• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen pada Produk Olahan Kopi (Studi pada Opal Coffe Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen pada Produk Olahan Kopi (Studi pada Opal Coffe Medan)"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

S K R I P S I

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

INDAH PRADINI NASKA 100200357

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA (BW)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN PADA PRODUK OLAHAN KOPI (STUDI PADA OPAL COFFEE MEDAN)

Oleh

INDAH PRADINI NASKA 100200357

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA (BW)

Disetujui Oleh

NIP. 196603031985081001 Dr. H. Hasim Purba, SH., M.Hum

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Muhammad Husni, S.H., M.H

NIP:195802021988031004 NIP:195412101986011001 Mohammad Siddik, S.H., M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

NAMA : INDAH PRADINI NASKA

NIM : 100200357

DEPARTEMEN : HUKUM KEPERDATAAN

JUDUL SKRIPSI : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN PADA PRODUK OLAHAN KOPI (STUDI PADA OPAL COFFEE MEDAN)

Dengan ini menyatakan :

1. Bahwa isi skripsi yang saya tulis tersebut di atas adalah benar tidak merupakan jiplakan dari skripsi atau karya ilmiah orang lain.

2. Apabila terbukti di kemudian hari bahwasanya skripsi tersebut adalah jiplakan, maka segala akibat hukum maupun sanksi dari Universitas akan menjadi tanggung jawab saya.

Demikianlah pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya tanpa ada paksaan atau tekanan dari pihak manapun.

Medan, Juli 2014

(4)

ABSTRAK * Indah Pradini Naska

** Muhammad Husni *** Mohammad Siddik

Masalah konsumen merupakan hal yang selalu aktual dan menarik perhatian. Persoalan konsumen selalu hangat diperbincangkan, dibicarakan, didiskusikan, dan diperdebatkan. Masalah konsumen adalah masalah manusia. Berkaitan dengan kesehatan manusia dan juga ternyata tidak lepas dari unsur di luar kesehatan. Masalah nilai-,nilai keagamaan, malah, bisa berkaitan dengan isu konsumen.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana perlindungan hukum bagi konsumen terhadap produk olahan kopi dari Opal Coffee Medan, bagaimana tanggung jawab pelaku usaha terhadap pelanggaran produksi olahan kopi, dan bagaimana penyelesaian sengketa konsumen dalam pelanggaran produksi olahan kopi.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis digunakan untuk menganalisis berbagai peraturan perundang-undangan terkait dengan perlindungan hukum terhadap konsumen pada produk olahan kopi

Perlindungan hukum bagi konsumen terhadap produk olahan kopi dari Opal Coffee Medan yaitu dengan cara menuliskan aturan pemakaian serta tanggal kadaluarsa dalam setiap label di kemasan kopi yang hendak dipasarkan dan memastikan betul bahwa kualitas kopi yang akan dipasarkan merupakan kualitas yang terbaik dan layak untuk dikonsumsi serta mencantumkan nomor customer service bila konsumen ingin mengeluh. Tanggung jawab pelaku usaha atas produk olahan yang merugikan konsumen yang menganut prinsip-prinsip hukum, salah satunya tanggung jawab mutlak dalam mengantisipasi dunia sekarang ini yang lebih menaruh perhatian pada perlindungan konsumen dari kerugian yang diderita akibat produk atau barang dan/atau jasa yang cacat. Selain itu, apabila pelaku usaha melaksanakan Pasal 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka sengketa konsumen akan dapat terhindarkan. Penyelesaian sengketa konsumen dalam pelanggaran produksi olahan kopi dapat dilakukan di dalam pengadilan maupun di luar pengadilan, seperti mediasi dan arbitrasi.

Kata Kunci : Perlindungan Hukum Konsumen Produk Olahan * Mahasiswa Fakultas Hukum

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmad dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. Adapun judul dari skripsi ini adalah Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Pada Produk Olahan Kopi (Studi Pada Opal Coffee Medan)

Untuk penulisan skripsi ini penulis berusaha agar hasil penulisan skripsi ini mendekati kesempurnaan yang diharapkan, tetapi walaupun demikian penulisan ini belumlah dapat dicapai dengan maksimal, karena ilmu pengetahuan penulis masih terbatas. Oleh karena itu, segala saran dan kritik akan penulis terima dari semua pihak dalam rangka penyempurnaan penulisan skripsi ini.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak sehingga pada kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kapada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H, M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(6)

4. Bapak Dr. OK. Saidin, S.H, M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. H. Hasim Purba, S.H., M.Hum, selaku Ketua Depaertemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.H, selaku Dosen Pembimbing I, yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan petunjuk dan bimbingan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Bapak Mohammad Siddik, S.H., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II, yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan petunjuk dan bimbingan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Seluruh staf dan pengajar Fakultas Hukum USU yang dengan penuh dedikasi menuntun dan membimbing penulis selama mengikuti perkuliahan sampai dengan menyelesaikan skripsi ini.

9. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis papa dan mama Nasrul Nasution dan Ummi Kalsum yang telah banyak memberikan dukungan moril, materil, dan kasih sayang mereka yang tidak pernah putus sampai sekarang dan selamanya.

10.Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Suryo Pranoto dan Ibu Maria Gorehty, selaku pemilik Opal Coffee Medan yang telah mengizinkan penulis untuk melakukan riset di Opal Coffee Medan.

(7)

12.Buat teman-teman stambuk 10, Fitri Hidayanti, Dhabitah Amalina Utami Tanjung, Hanny Luvika, dan lain-lain yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu terima kasih atas dukung dan motivasinya sehingga terselesaikan skripsi ini.

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, semoga apa yang telah kita lakukan mendapatkan balasan dari Tuhan Yang Maha Esa. Penulis memohon maaf kepada Bapak atau Ibu dosen pembimbing, dan dosen penguji atas sikap dan kata yang tidak berkenan selama penulisan skripsi ini.

Medan, Juli 2014 Penulis,

(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 5

C. Tujuan Penulisan ... 6

D. Manfaat Penulisan ... 6

E. Metode Penelitian ... 7

F. Keaslian Penulisan ... 9

G. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN... 12

A. Pengertian Konsumen dan Perlindungan Konsumen ... 12

B. Asas, Tujuan dan Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen ... 19

C. Peraturan Hukum Tentang Perlindungan Konsumen ... 27

D. Pihak-Pihak dalam Perlindungan Hukum ... 40

E. Pengertian dan Tanggung Jawab Pelaku Usaha ... 40

F. Hak dan Kewajiban Konsumen Serta Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha ... 49

BAB III RUANG LINGKUP KOPI DALAM KONTEKS PERDAGANGAN ... 60

(9)

B. Tinjauan Umum Mengenai Kopi Dalam Konteks Hukum

Perdagangan ... 62

C. Ketentuan Hukum Produk Pangan Nabati ... 67

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN PADA PRODUK OLAHAN KOPI DARI OPAL COFFEE MEDAN ... 75

A. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen terhadap Produk Olahan Dari Opal Coffee Medan ... 75

B. Tanggung Jawab Pelaku Usaha terhadap Pelanggaran Produk Kopi Olahan dari Opal Coffee Medan ... 77

C. Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Pelanggaran Produk Kopi Olahan dari Opal Coffee Medan ... 82

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 88

A. Kesimpulan ... 88

B. Saran ... 90 DAFTAR PUSTAKA

(10)

ABSTRAK * Indah Pradini Naska

** Muhammad Husni *** Mohammad Siddik

Masalah konsumen merupakan hal yang selalu aktual dan menarik perhatian. Persoalan konsumen selalu hangat diperbincangkan, dibicarakan, didiskusikan, dan diperdebatkan. Masalah konsumen adalah masalah manusia. Berkaitan dengan kesehatan manusia dan juga ternyata tidak lepas dari unsur di luar kesehatan. Masalah nilai-,nilai keagamaan, malah, bisa berkaitan dengan isu konsumen.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana perlindungan hukum bagi konsumen terhadap produk olahan kopi dari Opal Coffee Medan, bagaimana tanggung jawab pelaku usaha terhadap pelanggaran produksi olahan kopi, dan bagaimana penyelesaian sengketa konsumen dalam pelanggaran produksi olahan kopi.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis digunakan untuk menganalisis berbagai peraturan perundang-undangan terkait dengan perlindungan hukum terhadap konsumen pada produk olahan kopi

