DAFTAR INFORMAN
1. Nama : Tamma Br. Bancin
Umur : 79 tahun
Pekerjaan : Petani
Pengalaman Seni : Penyanyi Pakpak, Penyaji Tangis Beru Si Jahe Alamat : Desa Sukaramai, Kec. Kerajaan, Kabupaten
Pakpak Bharat
2. Nama : Merti Br Tumangger
Umur : 61 tahun
Pekerjaan : Petani
Pengalaman seni : Penyaji Tangis Beru Sijahe
Alamat : Desa lae mbuturen, kecamatan kerajaan, Pakpak Bharat
3. Nama : Sorti Br. Tinambunan
Umur : 60 tahun
Pekerjaan : Petani
Pengalaman seni : Penyaji Tangis Beru Sijahe Alamat : Desa Kuta Tinggi, Pakpak Bharat
4. Nama : Pandapotan Solin
Umur : 49 Tahun
Pekerjaan : Pengukir dan pembuat alat musik Tradisional Pakpak
Pengalaman seni : Pemusik Tradisional Pakpak, Pembuat alat musik tradisional Pakpak, Pelaku seni
Alamat : Desa Sukaramai, Kec. Kerajaan, Pakpak Bharat
5. Nama : Marseti Br. Munthe
Umur : 45 tahun
Pekerjaan : Guru Sekolah Dasar
Pengalaman Seni : Penyaji Tangis Beru Sijahe
Alamat : Desa Sukaramai, Kec.Kerajaan, Pakpak Bharat
6. Nama : Romasta Uli br. Solin
Umur : 45 tahun
Pekerjaan : Sekretaris Desa Sukaramai
DAFTAR PUSTAKA
Berutu, Lister. 2006. Adat & Tata cara Perkawinan Masyarakat Pakpak.
Medan: Grasindo Monoratama.
Butar-Butar, Monang. Kajian Tekstual dan Musikologis Tangis Beru Sijahe
Pakpak Dairi Di Desa Silima Kuta Kecamatan Salak, Skripsi
Sarjana S-1, Departemen Etnomusikologi, Fakultas Sastra,
Universitas Sumatera Utara.
Dewi, Heristina. 2008. Masyarakat Kesenian Di Indonesia “Masyarakat dan
Kesenian Pakpak-Dairi”. Medan: Studia Kultura, Fakultas Sastra,
Universitas Sumatera Utara.
Ginting, Novalinda Tringani. Kontinuitas Dan Perubahan Gendang
Patam-Patam Dalam Musik Tradisional Karo. Skripsi Sarjana S-1,
Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Sumatera Utara.
Jansen H. Sinamo, DAIRI The Hidden Prosperity.2000.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka
Kamus Besar Bahasa Indonesia (kbbi.web.id)
Koentjaraningrat. 1990. Penelitian yang bersifat deskriptif
Malm, William P. 1964. Music Culture of Pasific, the Near East and Asia.
Manik, Marliana. 2013. Analisis Fungsi Sosial, Tekstual Dan Musikal Tangis
Skripsi Sarjana S-1, Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Sumatera Utara.
Merriam, Alan P. 1964. The Anthropology of Music. Chicago: North Western
University Press.
Merriam, Alan P. 1964. Music and Culture is Dynamic dalam buku The
anthropology of Music. Chicago: North Western University Press.
Naiborhu, Torang, 2004.” Musik Pakpak Dairi di Sumatera Utara,” dalam
Ben Pasaribu (ed), Pluralitas Musik Etnik. Medan: Pusat
Dokumentasi dan Pengkajian Kebudayaan Batak. Universitas HKBP
Nommensen.
1993.
Tesis. Odong-odong: Nyanyian Ratapan Rimba Pakpak Dairi.
Analisa Tekstual dan Musikologis. Medan: Lembaga Penelitian
USU.
Nainggolan, Leonald. Kontinuitas dan Perubahan Gondang Naposo Pada
Masyarakat Toba di Desa Gajah Kecamatan Sei Balai Kabupaten
Asahan. Skripsi Sarjana S-1, Departemen Etnomusikologi, Fakultas
Sastra, Universitas Sumatera Utara.
Netll, Bruno. 1964. “Theory and Method In Ethnomusicology” New York:
Free Press
Saragih, Tumpal. Teknik Dasar Permainan Sarune Pakpak di Desa Sukaramai,
Kecamatan Raja, Kabupaten Pakpak Bharat. Skripsi Sarjana S-1,
Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Sumatera Utara
Sidabutar, Bonggud. 2013. Sulim Batak Toba: Sebagai Kontinuitas dan
Perubahan. Skripsi Sarjana S-1, Departemen Etnomusikologi,
Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara
Sinaga, Saridin. 2009. Kajian Organologis Arbab Simalungun Buatan Bapak
Arisden Purba di Huta Manik Saribu Nagori Sait Buttu Saribu
Kecamatan P. Sidamanik, Kabupaten Simalungun. Skripsi Sarjana
S-1, Departemen Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas
Sumatera Utara
Sitohang, Martahan. Perubahan dan Kontinuitas Ritual Pembuatan Taganing di
Desa Turpuk Limbong, Kecamatan Harian, Kabupaten Samosir.
Skripsi Sarjana S-1, Departemen Etnomusikologi, Fakultas Sastra,
Universitas Sumatera Utara
Soduppangon, Dussel. 2012. Pengaruh Konsili Vatikan II Terhadap Inkulturasi
Musik Liturgi Dalam Ofisi Di Biara Ordo Kapusin Santo Fransiskus
Asisi Pematang Siantar. Skripsi Sarjana S-1, Departemen
BAB III
KONTINUITAS DAN PERUBAHAN PENYAJIAN NYANYIAN TANGIS BERU SI JAHE
3.1 Tangis Beru Si Jahe
Tangis beru si jahe merupakan nyanyian ratapan seorang gadis yang akan
dipinang dan dinyanyikan menjelang pernikahannya. Nyanyian ini berisikan
tentang ungkapan kesedihan karena harus berpisah dengan anggota keluarganya
dengan tujuan agar anggota keluarga yang mendengarkan merasa iba dan terharu
kemudian mereka akan memberikan nasihat-nasihat dan bantuan berupa materi
kepada si gadis yang akan menikah tersebut. Nyanyian ini pada umumnya
disajikan dengan gaya repetitif dengan mengutamakan teks daripada melodi
(strofic-logogenic). Namun dalam perkembangannya beberapa tahun belakangan
ini tangis beru si jahe bukan lagi disajikan untuk upacara adat namun menjadi
salah satu bentuk hiburan dan telah difestivalkan.
Tangis beru si jahe hanya dinyanyikan oleh perempuan. Tangis beru si jahe
disajikan dan ditujukan kepada orangtua beru si jahe, kerabat terdekat dengan
cara mendatangi rumah mereka masing-masing. Selain itu, orang-orang yang
didatangi oleh beru sijahe tersebut akan memberi dia makan (nakan pengindo
tangis) dimana tinggi rendahnya status sosial adat beru si jahe tersebut ditentukan
berdasarkan banyaknya jumlah kepala ayam yang nantinya akan dibawa menuju
tempat mertuanya. Semakin banyak kepala ayam yang diterima oleh beru si jahe,
maka akan semakin tinggi pula status sosial adatnya dihadapan keluarga
Pada umumnya teks dari tangis beru si jahe berisikan tentang kiasan dan
perumpamaan. Seperti yang dapat dilihat dalam teks berikut di Bab IV
“Nang...mela podinken enda berumu, tah terjampa-jampa berumu mengkuso
kusoi bage manuk medemken berumu i ladang ni kalak le nang ni beruna. Bisa
saja nanti putrimu ini merasa bingung karena dia tidak tau apa yang akan dia
perbuat.” Selain teks tersebut masih banyak lagi perumpamaan yang terkandung
dalam teks nyanyian tersebut baik yang menangisi inangna (ibunya) maupun yang
menangisi puhun (pamannya).
Yang dinyanyikan pada umumnya kebalikan dari kenyataan, hal tersebut
dikarenakan si gadis merasa bahwa seolah-olah orang tuanya sudah tidak perduli
bahkan mencampakkan dia. Selain itu dia nantinya tidak bisa merasakan
kebahagiaan seperti apa yang dirasakan selama ini di lingkungan keluarganya.
Bahkan dia menuduh bahwa keluarganya menganggap dia sudah mati seperti yang
disebut dalam teks nyanyian menangisi Puhunna berikut “Nang...nggo mo
kepeken karinana memurpurken daging si melala inang ni beruna dekket bapani berruna puhun ni turang dekket bapani bere berena. Ternyata orang tuaku
menganggap aku seperti orang sudah mati demikian halnya dengan engkau
paman.”
3.2 Deskripsi Penyajian Nyanyian Tangis Beru Si Jahe dalam Tradisi Pakpak
Tangis beru si jahe pada masa ini digunakan untuk upacara adat
Pada dasarnya tangis beru si jahe ditujukan kepada dua hal yaitu, untuk
manusia dan untuk alam. Tangis beru si jahe yang ditujukan kepada manusia
dimulai dengan menangisi orang tuanya, kemudian menangisi Puhun (paman),
berikutnya menangisi namberru (bibi), selanjutnya menangisi rading-radingna
(rekan-rekan ataupun teman-teman terdekatnya). Kemudian beru si jahe akan
menerima petuah dan barang-barang untuk nantinya digunakan pada saat sudah
berumah tangga. Selain daripada itu beru jahe akan menerima takal manuk
(kepala ayam) dari setiap anggota keluarga yang ditangisi, dan semakin banyak
kepala ayam yang diterima maka akan semakin tinggi derajatnya dikeluarga
barunya nanti. Apabila kepala ayam itu banyak dibawa kerumah mertuanya
nantinya, hal itu menandakan bahwa mereka taat akan adat istiadat Pakpak. Waktu
yang baik untuk mengunjungi sanak saudara masa ini adalah sore hari (cibon atau
boni ari, antara pkl 15.00-18.00)
Setelah menangisi orang tuanya, si beru jahe akan berangkat menuju
rumah puhun (paman) dan sanak saudara lainnya, dia akan ditemani salah seorang
rading (teman sebaya) dan seorang Ibu tua yang memiliki marga yang sama
dengannya. Masing-masing sanak saudara diatas akan ditangisi setiap sorenya.
