TANGIS BERU SI JAHE DI DESA SUKARAMAI,
KECAMATAN KERAJAAN, KABUPATEN PAKPAK
BHARAT: KONTINUITAS DAN PERUBAHAN PENYAJIAN,
KAJIAN TEKSTUAL DAN MUSIKAL
SKRIPSI SARJANA O
L E H
NAMA : ERNI JUITA BANJARNAHOR
NIM : 100707021
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya
yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan
Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat
yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis
disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Oktober 2014
ERNI JUITA BANJARNAHOR
ABSTRAKSI
Skripsi ini berjudul “Tangis Beru Si Jahe Di Desa Sukaramai,
Kecamatan Kerajaan, Kabupaten Pakpak Bharat: Kontinuitas Dan Perubahan Penyajian, Kajian Tekstual Dan Musikal”
Tangis beru si jahe merupakan nyanyian ratapan seorang gadis yang akan dipinang dan dinyanyikan menjelang pernikahannya. Nyanyian ini berisikan tenta ng ungkapan kesedihan karena harus berpisah dengan anggota keluarganya denga n tujuan agar anggota keluarga yang mendengarkan merasa iba dan terharu kemud ian mereka akan memberikannasihat-nasihat dan bantuan berupa materi kepada si gadis yang akan menikah tersebut. Nyanyian ini pada umumnya disajikan dengan
gaya repetitif dengan mengutamakan teks daripada melodi(strofic-logogenic).
Dalam tulisan ini akan dibahas tentang kontinuitas dan perubahan yang
terjadi dalam penyajian tangis beru si jahe , hal-hal yang melatar belakangi
terjadinya perubahan serta kajian tekstual dan musikal tangis beru si jahe.
Nyanyian ini mengalami perubahan penyajian menjelang tahun 60-an (sesuai hasil wawancara dengan Tamma Br. Bancin, Pandapotan Solin, Sorti Br. Tinambunan) pada masa sekarang nyanyian ini sudah sering dipertunjukkan bahkan sesuai hasil wawancara penulis nyanyian ini sudah sering difestivalkan.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, yang telah
memberikan kekuatan dan pengetahuan serta penyertaan kepada penulis sehingga
saat ini tulisan ini dapat terselesaikan.
Skripsi ini berjudul “Tangis Beru Si Jahe Di Desa Sukaramai,
Kecamatan Kerajaan, Kabupaten Pakpak Bharat: Kontinuitas Dan Perubahan, Kajian Tekstual Dan Musikal.” Skripsi ini merupakan syarat dalam memperoleh gelar sarjana (S.Sn) di Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam tulisan ini.
oleh sebab itu, sebelumnya penulis memohon maaf kepada pembaca dan
harapannya dapat dimaklumi.
Dalam menyelesaikan tulisan ini, banyak pihak yang telah memberi
bantuan serta dukungan kepada penulis baik dalam bentuk doa, semangat serta
materi supaya proses penyelesaian tulisan ini dan hal-hal yang dibutuhkan penulis
dapat terpenuhi. Maka daripada itu, penulis dalam kesempatan ini menghaturkan
banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang telah memotivasi penulis dalam
menyelesaikan tulisan ini.
Teramat khusus penulis ucapkan banyak terimakasih yang tak terhingga
kepada kedua orangtua tercinta yaitu P.Banjarnahor dan A.Hutasoit atas motivasi,
cinta, kasih sayang, kesabaran, pengorbanan, didikan serta doa yang tiada henti
mereka panjatkan serta memenuhi kebutuhan-kebutuhan penulis selama proses
tercinta sebagai salah satu kebanggan. Terimakasih Ayah, buat dorongan,
motivasi, kasih sayang, semangat dan kerja kerasmu. Terimakasih Ibu, buat
cintamu, doamu, dan motivasimu. Semoga Tuhan Yesus memberkati Ayah dan
Ibu. Aku mencintai Ayah dan Ibu. Kepada abang dan kakak tercinta Andi
Banjarnahor, Sutrisno Banjarnahor, Nurlela Banjarnahor dan Monita Banjarnahor
A.md yang telah memberikan motivasi dan doa kepada penulis. Terimakasih
banyak abang dan kakak buat semua hal yang kalian berikan, aku mengasihi
kalian.
Kepada keluarga besar yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu
diantaranya Oppung Andi dan Oppung Henri, Namboru Lamsan dan Amang boru
serta keluarga. Namboru dan Amang Boru Purba beserta keluarga. Trimakasih
buat dukungan dan doa yang kalian panjatkan untuk penulis.
Terima kasih yang tak terhingga juga penulis ucapkan kepada Bapak Drs.
Torang Naiborhu, M.Hum, selaku pembimbing I yang telah membimbing penulis
dan memberikan arahan, saran-saran serta ilmu kepada penulis hingga tulisan ini
dapat selesai. Terima kasih kepada Bapak, semoga Tuhan memberkati. Serta
kepada Ibu Dra. Arifninetrirosa, SST. Selaku pembimbing II penulis yang sudah
banyak memberi dukungan dan arahan kepada penulis selama menyelesaikan
tulisan ini. Semoga Tuhan memberkati Ibu.
Kepada Bapak/Ibu dosen yang ada di Departemen Etnomusikologi yang
telah memberikan ilmu kepada penulis selama penulis duduk dibangku
perkuliahan. Terima kasih Bapak, terima kasih Ibu semoga Tuhan memberkati
Etnomusikologi yang sudah membantu penulis dalam proses administrasi hingga
tulisan ini selesai dengan baik.
Kepada Ibu Tamma br. Bancin yang sudah banyak memberi masukan
kepada penulis. kepada Bapak Pandapotan Solin dan Ibu Marseti Munthe yang
selalu memberi dukungan selama penelitian selalu menyediakan tempat
penginapan bagi penulis selama penelitian. Kepada Ibu Sekdes Sukaramai yang
membantu dalam hal rekonstruksi ulang serta membantu menerjemahkan
nyanyian tersebut kedalam bahasa indonesia, Bang Mardi Boang Manalu yang
membantu penulis selama penelitian, Ibu Merti Tumangger yang banyak meberi
masukan dan arahan, Ibu Sorti Tinambunan, Tulang Hotman, Bapak Mansehat
Manik, Bapak Era Banurea, Namboru dan Amang Boru Epron dan masih banyak
lagi yang belum penulis sebutkan terima kasih banyak buat informasi, semangat,
dan bantuan kalian selama penelitian berlangsung. Semoga Tuhan membalas
kebaikan kalian dan semakin diberkati.
Kepada sahabat seperjuangan stambuk 2010 yang penulis sayangi:
Chandra, Tribudi, Miduk, AM Surung, Yosua, Anna, Friska, Gohanna, Jenni,
Ruth, Pretty, Frita, Upay, Maharani, Debora, Tita, Ayu, Selly, Deby, Kezia,
Yoseni, Nandes, Mery, Indra, Denata, Samuel, Supriadi, Tumpak, Bobby, Jasrel,
Luhut, Lido, Hosea, Rendy, Benny, Fery, jakry, Fajri, Syafwan, Woyo, Rony,
Yusuf, Rano, ai, Fendri, dan yang belum penulis sebutkan. Terima kasih buat
kasih sayang, perhatian, dorongan, semangat, pertolongan dan motivasi
teman-teman sekalian. Banyak hal yang tidak bisa penulis lupakan dari teman-teman-teman-teman
selama proses perkuliahan. Kiranya kita tetap saling mendukung antara satu sama
Melinda Nadeak yang selalu menemani penulis baik setiap penelitian bahkan
dalam proses pengerjaan tulisan ini, yang selalu memotivasi, membantu dan
menyemangati penulis, serta selalu ada saat penulis dalam kesusahan (trimakasih
sedalam-dalamnya Mel semoga Tuhan memberkatimu). Kepada Anna Purba yang
sudah memberi semangat dan motivasi dan masukan kepada penulis trimakasih
dan semoga Tuhan memberkati. Buat Chandra Marbun yang sudah menjadi
sahabat sekaligus menjadi saudara bagi penulis, terimakasih buat masukan dan
semangat yang diberikan mulai awal perkuliahan hingga penyelesaian skripsi ini.
Kepada abang dan kakak alumni yang banyak memberikan dukungan
kepada penulis. Khususnya kepada Bang Monang Butar-Butar S.Sn yang banyak
memberi masukan dan motivasi, Bang Tomi Butar-Butar S.Sn yang sudah
memberi masukan dan bantuan kepada saya.
