus, tetapi
Terdapat 2 hasil dari, GDP 120 mg/dL, 2 jam PP 200 mg/dL atau random 200 mg/dL.
3) Diagnosis gangguan toleransi glukosa (GTG) apabila, GDP< 120
mg/dL dan 2 jam PP 140-200 mg/dL.
4) Untuk kasus meragukan dengan hasil GDP< 120 mg/dL dan 2 jam
PP> 200 mg/dL, maka ulangi pemeriksaan laboratorium sekali lagi,
dengan persiapan minimal 3 hari dengan diet karbohidrat lebih dari
150 gram perhari dan kegiatan fisik seperti biasa, kemungkinan
DM, apabila hasilnya sama atau tetap, yaitu GDP< 120 mg/dL dan
2 jam PP 200 mg/dL, atau apabila hasilnya memenuhi kriteria I
atau II.
GTG, apabila hasilnya cocok dengan kriteria III.
Tabel 2.1. Kadar gula darah sewaktu dan puasa Bukan [Sumber : Hendromartono, 1999]
Tabel 2.2. Kriteria pengendalian DM
Pemeriksaan glukosa darah plasma vena (mg/dl) Baik Sedang Buruk
Puasa 80 – 109 110 – 139 140
2 jam pp 110 – 159 160 – 199 >200
HbA1c % 4 – 6 6 – 8 >8
Tekanan darah < 140 / 90 < 160 / 95 >160/95 [Sumber : Hendromartono, 1999]
Hemoglobin A1c (HbA1c)/Glycosylated Haemoglobin adalah apabila
hemoglobin dipisahkan secara kromatografi melalui perubahan kation akan
berubah menjadi HbA0, HbAIa1, HbAIa2, HbA1b, HbA1c (Boucher, 1988 dalam
Nuh Huda, 2010). Pengukuran HbA1c/Glycosylated Haemoglobin telah diterima
secara obyektif dan menjadi indeks quantitative pengukuran kadar glukosa darah
selama 6-10 minggu dan nilai pengukuran tersebut akan meningkat pada penderita
Diabetes Melitus (Nuh Huda, 2010).
2.1.8 Komplikasi Diabetes Melitus
Komplikasi penyakit diabetes melitus diklasifikasikan menjadi dua, yaitu
komplikasi yang bersifat akut dan kronis (menahun). Komplikasi akut merupakan
komplikasi yang harus ditindak cepat atau memerlukan pertolongan dengan
segera. Adapun komplikasi kronis merupakan komplikasi yang timbul setelah
penderita mengindap diabetes melitus selama 5–10 tahun atau lebih (Tobing dr.
Komplikasi akut meliputi ketoasidosis diabetika (DKA), koma nonketosis
hiperglikemia. Sementara komplikasi kronis meliputi komplikasi mikrovaskuler
(komplikasi di mana pembuluh–pembuluh rambut kaku atau menyempit sehingga
organ yang seharusnya mendapatkan suplai darah dari pembuluh–pembuluh
tersebut menjadi kekurangan suplai) dan komplikasi makrovaskuler (komplikasi
yang mengenal pembuluh darah arteri yang lebih besar sehingga terjadi
aterosklerosis) (Tobing dr. Ade, 2008).
Berikut beberapa kerusakan dan gangguan yang terjadi akibat komplikasi
penyakit diabetes melitus (Tobing dr. Ade, 2008):
Kerusakan pada pembuluh darah (vasculopathy), kerusakan pada dinding
pembuluh darah akan mengakibatkan masalah pada jantung dan otak, serta
gangguan pada pembuluh darah di kaki. Akibatnya, makro dan
mikrovaskuler sirkulasi akan terganggu, peningkatan tekanan darah, dan
infark hati dan cerebral.
Gangguan fungsi jantung, gangguan pada pembuluh darah akan
mengakibatkan aliran darah ke jantung terhambat atau terjadi iskemia
(kekurangan oksigen di otot jantung), timbul angina pectoris (sakit di
daerah dada, lengan, dan rahang), bahkan pada akhirnya bisa
menyebabkan serangan jantung.
