EKONOMI KELUARGA DI DAERAH
PERDESAAN PROVINSI JAMBI
SU AN DI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Modal Sosial dan
Kesejahteraan Ekonomi Keluarga di Daerah Perdesaan Provinsi Jambi” adalah karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, September 2007
SUANDI. Modal Sosial dan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga di Daerah Perdesaan Provinsi Jambi. Dibimbing oleh UJANG SUMARWAN, SUPRIHATIN GUHARDJA, PANG S. ASNGARI, dan EUIS SUNARTI.
Teknologi, sumberdaya alam dan sumberdaya manusia merupakan faktor penting dalam menentukan kapasitas masyarakat untuk menghasilkan suatu produk. Namun demikian, faktor produksi tersebut belum mampu melihat tingkat interdependensi antar individu dalam masyarakat kalau tidak didukung oleh faktor institusi dan nilai yang berlaku di masyarakat. Pengalaman selama ini, setiap peningkatan kesejahteraan, masyarakat dianggap sebagai “mesin rusak,” dan pengetahuan yang ada digunakan untuk memperbaiki “mesin” tersebut. Disamping itu, determinan kesejahteraan (well-being) hanya terbatas pada faktor fisik (alam, ekonomi, dan sumberdaya manusia), dan sedikit sekali melihat kesejahteraan dalam konteks modal sosial. Padahal modal sosial merupakan sumberdaya terpenting dalam kehidupan masyarakat karena modal ini merupakan jaringan/hubungan keluarga terhadap dunia luar baik bersifat formal maupun informal untuk memecahkan berbagai persoalan yang ada di masyarakat termasuk masalah peningkatan kesejahteraan keluarga.
Penduduk Provinsi Jambi, seperti penduduk lainnya di Indonesia, mengelompok sesuai dengan ciri yang dianut masyarakat, seperti: pola penguasaan lahan, karakteristik sosio-budaya, dan etnisitas sehingga dapat berpengaruh terhadap income inequality. Melihat adanya perbedaan pengelompokan masyarakat di Provinsi Jambi, tingkat kesejahteraan yang diharapkan memiliki nilai tersendiri dan peran modal sosial dalam arti jalinan jaringan kerja baik secara formal maupun info rmal satu dengan lainnya adalah cukup penting. Hingga saat ini, penelitian dan pengembangan konsep modal sosial dan perannya dalam pembangunan, terutama kaitannya dengan kesejahteraan masyarakat di Indonesia masih belum banyak dilakukan.
sampling. Data dianalisis melalui model Structural Equation Modelling (SEM) dengan program LISREL (versi 8.7).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga (objektif dan subjektif) di daerah penelitian tergolong sejahtera. Kesejahteraan ekonomi objektif keluarga secara positif dipengaruhi oleh faktor manajemen keuangan, tingkat partisipasi keluarga dalam asosiasi lokal, manfaat asosiasi bagi keluarga dan faktor tingkat keterpercayaan masyarakat. Distribusi tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga (objektif dan subjektif) di daerah penelitian relatif merata. Tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga di wilayah pegunungan lebih merata dibandingkan dengan tingkat kesejahteraan di wilayah pesisir pantai. Pengujian melalui model SEM, ternyata laten variabel modal sosial (asosiasi lokal dan karakter masyarakat) baik secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh positif sangat nyata terhadap tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga. Artinya, semakin tinggi tingkat modal sosial yang dimiliki oleh keluarga maka tingkat kesejahteraan mereka semakin baik.
Peran modal sosial terhadap peningkatan kesejahteraan ekonomi keluarga dapat dilihat dari berbagai bentuk, yakni: (1) Menurut mekanisme. Oleh karena modal sosial bukan merupakan kapital yang dapat me ntransformasi langsung terhadap suatu hasil yang diharapkan maka ia dapat dikatakan produktif atau berperan dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarga harus melalui berbagai mekanisme. Sesuai dengan manfaat dan akses dari modal sosial yang diharapkan masyarakat sehingga efek modal sosial yang dapat mempengaruhi penghasilan dan kesejahteraan ekonomi keluarga yaitu melalui tiga mekanisme, yakni: sharing informasi diantara anggota kelompok, sistem kerja bersama atau gotong royong (collective action) baik untuk kegiatan produktif maupun kegiatan sosial, dan pengambilan keputusan bersama (musyawarah). (2) Menurut tipe interaksi sosial. Besar kecilnya pengaruh modal sosial terhadap peningkatan kesejahteraan ekonomi keluarga sangat ditentukan oleh tipe interaksi sosial yang berkembang atau yang diikuti oleh anggota keluarga, seperti: interaksi sosial melalui kekerabatan keluarga( bonding), melalui kolega atau teman ( bridging) dan interaksi sosial melalui lembaga atau institusi formal (lingking). (3) Menurut dimensi modal sosial. Sesuai dengan konsep yang dikembang dalam penelitian ini dan didukung oleh sosial budaya masyarakat maka dimens i modal sosial yang digunakan yaitu terdiri dari dua dimensi besar yang saling berhubungan secara kausalitas, yakni: asosiasi lokal dan dimensi karakter. Dimensi asosiasi lokal dilihat dari aspek: jumlah asosiasi yang diikuti, tingkat partisipasi, dan manfaat asosiasi, sedangkan dimensi karakter, terdiri dari: keterpercayaan, solidaritas, dan dimensi semangat kerja. Peran lain dari modal sosial yaitu memfasilitasi berbagai akses di masyarakat, seperti: suplai air dan irigasi, kredit, dan akses dalam mendapatkan input pertanian/teknologi. Oleh karena itu, penguatan modal sosial sangat tepat dalam pemberdayaan masyarakat perdesaan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarga.
Kata-kata kunci: kesejahteraan ekonomi keluarga, disparitas, modal sosial, dan
ABSTRACT
SUANDI. Social capital and family economic well-being in rural area of Jambi Province. Under the direction of UJANG SUMARWAN, SUPRIHATIN GUHARDJA, PANG S. ASNGARI, and EUIS SUNARTI.
The objectives of this study are: (1) to analyze the family economic well-being, (2) to analyze factors effect on family economic well-well-being, and (3) to comprehend and analyze disparities of family economic well-being, (4) to explore the effect of social capital variables on family objective and subjective economic well-being, and (5) to develop the community development model in rural area of Jambi Province. The research design is cross sectional and was carried out in Kerinci and East Tanjung Jabung districts from January to August 2006. Variables used are socio-demography, family resource management, social capital, and family economic well-being both objective and subjective economic well-being. 325 household samples are chosen using cluster, purposive and random sampling methods. Data were collected using survay, indepth interview, and Focus Group Discussion (FGD). Descriptive, regression analyze, and Structural Equation Modeling (SEM) models were used for data analyzed. The results show that family economic being consisted of objective and subjective economic well-being are not poor. Management of family livelihood, participation of family in local asociation, using of asociation in family, and trust factors have positive effect on family objective economic well-being. Family economic well-being consisted of objective and subjective economic well-being are equal (no disparities) among family in the research area. Family economic well-being in mountainous area, however, is better than compared to the family in coastal area. Finally, social capital (asociation and people character) both directly and indirectly has a significant effect on family economic well-being in mountainous area. The research finding also showed that there was no significant effect of social capital on family economic well-being in coastal area. The role s of social capital in generating family economic well-being are created through: (1) sharing informations, (2) asociation activities, and (3) collective actions. Besides, the social capital also give access to: (1) irrigation for farming and water supply for household needs, (2) credit for agriculture activities, and (3) agricultural input and technology for farmers. The research come to the conclusion that strengthening social capital is very important in community development to increase family economic well-being in rural area.
©
Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor (IPB), tahun 2007
Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
EKONOMI KELUARGA DI DAERAH
PERDESAAN PROVINSI JAMBI
SU AN DI
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc.
Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka: 1. Makmur Sunusi, Ph.D.
Judul Disertasi : Modal Sosial dan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga Di Daerah Perdesaan Provinsi Jambi
N a m a : Suandi
NRP. : A561020061
Program Studi : Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Ujang Sumarwa n, M.Sc Dr. Ir. Suprihatin Guhardja, MS
Ketua Anggota
Prof. Dr. Pang S. Asngari Dr. Ir. Euis Sunarti, MS
Anggota Anggota
Diketahui
Koordinator Phasing Out Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Program Studi GMK
Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodipuro, MS
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Adapun judul
karya ilmiah ini adalah “Modal Sosial dan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga di Daerah Perdesaan Provinsi Jambi. ” Karya ilmiah ini dibuat sebagai syarat guna
penyelesaian studi Program Doktor (S3) pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga (GMK).
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Ujang Sumarwan, M.Sc.,
selaku ketua komisi pembimbing, dan Dr. Ir. Suprihatin Guhardja, MS.,
Prof. Dr. Pang S. Asngari, serta Dr. Ir. Euis Sunarti, MS., masing- masing sebagai
anggota komisi pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dalam memberikan saran dan masukan guna penyempurnaan karya ilmiah ini.
Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ali Khomsan
selaku ketua Progam Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga (GMK)
Sekolah Pascasarjana IPB yang telah banyak membantu kelancaran studi penulis.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua orang tua dan mertua, isteri dan anak-anak serta keluarga lainnya atas segala doa dan dukungannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat, Amien!