Tak lupa juga penulis ucapkan banyak terimakasih kepada Bang Roberto
Manik, S.Kom. atas dukungan, motivasi dan bantuan dalam pengeditan skripsi ini,
Bang Michael Yones Sibarani, S.Kom. atas bantuan dalam pengeditan. Teramat
spesial terimakasih kepada Bang Dussel SPB, S.Sn. buat dukungan, motivasi,
masukan, bantuan baik moril maupun materil dan arahan-arahan yang selalu
abang berikan selama ini semoga Tuhan memberkati. kepada sahabat penulis,
Erika Banurea yang selalu mendukung, memberi masukan dan dorongan sehingga
penulis tetap semangat mengerjakan skripsi ini. Kepada Grace Wandahana Napitu
(terima kasih buat ejekannya selama ini yang menjadi penyemangat bagi penulis).
Kepada seluruh keluarga besar UKM PSM USU yang telah banyak
organisasi serta selama proses menyelesaikan skripsi ini. Jayalah PSM dan
semakin maju. Semua kenangan kita tidak akan pernah terlupakan. Pahit manis
yang kita jalani bersama tidak akan pernah terlupakan.
Kepada junior Etnomusikologi yang penulis kasihi khusus kepada Mario
Yosua Sinaga yang sudah membantu penulis dalam hal pentranskripsian, kepada
Deby Hutabarat dan Lisken Angkat yang sudah banyak memberikan motivasi dan
dukungan kepada penulis.
Kepada orang yang penulis sayangi, Tribudi Syahputra Purba terimakasih
buat motivasi dan dukungan selama ini. semoga Tuhan memberkati dan
melindungi dimanapun berada dan sukses kedepannya.
Akhirnya penulis berharap penuh tulisan ini menjadi salah satu bahan
pembelajaran yang baru bagi setiap pembaca dan dapat berguna dan menambah
wawasan serta informasi bagi semua kalangan. Terutama bagi kalangan
masyarakat Pakpak.
Medan, Oktober 2014
Hormat saya,
DAFTAR ISI
BAB II ETNOGRAFI UMUM MASYARAKAT PAKPAK DI DESA SUKA RAMAI, KECAMATAN KERAJAAN, KABUPATEN PAKPAK BHARAT ... 19
2.1 Wilayah BudayaEtnikpakpak ... 19
2.2. LokasiPenelitian ... 20
2.3. Sistem Mata Pencarian ... 21
2.4. SistemKepercayaandanReligi ... 22
BAB III KONTINUITAS DAN PERUBAHAN PENYAJIAN NYANYIAN TANGIS BERU SI JAHE ... 41
3.1 Tangis Beru Si Jahe ... 41
3.2 DeskripsiPenyajianNyanyianTangisBeru Si JaheMenjelangTahun 60-an ... 42
3.3DeskripsiPenyajiannyanyian Tangis Beru Si Jahe Pada Masa Sekarang ... 45
3.3.1 PenyajianNyanyianTangisBeru Si Jahe ... 45
3.3.3 Lokasi Festival ... 54
3.3.4 Jalanya Festival ... 54
3.4 Perubahan Yang Terjadi Dari Nyanyian Tangis Beru Si Jahe ... 55
3.4.1 Perubahan Penyajian Dan Kontinuitas Tangis Beru Si Jahe ... 55
3.5 Hal-hal Yang MelatarBelakangiTerjadinyaPerubahan ... 57
3.6 FungsiTangisBeru Si Jahe ... 59
3.6.1 Fungsi Pengungkapan Emosional ... 60
3.6.2 Fungsi Komunikasi ... 61
3.6.3 Fungsi Perlambangan ... 62
3.6.4 Fungsi Reaksi Jasmani ... 63
3.6.5 Fungsi Norma-norma Sosial ... 63
3.6.6 Fungsi Kesinambungan Kebudayaan ... 63
3.6.7 Fungsi Lembaga Sosial ... 64
3.6.8 Fungsi Hiburan / Pertunjukan ... 64
BAB IV KAJIAN TEKSTUAL DALAM MUSIKAL TANGIS BERU SI JAHE ... 65
4.1 KajianTekstual Tangis Beru Si Jahe ... 65
4.1.1 Analisis Seniotik Terhadap Teks Tangis Beru Si Jahe Menangisi Inangna dan Memnagisi Puhunna Oleh Ibu Tamma Br.Bancin ... 65
4.2.2 Nada Dasar (Pitch Center) ... 72
4.2.3 Wilayah Nada (Range) ... 73
4.2.4 Jumlah Nada ... 73
4.2.5 Jumlah Interval ... 74
4.2.6 Pola Kadensa (Candence Patterns) ... 75
4.2.7 Formula Melodi (Melody Formula) ... 75
4.2.7.1 Analisis Bentuk dan Frasa Pada Tangis Beru Si Jahe ... 76
4.2.8 Kontur (countour) ... 76
4.2.9 Analisis Ritem ... 78
4.2.10 Pola Melodi Yang Diulang ... 78
BAB V PENUTUP ... 80
5.1 Kesimpulan ... 80
5.2 Saran ... 81
DAFTAR PUSTAKA ... 82
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 : Genderang Sisibah ... 32
Gambar 2 : Tamma Br.Bancin Penyaji tangis beru si jahe ... 44
Gambar 3 :Mencontohkan salah satu gerakan dembas (tarian Pakpak) ... 45
Gambar 4 : Juara harapan tahun 2012 Festival Tangis Beru Si Jahe (br.Solin dan br. Munthe) ... 48
Gambar 5 :Rekonstruksi ... 49
Gambar 6 : Foto hasil rekonstruksi Nasi Putih ... 50
Gambar 7 : Foto rekonstruksi Manuk tasak/ayam yang sudah dimasak ... 51
Gambar 8 : Foto rekonstruksiBaka berisi sirih ... 52
Gambar 9 : Foto rekonstruksi Tikar/belagen ... 52
DAFTAR TABEL
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Manusia dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari pastinya berdasar
kepada kebudayaan. Budaya yang dimiliki akan menjadi ciri utama
kelompok-kelompok individu yang menggunakannya. Kebudayaan tersebut hadir sebagai
salah satu bentuk untuk meregenerasikan kepada keturunan yang baru.
Kebudayaan sebagaimana halnya mengatur tentang siklus perjalanan hidup
manusia mulai dari lahir, masa kanak-kanak, masa remaja, dewasa, tua, sampai
meninggal dunia. Demikian halnya dengan yang terjadi dalam kebudayaan
Pakpak.
Setiap etnis yang ada di Sumatera Utara, baik dari kelompok etnis Batak
maupun etnis lainnya pastinya memiliki kebudayaan dan adat istiadat yang
masing-masing memiliki keunikan tersendiri dan setiap kebudayaan tersebut tidak
dapat dibandingkan mana yang lebih baik. Demikian juga halnya dengan etnis
Pakpak, masyarakat Pakpak memiliki kebudayaan yang diwariskan secara turun
temurun oleh leluhurnya, baik secara lisan maupun tulisan. Kesenian pada
masyarakat Pakpak diantaranya terdiri atas seni rupa, seni tari, seni ukir dan seni
musik. Dalam tulisan ini, penulis lebih terfokus untuk mengkaji tentang aspek
musiknya.1
1
Seni musik dalam masyarakat Pakpak dibagi kedalam tiga kategori: vokal,
instrumen yang terdiri atas dan gabungan antara vokal dengan instrumen. Dalam
hal ini penulis tertarik mengkaji tentang salah satu vokal Pakpak.
Masyarakat Pakpak memiliki alat musik yang dapat dimainkan secara
ensambel maupun secara solo. Masyarakat Pakpak membagi alat musiknya secara
folk taxonomies yang berdasar pada bentuk penyajian yang masih dibagi dalam
dua kelompok yaitu: Gotchi dan Oning-oning.dan cara memainkan yang terdiri
atas Sipaluun,Sisempulen, dan Sipiltiken.
Sedangkan untuk semua jenis musik vokal masyarakat Pakpak memberi
nama ende-ende. Kemudian untuk membedakan jenis nyanyian yang satu dengan
yang lain, dibelakang kata ende-ende tersebut dicantumkan nama nyanyian yang
dimaksudkan. Misalnya; ende-ende merkemenjen yaitu nyanyian mengambil
kemenyan; ende-ende memuro yaitu nyanyian pada saat menjaga padi dan
tanaman-tanaman diladang. Selain nyanyian tersebut ada juga yang disebut
ende-ende tangis milangi yang mana disebut juga sebagai tangis-tangis yang
merupakan kategori nyanyian ratapan(lamenta) yang disajikan dengan gaya
menangis yang terdiri atas Tangis beru si jahe, Tangis anak melumang yaitu
nyanyian ratap seorang anak ketika terkenang pada salah satu atau kedua orang
tuanya yang sudah meningal, dan tangisi mate yaitu nyanyian ratapan kaum
wanita ketika salah seorang anggota keluarga meninggal dunia. Selain itu ada juga
yang disebut dengan ende-ende mendedah yaitu sejenis nyanyian lullaby yang
dipakai oleh sipendedah(pengasuh) baik pria ataupun wanita, yang terdiri atas
orih-orih yaitu nyanyian untuk menidurkan anak dimana sianak digendong dan
harapan, cita-cita, ataupun curahan kasih sayang terhadap si anak tersebut.
