EFEK IMUNOMODULATOR EKSTRAK ETANOL DAUN
BANGUN-BANGUN (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng)
TERHADAP RESPON HIPERSENSITIVITAS TIPE
LAMBAT DAN TITER ANTIBODI SEL IMUN
MENCIT JANTAN
SKRIPSI
OLEH: RITA NOVIKA NIM 111524016
EFEK IMUNOMODULATOR EKSTRAK ETANOL DAUN
BANGUN-BANGUN (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng)
TERHADAP RESPON HIPERSENSITIVITAS TIPE
LAMBAT DAN TITER ANTIBODI SEL IMUN
MENCIT JANTAN
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara
OLEH: RITA NOVIKA NIM 111524016
PENGESAHAN SKRIPSI
EFEK IMUNOMODULATOR EKSTRAK ETANOL DAUN
BANGUN-BANGUN (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng)
TERHADAP RESPON HIPERSENSITIVITAS TIPE
LAMBAT DAN TITER ANTIBODI SEL IMUN
MENCIT JANTAN
OLEH: RITA NOVIKA NIM 111524016
Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara
Pada Tanggal: 20 Desember 2013
Pembimbing I, Panitia Penguji
Poppy Anjelisa Z. Hasibuan, M.Si., Apt. Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt. NIP 197506102005012003 NIP 195311281983031002
Pembimbing II, Poppy Anjelisa Z. Hasibuan, M.Si., Apt. NIP 197506102005012003
Aminah Dalimunthe, S.Si., M.Si., Apt. Drs. Rasmadin Mukhtar, M.S., Apt. NIP 197806032005012004 NIP 194909101980031002
Drs. Saiful Bahri, M.S., Apt. NIP 195208241983031001
Medan, Januari 2014 Fakultas Farmasi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah S.W.T atas segala nikmat dan rahmat
yang tak terhingga yang senantiasa dilimpahkan-Nya kepada penulis, sehingga
penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul
“Efek Imunomodulator Ekstrak Etanol Daun Bangun-Bangun (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng) Terhadap Respon Hipersensitivitas Tipe Lambat Dan Titer Antibodi Sel Imun Mencit Jantan”. Skripsi ini diajukan sebagai salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara. Shalawat dan salam juga penulis panjatkan kepada
Rasulullah SAW.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak
Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara dan juga sekaligus penguji yang telah memberikan
bantuan dan fasilitas selama masa pendidikan dan memberikan masukan
kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Poppy Anjelisa Z. Hasibuan,
S.Si., M.Si., Apt., dan Ibu Aminah Dalimunthe, S.Si., M.Si., Apt., selaku
pembimbing yang telah memberikan waktu, bimbingan, dan nasehat selama
penelitian hingga selesainya penyusunan skripsi ini. Selain itu, penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Rasmadin Mukhtar, M.S., Apt.,
Bapak Drs. Saiful Bahri, M.S., Apt., selaku penguji yang telah memberikan
Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan
yang tulus kepada Ayahanda Arifin Ahmad (Almarhum) dan Ibunda
Hj.Nurlatifah (Almarhumah). Kepada kakanda Hafsah Arif terimakasih penulis
ucapkan atas doa, dorongan dan pengorbanan baik moril maupun materil dalam
penyelesaian skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
teman-teman Farmasi Ekstensi 2011 serta rekan-rekan penelitian, atas doa,
bantuan dan dukungan dalam penyelesaian penulisan skripsi ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir.
Zulfikar Siregar, M.P., (Almarhum) yang telah memberikan sumbangan darah
dombanya demi kelancaran penelitian penulis sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,
sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini
dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang farmasi.
Medan, Januari 2014
Penulis,
EFEK IMUNOMODULATOR EKSTRAK ETANOL DAUN
BANGUN-BANGUN (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng)
TERHADAP RESPON HIPERSENSITIVITAS TIPE
LAMBAT DAN TITER ANTIBODI SEL IMUN
MENCIT JANTAN
ABSTRAK
Sistem imun berguna untuk mempertahankan kondisi tubuh dari serangan zat asing, seperti mikroorganisme patogen. Pada saat sistem imun tidak mampu bekerja dengan baik, peningkatan sistem imun menjadi sangat penting untuk menjaga agar sistem imun tetap bekerja secara maksimal dalam menghadapi serangan mikroorganisme. Daun bangun-bangun merupakan salah satu tumbuhan yang mempunyai kemampuan untuk meningkatkan pertahanan tubuh. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efek imunomodulator ekstrak etanol daun bangun-bangun terhadap respon hipersensitivitas tipe lambat dan titer antibodi sel imun mencit jantan.
Penelitian ini dilakukan dengan menguji respon hipersensitivitas tipe lambat dan titer antibodi sel imun mencit jantan yang diberikan ekstrak etanol daun bangun-bangun (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng) secara oral diberikan satu kali sehari selama 7 hari dengan dosis 250 mg/kg BB, 500 mg/kg BB, 750 mg/kg BB. Siklofosfamida dosis 50 mg/kg BB sebagai pembanding, suspensi CMC 1% sebagai kontrol negatif. Respon hipersensitivitas tipe lambat ditandai dengan pembengkakan kaki mencit sedangkan nilai titer antibodi ditentukan dengan hemaglutinasi melalui darah mencit yang sebelumnya diinjeksi sel darah merah domba (SDMD 1%) sebagai antigen.
Hasil uji efek imunomodulator menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun bangun-bangun mampu meningkatkan respon hipersensitivitas tipe lambat yaitu pada dosis 500 mg/kg BB sebesar 1,42 ml dan 750 mg/kg BB sebesar 1,66 ml yang berbeda signifikan (p < 0,05) terhadap kontrol negatif yang hanya 0,62 ml. Nilai titer antibodi juga meningkat pada dosis 500 mg/kg BB dan 750 mg/kg BB masing-masing 6,42 (µl) dan 7,62 (µl), nilai ini berbeda signifikan (p < 0,05) dengan kontrol negatif yang bernilai titer 4,128 (µl) dan kelompok pembanding 2,8 (µl). Dengan demikian disimpulkan bahwa ekstrak etanol daun bangun-bangun mempunyai efek imunomodulator terhadap respon hipersensitivitas tipe lambat dan meningkatkan nilai titer antibodi sel imun mencit jantan.
IMMUNOMODULATORY EFFECT OF ETHANOL EXTRACT
OF BANGUN-BANGUN LEAVES (Plectranthus amboinicus
(Lour.) Spreng) TO DELAYED TYPE HYPERSENSITIVITY
RESPONSE AND ANTIBODY TITER OF IMMUNITY
CELLS OF MALE MICE
ABSTRACT
The immune system is useful to maintain the condition of the body against pathogenic microorganisms. When the immune system is not able to work well, improving the immune system becomes very important to keep the immune system still works optimally to face microorganisms attack. Bangun-bangun leaves is one of the plants that have the ability to enhance the body's defense. The objectives of this study was to know the immunomodulatory effect of ethanol extract of bangun-bangun leaves on delayed type hypersensitivity response and antibody titer of immune cells of male mice.
In this study, was conducted with the test delayed type hypersensitivity response and antibody titer immune cells of male mice given ethanol extract of bangun-bangun leaves (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng) was administered orally once daily for 7 days with a dose of 250 mg/kg, 500 mg/kg, 750 mg/kg BW. Cyclophosphamide dose of 50 mg/kg as the comparison, 1% CMC suspension as a negative control. Delayed-type hypersensitivity response characterized by swelling of the feet of mice while the value of antibody titers determined by hemagglutination through the blood of mice that were previously in 1% SRBC (Sheep Red Blood Cells) injection of as the antigens.
From the results indicate that the immunomodulatory effects of ethanol extract of bangun-bangun leaves is able to increase the delayed-type hypersensitivity response at a dose of 500 mg/kg dose of 1.42 ml and 750 mg/kg BW of 1.66 ml is significant different (p < 0.05) with negative control, while the control only 0.62 ml. Antibody titer values also increased in dose 500 mg/kg and 750 mg/kg, respectively 6.42 (µl) and 7.62 (µl), this values is significant different (p < 0.05) with negative control 4.128 (µl) and with cyclophosphamide as comparison 2.8 (µl).Thus concluded that ethanol extract of bangun-bangun leaves have immunomodulatory effects to delayed type hypersensitivity response and increase antibody titer values of immune cells of male mice.