Jika jumlah sanak saudara yang ditangis 7 orang maka dibutuhkan waktu tujuh
hari untuk menangisi mereka. Hal ini memakan waktu yang lama sesuai dengan
jumlah yang akan ditangisi dan lokasi tempat tinggal dari masing-masing sanak
keluarga.
Pada masa itu mereka yang mengalami tangis beru si jahe akan berkumpul
dan melakukan tarian sebagai pertanda bahwa mereka mengalami hal yang sama
tarikan berguna untuk menenangkan diri masing-masing dan pada saat itulah satu
sama lain akan saling mencurahkan isi hati mereka. Apa yang menjadi alasan
mereka dikawinkan akan diungkapkan sambil melakukan tarian tersebut sebagai
hiburan hati (wawancara dengan Informan Tamma Br.Bancin dan Pandapotan
Solin)
Gambar No.2
Gambar No.3
Mencontohkan salah satu gerakan dembas (tarian Pakpak)
3.3 Deskripsi Penyajian Nyanyian Tangis Beru Si Jahe Pada Masa Sekarang
3.3.1 Penyajian
Untuk mengungkap perubahan yang terjadi dari nyanyian tangis beru sijahe,
penulis menggunakan teori yang dikemukakan oleh Alan P Merriam (1964:303)
yang dikemukakan dalam tulisannya tentang Music and Culture is Dynamic dalam
buku The anthropology of Music yang mengatakan “culture change begins with
the processes of innovation. Type of innovation is variation, invention, tentation,
dan culture borrowing”.
Menurut Carol R. Ember (1987 : 32), suatu kebudayaan tidaklah pernah
bukan atas gangguan yang datangnya dari luar, suatu kebudayaan pasti akan
mengalami perubahan. Hal ini berhubungan dengan waktu, bergantinya generasi
serta perubahan dan kemajuan tingkat pengetahuan masyarakat.
Alan P Merriam mengemukakan bahwa perubahan berasal dari dalam
lingkungan kebudayaan atau internal, dan perubahan juga bisa berasal dari luar
kebudayaan atau eksternal. Perubahan secara internal meurpakan perubahan yang
timbul didalam dan dilakukan oleh pelaku-pelaku kebudayaan itu sendiri, dan juga
disebut inovasi. Sedangkan perubahan eksternal merupakan perubahan yang
timbul akibat pengaruh yang dilakukan oleh orang-orang dari luar lingkup budaya
tersebut. Merriam menambahkan bahwa kelanjutan dan perubahan merupakan
suatu tema yang digunakan untuk memahami sifat stabil dan dinamis yang
melekat dalam setiap kebudayaan. Berkaitan dengan fenomena ini, teori
kebudayaan secara umum mengasumsikan bahwa setiap kebudayaan beroperasi
dalam kerangka waktu yang terus mengalami kelanjutan, dimana variasi-variasi
dan perubahan yang terjadi adalah hal yang tidak dapat dielakkan (1964: 305).
Pada masa sekarang tangis beru si jahe disajikan untuk kepentingan
umum. Nyanyian ini sudah dipertunjukkan dihadapan umum bahkan sudah
berkali-kali difestivalkan. Nyanyian ini disajikan dengan berbagai cara dan
dengan persiapan yang matang. Misalnya untuk festival, para penyaji harus
mengikuti prosedur dan segala aturan yang diutarakan oleh para Juri. Mereka
harus belajar dari pelatih dan menghapal lirik demi lirik tangis beru si jahe yang
diberikan oleh pelatih untuk dipertandingkan nantinya. Proses demi proses latihan
dijalani oleh mereka yang nantinya mengikuti festival. Langkah-langkah yang
diajukan oleh Panitia lomba; 2) memilih dan menentukan kelompok; 3)
menetukan pelatih, persiapan selama latihan baik vokal maupun mimik/ekspresi;
4) penentuan kostum yang akan dikenakan dan properti yang digunakan pada saat
festival. Festival dan Pertunjukan nyanyian tangis beru si jahe pada masa
sekarang dilakukan di ruangan indoor maupun outdor. Seperti di gereja, di Aula
Pertemuan bahkan di lapangan luas.
Pada masa sekarang festival tangis beru si jahe disajikan pada acara ulang
tahun kabupaten, ulang tahun gereja, pesta gotilen gereja, pagelaran budaya
Pakpak, ulang tahun Organisasi. Panitia akan mengadakan lomba dan
menyediakan hadiah bagi pemenang. Menurut wawancara penulis dengan
informan yang pernah memenangkan festival tangis beru si jahe yaitu Sorti
br.Tumanggor (pernah memenangkan festival tangis beru si jahe pada tahun
2010) dan ibu br.Solin bersama ibu Munthe (juara harapan 1 festival tangis beru
si jahe dalam acara pagelaran budaya Pakpak yang tahun 2012) mereka mendapat
hadiah selain berupa uang tunai, mereka juga mendapat sertifikat, atau piagam
penghargaan dan piala sebagai hasil dari kemenangan mereka.
Tujuan tangis beru si jahe ini diangkat kembali yaitu untuk melestarikan
budaya Pakpak yang sudah punah, memperkenalkannya kembali pada masyarakat
Pakpak terutama generasi muda. Supaya masyarakat Pakpak semakin mencintai
Gambar No.4
Juara harapan tahun 2012 (br.Solin dan br. Munthe)
Dari hasil wawancara penulis dengan informan tersebut bahkan yang
sudah pernah menjadi juri dalam festival tangis beru si jahe, Hal-hal yang dinilai
dari festival tangis beru si jahe, antara lain yaitu:
1. Penguasaan panggung
2. Kelengkapan material
3. Kostum
4. Urutan tangis yang benar
5. Durasi waktu, dalam hal ini tidak boleh melebihi dari waktu yang
ditentukan oleh panitia
6. Mimik/ekspresi
7. Logat (cengkok) yang tepat
8. Teknik vokal
9. Penguasaan nyanyian
Pelaku dari pertunjukan maupun festival tangis beru si jahe tidak hanya
mereka yang sudah tua, bahkan yang muda juga dapat menyajikan tangis ini.
Karena disajikan dalam bentuk pertujukan ataupun festival pelakunya tidak harus
yang mengalami tangis beru si jahe, namun mereka yang memiliki karakter vokal
dan mampu menyajikan tangis beru si jahe dengan baik. Hal ini dikarenakan
mereka juga memiliki pelatih dan mereka bisa belajar vokal dengan pelatih
tersebut.
Berikut merupakan contoh gambar pertujukan nyanyian tangis beru si jahe
yang direkonstruksi dan diadakan di Sanggar Pelatihan musik Pakpak LP Mandiri
di desa Sukaramai, Kecamatan Kerajaan, Pakpak Bharat.
Gambar No.5
Dalam hal ini penulis memilih ibu Munthe sebagai ibu (Inang ni beru si
jahe) dan ibu Solin (selaku sekdes Sukaramai) sebagai beru si jahe. Mereka
pernah mengikuti festival tangis beru si jahe dalam rangka pagelaran Budaya
Berikut merupakan beberapa perlengkapan yang dibutuhkan sebagai
gambaran dari tangis beru sijahe yang dilaksanakan pada masa menjelang tahun
60-an
Gambar No.6 Nasi Putih
Nakan/nasi diberikan oleh orang tua si beru jahe yang memiliki makna
sebagai suapan terakhir si ibu kepada si beru jahe dikarenakan akan ada
Gambar No.6
Manuk tasak/ayam yang sudah dimasak
Ayam yang dimasak merupakan salah satu menu yang disajikan orangtua
kepada beru si jahe untuk dimakan. Namun yang paling dipentingkan dalam
bagian ini yaitu kepala ayam tersebut (takal manuk). Kepala ayamlah yang
nantinya akan dibawa si beru jahe ketempat keluarga barunya. Kepala ayam
menjadi perlambang bahwa semakin banyak kepala ayam yang dibawa si beru
jahe ketempat keluarga suaminya, maka akan semakin tinggi pula derajat si beru jahe atau dengan kata lain keluarga dari si beru jahe taat akan adat. Tinggi
rendahnya status sosial adat beru si jahe tersebut ditentukan berdasarkan
banyaknya jumlah kepala ayam yang nantinya akan dibawa menuju tempat
mertuanya. Semakin banyak kepala ayam yang diterima oleh beru si jahe, maka
akan semakin tinggi pula status sosial adatnya dihadapan keluarga suaminya
Gambar No.7 Baka berisi sirih
Setelah Ibu dari beru si jahe memberikan sekepal nasi kepadanya
sebaliknya si beru jahe akan memberikan sirih kepada ibunya. Sirih yang ada
dalam baka ini akan diberikan oleh beru si jahe kepada ibu sebagai tanda bahwa
dia akan pergi dan melepas masa mudanya dan dia akan meninggalkan semua
kebiasaan dan kenangan selama masih berada di lingkungan keluarganya.
