• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ragam jenis ektoparasit pada hewan uji coba tikus putih (Rattus norvegicus) galur sprague dawley

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Ragam jenis ektoparasit pada hewan uji coba tikus putih (Rattus norvegicus) galur sprague dawley"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

RAGAM JENIS EKTOPARASIT PADA HEWAN COBA TIKUS

PUTIH (Rattus norvegicus) GALUR SPRAGUE DAWLEY

PRADIPTA NURI ADIYATI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Pradipta Nuri Adiyati. EctoparasitesDiversity ofan Experimental Animal

Rattus norvegicus Strain Sprague Dawley. Under direction ofdrh. Upik Kesumawati Hadi, MS, Ph.Danddrh. Supriyono.

The aim of this study was to know the diversity and morphology of ectoparasitesofRattus norvegicusstrain Spargue Dawley as experimental animal. The research was conducted in March to April 2010 and implemented in 3 sampling,blood smear preparation, and identification. The ectoparasites wer collected and mounted by Hoyer solution. Species identification was don Baker and Canin€s systematic key(1958). The results showed that there were 3 species of ectoparasites found in experimental animalR. norvegicus, i.e.Laelaps

echidninus(92%),Polyplax spinulosa (6%), and Ixodid ticks larvae (2%). Based on the discovery of ectoparasites region, 44% ectoparasites found i region of the body, 32% in the tail, and 24% on the head.The generalsymptomof

theexperimental rats infestedby ectoparasitesshowednervous andbitingits own

bodies. Thegross featuresofwhite blood cells were higher than normally rats, especiallyon lymphocytes and monocytes.However,thefeatures of neutrophyls, eosinophyls, and basophylsof the rats were normal.

(3)

ABSTRAK

Pradipta Nuri Adiyati.Ragam Jenis Ektoparasit pada Hewan Coba Tikus Putih (Rattus norvegicus) Galur Sprague Dawley. Dibawah bimbingandrh. Upik

Kesumawati Hadi, MS, Ph.Danddrh. Supriyono.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman jenis dan m ektoparasit yang terdapat pada tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague

Dawley sebagai hewan coba. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mare A pril 2010 dan terdiri atas tiga tahap: pengambilan sampel ektoparasi preparat darah, dan identifikasi. Ektoparasit yang telah dikoleks diberikan larutan Hoyer. Identifikasi dilakukan dengan menggunaka identifikasi Baker dan Canin (1958). Hasil menunjukkan bahwa terdapat tiga je spesies yang ditemukan pada tikus putih (Rattus norvegicus), yaituLaelaps

echidninus (92%),Polyplax spinulosa (6%),dan larva caplak Ixodidae(2%). Berdasarkan regio, sebanyak 44% ektoparasit ditemukan di bagian punggung tubuh, 32% di pangkal ekor, dan 24% di kepala.Gambaran umum mengenai perilaku tikus yang terinfestasiektoparasit adalahgelisah,seringmenggigit dan menggesek-gesektubuhnya sendiri.Hasil penelitianini juga menunjukkan bahwa gambaran diferensiasi sel darah putihpada tikus tersebut menunjukkan adanya peningkatan jumlah limfosit dan monosit. Namun demikian, gambaran neutrofil, eosinofil, dan basofil tidak mengalami perubahan yang sign

(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Ragam Jenis Ektoparasit pada

Hewan Coba Tikus Putih (Rattus norvegicus) Galur Sprague Dawley adalah karya

saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk

apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau

dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah

disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir

skripsi ini.

Bogor, Agustus 2011

Pradipta Nuri Adiyati

(5)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(6)

PRADIPTA NURI ADIYATI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul : Ragam Jenis Ektoparasit pada Hewan Coba Tikus Putih

(Rattus norvegicus) Galur Sprague Dawley

Nama mahasiswa : Pradipta Nuri Adiyati

NRP : B04070184

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr.drh. Upik Kesumawati Hadi, MS Ketua

drh. Supriyono anggota

Diketahui,

Dr. Nastiti Kusumorini

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

(8)

Nya sehingga skripsi yang berjudul Ragam Jenis Ektoparasit pada Hewan Coba

Tikus Putih (Rattus norvegicus) Galur Sprague Dawley telah diselesaikan. Skripsi

ini disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran

Hewan Institut Pertanian Bogor.

Penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya, penulis

ucapkan kepada :

1 Keluarga tercinta, Bapak, Ibu, Ajun dan Fahmi atas segala nasehat,

kesabaran, dukungan, dan doanya kepada penulis.

2 drh. Upik Kesumawati Hadi, MS, Ph.D dan drh. Supriyono selaku dosen

pembimbing tugas akhir yang telah memberikan ilmu-ilmunya dan

bersabar dalam membimbing penulis.

3 Bima yang selalu menemani dan memberikan semangat untuk tidak pernah

menyerah setiap saat.

4 Teman-teman seperjuangan penelitian di Laboratoriun Entomologi yang

bersama-sama berjuang dalam menyelesaikan tugas akhir.

5 Arni, Rio, dan Ridwan yang telah membantu penulis dalam proses

penyusunan skripsi dan dukungannya dalam penyelesaian tugas akhir.

6 Seluruh teman-teman Gianuzzi yang telah bersama-sama selama 3 tahun

menuntut ilmu di FKH IPB.

7 Dosen-dosen dan Staf Laboratorium Entomologi yang tak pernah bosan

selalu membantu dan memberikan senyuman serta semangat setiap

harinya.

8 Teman-teman di Tri Regina yang tak pernah lelah mendukung penulis

untuk menyelesaikan tugas akhirnya.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, Agustus 2011

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bengkulu pada tanggal 1 Maret 1990 dari ayah Drs.

Boko Susilo, M.Kom dan ibu Rusmiyati. Penulis merupakan putri pertama dari

tiga bersaudara.

Penulis dibesarkan di kota Yogyakarta dan menempuh pendidikan sekolah

taman kanak-kanak di TK Aisyiah 3, Depok, kemudian melanjutkan di SD Negeri

Nglarang, Yogyakarta. Namun, pada tahun 1999 penulis kembali ke Bengkulu dan

melanjutkan sekolah di SD Negeri 2 Bengkulu hingga lulus di tahun 2000. Di

tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan ke bangku SMP Negeri 2 Kota

Bengkulu dan lulus pada tahun 2004. Tahun 2007 penulis lulus dari SMA

Muhammadiyah 1 Yogyakarta dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB

melalui jalur SPMB. Penulis memilih Fakultas Kedokteran Hewan sebagai

program studi mayor di perguruan tinggi IPB.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten praktikum mata

kuliah Embriologi dan Genetika Perkembangan pada tahun 2009-2010. Penulis

juga aktif di berbagai organisasi seperti Himpunan Minat dan Profesi Hewan

Kesayangan dan Satwa Akuatik Eksotik (HIMPRO HKSA) Komunitas Seni

STERIL, dan Ikatan Mahasiswa Daerah Istimewa Yogyakarta (IKAMADITA).

Penulis juga merupakan aktivis di Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan

Indonesia (IMAKAHI) dan pernah menjabat sebagai Sekretaris Jendral Pengurus

Besar Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (Sekjen PB IMAKAHI)

(10)

DAFTAR ISI Tikus putih (Rattus norvegicus)... 3

Jenis ektoparasit pengganggu pada tikus putih (R. norvegicus) ... 6

Gambaran diferensiasi sel darah putih pada tikus putih (R. norvegicus)... 9

METODOLOGI Waktu dan tempat penelitian ... 14

Alat dan bahan penelitian ... 14

Pengambilan sampel ektoparasit ... 14

Pembuatan preparat ektoparasit ... 14

Identifikasi ektoparasit ... 15

Pengamatan tikus yang terinfeksi ektoparasit ... 15

Analisis data ... 16

HASIL DAN PEMBAHASAN Jenis ektoparasit ... 17

Sebaran jenis-jenis ektoparasit pada tikus putih (R. norvegicus)... 23

Sebaran ektoparasit berdasarkan regio ... 24

Gambaran umum tikus putih yang terinfestasi ektoparasit ... 25

Gambaran sel darah putih (leucocyte) tikus putih (R. norvegicus) .. 26

Pengendalian ektoparasit pada tikus putih (R. norvegicus) ... 27

SIMPULAN DAN SARAN ... 29

DAFTAR PUTAKA ... 30

(11)

iv

DAFTAR TABEL

No Teks Halaman

1 Jenis-enis ektoparasit pada tikus putih (R. norvegicus) ... 24 2 Sebaran ektoparasit pada tikus putih (R. norvegicus)

(12)

DAFTAR GAMBAR

No Teks Halaman

1 MorfologiLaelaps echidninus ... 7 2 MorfologiNotoedres cati ... 8 3 Xenopsylla cheopis... 9 4 Sel darah putih 13

(a) Neutrofil; (b) Eosinofil; (c) Basofil; (d) Limosit; (e) Monosit ...

