• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Efektivitas Terapi Oksigen Hiperbarik Pada Pasien Diabetes Melitus di Rumah Sakit TNI Angkatan Laut Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Uji Efektivitas Terapi Oksigen Hiperbarik Pada Pasien Diabetes Melitus di Rumah Sakit TNI Angkatan Laut Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

UJI EFEKTIVITAS TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK

PADA PASIEN DIABETES MELITUS DI RUMAH SAKIT

TNI ANGKATAN LAUT Dr. MINTOHARDJO

JAKARTA PUSAT

SKRIPSI

NINDYA NURFITRIANI AZHAR

1111102000095

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

(2)

ii

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

UJI EFEKTIVITAS TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK

PADA PASIEN DIABETES MELITUS DI RUMAH SAKIT

TNI ANGKATAN LAUT Dr. MINTOHARDJO

JAKARTA PUSAT

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

NINDYA NURFITRIANI AZHAR

1111102000095

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

(3)

iii

Skripsi ini adalah hasil karya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Nindya Nurfitriani Azhar

NIM : 1111102000095

Tanda Tangan :

(4)
(5)
(6)

vi

Nama : Nindya Nurfitriani Azhar

Program Studi : Farmasi

Judul : Uji Efektivitas Terapi Oksigen Hiperbarik Pada Pasien

Diabetes Melitus di Rumah Sakit TNI Angkatan Laut Dr.

Mintohardjo Jakarta Pusat

Diabetes merupakan suatu penyakit heterogen yang gejalanya ditandai dengan peningkatan gula darah yang disebabkan oleh defisiensi insulin relatif atau absolut. Selain dengan obat-obatan kimia, pengembangan teknologi dilakukan untuk penyembuhan berbagai macam penyakit termasuk penyakit diabetes yaitu terapi oksigen hiperbarik. Terapi oksigen hiperbarik adalah terapi di mana pasien berada di ruangan bertekanan tinggi dan bernafas dengan oksigen murni (100%) pada tekanan udara lebih besar daripada udara atmosfir normal. Penelitian ini untuk mengetahui efektivitas pengobatan diabetes dengan menggunakan terapi oksigen hiperbarik. Dalam penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan melakukan observasi pengendalian gula darah pada pasien diabetes yang menggunakan terapi oksigen hiperbarik. Hasil penelitian diperoleh bahwa rata-rata kadar HbA1c pasien yang menggunakan obat sebesar 9,37±1,38% sedangkan setelah terapi oksigen hiperbarik 7,5± 1,109%. Dan rata-rata kadar GDS pasien yang menggunakan obat sebesar 249,21±39,71% sedangkan setelah terapi oksigen hiperbarik 158,7± 48,82%. Hal ini menunjukan terapi DM Tipe 2 dengan OAD dan oksigen hiperbarik, kadar HbA1c dan kadar GDS pasien dapat dikendalikan mendekati normal.

(7)

vii

Name : Nindya Nurfitriani Azhar

Study Program : Pharmacy

Title : Effectiveness Test of Hyperbaric Oxygen Therapy In

Diabetes Mellitus Patient in Rumah Sakit TNI Angkatan

Laut Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat

Diabetes is a heterogeneous disease which characterized with the increased blood glucose that caused by the deficiency of relative insulin or absolute. Beside the use of chemical drug, the development of technology can be conducted to recover the several diseases particularly diabetes disease by using hyperbaric oxygen therapy. The hyperbaric oxygen therapy is a therapy in which the patient located in high pressure room and breathed with pure oxygen (100%) at the air pressure greater than the normal pressure atmosphere. The objective of this research is to study the effectiveness of diabetes treatment by using hyperbaric oxygen therapy. In this research is used cross sectional design that conducted the observation to control the blood glucose at the diabetes patient who used the hyperbaric oxygen therapy. The result in this research showed that the average of HbA1c patient that using the drug is 9,37±1,38%, while, after using the hyperbaric oxygen therapy is 7,5± 1,109%. The average of GDS patient by using the drug is 249,21±39,71%, whilst, after finishing the hyperbaric oxygen therapy is 158,7± 48,82%. The result indicated that the DM therapy type 2 with OAD and the hyperbaric oxygen therapy, the level of HbA1c and the level of GDS patient can be controlled related to the normal condition.

(8)

viii

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa mencurahkan

segala rahmat-Nya kepada kita semua, khususnya dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk

mencapai gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam penulisan skripsi ini tentu banyak berbagai kesulitan dan halangan

yang menyertai, sehingga penulis tidak terlepas dari doa, bantuan, dan bimbingan

berbagai pihak. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Dr. Delina Hasan, M.Kes., Apt. sebagai Pembimbing I dan Bapak Drs.

Fakhren Kasim, MH.Kes., Apt. sebagai Pembimbing II yang telah

memberikan ilmu, nasehat, waktu, tenaga, dan dukungan moral selama masa

perkuliahan, penelitian, hingga penulisan skripsi.

2. Bapak Dr. H Arif Sumantri, SKM., M.Kes. selaku Dekan Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Yardi, Ph.D., Apt. atas dedikasi dan profesionalitas beliau sebagai

ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Ismiarni Komala, M.Sc., Ph.D., Apt. sebagai Dosen Pembimbing

Akademik yang telah memberikan nasehat, waktu, dan dukungan moral

selama masa perkuliahan, penelitian, hingga penulisan skripsi.

5. Bapak dan Ibu staf pengajar, serta karyawan yang telah memberikan

bimbingan dan bantuan selama menempuh pendidikan di Program Studi

Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri

(9)

ix

7. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Haryanto dan Ibunda Sari Asri serta adik

yang sangat saya sayangi Kayla Amira Azhar yang selalu ikhlas memberikan

dukungan moral, material, nasehat, serta lantunan doa yang tiada pernah putus

di setiap waktu.

8. Teman-teman di Program Studi Farmasi 2011: Indah, Elsa, Puji,Ageng, Ani,

Nova, Annisa, Anissa, Anis, Ices, Ika, Aditya, Andis, Tari, Miyadah, Happy,

Aci, Brasti, Hala, Syaiful, serta teman-teman Farmasi 2011 beng-beng atas

semangat dan kebersamaan kita selama 4 tahun kita bersama.

9. Randi Herlambang yang selalu hadir memberi semangat dan dukungan tanpa

henti, yang selalu menemani suka duka, yang selalu memotivasi dan

menginspirasi.

10.Tiara, Erna, Rina,Agung, yang selalu menginspirasi dan menguatkan saya.

Terima kasih atas persaudaraan dan pertemanan yang berkesan selama ini.

11.Linda, Mba Rica, Tia, Mba Ita, Mba Nun, Tisa, Mba Dani, Firdha, Yane,

Henny, Karina, Kasa, Swara, Rani, Galih Fitri, Ari, Manda, Diah Ayu, terima

kasih atas dukungan, motivasi, dan kebersamaannya selama ini.

12.Semua pihak yang telah membantu penulis selama melakukan penelitian dan

penulisan.

Semoga semua bantuan yang telah diberikan mendapatkan balasan dari Allah

SWT. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari

kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun akan

penulis nantikan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu

pengetahuan.

Ciputat, September 2015

(10)

x

Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Nindya Nurfitriani Azhar

NIM : 1111102000095

Program Studi : Farmasi

Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK)

Jenis Karya : Skripsi

demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah saya dengan judul :

UJI EFEKTIVITAS TERAPI HIPERBARIK PADA PASIEN DIABETES MELITUS DI RUMAH SAKIT TNI ANGKATAN LAUT DR.

MINTOHARDJO JAKARTA PUSAT

untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.

Demikian persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Jakarta

Tanggal : September 2015

Yang menyatakan,

(11)

xi

Halaman HALAMAN JUDUL ...

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...

HALAMAN PENGESAHAN ………

ABSTRAK ... ABSTRACT ... KATA PENGANTAR ...

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... DAFTAR ISI ... 1.4.2 Secara Metodologi ... 1.4.3 Secara Aplikatif ... 1.5 Ruang Lingkup Penelitian ...

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...

2.1 Diabetes Melitus ………..………...………....

2.1.1 Definisi Diabetes Melitus ………...……... 2.1.2 Klasifikasi Diabetes Melitus ………...…….….. 2.1.3 Etiologi Diabetes Melitus ………...……... 2.1.4 Patofisiologi Diabetes Melitus ………...……….. 2.1.5 Gejala Diabetes Melitus ………...……… 2.1.6 Faktor Risiko Diabetes Melitus ……… 2.1.7 Diagnosis Diabetes Melitus ………...…... 2.1.8 Komplikasi Diabetes Melitus ………...…… 2.1.9 Penatalaksanaan Diabetes Melitus ………...… 2.1.10Penggolongan Obat Diabetes Melitus ………... 2.2 Hiperbarik Oksigen ………...………...