Gambar nomor-6 Merupakan salah satu materi yang diberikan keluarga
kepada beru si jahe untuk bekal nantinya saat membina keluarga baru.
Gambar No.7 Keseluruhan Perlengkapan
3.3.2 Pelaku Festival Tangis Beru Si Jahe
Pelaku festival Tangis beru si jahe:
1) Beru si jahe yaitu gadis yang akan di nikahkan dan yang menjadi
objek utama penelitian.
2) Orang tua beru si jahe
3) Keluarga puhun yaitu mereka yang memiliki kedudukan tertinggi
dalam adat Pakpak
4) Pihak namberu
6) Juri, tim penilai dari festival tersebut
7) Tokoh-tokoh adat, budayawan
8) Tim audio/visual
9) Penonton
Mereka yang disebutkan diatas merupakan orang-orang yang menjadi
pelaku dalam pertunjukan/festival tangis beru si jahe.
3.3.3 Lokasi festival
Adapun yang menjadi lokasi festival tangis beru si jahe yang penulis teliti
berlokasi di desa Sukaramai, Kecamatan Kerajaan, Kabupaten Pakpak Bharat
berada di rumah Ibu Munte Lembaga Pelatihan Musik Pakpak (LPMP) Mandiri.
Posisi pelaku berada di bagian depan sebuah ruangan seolah-olah berada dalam
ruang pertunjukan. Mereka duduk di atas belagen/tikar putih dengan segala
perlengkapan yang sudah ditata dengan rapi. Jarak mereka dengan penonton
kira-kira 2m supaya penonton lebih bebas untuk menyaksikan penampilan mereka.
3.3.4 Jalannya festival
Festival tangis beru si jahe dilaksanakan setelah menempuh beberapa
persiapan. Mulai dari menentukan kelompok-kelompok yang dapat diajak
kerjasama, kemudian pendaftaran dan penentuan pelatih, proses latihan dan
3.4 Perubahan yang Terjadi dari Nyanyian Tangis Beru Si Jahe
Perubahan yang terjadi dalam nyanyian tangis beru si jahe adalah
perubahan konsep penyajian. Hal-hal yang berubah diantaranya adalah : penyaji
tangis (pelaku), konsep penyajian, waktu penyajian tangis, dan lain sebagainya.
Berikut merupakan penjelasan dari perubahan dan keberlanjutan dari
tangis beru si jahe.
3.4.1 Perubahan Penyajian dan Kontinuitas Tangis Beru Sijahe
Sebagaimana yang telah disebutkan dalam halaman 46, Alan P Merriam
mengemukakan bahwa perubahan berasal dari dalam lingkungan kebudayaan atau
internal, dan perubahan juga bisa berasal dari luar kebudayaan atau eksternal.
Perubahan secara internal meurpakan perubahan yang timbul didalam dan
dilakukan oleh pelaku-pelaku kebudayaan itu sendiri, dan juga disebut inovasi.
Sedangkan perubahan eksternal merupakan perubahan yang timbul akibat
pengaruh yang dilakukan oleh orang-orang dari luar lingkup budaya tersebut.
Merriam menambahkan bahwa kelanjutan dan perubahan merupakan suatu tema
yang digunakan untuk memahami sifat stabil dan dinamis yang melekat dalam
setiap kebudayaan. Berkaitan dengan fenomena ini, teori kebudayaan secara
umum mengasumsikan bahwa setiap kebudayaan beroperasi dalam kerangka
waktu yang terus mengalami kelanjutan, dimana variasi-variasi dan perubahan
yang terjadi adalah hal yang tidak dapat dielakkan (1964: 305).
Perubahan yang terjadi dari penyajian tangis beru si jahe dimulai dari
tahun 60-an hingga sekarang. Perubahan ini didasari karena kemajuan zaman,
menentang agama harus dihapuskan dalam hal ini agama Kristen yang dalam
pelaksanaan ibadahnya mengharuskan jemaat untuk bernyanyi secara
bersama-sama sebagai bagian dari tata peribadatannya. Namun perlu diketahui, tradisi
bernyanyi secara bersama-sama ini hanyalah terbatas dalam konteks keagamaan
saja, berikutnya kemajuan pendidikan, IPTEK, serta kemajuan ekonomi.
Masyarakat Pakpak sudah banyak meninggalkan kebiasaan lama mereka dan
mengikuti perkembangan jaman.
Menjelang tahun 60-an tangis beru sijahe disajikan untuk upacara
perkawinan, sedangkan pada masa sekarang sudah berubah dan disajikan untuk
hiburan bahkan sudah difestivalkan. Tujuan diangkat kembali yaitu untuk
memperkenalkan kepada generasi masyarakat Pakpak bahwa mereka pada masa
dahulu memiliki suatu kebiasaan dalam adat perkawinan, serta untuk melestarikan
kembali budaya-budaya Pakpak yang hampir punah.
Konsep penyajian tangis beru si jahe pada masa sekarang disesuaikan
dengan urutan penyajian tangis pada masa dahulu. Awalnya si beru jahe
menangisi ibunya dan mengungkapkan semua pertanyaan dalam hatinya mengapa
dia harus dikawin paksakan. Berikutnya beru sijahe akan menemui puhun(paman)
untuk meminta kepada pamannya jika bisa acara pernikahan tersebut dibatalkan.
Kemudian dia menjumpai bibinya dan menerima nasehat-nasehat dari bibinya.
Selanjutnya yaitu menjumpai kerabat terdekatnya untuk mengungkapkan
kata-kata perpisahan. Yang berbeda yaitu para penyaji harus mengikuti prosedur dan
setiap aturan-aturan yang diajukan oleh panitia, mengatur tata rias dan pakaian,
Namun pada masa sekarang, setiap peserta mengejar suatu kemenangan
yaitu hadiah-hadiah yang dijanjikan oleh panitia lomba. Setiap peserta lebih
memperhatikan penampilan daripada makna sebenarnya dari nyanyian tersebut.
3.5 Hal-hal Yang Melatar Belakangi Terjadinya Perubahan
Berikut ini merupakan beberapa hal yang melatar belakangi terjadinya
perubahan dalam nyanyian tangis beru si jahe. Selain Perubahan Yang Terjadi
Dalam masyarakat yang mengikuti bagaimana perkembangan zaman, ada juga
beberapa hal lain yang menjadi latar belakang perubahan dari penyajian tangis
beru si jahe, antara lain yaitu:
1. Masuknya Agama
Sebelum agama Islam dan Kristen masuk ke wilayah Pakpak, masyarakat
setempat menganut kepercayaan yang disebut persilihi atau perbegu. Persilihi
atau perbegu ini ialah suatu kepercayaan yang meyakini bahwa alam ini berada
dibawah kuasa pengaruh roh-roh gaib atau dengan adanya Dewa-Dewa maupun
roh-roh nenek moyang yang dikultuskan (lihat, Naiborhu, 1988 : 22-26). Seluruh
urusan adat diatur oleh aturan-aturan yang dibuat pertaki.
Akan tetapi, dengan datangnya agama Kristen ke daerah ini sekitar awal
abad ke-20, secara lambat laun telah turut membawa perubahan terhadap konsep
dan kebiasaan bernyanyi yang dianut oleh masyarakat Pakpak. Hal ini sejalan
dengan ajaran agama Kristen yang dalam pelaksanaan ibadahnya mengharuskan
jemaat untuk bernyanyi secara bersama-sama sebagai bagian dari tata
peribadatannya. Namun perlu diketahui, tradisi bernyanyi secara bersama-sama
selain Nangan (nyanyian berceritera) dan Ende-ende mendedah (Inggris: lullaby,
nyanyian menidurkan anak) tetap saja tidak lazim disajikan di depan umum,
bahkan sampai sekarang. Walaupun beberapa kali disaksikan nyanyian-nyanyian
pribadi disajikan di depan umum atas usaha dari generasi muda Pakpak untuk
mengangkatnya ke dalam pertunjukan, kondisi nyanyian ini tetap saja seperti
semula. Masyarakat tetap merasa malu (Pakpak: mela diri) dan sungkan (Pakpak:
malang ate) apabila harus bernyanyi didengar atau di hadapan orang lain,
terlebih-lebih bersama-sama dengan orang lain baik sejenis maupun dengan lawan jenis
(Tesis Torang Naiborhu)
Pengaruh agama yang semakin kuat menjadi salah satu faktor yang
mengikis kekuatan dan pengaruh kepercayaan lama. Hal ini disesuaikan dengan
visi dan misi keagamaan dan aturan-aturan keagamaan itu sendiri. Diatas tahun
60-an, masyarakat yang masih menganut kepercayaan lama diasingkan dan
dianggap tidak mengikuti aturan pemerintahan. Mereka biasanya berdomisili di
daerah-daerah terpencil dan semakin hari semakin merosot (wawancara dengan
Bapak Pandapotan Solin).
2. Kemajuan Ekonomi
Sebelum menjelang tahun 60-an sistem perekonomian di wilayah Pakpak
Bharat masih menganut sistem perdagangan. Dengan kata lain barang ditukar
dengan barang(barter). Emas dan kain yang bagus pada masa itu belum dianggap
sangat berharga seperti sekarang ini. Pada masa sekarang, emas dan kain-kain
membeli emas dan pakian mahal tersebut. Berbeda dengan jaman dahulu,
perekonomian masih sistem barter.
3. Kemajuan Pendidikan
Sebelum mengecap dunia pendidikan masyarakat Pakpak pada umumnya
masih buta huruf. Kemajuan pendidikan menjadi salah satu faktor perubahan dari
penyajian tangis beru si jahe.
4. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)
Berkembangnya media sosial dan pengetahuan pada masyarakat Pakpak
menjadi salah satu hal yang melatar belakangi terjadinya perubahan dalam budaya
Pakpak. Internet, handphone dan media lain menjadi pengaruh besar terhadap
terjadinya perubahan dalam budaya Pakpak. Dulunya segala sesuatu dibicarakan
dari mulut ke mulut. Namun sekarang median sosial menjadi alat yang sangat
canggih untuk membantu pekerjaan manusia. Misalnya dalam hal mengundang
sanak saudara menghadiri suatu upacara adat, dapat menggunakan Handphone
sebagai alat bantu walaupun dipisahkan jarak yang sangat jauh, tanpa harus
berkunjung kerumah-rumah sanak saudara yang akan menghadiri pesta yang akan
digelar. Kemajuan dunia telekomunikasi seperti internet juga menjadi pengaruh
besar dalam perubahan yang terjadi dalam budaya Pakpak bahkan dunia.
Informasi-informasi terbaru yang setiap detiknya berubah dapat secara cepat dan
3.6 Fungsi Tangis Beru Sijahe
Berbicara mengenai fungsi musik, Alan P Merriam mengemukakan
sepuluh fungsi musik yaitu: 1) fungsi pengungkapan emosional, 2) fungsi
pengungkapan estetika, 3) fungsi hiburan, 4) fungsi komunikasi, 5) fungsi
perlambangan, 6) fungsi reaksi jasmani, 7) fungsi yang berkaitan dengan norma
sosial, 8) fungsi pengesahan lembaga sosial, 9) fungsi kesinambungan
kebudayaan, 10) fungsi pengintegrasian masyarakat. (1964: 219-226) .
Jika dilihat dari eksistensi, perubahan penyajian dan kontinuitas dari tangis
beru sijahe, maka penulis menemukan ada delapan fungsi musik yang terdapat
pada nyanyian tangis beru sijahe. Diantaranya, Fungsi pengungkapan emosional,
Fungsi hiburan, Sarana komunikasi, Fungsi perlambangan, Fungsi reaksi jasmani,
Fungsi norma-norma sosial, kesinambungan kebudayaan., fungsi pengesahan
lembaga sosial.
3.6.1. Fungsi Pengungkapan Emosional
Bunyi yang dihasilkan oleh musik mampu mempengaruhi emosional dari
pendengarnya. Baik sedih, senang, rindu dan lain sebagainya.
Dari hasil yang penulis telah uraikan, tangis beru sijahe disajikan didepan
sanak keluarga dari beru si jahe. Sehingga semua ungkapan perasaan yang ada
dalam hatinya dapat diungkapkan dan sangat wajar untuk diselesaikan bersama.
Hal ini dapat dilihat dari ungkapan beru si jahe berikut ini
“Nang...nggom(nggo mo) ko peahen kono menuman berumu le nang ni beruna”. (Ibu...apakah engkau telah bosan mengasuh putrimu, tidakkah engkau mengingat
Ungkapan emosional tersebut merupakan salah satu frase teks tangis beru
si jahe yang ditujukan sigadis kepada ibunya. Karena ibunya setuju dan rela
melepaskan si beru jahe untuk ikut dan bersatu dengan keluarga suaminya yang
masih sangat asing baginya. Si beru jahe menuduh ibunya telah bosan untuk
mengasuhnya.
Hal ini tidak sepenuhnya benar, namun diakibatkan kekhawatiran dari si
beru jahe apabila dia sudah berada di lingkungan keluarganya yang baru, dia tidak
mendapatkan kebahagiaan dan kedamaian seperti yang diterimanya saat berada
dilingkungan keluarganya.
3.6.2. Fungsi komunikasi
Umumnya nyanyian mengandung makna-makna yang dapat
mempengaruhi pendengar. Nyanyian juga berfungsi sebagai sarana komunikasi
kepada pendengar. Demikian halnya dengan apa yang dirasakan beru si jahe, dia
mengungkapkan isi hatinya seolha-olah mengkomunikasikan kepada yang
mendengarkan tangisnya tentang apa yang dirasakannya. Yang diungkap dalam
teks nyanyian “nggom kepe peahen kono menuman berumu le nang ni beru na.”
Demikianlah salah satu frase teks nyanyian tangis beru si jahe yang
mengatakan bahwa orang tuanya tidak lagi menyayanginya bahkan mengatakan
bahwa ibunya sudah lupa saat-saat melahirkannya serta menuduh ibunya
menelantarkannya.
Hal ini diungkapkan si beru jahe dalam bahasa teks yang dalam
Selain itu si beru jahe juga mengungkapkan keluh kesahnya kepada
pamannya (puhunna). Dalam hal ini si beru jahe menuturkan segala kesedihan
yang dirasakannya lewat syair-syair tangisannya dengan tujuan untuk
meringankan beban dan kesedihannya bahkan berharap supaya pamannya
membatalkan perkawinan tersebut.
Selain beberapa hal diatas, sebelum tahun 60-an tangisan ini juga menjadi
syarat bahwa dalam waktu dekat akan ada yang melangsungkan perkawinan.
Masyarakat bisa memprediksikan tanpa harus ada yang mengumumkan secara
langsung.
3.6.3. Fungsi Perlambangan
Pada masyarakat Pakpak, tangis beru si jahe merupakan perlambangan
dari hal-hal, ide-ide serta tingkah laku si beru jahe dengan orang yang
ditangisinya. Dengan menyajikan tangis, beru si jahe akan diberi makan(nakan
pengindo tangis11
11 nakan pengindo tangis: makanan yang disuguhkan oleh orang tua beru jahe sebagai
pertanda bahwa dia akan dinikahkan dalam waktu dekat.
). Orang tua beru si jahe akan menyuguhkan makanan berupa
daging ayam yang dimasak, namun ada bagian yang tidak bisa dimakan pada
masa itu yakni kepala ayam. Kepala ayam tersebut nantinya akan dikumpulkan
dari seluruh anggota keluarga yang ditemuinya dan ditangisinya yang kemudian
akan dibawa nantinya ke rumah suaminya sebagai lambang bahwa si beru jahe,
keluarga dan kerabat-kerabatnya adalah orang yang patuh terhadap adat.ada juga
bentuk perlambangan lain yang terdapat dalam lirik tangis beru si jahe yang
menyatakan penderitaan yang akan dialami nantinya di keluarganya yang baru.
terjampa-jampa berumu mengkuso kusoi bage manuk medemken berumu i ladang ni kalak le nang ni beruna, Bisa saja nanti putrimu ini merasa bingung karena
tidak tau apa yang akan ku perbuat.
3.6.4. Fungsi Reaksi Jasmani
Bagian akhir dari frasa teks tangis beru si jahe umumnya selalu diakhiri
dengan isakan tangis. Hal ini diakibatkan kesedihan yang mendalam yang
dirasakan si beru jahe. Hal tersebut akan berpengaruh besar terhadap orang yang
mendengarkan, jika mereka benar-benar memahami apa yang di ungkapkan beru
jahe tersebut maka mereka juga akan ikut mengeluarkan air mata seolah-olah
mereka ikut merasakan kesedihan si beru jahe tersebut. Demikian juga terhadap
orang yang ditangisi. Mimik, ekspresi dan tangisan si beru jahe akan
mempengaruhi pendengar seolah-olah memberitahukan betapa sedihnya
perasaannya pada masa itu.
3.6.5. Fungsi norma-norma sosial
Paman memiliki kedudukan tertinggi dalam upacara adat masyarakat
Pakpak. Apabila paman membatalkan untuk menikahkan seorang keponakannya
maka tidak ada yang bisa melarang. Hal tersebut menandakan bahwa Paman
memiliki hak mutlak dalam adat.
3.6.6. Fungsi Kesinambungan Kebudayaan
Adanya festival dan pertunjukan tangis beru si jahe menjadi salah satu
menjadi salah satu wacana untuk mengangkat kembali, melestarikan dan
mengenalkan seperti apa tangis beru si jahe tersebut kepada msyarakat khususnya
masyarakat Pakpak.
3.6.7. Fungsi Lembaga Sosial
Lembaga sosial (yang menyangga kebiasaan-kebiasaan adat)
dapatdisahkan oleh lagu-lagu yang ikut menyangga kebiasaan adat dan untuk
mentaati peraturan-peraturan adat (merriam)
Dalam hal ini tangis yang ditujukan kepada orang tua, paman, bibi dan
kerabat selain sebagai ungkapan perasaan juga merupakan permohonan
dukungan dari mereka melalui nasehat, materi sebagai bekal perkawinan yang
akan diberikan kepada beru si jahe tersebut. Melalui pemberian-pemberian
tersebut diatas sudah merupakan salah satu pertanda bahwa secara adat
kelompok sosial tersebut sudah memberikan pengesahan melalui apa yang
mereka berikan masing-masing kepada beru si jahe.