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1Latar Belakang ... 1
1.2Perumusan Masalah ... 3
1.3Hipotesis ... 3
1.4Tujuan Penelitian ... 4
1.5Manfaat Penelitian ... 4
1.6Kerangka Pikir Penelitian ... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6
2.1 Uraian Tumbuhan ... 6
2.1.3 Nama Daerah ... 6
2.1.4 Morfologi ... 7
2.1.5 Kandungan Kimia ... 7
2.1.6 Khasiat Tumbuhan ... 7
2.2 Ekstraksi ... 8
2.3 Metode Ekstraksi ... 8
2.4 Sistem Imun ... 10
2.4.1 Respon Imun Nonspesifik ... 11
2.4.2 Respon Imun Spesifik ... 12
2.4.3 Imunomodulator ... 17
2.4.4 Siklofosfamid ... 18
2.4.5 Metode Pengujian Efek Imunomodulator ... 20
BAB III METODE PENELITIAN ... 21
3.1 Alat dan Bahan ... 21
3.1.1 Alat ... 21
3.1.2 Bahan ... 21
3.2 Penyiapan Sampel ... 22
3.2.1 Pengambilan Sampel ... 22
3.2.2 Identifikasi Sampel ... 22
3.2.3 Pengolahan Sampel ... 22
3.3 Skrining Fitokimia Serbuk Simplisia ... 23
3.3.4 Pemeriksaan Glikosida ... 24
3.3.5 Pemeriksaan Saponin ... 25
3.3.6 Pemeriksaan Steroida/Triterpenoida ... 25
3.4 Karakterisasi Simplisia ... 26
3.4.1 Pemeriksaan Makroskopik ... 26
3.4.2 Penetapan Kadar Air Simplisia ... 26
3.4.3 Penetapan Kadar Sari Larut Air ... 27
3.4.4 Penetapan Kadar Sari Larut Etanol ... 27
3.4.5 Penetapan kadar Abu Total ... 28
3.4.6 Penetapan Kadar Abu Tidak Larut Asam ... 28
3.5 Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Bangun-bangun ... 28
3.6 Karakterisasi Ekstrak Etanol Daun Bangun-bangun ... 29
3.7 Uji Efek Imunomodulator ... 29
3.7.1 Penyiapan Hewan percobaan ... 30
3.7.2 Penyiapan CMC 1% ... 30
3.7.3 Penyiapan Suspensi Siklofosfamid (SS) ... 31
3.7.4 Penyiapan Suspensi Ekstrak Etanol Daun Bangun-bangun (EEDBB) ... 31
3.7.5 Penyiapan phosphate Buffered Saline (PBS) ... 31
3.7.6 Penyiapan Sel Darah Merah Domba (SDMD) ... 32
3.7.7 Uji Respon Hipersensitivitas Tipe Lambat ... 32
3.7.8 Uji Titer Antibodi ... 33
3.8 Analisis Data ... 34
4.2 Skrining Fitokimia Simplisia dan Ekstrak Etanol
Daun Bangun-bangun ... 36
4.3 Karakterisasi Simplisia dan Ekstrak ... 37
4.4 Pengujian Efek Imonomodulator ... 39
4.4.1 Respon Hipersensitivitas Tipe Lambat ... 41
4.4.2 Titer Antibodi ... 45
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 49
5.1 Kesimpulan ... 49
5.2 Saran ... 49
DAFTAR PUSTAKA ... 50
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
2.1 Pembagian Subkelas Imunoglobulin ... 16
4.2 Hasil Skrining Fitokimia Simplisia dan Ekstrak ... 36
4.3 Hasil Karakterisasi Simplisia dan Ekstrak Daun
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1.1 Diagram Kerangka Pikir Penelitian ... 5
2.1 Gambaran Umum Sistem Imun ... 10
2.2 Perkembangan sel-sel yang diperantarai sel dan imunitas
Humoral ... 13
2.4 Siklofosfamid ... 18
4.1 Volume Pembengkakan Kaki Mencit Pada Berbagai
Perlakuan (Rerata ± SEM) ... 42
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Hasil Identifikasi Tumbuhan ... 53
Lampiran 2 Makroskopik Tumbuhan Daun Bangun-bangun ……. 54
Lampiran 3
Lampiran 4
Lampiran 5
Hasil Perhitungan Penetapan Kadar ………
Bagan Kerja Penelitian ..……….
Bagan Pengerjaan Uji Efek Imunoodulator Pada Mencit ……….
56
61
62
Lampiran 6 Gambar Alat-alat ...………... 63
Lampiran 7 Gambar Hewan Percobaan (Mencit Jantan) .……... 66
Lampiran 8 Pembengkakan Kaki Mencit ... 67
Lampiran 9
Lampiran 10
Hemaglutinasi ………...
Tabel Volume Pembengkakan Dan Nilai Titer
Antibodi ….……….
68
69
EFEK IMUNOMODULATOR EKSTRAK ETANOL DAUN
BANGUN-BANGUN (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng)
TERHADAP RESPON HIPERSENSITIVITAS TIPE
LAMBAT DAN TITER ANTIBODI SEL IMUN
MENCIT JANTAN
ABSTRAK
Sistem imun berguna untuk mempertahankan kondisi tubuh dari serangan zat asing, seperti mikroorganisme patogen. Pada saat sistem imun tidak mampu bekerja dengan baik, peningkatan sistem imun menjadi sangat penting untuk menjaga agar sistem imun tetap bekerja secara maksimal dalam menghadapi serangan mikroorganisme. Daun bangun-bangun merupakan salah satu tumbuhan yang mempunyai kemampuan untuk meningkatkan pertahanan tubuh. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efek imunomodulator ekstrak etanol daun bangun-bangun terhadap respon hipersensitivitas tipe lambat dan titer antibodi sel imun mencit jantan.
Penelitian ini dilakukan dengan menguji respon hipersensitivitas tipe lambat dan titer antibodi sel imun mencit jantan yang diberikan ekstrak etanol daun bangun-bangun (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng) secara oral diberikan satu kali sehari selama 7 hari dengan dosis 250 mg/kg BB, 500 mg/kg BB, 750 mg/kg BB. Siklofosfamida dosis 50 mg/kg BB sebagai pembanding, suspensi CMC 1% sebagai kontrol negatif. Respon hipersensitivitas tipe lambat ditandai dengan pembengkakan kaki mencit sedangkan nilai titer antibodi ditentukan dengan hemaglutinasi melalui darah mencit yang sebelumnya diinjeksi sel darah merah domba (SDMD 1%) sebagai antigen.
Hasil uji efek imunomodulator menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun bangun-bangun mampu meningkatkan respon hipersensitivitas tipe lambat yaitu pada dosis 500 mg/kg BB sebesar 1,42 ml dan 750 mg/kg BB sebesar 1,66 ml yang berbeda signifikan (p < 0,05) terhadap kontrol negatif yang hanya 0,62 ml. Nilai titer antibodi juga meningkat pada dosis 500 mg/kg BB dan 750 mg/kg BB masing-masing 6,42 (µl) dan 7,62 (µl), nilai ini berbeda signifikan (p < 0,05) dengan kontrol negatif yang bernilai titer 4,128 (µl) dan kelompok pembanding 2,8 (µl). Dengan demikian disimpulkan bahwa ekstrak etanol daun bangun-bangun mempunyai efek imunomodulator terhadap respon hipersensitivitas tipe lambat dan meningkatkan nilai titer antibodi sel imun mencit jantan.
IMMUNOMODULATORY EFFECT OF ETHANOL EXTRACT
OF BANGUN-BANGUN LEAVES (Plectranthus amboinicus
(Lour.) Spreng) TO DELAYED TYPE HYPERSENSITIVITY
RESPONSE AND ANTIBODY TITER OF IMMUNITY
CELLS OF MALE MICE
ABSTRACT
The immune system is useful to maintain the condition of the body against pathogenic microorganisms. When the immune system is not able to work well, improving the immune system becomes very important to keep the immune system still works optimally to face microorganisms attack. Bangun-bangun leaves is one of the plants that have the ability to enhance the body's defense. The objectives of this study was to know the immunomodulatory effect of ethanol extract of bangun-bangun leaves on delayed type hypersensitivity response and antibody titer of immune cells of male mice.
In this study, was conducted with the test delayed type hypersensitivity response and antibody titer immune cells of male mice given ethanol extract of bangun-bangun leaves (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng) was administered orally once daily for 7 days with a dose of 250 mg/kg, 500 mg/kg, 750 mg/kg BW. Cyclophosphamide dose of 50 mg/kg as the comparison, 1% CMC suspension as a negative control. Delayed-type hypersensitivity response characterized by swelling of the feet of mice while the value of antibody titers determined by hemagglutination through the blood of mice that were previously in 1% SRBC (Sheep Red Blood Cells) injection of as the antigens.
From the results indicate that the immunomodulatory effects of ethanol extract of bangun-bangun leaves is able to increase the delayed-type hypersensitivity response at a dose of 500 mg/kg dose of 1.42 ml and 750 mg/kg BW of 1.66 ml is significant different (p < 0.05) with negative control, while the control only 0.62 ml. Antibody titer values also increased in dose 500 mg/kg and 750 mg/kg, respectively 6.42 (µl) and 7.62 (µl), this values is significant different (p < 0.05) with negative control 4.128 (µl) and with cyclophosphamide as comparison 2.8 (µl).Thus concluded that ethanol extract of bangun-bangun leaves have immunomodulatory effects to delayed type hypersensitivity response and increase antibody titer values of immune cells of male mice.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Lingkungan di sekitar kita mengandung berbagai jenis mikroorganisme
patogen, misalnya bakteri, virus, fungus, protozoa dan parasit yang dapat
menyebabkan infeksi pada manusia. Infeksi yang terjadi pada orang normal
umumnya singkat dan jarang meninggalkan kerusakan permanen. Hal ini
disebabkan tubuh manusia memiliki suatu sistem yang disebut sistem imun
yang memberikan respon dan melindungi tubuh terhadap unsur-unsur patogen
tersebut (Kresno, 2001).