Perlindungan hukum bagi konsumen terhadap produk olahan kopi dari Opal Coffee Medan yaitu dengan cara menuliskan aturan pemakaian serta tanggal kadaluarsa dalam setiap label di kemasan kopi yang hendak dipasarkan dan memastikan betul bahwa kualitas kopi yang akan dipasarkan merupakan kualitas yang terbaik dan layak untuk dikonsumsi serta mencantumkan nomor customer service bila konsumen ingin mengeluh. Tanggung jawab pelaku usaha atas produk olahan yang merugikan konsumen yang menganut prinsip-prinsip hukum, salah satunya tanggung jawab mutlak dalam mengantisipasi dunia sekarang ini yang lebih menaruh perhatian pada perlindungan konsumen dari kerugian yang diderita akibat produk atau barang dan/atau jasa yang cacat. Selain itu, apabila pelaku usaha melaksanakan Pasal 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka sengketa konsumen akan dapat terhindarkan. Penyelesaian sengketa konsumen dalam pelanggaran produksi olahan kopi dapat dilakukan di dalam pengadilan maupun di luar pengadilan, seperti mediasi dan arbitrasi.

Kata Kunci : Perlindungan Hukum Konsumen Produk Olahan * Mahasiswa Fakultas Hukum

(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masalah konsumen merupakan hal yang selalu aktual dan menarik perhatian. Persoalan konsumen selalu hangat diperbincangkan, dibicarakan, didiskusikan, dan diperdebatkan. Masalah konsumen adalah masalah manusia. Berkaitan dengan kesehatan manusia dan juga ternyata tidak lepas dari unsur di luar kesehatan. Masalah nilai-,nilai keagamaan, malah, bisa berkaitan dengan isu konsumen.1

Perkembangan perekonomian, perdagangan, dan perindustrian yang kian hari kian meningkat telah memberikan kemanjaan yang luar biasa kepada konsumen karena ada beragam variasi produk barang dan jasa yang bisa dikonsumsi. Perkembangan globalisasi dan perdagangan besar didukung oleh Hak konsumen yang diabaikan oleh pelaku usaha perlu dicermati secara seksama. Pada era globalisasi dan perdagangan bebas saat ini, banyak bermunculan berbagai macam produk barang/pelayanan jasa yang dipasarkan kepada konsumen di tanah air.

Jika tidak berhati-hati dalam memilih produk barang/jasa yang diinginkan, konsumen hanya akan menjadi objek eksploitasi dan pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab. Tanpa disadari, konsumen menerima begitu saja barang/jasa yang dikonsumsinya.

1

(12)

teknologi informasi dan telekomunikasi yang memberikan ruang gerak yang sangat bebas dalam setiap transaksi perdagangan, sehingga barang/jasa yang dipasarkan bisa dengan mudah dikonsumsi.2

Kasus bumbu penyedap makanan Ajinomoto yang sempat menghebohkan masyarakat beberapa tahun lalu, hanya di antara beberapa kasus besar yang berkaitan dengan masalah konsumen. Produk perusahaan multinasional ini ternyata mengandung lemak babi. Tidak mengherankan jika kandungan yang diharamkan bagi umat islam tersebut segera menjadi masalah besar yang sangat menghebohkan masyarakat.3

Terlepas dari kasus di atas, dalam kasus-kasus yang berkaitan dengan kualitas produk, konsumen di Indonesia sudah lama menjadi korban. Pada tahun 1990-an, masyarakat sempat dihebohkan oleh masalah kandungan dalam bakso. Penelitian yang dilakukan terhadap beberapa sampel bakso menunjukkan, dalam makanan kegemaran masyarakat tersebut mengandung unsur boraks. Zat dalam boraks tersebut biasanya berfungsi sebagai pengawet dan member efek renyah pada makanan.4

Padahal diketahui jelas bahwa unsur kimia ini amat berbahaya karena dapat menyebabkan gangguan pada sistem stimulasi syaraf pusat. Begitu berbahayanya bahan ini, sehingga Departemen Kesehatan menyatakan boraks merupakan unsur kimia yang dilarang digunakan bagi produk pangan. Biasanya bahan ini lebih sering digunakan untuk kosmetika. Hasil penelitian Yayasan

2

Happy Susanto: Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Visimedia, Jakarta, 2008, hal.2

3

N.H.T. Siahaan: Opcit, hal.1

4

(13)

Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) membuktikan bahwa 52,38 persen dari contoh yang diteliti ternyata memakai boraks.5

Pada sisi lain, pengusaha cenderung menjalankan bisnisnya tanpa etika dan tidak memperhatikan peraturan. Dalam kaitan masalah tersebut BM Kuntjoro Jakti, pengajar Etika Bisnis dari Universitas Indonesia memberikan pandangan yang menarik. Menurutnya, secara umum terdapat dua jenis perilaku pelaku usaha, yakni:6

1. Pelaku usaha bertindak sewenang-wenang tanpa mengindahkan etika.

2. Pelaku usaha bertindak sewenang-wenang tanpa mengindahkan Undang-undang atau peraturan.

The UN Guiedelines for Consumer Protection, Majelis Umum PBB melalui Resolusi No. A/RES/39/248 pada 16 April 1985 tentang Perlindungan Konsumen, antara lain menggariskan konsumen sedunia mempunyai hak-hak dasar. Hak-hak dasar itu meliputi, hak mendapatkan jaminan keamanan dan keselamatan. Konsumen juga mempunyai hak memilih, untuk didengar, mendapatkan ganti rugi dan mendapatkan lingkungan yang bersih. Pada saat yang sama produsen mempunyai kewajiban untuk menjaga lingkungan dan memberikan pendidikan dasar.7

Masalah tersebut sejak lama diperbincangkan di forum nasional dan internasional. Para pembela konsumen dan pejabat pemerintah telah berbicara banyak mengenai arti penting perlindungan konsumen. Tapi kenyataannya,

5

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Warta Konsumen Edisi 1990

6

BM Kuntjoro Jakti: Analisa vertical dan Horizontal Perundang-Undangan yang Melandasi Kegiatan Perdagangan, Makalah untuk diskusi terbatas penyusunan RUU tentang perdagangan, 28 Februari 1997

7

(14)

konsumen masih sering menjadi korban. Pemerintah gagal menjalankan fungsinya sebagai pelindung konsumen dan pengatur kegiatan produsen. Dari perspektif hukum, seharusnya pemerintah mampu mewujudkan keadilan melalui konstitusi dan peraturan-peraturan di bawahnya serta memastikan tegaknya peraturan tersebut.8

Menurut Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya dalam tulisan ini UU Perlindungan Konsumen), faktor utama yang menjadi penyebab ekspoitasi terhadap konsumen sering terjadi adalah masih rendahnya tingkat kesadaran konsumen atas haknya. Tentunya, hal tersebut terkait erat dengan rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu, keberadaan UU Perlindungan Konsumen adalah sebagai landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (selanjutnya dalam tulisan ini disebut LPKSM) untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen.

Dengan demikian, konsep hukum perlindungan konsumen tidak hanya berisi rumus-rumus tentang hak dan kepentingan konsumen, tetapi juga hak-hak dan kepentingan produsen yang berimbang, proporsional, adil dan tidak diskriminatif.