(12)

xii

indikasi Terapi Oksigen Hiperbarik ……...… 2.2.4 Kontraindikasi Terapi Oksigen Hiperbarik …...……... 2.2.5 Protap Terapi Oksigen Hiperbarik ………...… 2.2.6 Klasifikasi Ruang Hiperbarik ………... 2.3 Hiperbarik Center RUMKITAL Dr. Mintohardjo …….…….

BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS ...

3.1 Kerangka Konsep ………...………...

3.2 Definisi Operasional ………...

3.3 Hipotesis ………...

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ……….

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ………..

4.2 Desain Penelitian ………

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ……….. 4.3.1 Populasi ………...

4.3.2 Sampel ………...

4.3.2.1 Kriteria Inklusi dan Eksklusi Sampel …...

4.4 Prosedur Penelitian ………...

4.4.1 Pengumpulan Data ………... 4.4.2 Pengolahan Data ………... 4.4.3 Analisis Data ………...

BAB V HASIL …...………. 5.1 Hasil Penelitian ………... 5.1.1 Jumlah Pasien Berdasarkan Karakteristik Pasien ... 5.1.2 Kondisi Pasien yang Menggunakan OAD dan

Setelah Terapi Oksigen Hiperbarik ...

BAB VI PEMBAHASAN …...………. 6.1 Pembahasan …...………... 6.1.1 Karakteristik Pasien ... 6.1.2 Kondisi Pasien yang Menggunakan Obat Antidiabetes dan Setelah Terapi Oksigen Hiperbarik

(13)

xiii

Halaman Gambar 2.1 Algoritma Penatalaksanaan DM tipe 2 ... 20

(14)

xiv Kriteria Pengendalian DM ... Target Pelaksanaan Diabetes Melitus ... Definisi Operasional ... Distribusi Pasien DM Tipe 2 Berdasarkan Karakteristik di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Periode Januari 2014-Maret 2015 ... Distribusi kondisi pasien selama menggunakan OAD di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Periode Januari 2014-Februari 2015 ... Distribusi kondisi pasien sebelum dan setelah terapi OHB di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Periode Januari 2014-Februari 2015 ... Rekapitulasi pasien yang menggunakan terapi oksigen hiperbarik di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Periode Januari 2014-Maret 2015 ... Frekuensi terapi oksigen hiperbarik dan jenis OAD pada keadaan pasien keluar yang terkendali di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Periode Januari 2014-Februari 2015 …... Frekuensi terapi oksigen hiperbarik dan jenis OAD pada keadaan pasien keluar yang tidak terkendali di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Periode Januari

(15)

xv

Halaman

Lampiran 1.

Lampiran 2.

Lampiran 3.

Lampiran 4.

Surat Permohonan Izin Penelitian Dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prodi Farmasi ... Surat Persetujuan Pelaksanaan Penelitian Dari RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat ... Pasien Diabetes yang Menggunakan Obat Antidiabetes dan Terapi Oksigen Hiperbarik di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat ... Uji Paired Samples T-Test dari Hasil Data HbA1c dan GDS Pasien Sebelum dan Setelah Terapi Oksigen Hiperbarik di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat Periode Januari 2014-Februari 2015 ...

71

72

73

(16)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diabetes melitus (DM) merupakan masalah kesehatan global yang

insidennya semakin meningkat. Diabetes adalah suatu penyakit heterogen yang

gejalanya ditandai dengan peningkatan gula darah yang disebabkan oleh defisiensi

insulin relatif atau absolut (Mycek, J. Mary, 2001). Diabetes melitus adalah

penyakit metabolisme yang merupakan suatu kumpulan gejala yang timbul pada

seseorang karena adanya peningkatan kadar glukosa darah di atas nilai normal.

Penyakit ini disebabkan gangguan metabolisme glukosa akibat kekurangan insulin

baik secara absolut maupun relatif. Ada 2 tipe diabetes melitus yaitu diabetes tipe

I yaitu diabetes yang umumnya didapat sejak masa kanak-kanak dan diabetes tipe

II yaitu diabetes yang didapat setelah dewasa (ADA, 2011).

Sebanyak 346 juta orang di dunia menderita diabetes, dan diperkirakan

mencapai 380 juta jiwa pada tahun 2025 (WHO, 2011). Dan sekitar 60% jumlah

pasien tersebut terdapat di Asia. Jumlah ini diasumsikan akan meningkat tiga kali

lipat pada tahun 2030 (Hilary King et al, 2004). Prevalensi diabetes di Indonesia

berdasarkan wawancara yang terdiagnosis dokter sebesar 1,5 persen. Diabetes

melitus yang berdasarkan wawancara juga terjadi peningkatan dari 1,1 persen

(2007) menjadi 2,4 persen (2013). Prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter

tertinggi terdapat di Yogyakarta (2,6%), DKI Jakarta (2,5%), Sulawesi Utara

(2,4%) dan Kalimantan Timur (2,3%). Prevalensi diabetes yang terdiagnosis

dokter atau gejala, tertinggi terdapat di Sulawesi Tengah (3,7%), Sulawesi Utara

(3,6%), Sulawesi Selatan (3,4%) dan Nusa Tenggara Timur 3,3 persen (Rikesda,

2013).

Peningkatan terjadi akibat bertambahnya populasi penduduk usia lanjut

dan perubahan gaya hidup, mulai dari pola makan/jenis makanan yang

dikonsumsi sampai berkurangnya kegiatan jasmani. Hal ini terjadi terutama pada

kelompok usia dewasa ke atas pada seluruh status sosial-ekonomi (Zahtamal dkk,

2007). Penyakit diabetes melitus sering menimbulkan komplikasi berupa stroke,

(17)

anggota badan menderita luka gangren (Nuh Huda, 2010). Prevalensi penyakit

diabetes melitus yang terus menerus meningkat, mengharuskan pemerintah

Indonesia untuk senantiasa tanggap dalam penanganan dan pengobatan untuk

pasien diabetes melitus.

Ada 4 hal penting yang perlu dijalankan agar pasien diabetes dapat hidup

sehat kembali yang disebut dengan empat pilar pengendalian diabetes (Edukasi,

pengaturan makan, olahraga, obat seperti tablet atau insulin) (Kariadi,2009).

Namun pada kenyataannya angka kematian dan komplikasi dari penyakit diabetes

melitus tetap saja tinggi. Upaya yang dilakukan yaitu memberikan penyuluhan

dan pendidikan kesehatan (edukasi) tentang perawatan dan pengobatan penyakit

diabetes melitus secara mandiri. Edukasi ini mencakup perencanaan makan (diet),

kegiatan olah raga, pemakaian obat oral dan insulin secara tepat. Pemantauan

kadar gula dalam darah dan urin serta meningkatnya motivasi penderita diabetes

melitus untuk kontrol secara teratur yang bertujuan menghilangkan gejala,

mencegah komplikasi akut dan kronik, mengurangi komplikasi yang sudah ada,

mengobati penyakit penyerta, menciptakan dan mempertahankan kesehatan tubuh,

memperbaiki kualitas hidup dan mengurangi angka kematian (Soegondo, 1995).

Kemajuan teknologi dalam bidang ilmu pengetahuan kedokteran

menghasilkan metode–metode baru dalam upaya penyembuhan penyakit,

termasuk penyakit diabetes. Salah satu pengembangan teknologi tersebut adalah

terapi oksigen hiperbarik. Telah banyak penelitian yang dilakukan terhadap

metode pengobatan terapi hiperbarik dalam bidang medis.

Terapi oksigen hiperbarik diperkenalkan pertama kali oleh Behnke pada

tahun 1930. Saat itu angkatan laut Amerika Serikat (US Navy) memulai penelitian

terhadap terapi hiperbarik untuk mengobati penyakit dekompresi dan emboli

udara pada arteri yang dialami oleh para penyelam militer. Terapi oksigen

hiperbarik hanya diberikan kepada para penyelam untuk menghilangkan gejala

penyakit dekompresi yang timbul akibat perubahan tekanan udara saat menyelam,

sehingga fasilitas terapi tersebut sebagian besar hanya dimiliki oleh beberapa

Rumah Sakit TNI AL dan Rumah Sakit yang berhubungan dengan pertambangan

(18)

Terapi hiperbarik oksigen adalah terapi dimana penderita harus berada

dalam suatu ruangan bertekanan tinggi dan bernafas dengan oksigen murni

(100%) pada tekanan udara lebih besar daripada udara atmosfir normal, yaitu

sebesar 1 ATA (Atmosfir Absolut) sama dengan 760 mmHg. Pemberian oksigen

tekanan tinggi untuk terapi dilaksanakan dalam chamber atau RUBT (Ruang

Udara Bertekanan Tinggi) (Lakesla, 2009 dalam T Nuh Huda, 2010).