Berikutnya ada juga disebut oah-oah(kodeng-kodeng) yang merupakan jenis
nyanyian dimana teksturnya sama dengan orih-orih. Yang membedakan adalah
cara dalam menina bobokan si anak. Oah-oah disajikan dengan mengayunkan si
anak pada ayunan yang digantungkan pada sebatang kayu dirumahmaupun
digubuk. Ada juga yang disebut dengan cido-cido yaitu nyanyian untuk mengajak
si anak bermain. Selanjutnya ada yang disebut dengan Nangan yaitu nyanyian
yang disajikan pada waktu mersukut-sukuten (dongeng atau ceritera rakyat). Dan
yang terakhir ada yang disebut dengan ende-ende merdembas merupakan bentuk
nyanyian permainan dikalangan anak-anak usia sekolah yang dipertunjukkan pada
malam hari di halaman rumah saat terang bulan purnama. Mereka menari
berbentuk lingkaran, membuat lompatan-lompatan kecil secara bersama-sama
berpegangan tangan, sambil melantunkan lagu-lagu secara koor (chorus) maupun
nyanyian solo yang disambut koor(solo chorus). 2
Dalam hal ini penulis lebih terfokus untuk mengkaji tentang nyanyian
Tangis Beru Si Jahe.
Tangis beru si jahe merupakan nyanyian ratapan seorang gadis yang akan
dipinang dan dinyanyikan menjelang pernikahannya. Nyanyian ini berisi tentang
ungkapan kesedihan karena harus berpisah dengan anggota keluarganya dengan
tujuan agar anggota keluarga yang mendengarkan merasa iba dan terharu
kemudian mereka akan memberikan nasihat-nasihat dan bantuan berupa materi
kepada si gadis yang akan menikah tersebut. Secara tekstual nyanyian ini banyak
menggunakan bahasa-bahasa simbolis yang mengandung makna-makna tertentu,
2
Drs.Torang Naiborhu, M.Hum. “Music Pakpak Dairi-SumateraUtara” dalam
sebagai gambaran dari sesuatu hal ataupun representasi dari situasi sosial
kemasyarakatan pemilik budaya ini. Digarap dengan nuansa kesedihan (Pakpak:
lolo ate) melalui teknik sillabis dan melismatis yang dituangkan dalam melodi
lagu dalam bentuk strofic logogenic yaitu mengutamakan pesan melalui teks
daripada garapan melodi lagunya, melalui teks yang selalu berubah sedangkan
melodi cenderung diulang-ulang3. Namun dalam perkembangannya beberapa
tahun belakangan ini tangis beru si jahe bukan lagi disajikan untuk upacara adat
namun menjadi salah satu bentuk hiburan dan telah difestivalkan.
Tangis beru si jahe hanya dinyanyikan oleh perempuan. Tangis beru si
jahe disajikan dan ditujukan kepada orangtua beru si jahe, kerabat terdekat
dengan cara mendatangi rumah mereka masing-masing. Selain itu, orang-orang
yang didatangi oleh beru si jahe tersebut akan memberi dia makan(nakan
pengindo tangis) dimana tinggi rendahnya status sosial adat beru si jahe tersebut
ditentukan berdasarkan banyaknya jumlah kepala ayam yang nantinya akan
dibawa menuju tempat mertuanya. Semakin banyak kepala ayam yang diterima
oleh beru si jahe, maka akan semakin tinggi pula status sosial adatnya dihadapan
keluarga suaminya4.
Pada umumnya teks dari tangis beru si jahe berisikan tentang kiasan dan
perumpamaan. Yang dinyanyikan pada umumnya kebalikan dari kenyataan karena
si gadis merasa bahwa seolah-olah orang tuanya sudah tidak perduli bahkan
mencampakkan dia. Selain itu dia nantinya tidak bisa merasakan kebahagiaan
seperti apa yang dirasakan selama ini di lingkungan keluarganya.
3
Tesis Strata-2 Drs. Torang Naiborhu, M.Hum
4
Mengapa harus menangis? Hal tersebut dikarenakan si beru jahe merasa
takut jika nantinya dikeluarganya yang baru dia tidak akan merasakan
kebahagiaan seperti yang selama ini diterima dilingkungan keluarganya. Dia
khawatir jika nantinya dia akan dijadikan budak dan dianggap hanya untuk alat
penyambung keturunan keluarga suaminya.
Pada saat sekarang, nyanyian ini telah mengalami perubahan konsep
penyajian. Sampai tahun 1960-an tangis beru si jahe masih disajikan untuk
upacara adat. Berbeda halnya dengan masa sekarang, sesuai dengan
perkembangan zaman dan faktor pendukung lainnya, nyanyian tersebut sudah
menjadi suatu bentuk hiburan dan telah dipertunjukkan didepan khalayak umum.
Namun urutan penyajian nyanyian tetap sama dengan yang sebenarnya. Ungkapan
perasaan yang dinyanyikan si gadis berbeda-beda kepada setiap anggota keluarga
yang disebutkan diatas. Dengan kata lain isi teks nyanyian nya berbeda kepada
setiap orang yang ditujukan namun melodinya tetap sama.
Dari uraian latar belakang masalah tersebut, Maka penulis tertarik untuk
meneliti, mengkaji, serta menuliskannya kedalam sebuah tulisan ilmiah yang dibe
ri judul : ” Tangis Beru Si jahe Di Desa Sukaramai, Kecamatan Kerajaan,
Kabupaten Pakpak Bharat: Kontinuitas Dan Perubahan Penyajian, Kajian Tekstual Dan Musikal”
1.2 Pokok Permasalahan
1. Hal-hal apa sajakah yang melatar belakangi terjadinya perubahan tangis
beru si jahe?
3. Bagaimana kajian tekstual dan musikal tangis beru si jahe?
1.3. Tujuan Penelitian
1) Untuk mengetahui hal-hal yang melatar belakangi terjadinya perubahan
penyajian nyanyian tangis beru si jahe
2) Untuk mengetahui perubahan apa saja yang terjadi dari nyanyian tangis
beru si jahe
3) Untuk mengetahui kajian tekstual dan musikal tangis beru sijahe
1.4 Manfaat Penelitian
1) Menjadi salah satu sarana dalam memperluas ilmu pengetahuan tentang
tangis beru si jahe dari kesenian masyarakat Pakpak
2) Menjadi salah satu bahan dokumentasi tambahan tentang informasi tangis
beru si jahe
3) Sebagai suatu perwujudan tentang ilmu yang telah diperoleh penulis
selama menjalani perkuliahan di Departemen Etnomusikologi
1.5 Konsep
Konsep merupakan rangkaian ide atau pengertian yang diabstrakkan dari
peristiwa kongkrit(Kamus besar bahasa indonesia, Balai Pustaka, 1991:431).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka tahun
1988, kata ‘kontinuitas’ memiliki arti kelanjutan, kelangsungan dan
kesinambungan. Pada penjelasan ini berkaitan dengan masih adanya hal-hal yang
Kata ‘perubahan’ memiliki arti situasi dan keadaan yang berubah serta
peralihan dan pertukaran. Dalam hal ini terjadi perubahan penyajian tangis beru si
jahe menjadi sebuah sarana hiburan/dipertunjukkan kepada khalayak umum.
‘Penyajian’ menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (kbbi.web.id)
merupakan proses, cara, perbuatan menyajikan
Sedangkan ‘nyanyian’ merupakan bagian dari seni musik, dimana secara
umum seni musik dibagi kedalam tiga bagian: 1) musik vokal, 2) musik
instrumental, dan 3) gabungan dari musik vokal dan instrumental.
Beru adalah anak gadis, sedangkan si jahe adalah yang akan dinikahkan (i
pejahekan) Beru sijahe merupakan sebutan kepada seorang gadis yang akan
berpisah dengan keluarganya disebabkan perkawinan.
Tangis beru si jahe merupakan nyanyian ratapan seorang gadis yang akan
dipinang dan dinyanyikan menjelang pernikahannya. Nyanyian ini berisikan
tentang ungkapan kesedihan karena harus berpisah dengan anggota keluarganya
dengan tujuan agar anggota keluarga yang mendengarkan merasa iba dan terharu
kemudian mereka akan memberikan nasihat-nasihat dan bantuan berupa materi
kepada si gadis yang akan menikah tersebut. Dengan demikian tulisan ini
bertujuan untuk memperoleh hasil dari kelanjutan dan perubahan yang terjadi dari
penyajian tangis beru si jahe.