9

Jika ditelisik lebih lanjut, konsumen ternyata tidak hanya dihadapkan pada persoalan lemahnya kesadaran dan ketidakmengertian (pendidikan) mereka terhadap hak-haknya sebagai konsumen. Berdasarkan kondisi tersebut, upaya

8

Ibid, hal.13

9

(15)

pemberdayaan konsumen menjadi sangat penting. Untuk mewujudkan pemberdayaan konsumen akan sulit jika kita mengharapkan kesadaran dari pelaku usaha terlebih dahulu. Karena prinsip yang digunakan para pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan perekonomiannya adalah prinsip ekonomi, yaitu mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin. Artinya, dengan pemikiran umum seperti ini, sangat mungkin konsumen akan dirugikan, baik secara langsung maupun tidak langsung.10

Adanya Undang-undang yang mengatur perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha. UU Perlindungan Konsumen justru bisa mendorong iklim usaha yang sehat serta mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan yang ada dengan menyediakan barang/jasa yang berkualitas. Dalam penjelasan umum UU Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa dalam pelaksanaannya akan tetap memerhatikan hak dan kepentingan pelaku usaha kecil dan menengah.11

B. Permasalahan

Dalam kaitannya dengan latar belakang tersebut di atas, maka perlu diadakan perumusan masalah yang akan menjadi dasar penulisan. Masalah pelindungan hukum terhadap konsumen pada produk olahan kopi, dapat dirumuskan sebagai berikut :

10

Ibid, hal.4

11

(16)

1. Bagaimana perlindungan hukum bagi konsumen terhadap produk olahan kopi dari Opal Coffee Medan?

2. Bagaimana tanggung jawab pelaku usaha terhadap pelanggaran produksi olahan kopi dari Opal Coffee Medan?

3. Bagaimana penyelesaian sengketa konsumen dalam pelanggaran produksi olahan kopi dari Opal Coffee Medan?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah:

1. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi konsumen terhadap produk kopi olahan dari Opal Coffee Medan.

2. Untuk mengetahui tanggung jawab pelaku usaha terhadap pelanggaran produksi olahan kopi dari Opal Coffee Medan.

3. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa konsumen dalam pelanggaran produksi olahan kopi dari Opal Coffee Medan.

D. Manfaat Penulisan

Manfaat penulisan ini tidak hanya ditujukan bagi penulis sendiri, namun juga bagi masyarakat luas serta bagi aparat penegak hukum dalam praktek penegakan hukum. Oleh karena itu, manfaat penelitian ini dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu:

1. Manfaat Teoritis

(17)

menambah pengetahuan mengenai perlindungan hukum terhadap produk olahan kopi yang merugikan konsumen.

2. Manfaat Praktis

Agar penelitian yang dilakukan penulis ini bermanfaat bagi setiap aparat penegak hukum dan pelaku usaha serta masyarakat dan konsumen agar dapat lebih bijak lagi dalam bertindak.

Selain daripada manfaat penulisan di atas, maka manfaat lain dari penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah :

1. Untuk menambah wawasan pola berpikir secara analisis dan ilmiah dari penulis sendiri terhadap perlindungan hukum terhadap konsumen pada produk olahan kopi.

2. Sebagai masukan bagi pimpinan Opal Coffee Medan maupun para pelaku usaha pada produk olahan kopi lainnya di dalam mengolah kopi dan melayani konsumen sehingga tidak akan timbul sengketa konsumen

3. Sebagai masukan untuk menambah wawasan pola berpikir para pelaku usaha pada produk olahan kopi, supaya tercapai tujuan yang diinginkan.

E. Metode Penelitian 1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif.12

12

Soejono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 2006, hal. 7

(18)

Utama Opal Office Medan Suryo Pranoto dan Maria, serta wawancara dengan pihak BPOM (Badan Pengawasan Obat dan Makanan) Medan. Pendekatan yuridis digunakan untuk menganalisis berbagai peraturan perundang-undangan terkait dengan perlindungan hukum terhadap konsumen pada produk

olahan kopi.13

2. Spesifikasi penelitan

Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai pada penelitian ini, maka hasil penelitian ini nantinya akan bersifat deskriptif analitis yaitu memaparkan, menggambarkan atau mengungkapkan perlindungan hukum terhadap konsumen pada produk olahan kopi. Hal tersebut kemudian dibahas atau dianalisis menurut ilmu dan teori-teori atau pendapat peneliti sendiri, dan terakhir menyimpulkannya.14

3. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh data sekunder adalah dengan cara studi kepustakaan dan kajian dokumen.

Untuk melengkapi penelitian ini agar mempunyai tujuan yang jelas dan terarah serta dapat dipertanggungjawabkan sebagai salah satu hasil karya ilmiah, maka metode yang digunakan untuk mengumpulkan data yang diperlukan untuk mendukung antara lain :

a. Library Research atau penelitian kepustakaan

Mengadakan penelitian terhadap data-data yang diperoleh dari buku-buku literatur, catatan kuliah, kliping, majalah-majalah ilmiah yang ada kaitannya

13

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1999, hal. 36.

14

(19)

dengan skripsi ini dan KUHPerdata sebagai sumber dalam hukum perjanjian, serta Undang-undang Pangan yang digunakan sebagai rujukan dalam pembahasan skripsi ini untuk memperkuat dalil dan fakta penelitian.

b. Field Research atau penelitian lapangan

Pengumpulan data melalui riset yang dilakukan dengan melakukan wawancara kepada Direktur Utama Opal Office Medan Suryo Pranoto dan Maria yang ada kaitannya dengan pembahasan skripsi ini.

4. Analisa data

Analisa data, data-data yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan yang merupakan data primer dan hasil penelitian melalui bahan pustaka dalam kaitannya dengan permasalahan yang dibahas, yaitu perlindungan hukum terhadap konsumen pada produk olahan kopi di Opal Coffee Medan dilakukan pendekatan secara kualitatif. Dari pendekatan tersebut nantinya akan diperoleh sampai sejauhmana tanggung jawab pelaku usaha, khususnya pihak Opal Coffee Medan, apakah dalam pelaksanaan usahanya telah sesuai dengan Undang-undang Perlindungan Konsumen. Dalam hal ini, jika ditemukan adanya kerugian konsumen yang menimbulkan sengketa, sampai sejauhmana usaha penyelesaian atau pemecahan yang dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang bersangkutan di dalamnya, sehingga dengan demikian diperoleh adanya kepastian atas hak dan kewajiban pihak-pihak, pelaku usaha dan konsumen.

F. Keaslian Penulisan

(20)

buah pikirannya sendiri. Dimana penulis tidak melihat ataupun mencontoh hasil skripsi orang lain untuk menjadi sebuah karya yang diakui sebagai hasil karyanya sendiri.

Setelah menelusuri seluruh daftar skripsi di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan arsip yang ada di Departemen Hukum Perdata, akan tetapi penulis tidak menemukan adanya kesamaan judul ataupun permasalahan dengan judul dan permasalahan yang penulis angkat yaitu tentang “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen pada Produk Olahan Kopi (Studi pada Opal Coffee Medan)”. Oleh karena itu, tulisan ini merupakan buah karya asli penulis yang disusun berdasarkan dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional dan ilmiah.

G. Sistematika Penulisan

Secara keseluruhan penulisan ini terbagi dalam lima bab yang masing-masing bab terdiri dari sub bab yang dikembangkan jika memerlukan pembahasan yang lebih rinci.

BAB I PENDAHULUAN

Merupakan pendahuluan yang memberikan gambaran umum yang menguraikan mengenai Latar belakang, Rumusan Permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Keaslian Penulisan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

(21)

Bab ini membahas mengenai pengertian konsumen dan perlindungan konsumen, asas,tujuan dan prinsip hokum perlindungan konsumen, hak dan kewajiban konsumen serta hak dan kewajiban pelaku usaha, pengertian dan tanggung jawab pelaku usaha, peraturan hukum tentang perlindungan konsumen, serta pihak-pihak dalam perlindungan konsumen.

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG KOPI DALAM KONTEKS PERDAGANGAN

Bab ini membahas sekilas mengenai Opal Coffee Medan, tinjauan umum mengenai kopi dalam konteks hukum perdagangan dan ketentuan hukum pangan produk nabati.