Konsentrasi O2 yang digunakan dalam terapi oksigen hiperbarik berbeda

dengan O2 yang digunakan dalam tabung oksigen yang biasa karena pada

pemberian O2 di hiperbarik disertai tekanan tinggi yaitu 2,4 atm yang akan

membantu distribusi O2 dengan cepat dan terpenuhi dengan baik pada organ

tubuh. Sedangkan O2 dalam tabung oksigen tidak disertai tekanan tinggi.

Pada tahun 2003, The American Society of Hyperbaric Medicine

(Underwater and Hyperbaric Medical Society, UHMS) mempublikasikan

indikasi–indikasi untuk terapi oksigen hiperbarik yang disetujui oleh komite

tersebut berdasarkan bukti ilmiah yang ada, seperti emboli udara, keracunan

karbon monoksida, keracunan karbon monoksida dan sianida, anemia karena

pendarahan, penyakit dekompresi, abses intrakranial, infeksi nekrosis jaringan

lunak, osteomyelitis refraktur, luka bakar dan lain-lain.

Tahun 2010 Rady dwipayana, dkk meneliti tentang efek hiperbarik pada

cedera otot pada tikus putih dan hasilnya hiperbarik oksigen meningkatkan

terjadinya jaringan granulasi dan proliferasi fibroblas pada penyembuhan cedera

otot fleksor pada tikus putih. Pada tahun yang sama T. Nuh Huda meneliti tentang

pengaruh hiperbarik oksigen terhadap perfusi perifer luka gangren penderita

diabetes melitus, hasilnya ada perubahan menjadi lebih baik pada luka tetapi

tidak signifikan. Mayor Laut (K) Tituk Harnanik, dokter dan Kepala

Subdepartemen Faal Penyelaman TNI AL Armada Timur mengatakan, terapi

hiperbarik oksigen mampu mempercepat kesembuhan dan mengurangi dosis obat

yang diminum penderita diabetes.

Secara teori terapi OHB dapat meningkatkan sensitivitas jaringan terhadap

insulin dan menimbulkan hipoglikemik pada penderita diabetes melitus, di mana

terapi HBO pada 2,4 atmofir absolut menimbulkan penurunan kadar gula darah

(19)

Salah satu Rumah Sakit yang memiliki fasilitas terapi hiperbarik ini adalah

RUMKITAL Dr. Mintohardjo. Di RUMKITAL Dr. Mintohardjo ini terapi

hiperbarik banyak digunakan untuk penyembuhan pada pasien diabetes.

Walaupun sudah banyak digunakan dalam penyembuhan diabetes bagi pasien di

Rumah Sakit TNI AL Mintohardjo, tetapi belum pernah dilakukan penelitian

sebelumnya mengenai efektivitas dari penggunaan terapi hiperbarik bagi pasien

diabetes di RUMKITAL Dr. Mintohardjo.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas menunjukan bahwa pengobatan pada pasien

diabetes melitus selama ini banyak menggunakan obat-obatan kimia.

Sebagaimana diketahui obat-obatan kimia mempunyai banyak efek samping.

Untuk menghindari efek samping dari penggunaan obat kimia dan mempercepat

proses penyembuhan dapat dicari teknologi baru untuk pengobatan diabetes

melitus. Teknologi hiperbarik sudah dikenal dapat menyembuhkan beberapa

penyakit termasuk diabetes.

Di RUMKITAL Dr. Mintohardjo mempunyai alat hiperbarik yang sudah

digunakan untuk pengobatan diabetes, tetapi belum diketahui lebih lanjut

efektivitas pengobatan diabetes dengan terapi hiperbarik dibandingkan hanya

dengan penggunaan obat kimia di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta.

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas terapi

hiperbarik pada pasien diabetes melitus di RUMKITAL Dr. Mintohardjo pada

bulan Januari 2014 hingga Maret 2015.

1.3.2 Tujuan Khusus

 Untuk mengidentifikasi fungsi dari penggunaan terapi hiperbarik terhadap

pasien diabetes.

 Untuk mengetahui apakah penggunaan terapi hiperbarik lebih efektif

(20)

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan serta

wawasan tentang penggunaan terapi hiperbarik, khususnya bagi pasien diabetes

melitus.

1.4.2 Secara Metodologi

Metode penelitian ini dapat menjadi referensi untuk diaplikasikan pada

penelitian farmasi klinis sejenis.

1.4.3 Secara Aplikatif

Secara aplikatif hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan suatu bahan

pertimbangan ataupun kebijakan dalam pengobatan diabetes melitus di

RUMKITAL Dr. Mintohardjo.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian yang berjudul “Uji Efektivitas Terapi Oksigen Hiperbarik pada

Pasien Diabetes Melitus di Rumah Sakit TNI Angkatan Laut Dr. Mintohardjo

Jakarta”, terbatas hanya membahas pada pasien diabetes yang menggunakan obat

antidiabetes dan terapi oksigen hiperbarik dengan mengamati kadar HbA1c dan

GDS dari data rekam medis pasien di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta.

Desain yang digunakan adalah cross sectional dengan pendekatan retrospektif.

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Maret 2015 di RUMKITAL Dr.

(21)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus

2.1.1 Definisi Diabetes Melitus

Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu penyakit atau gangguan

metabolisme kronis dengan multietiologi yang ditandai dengan tingginya kadar

gula darah (hiperglikemia) disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat,

lipid, dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi

insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh

sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya

sel-sel tubuh terhadap insulin (WHO, 1999).

Diabetes Melitus (DM) atau penyakit kencing manis merupakan suatu

penyakit menahun yang ditandai dengan kadar glukosa darah (gula darah)

melebihi nilai normal yaitu kadar gula darah sewaktu sama atau lebih dari 200

mg/dl dan kadar gula darah puasa di atas atau sama dengan 126 mg/dl

(Misnadiarly, 2006).

2.1.2 Klasifikasi Diabetes Melitus

WHO (World Health Association) membagi DM menjadi dua kelas, yaitu

kelas klinis dan kelas risiko statistik.

a) Kelas klinis

Jika hasil pemeriksaan kadar glukosa darah lebih tinggi dari normal.

Kelas klinis dibedakan menjadi tiga, yaitu sebagai berikut:

1) Diabetes Melitus, seseorang termasuk kelompok penderita Diabetes

Melitus jika kadar glukosa darah dalam keadaan puasa lebih dari 140

mg/dl, atau dua jam sesudah makan (post prandial) kadarnya lebih

dari 200 mg/dl. Diabetes Melitus sendiri terbagi lagi menjadi empat,

yakni sebagai berikut:

 DM tipe 1 (DM tergantung insulin/DMTI) = insulin dependent

DM/IDDM. Kelompok ini adalah penderita penyakit DM yang

(22)

masih muda dan tidak gemuk. Gejala biasanya timbul pada masa

anak–anak dan puncaknya pada usia remaja. Begitu penyakitnya

terdiagnosis, penderita langsung memerlukan suntikan insulin

karena pankreasnya sangat sedikit atau sama sekali tidak

membentuk insulin. Umumnya penyakit berkembang ke arah

ketoasidosis diabetik yang menyebabkan kematian. Tipe ini

disebabkan oleh kerusakan sel beta pankreas sehingga terjadi

kekurangan produksi/sekresi insulin absolut. IDDM umumnya

diderita oleh orang–orang di bawah umur 30 tahun, dan gejalanya

mulai tampak pada usia 10–13 tahun. Penyebab IDDM belum

begitu jelas, tetapi diduga kuat disebabkan oleh infeksi virus yang

menimbulkan autoimun yang berlebihan untuk membunuh virus.

Akibatnya sel–sel pertahanan tubuh tidak hanya membasmi virus,

tetapi juga merusak sel–sel Langerhans. Faktor genetik juga

menentukan kerentanan sel-sel beta terhadap infeksi virus.

 DM tipe II (DM tidak tergantung insulin/DMTT) = non insulin

dependent DM = NIDDM. Kelompok Diabetes Melitus tipe II tidak

tergantung insulin. Kebanyakan timbul pada penderita berusia di

atas 40 tahun. Penderita DM tipe II inilah yang terbanyak di

Indonesia. Data sementara menyebabkan, hampir 90% penderita

diabetes di Indonesia adalah penderita NIDDM dan umumnya

disertai dengan kegemukan dan kegagalan pankreas mensekresi

insulin (defisiensi insulin) untuk mengkompensasi resistensi

insulin. Pengobatannya diutamakan dengan perencanaan menu

makanan yang baik dan latihan jasmani secara teratur. NIDDM

diduga disebabkan oleh faktor genetik dan dipicu oleh pola hidup

yang tidak sehat, tetapi munculnya terlambat. Dengan pola hidup

modern saat ini, prevalensi NIDDM semakin meningkat dengan

penderita yang berusia di bawah 40 tahun. DM tipe II dibagi lagi

menjadi dua, penderita tidak gemuk (non obese), penderita gemuk

(23)

 DM terkait malnutrisi (DMTM) = malnutrition related DM

(MRDM). Diabetes Melitus yang terkait dengan malnutrisi

biasanya terjadi di negara–negara berkembang di kawasan tropis

yang sebagian besar penduduknya masih berpendapat perkapita

rendah sehingga terjadi gangguan atau kekurangan makan

(malnutrisi) dan tidak didapati adanya ketosis. DMTM dibagi lagi

menjadi dua, yakni fibrocalculous pancreatic DM (FCPD) dan

protein deficient pancreatic DM (PDRD).