3.6.8. Fungsi Hiburan/ Pertunjukan
Tangis beru si jahe sudah mengalami pergeseran fungsi yang dahulunya
berfungsi sebagai upacara adat namun saat sekarang sudah dipertunjukkan di
depan umum sebagai bentuk hiburan bahkan sudah berkali-kali difestivalkan
yang mana pemenang festival mendapat hadiah dan penghargaan. Dalam hal ini
yang lebih diutamakan adalah penampilan dan keindahan dari apa yang mereka
BAB IV
KAJIAN TEKSTUAL DAN MUSIKAL TANGIS BERU SI JAHE
4.1 Kajian Tekstual Tangis Beru Si Jahe
4.1.1 Analisis Semiotik Terhadap Teks Tangis Beru Si Jahe menangisi inangna dan menangisi puhunna oleh Ibu Tamma Br.Bancin
Penyaji tangis : Tamma Br.Bancin
Tempat Rec. : Desa Sukaramai, Pakpak Bharat
Tanggal Rec. : 25 juli 2014
Oleh : Erni Juita BN
Sebelum menganalisis bagaimana makna dan struktur dari teks tangis beru
si jahe, penulis lebih dahulu akan menuliskan teks dari nyanyian tersebut. Berikut
merupakan isi teks yang disajikan oleh Ibu Tamma Br. Bancin menangisi inangna
yang saya terjemahkan dibantu oleh Ibu Sekdes Sukaramai Br.Solin ke dalam
bahasa Indonesia dari hasil rekonstruksi ulang yang penulis lakukan.
(P) : Nang...nggom (nggo mo) ko peahen kono menuman berumu le nang ni beruna
(I) : Ibu...apakah engkau telah bosan mengasuh putrimu, tidakkah engkau mengingat bagaimana sakitnya melahirkan aku
(P) : Nang...padan mo ko kepeken mengayak oles deba metem engket emas nggersing asa berumu i penuman numan kono inang ni beruna
(I) : Mengapa ibu hanya menginginkan kain yang mahal dan emas yang begitu banyak tanpa mengingat bagaimana sakitnya melahirkan aku
(P) : O...kepeken bage memurpurken lae mbergoh kono karinana mendahi daging simelala
(I) : O...sepertinya Ibu hanya menginginkan kemewahan itu tanpa memikirkan perasaan Putrimu. Dan menganggap bahwa aku sudah mati (P) : Nang...padin mo kepeken inang ni beruna engket bapani beruna
(I) : Ternyata lebih bagi Bapak dan Ibu menginginkan kain yang mahal, dan emas yang banyak tanpa memikirkan bagimana perasaan putrimu ini
(P) : O...molo padinken enda tah terjampa-jampa mo berumu i ladang ni kalak le nang ni beruna
(I) : O..kalaulah aku sudah pergi kekampung yang akan kutuju, aku bagaikan seseorang yang tidak tau arah dan tujuan
(P) : Nang...mela kalak menuman berumu tah tertingkah lae nciho si cegen, tertingkah lae meletuk molo cibon berumu i ladang ni kalak le inang ni beruna
(I) : akan merasa malulah aku nantinya jika aku tidak tau tujuan mereka. Apabila nanti aku dikampung orang, aku salah tingkah dan tak tau apa yang harus kukerjakan
(P) : Nang...mela kono menuman berumu pateari sada pe pateari dua bekas berumu, ulang ko sondat mermari mangan taba berumu le nang ni beruna
(I) : Ibu..ketika aku sudah berada dikampung orang maka ingatlah putrimu ini hari demi hari
(P) : Nang...mela kalak menuman berumu tah bage pilian mencalit sora ni kalak bage renggur mesora
(I) : padahal, bagaimana perasaanmu jika putri orang lain merasakan apa yang aku rasakan ini dimana engkau mengeluarkan suara sekuat bunyi petir ketika dia tidak tau harus berbuat apa dan mengerjakan apa
(P) : Nang...mela podinken enda berumu, tah terjampa-jampa berumu mengkuso kusoi bage manuk medemken berumu i ladang ni kalak le nang ni beruna
(I) : Bisa saja nanti putrimu ini merasa bingung karena dia tidak tau apa yang akan dia perbuat
(P) : Nang...tah mengkuso kusoi mo berumu dalan mi juma, tah dalan mi lae mo berumu podinken enda ladang ni kalak inang ni beruna
(I) : karena kebingungannya maka putrimu bagaikan seseorang yang tidak tau jalan menuju ladang, dan jalan menuju sungai
(P) : Nang...menadingken page ntasak mendapatken page tuhur mo berumu menadingken si nggo ramah mendapatken lako ki tutur berumu le nang ni beruna
(I) : Ibu...aku akan meninggalkan semua kebiasaanku saat masih bersamamu dan akan menjumpai hal yang baru serta memulai kehidupan dari awal
(P) : O...mela berumu podinken enda tah bage biah merdokar mo i ladang ni kalak ibaen deba berumu le nang ni beruna
(P) : Nang...cemal kin ngo i bere kono berumu pateari sada pe pateari dua bekas berumu oda ko sondat mermari ko mangan tabah berumu le nang ni beruna
(I) : Ibu..ketika aku sudah berada dikampung orang maka ingatlah putrimu ini hari demi hari, ingatlah bagaimana selama ini engkau menyediakan apa yang aku perlukan.
(P) : Nang...mela podinken enda mela kalak menuman berumu tah bage renggur mencalit me sora ni kalak menergang berumu inang ni beruna
(I) : lebih baik aku tinggal saja dirumah ini daripada nantinya aku diperlakukan tidak baik dirumah orang lain
(P) : O...padin mo ko kepeken mengayaki emas deba nggersing, oles deba metem asa berumu i penuman numan ko le nang ni beruna
(I) : Mengapa ibu hanya menginginkan kain yang mahal dan emas yang begitu banyak tanpa mengingat bagaimana sakitnya melahirkan aku
(P) : Nang...menisi nisi mo berumu bage sira si kurang mbue sili sili tah menisi nisi mo berumu sili so sili bage sira si kurang mbue le nang ni beruna
(I) : dirumah yang akan aku tuju, aku akan terasing selalu karena aku belum mengenal mereka
(P) : O...tah bage biahat merdokar me sora ni kalak ndahi berumu le nang ni beruna
(I) : seperti suara harimau yang akan menerkam mangsanya lah nantinya suara mereka kepadaku jika aku tidak tau apa yang akan aku kerjakan
(P) : Nang...ipurpurken kono pe berumu i tabah berumu perosongenna sirang tanoh mate
(I) : Sama saja engkau menyuruh aku untuk bunuh diri jika aku jadi dengan pilihanmu
(P) : Nang...mela kono menuman berumu batang-batang si kurang monggal, uruk-uruk si kurang dates bekas berumu tertabah bekas berumu kabar-kabar oda ko sondat merborih lako mangan bage ntualuh kebonen ari, sora berumu mendok mangan le inang ni beruna
(I) : padahal nanti putrimu seperti salah duduk dan salah berdiri dalam mengerjakan segala pekerjaan di keluarga yang kutuju. Ingatlah putrimu ini selalu Ibu, yang memanggil-manggilmu pada saat kelaparan.
(P) : O...mela kalak menuman berumu tah bage pulian cu merpari bage renggur mencalit sora ni kalak inang ni beruna
(I) : padahal, bagaimana perasaanmu jika putri orang lain merasakan apa yang aku rasakan ini dimana engkau mengeluarkan suara sekuat bunyi petir ketika dia tidak tau harus berbuat apa dan mengerjakan apa
(I) : merasa malulah nantinya aku, seolah-olah aku tidak tahu ke mana arah dan tujuan hidupku.
Berikut isi teks tangis beru si jahe menangisi Puhunna
(P) : Nang...nggo mo kepeken Bapani bere berena menuman daging si melala12
Jika dilihat dari makna dan struktur teks yang tertera diatas, penulis
meyakini bahwa ada beberapa pesan yang terkandung didalamnya. Mulai dari
perpisahan:
(I) : Paman ternyata aku sama saja seperti orang yang sudah meninggal
(P) : Nang padin mo ko kepeken bapani bere berena menuman kalak asa beremu i penuman numan kono bapani bere berena
(I) : Ternyata engkau Paman sama saja seperti orang lain yang sama sekali tidak memperdulikan perasaan keponakanmu
(P) : Nang mela kono menuman beremu, nggo kepe peahen kono menuman beremu bapa ni bere berena
(I) : Engkau merasa malu memiliki keponakan seperti ku, dan ternyata engkau tidak memperdulikan apa yang ku rasakan
(P) : Nang...nggo mo kepeken karinana memurpurken daging si melala inang ni beruna dekket bapani berruna puhun ni turang dekket bapani bere berena
(I) : Ternyata orang tuaku menganggap aku seperti orang sudah mati demikian halnya dengan engkau paman
(P) : Nang...bage memurpurken lae mbergoh mo ko kepeken menuman daging si melala bapa ni bere berena
(I) : Engkau seperti hanya menginginkan kemewahan tanpa tahu bagaimana perasaanku paman
(P) : Nang...karinana ke kepeken nggo peahen menuman daging si melala sa memurpurken lae mbergoh mo kepeken kene tabah daging si melala bapa ni bere berena
(I) : Semua sudah menganggap bahwa aku sudah mati dan tidak seorangpun memikirkan perasaanku paman
4.1.2 Isi Teks
12Daging si melala: merupakan perumpamaan dalam bahasa Pakpak untuk menyebutkan
Teks di atas menceritakan tentang bagaimana penyaji mengungkapkan isi
hatinya kepada ibu dan pamannya saat dia hendak dinikahkan. Dia menuduh
bahwa ibunya sudah tidak lagi menyayanginya, tidak lagi perduli akan
kehidupannya kedepan dan menuduh ibunya mencampakkannya. Dia merasa
khawatir jika nantinya dikeluarganya yang baru dia hanya dijadikan sebagai
pembantu, diasingkan bahkan dianggap hanya untuk memperbanyak keturunan
saja, ditelantarkan dan hanya dijadikan sebagai pembantu. Dia merasa khawatir
jika nantinya dikeluarganya yang baru dia hanya dijadikan sebagai pembantu,
diasingkan bahkan dianggap hanya untuk memperbanyak keturunan saja,
ditelantarkan dan hanya dijadikan sebagai pembantu.