Gangguan fungsi pembuluh otak, pasien sering merasakan berat di
belakang kepala, leher, dan pundak, pusing (vertigo), serta pendengaran
dan penglihatan terganggu. Jika hal ini dibiarkan, gangguan neurologis
akan muncul, misalnya dalam bentuk stroke yang disebabkan oleh
penyumbatan atau pendarahan.
Tidak stabilnya tekanan darah, tidak stabilnya atau seimbangnya tekanan
darah yakni kadang tinggi atau rendah banyak terjadi pada pasien diabetes
melitus. Tekanan darah tinggi disebabkan oleh buruknya kondisi
pembuluh darah dan memburuknya fungsi ginjal.
Gangguan pada sistem saraf, neuropathy adalah salah satu komplikasi diabetes melitus. Kerusakan pada sistem saraf ini lebih mengacu pada
saraf sensorik (saraf perasa), menimbulkan rasa sakit, kesemutan, serta
memang lebih sedikit, gangguan ini termanefestasi pada berkurangnya
tenaga otot dan volume dari jaringan otot.
Gangguan mata (retinopathy), disebabkan memburuknya kondisi mikro sirkulasi sehingga terjadi kebocoran pada pembuluh darah retina. Hal ini
bahkan bisa menjadi salah satu penyebab kebutaan. Retinopathy
sebenernya merupakan kerusakan yang unik pada diabetes karena selain
oleh gangguan mikrovaskuler, penyakit ini juga disebabkan adanya
biokimia darah sehingga terjadi penumpukan zat–zat tertentu pada jaringan
retina.
Katarak dan glaukoma (meningkatnya tekanan pada bola mata) juga
merupakan salah satu dari komplikasi mata pada pasien diabetes. Oleh
karenanya, selain mengontrol kadar gula darah, mengontrol mata pada
dokter mata secara rutin juga mutlak dilakukan oleh pasien diabetes.
Gangguan ginjal (nefropathy), sebab utama gangguan ginjal pada pasien
diabetes adalah buruknya mikrosirkulasi. Gangguan ini sering muncul
paralel dengan gangguan pembuluh darah di mata. Penyebab lainnya
adalah proses kronis dari hipertensi yang akhirnya merusak ginjal.
Kebanyakan pasien sebelumnya tidak memiliki keluhan ginjal.
Gangguan pada kaki karena diabetes melitus, kaki adalah bagian tubuh
yang paling sensitif pada pasien diabetes melitus. Ada beberapa faktor
yang berperan dalam perubahan ini, yaitu terhambatnya sirkulasi
menimbulkan rasa sakit pada betis kaki sewaktu berjalan, gangren
(gangguan makro dan mikrosirkulasi vasculopathy), gangguan pada saraf
(neuropathy), yakni kerusakan pada saraf di otot, kulit, dan kerusakan
saraf autonom yang mengganggu regulasi keringat, dan sensitif terhadap
infeksi di kaki.
Gangguan pada otot dan sendi–sendi, terhambatnya ruang gerak sendi dan
otot banyak diderita pada orang tua. Namun, kini gejala tersebut juga
kerap dirasakan pada pasien usia muda yang menderita diabetes melitus
2.1.9 Penatalaksanaan Diabetes Melitus
Penilaian klinis pada pasien setelah menegakkan diagnosis diabetes
melitus, lakukan terapi komplikasi metabolik akut dan terapi hipoglikemik seumur
hidup, pemeriksaan untuk mencari kerusakan pada organ setiap 6–12 bulan
penglihatan (retinopati dan katarak), sistem kardiovaskuler (denyut nadi perifer,
tanda–tanda gagal jantung, hipertensi), sistem saraf (neuropati sistem saraf
otonom dan saraf sensoris perifer) dan kaki (ulkus, gangren, dan infeksi). Fungsi
ginjal (kreatinin dan albuminuria) harus diperiksa.
Terapi harus meminimalkan gejala dan menghindari komplikasi dan harus
memungkinkan pasien menjalani hidup normal, hal ini membutuhkan edukasi dan
dukungan kepada pasien.