Bogor, September 2007
Penulis dilahirkan di Jujun Kerinci pada tanggal 01 Nopember 1963 sebagai
anak kedua dari pasangan Bapak Sulaiman Taher dan Ibu Siti Aman. Pendidikan
sarjana ditempuh di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas
Jambi, lulus pada tahun 1988. Pada tahun 1993, penulis diterima di Program Studi
Kependudukan pada Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) dan
menamatkannya pada tahun 1996. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor
pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga (GMK) diperoleh
pada tahun 2002. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Ditjen DIKTI
Departemen Pendidikan Nasional.
Penulis bekerja sebagai dosen tetap pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian,
Fakultas Pertanian Universitas Jambi dari tahun 1989 sampai sekarang. Bidang
keahlian yang menjadi tanggung jawab penulis pa da Jurusan Sosial Ekonomi
Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Jambi ialah bidang Ekonomi Sumberdaya
Manusia dan Kesejahteraan Keluarga.
Selama bekerja sebagai dosen tetap pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian
Fakultas Pertanian Universitas Jambi, pe nulis pernah dipercaya memangku jabatan
sebagai Ketua Program Studi Agribisnis pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian
Fakultas Pertanian Universitas Jambi periode 2001-2004 dan pada periode yang sama
sebagai Anggota Se nat Fakultas Pertanian Universitas Jambi.
Publikasi buku yang dihasilkan penulis selama bekerja sebagai dosen pada
Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Jambi, adalah: (1)
Profil Statistik dan Indikator Gender Provinsi Jambi, (2) Kebijakan Pembangunan
Pendidikan di Provinsi Jambi Berbasis Gender, dan (3) Aplikasi Stuctural Equation
Modeling (SEM) dalam Penelitian Keluarga. Publikasi ilmiah yang telah diterbitkan
selama tiga tahun terakhir, adalah: (1) Kondisi Sosio-demografi dan Kemiskinan di
Perdesaan Provinsi Jambi, (2) Hubungan Pekerja Anak terhadap Sosial Ekonomi
Rumahtangga di Kota Jambi, dan (3) Pengaruh Modal Sosial terhadap Kesejahteraan
Ekonomi Keluarga di Daerah Perdesaan Provinsi Jambi. Publikasi ilmiah penulis
Halaman
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Masalah Masalah ... 5
Tujuan Penelitian ... 7
Kegunaan Penelitian ... 7
Keterbatasan Penelitian ... 8
Pembaruan Penelitian ... 8
TINJAUAN PUSTAKA ... 9
Kesejahteraan ekonomi keluarga ... 9
Keterkaitan Institusi Keluarga dengan Sistem Kesejahteraan di Daerah Perdesaan ... 13
Persepsi Kesejahteraan ekonomi keluarga ... 16
Kesejahteraan Ekonomi Subjektif ... 18
Konsep Modal Sosial ... 21
Perkembangan Penelitian tentang Modal Sosial ... 25
Beberapa Dimensi dan Tingkat Hubungan Modal Sosial ... 27
Interaksi Sosial Kehidupan Masyarakat ... 28
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENELITIAN... 32
Kerangka Berpikir ... 32
Hipotesis Penelitian ... 34
METODE PENELITIAN ... 35
Desain, dan Lokasi Penelitian ... 35
Sumber, Jenis, dan Metode Pengumpulan Data ... 36
Waktu Pengumpulan Data Penelitian ... 37
Halaman
Analisis Data ... 42
Uji Reliabilitas ... 57
Definisi Operasional ... 59
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 62
Gambaran Umum Daerah Penelitian ... 63
Karakteristik Keluarga Contoh ... 72
ARTIKEL I: PENGARUH FAKTOR SOSIO-DEMOGRAFI, MANAJEMEN SUMBERDAYA DAN MODAL SOSIAL TERHADAP KESEJAHTERAAN EKONOMI OBJEKTIF KELUARGA BERDASARKAN WILAYAH AGROEKOLOGI ... 86
ABSTRAK ... 86
ABSTRACT ... 87
PENDAHULUAN ... 88
METODE PENELITIAN ... 90
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 93
Sosio Demografi Keluarga ... 93
Manajemen Sumberdaya Keluarga... 101
Modal Sosial ... 111
Kesejahteraan Ekonomi Keluarga ... 121
Kesejahteraan Ekonomi Objektif ... 122
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kesejahteraan Ekonomi Objektif ... 125
Disparitas Pengeluaran Keluarga ... 127
KESIMPULAN DAN SARAN ... 130
Kesimpulan ... 130
Saran ... 131
ARTIKEL II: PENGARUH FAKTOR SOSIO-DEMOGRAFI, MANAJEMEN SUMBERDAYA DAN MODAL SOSIAL TERHADAP
KESEJAHTERAAN EKONOMI SUBJEKTIF KELUARGA DI
PERDESAAN PROVINSI JAMBI ... 133
ABSTRAK ... 133
ABSTRACT ... 134
PENDAHULUAN ... 135
METODE PENELITIAN ... 136
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 139
Sosio Demografi Keluarga ... 139
Manajemen Sumberdaya Keluarga... 142
Modal Sosial ... 145
Kesejahteraan Ekonomi Subjektif ... 151
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kesejahteraan Ekonomi Subjektif ... 158
Disparitas Kesejahteraan Ekonomi Subjektif ... 160
KESIMPULAN DAN SARAN ... 162
Kesimpulan ... 162
Saran ... 163
DAFTAR PUSTAKA ... 164
ARTIKEL III: PENGARUH MODAL SOSIAL TERHADAP KESEJAHTERAAN EKONOMI KELUARGA DI WILAYAH PERDESAAN PROVINSI JAMBI ... 166
ABSTRAK ... 166 ABSTRACT ... 167 PENDAHULUAN ... 168 METODE PENELITIAN ... 169
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 172
Modal Sosial ... 172
Asosiasi Lokal ... 172
Karakter Masyarakat ... 185
Kesejahteraan Ekonomi Objektif ... 195
Kesejahteraan Ekonomi Subjektif ... 199
Modal Sosial dan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga ... 207
Model Pemberdayaan Masyarakat di Wilayah Perdesaan ... 216
KESIMPULAN DAN SARAN ... 219
Kesimpulan ... 219
Saran ... 220
DAFTAR PUSTAKA ... 220
PEMBAHASAN UMUM ... 223
Modal Sosial dan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga ... 223
Peran Modal Sosial terhadap Kesejahteraan Ekonomi Keluarga ... 227
Implikasi Penelitian Keterkaitan Modal Sosial dengan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga ... 237
Model Pemberdayaan Masyarakat di Daerah Perdesaan ... 238
KESIMPULAN DAN SARAN ... 241
Kesimpulan ... 241
Saran ... 243
DAFTAR PUSTAKA ... 245
Halaman 1 Perkembangan Kualitas Manusia Indonesia dan ASEAN
diukur dari HDI (1996-2004) ... 4
2 Sistem, Subsistem dan Faktor- faktor Kesejahteraan ... 12
3 Definisi, Maksud/Tujuan dan Analisis Modal Sosial ... 24
4 Jenis dan Metode Pengumpulan Data ... 38
5 Jumlah Responden dan Informan Indepth Intrerview Berdasarkan Kabupaten, Kecamatan dan Desa di Daerah Penelitian, tahun 2006 ....………... 41
6 Matrik-matrik Model Laten Variabel ... 49
7 Matrik-matrik Model Pengukuran ... 51
8 Godness of Fit Indecs ... 55
9 Reliabilitas Instrumen Penelitian: Jumlah item Pertanyaan, nilai ?-cronbach dan ?-cronbach standarisasi, 2006 ... 58
10 Konstruk/Variabel Penelitian, Indikator, Nilai dan Skala Pengukuran Penelitian, 2006. ... 61
11 Penduduk Berumur 10 tahun Ke Atas Menurut Jenis Kelamin dan Kepandaian Membaca/Menulis di Provinsi Jambi, 2002-2004 (%) ... 67
12 Jumlah Sekolah, Murid dan Guru SD, SLTP, dan SLTA Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi, 2000 ... ... 69
13 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tertinggi Anak, 2006 ... 73
14 Sebaran Contoh Berdasarkan Status Kepemilikan Rumah, 2006 ... 74
15 Sebaran Contoh Berdasarkan Tipe Rumah, 2006 ... 75
16 Sebaran Contoh Berdasarkan Luas Lantai Rumah, 2006 ... 76
17 Sebaran Contoh Berdasarkan Jenis Dinding Rumah, 2006 ... 77
18 Sebaran Contoh Berdasarkan Atap Rumah, 2006 ... 78
20 Sebaran Contoh Berdasarkan Fasilitas Rumah, 2006 ... 80
21 Sebaran Contoh Berdasarkan Jarak Rumah dengan Fasilitas
Umum, 2006 ... 82
22 Sebaran Contoh Berdasarkan Jarak Rumah dengan Fasilitas
Umum, 2006 ... 83
23 Sebaran Contoh Berdasarkan Akses Rumah dengan Fasilitas
Umum, 2006 ... 84