Demikian halnya dengan tangis yang ditujukan kepada Paman (Puhun:
memiliki kedudukan tertinggi dalam perlakuan adat). Dia menginginkan
dukungan dari pamannya, supaya perkawinan yang telah disetujui Ayah dan
Ibunya, dapat dibatalkan oleh paman. Dia juga menuduh bahwa Pamannya sudah
tidak lagi menyayanginya bahkan tidak memikirkan tentang perasaannya.
4.1.3 Makna Teks
Penyaji dalam teks tangis beru si jahe pada umumnya menggunakan
kiasan dan perumpamaan. Ada terdapat beberapa makna yang saya lihat dari isi
teks tersebut, yaitu: Sebagai ungkapan rasa sedih dan rasa takut akan apa yang
nantinya akan dirasakan beru si jahe di kehidupan keluarganya yang baru.
Misalnya beberapa isi teks berikut yang menyatakan harapan dari beru si jahe
pada saat dia tidak bersama dengan orang tuanya “Nang...mela kono menuman
mangan taba berumu le nang ni beruna. Ibu..ketika aku sudah berada dikampung
orang maka ingatlah putrimu ini hari demi hari.
Berikutnya ada juga tuduhan beru si jahe terhadap orangtuanya bahwa
mereka tidak memikirkan perasaaan putrinya seperti ungkapan berikut
“Nang...padin mo kepeken inang ni beruna engket bapani beruna mengayaki oles
deba metem, emas deba nggersing sa berumu i penuman numan ko inang ni beruna. Ternyata lebih bagi Bapak dan Ibu menginginkan kain yang mahal, dan
emas yang banyak tanpa memikirkan bagimana perasaan putrimu ini.”
Makna selanjutnya adalah harapan dan doa kepada keluarga yang akan
ditinggalkan oleh beru si jahe “Nang...cemal kin ngo i bere kono berumu pateari
sada pe pateari dua bekas berumu oda ko sondat mermari ko mangan tabah berumu le nang ni beruna. Ibu..ketika aku sudah berada dikampung orang maka
ingatlah putrimu ini hari demi hari, ingatlah bagaimana selama ini engkau
menyediakan apa yang aku perlukan.” Dan ungkapan berikut
“Nang...menadingken page ntasak mendapatken page tuhur mo berumu menadingken si nggo ramah mendapatken lako ki tutur berumu le nang ni beruna.
Ibu...aku akan meninggalkan semua kebiasaanku saat masih bersamamu dan akan
menjumpai hal yang baru serta memulai kehidupan dari awal.”
4.1.4 Pemilihan Teks
Dalam teks tangis beru si jahe, terdapat istilah-istilah yang digunakan
penyaji tangis dalam penyampaian kata-kata tangisannya. Dengan kata lain,
istilah itu ditujukan kepada orang-orang yang ditangisinya, seperti pada contoh
Nang ni beruna sebutan untuk Ibu (Ibu dari Putrimu)
Bapa ni beruna sebutan untuk Ayah (Ayah dari Putrimu)
Bapa ni bere-berena sebutan untuk Paman (Paman dari Keponakan)
4.2 Kajian Musikal Tangis Beru Si Jahe
Penulis berpedoman pada teori yang dikemukakan oleh William P.Malm
(1977:3) yang dikenal dengan teori weighted scale. Dimana dikatakan bahwa
hal-hal yang harus diperhatikan dalam pendeskripsian melodi, adalah: tangga nada
(scale), nada dasar (pitch center), wilayah nada (range), jumlah nada (frequency of
note), jumlah interval, pola kadensa, formula melodi (melody formula), dan
kontur (contour).
Simbol Dalam Notasi
1.
Garis paranada yang memiliki lima buah garis paranada dan empat buah
spasi dengan tanda kunci G
2.
Simbol yang menyatakan freemeter
3.
4.
Terdiri atas dua buah not 1/16 yang digabung menjadi seperempat ketuk
5.
Tanda istirahat (rest) ½ yang bernilai dua ketuk
6.
Tanda istirahat (rest) ¼ yang bernilai satu ketuk
7.
Tanda istirahat (rest) 1/16 yang bernilai ¼ ketuk
4.2.1 Tangga Nada (Scale)
Dalam pendeskripsian tangga nada, penulis membuat urutan-urutan dari
nada-nada yang terdapat dalam melodi nyanyian tersebut dimulai dari nada yang
terendah sampai nada yang tertinggi
4.2.3 Nada Dasar (pitch center)
Untuk menentukan nada dasar dari nyanyian tangis beru si jahe, maka
penulis berpedoman dengan pendapat yang dikemukakan Bruno Nettl dalam
bukunya “Theory and Method in Ethnomusicology” bahwa nada dasar merupakan
nada yang terdapat dibagian awal atau dibagian akhir dalam suatu
nyanyian tangis beru si jahe baik menangisi inangna maupun menangisi puhunna
adalah C.
4.2.4 Wilayah Nada (range)
Berikut merupakan wilayah nada yang diurutkan dari nada terendah
hingga nada tertinggi .
4.2.5 Jumlah Nada
Jumlah nada merupakan banyaknya nada yang dipakai dalam suatu musik
atau nyanyian. Banyaknya nada yang terdapat pada nyanyian tangis beru si jahe
dapat dilihat dari garis paranada berikut ini
Dari gambar diatas, dapat dilihat bahwa jumlah nada C sebanyak 7 buah,
sedangkan jumlah nada G sebanyak 178 buah, jumlah nada D sebanyak 10 buah,
jumlah nada Ais sebanyak 19 buah dan jumlah nada B sebanyak 2 buah
Untuk nada C
Untuk nada G
Untuk nada Ais
Untuk nada B
4.2.6 Jumlah Interval
Interval adalah jarak antara satu nada dengan nada yang lain yang terdiri
dari interval naik maupun turun. Sedangkan jumlah interval merupakan
banyaknya interval yang dipakai dalam suatu musik atau nyanyian. Berikut ini
merupakan interval dari nyanyian tangis beru si jahe.
Tabel : Jumlah Interval
Interval Jumlah interval
1 P
2 Aug
4 P
5 P
6 P
3 M
164
17
2
14
2
4.2.7 Pola Kadensa (Cadence Patterns)
Kadensa adalah suatu rangkaian harmoni atau melodi sebagai penutup
pada akhir melodi atau di tengah kalimat, sehingga dapat dengan sempurna
menutup melodi tersebut.
4.2.8 Formula Melodi (Melody Formula)
Formula melodi yang dibahas dalam tulisan ini terdiri atas bentuk, frasa,
dan motif. Bentuk adalah gabungan dari beberapa frasa yang terjalin menjadi satu
pola melodi. Frasa adalah bagian-bagian kecil dari melodi. Sedangkan motif
adalah ide melodi sebagai dasar pembentukan melodi.
Berikut beberapa istilah untuk menganalisis bentuk, yang dikemukakan
oleh William P. Malm :
1. Repetitif yaitu bentuk nyanyian yang diulang-ulang
2. Ireratif yaitu bentuk nyanyian yang memakai formula melodi yang
kecil dengan kecenderungan pengulang-pengulang di dalam
keseluruhan nyanyian
3. Strofic yaitu bentuk nyanyian yang diulang tetapi menggunakan teks
nyanyian yang baru atau berbeda
4. Reverting yaitu bentuk yang apabila dalam nyanyian terjadi
pengulangan pada frasa pertama setelah terjadi
5. Progressive yaitu bentuk nyanyian yang terus berubah dengan
menggunakan materi melodi yang selalu baru.
Jika dilihat dari apa yang dikemukakan Malm mengenai bentuk nyanyian,
maka penulis mengambil kesimpulan bahwa melodi dan nyanyian tangis ini
adalah repetitif yang artinya menggunakan melodi yang berulang-ulang dengan
teks yang berbeda.
4.2.8.1. Analisis Bentuk dan Frasa pada Tangis Beru Si Jahe
Secara garis besar bentuk, frasa, dan motif dalam tangis beru si
jahe adalah sebagai berikut :
1. Bentuk yang terdapat pada nyanyian tangis beru si jahe terdiri atas 25
bentuk yaitu bentuk A-A-A-B-A-A-A’-A
2. Terdapat 6 frasa dalam nyanyian ini, hal ini dapat dilihat dari partitur lagu
4.2.9. Kontur (contour)
Malm (1977: 13) membedakan beberapa jenis kontur, yakni:
1) Ascending yakni garis melodi yang bergerak dengan bentuk naik dari nada
yang lebih rendah ke nada yang lebih tinggi
2) Descending yakni garis melodi yang bergerak dengan bentuk turun dari
nada yang lebih tinggi ke nada yang lebih rendah.
3) Pendulous yaitu garis melodi yang bentuk gerakannya melengkung dari
nada yang lebih tinggi ke nada yang lebih rendah, kemudian kembali lagi
4) Conjunct yaitu garis melodi yang sifatnya bergerak melangkah dari satu
nada ke nada yang lain baik naik maupun turun
5) Terraced yaitu garis melodi yang bergerak berjenjang baik dari nada yang
lebih tinggi ke nada yang lebih rendah atau dimulai dari nada yang lebih
rendah ke nada yang lebih tinggi
6) Disjunct yaitu melodi yang bergerak melompat dari satu nada ke nada
yang lainnya, dan biasanya intervalnya di atas sekonde baik mayor
maupun minor
7) Static yaitu garis melodi yang bentuknya tetap yang jaraknya mempunyai
batasan-batasan.