Tekstual merupakan hal-hal yang berkaitan dengan teks atau tulisan dari
suatu nyanyian. Teks atau syair dari nyanyian tersebut akan menghasilkan suatu
makna. Makna tersebut adalah suatu yang tersirat dibalik bentuk dan aspek isi dari
suatu kata atau teks yang kemudian terbagi menjadi dua bagian, yaitu makna
terkandung arti tambahan sedangkan makna denotatif adalah kata yang tidak
mengandung arti tambahan atau disebut dengan makna sebenarnya (Keraf,
1991:25). Istilah musikal menunjukkan kata sifat yang berarti bersifat musik,
memiliki unsur-unsur musik seperti melodi, tangga nada, modus, dinamika,
interval, frasa, serta pola ritem.
1.6 Kerangka Teori
Menurut Soekanto, perubahan terjadi karena usaha masyarakat untuk
menyesuaikan diri sesuai kebutuhan situasi dan kondisi yang timbul sejalan
dengan pertumbuhan masyarakat (Soekanto 1992;21). Suatu kebudayaan tidaklah
bersifat statis, melainkan selalu berubah dengan kemajuan zaman sebab
kebudayaan bukanlah sesuatu hal yang lahir hanya sekali (Ihromi 1987:32).
Demikian halnya dengan nyanyian tangis beru si jahe yang mengalami perubahan
penyajian sesuai dengan kemajuan zaman.
Herskovits dalam Merriam mengemukakan bahwa perubahan dan
kelanjutan merupakan suatu tema yang digunakan untuk memahami sifat stabil
dan dinamis yang melekat dalam setiap kebudayaan.
Perubahan-perubahan dari penyajian tangis beru si jahe tersebut terjadi
karena berbagai hal yang berasal dari dalam masyarakat maupun dari luar. Dari
pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan perubahan
adalah sebuah konsep yang mencakup perubahan dari berbagai unsur kebudayaan,
termasuk perubahan sikap pandangan masyarakat di berbagai tingkat kehidupan.
Kondisi-kondisi sosial primer yang menyebabkan terjadinya perubahan seperti,
penyebab terjadinya perubahan pada berbagai aspek sosial lainnya. Perubahan
sosial dan kebudayaan, disamping itu juga harus diperhatikan situasi dan kondisi
dari tempat atau lokasi dimana suatu perubahan terjadi.
Alan P. Merriam dalam bukunya yang berjudul’The Anthropology of
Music’(1964:16), mengatakan bahwa:
“the ultimate interest of man himself, and music is part of what he
does and part and part of what he studies about himself”.
Yang artinya bahwa perhatian manusia yang utama/pokok adalah manusia
itu sendiri, dan musik yang termasuk didalamnya merupakan bagian yang
dikerjakannya sebagai dirinya sendiri.
Merriam juga mengatakan bahwa dalam aspek musikal terdapat dua unsur
pokok yang dominan---maksudnya nyanyian---yaitu teks lagu dan melodinya.
Berkaitan dengan studi teks nyanyian, isi dari teks nyanyian tersebut adalah hal
yang penting lainnya untuk dipelajari (Echols dan Shadily, 1986:369).5
William P.Malm dalam bukunya yang berjudul’Music Cultures Of The
Pasific, The Near, and Asia’(1977:9) juga mengatakan bahwa:
“in vocal music, another important characteristik is the relation
of music to text, the style is’Syllabic’, if one Syllable is used with
many notes, the style is’Melismatic’”.
Yang berarti bahwa “dalam musik vokal, hal lain yang paling
penting adalah karakteristik hubungan antara musik dan teks, yang
disebut “Sillabik”, jika satu Sillabik digunakan dengan banyak nada, itu
disebut ‘Melismatik’”.
5
Dalam pembahasan tangis beru si jahe budaya Pakpak yang berada di
Desa Sukaramai, Kecamatan Kerajaan, Kabupaten Pakpak Bharat ini, penulis
menggunakan teori fungsionalisme. Dalam disiplin ilmu etnomusikologi, Merriam
dalam bukunya (1964: 7-18) menyatakan bahwa dalam studi Etnomusikologi,
maka para ahlinya tidak bisa terlepas dari konteks kebudayaan secara keseluruhan.
Untuk memahami fungsi musik dalam tangis beru sijahe, penulis mengacu kepada
pendapat Alan P. Merriam dalam bukunya “The Anthropology of Music“(1964:
209-226) yang menyatakan tentang penggunaan musik yang meliputi perihal
pemakaian musik dan konteks pemakainya atau bagaimana musik itu digunakan.
Berkenaan dalam hal penggunaan yang dikemukakan oleh Alan P.Merriam (1964:
217-218) menyatakan perihal penggunaan musik sebagai berikut: (1) penggunaan
musik dengan kebudayaan material, (2) penggunaan musik dengan kelembagaan
sosial, (3) penggunaan musik dengan manusia dan alam, (4) penggunaan musik
dengan nilai-nilai estetika, (5) penggunaan musik dengan bahasa.
Untuk menemukan jawaban dari fungsi musik dalam tangis beru sijahe,
Merriam menyebutkan ada sepuluh fungsi musik dalam Ilmu Etnomusikologi
yakni: 1) fungsi pengungkapan emosional, 2) fungsi pengungkapan estetika, 3)
fungsi hiburan, 4) fungsi komunikasi, 5) fungsi perlambangan, 6) fungsi reaksi
jasmani, 7) fungsi yang berkaitan dengan norma sosial, 8) fungsi pengesahan
lembaga sosial, 9) fungsi kesinambungan kebudayaan, 10) fungsi pengintegrasian
masyarakat.
Dalam mengkaji strukstur dan makna tekstual tangis beru sijahe, penulis
menggunakan teori semiotika. Dimana teori ini digunakan untuk memahami
membangun sebuah peristiwa seni. Ada dua tokoh perintis semiotika yakni
Ferdinand de Sausurre ahli bahasa dari Swiss dan Charles Sanders Pierce, filosof
berkebangsaan Amerika Serikat. Saussure melihat bahasa sebagai sistem yang
membuat lambang bahasa itu terdiri dari sebuah imaji bunyi (sound image) atau
signifier yang berhubungan dengan konsep (signified). Setiap bahasa mempunyai
lambang bunyi tersendiri.
Peirce juga menginterpretasikan bahasa sebagai sistem lambang, tetapi
terdiri dari tiga bagian yang saling berkaitan: 1) representatum, 2) pengamat
(interpretant), 3) objek. Dalam kajian kesenian berarti kita harus
memperhitung-kan peranan seniman, pelaku, dan penonton sebagai pengamat dari
lambang-lambang dan usaha kita untuk memahami proses pertunjukan atau proses
penciptaan. Peirce membedakan lambang-lambang kedalam tiga kategori: pertama
simbol, kedua indeks dan yang terakhir simbol. Apabila lambang itu menyerupai
yang dilambangkan seperti foto, maka disebut sebagai ikon. Jika lambang itu
menunjukkan akan adanya sesuatu seperti timbulnya asap akan diikuti api disebut
dengan indeks. Apabila lambang tidak menyerupai yang dilambangkan, seperti
burung garuda melambangkan negara Republik Indonesia, maka disebut dengan
simbol.
Semiotika atau semiologi adalah kajian terhadap tanda-tanda (sign) serta
tanda-tanda yang digunakan dalam perilaku manusia. Defenisi yang sama
dikemukakan pula oleh seorang pendiri teori semiotika, yaitu pakar linguistik dari
Swiss Ferdinand De Sausurre. Menurut beliau semiotika adalah kajian mengenai
“kehidupan tanda-tanda dengan masyarakat yang menggunakan tanda-tanda itu.”
ke-17 yaitu John Locke, gagasan semiotika sebagai sebuah modus interdisiplin ilmu,
dengan berbagai contoh fenomena yang berbeda dalam berbagai lapangan studi,
baru muncul ke permukaan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika
munculnya karya-karya Saussure dan karya-karya seorang filosof Amerika
Serikat, Charles Sanders Peirce.
Dalam karya awal Peirce di lapangan semiotik ini, ia menumpukkan
perhatian kepada pragmatisme dan logika. Ia mendefenisikan tanda sebagai
“sesuatu yang mendukung seseorang untuk sesuatu yang lain.” Salah satu
sumbangannya yang besar bagi semiotika adalah pengkategoriannya mengenai
tanda-tanda ke dalam tiga tipe, yaitu: 1) ikon, yang disejajarkan dengan ikonnya
(misalnya jalan raya adalah tanda untuk jatuhnya bebatuan; 2) indeks, yang
disamakan dengan referennya (asap adalah tanda adanya api) dan 3) simbol, yang
berkaitan referennya dengan cara penemuan (seperti dengan kata-kata atau signal
grafik). Ketiga aspek tanda ini penulis pergunakan untuk mengkaji teks tangis
beru sijahe.6
Semiotika adalah studi tentang tanda dan segala yang berhubungan
dengannya: cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain,
pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya.
Semiotika dan teori komunikasi adalah dua hal yang sangat mirip sehingga sering
disebut sebagai semiotika komunikasi. Komunikasi terjadi dengan perantaraan
tanda-tanda dengan mengemukakan sesuatu (representamen) berdasarkan makna
denotatum, designatum atau makna yang ditunjuknya.7 Dalam melakukan analisis
semiotika, pembahasannya antara lain mencakup pada hal-hal yang berkaitan
6
Skripsi sarjana Marliana Manik 7
dengan: semiotika binatang (zoosemiotics); paralinguistik (paralinguistics);
bahasa alam (natural language); komunikasi visual (visual communication);
kode-kode musik (musical codes); kode rahasia; sistim objek; dan lain-lain.8
Dalam pengerjaan tulisan, penulis lebih berpedoman pada teori yang
dikemukakan oleh William P.Malm (1977:3) yang dikenal dengan teori weighted
scale. Dimana dikatakan bahwa hal-hal yang harus diperhatikan dalam
pendeskripsian melodi, adalah: tangga nada (scale), nada dasar (pitch center),
wilayah nada (range), jumlah nada (frequency of note), jumlah interval, pola
kadensa, formula melodi (melody formula), dan kontur (contour).
Untuk mengungkap perubahan yang terjadi dari nyanyian tangis beru
sijahe, penulis menggunakan teori yang dikemukakan oleh Alan P Merriam
(1964:303) yang dikemukakan dalam tulisannya tentang Music and Culture is
Dynamic dalam buku The anthropology of Music yang mengatakan “culture
change begins with the processes of innovation. Type of innovation is variation,
invention, tentation, dan culture borrowing”.
Menurut Carol R. Ember (1987 : 32), suatu kebudayaan tidaklah pernah
bersifat statis, melainkan selalu berubah. Walaupun pada kenyataan perubahan itu
bukan atas gangguan yang datangnya dari luar, suatu kebudayaan pasti akan
mengalami perubahan. Hal ini berhubungan dengan waktu, bergantinya generasi
serta perubahan dan kemajuan tingkat pengetahuan masyarakat.
Alan P. Merriam mengemukakan bahwa perubahan berasal dari dalam
lingkungan kebudayaan atau internal, dan perubahan juga bisa berasal dari luar
kebudayaan atau eksternal. Perubahan secara internal meurpakan perubahan yang
8
timbul didalam dan dilakukan oleh pelaku-pelaku kebudayaan itu sendiri, dan juga
disebut inovasi. Sedangkan perubahan eksternal merupakan perubahan yang
timbul akibat pengaruh yang dilakukan oleh orang-orang dari luar lingkup budaya
tersebut. Merriam menambahkan bahwa kelanjutan dan perubahan merupakan
suatu tema yang digunakan untuk memahami sifat stabil dan dinamis yang
melekat dalam setiap kebudayaan. Berkaitan dengan fenomena ini, teori
kebudayaan secara umum mengasumsikan bahwa setiap kebudayaan beroperasi
dalam kerangka waktu yang terus mengalami kelanjutan, dimana variasi-variasi
dan perubahan yang terjadi adalah hal yang tidak dapat dielakkan (1964: 305).
1.7 Metode Penelitian
Metode adalah cara yang digunakan dalam melaksanakan suatu pekerjaan
agar hasil dari pekerjaan tersebut sesuai dengan yang diharapkan dan dikehendaki
melalui cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksaan suatu kegiatan
guna mencapai tujuan yang telah ditentukan(Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Balai Pustaka 2005). Sementara penelitian merupakan kegiatan dalam
mengumpulkan, mengolah, menganalisis serta menyajikan data yang dilakukan
secara sistematis dan objektif untuk memecahkan suatu persoalan atau menguji
suatu hipotesis untuk mengembangkan prinsip-prinsip umum(Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Balai Pustaka 2005).
Untuk memperoleh data secara sistematis, maka penulis menggunakan
metode penelitian dengan pendekatan analisis deskriptif. Penelitian yang bersifat
deskriptif bertujuan untuk memaparkan secara tepat sifat-sifat suatu individu,
penyebaran dari suatu gejala ke gejala lain dalam suatu masyarakat
(Koentjaraningrat 1990:29).
Dalam hal ini, penulis melakukan rekonstruksi ulang terhadap penyajian
nyanyian ini. Selain itu, penulis juga melakukan rekonstruksi ulang terhadap
contoh festival tangis beru si jahe yang pernah dilaksanakan. Penulis melakukan
rekonstruksi ulang di rumah Bapak Pandapotan Solin (Lembaga Pelatihan Musik
Pakpak) yang berlokasi di Desa Sukaramai, Kecamatan Kerajaan, Kabupaten
Pakpak Bharat. Tujuan penulis merekonstruksi kembali karena jadwal untuk
festival ini tidak menentu namun lebih seringnya dilaksanakan satu kali dalam dua
tahun.
Menurut Whitney (1960) metode deskriptif analitis merupakan metode
pengumpulan fakta melalui interpretasi yang tepat. Dengan tujuan untuk
mempelajari permasalahan yang timbul dalam masyarakat dalam situasi tertentu,
termasuk didalamnya hubungan masyarakat, kegiatan, sikap, opini, serta proses
yang tengah berlangsung dan pengaruhnya terhadap fenomena tertentu dalam
masyarakat. Selain itu menurut Soegiyono(2009) metode deskriptif analitis
bertujuan untuk mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap suatu objek
penelitian yang diteliti melalui sampel atau data yang telah terkumpul dan
membuat kesimpulan yang berlaku umum.
1.7.1 Studi Kepustakaan
Untuk mendukung keseluruhan data yang disertakan penulis, maka penulis
juga terlebih dahulu melakukan studi kepustakaan untuk mengumpulkan data-data
Method In Ethnomusicology, The Anthropology of Music, Music Culture of
Pasific, the Near East and Asia, Masyarakat Kesenian Di Indonesia, dan juga
membuka situs-situs internet yang berhubungan dengan data penelitian,
mengumpulkan beberapa referensi, buku dan skripsi-skripsi terdahulu yang
berhubungan dengan topik penelitian. Data diperoleh melalui literatur berupa
catatan dan informasi lain yang berkaitan dengan penulisan
Studi pustaka diperlukan untuk melengkapi teori-teori yang berhubungan
dengan topik penelitian penulis sehingga dapat menambah data yang kongkrit
terhadap kebenaran penelitian.
Nyanyian tangis beru si jahe pada awalnya sudah pernah dikaji oleh
alumni Etnomusikologi. Salah satunya oleh Monang Butar-Butar pada tahun
1992. Beliau mengkaji tekstual dan musikologis dari tangis beru si jahe. Namun
beliau belum menyebutkan bahwa dalam penelitiannya telah terjadi perubahan
penyajian dari nyanyian ini. Maka oleh sebab itu, penulis memutuskan untuk
meneliti serta menuliskan tentang bagaimana proses perubahan dan kelanjutan
dari penyajian nyanyian tangis beru si jahe dan hal-hal yang melatar belakangi
terjadinya perubahan dalam nyanyian tangis beru sijahe pada masa sekarang.
1.7.2. Observasi
Teknik pengumpulan data dengan observasi merupakan metode yang
dipakai dengan menggunakan pengamatan dan pengindraan untuk menghimpun
data penelitian. Menurut Bungin(2007:115) metode observasi merupakan kerja
Untuk memperoleh informasi yang lebih akurat mengenai tulisan ini maka
penulis melakukan observasi langsung ke lokasi penelitian yang telah penulis
ketahui sebelumnya yang berlokasi di desa Sukaramai, Kecamatan Kerajaan,
Kabupaten Pakpak Bharat.
1.7.3. Wawancara
Salah satu teknik wawancara yang penulis lakukan adalah wawancara
berfokus (focus interview) yaitu membuat pertanyaan yang berpusat terhadap
pokok permasalahan. Selain itu penulis juga melakukan wawancara bebas (free
interview) yaitu membuat pertanyaan yang tidak hanya terfokus pada pokok
permasalahan saja tetapi pertanyaan berkembang terhadap pokok permasalahan
lainnya namun tidak menyimpang dari pokok permasalahan (koentjaraningrat,
1985:139). Dalam hal ini penulis tidak hanya berpatokan terhadap hal-hal yang
akan diteliti, namun penulis juga melakukan wawancara bebas untuk mengetahui
bagaimana kehidupan informan sehari-hari.
1.7.4 Kerja Laboratorium
Seluruh data yang penulis peroleh berasal dari berbagai sumber yaitu dari
hasil pengamatan langsung di lapangan. Hasil wawancara tersebut kemudian akan
diolah dalam kerja laboratorium. Selain itu penulis juga akan mentranskripsikan
nyanyian tersebut sebagai sesuatu yang baru.
