DI BOGOR MENGENAI PENGELOLAAN
DAMPAK TSUNAMI
YUSNIDAR
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
YUSNIDAR. Keefektivan Komunikasi Masyarakat Aceh di Bogor mengenai Pengelolaan Dampak Tsunami. Dibimbing oleh: SUMARDJO dan RICHARD W.E. LUMINTANG.
Penelitian tentang keefektivan komunikasi masyarakat Aceh di Bogor mengenai pengelolaan dampak tsunami telah dilakukan pada bulan April hingga Juni 2006. Penelitian bertujuan untuk menganalisis: (1) sejauhmana telah terjadi komunikasi yang efektif pada masyarakat Aceh di Bogor dalam pengelolaan dampak tsunami dan faktor apa saja yang mempengaruhi keefektivan komunikasi mereka, (2) sejauhmana proses komunikasi berkaitan dengan lingkungan dan (3) sejauhmana proses komunikasi berkaitan dengan karakteristik individu. Penelitian ini merupakan penelitian eksplanasi dengan metode survai. Populasi adalah seluruh masyarakat Aceh yang berdomisili di Kabupaten dan Kota Bogor. Sampel diambil secara acak stratifikasi nonproporsional berdasarkan kelompok masyarakat (masyarakat menetap, mahasiswa S0/S1, dan mahasiswa S2/S3) dan jenis kelamin. Jumlah sampel seluruhnya adalah 90 orang, setiap kelompok terdiri atas 30 orang (15 orang laki-laki dan 15 orang perempuan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Pertama, komunikasi masyarakat Aceh di Bogor mengenai pengelolaan dampak tsunami efektif dalam mengembangkan aspek pengetahuan. Hal ini berkaitan dengan tingginya intensitas komunikasi dan akses media. Kedua, proses komunikasi masyarakat Aceh di Bogor terkondisikan oleh lingkungan mereka, semakin tinggi dukungan dari lingkungan ternyata semakin tinggi pula proses komunikasi yang terjadi. Ketiga, proses komunikasi masyarakat Aceh di Bogor berkaitan dengan karakteristik individu mereka. Aspek karakteristik individu yang berhubungan dengan proses komunikasi adalah umur, pendidikan, status, pendapatan, hubungan keluarga dan motif. Ada kecenderungan pada usia tua dan yang telah menikah terjadi proses komunikasi yang lebih intensif. Tingkat pendidikan, pendapatan dan keeratan hubungan keluarga juga cenderung meningkatkan proses komunikasi.
Kata kunci: Pengelolaan dampak tsunami Aceh, proses komunikasi,
YUSNIDAR: The Communication Efectiveness of Acehnese Community in Bogor on Tsunami Impact Management. Supervised by SUMARDJO and
RICHARD W.E. LUMINTANG.
An explanatory research has been done to investigate the communication efectiveness of Acehnese community in Bogor on tsunami impact management. The objectives of this research are to analyze: (1) how far the communication efectiveness done on Acehnese community in Bogor on tsunami impact management and what factors influence the communication efectiveness, (2) how far the communication processes correlate with their individual environments, and (3) how far the communication processes correlate with their individual characteristics. This study was conducted in Bogor district and Bogor City from April until June 2006. The disproportional stratified random sampling, according to group and gender of Acehnese community, is used in determining samples. The respondents were 90 persons consist of 30 persons in each group (permanent Acehnese community, undergraduate students, and postgraduate students), divided into 15 male and 15 female. The result showed that: Firstly, the communication efectiveness of Acehnese community in Bogor expressed in their good knowledge on tsunami impact management. This is caused by their high communication intensity and media accessibility. Secondly, communication processes of Acehnese community in Bogor on tsunami impact management are influenced by their individual environments. The higher environments support the higher communication processes done. Thirdly, communication processes of Acehnese community in Bogor on tsunami impact management related to their individual characteristics. Individual characteristic aspects that influence the communication processes are their age, personal income, marital status, family relationship and motive.
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa tesis saya dengan judul “Keefektivan Komunikasi Masyarakat Aceh di Bogor Mengenai Pengelolaan Dampak Tsunami” adalah karya saya dengan arahan komisi bimbingan, dan bukan hasil jiplakan atau tiruan dari tulisan siapapun serta belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.
Bogor, 20 November 2006
©
Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006
Hak cipta dilindungi
DI BOGOR MENGENAI PENGELOLAAN
DAMPAK TSUNAMI
YUSNIDAR
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Mengenai Pengelolaan Dampak Tsunami
Nama : Yusnidar
NIM : P054030131
Program Studi : Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr.Ir. Sumardjo, M.S. Ketua
Ir. Richard W.E. Lumintang, MSEA. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Komunikasi
PembangunanPertanian dan Pedesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr.Ir. Sumardjo, M.S. Prof. Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.
Syukur alhamdulillah penulis ucapkan ke hadirat Allah Subhanahu Wata’ala, atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tulisan ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Sains (S-2) pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Sumardjo, MS. dan Bapak Ir. Richard W.E. Lumintang, MSEA. selaku komisi pembimbing, atas bimbingan dan pengarahan yang telah diberikan, baik dalam penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian, dan penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh Staf Pengajar Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (KMP), yang telah banyak memberikan bimbingan dan dorongan.
Teriring do’a buat Ayahanda (Almarhum) dan Ibunda, penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya buat suami dan putri tercinta, serta seluruh anggota keluarga yang selalu mendo’akan penulis dalam mengikuti pendidikan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh mahasiswa Program Studi KMP, yang telah banyak memberikan masukan dalam berbagai hal, baik berupa ide maupun referensi. Semoga semua bantuan yang telah diberikan mendapat balasan dari yang Maha Kuasa.
Penulis dilahirkan di Takengon, Aceh Tengah pada tanggal 24 Oktober 1969, sebagai anak ketiga dari delapan bersaudara dari pasangan Ir.Taharuddin (Almarhum) dan Iwanah Djalil. Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana pada Jurusan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, tahun 1996. Sejak tahun 2001 sampai sekarang, penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Sekolah Tinggi Pertanian Gajah Putih, Aceh Tengah. Pada tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan pada Program Magister Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB).
Halaman
DAFTAR TABEL... xi
DAFTAR GAMBAR... xii
DAFTAR LAMPIRAN... xiii
PENDAHULUAN... 1
Latar Belakang ... 1
Perumusan Masalah ... 3
Tujuan Penelitian ... 3
Manfaat Penelitian ... 4
TINJAUAN PUSTAKA... 5
Pengertian Komunikasi ... 5
Proses Komunikasi... 6
Arah komunikasi ... 11
Intensitas komunikasi... 12
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi KeefektivanKomunikasi ... 13
Faktor pada komponen komunikasi ... 13
Faktor pada komponen komunikator ... 13
Penerapan Konsep ”Energi Sosial”... 15
Gempa Bumi dan Tsunami Aceh 26 Desember 2004... 19
Pengelolaan Dampak Tsunami... 21
Penataan Daerah yang Terkena Tsunami ... 25
KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS... 29
Kerangka Pemikiran... 29
Hipotesis... 31
METODE PENELITIAN... 32
Lokasi dan Waktu ... 32
Desain Penelitian... 32
Populasi dan Sampel ... 32
Data dan Instrumentasi... 34
Definisi Operasional ... 34
Validitas dan Reliabilitas Instrumen ... 41
Pengumpulan data ... 41
Analisa Data ... 41
HASIL DAN PEMAHASAN... 42
Gambaran Umum Daerah Penelitian ... 42
Gambaran Umum Masyarakat Aceh di Bogor... 43
Deskripsi Responden... 46
Karakteristik Individu ... 48
KeefektivanKomunikasi... 56
Hubungan antara Karakteristik Individu dan Proses Komunikasi ... 58
Hubungan antara Lingkungan dan Proses Komunikasi ... 62
Hubungan antara Lingkungan dan KeefektivanKomunikasi ... 66
Hubungan antara Proses Komunikasi dan KeefektivanKomunikasi .. 67
KESIMPULAN DAN SARAN... 80
Kesimpulan ... 80
Saran... 81
DAFTAR PUSTAKA... 82
Halaman
1. Data populasi dan sampel penelitian... 33
2. Jumlah penduduk Kota Bogor per kecamatan menurut jenis
kelamin tahun 2006 ... 42
3. Distribusi aspek-aspek karakteristik individu masyarakat Aceh di
Bogor... 49 4. Distribusi aspek-aspek lingkungan masyarakat Aceh di Bogor... 53
5. Distribusi aspek-aspek proses komunikasi masyarakat Aceh di
Bogor mengenai pengelolaan dampak tsunami... 55
6. Distribusi aspek-aspek keefektivan komunikasi masyarakat Aceh
di Bogor mengenai pengelolaan dampak tsunami ... 57
7. Korelasi antara karakteristik individu (X1) dan proses komunikasi
(Y1) ... 59 8. Korelasi antara lingkungan (X2) dan proses komunikasi (Y1)... 63
9. Korelasi antara lingkungan (X2) dan keefektivan komunikasi
(Y2) ... 67
10.Korelasi antara proses komunikasi (Y1) dan keefektivan
komunikasi (Y2) ... 68
11.Distribusi frekuensi partisipasi masyarakat Aceh di Bogor dalam
pengelolaan dampak tsunami berdasarkan hubungan keluarga
dengan korban ... 72
12.Distribusi frekuensi partisipasi masyarakat Aceh di Bogor dalam
pengelolaan dampak tsunami berdasarkan tahapan partisipasi
Halaman
1. Tahapan Partisipasi menurut Uphoff, et al. (1979)... 19 2. Siklus Penangulangan Bencana... 23
3. Kerangka Pemikiran Keefektivan Komunikasi Masyarakat Aceh
Halaman
1. Validitas dan Reliabilitas Instrumen ... 87
2. Koefisien korelasi Rank Spearman antara karakteristik individu
(X1) dan proses komunikasi (Y1) ... 89
3. Koefisien korelasi Rank Spearman antara lingkungan (X2) dan
proses komunikasi (Y1) ... 90
4. Koefisien korelasi Rank Spearman antara karakteristik individu
(X1) dan lingkungan (X2)... 91
5. Koefisien korelasi Rank Spearman antara lingkungan (X2) dan
keefektivankomunikasi (Y2)... 92
6. Koefisien korelasi Rank Spearman antara proses komunikasi (Y1)
Latar Belakang
Di penghujung tahun 2004, tepatnya 26 Desember 2004, terjadi gempa
berkekuatan 8,9 pada skala Richter di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD, yang
selanjutnya disebut “Aceh”) diiringi oleh gelombang tsunami yang sangat
dahsyat (BMG, 2005a). Kejadian seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya di
belahan bumi manapun. Gelombang tsunami yang dahsyat tersebut telah
mengakibatkan hilangnya ratusan ribu nyawa manusia. Selain itu, bencana
tersebut juga telah menimbulkan kerugian harta benda dan kerusakan alam yang
tidak terhitung nilainya.