Garis kontur yang terdapat pada melodi tangis beru si jahe baik menangisi
inangna maupun menangisi puhunna adalah ascending, descending, dan static. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Paranada garis kontur ascending
Paranada garis kontur descending
4.2.10. Analisis Ritem
1. Tempo : -
2. Durasi not : 1’. 36”
3. Meter : Free meter
4.2.11. Pola Melodi yang Diulang
Catatan : pola melodi yang terdapat dalam tangis beru si jahe yang menangisi
inangna maupun menangisi puhunna tersebut cenderung berulang-ulang
(repetitif). Dengan demikian penulis tidak mentranskripsikan kedua nyanyian
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Tangis beru si jahe merupakan nyanyian ratapan seorang gadis yang akan
dipinang dan dinyanyikan menjelang pernikahannya. Tangis beru sijahe hanya
dinyanyikan oleh perempuan. Tangis beru si jahe disajikan dan ditujukan kepada
orangtua beru sijahe, kerabat terdekat dengan cara mendatangi rumah mereka
masing-masing. Selain itu, orang-orang yang didatangi oleh beru sijahe tersebut
akan memberi dia makan(nakan pengindo tangis) dimana tinggi rendahnya status
sosial adat beru sijahe tersebut ditentukan berdasarkan banyaknya jumlah kepala
ayam yang nantinya akan dibawa menuju tempat mertuanya. Semakin banyak
kepala ayam yang diterima oleh beru sijahe, maka akan semakin tinggi pula status
sosial adatnya dihadapan keluarga suaminya.
Perubahan berasal dari dalam lingkungan kebudayaan atau internal, dan
perubahan juga bisa berasal dari luar kebudayaan atau eksternal. Perubahan secara
internal meurpakan perubahan yang timbul didalam dan dilakukan oleh
pelaku-pelaku kebudayaan itu sendiri, dan juga disebut inovasi. Sedangkan perubahan
eksternal merupakan perubahan yang timbul akibat pengaruh yang dilakukan oleh
orang-orang dari luar lingkup budaya tersebut. Merriam menambahkan bahwa
kelanjutan dan perubahan merupakan suatu tema yang digunakan untuk
memahami sifat stabil dan dinamis yang melekat dalam setiap kebudayaan.
Pada masa sekarang tangis beru si jahe disajikan untuk kepentingan
berkali-kali difestivalkan. Nyanyian ini disajikan dengan berbagai cara dan
dengan persiapan yang matang. Misalnya untuk festival, para penyaji harus
mengikuti prosedur dan segala aturan yang diutarakan oleh para Juri.
5.2 Saran
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
sebab itu, dengan rendah hati penulis menerima saran dan kritik yang membangun
demi kesempurnaan tulisan ini. Seperti pepatah mengatakan ‘tiada gading yang
tak retak’ demikian halnya tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan.
Penulis menyarankan kepada masyarakat Pakpak khususnya generasi
muda untuk tetap mencintai budaya dan tradisi yang ada dalam masyarakat
BAB II
ETNOGRAFI UMUM MASYARAKAT PAKPAK DI DESA SUKARAMAI, KECAMATAN KERAJAAN,
KABUPATEN PAKPAK BHARAT
2.1 Wilayah Budaya Etnik Pakpak
Etnis Pakpak adalah salah satu suku pribumi di Provinsi Sumatera Utara
dan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, yang terbagi menjadi beberapa bagian,
yaitu :
1. Kabupaten Dairi ibukota Sidikalang yang terdiri dari 15 Kecamatan dan 184
Desa. Kelurahannya meliputi Suak Keppas dan Pegagan.
2. Kabupaten Aceh Singkil ibukotana Singkil yang terdiri dari 15 Kecamatan
dan 148 Desa. Kelurahannya meliputi seluruh daerah Suak Singkil Boang.
3. Kabupaten Pakpak Bharat ibukotanya Salak yang terdiri dari 8 kecamatan
dan 59 Desa. Kelurahannya meliputi Suak Simsim dan sebagian daerah
Keppas.
4. Kotamadya subbul sallam ibukotanya Salak yang terdiri dari 5 kecamatan
dan (64) Desa/Kelurahan yang merupakan pemekaran dari Aceh Singkil dan
masih termasuk Suak Singkil Boang.
5. Kabupaten tapanuli tengah ibukotanya Pandan yang terdiri dari 6 kecamatan
dari daerah (wilayah) Kabupaten Tapanuli Tengah adalah hak ulayat Tanah
Pakpak Suak Kelasen) yang terdiri dari Kecamatan Barus, Barus Utara,
Sosar Godang, Andam Dewi, Manduamas dan Sirandorung dan 56
6. Kabupaten Humbang Hasundutan ibukotany Dolok Sanggul yang terdiri
dari 3 Kecamatan, yaitu Kecamatan Pakkat, Parlilitan, dan Kecamatan Tara
Bintang dan masih termasuk kedalam Suak Kelasen. Luas wilayah yang
menjadi wilayah persebaran masyarakat Pakpak keseluruhan adalah
8.331,12 km2 yang terdiri dari 52 Kecamatan dan 471 Desa/Kelurahan.
2.2 Lokasi Penelitian
Adapun lokasi penelitian yang penulis ambil berlokasi di Desa Sukaramai,
Kecamatan Kerajaan, Kabupaten Pakpak Bharat dimana daerah ini merupakan
salah satu daerah atau wilayah bermukimnya suku Pakpak yang disebut dengan
Suak Simsim dan sebagian daerah keppas. Luas Wilayah Kabupaten Pakpak
Bharat adalah 121.830 Ha. (1.218,30 Km2), terletak di wilayah pantai barat
Sumatera Utara yaitu pada 2.000 – 3.000 Lintang Utara dan 96.000 – 98.000
Bujur Timur dengan ketinggian berkisar antara 250 – 1.400 meter di atas
permukaan laut. Kabupaten pakpak Bharat terbentuk dari dari hasil pemekaran
dari Kabupaten Dairi. Secara administratif Kabupaten Pakpak Bharat terdiri dari
52 Desa dalam 8 (delapan) Kecamatan Kabupaten Pakpak Bharat adalah :
1) Kecamatan Salak, 2) Sitellu Tarli Urang Jehe, 3) Pangindar, 4) Sitellu
Tali Urang Julu, 5) Pargeteng-geteng Sengkut, 6) Kerajaan, 7) Tinada, dan
8) Siempat Rube.
Adapun batas wilayah Kabupaten Pakpak Bharat adalah sebagai berikut:
• Sebelah timur berbatasan dengan : Kecamatan Parbuluan Kabupaten
• Sebelah barat berbatasan dengan : Kabupaten Aceh Singkil Propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam.
• Sebelah utara berbatasan dengan : Kecamatan Silima Pungga-Pungga,
Kecamatan Lae Parira, Kecamatan Sidikalang Kabupaten Dairi.
• Sebalah selatan berbatasan dengan : Kecamatan Tara Bintang
Kabupaten Humbang Hasundutan dan Kecamatan Manduamas
Kabupaten Tapanuli Tengah.
Adapun batas-batas wilayah dari desa sukaramai adalah :
• Sebelah timur berbatasan dengan : Desa Kuta Saga.
• Sebelah barat berbatasan dengan : Desa Surung Mersada.
• Sebelah selatan berbatasan dengan : Desa Pardomuan.
• Sebelah utara berbatasan dengan : Desa Kuta Meriah.
2.3 Sistem Mata Pencaharian
Mata pencaharian masyarakat Pakpak khusunya yang berada di wilayah
Kabupaten Pakpak Bharat sangat beragam, disesuaikan dengan keahlian pribadi
yang dimiliki oleh seseorang, dan tidak terbatas pada satu bidang saja. Banyak
warga Pakpak yang bekerja sebagai pedagang, petani, PNS (pegawai negeri sipil),
guru, pegawai swasta, dan lain-lain. Dari hasil wawancara dengan beberapa
narasumber, bahwa pekerjaan yang paling banyak digeluti masyarakat Pakpak
yang berdomisili di wilayah kabupaten Pakpak Bharat adalah bercocok tanam.
Kopi, padi, tanaman palawija, durian dan jeruk. Menurut penuturan beliau,
bercocok tanam selain dari pekerjaan utamanya. Begitu juga dengan para
pedagang maupun pengusaha kecil memiliki ladang bercocok tanam serta
menekuni kegiatan tersebut sebagai penopang hidup.
2.4 Sistem Kepercayaan dan Religi
Sebelum agama Islam dan Kristen masuk ke wilayah Pakpak, masyarakat
setempat menganut kepercayaan yang disebut persilihi atau perbegu. Persilihi
atau perbegu ini ialah suatu kepercayaan yang meyakini bahwa alam ini berada
dibawah kuasa pengaruh roh-roh gaib atau dengan adanya Dewa-Dewa maupun
roh-roh nenek moyang yang dikultuskan (lihat, Naiborhu, 1988 : 22-26).
2.4.1 Kepercayaan Terhadap Dewa-Dewa
Sebelum agama masuk ke lingkungan masyarakat Pakpak,masyarakat
mempercayai kekuatan alam gaib dan percaya bahwa alam adalah sumber
kehidupan. Masyarakat pakpak percaya terhadap Debata Guru/Batara Guru yang
dikatakan dalam bahasa Pakpak Sitempa/Sinembe nasa si lot yang artinya maha
pencipta segala sesuatu yang ada di bumi ini yang diklasifikasikan
atau diistilahkan sebagai berikut:
Debata Guru/ Batara Guru menjadikan wakilnya untuk menjaga dan
melindungi, yaitu :
1) Beraspati Tanoh.