Setelah penulis melakukan kerja laboratorium, penulis membuatnya
menjadi sebuah tulisan ilmiah berbentuk skripsi sesuai dengan aturan penulisan
manfaat dan dapat menambah wawasan pengetahuan di bidang Etnomusikologi
dan bermanfaat untuk seluruh kalangan
1.8 Lokasi Penelitian
Untuk memperoleh informasi yang lebih akurat mengenai tulisan ini maka
penulis melakukan observasi langsung ke lokasi penelitian yang telah penulis
ketahui sebelumnya yang berlokasi di desa Sukaramai, Kecamatan Kerajaan,
Kabupaten Pakpak Bharat. Alasan penulis memilih lokasi ini dikarenakan masih
banyak yang mengalami peristiwa ini dan di Sukarami sudah berkali-kali
dilakukan festival Tangis Beru Si Jahe. Bahkan masih banyak di daerah ini
BAB II
ETNOGRAFI UMUM MASYARAKAT PAKPAK DI DESA SUKARAMAI, KECAMATAN KERAJAAN,
KABUPATEN PAKPAK BHARAT
2.1 Wilayah Budaya Etnik Pakpak
Etnis Pakpak adalah salah satu suku pribumi di Provinsi Sumatera Utara
dan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, yang terbagi menjadi beberapa bagian,
yaitu :
1. Kabupaten Dairi ibukota Sidikalang yang terdiri dari 15 Kecamatan dan 184
Desa. Kelurahannya meliputi Suak Keppas dan Pegagan.
2. Kabupaten Aceh Singkil ibukotana Singkil yang terdiri dari 15 Kecamatan
dan 148 Desa. Kelurahannya meliputi seluruh daerah Suak Singkil Boang.
3. Kabupaten Pakpak Bharat ibukotanya Salak yang terdiri dari 8 kecamatan
dan 59 Desa. Kelurahannya meliputi Suak Simsim dan sebagian daerah
Keppas.
4. Kotamadya subbul sallam ibukotanya Salak yang terdiri dari 5 kecamatan
dan (64) Desa/Kelurahan yang merupakan pemekaran dari Aceh Singkil dan
masih termasuk Suak Singkil Boang.
5. Kabupaten tapanuli tengah ibukotanya Pandan yang terdiri dari 6 kecamatan
dari daerah (wilayah) Kabupaten Tapanuli Tengah adalah hak ulayat Tanah
Sosar Godang, Andam Dewi, Manduamas dan Sirandorung dan 56
Desa/Kelurahan.
6. Kabupaten Humbang Hasundutan ibukotany Dolok Sanggul yang terdiri
dari 3 Kecamatan, yaitu Kecamatan Pakkat, Parlilitan, dan Kecamatan Tara
Bintang dan masih termasuk kedalam Suak Kelasen. Luas wilayah yang
menjadi wilayah persebaran masyarakat Pakpak keseluruhan adalah
8.331,12 km2 yang terdiri dari 52 Kecamatan dan 471 Desa/Kelurahan.
2.2 Lokasi Penelitian
Adapun lokasi penelitian yang penulis ambil berlokasi di Desa Sukaramai,
Kecamatan Kerajaan, Kabupaten Pakpak Bharat dimana daerah ini merupakan
salah satu daerah atau wilayah bermukimnya suku Pakpak yang disebut dengan
Suak Simsim dan sebagian daerah keppas. Luas Wilayah Kabupaten Pakpak
Bharat adalah 121.830 Ha. (1.218,30 Km2), terletak di wilayah pantai barat
Sumatera Utara yaitu pada 2.000 – 3.000 Lintang Utara dan 96.000 – 98.000
Bujur Timur dengan ketinggian berkisar antara 250 – 1.400 meter di atas
permukaan laut. Kabupaten pakpak Bharat terbentuk dari dari hasil pemekaran
dari Kabupaten Dairi. Secara administratif Kabupaten Pakpak Bharat terdiri dari
52 Desa dalam 8 (delapan) Kecamatan Kabupaten Pakpak Bharat adalah :
1) Kecamatan Salak, 2) Sitellu Tarli Urang Jehe, 3) Pangindar, 4) Sitellu
Tali Urang Julu, 5) Pargeteng-geteng Sengkut, 6) Kerajaan, 7) Tinada, dan
Adapun batas wilayah Kabupaten Pakpak Bharat adalah sebagai berikut:
Sebelah timur berbatasan dengan : Kecamatan Parbuluan Kabupaten
Dairi dan Harian Kabupaten Samosir.
Sebelah barat berbatasan dengan : Kabupaten Aceh Singkil Propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam.
Sebelah utara berbatasan dengan : Kecamatan Silima Pungga-Pungga,
Kecamatan Lae Parira, Kecamatan Sidikalang Kabupaten Dairi.
Sebalah selatan berbatasan dengan : Kecamatan Tara Bintang
Kabupaten Humbang Hasundutan dan Kecamatan Manduamas
Kabupaten Tapanuli Tengah.
Adapun batas-batas wilayah dari desa sukaramai adalah :
Sebelah timur berbatasan dengan : Desa Kuta Saga.
Sebelah barat berbatasan dengan : Desa Surung Mersada.
Sebelah selatan berbatasan dengan : Desa Pardomuan.
Sebelah utara berbatasan dengan : Desa Kuta Meriah.
2.3 Sistem Mata Pencaharian
Mata pencaharian masyarakat Pakpak khusunya yang berada di wilayah
Kabupaten Pakpak Bharat sangat beragam, disesuaikan dengan keahlian pribadi
yang dimiliki oleh seseorang, dan tidak terbatas pada satu bidang saja. Banyak
warga Pakpak yang bekerja sebagai pedagang, petani, PNS (pegawai negeri sipil),
guru, pegawai swasta, dan lain-lain. Dari hasil wawancara dengan beberapa
yang berdomisili di wilayah kabupaten Pakpak Bharat adalah bercocok tanam.
Kopi, padi, tanaman palawija, durian dan jeruk. Menurut penuturan beliau,
banyak diantara pegawai negeri sipil maupun pegawai swasta menekuni pekerjaan
bercocok tanam selain dari pekerjaan utamanya. Begitu juga dengan para
pedagang maupun pengusaha kecil memiliki ladang bercocok tanam serta
menekuni kegiatan tersebut sebagai penopang hidup.
2.4 Sistem Kepercayaan dan Religi
Sebelum agama Islam dan Kristen masuk ke wilayah Pakpak, masyarakat
setempat menganut kepercayaan yang disebut persilihi atau perbegu. Persilihi
atau perbegu ini ialah suatu kepercayaan yang meyakini bahwa alam ini berada
dibawah kuasa pengaruh roh-roh gaib atau dengan adanya Dewa-Dewa maupun
roh-roh nenek moyang yang dikultuskan (lihat, Naiborhu, 1988 : 22-26).
2.4.1 Kepercayaan Terhadap Dewa-Dewa
Sebelum agama masuk ke lingkungan masyarakat Pakpak,masyarakat
mempercayai kekuatan alam gaib dan percaya bahwa alam adalah sumber
kehidupan. Masyarakat pakpak percaya terhadap Debata Guru/Batara Guru yang
dikatakan dalam bahasa Pakpak Sitempa/Sinembe nasa si lot yang artinya maha
pencipta segala sesuatu yang ada di bumi ini yang diklasifikasikan
Debata Guru/ Batara Guru menjadikan wakilnya untuk menjaga dan
melindungi, yaitu :
1) Beraspati Tanoh.
Diberi simbol dengan menggambar cecak yang berfungsi melindungi segala
tumbuh-tumbuhan. Jadi, jika seorang orang tua menebang pohon bambu, kayu
atau tumbuhan lainnya, maka ia harus meminta izin kepada Beraspati Tanoh.
2) Tunggung Ni Kuta
Tunggung Ni Kuta diyakini memiliki peranan untuk menjaga dan melindungi
kampung atau desa serta manusia sebagai penghuninya. Oleh karena hal tersebut,
maka tunggung ni kuta memberikan kepada manusia beberapa benda yaitu
sebagai berikut :
a. Lapihen, terbuat dari kulit kayu yang didalamnya terdapat tulisan-tulisan
yang berbentuk mantra atapun ramuan obat-obatan serta ramalan-ramalan.
b. naring, wadah yang berisi ramuan sebagai pelindung kampung. Apabila
satu kampung akan mendapat ancaman, maka naring akan memberikan
pertanda berupa suara gemuruh ataupun siulan.
c. Pengulu balang, sejenis patung yang terbuat dari batu yang memiliki fungsi
untuk memberikan sinyal atau tanda berupa gemuruh sebagai pertanda
gangguan, bala, musuh, atau penyakit bagi masyarakat suatu desa.
d. Sibiangsa, yaitu wadah berbentuk guci yang diisi ramuan yang ditanam di
e. Sembahen Ni Ladang, yaitu roh halus dan penguasa alam sekitarnya yang
diyakini dapat menggangu kehidupan dan sekaligus dapat melindungi
kehidupan manusia apabila diberi sesajen.
f. Tali Solang, yaitu tali yang disimpul di ujungnya, mempunyai kepala ular
yang digunakan untuk menjerat musuh.
g. Tongket Balekat, yaitu terbuat dari kayu dan hati ular yang berukuran lebih
kurang satu meter yang diukir dengan ukiran Pakpak dan dipergunakan
untuk menerangi jalan.
h. Kahal-kahal, yaitu menyerupai telapak kaki manusia untuk melawan
musuh.
i. Mbarla, yaitu roh yang berfungsi untuk menjaga ikan di laut, sungai dan
danau.
j. Sineang Naga Lae, yaitu roh yang menguasai laut, danau dan air.