Bila sistem imun terpapar pada zat yang dianggap asing, maka ada dua
jenis respon imun yang mungkin terjadi, yaitu: respon imun nonspesifik dan
respon imun spesifik. Respon imun nonspesifik umumnya merupakan imunitas
bawaan (innate immunity) sedang respon imun spesifik merupakan respon didapat (acquired) atau sering disebut respon imun adaptif yang timbul terhadap antigen tertentu, dimana tubuh pernah terpapar sebelumnya (Kresno,
2001). Hal ini berarti bahwa respon imun adaptif memiliki ciri spesifitas dan
memori mampu secara khas mengenali sebuah patogen yang untuk pertama
kali dihadapi, dan pada saat berlangsungnya pemaparan berikutnya oleh
patogen yang sama akan berlangsung respon yang meningkat. Namun apabila
menjadi sangat penting sehingga mampu menghadapi serangan zat asing
seperti mikroorganisme patogen. Salah satu cara mempertahankan sistem imun
adalah dengan imunomodulator. Imunomodulator merupakan substansi
ataupun obat yang dapat memodulasi fungsi dan aktivitas sistem imun baik
dengan cara merangsang ataupun memperbaiki fungsi sistem imun
(Baratawidjaja, 2012).
Salah satu tanaman Indonesia yang telah banyak diteliti adalah daun
bangun-bangun (Coleus amboinicus, L). Daun ini mempunyai kemampuan untuk meningkatkan kesehatan wanita pasca melahirkan dan juga mampu
meningkatkan kuantitas dan kualitas Air Susu Ibu (ASI) (Damanik, et al.,
2006). Dari penelitian yang dilakukan oleh Santosa dan Hertiani (2005),
tentang efek ekstrak air daun bangun-bangun pada aktivitas fagositosis netrofil
tikus putih, menunjukkan bahwa ekstrak daun bangun-bangun mampu
meningkatkan pertahanan tubuh dengan cara meningkatkan sifat fagositik sel
netrofil.
Kandungan kimia pada daun bangun-bangun adalah kalium dan minyak
atsiri 0,2% mengandung karvakrol serta isoprofil-o-kresol, fenol, sineol
(Wijayakusuma, 1996). Daun bangun-bangun juga mengandung saponin,
flavonoida, dan polifenol (Depkes RI, 2000). Phytochemical database (Duke, 2000), melaporkan bahwa dalam daun ini terdapat juga kandungan vitamin C,
vitamin B1, vitamin B12, beta-karoten, niasin, kalsium, asam-asam lemak asam oksalat dan serat. Menurut Wijayakusuma (1996), daun bangun-bangun
dan antiseptik. Dapat juga sebagai obat luka, obat batuk dan sariawan (Ditjen
POM, 1995).
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan uji efek
ekstrak daun bangun-bangun terhadap respon hipersensitivitas tipe lambat dan
titer antibodi sel imun mencit jantan sehingga dapat digunakan sebagai
imunomodulator.
1.2Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka perumusan masalah pada penelitian ini
adalah:
a. apakah ekstrak etanol daun bangun-bangun dapat meningkatkan respon
hipersensitivitas tipe lambat pada mencit jantan?
b. apakah ekstrak etanol daun bangun-bangun dapat meningkatkan titer
antibodi sel imun mencit jantan?
1.3Hipotesis
Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka dibuat hipotesis sebagai
berikut:
a. ekstrak etanol daun bangun-bangun dapat meningkatkan respon
hipersensitivitas tipe lambat mencit jantan.
b. ekstrak etanol daun bangun-bangun dapat meningkatkan titer antibodi sel
imun mencit jantan.
1.4Tujuan Penelitian
b. efek imunomodulator ekstrak etanol daun bangun-bangun dengan
meningkatkan titer antibodi sel imun mencit jantan.
1.5Manfaat penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. pengembangan daun bangun-bangun menjadi suatu sediaan herbal
terstandar dengan efek imunomodulator.
b. menambah inventaris tanaman obat yang berkhasiat sebagai
imunomodulator.
1.6Kerangka Pikir Penelitian
Variabel Bebas Variabel Terikat Parameter
Gambar 1.1 Diagram kerangka pikir penelitian Simplisia
Daun bangun-bangun
Karakterisasi
1. Gambaran makroskopik 2. Kadar air 3. Kadar abu total 4. Kadar abu tidak
larut asam
5. Kadar sari yang larut dalam air
6. Kadar sari yang larut dalam etanol 1. Alkaloida 2. Flavonoida 3. Tannin 4. Saponin 5. Steroid/triterp
enoid 6. glikosida
Respon Hipersensitivitas tipe lambat Ekstrak daun bangun-bangun Suspensi Siklofosfamid CMC 1% Skrining fitokimia
Titer Antibodi sel imun mencit
Bengkak
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Tumbuhan
2.1.1 Sistemetika tumbuhan
Sistematika dari tumbuhan daun bangun-bangun adalah :
Divisi : Spermatophyta
Sub Divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonnae
Bangsa : Solanales
Suku : Labiateae
Marga : Coleus
Jenis : Coleus amboinicus Lour. (Depkes RI, 2000)
2.1.2 Sinonim
Coleus aromaticus Benth, Coleus carnosus Hassk, Plectranthus
amboinicus (Lour.) Spreng, Plectranthus aromaticus Roxb (Dalimartha, 2008).
2.1.3 Nama daerah
Sumatera : Bangun-bangun (Batak), Daun hati-hati
Jawa : Ajeran (Sunda), Daun Jinten (Jawa), Daun Kambing
(Madura)
Bali : Iwak
2.1.4 Morfologi
Coleus amboinicus Lour. merupakan tumbuhan semak menjalar, batangnya berkayu, lunak, beruas-ruas, ruas yang menempel di tanah akan
tumbuh akar, mudah patah, penampang bulat, diameter pangkal ± 15 mm,
tengah ± 10 mm, dan ujung ± 5 mm, batang yang masih muda berambut kasar
dan hijau pucat. Berakar tunggang, berwarna putih kotor. Daunnya tunggal,
mudah patah, bulat telur, tepi beringgit, ujung dan pangkal membulat,
berambut, panjang 6,5 - 7 cm, lebar 5,5 - 6,5 cm, tangkai panjang 2,4 - 3 cm,
pertulangan menyirip dan berwarna hijau muda. Bunganya majemuk, bentuk
tandan, berambut halus, kelopak bentuk mangkok, setelah mekar pecah
menjadi lima, berwarna hijau keunguan, putik satu, panjangnya ± 17 mm,
kepala putik coklat, benang sari empat, kepala sari kuning, mahkota bentuk
mangkok berwarna ungu (Depkes RI, 2000).
2.1.5 Kandungan kimia
Daun mengandung kalium dan minyak atsiri 0,2% terdiri atas
karvakrol, isoprofil-o-kresol, fenol, sineol (Dalimartha, 2008). Daun
bangun-bangun juga mengandung saponin, flavonoida, dan polifenol (Depkes RI,
2000).
2.1.6 Khasiat tumbuhan
Daun bangun-bangun digunakan sebagai karminatif, meningkatkan
keluarnya ASI (laktagoga), menghilangkan nyeri, penurun panas dan antiseptik
2.2 Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair (Ditjen
POM, 2000).
Hasil dari ekstraksi disebut dengan ekstrak yaitu sediaan pekat yang
diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia
hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua
pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian
sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Ditjen POM, 1995).
2.3Metode-metode ekstraksi
Ekstraksi dengan menggunakan pelarut terdiri dari 2 cara, yaitu:
1. Cara Dingin
Ekstraksi menggunakan pelarut dengan cara dingin terdiri dari:
a. Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia menggunakan pelarut
dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur
ruangan.
b. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai
sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses
terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap
perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus-menerus
2. Cara Panas
Ekstraksi menggunakan pelarut dengan cara panas terdiri dari:
a. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya
selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan
dengan adanya pendingin balik.
b. Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang
umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi
kontinyu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin
balik.
c. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinyu) pada
temperatur yang lebih tinggi dari temperatur kamar (40 - 50oC).
d. Infus
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air
(bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur
96 - 98oC) selama waktu tertentu (15 - 20 menit).
e. Dekok
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (30 menit) dan
2.4 Sistem Imun
Gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi
terhadap infeksi disebut sistem imun. Reaksi yang dikoordinasi sel-sel,
molekul-molekul dan bahan lainnya terhadap mikroba disebut respon imun.
Sistem imun diperlukan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya terhadap
bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup
(Baratawidjaja, 2012). Pembagian sistem imun dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Gambaran umum sistem imun (Baratawidjaja, 2012). Sistem imun
Nonspesifik Spesifik
Humoral Selular
Sel B Sel T
Fisik Larut Selular
- Kulit - Selaput lendir - Silia - Batuk - bersin Biokimia - Asam lambung - Lisozim - Laktoferin - Asam neurominik Humoral - Komplemen - Interferon - C Reaktif
Protein (CRP) Fagosit - Mononuklear (Monosit dan makrofag) - Polimorfonuklear (Eosinofil dan Neutrofil) Sel Nol
- Natural Killer Cells (NK cells) - Killer Cells (K
cells) Sel mediator - Basofil dan
Mastosit - Trombosit
Sistem imun dirancang untuk melindungi inang (host) dari patogen-patogen penginvasi dan untuk menghilangkan penyakit. Bila sistem imun
bekerja dengan baik, selain merespon secara halus pada patogen-patogen
penginvasi, juga mempertahankan kemampuannya untuk mengenali
antigen-antigen sendiri yang ditoleransi. Perlindungan dari infeksi dan penyakit
diberikan oleh dua komponen utama yaitu sitem imun bawaan dan sistem imun
adaptif (Lake, 2004).