 Diabetes Melitus tipe lain yang berhubungan dengan keadaan atau

sindrom tertentu, misalnya penyakit pankreas, penyakit hormonal,

obat-obatan atau bahan kimia lain, kelainan insulin atau

reseptornya, sindrom genetik tertentu, dan penyebab lain yang

belum diketahui. Diabetes Melitus tipe ini adalah penderita yang

mengalami diabetes melitus akibat komplikasi penyakit yang

dideritanya. Misalnya, penderita mengidap penyakit pankreas

sehingga fungsi organ tersebut terganggu dan tidak mampu

menghasilkan hormon insulin akibatnya kadar gula darahnya

meningkat, efek samping konsumsi obat-obatan untuk

menyembuhkan penyakit lain, dan sebagainya.

2) Gangguan toleransi glukosa (GTG)

Penderita GTG ditandai dengan terjadinya peningkatan kadar glukosa

darah pada tes toleransi glukosa oral (TTGO) yang nilainya berada di

daerah perbatasan, yaitu di atas normal, tetapi di bawah nilai

diagnostik untuk diabetes melitus. Penderita GTG sangat berisiko

untuk menjadi penderita diabetes melitus tidak tergantung insulin dan

terserang penyakit kardiovaskuler, seperti penyakit jantung koroner

dan stroke.

3) DM pada kehamilan (Gestational DM)

Gestational Diabetes Melitus merupakan penyakit diabetes melitus

yang muncul pada saat mengalami kehamilan padahal sebelumnya

kadar glukosa darah selalu normal. Diabetes Melitus pada masa

(24)

kandungan jika tidak segera dilakukan pengobatan dengan benar.

Kelainan yang dapat timbul pada bayi, misalnya kelainan bawaan,

gangguan pernafasan, bahkan kematian janin. Umumnya diabetes tipe

ini akan diderita selama masa kehamilan dan kembali normal setelah

melahirkan. Meski begitu, terdapat sejumlah kasus yang tidak

terkendali sehingga diabetes melitus dapat berkembang lebih lanjut

pasca melahirkan.

Oleh karena bisa berkembang lebih lanjut, diabetes tipe ini harus

ditangani secara ekstra. Caranya dengan berkonsultasi ke dokter ahli

secara rutin, diperlukan suntikan insulin untuk mengontrol kadar

glukosa darah yang tinggi, dan didukung perencanaan makan yang

baik. Perencanaan makan harus memperhatikan kebutuhan kalori

perhari, komposisi zat makanan, dan kebutuhan vitamin serta

mineral.

Penderita Gestational DM sebaiknya melakukan pengukuran HbA1c.

Kadar HbA1c yang meningkat pada 12 minggu pertama kehamilan

menandakan adanya kehamilan dengan diabetes melitus yang dapat

meningkatkan risiko cacat lahir (kelainan kongenital). Jika pada

kehamilan dini kadar HbA1c lebih besar dari 12% risiko keguguran

(abortus) juga semakin meningkat. Keracunan kehamilan yang berat,

air ketuban berlebih, hipertensi, janin tumbuh besar, kematian janin

dalam kandungan, dan gawat janin adalah faktor yang mempersulit

persalinan ibu hamil dengan diabetes melitus. Oleh karenanya, ibu

hamil yang terkena diabetes melitus harus melahirkan di Rumah Sakit

untuk mengurangi risiko kematian bayi dan ibu.

b) Kelas Risiko Statistik

Kelas ini mencakup mereka yang mempunyai kadar glukosa dalam batas

toleransi normal, tetapi mempunyai risiko lebih besar untuk mengidap

diabetes melitus. Orang–orang yang termasuk dalam kelas ini antara lain:

 Toleransi glukosa pernah abnormal,  Kedua orang tua mengidap DM, dan

(25)

American Diabetes Association (ADA) juga menggolongkan penyakit

Diabetes Melitus ke dalam klasifikasi sebagai berikut:

 DM tipe 1 (IDDM)  DM tipe II (NIDDM)  DM dengan kehamilan

 DM tipe lain, terdiri dari defek genetik fungsi sel beta (MODY, DNA

mitokondria), defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas

(pankreatitis, tumor/pankreatektomi, pankreatopati fibrokalkulus),

endokrinopati (akromegali, sindroma cushing, feokromositoma,

hipertiroideisme), obat zat kimia, infeksi, imunologi, dan sindrom

genetik lain yang berkaitan dengan DM.

2.1.3 Etiologi Diabetes Melitus

Penyebab diabetes melitus menurut American College of Clinical

Pharmacy berdasarkan klasifikasinya adalah:

1) Diabetes Melitus (DM) tipe 1

Diakibatkan oleh hancurnya sel β pankreas sehingga menyebabkan produksi insulin berkurang. Hampir 5%-10% yang menderita DM tipe 1.

Dikenal sebagai insulin independent diabetes atau juvenile onset diabetes.

Prevalensi di America 0,12% atau sekitar 340.000 penderita pasien DM.

Biasanya diderita oleh anak-anak atau orang dewasa muda. Biasanya pada

anak-anak, gejala onsetnya lebih cepat dibandingkan dengan orang dewasa

tua.

2) Diabetes Melitus tipe 2

Diakibatkan karena adanya resistensi insulin akibat kerusakan eksresi

insulin. Hampir 90%-95% yang mederita DM tipe 2. Dikenal sebagai

insulin non insulin dependent diabetes atau adult onset diabetes. Prevalensi

di Amerika 7,8% atau sekitar 23,6 juta. Penderita DM tipe 2 ini biasanya

(26)

3) MODY ( Maturity-Onset Diabetes of the Young)

Diakibatkan karena penyakit genetik yang disebabkan oleh melemahnya

aksi insulin. Biasanya diderita pada umur dibawah 25 tahun dan termasuk

DM tipe 1 dan tipe 2.

4) Diabetes Gestational

Terjadi intoleransi glukosa selama masa kehamilan. Prevalensi 1%-14%

pada wanita hamil. Hanya terjadi pada trimester ketiga.

5) Prediabetes

Lemahnya toleransi glukosa. Lemahnya glukosa puasa.

6) Tipe DM lain

Kerusakan genetik pada fungsi sel β atau aksi insulin. Penyakit pada pankreas (seperti, pankreatitis, neoplasia, dan cystic fibrosis). Induksi

kimia atau obat (seperti, glukokortikoid, asam nikotinat, penghambat

protease, dan antipsikosis atipikal).

2.1.4 Patofisiologi Diabetes Melitus

Secara normal insulin dihasilkan oleh sel pankreas. Dalam keadaan sehat

pankreas secara spontan akan memproduksi insulin saat gula darah tinggi. Proses

awalnya adalah jika kadar gula darah rendah, maka glukagon akan dibebaskan

oleh sel alfa pankreas, kemudian hati akan melepaskan gula ke darah yang

mengakibatkan kadar gula normal. Sebaliknya jika kadar gula darah tinggi, maka

insulin akan dibebaskan oleh sel beta pankreas, kemudian sel lemak akan

mengikat gula yang mengakibatkan gula darah kembali normal (Black & Hwak,

2005).

Patofisiologi DM secara klinis dibagi 2 yaitu DM tipe 1 dan 2. DM tipe 1

disebabkan kurangnya sekresi insulin. Kelainan dasar pada DM tipe 2 yaitu

resistensi insulin dan kegagalan pankreas mensekresi insulin (defisiensi insulin)

(27)

2.1.5 Gejala Diabetes Melitus

Gejala diabetes melitus tipe I dan tipe II tidak banyak berbeda. Hanya pada

diabetes melitus tipe I, gejalanya lebih ringan dan prosesnya lambat, bahkan

kebanyakan orang tidak merasakan adanya gejala. Akibatnya, penderita baru

mengetahui menderita diabetes melitus setelah timbul komplikasi, seperti

penglihatan menjadi kabur atau bahkan mendadak buta, timbul penyakit jantung,

penyakit ginjal, gangguan kulit dan saraf, atau bahkan terjadi pembusukan pada

kaki (gangren). Berikut ini adalah gejala yang umumnya dirasakan penderita

diabetes melitus (Tobing dr. Ade, 2008):

 Sering buang air kecil. Tingginya kadar gula dalam darah yang

dikeluarkan lewat ginjal selalu diiringi oleh air atau cairan tubuh maka

buang air kecil menjadi lebih banyak. Bahkan tidur di malam hari kerap

terganggu karena harus bolak–balik ke kamar kecil.

