• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis praktek manajemen sumberdaya keluarga dan dampaknya terhadap kesejahateraan keluarga di Kabupaten dan Kota Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis praktek manajemen sumberdaya keluarga dan dampaknya terhadap kesejahateraan keluarga di Kabupaten dan Kota Bogor"

Copied!
475
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PRAKTEK MANAJEMEN SUMBERDAYA KELUARGA

DAN DAMPAKNYA TERHADAP KESEJAHTERAAN KELUARGA

DI KABUPATEN DAN KOTA BOGOR

ABUBAKAR ISKANDAR

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ii

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan disertasi Analisis Praktek Manajemen Sumberdaya

Keluarga dan Dampaknya terhadap Kesejahteraan Keluarga di Kabupaten dan Kota

Bogor adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam

bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau

dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Agustus 2007

(3)

iii

ABSTRACT

Abubakar Iskandar. An Analysis of Family Resource Management Practices and Its’ Impact on Family Welfare at the District and City of Bogor. Supervised by Hartoyo, Ali Khomsan, and Ujang Sumarwan

The improvement of family welfare has become the major objective of national development program. Many programs have directed to the improvement of family welfare. However, in 2006, there were still about 39.0 millions people (17.8%) live in poverty. This indicates that the implementation of poverty alleviation programs was not very effective due to many reasons, such as lack of targeting and insufficient setting of program. The objective of the research was to identify family welfare using several methods, to analyze factors affecting the family welfare, to analyze family resource management practices, and to formulate model of family empowerment. A cross sectional survey involving 240 randomly selected samples of family in eight purposively selected villages has been conducted.

The utilization of different methods resulted varies of poverty prevalence. The BPS method resulted the lowest poverty prevalence while the subjective family perception method resulted the highest poverty prevalence. Out of the total of 240 samples of family, 17.9 percents are classified as poor families by at least three methods used. By using the BPS method as a benchmark, the BKKBN method is relatively better alternative method to indicate poor family. By employing binary logistic regression method, it is predicted that demographic variables (family size, the age of husband and wife), socio-economic variables (education, income, mother working status, asset ownership, and saving), family resource management practices (planning, controlling, and task/role distribution), and living environment would determine family welfare. In addition, the family resource management practices are significantly influenced by household head’s level of education, income, and living environment. By considering all the results, it is necessary to develop family empowerment strategy through the improvement of family resource management skills, the development of co-operation and collective business at village level and the mobilization of community fund.

(4)

iv

RINGKASAN

Kemiskinan merupakan fenomena sosial yang terlihat tidak hanya di negara berkembang, tetapi juga di negara maju. Kemiskinan oleh Herbert (2002) didefinisikan sebagai ketidak-mampuan orang untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial, dan standar kebutuhan lainnya. Selama periode 1970-1996, terjadi penurunan jumlah penduduk miskin yang cukup signifikan dari 70 juta menjadi 22.5 juta. Namun akibat krisis ekonomi, pada tahun 1998, jumlah penduduk miskin meningkat sangat tajam menjadi 49.5 juta (24.23%). Pada tahun 2006, BPS melaporkan jumlah penduduk miskin sebanyak 39.0 juta (17.8%), lebih tinggi dari jumlah penduduk miskin pada tahun 2005, yaitu sebanyak 35.1 juta (16.0%). Banyak faktor yang berkaitan dengan terjadinya peningkatan jumlah penduduk miskin dalam dua tahun terakhir, di antaranya adalah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang diakibatkan oleh kebijakan pengurangan subsidi BBM.

Fenomena masih tingginya angka kemiskinan juga menunjukkan bahwa program peningkatan kesejahteraan belum secara efektif dapat mengurangi masalah kemiskinan. Hal tersebut diakibatkan oleh beragamnya penggunaan metode dalam mengidentifikasi sasaran sehingga pelaksanaan program peningkatan kesejahteraan dinilai kurang terpadu antar sektor. Selain itu, program pengentasan kemiskinan belum menyentuh aspek pemberdayaan dan peningkatan ketrampilan dalam mengelola sumberdaya keluarga, sehingga dana bantuan langsung tunai, misalnya, lebih banyak digunakan keluarga untuk keperluan konsumtif.

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis tingkat kesejahteraan keluarga dengan berbagai metode pengukuran; (2) menganalisis pengaruh karakteristik demografi dan sosial ekonomi terhadap tingkat kesejahteraan keluarga; (3) menganalisis pengaruh faktor eksternal (kelembagaan sosial dan kebijakan/program regional) terhadap tingkat kesejahteraan keluarga; (4) menganalisis perbedaan proses/praktek manajemen sumberdaya keluarga yang diterapkan keluarga; (5) menganalisis faktor yang berpengaruh terhadap praktek manajemen sumberdaya keluarga; dan (6) merunmuskan model dan strategi pemberdayaan keluarga. Pengambilan data dilakukan di enam desa dari tiga kecamatan di Kabupaten Bogor dan dua kelurahan dari satu kecamatan di Kota Bogor yang dipilih secara purposif dengan mempertimbangkan banyaknya jumlah penduduk miskin di desa/kelurahan. Jumlah keluarga yang menjadi contoh penelitian ini adalah 30 keluarga untuk setiap desa/kelurahan, sehingga jumlah contoh adalah 240 keluarga yang dipilih secara stratified random sampling.

Hasil penelitian menunjukk an bahwa penggunaan berbagai metode identifikasi keluarga miskin menghasilkan angka kemiskinan yang bervariasi. Angka kemiskinan di Kabupaten Bogor berkisar antara 6.6 persen (metode BPS) sampai 67.2 persen (metode persepsi keluarga), sedangkan angka kemiskinan di Kota Bogor berkisar antara 15.0 persen (metode BPS) sampai 71.7 persen (metode persepsi keluarga). Penggunaan metode persepsi keluarga menghasilkan angka kemiskinan yang relatif tinggi yang berarti masih sangat banyak keluarga yang merasa tidak puas terhadap tingkat kesejahteraan yang dicapainya. Dari total 240 keluarga, 17.9 persen yang dinyatakan miskin oleh minimal tiga metode pengukuran yang dipergunakan.

(5)

v

tinggi, namun spesifisitas yang sangat rendah. Dengan memperhatikan angka sensitivitas dan spesifisitas, metode BKKBN dinilai sebagai metode yang cukup baik dan relatif mudah untuk dipergunakan sebagai alternatif dalam identifikasi keluarga miskin.

Pendugaan faktor-faktor berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan dengan menggunakan model regresi logistik binari menunjukkan bahwa variabel demografi (jumlah keluarga, umur kepala keluarga, dan umur isteri), sosial (pendidikan kepala keluarga), ekonomi (pendapatan, status bekerja isteri, kepemilikan aset dan tabungan), variabel manajemen sumberdaya keluarga (ada tidaknya perencanaan dalam keluarga), serta variabel lokasi tempat tinggal (kota atau desa) berpengaruh nyata terhadap tingkat kesejahteraan menurut metode BKKBN. Variabel pendidikan isteri, pendapatan, kepemilikan aset, pekerjaan kepala keluarga (sebagai buruh atau bukan), dan ada tidaknya perencanaan juga berpengaruh nyata terhadap tingkat kesejahteraan menurut metode BPS. Variabel umur dan pendidikan kepala keluarga, kepemilikan aset, dan ada-tidaknya pengontrolan berpengaruh nyata terhadap tingkat kesejahteraan menurut metode pengeluaran pangan. Sementara itu, tingkat kesejahteraan menurut metode persepsi keluarga dipengaruhi secara nyata oleh pendidikan kepala keluarga, pendapatan, dan ada-tidaknya pembagian tugas dalam keluarga. Dari uraian tersebut, tingkat kesejahteraan keluarga didominasi oleh pengaruh karakteristik sosial ekonomi (pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan).

Variabel eksternal yang dalam penelitian ini menggunakan indikator besarnya pinjaman pada lembaga keuangan dan keikut-sertaan dalam program bantuan langsung tunai tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kesejahteraan keluarga. Hal ini mungkin disebabkan oleh jumlah keluarga yang menerima kredit atau punya akses kepada lembaga keuangan, serta yang menerima dana BLT relatif sedikit. Variabel eksternal yang berpengaruh nyata terhadap tingkat kesejahteraan keluarga (terutama menurut metode BKKBN) adalah lokasi tempat tinggal. Dengan tingkat sosial ekonomi yang relatif sama, keluarga yang tinggal di wilayah kabupaten memiliki peluang 0.257 lebih sejahtera (menurut metode BKKBN) dibanding dengan keluarga yang tinggal di wilayah kota.

Variabel proses/praktek manajemen sumberdaya keluarga yang berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan keluarga adalah ada-tidaknya perencanaan (metode BKKBN dan BPS), tidaknya pengontrolan (metode pengeluaran pangan) dan ada-tidaknya pembagian tugas (metode persepsi keluarga). Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa proporsi keluarga tidak miskin yang membuat perencanaan lebih besar dibanding dengan keluarga miskin. Dalam hal pembagian tugas antara kepala keluarga dan isteri, secara umum tidak ada perbedaan yang besar antar keluarga miskin dan tidak miskin. Perbedaan yang relatif besar terlihat antara keluarga yang tinggal di kota dan di desa dimana lebih banyak keluarga di kota yang melakukan pembagian tugas yang jelas. Perbedaan praktek pengontrolan juga lebih terlihat antara keluarga yang yang tinggal di kota dengan yang tinggal di desa, dimana lebih banyak keluarga di kota yang melakukan pengontrolan.