24 Sebaran Contoh Berdasarkan Akses Rumah dengan
masing-masing Fasilitas Umum, 2006 ... 85
25 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Pendidikan Suami,
Tahun 2006 ... 95
26 Sebaran Contoh Berdasarkan Pendidikan Non Formal Suami,
2006 ... 96
27 Sebaran Contoh Berdasarkan Kelompok Umur Terpilih, 2006
... 99
28 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Beban Ketergantungan
Keluarga, 2006 ... 100
29 Sebaran Contoh Berdasarkan Manajemen Sumberdaya
Keluarga, 2006 ... 105
30 Sebaran Contoh Berdasarkan Manajemen Waktu Keluarga,
2006 ... 106
31 Sebaran Contoh Berdasarkan Manajemen Anggota Keluarga,
2006 ... 108
32 Sebaran Contoh Berdasarkan Manajemen Keuangan
Keluarga, 2006 ... 109
33 Sebaran Contoh dengan Manajemen yang Dirasakan Baik
Berdasarkan Sumberdaya, 2006 ... 110
34 Sebaran Contoh Berdasarkan Jumlah Asosiasi Lokal yang
Diikuti, 2006 ... 112
35 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Partisipasi Anggota
Keluarga dalam Asosiasi Lokal, 2006 ... 114
36 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Partisipasi Anggota
37 Sebaran Contoh Berdasarkan Manfaat Asosiasi Lokal bagi
Keluarga, 2006 ... 116
38 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Keterpercayaan
Masyarakat, 2006 ... 118
39 Sebaran Contoh Berdasarkan Solidaritas Masyarakat, 2006 ... 119
40 Sebaran Contoh Berdasarkan Semangat Kerja, 2006 ... 121
41 Sebaran Contoh Menurut Tingkat Pengeluaran Keluarga,
Tahun 2006 ... 123
42 Sebaran Contoh Pengeluaran untuk Berbagai Kebutuhan
Keluarga, Tahun 2006 ... 124
43 Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Kesejahteraan
Ekonomi Objektif Keluarga, Tahun 2006 ... 126
44 Indeks Kuznet Tingkat Pengeluaran Keluarga ... 128
45 Sebaran Contoh Menurut Kepuasan terhadap Pemenuhan
Kebutuhan Sehari-hari, 2006 ... 151
46 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Kepuasan Terhadap
Pemenuhan Kebutuhan Pangan, 2006 ... 154
47 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Kepuasan Terhadap
Pemenuhan Kebutuhan Non Pangan, 2006 ... 155
48 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Kepuasan Terhadap
Pemenuhan Investasi Sumberdaya manusia, 2006 ... 157
49 Persentase Contoh Merasa Puas Terhadap Pemenuhan Alokasi
Kebutuhan Sehari-hari, 2006 ... 158
50 Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Kesejahteraan
Ekonomi Subjektif Keluarga, Tahun 2006 ... 159
51 Indeks Kuznet Tingkat Kepuasan Keluarga ... 161
52 Reliabilitas Instrumen Penelitian: Jumlah item Pertanyaan,
nilai ?-cronbach dan ?-cronbach standarisasi, 2006 ... 170
53 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Asosiasi Lokal yang
Dimiliki, 2006 ... 173
54 Sebaran Contoh Berdasarkan Jumlah Asosiasi Lokal yang
55 Sebaran Contoh Berdasarkan Partisipasi Anggota Keluarga
dalam Asosiasi Lokal, 2006 ... 175
56 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Partisipasi Anggota
Keluarga pada Pertemuan Asosiasi Lokal, 2006 ... 177
57 Sebaran Contoh Berdasarkan Pengambilan Keputusan
Keluarga dalam Pertemuan, 2006 ... 177
58 Sebaran Contoh Berdasarkan Manfaat Asosiasi Lokal bagi
Keluarga, 2006 ... 178
59 Sebaran Contoh Berdasarkan Kebutuhan Asosiasi Lokal Bagi
Keluarga, 2006 ... 180
60 Sebaran Contoh Berdasarkan Akses Asosiasi Lokal bagi
Keluarga, 2006 ... 183
61 Sebaran Contoh Berdasarkan Berbagai Akses Asosiasi Lokal
bagi Keluarga, 2006 ... 184
62 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Heterogenitas Asosiasi
Lokal, 2006 ... 185
63 Sebaran Contoh Berdasarkan Karakter Masyarakat, 2006 ... 187
64 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Keterpercayaan
Masyarakat, 2006 ... 187
65 Sebaran Contoh Berdasarkan Solidaritas Masyarakat, 2006 ... 190
66 Sebaran Contoh Berdasarkan Semangat Kerja, 2006 ... 193
67 Sebaran Contoh Pengeluaran untuk Berbagai Kebutuhan
Keluarga, Tahun 2006 ... 196
68 Sebaran Contoh Berdasarkan Kebutuhan Pangan Keluarga,
2006 ... 197
69 Sebaran Contoh Berdasarkan Kebutuhan Non Pangan
Keluarga, 2006 ... 198
70 Sebaran Contoh Berdasarkan Kebutuhan Investasi
Sumberdaya Manusia, 2006 ... 199
71 Sebaran Contoh Kepuasan Terhadap Pemenuhan Kebutuhan
Sehari- hari, 2006 ... 200
72 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Kepuasan Terhadap
Halaman
73 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Kepuasan Terhadap
Pemenuhan Kebutuhan Non Pangan, 2006 ... 204
74 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Kepuasan Terhadap
Pemenuhan Kebutuhan Investasi Sumberdaya Manusia, 2006 . 206
75 Persentase Contoh Keluarga Merasa Puas Terhadap
Pemenuhan Alokasi Kebutuhan Sehari- hari, 2006 ... 206
76 Goodness of Fit Index Pengaruh Modal Sosial terhadap
Kesejahteraan Ekonomi Keluarga, 2006 ... 208
77 Nilai Gamma dan Betha antar Variabel Laten Pengaruh Modal
Halaman
1 Perkembangan Perekonomian Indonesia dari 1990-2000 ... 3
2 Modal Sosial sebagai Sumberdaya ... 23
3 Kerangka Konseptual Modal Sosial ... 31
4 Kerangka Berpikir: Hubungan Modal Sosial dengan Kesejahteraan Keluarga ... 34
5 Letak Lokasi Wilayah Penelitian ... 36
6 Desain dan Lokasi Penelitian ... 41
7 Kerangka Analisis ... 42
8 Distribusi Contoh di Daerah Penelitian Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tertinggi Anak, 2006 ... 73
9 Kurva Lorenz Tingkat Pengeluaran Keluarga ... 129
10 Kurva Lorenz Tingkat Kepuasan Keluarga ... 162
11 Hubungan Struktural Modal Sosial dengan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga di Wilayah Pegunungan Provinsi Jambi ... 209
12 Hubungan Struktural Modal Sosial dengan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga di Wilayah Pesisir Pantai Provinsi Jambi .. 210
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Deskripsi Wilayah Penelitian di Kabupaten Kerinci Menurut
Kecamatan dan Desa, Tahun 2006 ... 256
2 Deskripsi Wilayah Penelitian di Kabupaten Tanjung Jabung
Timur Menurut Kecamatan dan Desa, 2006 ... 257
3 Distribusi Responden di Daerah Penelitian Berdasarkan
Asosiasi Lokal yang Bermanfaat bagi Keluarga, 2006. ... 258
4 Distribusi Responden di Daerah Penelitian Berdasarkan
Heterogenitas Asosiasi Lokal yang Diikuti Keluarga, 2006... 259
5
Matrik Korelasi antara Variabel Sosio-demografi dan Manajemen Sumberdaya Keluarga dengan Kesejahteraan
Ekonomi Keluarga di Wilayah Pegunungan, Tahun 2006 ... 260
6
Matrik Korelasi antara Variabel Sosio-demografi dan Manajemen Sumberdaya Keluarga dengan Kesejahteraan
Ekonomi Keluarga di Wilayah Pesisir Pantai, Tahun 2006 ... 261
7
Matrik Korelasi antara Variabel Modal Sosial dengan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga di Wilayah Pegunungan,
2006 ... 262
8
Matrik Korelasi antara Variabel Modal Sosial dengan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga di Wilayah Pesisir Pantai,
2006 ... 263
9 Pengaruh Modal Sosial terhadap Kesejahteraan Ekonomi
Keluarga di Wilayah Pegunungan ... 264
10 Pengaruh Modal Sosial terhadap Kesejahteraan Ekonomi
Keluarga di Wilayah Pesisir Pantai ... 266
11 Alternatif Model Komplit di Wilayah Perdesaan Provinsi
Latar Belakang
Fakta menunjukkan bahwa perluasan kerjasama sosial politik dunia belum dapat mencegah adanya perbedaan (disparities) dan ketidaksamaan (inequality)
antar negara. Menurut laporan United Nations (Santamarina et al., 2002:93),
secara moral hal ini merupakan tantangan besar dari waktu ke waktu dan menjadi pemicu berbagai persoalan dalam perencanaan pembangunan masa mendatang.