(13)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seiring dengan perkembangan ilmu kedokteran pemanfaatan hewan

sebagai objek percobaan juga terus berkembang. Hewan coba merupakan hewan

yang dikembangbiakkan untuk digunakan sebagai hewan uji coba di laboratorium.

Beberapa contoh hewan yang biasa digunakan sebagai hewan coba adalah tikus

putih (R. norvegicus) dan mencit putih (Mus musculusstrain albino).

Tikus putih (R. norvegicus) merupakan hewan coba yang sering digunakan

pada penelitian biomedis, pengujian, dan pendidikan. Sebagai hewan rondentia

(pengerat), tikus juga tidak bebas dari infestasi ektoparasit. Ektoparasit adalah

parasit yang berada di luar tubuh inang.

Jenis ektoparasit pada tikus yang pernah dilaporkan pada studi di

Sarpole-Zahab, Provinsi Kermanshah, Iran, terdapat sebanyak sembilan spesies ektoparasit

yang ditemukan pada 139 ekor tikus di enam spesies yang diidentifikasi.

Ektoparasit tersebut yaitu tiga jenis pinjal (Pulex irritans, Xenopsylla buxtoni,

Nosopsyllus medus), satu jenis kutu penghisap (Polyplax spinulosa), dua jenis

caplak (Rhipicephalussp.,Hyalomma sp.), dan tiga jenis tungau (Laelaps nutalli,

Dermanysus sanguineus, Ornithonyssus bacoti) (Telmadarraiy et al. 2007).

Motevalli et al. (2002) menemukan ektoparasit Echinolaelaps echidninus,

Hoplopleura sp., Rhipicephalus sp., dan Nosopsyllus fasciatus pada R.

norvegicus, R. rattus, Mus musculus, Glis glis, Apodemous sylvaticus, Nesokia

indica,danArvicola terretrisdi wilayah Selatan Laut Kaspia.

Ektoparasit dapat menimbulkan kerugian pada inangnya, yaitu terjadinya

iritasi, kegatalan serta gejala lain yang mengindikasikan kondisi

ketidaknyamanan. Selain itu, ektoparasit juga dapat sebagai vektor berbagai

macam agen penyakit. Tubuh inang digunakan sebagai tempat untuk berkembang

biak serta bertahan hidup.

Keberadaan ektoparasit ini mempengaruhi kesehatan tikus sebagai hewan

(14)

berbagai macam agen penyakit. Tikus juga berperan dalam penyebaran penyakit

zoonosis, seperti leptospirosis, salmonellosis, rat-bite fever, leishmaniasis, dan

plague (Kia et al. 2009). Tikus rentan terhadap penyakit infeksius yang

disebabkan oleh bakteria, virus, parasit, dan jamur. Beberapa penelitian yang telah

dilakukan menunjukkan penyakit yang terdapat pada tikus seperti plague,

tripanosomiasis, dan merupakan reservoir alami penyebabepidemic haemorrhagic

fever (EHF)virus (Su et al. 1989; Coutinho dan Linardi 2007; Wei et al. 2010).

Selain itu, tikus di alam juga dapat dijadikan sebagai indikator kehadiran dan

dispersal dari enam agen mikroba zoonotik, seperti Rickettsia typhi, R. Conorii,

Toxoplasmasp., Coxiella burnetti, Bartonella henselae,danLeishmania infantum

(Annaet al. 2010).

Selain mempengaruhi kesehatan tikus putih, keberadaan ektoparasit juga

dapat mempengaruhi hasil dari penelitian yang menggunakan tikus sebagai hewan

coba. Oleh karena itu, sangat penting diketahui jenis-jenis ektoparasit yang

terdapat pada tikus sebagai hewan coba. Info mengenai jenis-jenis ektoparasit

pada tikus ini belum pernah ditemukan sehingga penelitian ini diperlukan.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman jenis dan morfologi

ektoparasit pada tikus putih (R. norvegicus) galur Sprague Dawley sebagai hewan

coba.

1.3 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang keberadaan

dan jenis ektoparasit yang terdapat pada tikus putih (R. norvegicus) galur Sprague

Dawley sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan

penggunaan tikus terinfestasi ektoparasit sebagai hewan coba dan pengendalian

(15)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Tikus putih (R. norvegicus)

Hewan coba merupakan hewan yang dikembangbiakkan untuk digunakan

sebagai hewan uji coba. Tikus sering digunakan pada berbagai macam penelitian

medis selama bertahun-tahun. Hal ini dikarenakan tikus memiliki karakteristik

genetik yang unik, mudah berkembang biak, murah serta mudah untuk

mendapatkannya. Tikus merupakan hewan yang melakukan aktivitasnya pada

malam hari (nocturnal).

Tikus putih (R. norvegicus) atau biasa dikenal dengan nama lainNorway

Ratberasal dari wilayah Cina dan menyebar ke Eropa bagian barat (Sirois 2005).

Pada wilayah Asia Tenggara, tikus ini berkembang biak di Filipina, Indonesia,

Laos, Malaysia, dan Singapura (Medway 1983). Faktor yang mempengaruhi

penyebaran ekologi dan dinamika populasi tikus putih (R. norvegicus) yaitu faktor

abiotik dan biotik. Faktor abiotik yang penting dalam mempengaruhi dinamika

populasi tikus adalah air minum dan sarang. Air merupakan kebutuhan penting

bagi tikus. Sarang memiliki beberapa fungsi untuk kehidupan tikus, seperti untuk

melahirkan, membesarkan anak-anaknya, menyimpan pakan, berlindung dari

lingkungan yang kurang menguntungkan, dan tempat untuk beristirahat. Cuaca

tidak mempengaruhi secara langsung pada dinamika populasi tikus. Faktor biotik

yang penting dalam mempengaruhi populasi tikus antara lain adalah (1) tumbuhan

atau hewan kecil sebagai sumber pakan, (2) patogen (penyebab penyakit) dari

golongan virus, bakteri, cendawan, nematoda, protozoa, dan sebagainya, (3)

predator dari golongan reptilia, aves, dan mamalia, (4) tikus sebagai kompetitor,

khususnya pada populasi tinggi, dan (5) manusia yang merupakan musuh utama

bagi tikus (Priyambodo 1995).

2.1.1 Klasifikasi Tikus Putih (R. norvegicus)

Tikus digolongkan ke dalam Ordo Rodentia (hewan pengerat), Famili

(16)

Ordo Rodentia merupakan ordo terbesar dari kelas mamalia karena memiliki

jumlah spesies (40%) dari 5.000 spesies di seluruh mamalia.

Klasifikasi tikus putih (R. norvegicus) menurut Myres & Armitage (2004).

Kingdom : Animalia

Tikus putih merupakan strain albino dari R. norvegicus. Tikus memiliki

beberapa galur yang merupakan hasil pembiakkan sesama jenis atau persilangan.

Galur yang sering digunakan untuk penelitian adalah galur Sprague Dawley

(Inglis 1980). Galur ini berasal dari peternakan Sprague Dawley, Madison,

Wiscoustin.

2.1.2 Ciri Morfologi Tikus Putih (R. norvegicus)

Tikus putih (R. norvegicus) yang memiliki nama lain Norway rat,

termasuk ke dalam hewan mamalia yang memiliki ekor panjang. Ciri-ciri galur ini

yaitu bertubuh panjang dengan kepala lebih sempit. Telinga tikus ini tebal dan

pendek dengan rambut halus. Mata tikus putih berwarna merah. Ciri yang paling

terlihat adalah ekornya yang panjang. Bobot badan tikus jantan pada umur dua

belas minggu mencapai 240 gram sedangkan betinanya mencapai 200 gram. Tikus

memiliki lama hidup berkisar antara 4-5 tahun dengan berat badan umum tikus

jantan berkisar antara 267-500 gram dan betina 225-325 gram (Sirois 2005).

Tikus dapat mendengar hingga suara ultrasonik dengan rentang

(17)

5

antara 8-32 kHz. Suara ultrasonik ini sangat penting sebagai alat berkomunikasi

antara induk dengan anaknya. Galur ini memiliki pertumbuhan yang cepat,

tempramen yang baik dan kemampuan laktasi yang tinggi (Robinson 1979). Tikus

putih (R. norvegicus) tersebar luas di beberapa tipe habitat, namun tikus putih

lebih sering terlihat pada beberapa tempat yang merupakan habitat alami dari tikus

putih, yaitu area pertanian, hutan alami maupun buatan, pesisir pantai, dan

tempat-tempat yang lembab (Pagad 2011).