(6)

vi

Dengan memperhatikan hasil penelitian ini, strategi pemberdayaan keluarga melalui upaya peningkatan ketrampilan manajemen sumberdaya keluarga dan mendorong simpan pinjam sebagai entry point yang mengarah pada pembentukan koperasi dan usaha bersama di tingkat desa/kelurahan. Dengan upaya peningkatan ketrampilan manajemen sumberdaya keluarga, setiap keluarga diharapkan bisa menyisihkan pendapatannya baik untuk ditabungkan di bank ataupun diserahkan ke lembaga amal untuk dimanfaatkan dalam mengentaskan kemiskinan. Perlu ada kegiatan mobilisasi dana masyarakat dengan melembagakan ‘gerakan sumbangan 100’, yaitu suatu gerakan yang mewajibkan keluarga dalam suatu wilayah untuk menyumbang Rp 100 per hari untuk dipergunakan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut secara mandiri.

(7)

vii

HAK CIPTA

@ Hak cipta milik IPB, tahun 2007 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis

dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

(8)

viii

ANALISIS PRAKTEK MANAJEMEN SUMBERDAYA KELUARGA

DAN DAMPAKNYA TERHADAP KESEJAHTERAAN KELUARGA

DI KABUPATEN DAN KOTA BOGOR

ABUBAKAR ISKANDAR

Disertasi

Sebagai s alah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

ix Judul Disertasi: Analisis Praktek Manajemen Sumberdaya Keluarga dan Dampaknya

terhadap Kesejahteraan Keluarga di Kabupaten dan Kota Bogor Nama : Abubakar Iskandar

NRP : P21600005

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. H. Hartoyo, M.Sc

Ketua

Prof. Dr. Ir. H. Ali Khomsan, MS Prof. Dr. Ir. H. Ujang Sumarwan, M.Sc Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Gizi Masyarakat dan Sumberdaya

Keluarga

Prof. Dr. Ir. H. Ali Khomsan, MS Prof. Dr.Ir. Khairil, A. Notodiputro, MS

(10)

x

PRAKATA

Alhamdulilah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas ijin-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan judul “Analisis Manajemen Sumberdaya Keluarga

dan Dampaknya terhadap Kesejahteraan Keluarga di Kota dan Kabupaten Bogor” Provinsi

Jawa Barat yang hasilnya dituangkan dalam tulisan ini. Pada kesempatan yang sangat

berharga ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr.Ir. H. Hartoyo, M.Sc sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr.Ir. H. Ali

Khomsan, MS, dan Prof. Dr. Ir. H.Ujang Sumarwan, M.Sc masing-masing sebagai

anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan saran-saran untuk

kesempurnaan tulisan ini

2. Wakil Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB, Dr. Ir. Titik Sumarti, MC, MS yang

telah bersedia memimpin ujian tertutup

3. Dr. Ir. Euis Sunarti, M.Si, yang berkenan menjadi penguji luar komisi ujian tertutup

4. Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB, Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS, yang berkenan

memimpin ujian terbuka

5. Dr. Hj. Sulistiati, M.Si, dari Departemen Sosial RI, yang telah bersedia menjadi

penguji luar komisi ujian terbuka

6. Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc, dari Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen

Fakultas Ekologi Manusia IPB, yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi

ujian terbuka

7. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberikan kesempatan bagi

penulis untuk menempuh pendidikan Doktor pada SPs-IPB

8. Prof. Dr. Ir. H. Ali Khomsan, MS dan Dr. Ir. Euis Sunarti, M.Si sebagai Ketua dan

Sekretaris Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga

SPs-IPB

9. Ketua BPH Universitas Muhammadiyah Kupang (Bapak Drs. H. Idrus Lamaya)

yang telah memberikan persetujuan untuk menyelesaikan studi

10. Rektor Universitas Muhammadiyah Kupang (Bapak Markhotib, SH) yang telah

memberikan ijin bagi penulis untuk menempuh pendidikan pascasarjana, sekaligus

(11)

xi

11. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) Depdiknas RI yang telah memberikan

persetujuan BPPS studi ini

12. Ketua DPRD Kabupaten Alor (Bapak Drs. John Th. Blegur) yang telah

menyampaikan aspirasi penulis kepada Bupati Alor untuk memperoleh dukungan

biaya penelitian

13. Bupati Alor (Bapak Ir. Ans Takalapeta) yang telah memberikan bantuan dana

untuk biaya kuliah dan penelitian.

14. Camat Bogor Tengah, Camat Gunungputri, Camat Ciampea, dan Camat Cisarua

yang telah memberikan persetujuan untuk melakukan riset di wilayahnya

15. Lurah Babakan Pasar, Lurah Gudang, Kepala Desa Tegalwaru, Kepala Desa

Cicadas, Kepala Desa Cibeureum, Kepala Desa Kopo, Kepala Desa Wanaherang,

dan Kepala Desa Ciangsana yang telah memberikan persetujuan untuk melakukan

risetdi wilayahnya

16. Ayah dan Ibu, Istri dan anak-anak, adik-adik dan kakak-kakak, serta semua

keluarga yang telah memberikan dukungan moral untuk penyelesaian studi

17. Akhirnya kepada semua pihak yang telah membantu, baik moral maupun material

untuk kelancaran penelitian, hingga disertasi ini dapat diselesaikan

Bogor, Agustus 2007

(12)

xii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kalabahi-Alor, pada tanggal 10 Agustus 1958 sebagai anak

terakhir (kedua) dari 2 bersaudara pasangan Bapak Iskandar Tolang dan Ibu Maimuna.

Pendidikan dasar diselesaikan di SD Negeri Bonipoi Kupang pada tahun 1967, pendidikan

SMTP diselesaikan di SMP Negeri I Kupang pada tahun 1971, dan pendidikan SMTA

diselesaikan di SMA Sinar Pancasila Kupang pada tahun 1974. Selanjutnya di kota yang

sama Penulis menyelesaikan pendidikan di Fakultas Ilmu Administrasi Jurusan

Administrasi Negara di Universitas Negeri Nusa Cendana (UNDANA) Kupang pada tahun

1986.

Pada tahun 1987 sampai sekarang Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada

Jurusan Sosiologi Faku ltas Ilmu Sosial (FIS) Universitas Muhammadiyah (Unmuh)

Kupang. Pada tahun 1990-1994 menjabat sebagai Ketua Jurusan Antropologi FIS Unmuh

Kupang. Pada tahun 1994 penulis mengikuti pendidikan S2 pada Program Studi Sosiologi

Pedesaan, Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dengan

biaya Universitas Muhammadiyah Kupang (UMK) dan tamat pada tahun 1996.

Pada tahun 1997-2000 menjabat sebagai Dekan FIS periode I, dan tahun

2000-2004, menjabat kembali sebagai Dekan FIS periode II. Pada periode II ini penulis

melanjutkan pendidikan S3 pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB)

dengan beasiswa BPPS dari Depdiknas RI, dan berhasil meraih gelar Doktor di bidang

Ilmu Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia IPB tahun 2007. Selama studi,

(13)

xiii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL,………... xv

DAFTAR GAMBAR,………... xviii

DAFTAR LAMPIRAN,………... xix

PENDAHULUAN,……….. ……... 1

Latar Belakang,………... 1

Perumusan Masalah,………... 5

Tujuan,………... 7

Kegunaan,………... 7

TINJAUAN PUSTAKA,………... 9

Tinjauan Teoritis tentang Keluarga,………... 9

Hubungan Subsistem Individual dan Subsistem Manajerial,... 11

Paradigma, Konsep, Proposisi dan Teori,……… ... 13

Tinjauan Empiris Kesejahteraan, Kepuasan dan Kebahagiaan……... 35

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS, ………... 62

Kerangka Pemikiran,………... 62

Hipotesis,……… ... 71

METODE,………... 72

Desain, Lokasi, dan Waktu penelitian,……….. ... 72

Teknik Penarikan Contoh,………... 72

Jenis Data dan Cara Pengumpulannya,………... 75

Standarisasi Metode Pengumpulan Data,………... 75

Variabel Penelitian dan Indikator,……….. ... 79

Definisi Operasional,……….... ... 80

Kontrol Kualitas Data,……….. ... 84

Kontrol Validitas dan Reliabilitas Instrumen,……… ... 85

Pengolahan dan Analisis Data,………... 86

Validitas dan Reliabilitas Data,……….. ... 96

Keterbatasan Studi,……….. ... 103

HASIL DAN PEMBAHASAN,……….. ... 105

Karakteristik Demografi dan Fisiologi Keluarga Contoh,…………... 105

Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga Contoh,... 108

Karakteristik Lingkungan Keluarga Contoh,... ... 111

Tingkat Kesejahteraan Keluarga,………... 126

Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kesejahteraan Keluarga,... ... 137

Tujuan Hidup Keluarga,……….. ... 148

Komunikasi dalam Keluarga,……….. ... 158

(14)

xiv

Halaman

Pengelolaan Sumberdaya Keluarga,………. ... 165

Model dan Strategi Pemberdayaan Keluarga Miskin,………. ... 177

KESIMPULAN DAN SARAN,………... ... 189

Kesimpulan,………... ... 189

Saran,………... 190

DAFTAR PUSTAKA,………. ... 192

(15)

xv

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Jumlah Penduduk Miskin Tahun 1970-1996,……….... ... 3