Beberapa ahli memperkirakan, dengan adanya perbedaan dan ketidaksamaan tingkat kesejahteraan masyarakat antar negara di dunia dapat mengakibatkan
terjadinya instabilitas. Oleh karena itu, PBB yang disponsori oleh UNDP,
mengadakan ”Millenium Summit” dengan nama ”Millenium Development Goals
(MDGs) pada bulan September 2000 yang diikuti oleh 189 negara termasuk
Indonesia dengan menghasilkan beberapa komitmen resmi, antara lain: mengurangi deprivasi global yang meliputi kemiskinan, kelaparan, kesehatan, dan
Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi pada masyarakat di seluruh dunia, khususnya negara- negara berkembang.
Sesuai dengan permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan
sumberdaya manusia telah disepakati delapan tujuan pembangunan dengan 12
target dan 48 indikator pembangunan yang harus dicapai pada tahun 2015.
Apabila komitmen tersebut dapat dicapai sesuai dengan target yang daharapkan
maka negara-negara berkembang pada tahun 2015 dapat hidup sejahtera dan
makmur seperti negara-negara maju. Pencapaian indikator utama dapat terlihat
dari kemajuan pembangunan dalam menurunkan tingkat kemiskinan dan kelaparan, pertumbuhan ekonomi dan perubahan sosial yang stabil (United
Nations, 2003).
Untuk mempercepat program pembangunan Millenium Development
Goals (MDGs), bangsa Indonesia harus bekerja keras terutama meningkatkan
kinerja pemerintah dalam arti menerapkan good governance yang bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), tertib, bersih dan berwibawa. Menurut
politik, (3) efektivitas pemerintah, (4) kualitas peraturan, (5) ketaatan atas hukum,
dan (6) kontrol korupsi (ADB, 2005;12). Berdasarkan indeks persepsi korupsi
yang disusun oleh Transparancy International, Indonesia menduduki urutan 122
dari 133 negara dan jauh lebih buruk dibandingkan dengan negara ASEAN
lainnya (seperti: Malaysia, Thailand, dan Filipina, masing- masing hanya
menduduki peringkat 37, 70 dan 92).
Indonesia dengan jumlah penduduk 217,07 juta menyebar kedalam 33 provinsi (BPS, 2004). Berdasarkan data terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia
rata-rata 4,1 persen pertahun dengan pendapatan perkapita sekitar Rp 2.014.565,- per tahun. Lima belas tahun terakhir, seperti terlihat pada grafik, tampak bahwa
perkembangan perekonomian Indonesia dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan cukup signifikan baik diukur dari aspek Gross Domestic Product (GDP), maupun pendapatan perkapita kecuali pada tahun 1998 perkembangan
perekonomian Indonesia turun drastis yaitu mencapai -13,3 persen akibat krisis multi dimensi (ekonomi, moneter dan krisis moral). Namun demikian, secara
perlahan dari tahun 1999 sampai sekarang, perekonomian Indonesia pulih kembali (Gambar 1). Hal ini mengindikasikan bahwa pembangunan bidang ekonomi yang
dijalankan oleh pemerintah cukup berhasil, sedangkan tingkat kesejahteraan
(sumberdaya manusia) yang mengacu pada nilai Human Development Index (HDI) dari tahun ke tahun terjadi sebaliknya (penurunan).
Merujuk pada laporan UNDP, tampaknya peringkat HDI Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan terus menerus. Hal ini merefleksikan
bahwa kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia dari tahun ke tahun
mengalami penurunan. Dengan arti kata, pembangunan sektor sosial dalam rangka
meningkatkan SDM ternyata tidak sejalan dengan pembangunan ekonomi.
Rendahnya investasi pembangunan sektor sosial (gizi, kesehatan dan
pendidikan) mengakibatkan kualitas SDM Indonesia jauh tertinggal dibandingkan
dengan kualitas SDM negara-negara ASEAN. Seperti terlihat pada Tabel 1,
kualitas SDM Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan kualitas SDM negara-negara tetangga kecuali pada tahun 1998, nilai HDI Indonesia sedikit lebih
2000 dan 108 pada tahun 2004, jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan HDI
negara-negara ASEAN. Data terakhir menunjukkan bahwa indikator HDI, yakni:
usia harapan hidup Indonesia baru mencapai 67,2 tahun, tingkat melek huruf
sebesar 90,4 persen, rata-rata lama sekolah hanya 7,1 tahun, dan indikator
pendapatan per kapita baru mencapai Rp.591.200.- per tahun (Anonim,
2006b:285).
0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00 35,00 40,00 45,00
Jumlah (Rp)
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 tahun
GDP (puluhan-triliun) PPK (00.000)
Keterangan: GDP (Gross Domestic Product); PPK (Pendapatan Per Kapita)
Gambar 1 Perkembangan Perekonomian Indonesia, Selama 1990 - 2000
Apabila merujuk pada pola pembangunan Indonesia dalam Pasal 33 UUD 1945 yang memberi arah pembangunan ekonomi untuk menuju kesejahteraan
sosial. Kata kunci pembangunan di Indonesia adalah kualitas SDM. Kemudian,
UU RI No 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas)
tahun 2000-2004, pembangunan pangan dan gizi tercantum dalam bidang
ekonomi serta sosial budaya. Hal ini jelas menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi yang dikembangkan selama ini tidak berdampak positif terhadap kualitas
SDM. Artinya adalah, setiap peningkatan pertumbuhan ekonomi, GDP dan
pendapatan perkapita ternyata tidak berpengaruh positif terhadap peningkatan
kualitas Sumber Daya Manusia. Kenyataan ini menunjukkan bahwa tujuan
pembangunan untuk mewujudkan pembangunan Indonesia seutuhnya belum
Tahun
No Negara
1996 1998 2000 2004
01 Brunei 36 33 25 34
02 Indonesia 102 96 109 108
03 Malaysia 53 60 56 61
04 Filipina 95 98 77 84
05 Thailand 52 59 67 74
06 Singapore 3 28 22 25
Sumber: Departemen Kesehatan (Baliwati, YF, et al., 2004) dan Anonim (2006b)
Seperti yang dialami oleh penduduk dunia ternyata di Indonesia tidak jauh
berbeda bahwa kesejahteraan masyarakat antar daerah menunjukkan tingkat
disparitas dan inequality yang cukup kentara. Apabila kesejahteraan didekati dengan nilai Product Domestic Regional Bruto (PDRB), ternyata pembangunan
terpusat di pulau Jawa yaitu mencapai 59,56 persen dari total pendapatan,
Sumatera 22,05 persen, sedangkan pulau lainnya (Kalimantan, Sulawesi dan
lain-lain) hanya 8,22 persen. Kesenjangan pendapatan atau disparitas kesejahteraan
penduduk ini bermuara dari pola pembangunan yang mengacu pada pembangunan
ekonomi, dan dilaksanakan secara fragmented dengan bertumpu pada pertumbuhan
ekonomi dan sedikit sekali menyentuh pembangunan sumberdaya manusia apalagi
pembangunan yang mengarah pada pemberdayaan masyarakat.
Padahal tujuan pembangunan adalah membangun manusia Indonesia
seutuhnya dengan arah pembangunan yang berorientasi kepada masyarakat. Berkenaan dengan itu, arah pembangunan masa akan datang harus dilaksanakan
secara holistik dan komprehensif dengan melibatkan masyarakat. Supaya arah
pembangunan ini dapat berjalan dengan efektif dan efisien maka pola
pembangunan ini dapat memanfaatkan berbagai bentuk struktur sosial yang ada
dimasyarakat dan salah satunya adalah modal sosial. Modal sosial adalah berupa tingkat kepercayaan, rasa percaya, norma dan jaringan kerja baik informal
maupun formal yang ada di masyarakat mempunyai peran yang cukup penting dan dapat memicu peningkatan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi (James
Coleman, (1990), Pierre Bourdieu, (1993), Robert Putnam, (1995), dan Francis
kesejahteraan rumahtangga (Grootaert, 1999). Hal ini sejalan dengan visi dan misi program Millenium Development Goals (MDGs) bahwa pemberantasan
kemiskinan dan kelaparan berbasis pada masyarakat atau penduduk sehingga
penduduk dunia pada tahun 2015, minimal separo dari target pembangunan bebas
dari kemiskinan, kemelaratan dan sejenisnya.
Masalah Penelitian
Kesejahteraan diartikan suatu tata nilai kehidupan dan penghidupan bagi
setiap individu, keluarga dan masyarakat terhadap berbagai aspek, seperti:
ekonomi, sosial, maupun spritual untuk mengadakan usaha- usaha pemenuhan
kebutuhan jasmani dan rohani (Undang Undang Dasar 1945). Kesejahteraan dapat
dibedakan melalui dua pendekatan pengukuran, yakni: kesejahteraan objektif dan
kesejahteraan subjektif.