2.4.2 Kepercayaan Terhadap Roh-Roh
Kepercayaan terhadap roh-roh, yang meliputi :
a. Sumangan, yaitu tendi (roh) orang yang sudah meniggal mempunyai
kekuatan yang menentukan wujud dan hidup seseorang yang dikenang.
b. Hiang, yaitu kekuatan gaib yang dibagikan kepada saudara secara turun
c. Begu Mate Mi Lae atau disebut juga dengan begu Sinambela, yaitu roh
orang yang sudah meninggal diakibatkan karena hanyut di sungai.
d. Begu Laus, yaitu sejenis roh yang menyakiti orang yang datang dari
tempat lain serta dapat membuat orang menjadi sakit secara tiba-tiba.
Kepercayaan- kepercayaan diatas sudah jarang dilaksanakan oleh
masyarakat Pakpak khususnya yang berada di wilayah Kecamatan kerajaan
sejak masuknya agama di daerah tersebut.
Masyarakat Pakpak di daerah ini sebagian besar sudah memeluk agama yang
tetap, yaitu agama yang sudah diakuai oleh pemerintah. Sebagian besar
masyarakat yang ada di daerah ini beragama Islam, Kristen dan sebagian kecil
beragama Katolik.
2.5 Sistem Kekerabatan
Masyarakat Pakpak sejak dahulu kala sudah ada ikatan yang mengatur tata
krama dan sopan santun dalam kehidupan sehari-hari dan ditaati oleh masyarakat
itu sendiri. Sistem tersebut selalu ada dan diterapkan dalam upacara-upacara adat
termasuk juga dalam upacara kematian (kerja njahat). Sistem tersebut yaitu:
2.5.1 Sulang Silima
Sulang silima adalah lima kelompok kekerabatan yang terdiri dari
berru. Sulang silima ini berkaitan dengan pembagian sulang/jambar dari
daging-daging tertentu dari seekor hewan seperti kerbau, lembu atau babi yang
disembelih dalam konteks upacara adat masyarakat Pakpak. Pembagian
daging/jambar ini disesuaikan dengan hubungan kekerabatannya dengan pihak
kesukuten atau yang melaksanakan upacara. Dalam adat masyarakat Pakpak,
kelima kelompok tersebut masing-masing mempunyai tugas dan tanggung jawab
yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain dalam acara adat.
a. kula-kula
kula-kula merupakan salah satu unsur yang paling penting dalam sistem
kekerabatan pada masyarakat Pakpak. kula-kula adalah kelompok/pihak
pemberi istri dalam sistem kekerabatan masyarakat Pakpak dan merupakan
kelompok yang sangat dihormati dan dianggap sebagai pemberi berkat oleh
masyarakat. Dengan demikian, kula-kula juga disebut dengan istilah Debata Ni
Idah (Tuhan yang dilihat). Oleh karena itu, pihak kula-kula ini haruslah dihormati.
Sikap menentang kula-kula sangat tidak dianjurkan dalam kebudayaan Pakpak.
Dalam acara-acara adat, kelompok kula-kula diwajibkan untuk hadir, termasuk
juga dalam adat kematian dan mendapat peran yang penting.
b. Dengan sebeltek/Senina
Dengan sebeltek/senina adalah mereka yang mempunyai hubungan tali
persaudaraan yang mempunyai marga yang sama. Mereka adalah orang-orang
yang satu kata dalam permusyawaratan adat. Selain itu, dalam sebuah upacara
adat ada kelompok yang dianggap dekat dengan sebeltek, yaitu senina. Dalam
acara tersebut. Secara umum, hubungan senina ini dapat disebabkan karena
adanya hubungan pertalian darah, se subklen/semarga, memiliki ibu yang
bersaudara, memiliki istri yang bersaudara dan memiliki suami yang bersaudara.
c. Anak beru
Anak beru artinya anak perempuan yang disebut dengan kelompok pengambil
anak dara dalam sebuah acara adat, anak berru lah yang bertanggung jawab atas
acara adat tersebut. Tugas anak berru adalah sebagai pekerja, penanggung jawab
dan pembawa acara pada sebuah acara adat.
Sedangkan situaan adalah anak yang paling tua, siditengah adalah anak tengah
dan siampun-ampun adalah anak yang paling kecil. Mereka adalah pihak yang
mempunyai ikatan persaudaraan yang terdapat dalam sebuah ikatan keluarga.
Kelima kelompok diatas mempunyai pembagian sulang (jambar) yang
berbeda, yaitu sebagai berikut :
1) Kula-kula (pihak pemberi istri dari keluarga yang berpesta) akan
mendapat sulang per-punca naidep. Situaan (orang tertua yang
menjadi tuan rumah sebuah pesta akan mendapat sulang
per-isang-isang).
2) Siditengah (keluarga besar dari keturunan anak tengah) akan
mendapat sulang per-tulantengah.
3) Siampun-ampun (keturunan paling bungsu dalam satu keluarga)
akan mendapat sulang per-ekur-ekur.
4) Anak beru (pihak yang mengambil anak gadis dari keluarga yang
Biasanya penerimaan perjambaren anak beru disertai dengan takal
peggu. Yang artinya mempunyai tugas dan tanggung jawab yang
besar terhadap berjalannya pesta. Anak beru lah yang bertugas
menyiapkan makanan serta menghidangkan selama pesta
berlangsung.
2.6 Bahasa
Pada umumnya, bahasa yang dipakai oleh masyarakat di Kecamatan
Kerajaan adalah bahasa Pakpak karena mayoritas penduduk disana adalah suku
Pakpak. Hal ini menyebabkan kehidupan sehari- hari penduduk disana
menggunakan bahasa Pakpak begitu juga dalam acara adat.
Terdapat juga sebagian kecil suku lain seperti suku Toba, Karo, Nias dan
Jawa yang datang kedaerah Kecamatan Kerajaan, tetapi setelah tinggal beberapa
lama disana, masayarakat dari suku-suku tersebut diatas sudah mengerti dan fasih
menggunakan bahasa Pakpak. Selain bahasa Pakpak, bahasa yang digunakan
dalam komunikasi sehari-hari adalah bahasa Indonesia yang digunakan di
tempat-tempat umum, seperti sekolah, puskesmas dan kantor Kelurahan.
Ada beberapa jenis gaya bahasa yang digunakan dalam kehidupan
masyarakat Pakpak, yaitu :
1. Rana telangke yaitu kata-kata perantara atau kata-kata tertentu untuk
2. Rana tangis yaitu gaya bahasa yang dituturkan dengan cara menangis atau
bahasa yang digunakan untuk menangisi sesuatu dengan teknik bernyanyi
(narrative songs atau lamenta dalam istilah etnomusikologi) yang disebut
tangis mangaliangi (bahasa tutur tangis)
3. Rana mertendung yaitu gaya bahasa yang digunakan dihutan,
4. Rana nggane yaitu bahasa terlarang, tidak boleh diucapkan di
tengah-tengah kampung karena dianggap tidak sopan
5. Rebun (rana tabas atau mangmang) yaitu bahasa pertapa datu atau bahasa
mantera oleh guru (Naiborhu, 2002:51).
2.7 Kesenian
2.7.1 Seni Musik
Masyarakat Pakpak membagi alat musiknya berdasarkan bentuk
penyajiannya dan cara memainkannya. Berdasarkan cara memainkannya,
instrumen musik tersebut dibagi atas dua kelompok, yaitu gotchi dan
oning-oningen.
Sedangkan berdasarkan cara memainkannya, instrument musik tersebut
terbagi menjadi beberapa kelompok, yaitu : sipaluun (alat musik yang dimainkan
dengan cara dipukul), sisempulen (alat musik yang dimainkan dengan cara ditiup)
dan sipiltiken (alat musik yang dimainkan dengan cara dipetik). Istilah gotchi dan
Menurut wawancara dengan beberapa pemusik tradisi Pakpak sekarang
menyebutkan bahwa gotchi adalah istilah untuk beberapa ensambel seperti :
ensambel genderang sisibah, genderang sipitu-pitu, genderang silima,
gendangmsidua-dua, gerantung, mbotul dan gung. Sedangkan istilah
oning-oningen digunakan untuk ensambel yang terdiri dari gendang sitelu-telu, gung
sada rabaan, lobat (aerophone), kalondang (xylophone), dan kucapi
(chordophone), yang pada penggunaannya di gunakan untuk upacara mbaik
seperti upacara pernikahan (merbayo).