2.1.3 Biologi dan Perilaku Tikus Putih (R. norvegicus)

Tikus termasuk binatang pemakan segala makanan (omnivora). Walaupun

demikian, tikus cenderung untuk memilih biji-bijian (serealia) seperti jagung,

padi, dan gandum. Air sebagai sumber minuman dapat diambil dari air bebas atau

dapat diperoleh dari pakan yang banyak mengandung air. Kebutuhan air bagi tikus

tergantung dari suhu, lingkungan, aktivitas, umur, dan jenis makanan. Kebutuhan

air berkurang, jika pakan yang dikonsumsi sudah banyak mengandung air. Pada

umumnya tikus makan secara teratur pada tempat tertentu. Tikus putih (R.

norvegicus) biasanya membuat sarang pada tempat-tempat yang berdekatan

dengan sumber makanan dan air. Tikus bermigrasi jika terjadi kekurangan

makanan pada habitat awal yang ditempati (Priyambodo 1995).

Menurut Smith & Mangkoewidjojo (1988) tikus memiliki masa kawin

pada saat berumur delapan sampai sembilan minggu. Tikus merupakan hewan

poliestrus dan berkembang biak sepanjang tahun. Periode estrus terjadi selama

dua belas jam dan lebih sering terjadi pada malam hari dibandingkan dengan siang

hari. Kelahiran anak pada tikus putih dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu

kondisi iklim dan cuaca yang optimal (khususnya suhu), pakan yang melimpah,

(18)

2.2 Jenis Ektoparasit Pengganggu pada Tikus Putih (R. norvegicus)

Penyakit yang dapat diderita oleh tikus salah satunya diakibatkan oleh

parasit luar. Ektoparasit yang dapat menginfestasi pada tikus ini meliputiPolyplax

spinulosa, Laelaps echidninus, Bdellonyssus bacoti, Notoedres cati, Otodectes

cyanotis, Echidnophaga gallinacea,danXenopsylla cheopis(Sirois 2005).

Polyplax spinulosa merupakan kutu yang termasuk dalam ordo

Phthiraptera dan famili polyplacidae. Kutu ini memiliki ukuran kecil, yaitu

berukuran mulai 1-10 mm, bermetamorfosis tak sempurna (hemimetabola), tipe

mulut untuk menusuk dan menghisap, serta tidak memiliki sayap. Kutu dapat

menyebabkan hewan tidak bisa tidur (gatal-gatal), kehilangan berat badan,

produksi berkurang, dan anemia (Levine 1990). Selain itu, kutu juga dapat sebagai

vektor penyebaran penyakit pada tikus. Penyebaran penyakit ini dapat ditularkan

melalui gigitan dari kutu yang membawa virus, bakteri, rikketsia, dan penyakit

parasitik lainnya (Omudu & Ati 2010).

Laelaps echidninusmerupakan jenis tungau yang biasa terdapat pada tikus

(Gambar 1). Tungau ini memiliki ukuran yang sangat kecil dan aktif menghisap

darah. L. echidninussendiri merupakan vektor alami dari Hepatozoon murisdan

dapat juga mentransmisikan agen tularemia (Francisella tularensis) di antara

rodentia lain. Infestasi tungau pada tubuh tikus dapat menyebabkan iritasi dan

kegatalan. L. echidninus menyebabkan lesio pada telapak kaki tikus (Flynn

(19)

7

Gambar 1 MorfologiLaelaps echidninus(ventral). (a) Kelisera, (b) Pedipalpus, (c) Peritreme, (d) Anus, (e) Keping anal, (f) Seta.

Bdellonyssus bacoti atau biasa dikenal dengan Ornithonyssus bacoti,

termasuk ke dalam famili Macronyssidae dan merupakan tungau yang biasa hidup

pada tikus. Bdellonyssus bacoti dapat menyebabkan dermatitis dan menularkan

penyakit tifus pada manusia. Tungau ini memiliki kelisera yang lebih kuat dari

pada Dermanyssus sp. dan lebih mudah terlihat di bawah mikroskop. Morfologi

lain dari tungau yaitu memiliki satu keping dorsal dan anus terletak di tengah

anterior keping anal. B. bacoti merupakan inang antara dari Litmosoides carinii

(Bowmanet al. 2003). Selain itu,B. bacotisebagai vektor mekanikTrypanosoma

cruzi(Jimenezet al.1994).

Notoedres catimerupakan parasit pada kucing, tikus, kelinci, dan manusia

(bersifat sementara). Tungau ini memiliki ukuran dewasa mencapai 230-275m

dan memiliki empat kaki yang pendek (Gambar 2). Bagian dorsal tubuh tungau

terdapat sisik, namun tidak terdapat duri. AnusN. cati terletak pada bagian dorsal

antara kaki ketiga dan keempat (Flynn 1973). Tungau ini menginfestasi kucing,

dan dapat berpindah ke hewan lain atau manusia, tetapi hanya dapat bertahan

hidup tidak lebih dari tiga hari. Hal ini disebabkan karena tungau memiliki induk

semang (inang) yang spesifik (Nahm & Corwin 1997). Peradangan dan a

b

c

d e

(20)

keratinisasi pada kulit menyebabkan kulit menjadi tebal dan berkerut (Soulsby

1982).

Gambar 2 MorfologiNotoedres cati. (a) Alat penghisap, (b) sisik, (c) anus, (d) Flagela (Urquhartet al.1987).

Otodectes cynotis merupakan tungau yang termasuk ke dalam famili

Psoroptidae. TubuhO. cynotismemiliki tarsi yang pendek, pedikulus pertama dan

kedua tidak memiliki segmen pada betina, serta di seluruh pedikulus pada jantan.

Tungau ini menginfestasi telinga bagian luar dan kulit anjing, kucing, musang,

dan rubah yang dapat menyebabkan iritasi. Karakteristik dari penyakit yang

ditimbulkan oleh O. cynotis adalah produk serumen yang berwarna gelap

(Bowmanet al.2003).

Echidnophaga gallinacea (sticktight flea), umumnya terdapat pada ayam

namun dapat menyerang hewan domestik. Pinjal ini biasanya menyerang pada

bagian kepala, terutama pial pada ayam. Beberapa hewan yang dapat dijadikan

inang olehE. gallinaceaantara lain burung-burung lokal (kalkun, burung puyuh),

tikus, anjing, kucing, dan terkadang manusia. Bentuk dewasa dari pinjal ini dapat

dikenali dari bentuk kepala dan tidak adanya pronatal serta genal ktenidia (Mullen

et al.2009).

a

b

c

(21)

9

Xenopsylla cheopismerupakan genus pinjal yang terdapat pada tikus serta

dapat menyerang ke manusia. Ukuran tubuh pinjal kurang lebih 2,5 mm. Tubuh

pinjal terdiri dari kepala, thoraks, dan abdomen. Bagian kepala dan toraks

memiliki dua segmen dan abdomen memiliki delapan segmen. X. Cheopis

memiliki tiga pasang kaki (Gambar 3). Kaki belakang pinjal memiliki tungkai

yang panjang sehingga pinjal dapat melompat jauh. Ciri morfologi yang

membedakan X. cheopisdengan genus lainnya adalah tidak memiliki rambut dan

bentuk kepala yang lebih bulat. Pinjal ini berperan penting dalam penyebaran

penyakit pes di Indonesia maupun di dunia (Gage & Kosoy 2005).

(a) (b)

Gambar 3 Xenopsylla cheopis; (a) jantan; (b) betina

2.3.1 Gambaran Diferensiasi Sel Darah Putih pada Tikus Putih (R. norvegicus)

Darah merupakan jaringan sirkulasi yang menyalurkan oksigen dan nutrisi

serta membuang karbondioksida dan beberapa materi yang tidak diperlukan oleh

tubuh melalui pertukaran gas, aktivitas seluler, dan pertahanan tubuh. Darah

tersusun dari komponen-komponen darah, yaitu sel darah dan plasma darah. Sel

darah terdiri atas sel darah merah (red blood cell), sel darah putih (white blood

(22)

2.3.1 Sel Darah Putih (Leucocyte)

Sel darah putih dikenal sebagai leukosit merupakan unit pertahanan tubuh

yang dibentuk di sumsum tulang belakang dan sebagian dibentuk di jaringan

limfoid. Granulosit dan monosit merupakan sel darah putih yang dibentuk di

sumsum tulang belakang, sedangkan limfosit dan sel-sel plasma dibentuk di

jaringan limfoid. Granulosit merupakan sel-sel polimorfonuklear yang memiliki

granular, seperti neutrofil, eosinofil, dan basofil. Granulosit memiliki masa hidup

empat sampai delapan jam dalam sirkulasi darah dan empat sampai lima hari

berikutnya pada jaringan yang membutuhkan. Namun, pada infeksi yang berat,

masa hidup keseluruhan dapat berkurang lebih cepat karena granulosit bekerja

lebih cepat pada daerah yang terinfeksi, melakukan fungsinya, dan masuk ke

dalam proses ketika sel-sel tersebut dimusnahkan. Monosit memiliki masa edar

yang singkat, yaitu 10-20 jam dalam darah, sedangkan limfosit memiliki masa

hidup berminggu-minggu atau berbulan-bulan tergantung dari kebutuhan tubuh

terhadap limfosit (Guyton & Hall 2008)

Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan humoral.