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN PADA PRODUK OLAHAN KOPI

Bab ini berisi mengenai perliundungan hukum terhadap konsumen pada produk olahan kopi di Opal Coffee Medan, tanggung jawab pelaku usaha terhadap pelanggaran produksi kopi olahan, serta penyelesaian sengketa konsumen dalam pelanggaran produksi kopi olahan.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

(22)

A. Pengertian Konsumen dan Perlindungan Konsumen

Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau consument/konsument (Belanda).15 Pengertian tersebut secara harfiah diartikan sebagai ”orang atau perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu” atau ”sesuatu atau seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang”.16

Pengertian consumer atau consument itu tergantung dalam posisi mana ia berada. Secara harafiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang. Tujuan penggunaan barang atau jasa nanti menentukan termasuk konsumen kelompok manakah penggunaan tersebut. Begitu pula Kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau konsumen.17

Para ahli hukum pada umumnya sepakat bahwa arti konsumen adalah pemakai terakhir dari benda dan jasa (vitendelijke gebruiker Van goerderen endiesten) yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha (Ondernamer)”.18

Dalam buku Az. Nasution yang berjudul Aspek-aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata

15

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Cetakan Ketiga Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal. 22

16

Abdul Halim Barkatulah, Hukum Perlindungan Konsumen (Kajian Teoretis dan Perkembangan Pemikiran, Nusa Media, Bandung, 2008, hal. 7

17

Az. Nasution, Aspek-Aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen, Jakarta, Binacipta, hal 12

18

(23)

consumer (Inggris-Amerika), atau consument/Konsument (Belanda). Secara harfiah arti kata dari consumer itu adalah “(lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang”. Tujuan penggunaan barang atau jasa itu nanti menentukan termasuk konsumen kelompok mana pengguna tersebut.19

Menurut Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, pengertian konsumen adalah setiap pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, konsumen adalah pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi kepentingan diri sendiri, keluarga atau orang lain dan tidak untuk diperdagangkan kembali.20

Kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi arti kata consumer sebagai “pemakai atau konsumen ”.21 Sedang dalam naskah akademis yang dipersiapkan Fakultas Hukum Universitas Indonesia bekerjasama dengan Departemen Perdagangan Republik Indonesia mengemukakan tentang pengertian dari konsumen, yaitu: “Konsumen adalah setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan."22

a. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu.

Az. Nasution juga mengemukakan beberapa batasan tentang konsumen, yaitu :

19

Az. Nasution, Op cit, hal. 3

20

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Sumbangan Pikiran tentang RUU Perlindungan Konsumen, Jakarta, 1981, hal 4

21

Az. Nasution, Op cit, hal. 3.

22

(24)

b. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang atau jasa lain untuk diperdagangkan (tujuan komersial).

c. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapatkan dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga, dan atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (non komersial).23

Dalam berbagai literatur ditemukan sekurang-kurangnya dua istilah mengenai hukum yang mempersoalkan konsumen, yaitu “ hukum konsumen “ dan “hukum perlindungan konsumen “. Istilah “ hukum konsumen “ dan “ hukum perlindungan konsumen “ sudah sangat sering terdengar. Namun, belum jelas benar apa saja yang masuk ke dalam materi keduanya. Juga, apakah kedua cabang hukum itu identik.24 M.J Leder menyatakan : In a sence there is no such creature as consumer law . Sekalipun demikian, secara umum sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen itu seperti yang dinyatakan oleh Lowe, yakni : ….rules of law which recognize the bargaining weakness of the individual consumer and which ensure that weakness is not unfairly exploted. 25

Karena posisi konsumen yang lemah maka ia harus dilindungi oleh hukum. Salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Jadi, sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasnya.

23

Ibid. hal 11-14

24

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2000, hal 9.

25

(25)

Az. Nasution menjelaskan bahwa kedua istilah itu berbeda, yaitu bahwa hukum perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum konsumen. Hukum konsumen menurut beliau adalah : Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan atau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup.26

Sedangkan hukum perlindungan konsumen diartikan sebagai : Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan atau jasa konsumen. Lebih lanjut mengenai definisinya itu, Az. Nasution menjelaskan sebagai berikut :27

Pada dasarnya, baik hukum konsumen maupun hukum perlindungan konsumen membicarakan hal yang sama, yaitu kepentingan hukum (hak-hak) konsumen. Bagaimana hak-hak konsumen itu diakui dan diatur di dalam hukum serta bagaimana ditegakkan di dalam praktik hidup bermasyarakat, itulah yang menjadi materi pembahasannya. Dengan demikian, hukum perlindungan

Hukum konsumen pada pokoknya lebih berperan dalam hubungan dan masalah konsumen yang kondisi para pihaknya berimbang dalam kedudukan sosial ekonomi, daya saing, maupun tingkat pendidikan. Rasionya adalah sekalipun tidak selalu tepat, bagi mereka masing-masing lebih mampu mempertahankan dan menegakkan hak-hak mereka yang sah. Hukum perlindungan konsumen dibutuhkan apabila kondisi pihak-pihak yang mengadakan hubungan hukum atau bermasalah dalam masyarakat itu tidak seimbang.

26

Az. Nasution, Op cit, hal. 3.

27

(26)

konsumen atau hukum konsumen dapat diartikan sebagai keseluruhan peraturan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban konsumen dan produsen yang timbul dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya.

Kata keseluruhan dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa di dalamnya termasuk seluruh pembedaan hukum menurut jenisnya. Jadi, termasuk di dalamnya, baik aturan hukum perdata, pidana, administrasi negara, maupun hukum internasional. Sedangkan cakupannya adalah hak dan kewajiban serta cara-cara pemenuhannya dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya, yaitu bagi konsumen mulai dari usaha untuk mendapatkan kebutuhannya dari produsen, meliputi : informasi, memilih, harga sampai pada akibat-akibat yang timbul karena penggunaan kebutuhan itu, misalnya untuk mendapatkan penggantian kerugian. Sedangkan bagi produsen meliputi kewajiban yang berkaitan dengan produksi, penyimpanan, peredaran dan perdagangan produk, serta akibat dari pemakaian produk itu.

Dengan demikian, jika perlindungan konsumen diartikan sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian pemenuhan hak-hak konsumen sebagai wujud perlindungan kepada konsumen, maka hukum perlindungan konsumen tiada lain adalah hukum yang mengatur upaya-upaya untuk menjamin terwujudnya perlindungan hukum terhadap kepentingan konsumen.

(27)

konsumen tersebut antara lain adalah dengan meningkatkan harkat dan martabat konsumen serta membuka akses informasi tentang barang dan/atau jasa baginya, dan menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang jujur dan bertanggung jawab (konsideran huruf d, UUPK).

Khusus mengenai perlindungan konsumen, menurut Yusuf Shofie, Undang-undang Perlindungan Konsumen di Indonesia mengelompokkan norma-norma perlindungan konsumen ke dalam 2 (dua) kelompok, yaitu:28

1. Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha. 2. Ketentuan tentang pencantuman klausula baku.

Dengan adanya pengelompokan tersebut ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen dari atau akibat perbuatan yang dilakukan pelaku usaha. Berkenaan dengan perlindungan konsumen dapat dirinci bidang-bidang perlindungan konsumen, yaitu sebagai berikut :29

1. Keselamatan fisik;

2. Peningkatan serta perlindungan kepentingan ekonomis konsumen; 3. Standard untuk keselamatan dan kualitas barang serta jasa;

4. Pemerataan fasilitas kebutuhan pokok;

5. Upaya-upaya untuk memungkinkan konsumen melaksanakan tuntutan ganti kerugian;

6. Program pendidikan dan penyebarluasan informasi;

28

Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000, hal 26

29

(28)

7. Pengaturan masalah-masalah khusus seperti makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetik.

Sementara itu, Janus Sidabalok mengemukakan ada 4 (empat) alasan pokok mengapa konsumen perlu dilindungi, yaitu sebagai berikut :30

1. Melindungi konsumen sama artinya dengan melindungi seluruh bangsa sebagaimana diamanatkan oleh tujuan pembangunan nasional menurut UUD 1945;

2. Melindungi konsumen perlu untuk menghindarkan konsumen dari dampak negatif penggunaan teknologi;

3. Melindungi konsumen perlu untuk melahirkan manusia-manusia yang sehat rohani dan jasmani sebagai pelaku-pelaku pembangunan, yang berarti juga untuk menjaga kesinambungan pembangunan nasional;

4. Melindungi konsumen perlu untuk menjamin sumber dana pembangunan yang bersumber dari masyarakat konsumen.

Menurut Ali Mansyur, kepentingan konsumen dapat dibagi menjadi empat macam kepentingan, yaitu sebagai berikut :31

30

Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010, hal 6.