Usaha memaksimalkan prognosis tergantung pada kontrol glukosa darah
secara optimal dan menyingkirkan faktor–faktor risiko kardiovaskuler seperti
merokok, hipertensi (usahakan tekanan darah <130/80 mmHg), dan
hiperlipidemia. Kontrol kadar glukosa yang optimal dengan sendirinya dapat
memperbaiki kadar kolesterol, namun apabila kadar kolesterol tetap tinggi setelah
ini, terapi penurunan lipid secara agresif dengan statin dapat dilakukan. Hampir
semua orang yang menderita diabetes dan memiliki penyakit vaskuler seharusnya
mendapat terapi statin (Davey Patrick, 2005).
Karena penting bagi pasien untuk pemeliharaan pola makan yang teratur,
maka penatalaksanaan dapat dilakukan dengan perencanaan makanan. Tujuan
perencanaan makanan dan dalam pengelolaan diabetes adalah untuk
mempertahankan kadar glukosa darah dan lipid dalam batas normal, menjamin
nutrisi yang optimal untuk pertumbuhan anak dan remaja, ibu hamil dan janinnya,
dan mencapai dan mempertahankan berat badan idaman (Waspadji, dkk, 2002).
Latihan jasmani yang teratur memegang peran penting terutama pada DM
tipe 2. Manfaatnya adalah memperbaiki metabolisme atau menormalkan kadar
glukosa darah dan lipid darah, meningkatkan kerja insulin, membantu
menurunkan berat badan, meningkatkan kesegaran jasmani dan rasa percaya diri,
Menggunakan obat hipoglikemik oral, dapat dijumpai dalam bentuk
golongan sulfonilurea, golongan biguanida, dan inhibitor glukosidase alfa
(Waspadji, dkk, 2002).
Menurut American College of Clinical Pharmacy merekomendasikan
beberapa parameter yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan
penatalaksanaan DM.
Tabel 2.3. Target Pelaksanaan Diabetes Melitus
Paramete r Kadar Ideal yang Diharapkan
Kadar plasma glukosa puasa 70 – 130 mg/dl
Kadar plasma glukosa sete lah makan < 180 mg/dl
Kadar hemoglobin A1c <7%
Kadar HDL >45 mg/dl = pria , >50 mg/dl = wanita
Kadar LDL 100 – 129 mg/dl
Gambar 2.1. Algoritma Penatalaksanaan DM tipe 2 (Dipiro Et, al,2009)
awal sulfonylurea dan atau metformin
Terapi dilanjutkan atau dicek HbA 1 c tiap 3-6
bulan Kombinasi
sulfonilurea
Target tercapai
Target tidak tercapai setelah 3-6 bulan
Insulin kerja menengah atau 1x perhari glargin. Sebelum pemberian insulin kerja regular atau lispro/aspart tambah 3 kombinasi antidiabetik oral atau diganti untuk memisah dosis insulin/insulin analog terapi berkunjung ke endorinologis.
Awal Intervensi
2.1.10 Penggolongan Obat Diabetes Melitus
Menurut American College of Clinical Pharmacy, 2013 dalam istiqomah,
2013, terdapat 9 golongan antidiabetes oral (ADO) DM tipe 2 dan telah
dipasarkan di Indonesia yakni golongan: sulfonilurea, meglitinid, biguanid,
penghambat α-glukosidase, tiazolidindion, penghambat dipeptidyl peptidase-4, sekuestran asam empedu, bromokriptin, dan produk kombinasi. Kesembilan
golongan ini dapat diberikan pada DM tipe 2 yang tidak dapat dikontrol hanya
dengan diet dan latihan fisik saja.
1) Sulfonilurea
Mekanisme kerjanya dengan mengikat reseptor pada sel beta
pankreas, membentuk membran depolarisasi dengan stimulasi sekresi
insulin. Generasi pertama yaitu, tolbutamide, klorpropamid. Generasi
kedua yaitu:
a) Gliburid dengan dosis 2,5-5,0 mg 1 atau 2x sehari dengan dosis
maksimal per hari 20 mg, gliburid dengan dosis 1,5-3 mg 1 atau 2x
sehari dengan dosis maksimal per hari 12 mg.