Neutrofil, eosinofil, basofil, dan monosit berfungsi sebagai pelindung tubuh

terhadap zat asing dengan cara fagositosis (seluler). Fungsi limfosit dan sel

plasma berkaitan dengan sistem imun (humoral). Diferensiasi sel darah putih

dapat menjadi acuan untuk mengetahui sistem kekebalan tubuh pada tikus jika

terserang suatu penyakit (Guyton & Hall 2008)

2.3.2 Neutrofil

Neutrofil merupakan sel darah putih yang tergolong ke dalam sel

polimorfonuklear (PMN). Neutrofil dibentuk dalam sumsum tulang dan

dikeluarkan dalam sistem sirkulasi. Jumlah neutrofil normal berkisar antara

12-37% dari leukosit yang beredar, garis tengah sekitar 12 m, dan terdapat dua

sampai lima segmen (Gambar 4a). Sitoplasma banyak diisi oleh granula-granula

(23)

11

Neutrofil jarang mengandung retikulum endoplasma granuler, sedikit

mitokondria, aparatus golgi rudimenter, dan sedikit granula glikogen. Neutrofil

merupakan garis depan pertahanan seluler terhadap invasi jasad renik, memfagosit

partikel kecil dengan aktif. Neutrofil mempunyai metabolisme yang sangat aktif

dan mampu melakukan glikolisis baik secara aerob maupun anaerob. Kemampuan

neutrofil untuk hidup dalam lingkungan anaerob sangat menguntungkan karena

mereka dapat membunuh bakteri dan membantu membersihkan debris pada

jaringan nekrotik (Effendi 2003).

2.3.3 Eosinofil

Eosinofil merupakan sel darah putih yang termasuk ke dalam granulosit.

Jumlah eosinofil hanya 0-6% dari leukosit dan mempunyai garis tengah 9m,

sedikit lebih kecil dari neutrofil (Mitruka & Rawnsley 1981). Inti memiliki dua

segmen, retikulum endoplasma, mitokondria, dan apparatus Golgi kurang

berkembang (Gambar 4b). Eosinofil mempunyai pergerakan amuboid dan mampu

melakukan fagositosis terhadap komplek antigen dan antibodi (Effendi 2003).

Pada infeksi parasit, eosinofil diproduksi dalam jumlah yang besar dan akan

dimigrasikan ke daerah yang terinfeksi. Selain itu, eosinofil juga mempunyai

kecenderungan khusus untuk berkumpul di jaringan tempat terjadinya reaksi

alergi dan diduga mampu mendetoksifikasi beberapa zat yang dapat menimbulkan

peradangan yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil (Guyton & Hall 2008).

2.3.4 Basofil

Basofil merupakan sel darah putih yang memiliki jumlah kecil di dalam

darah tikus. Jumlah basofil di dalam darah berkisar antara 0-3% (Thrall et al.

2004). Basofil umumnya berbentuk seperti huruf S (Gambar 4c). Sitoplasma

basofil berisi granul yang lebih besar dan seringkali menutupi inti. Granul basofil

memiliki bentuk ireguler berwarna metakromatik. Basofil merupakan sel utama

yang paling banyak ditemukan pada tempat peradangan atau alergi (Carolineet al.

(24)

permukaan yang dapat mengikat IgE (Imunoglobulin yang berperan dalam

pertahanan terhadap alergi) (Guyton & Hall 2008).

2.3.5 Limfosit

Limfosit merupakan sel yang sferis, memiliki garis tengah 6-8 m,

dengan jumlah 63-84% dari leukosit darah (Mitruka & Rawnsley 1981). Secara

normal, sel limfosit mempunyai inti relatif besar, bulat sedikit cekungan pada satu

sisi, inti kromatin padat, anak inti baru terlihat dengan menggunakan mikroskop

elektron (Gambar 4d). Limfosit memiliki sitoplasma yang sangat sedikit, sedikit

basofilik, dan mengandung granula-granula azurofilik. Limfosit dalam sirkulasi

darah normal dapat berukuran 10-12m. Ukuran yang lebih besar disebabkan

sitoplasmanya yang lebih banyak. Sel limfosit berada dalam kelenjar getah bening

dan akan tampak dalam darah dalam keadaan patologis. Secara fungsional,

limfosit dikelompokkan menjadi dua, yaitu limfosit T dan limfosit B. Limfosit T

dan B dibentuk dalam sumsum tulang. Limfosit T memiliki jangka waktu hidup

lama dan berperan dalam reaksi kekebalan yang diperantarai oleh sel. Limfosit B

memiliki jangka waktu hidup yang bervariasi dan berperan dalam produksi

antibodi (Guyton & Hall 2008).

2.3.6 Monosit

Monosit merupakan sel leukosit yang berukuran besar dan terdapat

sebanyak 0 sampai 5% dari jumlah leukosit normal (Mitruka & Rawnsley 1981).

Monosit memiliki diameter 9-10 m, tetapi pada sediaan darah kering diameter

mencapai 20m atau lebih. Inti biasanya eksentris, adanya lekukan yang dalam

berbentuk tapal kuda dan kromatin kurang padat (Gambar 4e). Retikulum

endoplasma yang ditemui pada monosit sedikit. Monosit banyak ditemukan dalam

darah dan terdapat di dalam darah selama beberapa jam (Guyton & Hall 2008).

Monosit tergolong fagositik mononuklear (sistem retikuloendotel) dan

mempunyai tempat-tempat reseptor pada permukaan membrannya. Monosit

(25)

13

penghubung, dan berdiferensiasi menjadi makrofag. Di dalam jaringan bereaksi

dengan limfosit dan memegang peranan penting dalam pengenalan dan interaksi

sel-sel dengan antigen (Samuelson 2007).

Gambar 4 Sel darah putih (leucocyte) dan sel darah merah (erytrocyte) ; (a) Neutrofil, (b) Eosinofil, (c) Basofil, (d) Limfosit, (e) Monosit

a b

c d

(26)

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Insektarium, Laboratorium Entomologi, Bagian

Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan

Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian

Bogor. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret sampai April 2010 dan

dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu pengambilan sampel, pembuatan preparat,

dan identifikasi.

3.2 Pengambilan Sampel Ektoparasit

Sampel ektoparasit diambil dari empat belas ekor tikus putih (R.

norvegicus) galur Sprague Dawley. Pengambilan ektoparasit pada tikus ini

dilakukan secara manual yaitu dengan menggunakan kapas yang dibasahi dengan

alkohol 70% dan pinset. Kapas yang sudah dibasahi dengan alkohol ini kemudian

ditempelkan ke bagian tubuh tikus yang terdapat ektoparasit. Hal ini dimaksudkan

supaya ektoparasit pada tubuh tikus mudah untuk didapatkan dan dikoleksi

sedangkan pinset digunakan sebagai alat bantu untuk mengambil ektoparasit yang

menempel pada badan tikus.

Teknik pengambilan sampel dilakukan selama sepuluh menit dan dilakukan

pengulangan sebanyak dua kali. Sampel yang telah didapatkan kemudian

dimasukkan ke dalam cawan petri yang berisi alkohol 70%. Tiap-tiap sampel

ektoparasit yang telah terkumpul kemudian dipisahkan dengan kotoran yang

terikut di dalam cawan petri dan dipindahkan ke dalam tabung koleksi yang juga

berisi alkohol 70% dan diberi label.

3.3 Pembuatan Preparat Ektoparasit

Pembuatan preparat dilakukan setelah sampel semua terkumpul. Spesimen

yang berasal dari alkohol dikeluarkan dari botol, kemudian dicuci dengan

menggunakan air dan spesimen direndam dengan menggunakan laktofenol dalam

(27)

15

dengan larutan laktofenol, spesimen kemudian dicuci sebanyak tiga sampai empat

kali sampai air tidak berkabut. Larutan Hoyer diteteskan kurang lebih satu sampai

dua tetes di atas gelas objek yang akan dipakai. Lalu satu sampai dua spesimen

diletakkan ke dalam larutan Hoyer dengan cara menenggelamkan ke dalam

larutan. Preparat kemudian ditutup dengan gelas penutup dan jangan sampai ada

gelembung udara yang masuk. Namun, jika ada gelembung udara yang masuk

maka gelas objek dipanaskan di atas api secara perlahan-lahan sehingga

gelembung udara ini akan menghilang. Setelah itu, slide disimpan ke dalam slide

warmer selama empat sampai lima hari atau di dalam temperatur kamar selama

tujuh sampai sepuluh hari. Jika preparat tersebut sudah kering, pada sekeliling

gelas penutup diberikan lapisan kuteks secara merata.

3.4 Identifikasi Ektoparasit

Proses identifikasi sampel ektoparasit yang dikumpulkan dilakukan

dengan pengamatan di bawah mikroskop yang kemudian dicocokkan dengan

kunci identifikasi ektoparasit Baker & Canin (1958).

3.5 Pengamatan Tikus yang Terinfestasi Ektoparasit

3.5.1 Kondisi Umum

Pengamatan kondisi umum tikus dilakukan selama sebelum diberikan

perlakuan dengan melihat kondisi normal serta perilaku (behaviour) tikus tersebut.