Pengukuran kesejahteraan objektif melihat bahwa tingkat kesejahteraan
suatu masyarakat dapat diukur dengan nilai rata-rata dan diukur dengan patokan tertentu (seperti: ekonomi, sosial dan ukuran lainnya). Dengan kata lain, tingkat
kesejahteraan suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya diukur dengan
patokan yang sama. Menurut Pollak dan Wales (Lokshin dan Ravallion, 2000:
281), pengukuran kesejahteraan obyektif tidak mampu menggambarkan/
mengidentifikasi perilaku permintaan keluarga akan kebutuhannya. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan kebutuhan hidup maka paradigma
kesejahteraan berubah menjadi pengukuran kesejahteraan dalam konteks “subjektif” atau disebut dengan istilah subjective well-being yaitu melihat standar
hidup yang dimiliki oleh individu atau kelompok masyarakat.
Kesejahteraan subjektif melihat bahwa tingkat kesejahteraan individu, keluarga dan masyarakat berbeda satu dengan lainnya karena perbedaan tata nilai
dan sosio-budaya yang dimiliki. Kesejahteraan subjektif secara filosofis merupakan tipe kesejahteraan yang dapat menyentuh langsung tata nilai
kehidupan dan penghidupan masyarakat karena pendekatan ini melihat
oleh individu, keluarga dan masyarakat. Sehubungan dengan itu, tingkat
kesejahteraan masyarakat dengan indikator subjektif dapat pula melihat tingkat
ketergantungan dimensi standar hidup (standard of living) masyarakat.
Penduduk Provinsi Jambi dikenal dengan tiga kelompok komunitas
masyarakat, yakni: masyarakat yang berada pada wilayah dataran rendah, dataran
tinggi atau pegunungan dan wilayah pesisir pantai atau pasang surut. Wilayah
dataran rendah misalnya, didominasi oleh masyarakat Melayu ditambah dengan pendatang (transmigran dari Jawa dan Bali) denga n hasil utama karet dan kelapa
sawit, wilayah pesisir pantai atau pasang surut didominasi oleh masyarakat Melayu, Bugis dan Banjar (migrasi spontan) dengan komoditas utama perikanan
laut, perkebunan kelapa dalam dan usahatani padi sawah pasang surut, sedangkan
di wilayah dataran tinggi atau pegunungan didominasi oleh suku Melayu-Kerinci dengan komoditas utama perkebunan kulit manis (cassiavera), kopi dan usahatani
padi sawah irigasi. Dengan kata lain, Provinsi Jambi terutama di wilayah dataran rendah dan wilayah pesisir pantai memiliki etnisitas yang cukup beragam
sehingga dapat berpengaruh terhadap income inequality. Etnisitas berperan penting sebagai determinan dalam memicu income inequality (Easterly, 1999);
(Lazear, 1995); (Coppin dan Olsen, 1998) dan (Malan, 2000). Setiap peningkatan
sebesar satu unit jumlah kelompok ethnics dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat meningkatkan minimal sebesar 3 persen income inequality (Robinson,
2002:8). Namun demikian, dengan etnisitas yang beragam akan kaya dengan modal sosial karena memiliki tingkat koneksi atau jaringan kerja yang banyak
dalam kelompok masyarakat baik jaringan sosial maupun ekonomi. Keberagaman
modal sosial ini akan sangat bermanfaat bagi keluarga untuk meningkatkan
kesejahteraan.
Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat sehingga besar kecilnya
nilai disparitas dan income inequality di masyarakat dapat mencirikan tingkat
kesejahteraan satu keluarga dengan keluarga lainnya, sedangkan tingkat
kesejahteraan ekonomi keluarga baik kesejahteraan ekonomi objektif maupun kesejahteraan ekonomi subjektif sangat ditentukan oleh faktor sosio-demografi
unik karena setiap keluarga memiliki ciri yang berbeda satu dengan lainnya.
Sebagai contoh, ada keluarga yang memiliki kekayaan sumberdaya yang
berlebihan tetapi tingkat kesejahteran mereka relatif sama bahkan kadang-kadang
lebih rendah dengan keluarga sumberdaya terbatas, dan sebaliknya keluarga yang
memiliki kekayaan sumberdaya terbatas tetapi tingkat kesejahteraan mereka
berkecukupan. Dengan adanya keunikan keluarga ini, bagaimana peran
manajemen sumberdaya dan modal sosial yang dimiliki keluarga? Dan upaya-upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk memecahkan berbagai persoalaan
yang dihadapi masayarakat?
Tujuan Penelitian Tujuan Umum
Untuk mengidentifikasi dan menganalisis tingkat kesejahteraan ekonomi
keluarga dan modal sosial yang ada di daerah perdesaan serta merumuskan model
pemberdayaan keluarga.
Tujuan Khusus
(1) Mengidentifikasi dan mengkaji tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga di daerah perdesaan Provinsi Jambi,
(2) Mengetahui faktor- faktor yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga,
(3) Mengkaji perbedaan tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga berdasarkan wilayah agroekologi,
(4) Menganalisis pengaruh modal sosial terhadap kesejahteraan ekonomi keluarga,
(5) Menghasilkan model pemberdayaan keluarga di daerah perdesaan.
Kegunaan Penelitian
(1) Sebagai sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak terkait dalam pertimbangan
pengambilan berbagai kebijakan pemberdayaan keluarga,
(2) Sebagai bahan kajian dan pengembangan ilmu keluarga khususnya mengenai
Unit analisis dalam penelitian ini menggunakan keluarga dan belum
memisahkan unit analisis berdasarkan kelompok/asosiasi yang berkembang di
daerah penelitian dan tipe hubungan sehingga tidak dapat membedakan antara
proporsi aktivitas masyarakat yang produktif (ekonomi) dan non-produktif (sosial)
dari berbagai tipe yang ada.
Kebaruan Penelitian
(1) Mengembangkan konsep modal sosial dengan mengkombinasikan dimensi
struktural dan dimensi karakter masyarakat,
(2) Mengembangkan konsep kesejahteraan melalui pendekatan kesejahteraan
ekonomi objektif dan pendekatan kesejahteraan ekonomi subjektif, dan
(3) Mengembangkan model pemberdayaan masyarakat perdesaan berbasis modal
Kesejahteraan Keluarga
Secara umum diketahui bahwa dimensi kesejahteraan sangat luas dan kompleks karena suatu taraf kesejahteraan tidak hanya berupa ukuran yang dapat
terlihat (visible) saja tetapi termasuk kesejahteraan non-visible
(non-material/spritual). Menurut Morris dan Leiser (1979), kesejahteraan penduduk
suatu negara dapat diukur dengan pengukuran indeks komposit dari kualitas
manusia atau disebut dengan istilah PQLI. Physical Quality of Life Index (PQLI)
atau di Indonesia dikenal dengan istilah Indeks Mutu Hidup (IMH) yaitu
merupakan indeks komposit dari tingkat kematian bayi (IMR), usia harapan hidup
(expectation of life/ei) dan persentase angka melek huruf dari penduduk dewasa berumur 15 tahun keatas (LIT). Angka IMR digunakan angka 229, karena IMR
terbesar didunia adalah 229 yaitu di Gabon, sedangkan angka harapan hidup (ei) adalah 38, karena angka (ei) terendah didunia adalah 38. Untuk nilai terttinggi
PQLI adalah 100, sedangkan terendah adalah 0. Artinya, semakin tinggi nilai
PQLI atau mendekati 100 maka tingkat kesejahteraan (kualitas penduduk) semakin baik, dan sebaliknya.
Kemudian, era tahun 1990-an, yang disponsori oleh UNDP, indikator keberhasilan pembangunan atau kesejahteraan penduduk menggunakan ukuran
Human Development Index (HDI) dengan indikator yang tidak jauh berbeda
dengan indikator yang digunakan pada pengukuran PQLI, yaitu: tingkat harapan
hidup, tingkat melek huruf orang dewasa, rata-rata lama sekolah dan tingkat
pendapatan perkapita. Namun, beberapa tahun terakhir, pengukuran kualitas manusia (kesejahteraan) berkembang dengan berbagai istilah, yakni: Human
Poverty Index (HPI), Gender Development Index (GDI), dan Gender
Empowerment Measure (GEM). HPI menggunakan empat indikator, yakni:
kelahiran yang tidak dapat bertahan sampai usia 40 tahun, tingkat buta huruf
orang dewasa, persentase penduduk yang tidak dapat memiliki akses pada fasilitas
kesehatan dan persentase balita yang kurang makan. Pengukuran kualitas manusia
(kesejahteraan) dengan pendekatan GDI menggunakan indikator proporsi
perempuan dalam memperoleh pendapatan, sedangkan pendekatan GEM
menggunakan indikator persentase penduduk perempuan terlibat dalam partai
politik, jumlah pegawai profesional dan persentase pendapatan yang diperoleh
dari penduduk perempuan (UNDP, 2004).
Secara mikro terdapat beberapa istilah yang digunakan untuk menganalisis
tingkat kesejahteraan keluarga, antara lain: kesejahteraan, kesejahteraan finansial,
status ekonomi, situasi ekonomi, interaksi sosial, dan lain- lain. Dari beberapa konsep tersebut dapat dijabarkan lebih operasional, terutama dalam konteks
kesejahteraan yang bersifat nyata (ekonomi dan finansial). Seperti yang dikemukakan oleh Ferguson, Horwood dan Beutrais (Sumarwan dan Hira, 1993)
bahwa kesejahteraan keluarga dapat dibedakan kedalam kesejahteraan ekonomi
(family economic well-being) dan kesejahteraan material (family material well-being). Kesejahteraan ekonomi keluarga (family economic well-being) misalnya,
diukur dalam pemenuhan akan input keluarga (pendapatan, upah, aset dan pengeluaran), sedangkan kesejahteraan material keluarga (family material
well-being) diukur dari berbagai bent uk barang dan jasa yang diakses oleh keluarga.