2 Beberapa Aspek Sosial yang Diukur serta Indikatornya,………... ... 15

3 Saling Ketergantungan antara LIngkungan Makro, Sistem Sosial dengan Keluarga,... 26

4 Interaksi LIngkungan Makro dengan Sistem Keluarga,………... 28

5 Perbedaan/Persamaan Kesejahteraan, Kepuasan, dan Kebahagiaan,... 61

6 Hasil Pendataan Keluarga Contoh Thn 2005 oleh PLKB dan Verifikasi,.. ... 73

7 Sebaran Contoh berdasarkan Status Kesejahteraan BKKBN,…………... 74 .

8 Jenis Data dan Cara Pengumpulannya,………. ... 76

9 Pengukuran Variabel dan Indikator,………... ... 80

10 Jenis Data, Peubah dan Cut Off yang Digunakan,………... 90

11 Validasi Suatu Prosedur Pengujian,... 102

12 Penentuan Indeks Sensitivitas dan Spesifisitas Kemiskinan,... ... 103

13 Sebaran Jumlah Anggota Keluarga Contoh,……….. ... 105

14 Sebaran Usia Suami Keluarga Contoh dan Tingkat Kesejahteraan,.... ... 106

15 Sebaran Usia Isteri Keluarga Contoh dan Tingkat Kesejahteraan,... ... 107

16 Sebaran Keadaan Fisiologi Suami Contoh dan Tingkat Kesejahteraan,... 108

17 Sebaran Keadaan Fisiologi Isteri Contoh dan Tingkat Kesejahteraan,.. ... 108

18 Sebaran Suami Contoh berdasarkan Pendidikan dan Tingkat Kesejahteraan,... ... 109

19 Sebaran Isteri Contoh berdasarkan Pendidikan dan Tingkat Kesejahteraan,... ... 109

20 Sebaran Suami Contoh berdasarkan Jenis Pekerjaan dan Tingkat Kesejahteraan,... ... 110

21 Sebaran Isteri Contoh berdasarkan Jenis Pekerjaan dan Tingkat Kesejahteraan,... ... 111

22 Sebaran Jenis Program Pemerintah dan Tingkat Kesejahteraan,... ... 112

23 Sebaran Akses Pinjaman/Bantuan Individu/Institusi dan Tingkat Kesejahteran,... 114

(16)

xvi

Halaman

25 Sebaran Penggunaan Pinjaman Keluarga Contoh dan Tingkat

Kesejahteraan,... ... 116

26 Sebaran Bantuan Kredit Peralatan/Barang dari Individu/Institusi

dan Tingkat Kesejahteran,... ... 117

27 Sebaran Kebijakan Pengembalian Kredit Barang dari Individu/Institusi

dan Tingkat Kesejahteraan,... 118 28 Sebaran Kepemilikan Aset Keluarga Contoh dan Tingkat

Kesejahteran,... 120 29 Sebaran Lingkungan Tempat Tinggal Keluarga Contoh dan Tingkat

Kesejahteraan,... 123

30 Sebaran Contoh berdasarkan Kriteria BKKBN, Pengeluaran pangan,

Persepsi Keluarga dengan Kriteria BPS sbg bunchmark di Desa,... 127 31 Sebaran Contoh berdasarkan Kriteria BKKBN, Pengeluaran Pangan,

Persepsi Keluarga dengan Kriteria BPS sbg benchmark di Kota,... 128 32 Sensitifitas/Spesifisitas Kriteria Kemiskinan BKKBN, Pengeluaran

Pangan dan Persepsi Keluarga dengan Kriteria BPS sbg benchmark,... 128 33 Sebaran Keluarga Contoh berdasarkan Kriteria BKKBN dan Tingkat

Kesejahteraan,... 129 34 Jumlah Jawaban Kategori Kemiskinan berdasarkan Kriteria

Pengukuran,... ... 137

35 Faktor-faktor yg Berpengaruh terhadap Kesejahteraan Keluarga

Menurut BKKBN,………. ... 142

36 Faktor-faktor yg Berpengaruh terhadap Kesejahteraan Keluarga

Menurut BPS,……….. ... 143 37 Faktor-faktor yg Berpengaruh terhadap Kesejahteraan Keluarga

Menurut Pengeluaran Pangan,………. ... 144 38 Faktor-faktor yg Berpengaruh terhadap Kesejahteraan Keluarga

Menurut Persepsi Keluarga,……….. ... 145 39 Sebaran Tujuan Hidup Keluarga Contoh yang Ingin Dicapai dan

Tingkat Kesejahteraan,... ... 150 40 Sebaran Jawaban Responden tentang Pendidikan Anak dan Tingkat

Tingkat Kesejahteraan,... ... 151

41 Sebaran Jawaban Responden tentang Status Sosial dan Tingkat

Kesejahteraan,... ... ... 153

42 Sebaran Responden terhadap Kebutuhan Keamanan dan Tingkat

(17)

xvii

Halaman

43 Sebaran Responden terhadap Kebutuhan Fisik dan Tingkat

Kesejahteraan,... ... 158

44 Sebaran Pembagian Tugas Keluarga Contoh dan Tingkat Kesejahteraan,... 168

45 Jumlah Alokasi Waktu Kegiatan Suami Contoh dan Tingkat Kesejahteraan,... ... 172

46 Jumlah Alokasi Waktu Kegiatan Isteri Contoh dan Tingkat Kesejahteran,... ... 173

47 Sebaran Responden dalam Melakukan Pengawasan dan Tingkat Kesejahteraan,... ... 175

48 Faktor yang Mempengaruhi Perencanaan dalam Keluarga,... 175

49 Faktor yang Mempengaruhi Pembagian Tugas dalam Keluarga,... 176

50 Faktor yang Mempengaruhi Pengawasan Kegiatan Keluarga,... 177

(18)

xviii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Bagan Individual/Manajerial Sistem,………... 13

2 Faktor Lingkungan Makro dan Mikro,………... 25

3 Bagan Kerangka Fikir Pemberdayaan Keluarga,………... 70

4 Kerangka Pikir Pendekatan Survey,... 78

5 Kerangka Pikir Pendekatan Grounded,... 79

6 Sebaran Keluarga berdasarkan Kriteria Kemiskinan di Kota,... 135

7 Sebaran Keluarga berdasarkan Kriteria Kemiskinan di Desa,... 136

8 Hubungan Interpersonal Internal dan Eksternal Sistem,………... 159

(19)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Jenis Data, Peubah dan Cut Off yang Digunakan,……….. ……. 203

2 Sebaran Jawaban Responden tentang Persepsi Keluarga,... 205

3 Sebaran Jawaban Responden tentang Kebutuhan Sosial di Kota/Desa, ……. 207

4 Sebaran Struktur Komunikasi Keluarga Contoh,...……. 210

5 Sebaran Pengambilan Keputusan Keluarga Contoh,... ... 211

6. Sebaran Analisis Pengambilan Keputusan Keluarga Contoh,... 212

7 Sebaran Perencanaan Responden untuk Mencapai Tujuan... ... 213

8 Sebaran Responden berdasarkan Pengeluaran/kap/bln dan Tingkat Kesejahteraan,………... 217

(20)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Di Indonesia istilah keluarga sejahtera baru dirumuskan oleh pemerintah sejak dikeluarkannya UU No 10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan

dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Konsep yang ada sebelumnya adalah

kemiskinan yang dikembangkan oleh beberapa pakar seperti: Sayogyo (1999)

mengukur tingkat kesejahteran keluarga dengan menggunakan kriteria batas garis

kemiskinan berdasarkan satuan kilogram beras ekuivalen. Keluarga miskin adalah

keluarga yang mempunyai penghasilan setara dengan 240-320 kg beras/tahun

untuk daerah perdesaan dan 360-480 kg beras/tahun untuk daerah perkotaan.

Menurut Hendarto Esmara (1986), garis kemiskinan di ukur berdasarkan

pada jumlah pengeluaran konsumsi untuk memenuhi kebutuhan pokok per kapita

selama setahun. Kebutuhan pokok adalah kebutuhan akan barang-barang seperti

beras, daging, sayur, perumahan, pendidikan dan kesehatan. Kebutuhan pokok

disini dapat berubah-ubah. Perubahan pengeluaran per kapita atas barang

kebutuhan pokok mencerminkan perubahan tingkat harga dan pola konsumsi

keluarga. Indikator ini yang mampu menjelaskan perubahan sikap dan persepsi

masyarakat terhadap kebutuhan pokok (Sumodiningrat et al 1999). Sehingga dikatakan ukuran kemiskinan Esmara mampu menangkap dampak inflasi maupun

dampak penghasilan riil yang meningkat terhadap kuantitas barang-barang esensial

yang dikonsumsi (Kuncoro, 1997).

Garis kemiskinan yang digunakan bank dunia adalah pengeluaran

berdasarkan data-data SUSENAS. Untuk mengatasi perbedaan harga antar daerah

maka pengeluaran konsumsi harus disesuaikan dengan harga yang berlaku di

Jakarta (Sumodiningrat et al 1999), dan lain-lain. Kedua konsep tersebut tetap mengacu kepada pemikiran yang sama, yaitu UUD 1945 pasal 34 ayat 1. Perbedaan

mendasar antara definisi tidak sejahtera (pra KS dan KS-I) dengan definisi miskin

adalah pada pendekatan analisisnya. Secara umum kedua definisi tersebut

menunjuk pada kondisi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar

seseorang atau rumahtangga (miskin) atau keluarga (tidak sejahtera). Namun

definisi miskin dengan menggunakan pendekatan ekonomi menunjuk pada

(21)

dimilikinya sehingga ukuran yang digunakan adalah penghasilan atau pengeluaran

seseorang/rumahtangga.

Menurut Rusli et al dalam Sumarti (1999), garis kemiskinan menunjukkan tingkat kecukupan kebutuhan fisik minimum pangan rumahtangga 2100

kalori/orang/hari, dan kebutuhan fisik minimum bukan pangan dengan pengeluaran

sebesar Rp. 13.295/kap/bln untuk daerah perdesaan. Departemen Sosial

mendefinisikan keluarga miskin sebagai keluarga yang tidak memiliki mata

pencaharian atau memiliki mata pencaharian dengan penghasilan rendah,

penghasilan sangat rendah, kondisi rumah dan lingkungan tidak memenuhi syarat

kesehatan, pendidikan terbatas. Departemen Pertanian mendefinisikan kemiskinan

yang ditujukan kepada petani-nelayan kecil yang pendapatannya di bawah garis

kemiskinan yaitu di bawah 320 kg setara beras/thn/kapita (kriteria Sayogyo, 1996).

