ABSTRAK
AGUS SUNARTO. Analisis Keterkaitan Antara Pola Penganggaran Dengan Kinerja Pembangunan di Wilayah Jawa Bagian Barat. Dibimbing oleh SUNSUN SAEFULHAKIM dan NOER AZAM ACHSANI.
Adanya sumber daya yang terbatas, maka diperlukan pengalokasian anggaran yang cermat sehingga model pengalokasian anggaran yang tertuang dalam APBD diharapkan akan dapat mempengaruhi secara optimal kinerja pembangunan yang dilaksanakan masing-masing daerah. Dalam konteks spasial, sudah barang tentu terjadi keterkaitan antar daerah dimana masing-masing daerah tersebut terjadi saling mempengaruhi. Kinerja pembangunan suatu daerah akan dipengaruhi oleh pola alokasi anggaran belanja dan keterkaitan masing-masing daerah.
Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Menganalisis dan memetakan konfigurasi spasial pola pengalokasian anggaran belanja daerah. 2) Menganalisis dan memetakan konfigurasi spasial kinerja pembangunan daerah. 3) Menganalisis peran struktur alokasi anggaran belanja dan keterkaitan antar daerah untuk optimalisasi kinerja pembangunan daerah.
Penelitian dilakukan di wilayah Jawa bagian barat yang meliputi tiga propinsi yaitu: Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten. Agar lebih terfokus kepada suatu permasalahan , maka penelitian menitikberatkan kepada indikator kinerja pembangunan di bidang perekonomian dengan tanpa bermaksud mengecilkan indikator-indikator bidang lainnya. Satuan wilayah analisis diukur untuk masing-masing kabupaten/kota. Untuk menjawab tujuan 1, dilakukan perhitungan analisis belanja bidang per kapita, analisis belanja bidang per luas wilayah (km2), analisis persentase PAD terhadap total belanja, persentase belanja tak terduga dan indeks diversitas pola penganggaran (entropi). Tujuan 2 dengan menghitung persentase PAD terhadap total penerimaan, rataan persentase laju pertumbuhan ekonomi, PDRB perkapita dan PDRB perluas lahan. Sedangkan tujuan 3 menggunakan input dari hasil analisis penganggaran dan analisis kinerja pembangunan. Analisis ini menggunakan tiga metode yaitu multiple regressive, spatial auto regresive dan
spatial durbin model.
PENGANGGARAN DENGAN KINERJA PEMBANGUNAN
DI WILAYAH JAWA BAGIAN BARAT
AGUS SUNARTO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Keterkaitan Antara Pola Penganggaran Dengan Kinerja Pembangunan Di Wilayah Jawa Bagian Barat adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Maret 2007
Agus Sunarto
ABSTRAK
AGUS SUNARTO. Analisis Keterkaitan Antara Pola Penganggaran Dengan Kinerja Pembangunan di Wilayah Jawa Bagian Barat. Dibimbing oleh SUNSUN SAEFULHAKIM dan NOER AZAM ACHSANI.
Adanya sumber daya yang terbatas, maka diperlukan pengalokasian anggaran yang cermat sehingga model pengalokasian anggaran yang tertuang dalam APBD diharapkan akan dapat mempengaruhi secara optimal kinerja pembangunan yang dilaksanakan masing-masing daerah. Dalam konteks spasial, sudah barang tentu terjadi keterkaitan antar daerah dimana masing-masing daerah tersebut terjadi saling mempengaruhi. Kinerja pembangunan suatu daerah akan dipengaruhi oleh pola alokasi anggaran belanja dan keterkaitan masing-masing daerah.
Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Menganalisis dan memetakan konfigurasi spasial pola pengalokasian anggaran belanja daerah. 2) Menganalisis dan memetakan konfigurasi spasial kinerja pembangunan daerah. 3) Menganalisis peran struktur alokasi anggaran belanja dan keterkaitan antar daerah untuk optimalisasi kinerja pembangunan daerah.
Penelitian dilakukan di wilayah Jawa bagian barat yang meliputi tiga propinsi yaitu: Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten. Agar lebih terfokus kepada suatu permasalahan , maka penelitian menitikberatkan kepada indikator kinerja pembangunan di bidang perekonomian dengan tanpa bermaksud mengecilkan indikator-indikator bidang lainnya. Satuan wilayah analisis diukur untuk masing-masing kabupaten/kota. Untuk menjawab tujuan 1, dilakukan perhitungan analisis belanja bidang per kapita, analisis belanja bidang per luas wilayah (km2), analisis persentase PAD terhadap total belanja, persentase belanja tak terduga dan indeks diversitas pola penganggaran (entropi). Tujuan 2 dengan menghitung persentase PAD terhadap total penerimaan, rataan persentase laju pertumbuhan ekonomi, PDRB perkapita dan PDRB perluas lahan. Sedangkan tujuan 3 menggunakan input dari hasil analisis penganggaran dan analisis kinerja pembangunan. Analisis ini menggunakan tiga metode yaitu multiple regressive, spatial auto regresive dan
spatial durbin model.
ANALISIS KETERKAITAN ANTARA POLA
PENGANGGARAN DENGAN KINERJA PEMBANGUNAN
DI WILAYAH JAWA BAGIAN BARAT
AGUS SUNARTO
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Analisis Keterkaitan Antara Pola Pengalokasian Anggaran dengan Kinerja Pembangunan di Propinsi Jawa Barat
Nama : Agus Sunarto
NRP : A. 253050014
Program Studi : Perencanaan Wilayah (PWL)
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. H. R. Sunsun Saefulhakim, M.Agr Dr. Ir. Noer Azam Achsani, M.S.
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan
Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pasca Sarjana
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Prof. Dr. Ir. Khoiril Anwar Notodiputro, M.S.
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah pola penganggaran dan hubungan antar daerah kaitannya dengan kinerja pembangunan, dengan judul Analisis Keterkaitan Antara Pola Pengalokasian Anggaran dengan Kinerja Pembangunan di Propinsi Jawa Barat.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. H. R. Sunsun Saefulhakim, M.Agr dan Bapak Dr. Ir. Noer Azam Achsani, M.S. selaku pembimbing yang telah mencurahkan segenap waktu dan pikiran dan banyak memberi masukan dan saran dalam penulisan karya ilmiah ini, Dr. Ir. Setia Hadi Hakim sebagai penguji luar komisi yang memberi masukan bagi kelengkapan penulisan, Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) Sekolah Pascasarjana IPB atas kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan. Rasa terima kasih yang mendalam penulis sampaikan kepada Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan atas ijin yang telah diberikan untuk mengikuti pendidikan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Pusbindiklatren Bappenas yang telah memberikan beasiswa kepada penulis selama mengikuti pendidikan.
Penulis mengucapkan terima kasih juga kepada teman-teman di Kelas Khusus Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah tahun 2005 atas segala bantuannyanya, serta langkah-langkah penuh keceriaan dan kenangan di kampus IPB yang tak akan terlupakan. Tak lupa, penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih kepada ayah, ibu, mertua, istri, anak-anakku tersayang, serta seluruh keluarga atas segala doa, kasih sayang, serta pengorbanan yang telah diberikan selama ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2007
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sleman pada tanggal 3 Februari 1973 dari ayah Basri dan ibu Sholihah. Penulis merupakan putra pertama dari empat bersaudara. Buah dari perkawinannya dengan Widi Widayanti pada tahun 2000, penulis mendapatkan dua putra yang bernama Fuad Hawari Winarto (6 tahun) dan Akmal Hidayat Winarto (1 tahun).
Sekolah Dasar sampai dengan Sekolah Menengah Pertama diselesaikan penulis di tempat kelahirannya Sleman. Sekolah Menengah Atas ditempuh di kota Yogyakarta. Sedangkan pendidikan sarjana ditempuh pada Jurusan Teknik Eloktro Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada yang ditamatkan pada tahun 1998.