Ukuran lain kesejahteraan keluarga yaitu kesejahteraan berdasarkan
konsep kebutuhan minimum (kalori) berdasarkan konversi beras yang dikonsumsi
oleh keluarga (Sajogyo, 1996). Menurut Sajogyo, keluarga yang tergolong sejahtera dalam arti terpenuhinya kebutuhan fisik minimum yaitu keluarga yang
sudah mampu mengkonsumsi beras minimal 320 kg beras/orang/tahun (perdesaan) dan 480 kg beras/orang/tahun (perkotaan).
Menurut Maslow, kesejahteraan keluarga diukur dari kualitas sumberdaya
manusia (fisik dan non fisik), sedangkan Word Bank (2004) mengukur
kesejahteraan keluarga dilihat dari proxy pengeluaran. Menurut World Health
Organization (WHO) (Santamarina et al., 2002:97), terdapat enam kategori dari
kesejahteraan(quality of life or individu well-being), yakni: (1) fisik, (2) psikologis,
(3) tingkat kemandirian, (4) hubungan sosial, (5) lingkungan dan (6) spritual.
Secara nasional terdapat dua versi pengukuran kesejahteraan yaitu pengukuran kesejahteraan yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan
pengeluaran yaitu rata-rata Rp.152.847,- per kapita per bulan (SUSENAS, 2006),
sedangkan BKKBN membagi kesejahteraan keluarga kedalam tiga kebutuhan,
yakni: (1) kebutuhan dasar (basic needs) yang terdiri dari pangan, sandang, papan
dan kesehatan, (2) kebutuhan sosial psikologis (social psychological needs) yang
terdiri dari pendidikan, rekreasi, transportasi, interaksi sosial internal dan
eksternal, dan (3) kebutuhan pengembangan (developmental needs) yang terdiri
dari tabungan, pendidikan khusus/kejuruan, dan akses terhadap informasi. Cara mengukur kesejahteraan dapat dilihat dari dua pendekatan, yakni:
(1) Kesejahteraan diukur dengan pendekatan objektif atau disebut dengan istilah kesejahteraan objektif. Pendekatan dengan indikator objektif melihat bahwa
tingkat kesejahteraan individu atau kelompok masyarakat hanya diukur secara
rata-rata dengan patokan tertentu baik ukuran ekonomi, sosial maupun ukuran lainnya. Dengan kata lain, tingkat kesejahteraan masyarakat diukur dengan
pendekatan yang baku (tingkat kesejahteraan masyarakat semuanya dianggap sama). Menurut Erik (Milligan et al., 2006:22), ukuran yang sering digunakan
yaitu terminologi uang, pemilikan akan tanah, pengetahuan, energi, keamanan, dan lain- lain. Pendekatan ini disebut sebagai pendekatan konvensional dan
digunakan untuk kepentingan politik karena pengukurannya sangat praktis dan
mudah dilakukan, namun sedikit sekali menyentuh kebutuhan masyarakat yang sebenarnya.
(2) Kesejahteraan diukur dengan pendekatan subjektif atau disebut dengan istilah kesejahteraan subjektif. Menurut Noll (Milligan et al., 2006:22), kesejahteraan
dengan pendekatan subjektif diukur dari tingkat kebahagiaan dan kepuasan
yang dirasakan oleh masyarakat sendiri bukan oleh orang lain. Ukuran ini
merupakan ukuran kesejahteraan yang banyak digunakan di negara maju
termasuk Amerika Serikat. Hasil penelitian Sumarwan dan Hira (1993) pada
delapan negara bagian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa kesejahteraan
masyarakat sangat dirasakan melalui ukuran tingkat kepuasan finansial yang
dimiliki dan dikuasai (Milligan et al., 2006:22).
Berdasarkan tingkat ketergantungan dari dimensi standar hidup (standard
subsistem sosial, dan (2) subsistem ekonomi dengan beberapa faktor (Tabel 2)
(World Bank: Santamarina et al., 2002:93), sedangkan di negara- negara maju,
seperti Canada menggunakan 19 indikator kualitas hidup masyatakat (quality of
life) yang tersebar kedalam empat subsistem, yakni: (1) Indikator ekonomi: (a)
GDP perkapita, (b) pendapatan perkapita, (c) inovasi, (d) lapangan kerja, (e)
melek huruf, dan (f) tingkat pendidikan; (2) Indikator kesehatan: (a) usia harapan
hidup, (b) status kesehatan, (c) tingkat kematian bayi (IMR), dan (d) aktivitas fisik ; (3) Indikator lingkungan: (a) kualitas udara, (b) kualitas air, (c) biodiversity,
dan (d) lingkungan yang sehat, (4) Indikator keamanan dan keselamatan masyarakat: (a) sukarela, (b) diversity, (c) berpartisipasi dalam aktivitas budaya,
(d) berpartisipasi dalam kegiatan politik, dan (e) keamanan dan keselamatan
(Sharpe, 2004:30).
Tabel 2 Sistem, Subsistem dan Faktor-faktor Kesejahteraan Keluarga
Sistem
Subsistem
Faktor-faktor
a. Kesejahteraan Manusia (individu)
- fisik
- Psikologi - Spritual
- Skills dan leisure
b. Kesejahteraan sosial
- pendidikan
- kesehatan
- Network dan hubungan sosial
- life style dan budaya
- struktur dan dinamika penduduk - Kekuatan sosial
Sosial
- Kebersamaan, solidaritas dan tanggung jawab
c. Konsumsi
d. Hak pemilikan akan tanah
f. Tingkat kemiskinan
Ekonomi
g. Aktivitas ekonomi
Keluarga dapat dilihat sebagai salah satu subsistem dalam
masyarakat. Subsistem Keluarga dalam masyarakat memiliki fungsi dan tanggung
jawab secara sinergis dengan subsistem lainnya, seperti sistem sosial, ekonomi,
politik, pendidikan dan aga ma. Dengan adanya interaksi subsistem-subsistem
tersebut, keluarga berfungsi untuk memelihara keseimbangan sosial dalam
masyarakat (equilibrium state). Keseimbangan akan menciptakan sebuah sistem sosial yang tertib (social order), dan selanjutnya dapat mempengaruhi ketertiban
dalam sistem sosial yang lebih besar lagi. Dengan kata lain, keluarga memiliki fungsi mikro dan fungsi makro.
Secara mikro, keluarga berfungsi sebagai penghubung antara keluarga
dengan keluarga lain serta hubungan antar anggota kelua rga. Secara makro, terdapat hubungan keluarga dengan masyarakat luas. Ketertiban sosial akan dapat
tercipta kalau ada struktur atau strata dalam keluarga, dimana masing- masing individu akan mengetahui di mana posisinya, dan patuh pada sistem nilai yang
melandasi struktur tersebut. Struktur dalam keluarga diakui dapat menjadikan institusi keluarga sebagai sistem kesatuan, ada tiga elemen utama dalam struktur
internal keluarga, yaitu: (1) status sosial, (2) fungsi sosial, dan (3) norma sosial,
ketiganya saling kait mengkait.
Menurut Parsons (Megawangi, 2001:66), konsep pokok keluarga
adalah solidaritas. Maksud dari solidaritas dalam keluarga yaitu saling mau menerima, merasa memiliki sebagai anggota dari sebuah sistem, dimana mereka
saling bergantung satu sama lain, mereka saling percaya untuk memenuhi
keinginan bersama sehingga ketentraman dan keharmonisan keluarga tercapai.
Setiap anggota keluarga mempunyai kepercayaan bahwa solidaritas keluarga
sebagai landasan untuk dapat menumbuhkan solidaritas dan kepercayaan kepada
masyarakat yang lebih luas. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya
individualisme dalam keluarga dan masyarakat, kelompok konservatif memiliki
norma bersama terhadap peraturan perilaku (behavior). Keputusan yang harus diambil mengarah pada kepentingan bersama dengan tidak menghilangkan hak
terutama yang berkaitan dengan institusi perkawinan dan tanggung jawab.
Implikasinya dalam kehidupan bermasyarakat, menurut Parsonnian
(Megawangi, 2001:66), keluarga layaknya seperti organisme hidup. Ia diibarat
kan hewan berdarah panas yang dapat memelihara temperatur tubuhnya agar tetap
konstan walaupun kondisi lingkungan berubah. Parsonnian melihat bahwa
institusi keluarga tidak statis atau tidak dapat berubah. Sebaliknya, keluarga
sangat tanggap terhadap perkembangan atau perobahan lingkungan, artinya keluarga selalu dapat beradaptasi secara mulus menghadapi perubahan lingkungan
atau apa yang disebut dengan istilah keseimbangan dinamis (dynamic equilibrium).