31

M. Ali Mansyur, Penegakan Hukum Tentang Tanggung Gugat Produsen Dalam Perwujudan Perlindungan Konsumen, Yogyakarta Genta Press, 2007, hal. 81

1. Kepentingan fisik;

(29)

dan/atau jasa. Kepentingan fisik ini juga berkaitan dengan kesehatan dan keselamatan jiwa. Kepentingan fisik konsumen ini harus diperhatikan oleh pelaku usaha.

2. Kepentingan sosial dan lingkungan;

Kepentingan sosial dan lingkungan konsumen adalah terwujudnya keinginan konsumen untuk memperoleh hasil yang optimal dari penggunaan sumber-sumber ekonomi mereka dalam mendapatkan barang dan jasa yang merupakan kebutuhan hidup, sehingga konsumen memerlukan informasi yang benar mengenai produk yang mereka konsumen, sebab jika tidak maka akan terjadi gejolak sosial apabila konsumen mengkonsumsi produk yang tidak aman. 3. Kepentingan ekonomi;

Kepentingan ekonomi para pelaku usaha untuk mendapatkan laba yang sebesar-besarnya adalah sesuatu yang wajar, akan tetapi daya beli konsumen juga harus dipertimbangkan dalam artian pelaku usaha jangan memikirkan keuntungan semata tanpa merinci biaya riil produksi atas suatu produk yang dihasilkan.

4. Kepentingan perlindungan hukum.

Kepentingan hukum konsumen adalah akses terhadap keadilan (acces to justice), konsumen berhak untuk dilindungi dari perlakuan-perlakuan pelaku usaha yang merugikan.

B. Asas, Tujuan dan Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen

(30)

undang tersebut. Asas-asas hukum merupakan fondasi suatu Undang-undang dan peraturan pelaksanaannya.32 Bila asas-asas dikesampingkan, maka runtuhlah bangunan Undang-undang itu dan segenap peraturan pelaksanaannya.33

“ …bahwa asas hukum bukan merupakan hukum kongkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan yang kongkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau cirri-ciri yang umum dalam peraturan kongkrit tersebut “.

Sudikno Mertokusumo memberikan ulasan asas hukum sebagai berikut :

34

Sejalan dengan pendapat Sudikno tersebut, Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa asas hukum bukan merupakan peraturan hukum, namun tidak ada hukum yang bisa dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang ada di dalamnya, asas-asas hukum memberi makna etis kepada setiap peraturan-peraturan hukum serta tata hukum.

35

32

Abdoel Djamali, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo, 2006, hal. 3.

33

Yusuf Sofie, Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Korporasi, Jakarta: Ghalia Indonesia, (selanjutnya disingkat Yusuf Sofie II), 2002, hal. 25.

34

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum : Suatu Pengantar, Liberty, Jakarta, 1996, hal. 5-6

35

Satjipto Rahardjo, 1991, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, (selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo I),hal 87.

(31)

antara peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakatnya.36

Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan

Di dalam usaha memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen, terdapat beberapa asas yang terkandung di dalamnya. Perlindungan konsumen dilakukan sebagai bentuk usaha bersama antara masyarakat (konsumen), pelaku usaha dan pemerintah sebagai pembentuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen, hal ini terkandung dalam ketentuan Pasal 2 UUPK. Kelima asas tersebut adalah

1. Asas manfaat

Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. Asas ini menghendaki bahwa pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk menempatkan salah satu pihak diatas pihak yang lain atau sebaliknya, tetapi adalah untuk memberikan kepada masing-masing pihak, pelaku usaha (produsen) dan konsumen, apa yang menjadi haknya. Dengan demikian, diharapkan bahwa pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat dan pada gilirannya bermanfaat bagi kehidupan berbangsa.

2. Asas keadilan

36

(32)

pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. Asas ini menghendaki bahwa dalam pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen ini, konsumen dan pelaku usaha (produsen) dapat berlaku adil melalui perolehan hak dan penunaian kewajiban secara seimbang. Karena itu, UUPK mengatur sejumlah hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha.

3. Asas keseimbangan

Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materil ataupun spiritual. Asas ini menghendaki agar konsumen, pelaku usaha (produsen), dan pemerintah memperoleh manfaat yang seimbang dari pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen. Kepentingan antara konsumen, pelaku usaha (produsen) dan pemerintah diatur dan harus diwujudkan secara seimbang sesuai dengan hak dan kewajibannya masing-masing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak ada salah satu pihak pun yang mendapat perlindungan atas kepentingannya yang lebih besar dari pihak lain sebagai komponen bangsa dan negara.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen

(33)

Undang-undang ini membebankan sejumlah kewajiban yang harus dipenuhi dan menetapkan sejumlah larangan yang harus dipatuhi oleh produsen dalam memperoduksi dan mengedarkan produknya.

5. Asas kepastian hukum

Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. Artinya Undang-undang ini mengharapkan bahwa aturan-aturan tentang hak dan kewajiban yang terkandung di dalam Undang-undang ini harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga masing-masing pihak memperoleh keadilan. Oleh karena itu, negara bertugas dan menjamin terlaksananya Undang-undang ini sesuai dengan bunyinya.

Memperhatikan substansi Pasal 2 UUPK demikian pula penjelasannya, tampak bahwa perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan substansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas yaitu :

1. Asas kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen;

(34)

Asas keamanan dan keselamatan konsumen yang dikelompokkan ke dalam asas manfaat oleh karena keamanan dan keselamatan konsumen itu sendiri bagian dari manfaat penyelenggaraan perlindungan yang diberikan kepada konsumen disamping kepentingan pelaku usaha secara keseluruhan

Asas keseimbangan dikelompokkan ke dalam asas keadilan, mengingat hakikat keseimbangan yang dimaksud adalah juga keadilan bagi kepentingan masing-masing pihak, yaitu konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah. Kepentingan pemerintah dalam hubungan ini tidak dapat dilihat dalam hubungan transaksi dagang secara langsung menyertai pelaku usaha dan konsumen. Kepentingan pemerintah dalam rangka mewakili kepentingan publik yang kehadirannya tidak secara langsung di antara para pihak tetapi melalui berbagai pembatasan dalam bentuk kebijakan yang dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

Keseimbangan perlindungan antara pelaku usaha dan konsumen menampakkan fungsi hukum yang menurut Roscoe Pound sebagai sarana pengendalian hidup bermasyarakat dengan menyeimbangkan kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat atau dengan kata lain sebagai sarana kontrol sosial.37

37

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008, hal 28.

(35)

hukum yang bersifat publik maupun privat dilandaskan pada prinsip-prinsip atau asas kebebasan, persamaan dan solidaritas.38

bermasyarakat yang merupakan modus survival manusia. Melalui prinsip atau asas solidaritas dikembangkan kemungkinan negara mencampuri urusan yang sebenarnya privat dengan alasan tetap terpeliharanya kehidupan berama. Dalam hubungan inilah kepentingan pemerintah sebagaimana dimaksudkan dalam asas keseimbangan di atas yang sekaligus sebagai karakteristik dari apa yang dikenal dalam kajian hukum ekonomi. Sejak masuknya paham welfare state, negara telah ikut campur dalam perekonomian rakyatnya melalui berbagai kebijakan yang terwujud dalam bentuk peraturan perundang-undangan, termasuk dalam hubungan kontraktual antara pelaku usaha dan konsumen. Pengaturan hal-hal tertentu yang berkaitan dengan masuknya paham negara modern melalui welfare state, kita tidak menemukan lagi pengurusan kepentingan ekonomi oleh rakyat tanpa

Dengan prinsip atau asas kebebasan, subyek hukum bebas melakukan apa yang diinginkannya dengan dibatasi oleh keinginan orang lain dan memelihara akan ketertiban sosial.