Contoh sediaan seperti Glibenkamid (generik), Abenon (Heroic),
Clamega (Emba Megafarma), Condiabet (Armoxindo), Daonil
(Aventis).
Memiliki efek hipoglikemik yang poten sehingga pasien perlu
diingatkan untuk melakukan jadwal makan yang ketat. Gliburid
dimetabolisme dalam hati, hanya 25% metabolit di ekskresi melalui
empedu dan dikeluarkan bersama tinja. Gliburid efektif dengan
pemberian dosis tunggal. Bila pemberian dihentikan, obat akan bersih
keluar dari serum setelah 36 jam. Diperkirakan memiliki efek terhadap
agregasi trombosit. Dalam batas-batas tertentu masih dapat diberikan
pada pasien gangguan ginjal dan hati (Handoko dan Suharto, 1995).
b) Glipizid dengan dosis 5 mg 1 atau 2x sehari (extended release) dengan
dosis maksimal per hari 40 mg.
Contoh sediaan seperti Diamicron (Darya Varia), Glibet (Dankos),
Mempunyai efek hipoglikemik sedang sehingga tidak begitu sering
menyebabkan efek hipoglikemik. Mempunyai efek antiagregasi
trombosit yang lebih poten. Dapat diberikan pada penderita gangguan
fungsi hati dan ginjal (Soegondo, 1995b).
c) Glimepirid dengan dosis 1-2 mg 1x sehari dengan dosis maksimal per
hari 8 mg, contoh sediaan seperti Amaryl. Memiliki waktu mula kerja
yang pendek dan waktu kerja yang lama, sehingga umum diberikan
dengan cara pemberian dosis tunggal. Untuk pasien yang berisiko
tinggi, yaitu pasien usia lanjut, pasien dengan gangguan ginjal atau
yang melakukan aktivitas berat dapat diberikan obat ini. Dibandingkan
dengan glibenklamid, glimepirid lebih jarang menimbulkan efek
hipoglikemik pada awal pengobatan (Soegondo, 1995b).
d) Glibenklamid dengan dosis 2,5-5 mg/hari dengan dosis maksimal
perhari 15 mg.
e) Glikuidon dengan dosis 15 mg/hari dengan dosis maksimal perhari 60
mg. Contoh sediaan seperti Gluronerm (Boehringer ingelhem).
Mempunyai efek hipoglikemik sedang dan jarang menimbulkan
serangan hipoglikemik. Karena hampir seluruhnya diekskresi melalui
empedu dan usus, maka dapat diberikan pada pasien gangguan ginjal
dan hati yang agak berat (Soegondo, 1995b).
Efek merugikan secara umum seperti hipoglikemia, penambahan
berat badan. Dan efek yang jarang terjadi seperti ruam kulit, sakit kepala,
mual, muntah, dan fotosintesis.
Kontraindikasinya seperti hipersensitivitas dengan sulfonamide,
pasien dengan tidak sadar menderita hipoglikemi, fungsi ginjal tidak
berfungsi baik (glipizid merupakan pilihan yang lebih baik daripada
gliburid atau glimepirid pada pasien yang geriatri atau memiliki
kelemahan pada ginjal karena obat atau metabolit aktif tidak dapat
dieliminasi di dalam ginjal).
Efikasi dari sulfonamida ini seperti reduksi 1%-2% HbA1c, dan
semua pengobatan untuk mengobati hiperglikemia. Interaksi obat yang
sewaktu pemberian obat hipoglikemik sulfonilurea antara lain dengan:
alkohol, fenformin, sulfonamida, salisilat, fenilbutazon, oksifenbutazon,
probenezide, dikumarol, kloramfenikol, penghambat MAO, guanetidin,
steroida anabolitik, fenfluramin, dan klofibrat.
2) Meglitinid
Mekanisme kerja dari golongan meglitinid sama dengan sulfonilurea
yaitu, meningkatkan sekresi insulin dari pankreas tetapi onset lebih cepat
dan waktu durasi lama.
