• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Kesesuaian Suaka Margasatwa Cikepuh Sebagai Habitat Kedua Badak Jawa (Rhinoceros Sondaicus Desmarest, 1822)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tingkat Kesesuaian Suaka Margasatwa Cikepuh Sebagai Habitat Kedua Badak Jawa (Rhinoceros Sondaicus Desmarest, 1822)"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

TINGKAT KESESUAIAN SUAKA MARGASATWA CIKEPUH

SEBAGAI HABITAT KEDUA BADAK JAWA

(Rhinoceros sondaicus

Desmarest,

1822

)

RIBAI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)
(4)
(5)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Tingkat Kesesuaian Suaka Margasatwa Cikepuh sebagai Habitat Kedua Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest, 1822) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2015

Ribai

(6)

RINGKASAN

RIBAI. Tingkat Kesesuaian Suaka Margasatwa Cikepuh sebagai Habitat Kedua Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest, 1822). Dibimbing oleh HADI S. ALIKODRA, BURHANUDDIN MASY’UD dan U. MAMAT RAHMAT.

Badak jawa merupakan salah satu spesies terlangka di dunia sehingga dikategorikan critically endangered oleh IUCN dan terdaftar Apendiks I dalam CITES. Kelangsungan hidup badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) terancam oleh berbagai faktor yang dapat menyebabkan satwa ini punah, seperti: invasi langkap, persaingan dengan banteng, dan penyakit. Strategi yang harus segera diupayakan dalam mempertahankan dan mengembangkan populasinya yaitu membuat habitat kedua. Strategi ini dimaksudkan untuk memperbanyak kantong-kantong habitat di luar TNUK. Kawasan Suaka Margasatwa (SM) Cikepuh sebagai salah satu kawasan yang menjadi sejarah sebaran badak jawa dipandang memiliki potensi untuk dijadikan prioritas habitat kedua. Tujuan penelitian ini antara lain: mengidentifikasi komponen habitat potensial di SM Cikepuh, mengetahui kesesuaian habitat potensial sebagai habitat kedua, dan merumuskan strategi peningkatan kesesuaian SM Cikepuh sebagai habitat kedua. Metode penelitian yang digunakan yaitu studi literatur dan observasi lapangan. Data yang dikumpulkan yaitu komponen fisik, biotik, dan tekanan manusia.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa komponen habitat di SM Cikepuh yang memiliki potensi tinggi sebagai habitat kedua terdapat pada aspek ketinggian, suhu udara, kelembaban udara, ketersediaan air, dan pH tanah. Sedangkan komponen habitat yang memiliki potensi rendah terdapat pada aspek kelerengan, kubangan, kandungan garam mineral, ketersediaan tumbuhan pakan, dan tekanan manusia. Berdasarkan observasi lapangan dan skoring menunjukkan SM Cikepuh memiliki rata-rata skor kesesuaian 21,31 sehingga sesuai sebagai habitat kedua. Luas daerah yang sesuai sebagai habitat kedua yaitu 6.886,4 ha atau 84,72% dari luas kawasan.

Strategi yang dapat dilakukan dalam peningkatan kesesuaian kawasan SM Cikepuh sebagai habitat kedua dengan mempertimbangkan aspek status kawasan, bentang alam, dan teknik yang digunakan antara lain: 1) peningkatan ketersediaan kubangan dapat dilakukan dengan cara membuat kubangan pada sumber air bebas dengan bentuk dan ukuran menyerupai kubangan badak jawa di habitat aktualnya, 2) peningkatan ketersediaan tumbuhan pakan dengan cara penanaman tumbuhan pakan badak jawa yang memiliki palatabilitas tinggi, dan 3) mengurangi tekanan manusia dilakukan melalui penegakan hukum secara tegas, penyuluhan dan pendidikan masyarakat, mengeluarkan hewan ternak dari kawasan, dan mengkaji ulang MoU mengenai penggunaan kawasan SM Cikepuh sebagai tempat latihan militer.

(7)

SUMMARY

RIBAI. Suitability Level Cikepuh Wildlife Reserves as Rhinoceros sondaicus’s

Second Habitat. Supervised by ELLY HADI S. ALIKODRA, BURHANUDDIN MASY’UD and U. MAMAT RAHMAT.

Rhinoceros sondaicus is one of the rarest species in the world it is categorized critically endangered by IUCN and listed in Appendix I of CITES. The survival of the Rhinoceros sondaicus in Ujung Kulon National Park (UKNP) are threatened by a variety of factors that could cause extinct these animals, such as: Arenga obtusifolia invasion, competition with the bull, and disease. Strategies that should be promoted in maintaining and developing the rhino population is making a second habitat. This strategy is intended to reproduce habitats outside UKNP. Cikepuh Wildlife Reserves (WR) as one of the regions into the history of the spread of the Rhinoceros sondaicus is seen to have the potential to be used priority as a second habitats. The purpose of this study include: identifying potential habitat components in Cikepuh WR, knowing the potential habitat suitability as second habitat, and formulate a strategy for improving the suitability Cikepuh WR as second habitat. The method used is the study of literature and field observations. The data collected are physical components, biotic, and human pressure.

The results showed that the habitat in Cikepuh WR components that have high potential as habitat for both are on aspects altitude, air temperature, humidity, water, and soil pH. While the habitat components that have a low potential contained in slope aspect, wallows, mineral salt content, the availability of food plants, and human pressure. Based on field observations and scoring shows Cikepuh WR had an average score of conformity amounts to 21.31 so that suitable as the second habitat. The area of the suitable as the second habitat is 6886.4 ha or 84.72% of the total area.

Strategies that can be done in improving the suitability of the habitat area of Cikepuh WR as second by considering the status of the area, the landscape, and the techniques used include: 1) an increase in the availability of puddles can be done by making a puddle on the free water source with the shape and size resembles a puddle Rhinoceros sondaicus in their actual habitat, 2) an increase in the availability of food plants by planting plants Rhinoceros sondaicus that has a high palatability and 3) efforts to reduce human pressure is done through strict enforcement, counseling and community education, rehabilitation and enrichment of degraded area, issuing farm animals from the region, and reviewing the MoU regarding the use of the area as a military Cikepuh WR.

Keywords: habitat suitability, Cikepuh Wildlife Reserve, second habitat,

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

TINGKAT KESESUAIAN SUAKA MARGASATWA CIKEPUH

SEBAGAI HABITAT KEDUA BADAK JAWA

(Rhinoceros sondaicus

Desmarest,

1822

)

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)

Judul Tesis : Tingkat Kesesuaian Suaka MargasatwaCikepuh sebagai Habitat Kedua Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest,1822)

Nama : Ribai

NIM : E351120121

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS Ketua

Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS Anggota

Dr. U. Mamat Rahmat, S.Hut, MP Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Konservasi Biodiversitas Tropika

Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc Agr

Tanggal Ujian:

(tanggal pelaksanaan ujian tesis)

Tanggal Lulus:

(tanggal penandatanganan tesis oleh Dekan Sekolah

(12)

2

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian ini yaitu Tingkat Kesesuaian Suaka Margasatwa Cikepuh sebagai Habitat Kedua Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest, 1822). Penelitian dilaksanakan di kawasan Suaka Margasatwa Cikepuh Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS, Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS, dan Dr. U. Mamat Rahmat, S.Hut, MP yang senantiasa memberikan ide, saran, dan masukan yang berharga dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Oktober 2015

(13)

3

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

2 METODE PENELITIAN 3

Waktu dan Tempat Penelitian 3

Alat Penelitian 4

Jenis Data yang Dikumpulkan 4

Metode Pengumpulan Data 5

Metode Pengolahan dan Analisis Data 7

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 9

Komponen Habitat Potensial Badak Jawa di Suaka Margasatwa Cikepuh 9 Analisis Tingkat Kesesuaian Habitat Potensial di Suaka Margasatwa

Cikepuh sebagai Habitat Kedua 28

Peningkatan Kesesuaian Kawasan Suaka Margasatwa Cikepuh 29

sebagai Habitat Kedua 29

4 SIMPULAN DAN SARAN 32

Simpulan 32

Saran 32

DAFTAR PUSTAKA 32

LAMPIRAN 35

(14)

4

DAFTAR TABEL

1 Blok penelitian di kawasan SM Cikepuh 4

2 Kriteria kesesuaian habitat kedua badak jawa dan skor parameter

(Ammann 1980, Hommel 1987, Muntasib 2002, Rahmat 2007, Rahmat

2012) 8

3 Ketinggian tempat, kelerengan lahan, suhu udara, dan kelembaban

udara di blok penelitian dan skor kesesuaian sebagai habitat kedua 14 4 Ketersediaan air, kubangan, pH tanah, dan kandungan garam mineral

di blok penelitian dan skor kesesuaian sebagai habitat kedua 20 5 Ketersediaan pakan di blok penelitian dan skor kesesuaian sebagai

habitat kedua 22

6 Tekanan manusia dan skor kesesuaian sebagai habitat kedua 26 7 Hasil perbandingan dan skoring SM Cikepuh sebagai habitat kedua 28

DAFTAR GAMBAR

1 Peta lokasi penelitian di kawasan SM Cikepuh 3

2 Blok penelitian di kawasan SM Cikepuh 3

3 Bentuk dan ukuran petak pengamatan inventarisasi vegetasi

(Soerianegara & Indrawan 1988) 6

4 Peta tingkat aksesibilitas SM Cikepuh sebagai habitat kedua 10

5 Ketinggian tempat kawasan SM Cikepuh 10

6 Peta tingkat aksesibilitas SM Cikepuh sebagai habitat kedua 11 7 Kelerengan lahan 15-25% di kawasan SM Cikepuh 12 8 Peta tingkat kesesuaian suhu udara SM Cikepuh sebagai habitat

kedua 13

9 Peta tingkat kesesuaian kelembaban udara SM Cikepuh sebagai

habitat kedua 14

10 Pengukuran suhu udara dan kelembaban udara kawasan SM Cikepuh 14 11 Peta tingkat ketersediaan air SM Cikepuh sebagai habitat kedua 16