Pada tahun 2005, penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Program Pascasarjana IPB pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL). Beasiswa pendidikan diperoleh dari Pusbindiklatren Bappenas.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
DAFTAR SINGKATAN... xvii
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Batasan Penelitian ... 3
1.3. Hipotesis Penelitian ... 3
1.4. Tujuan Penelitian... 4
1.5. Lingkup Penelitian ... 4
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembangunan Daerah /Wilayah ... 5
2.1.1. Pembangunan Ekonomi Daerah ... 6
2.2. Pengukuran Kinerja Pembangunan Daerah ... 7
2.2.1. Indikator-Indikator Kinarja Pembangunan ... 8
2.2.1.1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ... 9
2.3. Anggaran Pendapatan Daerah (APBD) ... 11
2.3.1. Pendapatan Asli Daerah ... 12
2.3.2. Dana Bagi Hasil ... 16
2.3.3. Dana Alokasi Umum ... 17
2.3.4. Dana Alokasi Khusus ... 17
2.4. Interaksi Spasial 2.4.1. Teori/Model-Model Interaksi Spasial ... 17
2.4.1.1. Model Grafitasi... 18
2.4.1.2. Analisis Diversitas (Entropi)... 19
2.4.1.3. Linear Programming Transport Model... 20
2.4.2. Spatial Econometrics... 22
2.4.2.1. Spatial Autoregressive Model ... 22
2.5. Sistem Informasi Geografis... 24
2.6. Identifikasi Penciri Utama: Principal Components Analysis (PCA)... 26
3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi Penelitian ... 36
3.2. Kerangka Pemikiran ... 36
3.3. Kerangka Pendekatan ... 38
3.3.1. Analisis Konfigurasi Spasial Kinerja Pembangunan Daerah ... 39
3.3.1.1. Laju Pertumbuhan Ekonomi... 40
3.3.1.3. Struktur Perkonomian/ Indeks Diversivikasi 9
Sektor... 42
3.3.1.4. Indeks Daya Saing aktifitas Ekonomi ... 43
3.3.1.5. Pendapatan Perkapita ... 43
3.3.1.6. Variabel-Variabel Yang Diturunkan Dari Data APBD ... 44
3.3.2. Ananlisis Konfigurasi Spasial Pola Pengalokasian Anggaran Belanja Daerah ... 44
3.3.2.1. Penyusunan Variabel Pola Pengalokasian Anggaran Daerah ... 45
3.3.2.2. Analisis Komponen Utama ... 47
3.3.3. Analisis Hubungan Fungsional Antara Konfigurasi Spasial Pola Pengalokasian Anggaran Belanja Daerah Dengan Konfigurasi Spasial Kinerja Pembangunan Daerah ... 48
3.3.4. Analisis Deskripsi Logika Verbal ... 51
3.4. Pengumpulan Data ... 55
4. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN... 57
4.1. Propinsi Jawa Barat ... 57
4.1.1. Geografi... 57
4.1.2. Topografi ... 58
4.1.3. Iklim ... 58
4.1.4. Populasi ... 58
4.1.5. Sosial Budaya ... 59
4.2. Propinsi Banten ... 59
4.2.1. Letak Geografis dan Ekosistem ... 60
4.2.2. Iklim dan Curah Hujan ... 61
4.2.3. Kependudukan ... 61
4.3. Propinsi DKI Jakarta ... 62
4.3.1. Iklim ... 62
4.3.2. Kondisi Geologis ... 63
4.3.3. Letak Geografis ... 63
4.3.4. Ekonomi ... 63
5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pola Penganggaran ... 65
5.1.1. APBD Belanja per Kapita ... 65
5.1.2. APBD Belanja per Luas Wilayah ... 69
5.1.3. Belanja Tidak Tersangka ... 74
5.1.4. Indeks Diversitas Pola Penganggaran ... 75
5.2. Kinerja Pembangunan Daerah ... 78
5.2.1. Persentase PAD Terhadap Total Penerimaan ... 78
5.2.2. Laju Pertumbuhan Ekonomi ... 81
5.2.3. PDRB Per Kapita ... 82
5.2.4. PDRB per Luas Lahan ... 83
5.2.5. PCA Variabel-variabel Kinerja Pembangunan ... 84
5.3. Hubungan Antara Pola Penganggaran dan Keterkaitan Antar Daerah
dengan Kinerja Pembangunan ... 91 5.3.1. Pengujian Tingkat Produktifitas Ekonomi ... 92
5.3.1.1. Model Pertama dengan Analisis Multiple
Regressive Model... 92 5.3.1.2. Model Kedua dengan Spatial Auto Regressive
Model... 94 5.3.1.2.1. Pembobot Spasial Matriks
Ketetanggaan ... 95 5.3.1.2.2. Pembobot Spasial Matriks
Kebalikan Jarak Centroid ... 96 5.3.1.2.3. Pembobot Spasial Matriks Aliran
Barang ... 96 5.3.1.3. Model Ketiga dengan Analisis Spatial Durbin
Model ... 97 5.3.1.3.1. Pembobot Spasial Matriks
Ketetanggaan ... 97 5.3.1.3.2. Pembobot Spasial Matriks
Kebalikan Jarak Centroid ... 100 5.3.1.3.3. Pembobot Spasial Matriks Aliran
Barang ... 101 5.3.2. Pengujian Laju Pertumbuhan Ekonomi... 104 5.4. Faktor-Faktor Penyusunan Anggaran yang Mempengaruhi Kinerja
Pembangunan ... 106 6. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Tabel 3.1. Data-data APBD untuk menyusun variabel proxy kinerja
pembangunan daerah ... 49 2. Tabel 3.3 : MatrikTujuan Penelitian, Data, Sumber Data, Pendekatan
Analisis dan Output yang diharapkan ... 60 3. Tabel.3.4. Kebutuhan Data Penelitian ... 62 4. Tabel 3.5. Peraturan perundangan ... 63 5. Tabel 5.1. Eigenvalues. Extraction: Principal components APBD
Bidang per jumlah penduduk ... 65 6. Tabel 5.2. Factor loading dan communalities APBD Bidang per
kapita ... 67 7. Tabel 5.3. Eigenvalues. Extraction: Principal components APBD
Bidang per luas wilayah ... 69 8. Tabel 5.4. Factor loading dan communalities APBD Bidang per luas
wilayah ... 71 9. Tabel 5.5. Tipologi wilayah berdasarkan pola penganggaran ... 73 10. Tabel 5.6. Hasil Perhitungan variabel-variabel Pola Penganggaran dari
APBD Belanja ... 77 11. Tabel 5.7. Variabel-variabel Kinerja Pembangunan ... 80 12. Tabel 5.8. Eigenvalues. Extraction: Principal components
:Variabel-variabel Kinerja Pembangunan ... 84 13. Tabel 5.9. Factor loading dan communalities variabel-variabel
Kinerja Pembangunan ...……… 85 14. Tabel 5.10. Nilai factor scores hasil PCA variabel-variabel kinerja
pembangunan ... 86 15. Tabel 5.11. Kategori daerah berdasarkan tingkat produktifitas dan
tingkat pertumbuhan ... 88 16. Tabel 5.12. Hasil regresi berganda variabel tingkat produktifitas
17. Tabel 5.13. Hasil Spatial Auto Regressive ModelY1 dengan pembobot
spasial matriks ketetanggaan ... 95 18. Tabel 5.14. Hasil Spatial Auto Regressive ModelY1 dengan pembobot
spasial matriks kebalikan jarak ... 96 19. Tabel 5.15. Hasil Spatial Auto Regressive Model dengan pembobot
spasial matriks aliran barang ... 97 20. Tabel 5.16. Hasil Spatial Durbin Model variabel Y1 dengan pembobot
spasial matriks ketetanggaan ... 98 21. Tabel 5.17. Hasil Spatial Durbin Model terhadap Y1 dengan pembobot
spasial matriks kebalikan jarak centroid ... 101 22. Tabel 5.18. Hasil Spatial Durbin Model terhadap Y1 dengan pembobot
spasial matriks aliran barang ... 102 23. Tabel 5.19. Rangkuman hasil analisis pengujian tingkat produktifitas
ekonomi (Y1) dan tingkat pertumbuhan ekonomi (Y2) ... 105
24. Tabel 5.20. Hasil PCA Communalities dan factor loading keterkaitan antara belanja APBD kabupaten/kota terhadap sektor-sektor
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Gambar 3.1. Diagram alir kerangka pemikiran penelitian... 37
2. Gambar 3.2. Diagram alir kerangka pendekatan penelitian ... 39
3. Gambar 3.3. Bagan alir analisis konfigurasi spasial kinerja pembangunan daerah ... 40
4. Gambar 3.4. Diagram alir analisis konfigurasi spasial Pola Pengalokasian Anggaran ... 45
5. Gambar 3.5. Diagram alir kerangka analisis hubungan fungsional antara pola pengalokasian anggaran dan kinerja pembangunan ... 56
6. Gambar 3.6. Kerangka analiasis untuk memberi rekomendasi pola pengalokasian anggaran untuk optimalisasi kinerja pembangunan ... 59
7. Gambar 5.1. Plot eigenvalues APBD Bidang perkapita ... 66
8. Gambar 5.2. Pola Spasial belanja administrasi dan produksi perkapita. ... 68
9. Gambar 5.3. Pola Spasial belanja penanaman modal perkapita ... 68
10. Gambar 5.4. Plot eigenvalues APBD bidang per luas wilayah ... 70
11. Gambar 5.5. Pola Spasial Factor Scores I (belanja sarana prasarana) APBD Bidang per luas wilayah ... 72
12. Gambar 5.6. Pola spasial factor scores II (belanja tata ruang dan hutbun) APBD bidang per luas wilayah ... 72
13. Gambar 5.7. Pola spasial tipologi wilayah berdasarkan pola penganggaran ... 74
14. Gambar 5.8. Pola spasial persentase belanja tidak tersangka terhadap total belanja APBD ... 75
15. Gambar 5.9. Pola spasial indeks entropi APBD Belanja Bidang ... 76
17. Gambar 5.11. Pola spasial % PAD terhadap total Penerimaan tahun
2003 ... 79
18. Gambar 5.12. Pola spasial laju pertumbuhan ekonomi ... 81
19. Gambar 5.13. Pola spasial PDRB per kapita tahun 2004 ... 82
20. Gambar 5.14. Pola spasial PDRB per luas lahan tahun 2004 ... 83
21. Gambar 5.15. Plot eigenvalues variabel-variabel kinerja pembangunan ... 84
22. Gambar 5.16. Pola spasial kategori daerah berdasarkan tingkat produktifitas 87 23. Gambar 5.17. Pola spasial kategori daerah berdasarkan tingkat pertumbuhan 87 24. Gambar 5.18. Grafik plot antara variabel produktifitas ekonomi dan variabel pertumbuhan ekonomi ... 88
25. Gambar 5.19. Pola spasial kategori daerah berdasarkan Tingkat Produktifitas (Y1) dan Tingkat Pertumbuhan (Y2) ... 89
26. Gambar 5.20. Pola spasial indeks diversitas struktur ekonomi PDRB 9 sektor ... 90
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. PDRB kabupaten/kota di provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten tahun 2004 atas dasar harga konstan 2000 menurut lapangan usaha ( juta rupiah ) ... 115 2. PDRB kabupaten/kota di provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten
tahun 2000 atas dasar harga konstan 2000 menurut lapangan usaha ( juta rupiah ) ... 116 3. Matriks ketetanggaan/ batas administrasi kabupaten/kota di Provinsi DKI
Jakarta, Jawa Barat dan Banten ... 117 4. Matriks kebalikan jarak antar centroid kabupaten/kota di Provinsi DKI
Jakarta, Jawa Barat dan Banten ... 118 5. Matriks data aliran barang kabupaten/kota di Provinsi DKI Jakarta, Jawa
Barat dan Banten ... 119 6. Lampiran 6 : Pengujian Tingkat Produktifitas Ekonomi (Y1)
6.1. Model Pertama dengan Analisis Multiple Regressive Model ... 120 6.2. Model Kedua dengan Analisis Spatial Auto Regressive Model
6.2.1. Menggunakan Matriks W1 (Ketetanggaan) ... 121
6.2.2. Menggunakan Matriks W2 (Kebalikan Jarak) ... 122
6.2.3. menggunakan matriks W2 (Data Aliran Barang) ... 123
6.3. Model Ketiga dengan analisis Spatial Durbin Model
6.3.1. Menggunakan Matriks W1 (Ketetanggaan) ... 124
6.3.2. Menggunakan Matriks W2 (Kebalikan Jarak) ... 125
6.3.3. menggunakan matriks W2 (Data Aliran Barang) ... 126
7. Lampiran 7 : Pengujian Tingkat Pertumbuhan Ekonomi (Y2)
7.1. Model Pertama dengan Analisis Multiple Regressive Model ... 127 7.2. Model Kedua dengan Analisis Spatial Auto Regressive Model
7.2.2. Menggunakan Matriks W2 (Kebalikan Jarak) ... 129
7.2.3. menggunakan matriks W2 (Data Aliran Barang) ... 130
7.3. Model Ketiga dengan analisis Spatial Durbin Model
7.3.1. Menggunakan Matriks W1 (Ketetanggaan) ... 131
7.3.2. Menggunakan Matriks W2 (Kebalikan Jarak) ... 132
DAFTAR SINGKATAN
APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah BUMD : Badan Usaha Milik Daerah
CAR : Conditional Auto Regresssions
DAK : Dana Alokasi Khusus
DAK DR : Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi DAK Non-DR : Dana Alokasi Khusus Non Dana Reboisasi DAU : Dana Alokasi Umum
DBH : Dana Bagi Hasil
DKI : Daerah Khusus Ibukota LPE : Laju Pertumbuhan Ekonomi
LQ : Location Quotient
MREG : Multiple Regressive
PAD : Pendapatan Asli Daerah
PCA : Principal Components Analysis
PDB : Produk Domestik Bruto
PDRB : Produk Domestik Regional Bruto
PEMDA : Pemerintah Daerah
PODES : Potensi Desa
SAR : Spatial Auto Regressive
SDM : Spatial Durbin Model
BAB I. PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Sejak tahun 2001 pemerintah bertekad untuk melaksanakan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang kemudian direvisi menjadi Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua undang-undang tersebut mengandung semangat otonomi daerah dan desentralisasi pemerintahan sebagai upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pelayanan umum dalam kerangka pemberdayaan pembangunan daerah secara berkesinambungan.
Agar desentralisasi sesuai yang diharapkan, maka perlu memperhatikan beberapa hal. Menurut Seabright (1996), beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan desentralisasi adalah : 1)Desentralisasi merupakan bentuk tanggung jawab pemerintah terhadap pembangunan wilayah yang beragam; 2)Desentralisasi yang diterapkan harus juga memperhatikan dampak eksternalitas antar wilayah; 3)Jika dalam wilayah tidak cukup homogen, maka desentralisasi menjadi tidak menguntungkan; 4)Sentralisasi dapat lebih menguntungkan tergant ung dari kondisi yang ada; 5)Kebijakan untuk memberi wewenang kepada suatu wilayah, tingkatannya sangat bergantung dengan kondisi wilayah tersebut, sehingga bisa bervariasi dari kasus ke kasus.
Dalam rangka mengemban misi dan tugas yang terkandung dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 33 tahun 2004, Pemerintah daerah diberikan sejumlah kewenangan dan sumber pembiayaan baik yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan yang terdiri dari bagi hasil, alokasi dana umum dan alokasi dana khusus, pinjaman dan lain-lain pendapatan yang sah.
penyusunan, penetapan, pelaksanaan, pengawasan, dan pertanggungjawabannnya telah diatur dalam UU nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Dengan mengalokasikan anggaran ke dalam sektor yang tepat maka kinerja pembangunan akan lebih dapat ditingkatkan.
Model pengalokasian anggaran yang tertuang dalam APBD diharapkan akan dapat mempengaruhi kinerja pembangunan yang dilaksanakan masing-masing daerah. Agar mempermudah dalam melakukan penilaian kinerja pembangunan maka dibuat suatu indikator kinerja yang merupakan ukuran kuantitatif level pencapaian dan daya tumbuh yang dimiliki oleh masing-masing daerah.
Indikator-indikator kinerja tersebut dibangun atas dasar variabel-variabel penting yang dianggap bisa menggambarkan tingkat perkembangan dan pertumbuhan atau mampu menjelaskan tingkat ukuran kinerja pembangunan daerah dapat dirumuskan dengan indeks/rasio. Indeks/rasio tersebut diantaranya adalah : 1) Bidang perekonomian : diukur dengan tingkat laju pertumbuhan ekonomi, struktur perekonomian, pendapatan perkapita, tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan, tingkat pemerataan pendapatan,tingkat daya beli, tingkat tabungan masyarakat, tingkat investasi, realisasi penerimaan APBD, dan lain-lainnya. 2) Bidang ketertiban umum: diukur dari jenis kasus kejahatan, konflik, kecelakaan, dan lain-lainnya. 3)Bidang kesehatan : jumlah penduduk sakit, tingkat kematian, tingkat harapan hidup, angka kelahiran, dan lain-lainnya. 4) Bidang pendidikan : diukur dengan tingkat pendidikan, angka putus sekolah, rataan lama sekolah, angka buta dan melek huruf, dan lain-lainnya. 5)Bidang tata ruang, lingkungan dan pemerintahan umum : diukur dengan kepadatan penduduk, rumah prmanen dan non permanen, penyimpangan penggunaan lahan dari rencana tata ruang, tingkat ketersediaan ruang terbuka hijau, pencemaran lingkungan, dan lain-lainnya.
1.2. Batasan Penelitian
Agar lebih terfokus kepada suatu permasalahan, maka penelitian menitikberatkan kepada indikator kinerja pembangunan di bidang perekonomian dengan tanpa bermaksud mengecilkan indikator-indikator bidang lainnya. Satuan wilayah pengukuran kinerja pembangunan diukur untuk masing-masing kabupaten/kota, dengan wilayah penelitian meliputi Provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten.
1.3Hipotesis Penelitian
Perhitungan pendapatan dengan menggunakan metode/pendekatan pengeluaran adalah menjumlahkan semua pengeluaran, baik yang dilakukan oleh rumah tangga konsumen (C), rumah tangga swasta / produsen (I), rumah tangga pemerintah (G), dan eksport netto (X-M) sehingga pola penganggaran pemerintah adalah termasuk dalam pengeluaran pemerintah (G). Wilayah Jawa bagian barat memiliki kondisi daerah yang sangat bervariasi (berdasarkan PDRB tahun 2004), sehingga besarnya pengaruh dari pola penganggaran terhadap kinerja pembangunan satu daerah tergantung dari kondisi daerah bersangkutan. Berdasarkan latar belakang, kerangka pemikiran, dan hal-hal tersebut di atas, maka sebagai hipotesis dalam penelitian ini adalah :
1. Peran pemerintah yang diwujudkan dalam pola penganggaran untuk optimalisasi kinerja pembangunan adalah:
a. Untuk daerah maju: pola penganggaran berpengaruh sangat kecil karena untuk daerah yang sudah maju pada umummya faktor-faktor konsumsi, investasi dan ekspor sudah cukup besar.
b. Untuk daerah sedang: pola penganggaran cukup memberi pengaruh. c. Untuk daerah tertinggal: pengaruh pola penganggaran sangat sangat
besar karena pengaruh dari faktor-faktor konsumsi, investasi dan ekspor masih sangat kecil.
1.4Tujuan Penelitian
1. Menganalisis dan memetakan konfigurasi spasial pola pengalokasian anggaran belanja daerah.
2. Menganalisis dan memetakan konfigurasi spasial kinerja pembangunan daerah.
3. Menganalisis peran struktur alokasi anggaran belanja dan keterkaitan antar daerah untuk optimalisasi kinerja pembangunan daerah.
1.5. Lingkup Penelitian
Penelitian yang dilakukan akan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pembangunan suatu daerah yaitu: 1)Pola pengalokasian anggaran suatu daerah, 2)Pola pengalokasian anggaran daerah sekitarnya, dan 3)Kinerja pembangunan daerah lain disekitarnya. Dengan kata lain kinerja pembangunan suatu daerah tidak hanya dipengaruhi oleh pola pengalokasian anggaran daerah yang bersangkutan, tetapi akan dipengaruhi oleh kondisi daerah lain di sekitarnya dalam hal ini adalah pola pengalokasian anggaran dan kinerja pembangunan daerah di sekitarnya. Hal ini dapat diilustrasikan dengan contoh sederhana : bila di kabupaten tetangga terdapat fasilitas rumah sakit maka kabupaten yang bersangkutan tidak perlu membangun rumah sakit karena penduduknya dapat ikut menggunakan rumah sakit tersebut.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pembangunan Daerah/Wilayah
Sejalan dengan perkembangan dan dinamika masyarakat, maka konsep
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan dilakukan dengan pendekatan
wilayah. Menurut Rustiadi et al (2004) wilayah didefinisikan sebagai unit
geografis dengan batas-batas spesifik (tertentu) dimana komponen-komponen
wilayah tersebut (sub wilayah) satu sama lain saling berinteraksi secara
fungsional. Sedangkan menurut Undang-Undang nomor 24 tahun 1992 tentang
Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis
beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan
berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Suatu wilayah terkait
dengan beragam aspek, sehingga definisi baku mengenai wilayah belum ada
kesepakatan di antara para ahli. Berdasarkan fungsinya wilayah dibedakan
menjadi tiga bentuk yaitu wilayah homogen, wilayah nodal, dan wilayah
perencanaan.
Strategi pengembangan suatu wilayah sangat ditentukan oleh karakteristik
dan potensi yang terdapat di wilayah tersebut. Oleh karena itu, sebelum
melakukan perumusan kebijakan yang akan dilaksanakan perlu diketahui
tipe/jenis wilayahnya. Dengan mengetahui ciri suatu wilayah, maka dapat
dirumuskan kebijakan yang tepat dilakukan dalam pengembangan wilayah.
Pada era otonomi daerah saat ini, maka salah satu konsep pengembangan
wilayah yang perlu mendapat perhatian adalah pengembangan ekonomi wilayah.
Oleh karena itu konsep pengembangan ekonomi wilayah harus berorientasi pada
pertumbuhan ekonomi wilayah dengan menggali potensi produk unggulan daerah.
Salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam kegiatan pengembangan
wilayah adalah menyusun perencanaan wilayah. Menurut Tarigan (2004)
perencanaan wilayah adalah perencanaan penggunaan ruang wilayah (termasuk
perencanaan pergerakan di dalam wilayah) dan perencanaan kegiatan pada ruang
wilayah tersebut. Perencanaan penggunaan ruang wilayah diatur dalam bentuk
diatur dalam perencanaan pembangunan wilayah. Tata ruang wilayah merupakan
landasan dan juga sekaligus sasaran dari perencanaan pembangunan wilayah.
Perencanaan pembangunan wilayah tidak mungkin terlepas dari apa yang sudah
ada saat ini di wilayah tersebut. Aktor/pelaku pembangunannya adalah seluruh
masyarakat yang ada di wilayah tersebut termasuk di dalamnya pemerintah daerah
serta pihak-pihak luar yang ingin melakukan kegiatan di wilayah tersebut. Paling
tidak terdapat dua peran pemerintah daerah yang cukup penting dalam
pembangunan wilayah yakni sebagai pengatur atau pengendali (regulator) dan
sebagai pemacu pembangunan (stimulator). Dana yang dimiliki pemerintah dapat
digunakan sebagai stimulan untuk mengarahkan investasi swasta atau masyarakat
umum ke arah yang diinginkan oleh pemerintah.
Salah satu pendekatan dalam perencanaan pembangunan menurut Tarigan
(2004) adalah pendekatan sektoral. Pendekatan sektoral dilakukan dengan
mengelompokkan kegiatan pembangunan kedalam sektor-sektor. Selanjutnya
masing-masing sektor dianalisis satu persatu untuk menetapkan apa yang dapat
dikembangkan atau di tingkatkan dari sektor-sektor tersebut guna lebih
mengembangkan wilayah.
2.1.1. Pembangunan Ekonomi Daerah
Salah satu aspek yang perlu mendapat perhatian dalam pelaksanaan
pembangunan daerah adalah aspek ekonomi. Menurut Arsyad (1999)
pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan
masyarakatnya mengelola sumber-sumber daya yang ada dan membentuk suatu
pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan
suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi
dalam wilayah tersebut.
Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah
daerah dan masyarakat mengelola sumberdaya – sumberdaya yang ada dan
membentuk kemitraan antara pemerintah daerah dan sector swasta untuk
menciptakan lapangan kerja baru dan menumbuhkan kegiatan ekonomi
daerah penekanannya didasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan
(endogenous development) dengan menggunakan potensi sumberdaya manusia
dan sumberdaya fisik secara lokal.
Agar pembangunan ekonomi tersebut dapat mencapai sasaran sesuai
dengan tujuan, yaitu meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja dan
pertumbuhan ekonomi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka
diperlukan suatu strategi pembangunan yang tepat. Program pembangunan di
kebanyakan negara sedang berkembang sering lebih ditekankan pada
pembangunan prasarana untuk mempercepat pembangunan sektor produktif, hal
ini dimaksudkan guna meningkatkan produktivitas barang dan jasa sehingga
PDP/PDRB negara/daerah tersebut juga akan meningkat, oleh karena itu
PDB/PDRB merupakan salah satu indikator yang digunakan dalam mengukur
pertumbuhan ekonomi suatu negara/daerah.
Sejalan dengan terjadinya pergeseran paradigma dalam pembangunan
ekonomi, maka ukuran keberhasilan pembangunan ekonomi juga mengalami
pergeseran, tidak hanya dari aspek pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB)
atau kenaikan pendapatan per kapita penduduknya namun lebih jauh lagi ke arah
perkembangan masyarakat. Menurut Arsyad (1999), pembangunan ekonomi
didefinisikan sebagai proses yang menyebabkan kenaikan pendapatan riil per
kapita penduduk suatu negara dalam jangka panjang, yang disertai oleh perbaikan
sistem kelembagaan. Jadi pembangunan ekonomi harus dipandang sebagai suatu
proses dimana saling keterkaitan dan saling mempengaruhi antara faktor-faktor
yang menyebabkan terjadinya pembangunan ekonomi tersebut dapat diidentifikasi
dan dianalisis dengan seksama.
2.2. Pengukuran Kinerja Pembangunan Daerah
Pertumbuhan ekonomi merupakan alat ukur kinerja pembangunan yang
mudah dilakukan dan sangat populer. Namun demikian pertumbuhan ekonomi
yang pesat tersebut, jika disertai munculnya berbagai masalah berupa penurunan
distribusi pendapatan, peningkatan jumlah pengangguran, peningkatan keluarga
berbahaya. Adanya permasalahan-permasalahan tersebut memaksa para pakar
pembangunan di tahun 70-an mulai mengkaji ulang tolok ukur tersebut bukan
hanya pertumbuhan PDB, tatapi harus disertai beberapa tolok ukur lain Dari
berbagai pendekatan yang ada, setidaknya terdapat tiga kelompok cara dalam
menetapkan indikator pembangunan, yakni : 1) indikator berbasis tujuan
pembangunan. 2) indikator berbasis kapasitas sumber daya, dan 3)indikator
berbasis proses pembangunan(Rustiadi et al. 2004).
2.2.1.Indikator-Indikator Kinerja Pembangunan
Indikator merupakan ukuran kuantitatif dan atau kualitatif yang
menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah
ditetapkan. Oleh karena itu, indikator kinerja harus merupakan sesuatu yang akan
dihitung dan diukur serta digunakan sebagai dasar untuk menilai atau melihat
tingkat kinerja, baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan maupun tahap setelah
kegiatan selesai dan berfungsi (Rustiadi et al. 2004).
Dalam pembangunan, keberlanjutan merupakan salah satu asas yang sangat
penting karena prinsip pembangunan adalah menjamin ketersediaan kebutuhan
hidup manusia di waktu sekarang maupun yang akan datang. Penerapan
pembangunan berkelanjutan yang kompleks dapat disederhanakan dengan
penggunaan sejumlah indikator yang tepat. Ketepatan indikator yang dipilih
menentukan pada penilaian akhir karena indikator bersifat spesifik untuk
masing-masing kondisi. Pemilihan banyaknya indikator pun perlu diperhitungkan karena
jika terlalu banyak tidak saja akan memakan biaya dan waktu yang banyak, tetapi
juga dapat mengaburkan fokus yang ingin dicapai. Sebaliknya bila terlalu sedikit,
dirasakan adanya kelemahan, bahkan kekeliruan dalam menerjemahkan keadaan.
Karena itu penetapan sekumpulan indikator yang tepat untuk menggambarkan
pembangunan berkelanjutan menjadi satu tugas yang sulit.
Indikator-indikator kinerja tersebut dibangun atas dasar variabel-variabel
penting yang dianggap bisa menggambarkan tingkat perkembangan dan
pertumbuhan atau mampu menjelaskan tingkat ukuran kinerja pembangunan
adalah : 1) Bidang perekonomian : diukur dengan tingkat laju pertumbuhan
ekonomi, struktur perekonomian, pendapatan perkapita, tingkat pengangguran,
tingkat kemiskinan, tingkat pemerataan pendapatan (indeks gini), tingkat daya
beli, tingkat tabungan masyarakat, tingkat investasi, perdagangan luar negeri
(ekspor impor), imdeks harga bangunan, realisasi penerimaan APBD, dll. 2)
Bidang ketertiban umum: diukur dengan luas wilayah dan jumlah penduduk
berdasarkan jenis konflik/kejadian, penduduk berdasarkan jenis
kasus/kejadian,kecelakaan, kebakaran hutan dll. 3)Bidang kesehatan : jumlah
penduduk sakit, tingkat kematian, tingkat harapan hidup, angka kelahiran, dll. 4)
Bidang pendidikan : diukur dengan tingkat pendidikan, angka putus sekolah,
rataan lama sekolah, angka buta dan melek huruf, dll. 5)Bidang tata ruang,
lingkungan dan pemerintahan umum : diukur dengan kepadatan penduduk, rumah
prmanen dan non permanen, penyimpangan penggunaan lahan dari rencana tata
ruang, tingkat ketersediaan ruang terbuka hijau, pencemaran lingkungan, dll
(Saefulhakim, 2005).
2.2.1.1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Dalam perekonomian setiap negara, masing-masing sektor tergantung pada
sektor yang lain, satu dengan yang lain saling memerlukan baik dalam tenaga,
bahan mentah maupun hasil akhirnya. Sektor industri memerlukan bahan mentah
dari sektor pertanian dan pertambangan, hasil sektor industri dibutuhkan oleh
sektor pertanian dan jasa-jasa. Untuk menghasilkan suatu barang atau jasa
diperlukan barang lain yang disebut faktor produksi. Total nilai barang dan jasa
yang diproduksi di wilayah (regional) tertentu dalam waktu tertentu (satu tahun)
dihitung sebagai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dapat dikatakan sebagai ukuran
produktifitas wilayah yang paling umum diterima secara luas sebagai standar
ukuran pembangunan dalam skala wilayah. Oleh karenanya, walaupun memiliki
berbagai kelemahan, PDRB dinilai sebagai tolok ukur pembangunan yang paling
Pada dasarnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan Produk
Domestik Bruto (PDB) didefinisikan hampir sama hanya size geografi saja yang
membedakan pemahamannya, PDB diartikan sebagai nilai barang-barang dan
jasa-jasa yang diproduksikan di dalam Negara tersebut dalam satu tahun tertentu,
sedangkan PDRB didefinisikan sebagai keseluruhan jumlah barang dan jasa final
(final goods and sevices) yang diproduksi oleh suatu daerah pada suatu periode
waktu tertentu.
Apabila PDRB diukur dengan harga berlaku saat ini, maka hasil
perhitungannya disebut dengan PDRB nominal sehingga jika pada suatu kondisi
harga – harga dalam perekonomian meningkat menjadi dua kali lipat maka
PDRB nominal juga akan meningkat dua kali lipat meskipun masyarakat tidak
menikmati adanya keuntungan dari peningkatan dua kali lipat PDRB ini.
Karenanya PDRB nominal seringkali bukan merupakan indikator yang baik
dalam mengukur perekonomian suatu daerah.
Sedangkan jika PDRB diukur berdasarkan harga konstan pada tahun
dasar tertentu maka hasil perhitungannya disebut dengan PDRB Riil. “ Riil
merefleksikan ukuran dimana barang dan jasa diukur pada harga yang tetap,
sehingga perhitungan pertumbuhan jika jumlah barang benar – benar berubah,
dengan kata lain suatu riil PDRB yang meningkat dua kali lipat menggambarkan
jumlah final produk yang dihasilkan oleh suatu daerah memang meningkat dua
kali lipat.
Cara perhitungan PDRB dapat diperoleh melalui 3 (tiga) pendekatan, yaitu:
pendekatan produksi, pendekatan pendapatan dan pendekatan pengeluaran, yang
selanjutnya dijelaskan sebagai berikut:
a. Menurut pendekatan produksi, PDRB adalah jumlah nilai barang dan jasa
akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di suatu wilayah dalam
jangka waktu tertentu (satu tahun). Unit-unit produksi tersebut dalam
penyajiannya, dikelompokkan menjadi 9 (sembilan) sektor atau lapangan
usaha, yaitu: Pertanian, Pertambangan dan Penggalian, Industri Pengolahan,
Listrik, Gas dan Air Bersih, Bangunan, Perdagangan, Hotel dan Restoran,
Pengangkutan dan Komunikasi, Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan,
b. Menurut pendekatan pengeluaran, PDRB adalah penjumlahan semua
komponen permintaan akhir, yaitu:
1. Pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak
mencari untung.
2. Konsumsi pemerintah.
3. Pembentukan modal tetap domestik bruto.
4. Perubahan stok.
5. Ekspor netto, dalam jangka waktu tertentu (satu tahun). Ekspor netto
adalah ekspor dikurangi impor.
c. Menurut pendekatan pendapatan, PDRB merupakan jumlah balas jasa yang
diterima oleh faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi dalam
suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu (satu tahun). Balas jasa faktor
produksi yang dimaksud adalah upah dan gaji, sewa rumah, bunga modal dan
keuntungan. Semua hitungan tersebut sebelum dipotong pajak penghasilan
dan pajak lainnya.
PDRB sebagai tolok ukur pembangunan mempunyai beberapa kelemahan
yang mendasar, yaitu : kegiatan perbaikan atau kerusakan lingkungan pada
gilirannya akan dihitung sebagai tambahan terhadap PDRB. Hal ini terhitung
karena adanya upah yang harus dibayar kepada tukang sampah atau petugas
perbaikan lingkungan lainnya. Di lain pihak, pengeluaran-pengeluaran sebagai
gaji petugas kebersihan lingkungan tersebut pada dasarnya merupakan biaya
(cost) yang harus dibayar atas rusaknya lingkungan (Rustiadi et al. 2004).
2.3. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan instrumen
kebijakan yang utama bagi pemerintah daerah. Menurut Undang-undang nomor
32 tahun 2004, APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah
yang ditetapkan dengan peraturan daerah.
Bentuk dan hubungan keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
semenjak berlakunya otonomi daerah meliputi hubungan desentralisasi,
pemerintah daerah dalam rangka desentralisasi didanai melalui APBD, urusan
pemerintah pusat yang dilaksanakan oleh gubernur/bupati /walikota dalam rangka
pelaksanaan dekonsentrasi didanai melalui APBN, sedangkan dalam rangka
pelaksanaan tugas pembantuan didanai atas beban anggaran pemerintah yang
menugaskan. Sumber-sumber pendanaan pemerintah daerah sesuai UU 33 Tahun
2004 terdiri atas Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah,
dan Lain-Lain Pendapatan Yang Sah.
Dana Perimbangan merupakan pendanaan daerah yang bersumber dari
APBN. Terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan
Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana Perimbangan selain dimaksudkan untuk
membantu daerah dalam mendanai kewenangan yang diberikan oleh pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah, juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan
sumber pendanaan pemerintah antara pusat dan daerah. serta untuk mengurangi
kesenjangan pendanaan pemerintah antardaerah.
Pinjaman daerah merupakan salah satu sumber pembiayaan yang bertujuan
untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah dan meningkatkan pelayanan
kepada masyarakat. Pembiayaan yang bersumber dari pinjaman harus dikelola
secara benar agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi keuangan daerah
sendiri serta stabilitas ekonomi dan moneter secara nasional.
2.3.1. Pendapatan Asli Daerah
Menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah menyatakan : PAD
bersumber dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan
Daerah yang dipisahkan, dan Lain-lain PAD yang sah.
Lain-lain PAD yang sah meliputi hasil penjualan kekayaan daerah yang
tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar
rupiah terhadap mata uang asing, dan komisi, potongan, ataupun bentuk lain
sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh
Dari pernyataan kedua pasal di atas diketahui bahwa sumber-sumber
penerimaan Pendapatan Asli Daerah meliputi Pajak Daerah, Retribusi Daerah,
pengelolaan kekayaan Daerah, Laba Perusahaan Milik Daerah dan lain-lain
pendapatan yang sah.
2.3.1.1. Pajak Daerah
Menurut Pasal 1 ayat 6 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah mengatakan bahwa Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut
pajak, adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada
Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan
untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan Daerah dan pembangunan
Daerah.
Pajak merupakan sumber umum penerimaan Pemerintah yang hampir tidak
berubah dan benar-benar dijaga oleh Pemerintah Pusat. Pembagian hasil
penerimaan ini dengan cara penyerahan atau pembagian adakalanya dicantumkan
dalam undang-undang. Beberapa cara Pemerintah Daerah di negara kesatuan
memperoleh penerimaan yang berasal dari pajak pendapatan sebagian karena
dimungkinkan oleh sistem pajak nasionalnya dan lainnya karena perbedaan dasar
pajak yang ditetapkan. Pengaturan pembagian hasil pajak yang dimaksud antara
lain dicantumkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yaitu pada pasal
yang menerangkan tentang pembagian hasil Pajak Bumi dan Bangunan dan
Perolehan Hak atas Bumi dan Bangunan.
Sistem pajak pendapatan nasional memiliki ciri - ciri umum tertentu, yang
membedakan antara pajak yang dikenal atas penghasilan perorangan dan laba
yang diperoleh sebuah perusahaan. Penetapan bagi pajak perorangan dengan cara
mengenakan pajak atas pendapat hasil seseorang setelah dikurangi biaya-biaya
dan potongan yang biasanya berbeda antara satu keluarga dengan yang lainnya.
Pajak perusahaan dikenakan atas laba yang diperoleh suatu perusahaan setelah
bersifat progresif sedangkan tingkat pajak yang berbeda dikenakan terhadap laba
suatu perusahaan yang biasanya dimulai dari prosentase yang lebih tinggi. Tingkat
pajak perorangan seringkali dibedakan antara pendapatan dan penghasilan yang
diperoleh seseorang akan tetapi bukan merupakan suatu pendapatan dimana yang
terakhir ini tingkat pajaknya dikenakan lebih tinggi. Tunjangan yang diberikan
kepada perorangan (personal allowances) adalah untuk meringankan golongan
berpenghasilan rendah. Bagi negara-negara berkembang hal ini secara efektif
memberikan keringanan untuk sebagian terbesar dari jumlah penduduknya. Dalam
hal ini administrasi pajak pendapatan nasional secara nyata memusatkan
perhatian pada gaji di sektor formal yang diterima oleh pegawai pemerintah,
swasta dan laba atas perusahaan.
2.3.1.2. Retribusi Daerah
Pasal 1 ayat 26 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 menyatakan bahwa
Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah pungutan Daerah
sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan
dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan pribadi atau badan.
Berhubungan dengan retribusi daerah, Pemerintah Daerah hendaknya dapat
mengembangkan inisiatif dan upaya untuk meningkatkan penerimaan retribusi
daerah. Upaya ini antara lain dilakukan dengan cara memberikan pelayanan
publik secara profesional dan mampu memberikan kepuasan kepada setiap
penerima pelayanan. Hal ini menjadi penting untuk dipertimbangkan secara
cermat dan komprehensif bagaimana teknis penerimaan tersebut dibarengi dengan
kemampuan memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Dalam konteks pengelolaan sumber-sumber penerimaan Pendapatan Asli
Daerah dari jenis retribusi tentu mempunyai konsekuensi yang harus dipikirkan
oleh Pemerintah Daerah. Artinya, Pemerintah Daerah tidak boleh hanya
memikirkan bagaimana memperoleh penerimaan yang sebesar-besarnya dari
pemungutan retribusi, tetapi Pemerintah Daerah pun harus bertanggungjawab atas
bagaimana biaya yang dikeluarkan untuk memberikan pelayanan dengan tingkat
pemasukan yang diterima dari pemungutan retribusi atas pelayanan tersebut.
2.3.1.3. Laba Usaha Daerah
Adanya Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) serta penyertaan modal
Daerah ke dalam berbagai bentuk usaha patungan merupakan upaya Pemerintah
Daerah untuk memperbanyak sumber Pendapatan Asli Daerah. Dengan
membentuk badan usaha Pemerintah Daerah tentu berharap dapat memperoleh
pendapatan yang lebih.
Dengan demikian, masing-masing Daerah dapat mengembangkan potensi
perekonomian Daerah melalui badan usaha yang dikelolanya. Adapun ciri pokok
dari perusahaan daerah adalah adanya kesatuan produksi (regional) dalam arti
luas termasuk memberi jasa, menyelenggarakan kemanfaatan umum dan
memupuk pendapatan.
Jenis usaha yang dikelolah Pemerintah Daerah sangat beraneka ragam. Hal
ini tergantung pada kebutuhan dan kemampuan masing-masing Daerah. Semakin
banyak potensi dan peluang usaha yang dapat dikembangkan, maka semakin besar
pula kesempatan untuk meningkatkan kontribusi laba usaha Daerah terhadap
Pendapatan Asli Daerah.
2.3.1.4. Lain-lain Pendapatan yang sah
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah menjelaskan : Lain-lain PAD
yang sah meliputi Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa
giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang
asing, dan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan
dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah.
Berbeda dengan pengelolaan pajak daerah, retribusi daerah dan laba usaha
milik daerah, pengelolaan lain-lain penerimaan Pendapatan Asli Daerah yang sah
ini tampaknya sangat terbatas dan sumbernya pun bersifat khusus, seperti
pengelolaan sumber-sumber penerimaan seperti ini tentu kurang optimal bagi
perumusan kebijakan keuangan Daerah. Namun demikian, hal terpenting dalam
menganalisis kinerja keuangan Daerah adalah bagaimana secara kreatif
masing-masing Daerah dapat mengembangkan atau memperluas penerimaan dari lain-lain
Pendapatan Asli Daerah yang sah, dengan tetap memperhatikan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Hal ini tergantung pada kemampuan dan
kreativitas Daerah dalam menilai potensi sumber-sumber penerimaannya,
termasuk dalam mengelola sistem keuangannya.
2.3.2. Dana Bagi Hasil
Dana Perimbangan yang berasal dari Dana Bagi Hasil (DBH) bersumber
dari penerimaan pajak dan sumber daya alam. Untuk mengurangi kesenjangan
vertikal (vertical imbalance) antara pusat dan daerah dilakukan sistem bagi hasil
penerimaan pajak dan bukan pajak antara pusat dan daerah. Pola bagi hasil
penerimaan ini dilakukan dengan persentase tertentu yang didasarkan atas daerah
penghasil.
2.3.3. Dana Alokasi Umum
Tujuan dari Dana Alokasi Umum adalah untuk mengurangi ketimpangan
dalam kebutuhan pembiayaan dan penguasaan pajak antara Pusat dan Daerah .
Jumlah total DAU dialokasikan sebesar minimal 26 persen dari pendapatan dalam
negeri netto yang telah ditetapkan dalam APBN (Pasal 27 UU 33/2004). Dengan
dana perimbangan ini, diharapkan akan memberikan kepastian bagi pemerintah
daerah dalam memperoleh sumber-sumber pembiayaan untuk memenuhi
kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawabnya.
Kebutuhan DAU oleh suatu daerah ditentukan dengan menggunakan
pendekatan fiscal gap, dimana kebutuhan DAU suatu daerah ditentukan oleh
kebutuhan daerah (fiscal need) dan potensi daerah (fiscal capacity). Berdasarkan
konsep fiscal gap ini, distribusi DAU kepada daerah-daerah yang memiliki
mempunyai kemampuan keuangan relatif kecil akan memperoleh DAU yang
besar.
2.3.4. Dana Alokasi Khusus
Dana Alokasi Khusus adalah dana yang disediakan di dalam APBN yang
dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus.
Sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 1999 jo PP Nomor 104 Tahun 2000, DAK
dialokasikan kepada daerah untuk memenuhi kebutuhan khusus dengan
memperhatikan ketersediaan dana dari APBN. Kriteria kebutuhan khusus tersebut
meliputi, pertama, kebutuhan yang tidak dapat diperhitungkan dengan
menggunakan rumus alokasi umum, kedua, kebutuhan yang merupakan komitmen
atau prioritas nasional, dan ketiga, kebutuhan untuk membiayai kegiatan reboisasi
dan penghijauan oleh daerah penghasil. Berdasarkan kriteria kebutuhan khusus
tersebut, DAK dibedakan atas DAK dana reboisasi (DAK DR) dan DAK
non-dana reboisasi (DAK Non-DR).
2.4. Interaksi Spasial
2.4.1. Teori/Model-Model Interaksi Spasial
Interaksi spasial adalah istilah umum mengenai pergerakan spasial dan
aktifitas-aktifitas manusia dan model interaksi spasial yang paling umum
digunakan adalah model gravitasi. Dua prinsip pokok interaksi spasial adalah:
1. Mesin penggerak dari pergerakan dan interaksi adalah kekuatan
dorong-tarik dari supply-demand.
2. Penghambat pergerakan dan interaksi adalah pengaruh “friction dan
distance”.
Interaksi antara dua tempat (dua kala) dipengaruhi oleh produksi yang dihasilkan
oleh masyarakat di dua tempat tersebut, jarak antara dua tempat tersebut dan
besarnya pengaruh jarak dua tempat tersebut.
Interaksi antar wilayah merupakan suatu mekanisme yang menggambarkan
sumberdaya manusia di dalam suatu wilayah. Aktivitas-aktivitas yang
dimaksudkan mencakup di antaranya mobilitas kerja, migrasi, arus informasi dan
arus komoditas, mobilitas pelajar dan aktifitas-aktifitas konferensi, seminar,
lokakarya atau kegiatan sejenisnya, pemanfaatan fasilitas pribadi dan atau fasilitas
umum, bahkan tukar menukar pengetahuan.
2.4.1.1. Model Gravitasi
Model grafitasi adalah salah satu model yang umum dipakai di dalam
menjelaskan fenomena interaksi antar wilayah. Model gravitasi merupakan salah
satu alat analisis yang memungkinkan kita menjelaskan keberadaan kegiatan pada
suatu lokasi. Model gravitasi adalah model yang paling banyak digunakan untuk
melihat besarnya daya tarik dari suatu potensi yang berada pada suatu lokasi.
Model ini sering digunakan untuk melihat kaitan potensi suatu lokasi dan
besarnya wilayah pengaruh dari potensi tersebut.
Model ini pada dasarnya merupakan bentuk analogi fenomena Hukum
Fisika Gravitasi Newton yang dikembangkan untuk ilmu sosial. Dalam
perkembangnnya model gravitasi lebih lanjut, interaksi antar dua wilayah i dan j
dimodelkan sebagai fungsi dari massa kedua wilayah mi dan mj, serta jarak antar
kedua wilayah dij, sebagai berikut:
c ij
j i ij
d
m
m
k
T
β α
=
dimana:
Tij : Interaksi spasial i dan j (perjalanan, arus barang/orang, dll)
mi : massa wilayah asal i (populasi, PDRB, rasio lahan urban,dll), push factor
mj : massa wilayah tujuan j (populasi, PDRB, rasio lahan urban, dll), pull
factor
dij : jarak antar wilayah i dan j (jarak jalan, waktu tempuh, ongkos perjalanan,
dll)
α, β, c: koefisien peubah massa wilayah asal i, massa wilayah tujuan j dan jarak d
Penyelesaian dari persamaan diatas dapat dipecahkan dengan pendekatan fungsi
regresi linier dengan terlebih dahulu mentranformasikan persamaaan diatas ke
dalam bentuk logaritma natural (ln), sehingga menjadi:
ij
d
c
j
m
i
m
k
ij
T
ln
ln
ln
ln
ln
=
+
α
+
β
−
Nilai parameter-parameter yang dihasilkan dari analisis di atas dapat
menggambarkan karakteristik suatu wilayah. Wilayah dengan nilai α lebih besar
dari β, menunjukkan karakter wilayah produksi, dimana kegiatan interaksi
wilayah terutama ditimbulkan oleh aktivitas produksi di wilayah tersebut.
Sedangkan wilayah dengan β yang lebih tinggi dari α adalah karakteristik wilayah
pasar. Daya tarik pasar menjadi faktor daya tarik yang dominan di dalam interaksi
antar sub-wilayah di wilayah tersebut. Nilai c menunjukkan elastisitas perubahan
interaksi (Tij) untuk setiap perubahan/peningkatan jarak, artinya, terdapat dampak
yang tinggi dari setiap perubahan jarak (aksesibilitas) terhadap interaksi
antar-wilayah.
2.4.1.2. Analisis Diversitas (Entropi)
Perkembangan suatu sistem dapat dipahami dari semakin meningkatnya
jumlah komponen system serta penyebaran (jangkauan spasial) komponen sistem
tersebut. Kedua hal tersebut pada dasarnya bermakna peningkatan kuantitas
komponen serta perluasan hubungan spasial dari komponen di dalam sistem
maupun dengan sistem luar. Artinya suatu sistem dikatakan berkembang jika
jumlah dari komponen/aktifitas sistem tersebut bertambah atau aktifitas dari
komponen sistem tersebar lebih luas. Perluasan jumlah komponen aktifitas ini
dapat dianalisis dengan menghitung indeks diversifikasi dengan konsep entropi.
Prinsip pengertian indeks entropi ini adalah semakin beragam aktifitas atau
semakin luas jangkauan spasial, maka semakin tinggi entropi wilayah. Artinya
wilayah tersebut semakin berkembang.
Persamaan umum entropi salah satunya adalah adalah Shanon entropi index
sebagai berikut :
Pi
n
i
∑
=1
= 1 (Proporsi)
dimana : Pi adalah peluang yang dihitung dari persamaan : Xi Xi ∑
Dalam identifikasi tingkat perkembangan sistem dengan konsep entropi ini
berlaku bahwa makin tinggi nilai entropi maka tingkat perkembangan suatu
system akan semakin tinggi. Nilai entropi itu sendiri selalu lebih besar atau paling
tidak sama dengan 0 ( S ≥ 0 ). Wilayah dengan nilai S paling tinggi dibanding
yang lain adalah merupakan wilayah yang paling berkembang. Sektor yang
terdapat disemua lokasi (nilai S merata) kurang memusat jika dibandingkan sektor
yang nilai S nya tidak merata.
2.4.1.3. Linear Programming Transport Model
Linear Programming merupakan teknik matematis untuk menemukan
keputusan optimum dengan memperhatikan kendala (contraints) tertentu dalam
bentuk ketidaksamaan linear yang dinyatakan dalam bentuk variabel-variabel
tertentu. Optimasi menyangkut masalah maksimisasi atau minimisasi.
Jika variabel x dan y adalah fungsi dari z, maka nilai z maksimum apabila
setiap pergerakan dari titik itu menyebabkan menurunnya nilai nilai x dan begitu
sebaliknya.
Apabila biaya dan harga per unit berubah bersama besarnya output, masalah
itu bukan merupakan masalah linear, tetapi jika keduanya tidak berubah bersama
output masalahnya adalah masalah linear.
Dengan demikian linear programming dapat didefinisikan sebagai suatu
metode untuk menetapkan kombinasi optimal faktor-faktor untuk memproduksi
output tertentu atau kombinasi optimal produk yang akan diproduksi.
Asumsi linear programming:
1. Adanya kendala tertentu atau keterbatasan sumber tertentu, misalnya
kredit, bahan mentah, keterbatasan ruang.
3. Hubungan linear antara berbagai variabel yang mencerminkan
adanya proporsi yang konstan antara input dan output didalam suatu
proses.
4. Harga dan koefisien input dan output adalah tertentu dan konstan dan
keduanya dapat diketahu dengan pasti.
5. Sumber total yang dipakai harus sama dengan jumlah sumber yang
dipakai oleh masing-masing perusahaan.
6. Faktor kelembagaan diasumsikan konstan.
Penggunaan linear programming dalam perencanaan misalnya dalam
pemilihan alternatif optimum dan minimisasi biaya pada suatu lokasi tertentu.
Berbagai masalah transportasi dalam memecahkan masalah angkutan seperti:
pemilihan rute, transportasi barang, alokasi alat transportasi yang digunakan.
Keterbatasan linear programming:
1. Tidak mudah menetapkan fungsi tujuan tertentu.
2. Tidak mudah menemukan adanya berbagai kendala sosial,
kelembagaan, finasial yang mungkin menghambat pencapaian tujuan
yang telah ditetapkan.
3. Kendala-kendala tersebut tidak dapat dinyatakan secara langsung
sebagai ketidaksamaan linear.
4. Jika masalah diatas dapat diatasi, masalah pokoknya adalah
memperkirakan nilai yang relevan dari berbagai koefisien konstan
yang masuk kedalam masalah linear programming yaitu populasi,
harga dan sebagainya.
5. Kebanyakan hubungan adalah nonlinier, sedangkan linear
programming diasumsikan hubungan input dan output.
6. Teknik ini mengasumsikan adanya persaingan murni dalam produk
dan pasar faktor.
Teknik yang terdapat dalam linear programming adalah sama dengan teknik
2.4.2. Spatial Econometrics
Menurut LeSage (1999), berhubungan dengan masalah data spasial, ada 2
hal yang perlu diperhatikan dalam masalah data yang berhubungan dengan
komponen lokasi, yaitu:
1) ketergantungan spasial (spatial dependence): pengamatan pada suatu lokasi
tergantung pula pada lokasi yang lain.
yi= f(yj), i = 1, . . . , n j ≠i
2) spatial heterogeneity : variasi hubungan antar tempat
yi= Xiβi+ εi
dimana Xi adalah explannatory variable berupa vektor yang diasosiasikan
dengan parameter βi, yi adalah dependent variable dalam observasi (atau
lokasi).
Karena regresi biasa kurang mengakomodir masalah-masalah yang berhubungan
dengan komponen lokasi tersebut, maka dikembangkan regresi spasial untuk
mngakomodirnya.
2.4.2.1. Spatial autoregressive models
Prinsip dasar Spatial Autoregressive Model mirip dengan regresi berbobot
(weighted regression), dengan variable yang menjadi pembobot adalah faktor
lokasi. Kedekatan dan keterkaitan antar lokasi ini menyebabkan munculnya
fenomena ‘autokorelasi spasial’. Spatial autoregressive merupakan
pengembangan dari regresi sederhana, yang digunakan untuk data spasial.
Misalnya untuk mengetahui tingkat perkembangan di suatu wilayah selain
dipengaruhi veriabel bebas (hasil olah PCA) juga dipengaruhi oleh variable lain,
yaitu hubungan spasial.
Spatial Autoregressive Model ini digunakan untuk membuat model
pendugaan terhadap nilai dari variabel penjelas. Prasyarat dalam analysis Spatial
Autoregressive Model adalah sample harus independent. Untuk itu sebelum
menggunakan PCA (Principal Component Analysis).
Data yang digunakan untuk variabel bebas (x) berasal dari komponen
utama hasil pengolahan PCA. Representasi faktor lokasi pada spatial
autoregressive model dalam bentuk matriks kedekatan yang disebut matriks
pembobot spasial. Untuk perhitungan matriks pembobot spasial (W) yang paling
umum digunakan adalah ketetanggaan (batas wilayah) antar kabupaten/kota
(kontiguity) dan fungsi jarak antar wilayah misalnya kebalikan jarak antar
kabupaten/kota. Tidak menutup kemungkinan, pembobot spasial (W) juga
menggunakan aspek-aspek lain misalnya : aliran komoditas barang antar wilayah
atau aliran kendaraan antar wilayah
Rumus umum Spatial Autoregressive Model adalah sebagai berikutl:
r r n
k
r k k n
k
r k k
r
W
Y
W
X
X
Y
=
α
+
∑
ρ
+
∑
ρ
+
β
+
ε
=
= 1
. 2 1
. 1
dimana :
Yr : Fungsi tujuan/peubah respon/dependent variable , misalnya Kinerja
Pembangunan Daerah r
α
,
β
: Konstanta/koefisien fungsi regresiρ
1.k : Koefisien regresiW
k : Matriks pembobot spasial antar wilayahρ
2.k : Konstanta/koefisien regresiX : Variabel bebas/peubah penjelas/independent variabel misalnya: pola pengalokasian anggaran
n : banyaknya jenis pembobot spasial
Seperti dalam Kelley (1997), bahwa teknik econometrics dibagun dari
data-data yang terikat oleh observasi dari waktu ke waktu. Secara nyata,
ketergantungan data yang melibatkan observasi antar ruang sedikit mendapat
perhatian. Meskipun demikian ada beberapa teknik untuk mengakomodasi data
spasial tersebut diantaranya adalah Spatial Auto Regressions (SAR), Conditional
Auto Regresssions (CAR), dan kriging. Dalam operasi ekonometrics diperlukan
n adalah jumlah observasi yang dilakukan.Karenanya, sering terjadi proses
estimasi spasial memerlukan sebanyak n3 operasi. Sehingga bila jumlah data sangat banyak akan memerlukan proses komputasi yang cukup berat. Untuk
matriks yang banyak elemen nol (0) atau disebut matriks jarang (sparse matrix),
teknik matriks jarang akan mengurangi alokasi memori yang diperlukan dan
mempercepat waktu komputasi. Salah satu perangkat lunak yang mendukung
operasi matriks jarang adalah MATLAB.
2.5. Sistem Informasi Geografis
Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan suatu sistem (berbasiskan
komputer) yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi
informasi-informasi geografis. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan dan
menganalisis obyek-obyek dan fenomena-fenomena dimana lokasi geografis
merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. Dengan
demikian SIG merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan
dalam menganalisis data yang berreferensi geografis, yaitu masukan, keluaran,
manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data) serta analisis dan
manipulasi data.
SIG memungkinkan pengguna untuk memahami konsep-konsep lokasi,
posisi, koordinat, peta, ruang dan permodelan spasial secara mudah. Selain itu
dengan SIG pengguna dapat membawa, meletakkan dan menggunakan data yang
menjadi miliknya sendiri ke dalam sebuah bentuk (model) representasi miniatur
permukaan bumi untuk kemudian dimanipulasi, dimodelkan atau dianalisis baik
secara tekstual, secara spasial maupun kombinasinya (analisis melalui query
atribut dan spasial), hingga akhirnya disajikan dalam bentuk sesuai dengan
2.6. Identifikasi Penciri Utama: Principal Components Analysis (PCA)
2.6.1.Tujuan Dasar
Ada dua tujuan dasar dari PCA , yakni:
1. Ortogonalisasi Variabel: mentransformasikan suatu struktur data dengan
variabel-variabel yang saling berkorelasi menjadi struktur data baru dengan
variabel-variabel baru (yang disebut sebagai Komponen Utama atau Faktor)
yang tidak saling berkorelasi.
2. Penyederhanaan Variabel: banyaknya variabel baru yang dihasilkan, jauh
lebih sedikit dari pada variabel asalnya, tapi total kandungan informasinya
(total ragamnya) relatif tidak berubah.
2.6.2.Manfaat Pokok
Ada dua manfaat pokok dari PCA, yakni:
1. Salah satu asumsi (prasyarat) dasar yang membolehkan penggunaan
analisis regresi berganda (pendugaan parameter struktur hubungan linier
antara satu variabel tujuan dengan lebih dari satu variabel penjelas), atau
Analisis Fungsi Diskriminan (pendugaan parameter struktur hubungan
linier antara satu variabel pengelompokan dengan lebih dari satu variabel
penjelas perbedaan antar kelompok), adalah tidak terjadinya apa yang
disebut dengan multicollinearity (fenomena saling berkorelasi antar
variabel penjelas). Dengan demikian, PCA dapat membantu kita dalam
menyelesaikan permasalahan multicollinearity ini.
2. Menyajikan data dengan struktur yang jauh lebih sederhana tanpa
kehilangan esensi informasi yang terkandung didalamnya, maka kita akan
lebih mudah memahami, mengkomunikasikan, dan menetapkan prioritas
penanganan terhadap hal-hal yang lebih pokok dari struktur permasalahan
yang kita hadapi. Dengan demikian efisiensi dan efektifitas penanganan
permasalahan dapat lebih ditingkatkan.
2.6.3.Konsep Dasar PCA
Secara sederhana, Gambar 2.1 mengilustrasikan konsep dasar PCA, yakni:
sama lain saling berkorelasi (multicollinearity) ke dalam variabel-variabel yang
tak dapat diukur (unobservable) yang satu sama lain tidak saling berkorelasi
(orthogonal) yang disebut komponen utama.
[image:44.595.142.433.158.376.2]Y
1Y
2Gambar 2.1: Ilustrasi Konsep Dasar PCA
Notasi yang digunakan pada Gambar 2.1, adalah:
Y1 dan Y2 : Observable Variable yang telah distandardisasikan (masing-masing
dibuat nilai rata-ratanya sama dengan nol, dan ragamnya sama
dengan satu)
F1 dan F2 : Unobservable Principal Components atau Unobservable Common
Factors yang bersifat baku dan ortogonal (masing-masing nilai
rata-ratanya sama dengan nol, dan ragamnya sama dengan satu;
koefisien korelasi antar keduanya sama dengan nol)
ε1 dan ε2 : Unobservable Specific Factors yang bersifat baku dan ortogonal
c11 dan c12 : Masing-masing merupakan koefisien pembobot untuk variabel Y1
dan Y2 dalam membangun/menduga Principal Component Scores
(atau Common Factor Scores) F1; atau disebut juga sebagai Score
Coefficients untuk Principal Component (atau Common Factor) F1
c21 dan c22 : Masing-masing merupakan koefisien pembobot untuk variabel Y1
dan Y2 dalam membangun/menduga Principal Component Scores
(atau Common Factor Scores) F2; atau disebut juga sebagai Score
Coefficients untuk Principal Component (atau Common Factor) F2
F
1F
2r
12>0
c
21c
11c
12c
22Obse
rva
b
le
Unobs
erv
abl
e