Pada pemberian oral absorpsinya cepat dan kadar puncaknya dicapai
dalam waktu 1 jam. Masa paruhnya 1 jam, karena itu harus diberikan
beberapa kali sehari sebelum makan. Metabolisme utamanya di hepar dan
metabolitnya tidak aktif. Sekitar 10% dimetabolisme di ginjal. Pada pasien
dengan gangguan fungsi hepar atau ginjal harus diberikan secara
berhati-hati. Efek samping utamanya hipoglikemia dan gangguan saluran cerna.
Reaksi alergi juga pernah dilaporkan.
Efek merugikan seperti hipoglikemia (lebih kecil dibandingkan
dengan sulfonilurea), berat badan berkurang, infeksi pernapasan
meningkat. Kontraindikasi seperti hipersensitivitas, penggunaan repaglinid
dengan gemfibrozil dapat meningkatkan konsentrasi repaglinid. Efikasi
seperti reduksi 0,5%-1,5% HbA1c (repaglinid menunjukan penurunan
HbA1c lebih dari nateglinid), lebih efektif pada postprandial glukosa.
Obat golongan meglitinid seperti:
Repaglinid, dosis lazim 0,5-1 mg 15 menit sebelum makan. Dosis maksimum per hari 16 mg.
Contoh sediaan, Prandin/NovoNorm/GlucoNorm (Novo Novdisk).
Merupakan turunan asam benzoat. Mempunyai efek hipoglikemik
ringan sampai sedang. Diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian
per oral, dan diekskresi secara cepat melalui ginjal. Efek samping
yang mungkin terjadi adalah keluhan saluran cerna (Soegondo,
1995b).
Nateglinid, dosis 120 mg sebelum makan. Dosis 60 mg jika HbA1c
Contoh sediaan, Starlix (Novartis Pharma AG).
Merupakan turunan fenilalanin, cara kerja mirip dengan repaglinid.
Diabsorpsi cepat setelah pemberian per oral dan diekskresi
terutama melalui ginjal. Efek samping yang dapat terjadi pada
penggunaan obat ini adalah keluhan infeksi saluran nafas atas
(ISPA) (Soegondo, 1995b).
3) Biguanid (Metformin)
Mekanisme kerjanya mereduksi glukoneogenesis hati, juga
menimbulkan efek yang menguntungkan sehingga meningkatkan
sensitivitas insulin. Dosis lazim 500 mg 1 atau 2x sehari, dengan dosis
maksimum perhari 2250 mg. Dapat meningkatkan interval pemakaian
mingguan. Menurunkan dosis lazim dan titrasi lambat pada gastrointestinal
(GI).
Efek merugikan secara umum seperti mual, muntah, dan diare. Efek
yang jarang terjadi seperti menurunkan konsentrasi vitamin B12, asidosis
laktat. Gejala asidosis laktat termasuk mual, muntah, meningkatkan laju
respirasi, sakit perut, syok, dan takikaardia. Kontraindikasi seperti
kelemahan pada ginjal, usia 80 tahun atau lebih, risiko tinggi mengalami
penyakit kardiovaskuler, dan kelemahan hati. Efikasi yang terjadi seperti
reduksi 1%-2% HbA1c, mereduksi TG dan kehilangan berat badan, dan
menjadi pertimbangan terapi lini pertama karena kontraindikasi yang
sedikit. Interaksi obat seperti mengganggu absorpsi vitamin B12,
berinteraksi dengan simetidin dengan menurunkan klirens metformin di
ginjal.
Contoh sediaan, metformin (generik), benoformin (Benofarma),
bestab (Yekatria). Metformin, satu-satunya golongan biguanid yang masih
digunakan sebagai obat antidiabetes oral. Bekerja menurunkan kadar
glukosa darah dengan memperbaiki transport glukosa ke dalam sel-sel
otot. Obat ini dapat memperbaiki uptake glukosa sampai sebesar 10-40%.
Menurunkan produksi glukosa hati dengan jalan mengurangi
4) Penghambat α-glukosidase
Mekanisme kerja obat ini dapat memperlambat absorpsi
polisakarida, dekstrin, dan disakarida di intestin. Dengan menghambat
kerja enzim α-glikosidase di brush border intestin, dapat mencegah
peningkatan glukosa plasma pada orang normal dan pasien DM. Karena
kerjanya tidak mempengaruhi sekresi insulin, maka tidak akan
menyebabkan efek samping hipoglikemia. Akarbose dapat digunakan
sebagai monoterapi pada DM usia lanjut atau DM yang glukosa
postprandialnya sangat tinggi. Obat golongan ini diberikan pada waktu
mulai makan dan absorpsi buruk.