Diberi simbol dengan menggambar cecak yang berfungsi melindungi segala
tumbuh-tumbuhan. Jadi, jika seorang orang tua menebang pohon bambu, kayu
2) Tunggung Ni Kuta
Tunggung Ni Kuta diyakini memiliki peranan untuk menjaga dan melindungi
kampung atau desa serta manusia sebagai penghuninya. Oleh karena hal tersebut,
maka tunggung ni kuta memberikan kepada manusia beberapa benda yaitu
sebagai berikut :
a. Lapihen, terbuat dari kulit kayu yang didalamnya terdapat tulisan-tulisan
yang berbentuk mantra atapun ramuan obat-obatan serta ramalan-ramalan.
b. naring, wadah yang berisi ramuan sebagai pelindung kampung. Apabila
satu kampung akan mendapat ancaman, maka naring akan memberikan
pertanda berupa suara gemuruh ataupun siulan.
c. Pengulu balang, sejenis patung yang terbuat dari batu yang memiliki fungsi
untuk memberikan sinyal atau tanda berupa gemuruh sebagai pertanda
gangguan, bala, musuh, atau penyakit bagi masyarakat suatu desa.
d. Sibiangsa, yaitu wadah berbentuk guci yang diisi ramuan yang ditanam di
dalam tanah yang bertugas mengusir penjahat yang datang.
e. Sembahen Ni Ladang, yaitu roh halus dan penguasa alam sekitarnya yang
diyakini dapat menggangu kehidupan dan sekaligus dapat melindungi
kehidupan manusia apabila diberi sesajen.
f. Tali Solang, yaitu tali yang disimpul di ujungnya, mempunyai kepala ular
yang digunakan untuk menjerat musuh.
g. Tongket Balekat, yaitu terbuat dari kayu dan hati ular yang berukuran lebih
kurang satu meter yang diukir dengan ukiran Pakpak dan dipergunakan
h. Kahal-kahal, yaitu menyerupai telapak kaki manusia untuk melawan
musuh.
i. Mbarla, yaitu roh yang berfungsi untuk menjaga ikan di laut, sungai dan
danau.
j. Sineang Naga Lae, yaitu roh yang menguasai laut, danau dan air.
2.4.2 Kepercayaan Terhadap Roh-Roh
Kepercayaan terhadap roh-roh, yang meliputi :
a. Sumangan, yaitu tendi (roh) orang yang sudah meniggal mempunyai
kekuatan yang menentukan wujud dan hidup seseorang yang dikenang.
b. Hiang, yaitu kekuatan gaib yang dibagikan kepada saudara secara turun
temurun.
c. Begu Mate Mi Lae atau disebut juga dengan begu Sinambela, yaitu roh
orang yang sudah meninggal diakibatkan karena hanyut di sungai.
d. Begu Laus, yaitu sejenis roh yang menyakiti orang yang datang dari
tempat lain serta dapat membuat orang menjadi sakit secara tiba-tiba.
Kepercayaan- kepercayaan diatas sudah jarang dilaksanakan oleh
masyarakat Pakpak khususnya yang berada di wilayah Kecamatan kerajaan
sejak masuknya agama di daerah tersebut.
Masyarakat Pakpak di daerah ini sebagian besar sudah memeluk agama yang
tetap, yaitu agama yang sudah diakuai oleh pemerintah. Sebagian besar
masyarakat yang ada di daerah ini beragama Islam, Kristen dan sebagian kecil
2.5 Sistem Kekerabatan
Masyarakat Pakpak sejak dahulu kala sudah ada ikatan yang mengatur tata
krama dan sopan santun dalam kehidupan sehari-hari dan ditaati oleh masyarakat
itu sendiri. Sistem tersebut selalu ada dan diterapkan dalam upacara-upacara adat
termasuk juga dalam upacara kematian (kerja njahat). Sistem tersebut yaitu:
2.5.1 Sulang Silima
Sulang silima adalah lima kelompok kekerabatan yang terdiri dari
kulakula, dengan sebeltek siampun-ampun/anak yang paling kecil, serta anak berru. Sulang silima ini berkaitan dengan pembagian sulang/jambar dari
daging-daging tertentu dari seekor hewan seperti kerbau, lembu atau babi yang
disembelih dalam konteks upacara adat masyarakat Pakpak. Pembagian
daging/jambar ini disesuaikan dengan hubungan kekerabatannya dengan pihak
kesukuten atau yang melaksanakan upacara. Dalam adat masyarakat Pakpak,
kelima kelompok tersebut masing-masing mempunyai tugas dan tanggung jawab
yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain dalam acara adat.
a. kula-kula
kula-kula merupakan salah satu unsur yang paling penting dalam sistem
kekerabatan pada masyarakat Pakpak. kula-kula adalah kelompok/pihak
pemberi istri dalam sistem kekerabatan masyarakat Pakpak dan merupakan
kelompok yang sangat dihormati dan dianggap sebagai pemberi berkat oleh
masyarakat. Dengan demikian, kula-kula juga disebut dengan istilah Debata Ni
Idah (Tuhan yang dilihat). Oleh karena itu, pihak kula-kula ini haruslah dihormati.
Dalam acara-acara adat, kelompok kula-kula diwajibkan untuk hadir, termasuk
juga dalam adat kematian dan mendapat peran yang penting.
b. Dengan sebeltek/Senina
Dengan sebeltek/senina adalah mereka yang mempunyai hubungan tali
persaudaraan yang mempunyai marga yang sama. Mereka adalah orang-orang
yang satu kata dalam permusyawaratan adat. Selain itu, dalam sebuah upacara
adat ada kelompok yang dianggap dekat dengan sebeltek, yaitu senina. Dalam
sebuah acara adat, senina dan seluruh keluarganya akan ikut serta dan mendukung
acara tersebut. Secara umum, hubungan senina ini dapat disebabkan karena
adanya hubungan pertalian darah, se subklen/semarga, memiliki ibu yang
bersaudara, memiliki istri yang bersaudara dan memiliki suami yang bersaudara.
c. Anak beru
Anak beru artinya anak perempuan yang disebut dengan kelompok pengambil
anak dara dalam sebuah acara adat, anak berru lah yang bertanggung jawab atas
acara adat tersebut. Tugas anak berru adalah sebagai pekerja, penanggung jawab
dan pembawa acara pada sebuah acara adat.
Sedangkan situaan adalah anak yang paling tua, siditengah adalah anak tengah
dan siampun-ampun adalah anak yang paling kecil. Mereka adalah pihak yang
mempunyai ikatan persaudaraan yang terdapat dalam sebuah ikatan keluarga.
Kelima kelompok diatas mempunyai pembagian sulang (jambar) yang
berbeda, yaitu sebagai berikut :
1) Kula-kula (pihak pemberi istri dari keluarga yang berpesta) akan
menjadi tuan rumah sebuah pesta akan mendapat sulang
per-isang-isang).
2) Siditengah (keluarga besar dari keturunan anak tengah) akan
mendapat sulang per-tulantengah.
3) Siampun-ampun (keturunan paling bungsu dalam satu keluarga)
akan mendapat sulang per-ekur-ekur.
4) Anak beru (pihak yang mengambil anak gadis dari keluarga yang
berpesta) akan mendapat sulang perbetekken atau takal peggu.
Biasanya penerimaan perjambaren anak beru disertai dengan takal
peggu. Yang artinya mempunyai tugas dan tanggung jawab yang
besar terhadap berjalannya pesta. Anak beru lah yang bertugas
menyiapkan makanan serta menghidangkan selama pesta
berlangsung.
2.6 Bahasa
Pada umumnya, bahasa yang dipakai oleh masyarakat di Kecamatan
Kerajaan adalah bahasa Pakpak karena mayoritas penduduk disana adalah suku
Pakpak. Hal ini menyebabkan kehidupan sehari- hari penduduk disana
menggunakan bahasa Pakpak begitu juga dalam acara adat.
Terdapat juga sebagian kecil suku lain seperti suku Toba, Karo, Nias dan
Jawa yang datang kedaerah Kecamatan Kerajaan, tetapi setelah tinggal beberapa
lama disana, masayarakat dari suku-suku tersebut diatas sudah mengerti dan fasih
dalam komunikasi sehari-hari adalah bahasa Indonesia yang digunakan di
tempat-tempat umum, seperti sekolah, puskesmas dan kantor Kelurahan.
Ada beberapa jenis gaya bahasa yang digunakan dalam kehidupan
masyarakat Pakpak, yaitu :
1. Rana telangke yaitu kata-kata perantara atau kata-kata tertentu untuk
menghubungkan maksud si pembicara terhadap objek si pembicara.
2. Rana tangis yaitu gaya bahasa yang dituturkan dengan cara menangis atau
bahasa yang digunakan untuk menangisi sesuatu dengan teknik bernyanyi
(narrative songs atau lamenta dalam istilah etnomusikologi) yang disebut
tangis mangaliangi (bahasa tutur tangis)
3. Rana mertendung yaitu gaya bahasa yang digunakan dihutan,
4. Rana nggane yaitu bahasa terlarang, tidak boleh diucapkan di
tengah-tengah kampung karena dianggap tidak sopan
5. Rebun (rana tabas atau mangmang) yaitu bahasa pertapa datu atau bahasa
mantera oleh guru (Naiborhu, 2002:51).
2.7 Kesenian 2.7.1 Seni Musik
Masyarakat Pakpak membagi alat musiknya berdasarkan bentuk
penyajiannya dan cara memainkannya. Berdasarkan cara memainkannya,
instrumen musik tersebut dibagi atas dua kelompok, yaitu gotchi dan
oning-oningen.
Sedangkan berdasarkan cara memainkannya, instrument musik tersebut