12 Ketersediaan air di kawasan SM Cikepuh 16

13 Peta tingkat ketersediaan kubangan SM Cikepuh sebagai habitat

kedua 17

14 Potensi kubangan di kawasan SM Cikepuh 17

15 Peta tingkat kesesuaian pH tanah SM Cikepuh sebagai habitat kedua 18

16 Pengukuran pH tanah di kawasan SM Cikepuh 19

17 Peta tingkat ketersediaan garam mineral di kawasan SM Cikepuh 20 18 Pengukuran kandungan garam mineral di kawasan SM Cikepuh 21 19 Peta tingkat ketersediaan pakan SM Cikepuh sebagai habitat kedua 23

20 Ardisia humilis 23

21 Amomum coccineum 23

(15)

5

22 Anthocephalus cadamba 23

23 Ficus septica 23

24 Pemukiman 27

25 Penggembalaan 27

26 Pembalakan 27

27 Rawan kebakaran 27

28 Peta tingkat tekanan manusia di kawasan SM Cikepuh 27 29 Peta Kesesuaian SM Cikepuh sebagai habitat kedua badak jawa 29

DAFTAR LAMPIRAN

1 Ketersediaan air di SM Cikepuh 36

2 Ketersediaan potensi kubangan di SM Cikepuh 37 3 Keanekaragaman pakan badak jawa yang ditemukan di SM Cikepuh 38

4 Tekanan manusia di kawasan SM Cikepuh 40

(16)
(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Badak jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest, 1822) merupakan salah satu kekayaan hayati yang menjadi bagian dari perlindungan dan kekayaan alam dunia

(the world heritage). Satwa ini merupakan salah satu spesies terlangka di dunia (WWF 2012) sehingga dikategorikan sebagai critically endangered atau terancam punah dalam Red List yang dikeluarkan oleh IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) (IUCN 2012). Selain itu, badak jawa juga terdaftar dalam Apendiks I CITES (Convention on International Trade in Endangered Spesies of Wild Fauna and Flora) yaitu jenis yang jumlahnya sangat sedikit di alam dan dikhawatirkan akan punah sehingga tidak dibenarkan untuk perdagangkan (CITES2013).

Badak jawa sebelumnya menempati daerah penyebaran yang cukup luas, meliputi Sumatera dan hampir seluruh wilayah gunung di Jawa Barat, seperti Gunung Gede Pangrango, Gunung Salak, Gunung Tangkuban Perahu dan Gunung Ciremai (Alikodra et al. 2013). Penyebaran badak jawa di Indonesia pada masa lampau menyebar sampai Sumatera dan Jawa Tengah. Penyebaran badak jawa di kawasan Jawa Barat antara lain: Tasik Malaya (Klapa Nunggal), Garut (Cagar Alam Leuweung Sancang, Gunung Papandayan), Cianjur (Gunung Gede Pangrango), dan Sukabumi (Suaka Margasatwa (SM) Cikepuh, Taman Nasional Gunung Halimun Salak). Sedangkan di wilayah Banten, penyebaran badak jawa dahulunya ditemukan di Kabupaten Lebak (hutan tutupan Baduy, Gunung Kencana, Malingping), dan Kabupaten Pandeglang (Cikeusik dan Cibaliung, Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK).

Saat ini populasi badak jawa di dunia hanya terdapat di Indonesia (WWF 2011). Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) menjadi satu-satunya habitat yang tersisa bagi badak jawa di Indonesia (Alikodra et al. 2013) dengan populasi relatif kecil yaitu lebih kurang 58 ekor (BTNUK 2014), sedangkan populasi badak jawa yang ada di Taman Nasional Cat Tien Vietnam sudah dinyatakan punah akibat perburuan (WWF 2011).

Kelangsungan hidup badak jawa di TNUK terancam oleh berbagai faktor yang dapat menyebabkan satwa ini mengalami kepunahan, faktor-faktor ini antara lain: invasi langkap (Arenga obtusifolia) (Muntasib et al. 1997), persaingan dengan banteng (Muntasib 2000), inbreeding, dan penyakit (Tiura et al. 2006). Strategi penyelamatan dan pelestarian badak jawa sangat diperlukan dalam upaya mempertahankan dan mengembangkan populasi satwa tersebut dari ancaman kepunahan. Strategi yang harus segera diupayakan yaitu membuat habitat kedua (second habitat). Pembuatan habitat kedua dimaksudkan untuk memperbanyak kantong-kantong habitat badak jawa di luar TNUK, sehingga diharapkan satwa ini dapat berkembang dengan baik dan terhindar dari kepunahan.

(18)

2

pembanding untuk calon habitat kedua. Menurut Rahmat (2013) secara umum kawasan hutan Semenanjung Ujung Kulon TNUK masih memiliki tingkat kesesuaian yang tinggi bagi kehidupan badak jawa yaitu sebesar 89%.

Kawasan SM Cikepuh sebagai salah satu kawasan yang menjadi sejarah sebaran badak jawa dipandang memiliki potensi untuk dijadikan prioritas habitat kedua. Selain itu hasil rapid assessment tahun 2013 menyimpulkan bahwa kawasan SM Cikepuh memiliki kesesuaian tertinggi sebagai habitat kedua badak jawa. Dalam upaya mendukung pembuatan habitat kedua tersebut, diperlukan penelitian potensi secara lebih detil di kawasan SM Cikepuh untuk mengetahui komponen habitat potensial dan tingkat kesesuaiannya sebagai habitat kedua bagi badak jawa.

Perumusan Masalah

Kawasan hutan Cikepuh ditetapkan sebagai SM berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 523/Kpts/Um/10/1973 tanggal 20 Oktober 1973 dengan luas 8.127,50 ha. Kawasan hutan di SM Cikepuh merupakan ekosistem hutan hujan dataran rendah. Dengan tipe ekositem yang mendukung, kawasan SM Cikepuh memiliki keanekaragaman jenis flora dan fauna yang tinggi dan dilindung oleh pemerintah.

Sejarah penyebaran badak jawa di kawasan Jawa Barat menunjukkan bahwa satwa ini menyebar sampai di SM Cikepuh. Penyebaran badak jawa di SM Cikepuh mengindikasikan bahwa kawasan tersebut memiliki kesesuaian sebagai habitat badak jawa. Selain itu, SM Cikepuh memiliki karakteristik untuk meminimalisasi dan mengantisipasi ancaman terhadap kelangsungan hidup badak jawa. Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan yang perlu mendapatkan perhatian dalam upaya pengelolaan populasi dan habitat badak jawa antara lain: 1. Bagaimana komponen habitat potensial badak jawa di SM Cikepuh?

2. Bagaimana tingkat kesesuaian habitat potensial di SM Cikepuh sebagai habitat kedua badak jawa?

3. Bagaimana peningkatan kesesuaian SM Cikepuh sebagai habitat kedua? Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini antara lain:

1. Mengidentifikasi komponen habitat potensial badak jawa di SM Cikepuh. 2. Mengetahui tingkat kesesuaian habitat potensial di SM Cikepuh sebagai

habitat kedua badak jawa.

3. Merumuskan strategi peningkatan kesesuaian kawasan SM Cikepuh sebagai habitat kedua.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain:

1. Sebagai bahan pertimbangan bagi pengelola untuk menyiapkan calon lokasi habitat kedua badak jawa di SM Cikepuh dalam rangka mendukung upaya pelestarian badak jawa.

(19)

3

2

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian tingkat kesesuaian SM Cikepuh sebagai habitat kedua badak jawa telah dilaksanakan pada Januari sampai Maret 2014 di kawasan SM Cikepuh, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Peta lokasi penelitian di kawasan SM Cikepuh

Penelitian dilakukan pada setiap unit contoh berdasarkan blok penelitian untuk mempermudah dan memperjelas dalam melakukan pengamatan dan pengukuran. Kawasan SM Cikepuh dibagi menjadi 16 blok penelitian berdasarkan keseragaman kondisi topografi dengan batas-batas alami sungai dan bukit. Blok penelitian di kawasan SM Cikepuh disajikan pada Gambar 2 dan Tabel 1.

(20)

4

Tabel 1. Blok penelitian di kawasan SM Cikepuh No. Blok Penelitian Luas (ha)

14 Tegal Pamindangan 398,6

15 Pasir parol – Batu Nunggul 644

16 Legon Pandan 557

Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: peta kawasan SM Cikepuh, global positioning system (GPS), klinometer, termometer, hygrometer, pH indicator strips, refraktometer, meteran, pH meter tanah, tambang plastik, pita meter, diameter tape, kamera digital, perlengkapan analisis vegetasi, buku pengenal flora, tally sheet, dan alat tulis.

Jenis Data yang Dikumpulkan

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian analisis kesesuaian SM Cikepuh sebagai habitat kedua badak jawa meliputi data primer dan data sekunder.

Data Primer

Data primer merupakan data yang digunakan langsung untuk mengetahui kesesuaian habitat potensial SM Cikepuh sebagai habitat kedua badak jawa. Data primer yang dikumpulkan antara lain: komponen fisik habitat potensial di SM Cikepuh (ketinggian tempat, kelerengan, iklim mikro (suhu udara dan kelembaban udara), ketersediaan dan pH air, potensi kubangan badak, pH tanah dan garam mineral), dan komponen biotik habitat potensial di SM Cikepuh (tingkat ketersediaan tumbuhan pakan) serta tekanan manusia di kawasan SM Cikepuh. Data Sekunder

(21)

5 Metode Pengumpulan Data

Studi Literatur

Studi literatur bertujuan untuk memperoleh data dan informasi mengenai penyebaran badak jawa, populasi, habitat aktual (ketinggian, kelerengan, iklim mikro, ketersediaan air dan pH air, kubangan, pH tanah, garam mineral, dan pakan) dan kondisi umum lokasi penelitian. Pengumpulan data melalui studi literatur dilakukan dari berbagai sumber, antara lain: jurnal ilmiah tentang habitat badak jawa, jurnal ilmiah tentang genetika populasi dan strategi konservasi badak jawa, jurnal ilmiah tentang pemodelan kesesuaian habitat badak jawa, jurnal ilmiah tentang analisis preferensi habitat badak jawa, tesis tentang analisis tipologi habitat preferensial badak jawa, disertasi tentang penggunaan ruang habitat oleh badak jawa, dan internet.

Observasi Lapangan

Observasi lapangan dilakukan dengan cara mengukur dan mengamati semua parameter yang telah ditentukan di kawasan SM Cikepuh. Komponen yang diukur dan diamati yaitu komponen fisik dan komponen biotik habitat potensial di kawasan SM Cikepuh. Pengumpulan data melalui pengamatan lapang secara langsung dilakukan untuk memperoleh data dan informasi tentang komponen fisik dan biotik habitat potensial badak jawa.

Komponen Fisik Habitat

Komponen fisik habitat potensial badak jawa yang diukur dan diamati adalah ketinggian tempat, kelerengan, iklim mikro (suhu udara dan kelembaban udara), ketersediaan dan pH air, salinitas air, debit sungai, potensi kubangan badak, pH tanah, dan garam mineral. Pengukuran dan pengamatan dilakukan sebanyak tiga kali pengulangan di setiap blok pengamatan. Metode pengumpulan data yang dilakukan sebagai berikut:

1) Ketinggian tempat

Pengukuran ketinggian tempat kawasan SM Cikepuh dilakukan dengan menggunakan global positioning system (GPS).

2) Kelerengan

Pengukuran kelerengan lahan SM Cikepuh dilakukan dengan menggunakan klinometer.

3) Iklim mikro

Suhu udara diukur dengan menggunakan termometer, sedangkan kelembaban udara diukur dengan menggunakan hygrometer.

4) Ketersediaan air dan pH air

Ketersediaan air di kawasan SM Cikepuh diketahui melalui survey lapang sumber-sumber air disetiap unit contoh, data yang dikumpulkan berupa nama sungai, posisi sungai, dan tingkat ketersediaan air sungai. Sedangkan pH air diukur dengan menggunakan pH indicator strips.

5) Potensi kubangan

(22)

6

dengan menggunakan GPS selanjutnya diukur dan dicatat karakteristik potensi kubangan tersebut. Karakteristik potensi kubangan yang diukur dan dicatat meliputi: panjang, lebar, kedalaman, dan pH air.

6) pH tanah

Pengukuran kemasaman (pH) tanah di kawasan SM Cikepuh dilakukan dengan menggunakan pH meter tanah.

7) Garam mineral

Pengukuran garam mineral menggunakan alat refraktometer. Kandungan yang diamati yaitu sumber-sumber air.

Komponen Biotik Habitat

Komponen biotik habitat potensial badak jawa yang diukur dan diamati meliputi vegetasi pohon, tiang, pancang, dan tumbuhan bawah. Data-data tersebut dikumpulkan melalui analisis vegetasi. Inventarisasi bertujuan untuk mengetahui tingkat ketersediaan tumbuhan pakan badak jawa.

Analisis vegetasi dilakukan dengan menggunakan metode kombinasi antara metode jalur dan persegi panjang dengan intensitas sampling 0,1%. Panjang jalur yaitu 500 m dan lebar 20 m. Unit contoh berbentuk persegi dengan ukuran 20 m x 20 m diletakkan di dalam jalur secara sistematis (systematic line sampling) dengan jarak antar unit contoh 1.000 m. Bentuk jalur analisis vegetasi disajikan pada Gambar 3. Ukuran petak contoh dibedakan berdasarkan tingkat fase pertumbuhan antara lain (Soerianegara & Indrawan 1988):

a) Petak A berukuran 2 x 2 m2, digunakan untuk merisalah tumbuhan tingkat semai, yaitu tumbuhan mulai berkecambah sampai dengan ketinggian 1,5 m. b) Petak Bberukuran 5 x 5 m2, digunakan untuk merisalah tumbuhan tingkat

pancang, yaitu tumbuhan dengan tinggi 1,5-10 m

c) Petak C berukuran 10 x 10 m2, digunakan untuk merisalah tumbuhan tingkat tiang, yaitu tumbuhan dengan diameter batang 10-20 cm.

d) Petak D berukuran 20 x 20 m2, digunakan untuk merisalah tumbuhan tingkat pohon, yaitu tumbuhan dengan diameter batang lebih besar dari 20 cm.

D

(23)

7 Tekanan manusia di kawasan Suaka Margasatwa Cikepuh

Tekanan manusia merupakan faktor lingkungan habitat yang memiliki potensi menjadi pembatas terhadap kondisi habitat kedua badak jawa di SM Cikepuh. Identifikasi tekanan manusia dilakukan dengan eksplorasi aktifitas manusia di kawasan SM Cikepuh. Identifikasi tekanan manusia dilakukan pada aktifitas manusia yang dinilai kurang memberi dampak terhadap kondisi habitat maupun yang dapat mengancam kehidupan satwa liar dan habitatnya, seperti pengambilan kayu bakar, pemancingan, perburuan, perambahan, penggembalaan, kebakaran hutan, pergeseran tata batas, dan izin penggunaan kawasan. Penentuan letak posisi potensi tekanan manusia dilakukan dengan menggunakan GPS.

Metode Pengolahan dan Analisis Data

Analisis Komponen Fisik Habitat

Data yang diperoleh dari hasil pengukuran dan pengamatan disajikan dalam bentuk tabulasi dan dianalisis secara deskriptif kualitatif. Komponen fisik habitat potensial badak jawa yang akan dianalisis terdiri dari ketinggian tempat, kelerengan, iklim mikro (suhu udara dan kelembaban udara), ketersediaan dan pH air, salinitas air, potensi kubangan badak, pH tanah, dan garam mineral.

Analisis Komponen Biotik Habitat

Data tumbuhan yang dikumpulkan dari lapangan, digunakan untuk mengetahui tingkat ketersediaan tumbuhan pakan badak jawa. Tingkat ketersediaan tumbuhan pakan ini dihitung berdasarkan indeks nilai penting (INP) dari jenis tumbuhan pakan yang ditemukan. Perhitungan indeks nilai penting dilakukan dengan rumus sebagai berikut (Soerianegara & Indrawan 1988).

Untuk vegetasi fase pancang, tiang, dan pohon: Untuk fase tumbuhan bawah:

Keterangan:

x 100%

x 100%

(24)

8

Analisis tekanan manusia di kawasan Suaka Margasatwa Cikepuh

Data mengenai tekanan manusia (pengambilan kayu bakar, pemancingan, perburuan, perambahan, penggembalaan liar, kebakaran hutan, pergeseran tata batas, dan izin penggunaan kawasan) yang diperoleh dari hasil eksplorasi disajikan dalam bentuk tabulasi dan dianalisis secara deskriptif kualitatif, sehingga dapat diketahui potensi tekanan terhadap kawasan SM Cikepuh.

Analisis Tingkat Kesesuaian Habitat Potensial di Suaka Margasatwa Cikepuh sebagai Habitat Kedua

Tingkat kesesuaian habitat potensial di SM Cikepuh sebagai habitat kedua badak jawa dianalisis dengan cara melakukan perbandingan antara habitat aktual badak jawa di TNUK terhadap habitat potensial SM Cikepuh. Aspek yang dibandingkan merupakan persyaratan hidup badak jawa pada habitat aktualnya, sehingga badak akan merasa aman dan nyaman di habitat kedua.

Aspek-aspek yang dibandingkan dalam analisis habitat potensial di SM Cikepuh sebagai habitat kedua antara lain: ketinggian, kemiringan, suhu udara kelembaban udara, ketersediaan air, potensi kubangan, pH tanah, garam mineral, ketersediaan pakan, dan tekanan manusia. Aspek-aspek habitat badak jawa yang dibandingkan selanjutnya diskoring, sehingga dapat diketahui tingkat kesesuaian kawasan SM Cikepuh sebagai habitat kedua badak jawa. Skor kesesuaian habitat kedua didapatkan dari perhitungan sebagai berikut:

Kategori kesesuaian habitat kedua yaitu: Skor 30 : sangat sesuai Skor 20-29 : sesuai atau tinggi Skor 10-19 : tidak sesuai atau rendah

Kriteria kesesuaian habitat badak jawa dan skor dari masing-masing parameter disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Kriteria kesesuaian habitat kedua dan skor parameter (Ammann 1980, Hommel 1987, Muntasib 2002, Rahmat 2007, Rahmat 2012)

Parameter Kriteria Skor

(25)

9 Tabel 2. Lanjutan

Parameter Kriteria Skor

Ketersediaan air

Dalam 10 km2 ditemukan

lebih dari satu sumber air bebas 3

Dalam 10 km2 ditemukan satu sumber air bebas 2 Dalam 10 km2 tidak ditemukan sumber air bebas 1 Potensi

kubangan

Dalam 10 km2 ditemukan >1 potensi kubangan 3 Dalam 10 km2 ditemukan satu potensi kubangan 2 Dalam 10 km2 tidak ditemukan potensi kubangan 1 Kemasaman

Rata-rata INP tumbuhan pakan badak jawa > 80% 3 Rata-rata INP tumbuhan pakan badak jawa 40-80% 2 Rata-rata INP tumbuhan pakan badak jawa <40% 1

Tekanan manusia

Tidak ditemukan adanya tekanan manusia 3 Ditemukan tekanan manusia yang dinilai kurang

memberi dampak terhadap kondisi habitat, seperti: pengambilan kayu bakar, buah, daun, dan ikan

2 Ditemukan tekanan manusia yang mengancam satwa

maupun kerusakan habitat, seperti perburuan,

penggembalaan, perambahan, kebakaran, pemukiman

1

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

Komponen Habitat Potensial Badak Jawa di Suaka Margasatwa Cikepuh

Komponen Fisik Ketinggian Tempat

Ketinggian tempat merupakan salah satu komponen fisik habitat yang mempengaruhi kehidupan badak jawa, karena satwa ini cenderung menempati daerah yang relatif datar (Muntasib 2002). Hasil pengukuran ketinggian tempat di 16 blok penelitian kawasan SM Cikepuh menunjukkan bahwa ketinggian tempat di kawasan ini berkisar antara 0 – 118 mdpl. Ketinggian tempat dan skor kesesuaian sebagai habitat kedua badak jawa di blok penelitian disajikan pada Tabel 3 dan peta tingkat aksesibilitas SM Cikepuh sebagai habitat kedua disajikan pada Gambar 4. Dari hasil pengukuran menunjukkan bahwa kawasan SM Cikepuh tergolong daerah yang mudah didatangi, karena didominasi daerah pada ketinggian 0-100 mdpl, sedangkan daerah tergolong sangat sulit didatangi tidak terdapat di kawasan ini.

(26)

10

92,30 % dari luas kawasan SM Cikepuh dan daerah yang sulit didatangi (skor 2) dengan luas 625,8 ha atau 7,70% dari luas kawasan SM Cikepuh. Ketinggian tempat kawasan SM Cikepuh disajikan pada Gambar 5. Menurut pernyataan Hommel (1987) bahwa syarat pertama yang diperlukan dari suatu kawasan untuk dijadikan sebagai habitat badak jawa yaitu tingkat kemudahnnya untuk didatangi. Hommel (1987) menambahkan bahwa kawasan yang mudah didatangi oleh badak jawa yaitu mempunyai ketinggian berkisar 0-100 mdpl.

Gambar 4. Peta tingkat aksesibilitas SM Cikepuh sebagai habitat kedua

Gambar 5. Ketinggian tempat kawasan SM Cikepuh

(27)

11 beradaptasi di lingkungan dataran rendah dibandingkan daerah pegunungan. Sadjudin dan Djaja (1984) menyatakan bahwa sebaran badak jawa di Semenanjung Ujung Kulon terkonsentrasi di lokasi-lokasi yang memiliki ketinggian berkisar antara 0-100 m dpl.

Badak jawa lebih beradaptasi di lingkungan dataran rendah dan bahkan tidak pernah ditemukan di daerah perbukitan dikarenakan bobot badan satwa ini dapat mencapai 2.280 kg, sehingga sangat sulit untuk mendatangi daerah perbukitan atau dataran tinggi. Untuk mencapai dataran tinggi badak jawa harus menyusuri garis kontur yang akan memperjauh jarak tempuh, sehingga badak jawa lebih memilih daerah dataran rendah untuk memenuhi kebutuhannya.

Kelerengan Tempat

Kelerengan tempat merupakan komponen fisik habitat yang sangat penting bagi kelangsungan hidup badak jawa. Komponen ini menjadi prasyarat bagi kesesuaian habitat badak jawa, hal ini dikarenakan kelerengan tempat merupakan variabel fisik habitat yang sulit dilakukan manipulasi atau akan sangat membutuhkan biaya yang sangat tinggi apabila akan dijadikan datar atau landai (kelerengan di bawah 25%) (Rahmat 2013). Hasil pengukuran kelerengan tempat di 16 blok penelitian SM Cikepuh menunjukkan bahwa kelerengan tempat di kawasan ini berkisar antara 0-54%. Kelerengan tempat dan skor kesesuaian sebagai habitat kedua di blok penelitian disajikan pada Tabel 3 dan peta tingkat aksesibilitas SM Cikepuh sebagai habitat kedua disajikan pada Gambar 6.

Hasil pengukuran menunjukkan bahwa daerah dengan kelerengan yang tergolong mudah didatangi badak jawa (skor 3) yaitu pada kelerengan 0-15% terdapat 5 blok penelitian dengan total luas 2.239,2 ha atau 27,55% dari luas SM Cikepuh, pada daerah dengan kelerengan sulit didatangi yaitu kelerengan 15-25% (skor 2) dengan luas 1.852,9 ha atau 22,79% dari luas SM Cikepuh. Sedangkan luas kawasan yang memiliki kelerengan yang tergolong sangat sulit didatangi, yaitu kelerengan 25-45% (skor 1) dengan luas 4.035,4 ha atau 49,65% dari total luas SM Cikepuh. Kelerengan tempat SM Cikepuh disajikan pada Gambar 6.

(28)

12

Gambar 7. Kelerengan lahan 15-25% di kawasan SM Cikepuh

Menurut Hommel (1987) bahwa kawasan yang mudah didatangi oleh badak jawa yaitu mempunyai kelerengan tempat berkisar antara 0-15%, kelerengan sulit didatangi yaitu berkisaran antara 15-25% dan kawasan tergolong sangat sulit didatangi, yaitu kelerengan 25-45%. Blok penelitian yang memiliki kelerengan paling landai terletak di blok Ciawet – Rimpak Harikukun yaitu berkisar antara 5-8%, sedangkan blok pengamatan yang paling curam terletak di blok Cibanteng yaitu berkisar antara 0-54%. Menurut Rahmat et al. (2008) dan Muntasib (2002) jejak badak sering ditemukan di kawasan TNUK berada pada daerah yang mempunyai kelerengan antara 0-8% sedangkan pada kelerengan 25-45% tidak ditemukan. Rahmat et al. 2008 menambahkan bahwa daerah yang menjadi konsentrasi bagi badak jawa yaitu daerah-daerah yang relatif landai dengan kelerengan berkisar antara 0-8%.

Rahmat et al. (2012) menyatakan badak jawa akan mendatangi daerah perbukitan yang agak curam (15-25%) dengan cara menyusuri garis kontur bukan tegak lurus terhadap kontur. Hal ini dikarenakan bobot badan badak jawa dapat mencapai 2.280 kg (Hoogerwerf 1970) sehingga sangat sulit untuk mendatangi daerah yang curam atau terjal. Cara badak jawa menyusuri garis kontur saat mendatangi daerah perbukitan yang agak curam akan memperjauh jarak tempuh untuk memenuhi kebutuhannya, sehingga kelerengan (slope) merupakan faktor pembatas bagi sebaran pemanfaatan oleh badak jawa pada suatu habitat.

Iklim Mikro

Iklim merupakan keadaan yang mencirikan atmosfer suatu daerah dalam jangka waktu yang lama (Handoko 1995). Iklim mikro sangat erat kaitannya dengan kesesuaian habitat badak jawa, karena berpengaruh terhadap perilaku, daya tahan tubuh, dan ukuran tubuh. Pengamatan iklim mikro di kawasan SM Cikepuh meliputi suhu udara dan kelembaban udara. Hasil pengukuran suhu udara dan kelembaban udara di 16 blok penelitian diuraikan sebagai berikut:

Suhu Udara

(29)

13 berpengaruh terhadap perilaku dan ukuran tubuh satwaliar (Alikodra 2002). Suhu udara berubah sesuai dengan tempat dan waktu. Pada umumnya suhu maksimum terjadi sesudah tengah hari, yaitu antara pukul 12.00-14.00, sedangkan suhu minimum terjadi pukul 06.00 waktu lokal atau sekitar matahari terbit. Pengukuran suhu udara di blok penelitian kawasan SM Cikepuh dilakukan pada pukul 13.00 dan pukul 06.00. Pengukuran suhu udara meliputi suhu udara rataan harian, suhu udara minimum, dan suhu udara maksimum. Hasil pengukuran suhu udara dan skor kesesuaian sebagai habitat kedua di blok penelitian disajikan pada Tabel 3 dan peta kesesuaian suhu udara sebagai habitat kedua disajikan pada Gambar 8.

Hasil pengukuran menunjukkan bahwa suhu udara minimal di SM Cikepuh yaitu 23o C, sedangkan suhu udara maksimal yaitu 34o C. Kawasan yang memiliki rataan suhu udara yang tergolong sangat sesuai sebagai habitat badak jawa yaitu 26-29o C (skor 3) memiliki luas 7.501,7 ha atau 92,30% dari total kawasan SM Cikepuh, sedangkan kawasan yang tersisa yaitu 625,8 ha atau 7,70% dari total luas kawasan SM Cikepuh tergolong sesuai (skor 2). Berdasarkan penelitian Rahmat et al. (2008) bahwa habitat aktual badak jawa di Semenanjung Ujung Kulon, TNUK memiliki suhu udara rata-rata harian berkisar antara 26,2 – 28,7°C.

Gambar 8. Peta tingkat kesesuaian suhu udara SM Cikepuh sebagai habitat kedua Kelembaban Udara

(30)

14

Gambar 9. Peta tingkat kesesuaian kelembaban udara SM Cikepuh sebagai habitat kedua

Gambar 10. Pengukuran suhu udara dan kelembaban udara kawasan SM Cikepuh Tabel 3. Ketinggian tempat, kelerengan lahan, suhu udara, dan kelembaban udara

di blok penelitian dan skor kesesuaian sebagai habitat kedua

Blok Penelitian Kt S Kl S Suhu S KU S

Mn Mx Mn Mx

Hujungan – Cipanarikan 0-24 3 5-8 3 23 30 3 56 90 2

Pesawahan 25-27 3 0-10 3 23 34 3 65 87 3

Citireum – Leuwi Urug 0-36 3 5-10 3 24 30 3 58 90 2

Cibulakan 0-35 3 5-15 3 24 30 3 69 90 3

Cikepuh 0-47 3 9-15 3 24 34 3 65 85 3

Tegal Pamindangan 0-50 3 9-20 2 23 30 3 69 90 3

Talun – Batu Masigit 23- 61 3 0-22 2 25 34 2 60 90 3

Legon Pandan 0-65 3 0-25 2 24 32 3 65 90 3

Pasir parol – Bt Nunggul 0-65 3 0-27 1 24 27 3 62 90 3

Cigadung 35-65 3 5-28 1 23 28 3 79 90 3

(31)

15 kelembaban udara minimal (%); dan Mx: kelembaban udara maksimal (%).

Ketersediaan Air dan pH Air

Badak jawa membutuhkan air untuk minum, mandi dan berkubang. Menurut Alikodra (2002), satwaliar memerlukan air untuk berbagai proses pencernaan makanan dan metabolisme, mengangkut bahan-bahan sisa dan untuk pendinginan dalam proses evaporasi. Air merupakan salah satu komponen penting bagi kehidupan badak jawa yang digunakan untuk minum, mandi dan berkubang (Muntasib 2002). Alikodra (2002) juga menyatakan bahwa badak jawa termasuk satwaliar yang bergantung pada air untuk proses pencernaan makanan, mandi dan berkubang.

Ketersediaan air di kawasan SM Cikepuh tersedia sepanjang tahun, baik pada musim penghujan maupun musim kemarau. Pada saat musim penghujan air tersebar merata diseluruh kawasan SM Cikepuh, sedangkan pada musim kemarau air masih tersedia pada sungai-sungai besar. Berdasarkan hasil pengukuran pH air sungai di kawasan SM Cikepuh, rata-rata pH air di kawasan ini berkisar antara 7-8 (Lampiran 1). Berdasarkan hasil penelitian Rahmat et al. (2008) rata-rata pH air di 15 lokasi sumber air habitat badak jawa berkisar antara 6-8 pada sungai dan hasil penelitian Muntasib (2002), pH air rata-rata di habitat badak jawa berkisar antara 6,65-7,80. Hal ini menunjukkan bahwa pH air di kawasan SM Cikepuh memiliki kesesuaian yang tinggi sebagai habitat kedua. Hasil inventarisasi sungai dan skor kesesuaian sebagai habitat kedua di kawasan SM Cikepuh disajikan pada Tabel 4 dan peta tingkat ketersediaan air SM Cikepuh sebagai habitat kedua disajikan pada Gambar 11. Ketersediaan air di SM Cikepuh disajikan pada Gambar 12.

(32)

16

Gambar 11. Peta tingkat ketersediaan air SM Cikepuh sebagai habitat kedua

Gambar 12. Ketersediaan air di kawasan SM Cikepuh Kubangan

Kubangan merupakan komponen fisik habitat badak jawa yang sangat penting bagi perilaku kehidupan badak jawa. Badak jawa memanfaatkan kubangan tidak hanya sebagai tempat berkubang, melainkan tempat yang berfungsi untuk minum, membuang kotoran dan membuang urin (Hoogerwerf 1970). Menurut Amman (1985) fungsi utama berkubang adalah untuk menjaga agar kulit badak tetap lembab, mengatur suhu tubuh dan mengurangi tingkat infeksi oleh parasit. Kubangan merupakan salah satu komponen fisik habitat dengan fungsi sangat erat dalam proses penyesuaian perubahan lingkungan.

(33)

17 Kulon bersifat asam yaitu 4,8. Hal ini menunjukkan bahwa pH kubangan di kawasan SM Cikepuh memiliki kesesuaian sebagai habitat kedua.

Hasil inventarisasi kubangan menunjukkan bahwa kawasan SM Cikepuh memiliki potensi ketersediaan kubangan bagi badak jawa yang cukup rendah (Lampiran 2). Berdasarkan hasil inventarisasi menunjukkan bahwa kawasan SM Cikepuh memiliki potensi kubangan sebanyak 14 kubangan yang tersebar di 3 blok penelitian. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kawasan yang memiliki banyak potensi kubangan merupakan daerah dengan tutupan lahan hutan sekunder dan semak belukar. Hasil inventarisasi kubangan dan skor kesesuaian sebagai habitat kedua disajikan pada Tabel 4 dan peta tingkat ketersediaan kubangan SM Cikepuh sebagai habitat kedua disajikan pada Gambar 13. Sedangkan kondisi kubangan di kawasan SM Cikepuh disajikan pada Gambar 14.

Gambar 13. Peta tingkat ketersediaan kubangan SM Cikepuh sebagai habitat kedua

Gambar 14. Potensi kubangan di kawasan SM Cikepuh

(34)

18

potensi kubangan (skor 3) memiliki luas 1.125,8 ha atau 13,85% dari total luas

kawasan SM Cikepuh. Daerah yang tergolong sesuai sebagai habitat badak jawa yaitu dalam 10 km2 ditemukan satu genangan air atau potensi kubangan (skor 2) memiliki luas 593,3 ha atau 7,29% dari total luas kawasan SM Cikepuh, sedangkan daerah yang tergolong tidak sesuai sebagai habitat badak jawa yaitu dalam 10 km2 tidak ditemukan genangan air atau potensi kubangan (skor 1) memiliki luas 6.408,4 ha atau 78,86% dari total luas SM Cikepuh.

Tanah

Tanah merupakan tempat tumbuh pakan badak jawa sehingga memiliki peran sangat penting bagi kelangsungan hidup badak jawa. Menurut Rahmat et al.

(2008) bahwa badak jawa cenderung mendatangi daerah yang memiliki pHtanah yang rendah. Hal ini diduga karena tanah yang memiliki pHrendah lebih banyak ditumbuhi dengan tumbuhan bawah, semak belukar, dan arealnya cenderung terbuka. Menurut Rahmat et al. (2008) bahwa badak jawa cenderung mendatangi daerah-daerah yang memiliki pH tanah yang rendah yaitu berkisar antara 4-5. Hasil pengukuran pH tanah di blok penelitian dan skor kesesuaian sebagai habitat kedua badak jawa disajikan pada Tabel 4 dan peta tingkat kesesuaian pH tanah SM Cikepuh disajikan pada Gambar 15.

Gambar 15. Peta tingkat kesesuaian pH tanah SM Cikepuh sebagai habitat kedua Hasil pengukuran pH tanah di kawasan SM Cikepuh menunjukkan bahwa pH tanah di kawasan ini tergolong sangat asam dan agak asam yaitu berkisar antara 3,8-6,8. Tanah hutan yang dominan memiliki keasaman sedang sampai tinggi merupakan hasil dari pelepasan asam organik selama dekomposisi dari lapisan serasah dan efek dari pencucian dari permukaan tanah mineral.

(35)

19 Sedangkan daerah tergolong tidak sesuai sebagai habitat badak jawa yaitu dengan pH tanah <4 (skor 1) memiliki luas 325,1 ha atau 4,01% dari luas SM Cikepuh. Pengukuran pH tanah di kawasan SM Cikepuh disajikan pada Gambar 16.

Gambar 16. Pengukuran pH tanah di kawasan SM Cikepuh Kandungan Garam Mineral

Kandungan garam mineral merupakan kadar garam terlarut dalam air. Menurut Amman (1985) badak jawa membutuhkan garam mineral khususnya sodium, unsur yang langka terdapat dalam tanaman. Badak jawa mengunjungi pantai, rawa, dan sungai yang airnya payau untuk memenuhi kebutuhan garam mineral, hal ini sama dengan herbivora lainnya seperti banteng dan rusa. Hasil pengukuran kandungan garam mineral pada air di blok penelitian dan skor kesesuaian sebagai habitat kedua badak jawa di kawasan SM Cikepuh disajikan pada Tabel 4 dan peta tingkat ketersediaan garam mineral di kawasan SM Cikepuh sebagai habitat kedua disajikan pada Gambar 17. Kandungan garam dipengaruhi oleh pasang surut, curah hujan, penguapan, dan topografi suatu daerah aliran sungai. Akibatnya, kandungan garam suatu perairan dapat sama atau berbeda dengan perairan lainnya, misalnya perairan darat, laut dan payau.

(36)

20

Tabel 4. Ketersediaan air, kubangan, pH tanah, dan kandungan garam mineral di blok penelitian dan skor kesesuaian sebagai habitat kedua

Blok Penelitian ∑Si S ∑K S pH Th S GM S

Kisaran R

Hujungan – Cipanarikan 1 2 - 1 5,5-6,5 6 2 0,1 1

Talun – Batu Masigit 2 3 - 1 5,5-6,3 5,9 3 0,1 1

Citireum – Leuwi Urug 3 3 - 1 5,5-6,5 6 2 0,1 1

Cibabi – Nyalindung 2 3 - 1 5,8-6,0 5,9 3 - 1

Cikakar – Citapen 1 2 - 1 5,5-6,4 5,95 3 - 1

Cibuaya – Lp Lancar 2 3 7 3 4,1-4,5 4,3 3 0,1-0,2 1

Pasir Perahu – Gg Putri 2 3 6 3 5,5-5,9 5,7 3 - 1

Ciawet – Rk Harikukun 1 2 - 1 5,5-6,3 5,9 3 - 1

Cibulakan 1 2 1 2 5-6 5,5 3 0,2-0,5 2

Pesawahan 1 2 - 1 3,8-4,0 3,9 1 0,2-0,5 2

Cikepuh 3 3 - 1 3,8-6,8 5,3 3 0,1 1

Tegal Pamakanan 1 2 - 1 5,5-5,9 5,7 3 - 1

Cigadung 1 2 - 1 5,5-6,3 5,9 3 - 1

Tegal Pamindangan 1 2 - 1 4-6,8 5,4 3 - 1

Ps Parol – Bt Nunggul 2 3 - 1 5,5-5,7 5,6 3 13-17,1 3

Legon Pandan 1 2 - 1 5,5-5,7 5,6 3 - 1

Keterangan:

∑Si: jumlah sungai; S: skor; ∑jumlah kubangan; R: rataan pH tanah; dan KGr: kandungan garam mineral (‰)

(37)

daun-21 daun pakan badak disekitar pantai mengandung lapisan garam akibat mengadsorpsi garam mineral dari air laut yang terbawa angin laut ke darat. Pengukuran kandungan garam mineral di kawasan SM Cikepuh disajikan pada Gambar 18.

Gambar 18. Pengukuran kandungan garam mineral di kawasan SM Cikepuh Komponen Biotik Habitat

Ketersediaan Tumbuhan Pakan

Komponen biotik yang sangat penting bagi kehidupan badak jawa adalah tumbuhan pakan. Tumbuhan pakan mengandung nutrisi dan gizi bagi badak untuk menjalankan aktifitas dan berkembang biak. Hal ini menyebabkan tumbuhan pakan merupakan salah satu faktor pembatas bagi pertumbuhan populasi badak jawa. Berdasarkan hasil analisis vegetasi yang dilakukan di kawasan SM Cikepuh, ditemukan 157 spesies tumbuhan yang terdiri dari tingkat tumbuhan bawah, semai, pancang, tiang dan pohon. Dari 157 spesies tumbuhan yang ditemukan terdapat 107 (68%) spesies yang merupakan sumber pakan bagi badak jawa (Lampiran 3). Dari jumlah tersebut terdapat delapan jenis pakan yang disukai oleh badak jawa, antara lain:

1. Lampeni (Ardisia humilis) 2. Tepus (Amomum coccineum) 3. Cente (Lantana camara) 4. Sulangkar (Leea sambucina) 5. Bangban (Donax cannaeformis) 6. Kedondong hutan (Spondias pinnata) 7. Waru (Hibiscus tiliaceus)

8. Rotan seel (Daemonorops melanochaetis)

(38)

22

Tabel 5. Ketersediaan pakan di blok penelitian dan skor kesesuaian sebagai habitat kedua

Rehabilitasi Pasir Perahu-Gg Putri

Pohon 11 4 76,56

1

Tiang 4 2 20,32

Pancang 3 2 19,42

Rata-rata 38,76

(39)

23 tidak sesuai sebagai habitat badak jawa yaitu dalam lokasi penelitian ditemukan rata-rata INP tumbuhan pakan badak jawa kurang dari 40% (skor 1) sebanyak 3 blok penelitian dengan luas 1.332,9 ha atau 16,41% dari total kawasan. Peta tingkat ketersediaan pakan SM Cikepuh sebagai habitat kedua disajikan pada Gambar 19. Contoh jenis tumbuhan pakan yang teridentifikasi disajikan pada Gambar 20, Gambar 21, Gambar 22, dan Gambar 23.

Gambar 19. Peta tingkat ketersediaan pakan SM Cikepuh sebagai habitat kedua

Gambar 20. Ardisia humilis Gambar 21. Amomum coccineum

(40)

24

Hoogerwerf (1970) menyatakan bahwa badak jawa adalah salah satu jenis mamalia herbivora besar dan berdasarkan jenis makanannya dapat digolongkan kedalam jenis satwa browser. Jenis makanannya adalah pucuk-pucuk daun baik tumbuhan pohon maupun semak belukar, ranting, kulit kayu dan liana. Menurut Hoogerwerf (1970) dan Schenkel dan Schenkel-Hulliger (1969), terdapat 150 jenis tumbuhan pakan badak jawa di TNUK. Penelitian lain menunjukkan bahwa terdapat 190 jenis tumbuhan pakan (Amman 1985) dan 252 jenis tumbuhan (Muntasib 2002) di TNUK. Rahmat et al. (2008) menyatakan bahwa jumlah jenis tumbuhan sebanyak 231 jenis dan 184 (80%) jenis di antaranya berpotensi sebagai hijauan sumber pakan badak jawa. Perbedaan jumlah jenis tumbuhan pakan badak yang ditemukan di TNUK disebabkan karena perbedaan waktu pelaksanaan penelitian, sehingga jenis tumbuhan di TNUK mengalami perubahan secara alami. Tekanan manusia di kawasan Suaka Margasatwa Cikepuh

Berdasarkan hasil eksplorasi di kawasan SM Cikepuh, didapatkan beberapa bentuk tekanan manusia yang berpotensi menjadi faktor pembatas terhadap habitat kedua badak jawa di SM Cikepuh. Parameter tekanan manusia dikategorikan menjadi tiga yaitu kawasan tidak ditemukan adanya tekanan manusia (skor 3), kawasan ditemukan tekanan manusia yang dinilai kurang memberi dampak terhadap kondisi habitat, seperti: pengambilam, kayu bakar, buah, daun, dan ikan (skor 2), dan kawasan ditemukan tekanan manusia yang dapat mengancam kehidupan satwa maupun kerusakan habitat, seperti perburuan, penggembalaan, perambahan, perladangan, kebakaran hutan, pemukiman, dan perkebunan.

Hasil eksplorasi menunjukkan bahwa sebagian besar daerah atau blok penelitian di kawasan SM Cikepuh ditemukan bentuk tekanan manusia yang dapat mengancam kehidupan satwa maupun kerusakan habitat (Lampiran 5). Sedangkan daerah yang aman atau tidak terdapat adanya tekanan manusia tidak ditemukan di kawasan SM Cikepuh. Hal ini menunjukkan bahwa kawasan SM Cikepuh mengalami tingkat tekanan manusian yang sangat tinggi. Tekanan manusia di kawasan SM Cikepuh antara lain:

1) Penggembalaan liar

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terdapat aktifitas penggembalaan liar di dalam kawasan SM Cikepuh oleh masyarakat sekitar hutan. Jenis ternak yang digembalakan oleh masyarakat yaitu kerbau dan sapi. Dari 16 blok penelitian, 10 blok penelitian telah dijadikan sebagai tempat penggembalaan (Tabel 6). Jumlah hewan ternak yang digembalakan di dalam kawasan berjumlah lebih kurang 60 ekor, jenis sapi lebih kurang 24 ekor dan jenis kerbau lebih kurang 26 ekor. Jumlah ini meningkat dari tahun 2012 yang sebelumnya kurang dari 10 ekor setelah dilakukan pengeluaran hewan ternak dari kawasan.

(41)

25 maupun pakan. Selain itu hewan ternak yang digembalakan dapat berpotensi menyebarkan penyakit yang dapat menyerang satwa liar di dalam kawasan. 2) Perburuan liar

Hasil pengamatan menunjukkan terdapat aktifitas perburuan liar di kawasan SM Cikepuh yaitu di Blok Talun – Batu Masigit dan Blok Cigadung. Luas kawasan yang mengalami tekanan dari aktifitas perburuan yaitu 249,75 ha. Perburuan liar dilakukan oleh masyarakat sekitar kawasan yaitu berasal dari Desa Pangumbahan, Gunung Batu, Sida Mulya, Bandar Jaya, dan Cibenda. Satwa liar yang diburu oleh masyarakat yaitu spesies burung. Hasil buruan oleh masyarakat dijual untuk memenuhi kebutuhan ekonomi.

3) Perambahan hutan

Hasil pengamatan menunjukkan tingkat perambahan hutan di dalam kawasan SM Cikepuh sangat tinggi. Berdasarkan hasil eksplorasi menunjukkan 10 blok penelitian ditemukan aktifitas perambahan hutan (Tabel 6). Luas kawasan yang mengalami tekanan perambahan hutan yaitu 1.119,125 ha. Perambahan hutan yang ditemukan di kawasan SM Cikepuh didominasi oleh pengambilan kayu bakar. Masyarakat memotong kayu-kayu kering yang terdapat di dalam kawasan hutan. Masyarakat memanfaatkan kayu bakar untuk memproduksi gula merah. Aktifitas pengambilan kayu bakar di dalam kawasan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, hal ini dikarenakan kawasan SM Cikepuh berbatasan langsung dengan perkebunan kelapa yang memproduksi gula merah, sehingga untuk memenuhi kebutuhan kayu bakar tidak sedikit masyarakat yang mengambil kayu bakar di dalam kawasan hutan.

4) Pemancingan

Pemancingan yang dilakukan di sekitar kawasan SM Cikepuh merupakan kegiatan yang intensitasnya sangat tinggi, dikarenakan sebagian besar kawasan ini dikelilingi oleh laut. Hasil eksplorasi menunjukkan sembilan blok penelitian ditemukan aktifitas pemancingan (Tabel 6). Luas kawasan yang mengalami tekanan aktifitas pemancingan yaitu 1.310,1 ha. Pemancingan dilakukan oleh masyarakat sekitar kawasan yaitu berasal dari Desa Gunung Batu, Sida Mulya, Pangumbahan, Bandar Jaya, dan Cibenda. Pemancingan dilakukan hampir setiap hari oleh masyarakat dengan jumlah mencapai 15 orang dalam 1 hari. Masyarakat memanfaatkan hasil dari pemancingan untuk diperjual belikan dan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kegiatan pemancingan sangat berpotensi menjadi ancaman bagi satwa liar dan habitatnya karena masyarakat telah terbiasa memasuki kawasan menggunakan kendaraan bermotor.

5) Permukiman

Hasil eksplorasi menemukan permukiman di dalam kawasan SM Cikepuh yang dibangun oleh nelayan. Pemukiman ditemukan di Blok Cikepuh berjumlah enam, yaitu berupa gubuk dengan dinding anyaman bambu dan atap dari daun kelapa. Luas kawasan yang mengalami tekanan permukiman yaitu 1,5 ha. Permukiman dibangun di pinggir pantai Blok Cikepuh. Permukiman ini dibangun sebagai tempat bermalam dan menyimpan hasil tangkapan nelayan.

6) Kebakaran hutan

(42)

26

Dari 16 blok penelitian terdapat 4 blok penelitian yang rawan terjadi kebakaran (Tabel 6). Luas kawasan rawan kebakaran yaitu 539,63 ha. Kebakaran hutan di SM Cikepuh disebabkan oleh manusia yang menggunakan api saat beraktifitas di dalam kawasan. Kebakaran hutan menjadi tanggung jawab petugas Resort SM Cikepuh untuk memantau kawasan dari aktifitas manusia yang menggunakan api di dalam kawasan. Selain itu masyarakat juga memiliki tanggung jawab untuk tidak melakukan aktifitas ilegal di dalam kawasan serta melaporkan tindakan penggunaan api oleh masyarakat lain.

7) Izin penggunaan kawasan oleh Kostrad

Penggunaan kawasan oleh Kostrad merupakan ancaman yang sangat berpotensi tinggi merusak kelestarian kawasan hutan dan mengganggu kelangsungan hidup satwa liar. Satuan kostrad telah menggunakan kawasan SM Cikepuh sebagai tempat latihan militer seluas 150 ha. Selain itu kegiatan latihan oleh Kostrad diikuti oleh ribuan anggota memasuki kawasan dan menembakkan sejata api. Kegiatan ini sangat mengganggu kelestarian kawasan dan satwa liar, mengingat SM Cikepuh merupakan kawasan yang rawan terjadi kebakaran hutan. 8) Pergeseran tata batas

Hasil pengamatan di kawasan SM Cikepuh menunjukkan telah terjadi pergeseran tata batas. Walaupun kawasan yang diklaim tidak luas yaitu lebih kurang 10 ha, namun kegiatan ini harus segera diatasi, karena dikhawatirkan terjadi pergeseran tata batas yang dilakukan oleh masyarakat yang lainnya. Pergeseran tata batas ditemukan di Blok Ciawet – Rimpak Harikukun dan Blok Cigadung. Hasil eksplorasi tekanan manusia di blok penelitian dan skor kesesuaian sebagai habitat kedua disajikan pada Tabel 6. Bentuk tekanan manusia di SM Cikepuh disajikan pada Gambar 24, Gambar 25, Gambar 26, dan Gambar 27. Peta tingkat tekanan manusia di SM Cikepuh disajikan pada Gambar 28. Tabel 6. Tekanan manusia dan skor kesesuaian sebagai habitat kedua

Blok Penelitian Tekanan manusia S

Hujungan-Cipanarikan Penggembalaan liar, pemancingan, perambahan 1 Talun-Batu Masigit Penggembalaan liar, perambahan, perburuan liar 1 Citireum-Leuwi Urug Penggembalaan liar dan pemancingan 1

Cibabi-Nyalindung Penggembalaan liar 1

Cikakar-Citapen Penggembalaan liar dan perambahan 1 Cibuaya-Lp Lancar Penggembalaan liar, pemancingan, perambahan 1 Pasir Perahu-Gg Putri Penggembalaan liar, kebakaran, perambahan 1 Ciawet-Rk Harikukun Pergeseran batas, kebakaran hutan, perambahan 1

Cibulakan Penggembalaan liar dan pemancingan 1

Pesawahan Penggembalaan liar 1

Cikepuh Pemancingan, pemukiman, perambahan 1

Tegal Pamakanan Penggembalaan liar, pemancingan, kebakaran,

perambahan, izin penggunaan kawasan 1 Cigadung Pergeseran batas, kebakaran, perambahan,

perburuan liar

Tegal Pamindangan Pemancingan 2

Ps parol – Bt Nunggul Pemancingan, perambahan hutan 1

(43)

27

Gambar 28. Peta tingkat tekanan manusia di kawasan SM Cikepuh

Berdasarkan hasil eksplorasi seluruh blok penelitian ditemukan adanya tekanan manusia, baik yang kurang berdampak terhadap kondisi habitat maupun yang dapat mengancam kehidupan satwa liar (Tabel 16). Daerah yang tergolong

Gambar 24. Permukiman Gambar 25. Penggembalaan

(44)

28

sesuai sebagai habitat badak jawa memiliki luas 955,6 ha (11,75% kawasan) dan daerah yang tergolong tidak sesuai sebagai habitat badak jawa memiliki luas 7171,9 ha (88,25% kawasan).

Tingkat Kesesuaian Habitat Potensial di Suaka Margasatwa Cikepuh sebagai Habitat Kedua

Tingkat kesesuaian SM Cikepuh sebagai habitat kedua badak jawa didapatkan dari hasil observasi lapangan dengan mengukur dan mengamati semua parameter yang telah ditentukan, selanjutnya semua parameter diberi skor kesesuaian. Tingkat kesesuaian SM Cikepuh sebagai habitat kedua badak jawa disajikan pada Tabel 7 dan peta kesesuaian SM Cikepuh sebagai habitat kedua badak jawa disajikan pada Gambar 29.

Tabel 7. Hasil perbandingan dan skoring SM Cikepuh sebagai habitat kedua

Blok Penelitian Skor

S kubangan, pH: pH tanah, GM: kandungan garam mineral (0/00), KP: ketersediaan pakan, dan TM: tekanan manusia.

(45)

29 berjumlah 21,31. Hal ini menunjukkan bahwa kawasan SM Cikepuh sesuai sebagai habitat kedua badak jawa. Dari hasil perhitungan, luas daerah yang sesuai sebagai habitat kedua badak jawa yaitu 6.886,4 ha (84,72% kawasan). Sedangkan daerah yang tidak sesuai sebagai habitat kedua badak jawa yaitu 1.241,1 ha (15,28% kawasan). Untuk daerah yang sangat sesuai sebagai habitat kedua badak jawa tidak ditemukan di kawasan SM Cikepuh. Hal ini disebabkan oleh beberapa parameter kesesuaian tidak menunjukkan skor yang maksimal, seperti kelerengan tempat, kubangan, kandungan garam, dan tekanan manusia. Untuk parameter tekanan manusia tidak ada daerah SM yang menunjukkan skor yang maksimal. Hal ini dikarenakan seluruh kawasan SM telah mengalami tekanan manusia walaupun dalam batasan kurang memberi dampak terhadap kondisi habitat.

Berdasarkan observasi lapangan dan skoring dapat diketahui bahwa daerah yang memiliki potensi tinggi sebagai habitat kedua terdapat di 13 blok penelitian yaitu terdapat di Blok Blok Cibuaya-Langkap Lancar, Cibulakan, Talun-Batu Masigit, Cibabi-Nyalindung, Cikakar-Citapen, Citireum-Leuwi Urug, Cikepuh, Hujungan-Cipanarikan, Ciawet-Rimpak Harikukun, Tegal Pamindangan, Legon Pandan, Pasir Perahu-Gunung Putri, Pasir parol-Batu Nunggul. Sedangkan blok penelitian yang memiliki potensi rendah sebagai habitat kedua terdapat di 3 blok penelitian, antara lain: Blok Tegal Pamakanan, Cigadung, dan Pesawahan.

Gambar 29. Peta Kesesuaian SM Cikepuh sebagai habitat kedua badak jawa Daerah kawasan SM Cikepuh yang memiliki kriteria sesuai sebagai habitat badak jawa telah memenuhi persyaratan hidup badak jawa, baik dari komponen fisik maupun komponen biotik. Komponen habitat potensial di SM Cikepuh yang memiliki potensi tinggi sebagai habitat kedua terdapat pada aspek ketinggian, suhu udara, kelembaban udara, ketersediaan air, dan pH tanah. Sedangkan komponen habitat yang memiliki potensi rendah yaitu kelerengan, kubangan, kandungan garam mineral, ketersediaan tumbuhan pakan, dan tekanan manusia.

Strategi Peningkatan Kesesuaian Kawasan Suaka Margasatwa Cikepuh sebagai Habitat Kedua

(46)

30

aman dan nyaman. Dalam upaya penyiapan kawasan SM Cikepuh sebagai habitat kedua, maka komponen habitat yang memiliki potensi rendah harus ditingkatkan. Strategi peningkatan kesesuaian habitat harus memperhatikan beberapa aspek, antara lain: status kawasan, bentang alam, dan teknik yang digunakan. Prinsip-prinsip tersebut diperhatikan untuk tujuan mepertahankan kelestarian ekosistem.

Berdasarkan hasil pengamatan komponen habitat yang membutuhkan peningkatan kesesuaian sebagai habitat kedua antara lain: kelerengan tempat, kubangan, kandungan garam mineral, ketersediaan pakan, dan tekanan manusia. Strategi yang dapat dilakukan dalam peningkatan kesesuaian kawasan SM Cikepuh sebagai habitat kedua dengan mempertimbangkan aspek status kawasan, bentang alam, dan teknik yang digunakan antara lain:

1) Pembuatan kubangan

Daerah yang sangat sesuai sebagai habitat kedua bagi badak jawa yaitu dalam 10 km2 ditemukan lebih dari satu genangan air atau potensi kubangan, namun 12 daerah di kawasan SM Cikepuh tidak ditemukan genangan air atau potensi

kubangan sehingga diperlukan upaya pembuatan kubangan. Upaya yang dapat

dilakukan untuk meningkatkan kesesuaian SM Cikepuh sebagai habitat kedua yaitu dengan cara membuat kubangan pada genangan air atau sumber air bebas. Kubangan tersebut dibuat dengan bentuk dan ukuran menyerupai kubangan badak jawa di habitat aktualnya. Ukuran kubangan yang dibuat yaitu panjang 2,2-13 m, lebar 1,7-9 m, dan kedalaman 0,5-1,1 m. Hal ini sesuai menurut Amman (1985) dan Rahmat etal. (2008) yang menyatakan bahwa kubangan badak jawa di TNUK memiliki panjang 2,2-13 m, lebar 1,7-9 m, dan kedalaman 0,5-1,1 m. Adapun memiliki rata-rata INP tumbuhan pakan badak jawa lebih dari 80%, namun hanya 3 daerah di kawasan SM Cikepuh yang memiliki INP tumbuhan pakan badak jawa lebih dari 80%. Sedangkan 10 daerah di kawasan SM Cikepuh memiliki INP tumbuhan pakan 40-80% dan 3 daerah hanya memiliki INP tumbuhan pakan kurang dari 40%, sehingga diperlukan upaya peningkatan rata-rata INP tumbuhan pakan badak jawa hingga lebih dari 80%. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan ketersediaan tumbuhan pakan yaitu dengan cara penanaman tumbuhan (pengkayaan) pakan badak jawa yang memiliki palatabilitas tinggi. Selain itu tumbuhan yang ditanam merupakan spesies asli yang terdapat pada kawasan dikarenakan SM Cikepuh merupakan kawasan konservasi. Tumbuhan pakan yang dapat ditanam antara lain: cente, sulangkar, lampeni, tepus, bangban, kedondong hutan, dan waru. Penanaman tumbuhan pakan badak jawa dilakukan pada daerah yang memiliki tingkat ketersediaan pakan rendah.

3) Pengendalian tekanan manusia

(47)

31 SM Cikepuh sebagian besar telah mengalami tekanan manusia yang sangat tinggi, sehingga diperlukan pengendalian tekanan manusia, antara lain:

a) Patroli terstandar dan penegakan hukum secara tegas terhadap pelanggar peraturan, seperti perburuan liar, pemancingan, pemukiman, dan perambahan hutan

b) Penyuluhan dan pendidikan pada masyarakat untuk meningkatkan kesadaran hukum dan pelestarian kawasan hutan

c) Rehabilitasi dan pengkayaan di kawasan yang terdegradasi

d) Mengeluarkan hewan ternak yang digembalakan di dalam kawasan hutan e) Mengkaji ulang MoU antara Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan

Konservasi Alam dengan Tentara Nasional Indonesia khususnya Kostrad mengenai penggunaan kawasan SM Cikepuh sebagai tempat militer.

Potensi keanekaragaman hayati SM Cikepuh perlu dimanfaatkan dan dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu upaya pemanfaatan dan pengembangan SM Cikepuh dapat melalui pengembangan kawasan wisata alam. Meningkatnya kebutuhan masyarakat untuk kembali ke alam terutama bagi masyarakat perkotaan, menyebabkan semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap wisata alam. Kawasan SM Cikepuh yang memiliki keunikan dan keindahan alam sangat potensial untuk dikembangkan kawasan wisata alam. Agar wisata alam SM Cikepuh dapat dimanfaatkan secara nyata, maka dibutuhkan peran serta masyarakat sekitar hutan dalam kegiatan pengusahaan wisata alam. Pengusahaan wisata alam di SM Cikepuh dapat memberikan dampak positif dalam menciptakan perluasan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha.

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam bahwa dalam suaka margasatwa hanya dapat dilakukan kegiatan wisata terbatas berupa kegiatan mengunjungi, melihat, menikmati keindahan alam dan keanekaragaman tumbuhan serta satwa yang ada di dalamnya. Mengacu pada peraturan pemerintah tersebut, maka wisata alam yang dapat dikembangkan di SM Cikepuh antara lain:

1. Usaha wisata tirta

Usaha wisata tirta adalah usaha menyelenggarakan wisata dan olah raga air termasuk penyediaan sarana dan jasa lainnya di perairan laut, pantai, sungai, dan danau. Kawasan SM Cikepuh merupakan kawasan konservasi yang tersusun dari hutan pantai, sehingga memiliki potensi tinggi untuk pengembangan usaha wisata tirta.

2. Wahana penelitian dan pendidikan

Wahana penelitian dan pendidikan adalah usaha wisata alam yang bersifat edukatif dengan mengeksplorasi potensi keanekaragaman SM Cikepuh berasaskan kelestarian. Wahana penelitian dan pendidikan yang dapat dikembangkan yaitu pembangunan menara pengamatan, pembangunan canopy trail, dan pembangunan stasiun pengamatan satwa lainnya.

3. Usaha penyediaan akomodasi

(48)

32

4. Usaha jasa

Usaha jasa adalah usaha menyediakan jasa dalam pengembangan wisata alam. Usaha jasa dimaksudkan untuk meningkatkan peran masyarakat hutan dalam pengembangan wisata alam di SM Cikepuh, salah satunya yaitu penyediaan pemandu wisata.

5. Usaha perdagangan

Usaha perdagangan adalah usaha memproduksi barang untuk mendukung pengembangan wisata alam SM Cikepuh. Usaha perdagangan yang dapat dilakukan masyarakat sekitar hutan antara lain: makanan, minuman, dan souvenir.

4

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Komponen habitat potensial badak jawa di SM Cikepuh yang memiliki potensi tinggi sebagai habitat kedua terdapat pada aspek ketinggian, suhu udara, kelembaban udara, ketersediaan air, dan pH tanah.

2. Kawasan SM Cikepuh “sesuai” sebagai habitat kedua dengan luas daerah 6.886,4 ha atau 84,72% dari total luas kawasan.

3. Strategi peningkatan kesesuaian kawasan SM Cikepuh sebagai habitat kedua dilakukan dengan cara yaitu membuat kubangan pada sumber air bebas dengan bentuk dan ukuran menyerupai kubangan badak jawa di habitat aktualnya, penanaman tumbuhan pakan badak jawa yang memiliki palatabilitas tinggi, pengurangan tekanan manusia dilakukan melalui penegakan hukum secara tegas, penyuluhan dan pendidikan masyarakat, patroli reguler terstandar, rehabilitasi dan pengkayaan kawasan terdegradasi, pengeluaran hewan ternak dalam kawasan, penertiban pemukiman dalam kawasan, dan mengkaji ulang MoU mengenai penggunaan kawasan SM Cikepuh sebagai tempat latihan militer.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka saran yang diajukan yaitu perlu dilakukan penelitian mengenai aspek sosial ekonomi di sekitar kawasan SM Cikepuh, mengingat kawasan ini banyak mengalami tekanan manusia. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui persepsi masyarakat mengenai translokasi badak jawa di kawasan SM Cikepuh.

DAFTAR PUSTAKA

Alikodra HS et al. 2013. Teknik Konservasi Badak Indonesia. Tangerang: Literati. Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwaliar Jilid I. Bogor: Yayasan Penerbit

Gambar

Gambar 1.
Tabel 1. Blok penelitian di kawasan SM Cikepuh
Tabel 2. Kriteria kesesuaian habitat kedua dan skor parameter (Ammann 1980,
Tabel 2. Lanjutan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan tentang Penerapan SSK (Strategi Sanitasi Kota) Blitar dalam perspektif pembangunan berwawasan lingkungan pada

kearnaian lingkungan mendorong dikem- bangkannya jasad hayati. Jasad hayati Bacillus thuringiensis israelensis dapat digunakan sebagai sarana alternatif dalam

Penelitian survei larva dilaksanakan pada bulan Februari - April 2009 (mewakili musim hujan) dan bulan Juni - Agustus 2009 (mewakili musim kemarau) di Kayangan-Lombok Utara,

Hasil evaluasi antara sebelum dan setelah pelatihan mengalami peningkatan yang signifikan baik pengetahuan maupun keterampilan kader PSN, hal ini sejalan dengan penelitian yang

Telur dan jentik nyamuk dari lokasi penelitian dipelihara di laboratorium B2P2VRP Salatiga hingga menjadi stadium dewasa untuk digunakan sebagai bahan pengujian gorden

Implementasi kebijakan pelayanan e-Ktp di Kecamatan Singkil Kota Manado pada umumnya sudah efektif dilihat dari empat aspek penting dari proses implementasi kebijakan

Saran yang dapat diberikan dari penelitian ini: (1) Dalam penyusunan anggaran harus menyiapkan rencana kegiatan, kemudian mengalokasikan anggaran untuk setiap

Menurut Ostrom (2005), dalam teori analisis kelembagaan, penyederhanaan asumsi sering dilakukan bahwa Para Partisipan Otoritas tindakan Posisi tertentu Informasi