Dengan prinsip atau asas kesamaan, setiap individu mempunyai kedudukan yang sama di dalam hukum untuk melaksanakan dan meneguhkan hak-haknya. Dalam hal ini hukum memberikan perlakuan yang sama terhadap individu. Sedangkan prinsip atau asas solidaritas sebenarnya merupakan sisi balik dari kebebasan. Apabila dalam prinsip atau asas kebebasan yang menonjol adalah hak, maka di dalam prinsip atau asas solidaritas yang menonjol adalah kewajiban, dan seakan-akan setiap individu sepakat untuk tetap mempertahankan kehidupan

38

(36)
(37)

C. Peraturan Hukum tentang Perlindungan Konsumen

Disamping UUPK, hukum konsumen ditemukan didalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku. UUPK berlaku setahun sejak disahkannya tanggal 20 April 2000. Dengan demikian dan ditambah dengan ketentuan Pasal 64 (Ketentuan Peralihan) Undang-undang ini, berarti untuk membela kepentingan konsumen masih harus dipelajari semua peraturan perundang-undangan umum yang berlaku. Tetapi peraturan perundang-undangan umum yang berlaku memuat juga berbagai kaidah menyangkut hubungan dan masalah konsumen. Sekalipun peraturan perundang-undangan itu tidak khusus diterbitkan untuk konsumen atau perlindungan konsumen setidak-tidaknya ia merupakan sumber agar juga dari hukum konsumen dan/atau hukum perlindungan konsumen.

1. Undang-undang Dasar dan Ketetapan MPR

Hukum konsumen, terutama hukum perlindungan konsumen mendapatkan landasan hukumnya pada Undang-undang Dasar 1945, pembukaan, alinea ke-4 berbunyi : “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenab bangsa Indonesia.”

(38)

kaya atau orang miskin, orang kota atau desa, orang asli atau keturunan dan pengusaha pelaku usaha atau konsumen.39

Kalau pada TAP-MPR 1988 “menjamin” kepentingan konsumen, maka pada tahun 1993 digunakan istilah “melindungi kepentingan konsumen”. Sayangnya, dalam masing-masing TAP-MPR tersebut tidak terdapat penjelasan

Landasan hukum lainnya terdapat pada ketentuan hukum yang termuat dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945). Ketentuan tersebut berbunyi : “Tiap warga Negara berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.“

Sesungguhnya, apabila kehidupan seseorang terganggu atau diganggu oleh pihak.pihak lain, maka alat-alat negara akan turun tangan, baik diminta atau tidak, untuk melindungi dan atau mencegah terjadinya gangguan tersebut. Penghidupan yang layak, apalagi kehidupan yang layak bagi kemanusiaan merupakan hak dari warga negara dan hak semua orang. Ia merupakan hak dasar bagi rakyat secara menyeluruh.

Penjelasan autentik Pasal 27 ayat (2) ini berbunyi : Telah jelas, pasal-pasal ini mengenal hak-hak warga negara. Selanjutnya, untuk melaksanakan perintah UUD 1945 melindungi segenap bangsa, dalam hal ini khususnya melindungi konsumen, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah menetapkan berbagai ketetapan MPR, khususnya sejak tahun 1978. Dengan ketetapan terakhir Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1993 (TAP-MPR) makin jelas kehendak rakyat atas adanya perlindungan konsumen, sekalipun dengan kualifikasi yang berbeda-beda pada masing-masing ketetapan.

39

(39)

tentang apa yang dimaksud dengan menguntungkan, menjamin atau melindungi kepentingan konsumen tersebut.

Salah satu yang menarik dari TAP-MPR 1993 ini adalah disusunnya dalam satu nafas, dalam satu baris kalimat, tentang kaitan produsen dan konsumen. Susunan kalimat tersebut berbunyi ;

“...meningkatkan pendapatan produsen dan melindungi kepentingan kosumen”.

Dengan susunan kalimat demikian, terlihat lebih jelas arahan Majelis Permusyawaratan Rakyat tentang kekhususan kepentingan produsen (dan semua pihak yang dipersamakan dengannya) dan kepentingan konsumen. Sifat kepentingan khas produsen (lebih tepatnya pelaku usaha atau pengusaha) telah ditunjukkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sebelumnya telah diterangkan bahwa pengusaha dalam menjalankan kegiatan memproduksi atau berdagang menggunakan barang atau jasa sebagai bahan baku bahan tambahan, bahan penolong, atau bahan pelengkap. Kepentingan mereka dalam menggunakan barang atau jasa untuk kegiatan usaha memproduksi dan/atau berdagang itu, adalah untuk meningkatkan pendapatan atau penghasilan mereka (tujuan komersil).

(40)

sebagaimana yang terjadi ukuran pelaku usaha dalam penggunaan barang dan/atau jasa yang mereka konsumsi.

Kepentingan peningkatan pendapatan atau penghasilan pelaku usaha adalah dalam rangka pelaksanaan kegiatan usaha mereka. Dalam hubungannya dengan para konsumen, kegiatan usaha pengusaha adalah dalam rangka memproduksi, menawarkan, tidak merosot atau bahkan hilang sama sekali baik karena :

a. Terdapat kelemahan dalam menjalankan usaha tertentu atau tidak efisien dalam menjalankan manajemen usaha (perlu ketentuan-ketentuan tentang pembinaan) atau;

b. Adanya praktik-praktik niaga tertentu yang menghambat atau menyingkirkan para pengusaha dari pasar, seperti praktik persaingan melawan hukum, penguasa pasar yang dominan, dan lain-lain (memerlukan ketentuan-ketentuan pengawasan).

Kepentingan konsumen dalam kaitan dengan penggunaan barang dan/atau jasa, adalah agar barang/jasa konsumen yang mereka peroleh, bermanfaat bagi kesehatan tubuh, keamanan jiwa dan harta benda, diri, keluarga dan/atau rumah tangganya (tidak membahayakan atau merugikan mereka). Jadi, yang menonjol dalam perlindungan kepentingan konsumen ini adalah perlindungan pada jiwa, kesehatan, harta dan/atau kepentingan kekeluargaan konsumen.

(41)

berbeda pula. Bagi kalangan pelaku usaha perlindungan itu adalah untuk kepentingan komersil mereka dalam menjalankan kegiatan usaha, seperti bagaimana mendapatkan bahan baku, bahan tambahan dan penolong, bagaimana memproduksinya, mengangkutnya dan memasarkannya, termasuk didalamnya bagaimana menghadapi persaingan usaha. Harus ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang usaha dan mekanisme persaingan itu. Persaingan haruslah berjalan secara wajar dan tidak terjadi kecurangan-kecurangan yang mengakibatkan kalangan pelaku usaha tidak saja tidak meningkat pendapatannya, bahkan mati usahanya.

Sekalipun diakui bahwa persaingan merupakan suatu hal yang biasa dalam dunia usaha, tetapi persaingan antar kalangan usaha itu haruslah sehat dan terkendali.

(42)

Pelaku usaha adalah pelaku usaha, dan konsumen adalah konsumen, haruslah diciptakan keadaan yang seimbang, serasi, dan selaras dalam kehidupan di antara keduanya.

2. Hukum Konsumen dalam Hukum Perdata

Dengan hukum perdata dimaksudkan hukum perdata dalam arti luas, termasuk hukum perdata, hukum dagang serta kaidah-kaidah keperdataan yang termuat dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. Kesemuanya itu baik hukum perdata tertulis maupun hukum perdata tidak tertulis (hukum adat). Kaidah-kaidah hukum perdata umumnya termuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Di samping itu, tentu ada juga kaidah-kaidah hukum perdata adat, yang tertulis tetapi ditunjuk oleh pengadilan dalam perkara-perkara tertentu. Patut kiranya diperhatikan kenyataan yang ada dalam pemberlakukan berbagai kaidah hukum perdata tersebut.