Dua obat yang tergolong obat ini yaitu:
a) Akarbose
Akarbose dapat diberikan dalam terapi kombinasi dengan
sulfonilurea, metformin, atau insulin. Interaksi obat yang terjadi
seperti diperlemah oleh kolestiramin, absorben usus, enzim
pencernaan. Contoh sediaan, Glucobay (Bayer), Precose.
Akarbose paling efektif bila diberikan bersama makanan yang
berserat mengandung polisakarida, dengan sedikit kandungan
glukosa dan sukrosa. Bila akarbose diberikan bersama insulin,
atau dengan golongan sulfonilurea, dan menimbulkan
hipoglikemia, pemberian glukosa akan lebih baik daripada
pemberian sukrosa, polisakarida, dan maltosa (Departemen
Farmakologi dan Terapi Universitas Indonesia, 2007).
b) Miglitol
Miglitol biasanya diberikan dalam terapi kombinasi dengan
obat-obat antidiabetik oral golongan sulfonilurea. Contoh sediaan,
Glycet.
Dosis lazimnya 25 mg 3x sehari bersamaan dengan makan.
Maksimal perhari 300 mg. Efek merugikan seperti diare dan sakit perut.
Meningkatkan enzim di hati dengan meningkatnya dosis akarbosa.
pencernaan. Efikasi yang terjadi, reduksi 0,5%-0,8% HbA1c. Tidak efektif
pada pasien dengan diet karbohidrat rendah.
5) Tiazolidindion
Mekanisme kerjanya seperti proliferasi peroksisom mengaktifkan
reseptor gamma antagonis. Dan meningkatkan sensitivitas insulin dan
produksi metabolisme glukosa. Efek merugikan seperti kehilangan berat
badan, retensi cairan, fraktur tulang, meningkatkan risiko gagal jantung,
dan meningkatkan infark miokardia. Kontraindikasinya seperti kelemahan
ginjal dan gagal jantung.
Efikasi seperti reduksi 0,5-1,4% HbA1c. Keduanya meningkatkan
HDL-C, tetapi pioglitazon mempunyai efek yang lebih baik untuk
mereduksi LDL-C dan TG bila dibandingkan dengan rosiglitazon.
Dua golongan obat ini adalah:
Pioglitazon, dosis lazim 15 mg 1x sehari dengan dosis maksimum
perhari 45 mg.
Rosiglitazon, dosis lazim 1-2 mg 1x sehari dengan dosis
maksimum perhari 8 mg.
6) Penghambat dipeptidyl peptidase-4
Mekanisme kerjanya seperti menghambat kerusakan glukagon like
peptide (GLP 1), dapat meningkatkan sekresi insulin 1. Efek merugikan
seperti infeksi saluran urin, sakit kepala, hipoglikemia. Kontraindikainya
seperti hipersensitivitas dan memiliki riwayat pankreatitis. Efikasi pada
reduksi 0,5-0,8% HbA1c.
Ada 2 golongan obat ini:
Sitagliptin, dosis 100 mg 1x sehari. Efek samping pada beberapa
kondisi dapat menyebabkan pankreatitis akut, angioderma, sindrom
steven johnson dan anafilaksis.
Saxagliptin, dosis 5 mg 1x sehari.
7) Sekuestran asam empedu
Mekanisme kerjanya menurunkan konsentrasi glukosa belum
diketahui, selain itu asam empedu digunakan untuk managemen kolesterol.
Efek merugikan dari obat ini seperti konstipasi, dispepsia, mual, dan
muntah. Efikasi dari obat ini seperti reduksi 0,3%-0,5% HbA1c.
Kontraindikasi dari obat ini adalah pada pasien obstruksi perut, serum TG
lebih besar dari 500 mg/dL. Pasien dengan keadaan tidak dapat menelan,
disfasia, dan serum TG dengan konsentrasi lebih dari 300 mg/dL.