1. Instrumen Musik Berdasarkan Bentuk penyajian
Gotchi adalah isntrumen musik yang disajikan dalam bentuk seperangkat
(ensambel) yang terdiri dari : ensambel genderang sisibah, genderang sipitu-pitu,
genderang silima, gendang sidua-dua, gerantung, mbotul dan oning-oningen.
Genderang si sibah (drum-chime) merupakan salah satu alat musik tradisional masyarakat suku Pakpak yang juga merupakan bagian dari kelompok
gotci. Dikatakan genderang si sibah karena alat musik ini terdiri atas sembilan
buah gendang satu sisi yang diletakkan dalam satu rak yang dipukul dengan
menggunakan stik (pemukul). Genderang si sibah ialah seperangkat gendang satu
sisi yang berbentuk konis (single headed conical nine drums). Genderang ini
dipakai untuk mengiringi upacara-upacara adat yang ada di Pakpak, melus bulung
bulu, melus bulung sempula, dan melus bulung simbernaik. Didalam ensambel ini
juga terdapat alat musik kalondang (xylophone), lobat (aerofon, recorder), kecapi
dan gong. Disamping alat musik tersebut juga ada ensambel musik genderang si
pitu, yang terdiri dari 7 buah gendang (drum set) yang diletakkan pada satu rak.
vokal dengan pukulan gendang yang variatif. Sejauh ini tradisi musik Pakpak
belum banyak mengalami perubahan.
Masing-masing nama dari kesembilan gendang ini dari ukuran terbesar
sampai ukuran terkeci adalah sebagai berikut :
Gendang 1, Si Raja Gumeruhguh (suara bergemuruh) atau disebut
juga sebagai gendang induk (menginang-inangi/mengindungi)
Gendang 2, Si Raja Dumerendeng atau Si Raja Manjujuri dengan
pola ritmis menjujuri atau mendonggildonggili (mengagungkan,
mentakbiri, menghantarkan)
Gendang 3-7, Si Raja Menak-menak dengan pola ritmis benna
kayu yang merupakan pembawa melodi (menenangkan,
menenteramkan)
Gendang 8, Si Raja Kumerincing dengan pola ritmis menehtehi
(menyeimbangkan)
Gendang 9, Si Raja Mangampuh dengan pola ritmis
menganak-anaki atau tabil sondat (menghalang-halangi). Namun terdapat
juga nama lain dari instrumen ini dalam bentuk kelompok
permainannya, yaitu untuk gendang 1 dan 2 disebut
menginang-inangi (induk); untuk gendang 2 sampai 7 disebut benna kayu
(pembawa lagu); dan gendang 7 sampai 9 disebut manganaki
(anak).9
Dalam bentuk seperangkat, kesembilan gendang ini dimainkan bersamaan
dengan gung sada rabaan (seperangkat gung yang terdiri dari empat buah, yaitu
9
panggora (penyeru), poi (yang menyahut), tapudep (pemberi semangat) dan
pong-pong (yang menetapakan). Instrumen lain yang digunakan adalah sarune
(double reed oboe) dan cilat-cilat (simbal concussion). Dalam penyajiannya,
ansambel ini hanya dipakai pada jenis upacara suka cita (kerja mbaik) saja pada
tingkatan upacara terbesar atau tertinggi saja.
Gambar 1 : Genderang Sisibah (Dokumentasi Pribadi Tahun 2011) Keterangan : Nomor pada penjelasan diambil dari genderang terbesar
sampai terkecil seperti pada gambar.
Selanjutnya adalah ensambel genderang sipitu-pitu. Ensambel ini terdiri
dari 7 buah gendang konis yang berasal dari genderang sisibah. Ketujuh gendang
dari urutan I sampai VII. Instrumen lainnya yang terdapat dalam ensambel ini
adalah gung sada rabaan, Sarune, dan cilat-cilat sebagaimana yang terdapat
dalam genderang sisibah. Ensambel ini biasanya digunakan untuk kerja mbaik
dalam tingakatan tertentu saja.
Selanjutnya adalah ensambel genderang Si lima yaittu seperangkat
gendang satu sisi berbentuk konis yang terdiri dari lima buah gendang. Kelima
gendang ini berasal dari genderang sisibah dengan hanya menggunakan gendang
pada bilangan ganjil saja diurut dari gendang terbesar, yaitu gendang I, III, V, VII
dan IX. Fungsi dari kelima gendang tersebut sama dengan fungsinya
masing-masing seperti pada genderang sisibah. Instrumen lainnya yang terdapat dalam
ensambel ini adalah gung sada rabaan, Sarune, dan cilat-cilat sebagaimana yang
terdapat dalam genderang sisibah. Ensambel ini digunakan pada upacara dukacita
(kerja njahat) saja, seperti upacara kematian, mengongkal tulan (mengangkat
tulang-tulang) pada tingkatan upacara terbesar dan tertinggi secara adat.
Selanjutnya terdapat ensambel gendang sidua-dua. Ensambel gendang ini
terdiri dari sepasang gendang dua sisi berbentuk barrel (double head two barrel
drums). Kedua gendang ini terdiri dari gendang inangna (gendang induk, gendang
ibu) yaitu gendang yang terbesar dan gendang anakna (gendang anak, jantan)
yaitu gendang terkecil. Instrumen lain yang terdapat dalam instrument ini adalah
empat buah gong (gung sada rabaan) dan sepasang cilat-cilat (simbal).
Ensambel ini biasanya digunakan untuk upacara ritual, seperti mengusir
roh penunggu di hutan sebelum diolah menjadi lahan pertanian (mendeger uruk)
Kemudian ensambel musik mbotul adalah seperangkat alat musik gong
(idiophones) berpencu yang terdiri dari 5, 7, atau 9 buah gong. Disusun berbaris
diatas rak seperti kenong pada tradisi gamelan Jawa. Dalam penggunaannya,
instrumen ini berperan sebagai pembawa melodi dan secara ensambel dimainkan
bersama-sama dengan gung sada rabaan.
Selanjutnya adalah ensambel oning-oningen. Ensambel ini terdiri dari
gendang sitelu-telu(membranophone single head), gung sada rabaan, lobat
(aerophone), kalondang (xylophone), dan kucapi (chordophone). Ensambel ini
digunakan pada upacara suka cita (kerja mbaik) seperti upacara penikahan
(merbayo) dan untuk mengiringi tarian (tatak).
b. Instrumen Musik Berdasarkan Cara memainkannya.
1. Sipaluun: Genderang, kalondang, gung, cilat-cilat, ketuk, mbotul,
deng-deng, doal, gerantung, gendang si dua-dua.
2. Sisempulen: Sarune, lobat, sordam
3. Sipiltiken: Kucapi
2.7.2 Seni Suara
Masyarakat Pakpak memiliki beberapa jenis seni suara ataupun nyanyian.
Nyanyian yang dimaksud adalah musik vokal. Masyarakat Pakpak memberi nama
ende-ende (baca :nde-nde) terhadap semua musik vokalnya. Ada beberapa jenis
musik vokal yang terdapat pada masyarakat Pakpak yang dibedakan berdasarkan
(i) tangis milangi atau disebut juga tangis-tangis adalah kategori nyanyian
ratapan (lamenta) yang disajikan dengan gaya menangis. Disebut tangis milangi
karena hal-hal mengharukan yang terdapat didalam hati penyajinya akan
ditutur-tuturkan (dalam bahasa Pakpak: ibilangbilangken, milangi) dengan gaya
menangis (Pakpak : Tangis). Ada beberapa jenis tangis milangi yang terdapat
pada masyarakat Pakpak, yaitu sebagai berikut.
a. tangis si jahe adalah jenis nyanyian yang disajikan oleh gadis (female
song) menjelang pernikannya. Teks nyanyian ini berisi tentang ungkapan
kesedihannya karena akan meninggalkan keluarganya dan memasuki
lingkungan keluarganya. Nyanyian ini ditujukan supaya orang yang
mendengar merasa iba dan memberi petuah-petuah tentang hidup berumah
tangga. Nyanyian ini disajikan dalam bentuk melodi yang berubah-ubah
(repetitif) dengan teks yang berubah-ubah.
Tangis beru si jahe hanya dinyanyikan oleh perempuan. Tangis
beru si jahe disajikan dan ditujukan kepada orangtua beru si jahe, kerabat
terdekat dengan cara mendatangi rumah mereka masing-masing. Selain
itu, orang-orang yang didatangi oleh beru sijahe tersebut akan memberi
dia makan (nakan pengindo tangis) dimana tinggi rendahnya status sosial
adat beru si jahe tersebut ditentukan berdasarkan banyaknya jumlah
kepala ayam yang nantinya akan dibawa menuju tempat mertuanya.
Semakin banyak kepala ayam yang diterima oleh beru si jahe, maka akan