 Haus dan banyak minum. Banyaknya urin yang keluar menyebabkan

cairan tubuh berkurang sehingga kebutuhan akan air (minum) meningkat.

 Fatigue (lelah). Rasa lelah muncul karena energi menurun akibat berkurangnya glukosa dalam jaringan/sel. Kadar gula dalam darah yang

tinggi tidak bisa optimal masuk dalam sel disebabkan oleh menurunnya

fungsi insulin sehingga orang tersebut kekurangan energi.

 Rasa lelah, pusing, keringat dingin, ridak bisa konsentrasi, disebabkan oleh

menurunnya kadar gula. Setelah seseorang mengonsumsi gula, reaksi

pankreas meningkat (produksi insulin meningkat), menimbulkan

hipoglikemik (kadar gula rendah).

 Meningkatnya berat badan. Berbeda dengan diabetes melitus tipe 1 yang kebanyakan mengalami penurunan berat badan, penderita tipe 2 seringkali

mengalami peningkatan berat badan. Hal ini disebabkan terganggunya

metabolisme karbohidrat karena hormon lainnya juga terganggu.

 Gatal. Gatal disebabkan oleh mengeringnya kulit (gangguan pada regulasi

cairan tubuh) yang membuat kulit mudah luka dan gatal. Akibatnya, energi

panas meningkat (damp heat) menyebabkan timbulnya iritasi di kulit

(28)

 Gangguan immunitas. Meningginya kadar glukosa dalam darah

menyebabkan pasien diabetes sangat sensitif terhadap penyakit infeksi.

Hal ini disebabkan oleh menurunnya fungsi sel–sel darah putih. Infeksi

yang sering muncul pada pasien diabetes melitus ialah infeksi kandung

kemih, infeksi kulit (acne), infeksi jamur (candidiasis), dan infeksi saluran

pernafasan.

 Gangguan mata. Penglihatan berkurang disebabkan oleh perubahan cairan

dalam lensa mata. Pandangan akan tampak berbayang disebabkan adanya

kelumpuhan pada otot mata.

Polyneuropathy. Gangguan sensorik pada saraf periferal (kesemutan) di

kaki dan tangan.

2.1.6 Faktor Risiko Diabetes Melitus

Penyakit DM kebanyakan adalah penyakit keturunan, bukan penyakit

menular. Meskipun demikian tidak berarti penyakit ini pasti menurun pada anak.

Berikut ini adalah urutan yang menunjukan siapa saja yang mempunyai

kemungkinan akan menderita penyakit DM yaitu (Misnadiarly, 2006):

 Kedua orang tuanya mengidap penyakit DM.

 Salah satu orang tuanya atau saudara kandungnya mengidap penyakit DM.

 Salah satu anggota keluarga (nenek, paman, bibi, keponakan, sepupu)

mengidap DM.

 Pernah melahirkan bayi dengan berat badan lahir >4 kg.

 Pada waktu pemeriksaan kesehatan pernah ditemukan kadar glukosa

darah melebihi antara 140–200 mg/dl.

 Kelompok usia dewasa tua (>45 tahun).  Tekanan darah tinggi (>140/90 mmHg).

 Kegemukan (BB(kg)) >120% BB idaman atau IMT >27 (kg/m2)).

 Dislipidemia (HDL <35 mg/dl dan atau Trigliserida >250 mg/dl).  Menderita penyakit lever (hati) kronik atau agak berat.

 Terlalu lama minum obat–obatan, mendapat suntikan atau minum

(29)

penyakit kulit, penyakit reumatik, dan lain–lain) misalnya, prednison,

oradexon, kenacort, rheumacyl, kortison, hidrokortison.

 Terkena infeksi virus tertentu misalnya virus morbili, virus yang menyerang kelenjar ludah, dan lain–lain.

 Terkena obat–obatan antiserangga (insektisida).

2.1.7 Diagnosis Diabetes Melitus

Diagnosis klinis khas DM pada umumnya adalah bahwa terdapat keluhan

khas DM yaitu, poliuria (banyak kencing), polidipsia (banyak minum), polifagia

(banyak makan), dan penurunan berat badan yang tidak jelas sebabnya, dan

keluhan lainnya seperti, kesemutan, gatal, mata kabur, dan impotensia pada pria,

prioritis vulva pada wanita (Misnadiarly, 2006).

Kriteria diagnosis diabetes melitus dan gangguan toleransi glukosa

menurut ahli diabetes di Surabaya tahun 1987 merupakan modifikasi dari kriteria

diagnosis diabetes melitus yang ditetapkan di WHO tahun 1985 seperti berikut:

1) Diagnosis diabetes melitus apabila:

 Terdapat gejala-gejala diabetes melitus ditambah dengan

 Salah satu dari, GDP 120 mg/dL, 2 jam PP 200 mg/dL, atau

glukosa darah acak > 200 mg/dL.

2) Diagnosis diabetes melitus apabila:

 Tidak terdapat gejala-gejala diabetes melitus, tetapi

 Terdapat 2 hasil dari, GDP 120 mg/dL, 2 jam PP 200 mg/dL atau random 200 mg/dL.

3) Diagnosis gangguan toleransi glukosa (GTG) apabila, GDP< 120

mg/dL dan 2 jam PP 140-200 mg/dL.

4) Untuk kasus meragukan dengan hasil GDP< 120 mg/dL dan 2 jam

PP> 200 mg/dL, maka ulangi pemeriksaan laboratorium sekali lagi,

dengan persiapan minimal 3 hari dengan diet karbohidrat lebih dari

150 gram perhari dan kegiatan fisik seperti biasa, kemungkinan

(30)

 DM, apabila hasilnya sama atau tetap, yaitu GDP< 120 mg/dL dan

2 jam PP 200 mg/dL, atau apabila hasilnya memenuhi kriteria I

atau II.

 GTG, apabila hasilnya cocok dengan kriteria III.

Tabel 2.1. Kadar gula darah sewaktu dan puasa Bukan [Sumber : Hendromartono, 1999]

Tabel 2.2. Kriteria pengendalian DM

Pemeriksaan glukosa darah plasma vena (mg/dl) Baik Sedang Buruk

Puasa 80 – 109 110 – 139 140

2 jam pp 110 – 159 160 – 199 >200

HbA1c % 4 – 6 6 – 8 >8

Tekanan darah < 140 / 90 < 160 / 95 >160/95 [Sumber : Hendromartono, 1999]

Hemoglobin A1c (HbA1c)/Glycosylated Haemoglobin adalah apabila

hemoglobin dipisahkan secara kromatografi melalui perubahan kation akan

berubah menjadi HbA0, HbAIa1, HbAIa2, HbA1b, HbA1c (Boucher, 1988 dalam

Nuh Huda, 2010). Pengukuran HbA1c/Glycosylated Haemoglobin telah diterima

secara obyektif dan menjadi indeks quantitative pengukuran kadar glukosa darah

selama 6-10 minggu dan nilai pengukuran tersebut akan meningkat pada penderita

Diabetes Melitus (Nuh Huda, 2010).

2.1.8 Komplikasi Diabetes Melitus

Komplikasi penyakit diabetes melitus diklasifikasikan menjadi dua, yaitu

komplikasi yang bersifat akut dan kronis (menahun). Komplikasi akut merupakan

komplikasi yang harus ditindak cepat atau memerlukan pertolongan dengan

segera. Adapun komplikasi kronis merupakan komplikasi yang timbul setelah

penderita mengindap diabetes melitus selama 5–10 tahun atau lebih (Tobing dr.

(31)

Komplikasi akut meliputi ketoasidosis diabetika (DKA), koma nonketosis

hiperglikemia. Sementara komplikasi kronis meliputi komplikasi mikrovaskuler

(komplikasi di mana pembuluh–pembuluh rambut kaku atau menyempit sehingga

organ yang seharusnya mendapatkan suplai darah dari pembuluh–pembuluh

tersebut menjadi kekurangan suplai) dan komplikasi makrovaskuler (komplikasi

yang mengenal pembuluh darah arteri yang lebih besar sehingga terjadi

aterosklerosis) (Tobing dr. Ade, 2008).

Berikut beberapa kerusakan dan gangguan yang terjadi akibat komplikasi

penyakit diabetes melitus (Tobing dr. Ade, 2008):

 Kerusakan pada pembuluh darah (vasculopathy), kerusakan pada dinding

pembuluh darah akan mengakibatkan masalah pada jantung dan otak, serta

gangguan pada pembuluh darah di kaki. Akibatnya, makro dan

mikrovaskuler sirkulasi akan terganggu, peningkatan tekanan darah, dan

infark hati dan cerebral.