3.5.2 Gambaran Darah

Gambaran darah tikus yang terinfeksi ektoparasit dilihat diferensiasinya

berdasarkan jumlah sel-sel darah putih, yaitu neutrofil, eosinofil, basofil, monosit

dan limfosit. Pengambilan darah dilakukan pada empat belas ekor tikus. Sebanyak

satu sampai dua tetes darah diambil dari ekor tikus, kemudian diletakkan di gelas

objek. Kemudian dilakukan pengulasan darah dengan mengunakan gelas objek

lainnya sehingga terbentuk ulasan darah yang tipis. Lalu ulasan tersebut

didiamkan selama beberapa menit agar kering dan siap untuk dilakukan

(28)

Pewarnaan dilakukan dengan cara mencelupkan preparat ulasan darah ke

dalam metil alkohol selama kurang lebih tiga sampai lima menit lalu dikeringkan.

Setelah kering, preparat dimasukkan ke dalam larutan Giemsa selama kurang

lebih tigah puluh menit kemudian dibilas dengan air yang mengalir dan

dikeringkan. Hal ini bertujuan agar seluruh preparat dapat terwarnai dengan baik.

Pengamatan terhadap preparat ulas darah dilakukan dibawah mikroskop

cahaya dengan perbesaran 100x. Metode yang digunakan adalah metode jalur

sejajar, yaitu dengan menelusuri daerah yang terpilih pada lapang pandang yang

digeser satu arah sehingga tidak terjadi perhitungan ulang. Setiap leukosit yang

ditemukan dideferensiasi ke dalam kelompok basofil, eosinofil, neutrofil, monosit,

dan limfosit sampai berjumlah 100 leukosit.

3.6 Analisis Data

Analisis data dilakukan secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk

(29)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4. 1 Jenis Ektoparasit

Jenis ektoparasit yang ditemukan dari empat belas ekor tikus putih (R.

norvegicus) galur Sprague Dawley terdiri atas tiga jenis, yaitu tungau Laelaps

echidninus,kutuPolyplax spinulosa,dan larva caplak.

4.1.1 Laelaps echidninus

L. echidninusmerupakan tungau yang paling banyak ditemukan pada tikus

putih (R. norvegicus) galur Sprague Dawley. Hasil pengamatan dan pengukuran,

menunjukkan bahwa jenis L. echidninus memiliki mata tunggal, berukuran satu

mm, berwarna cokelat, berbentuk oval, dan terbagi menjadi dua bagian yaitu

gnatosoma dan idiosoma (Gambar 5). Gnatosoma merupakan bagian anterior

sedangkan idiosoma merupakan bagian posterior dari tubuh L. echidninus. Di

bagian gnatosoma terdapat sepasang pedipalpus dan kelisera. Pedipalpus terletak

di lateral dan memiliki ukuran yang lebih panjang dibandingkan dengan kelisera.

Kelisera padaL. echidninusberukuran kecil namun sangat kuat. Bagian idiosoma

tidak mempunyai skutum atau perisai dorsal. Abdomennya hampir ditutupi

sepenuhnya seta yang terlihat menyebar rata, berukuran kecil, meruncing dan

terdapat keping genital yang berbentuk konkaf. L. echidninus dewasa memiliki

empat pasang kaki yang panjang, dan bentuk yang bulat sedangkan larvanya

hanya memiliki tiga pasang kaki. Stigmata terletak di bagian lateral di antara kaki

ketiga dan keempat.

Gambaran morfologi tersebut sesuai dengan Strandtmann & Mitchell

(1963) yang menyatakan bahwa L. echindinus betina memiliki panjang rata-rata

kurang lebih satu mm dengan bentuk yang oval hingga bulat dan berwarna merah

kecokelatan. Pilus dentilis lurus dan apendikulat berada di puncak. Tritosternum

lebih lebar dibandingkan dengan piringan pada bagian basis. Seta adanal memiliki

panjang yang hampir sama dengan seta post natal yaitu 1/2-2/3. seta inner basal

pada trokhanter I bervariasi, mulai dari yang paling panjang hingga yang paling

(30)

echidninusjantan memiliki rata–rata panjang sekitar 880. Seta koksa berbentuk

filiform dan semua seta tarsal lonjong runcing. Peritreme terletak lebih ke depan

mendekati koksa II. Seluruh seta anal terlihat tipis dengan bentuk meruncing.

L. echidninus tergolong parasit yang biasa terdapat pada hewan

laboratorium terutama tikus putih (R. norvegicus). L. echidninus termasuk ke

dalam ordo Acariformes dan famili Laelaptidae. Foreyt (2001) menyatakan bahwa

L. echidninusmerupakan satu di antara jenis ektoparasit yang tersebar di wilayah

tropis. Tungau tersebar diseluruh dunia (worldwide distribution) karena L.

echidninus memiliki ukuran tubuh kecil, yaitu satu mm dan dapat dengan mudah

beradaptasi dengan lingkungan.

Gambar 5 Laelaps echidninus. (a) pedipalpus, (b) kelisera, (c) (d) (e) coxae 1-4, (f) keping anal, (g) seta, (h) anus, (i) kuku

Berdasarkan klasifikasinya, L. echidninus tergolong ke dalam kingdom

Animalia, filum Arthropoda, kelas Arachnida, ordo Acariformes, famili

Laelaptidae, genus Laelaps, dan spesies Laelaps echidninus (Noble & Noble

1989).

L. echidninus termasuk tungau yang menghabiskan hampir seluruh

hidupnya di tubuh inangnya. Pada tikus putih (R. norvegicus) tungau ini biasanya

ditemukan dalam bentuk dewasa dan nimfa serta beberapa di antaranya dapat

ditemukan dalam bentuk larva. Siklus hidup tungau terdiri dari telur, prelarva,

(31)

19

daur hidupnya, seekor tungau betina dapat menghasilkan ratusan hingga ribuan

telur. Telur-telur berubah menjadi larva dan sebagian besar bertindak sebagai

ektoparasit pada inangnya.

L. echidninus betina merupakan tungau yang berkembang biak secara

ovivar. Tungau betina akan memproduksi hexapod larva, terkadang larva tersebut

parthenogenesis. Larva tungau tidak makan, namun berganti kulit (molting)

sampai fase pertama dari nimfa pada 10-13 jam. Perubahan menjadi nimfa fase

kedua berlangsung dalam kurun waktu hingga sebelas hari. Lalu dalam kurun

waktu tiga sampai sembilan hari akan berubah menjadi fase dewasa. Jadi, seluruh

siklus hidup memerlukan waktu kurang lebih dua puluh hari. Tungau betina dapat

hidup selama dua sampai tiga bulan jika makan, namun hanya mampu bertahan

kurang lebih satu minggu tanpa adanya makanan.

L. echidninus umum ditemukan pada tikus liar. Inang alaminya adalah

cotton rats dan tikus-tikus liar lainnya. Tikus laboratorium dan mencit juga peka

terhadap tungau ini dan infestasi pada tikus laboratorium sering terjadi. Hal ini

dikarenakan kondisi kandang tikus yang tidak bersih maupun infestasi melalui

alas kandang yang terinfestasi olehL. echidninus. Alas kandang tikus yang biasa

digunakan dalam pemeliharaan tikus laboratorium adalah jerami maupun serbuk

kayu yang dapat menjadi tempat berkembang biak L. echidninus. Tungau akan

makan pada malam hari dengan cara merobek kulit inang kemudian menghisap

darah dari inang tersebut melalui kulit yang telah dilukai. Selain menghisap darah,

L. echidninus juga memakan sekresi lakrimal dan eksudat serous dari inangnya.

Terkadang, tungau juga memakan larva mereka sendiri. Pada kondisi

laboratorium, mereka tidak pernah terlihat melukai kulit dari inang mereka.

Menurut Flynn & Baker (2007) L. echidninus merupakan inang alami dari

Hepatozoon muris dan vektor Francisella tularensis, penyebab penyakit

tularemia. L. echidninus dapat menyebabkan urtikaria pada tikus putih (Zhao

(32)

4.1.2 Polyplax spinulosa

Polyplax spinulosa merupakan kutu penghisap yang termasuk ke dalam

ordo Phthiraptera dan subordo Anoplura (sucking lice), famili Polyplacidae. Kutu

ini biasa ditemukan pada tikus laboratorium (R. norvegicus) dan tikus liar.

Menurut Burmeister (1839) P. spinulosa tergolong ke dalam kingdom Animalia,

filum Arthropoda, kelas Insecta, ordo Phthiraptera, famili Polyplacidae, genus

Polyplax, dan spesiesPolyplax spinulosa.

Gambar 6 Polyplax spinulosa. (A) Kepala, (B), Toraks, (C), Abdomen, (a) mulut, (b) antena, (c) kaki, (d) kuku, (e) segmen, (f) keping

pleura

Hasil penelitian menunjukkan bahwa P. spinulosamemiliki ukuran tubuh

mencapai 1,5 mm dengan pembagian struktur tubuh kepala, toraks, dan abdomen.