Teori tentang perilaku yang dihubungkan dengan perkembangan sosial
ekonomi masyarakat memberikan gambaran bahwa pada tahap awal proses industrialisasi, akumulasi kapital merupakan faktor penentu keberhasilan
ekonomi. Karakter masyarakat pada tahap akumulasi kapital dikatakan sebagai karakter yang ”represif” yaitu hemat, disiplin, suka bekerja keras, dan berjiwa
wiraswasta. Individu dengan karakter yang demikian mampu menahan dirinya (self-denail), yakni reward harus ditunda sampai terlihat hasil yang nyata.
Karakter yang ”represif” ini dibentuk semenjak anak usia dini di dalam keluarga.
Otoritas orang tua pada tahap awal industrialisasi di Barat sebetulnya masih dihormati oleh anak-anaknya sehingga secara efektif keluarga dapat membentuk
karakter individu.
Sejalan dengan perkembangan konsep basic need, tampaknya diikuti
perubahan pandangan gaya hidup masyarakat terutama pada era post-modren
(globalisasi). Masyarakat tadinya berperilaku disiplin, hemat dan suka bekerja
keras, ternyata pada masa ini nampaknya masyarakat lebih bersifat ekspresif atau
konsumtif dibandingkan dengan pola awal industrialisasi. Karakter individu yang
ekspresif ini cenderung lebih independen dan ingin bebas, berperilaku untuk
memenuhi nafsu konsumsinya. Karakter ekspresif dikenal dengan sikapnya yang
tentu berbeda dengan individu yang berperilaku ”represif.”
Globalisasi berarti mendunia, menjadikan semua orang di dunia ini
memiliki model yang sama. Menurut Ponomban, Fendry (Manshur, 2003),
globalisasi bersumber pada realitas liberalisasi ekonomi. Globalisasi merupakan
derap langkah perkembangan teknologi dan komunikasi serta perdagangan
internasional kini mendasarkan dirinya pada paradigma borderless world yang
tidak mengenal batas-batas teritorial kedaulatan negara dan bangsa. Dengan demikian, akar dari kecenderungan ini adalah kemajuan teknologi yang membuka
jalan bagi terciptanya mekanisme transaksi ekonomi yang begitu canggih sehingga mendorong dinamika sosial lainnya. Sehubungan dengan itu, tidak pelak
lagi bahwa globalisasi dapat mengakibatkan pemudaran batasan-batasan ruang
yang selama ini menjadi acuan geografis dan kultural. Identitas kultural sebuah bangsa, misalnya: suku, etnis, dan agama serta kebudayaan lain semakin berubah
diganti dengan identitas campuran yang plural. Anthony Giddens (1997) melihat bahwa terdapat berbagai implikasi buruk yang diakibatkan gebrakan globalisasi,
seperti adanya resiko kehidupan, penetrasi budaya yang menghasilkan ancaman terhadap kultural dan nilai- nilai lokal, termasuk persepsi atas kedaulatan sebuah
bangsa. Desakan-desakan globalisasi misalnya tampak terlihat sekali di Indonesia
dengan larisnya komoditas Mc Donald, CNN, Jurassic Park, Laser Disc, model pakaian terbaru, bahkan AIDS.
Kembali pada pola atau perilaku masyarakat yang berbasis global ( post-modern) ternyata hal lain tak kalah menariknya pada individu-ekspresif yaitu
berorientasi pada kepuasan pribadi, dan cenderung lebih mementingkan
kepentingan pribadi daripada kepentingan kolektif. Hubungan kemasyarakatan
lebih bersifat instrumental yaitu hubungan berlandaskan untung rugi. Padahal
menurut Fukuyama, negara yang maju dan makmur adalah negara yang
mememiliki tingkat toleransi dan kebersamaan ya ng tinggi. Tampaknya, hal ini
bisa terjadi sejalan dengan teori perkembangan bahwa masyarakat pada industri
tinggi (post-mosdern) adalah other-directed: mencari tahu cara berperilaku dari hal- hal lain di lingkungan dekatnya (Riesman, 1953). Disamping itu, ekspansi
(keluarga, institusi keagamaan, dan komunitas). Fungsi kontrol sosial keluarga,
agama dan masyarakat menjadi tidak efektif lagi sehingga terjadilah keruntuhan
social order seperti yang terjadi di AS.
Persepsi Kesejahteraan Keluarga
Menurut Kayam (Sugiyanto, 1996:58), persepsi adalah pandangan
seseorang terhadap suatu obyek sehingga individu tersebut memberikan reaksi tertentu yang dihasilkan dari kemampuan mengorganisasikan pengamatan dan
berhubungan dengan penerimaan atau penolakan. Berdasarkan pendekatan
psikologis, persepsi merupakan penghayatan langsung oleh seorang pribadi atau
proses-proses ya ng menghasilkan penghayatan langsung (Noerhadi, 1982),
sedangkan pendekatan sosiologis, persepsi merupakan hasil pengalaman sekelompok manusia dalam hubungannya dengan obyek atau peristiwa sosial
yang diamati. Kunci pemahaman terhadap persepsi masyarakat pada suatu obyek, terletak pada pengenalan dan penafsiran yang unik terhadap obyek pada suatu
situasi tertentu dan bukan sebagai suatu pencatatan terhadap situasi tertentu
tersebut (Thoha, 1981).
Kreg (Sugiyanto, 1996:59) mendefinisikan persepsi masyarakat tentang
sesuatu adalah proses perubahan kognitif masyarakat untuk manafsirkan serta memahami dunia yang berbeda di sekitarnya. Menurut Litterer (Asngari, 1984),
mekanisme pembentukan persepsi seseorang yaitu melalui tiga tahapan, yakni:
selectivity, (2) closure, dan (3) interpretation. Artinya, pembentukan persepsi
diawali dari perolehan informasi kemudian orang tersebut membentuk persepsi
dari pemilihan atau penyaringan, kemudian informasi tersebut disusun menjadi
satu kesatuan yang bermakna dan akhirnya diinterpretasikan mengenai fakta dari
keseluruhan informasi. Pada fase interpretasi ini, pengalaman masa lalu
memegang peranan penting. Informasi yang disampaikan pada seseorang merupakan stimulus, kemudian diteruskan keotak oleh syaraf sensoris sehingga
seseorang akan memahami dan menyadari stimulus tersebut, selanjutnya orang
dipengaruhi oleh banyak faktor. Menurut Thorndike (1988), faktor-faktor yang
mempengaruhi persepsi seseorang terhadap suatu obyek adalah faktor bawaan dan
lingkungan. Faktor bawaan misalnya, adalah faktor bakat, minat, kemauan,
perasaan, fantasi, dan tanggapan, sedangkan faktor lingkungan adalah faktor
pendidikan, lingkunga n sosial masyarakat dan faktor lingkungan lainnya.
Berhubungan dengan kesejahteraan keluarga, menurut Twikromo et al.,
(Sumarti, 1999:23), persepsi terbangun melalui pengalaman dan berbagai macam proses dalam usaha manusia menjalin hubungan dengan lingkungan mereka.
Artinya, persepsi kesejahteraan akan terbentuk melalui pengalaman hidup manusia dalam hubungannya dengan lingkungan (keluarga, kelompok, dan
masyarakat) dalam rangka mencapai kesejahteraan hidup (Sumarti, 1999:24).
Dengan kata lain, kesejahteraan adalah wujud kebudayaan dan terbentuk dalam proses interaksi sosial dalam masyarakat sehingga persepsi kesejahteraan
masyarakat desa akan berbeda dengan persepsi kesejahteraan masyarakat kota bahkan berbeda dengan persepsi yang dibuat oleh pemerintah na mun kesemuanya
dipengaruhi oleh nilai- nilai yang menjadi pedoman hidupnya untuk mewujudkan kesejahteraan itu sendiri. Pada masyarakat desa misalnya, nilai- nilai kesejahteraan
diwujudkan dari nilai lokal yang diperoleh dari hasil sosialisasi dari
nilai-nilai budaya dan agama, sedangkan nilai-nilai- nilai-nilai kesejahteraan dari sisi pemerintah merupakan kebijakan yang sudah dirumuskan secara baku, misalnya ”keluarga
kecil bahagia dan sejahtera” padahal menurut konsep kesejahteraan secara sosiologis dan psikologis bahwa setiap manusia mempunyai nilai tersendiri
tentang persepsi kesejahteraan. Hal ini sependapat dengan Ihromi dan Saifuddin
(Sumarti, 1999:25) bahwa rumusan baku tersebut tidak secara langsung menjadi
realitas yang terwujud dalam kehidupan masyarakat desa yang memiliki
keragaman budaya dan etnis.