 Gangguan fungsi jantung, gangguan pada pembuluh darah akan

mengakibatkan aliran darah ke jantung terhambat atau terjadi iskemia

(kekurangan oksigen di otot jantung), timbul angina pectoris (sakit di

daerah dada, lengan, dan rahang), bahkan pada akhirnya bisa

menyebabkan serangan jantung.

 Gangguan fungsi pembuluh otak, pasien sering merasakan berat di

belakang kepala, leher, dan pundak, pusing (vertigo), serta pendengaran

dan penglihatan terganggu. Jika hal ini dibiarkan, gangguan neurologis

akan muncul, misalnya dalam bentuk stroke yang disebabkan oleh

penyumbatan atau pendarahan.

 Tidak stabilnya tekanan darah, tidak stabilnya atau seimbangnya tekanan

darah yakni kadang tinggi atau rendah banyak terjadi pada pasien diabetes

melitus. Tekanan darah tinggi disebabkan oleh buruknya kondisi

pembuluh darah dan memburuknya fungsi ginjal.

 Gangguan pada sistem saraf, neuropathy adalah salah satu komplikasi diabetes melitus. Kerusakan pada sistem saraf ini lebih mengacu pada

saraf sensorik (saraf perasa), menimbulkan rasa sakit, kesemutan, serta

(32)

memang lebih sedikit, gangguan ini termanefestasi pada berkurangnya

tenaga otot dan volume dari jaringan otot.

 Gangguan mata (retinopathy), disebabkan memburuknya kondisi mikro sirkulasi sehingga terjadi kebocoran pada pembuluh darah retina. Hal ini

bahkan bisa menjadi salah satu penyebab kebutaan. Retinopathy

sebenernya merupakan kerusakan yang unik pada diabetes karena selain

oleh gangguan mikrovaskuler, penyakit ini juga disebabkan adanya

biokimia darah sehingga terjadi penumpukan zat–zat tertentu pada jaringan

retina.

Katarak dan glaukoma (meningkatnya tekanan pada bola mata) juga

merupakan salah satu dari komplikasi mata pada pasien diabetes. Oleh

karenanya, selain mengontrol kadar gula darah, mengontrol mata pada

dokter mata secara rutin juga mutlak dilakukan oleh pasien diabetes.

 Gangguan ginjal (nefropathy), sebab utama gangguan ginjal pada pasien

diabetes adalah buruknya mikrosirkulasi. Gangguan ini sering muncul

paralel dengan gangguan pembuluh darah di mata. Penyebab lainnya

adalah proses kronis dari hipertensi yang akhirnya merusak ginjal.

Kebanyakan pasien sebelumnya tidak memiliki keluhan ginjal.

 Gangguan pada kaki karena diabetes melitus, kaki adalah bagian tubuh

yang paling sensitif pada pasien diabetes melitus. Ada beberapa faktor

yang berperan dalam perubahan ini, yaitu terhambatnya sirkulasi

menimbulkan rasa sakit pada betis kaki sewaktu berjalan, gangren

(gangguan makro dan mikrosirkulasi vasculopathy), gangguan pada saraf

(neuropathy), yakni kerusakan pada saraf di otot, kulit, dan kerusakan

saraf autonom yang mengganggu regulasi keringat, dan sensitif terhadap

infeksi di kaki.

 Gangguan pada otot dan sendi–sendi, terhambatnya ruang gerak sendi dan

otot banyak diderita pada orang tua. Namun, kini gejala tersebut juga

kerap dirasakan pada pasien usia muda yang menderita diabetes melitus

(33)

2.1.9 Penatalaksanaan Diabetes Melitus

Penilaian klinis pada pasien setelah menegakkan diagnosis diabetes

melitus, lakukan terapi komplikasi metabolik akut dan terapi hipoglikemik seumur

hidup, pemeriksaan untuk mencari kerusakan pada organ setiap 6–12 bulan

penglihatan (retinopati dan katarak), sistem kardiovaskuler (denyut nadi perifer,

tanda–tanda gagal jantung, hipertensi), sistem saraf (neuropati sistem saraf

otonom dan saraf sensoris perifer) dan kaki (ulkus, gangren, dan infeksi). Fungsi

ginjal (kreatinin dan albuminuria) harus diperiksa.

Terapi harus meminimalkan gejala dan menghindari komplikasi dan harus

memungkinkan pasien menjalani hidup normal, hal ini membutuhkan edukasi dan

dukungan kepada pasien.

Usaha memaksimalkan prognosis tergantung pada kontrol glukosa darah

secara optimal dan menyingkirkan faktor–faktor risiko kardiovaskuler seperti

merokok, hipertensi (usahakan tekanan darah <130/80 mmHg), dan

hiperlipidemia. Kontrol kadar glukosa yang optimal dengan sendirinya dapat

memperbaiki kadar kolesterol, namun apabila kadar kolesterol tetap tinggi setelah

ini, terapi penurunan lipid secara agresif dengan statin dapat dilakukan. Hampir

semua orang yang menderita diabetes dan memiliki penyakit vaskuler seharusnya

mendapat terapi statin (Davey Patrick, 2005).

Karena penting bagi pasien untuk pemeliharaan pola makan yang teratur,

maka penatalaksanaan dapat dilakukan dengan perencanaan makanan. Tujuan

perencanaan makanan dan dalam pengelolaan diabetes adalah untuk

mempertahankan kadar glukosa darah dan lipid dalam batas normal, menjamin

nutrisi yang optimal untuk pertumbuhan anak dan remaja, ibu hamil dan janinnya,

dan mencapai dan mempertahankan berat badan idaman (Waspadji, dkk, 2002).

Latihan jasmani yang teratur memegang peran penting terutama pada DM

tipe 2. Manfaatnya adalah memperbaiki metabolisme atau menormalkan kadar

glukosa darah dan lipid darah, meningkatkan kerja insulin, membantu

menurunkan berat badan, meningkatkan kesegaran jasmani dan rasa percaya diri,

(34)

Menggunakan obat hipoglikemik oral, dapat dijumpai dalam bentuk

golongan sulfonilurea, golongan biguanida, dan inhibitor glukosidase alfa

(Waspadji, dkk, 2002).

Menurut American College of Clinical Pharmacy merekomendasikan

beberapa parameter yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan

penatalaksanaan DM.

Tabel 2.3. Target Pelaksanaan Diabetes Melitus

Paramete r Kadar Ideal yang Diharapkan

Kadar plasma glukosa puasa 70 – 130 mg/dl

Kadar plasma glukosa sete lah makan < 180 mg/dl

Kadar hemoglobin A1c <7%

Kadar HDL >45 mg/dl = pria , >50 mg/dl = wanita

Kadar LDL 100 – 129 mg/dl

(35)

Gambar 2.1. Algoritma Penatalaksanaan DM tipe 2 (Dipiro Et, al,2009)

awal sulfonylurea dan atau metformin

Terapi dilanjutkan atau dicek HbA 1 c tiap 3-6

bulan Kombinasi

sulfonilurea

Target tercapai

Target tidak tercapai setelah 3-6 bulan

Insulin kerja menengah atau 1x perhari glargin. Sebelum pemberian insulin kerja regular atau lispro/aspart tambah 3 kombinasi antidiabetik oral atau diganti untuk memisah dosis insulin/insulin analog terapi berkunjung ke endorinologis.

Awal Intervensi

(36)

2.1.10 Penggolongan Obat Diabetes Melitus

Menurut American College of Clinical Pharmacy, 2013 dalam istiqomah,

2013, terdapat 9 golongan antidiabetes oral (ADO) DM tipe 2 dan telah

dipasarkan di Indonesia yakni golongan: sulfonilurea, meglitinid, biguanid,

penghambat α-glukosidase, tiazolidindion, penghambat dipeptidyl peptidase-4, sekuestran asam empedu, bromokriptin, dan produk kombinasi. Kesembilan

golongan ini dapat diberikan pada DM tipe 2 yang tidak dapat dikontrol hanya

dengan diet dan latihan fisik saja.

1) Sulfonilurea

Mekanisme kerjanya dengan mengikat reseptor pada sel beta

pankreas, membentuk membran depolarisasi dengan stimulasi sekresi

insulin. Generasi pertama yaitu, tolbutamide, klorpropamid. Generasi

kedua yaitu:

a) Gliburid dengan dosis 2,5-5,0 mg 1 atau 2x sehari dengan dosis

maksimal per hari 20 mg, gliburid dengan dosis 1,5-3 mg 1 atau 2x

sehari dengan dosis maksimal per hari 12 mg.

Contoh sediaan seperti Glibenkamid (generik), Abenon (Heroic),

Clamega (Emba Megafarma), Condiabet (Armoxindo), Daonil

(Aventis).