Secara umum dinyatakan bahwa respon imun seseorang terhadap
patogen terdiri atas respon imun alami atau nonspesifik dan respon imun
adaptif atau respon imun spesifik (Gambar 2.1). Bila respon imun bawaan tidak
memadai untuk mengatasi infeksi, sistem imun adaptif dimobilisasi lewat
tanda-tanda dari respon bawaan (Subowo, 1993).
2.4.1Respon imun nonspesifik
Respon imun nonspesifik adalah pada umumya merupakan imunitas
bawaan (innate immunity), artinya bahwa respon terhadap zat asing yang masuk kedalam tubuh dapat terjadi walaupun tubuh belum pernah terpapar
pada zat tersebut (Kresno, 2001). Respon imun ini membentuk lini pertama
pertahanan terhadap berbagai faktor yang mengancam, termasuk agen infeksi,
iritan kimiawi dan cedera jaringan yang menyertai trauma mekanis atau luka
bakar (Sherwood, 2001). Respon imun nonspesifik dapat mendeteksi adanya
zat asing dan melindungi tubuh dari kerusakan yang diakibatkannya, tetapi
Komponen-yang dihasilkan di permukaannya, berbagai jenis protein dalam darah termasuk
komplemen-komplemen, mediator inflamasi lainnya dan berbagai sitokin,
sel-sel fagosit yaitu sel-sel-sel-sel polimorfonuklear, makrofag dan sel-sel natural killer (NK)
(Kresno, 2001).
2.4.2Respon imun spesifik
Respon imun spesifik merupakan imunitas yang didapat (adaptive immunity) dimulai dari pengenalan zat asing hingga penghancuran zat asing tersebut dengan berbagai mekanisme (Subowo, 1993). Dalam respon imun
spesifik, limfosit merupakan sel yang memainkan peranan penting karena sel
ini mampu mengenali setiap antigen yang masuk kedalam tubuh, baik yang
terdapat intraseluler maupun ekstraseluler. Secara umum, limfosit dibedakan
menjadi dua jenis yaitu limfosit T dan limfosit B. Respon imun spesifik dapat
dibagi dalam 3 golongan, yaitu respon imun seluler, respon imun humoral dan
interaksi antara respon imun seluler dengan respon imun humoral (Kresno,
2001).
Pada Gambar 2.2 dapat dilihat bahwa limfosit T dan B (sel T dan sel B)
berasal dari sel induk yang sama yaitu di sumsum tulang belakang. Pada masa
janin dan anak-anak, limfosit imatur bermigrasi ke timus dan mengalami
pengolahan lebih lanjut menjadi limfosit T. Limfosit yang matang ditempat
Gambar 2.2 Perkembangan sel-sel yang diperantarai sel dan imunitas humoral (Lake, 2004).
Sel B berasal dari limfosit yang matang dan berdiferensiasi di sumsum
tulang, sedangkan sel T berasal dari limfosit yang berasal dari sumsum tulang
tetapi matang di timus. Sel T dan B yang matang mengalir melalui darah dan
berdiam di jaringan limfoid perifer dan membentuk koloni. Kedua sel ini akan
berproliferasi setelah mendapat stimulasi dengan adanya invasi zat asing.
a. Respon imun seluler
Respon imun selular merupakan fungsi dari limfosit T. Antigen akan
menyebabkan proliferasi dan diferensiasi sel T menjadi beberapa subpopulasi.
Subpopulasi sel T yang disebut sel T-helper (Th) akan mengenali antigen pada
memproduksi berbagai jenis limfokin yang dapat membantu menghancurkan
antigen tersebut. Subpopulasi sel T lain yang disebut sel T-cytotoxic (Tc) akan menghancurkan antigen melalui MHC kelas-I dengan cara kontak langsung
dengan sel (cell to cell contact). Selain itu, sel Tc memproduksi γ-interferon yang mencegah penyebaran antigen lebih jauh (Kresno, 2001).
- Sel T
Limfosit T atau sel T adalah sel yang berperan dalam sistem imun
spesifik seluler. Sel T terdiri atas beberapa subpopulasi sel yang mempunyai
fungsi yang berlainan.
a. Sel Th (T helper)
Sel Th adalah sel yang membantu meningkatkan perkembangan sel B
aktif menjadi sel Plasma, memperkuat aktivitas sel T sitotoksik dan sel
T supresor yang sesuai, dan mengaktifkan makrofag. Sel Th dapat
dibedakan menjadi sel Th1 dan Th2. Sel Th1 berperan sebagai limfosit
yang akan melepaskan sitokin yang bersifat proinflamasi, sedangkan sel
Th2 berperan dalam memproduksi antibodi dengan menstimulasi sel B
menjadi sel plasma (Sherwood, 2001).
b. Sel Ts (T suppresor)
Sel Ts adalah sel yang berperan dalam membatasi reaksi imun melalui
mekanisme “check and balance” dengan limfosit yang lain. Sel Ts menekan aktivitas sel T lainnya dan sel B. Sel Th dan Ts akan
berinteraksi dengan adanya metode umpan balik. Sel Th membantu sel
Ts dapat menghambat respon imun yang berlebihan dan bersifat
antiinflamasi (Sherwood, 2001).
c. Sel Tc (T cytotoxic)
Sel Tc mempunyai kemampuan untuk menghancurkan sel alogenik, sel
sasaran yang mengandung virus dan sel kanker. Dalam fungsinya, sel
Tc memerlukan rangsangan dari sel Th1 (Baratawidjaja, 2012).
d. Sel Tdh (delayed hypersensitivity)
Sel Tdh adalah sel yang berperan pada pengerahan makrofag dan sel
inflamasi lainnya ke tempat terjadinya reaksi lambat. Dalam fungsinya,
memerlukan ransangan dari sel Th1 (Baratawidjaja, 2012).
b. Respon imun humoral
Respon imun humoral dilakukan oleh sel B dan produknya, yaitu
antibodi. Respon ini diawali dengan diferensiasi limfosit B menjadi suatu
populasi sel plasma yang memproduksi dan melepaskan antibodi spesifik ke
dalam darah. Diferensiasi sel B dibantu oleh sel Th2. Adanya sinyal yang
diberikan oleh makrofag, sel Th2 akan merangsang sel B untuk memproduksi
antibodi agar seimbang dan sesuai dengan kebutuhan. Antibodi yang terbentuk
akan berikatan dengan antigen membentuk antigen-antibodi yang akan
mengaktivasi komplemen dan mengakibatkan hancurnya antigen tersebut. Pada
respon imun humoral juga terjadi respon primer yang membentuk populasi sel
- Sel B
Sel B terdapat kurang lebih 25% dari jumlah limfosit total. Pada
membran sel B terdapat reseptor khas untuk mengikat antigen. Aktivitas sel B
distimulasi dengan adanya sel Th2 menjadi plasma dan akan membentuk
antibodi (Tan dan Rahardja, 2007).
- Antibodi
Menurut perbedaan struktur dan aktivitas biologis, antibodi dibedakan
[image:32.595.115.489.334.715.2]menjadi 5 subkelas dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut:
Tabel 2.1 Pembagian Subkelas Imunoglobulin
Struktur Subkelas Keterangan
Miu (µ) IgM - Merupakan molekul paling besar
- Berfungsi sebagai reseptor permukaan sel B untuk
tempat antigen melekat dan disekresikan dalam
tahap-tahap awal respon sel.
Gamma (γ)
IgG - Merupakan immunoglobulin yang paling banyak
di dalam darah, dihasilkan dalam jumlah besar
ketika tubuh terpajan ulang ke antigen yang sama
Epsilon (ε)
IgE - Merupakan mediator antibodi untuk respon alergi
- Mampu melekat pada sel mastosit atau basofil
yang melepaskan mediator histamin, heparin,
prostaglandin yang dapat menimbulkan reaksi
hipersensitivitas tipe cepat
Alpha (α) IgA - Ditemukan dalam sekresi sistem pencernaan, pernafasan, dan genitouria, serta dalam air susu
dan air mata
Antibodi merupakan protein imunoglobulin (Ig) yang dibentuk oleh sel
plasma yang berasal dari proliferasi sel B akibat adanya kontak dengan antigen.
Antibodi mengikat antigen yang menimbulkannya secara spesifik. Antibodi
yang dilepas dapat ditemukan di dalam serum. Semua molekul
immunoglobulin mempunyai 4 polipeptid dasar yang terdiri atas 2 rantai berat
(heavy chain) dan 2 rantai ringan (light chain) yang identik, dihubungkan satu dengan yang lainnya oleh ikatan disulfida (Baratawidjaja, 2012).
c. Interaksi antara respon imun selular dengan respon imun humoral
Salah satu interaksi antara respon imun selular dengan respon imun
humoral adalah antibody dependent cell mediated cytotoxicyty (ADCC). Pada interaksi ini sitolisis terjadi dengan bantuan antibodi yang berfungsi melapisi
antigen sasaran (Opsonisasi), sehingga sel natural killer (NK) dan sel-sel fagosit yang mempunyai reseptor pada fragmen Fc antibodi tersebut dapat
melekat pada antigen sasaran dan menghancurkan antigen tersebut melalui
mekanisme fagositosis (Kresno, 2001).