Sementara itu, untuk mengukur tingkat kesejahteraan keluarga, BKKBN telah

mengembangkan 23 indikator yang menggambarkan tingkat pemenuhan kebutuhan

dasar keluarga (fungsi keagaman, fungsi ekonomi, fungsi reproduksi), kebutuhan

sosial psikologis (fungsi sosialisasi dan pendidikan, fungsi cinta kasih) dan

kebutuhan pengembangan (fungsi perlindungan atau proteksi, fungsi sosial

budaya) serta kepedulian sosial (fungsi pembinaan lingkungan) (Haryanto dan

Tomagola dalam Sumarti (1999). Dengan demikian, ketika berbicara tentang

kemiskinan sama halnya juga berbicara tentang ketidaksejahteraan.

Kemiskinan atau ketidaksejahteraan merupakan fenomena sosial, tidak

hanya di negara-negara berkembang, tetapi juga negara-negara maju. Fenomena ini

telah menjadi perhatian global pada konferensi tingkat tinggi dunia yang berhasil

menggelar Deklarasi dan Program Aksi untuk pembangunan sosial di Copenhagen

tahun 1995. Secara umum kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakmampuan orang

untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial dan standar kebutuhan yang lain

(Herbert, 2001). Misalnya, jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan,

kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan, tidak ada investasi,

kurangnya akses kepelayanan publik, kurangnya lapangan pekerjaan, dan lain-lain.

Upaya pemberdayaan mereka yang tergolong powerless menjadi powerfull, harus memperhatikan faktor jumlah anggota, usia, kondisi fisiologi, pekerjaan,

pendapatan, konsumsi pangan/non pangan, pendidikan, kepemilikan aset,

(22)

bantuan langsung tunai (BLT), tempat tinggal (desa/kota), KB, dan lain-lain.

Kesemua ini merupakan sumberdaya utama dalam meningkatkan kesejahteraan.

Pemanfaatan sumberdaya, dapat mengangkat keluarga yang semula tergolong

miskin menjadi keluarga yang tidak miskin. Adapun penyebab kemiskinan dapat

dikelompokkan atas dua hal yaitu (1) faktor alamiah: kondisi lingkungan yang miskin,

ilmu pengetahuan yang tidak memadai, adanya bencana alam dan lain-lain, (2)

faktor non alamiah: akibat kesalahan kebijakan ekonomi, korupsi, kondisi politik yang

tidak stabil, kesalahan pengelolaan sumber daya alam (Lubis, 2006 )

Berdasarkan UUD 1945 pasal 34 ayat 1, keluarga yang miskin atau tidak

sejahtera merupakan tanggung jawab negara. Bentuk tanggung jawab tersebut

terlihat dari peran berbagai institusi mengadakan penanggulangan sesuai bidangnya

seperti Program Kesejahteran Sosial Kelompok Usaha Bersama Keluarga Muda

Mandiri (Departemen Sosial), Takesra, Kukesra (BKKBN), dan lain-lain. Dalam

kurun waktu 1970-1996 terjadi penurunan angka kemiskinan yang cukup signifikan

seperti terlihat pada Tabel 1

Tabel 1 Jumlah Penduduk Miskin Tahun 1970-1996

Tahun Jumlah Penduduk Miskin (Juta) Persentase Penduduk Miskin

1970 70.0 60.0

1976 54.2 40.1

1978 47.2 33.3

1980 42.3 28.6

1981 40.6 26.9

1984 35.0 21.6

1987 30.0 17.4

1990 27.2 15.1

1993 25.9 13.7

1996 22.5 11.3

Sumber Program Penghapusan Kemiskinan (Suyono, 1997)

Akibat krisis ekonomi tahun 1997-1998 jumlah penduduk miskin meningkat

sangat tajam menjadi 49.50 juta (24.23%) pada tahun 1998, bahkan Bank Dunia

(2006) mengatakan hampir 50% penduduk Indonesia berada di bawah garis

kemiskinan, yaitu berpendapatan kurang 2 dollar AS/kapita/hari. Sementara itu, BPS

(2006) melaporkan pada Maret 2006 ada 39.05 juta (17.8%) penduduk Indonesia

(23)

Banyak faktor yang berkaitan dengan masih tingginya jumlah penduduk

miskin, diantaranya adalah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang

diakibatkan oleh kebijakan pengurangan subsidi BBM. Selain itu, program

peningkatan kesejahteran yang dilakukan pada awal terjadinya krisis, lebih

bernuansa untuk mencegah terjadi penurunan kesejahteraan yang lebih buruk

(safety net program) (Ibrahim, 2007). Prioritas program jaring pengaman sosial (JPS) adalah (1) peningjkatan ketahanan pangan (food security), (2) penciptaan lapangan kerja produktif (employment creation), (3) pengembangan usaha kecil dan menengah (small and medium enterprises), dan (4) perlindungan sosial masyarakat dalam pelayanan dasar khususnya kesehatan dan pendidikan (social protection)

Sumberdaya yang dimiliki keluarga maupun bantuan dari pemerintah

terhadap keluarga miskin/tidak sejahtera tidak akan efektif jika tidak di atur secara

baik melalui manajemen sumberdaya keluarga yang meliputi perencanaan,

pembagian tugas, pelaksanaan dan pengawasan. Perencanaan, pembagian tugas,

pelaksanaan dan pengawasan baru dapat dilakukan apabila sebelumnya diadakan

komunikasi antar anggota keluarga dalam membicarakan kegiatan-kegiatan yang

akan dilakukan. Dalam komunikasi inilah melahirkan berbagai keputusan keluarga.

Jadi keputusan merupakan hal-hal yang akan dilakukan sekarang maupun pada

waktu-waktu yang akan datang. Kondisi di atas, membutuhkan bantuan/perhatian

stakeholders (pemerintah, pengusaha dan LSM) serta keberfungsian keluarga yang bersangkutan, sehingga kesejahteraan material maupun non material yang

dicita-citakan dapat terwujud. Fungsi disini adalah fungsi instrumental dan fungsi ekspresif.

Kemampuan keluarga untuk memenuhi kedua fungsi tersebut akan menentukan

ketahanan hidup keluarga. Achir (1994) mengemukakan bahwa ketahanan adalah

kondisi dinamik dari satu keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta

mengandung kemampuan fisik, material, psikis, mental dan spiritual guna hidup

mandiri dan mengembangkan diri dari keluarganya untuk hidup harmonis dalam

meningkatkan kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin. Bantuan atau pinjaman

kepada keluarga miskin yang bersifat produktif dan komersial menjadi sangat

penting.

Di lain pihak, beragam kriteria untuk mengukur tingkat kemiskinan

melahirkan kemiskinan bangsa yang ”turun naik” yang dapat menimbulkan

(24)

(DUNIAESAI.COM, 2006). Hal ini diakibatkan oleh program penanggulangan selama

ini menggunakan data makro hasil Susenas oleh BPS dan data mikro hasil

pendaftaran keluarga Pra Sejahtera dan KS I oleh BKKBN. Untuk mengukur

kemiskinan, BPS menggunbakan garis kemiskinan yang diturunkan dari kebutuhan

dasar kalori minimal 2100 kkal atau sekitar Rp.152.847 per kapita per bulan. Garis

kemiskinan untuk daerah perkotaan Rp.175.324, dan untuk daerah perdesaan

Rp.131.256 (BPS,2006). Beragam kriteria diturunkan dapat membingungkan

pemerintah lokal ketika ada bantuan dari pemerintah pusat. Pemerintah pusat

berpedoman pada angka kemiskinan yang dihasilkan BPS, sedangkan pemerintah

lokal menggunakan kriteria BKKBN sebagai target sasaran. Ketidakseragaman ini

juga menimbulkan konflik di tingkat masyarakat lokal.

Beragam kriteria yang diturunkan oleh pemerintah dan lain-lain dapat

membingungkan pemerintah lokal ketika ada bantuan dari pemerintah pusat.

Pemerintah pusat berpedoman pada angka kemiskinan yang dihasilkan BPS,

sedangkan pemerintah lokal menggunakan kriteria BKKBN sebagai target sasaran

seperti yang pernah terjadi di Kabupaten Sumba Timur Provinsi Nusa Tenggara

Timur (NTT) ketika mendistribusi beras untuk keluarga miskin, karena jumlah

keluarga miskin menurut BPS tidak sama dengan jumlah keluarga miskin menurut

BKKBN, atau jumlah keluarga miskin menurut BPS lebih sedikit jika dibandingkan

dengan jumlah keluarga miskin menurut BKKBN.

Ketidakseragaman ini juga menimbulkan konflik vertikal maupun konflik

horisontal di tingkat masyarakat lokal. Konflik vertikal bisa menimbulkan protes

maupun unjuk rasa terhadap pemerintah, sedangkan konflik horisontal dapat terjadi

antara warga masyarakat yang merasa tidak puas dengan keluarga yang

sesungguhnya tidak layak mendapat bantuan, yang mestinya bantuan tersebut

harus diberikan kepada yang keluarga yang secara riil memperolehnya sesuai

pengamatan ketua RT, Kepala Desa atau Kepala Kelurahan setempat

Perumusan Masalah

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1992 Pasal 15

dijelaskan bahwa kebijaksanaan Pembangunan Keluarga Sejahtera diarahkan pada

terwujudnya kualitas keluarga yang berciri kemandirian dan ketahanan keluarga. Ciri

(25)

kemampuan yang ada pada seluruh lembaga keluarga, untuk meningkatkan

kesejahteraannya dan membangun seluruh potensinya agar menjadi sumberdaya

insani dalam mendukung pembangunan bangsa. Kesejahteraan adalah suatu tata

kehidupan dan penghidupan sosial, material, maupun spiritual yang diliputi rasa

keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir dan batin yang memungkinkan

setiap warga negara untuk mengadakan usaha-usaha pemenuhan kebutuhan

jasmani, rochani dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, rumahtangga serta

masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi (Rambe, 2004).