8) Bromokriptin
Mekanisme kerja dari obat ini belum diketahui dengan pasti. Dosis
lazimnya 0,8 mg 1x sehari, bersamaan dengan makanan. Dan dosis
maksimumnya perhari 4,8 mg. Efek merugikan obat ini mual, muntah,
malas, sakit kepala, hipotensi, dan kelaparan. Kontraindikasinya sebaiknya
tidak digunakan pada pasien migrain. Efikasi obat ini reduksi 0,1%-0,6%
HbA1c.
9) Produk kombinasi
Metformin dengan gliburid, glipizid, sitagliptin, repaglinid,
pioglitazon, dan rosiglitazon. Selain itu glimepirid dengan pioglitazon atau
rosiglitazon.
Insulin
Kategori insulin menurut American College of Clinical Pharmacy dan
Farmakologi & Terapi:
Insulin kerja cepat, insulin regular, onsetnya 30-60 menit, dengan waktu injeksi
sebelum makan 30 menit, puncak kerja obat 2-3 jam, dengan durasi 4-6 jam.
Insulin kerja sangat cepat, insulin aspart/lispro/glulisin, onsetnya 5-20 menit, dengan waktu injeksi sebelum makan 15 menit, puncak kerja obat 1-3 jam,
dengan durasi 3-5 jam.
Insulin kerja menengah, NPH Lente, onsetnya 1-2 jam, dengan waktu injeksi sebelum makan tidak tersedia, puncak kerja obat 4-8 jam, dengan durasi 10-20
jam.
Insulin kerja panjang, Detemir, Glargine, onsetnya 2-4 jam atau 1-2 jam, dengan waktu injeksi sebelum makan tidak tersedia, puncak kerja obat 6-8 jam,
Kebutuhan insulin pada pasien DM umumnya berkisar antara 5–150 IU
sehari, tergantung keadaan pasien. Selain faktor tersebut, untuk penetapan dosis
perlu diketahui kadar glukosa darah puasa dan dua jam sesudah makan serta kadar
glukosa dalam urin empat porsi, yaitu antara jam 7-11, jam 12-16, jam 16-21, dan
jam 21-7.
Dosis terbagi insulin digunakan pada DM:
Tidak stabil dan sukar dikontrol
Bila hiperglikemi berat sebelum makan pagi tidak dapat dikoreksi dengan insulin dosis tunggal perhari
Pasien yang membutuhkan insulin lebih dari 1000 IU perhari. Pada
pasien ini diet karbohidrat sebaiknya dibagi menjadi 6-7 kali
pemberian.
Dosis awal pasien DM muda 0,7-1,5 IU/kg berat badan. Untuk terapi awal,
regular insulin dan insulin kerja sedang merupakan pilihan dan diberikan 2 kali
sehari. Untuk DM dewasa yang kurus 8-10 IU insulin kerja sedang diberikan
20-30 menit sebelum makan pagi dan 4 IU sebelum makan malam. Dosis
ditingkatkan secara bertahap sesuai hasil pemeriksaan glukosa darah dan urin
(Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI, 2007).
2.2 Hiperbarik Oksigen (HBO)
2.2.1 Sejarah Terapi Oksigen Hiperbarik
Pada tahun 1921, Dr. Cunningham mulai mengemukakan teori dasar
tentang penggunaan hiperbarik oksigen untuk mengobati keadaan hipoksia. Dr.
Orville Cunningham, seorang professor dalam bidang anestesi, mendirikan sebuah
bangunan bernama Steel Ball Hospital pada tahun 1928. Bangunan tersebut terdiri
atas 6 lantai dan diameter 64 kaki. Bangunan tersebut mempunyai tekanan 3
atmosfer. Tetapi Rumah Sakit tersebut ditutup pada tahun 1930 karena tidak
mempunyai bukti ilmiah yang cukup yang mengindikasikan terapi tersebut untuk
memperingan penyakit (Neuman S Tom, 2008).
Angkatan laut Amerika Serikat (US Navy) memulai penelitian terhadap
terapi oksigen hiperbarik pada tahun 1930an untuk mengobati penyakit