Pendekatan yang digunakan seseorang tentang persepsi kesejahteraan
(kesejahteraan subjektif) adalah kebahagiaan dan kepuasan. Namun secara
operasional, menurut Campbell, Converse, dan Rodgers (Sumarwan dan Hira, 1993:346), variabel kepuasan merupakan indikator yang lebih baik dibandingkan
menambahkan bahwa tingkat kepuasan dapat menggambarkan tingkat
kemampuan seseorang mengevaluasi suatu aksi atau dapat menjangkau berbagai
kelompok kesejahteraan, sedangkan kebahagiaan (happiness) hanya dapat
merasakan berbagai peristiwa pada kelompok tertentu dalam aksesnya dengan
masyarakat dan institusi. Kemudian, kepuasan (satisfaction) individu, keluarga
dan atau masyarakat dapat menggambarkan tingkat kemampuan mengkonsumsi
barang dan jasa serta harapan masa depan (Peck dan Goodwin, 2003:7). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesejahteraan subjektif dipengaruhi oleh banyak
faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Seperti yang dibuktikan oleh Sumarwan dan Hira (1993) pada delapan negara bagian di Amerika Serikat,
ternyata tingkat kepuasan (kesejahteraan) finansial keluarga perdesaan
dipengaruhi oleh faktor umur, pendapatan keluarga, aset, sikap (perceived locus of control), dan kecukupan pendapatan.
Kesejahteraan Ekonomi Subjektif
Menurut Hayo dan Seifert (2003:330), ada tiga alasan studi tentang
Kesejahteraan Ekonomi Subjektif (KES) dewasa ini sangat menarik/penting dilakukan oleh beberapa peneliti di dunia, karena:
(1) KES merupakan variabel kunci dalam kebijakan ekonomi. Bukti empiris ditunjukkan oleh Frey dan Stutzer (2000) bahwa lembaga politik berkaitan
erat dengan kebahagiaan masyarakat. Hal senada juga dilakukan oleh Di
Della et al. (2001) bahwa makro ekonomi suatu negara berkorelasi positif
dengan KES. Ia menemukan, kesejahteraan ekonomi subyektif mampu
melihat hubungan maksimisasi kesejahteraan secara langsung begitu juga
hasil penelitian yang dilakukan oleh Clark dan Oswald (Hayo dan Seifert,
2003:330), serta Hinks dan Carola (2005), bahwa KES berkorelasi negatif
dengan tingkat pengangguran. Artinya, semakin tinggi tingkat kesejahteraan subjektif seorang individu atau kelompok maka tingkat pengangguran
(Hayo dan Seifert, 2003), kepuasan ekonomi masyarakat akan mempengaruhi
dukungannya terhadap ekonomi pasar dan demokrasi,
(3) KES sebagai dasar untuk melihatkan kondisi ekonomi objektif dan subjektif
ketika membuat perbandingan kesjahteraan. KES dapat menggambarkan
kesejahteraan ekonomi objektif, seperti: pendapatan perkapita. Kemudian,
KES tidak hanya dapat merefleksikan kekayaaan tetapi juga dapat
menggambarkan kondisi kehidupan obyektif. Sebagai contoh konkrit, studi di negara barat ternyata terdapat perbedaan persepsi antara kondisi kehidupan
obyektif dengan kesejahteraan subyektif. Artinya, kondisi kehidupan objektif baik belum tentu kondisi kehidupan subjektif juga baik, dan sebaliknya.
KES tidak hanya dapat merefleksikan tingkat kesejahteraan relatif tetapi
juga dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan absolut. Hal ini sejalan dengan pendapat Kapteyn et al. (1987:240) bahwa pengukuran kesejahteraan subjektif
(proxy subjective poverty), keluarga dapat mengukur dengan lebih akurat atas income yang mereka miliki atau kebutuhan atas persepsi mereka sendiri.
Pendekatan pengukuran KES menggunakan istilah subyektivitas (subjectivity) atau relativitas (relativity). Kedua-duanya menggunakan terminologi
persepsi (Peck dan Goodwin, 2003:16), namun, kedua pendekatan tersebut
memiliki dampak atau konsekuensi masing- masing. Pendekatan relativitas misalnya, memiliki beberapa konsekuensi, yakni: (1) ”ever-rising bar of perceived
need”. Artinya, kesejahteraan yang dirasakan bukan kesejahteraan sesaat tetapi
sudah sampai membandingkan dari waktu tertentu dengan waktu lain, misalnya:
membandingkan kesejahteraan sekarang dengan waktu lalu atau yang akan
datang, (2) ada unsur absorbsi informasi baru dari luar, dan (3) ”relativity
well-being” tidak menggambarkan persepsi kesejahteraan secara keseluruhan,
sedangkan pendekatan subjektifitas dapat menggambarkan kesejahteraan lebih
komplek dan nilainya lebih berharga dari barang-barang dan jasa di pasar.
Artinya, individu/keluarga tidak saja mendapatkan pendapatan yang diharapkan
hidup, dan kesejahteraan waktu luang (leisure) (Ravallion dan Lokshin, 2001).
Sehubungan dengan hal diatas, menurut Graham dan Pettinato (Peck dan
Goodwin, 2003:18), beberapa studi dewasa ini menggunakan pendekatan
Kesejahteraan Ekonomi Subjketif (KES) sebagai pendekatan dalam mengukur
transisi suatu negara. Hal serupa juga digunakan oleh Stewart (Peck dan Goodwin,
2003:18) dalam mengukur tingkat kesejahteraan wilayah di negara-negara Eropa
(European Union). Studi terbaru di negara-negara Eropa Timur menunjukkan bahwa KES berkorelasi positif terhadap kepuasan hidup masyarakat (Hayo dan
Seifert, 2003:346). Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat kesejahteraan ekonomi subyektif maka tingkat kepuasan hidup masyarakat semakin tinggi. Hasil
penelitian lain menunjukkan bahwa persepsi kesejahteraan ekonomi subjektif
dapat berpengaruh dalam pembentukan pasar. Kasus di China, hasil wawancara terhadap 10.700 keluarga pada 32 kota diperoleh hasil bahwa KES mempunyai
efek positif terhadap restrukturisasi pasar ekonomi bagi pemerintah China terutama dalam menghadapi pasar global (Nielsen et al., 2004).
Berdasarkan lapangan pekerjaan, ternyata sektor informal berkorelasi negatif terhadap KES (proksi kepuasan finansial) (Carbonell dan Gerxhani, 2005).
Terdapatnya korelasi negatif antar sektor informal dengan kesejahteraan ekonomi
subyektif karena adanya perbedaan perolehan pendapatan. Maksudnya, kesejahteraan ekonomi subyektif individu yang bekerja di sektor informal lebih
rendah dari pendapatan yang diterima. Namun disisi lain, penelitian yang dilakukan oleh Peck dan Goodwin (2003:19), menunjukkan bahwa tingkat
pendapatan keluarga tidak begitu kuat mempengaruhi KES karena tingkat
pendapatan keluarga belum mampu menggambarkan tingkat kepuasan keluarga
secara keseluruhan
KES adalah individual. Teori ekonomi membuktikan bahwa kesejahteraan
secara agregat mampu meningkatkan kesejahteraan ekonomi individu (trickle
down effect). Oleh karena itu, kesejahteraan ekonomi masyarakat bisa merupakan
jumlah kesejahteraan ekonomi semua individu yang tinggal di beberapa wilayah dalam kelompok masyarakat. Menurut Peck dan Goodwin (2003:22), tingkat
reciprocity diantara individu dan atau kelompok. Sehubungan dengan itu, World
Bank (Peck dan Goodwin, 2003:22) konsep KES berhubungan kuat secara paralel
dengan konsep modal sosial, karena konsep modal sosial merupakan bentuk dari
interaksi sosial dalam masyarakat (quantity and quality) melalui institusi, relasi,
dan norma yang diakui dan dipatuhi secara bersama-sama.
Beberapa hasil penelitian yang dilaporkan oleh World Bank, terungkap
bahwa modal sosial dapat berkontribusi dalam berbagai kegiatan ekonomi, sosial, dan psikologi, seperti: pertumbuhan GDP, efisiensi pasar tenaga kerja, pencapaian
tingkat pendidikan yang lebih tinggi, mengurangi kejahatan (crime), kesehatan, dan peningkatan efektivitas institusi pemerintah. Hasil penelitian lain
menunjukkan keterkaitan antara KES dengan modal sosial, seperti dibuktikan oleh
Peck dan Goodwin (2003:24). Studi mereka terakhir menunjukkan bahwa kualitas hidup masyarakat di Canada, memiliki hubungan yang sangat kompleks
diantaranya adalah keterkaitan antara struktur masyarakat dengan kesejahteraan individu sehingga tidak mengherankan bahwa dewasa ini peran modal sosial
(hubungan sosial) dalam masyarakat memiliki dampak positif terhadap kualitas hidup.
Konsep Modal Sosial
Menurut Woolcock (Winter, 2000), konsep modal sosial pertama kali dikembangkan oleh L.F. Hanifan sejak tahun 1916 di daerah bagian Barat
Virginia. Menurut Bourdieu (Winter, 2000), modal sosial merupakan wujud nyata (sumberdaya) dari suatu institusi kelompok. Modal sosial merupakan
jaringan kerja yang bersifat dinamis dan bukan alamiah. Modal sosial
merupakan investasi strategis baik secara individu maupun kelompok. Sadar
ataupun tidak sadar bahwa modal sosial dapat menghasilkan hubungan sosial
secara langsung dan tidak langsung dalam jangka pendek maupun jangka panjang (Bourdieu, 1986:251). Hubungan ini dapat dilakukan dalam hubungan tetangga,
teman kerja (tempat kerja), maupun hubungan antar famili.
Bourdieu menggambarkan bahwa modal sosial merupakan kumpulan