P. spinulosa tidak memiliki mata. Kepala kutu berukuran kecil dan terdapat

sepasang antena yang tersegmentasi menjadi tiga sampai lima bagian dan

meruncing pada bagian ujung dari antena tersebut. Di bagian toraks terdapat tiga

pasang kaki dengan kuku yang berbentuk seperti capit pada bagian ujung kaki.

Abdomen P. spinulosa berukuran panjang dan menyerupai kerucut. Bagian

abdomen memiliki tujuh keping lateral pada setiap sisi dan memiliki tujuh sampai

tiga belas keping dorsal. Tubuh kutu berwarna kuning kecokelatan (Gambar 6).

Suckow et al. (2006) menyatakan bahwa P. spinulosa merupakan jenis

(33)

21

memiliki tubuh yang ramping dan berwarna kuning kecoklatan dan memiliki

panjang tubuh 0,6-1,5 mm. Pada bagian kepala umumnya memiliki bentuk yang

ramping dan lebih sempit dibandingkan toraks. Di bagian toraks terdapat keping

ventral yang berbentuk pentagonal. Abdomen kutu dewasa berwarna kecokelatan

dan memiliki sebelas segmen yang ditutupi oleh seta. P. spinulosa betina

umumnya memiliki tubuh yang lebih panjang dari pada jantan yang memiliki

bentuk tubuh lebih pendek dan lebar. Pada kutu betina, organ genitalnya memiliki

dua pasang gonopod yang berfungsi untuk memandu, memanipulasi, dan

memberikan perekat pada telur untuk diletakkan pada rambut maupun kulit inang.

Organ genitalP. spinulosajantan umumnya besar dan terletak pada bagian tengah

dari abdomen. Kutu memiliki enam kaki dengan kuku yang digunakan untuk

mencengkeram rambut inang (Mullenet al.2009).

Kutu termasuk serangga yang bermetamorfosis tidak sempurna, yaitu

perkembangbiakkan yang memiliki fase hidup telur, nimfa, dan dewasa dimana

fase nimfa menyerupai fase dewasa. P. spinulosabetina termasuk hewan ovivar.

Sebagian besar telurnya diletakkan pada rambut inang. Telur-telur pada kutu

memiliki operculum yang merupakan tempat untuk keluarnya larva, berbentuk

kerucut dengan pori-pori di sepanjang operculum. Pada bagian atas dari

operculum terdapat lubang kecil yang diselimuti oleh kutikula tipis berfungsi

untuk tempat respirasi embrio yang sedang berkembang. Pada tahap nimfa,

terdapat tiga nimfa instar dan nimfa ketiga akan berubah menjadi dewasa.

Umumnya tahap ini berlangsung selama empat sampai lima belas hari,

masing-masing nimfa instar selama tiga sampai delapan hari dan menjadi dewasa

mencapai 35 hari. Pada kondisi yang optimal, kutu ini dapat menghasilkan

sepuluh sampai dua belas generasi pertahunnya, namun jarang terjadi pada

keadaan alaminya (Mullenet al.2009).

P. spinulosa termasuk ke dalam kutu dengan inang yang spesifik (host

specific) dan biasanya tidak dapat hidup jauh dari inangnya lebih dari empat jam

atau empat hari pada sebagian kasus. P. spinulosa menghabiskan seluruh

hidupnya pada tubuh inangnya. Kutu ini dapat berkembang dengan baik pada

(34)

maka dapat menyebabkan pendarahan yang serius pada tikus yang menjadi

inangnya sehingga terjadi anemia serta dermatitis akibat gigitan dariP. spinulosa.

Selain itu, P. spinulosa merupakan vektor dari Myoplasma haemomuris

(Haemobartonella muris),Rickettsia typhii,Trypanosoma lewisi,Borellia duttoni,

danBrucella brucei(Suckowet al. 2006).

4.1.3 Larva Caplak

Larva caplak merupakan jenis ektoparasit ketiga yang ditemukan pada

tikus putih (R. norvegicus). Hasil penelitian menunjukkan bahwa larva caplak

yang ditemukan tergolong ke dalam ordo Parasitiformes dan famili Ixodidae. Hal

ini ditunjukkan oleh adanya skutum pada larva tersebut yang merupakan ciri khas

dari famili Ixodidae. Ixodidae memiliki tubuh yang berbentuk bulat telur dan

mempunyai integumen. Panjang bagian dari mulut sama dengan bagian basis

kapituli. Segmen kedua dari palpi dan basis kapituli tidak tumbuh ke arah lateral.

Caplak jantan dan betina memiliki skutum, namun pada caplak jantan skutum

menutupi seluruh tubuh bagian dorsal sedangkan pada betina hanya menutupi

sepertiga bagian anterior dari tubuh. Larva caplak memiliki tiga pasang kaki yang

terdapat pada abdomen (Gambar 7).

Caplak tergolong ke dalam famili Ixodidae (caplak keras) dan Argasidae

(caplak lunak). Berdasarkan hasil penangkapan tikus di Korea, Kimet al.(2010)

menemukan banyak larva caplak yang berasal dari famili Ixodidae pada tikus

putih (R. norvegicus). Caplak dewasa memiliki daur hidup yang diawali dari

bentuk telur yang diletakkan di tanah oleh induknya. Larva yang telah menetas

akan segera mencari inang untuk ditempatinya agar dapat bertahan hidup. Larva

akan berubah menjadi nimfa. Larva dan nimfa caplak menghisap darah inangnya

untuk dapat melakukan perubahan siklus hingga pencapaian dewasanya. Larva

caplak memiliki tiga pasang kaki dan tidak berwarna. Larva caplak akan

berbentuk bulat dan akan menjadi lebih besar ketika kenyang menghisap darah.

Stadium larva pada caplak merupakan stadium parasitik. Infestasi larva

caplak dapat menyebabkan anemia dan dermatitis. Selain itu, larva caplak

(35)

23

bahwa Ixodidae merupakan vektor Anaplasma phagocytophilum dan Rickettsia

helveticpada tikus. Keberadaan larva caplak pada tikus laboratorium dapat terjadi

karena faktor alas kandang yang digunakan terinfestasi oleh telur caplak.

Pemeliharaan tikus laboratorium dikondisikan untuk dikandangkan sehingga larva

yang ditemukan hanya sedikit.

Gambar 7 Larva Caplak Ixodidae. (a) palpi (b) kapitulum, (c) basis kapituli, (d) kaki, (e) skutum.

4.2 Sebaran Jenis-Jenis Ektoparasit pada Tikus Putih (R. norvegicus)

Berdasarkan hasil penelitian, jenis ektoparasit yang paling dominan

terdapat pada tubuh tikus spesies R. norvegicusadalah L. echidninus. Jenis-jenis

ektoparasit lain yang berhasil diidentifikasi adalah P. spinulosa, dan larva caplak

(Tabel 1). L. echidninusyang berhasil diidentifikasi pada empat belas ekor tikus

(R. norvegicus) sebesar sebesar 92% (46 ekor). P. spinulosa teridentifikasi

sebanyak 6% (3 ekor), dan larva caplak sebanyak 2% (1 ekor). a b c

(36)

L. echidninus merupakan tungau yang dominan ditemukan pada tikus

putih. Hal ini terkait dengan daur hidup L. echidninus yang memiliki daur hidup

metamorfosis sempurna. Larva dewasa yang bertelur akan meletakkan

telur-telurnya pada permukaan tanah maupun alas kandang. Telur-telur akan berubah

menjadi larva, nimfa, dan dewasa pada tubuh inang. Siklus hidup L. echidninus

dewasa tergolong lama karena dapat bertahan hidup selama kurang lebih dua

sampai tiga bulan.

4.3 Sebaran Ektoparasit Berdasarkan Regio

Hasil penelitian menunjukkan bahwa total ektoparasit yang berhasil

dikoleksi dari beberapa regio tubuh empat belas ekor tikus (R. norvegicus) galur

Sprague Dawley, seperti kepala, punggung, dan ekor adalah sebanyak 50 ekor

(Tabel 2). Sebesar 44% (22 ekor) ektoparasit ditemukan di regio tubuh punggung

tikus putih (R. norvegicus), bagian pangkal ekor sebanyak 32% (16 ekor), dan

bagian kepala sebanyak 24% (12 ekor). Hasil ini menunjukkan bahwa regio yang

paling dominan ditemukan ektoparasit tersebut adalah pada bagian punggung

tikus putih (R. norvegicus). Hal ini terjadi karena pada bagian punggung

merupakan bagian dari tubuh yang paling jarang terjadi pergerakan, pergesekan

dengan kandang dan tikus lainnya sehingga pada daerah tersebut banyak Tabel 1 Jenis ektoparasit pada tikus putih (R. norvegicus)

(37)

25

ditemukan ektoparasit. Selain itu, pada daerah punggung merupakan daerah yang

nyaman bagi kehidupan ektoparasit karena pada lokasi ini memiliki kelenturan

kulit yang cukup baik sehingga memudahkan ektoparasit tersebut mengambil

makanan.