Dalam melakukan program penanggulangan kemiskinan seringkali

dipergunakan dua metode untuk menetapkan sasaran yaitu BKKBN dan BPS.

Penggunaan dua metode ini menghasilkan angka kemiskinan yang berbeda. Pada

tahun 2006, angka kemiskinan di Kota dan Kabupaten Bogor dengan menggunakan

metode BKKBN, berturut-turut adalah 10.7% (Kota Bogor Dalam Angka 2005) dan

49.8% (Kabupaten Bogor Dalam Angka 2005). Sementara itu, menurut BPS proporsi

penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan di Kota dan Kabupaten Bogor

berturut-turut adalah 17.9% (BPS Kabupaten Bogor 2005), dan 20.5% (BPS Kota

Bogor 2005) Perbedaan angka kemiskinan tersebut tentunya akan menjadi kendala

dalam perencanaan dan pelaksanaan program penanggulangan. Keberhasilan

program penanggulangan kemiskinan juga tergantung pada pemahaman keluarga

dalam pengelolaan sumberdaya yang dimilikinyadan faktor yang berpengaruh

terhadap kemiskinan. Perilaku dalam pengelolaan sumberdaya keluarga

menyangkut masalah perencanaan dan implementasi, serta aktivitas pengambilan

keputusan dan komunikasi. Tidak jarang keluarga menjadi miskin karena

ketidak-mampuan keluarga tersebut dalam mengelola pendapatan dan sumberdaya lain

yang dimilikinya

Berdasarkan ulasan tersebut, dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian

antara lain: Pertama, bagaimanakah menganalisis tingkat kesejahteraan keluarga

dengan berbagai metode atau kriteria pengukuran? Kedua, sejauhmanakah

karakteristik demografi dan karakteristik sosial ekonomi mempengaruhi

kesejahteraan keluarga? Ketiga, sejauhmanakah faktor eksternal atau faktor

lingkungan yang menyangkut ketersediaan dan akses keluarga terhadap

(26)

keluarga melalui manajemen sumberdaya keluarga? Kelima, sejauhmanakah

faktor-faktor yang berpengaruh terhadap praktek manajemen sumberdaya keluarga?

Keenam, bagaimanakah merumuskan model dan strategi pemberdayaan keluarga

miskin?

` Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mempelajari secara

komprehensif faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan, sedangkan secara

khusus tujuan penelitian ini adalah:

1. Menganalisis tingkat kesejahteraan keluarga dengan berbagai metode

pengukuran

2. Menganalisis pengaruh karakteristik demografi dan karakteristik sosial ekonomi

terhadap tingkat kesejahteraan keluarga

3. Menganalisis faktor eksternal yang meliputi kelembagaan sosial, dan kebijakan

regional atau program pemerintah yang berpengaruh terhadap kesejahteraan

keluarga

4. Menganalisis perbedaan proses manajemen sumberdaya pada keluarga yang

sejahtera dan tidak sejahtera dalam mencapai kesejahteraan keluarga

5. Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap praktek manajemen

sumberdaya keluarga

6. Merumuskan model dan strategi pemberdayaan keluarga

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh stakeholders untuk menyusun kebijakan pemberdayaan berdasarkan masalah-masalah yang telah teridentifikasi

antara lain: menentukan suatu benchmark untuk menentukan kemiskinan melalui berbagai analisis metode pengukuran, analisis berbagai karakteristik

demografi/sosial ekonomi, analisis berbagai faktor eksternal, analisis pencapaian

kesejahteraan keluarga melalui proses manajemen sumberdaya keluarga, dan

analisis perumuskan model dan strategi pemberdayaan keluarga. Dari

masalah-masalah yang telah teridentifikasi tersebut, sesungguhnya mengindikasikan hal-hal

(27)

1. Memberikan bukti ilmiah persepsi keluarga tentang kesejahteraan

2. Memberikan bukti ilmiah tentang keluarga yang sejahtera dan tidak sejahtera

serta faktor- faktor yang mempengaruhi kesejahteraan

3. Memberikan masukan kepada pihak pemerintah, khususnya kepada pihak

BKKBN dan Instansi terkait dalam penyusunan kebijakan pemberdayaan sesuai

(28)

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan Teoritis Tentang Keluarga

Istilah keluarga dan rumahtangga sering diartikan sama, dan pandangan ini

sebenarnya keliru dan tidak boleh terjadi. Rice dan Tucker (1986) mengemukakan

bahwa rumahtangga lebih luas daripada keluarga. Dalam rumahtangga tersirat suatu

deskripsi tentang rumah, isi serta pengaturan yang ada didalamnya, tetapi kurang

menyiratkan hubungan antar anggota yang mengisi rumah tersebut.

Biro Pusat Statistik di Indonesia mendefinisikan rumahtangga sebagai

sekelompok orang yang tinggal di bawah satu atap dan makan dari dapur yang

sama, sehingga rumahtangga dapat terdiri dari anggota keluarga dan bukan anggota

keluarga, seperti orang mondok dan pembantu rumahtangga yang hidup dalam satu

unit tempat tinggal (pemondokan/bangunan beratap). Bangunan disebut unit tempat

tinggal jika unit itu dimaksudkan untuk dihuni sebagai satuan-satuan tempat tinggal

yang terpisah. Yang dimaksud satuan tempat tinggal yang terpisah yaitu satuan

yang memiliki akses keluar atau dapat keluar melalui ruangan bersama atau

ruangan umum, atau harus memiliki dapur atau tempat memasak yang dapat

digunakan oleh penghuninya. Setiap rumahtangga mempunyai kepala rumahtangga

yaitu salah seorang dari kelompok yang namanya digunakan untuk berbagai

kepentingan misalnya pemilihan tempat tinggal, penyewaaan perabot rumahtangga,

pemeliharaan rumah, dan lain-lain. Pada rumahtangga dari pasangan suami-isteri

yang menjadi kepala rumahtangga adalah suami, walaupun de facto tidak selalu suami, mungkin saja isteri atau anak yang telah dewasa.

Margaret Mead dalam Tucker dan Rice (1986) mendefinisikan keluarga

sebagai berikut: Keluarga adalah The cultural history, instillling its prevelling value system and socializing the next generation into effective citizens and human beings. Burgess dan Locke (1960) mendefinisikan keluarga sebagai unit sosial terkecil

dalam masyarakat yang anggotanya terikat oleh adanya hubungan perkawinan

(suami-istri) serta hubungan darah (anak kandung) atau adopsi (anak pungut).

Hubungannya dengan anak, keluarga pun dicirikan sebagai tempat atau lembaga

pengasuhan anak yang paling dapat memberi kasih sayang yang tulus, manusiawi,

(29)

Dalam keluargalah anak pertama-tama memperoleh bekal-bekal untuk

hidupnya dikemudian hari, melalui latihan-latihan fisik, sosial, mental, emosional dan

spiritual. Kegiatan dalam memenuhi fungsi sebagai keluarga unit sosial tadi hidup

dalam satuan yang disebut rumahtangga. Deacon dan Firebaugh (1981)

mengatakan bahwa fungsi keluarga adalah bertanggung jawab dalam menjaga,

menumbuhkan, dan mengembangkan anggota-anggotanya. Dengan demikian

pemenuhan akan kebutuhan-kebutuhan untuk mampu bertahan, tumbuh dan

berkembang perlu tersedia, yaitu:

a. Pemenuhan akan kebutuhan pangan, sandang, papan dan kesehatan untuk

pengembangan fisik dan sosial

b. Kebutuhan akan pendidikan formal, informal dan nonformal untuk

pengembangan intelektual, sosial, emosional dan spiritual

Dengan memperhatikan kebutuhan dasar dari anggota keluarga untuk

memenuhi kebutuhan pokoknya, maka kesempatan untuk berkembang lebih luas

dapat dibangun. Melalui kesempatan berkembang yang lebih luas ini, individu dan

keluarga akan mampu menampakkan diri lebih luas dalam berbagai aspek

kehidupan mereka misalnya dalam aspek budaya, intelektual dan aspek sosial. Ini

sesuai dengan teori kebutuhan bertingkat dari Maslow, individu bekerja untuk

memenuhi kebutuhan primer kemudian berpindah kepada kebutuhan yang lebih

tinggi. Lebih lanjut Maslow mengatakan bahwa kebutuhan seperti:(1) makanan,

minuman dan sex, (2) kebutuhan akan rasa aman (safety needs) seperti keamanan dan perlindungan, (3) kebutuhan akan kasih sayang, rasa memiliki, memberi dan

menerima kas ih sayang, (4) kebutuhan akan penghargaan, (5) kebutuhan untuk

mengembangkan kemampuan potensi diri (aktualisasi diri). Tahun-tahun pertama

dari kehidupan adalah hal yang penting dalam seluruh aspek perkembangan

manusia, dan akan memberikan orientasi yang paling penting pada perkembangan

mental selanjutnya.

Pengertian tersebut menunjukkan bahwa, keluarga merupakan unit ekonomi

membawa suatu proses dan aktivitas untuk memperoleh suatu produksi, guna

mencapai tujuan yang diinginkan. Proses dan aktivitas ekonomi keluarga berbasis

pada mikro ekonomi dalam skala rumahtangga. Di dalam ekonomi keluarga,

terdapat dua masalah yang selalu dihadapi keluarga yaitu: kelangkaan dan

(30)

mengembangkan cara atau prosedur untuk mengarahkan ekonomi keluarga, agar

tujuan yang diinginkan dapat tercapai. Di dalam manajemen sumberdaya keluarga,

cara atau prosedur mencapai tujuan, biasanya melalui perencanaan,

pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan. Untuk mencapai tujuan yang

dicita-citakan oleh keluarga, maka aktivitas keluarga yang sangat penting dan

menentukan adalah alokasi sumberdaya, produksi, distribusi dan konsumsi.