Terjadinya gempa telah meruntuhkan bangunan-bangunan seperti pusat
perbelanjaan, hotel-hotel, kantor-kantor, dan bangunan lainnya. Berselang
beberapa menit setelah gempa, menyusul tsunami yang sangat dahsyat
menerjang hampir seluruh pantai Aceh dan pulau-pulau yang ada di Lautan
Hindia. Kerusakan terparah terjadi di sepanjang pantai barat Aceh yang meliputi
Kabupaten Aceh Barat, Aceh Jaya, dan Aceh Besar. Sementara itu, kerusakan
yang agak ringan terjadi pada sebagian pantai utara Aceh yang meliputi
Kabupaten Pidie, Bireuen, Aceh Utara, dan Aceh Timur (Anonimous, 2005).
Peristiwa gempa dan gelombang tsunami yang teramat dahsyat tersebut
telah mengundang perhatian semua orang dari seluruh dunia. Media massa dari
seluruh dunia, yang meliputi surat kabar dan televisi, secara gencar berburu
berita dan menyebarkannya ke seluruh penjuru dunia (Oemarmadi, 2005;
Rahman, 2005). Peran media massa ini telah mampu menggugah perhatian
dunia untuk memberikan bantuan kepada masyarakat yang tertimpa musibah.
Besarnya perhatian dunia terhadap peristiwa gempa dan gelombang tsunami
tersebut beralasan karena peristiwa tersebut telah meninggalkan dampak yang
akan dapat dilihat dan dikenang manusia sepanjang masa, terutama masyarakat
Aceh.
Peristiwa gempa dan gelombang tsunami yang menimpa Aceh tidak akan
tidak akan pernah diketahui secara pasti apakah akan terjadi lagi ataupun tidak.
Kalau peristiwa itu akan berulang lagi, teknologi yang ada saat ini tidak mampu
meramalkan kapan terjadi. Manusia harus menyadari sepenuhnya bahwa Allah
SWT maha mengetahui segalanya dan hanya Dia yang mampu mengendalikan
seluruh alam dan isinya. Manusia diwajibkan untuk dapat membaca alam, yaitu
mempelajari gejala alam yang diamati dan peristiwa-peristiwa yang
berhubungan dengan gejala alam tersebut.
Sampai saat ini keadaan di Aceh belum pulih seperti sediakala. Masih
banyak masyarakat Aceh menempati tenda-tenda darurat karena belum
mempunyai biaya untuk mendirikan rumah. Situasi ini sangat memilukan, dan
perlu penanganan secepatnya. Pemerintah Indonesia sampai saat ini terus
berusaha membanguan Aceh kembali. Badan Pertanahan Nasional (BPN) terus
berusaha mendata tanah penduduk yang tidak diketahui batasnya lagi, bahkan
pemerintah menemui kesulitan mendata tanah-tanah penduduk tersebut karena
pemiliknya sudah meninggal dunia. Bantuan dari para ahli waris tentunya akan
mendukung suksesnya pendataan tanah tersebut.
Dampak peristiwa tsunami di Aceh memerlukan penanganan secara serius
dan terencana. Peran serta semua pihak diperlukan secara proaktif untuk
memulihkan kondisi Aceh, baik secara materi maupun psikologi. Berbagai
kalangan telah memberikan bantuan, baik yang berasal dari dalam maupun luar
negeri. Namun demikian, peran serta masyarakat Aceh sangat diharapkan karena
mereka memiliki hak dan tanggung jawab dalam menentukan arah
pembangunan Aceh ke depan.
Warga Aceh yang ada di perantauan merupakan suatu komunitas yang
sangat diharapkan kepedulian dan sumbangsihnya dalam pengelolaan dampak
tsunami di Aceh. Peran serta warga Aceh dapat dioptimalkan dengan adanya
suatu komunikasi yang efektif, yang merupakan salah satu faktor penentu
kebersamaan. Besarnya peranan komunikasi dalam menangani masalah di Aceh
perlu mendapat perhatian semua pihak. Keefektivan komunikasi masyarakat
Aceh yang ada di perantauan pasca tsunami perlu diketahui untuk memenuhi
komunikasi masyarakat Aceh perlu dikaji secara terperinci. Keefektivan
komunikasi masyarakat Aceh yang ada di perantauan perlu diketahui dan
dilakukan penelitian terencana, dengan melakukan studi kasus pada masyarakat
Aceh di Bogor.
Perumusan Masalah
Keefektivan komunikasi masyarakat Aceh yang berdomisili di Bogor
memiliki fungsi strategis untuk mengoptimalkan peran serta mereka dalam
pengelolaan dampak tsunami di Aceh. Proses komunikasi yang terjadi pada
masyarakat Aceh di Bogor merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi keefektivan komunikasi. Selanjutnya proses komunikasi
berkaitan dengan faktor-faktor karakteristik individu dan lingkungan.
Berdasarkan uraian di atas maka dirumuskan beberapa permasalahan yang
berkaitan dengan keefektivan komunikasi masyarakat Aceh di Bogor dalam
pengelolaan dampak tsunami, sebagai berikut:
1.Sejauhmana komunikasi yang efektif tentang pengelolaan dampak tsunami
telah terjadi pada masyarakat Aceh di Bogor dan faktor apa saja yang
mempengaruhi keefektivan komunikasi?
2.Sejauhmanaproses komunikasi masyarakat Aceh di Bogor dalam pengelolaan
dampak tsunami berkaitan dengan lingkungan?
3.Sejauhmanaproses komunikasi masyarakat Aceh di Bogor dalam pengelolaan
dampak tsunami berkaitan dengan karakteristik individu?
Tujuan Penelitian
Bertitik tolak pada permasalahan yang telah dirumuskan di atas maka
penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui sejauhmana telah terjadi komunikasi yang efektif pada
masyarakat Aceh di Bogor dalam pengelolaan dampak tsunami dan faktor
apa saja yang mempengaruhi keefektivan komunikasi.
3. Menganalisis sejauhmana proses komunikasi berkaitan dengan karakteristik
individu.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini antara lain:
1. Sebagai masukan bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah NAD dalam
mengoptimalkan peran serta masyarakat Aceh di perantauan dalam
pengelolaan dampak tsunami di Aceh.
2. Sebagai masukan bagi masyarakat Aceh secara keseluruhan untuk
meningkatkan kepedulian dan partisipasi mereka dalam pengelolaan dampak
Pengertian Komunikasi
Rogers dan Kincaid (1982) menyatakan bahwa komunikasi merupakan
suatu proses dimana partisipan membuat berbagai informasi satu sama lain
dalam upaya mencapai saling pengertian. Sementara itu Banlund dalam Devito
(1989) berpendapat bahwa komunikasi adalah suatu proses pembentukan,
penyampaian, penerimaan, pengolahan pesan yang terjadi dalam diri seseorang
dan atau diantara dua orang atau lebih dengan tujuan tertentu. Cara yang tepat
untuk menerangkan komunikasi dengan menjawab pertanyaan: (1) siapa
pemberi berita, (2) dengan siapa ia berbicara, (3) apa yang dikatakan, (4)
prosedur atau saluran apa yang dipakai, dan (5) apa akibat dari penyampaian
informasi itu (Laswell dalam Effendy, 1988). Komunikasi adalah proses
transaksional yaitu suatu proses yang komponen-komponennya saling terkait
dan para partisipan beraksi dan bereaksi sebagai suatu kesatuan atau
keseluruhan (Watlawick et.aldalam Devito, 1989).
Tujuan komunikasi bersifat informatif dan persuasif (Effendy, 2000). Jadi
tujuan komunikasi adalah memberitahu (information) atau mengubah sikap
(attitude), pendapat (opinion), atau perilaku (behavior). Secara paradigmatis, komunikasi berarti proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada
orang lain untuk memberi tahu atau untuk mengubah sikap, pendapat atau
perilaku baik langsung secara lisan maupun tidak langsung melalui media.