2.4.3 Imunomodulator
Imunomodulator merupakan substansi ataupun obat yang dapat
memodulasi fungsi dan aktivitas sistem imun baik dengan cara merangsang
ataupun memperbaiki fungsi sistem imun (Baratawidjaja, 2012). Mekanisme
pertahanan spesifik maupun nonspesifik umumnya saling berpengaruh.
Imunomodulator dapat dibagi menjadi 2, yaitu imunostimulator dan
a. Imunostimulator
Imunostimulator adalah senyawa yang dapat meningkatkan respon
imun. Imunostimulator dapat mereaktivasi sistem imun dengan
berbagai cara seperti meningkatkan jumlah dan aktivitas sel T, NK-cells
dan makrofag serta melepaskan interferon dan interleukin (Tan dan
Rahardja, 2007). Imunostimulator banyak digunakan untuk menjaga
kondisi tubuh saat terjadinya defisiensi imunitas, pada terapi AIDS,
infeksi kronik, dan keganasan terutama yang melibatkan sistem limfatik
(Nafrialdi, 2007).
b. Imunosupresor
Imunosupresor adalah senyawa yang dapat menurunkan respon imun
yang berlebihan. Imunosupresor mampu menghambat transkripsi dari
sitokin dan memusnahkan sel T (Tan dan Rahardja, 2007).
Kegunaannya secara klinis terutama pada transplantasi dalam usaha
mencegah reaksi penolakan dan berbagai penyakit inflamasi yang
menimbulkan kerusakan, mengatasi penyakit autoimun (Baratawijdaja,
2012), mencegah hemolisis rhesus dan neonatus (Nafrialdi, 2007).
2.4.4 Siklofosfamid
Nama kimia : 2-[Bis(2-kloroetil)amino]tetrahidro-2H-1,3,2-
oksazafosforin 2-oksida monohidrat
Rumus molekul : C7H15Cl2N2O2P.H2O
Berat molekul : 279,10
Pemerian : serbuk hablur, putih.
Kandungan : tidak kurang dari 97,0% dan tidak lebih dari 103,0%
C7H15Cl2N2O2P, dihitung sebagai zat anhidrat
Kelarutan : Siklofosfamida larut dalam air dan dalam etanol
(Ditjen POM, 1995)
Siklofosfamida (Gambar 2.4) merupakan agen alkilasi yang mempunyai
efek imunosupresif. Siklofosfamida memiliki aktivitas antiproliferasi yang kuat
dilihat dari kemampuannya menurunkan produksi antibodi selama fase
proliferasi. Efek obat ini lebih nyata pada penekanan imunitas humoral. Efek
terhadap imunitas seluler bervariasi sebagian dihambat, sebagian mengalami
perangsangan (Nafrialdi, 2007).
Siklofosfamida menghambat aksi sel Ts dan sel Th2 sehingga menekan
produksi antibodi oleh sel B. Sel Th1 tidak dipengaruhi oleh siklofosfamid. sel
Th1 akan melepaskan sitokin yang bersifat proinflamasi sehingga akan
menarik makrofag ketempat terjadinya infeksi. Hal inilah yang menyebabkan
terjadinya pembengkakan ditempat infeksi (Turk, 1989).
Agen-agen imunosupresif terbukti sangat berguna untuk meminimalkan
menghambat imunoproliferasi secara terus menerus (karena ransangan antigen
terus berlangsung) (Lake, 2004).
2.4.5 Metode Pengujian Efek Imunomodulator
Ada beberapa metode yang digunakan dalam pengujian efek
imunomodulator. Diantaranya adalah uji respon hipersensitivitas tipe lambat
dan pengukuran antibodi (Vogel, 2008; Roit, 1989).
a. Uji Hipersensitivitas Tipe Lambat
Uji respon hipersensitivitas merupakan pengujian efek imunomodulator
terkait dengan respon imun spesifik. Respon hipersensitivitas tipe lambat
merupakan respon imun seluler yang melibatkan aktivasi sel Th yang akan
melepaskan sitokin yang bersifat proinflamasi dan meningkatkan aktivitas
makrofag yang ditandai dengan pembengkakan kaki hewan (Roit, 1989).
b. Titer Antibodi
Respon imun spesifik dapat berupa respon imun seluler dan respon imun
humoral. Penilaian titer antibodi merupakan pengujian terhadap respon imun
humoral yang melibatkan pembentukan antibodi. Peningkatan nilai titer
antibodi terjadi karena peningkatan aktivasi sel Th yang menstimulasi sel B
untuk pembentukan antibodi dan peningkatan aktivasi sel B dalam
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan secara eksperimental dengan tahapan penelitian
yaitu penyiapan tumbuhan, karakterisasi simplisia, pembuatan ekstrak,
karakterisasi ekstrak, penyiapan hewan percobaan dan pengujian respon
hipersensitivitas tipe lambat dan titer antibodi pada hewan percobaan. Data
hasil penelitian dianalisis secara ANAVA (analisis variansi) dan dilanjutkan
dengan uji Post Hoc Tukey menggunakan program SPSS (Statistical Product and Service Solution) versi 17.
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat-alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat gelas
laboratorium, aluminium foil, neraca listrik (Vibra), seperangkat alat destilasi
penetapan kadar air, rotary evaporator, blender (National), mortir dan stamfer,
neraca hewan, spuit 1 ml (Terumo), oral sonde, pletismometer air raksa,
velocity 18R refrigerated centrifuge (Dynamic), microtube, microtitration plate, micropipette (Socorex), dan kertas saring. Gambar alat-alat yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 6, halaman 63.
3.1.2 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun
(Na2HPO4), kalium dihidrogen fosfat (KH2PO4), aqua bidestilasi, heparin,
etanol 96%, toluen, kloroform dan air suling.
3.2 Penyiapan Sampel
Penyiapan sampel meliputi pengambilan tumbuhan, identifikasi
tumbuhan, dan pengolahan tumbuhan.
3.2.1 Pengambilan tumbuhan
Pengambilan sampel dilakukan secara purposif yaitu tanpa
membandingkan dengan tumbuhan yang sama dari daerah lain. Sampel
diperoleh dari jalan Palas Lima No. 57 Pokok Mangga, Padang Bulan,
Kecamatan Medan Selayang, Provinsi Sumatera Utara. Gambar sampel dapat
dilihat pada Lampiran 2, halaman 54.
3.2.2 Identifikasi tumbuhan
Identifikasi sampel dilakukan di Herbarium Bogoriense Pusat
Penelitian Biologi-LIPI Bogor.
3.2.3 Pengolahan tumbuhan
Daun bangun-bangun yang masih segar dicuci bersih kemudian
ditiriskan lalu disortasi basah dan ditimbang beratnya sebagai berat basah
(7,765 kg). Selanjutnya dikeringkan hingga kering ditandai daun mudah
diremukkan, kemudian ditimbang kembali sebagai berat kering (870 g)
kemudian diblender dan ditimbang sebagai berat serbuk simplisia. Serbuk
simplisia dimasukkan ke dalam kantong plastik, diberi etiket dan disimpan di
tempat kering. Bagan pengerjaan sampel dapat dilihat pada Lampiran 4,
3.3Skrining Fitokimia Serbuk Simplisia
Skrining fitokimia serbuk simplisia meliputi pemeriksaan alkaloida,
pemeriksaan flavonoida, pemeriksaan tanin, pemeriksaan glikosida,
pemeriksaan saponin, pemeriksaan steroid/triterpenoid.
3.3.1 Pemeriksaan alkaloida
Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 g kemudian ditambahkan 1
ml asam klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan di atas penangas air
selama 2 menit, didinginkan lalu disaring.
Filtrat dipakai untuk percobaan berikut:
a. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambahkan 2 tetes larutan pereaksi Mayer akan
terbentuk endapan berwarna putih atau putih kekuningan
b. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambahkan 2 tetes larutan pereaksi Bouchardat
akan terbentuk endapan berwarna coklat kemerahan sampai coklat
kehitaman
c. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambahkan 2 tetes larutan pereaksi Dragendorf
akan terbentuk endapan berwarna kuning jingga
Alkaloida dinyatakan positif jika terjadi endapan atau terjadi endapan paling
sedikit dua dari tiga percobaan di atas (Ditjen POM, 1995).
3.3.2 Pemeriksaan flavonoida
Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia disari dengan 10 ml metanol lalu
direfluks selama 10 menit, disaring panas-panas melalui kertas saring berlipat,
Filtrat dipakai untuk percobaan berikut:
a. Sebanyak 1 ml filtrat diuapkan hingga kering, sisanya dilarutkan dalam 1-2
ml etanol 96%, ditambahkan 0,5 g serbuk seng dan 2 ml asam klorida 2 N,
didiamkan selama satu menit. Ditambahkan 10 ml asam klorida pekat, jika
dalam waktu 2-5 menit terjadi warna merah intensif menunjukkan adanya
flavonoida (glikosida-3-flavonol)
b. Sebanyak 1 ml filtrat diuapkan hingga kering, sisanya dilarutkan dalam 1-2
ml etanol 96%, ditambahkan 0,1 g magnesium dan 10 ml asam klorida
pekat, terjadi warna merah jingga sampai warna merah ungu menunjukkan
adanya flavonoid. Jika terjadi warna kuning jingga menunjukkan adanya
flavon, kalkon, dan auron (Ditjen POM, 1995).
3.3.3 Pemeriksaan tanin
Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia disari dengan 10 ml air suling selama
15 menit kemudian disaring, filtratnya diencerkan dengan air suling sampai
hampir tidak berwarna. Diambil 2 ml filtrat dan ditambahkan 1-2 tetes
pereaksi besi (III) klorida 1%. Jika terjadi warna biru kehitaman atau hijau
kehitaman menunjukkan adanya tanin (Farnsworth, 1966).
3.3.4 Pemeriksaan glikosida
Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 3 g kemudian dimasukkan ke
dalam labu erlemeyer, ditambahkan 30 ml campuran etanol 96%-air (7:3)
ditambahkan asam sulfat pekat hingga diperoleh pH larutan 2, kemudian
direfluks dengan memakai pendingin bola selama 10 menit, kemudian
5 menit lalu disaring. Filtrat diekstraksi 3 kali, masing-masing dengan 20 ml
campuran pelarut kloroform-isopropanolol (3:2) kemudian diperoleh dua
lapisan, kumpulkan masing-masing sari (sari air dan sari pelarut organik).
Dimasukkan sari air ke dalam tabung reaksi, kemudian diuapkan di atas
penangas air, pada sisa ditambahkan 2 ml air dan 5 tetes larutan pereaksi
Molisch. Ditambahkan hati-hati 2 ml asam sulfat pekat maka akan terbentuk
cincin berwarna ungu pada batas cairan, reaksi ini menunjukkan adanya ikatan
gula (Ditjen POM, 1995).
3.3.5 Pemeriksaan saponin
Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia dimasukkan ke dalam tabung reaksi
dan ditambahkan 10 ml air suling panas, didinginkan kemudian dikocok
kuat-kuat selama 10 detik, timbul busa yang mantap tidak kurang dari 10 menit
setinggi 1-10 cm. Ditambahkan 1 tetes larutan asam klorida 2 N, bila buih tidak
hilang menunjukkan adanya saponin (Ditjen POM, 1995).
3.3.6 Pemeriksaan steroida/triterpenoida
Sebanyak 1 g serbuk simplisia dimaserasi dengan 20 ml eter selama 2
jam, lalu disaring. Filtrat diuapkan dalam cawan penguap. Pada sisa dalam
cawan penguap ditambahkan 2 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes asam
sulfat pekat. Timbul warna ungu dan merah kemudian berubah menjadi hijau
kebiruan menunjukkan adanya steroida triterpenoida (Harborne, 1987).
3.4 Karakterisasi Simplisia
penetapan kadar sari yang larut dalam etanol, penetapan kadar abu total, dan
penetapan kadar abu tidak larut asam (Ditjen POM, 1995).
3.4.1 Pemeriksaan makroskopik
Pemeriksaan makroskopik dilakukan pada simplisia segar yang
meliputi pemeriksaan bentuk, bau, rasa dan warna. Gambar simplisia dapat
dilihat pada Lampiran 2, halaman 54.
3.4.2 Penetapan kadar air simplisia
Penetapan kadar air dilakukan dengan metode Azeotropi (destilasi toluen). Alat terdiri dari labu alas 500 ml, alat penampung, pendingin, tabung
penyambung dan tabung penerima.
Cara penetapan:
Ke dalam labu bulat dimasukkan 200 ml toluen dan 2 ml air suling,
didestilasi selama 2 jam. Setelah itu toluen didinginkan dan volume air di
dalam tabung penerimaan dibaca. Kemudian di dalam labu dimasukkan 5 g
serbuk simplisia yang telah ditimbang, kecepatan tetesan air diatur, lebih
kurang 2 tetes tiap detik, hingga sebagian besar air tersuling. Kemudian
kecepatan penyulingan air di naikkan hingga 4 tetes tiap detik. Setelah 2 jam
didestilasi, kemudian toluen dibiarkan dingin, bagian dalam pendingin dibilas
dengan toluen yang telah dijenuhkan. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit,
kemudian tabung penerima dibiarkan mendingin sampai suhu kamar. Setelah
air dan toluen memisah sempurna, volume air dibaca dengan ketelitian 0,05 ml.
Selisih kedua volume air yang dibaca sesuai dengan kandungan air yang
POM, 1995). Perhitungan penetapan kadar air dapat dilihat pada Lampiran 3,
halaman 56.
3.4.3 Penetapan kadar sari yang larut dalam air
Sebanyak 5 gram serbuk yang telah dikeringkan di udara, dimaserasi
selama 24 jam dalam 100 ml air kloroform (2,5 ml kloroform dalam air suling
1000 ml) dalam labu bersumbat sambil sesekali dikocok selama 6 jam pertama,
dibiarkan selama 18 jam, kemudian disaring. Diuapkan 20 ml filtrat sampai
kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan
ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105oC sampai bobot tetap. Kadar dalam
persen sari yang larut dalam air dihitung terhadap bahan yang telah
dikeringkan di udara (Ditjen POM, 1995). Perhitungannya dapat dilihat pada
Lampiran 3, halaman 57.
3.4.4 Penetapan kadar sari yang larut dalam etanol
Sebanyak 5 gram serbuk yang telah dikeringkan di udara, dimaserasi
selama 24 jam dalam etanol 96% dalam labu bersumbat sambil sesekali
dikocok selama 6 jam pertama, dibiarkan selama 18 jam, kemudian disaring.
Diuapkan 20 ml filtrat sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata
yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105oC sampai
bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam etanol (96%) dihitung
terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Ditjen POM, 1995).
Perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 3, halaman 58.
kemudian diratakan. Kurs dipijar perlahan-lahan sampai arang habis, pemijaran
dilakukan pada suhu 600oC selama 3 jam. Kemudian didinginkan dan
ditimbang sampai diperoleh bobot tetap. Kadar abu dihitung terhadap bahan
yang telah dikeringkan di udara (Ditjen POM, 1995). Perhitungan kadar abu
total dapat dilihat pada Lampiran 3, halaman 59.
3.4.6 Penetapan kadar abu tidak larut asam
Abu yang telah diperoleh dalam penetapan abu didihkan dengan 25 ml
asam klorida encer selama 5 menit. Bagian yang tidak larut dalam asam
dikumpulkan, disaring dengan kertas masir atau kertas saring bebas abu, cuci
dengan air panas, dipijarkan sampai bobot tetap, kemudian dinginkan dan
ditimbang. Kadar abu yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap bobot
yang dikeringkan di udara (Ditjen POM, 1995). Perhitungan kadar abu yang
tidak larut dalam asam dapat dilihat pada Lampiran 3, halaman 60.
3.5 Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Bangun-Bangun
Pembuatan ekstrak etanol daun bangun-bangun dilakukan secara
maserasi dengan menggunakan pelarut etanol 96%. Serbuk simplisia
dimasukkan ke dalam wadah kemudian direndam dengan pelarut hingga
terendam sempurna lalu ditutup dan disimpan pada suhu ruangan. Diaduk
sehari sekali selama lima hari. Setelah itu dipisahkan pelarut dengan ampas
dengan cara menuangkan pelarut pada wadah lain, dan pelarut yang masih
tersisa pada ampas diremas dan disaring. Untuk memastikan proses ekstraksi
berlangsung sempurna, ampas yang telah diperas direndam kembali
sama sampai pelarut tidak berwarna. Seluruh filtrat digabungkan dan diuapkan
menggunakan rotary evaporator pada temperatur ± 40oC sampai diperoleh ekstrak kental (Depkes RI, 1974).
3.6. Karakterisasi Ekstrak Etanol Daun Bangun-Bangun
Pemeriksaan karakterisasi ekstrak etanol daun bangun-bangun meliputi
penetapan kadar air, penetapan kadar abu total, penetapan kadar abu tidak larut
dalam asam, penetapan kadar sari yang larut dalam air, dan penetapan kadar
sari yang larut dalam etanol. Pengerjaannya dilakukan seperti halnya pada
simplisia.
3.7 Uji Efek Imunomodulator
Uji efek imunomodulator meliputi penyiapan hewan percobaan,
penyiapan kontrol, bahan uji, larutan penyangga dan antigen, uji respon
hipersensitivitas tipe lambat, dan uji titer antibodi. Penyiapan kontrol, bahan
uji, larutan penyangga dan antigen meliputi penyiapan CMC 1%, penyiapan
suspensi siklofosfamida 0,5%, penyiapan suspensi ekstrak daun
bangun-bangun, penyiapan phosphate buffered saline, dan penyiapan sel darah merah domba.
3.7.1 Penyiapan hewan percobaan
Jumlah hewan coba pada penelitian ini menggunakan rumus Federer,
yaitu:
Pada rumus tersebut, t adalah jumlah perlakuan dan n adalah banyaknya
Hewan yang digunakan adalah mencit jantan dengan berat 20 - 30 g
dibagi 5 kelompok yang terdiri dari 1 kelompok kontrol negatif (CMC 1%), 1
kelompok pembanding (siklofosfamid), dan 3 kelompok uji (variasi dari
ekstrak).
Sebelum digunakan sebagai hewan percobaan, semua mencit dipelihara
terlebih dahulu selama kurang lebih satu minggu untuk penyesuaian
lingkungan, mengontrol kesehatan dan berat badan serta menyeragamkan
makanannya (Sabina, et al., 2009). Gambar hewan dapat dilihat pada Lampiran
7, halaman 66.
3.7.2 Penyiapan CMC 1%
Pembuatan suspensi CMC 1% (b/v) dilakukan dengan cara sebagai
berikut: sebanyak 250 mg CMC ditaburkan ke dalam lumpang yang berisi air
suling panas sebanyak 5 ml didiamkan selama 15 menit hingga diperoleh
massa yang transparan, digerus hingga berbentuk gel dan diencerkan dengan
sedikit air, kemudian dituang ke dalam labu tentukur 25 ml, ditambah air
suling sampai batas tanda.
3.7.3 Penyiapan Suspensi Siklofosfamid 0,5% (SS)
Pembuatan suspensi siklofosfamid 0,5% (b/v) dilakukan dengan cara
sebagai berikut: sebanyak 250 mg CMC ditaburkan ke dalam lumpang yang
berisi air suling panas sebanyak 5 ml, didiamkan selama 15 menit hingga
diperoleh masa yang transparan, digerus hingga berbentuk gel. Ditambahkan
sebanyak 125 mg siklofosfamid ke dalam lumpang, kemudian digerus sampai
3.7.4 Penyiapan Suspensi Ekstrak Etanol Daun Bangun-bangun (EEDBB)
Pembuatan suspensi ekstrak daun bangun-bangun dibuat tiga sediaan
sesuai dengan perlakuan yang akan dilakukan. Untuk dosis 250 mg/kg BB
dibuat dengan cara sebagai berikut: sebanyak 100 mg CMC ditaburkan ke
dalam lumpang yang berisi air suling panas sebanyak 2 ml. Didiamkan selama
15 menit hingga diperoleh masa yang transparan, digerus hingga berbentuk gel.
Ditambahkan sebanyak 250 mg ekstrak daun bangun-bangun ke dalam
lumpang, kemudian digerus sampai homogen. Dituang ke dalam labu tentukur
10 ml, ditambah air suling sampai batas tanda. Begitu juga untuk pembuatan
dosis 500 mg/kg BB dan750 mg/kg BB dilakukan hal yang sama.
3.7.5 Penyiapan Phosphate Buffered Saline (PBS)
Pembuatan PBS dilakukan dengan cara sebagai berikut: sebanyak 8 g
NaCl, 0,2 g KCl, 1,44 g Na2HPO4, 0,24 g KH2PO4, dilarutkan dalam 800 ml
aqua bidestilasi, kemudian dicek pH dengan indikator pH hingga pH ± 7 dan
dapat disesuaikan dengan penambahan HCl atau NaOH, tambahkan aqua
bidestilasi hingga 1 L (Rahmi, 2011).
3.7.6 Penyiapan Sel Darah Merah Domba (SDMD)
Pembuatan SDMD didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh
Puri, et al., (1993). Darah segar dikumpulkan dari domba (domba yang
digunakan adalah domba yang dipelihara di Jurusan Peternakan Fakultas
Pertanian Universitas Sumatera Utara). Darah dipisahkan dari plasmanya
SDMD 100%, ke dalam SDMD 100% ditambahkan PBS dengan volume yang
sama, hingga diperoleh SDMD 50%. Kemudian diambil 0,2 ml SDMD 50%,
tambahkan PBS hingga 10 ml, sehingga diperoleh SDMD 1%.
3.7.7 Uji Respon Hipersensitivitas Tipe Lambat
Efek imunomodulator ekstrak etanol daun bangun-bangun ditentukan
menggunakan uji respon hipersensitivitas tipe lambat dengan cara mengukur
volume pembengkakan telapak kaki hewan uji (foot paw swelling test) (Sabina, et al., 2009). Penentuan dosis dilakukan berdasarkan data orientasi yang sudah dilakukan sebelumnya.
Sebanyak 25 ekor mencit dibagi menjadi 5 kelompok dengan
pembagian sebagai berikut:
Kelompok I : diberi suspensi CMC Na 1% (b/v) sebagai kontrol negatif
Kelompok II : diberi ekstrak daun bangun-bangun dosis 250 mg/kg BB
Kelompok III : diberi ekstrak daun bangun-bangun dosis 500 mg/kg BB
Kelompok IV : diberi ekstrak daun bangun-bangun dosis 750 mg/kg BB
Kelompok V : diberi suspensi siklofosfamid dengan dosis 50 mg/kg BB
sebagai pembanding (Neha dan Mishra, 2011; Arafa, et al., 2008).
Tiap kelompok hewan percobaan diinjeksikan dengan 0,1 ml SDMD
1% dalam PBS secara i.p (intraperitonium) sebagai antigen pada hari ke-0.
Perlakuan dimulai dari hari ke-0 dan diberikan satu kali setiap hari selama 7
awal (V0). Kemudian mencit diinjeksikan dengan 0,1 ml suspensi SDMD 1%
dalam PBS secara intraplantar pada telapak kaki sebelah kanan. Pada hari
kedelapan (setelah 24 jam) diukur volume pembengkakan kaki mencit dengan
pletismometer air raksa. Pengukuran dilakukan dengan mencelupkan kaki
mencit ke dalam tabung yang berisi air raksa sampai tanda batas pengukuran.
Perubahan volume air raksa terlihat pada kenaikan skala pletismometer sebagai
volume waktu tertentu (Vt) kaki mencit. Volume pembengkakan kaki mencit
ditentukan berdasarkan selisih antara volume waktu tertentu (Vt) dengan
volume awal (V0). Gambar pembengkakan kaki mencit dapat dilihat pada
Lampiran 8, halaman 67.
3.7.8 Uji Titer Antibodi
Tiap kelompok hewan percobaan diinjeksikan dengan 0,1 ml SDMD
1% dalam PBS sebagai antigen secara intraperitoneal pada hari ke-0. Perlakuan
dimulai dari hari ke-0 dan diberikan satu kali sehari selama 7 hari. Pada hari
ke-7, sampel darah masing-masing mencit diambil melalui pembuluh darah
vena di bagian ekor. Caranya dengan modifikasi yaitu bagian ujung dari ekor
mencit disayat dengan menggunakan silet kemudian darah yang keluar disedot
dengan menggunakan spuit 1 ml, selanjutnya sampel darah dikumpulkan dalam
tabung mikro (microtube), kemudian dilakukan pemusingan 1900 rpm dengan
alat sentrifugasi pada suhu 4oC selama 10 menit dan diambil serumnya. Nilai
titer antibodi ditentukan dengan teknik hemaglutinasi. 25 µl serum diteteskan
pada suhu 37oC selama 1 jam dan diamati hemaglutinasi secara visual
(Makare, et al., 2001; Puri, et al., 1993). Nilai titer antibodi ditentukan
berdasarkan pengenceran terakhir di mana antibodi masih terdeteksi melalui
hemaglutinasi yang terlihat secara visual. Nilai titer antibodi tersebut
selanjutnya ditransformasikan dengan [2log(titer)+1] (Hargono, 2000; Rahmi,
2011). Gambar hasil hemaglutinasi dapat dilihat Lampiran 9, halaman 68.
3.8 Analisis Data
Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan program SPSS 17.
Data hasil penelitian ditentukan homogenitas dan normalitasnya untuk
menentukan analisis statistik yang digunakan. Data dianalisis dengan
menggunakan uji ANAVA satu arah untuk menentukan perbedaan rata-rata
diantara perlakuan. Jika terdapat perbedaan, dilanjutkan dengan menggunakan
uji Post Hoc Tuckey untuk mengetahui variabel mana yang memiliki
perbedaan. Berdasarkan nilai signifikansi, p < 0,05 dianggap signifikan. Data
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Identifikasi Tumbuhan
Tumbuhan yang digunakan telah diidentifikasi di Herbarium
Bogoriense Pusat Penelitian Biologi-LIPI Bogor atas nama Arnes Anestesia.
Hasil identifikasi tumbuhan yang diteliti adalah daun bangun-bangun
(Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng) suku Lamiaceae. Hasil identifikasi dapat dilihat pada Lampiran 1, halaman 53.
4.2 Skrining Fitokimia Simplisia dan Ekstrak Etanol Daun
Bangun-bangun
Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia dan ekstrak etanol daun
bangun-bangun menunjukkan adanya kandungan saponin, flavonoid, glikosida
dan steroid/triterpenoid. Hasil pemeriksaan skrining fitokimia dapat dilihat dari
[image:51.595.113.498.555.694.2]Tabel 4.2 di bawah ini.
Tabel 4.2 Hasil Pemeriksaan Skrining Fitokimia Simplisia dan Ekstrak
No Pemeriksaan Simplisia Ekstrak
1. Alkaloid - -
2. Flavonoid + +
3. Glikosida + +
4. Saponin + +
5. Tannin - -
4.3 Karakterisasi Simplisia dan Ekstrak
Hasil pemeriksaaan makroskopik (Lampiran 2, halaman 54) dari daun
bangun-bangun segar menunjukkan daun tunggal, berwarna hijau, helaian daun
berbentuk bundar telur, kadang-kadang agak membundar, helaian daun segar
tebal dan mempunyai panjang 3,5 sampai 7 cm, lebar 4 cm sampai 7 cm,
pinggir daun beringgit atau agak berombak, tangkai daun panjang 1,5 cm
sampai 3 cm, tulang daun menyirip, permukaan berambut jarang sampai tebal
seperti beludru warnanya putih, bila diremas baunya harum, rasanya agak
pedas, agak asam, getir dan membuat rasa tebal di lidah. Pada keadaan kering
helaian daun tipis dan sangat berkerut, permukaan atas kasar, warna coklat
sampai coklat tua, permukaan bawah berwarna lebih muda dari permukaan
atas.
Hasil pemeriksaan karakterisasi simplisia daun bangun-bangun
diperoleh kadar air 7,94%, kadar ini memenuhi persyaratan secara umum yaitu
kadar air daun jika tidak dinyatakan lain adalah kurang dari 10%. Kadar air
yang berlebih mempercepat pertumbuhan mikroorganisme dan hidrolisis
senyawa kimia. Untuk kadar sari yang larut dalam air 29,44%, kadar sari yang
larut dalam etanol 8,12%. jumlah kadar ini memenuhi persyaratan dari
persyaratan simplisia daun bangun-bangun yang tertera di Materia Medika
Indonesia yaitu kadar sari yang larut dalam air tidak kurang dari 29%, kadar
sari yang larut dalam etanol tidak kurang dari 5%. Penentuan kadar sari ini
sangat penting karena memberikan gambaran mengenai besarnya bahan-bahan
juga memenuhi persyaratan pada Materia Medika Indonesia yaitu kadar abu
tidak larut dalam asam tidak lebih dari 1%. Hasil penetapan kadar abu total
dari simplisia daun bangun-bangun adalah 0,87%, hasil penetapan kadar abu
total ini tidak dapat dibandingkan dengan kadar pada Materia Medika
Indonesia karena tidak terdapatnya monografi. Penetapan kadar abu bertujuan
untuk mengetahui pengotoran dari pasir atau tanah, semakin rendah kadar abu
maka mutu simplisia semakin tinggi. Hasil pemeriksaan kadar simplisia daun
[image:53.595.115.497.331.534.2]bangun-bangun dapat dilihat pada Tabel 4.3 berikut ini.
Tabel 4.3 Hasil Karakterisasi Simplisia dan Ekstrak Daun Bangun-bangun
No Penetapan
Simplisia Ekstrak
Kadar (%) Persyaratan MMI Kadar (%) Persyaratan
1 Kadar air 7,94 - 9,95 -
2 Kadar sari larut
dalam air 29,44
Tidak kurang
dari 29% 35,43 -
3 Kadar sari larut dalam etanol 8,12
Tidak kurang
dari 5% 32,33 -
4 Kadar abu total 0,87 - 1,86 -
5 Kadar abu tidak larut dalam asam 0,79
Tidak lebih dari
1% 1,14 -
Keterangan : MMI = Materia Medika Indonesia
Hasil pemeriksaan karakterisasi ekstrak daun bangun-bangun diperoleh
kadar air 9,95%, kadar sari yang larut dalam air 35,43% dan kadar sari yang
larut dalam etanol 32,33%. Penetapan kadar abu total 1,86% dan penetapan
kadar abu yang tidak larut dalam asam adalah 1,14%. Hasil penetapan kadar
monografi. Hasil pemeriksaan kadar ekstrak daun bangun-bangun dapat dilihat
pada Tabel 4.3 di atas.
Hasil penyarian 700 g serbuk simplisia daun bangun-bangun dengan
pelarut etanol 96% diperoleh ekstrak cair yang kemudian diuapkan dengan
menggunakan rotary evaporator diperoleh ekstrak kental sebesar 55,165 g (rendemen 7,88%).
4.4Pengujian Efek Imunomodulator
Pada penelitian ini, pengujian efek imunomodulator ekstrak etanol
daun bangun-bangun dilakukan dengan metode respon hipersensitivitas tipe
lambat dan titer antibodi yang digunakan untuk mengetahui pengaruh ekstrak
etanol daun bangun-bangun terhadap respon imun spesifik humoral dan
seluler. Respon imun spesifik humoral dapat dilihat dari parameter
peningkatan hemaglutinasi sedangkan respon imun seluler dilihat dari
parameter pembengkakan kaki mencit. Menurut Makare, et al., (2001), metode
tersebut mempunyai keuntungan diantaranya memungkinkan dua komponen
respon imun diukur pada spesies yang sama di bawah kondisi ideal, relatif
sederhana dan tidak mahal. Bagan pengerjaan efek imunomodulator dapat
dilihat pada Lampiran 5, halaman 62.
Pengujian dilakukan dengan cara menginduksi sel imun mencit dengan
sel darah merah domba (SDMD) secara intraperitonium pada hari ke-0.
Pemberian SDMD 1% yang digunakan sebagai antigen pada mencit
dimaksudkan untuk merangsang pembentukan antibodi spesifik. Injeksi ini
Buffered Saline) sebagai larutan pencuci dan larutan pengencer. Pencucian SDMD bertujuan untuk memperoleh sel darah merah domba yang murni
artinya tidak dicemari oleh protein serum (Kumala, 2012).
Respon hipersensitivitas tipe lambat diketahui dari volume
pembengkakan kaki mencit yang diukur pada hari ke-8 setelah sehari
sebelumnya sel imun mencit jantan diinduksikan kembali dengan SDMD
secara intraplantar. Pengukuran volume pembengkakan dilakukan dengan
menggunakan alat pletismometer air raksa.
Pengukuran nilai titer antibodi dilakukan pada hari ke-7 dengan
menggunakan metode hemaglutinasi. Hemaglutinasi adalah ikatan antara sel
darah merah sebagai antigen dengan antibodi sehingga menimbulkan suatu
gumpalan yang dapat dilihat. Pada lingkungan dengan pH netral, sel darah
merah bermuatan negatif sehingga akan terjadi aksi tolak menolak antar sel.
Oleh karena itu sel darah merah yang digunakan disuspensikan dalam larutan
penyangga dengan pH ± 7 (PBS) untuk menjaga agar sel darah merah tetap
dalam kondisi pH netral, sehingga tetap bermuatan negatif. Hemaglutinasi
terbentuk karena adanya ikatan silang antara sel darah merah dengan antibodi.
Antibodi yang mempunyai kemampuan lebih besar untuk berikatan dengan sel
darah merah adalah IgM. IgM mempunyai ukuran yang besar dan valensi yang
tinggi, sehingga dapat melawan rintangan elektrik dan membentuk ikatan
silang dengan sel darah merah sehingga menyebabkan aglutinasi. Antibodi
penelitian ini sel darah merah yang digunakan sebagai antigen adalah sel darah
merah domba (SDMD) karena memiliki muatan negatif yang lebih kuat,
sehingga kemampuannya untuk berikatan dengan antibodi semakin kuat. Data
hasil penelitian dapat dilihat pada Lampiran 10, halaman 69.
Data titer hemaglutinasi dan respon hipersensitivitas tipe lambat
dianalisa dengan menggunakan SPSS versi 17. Untuk melihat ada tidaknya
perbedaan dari setiap perlakuan pada tiap kelompok hewan coba dilakukan
analisis variansi (ANAVA), kemudian analisa dilanjutkan dengan Uji Post Hoc
Tuckey untuk mengetahui kelompok perlakuan mana yang memiliki efek yang
sama atau berbeda antara satu perlakuan dengan perlakuan yang lain untuk
semua perlakuan.
4.4.1 Respon Hipersensitivitas Tipe Lambat
Respon hipersensitivitas tipe lambat dikenal dengan reaksi
imuno-inflamasi, dimana makrofag dan sel Th1 berperan besar dalam proses tersebut
(Mukherjee, 2010). Reaksi imuno-inflamasi ditandai dengan adanya
pembengkakan pada tempat terjadinya induksi antigen. Pembengkakan terjadi
karena adanya antigen spesifik yang mengaktivasi sel T terutama sel Th1.
Aktivasi sel T menyebabkan pelepasan beberapa sitokin yang bersifat
proinflamasi. Sitokin tersebut akan menarik makrofag ke tempat terjadinya
induksi dan mengaktivasinya sehingga menyebabkan peningkatan aktivitas
fagositik untuk melawan antigen yang masuk (Sabina et, al., 2009). Penarikan
makrofag inilah yang menyebabkan terjadinya pembengkakan. Semakin besar
Hasil pengukuran volume pembengkakan kaki kanan mencit sebagai respon
terhadap hipersensitivitas tipe lambat dapat dilihat pada Gambar 4.1. berikut
ini:
Gambar 4.1 Volume Pembengkakan Kaki Mencit Pada Berbagai
Perlakuan (Rerata ± SEM)
Keterangan :
EEDBB = Ekstrak Etanol Daun Bangun-bangun SS = Suspensi Siklofosfamid
k1 = kelompok perlakuan I k2 = kelompok perlakuan II k3 = kelompok perlakuan III k4 = kelompok perlakuan IV k5 = kelompok perlakuan V
Pada Gambar 4.1 di atas terlihat bahwa EEDBB dosis 250 mg, 500
mg, 750 mg/kg BB dan suspensi siklofosfamid (SS) dosis 50 mg/kg BB
menunjukkan volume pembengkakan y