Keluarga sebagai unit ekonomi sudah tentu mengalokasikan sumberdayanya

untuk sejumlah kepentingan anggota keluarga. Sumberdaya adalah sumber yang

dapat digunakan untuk membantu anggota keluarga dalam mencapai tujuan seperti:

pendapatan, barang tahan lama dan tidak tahan lama, pangan, tanah dan lain-lain.

Produksi rumahtangga adalah aktivitas yang dilakukan oleh keluarga untuk

keperluan anggota keluarga itu sendiri. Peralatan dan perkakas rumahtangga,

parang, kapak, sabit, cangkul, traktor, pukat dan lain-lain merupakan contoh dari

pada alat produksi. Distribusi adalah penetapan barang yang diproduksi untuk

digunakan dengan maksud tertentu. Distribusi melibatkan penetapan pendapatan

nyata pada individu menurut kebutuhan, keinginan dan kepentingan. Keputusan

untuk melakukan distribusi barang akan menentukan sejauhmana jumlah barang

yang akan diperoleh anggota keluarga untuk konsumsi sekarang dan jangka

panjang. Konsumsi adalah penggunaan barang secara langsung untuk memenuhi

keinginan. Secara umum konsumsi keluarga meliputi segala kegiatan dalam

penggunaan barang dan jasa yang harus diperoleh untuk dirinya sendiri. Alokasi

langsung pendapatan keluarga terhadap konsumsi biasanya adalah konsumsi

sehari-hari rumahtangga. Misalnya: telepon, air, peralatan rumahtangga, perawatan

tubuh dan kesehatan sehari-hari.

Hubungan antara Subsistem Individual dan Subsistem Manajerial

Deacon dan Firebaugh (1981) mengatakan bahwa keluarga merupakan

subsistem dari sistem masyarakat Keluarga terdiri dari subsistem personal dan

subsistem manajerial. Subsistem manajerial mempunyai fungsi untuk

merencanakan, dan melaksanakan penggunaan sumberdaya untuk memenuhi

kebutuhan. Subsistem personal merupakan bagian yang berhubungan dengan

(31)

kepribadian seseorang, yang akan memberi pengaruh pada kemampuan manajerial,

misalnya dalam proses kognitif dari suatu pengambilan keputusan. Subsistem

personal terdiri dari komponen input, throughput dan output. Keluaran yang terpenting dari subsistem personal adalah apa yang menjadi tujuan.

Subsistem personal dengan demikian, memberi kontribusi terhadap

subsistem manajerial karena subsistem manajerial adalah sebuah proses berfikir

dan bertindak dimana berbagai sumberdaya dimanfaatkan dalam memenuhi

kebutuhan.Orientasi tujuan, orientasi pengembangan, prestasi personal, dapat

memprakarsai respon manajerial sebagai rangkaian keputusan dari suatu proses

perencanaan hingga implementasi secara terus menerus melibatkan sistem nilai

seseorang sebagai pilihan yang harus dibuat. Tujuan mengidentifikasi subsistem

personal dan manajerial adalah untuk mengenal aspek penguatan kembali

subsistem, dan melalui penerapan dan pengembangan keahlian manajerial dapat

memenuhi kebutuhan hidup. Agar dapat melaksanakan fungsinya, keluarga

menerima berbagai masukan berupa: barang dan jasa, informasi dan modal

manusia (human capital).

Untuk memenuhi tujuan keluarga, sistem keluarga mengendalikan masukan

ini, memprosesnya dan merubahnya. Proses transformasi terjadi pada subsistem

personal dan manajerial dan antara kedua subsistem tersebut dalam sistem

keluarga.Proses transformasi ini berbeda antara satu keluarga dengan keluarga

lainnya. Dengan kondisi awal yang sama dan dalam kurun waktu yang sama dua

keluarga dapat sampai pada kondisi akhir yang berbeda (multifinality), sebaliknya dengan kondisi awal yang berbeda dua keluarga dapat sampai pada kondisi akhir

yang sama (equifinality). Konsep ini penting dilihat dari segi manajemen, sebab kejadian ini menekankan pentingnya memperhatikan faktor yang berkontribusi

terhadap terjadinya perbedaan tersebut dalam kurun waktu yang sama.

Dari proses tadi selain diperoleh hasil yang berupa tujuan individu dan

keluarga yang ingin dicapai, dan sumberdaya yang digunakan, juga hasil berupa

limbah yang keluar dari sistem keluarga, masuk kedalam sistem eksternal,

merupakan informasi baru dan menjadi umpan balik untuk sistem internal.

Subsistem personal dan subsistem manajerial berfungsi sebagai satu kesatuan.

Umpan balik dapat berupa umpan balik positif dan umpan balik negatif. Umpan balik

(32)

penyesuaian. Kedua macam umpan balik tersebut menjadi bagian dari kehidupan.

Sebagai contoh umpan balik positif dan negatif bisa digunakan kasus transmigrasi

keluarga dari Jawa ke luar Jawa seperti yang disajikan dalam Gambar 1.

[image:32.596.106.511.123.505.2]

INPUT OUTPUT umpan balik Lingkungan Lingkungan umpan balik

Gambar 1 Bagan Individual/manajerial sistem(Sumber Deacon & Firebaugh, 1981)

Paradigma, Konsep, Proposisi dan Teori

Paradigma

Ritzer (1980) mengatakan bahwa di dalam paradigma melekat tiga unsur

krusial yakni: (1) image of the subject matter (citra pokok suatu persoalan), (2) strategi dalam mengidentifikasi persoalan, dan (3) perspektif dalam menelaah

persoalan. Karena itu, topik kajian yang sama boleh jadi membuahkan hasil akhir

yang berbeda apabila dilakukan atau berangkat dari paradigma yang berbeda.

Berdasarkan pengertian tersebut, kelihatannya bahwa dalam melihat dan

menjelaskan penelitian yang dilakukan oleh penulis dengan peneliti terdahulu

misalnya yang dilakukan oleh Rambe (2005) tentang Alokasi Pengeluaran dan

Tingkat Kesejahteraan, maupun yang dilakukan oleh Ibrahim (2007) tentang Analisis

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kesejahteran Keluarga. Rambe (2005)

melihat tingkat kesejahteran keluarga dari aspek pengeluaran, sehingga yang dikaji

adalah pengeluaran pangan dan non pangan, sedangkan Ibrahim (2006) melihat PROSES Personal Subsistem: -Pengemba ngan kap -Pengemba ngan nilai, prestasi Manajerial Subsistem: -Planning -Actuating RESPONS KEBUTU HAN -Orientasi tujuan -Pengemba ngan ke pribadian -Prestasi yg dicapai PERUBA HAN SD -Kapasitas personal -Income KEBUTUHAN Eksternal: nilai, tujuan, norma, dan tuntutan

Internal: orientasi tujuan personal

RESOURCE Eksternal: dukungan keluarga & sosial, income

(33)

dari faktor-faktor yang berhubungan dengan kesejahteraan keluarga. Karena itu,

yang dikaji adalah sejumlah faktor yang dipandang sebagai variabel bebas yang

mempengaruhi kesejahteraan seperti pendapatan, pekerjaan, dan lain-lain.

Sementara itu, yang di kupas oleh penulis adalah analisis kesejahteraan dan

manajemen sumberdaya keluarga. Oleh karena itu, yang dikaji adalah selain

karakteristik keluarga, karakteri sosial ekonomi dan faktor eksternal juga dibahas

tentang aspek manajemen sumberdaya keluarga yang berpengatuh terhadap

kesejahteran, misalnya perencanaan, pembagian tugas dan pengawasan. Inilah

yang membedakan antara penulis dengan kedua peneliti tersebut. Oleh karena citra

pokok persoalan yang berbeda, maka strategi dalam mengidentifikasi masalah dan

perspektif dalam menelaah masalahpun berbeda-beda.

Konsep

Menurut Usman (1995) konsep adalah suatu abstraksi yang dipergunakan

sebagai building block (batasan) untuk membangun proposisi dan teori yang kelak diharapkan dapat menerangkan dan memprediksi suatu fenomena. Sebuah konsep

merupakan suatu kesatuan pengertian (saling berkaitan dalam bentuk jalinan). Jadi,

bukan sekedar sederetan gejala yang dirangkai menjadi suatu pernyataan. Sebagai

misal, kesejahteraan tergantung pada tingkat pendapatan yang dimiliki. Keyakinan

semacam ini tersirat bahwa dalam meningkatkan kesejahteraan material, tingkat

pendapatan menjadi sangat penting. Salah satu instrumen yang digunakan dalam

mengukur konsep adalah mencari indikator-indikatornya. Misalnya indikator

kesejahteraan rakyat yang disusun oleh BPS (1984) tentang perbaikan kualitas

hidup masyarakat Indonesia agar lebih merata dan sekaligus ditujukan pula untuk

mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang memadai. Strategi pembangunan ini

yang telah ditetapkan oleh MPR, dicantumkan dalam GBHN dan merupakan suatu

strategi yang dianggap paling tepat untuk lebih memacu pertumbuhan negara

Indonesia sesuai dengan apa yang tercantum dalam UUD 1945. Secara lebih luas

lagi, dengan strategi ini dapat diwujudkan keseluruhan potensi masyarakat

Indonesia.

Pembangunan Indonesia adalah pembangunan manusia seutuhnya dan

masyarakat seluruhnya. Termasuk dalam proses pembangunan adalah usaha

(34)

mempercepat terpenuhinya kebutuhan tersebut pemerintah telah melaksanakan

berbagai program di bidang-bidang yang strategis misalnya: kependudukan,

kesehatan, pendidikan, sosial budaya, perumahan dan lingkungan hidup, serta

pengeluaran rumahtangga. Untuk itu, diperlukan data dan informasi misalnya, untuk

mengevaluasi sasaran pembangunan yang telah dapat dicapai, atau untuk

memonitor apa saja yang sudah berhasil dilakukan dan apa yang belum dan

sebagainya. Untuk mencapau tingkat pemerataan yang diinginkan diperlukan tidak

sedikit informasi dari berbagai sektor kehidupan. Dengan demikian, selain

penyediaan barang dan jasa yang dapat meningkatkan taraf hidup seluruh

masyarakat Indonesia, penyediaan data yang lengkap, cermat, tepat waktu dan

berkesinambungan juga merupakan hasil pembangunan yang sangat menentukan

kemajuan selanjutnya.

Indikator yang diperlukan untuk perencanaan, evaluasi dan pemantauan

program pembangunan harus dihasilkan dari survei tahunan karena adanya suatu

kebutuhan untuk mengetahui perubahan setiap tahun dan pelaksanaan program

yang telah disusun dan juga pengaruhnya pada keadaan sosial masyarakat yang

menjadi sasaran program tersebut seperti terlihat pada Tabel 2

Tabel 2 Beberapa Aspek Sosial yang Diukur Beserta Indikatornya No Aspek Sosial Indikator

1

2

3

4

5

6

Kependudukan

Kesehatan

Pendidikan

Sosial budaya

Perumahan dan lingkungan hidup

Pengeluaran rumahtangga

-Kepadatan penduduk menurut Provinsi

-Perbandingan banyaknya anak umur 0-4 tahun terhadap wanita umur 15-49 tahun menurut Provinsi

-Banyaknya Puskesmas dan Puskesmas Pembantu -Jumlah tenaga kesehatan menurut jenisnya -Perkiraan kematian bayi menurut provinsi dan sex

-Perkiraan harapan hidup waktu lahir menurut provinsi dan sex

-Persentase penduduk 10 tahun keatas menurut tingkat pendidikan yang ditamatkan

-Persentase penduduk menurut 10 tahun keatas yang buta huruf menurut provinsi dan tempat tinggal

-Persentase penduduk yang memiliki radio, kaset menurut provinsi -Persentase penduduk berbahasa Indonesia sehari-hari menurut provinsi

di daerah perkotaan dan perdesaan

-Persentase rumah-tangga menurut luas lantai yang didiami -Persentase rumah-tangga di daerah kota dan pedesaan menurut jenis penerangan lampu

-Perkembangan pendapatan nasional netto perkapita

(35)

Data yang dikumpulkan antara lain menyangkut bidang-bidang

kependudukan, kesehatan, pendidikan, sosial budaya, perumahan dan lingkungan

hidup serta pengeluaran rumahtangga. Untuk mengukur bidang-bidang tersebut di

atas, digunakan suatu indikator komposit. Misalnya bidang kependudukan nilainya

didasarkan pada dua variabel kepadatan penduduk seperti kepadatan penduduk

menurut Provinsi dan Perbandingan banyaknya anak umur 0-4 tahun terhadap

wanita umur 15-49 tahun menurut Provinsi, demikian pula variabel lainnya seperti

pendidian, dan lain-lain.

Proposisi

Proposisi adalah pernyataan tentang hakekat suatu kenyataan sosial yang

dapat diuji kebenarannya dan dapat diamati gejalanya. Proposisi bisa dirumuskan

dalam bentuk hipotesis dan dalil (Philips, 1971). Untuk menjelaskan elemen ini, kita

melihat kembali citra pokok masalah yang dikaji oleh penulis yaitu kesejahteran dan

manajemen sumberdaya keluarga. Dari image semacam ini dapat disusun

bermacam -macam proposisi. Proposisi tersebut pada intinya berkaitan dengan

variabel independent yang meliputi: jumlah anggota, usia, pendidikan, pendapatan,

pekerjaan, kepemilikan aset, kepemilikan tabungan, perencanaan, pembagian tugas,

pengawasan, akses pinjaman pada lembaga keuangan, Bantuan Langsung Tunai

(BLT), kepemilikan kredit dan lokasi tempat tinggal.

Teori

Teori adalah seperangkat proposisi yang menggambarkan mengapa suatu

gejala terjadi seperti itu, dan prediksi kehidupan sosial (Ritzer, 1983). Dalam ilmu

keluarga telah berkembang bermacammacam teori yang membahas bermacam

-macam masalah (aspek struktural dan fungsional keluarga, aspek perspektif

keluarga, aspek lingkungan hidup keluarga dan lain-lain) Teori-teori tersebut telah

mapan dan memiliki akar paradigma yang berbeda-beda. Dalam pendekatan teori,

dikemukakan beberapa theoritical framework, berkaitan dengan penelitian ini. Hill dan Hansen (1960) mengatakan bahwa theoritical framework (kerangka konseptual) yang merujuk pada sekumpulan konsep yang saling berhubungan dan

proposisi-proposisi tentang fenomena keluarga secara umum antara lain: Teori Struktural

(36)

Keluarga, dan Teori Perubahan Sosial. Disamping itu, dikemukakan pula studi

empirik sebelumnya tentang kesejahteraan, kepuasan dan kebahagiaan

Teori Struktural Fungsional

Ogburn dan Parsons dalam Megawangi (1999), adalah para sosiolog

ternama yang mengembangkan pendekatan struktural fungsional dalam kehidupan

keluarga pada abad ke 20. Penerapan teori ini pada keluarga oleh Parsons adalah

sebagai reaksi dari pemikiran-pemikiran tentang melunturnya atau berkurangnya

fungsi keluarga karena adanya modernisasi. Bahkan menurut Parsons, fungsi

keluarga pada zaman moderen, terutama dalam sosialisasi anak dan tension management untuk masing-masing anggota keluarga justru akan semakin terasa penting. Keluarga dapat dilihat sebagai salah satu subsistem dalam masyarakat juga

tidak akan lepas dari interaksinya dengan subsistem lainnya yang ada dalam

masyarakat, misalnya sistem ekonomi, politik, pendidikan dan agama. Interaksinya

dengan subsistem tersebut, keluarga berfungsi untuk memelihara keseimbangan

sosial dalam masyarakat (equilibrium state). Seperti halnya organisme hidup, keluarga menurut Parsons diibaratkan sebuah hewan berdarah panas yang dapat

memelihara temperatur tubuhnya agar tetap konstan walaupun kondisi lingkungan

berubah. Parsonian tidak menganggap keluarga adalah statis atau tidak dapat

berubah. Menurutnya, keluarga selalu beradaptasi secara mulus menghadapi

perubahan lingkungan. Kondisi ini disebut “keseimbangan dinamis” (dynamic equilibrium). Dalam pandangan teori struktural fungsional, dapat dilihat dua aspek yang saling berkaitan satu sama lain yaitu aspek struktural dan aspek fungsional.

Aspek Struktural. Ada tiga elemen utama dalam struktur internal yaitu : status sosial, fungsi sosial, dan norma sosial yang ketiganya saling kait mengkait.

Berdasarkan status sosial, keluarga inti biasanya distruktur oleh tiga struktur utama

yaitu : suami, istri dan anak-anak. Struktur ini dapat pula berupa figur-figur seperti

pencari nafkah, ibu rumah tangga, anak-anak balita, anak remaja dan lain-lain.

Keberadaan status sosial ini penting karena dapat memberikan identitas kepada

angota keluarga seperti bapak, ibu dan anak-anak dalam sebuah keluarga, serta

memberikan rasa memiliki karena ia merupakan bagian dari sistem keluarga.

Keberadaan status sosial secara instrinsik menggambarkan adanya hubungan

(37)

Bates (1956) mengatakan bahwa peran sosial dalam teori ini adalah

menggambarkan peran masing-masing individu atau kelompok menurut status

sosialnya dalam sebuah sistem sosial. Peran sosial dapat diartikan sebagai

seperangkat tingkah laku yang diharapkan dapat memotivasi tingkah laku seseorang

yang menduduki status sosial tertentu. Dengan kata lain, untuk setiap status sosial

tertentu akan ada fungsi dan peran yang diharapkan dalam interaksinya dengan

individu atau kelompok dengan status sosial yang berbeda.

Berdasarkan pendapat Bates di atas, maka ayah berstatus kepala keluarga

diharapkan dapat menjamin kebutuhan hidup seluruh anggota keluarga baik material

maupun spiritual. Ibu berkewajiban memberikan perawatan terhadap anak-anak dan

anak-anak berkewajiban menghormati orang tuanya. Parsons dan Bales (1955)

membagi dua peran orang tua dalam keluarga, yaitu peran instrumental yang

diharapkan dilakukan oleh suami dan peran emosional atau ekespresif yang

biasanya dipegang oleh figur istri. Peran instrumental dikaitkan dengan peran

pencari nafkah, sedangkan peran emosional adalah peran pemberi cinta,

kelembutan dan kasih sayang.

Norma sosial, menurut Megawangi (1999) adalah sebuah peraturan yang

menggambarkan sebaiknya seseorang bertingkah laku dalam kehidupan sosialnya.

Setiap keluarga mempunyai norma spesifik, misalnya norma sosial dalam hal

pembagian tugas dalam rumah tangga, yang merupakan bagian dari struktur

keluarga untuk mengatur tingkah laku setiap anggota keluarga. Norma sosial

menekankan baik atau buruk, pantas atau tidak pantas, layak atau tidak layak yang

ditujukan kepada setiap anggota keluarga untuk melakukan sesuatu baik tindakan

atau perkataan. Dengan demikian, norma sosial adalah unsur dasar dari pada

kehidupan keluarga.

Aspek Fungsional. Menurut Megawangi (1999), aspek fungsional sulit dipisahkan dengan aspek struktural karena keduanya saling berka itan. Arti fungsi

disini dikaitkan dengan bagaimana subsistem dapat berhubungan dan dapat

menjadi sebuah kesatuan sosial. Menurut Megawangi, bahwa fungsi sebuah sistem

mengacu pada sebuah sistem untuk memelihara dirinya sendiri dan memberikan

kontribusi pada berfungsinya subsistem dari sistem tersebut.

Keluarga sebagai sebuah sistem menurut Mcintyre (1966) mempunyai

(38)

menjalankan tugas -tugas, ingin meraih tujuan yang dicita-citakan, integrasi dan

solidaritas sesama anggota, memelihara kesinambungan keluarga. Keluarga inti

mapun sistem sosial lainnya, mempunyai karakteristik yang hampir sama yaitu ada

diferensiasi peran, struktur yang jelas yaitu ayah, ibu dan anak-anak.

Berdasarkan hasil penelitian Parsons dan Bales (1956) mereka membuat

kesimpulan bahwa institusi keluarga serta kelompok-kelompok kecil lainnya,

dibedakan oleh kekuasaan atau dimensi hirarkhis. Umur dan jenis kelamin bisanya

dijadikan dasar alami dari proses diferensiasi itu. Parsons menekankan pula

pentingnya diferensiasi peran dalam kesatuan peran instrumental-emosional.

Diferensiasi peran ini akan menggambarkan sejumlah fungsi atau tugas yang

dijalankan oleh masing-masing anggota..

Ritzer (1992) mengatakan bahwa setiap struktur dalam hal ini suami, istri

atau anak-anak dalam sistem keluarga harus bersifat fungsional terhadap yang lain,

jika setiap struktur dalam keluarga tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada

atau hilang. Dalam keluarga harus ada alokasi fungsi atau tugas yang jelas, yang

harus dilakukan agar keluarga sebagai sistem dapat tetap ada Pembagian tugas

yang tidak jelas pada masing-masing aktor dengan status sosialnya, atau terjadi

disfungsional salah satu aktor dalam keluarga, menyebabkan sistem keluarga akan

terganggu atau keberadaan keluarga tidak akan berkesinambungan. Berdasarkan

pendapat Parsons dan Bales serta Ritzer di atas, maka institusi keluarga menurut

Megawangi (1999) perlu melakukan langkah-langkah agar keluarga dapat berfungs i.

Langkah-langkah tersebut adalah:

Diferensiasi Peran. Di dalam keluarga terdapat serangkaian tugas dan aktivitsas yang dilakukan oleh keluarga, maka harus ada alokasi peran untuk setiap

aktor dalam keluarga. Terminologi diferensiasi peran bisa mengacu pada umur,

gender, generasi, juga posisi status ekonomi dan politik dari masing-masing aktor.

Alokasi tugas disini dalam arti siapa harus mengerjakan pekerjaan apa. White (1976)

mengemukakan bahwa pekerjaan disini menyangkut beberapa aspek antara lain:

kegiatan yang menghasilkan barang dan jasa, pekerjaan yang langsung

menghasilkan uang, pekerjaan yang memberikan status sosial atau prestise pada

keluarga yang bersangkutan, pekerjaan yang dapat menimbulkan interaksi dari aktor

(39)

Alokasi solidaritas. Alokasi solidaritas mengacu pada distribusi relasi antar anggota keluarga menurut cinta, kekuatan dan intensitas hubungan. Cinta atau

kepuasan menggambarkan hubungan antar anggota. Misalnya, keterikatan

emosional antara seorang ibu dengan anaknya. Kekuatan mengacu pada

keutamaan sebuah relasi relatif terhadap relasi lainnya. Hubungan antara bapak

dan anak lelaki mungkin lebih utama dari pada hubungan antara suami dan istri

pada suatu budaya tertentu, sedangkan intensitas adalah kedalaman relasi antar

anggota menurut kadar cinta, kepedulian ataupun ketakutan.

Alokasi kekuasaan. Alokasi kekuasaan terutama ditekankan pada aspek kehidupan sosial, ekonomi dan budaya dalam keluarga. Aspek-aspek tersebut

terutama mencakup pengambilan keputusan dalam bidang sosialisasi nilai-nilai

sosial budaya. Dalam bidang ekonomi terutama dalam hal produksi, konsumsi dan

distribusi. Dalam bidang budaya terutama dalam hal menghadapi transformasi

nilai-nilai baru yang dipandang merusak tatanan norma keluarga. Distribusi kekuasaan

dalam ketiga aspek tersebut (sosial, ekonomi dan budaya) adalah penting dalam

setiap keluarga karena menyangkut otoritas legitimasi pengambilan keputusan

untuk siapa yang bertanggung jawab atas setiap tindakan atau aktivitas anggota

keluarga. Agar keluarga dapat berfungsi dan melakukan hal-hal yang normal dan

wajar baik dalam keluarga maupun di luar rumah maka distribusi kekuasaan pada

aspek di atas sangat diperlukan.

Teori Interaksionisme Simbolik

Menurut Usman (1995) teori interaksionisme simbolik lazim diidentifikasi

sebagai deskripsi yang interpretatif. Dengan cara deskripsi yang interpretatif

fenomena sosial yang berkembang dalam keluarga bisa dipahami dengan lebih

cermat, sehingga dapat ditemukan hal-hal baru yang berbeda dengan orang atau

lingkungan lain. Ada tiga prinsip dasar yang dikembangkan oleh teori ini dalam

membaca fenomena sosial yaitu: (1) individu menyikapi sesuatu atau apa saja yang

ada di lingkungannya berdasarkan makna sesuatu tersebut bagi dirinya, (2) makna

tersebut diberikan berdasarkan interaksi sosial yang dijalin dengan individu lain, dan

(3) makna tersebut dipahami dan dimodifikasi oleh individu melalui proses

interpretatif yang berkaitan dengan hal-hal lain yang dijumpainya. Ketiga prinsip

(40)

melihat dirinya sendiri sebagaimana ia melihat orang lain. Individu juga tidak pasif,

artinya memiliki kemampuan membaca situasi yang melingkupi hidupnya. Dengan

demikian perhatian teori interaksionisme simbolik banyak difokuskan pada

aspek-aspek interaksi sosial, baik yang memelihara stabilitas maupun yang mendorong

perubahan bagaimana individu seharusnya melihat dirinya sendiri dan menafsirkan

situasi yang melingkupi hidupnya.

Berangkat dari ketiga prinsip dasar tersebut, kaum interaksionisme simbolik

menawarkan metodologi yang lebih menekankan pada pemahaman makna

terhadap suatu aktivitas baik perkataan maupun perbuatan yang ada dalam

keluarga, kemudian mengidentifikasi sebabnya. Makna dan sebab selanjutnya

dipergunakan untuk memahami proses aktivitas tersebut. Proses menjadi salah satu

yang sentral dalam analisis yang ditawarkan oleh pendekatan ini. Itulah sebabnya

dalam menerangkan interaksi antar anggota keluarga teori ini menolak cara berfikir

yang berangkat dari hipotesis seperti yang lazim dikemukakan oleh kaum idealis.

Penekanannya pada proses bagaimana orang merumuskan definisi dan situasi yang

melingkupinya.

Komponen penting dalam analisis berdasarkan teori interaksionisme simbolik

adalah tentang tingkah laku dengan perhatian utama pada makna (meaning). Setiap tingkah laku aktor dalam keluarga bukan sekedar ekspresi yang mendadak atau

tiba-tiba tetapi lebih dari pada itu adalah mengandung makna yang dilakukan oleh

aktor dengan penuh kesadaran. Sebuah tingkah laku yang mempunyai makna

tertentu bagi salah satu aktor dalam keluarga, akan ditempatkan sebagai pola dalam

memberi respons tingkah laku oleh anggota dalam keluarga tersebut. Dengan

membuat deskripsi yang akurat dalam konteks keberadaan tingkah laku aktor dalam

keluarga, maka keluarga akan menangkap berbagai m

Gambar

Gambar 1 Bagan Individual/manajerial sistem(Sumber Deacon & Firebaugh, 1981)
Gambar 2 Lingkungan Makro dan Mikro Sumber: Deacon dan Firebaugh (1988)
Tabel 3 Saling Ketergantungan Lingk Makro, Sistem Sosial dengan Keluarga
Tabel 5 Perbedaan/Persamaan Kesejahteraan, Kepuasan dan Kebahagiaan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tabel 3.4 Hasil pengukuran arus pada Gedung Kuliah 1 Jurusan Teknik Sipil Politeknik Negeri Sriwijaya Hari Rabu Tanggal 27 Mei 2015

PEMBINAAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA Jalan Jenderal Gatot Subroto Kaveling 51, Jakarta Selatan 12950 Telepon 5255733 Pesawat 644, Faksimile (021)

This term paper will explain about the causes, the effects, and the solutions that I, as an assistant teacher, will be able to help the three-year-old shy child to participate at

Thomas dan Daniel (2006) menarik perhatian para peneliti untuk menjabarkan keterikatan dan proses yang jelas dimana setiap individu terikat pada pekerjaan dan organisasi

Pertama, Athanassakos membandingkan rasio finansial suatu perusahaan dengan median dari total sampel dan kedua, Athanassakos memberikan nilai biner 0 untuk value

Hal penelitian ini sejalan dengan yang dikemuka- kan oleh Sukmadijaya (2009), yang menyatakan bahwa media arang sekam juga memiliki pertambahan jumlah daun paling sedikit

Program Penanggulangan Kemiskinan adalah kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota, dunia usaha, serta masyarakat untuk

Karakterisasi Molekuler Bakteri Asam Laktat (BAL) Probiotik dengan Gen 16S Rrna yang berpotensi menghasilkan bakteriosin dari fermentasi sirsak (Annona maricata L.)