Memiliki efek hipoglikemik yang poten sehingga pasien perlu

diingatkan untuk melakukan jadwal makan yang ketat. Gliburid

dimetabolisme dalam hati, hanya 25% metabolit di ekskresi melalui

empedu dan dikeluarkan bersama tinja. Gliburid efektif dengan

pemberian dosis tunggal. Bila pemberian dihentikan, obat akan bersih

keluar dari serum setelah 36 jam. Diperkirakan memiliki efek terhadap

agregasi trombosit. Dalam batas-batas tertentu masih dapat diberikan

pada pasien gangguan ginjal dan hati (Handoko dan Suharto, 1995).

b) Glipizid dengan dosis 5 mg 1 atau 2x sehari (extended release) dengan

dosis maksimal per hari 40 mg.

Contoh sediaan seperti Diamicron (Darya Varia), Glibet (Dankos),

(37)

Mempunyai efek hipoglikemik sedang sehingga tidak begitu sering

menyebabkan efek hipoglikemik. Mempunyai efek antiagregasi

trombosit yang lebih poten. Dapat diberikan pada penderita gangguan

fungsi hati dan ginjal (Soegondo, 1995b).

c) Glimepirid dengan dosis 1-2 mg 1x sehari dengan dosis maksimal per

hari 8 mg, contoh sediaan seperti Amaryl. Memiliki waktu mula kerja

yang pendek dan waktu kerja yang lama, sehingga umum diberikan

dengan cara pemberian dosis tunggal. Untuk pasien yang berisiko

tinggi, yaitu pasien usia lanjut, pasien dengan gangguan ginjal atau

yang melakukan aktivitas berat dapat diberikan obat ini. Dibandingkan

dengan glibenklamid, glimepirid lebih jarang menimbulkan efek

hipoglikemik pada awal pengobatan (Soegondo, 1995b).

d) Glibenklamid dengan dosis 2,5-5 mg/hari dengan dosis maksimal

perhari 15 mg.

e) Glikuidon dengan dosis 15 mg/hari dengan dosis maksimal perhari 60

mg. Contoh sediaan seperti Gluronerm (Boehringer ingelhem).

Mempunyai efek hipoglikemik sedang dan jarang menimbulkan

serangan hipoglikemik. Karena hampir seluruhnya diekskresi melalui

empedu dan usus, maka dapat diberikan pada pasien gangguan ginjal

dan hati yang agak berat (Soegondo, 1995b).

Efek merugikan secara umum seperti hipoglikemia, penambahan

berat badan. Dan efek yang jarang terjadi seperti ruam kulit, sakit kepala,

mual, muntah, dan fotosintesis.

Kontraindikasinya seperti hipersensitivitas dengan sulfonamide,

pasien dengan tidak sadar menderita hipoglikemi, fungsi ginjal tidak

berfungsi baik (glipizid merupakan pilihan yang lebih baik daripada

gliburid atau glimepirid pada pasien yang geriatri atau memiliki

kelemahan pada ginjal karena obat atau metabolit aktif tidak dapat

dieliminasi di dalam ginjal).

Efikasi dari sulfonamida ini seperti reduksi 1%-2% HbA1c, dan

semua pengobatan untuk mengobati hiperglikemia. Interaksi obat yang

(38)

sewaktu pemberian obat hipoglikemik sulfonilurea antara lain dengan:

alkohol, fenformin, sulfonamida, salisilat, fenilbutazon, oksifenbutazon,

probenezide, dikumarol, kloramfenikol, penghambat MAO, guanetidin,

steroida anabolitik, fenfluramin, dan klofibrat.

2) Meglitinid

Mekanisme kerja dari golongan meglitinid sama dengan sulfonilurea

yaitu, meningkatkan sekresi insulin dari pankreas tetapi onset lebih cepat

dan waktu durasi lama.

Pada pemberian oral absorpsinya cepat dan kadar puncaknya dicapai

dalam waktu 1 jam. Masa paruhnya 1 jam, karena itu harus diberikan

beberapa kali sehari sebelum makan. Metabolisme utamanya di hepar dan

metabolitnya tidak aktif. Sekitar 10% dimetabolisme di ginjal. Pada pasien

dengan gangguan fungsi hepar atau ginjal harus diberikan secara

berhati-hati. Efek samping utamanya hipoglikemia dan gangguan saluran cerna.

Reaksi alergi juga pernah dilaporkan.

Efek merugikan seperti hipoglikemia (lebih kecil dibandingkan

dengan sulfonilurea), berat badan berkurang, infeksi pernapasan

meningkat. Kontraindikasi seperti hipersensitivitas, penggunaan repaglinid

dengan gemfibrozil dapat meningkatkan konsentrasi repaglinid. Efikasi

seperti reduksi 0,5%-1,5% HbA1c (repaglinid menunjukan penurunan

HbA1c lebih dari nateglinid), lebih efektif pada postprandial glukosa.

Obat golongan meglitinid seperti:

 Repaglinid, dosis lazim 0,5-1 mg 15 menit sebelum makan. Dosis maksimum per hari 16 mg.

Contoh sediaan, Prandin/NovoNorm/GlucoNorm (Novo Novdisk).

Merupakan turunan asam benzoat. Mempunyai efek hipoglikemik

ringan sampai sedang. Diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian

per oral, dan diekskresi secara cepat melalui ginjal. Efek samping

yang mungkin terjadi adalah keluhan saluran cerna (Soegondo,

1995b).

 Nateglinid, dosis 120 mg sebelum makan. Dosis 60 mg jika HbA1c

(39)

Contoh sediaan, Starlix (Novartis Pharma AG).

Merupakan turunan fenilalanin, cara kerja mirip dengan repaglinid.

Diabsorpsi cepat setelah pemberian per oral dan diekskresi

terutama melalui ginjal. Efek samping yang dapat terjadi pada

penggunaan obat ini adalah keluhan infeksi saluran nafas atas

(ISPA) (Soegondo, 1995b).

3) Biguanid (Metformin)

Mekanisme kerjanya mereduksi glukoneogenesis hati, juga

menimbulkan efek yang menguntungkan sehingga meningkatkan

sensitivitas insulin. Dosis lazim 500 mg 1 atau 2x sehari, dengan dosis

maksimum perhari 2250 mg. Dapat meningkatkan interval pemakaian

mingguan. Menurunkan dosis lazim dan titrasi lambat pada gastrointestinal

(GI).

Efek merugikan secara umum seperti mual, muntah, dan diare. Efek

yang jarang terjadi seperti menurunkan konsentrasi vitamin B12, asidosis

laktat. Gejala asidosis laktat termasuk mual, muntah, meningkatkan laju

respirasi, sakit perut, syok, dan takikaardia. Kontraindikasi seperti

kelemahan pada ginjal, usia 80 tahun atau lebih, risiko tinggi mengalami

penyakit kardiovaskuler, dan kelemahan hati. Efikasi yang terjadi seperti

reduksi 1%-2% HbA1c, mereduksi TG dan kehilangan berat badan, dan

menjadi pertimbangan terapi lini pertama karena kontraindikasi yang

sedikit. Interaksi obat seperti mengganggu absorpsi vitamin B12,

berinteraksi dengan simetidin dengan menurunkan klirens metformin di

ginjal.

Contoh sediaan, metformin (generik), benoformin (Benofarma),

bestab (Yekatria). Metformin, satu-satunya golongan biguanid yang masih

digunakan sebagai obat antidiabetes oral. Bekerja menurunkan kadar

glukosa darah dengan memperbaiki transport glukosa ke dalam sel-sel

otot. Obat ini dapat memperbaiki uptake glukosa sampai sebesar 10-40%.

Menurunkan produksi glukosa hati dengan jalan mengurangi

(40)

4) Penghambat α-glukosidase

Mekanisme kerja obat ini dapat memperlambat absorpsi

polisakarida, dekstrin, dan disakarida di intestin. Dengan menghambat

kerja enzim α-glikosidase di brush border intestin, dapat mencegah

peningkatan glukosa plasma pada orang normal dan pasien DM. Karena

kerjanya tidak mempengaruhi sekresi insulin, maka tidak akan

menyebabkan efek samping hipoglikemia. Akarbose dapat digunakan

sebagai monoterapi pada DM usia lanjut atau DM yang glukosa

postprandialnya sangat tinggi. Obat golongan ini diberikan pada waktu

mulai makan dan absorpsi buruk.

Dua obat yang tergolong obat ini yaitu:

a) Akarbose

Akarbose dapat diberikan dalam terapi kombinasi dengan

sulfonilurea, metformin, atau insulin. Interaksi obat yang terjadi

seperti diperlemah oleh kolestiramin, absorben usus, enzim

pencernaan. Contoh sediaan, Glucobay (Bayer), Precose.

Akarbose paling efektif bila diberikan bersama makanan yang

berserat mengandung polisakarida, dengan sedikit kandungan

glukosa dan sukrosa. Bila akarbose diberikan bersama insulin,

atau dengan golongan sulfonilurea, dan menimbulkan

hipoglikemia, pemberian glukosa akan lebih baik daripada

pemberian sukrosa, polisakarida, dan maltosa (Departemen

Farmakologi dan Terapi Universitas Indonesia, 2007).

b) Miglitol

Miglitol biasanya diberikan dalam terapi kombinasi dengan

obat-obat antidiabetik oral golongan sulfonilurea. Contoh sediaan,

Glycet.

Dosis lazimnya 25 mg 3x sehari bersamaan dengan makan.

Maksimal perhari 300 mg. Efek merugikan seperti diare dan sakit perut.

Meningkatkan enzim di hati dengan meningkatnya dosis akarbosa.

(41)

pencernaan. Efikasi yang terjadi, reduksi 0,5%-0,8% HbA1c. Tidak efektif

pada pasien dengan diet karbohidrat rendah.

5) Tiazolidindion

Mekanisme kerjanya seperti proliferasi peroksisom mengaktifkan

reseptor gamma antagonis. Dan meningkatkan sensitivitas insulin dan

produksi metabolisme glukosa. Efek merugikan seperti kehilangan berat

badan, retensi cairan, fraktur tulang, meningkatkan risiko gagal jantung,

dan meningkatkan infark miokardia. Kontraindikasinya seperti kelemahan

ginjal dan gagal jantung.

Efikasi seperti reduksi 0,5-1,4% HbA1c. Keduanya meningkatkan

HDL-C, tetapi pioglitazon mempunyai efek yang lebih baik untuk

mereduksi LDL-C dan TG bila dibandingkan dengan rosiglitazon.

Dua golongan obat ini adalah:

 Pioglitazon, dosis lazim 15 mg 1x sehari dengan dosis maksimum

perhari 45 mg.

 Rosiglitazon, dosis lazim 1-2 mg 1x sehari dengan dosis

maksimum perhari 8 mg.

6) Penghambat dipeptidyl peptidase-4

Mekanisme kerjanya seperti menghambat kerusakan glukagon like

peptide (GLP 1), dapat meningkatkan sekresi insulin 1. Efek merugikan

seperti infeksi saluran urin, sakit kepala, hipoglikemia. Kontraindikainya

seperti hipersensitivitas dan memiliki riwayat pankreatitis. Efikasi pada

reduksi 0,5-0,8% HbA1c.

Ada 2 golongan obat ini:

 Sitagliptin, dosis 100 mg 1x sehari. Efek samping pada beberapa

kondisi dapat menyebabkan pankreatitis akut, angioderma, sindrom

steven johnson dan anafilaksis.

 Saxagliptin, dosis 5 mg 1x sehari.

7) Sekuestran asam empedu

Mekanisme kerjanya menurunkan konsentrasi glukosa belum

diketahui, selain itu asam empedu digunakan untuk managemen kolesterol.

(42)

Efek merugikan dari obat ini seperti konstipasi, dispepsia, mual, dan

muntah. Efikasi dari obat ini seperti reduksi 0,3%-0,5% HbA1c.

Kontraindikasi dari obat ini adalah pada pasien obstruksi perut, serum TG

lebih besar dari 500 mg/dL. Pasien dengan keadaan tidak dapat menelan,

disfasia, dan serum TG dengan konsentrasi lebih dari 300 mg/dL.

8) Bromokriptin

Mekanisme kerja dari obat ini belum diketahui dengan pasti. Dosis

lazimnya 0,8 mg 1x sehari, bersamaan dengan makanan. Dan dosis

maksimumnya perhari 4,8 mg. Efek merugikan obat ini mual, muntah,

malas, sakit kepala, hipotensi, dan kelaparan. Kontraindikasinya sebaiknya

tidak digunakan pada pasien migrain. Efikasi obat ini reduksi 0,1%-0,6%

HbA1c.

9) Produk kombinasi

Metformin dengan gliburid, glipizid, sitagliptin, repaglinid,

pioglitazon, dan rosiglitazon. Selain itu glimepirid dengan pioglitazon atau

rosiglitazon.

Insulin

Kategori insulin menurut American College of Clinical Pharmacy dan

Farmakologi & Terapi:

 Insulin kerja cepat, insulin regular, onsetnya 30-60 menit, dengan waktu injeksi

sebelum makan 30 menit, puncak kerja obat 2-3 jam, dengan durasi 4-6 jam.

 Insulin kerja sangat cepat, insulin aspart/lispro/glulisin, onsetnya 5-20 menit, dengan waktu injeksi sebelum makan 15 menit, puncak kerja obat 1-3 jam,

dengan durasi 3-5 jam.

 Insulin kerja menengah, NPH Lente, onsetnya 1-2 jam, dengan waktu injeksi sebelum makan tidak tersedia, puncak kerja obat 4-8 jam, dengan durasi 10-20

jam.

 Insulin kerja panjang, Detemir, Glargine, onsetnya 2-4 jam atau 1-2 jam, dengan waktu injeksi sebelum makan tidak tersedia, puncak kerja obat 6-8 jam,

(43)

Kebutuhan insulin pada pasien DM umumnya berkisar antara 5–150 IU

sehari, tergantung keadaan pasien. Selain faktor tersebut, untuk penetapan dosis

perlu diketahui kadar glukosa darah puasa dan dua jam sesudah makan serta kadar

glukosa dalam urin empat porsi, yaitu antara jam 7-11, jam 12-16, jam 16-21, dan

jam 21-7.

Dosis terbagi insulin digunakan pada DM:

 Tidak stabil dan sukar dikontrol

 Bila hiperglikemi berat sebelum makan pagi tidak dapat dikoreksi dengan insulin dosis tunggal perhari

 Pasien yang membutuhkan insulin lebih dari 1000 IU perhari. Pada

pasien ini diet karbohidrat sebaiknya dibagi menjadi 6-7 kali

pemberian.

Dosis awal pasien DM muda 0,7-1,5 IU/kg berat badan. Untuk terapi awal,

regular insulin dan insulin kerja sedang merupakan pilihan dan diberikan 2 kali

sehari. Untuk DM dewasa yang kurus 8-10 IU insulin kerja sedang diberikan

20-30 menit sebelum makan pagi dan 4 IU sebelum makan malam. Dosis

ditingkatkan secara bertahap sesuai hasil pemeriksaan glukosa darah dan urin

(Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI, 2007).

2.2 Hiperbarik Oksigen (HBO)

2.2.1 Sejarah Terapi Oksigen Hiperbarik

Pada tahun 1921, Dr. Cunningham mulai mengemukakan teori dasar

tentang penggunaan hiperbarik oksigen untuk mengobati keadaan hipoksia. Dr.

Orville Cunningham, seorang professor dalam bidang anestesi, mendirikan sebuah

bangunan bernama Steel Ball Hospital pada tahun 1928. Bangunan tersebut terdiri

atas 6 lantai dan diameter 64 kaki. Bangunan tersebut mempunyai tekanan 3

atmosfer. Tetapi Rumah Sakit tersebut ditutup pada tahun 1930 karena tidak

mempunyai bukti ilmiah yang cukup yang mengindikasikan terapi tersebut untuk

memperingan penyakit (Neuman S Tom, 2008).

Angkatan laut Amerika Serikat (US Navy) memulai penelitian terhadap

terapi oksigen hiperbarik pada tahun 1930an untuk mengobati penyakit

Gambar

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian...................................................
Tabel 2.1.
tablet golongan kortikosteroid (sering digunakan oleh penderita asma,
Tabel 2.1. Kadar gula darah sewaktu dan puasa
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tabel 4.5 Perbandingan Kadar Glukosa Darah Puasa Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Unit Rawat Jalan Rumah Sakit Udayana yang menggunakan antidiabetik oral

Tujuan penelitian : Untuk mengetahui hubungan aktivitas fisik dengan kadar gula darah pada pasien diabetes melitus tipe 2.. Metode penelitian : Penelitian ini menggunakan

Tujuan: Untuk mengetahui hubungan antara tingkat depresi dengan kadar gula darah pada penderita diabetes melitus tipe II di RSUD Karanganyar. Metode: Penelitian ini

Tujuan: Untuk mengetahui hubungan kadar gula darah dengan hipertensi pada penderita diabetes melitus tipe 2 di RSUD Karanganyar. Metode: Penelitian ini menggunakan

Faktor yang Berhubungan dengan Pengendalian Gula Darah pada Penderita Diabetes Mellitus dalam Majalah Kedokteran Indonesia.. Gambaran antara Kepatuhan Minum Obat

Hasil penelitian menunjukkan rata-rata kadar gula darah kelompok intervensi pada pengukuran pertama adalah 237.12 mg/dL, pada pengukuran kedua setelah terapi

Komplikasi dari DM salah satunya adalah diabetes neuropatik perifer.Neuropati perifer adalah suatu gangguan saraf perifer, sensoris, motorik atau campuran yang

Penelitian ini menggunakan desain survey analitik dengan pendekatan cross sectional study, dimana tujuannya untuk melihat pengaruh terapi bermain terhadap tindakan kooperatif anak