Tabel 2 Sebaran ektoparasit pada tikus putih (R. norvegicus) berdasarkan regio

No Tikus Jumlah Ektoparasit pada beberapa Regio (ekor) Total Kepala punggung Pangkal Ekor

4.4 Gambaran Umum Tikus yang Terinfestasi Ektoparasit

Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan, gigitan ektoparasit

dapat mempengaruhi kondisi fisiologis dari tikus putih (R. norvegicus) yaitu tikus

mengalami kegelisahan, seringnya menggigit bagian dari tubuhnya, kerontokan

rambut, dan lebih sering bergerak. Banyaknya jumlah ektoparasit yang

menginfestasi tikus mengakibatkan terganggunya kondisi fisiologis tikus dan

dermatitis. Zhao (2002) menyatakan bahwa infestasi ektoparasit dapat

menyebabkan urtikaria, kerusakan pada kulit, dan anaphylaxis. Perubahan

fisologis tersebut dapat mengakibatkan tikus mengalami penurunan nafsu makan,

stamina, dan tingkat kesehatan tikus sehingga penggunaan tikus yang terinfestasi

ektoparasit akan mempengaruhi hasil penelitian. Selain itu, ektoparasit dapat

sebagai reservoir beberapa parasit lain, seperti Coxiella burnetii, O.

(38)

4.5 Gambaran Sel Darah Putih (Leucocyte) Tikus Putih (R. norvegicus)

Gambaran sel darah putih memberikan informasi mengenai reaksi sel

darah putih terhadap infestasi ektoparasit pada tubuh tikus. Tabel 3 menunjukkan

perbandingan persentase diferensiasi sel darah putih pada jumlah normal dengan

jumlah yang didapatkan pada penelitian.

Tabel 3 Persentase gambaran sel darah putih tikus putih (R. norvegicus)

Sel leukosit Normal (%) Hasil penelitian (%)

Limfosit 68-84 74-95

Monosit 0-4 0-13

Neutrofil 12-37 0-8

Eosinofil 0-7 0-7

Basofil 0-3 0-5

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah limfosit yang didapatkan

adalah 74-95%. Jumlah limfosit yang terdapat pada tikus ini lebih besar

dibandingkan dengan nilai normal, yaitu berkisar antara 68-84%. Hal ini

kemungkinan akibat infestasi ektoparasit pada tikus putih (R. norvegicus) terjadi

dalam waktu yang cukup lama sehingga tubuh tikus membentuk suatu sistem

pertahanan yang spesifik. Zat asing yang berada pada tubuh tikus putih (R.

norvegicus) dikenal oleh tubuh sebagai suatu antigen. Antigen yang terdapat pada

tubuh tikus putih ini akan menginduksi sel T helper yang kemudian

mensekresikan limfokin untuk mengaktifkan limfosit B spesifik. Limfosit B akan

berdiferensiasi membentuk plasmablas yang merupakan prekusor dari sel plasma.

Sel plasma tersebut nantinya akan berproliferasi dan menghasilkan antibodi.

Pada penelitian ini, jumlah monosit yang terkandung di dalam darah tikus

putih (R. norvegicus) lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah normal, yaitu

berada dalam kisaran 0-13%. Hal ini berkaitan dengan monosit yang memiliki

peranan dalam pertahanan lokal spesifik. Monosit merupakan sel darah yang

(39)

27

terjadi inflamasi kronik. Samuelson (2007) menyatakan bahwa di dalam jaringan,

monosit (makrofag) bereaksi dengan limfosit dan memegang peranan penting

dalam pengenalan dan interaksi sel-sel dengan antigen.

Kisaran eosinofil yang didapatkan dari hasil pengamatan preparat darah

tikus putih (R. norvegicus) menunjukkan kisaran yang sama dengan angka normal

eosinofil dalam darah tikus, yaitu sebesar 0-7%. Eosinofil merupakan sel yang

sering diproduksi dalam jumlah besar pada tubuh yang terinfeksi parasit, dan akan

melakukan migrasi besar-besaran ke lokasi yang terinfeksi parasit. Namun, dalam

hal ini eosinofil bekerja hanya beberapa saat setelah paparan atau gigitan

ektoparasit sehingga jumlah eosinofil dalam darah tidak begitu besar sedangkan

basofil merupakan sel darah putih granuler yang hanya berjumlah sedikit pada

tubuh mamalia, termasuk tikus putih (R. norvegicus).

Neutrofil yang didapatkan di dalam darah tikus berkisar di antara 0-8%.

Jumlah ini cukup rendah dibandingkan dengan kisaran normal neutrofil dalam

darah, yaitu 9-34%. Hal ini terjadi akibat infestasi ektoparasit pada tikus putih (R.

norvegicus) sudah berlangsung cukup lama sedangkan neutrofil merupakan sel

pertahanan pertama pada respon primer dan pembentukan antibodi pada beberapa

jam setelah terjadi paparan pertama oleh suatu antigen.

4.6 Pengendalian Ektoparasit pada Tikus Putih (R. norvegicus)

Pemeliharaan tikus dengan baik merupakan suatu tindakan pengendalian

dan pencegahan yang dapat dilakukan agar tikus putih (R. norvegicus) sebagai

hewan coba tidak terinfestasi ektoparasit. Pemeliharaan tikus putih sebaiknya

diletakkan pada kandang yang cukup. Sebanyak empat sampai lima ekor tikus

putih merupakan jumlah yang maksimal untuk diletakkan pada sebuah kandang.

Selain itu, tikus putih dapat juga dilakukan dengan menempatkan sebanyak satu

tikus pada satu kandang. Ukuran kandang yang dianjurkan 900 cm2. Kandang tersebut harus dibuat dari bahan yang baik, cukup kuat, mudah dibongkar, mudah

dibersihkan, mudah untuk dipasang lagi. Kandang juga harus rutin untuk

(40)

dengan cara pencucian dan pensterilan dengan bahan kimia pada suhu maksimal

120C. Alas kandang yang digunakan juga diganti sesering mungkin. Alas

kandang dapat menggunakan serbuk kayu maupun jerami yang terlebih dahulu

dijemur dibawah sinar matahari. Tikus putih sebaiknya dirawat dan dikandangkan

pada suhu yang optimal, yaitu pada suhu 20-25C (Smith & Mangkoewidjojo

1988).

Pengendalian tikus putih (R. norvegicus) yang telah terinfestasi oleh

ektoparasit dalam jumlah banyak dapat dilakukan dengan menggunakan

insektisida golongan piretroid yang saat ini banyak digunakan seperti metoflutrin,

dialetrin, dan lain-lain. Penggunaan insektisida pada hewan coba harus

memperhatikan aturan pakai sehingga mampu mengendalikan ektoparasit pada

tikus dengan baik dan mencegah terjadinya resistensi pada ektoparasit. Selain itu,

pemilihan insektisida harus tepat. Pemeliharaan tikus putih (R. norvegicus)

sebagai hewan coba perlu diawasi oleh dokter hewan sehingga kesehatan hewan

(41)

5 SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Dari empat belas ekor tikus putih (R. norvegicus) galur Sprague Dawley

sebagai hewan percobaan, ektoparasit yang berhasil ditemukan adalah L.

echidninus, P. spinulosa,dan larva caplak. Sebagian besar ektoparasit ditemukan

di regio punggung tikus (44%), pangkal ekor (32%), dan bagian kepala (24%).

Gambaran umum mengenai perilaku tikus yang terinfestasi ektoparasit adalah

gelisah, sering menggigit dan menggesek-gesek tubuhnya sendiri. Hasil penelitian

ini juga menunjukkan bahwa gambaran diferensiasi sel darah putih pada tikus

tersebut menunjukkan adanya peningkatan jumlah limfosit dan monosit. Namun

demikian, gambaran pada neutrofil, eosinofil, dan basofil tidak mengalami

perubahan yang signifikan.

5.2 Saran

Informasi mengenai ektoparasit yang terdapat pada hewan coba perlu

disebarluaskan ke masyarakat dan instansi pengguna agar dapat diberikan

(42)

Pheidias L, Andreas P, Ioanna M, & Yannis T. 2010. Rats as indicators of the presence and dispersal of six zoonotic microbial agents in Cyprus, an island ecosystem: a seroepidemiological study. Transc. Roy. Soc. Trop. Med. Hyg.104: 733–739.

Baker EW & Canin JH. 1958. Guide to The Families of Mites. America : The Institute of Arcalogy, Departemen Zoology.

Bowman DD, Lynn RC, Eberhard ML, & Alcaraz A. 2003. Parasitology for Veterinarians 8thed.Philadelphia: Wb Saunders Company.

Caroline LS, Chu NQ, Yu S, Nish SA, Laufer TM & Medzhitoy R. 2009. Basophils function as antigen-presenting cells for an allergen-induced T helper type 2 response.Nat. Immunol.10 : 713720.

Coutinho Z & Linardi M. 2007. Can Fleas from Dogs Infected with Canine Visceral Leishmaniasis Transfer The Infection to Other Mamals?. Vet. Parasitol.147:320-325.

Effendi Z. 2003. Peranan Leukosit Sebagai Anti Inflamasi Alergik dalam Tubuh. Sumatera Utara: Bagian Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Foreyt WJ. 2001.Veterinary Parasitology 5thed.America: Iowa State University Press.

Flynn RJ. 1973. Parasites of Laboratory Animals. America: The Iowa State University Press.

Flynn RJ & Baker DG. 2007. Flynn's parasites of laboratory animals. America: American College of Laboratory Animal Medicine.

Gage K & Kosoy M. 2005. Natural History of Plague: Perspectives from more than a century of research.Annu. Rev. Entomol.50: 505-528.

Golub N & Nokkala S. 2004. Brief report Chromosome numbers of two sucking louse species (Insecta, Phthiraptera, Anoplura). Hereditas141: 94-96.

Guyton AC & Hall JE. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran 11st ed. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

(43)

31

Jimenez MC, Torres BM, & Aguilar RA. 1994. Experimental transmission of Trypanosoma cruzi by Ornithonyssus bacoti. Vet. Mexico,25 : 61-63.

Kia EB, Moghddas-Sani H, Hassanpoor H, Vatandoost H, Zahabiun H, Akhavan AA, Hanafi-Bojd AA, & Telmadarraiy Z. 2009. Ectoparasites of Rodents Captured in Bandar Abbas, Southern Iran.Iranian J. Arthropod. Brn. Dis.3(2) : 44-49.

Kim H.C, Chong ST, Sames WJ, Nunn PT, Wolf SP, Robbins RG & Klein TA. 2010. Tick surveillance of small mammals captured in Gyeonggi and Gangwon Provinces, Republic of Korea, 2004–2008. Syst. App. Acarol.

J.15 :100–108.

Levine ND. 1990. Parasitologi Veteriner. Prof.Dr. Gatot Ashadi. Penerjemah: UGM Press. Yogyakarta. Terjemahan dari:The Book of Parasitology for Veterinary.

Mitruka BM & Rawnsley HM. 1981. Clinical Biochemical and Hematological Reference Values in Normal Experimental Animals and Normal Humans 2nd Ed. New York : Masson Publishing USA Inc.

Motevalli HF, Gholami SH, Sharifi M, Mobedi I, Sobhani I, Sedaghat MM, & Najafpour AA. 2002. Study of Rodents ectoparasites in urban areas of Mazandaran Province in 1997-1999. Iranian J. Mazandaran. Uni. Med. Sci.27(13):72-77.

Mullen G, Mullen GR, & Durden L. 2009. Medical and Veterinary Entomology. London: Academic Press.

Myres P & Armitage D. 2004. Rattus novergicus Animal Diversiy.

http://animaldiversity.umuz.umich.edu/site/accounts/information/Rattusn overgicus.html. [19 Agustus 2010].

Nahm J & Corwin RM. 1997. Arthropoda. http://www.missouri.edu.html [19 April 2011].

Nijhof AM, Bodaan C, Postigo M, Nieuwenhuijs H, Opsteegh M, Franssen L, Jebbink F, & Jongejan F. 2007. Ticks and associated pathogens collected from domestic animals in the Netherlands.Vector-Borne Zoonotic Dis.7: 585-595

Noble ER & Noble GA. 1989. Parasitologi : Biologi Parasit Hewan. Widiarto, penerj UGM Press. Yogyakarta. Terjemahan dari: Parasitology: The Biology of Animal Parasites.

(44)

Pagad S. 2011. Rattus norvegicus (mammal). http://www.issg.org/database. [8 Juni 2011].

Priyambodo S. 1995.Pengendalian Hama Tikus Terpadu.Jakarata : PT Swadaya.

Robinson R. 1979. Taxonomy and Genetics. In Baker HJ, Lindsey JR, dan Weisbroth.The Laboratory Rat. London : Academic Press.

Samuelson DA. 2007. Textbook of Veterinary Histology. Missouri: Saunders Elsevier.

Sirois M. 2005.Laboratory Animal Medicine : Principles and Procedures. United States of America: Mosby, Inc.

Smith JB & Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan, dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta : UI Press.

Soulsby EJL. 1982. Helminth, Arthropods, and Protozoa of Domestical Animal. London: Balliere Tindall.

Strandtmann RW & Mitchell CJ. 1963. The Laelaptine Mites of The Echinolaelaps Complex from The Southwest Pacific Area (Acarina : Mesostigmata).Pac. Insect.5 (3) : 541-576.

Su FC, Li FG, Qu SZ, Yang JL, Zhao SD, & Zhang XK. 1989.Medical Animals in Yunnan Province.China: Yunnan Science & Technology Press.

Suckow MA, Steven HW, & Craig LF. 2006. The laboratory rat. London: Academic Press.

Telmadarrairy Z, Vatandoost H, Mohammadi S, Akkhavan AA, Abai MR, Rafinejad J, Kia EB, Faghih NF, Jedari M, & Aboulhasani M. 2007. Determination of Rodent Ectoparasite Fauna in Sarpole Zahab District, Kermanshah Province, Iran 2004-2005. Iranian J. Arthropod. Brn. Dis.1(1): 58-62.

Thrall MA, Baker DC, Terry WC, DeNicola D, Fettman MJ, Lassen ED, Rebar A, & Weiser G. 2004.Veterinary Hematology and Clinical Chemisry. USA: Lippincott Wiliams & Wilkins.

Urquhart GM, Armour J, Duncan JL, Dunn AM, & Jennings FW. 1987.

Veterinary Parasitology. New York: Churchill Livingstone Inc.

(45)

33

(46)
(47)

34

Lampiran 1 Perbandingan jumlah sel darah putih

No Tikus

Jenis - jenis Leukosit (%) Jenis Ektoparasit (ekor)

Limfosit Monosit basofil Eosinofil Neutrofil L. echidninus

P. spinulosa

Larva Caplak

1 95 2 1 2 0 4 0 0

2 81 9 0 2 8 7 0 0

3 89 4 4 3 0 5 0 0

4 89 6 5 0 0 4 2 0

5 85 1 5 5 4 4 1 0

6 95 0 4 1 0 3 0 0

7 74 13 3 3 7 5 0 0

8 90 0 2 5 3 4 0 0

9 91 0 2 5 2 2 0 0

10 81 5 0 7 7 1 0 0

11 94 1 4 1 0 1 0 1

12 91 0 3 4 2 3 0 0

13 87 2 2 7 2 2 0 0

Gambar

Gambar 1 Morfologi Laelaps echidninus (ventral). (a) Kelisera, (b) Pedipalpus,(c) Peritreme, (d) Anus, (e) Keping anal, (f) Seta.
Gambar 2 Morfologi Notoedres cati. (a) Alat penghisap, (b) sisik,(c) anus, (d) Flagela (Urquhart et al
Gambar 3 Xenopsylla cheopis; (a)  jantan; (b) betina
Gambar 4 Sel darah putih (leucocyte) dan sel darah merah (erytrocyte) ; (a)Neutrofil, (b) Eosinofil, (c) Basofil, (d) Limfosit, (e) Monosit
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pemberian ekstrak buah mahkota dewa ( Phaleria macrocarpa ) berpengaruh terhadap gambaran histopatologis hepar tikus putih ( Rattus norvegicus ) galur Sprague dawley yang

Per− oral terhadap Pembengkakan Hepatosit dan Kongesti Sinusoid Hati pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Galur Sprague dawley ” adalah salah satu syarat

Pemberian ekstrak etanol bawang putih ( Allium sativum , L.) dapat menurunkan kadar kolesterol LDL pada tikus putih ( Rattus norvegicus ) jantan galur Sprague

Antara Pemberian Topikal Ekstrak Sel Punca Mesenkimal Tali Pusat Manusia Dengan Gel Bioplacenton Pada Tikus Putih Jantan (Rattus norvegicus) Galur Sprague dawley ”

Penelitian dilakukan untuk mengetahui pengaruh kombinasi zink dan tomat terhadap viabilitas dan jumlah sperma tikus putih ( Rattus norvegicus ) galur Sprague dawley

Penelitian ini bertujan untuk mengetahui efek protektif kombinasi zinc dan tomat terhadap gambaran histologi hepar tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague dawley

Melalui penelitian ini, peneliti ingin melihat adakah perbedaan panjang serta berat tubuh fetus tikus putih ( Rattus norvegicus ) galur Sprague-Dawley yang diberikan asam folat

Berdasarkan hasil penelitian dapat di simpulkan bahwa pemberian BPA oral dapat menurunkan kadar hormon testosteron tikus (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague