TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HAK-HAK ANAK YANG DI ASUH DI PANTI ASUHAN DI TINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN
2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK ( STUDI PADA YAYASAN SOSIAL SAI PREMA MEDAN)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Universitas Sumatera Utara
OLEH : AGNES DESLINA
NIM : 100200201
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala nikmat
dan rahmat yang tak terhingga yang telah diberikan kepada penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya penulis persembahkan kepada kedua orang
tua, sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Tinjauan Yuridis Terhadap Hak-Hak Anak Yang Di Asuh Di Panti Asuhan Di Tinjau Dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Studi Pada Yayasan Sosial Sai Prema Medan)”.
Setelah sekian lama akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
sebagai salah satu syarat akademis untuk menyelesaikan Pendidikan Program S-1
pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU). Penulis menyadari
sebagai manusia biasa tidak akan pernah luput dari kesalahan, kekurangan dan
kekhilafan, baik dalam pikiran maupun perbuatan. Berkat bimbingan dari Bapak
dan Ibu dosen Fakultas Hukum USU baik secara langsung maupun secara tidak
langsung sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Dengan ini izinkanlah penulis mengucapkan rasa hormat dan terima kasih
setinggi-tingginya kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu dalam proses
penyusunan skripsi ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada :
1. Bapak Prof.Dr. Runtung Sitepu, SH.M.Hum selaku Dekan Fakultas
2. Bapak Prof.Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum., selaku Pembantu
Dekan I Fakultas Hukum USU.
3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, M.H, DFM, selaku Pembantu Dekan
II Fakultas Hukum USU.
4. Bapak Muhammad Husni, SH, M.H, selaku Pembantu Dekan III
Fakultas Hukum USU.
5. Bapak Dr. Hasim Purba, SH, M.Hum, selaku Ketua Departemen
Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU.
6. Ibu Aida Fitri Purba, selaku Sekretaris Departemen Hukum
Keperdataan Fakultas Hukum USU.
7. Ibu Dr. Utary Maharany Barus, SH, M.Hum, selaku Dosen
Pembimbing Akademik Penulis selama perkuliahan.
8. Bapak Dr. Edy Ikhsan, SH, MA, selaku Dosen Pembimbing I.
Terimakasih atas waktu dan bimbingan yang telah diberikan kepada
penulis selama proses penyusunan dan penyelesaian skripsi ini.
9. Ibu Rabiatul Syahriah, SH.M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II.
Terimakasih atas waktu dan bimbingan yang telah diberikan kepada
penulis selama proses penyusunan dan penyelesaian skripsi ini.
10.Seluruh dosen, pegawai beserta staf di Fakultas Hukum USU.
11.Yang terkasih Ayahanda Hotman Sinaga dan Ibunda Rosmina
Simanjuntak. Terimakasih atas doa, dukungan dan kasih tiada batas
yang diberikan sepanjang hidup penulis. Juga untuk abang, kakak, dan
Sinaga, dan Frida Romauli Sinaga) yang selalu mendukung dan
memberikan semangat dalam penyelesaian skripsi ini. Semua ini ku
persembahkan untuk kalian.
12.Yang teristimewa sahabat-sahabatku Ayu Ulina Siahaan, Dewi Arianti
Nestianta Purba, Berthauli Dwi Yanti Ketaren dan Septa Lidya Purba.
Terimakasih buat kebersamaan, doa, dukungan, serta semangat yang
kalian berikan.
13.Kepada saudara-saudariku di Keluarga Mahasiswa Katolik (KMK) St.
Albertus Magnus USU terkhusus KMK St. Fidelis Fakultas Hukum
USU.
14.Kepada rekan-rekan Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia
(PERMAHI), khususnya DPC PERMAHI Medan.
Akhirnya Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat
bukan hanya kepada penulis , tetapi juga kepada masyarakat.
Medan, Maret 2014 Penulis
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A.Latar Belakang ... 1
B.Permasalahan ... 15
C.Tujuan Penulisan ... 15
D.Manfaat Penulisan ... 16
E. Metode Penelitian ... 16
F. Keaslian Penulisan... 20
G.Sistematika Penulisan ... 21
BAB II PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK ... 24
A.Pengertian Anak ... 24
B.Asas-Asas Hukum Perlindungan Anak ... 27
C.Prinsip Perlindungan Hak-Hak Anak ... 29
D.Perlindungan Anak dalam Kedudukan Hukum ... 36
E. Ruang Lingkup Hukum Perlindungan Anak ... 38
G.Tanggung Jawab Masyarakat Terhadap
Perlindungan Anak ... 49
BAB III PENGANGKATAN ANAK MENJADI ANAK ASUH DALAM SISTEM HUKUM
PERDATA INDONESIA ... ... 62
A. Pengangkatan Anak dalam Sistem Hukum
Perdata Indonesia ... 62
B. Tata Cara Pengangkatan Anak Yatim
Piatu Menjadi Anak Asuh ... 77
C. Yayasan Sosial sebagai Tempat Perlindungan Anak ... 80
BAB IV TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HAK-HAK ANAK YANG DI ASUH DI PANTI ASUHAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2002 ( STUDI PADA YAYASAN
SOSIAL SAI PREMA MEDAN ) ... ... 92
A. Deskripsi Umum Yayasan Sosial Sai Prema Medan ... 92
B. Siklus Kehidupan Keseharian Anak pada Yayasan
Sosial Sai Prema Medan ... 96
C. Implementasi Perlindungan Terhadap Hak-Hak
Anak pada Yayasan Sosial Sai Prema Medan... 99
D. Analisis Perlindungan Anak pada Yayasan
Sosial Sai Prema Medan ... 104
A. Kesimpulan ... 108
B. Saran ... 109
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HAK-HAK ANAK YANG DI ASUH DI PANTI ASUHAN DI TINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN
2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK ( STUDI PADA YAYASAN SOSIAL SAI PREMA MEDAN)
Perlindungan hukum bagi anak merupakan upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak ( fundamental rights and freedoms of children ) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan pemenuhan hak-hak anak. Tinjauan yuridis terhadap hak-hak anak yang di asuh di panti asuhan di tinjau dari undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak merupakan upaya hukum untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan partisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kombinasi penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris. Penelitian yuridis normatif yaitu mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat. Sementara penelitian yuridis empiris adalah penelitian permasalahan mengenai hal-hal yang bersifat yuridis dan didasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari hasil penelitian dengan mengacu kepada pola-pola perilaku masyarakat yang nyata di lapangan.
Dari hasil penelitian diperoleh bahwa perlindungan terhadap hak-hak anak pada Yayasan Sosial Sai Prema Medan sebagai salah satu lembaga sosial tempat perlindungan anak telah menjalankan amanah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak, pada yayasan tersebut anak-anak mendapat hak asuh mulai saat anak berada pada yayasan sampai anak tersebut menyelesaikan pendidikan pada tingkat Sekolah Menegah Atas (SMA) atau sampai anak tersebut dapat hidup mandiri, barulah yayasan melepaskan anak tersebut dari yayasan dan mengembalikannya pada orang tua atau wali dari anak tersebut.
ABSTRAK
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HAK-HAK ANAK YANG DI ASUH DI PANTI ASUHAN DI TINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN
2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK ( STUDI PADA YAYASAN SOSIAL SAI PREMA MEDAN)
Perlindungan hukum bagi anak merupakan upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak ( fundamental rights and freedoms of children ) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan pemenuhan hak-hak anak. Tinjauan yuridis terhadap hak-hak anak yang di asuh di panti asuhan di tinjau dari undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak merupakan upaya hukum untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan partisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kombinasi penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris. Penelitian yuridis normatif yaitu mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat. Sementara penelitian yuridis empiris adalah penelitian permasalahan mengenai hal-hal yang bersifat yuridis dan didasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari hasil penelitian dengan mengacu kepada pola-pola perilaku masyarakat yang nyata di lapangan.
Dari hasil penelitian diperoleh bahwa perlindungan terhadap hak-hak anak pada Yayasan Sosial Sai Prema Medan sebagai salah satu lembaga sosial tempat perlindungan anak telah menjalankan amanah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak, pada yayasan tersebut anak-anak mendapat hak asuh mulai saat anak berada pada yayasan sampai anak tersebut menyelesaikan pendidikan pada tingkat Sekolah Menegah Atas (SMA) atau sampai anak tersebut dapat hidup mandiri, barulah yayasan melepaskan anak tersebut dari yayasan dan mengembalikannya pada orang tua atau wali dari anak tersebut.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Anak merupakan generasi penerus bangsa yang harus mendapat perlindungan
dan kesejahteraan, dimana negara, masyarakat, dan orang tua maupun keluarga
wajib dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan terhadap anak.
Dalam diri setiap anak melekat harkat, martabat, dan hak-hak asasi sebagai
manusia yang harus dijunjung tinggi. Perlindungan hukum bagi anak dapat
diartikan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan
hak asasi anak ( fundamental rights and freedoms of children ) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak.
Dalam perspektif kenegaraan, komitmen negara untuk melindungi warga negaranya termasuk di dalamnya terhadap anak, dapat ditemukan dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Hal tersebut tercermin dalam kalimat : “…Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan bangsa Indonesia itu…”.1
Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, menyebutkan : “Setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi. Hal tersebut ditegaskan kembali dalam Pasal 34 UUD
1945 hasil perubahan keempat, yang disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002.
Dalam Pasal 34 UUD 1945 tersebut disebutkan :
(1) Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.
(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.2
Pasal 52 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
telah mencantumkan tentang hak-hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung
jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara untuk memberikan
perlindungan terhadap anak. 3
Hal tersebut juga ditegaskan dalam Undang-Undang yang lebih khusus yaitu
Undang No. 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Pasal 2
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menyebutkan :
“Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan
Undang-Undang Dasar 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak
meliputi :
a. Non-diskriminasi ;
b. Kepentingan yang terbaik bagi anak ;
c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan ; dan
d. Penghargaan terhadap pendapat anak.
Perlindungan terhadap anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak
anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan partisipasi secara optimal sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
2Ibid, Pasal 28B dan Pasal 34.
kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas,
berakhlak mulia dan sejahtera ( Pasal 3 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 ).4
Berdasarkan perkembangan di masyarakat dapat dilihat masih banyak
anak-anak yang belum memperoleh hak-haknya sesuai dengan apa yang diamanatkan
oleh undang-undang perlindungan anak. Hal tersebut tampak bahwa masih banyak
anak-anak yang seharusnya memperoleh pendidikan namun karena keadaan
ekonomi yang sulit, anak tersebut harus bekerja. Faktor lain juga dari kondisi
orang tua anak yang tidak memungkinkan untuk memberikan perlindungan dan
kesejahteraan terhadap anak yang dilahirkannya. Misalnya akibat permasalahan
ekonomi, akibat perceraian, status anak dalam keadaan tidak memiliki orang tua
(yatim piatu), penelantaran atau tindakan buruk lainnya. Kondisi ini menempatkan
anak sebagai alasan dan keterbatasan orang-orang dewasa dalam menyelesaikan
masalah dalam hidupnya. Alasan kesulitan ekonomi menjadikan anak diperalat
atau dipekerjakan. Anak menjadi korban kegagalan orang dewasa dalam
menyelesaikan masalah-masalah sosial yang ada. Himpitan hidup dan peningkatan
tuntutan hidup membuat semakin meluasnya kesempatan yang dilakukan dan
mengorbankan anak-anak.
Penelantaran hak-hak anak atau pengabaian hak-hak anak dapat kita lihat pada
tempat-tempat umum yaitu pengemis jalanan yang menggendong bayi dengan
kasih sayang demi sesuap nasi, pembuangan bayi, gizi buruk hingga penularan
HIV/Aids. Melihat pada situasi tersebut, maka negara sebagai penjamin
perlindungan hak-hak anak memiliki peran dan fungsi dalam memberikan
perlindungan terhadap anak-anak yang belum memperoleh haknya sebagaimana
yang tercantum dalam undang-undang perlindungan anak. Kegiatan untuk
melakukan pembinaan, pengembangan, dan perlindungan anak, diperlukan peran
masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan,
lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia
usaha, media massa, atau lembaga pendidikan.
Kepedulian terhadap persoalan anak mulai tercatat semenjak tahun 1920an,
seusai Perang Dunia I. Dalam perang tersebut, pihak yang paling banyak
menderita adalah kaum perempuan dan anak. Laki-laki dewasa boleh saja terluka,
tetapi dia masih bisa menegakkan kepala, membanggakan cerita kepahlawanannya
ketika perang. Namun tidak demikian dengan perempuan dan anak-anak yang
harus berlari, bersembunyi, terancam dan tertekan baik secara fisik maupun psikis
ketika perang. Setelah perang, para perempuan dan anak-anak harus mendapati
kenyataan pahit dimana suami atau saudaranya hilang bahkan juga ikut terluka.
Para perempuan menjadi janda dan anak-anak menjadi yatim-piatu, sehingga
kehilangan sosok keluarga yang melindunginya. Akibat dari Perang Dunia I
tersebut, muncullah keprihatinan terhadap nasib perempuan dan anak melalui
berbagai macam aksi yang mendesak dunia memperhatikan secara serius nasib
perempuan dan anak-anak setelah terjadinya perang.
Salah satu diantara para aktivis perempuan itu adalah Eglantyne Jebb, yang
tahun 1923 diadopsi menjadi Save the Children Fund International Union, yang antara lain berupa :
1. Anak harus dilindungi di luar dari segala pertimbangan ras, kebangsaan
dan kepercayaan;
2. Anak harus dipelihara dengan tetap menghargai keutuhan keluarga;
3. Anak harus disediakan sarana-sarana yang diperlukan untuk
perkembangan secara normal, baik material, moral dan spiritual;
4. Anak yang lapar harus diberi makan, anak yang sakit harus dirawat, anak
cacat mental atau cacat tubuh harus dididik, anak yatim piatu dan anak
terlantar harus diurus/ diberi pemahaman;
5. Anaklah yang pertama-tama harus mendapatkan bantuan/ pertolongan
pada saat terjadi kesengsaraan;
6. Anak harus menikmati dan sepenuhnya mendapat manfaat dari program
kesejahteraan dan jaminan sosial, mendapat pelatihan agar pada saat
diperlukan nanti dapat dipergunakan untuk mencari nafkah, serta harus
mendapat perlindungan dari segala bentuk eksploitasi ; dan
7. Anak harus diasuh dan dididik dengan suatu pemahaman bahwa bakatnya
dibutuhkan untuk pengabdian kepada sesama umat.
Hadi Supeno mengatakan bahwa sejatinya anak membutuhkan pihak-pihak
pembuat regulasi (regulator body), pelaksana pemenuhan hak-hak anak (executive body), dan pengemban kewajiban negara (state obligation).5
Sementara itu, Peter Newel, seorang expert dalam perlindungan anak, mengemukakan beberapa alasan subjektif dari sisi keberadaan anak, sehingga
anak membutuhkan perlindungan, antara lain :6
a. Biaya pemulihan (recovery) akibat kegagalan dalam memberikan perlindungan anak sangat tinggi. Jauh lebih tinggi daripada biaya yang
dikeluarkan jika anak-anak memperoleh perlindungan;
b. Anak-anak sangat berpengaruh langsung dan berjangka panjang atas
perbuatan (action) dari pemerintah dan kelompok lainnya;
c. Anak-anak selalu mengalami pemisahan atau kesenjangan dalam
pemberian pelayanan publik;
d. Anak-anak tidak mempunyai hak suara, dan tidak mempunyai kekuatan
lobi untuk mempengaruhi agenda kebijakan pemerintah;
e. Anak-anak pada banyak keadaan tidak dapat mengakses perlindungan dan
penataan hak-hak anak; dan
f. Anak-anak lebih berisiko dalam eksploitasi dan penyalahgunaan.
Berbagai macam tuntutan yang meminta agar ada perhatian khusus pada anak,
membuahkan hasilnya dengan memasukkan hak-hak anak dalam Piagam
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada 10 Desember 1948. Misalnya dalam
Pasal 25 ayat (2) yang menyebutkan bahwa “Ibu dan anak-anak berhak
5M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2013), hal. 24-25.
mendapatkan perhatian dan bantuan khusus. Semua anak, baik yang dilahirkan di
dalam maupun di luar perkawinan, harus menikmati perlindungan sosial yang
sama.”
Selanjutnya upaya perlindungan anak juga direspon dalam Majelis Umum
PBB yang kembali mengeluarkan pernyataan Deklarasi Hak Anak pada 20
November 1959 yang dapat dilihat Asas 1, Asas 2 dan Asas 9, yang pada
prinsipnya antara lain mengatakan bahwa :
- Asas 1, “anak hendaknya menikmati semua hak yang dinyatakan dalam
deklarasi ini. Setiap anak, tanpa pengecualian apapun, harus menerima
hak-hak ini, tanpa perbedaan atau diskriminasi ras, warna kulit, jenis
kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan lainnya, asal
usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran, atau status sosial
lainnya, baik dirinya maupun keluarganya.”
- Asas 2, “anak harus menikmati perlindungan khusus dan harus diberikan
kesempatan dan fasilitas, oleh hukum atau peraturan lainnya, untuk
memungkinkan tumbuh jasmaninya, rohaninya, budinya, kejiwaannya, dan
kemasyarakatannya dalam keadaan sehat dan wajar dalam kondisi yang
bebas dan bermartabat. Dalam penetapan hukum untuk tujuan ini,
perhatian yang terbaik adalah pada saat anak harus menjadi pertimbangan
pertama.”
- Asas 9, “anak harus dilindungi dari semua bentuk kelalaian, kekejaman
dan eksploitasi. Anak tidak boleh menjadi sasaran perdagangan dalam
Selanjutnya, upaya perlindungan anak akhirnya membuahkan hasil nyata
dengan dideklarasikan Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of The Child) secara bulat oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 20 November 1989 (Resolusi PBB No.44/25 tanggal 5 Desember 1989). Sejak saat itu, maka
anak-anak seluruh dunia memperoleh perhatian khusus dalam standar Internasional.
Indonesia sendiri sebagai anggota PBB, meratifikasi Konvensi Hak Anak
melalui Keppres No. 36 Tahun 1990 Tentang Konvensi Hak-Hak Anak (
Convention on the Rights of the Child ) yang menandakan bahwa Indonesia secara nasional memiliki perhatian khusus terhadap hak-hak anak. Berkaitan dengan
penjabaran hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak, telah dijabarkan sebelumnya
yang pada prinsipnya memuat empat kategori hak anak, yakni hak terhadap
kelangsungan hidup (survival rights), hak terhadap perlindungan (protection rights), hak untuk tumbuh kembang (development rights), dan hak untuk berpartisipasi (participation rights).7
Ratifikasi dalam bentuk Keputusan Presiden ini diterima oleh PBB pada
tanggal 5 September 1990 sehingga Konvensi Hak Anak berlaku di Indonesia
pada 5 Oktober pada tahun itu juga. Keprihatinan muncul terhadap cakupan dan
luasnya reservasi saat Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak. Teks lengkap
dari reservasi tersebut adalah sebagai berikut :
- Konstitusi Republik Indonesia 1945 menjamin hak-hak dasar anak tanpa
memandang jenis kelamin, kesukuan dan ras. Konstitusi meminta hak-hak
tersebut dilaksanakan melalui hukum-hukum nasional dan peraturan.
- Ratifikasi Konvensi Hak Anak oleh Republik Indonesia tidak secara
langsung berarti penerimaan kewajiban-kewajiban di luar batas
Konstitusional dan tidak juga berarti penerimaan kewajiban-kewajiban
apapun untuk memperkenalkan hak apapun di luar yang telah diakui dalam
Konstitusi.
- Terkait dengan aturan-aturan dalam Pasal 1, 14, 16, 17, 21, 22 dan 29
Konvensi ini, pemerintah Indonesia mendeklarasikan untuk
mengaplikasikannya sepanjang sesuai dengan konstitusi.
- Kemudian, pada November 2005 pemerintah Indonesia mengeluarkan
piagam penarikan pernyataan yaitu sebagai berikut :
Menimbang bahwa Republik Indonesia adalah Negara Peserta pada
“United National Convention on the Rights of the Child” yang diterima di New York pada tanggal 20 November 1989.
Menimbang pula bahwa Pemerintah Republik Indonesia telah meratifikasi
Konvensi tahun 1989 dimaksud, bersama dengan pernyataannya atas
ketentuan-ketentuan Pasal 1, 14, 16, 17, 21, 222 dan 29 dari Konvensi.
Untuk itu, Pemerintah Republik Indonesia dengan mendasarkan pada
kenyataan bahwa Pemerintah Republik Indonesia telah dapat berpartisipasi
Menyatakan menarik pernyataannya atas ketentuan-ketentuan Pasal 1, 14,
16, 17, 21, 22 dan 29 dari Konvensi tahun 1989 dimaksud.8
Adapun langkah-langkah implementasi umum Konvensi Hak Anak berisi
ketentuan pasal-pasal 4, 42, dan 44 para.6. Isinya adalah kewajiban negara agar :
- Melakukan semua langkah legislatif, administratif dan langkah-langkah
lainnya agar hak-hak yang diakui dalam Konvensi Hak Anak
dilaksanakan. Dalam hal yang menyangkut hak-hak ekonomi, sosial dan
budaya , negara-negara peserta akan mengambil langkah-langkah hingga
batas maksimal sesuai sumber daya yang ada dan jika diperlukan dalam
kerangka kerja sama internasional. Langkah-langkah yang seharusnya
diambil adalah menarik reservasi, meratifikasi Instrumen Internasional
HAM lainnya, menyesuaikan legislasi nasional dengan prinsip dan
ketentuan Konvensi Hak Anak, merumuskan strategi nasional bagi anak
yang secara komprehensif mengacu pada kerangka Konvensi Hak Anak
berikut penetapan tujuan-tujuannya dan lain-lain.
- Prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Hak Anak bisa
diketahui secara luas, dengan cara yang tepat dan aktif baik kepada
masyarakat maupun anak-anak. Langkah yang diambil seharusnya dengan
menerjemahkan Konvensi Hak Anak ke dalam bahasa nasional dan
bahasa-bahasa daerah serta penyebarluasan Konvensi Hak Anak.
8Ahmad Taufan, Laporan Tinjauan Pelaksanaan Konvensi Hak Anak Di Indonesia
- Membuat laporan pemerintah berikut kesimpulan pengamatan Konvensi
Hak Anak tersedia secara luas bagi publik di seluruh negeri.
Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain
manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapatkan
perlindungan dari perlakuan :
a. Diskriminasi
Misalnya perlakuan yang membeda-bedakan suku, agama, ras, golongan,
jenis kelamin, etnik, budaya, dan bahasa, status hukum anak, urutan
kelahiran anak, dan kondisi fisik atau mental.
b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual
Misalnya tindakan atau perbuatan memperalat, memanfaatkan atau
memeras anak untuk memperoleh keuntungan pribadi, keluarga, atau
golongan.
c. Penelantaran
Misalnya tindakan atau perbuatan mengabaikan dengan sengaja kewajiban
untuk memelihara, merawat atau mengurus anak sebagaimana mestinya.
d. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan
Misalnya tindakan atau perbuatan secara zalim, keji, bengis, atau tidak
menaruh belas kasihan kepada anak. Perlakuan kekerasan dan
penganiayaan, misalnya perbuatan melukai dan/ atau mencederai anak,
dan tidak semata-mata fisik, tetapi juga mental dan sosial.
Misalnya tindakan keberpihakan antara anak yang satu dan yang lainnya,
atau kesewenang-wenangan terhadap anak.
f. Perlakuan salah lainnya
Misalnya tindakan pelecehan atau perbuatan tidak senonoh kepada anak.
Sehingga dalam hal orang tua, wali, atau pengasuh anak melakukan segala
bentuk perlakuan di atas maka perlu dikenakan pemberatan hukum.9
Usaha kesejahteraan anak merupakan usaha kesejahteraan sosial yang
ditujukan untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan anak, terutama
terpenuhinya kebutuhan anak (Pasal 1 angka 1 huruf b PP No. 2 Tahun 1988
Tentang Usaha Kesejahteraan Anak Bagi Anak Yang Mempunyai Masalah).
Adapun usaha-usaha itu meliputi, pembinaan, pencegahan dan rehabilitasi.
Pelaksanaannya adalah pemerintah dan/ atau masyarakat baik di dalam maupun di
luar panti (Pasal 11 ayat (3) PP No. 2 Tahun 1988 Tentang Usaha Kesejahteraan
Anak Bagi Anak Yang Mempunyai Masalah). Pemerintah dalam hal ini
memberikan pengarahan, bimbingan, bantuan, dan pengawasan terhadap usaha
kesejahteraan anak yang dilakukan oleh masyarakat.
Usaha kesejahteraan anak yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat
ditujukan terutama kepada anak yang mempunyai masalah. Antara lain anak yang
tidak mempunyai orang tua dan terlantar, anak terlantar, anak yang tidak mampu,
anak yang mengalami masalah kelakuan, dan anak cacat. Usaha ini dimaksudkan
memberikan pemeliharaan, perlindungan, asuhan, perawatan, dan pemulihan
kepada anak yang mempunyai masalah.
Pembinaan, pengembangan, pencegahan, dan rehabilitasi dilaksanakan dalam
bentuk asuhan, bantuan, dan pelayanan khusus. Asuhan ditujukan kepada anak
yang mempunyai masalah antara lain, anak yang tidak mempunyai orang tua dan
terlantar, anak terlantar, dan anak yang mengalami masalah kelakuan.
Asuhan sesuai Pasal 7 (2) PP No. 2 Tahun 1988 diberikan antara lain dalam
bentuk :
a. Penyuluhan/ bimbingan dan bentuk lainnya yang diperlukan ;
b. Penyantunan dan pengentasan anak ;
c. Pembinaan/ peningkatan derajat sosial ;
d. Pemberian/ peningkatan kesempatan belajar ;
e. Pembinaan/ peningkatan keterampilan ;
Pelaksanaan dilakukan baik di dalam maupun di luar panti sosial, yaitu
lembaga/ kesatuan kerja yang merupakan prasarana dan sarana yang memberikan
pelayanan sosial berdasarkan profesi pekerja sosial maupun di luar panti ( Pasal 1
ayat (6) PP No. 2 Tahun 1988).
Sementara bantuan ditujukan kepada anak yang tidak mampu berupa bantuan
materi dalam rangka usaha pemenuhan kebutuhan pokok anak, bantuan jasa dalam
rangka usaha pembinaan dan pengembangan untuk mengarahkan bakat dan
keterampilan, bantuan fasilitas, diberikan dalam rangka usaha mengatasi
kepada anak melalui orang tua/ wali, yang tata cara pemberian dan
penggunaannya diatur oleh menteri.10
Salah satu dari kelompok anak yang membutuhkan perlindungan secara
khusus tersebut adalah anak yatim piatu yang berada di yayasan sosial. Hal ini
akan dikaji secara yuridis, perlindungan hak-hak anak yang diasuh pada Yayasan
Sosial. Yayasan Sosial sebagai salah satu lembaga perlindungan anak haruslah
memperhatikan ketentuan mengenai perlindungan anak sebagaimana tercantum
dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Dalam Pasal 331a angka 4, menyebutkan “ Perwalian mulai berlaku bila suatu
perkumpulan, yayasan atau lembaga sosial, bukan atas permintaan sendiri atau
pernyataan bersedia, diangkat menjadi wali, pada saat menyatakan sanggup
menerima pengangkatan itu”. Selain itu, Undang-Undang Perlindungan Anak
Pasal 33 juga mengatur mengenai perwalian anak angkat. Perwalian terhadap anak
angkat, dapat dikaji dari aspek defenisi anak sebagaimana diatur pada Pasal 1
angka 9 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa “Anak
angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga
orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan,
pendidikan, dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan orang tua
angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.”11
10Ibid, hal. 83-85.
Anak-anak yang diasuh pada yayasan sosial tentunya memiliki latar belakang
yang berbeda-beda. Yayasan sosial sebagai salah satu lembaga perlindungan anak
harus mampu memberikan kesejahteraan dan keseimbangan hidup dalam masa
perkembangan anak. Anak harus memperoleh pendidikan, kehidupan yang layak,
pertumbuhan sebagaimana anak-anak pada umumnya.
Berdasarkan uraian di atas, maka hal tersebut menarik diteliti yaitu “Tinjauan Yuridis Terhadap Hak-Hak Anak Yang Diasuh Di Panti Asuhan Di tinjau Dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ( Studi Pada Yayasan Sosial Sai Prema Medan )”.
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dalam penulisan ini
permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaturan perlindungan anak berdasarkan Undang-Undang
No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ?
2. Bagaimana proses pengangkatan anak yatim piatu menjadi anak asuh
dalam sistem Hukum Perdata Indonesia ?
3. Bagaimana implementasi terhadap hak-hak anak dalam hukum
perlindungan anak?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari pembahasan penulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengaturan perlindungan anak berdasarkan
2. Untuk mengetahui proses pengangkatan anak yatim piatu menjadi anak
asuh dalam sistem Hukum Perdata Indonesia.
3. Untuk mengetahui implementasi terhadap hak-hak anak dalam
perlindungan anak yang dilakukan oleh yayasan sosial.
D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan ini yaitu secara teoretis
maupun praktis, yakni :
1. Secara Teoretis
Secara teoretis diharapkan pembahasan terhadap permasalahan yang diajukan
dapat menambah pengetahuan dan melahirkan pemahaman bahwa pentingnya
memberikan perhatian khusus mengenai perlindungan terhadap hak-hak anak
yang diasuh pada lembaga-lembaga sosial ditinjau berdasarkan Undang-Undang
No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Sehingga hak-hak anak untuk
tumbuh dan berkembang sesuai dengan harkat dan martabatnya dapat terpenuhi.
2. Secara Praktis
Secara praktis dalam pembahasan ini diharapkan dapat menjadi bahan
masukan bagi pemerintah, lembaga-lembaga sosial, masyarakat, maupun para
orang tua dalam memberikan perlindungan terhadap anak, khususnya dalam
memberikan hak-hak anak sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang
Perlindungan Anak.
Suatu karya ilmiah selalu disusun berdasarkan data-data yang benar dan
bersifat objektif sehingga dapat diuji kebenarannya, serta tunduk pada suatu
metodologi. Demikian juga halnya dengan penulisan skripsi ini, mempergunakan
metode ilmiah dalam dalam mengumpulkan bahan-bahan atau sumber-sumber
data yang dibutuhkan, sehinggga penulisan skripsi ini dapat diuji objektivitasnya
berdasarkan metode-metode ilmiah. Adapun metode penelitian hukum yang
dipergunakan, yaitu :
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah kombinasi penelitian
yuridis normatif dan yuridis empiris. Penelitian yuridis normatif yaitu mengacu
kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan
dan norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat. Sementara penelitian
yuridis empiris adalah penelitian permasalahan mengenai hal-hal yang bersifat
yuridis dan didasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari hasil penelitian dengan
mengacu kepada pola-pola perilaku masyarakat yang nyata di lapangan.12
Pendekatan hukum normatif dilakukan dengan cara penelusuran terhadap
norma-norma hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan
perlindungan anak, serta memperoleh data maupun keterangan yang terdapat
dalam berbagai literatur di perpustakaan, jurnal hasil penelitian, majalah, situs
internet, dan sebagainya.
Soerjono Soekanto, berpendapat bahwa penelitian hukum normatif meliputi,
penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum,
penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum, dan
penelitian perbandingan hukum.13
Sementara penelitian hukum empiris dilakukan melalui prosedur dan teknik
wawancara kepada informan atau responden yang terkait dengan penelitian ini.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang dilakukan adalah pendekatan deskriptif analitis
yaitu penelitian didasarkan atas satu atau dua variabel yang saling berhubungan
yang didasarkan pada teori atau konsep yang bersifat umum yang diaplikasikan
untuk menjelaskan tentang seperangkat data, atau menunjukkan komparasi
ataupun hubungan seperangkat data dengan seperangkat data lainnya.14
3. Sumber data
Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder dan data primer.
Data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, meliputi
peraturan perundang-undangan, buku-buku, situs internet, media massa, dan
kamus serta data yang terdiri atas :
a. Bahan Hukum Primer, yaitu : Norma-norma atau kaedah-kaedah dasar
seperti Undang-Undang Dasar 1945, Peraturan Perundang-undangan yang
meliputi, Undang-Undang, Konvensi.
b. Bahan Hukum sekunder, yaitu : Buku-buku yang berkaitan dengan judul
skripsi yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti
13Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007), hal.41.
artikel-artikel, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan dan sebagainya yang
diperoleh baik melalui media cetak maupun media elektronik.
c. Bahan Hukum Tersier, yaitu : Kamus, Ensklopedia, bahan dari Internet dan
lain-lain yang merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan tentang bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Sedangkan data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari
sumber data, yaitu melalui observasi, wawancara, dan penyebaran kuesioner yaitu
pada Yayasan Sosial Sai Prema.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan
(Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder
yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari
buku-buku milik pribadi maupun pinjaman dari perpustakaan, artikel-artikel
baik yang diambil dari media cetak maupun elektronik,
dokumen-dokumen pemerintah, termasuk Peraturan Perundang-Undangan, dan
untuk memperoleh data pendukung akan dilakukan wawancara secara
mendalam ( in depth interviewing).15 5. Analisis Data
Analisis data dalam penulisan ini digunakan data kualitatif, metode kualitatif
ini digunakan agar dapat mengerti dan memahami gejala yang ditelitinya.16
Seluruh data sekunder dan data primer yang diperoleh dari pustaka dan penelitian
lapangan diklasifikasikan dan disusun secara sistematis, sehingga dapat dijadikan
acuan dalam melakukan analisis. Langkah selanjutnya, dari data sekunder dan
data primer yang telah disusun dan ditetapkan sebagai sumber dalam penyusunan
skripsi ini kemudian dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan metode
deskriptif.
Analisis kualitatif yaitu metode analisis data yang mengelompokkan dan
menyeleksi data yang diperoleh dari penelitian lapangan menurut kualitas dan
kebenarannya kemudian dihubungkan dengan teori-teori yuridis normatif yang
diperoleh dari studi kepustakaan sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan.
Sedangkan metode deksriptif yaitu metode analisis dengan memilih data yang
menggambarkan keadaan sebenarnya di lapangan. 17
6. Penarikan Kesimpulan
Sebagai akhir, penarikan kesimpulan dalam penulisan skripsi ini dilakukan
dengan metode deduktif, yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang
bersifat umum terhadap permasalahan yang konkret dihadapi. 18
F. Keaslian Penulisan
Berdasarkan hasil pemeriksaan dan hasil penelitian yang ada, penelitian
mengenai Tinjauan Yuridis Terhadap Hak-Hak Anak Yang Diasuh Di Panti Asuhan Di tinjau Dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ( Studi Pada Yayasan Sosial Sai Prema Medan ) belum pernah dilakukan dalam topik dan pembahasan yang sama. Penelitian terhadap
17Ibid, hal. 10.
judul skripsi ini juga telah diperiksa oleh pihak perpustakaan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, judul skripsi ini belum pernah dikemukakan dan
permasalahan yang diajukan juga belum pernah diteliti.
Adapun beberapa judul yang memiliki sedikit kesamaan di Perpustakaan
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara antara lain :
1. Perbandingan Ketentuan Pengangkatan Anak Dalam Staatsblad 1917 No.
129 dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
2. Pengaruh Lingkungan Terhadap Kenakalan dan Kejahatan Anak Di tinjau
dari Aspek Hukum Perlindungan Anak.
3. Kekerasan Seksual ( Sexual Abuse ) Terhadap Anak Dalam Perspektif Hukum Pidana Indonesia dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak ( studi kasus putusan Pengadilan Negeri
Medan No. 3150/Pid B/2003 ).
Oleh karena itu, penulisan skripsi ini dapat dikatakan masih “asli” sesuai
dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, objektif, serta terbuka sehingga
keabsahannya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
G. Sistematika Penulisan
Suatu karya ilmiah yang baik harus disusun secara sistematis guna
mempermudah uraian pembahasan karya ilmiah yang bersangkutan. Sistematika
penulisan skripsi ini dibagi menjadi beberapa bab yang saling berhubungan satu
Bab I berisikan pendahuluan yang merupakan pengantar yang di dalamnya
terurai mengenai latar belakang penulisan skripsi, permasalahan, kemudian
dilanjutkan dengan tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penelitian,
keaslian penulisan, yang kemudian diakhiri oleh sistematika penulisan.
Bab II merupakan bab yang memberikan penjelasan mengenai pengertian
anak, asas-asas hukum perlindungan anak, prinsip perlindungan hak-hak anak,
perlindungan anak dalam kedudukan hukum dan ruang lingkup hukum
perlindungan anak.
Bab III, Bab ini merupakan bab yang memberikan penjelasan tentang
kebijakan pemerintah dalam mensejahterakan anak, menjelaskan tentang peran
yayasan sosial sebagai tempat perlindungan anak, dan melihat kepedulian
masyarakat terhadap perlindungan anak.
Bab IV, Bab ini merupakan bab yang memberikan penjelasan tentang
pengaturan perlindungan anak ditinjau berdasarkan Undang-Undang No. 23
Tahun 2002 Tentang perlindungan anak, menjelaskan tentang peran lembaga
sosial dalam perlindungan hak-hak anak pada Yayasan Sosial Sai Prema Medan,
Menjelaskan tentang implementasi perlindungan terhadap hak-hak anak pada
Yayasan Sosial Sai Prema Medan.
Bab V adalah bab terakhir dalam penulisan skripsi ini yang memaparkan garis
besar dari karya tulis ilmiah ini dalam bagian kesimpulan dan bagian saran yang
memuat pendapat-pendapat berkaitan dengan “Tinjauan Yuridis Terhadap
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ( Studi Pada Yayasan Sosial Sai Prema
BAB II
PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK
A. Pengertian Anak
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), anak adalah keturunan
kedua. Dalam konsideran Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, dikatakan bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan
Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia
seutuhnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi
muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan
mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa
dan negara pada masa depan.
Konvensi Hak Anak (KHA) mendefinisikan “anak” secara umum sebagai
manusia yang umurnya belum mencapai 18 (delapan belas) tahun, namun
diberikan juga pengakuan terhadap batasan umur yang berbeda yang mungkin
diterapkan dalam perundangan nasional.19
19 Unicef, Pengertian Konvensi Hak Anak, (Jakarta : PT Enka Parahiyangan, 2003), hal. 3.
Oleh karena itu agar setiap anak kelak
mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan
yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik,
mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan
serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan
Dalam berbagai peraturan perundang-undangan Indonesia, tidak terdapat
pengaturan yang tegas tentang kriteria anak. Lain peraturan perundang-undangan,
lain pula kriteria anak. Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
menentukan bahwa belum dewasa apabila belum mencapai umur 21 (dua puluh
satu) tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang
No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak menentukan bahwa anak adalah
seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah
kawin. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Pokok Perburuhan (Undang-Undang No.
12 Tahun 1948) menentukan bahwa anak adalah orang laki-laki atau perempuan
berumur 14 (empat belas) tahun ke bawah. Menurut Hukum Adat seseorang
dikatakan belum dewasa bilamana seseorang itu belum menikah dan berdiri
sendiri belum terlepas dari tanggung jawab orang tua. Hukum Adat menentukan
bahwa ukuran seseorang telah dewasa bukan dari umurnya, tetapi ukuran yang
dipakai adalah dapat bekerja sendiri, cakap melakukan yang disyaratkan dalam
kehidupan masyarakat, dapat mengurus kekayaan sendiri. 20
Betapa pentingnya posisi anak bagi bangsa ini, menjadikan kita harus bersikap
responsif dan progresif dalam menata peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Untuk menentukan batas usia dalam hal defenisi anak, maka akan
terdapat berbagai macam batasan usia anak mengingat beragamnya defenisi
batasan usia anak dalam beberapa undang-undang, misalnya :
1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mensyaratkan
usia perkawinan 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki.
2. Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
mendefenisikan anak berusia 21 tahun dan belum pernah kawin.
3. Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
mendefenisikan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah
berusia delapan tahun, tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum pernah
kawin.
4. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun
dan belum pernah kawin.
5. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
membolehkan usia bekerja 15 tahun.
6. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
memberlakukan wajib belajar 9 (sembilan) tahun, yang dikonotasikan
menjadi anak berusia 7 sampai 15 tahun.
7. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) menyebutkan bahwa yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur
genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin sebelumnya.
Berbagai macam defenisi tersebut, menunjukkan adanya disharmonisasi
perundang-undangan yang ada. Sehingga pada praktiknya di lapangan akan
Sementara itu, mengacu pada Konvensi PBB tentang Hak Anak (Convention on the Right of the Child), maka defenisi anak : “Anak berarti setiap manusia di bawah umur 18 tahun, kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada anak,
kedewasaan dicapai lebih awal”. Untuk itu Undang-Undang No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak memberikan defenisi anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan.21
B. Asas-Asas Hukum Perlindungan Anak
Perlindungan anak berasaskan Pancasila dan UUD 1945 serta prinsip-prinsip
konvensi Hak-Hak Anak, dalam Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Anak
menyebutkan bahwa penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila
dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi :
a. Non diskriminasi;
b. Kepentingan yang terbaik bagi anak;
c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
d. Penghargaan terhadap pendapat anak.
Pengertian asas kepentingan yang terbaik bagi anak adalah bahwa dalam suatu
tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat,
badan legislatif dan badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak
harus menjadi pertimbangan utama.
Pengertian asas untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan adalah
bahwa hak-hak asasi yang mendasar bagi anak wajib dilindungi oleh negara,
pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua. Artinya pihak-pihak tersebut,
wajib mewujudkan dan tidak meniadakan hak-hak yang dimaksud (hak hidup, hak
kelangsungan hidup dan hak berkembang).
Pengertian asas penghargaan terhadap pendapat anak adalah adanya
penghormatan atas hak untuk mengambil keputusan, terutama terhadap hal yang
berkaitan dengan kehidupannya.
Pasal 3, Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak
anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang
berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.22
Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2002, Hak-hak anak meliputi :23
1. Hak hidup, tumbuh, berkembang, berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi;
2. Hak atas nama dan identitas diri dan status kewarganegaraan; 3. Hak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi;
4. Hak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh atau diasuh oleh pihak lain apabila karena sesuatu hal orang tua tidak mewujudkannya; 5. Hak memperoleh pelayanan kesehatan jasmani dan rohani, jaminan sosial
sesuai dengan kebutuhan fisik, mental spiritual dan sosial;
6. Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran dan bagi yang cacat memperoleh pendidikan luar biasa;
22 Muhammad Taufik Makarao, dkk, Hukum Perlindungan Anak dan Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (Jakarta : Rineka Cipta, 2013), hal.107-108.
7. Hak untuk didengar pendapatnya, menerima dan mencari informasi dan juga memberi informasi;
8. Hak berkreasi, istirahat, memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan yang sebaya dan yang cacat berhak mendapatkan rehabilitasi, bantuan sosial dan memelihara taraf kesejahteraan sosial;
9. Selama dalam pengasuhan, anak berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi atau seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan dan penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya terhadap pelaku hal-hal yang tersebut dengan hukuman;
10.Hak untuk diasuh orang tuanya sendiri, kecuali apabila terdapat aturan hukum yang meniadakannya;
11.Hak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam sengketa bersenjata, pelibatan dalam kekerasan sosial, pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan, dan pelibatan dalam peperangan;
12.Hak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak menusiawi, hak memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum. Penangkapan, penahanan, atau hukuman penjara yang dapat dilakuakan sesuai hukum dan itu merupakan upaya terakhir;
13.Anak yang dirampas kebebasannya, berhak mendapatkan perlakuan yang manusiawi dan penempatannya dipisah dari orang tua, memperoleh bantuan hukum dan bantuan lainnya secara efektif dari setiap tahapan hukum, membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang obyektif dan tidak memihak;
14.Anak yang menjadi korban, berhak memperoleh bantuan hukum dan bantuan lainnya.
C. Prinsip Perlindungan Hak-Hak Anak
Sebagai negara yang Pancasilais, serta menjunjung tinggi nilai-nilai
kebangsaan dan kemanusiaan, Indonesia memiliki banyak peraturan yang secara
tegas memberikan upaya perlindungan anak. Dalam konstitusi UUD 1945,
disebutkan bahwa “fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”,
kemudian juga perlindungan spesifik hak anak sebagai bagian dari Hak Asasi
kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta memperoleh perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi.”
Selanjutnya perlindungan hak anak di Indonesia dapat dilihat dalam
Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang bersamaan dengan
penetapan tahun 1979 sebagai “Tahun Anak Internasional”, selanjutnya Indonesia
aktif terlibat dalam pembahasan Konvensi Hak Anak tahun 1989, yang kemudian
diratifikasi melalui Keppres No. 36 Tahun 1990 Tentang Konvensi Hak-Hak
Anak ( Convention on the Rights of the Child ).
Pada Tahun 2002, disahkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, yang secara tidak langsung mengakomodir prinsip-prinsip
hak anak sebagaimana diatur dalam Konvensi Hak Anak. Salah satu
implementasinya adalah dengan pembentukan Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI).
Undang-Undang Perlindungan Anak ini kemudian dilengkapi dengan
memasukkan prinsip-prinsip hak anak pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan, Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), Undang-Undang No. 21
Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Keppres
RI No. 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan
Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, Keppres RI No. 87 Tahun 2002 tentang
Keppres RI No. 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan
Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak.24
Dalam konteks perlindungan anak sebagai implementasi hak-hak anak,
Irwanto menyebutkan beberapa prinsip perlindungan anak, yaitu :25
1) Anak Tidak dapat Berjuang Sendiri
Anak sebagai generasi penerus dan modal utama kelangsungan hidup
manusia, bangsa dan keluarga sehingga hak-haknya harus dilindungi.
Ironisnya bahwa ternyata anak tidak dapat melindungi hak-haknya secara
sendirian begitu saja. Banyak pihak yang terlalu berkuasa yang harus
dilawannya sendiri. Karena negara dan masyarakat berkepentingan akan
mutu dan warganya, maka dengan demikian negara harus ikut campur
dalam urusan perlindungan hak-hak anak.
2) Kepentingan Terbaik Anak (the Best Interest of the Child)
Agar perlindungan anak terselenggara dengan baik maka perlu dianut
sebuah prinsip yang menyatakan bahwa kepentingan terbaik anak harus
dipandang sebagai of paramount importance (memperoleh prioritas tertinggi) dalam setiap keputusan yang menyangkut anak. Prinsip the best Interest of the child digunakan karena dalam banyak hal anak adalah “korban”, termasuk korban ketidaktahuan (Ignorance) karena usia perkembangannya. Selain itu, tidak ada kekuatan yang dapat
menghentikan tumbuh kembang anak. Jika prinsip ini diabaikan, maka
24Ibid. hal. 27-28.
masyarakat akan menciptakan monster-monster yang lebih buruk
dikemudian hari.
3) Ancangan Daur Kehidupan (Life-circle Approach)
Perlindungan terhadap anak mengacu pada pemahaman bahwa
perlindungan harus dimulai sejak dini dan terus menerus. Janin yang
berada dalam kandungan perlu dilindungi dengan gizi, termasuk yodium
dan kalsium yang baik bagi ibunya. Jika ia telah lahir maka diperlukan air
susu ibu dan pelayanan kesehatan primer yang memberikannya pelayanan
imunisasi dan lain-lain sehingga anak terbebas dari berbagai kemungkinan
penyakit. Masa-masa prasekolah dan sekolah diperlukan keluarga,
lembaga pendidikan dan lembaga sosial, keagamaan yang bermutu. Inilah
periode kritis dalam pembentukan kepribadian seseorang. Anak harus
memperoleh kesempatan belajar yang baik, waktu istirahat dan bermain
yang cukup, dan ikut menentukan nasibnya sendiri. Pada saat anak
berumur 15-18 tahun, dia memasuki masa transisi ke dalam dunia dewasa.
Periode pendek ini memang penuh risiko karena secara kultural seseorang
akan dianggap dewasa dan secara fisik memang telah cukup sempurna
untuk menjalankan fungsi reproduksinya. Pengetahuan yang benar tentang
reproduksi dan perlindungan dari berbagai diskriminasi dan perlakuan
salah sehingga dapat memasuki perannya sebagai orang dewasa yang
berbudi dan bertanggung jawab. Perlindungan hak-hak mendasar bagi para
dewasa juga diperlukan agar generasi penerus mereka tetap bermutu.
Orang tua yang sehat jasmani dan rohaninya akan selalu menjaga tingkah
laku kebutuhan fisik maupun emosional anak-anak mereka.
4) Lintas Sektoral
Seperti diuraikan di atas, nasib anak bergantung dari berbagai faktor yang
makro maupun mikro yang langsung maupun tidak langsung. Kemiskinan,
perencanaan kota dan segala penggusuran yang terjadi, sistem pendidikan
yang menekankan hapalan dan bahan-bahan yang tidak relevan, komunitas
yang penuh dengan ketidakadilan, dan sebagiannya tidak dapat ditangani
sektor, terlebih keluarga atau anak itu sendiri. Perlindungan terhadap anak
adalah perjuangan yang membutuhkan sumbangan semua orang di semua
tingkatan.
Berdasarkan Konvensi Hak Anak yang kemudian diadopsi dalam
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, ada empat prinsip umum
perlindungan anak yang menjadi dasar bagi setiap negara dalam
menyelenggarakan perlindungan anak, antara lain :26
1. Prinsip Non diskriminasi
Artinya semua hak yang diakui dan terkandung dalam Konvensi Hak Anak
harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa pembedaan apapun. Prinsip ini ada
dalam Pasal 2 Konvensi Hak Anak ayat (1), “Negara-negara pihak menghormati
dan menjamin hak-hak yang ditetapkan dalam konvensi ini bagi setiap anak yang
berada di wilayah hukum mereka tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun, tanpa
memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik
atau pandangan-pandangan lain, asal usul kebangsaan, etnik atau sosial, status
kepemilikan, cacat atau tidak, kelahiran atau status lainnya baik dari si anak
sendiri atau dari orang tua walinya yang sah.” Ayat (2) : “Negara-negara pihak
akan mengambil semua langkah yang perlu untuk menjamin agar anak dilindungi
dari semua diskriminasi atau hukuman yang didasarkan pada status, kegiatan,
pendapat yang dikemukakan atau keyakinan dari orang tua anak, walinya yang
sah atau anggota keluarganya.”
2. Prinsip Kepentingan Terbaik bagi Anak (Best Interest of The Child)
Prinsip ini tercantum dalam Pasal 3 ayat (1) Konvensi Hak Anak : “Dalam
semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan lembaga-lembaga
kesejahteraan sosial pemerintah maupun swasta, lembaga peradilan, lembaga
pemerintah atau badan legislatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus
menjadi pertimbangan utama.”
Prinsip ini mengingatkan kepada semua penyelenggaraan perlindungan
anak bahwa pertimbangan-pertimbangan dalam pengambilan keputusan
menyangkut masa depan anak, bukan dengan ukuran orang dewasa, apalagi
berpusat kepada kepentingan orang dewasa. Apa yang menurut orang dewasa
baik, belum tentu baik pula menurut ukuran kepentingan anak. Boleh jadi maksud
orang dewasa memberikan bantuan dan menolong, tetapi yang sesungguhnya
terjadi adalah penghancuran masa depan anak.
Prinsip ini tercantum dalam Pasal 6 Konvensi Hak Anak ayat (1) :
“Negara-negara pihak mengakui bahwa setiap anak memiliki hak yang melekat
atas kehidupan.” Ayat (2) : “Negara-negara pihak akan menjamin sampai batas
maksimal kelangsungan hidup dan perkembangan anak.”
Pesan dari prinsip ini sangat jelas bahwa negara harus memastikan setiap
anak akan terjamin kelangsungan hidupnya karena hak hidup adalah sesuatu yang
melekat dalam dirinya, bukan pemberian dari negara atau orang perorang. Untuk
menjamin hak hidup tersebut berarti negara harus menyediakan lingkungan yang
kondusif, sarana dan prasarana hidup yang memadai, serta akses setiap anak untuk
memperoleh kebutuhan-kebutuhan dasar. Berkaitan dengan prinsip ini, telah juga
dijabarkan dalam pembahasan sebelumnya berkaitan dengan hak-hak anak.
4. Prinsip Penghargaan terhadap Pendapat Anak (Respect for the views of The Child)
Prinsip ini ada dalam Pasal 12 ayat (1) Konvensi Hak Anak :
“Negara-negara pihak akan menjamin anak-anak yang mempunyai pandangan sendiri
memperoleh, menyatakan pandangan-pandangan secara bebas dalam semua hal
yang mempengaruhi anak, dan pandangan tersebut akan dihargai sesuai dengan
tingkat usia dan kematangan anak.”
Prinsip ini menegaskan bahwa anak memiliki otonomi kepribadian. Oleh
sebab itu, dia tidak bisa hanya dipandang dalam posisi yang lemah, menerima, dan
pasif, tetapi sesungguhnya dia pribadi otonom yang memiliki pengalaman,
keinginan, imajinasi, obsesi, dan aspirasi yang belum tentu sama dengan orang
Perspektif perlindungan anak adalah cara pandang terhadap semua
persoalan dengan menempatkan posisi anak sebagai yang pertama dan utama.
Implementasinya cara pandang demikian adalah ketika kita selalu menempatkan
urusan anak sebagai hal yang paling utama.
D. Perlindungan Anak Dalam Kedudukan Hukum
Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan
kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi
perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental, dan sosial.
Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu
masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai
bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Kegiatan perlindungan anak
membawa akibat hukum, baik dalam kaitannya dengan hukum tertulis maupun
hukum tidak tertulis. Hukum merupakan jaminan bagi kegiatan perlindungan
anak. Arif Gosita mengemukakan bahwa kepastian hukum perlu diusahakan demi
kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang
membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan perlindungan
anak.
Perlindungan anak dapat dibedakan dalam 2 (dua) bagian yaitu :
1. Perlindungan anak yang bersifat yuridis, yang meliputi : Perlindungan
2. Perlindungan anak yang bersifat non yuridis, meliputi : perlindungan
dalam bidang sosial, bidang kesehatan, dan bidang pendidikan.27
Dalam kaitannya dengan persoalan perlindungan hukum bagi anak-anak, maka
dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 34 telah ditegaskan bahwa “Fakir
miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Hal ini menunjukkan
adanya perhatian serius dari pemerintah terhadap hak-hak anak dan
perlindungannya. Lebih lanjut pengaturan tentang hak-hak anak dan
perlindungannya ini terpisah dalam berbagai ketentuan peraturan
perundang-undangan, antara lain :28
1. Dalam bidang perlindungan anak dengan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
2. Dalam bidang hukum dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Peradilan Anak;
3. Dalam bidang kesehatan dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1960
tentang Pokok-pokok Kesehatan, diatur dalam Pasal 1, Pasal 3 ayat (1) dan
Pasal 9 ayat (2);
4. Dalam bidang pendidikan dengan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar
1945 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1954 tentang Dasar-dasar
Pendidikan dan Pengajaran di sekolah, diatur dalam Pasal 19 dan Pasal 17;
5. Dalam bidang tenaga kerja dengan ordonansi tanggal 17 Desember 1925
tentang Peraturan Pembatasan Kerja Anak dan Kerja Malam bagi wanita
27 Maidin Gultom, Op.cit, hal. 33.
jo. Ordonansi tanggal 27 Februari 1926 Stbl. Nomor 87 Tahun 1926 ditetapkan tanggal 1 Mei 1976 tentang Peraturan Mengenai Kerja
Anak-anak dan orang-orang Muda di atas Kapal jo. Undang-Undang Keselamatan Kerja stbl. 1947 Nomor 208 jo. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951 yang memberlakukan Undang-Undang Kerja Nomor 12
Tahun 1948 di Republik Indonesia;
6. Dalam bidang Kesejahteraan Sosial, dengan Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
E. Ruang Lingkup Hukum Perlindungan Anak
Untuk mendefenisikan Hukum Perlindungan Anak sebagai bahan
pegangan teoretis dalam meletakkan hak-hak anak sebagai subjek hukum, terlebih
dahulu perlu dipahami pengertian hukum pada umumnya. Dalam ilmu hukum
terdapat beberapa pengertian dari hukum yang dijadikan bahan rujukan yang
konkret terhadap pengertian Hukum Perlindungan Anak, meliputi defenisi hukum,
sifat dan tujuan Perlindungan Anak pada umumnya, sebagai berikut.
a. Menurut S.M. Amin, hukum adalah kempulan-kumpulan peraturan yang
terdiri dari norma dan sanksi-sanksi hukum.
b. Menurut J.C.T. Simorangkir, hukum adalah peraturan yang bersifat
memaksa yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan
masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib.
Pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tadi mengakibatkan timbulnya
c. Menurut Mr. E. M. Meyers, hukum adalah aturan yang mengandung
pertimbangan kesusilaan di tujukan pada tingkah laku manusia dalam
masyarakat dan yang menjadi pedoman bagi penguasa-penguasa negara
dalam tugasnya.
Dari defenisi tersebut, didapat unsur-unsur hukum yang esensial sebagai
berikut :
a. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat;
b. Peraturan dibuat oleh badan-badan resmi pemerintah;
c. Peraturan itu bersifat memaksa;
d. Terdapat sanksi dalam rumusan peraturan.
Kedudukan unsur ini menunjukkan pengertian yang lebih luas dari hukum itu
sendiri yang menjadi ciri dan sifat hukum pada masyarakat, antara lain :
a. Adanya peraturan dan atau larangan secara tertulis;
b. Peraturan dan larangan harus dipatuhi oleh setiap orang dan atau subjek
hukum.
Kedudukan hukum pada umumnya maupun Hukum Perlindungan Anak,
memiliki tujuan hukum yang hendaknya didapat dari suatu kesamaan penafsiran.
Tentang tujuan hukum oleh masing-masing Sarjana Hukum, baik pakar-pakar
hukum dan praktisi hukum, seperti Subekti, menyebutkan tujuan hukum nasional
kita adalah untuk memperoleh keadilan dan kebenaran. Berbeda dengan L.J. Van
Apeldoorn, tujuan hukum mengatur pergaulan hidup manusia yang satu dengan
Meletakkan batasan ruang lingkup Hukum Perlindungan Anak, Arif Gosita,
berpendapat bahwa ruang lingkup Hukum Perlindungan Anak meliputi “kegiatan
perlindungan anak yang merupakan suatu tindakan hukum yang membawa akibat
hukum”. Lebih lanjut beliau menyebutkan bahwa perlu adanya jaminan hukum
bagi kegiatan perlindungan anak tersebut. Kepastian hukumnya perlu diusahakan
demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan
yang membawa akibat negatif yang tidak diingini dalam pelaksanaan kegiatan
perlindungan anak.
Berbeda pandangan dengan Irma Setyowati Soemitro, yang menyebutkan
bahwa ruang lingkup Hukum Perlindungan Anak dikelompokkan dalam
pengertian perlindungan anak. Perlindungan anak dapat dibedakan dalam dua
pengertian berikut ini :
a. Perlindungan yang bersifat yuridis, meliputi perlindungan dalam :
(1) Bidang hukum publik (pidana);
(2) Bidang hukum keperdataan (perdata).
b. Perlindungan yang bersifat nonyuridis yang meliputi :
(1) Bidang sosial;
(2) Bidang kesehatan;
(3) Bidang pendidikan.
Menurut Bismar Siregar, bahwa untuk mengelompokkan Hukum
Perlindungan Anak dengan bentuk, yaitu Aspek Hukum Perlindungan Anak.
yang diatur dalam hukum dan bukan kewajiban, mengingat ketentuan hukum
(yuridis) anak belum dibebani dengan kewajiban.29
Menurut Mr. H. De Bie, merumuskan sebagai kinderrecht yang diartikan sebagai Aspek Hukum Anak, yang dibatasi pada keseluruhan ketentuan hukum
mengenai perlindungan bimbingan dan peradilan anak/ remaja, seperti yang diatur
dalam BW, Hukum Acara Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana serta peraturan pelaksanaannya.
Menurut Mr. J.E. Doek dan H. M. A. Drewes, memberikan pengertian
hukum perlindungan anak/ remaja dengan pengertian jongerenrecht ( hukum perlindungan anak muda ) dan memberi pengelompokan ke dalam dua bagian,
yaitu :30
a. Dalam pengertian luas
Hukum Perlindungan Anak adalah segala aturan hidup yang memberikan
perlindungan kepada mereka yang belum dewasa dan memberikan
kemungkinan bagi mereka untuk berkembang;
b. Dalam pengertian sempit
Hukum Perlindungan Anak meliputi perlindungan hukum yang terdapat
dalam :
(1) Ketentuan hukum perdata (regels van civiel givilrecht); (2) Ketentuan hukum pidana (Regels van strafrecht)
29Maulana Hasan Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, ( Jakarta :
(3) Ketentuan hukum acara (procesrechtlijke regels).
F. Tanggung Jawab Pemerintah Terhadap Perlindungan Anak
Komitmen pemerintah terhadap perlindungan anak merupakan suatu elemen
esensial bagi lingkungan yang bersifat melindungi. Ini mencakup jaminan bahwa
sumber-sumber daya yang mencukupi harus tersedia bagi perlindungan anak,
misalnya program untuk memerangi buruh anak. Ini mencakup pimpinan politik
yang bersifat pro aktif dalam meningkatkan perlindungan pada agenda mereka
dan bertindak sebagai advokat dalam perlindungan.
Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua berkewajiban dan
bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 20
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002).
Adapun kewajiban dan tanggung jawab negara dan pemerintah adalah sebagai
berikut :
(1) Bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak
(Pasal 21)
Menurut Pasal 21 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 :
“Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak dan kondisi fisik dan/ atau mental anak”.
(2) Berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan, sarana dan
prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 22) :
penyelenggaraan perlindungan anak. Dukungan sarana dan prasarana tersebut misalnya; lapangan bermain, lapangan olahraga, rumah ibadah, gedung kesenian, tempa