Komunikasi berlangsung apabila diantara orang-orang yang terlibat terdapat
kesamaan makna tentang suatu hal yang dikomunikasikan. Tujuan komunikasi
lebih dari sebuah upaya mempengaruhi, komunikasi merupakan upaya untuk
berhubungan dengan (to communicate with). Oleh karena itu, pencapaian
pengertian bersama untuk menaksir dan mendefinisikan realitas menjadi sangat
penting, karena keberhasilan berbagai upaya manusia tergantung pada ada
tidaknya pengertian bersama tersebut.
Motivasi penduduk dalam komunikasi pembangunan merupakan salah
dengan ide pembangunan. Di lain pihak, fakta menunjukkan bahwa mengubah
pola pikir, ide-ide, dan kebiasaan yang sudah ada di masyarakat bukanlah hal
yang mudah dilakukan. Upaya pengumpulan informasi dan penelitian awal
sangat diperlukan untuk mengetahui dan mengkaji kondisi nyata yang ada di
lingkungan masyarakat yang akan dijadikan sasaran, tentang posisi dari segala
sesuatu mengenai dirinya, kehendaknya, potensi lingkungannya dan lain-lain.
Dengan mengetahui posisi sasaran, maka selanjutnya merealisasikan
tujuan yang diinginkan yaitu berupa perubahan sosial di lingkungan masyarakat.
Untuk itu diperlukan langkah-langkah strategis dalam menyiasatinya. Langkah
dalam menyiasati perubahan kondisi masyarakat ke arah perubahan yang
diharapkan. Komunikasi dalam hal ini haruslah dilihat sebagai suatu proses
menyeluruh, termasuk pemahaman terhadap khalayak, terhadap
kebutuhan-kebutuhannya, serta pembuatan pesan-pesan, penyebaran, penerimaan, umpan
balik terhadap pesan dan komunikasi dua arah lainnya.
Proses Komunikasi
Berlo (1960) menyatakan bahwa sebagai sebuah proses, komunikasi
secara linier melibatkan empat komponen utama, yaitu: (1) sumber/pengirim
pesan atau komunikator (source), (2) pesan (message), (3) saluran (channel),
dan (4) penerima/komunikan (receiver). Di samping keempat elemen tersebut
dalam istilah model unsur-unsur komunikasi Berlo (1960), yang disebut sebagai
model S-M-C-R, ada tiga faktor lain yang juga penting dalam proses
komunikasi yaitu: (1) akibat/dampak (effect), (2) umpan balik (feed back), dan (3) gangguan (noise).
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa salah satu komponen penting
dalam komunikasi adalah adanya sumber pesan. Sumber atau source (encoder)
disebut juga sebagai pengirim pesan atau komunikator. Agar komunikasi
menjadi efektif, seorang komunikator dalam proses berkomunikasi harus
menentukan strategi bagaimana cara mempengaruhi komunikannya dan
menganalisis pesan yang diterima sebelum memberi respon (encoding) terhadap
empat faktor yaitu: (1) keterampilan komunikasi (communication skills) secara
lisan dan tulisan, (2) sikap jujur dan bersahabat (attitude), (3) tingkat
pengetahuan yang luas tentang materi yang dikomunikasikan (knowledge), dan
(4) mampu beradaptasi dengan sistem sosial budaya (social and cultural system)
komunikan.
Komunikator harus memiliki keterampilan dalam komunikasi untuk
menciptakan suatu proses komunikasi yang baik. Berlo (1960) menyatakan
bahwa ada lima keterampilan komunikasi verbal yaitu menulis dan berbicara
(keterampilan meng-encoding), keterampilan membaca, dan
mendengar/menyimak (keterampilan meng-decoding), serta pemikiran atau
pertimbangan (thought or reasoning) merupakan keterampilan yang paling
penting didalam meng-encoding maupun meng-decoding pesan.
Selain keterampilan verbal, komunikator juga harus memiliki sikap yang
mendukung keefektivan komunikasi. Sikap komunikator (attitude) yang
bersahabat, hangat dan jujur sangat mempengaruhi keefektivan komunikasi.
Menurut Berlo (1960), sikap komunikator mempengaruhi kebiasaannya
berkomunikasi. Berlo mengartikan kata “sikap” dalam arti sempit dengan
menjawab pertanyaan: How do the attitude of the source effect communication?
Selanjutnya Berlo menjabarkan sikap komunikator menjadi tiga sikap yaitu: (1)
sikap terhadap diri sendiri (attitude toward self), yang berkaitan dengan
kepribadian individu dalam berkomunikasi, (2) sikap terhadap materi (pesan)
yang dikomunikasikan (attitude toward subject matter), dan (3) sikap terhadap
komunikan (attitude toward receiver). Apabila seorang komunikator tidak yakin
terhadap subjek/materinya, maka hal ini akan menyulitkan berkomunikasi secara
efektif tentang subjek/materi itu. Selain itu, sikap komunikator pada
komunikannya berpengaruh terhadap komunikasi diantara mereka. Berlo
mengilustrasikan sebagai berikut: Jika pembaca atau pendengar menyadari
bahwa apa yang ditulis/dibicarakan sama seperti yang mereka rasakan, maka
kritik terhadap pesan yang dibaca/didengar akan sangat minim. Kemungkinan
besar pesan yang disampaikan oleh penulis atau pembicara akan diterima oleh
Tingkat pengetahuan (knowledge) yang luas tentang materi yang dikomunikasikan juga harus dimiliki seorang komunikator agar ”kredibel” di
mata khalayaknya. Menurut Aristoteles, seorang komunikator itu kredibel
apabila memiliki ethos, pathos dan logos (Cangara, 2000). Ethos ialah kekuatan yang dimiliki pembicara dari karakter pribadinya sehingga ucapan-ucapannya
dapat dipercaya. Pathos adalah kekuatan yang dimiliki pembicara dalam
mengendalikan emosi pendengarnya. Sedangkan Logos ialah kekuatan yang
dimiliki melalui argumentasinya (argumentasi kuat bila ditunjang tingkat
pengetahuan yang luas).
McCroskey (1966 dalam Cangara, 2000) memperluas pendapat Aristoteles
dan menyatakan bahwa kredibilitas seorang komunikator dapat bersumber dari
kompetensi (competence), sikap (attitude), tujuan (intension), kepribadian
(personality), dan dinamika (dynamism). Kompetensi ialah penguasaan komunikator terhadap masalah yang dibahas (tingkat pengetahuan terhadap
materi yang cukup luas). Sikap menunjukkan pribadi komunikator apakah tegar
atau toleran dalam prinsip. Tujuan menunjukkan apakah hal-hal yang
disampaikan itu memiliki maksud baik atau tidak. Kepribadian menunjukkan
apakah komunikator memiliki pribadi yang hangat dan bersahabat. Sedangkan
dinamika menunjukkan apakah hal yang disampaikan itu menarik atau justru
membosankan.
Seorang komunikator juga dituntut kemampuannya untuk beradapatasi
dengan sistem sosial budaya (social and cultural system) komunikannya. Berlo
menyatakan bahwa derajat pesan yang dapat diserap oleh penerima dipengaruhi
oleh berbagai hal diantaranya adalah sistem sosial budaya penerima. Seorang
komunikator karena itu seyogyanya memahami sistem sosial budaya
komunikannya.
Komponen lain setelah sumber yang harus ada dalam komunikasi adalah
pesan. Pesan adalah sebagian produk fisik aktual (actual physical product) dari komunikator-komunikan (Berlo, 1960). Ketika seseorang berpidato, menulis,
menggambar, dan menggerakan anggota tubuh sebagai isyarat, maka isi pidato,
pesan. Selanjutnya, isi pesan merupakan materi pesan yang terseleksi oleh
komunikator untuk mengekspresikan tujuan. Isi pesan adalah pernyataan atau
pemaknaan yang kita buat, informasi yang kita tampilkan, kesimpulan yang kita
buat, dan pembenaran (judgments) yang kita maksud dalam pesan.
Komponen berikutnya dalam komunikasi adalah saluran komunikasi.
Komponen ini merupakan alat untuk menyalurkan pesan dari komunikator ke
komunikan. Roger dan Shoemaker (1971) membedakan saluran komunikasi atas
dua jenis yaitu (1) saluran media massa, dan (2) saluran interpersonal.
Saluran media massa adalah alat penyampai pesan yang memungkinkan
pencapaian komunikan dalam jumlah besar, yang dapat menembus batas waktu
dan ruang seperti Radio, TV, Koran dan sebagainya. Saluran interpersonal
merupakan saluran komunikasi melalui pertemuan tatap muka antara
komunikator dan komunikan. Selanjutnya saluran interpersonal dibedakan atas
saluran interpersonal lokalit dan saluran interpersonal kosmopolit. Saluran
interpersonal lokalit adalah saluran antar pribadi yang berlangsung sebatas
daerah atau sistem sosial itu saja. Saluran interpersonal kosmopolit adalah
komunikasi yang berlangsung antara receiver dengan sumber pesan dari luar
sistem sosial receiver.
Apabila berpedoman kepada tujuan komunikasi, komunikasi interpersonal
lebih tepat digunakan pada tahapan persuasi. Pada komunikasi interpersonal
kontak antara komunikator dan komunikan lebih banyak bersifat pribadi. Oleh
karena itu saluran interpersonal dapat memainkan peranan penting pada tahap
persuasi. Media interpersonal mempunyai efek yang tinggi pada pembentukan
dan perubahan sikap, dan mempunyai efek yang rendah pada kognitif.
Sedangkan media massa berefek tinggi pada kognitif dan rendah pada
pembentukkan dan perubahan sikap komunikan (audience).
Komponen terakhir dalam proses komunikasi adalah adanya komunikan.
Komunikan biasa disebut juga dengan isitilah penerima pesan, decoder,
khalayak, sasaran, audience dan lain sebagainya. Berhasil tidaknya proses
komunikasi sangat ditentukan oleh komunikan. Komunikan dalam studi
Dalam proses komunikasi, ternyata diketahui sumber membentuk pesan
(encoder) dan menyampaikannya melalui saluran (cahnnel), lalu diterima oleh penerima pesan yang menginterpretasikan pesan tersebut. Apabila penerima
punya tanggapan terhadap pesan, maka akan memberikan respons (feed back).
Pihak sumber akan menginterpretasi tanggapan dan selanjutnya melakukan
penyampaian pesan berikutnya. Demikianlah seterusnya proses komunikasi
tersebut berlangsung secara terus menerus. Terjadinya pergantian peran dalam
uraian lain dikatakan bahwa sipenerima (komunikan) kemudian berlaku sebagai
pengirim pesan (komunikator) dalam memberikan tanggapannya, yang
kemudian akan di respon oleh komunikannya. Proses pergantian peran ini terjadi
secara serentak atau bersamaan (simultan) dan berkesinambungan (continuous).
Proses komunikasi lebih jauh dapat dijelaskan dengan pendekatan
kerangka pemahaman. Mulyana (2003) mengemukakan bahwa setidaknya
terdapat tiga kerangka pemahaman mengenai komunikasi. Ketiga kerangka
pemahaman mengenai komunikasi tersebut yaitu: (1) komunikasi sebagai
tindakan satu arah, (2) komunikasi sebagai interaksi, dan (3) komunikasi sebagai
transaksi.
Pemahaman ”komunikasi sebagai proses satu arah” disebutkan oleh
Micheal Burgoon, sebagai “definisi berorientasi sumber” (source oriented
definition) yang mengisyaratkan komunikasi sebagai kegiatan yang sengaja dilakukan seseorang untuk meyampaikan rangsangan guna membangkitkan
respons orang lain. Konseptualisasi komunikasi sebagai tindakan satu arah ini
mengisyaratkan bahwa semua kegiatan komunikasi bersifat persuasif.
Dalam pandangan ”komunikasi sebagai interaksi”, komunikasi disetarakan
dengan suatu proses sebab-akibat atau aksi-reaksi yang arahnya bergantian dan
lebih dinamis. Komunikasi ini dianggap sedikit lebih dinamis daripada
komunikasi satu arah, meskipun masih membedakan para komunikate sebagai
komunikator dan komunikan, artinya masih tetap berorientasi sumber, meskipun
kedua peran itu dianggap bergantian. Sehingga proses interaksi yang
Dalam konteks ”komunikasi sebagai transaksi”, proses penyandian
(encoding) dan penyandian balik (decoding) bersifat spontan dan simultan diantara para komunikate. Semakin banyak orang yang berkomunikasi semakin
rumit transaksi komunikasi yang terjadi karena akan terdapat banyak peran,
hubungan yang lebih rumit, serta lebih banyak pesan verbal dan non verbal.
Kelebihan konseptualisasi komunikasi sebagai transaksi adalah komunikasi
tersebut tidak membatasi komunikate pada komunikasi yang disengaja atau
respon yang dapat diamati. Komunikasi transaksional dianggap telah
berlangsung bila seseorang telah menafsirkan perilaku orang lain baik perilaku
verbal maupun perilaku non verbal. Konseptualisasi komunikasi lebih sesuai
untuk konteks komunikasi interpersonal karena lebih bersifat dinamis dan para
pelaku komunikasi tidak dibedakan antara sumber dan penerima, melainkan
semuanya saling berpartisipasi dalam interaksi sebagai partisipan komunikasi.
Ketiga konsep pemahaman komunikasi tersebut sangat dipengaruhi oleh
ketepatan komunikasi (fidelity of communication). Ketepatan komunikasi yang
tinggi menyebabkan para komunikate akan memperoleh apa yang mereka
kehendaki dari tujuan berkomunikasinya. Komunikator akan puas karena pesan
yang disampaikan dapat diterima dan dilaksanakan komunikan seperti yang
dikehendaki, dan komunikanpun akan puas karena pesan yang diterimanya
sesuai dengan kebutuhan. Ketepatan komunikasi tersebut merupakan indikator
keefektivan komunikasi.
Arah komunikasi
Komunikasi bisa terjadi satu arah atau linier dan dua arah atau interaktif.
Arah komunikasi adalah proses penyampaian pesan dari seorang komunikator
kepada komunikan. Komunikasi linier biasanya tidak membutuhkan umpan
balik, sedangkan komunikasi interaktif adalah komunikasi yang terjadi secara
transaksional, yaitu umpan balik terjadi secara spontan dan simultan. Tubbs dan
Moss (2001) telah menggambarkan komunikasi dua-orang (diadik). Model
komunikasi ini sesuai dengan konsep komunikasi sebagai transaksi, yaitu yang
mengasumsikan kedua peserta komunikasi sebagai pengirim dan sekaligus juga
mempengaruhi, juga berlangsung spontan dan serentak. Dia mengasumsikan
bahwa komunikasi itu suatu proses yang sinambung, tanpa awal dan tanpa akhir.
Ia menunjukkan unsur waktu yang terus berjalan, yang secara implisit
menandakan komunikasi sebagai suatu proses dinamis yang yang menimbulkan
perubahan-perubahan pada para peserta komunikasi.
Widatri (1995) menyatakan bahwa komunikasi sebagai faktor yang
mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Di dalam organisasi
birokrasi lokal, komunikasi pada dasarnya merupakan sarana untuk
menyebarluaskan informasi, baik komunikasi dari atas ke bawah maupun dari
bawah ke atas.
Komunikasi ke atas adalah informasi yang diminta oleh masyarakat atau
informasi yang secara sukarela disampaikan oleh para implementor kepada
pihak administrator. Komunikasi ke bawah menurut Katz dan Khan dalam
Bryant and White (1982) mencakup lima butir yaitu (1) petunjuk-petunjuk tugas
yang spesifik (2) perintah kerja, (3) informasi tentang praktek dan prosedur
kerja, (4) umpan balik kepada bawahan mengenai perkerjaannya, dan (5)
informasi tentang suatu ciri ideologis untuk menanamkan rasa mengemban misi:
indoktrinasi mengenai tujuan-tujuan.
Komunikasi kebawah biasanya merupakan komunikasi satu arah seperti
pada poin ke-1, 2, 3, dan 5, yaitu bawahan hanya menerima perintah atau
petunjuk-petunjuk kerja tanpa dapat memberikan umpan balik. Sedangkan pada
poin ke-4 terlihat adanya komunikasi Interaktif yaitu adanya umpan balik dari
atasan terhadap komunikasi bawahannya. Terlihat adanya komunikasi dua arah.
Komunikasi yang mencirikan pimpinan yang baik.
Intensitas komunikasi
Harold Lasswell menggambarkan komunikasi dengan menjawab
pertanyaan-pertanyaan: Who Says What In Which Channel To Whom With What
Effect? Atau Siapa Mengatakan Apa Dengan Saluran Apa Kepada Siapa Dengan Pengaruh Bagaimana? (Mulyana, 2003). Sementara intensitas komunikasi
adalah frekuensi dari upaya seseorang dalam peningkatan komunikasinya. Atau
frekuensi seseorang dalam berkomunikasi. Intensitas komunikasi berpengaruh
pada perilaku seseorang, semakin tinggi intensitas komunikasi, maka semakin
tinggi partisipasinya (Soemantri, 1998).
Partisipasi masyarakat sangat ditentukaan oleh karakteristik dan intensitas
komunikasinya (Davis dalam Sastropoetro, 1988). Orang yang berpendidikan
tinggi mempunyai partisipasi yang tinggi di dalam pembangunan, karena dengan
berpendidikan tinggi ia mampu menganalisis serta aktif terlibat dalam
perencaan, pelaksanaan, evaluasi dan pemanfaatan (Muliawati, 1993).
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keefektivan Komunikasi
Faktor-faktor yang mempengaruhi keefektivan komunikasi yaitu faktor
pada komponen komunikasi dan faktor pada komponen komunikator (Effendy,
2000) .
Faktor pada komponen komunikasi
Faktor-faktor yang harus diperhatikan oleh seorang komunikan dalam
menyampaikan suatu pesan yaitu: (1) waktu yang tepat untuk suatu pesan, (2)
bahasa yang dipergunakan agar pesan dapat dimengerti, (3) sikap dan nilai yang
harus ditampilkan agar efektif, (4) jenis kelompok dimana komunikasi akan
dilaksanakan. Seorang komunikan dapat dan akan menerima suatu pesan hanya
kalau terdapat kondisi berikut secara simultan: (1) ia dapat dan benar-benar
mengerti pesan komunikasi; (2) pada saat ia mengambil keputusan, ia sadar
bahwa keputusannya itu sesuai dengan tujuannya; (3) pada saat ia mengambil
keputusan, ia sadar bahwa keputusannnya itu bersangkutan dengan kepentingan
pribadinya; serta (4) ia mampu untuk menepatinya baik secara mental maupun
secara fisik.
Faktor pada komponen komunikator
Untuk melaksanakan komunikasi efektif, terdapat dua faktor penting pada
diri komunikator yakni kepercayaan kepada komunikator (source credibility)
komunikator ditentukan oleh keahliannya dan dapat tidaknya ia dipercaya.
Penelitian menunjukkan bahwa kepercayaan yang besar akan dapat
meningkatkan daya perubahan sikap, sedang kepercayaan yang kecil akan
mengurangi daya perubahan yang menyenangkan. Komunikator yang lebih
dikenal dan disenangi oleh komunikan, lebih cenderung komunikan untuk
mengubah kepercayaannya ke arah yang dikehendaki komunikator.
Kepercayaan kepada komunikator mencerminkan bahwa pesan yang diterima
komunikan dianggap benar dan sesuai dengan kenyataan empiris. Selain itu
untuk memperoleh kepercayaan sebesar-besarnya, komunikator bukan saja
harus mempunyai keahlian, mengetahui kebenaran, tetapi juga cukup objektif
dalam memotivasikan apa yang diketahuinya.
Seorang komunikator akan mempunyai kemampuan untuk melakukan
perubahan sikap melalui mekanisme daya tarik, jika pihak komunikan merasa
bahwa komunikator ikut serta dengan mereka dalam hubungannya dengan opini
secara memuaskan. Byrne mengemukakan bahwa komunikan menyenangi
komunikator, apabila merasa adanya kesamaan antara komunikator dengannya
(Effendy, 2000). Kesamaan ideologi lebih penting daripada kesamaan
demografi. Tampaknya ada kecenderungan yang kuat pada orang-orang untuk
menyukai orang lain, kalau mereka merasa bahwa orang lain tadi mengambil
bagian dari kepercayaannya. Faktor perasaan yang sama dengan komunikator
yang terdapat pada komunikan yang akan menyebabkan komunikasi sukses.
Sikap komunikator yang berusaha menyamakan diri dengan komunikan, akan
menimbulkaan simpati komunikan pada komunikator. Seorang komunikator
akan sukses dalam komunikasinya, kalau menyesuaikan komunikasinya dengan
”image” komunikannya, yaitu memahami kepentingannya, kebutuhannya,
kecakapannya, pengalamannya, kemampuan berfikir, dan kesulitannya.
Tujuan komunikasi pembangunan secara umum adalah untuk
meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Tujuan tersebut hanya akan tercapai
bila komunikasi pembangunan dimaksud efektif. Komunikasi dinilai efektif bila
ransangan yang disampaikan dan yang dimaksud oleh pengirim atau sumber,
Dalam Konteks komunikasi efektif, faktor internal dan eksternal dapat
diwujudnyatakan dalam serangkaian kegiatan komunikasi yang terencana. Oleh
sebab itu perlu dilakukan identifikasi, analisis, serta penetapan masalah dan
kebutuhannya. Rangkaian kegiatan komunikasi dimaksud meliputi unsur: Who
(siapa sasarannya), why (apa latar belakang dan tujuannya), what (apa
pesannya), when (kapan pelaksanaannya), how (bagaimana cara/metode/format
penyampaian pesannya) dan where (dimana tempat pelaksanaannya). Berkaiatan
dengan unsur who, Berlo (1960) menyatakan komunikator harus memiliki
simpati dan empati terhadap kondisi komunikan, karena pada dasarnya tujuan
komunikasi adalah adanya interaksi timbal balik.
Devito (1997) menyatakan bahwa ada lima ciri komunikasi interpersonal
yang efektif yaitu: (1) openness (keterbukaan), (2) emphaty (empati), (3)
supportiveness (dukungan), (4) positiveness (rasa positif), (5) equality
(kesamaan). Berkaitan dengan unsur how, keahlian serta kredibilitas sumber
informasi. Selanjutnya Berlo (1960) menyatakan bahwa terdapat empat hal yang
dapat meningkatkan ketepatan komunikasi antara sumber dan sasarannya yaitu:
(1) keterampilan/keahlian berkomunikasi, (2) sikap, (3) tingkat pengetahuan, (4)
sistem sosial budaya sumber dan penerima.
Penerapan Konsep “Energi sosial”
Masyarakat Aceh seperti yang telah banyak di bicarakan, sangat baik
dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. Rasa kekeluargaan mereka sangat
tinggi, mereka selalu saling membantu satu sama lainnya. Masyarakat Aceh
adalah pekerja yang ulet dan giat. Jiwa perantauan mereka sudah ada sejak
dahulu dan sudah diwariskan secara turun-temurun. Ditambah lagi jiwa dagang
atau bisnis yang tertanam dalam diri mereka, menunjang unsur jiwa perantauan
mereka. Rasa fanatisme paling menonjol dari kesemuanya itu adalah pada
keyakinan dan kekuasaan mereka. Hal ini bisa terlihat dari kuatnya mereka
membela kehormatan agama yang mereka anut walaupun nyawa taruhannya.
Begitu pula halnya dengan kehormatan keluarga, harta, suku dan yang terutama
Masyarakat Aceh di perantauan sangat berpotensi dalam pembangunan
kembali Aceh. Rasa fanatisme mereka yang telah mendorong mereka merasa
menjadi satu di perantauan. Rasa ini pulalah yang menjadi pembangkit semangat
mereka untuk ikut membantu. Bantuan sangat diharapkan oleh saudara-saudara
mereka yang ada di kampung halaman mereka yang mengalami musibah,
bantuan moril maupun materil. Motivasi masyarakat Aceh diperantauan juga
sangat besar akan hal itu. Partisipasi sangat berguna terutama dalam kebangkitan
kembali masyarakat Aceh dari keterpurukan mereka. Partisipasi ini dapat
memotivasi saudara-saudaranya. Keefektivan komunikasi diantara mereka
sangat menentukan.
Motivasi masyarakat Aceh di perantauan untuk ikut berpartisipasi dalam
pembangunan kembali Aceh, bangkit dari rasa fanatikisme mereka terhadap
suku dan daerah mereka. Rasa fanatik ini terutama pada Alim Ulama, yang
statusnya bisa jadi lebih tinggi dari siapapun, dari penguasa sekalipun. Hal ini
sesuai dengan semboyan yang terdapat pada masyarakat Aceh ”Adat Bak
Peutmeureuhom, Hukum Bak Syiah Kuala” yaitu tata kehidupan bisa jadi diatur
oleh petua adat tetapi hukum harus bergantung pada ulama. Maksud dari
pernyataan tersebut bahwa dalam kehidupan sehari-hari segala hukum yang
berlaku harus sesuai dengan syariat Islam. Orang yang mengerti benar syariat
Islam adalah Alim Ulama. Oleh karena itu, masyarakat Aceh menganggap
bahwa para Ulama merupakan panutan yang harus dihormati.
Terpusatnya pengaruh pada ulama merupakan bagian kekuatan terbesar
dalam masyarakat Aceh. Kekuatan ini dapat dinilai sebagai suatu ”tenaga
dalam” (energi sosial), yang sebaiknya dimanfaatkan untuk memperkuat
ketahanan dirinya dalam mengikuti gerak dan upaya membangun Aceh.
Sehubungan dengan hal ini, Sumardjo (1994) menyatakan bahwa energi sosial
kreatif dapat dibangkitkan dengan memanfaatkan jalur-jalur atau pusat-pusat
pengaruh yang ada di tingkat desa (petua adat, tokoh agama, guru, dan tokoh
formal di desa) untuk setiap kegiatan yang bertujuan mengangkat harkat
Sudah terpateri di dalam benak masyarakat Aceh, ”Membela agama dan
adat istiadat lebih penting dari segalanya”. Hal ini telah ditanamkan semenjak
bayi masih dalam ayunan, sebagaimana dapat dilihat dari senandung para ibu
dalam meninabobokan anak-anak mereka yaitu pada syair ”Mate Syahed”. Jadi
bagi masyarakat Aceh, ulama adalah mesin penggerak dalam kehidupan, hal
inilah yang harus dimanfaatkan dalam partisipasi pembangunan Aceh kembali.
Partisipasi masyarakat merupakan kekuatan dalam pembangunan.
Kekuatan-kekuatan inilah yang harus digali dari masyarakat dalam menunjang
pembangunan. Kekuatan yang merupakan tenaga penggerak, sebagai roda
penggerak yang harus muncul dari dalam diri masyarakat itu sendiri.
Partisipasi diperlukan di dalam proses pelaksanaan pembangunan karena
di dalamnya menyangkut dukungan informasi, dan kesempatan menentukan
tujuan pembangunan. Partisipasi dalam pelaksanaan pembangunan meliputi: (a)
mengerahkan daya dan dana, (b) administrasi dan koordinasi, (c) penjabarannya
kedalam program. Masyarakat diajak ikut untuk berpartipasi dengan jalan
menyumbangkan tenaga atau hartanya kepada pembangunan, baik bersifat fisik
maupun nonfisik (Ndraha, 1987). Hamidjojo (1974) menjelaskan bahwa dalam
tahapan implementasi, partisipasi meliputi buah pikiran, keterampilan, tenaga,
harta benda dan uang. Lebih jauh dijelaskan bahwa partisipasi dalam
pelaksanaan pembangunan mengandung lima unsur, yakni: (1) pimpinan daerah,
(2) orang atau masyarakat, (3) administrator, (4) partisipasi masyarakat dan (5)
orang-orang yang sesuai dengan bidangnya.
Davis dalam Huneryager (1992) memberikan definisi partisipasi sebagai
berikut: ”Participation is defined as an individuals mental and emotional
involvement in a group situation that encourrager him to contribute to group goals and to share responsibility for them”. Definisi ini mengemukakan tiga hal pokok yang menjadi perhatian partisipasi, yakni: (1) titik berat keterlibatan
partisipasi adalah keterlibatan mental dan emosional, ini berarti bahwa
kehadiran secara fisik semata-mata didalam suatu kelompok, tanpa keterlibatan
tercapainya tujuan kelompok itu sangat beragam, (3) kesediaan untuk
bertanggung jawab diantara sesama anggota kelompok tersebut terbangkitkan.
Gaffar (1986) menyatakan hakekat partisipasi adalah kemandirian, artinya
setiap individu yang melakukan kegiatan partisipasi harus berasal dari dirinya
sendiri, atas inisiatif atau kemauan sendiri. Jika seorang individu melakukan
kegiatan karena didorong atau digerakkan orang lain, atau karena merasa
khawatir akan konsekuensi kalau tidak melakukan partisipasi, maka apa yang
sebenarnya terjadi adalah mobilisasi, atau istilah populernya partisipasi yang
digerakkan.
PBB memberikan definisi partisipasi masyarakat apabila dikaitkan dengan
pembangunan sebagai keterlibatan aktif dan bermakna dari massa penduduk
pada tingkatan-tingkatan yang berbeda, yaitu: (a) dalam proses pembentukkan
keputusan untuk menentukan tujuan-tujuan kemasyarakatan dan pengalokasian
sumber-sumber untuk mencapai tujuan tersebut, (b) pelaksanaan
program-program dan proyek-proyek secara sukarela, dan (c) pemanfaatan hasil-hasil
dari suatu program atau proyek. Sedangkan Mubyarto (1988) memberikan
pengertian partisipasi masyarakat dalam pembangunan sebagai kesediaan untuk
membantu berhasilnya setiap kegiatan sesuai kemampuan setiap orang tanpa
berarti mengorbankan diri mereka sendiri.
Menurut Uphoff, et al. (1979) ada empat jenis partisipasi yang merupakan
suatu tahapan sebagaimana terlihat pada Gambar 1. Sebagaimana terlihat pada
gambar tersebut, mereka mendefinisikan empat jenis partisipasi: dimulai dari
partisipasi dalam pembuatan keputusan, partisipasi dalam penerapan keputusan,
partisipasi dalam pencapaian hasil, serta partisipasi dalam evaluasi. Salah satu
syarat yang mereka ajukan adalah ”empowerment”. Keefektivan keikutsertaan
warga masyarakat sangat ditentukan oleh berapa banyak ”power” yang
Gambar 1 Tahapan Partisipasi menurut Uphoff, et al. (1979).
Partisipasi dalam pengawasan pembangunan berkaitan erat dengan proses
penyelenggaraan pembangunan, yang tujuannya untuk mengetahui apakah
pelaksanaan telah sesuai dengan apa yang direncanakan. Masyarakat harus
terlibat dalam proses pengawasan pembangunan, baik yang dilakukan oleh
lembaga formal secara langsung, maupun tidak langsung dari segenap aktivitas
(Uphoff, et al. 1979). Dalam pelaksanaannya, pengawasan yang dilakukan oleh
golongan masyarakat itu, bentuknya dapat secara langsung, maupun berupa
pengutaraan pendapat atau kritik yang ditujukan kepada kebaikan ataupun
keburukan suatu rencana atau program pembangunan.
Pada saat ini, manajemen pengembangan sumberdaya yang berwawasan
lokal begitu mencuat. Model pembangunannya menekankan pada implementasi
program-program dari bawah, yakni melihat sampai dimana peran serta
masyarakat. Partisipasi tidak hanya berasal dari orang yang dipengaruhi dan
dikenai pembangunan saja, tetapi juga para perencana pembangunan (birokrat
atau pemerintah) menginginkan agar masyarakat berpartisipasi aktif. Peran aktif
masyarakat bukan hanya dalam proses pembangunan saja, tetapi mulai dari
pelaksanaan sampai ke monitoringnya (Moss, 1976 dalam Thoha, 1987).
Gempa Bumi dan Tsunami Aceh 26 Desember 2004
Tsunami adalah serangkaian gelombang tinggi yang disebabkan oleh
perpindahan sejumlah besar air laut secara tiba-tiba. Secara lebih detail
dijelaskan bahwa tsunami adalah sederetan gelombang laut yang menjalar
dengan panjang gelombang sampai 100 km dengan ketinggian beberapa puluh 1. Decision Making
2. Implementation
3. Benefit
meter di tengah laut dalam (BMG, 2005a). Istilah tsunami berasal dari bahasa
Jepang yang pada dasarnya menyatakan suatu gelombang laut yang terjadi
akibat gempa bumi tektonik dasar laut. Magnitudo tsunami yang terjadi di
Indonesia berkisar antara 1,5 - 4,5 skala Imamura, dengan tinggi gelombang
tsunami maksimum yang mencapai pantai berkisar antara 4 - 24 meter dan
jangkauan gelombang kedaratan berkisar antara 50 - 200 meter dari garis pantai.
Badan Meteorologi dan Geofisiska (BMG, 2005b) menentukan pusat
gempa di 2,9o LU, 95,6o BT, kedalaman 20 km, kekuatan 6,8 Skala Richter
(body wave), sedangkan lokasi yang ditentukan oleh USGS 3,4o LU, 94,7o BT
dengan kekuatan 8,1 SR (magnitude momen). Gempa bumi ini diikuti
gempa-gempa susulan dengan kekuatan bervariasi dengan magnitude 4 sampai dengan
6,2 SR, yang dapat ditentukan oleh BMG. Tsunami hanya ditimbulkan oleh
gempa-gempa dangkal di bawah laut dengan magnitude diatas 6 SR. Untuk itu
dapat dikatakan bahwa tsunami susulan di daerah Aceh sangat kecil
kemungkinannya untuk terjadi. Meskipun demikian masyarakat diminta tetap
waspada.
Bencana tsunami di Aceh 24 Desember 2004 telah menimbulkan kerugian
yang luar biasa. Menurut Azwar Abubakar, Plt. Gubernur Aceh, tsunami telah
menyebabkan kerusakan di Aceh yang diperkirakan kerugiannya mencapai Rp
41,401 triliun (Acehkita. 2005). Kerugian itu meliputi sektor kesehatan,
perumahan, pendidikan agama dan budaya (senilai Rp 16,186 triliun). Di bidang
transportasi, komunikasi, energi, air dan bendungan telah merugikan Rp 8,154
triliun, selebihnya sektor produksi, agribisnis, perikanan, industri, perdagangan
serta beberpa sektor lain seperti perbankan dan lingkungan pemerintahan lebih
dari Rp 14 triliun. Sementara itu Menurut kajian Bank Dunia dan Bappenas,
diperkirakan bencana ini telah menimbulkan kerugian di sektor ekonomi Rp.
41,4 trilyun atau 2,2 % dari PDRB nasional atau 97% dari PDRB Provinsi
NAD. Berdasarkan analisis Kementerian Lingkungan Hidup dan UNEP,
kerugian kerusakan dan pencemaran lingkungan akibat bencana tersebut
Selain kerugian fisik, bencana tsunami juga telah menimbulkan korban
jiwa yang sangat banyak. Perbatakusuma (2005) melaporkan bahwa di Provinsi
NAD dan Sumatera Utara korban meninggal sampai minggu kelima telah
tercatat 115.229 orang dan sebanyak 603.518 menjadi pengungsi. Jumlah
korban meninggal ini akan terus meningkat, karena masih banyak mayat yang
belum dapat dievakuasi di bawah runtuhan puing bangunan, di daerah-daerah
yang masih terisolasi bala bantuan atau masih terbenam di dalam sedimen
lumpur.
Sebenarnya tidak semua gempa dapat menimbulkan tsunami. Ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk terjadinya tsunami (BMG, 2005c),
yaitu: (1) pusat gempa (episenter) berada di bawah laut, (2) pusat gempa
berkisar antara 0-30 km atau biasa dikenal dengan sebutan gempa dangkal, (3)
magnitudo gempa yang berdampak biasanya lebih besar dari 6 Skala Richter,
dan (4) tsunami yang besar umumnya juga terjadi apabila terjadi dislokasi
vertikal, atau pada sesar naik atau sesar turun. Sementara itu, gempa bumi
tektonik terjadi akibat tumbukan lempeng tektonik. Di Indonesia terdapat 3
pergerakan lempeng yaitu: pergerakan Australia dengan Eurasia,
Indo-Australia dengan Pasifik dan Pasifik dengan Indo-Indo-Australia. Pertemuan lempeng
ini adalah lokasi gempa-gempa yang besar dan berada di lautan yang berjarak
100-150 km dari pantai barat Sumatra, selatan Jawa, selatan Nusatenggara,
Maluku dan pantai utara Papua
Tsunami biasanya diklasifikasikan menjadi tsunami lokal dan tsunami
jauh (BMG, 2005c). Tsunami yang terjadi secara lokal biasanya terjadi dalam
waktu yang kurang untuk memberi peringatan, dan mungkin juga diiringi
kerusakan yang diakibatkan oleh gempa pemicu seperti tanah bergerak, surface
faulting, liquefaction, atau tanah longsor. Tsunami jauh bisa berjalan selama
berjam-jam sebelum melanda pesisir.
Pengelolaan Dampak Tsunami
Pengelolaan berarti pengaturan, penataan atau menjalankan suatu kegiatan
menata ulang keadaan pasca tsunami. Pembenahan bisa dilakukan pada keadaan
fisik atau non fisik yang merupakan dampak dari bencana tsunami.
Oemarmadi (2005) menyatakan bahwa fenomena bencana atau ‘Disaster’
adalah suatu peristiwa yang disebabkan oleh alam yang pada umumnya terjadi
secara sangat mendadak, dan dapat menimbulkan dampak yang merugikan.
Sehingga masyarakat yang mengalami dan terkena bencana, perlu melakukan
tindakan untuk menghadapinya dan menanggulanginya. Upaya tersebut dikenal
dengan istilah Penanggulangan atau Penanganan Bencana atau ‘Disaster
Management’, yang merupakan suatu rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus yang meliputi sebelum, pada saat dan setelah bencana
terjadi.
Penerapan Disaster Management, perlu menetapkan pola dari siklus
penanggulangan bencana yang berlaku secara umum, guna memudahkan untuk
dilakukannya upaya perumusan analisis dari persepsi dan sudut pandang yang
sama. Sebagaimana diketahui bahwa The Disaster Cycle adalah suatu wacana
visual untuk memperlihatkan kegiatan-kegiatan yang berbeda, dalam melakukan
usaha penanggulangan bencana mulai dari sebelum, pada saat dan sesudah
terjadinya bencana yang disebabkan oleh alam maupun karena ulah manusia.
Oemarmadi (2005) menggambarkan secara jelas Siklus Manajemen Bencana
yang dimulai dari Tahap Kesiap Siagaan, Tanggap Darurat, sampai dengan
Pemulihan Pasca Bencana (Gambar 2).
Terjadinya bencana (Disaster) yang diakibatkan oleh bencana alam atau
‘Natural Disaster’ seperti halnya gempa. Timbulnya kerugian yang relatif besar
yang harus ditanggung oleh masyarakat dan Negara, serta akibat tragis lainnya
yang tidak dapat dinilai dengan uang karena kehilangan jiwa manusia, keluarga,
harta benda, rumah, kesempatan dan lapangan kerja. Termasuk terganggunya
fasilitas, sarana dan prasarana publik yang sangat vital bagi kehidupan ekonomi
Gambar 2 Siklus Penanggulangan Bencana (Siklus Manajemen Bencana).
Secara universal penanganan bencana mempunyai aspek-aspek dasar
kegiatan (Oemarmadi, 2005), antara lain:
1.Response (Tanggap Darurat); Kegiatan ini dilakukan segera setelah bencana terjadi di suatu tempat. Tindakan darurat ini dilakukan oleh otoritas
pemerintah pusat, daerah atau lokal dan masyarakat setempat dengan maksud
untuk membatasi meluasnya dampak dari bencana terhadap masyarakat dan
lingkungan sekitarnya.
2.Recovery (Pemulihan); Kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari kegiatan tanggap darurat dari saat terjadinya bencana, dan diteruskan sampai pada saat
seluruh keadaan menjadi normal kembali.
3. Mitigation (Mitigasi); Kegiatan ini dimaksudkan untuk memperkecil atau mengurangi dampak atau akibat dari suatu bencana. Kegiatan ini dapat
dikatakan untuk menutup celah dari titik kegiatan tanggap darurat sampai saat
bencana itu terjadi, dengan persiapan untuk menghadapi bencana yang
mungkin terjadi dikemudian hari.
4.Risk Reduction (Pengurangan Resiko); Kegiatan ini merupakan upaya untuk memperkecil semaksimal mungkin segala akibat dan dampak yang
bersifat merusak, merugikan dan mengancam keamanan jiwa manusia dan
5.Prevention (Pencegahan); Kegiatan ini menyangkut upaya untuk mencegah
dan memperkecil peluang atau terjadinya suatu keadaan darurat, serta
terjadinya kerusakan dan kerugian yang mungkin timbul pada saat adanya
bencana.
6.Preparedness (Persiapan); Kegiatan ini untuk melakukan perencanaan yang sistematis tentang bagaimana upaya dari masyarakat dan pihak terkait dalam
menghadapi suatu keadaan darurat yang diakibatkan oleh terjadinya bencana.
Termasuk dalam kegiatan ini adalah kesiapan dan pelatihan untuk
memastikan bahwa rencana yang telah dipersiapkan dapat berjalan
sebagaimana mestinya.
Fenomena alam dari bencana dapat dikatakan sudah sangat dikenal oleh
masyarakat Indonesia. Namun pada kenyataannya setelah bencana berlalu,
manajemen penanganan bencana masih belum dapat menunjukkan hasil yang
maksimal dan memadai, sehingga perlu untuk dapat ditingkatkan kinerja dan
keefektivannya. Sehingga pada perkembangan selanjutnya, aplikasi manajemen
penanganan bencana di Indonesia pada masa mendatang diharapkan dapat
menciptakan rasa aman masyarakat, karena telah berhasil melakukan aplikasi
dari konsep dan metoda reduksi akibat bencana secara signifikan. Oemarmadi
(2005) menyatakan bahwa pengetahuan tentang karakteristik bencana, serta
akibat yang ditimbulkan oleh bencana alam yang sangat berpotensi untuk dapat
terjadi sewaktu-waktu, sangat penting untuk diketahui dan dijadikan bahan
rujukan dan kajian dalam mencari bentuk formulasi penanganan bencana yang
tepat, aplikatif efisien dan efektif untuk Indonesia.
Belajar dari pengalaman yang dialami suatu negara atau masyarakat di
suatu lokasi dengan karakteristik bencana tertentu, maka pola yang umumnya
berlaku setelah bencana terjadi, adalah adanya sejumlah tindakan atau kegiatan
dari pemerintah dan masyarakat untuk menghadapinya dalam waktu sesegera
mungkin. Ada suatu pola yang dikenali sebagai suatu siklus yang berulang dari
suatu tahapan ke tahapan berikutnya, mulai dari ‘saat terjadinya bencana’
sampai kepada tahap ‘normalisasi kembali keadaan’. Siklus tersebut akan
pasti, oleh karena sumber penyebab bencana adalah alam yang kadang-kadang
tidak dapat diduga ulahnya.
Pengelolaan dampak tsunami, tindakan atau kegiatan yang perlu dilakukan
oleh pemerintah dan masyarakat untuk menghadapi keadaan dan menangani
situasi semenjak terjadinya tsunami sampai kepada tahap ‘normalisasi kembali
keadaan’. Menangani keadaan pasca tsunami tidak hanya menangani
pembangunan fisik kembali saja, tetapi yang paling sulit adalah menangani
penormalan kembali keadaan non fisik. Keadaan non fisik ini termasuk di
dalamnya masalah psikologis, tromatis serta kepercayaan kepada diri dan
kemampuan diri sendiri.
Penataan Daerah yang Terkena Tsunami
Bencana tsunami selain menyebabkan dampak penghancuran kehidupan
sosial dan sumber-sumber penghidupan manusia, para ilmuwan meyakini bahwa
tsunami telah mengakibatkan kerusakan ekologis jangka panjang, baik dari
aspek biodiversitas dan fungsí ekosistim alam (Perbatakusuma, 2005).
Mangunjaya (2005) melaporkan bahwa selain kerusakan fisik secara luar biasa
yang dijumpai di Aceh dan Sumatera Utara, ternyata alam sekitar pun turut
menjadi korban. Alam asli yang tadinya indah menjadi porak poranda. Aceh
mempunyai pantai-pantai indah, tetapi setelah tsunami, pohon-pohon banyak
tercabut bersama akar-akarnya. Di bantaran pantai, selain telah tidak ada lagi
pohon-pohon pantai seperti bakau dan cemara, kondisi umum kawasan pantai
adalah berlumpur dan tercemar dengan sampah. Terumbu karang diperkirakan
rusak berat dan perlu rehabilitasi. Meskipun belum ada survei dan laporan
ilmiah tentang berapa luas kerusakan pantai dan terumbu karang yang perlu
rehabilitasi, mengembalikan alam merupakan salah satu agenda penting dalam
membangun kembali Aceh dan Sumatera Utara yang telah porak poranda.
Dalam upaya penetaan daerah yang terkena bencana tsunami,
Wurjanto (2005) menyatakan bahwa peran lembaga-lembaga lingkungan akan
lebih strategis mengingat tahap pemulihan memerlukan pikiran bersama untuk
tsunami. Badan Konservasi International diharapkan memberikan kontribusi
berdasarkan pengalaman yang dimiliki dengan memberikan konsultansi dan
kalkulasi untuk menajamkan arah pada pembangunan Aceh yang berkelanjutan
dan berwawasan ekologis. Pengalaman dan keahlian para ahli lingkungan perlu
dimanfaatkan sebab penanganan bencana yang tidak didasarkan pada
perencanaan secara cerdas dan cermat, maka upaya tersebut tidak ubahnya
sebagai pemulihan pasca bencana dengan merakit bencana lainnya. Sebagai
suatu contoh, menghilangnya fungsi hutan atau tercemarnya lingkungan yang
menjadi penyebab musnahnya suatu komunitas, juga merupakan suatu bencana.
Sejarah telah membuktikan bahwa kebijakan ekonomi dan lingkungan yang
keliru merupakan sumber bencana sistematis yang mengerikan.
Hikmah dari bencana yang maha dahsyat ini membuat banyak kalangan
semakin sadar betapa pentingnya manusia bersahabat dan memelihara alam.
Banyak kawasan pantai yang mempunyai kawasan mangrove (hutan bakau)
yang baik, ternyata turut menyelamatkan penduduk dan bangunan yang ada di
dalamnya Sebagai bukti konkrit, seorang nelayan di Pematang Alai, Pantai
Cermin, Sumatera Utara, menuturkan, puluhan rumah yang terlindung bakau di
dusunnya terselamatkan dari sapuan ombak tsunami, sedangkan di pantai
lainnya, yang tidak memiliki pohon penyangga, rumah-rumah habis terbawa
ombak. Beberapa penduduk di Dusun Pematang Alai, Sumatera Utara, sejak
tahun 1994 telah menanami pesisir di depan rumah-rumah mereka dengan
ribuan pohon bakau. Selain mereka telah menikmati hasilnya dengan menjual
kayunya, saat bencana ini ternyata kerusakan yang mereka alami sedikit ringan
(Mangunjaya, 2005).
Keadaan yang sama juga dialami di Pulau Simuelue, yang dikhawatirkan
tenggelam, ternyata mengalami kerusakan relatif sedikit karena bakau di
pesisisir pantai pulau itu ternyata masih utuh. Dari satelit image yang dirilis
oleh Digital Globe yang dipublikasikan oleh media-media nasional,
memperlihatkan dahsyatnya gelombang tsunami menyapu pantai di Banda Aceh
yang tadinya telah dipenuhi tambak-tambak, namun tidak mempunyai pohon
segera kembali menanam bakau. Dephut, menyediakan anggaran dana awal 800
milyar untuk rehabilitasi lahan wilayah seluas 150-200 ribu hektar. Kondisi
hutan mangrove di Aceh secara umum berdasarkan data tahun 2000
menunjukkan bahwa hutan mangrove yang kondisinya baik hanya seluas 30 ribu
hektar diantaranya di pesisir Pulau Simeuleu. Hutan mangrove yang rusak
mencapai 25 ribu hektar dan hutan mangrove yang kondisinya sedang seluas
286 ribu hektar (Mangunjaya, 2005).
Bila dipelajari, alam memang mempersiapkan diri untuk menahan
bencana. Pohon bakau yang berusia puluhan tahun, beradaptasi membentuk
akar-akar tunjang yang tinggi yang berfungsi sebagai penopang pohon yang
tumbuh di atasnya. Di sela-sela pohon itulah berlindung dan bersemai ’secara
alami’ anak-anak udang dan kepiting. Di tempat ini juga timbul interaksi
ekosistem bakau yang harmonis yang berfungsi selain mencegah terjadinya
abrasi, juga sebagai tempat mencari makan ikan-ikan perairan pantai.
Ekosistem bakau sangat tinggi produktifitasnya dalam mengakomodasi
penangkapan dan transfer energi. Dedaunan yang lapuk dan menumpuk pada
kawasan pantai menyatu dengan limbah segala jenis binatang yang ada
disekitarnya lalu kemudian menjadi basis mata rantai makanan yang menyokong
kekayaan ekosistem sekitar. Bakteri dan jamur, sama ada dengan kepiting,
cacing, kerang dan spesies lainnya, secara cepat akan menyerap nutrisi dari
materi yang tersedia ini. Maka, bila ada organisme yang mati, lalu diuraikan.
Atau ada ikan kecil dimangsa ikan yang lebih besar sebagai predator. Hutan
bakau, juga merupakan sumber pakan berbagai spesies ikan bernilai komersil
tinggi di laut lepas yang ditangkap nelayan di laut lepas. Tidak heran, mengapa
ada tangkapan nelayan menurun, dan mencari ikan dan udang akan sulit, karena
tidak ada lagi tempat pemijahan alami gara-gara hutan bakau ditebang.
Mengembalikan alam tentu tidaklah mudah. Tidak pernah tercatat
keberhasilan mengembalikan alam dalam jangka empat atau lima tahun.
Puluhan bahkan ratusan tahun waktu diperlukan untuk kembali merestorasi
kawasan yang telah rusak. Sampai saat ini, memang belum ada laporan resmi
dikembalikan. Biaya total restorasi pembangunan kembali Aceh mestinya juga
memperhitungkan kembalinya ekosistem dan berfungsinya kembali kawasan
tangkapan air, kesuburan tanah yang tergerus, dan pengembalian kawasan pantai
pada ekosistemnya semula.
Berkenaan dengan pelaku pembangunan fisik di Aceh masih ada
kesimpangsiuran. Ada empat pihak yang terlibat dalam pembangunan Aceh
yakni pemerintah daerah, BP, penguasa darurat sipil dan lembaga-lembaga
internasional. Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat, Alwi Shihab
di Banda Aceh, menyatakan, pemerintah tidak memaksa kehendak menyangkut
penyerahan cetak biru pembangunan di Aceh. Cetak biru rekonstruksi
pembangunan NAD pasca gempa dan tsunami tersebut diserahkan Wakil
Presiden (Wapres) Jusuf Kalla pada 26 Desember 2004 kepada Pemda NAD di
Banda Aceh. (Sinar Harapan, 26 Maret 2005).
Selanjutnya ketua Bappenas, Sri Mulyani, menjelaskan, berkenaan dengan
rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh itu ada empat elemen besar, jadi tidak hanya
pembangunan fisik. Empat elemen itu adalah Pembangunan Kemasyarakatan,
Pembangunan Bidang Ekonomi, Pembangunan Infrastruktur sarana prasarana
dan perumahan, dan Pembangunan Bidang Kelembangaan, terutama
Kerangka Pemikiran
Setelah lebih setahun terjadinya gelombang tsunami di Aceh, bayangan
kejadian itu belum bisa hilang dari ingatan, betapa dasyatnya gelombang
tsunami yang diawali oleh gempa menerjang sepanjang pesisir Aceh. Peristiwa
tersebut sampai saat ini masih meninggalkan dampak, baik dampak fisik
maupun dampak psikologis bagi warga Aceh. Keadaan ini terus diusahakan oleh
pemerintah dan pihak-pihak yang bergerak di bidang sosial agar kembali kepada
keadaan normal.
Sebagian besar masyarakat Aceh korban tsunami saat ini masih belum
mempunyai kehidupan yang layak dan mereka masih banyak ditampung di
tenda-tenda darurat. Di samping itu, banyak di antara mereka kehilangan mata
pencaharian. Pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), baik dalam
maupun luar negeri, telah berusaha sekuat tenaga untuk menanggulangi
permasalahan tersebut. Bantuan tidak bisa menopang kehidupan masyarakat
Aceh untuk jangka waktu yang lama, mereka tentunya ingin mandiri dan tidak
tergantung dengan pihak manapun. Untuk itu perlu pemikiran jangka panjang
untuk membangun kembali Aceh secara berkesinambungan.
Pemikiran kreatif dan inovatif bisa muncul dari siapa saja, namun
pemikiran kreatif dan inovatif perlu suatu tanggung jawab yang besar, artinya
pihak-pihak yang membangun Aceh sangat diharapkan orang-orang yang
mengerti tentang Aceh secara komprehensif. Warga Aceh merupakan pihak
yang paling tepat dalam hal ini, sebab mereka tentunya memahami karakterisitik
masyarakat Aceh lebih baik. Namun demikian, mereka perlu dibantu oleh para
intelektual Aceh, khususnya yang berada di perantauan. Pemikiran-pemikiran
masyarakat Aceh di perantauan sangat diperlukan untuk pengembangan
konsep-konsep atau program-program dalam pengelolaan dampak tsunami.
Tidak sedikit warga Aceh yang berada di perantuan yang telah berhasil
dalam berbagai bidang. Ketika musibah melanda Aceh, kepedulian dan
Peran serta mereka dapat dioptimalkan dengan adanya suatu komunikasi yang
efektif, yang merupakan salah satu faktor penentu kebersamaan.
Keefektivan komunikasi masyarakat Aceh di Bogor perlu diketahui untuk
menggambarkan sejauhmana keberhasilan pencapaian tujuan proses komunikasi
mereka dalam pengelolaan dampak tsunami di Aceh. Keefektivan komunikasi
ini diukur dengan tingkat pengetahuan, kepedulian dan partisipasi mereka.
Keefektivan komunikasi diduga dipengaruhi oleh faktor proses komunikasi dan
lingkungan. Proses komunikasi yang meliputi aspek-aspek arah komunikasi,
intensitas komunikasi, akses media dan intensitas keterdedahan dapat
mempengaruhi aspek kognitif (pengetahuan), aspek afektif (kepedulian), dan
konatif (partisipasi).
Proses komunikasi berkaitan dengan karakteristik dan lingkungan
individu. Karakteristik individu tersebut meliputi aspek-aspek umur, tingkat
pendidikan, status, tingkat pendapatan, hubungan keluarga, kepedulian,
kepemilikan media, dan motif. Sementara itu, lingkungan individu meliputi
aspek-aspek dukungan keluarga, dukungan teman, dukungan tetangga,
ketersediaan media, dan dukungan sosial.
Perlu dilakukan analisis lebih lanjut untuk mengetahui aspek-aspek proses
komunikasi dan lingkungan yang cenderung berkaitan dengan keefektivan
komunikasi. Demikian pula halnya dengan aspek-aspek karakteristik individu
dan lingkungan yang cenderung berkaitan dengan proses komunikasi. Secara
diagramatik, kerangka pemikiran penelitian adalah sebagaimana terlihat pada
Gambar 3 Kerangka pemikiran keefektivan komunikasi masyarakat aceh di bogor mengenai pengelolaan dampak tsunami.
Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran penelitian di atas, hipotesis yang diuji
dalam penelitian ini adalah:
H1 Terdapat hubungan yang nyata antara