(43)

barang dan/atau jasa dan konsumen pengguna barang-barang atau jasa tersebut. Terutama buku kedua, buku ketiga, dan buku keempat memuat berbagai kaidah hukum yang mengatur hubungan konsumen dan penyedia barang atau jasa konsumen tersebut. Begitu pula dalam KUHD (Kitab Undang-undang Hukum Dagang), baik buku pertama, maupun buku kedua, mengatur tentang hak-hak dan kewajiban yang terlibat dari khususnya (jasa) perasuransian dan pelayaran.

Hubungan hukum perdata dan masalahnya dalam lingkungan berlaku hukum adat, sekalipun sudah amat berkurang, masih tampak hidup dan terlihat dalam berbagai putusan pengadilan. Beberapa putusan pengadilan tentang masalah keperdataan berkaitan dengan perlindungan konsumen masih terlihat. Adapun hubungan-hubungan hukum atau masalah antara penyediaan barang atau jasa dan konsumen dari berbagai negara yang berbeda, atau tidak bersamaan hukum yang berlaku bagi mereka, dapat diberlakukan hukum internasional dan asas-asas hukum internasional, khususnya hukum perdata internasional, memuat pola berbagai ketentuan hukum perdata bagi konsumen

(44)

Jadi, kalau dirangkum keseluruhannya, terlihat bahwa kaidah-kaidah hukum yang menganut hubungan dan masalah hukum antara pelaku usaha penyedia barang dan/atau penyelenggara jasa dengan konsumennya masing-masing terlihat termuat dalam:

1. KUH Perdata, terutama dalam buku kedua, ketiga, dan keempat; 2. KUHD, buku kesatu dan buku kedua;

3. Berbagai peraturan perundang-undangan lain yang memuat kaidah-kaidah hukum bersifat perdata tentang subjek-subjek hukum, hubungan hukum dan masalah antara penyedia barang atau penyelenggara jasa tertentu dan konsumen.

(45)

hujan”. Perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) sama dengan perbuatan melawan Undang-undang (onwetmatigedaad).40

Ketiga, perbuatan melawan hukum terhadap nama baik. Masalah penghinaan diatur dalam Pasal 1372 sampai dengan Pasal 1380 KUH Perdata. Pasal 1372 menyatakan bahwa tuntutan terhadap penghinaan adalah bertujuan Perbuatan melawan hukum di Indonesia yang berasal dari Eropa Kontinental diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1380 KUH Perdata. Pasal-pasal tersebut mengatur bentuk tanggung jawab atas Perbuatan Melawan hukum yang terbagi atas :

Pertama, tanggung jawab tidak hanya karena perbuatan melawan hukum yang dilakukan diri sendiri tetapi juga berkenaan dengan perbuatan melawan hukum orang lain dan barang-barang di bawah pengawasannya. Pasal 1367 ayat (1) KUH Perdata menyatakan :

”Seseorang tidak hanya bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.”

Kedua, perbuatan melawan hukum terhadap tubuh dan jiwa manusia. Pasal 1370 KUH Perdata menyatakan bahwa dalam hal terjadi pembunuhan dengan sengaja atau kelalaiannya maka suami atau istri, anak, orang tua korban yang lazimnya mendapat nafkah dari pekerjaan korban, berhak menuntut ganti rugi yang harus dinilai oleh keadaan dan kekayaan kedua belah pihak.

40

(46)

untuk mendapat ganti rugi dan pemulihan nama baik, sesuai dengan kedudukan dan keadaan para pihak.

Beberapa tuntutan yang dapat diajukan karena perbuatan melawan hukum ialah:

1. Ganti rugi dalam bentuk uang atas kerugian yang ditimbulkan;

2. Ganti rugi dalam bentuk aturan atau dikembalikan dalam bentuk semula; 3. Pernyataan bahwa perbuatan yang dilakukan adalah melawan hukum; 4. Melarang dilakukannya perbuatan tertentu.

Penerapan Pasal 1365 KUH Perdata mengalami perubahan melalui putusan pengadilan dan Undang-undang telah secara khusus mengatur tentang ganti rugi karena perbuatan melawan hukum, misalnya Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen. Sebelum Undang-undang tersebut lahir, gugatan yang berkenaan dengan ganti rugi berkaitan dengan materi yang kemudian diatur dalam Undang-undang tersebut didasarkan pada Pasal 1365 KUH Perdata. Namun dengan lahirnya Undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai tuntutan ganti kerugian maka telah terjadi perubahan dalam penerapan Pasal 1365 KUH Perdata.

(47)

Pada suatu hari Penggugat pergi mengantarkan istri penggugat untuk mengurut kakinya ke suatu tempat dengan mengendarai mobil BMW tersebut. Sesampainya dirumah, Penggugat tidak bisa menahan buang air kecil karena menderita suatu penyakit sehingga terburu-buru masuk ke toilet yang terletak di dalam rumah sambil menutup pintu mobil yang menggunakan remote control. Sebagaimana yang sering dilakukan oleh Penggugat ketika mengendarai jenis mobil yang lainnya karena sekalipun di kunci dari luar, penumpang yang masih berada di dalam mobil tetap bisa keluar dari dalam mobil dengan cara membuka pintu dari dalam.

3. Hukum Konsumen dalam Hukum Publik

Dengan hukum publik dimaksudkan hukum yang mengatur hubungan antara negara dan alat-alat perlengkapannya atau hubungan antara negara dengan perorangan. Termasuk hukum publik dan terutama dalam kerangka hukum konsumen dan/atau hukum perlindungan konsumen, adalah hukum administrasi negara, hukum pidana, hukum acara perdata dan/atau hukum acara pidana dan hukum internasional khususnya hukum perdata internasional.

(48)

Di antara kesemua hukum publik tersebut, tampaknya hukum administrasi negara, selanjutnya disebut hukum administrasi, hukum pidana, hukum internasional khususnya hukum perdata internasional dan hukum acara perdata serta hukum acara pidana paling banyak pengaruhnya dalam pembentukan hukum konsumen.

Ketentuan hukum administrasi, misalnya menentukan bahwa pemerintah melakukan pengaturan dan pembinaan rumah susun dan pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-undang (termuat dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undnag-undang tentang Rumah Susun, Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 LN Tahun 1985 No. 75).

Selanjutnya dalam Undang-undang Kesehatan, Undang-undang No. 23 Tahun 1992, Pasal 73 disebutkan : “Pemerintah melakukan pembinaan terhadap semua kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan upaya kesehatan. Dalam Pasal 76 Undang-undang itu dijelaskan pula peran pengawasan yang dijalankan oleh pemerintah, sedang pasal 77 menegaskan wewenang pemerintah untuk mengambil berbagai tindakan administrasi terhadap tenaga kesehatan dan/atau sarana kesehatan yang melakukan pelanggaran terhadap Undang-undang ini.”

(49)

terhadap tenaga kesehatan dan/atau sarana kesehatan yang melanggar Undang-undang (Pasal 77 Undabg-Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan).

Pasal 77 itu berbunyi : “Pemerintah berwenang mengambil tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan dan/atau sarana kesehatan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan ini. Penjelasan pasal ini menetukan : tindakan administratif dalam pasal ini dapat berupa pencabutan izin usaha, izin praktik atau izin lain yang diberikan serta penjatuhan hukum disiplin berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan dilakukan setelah mendengar pertimbangan Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan.”

(50)

D. Pihak-pihak dalam Perlindungan Konsumen

Dalam UU Perlindungan Konsumen ada tiga lembaga yang berperan dan bertanggungjawab dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, yaitu : 1). Menteri dan/atau Menteri teknis terkait yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang perdagangan; 2). Badan Perlindungan Konsumen Nasional ; dan 3). LSM yaitu Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat. Pada poin 1 dan 2 mewakili pemerintah sedangkan LSM pada poin 3 mewakili kepentingan masyarakat. Untuk penyelesaian sengketa dimungkinkan tanpa melalui Lembaga Peradilan yaitu melalui Lembaga Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang terdiri atas unsur-unsur pemerintah, konsumen, dan pelaku usaha.

E. Pengertian dan Tanggung Jawab Pelaku Usaha

Pasal 1 butir 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik sendiri maupun secara bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. Kalangan ekonomi (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia), menetapkan bahwa pelaku ekonomi bersama dengan pelaku usaha, terdiri dari tiga kelompok besar,yaitu:

(51)

b. Kelompok pembuat barang atau jasa (produsen) c. Kelompok pengedar barang atau jasa (distributor)

Hukum tentang tanggung jawab produk (pelaku usaha) ini termasuk dalam perbuatan melanggar hukum tetapi diimbuhi dengan tanggung jawab mutlak (strict liability), tanpa melihat apakah ada unsur kesalahan pada pihak pelaku. Dalam kondisi demikian terlihat bahwa adagium caveat emptor (konsumen bertanggung jawab telah ditinggalkan) dan kini berlaku caveat venditor (pelaku usaha bertanggung jawab).41

Istilah Product Liability (Tanggung Jawab Produk) baru dikenal sekitar 60 tahun yang lalu dalam dunia perasuransian di Amerika Serikat, sehubungan dengan dimulainya produksi bahan makanan secara besar-besaran. Baik kalangan produsen (Producer and Manufacture) maupun penjual (seller, distributor) mengasuransikan barang-barangnya terhadap kemungkinan adanya resiko akibat produk-produk yang cacat atau menimbulkan kerugian tehadap konsumen. Produk secara umum diartikan sebagai barang yang secara nyata dapat dilihat, dipegang (tangible goods), baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Namun dalam kaitan dengan masalah tanggung jawab produser (Product Liability) produk bukan hanya berupa tangible goods tapi juga termasuk yang bersifat intangible seperti listrik, produk alami (mis. makanan binatang piaraan dengan jenis binatang lain), tulisan (mis. Peta penerbangan yang diproduksi secara masal), atau perlengkapan tetap pada rumah real estate (mis. Rumah).42

41

Selanjutnya, termasuk dalam pengertian produk tersebut tidak semata-mata suatu

21 Juni 2014

42

(52)

produk yang sudah jadi secara keseluruhan, tapi juga termasuk komponen suku cadang.

Tanggung jawab produk (product liability), menurut Hursh bahwa: ”product liability is the liability of manufacturer, processor or non-manufacturing seller for injury to the person or property of a buyer third party, caused by product which has been sold. Perkins Coie juga menyatakan Product Liability: The liability of the manufacturer or others in the chain of distribution of a product to a person injured by the use of product.”43

Dengan demikian, yang dimaksud dengan product liability adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk (producer, manufacture) atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk (processor, assembler) atau orang atau badan yang menjual atau mendistribusikan produk tersebut. Bahkan dilihat dari konvensi tentang product liability di atas, berlakunya konvensi tersebut diperluas terhadap orang/badan yang terlibat dalam rangkaian komersial tentang persiapan atau penyebaran dari produk, termasuk para pengusaha, bengkel dan pergudangan. Demikian juga dengan para agen dan pekerja dari badan-badan usaha di atas. Tanggung jawab tersebut sehubungan dengan produk yang cacat sehingga menyebabkan atau turut menyebabkan kerugian bagi pihak lain (konsumen), baik kerugian badaniah, kematian maupun harta benda.

(53)

Seperti di kemukakan di atas, bahwa jika dilihat secara sepintas, kelihatan bahwa apa yang di atur dengan ketentuan product liability telah diatur pula dalam KUH Perdata. Hanya saja jika kita menggunakan KUH Perdata, maka bila seorang konsumen menderita kerugian ingin menuntut pihak produsen (termasuk pedagang, grosir, distributor dan agen), maka pihak korban tersebut akan menghadapi beberapa kendala yang akan menyulitkannya untuk memperoleh ganti rugi.

Kesulitan tersebut adalah pihak konsumen harus membuktikan ada unsur kesalahan yang dilakukan oleh pihak produsen. Jika konsumen tidak berhasil membuktikan kesalahan produsen, maka gugatan konsumen akan gagal. Oleh karena berbagai kesulitan yang dihadapi oleh konsumen tersebut, maka sejak tahun 1960-an, di Amerika Serikat di berlakukan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability principle).

Dengan diterapkannya prinsip tanggung jawab mutlak ini, maka setiap konsumen yang merasa dirugikan akibat produk atau barang yang cacat atau tidak aman dapat menuntut kompensasi tanpa harus mempermasalahkan ada atau tidak adanya unsur kesalahan di pihak produsen.

Alasan-alasan mengapa prinsip tanggung jawab mutlak (strtict liability) diterapkan dalam hukum tentang product liability adalah:44

a. Di antara korban/konsumen di satu pihak dan produsen di lain pihak, beban kerugian (resiko) seharusnya ditanggung oleh pihak yang

44

(54)

memproduksi/mengeluarkan barang-barang cacat/berbahaya tersebut di pasaran;

b. Dengan menempatkan/mengedarkan barang-barang di pasaran, berarti produsen menjamin bahwa barang-barang tersebut aman dan pantas untuk dipergunakan, dan bilamana terbukti tidak demikian, dia harus bertanggung jawab

c. Sebenarnya tanpa menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak-pun produsen yang melakukan kesalahan tersebut dapat dituntut melalui proses penuntutan beruntun, yaitu konsumen kepada pedagang eceran, pengecer kepada grosir, grosir kepada distributor, distributor kepada agen, dan agen kepada produsen. Penerapan strict liability dimaksudkan untuk menghilangkan proses yang panjang ini.

Dengan demikian apapun alasannya, pelaku usaha harus bertanggung jawab apabila ternyata produk yang dihasilkannya cacat atau berbahaya. Informasi akurat dan lengkap merupakan hak konsumen. Apabila kewajiban ini tidak dipenuhi, maka sudah semestinya pelaku usaha dimintai pertanggungjawaban. Undang-undang Perlindungan Konsumen tentang Tanggung Jawab Pelaku Usaha. Pasal 19

(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

(55)

atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.

(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Pasal 20

“Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.”

Pasal 21

(1) Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri.

(56)

Pasal 22

“Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian.”

Pasal 23

“Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.”

Pasal 24

(1) Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila

a. Pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun atas barang dan/atau jasa tersebut

b. Pelaku usaha lain, didalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi

(57)

Pasal 25

(1) Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan

(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut a. tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas

perbaikan

b. tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.

Pasal 26

“Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.”

Pasal 27

Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dan tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila

a. Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan

b. Cacat barang timbul pada kemudian hari

(58)

e. Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan.

Pasal 28

“Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.”

Inti dari pasal-pasal di atas adalah pelaku usaha bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul dari hasil produk/jasanya. Seperti yang disebutkan pada pasal 19 ayat 1, pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.45

45

Berdasarkan ayat (2) pasal yang sama, Ganti rugi sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau

jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau

pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku. Pemberian ganti rugi tidak menghapus kemungkinan adanya

tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur

kesalahan.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam rangka menghindari timbulnya kerugian pada konsumen terhadap pencantuman label produk obat tradisional/jamu, perataruran perundang- undangan mengatur tentang

Berdasarkan penelitian yang dilakukan bahwa pelaku usaha yang menimbulkan kerugian terhadap hak-hak konsumen diharuskan bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan

Setelah perjanjian dibuat munculah hak dan kewajiban antara pelaku usaha dengan konsumen. Pasal 1474 KUHPerdata kewajiban utama dari pelaku usaha adalah menyerahkan

Sebagai penyeimbang atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen dan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi konsumen serta untuk menciptakan kenyamanan berusaha bagi para

Perbuatan melawan hukum diawali oleh suatu perbuatan dari si pelaku.Perbuatan yang dimaksud adalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku.Secara umum perbuatan

Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah diatur pula hak dan kewajiban pelaku usaha serta larangan-larangan yang bertujuan untuk memberi perlindungan

mengajukan gugatan dengan dasar perbuatan melanggar hukum. Pelaku Usaha Selaku Pengiklan Penjualan Produk Secara Obral dengan Informasi yang Tidak Jelas Bertanggung Gugat Atas

Ketentuan Pasal 1365 dan Pasal 1366 KUH Perdata mengatur mengenai perbuatan melawan hukum yang menyatakan bahwa : “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang