• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Interaksi Obat Antidiabetes pada Pasien Rawat Inap Diabetes Melitus Tipe 2 Di RSUD Dr. Pirngadi Medan Juli-Desember 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Potensi Interaksi Obat Antidiabetes pada Pasien Rawat Inap Diabetes Melitus Tipe 2 Di RSUD Dr. Pirngadi Medan Juli-Desember 2014"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015

POTENSI INTERAKSI OBAT ANTIDIABETES

PADA PASIEN RAWAT INAP DIABETES MELITUS TIPE 2

DI RSUD DR. PIRNGADI MEDAN JULI-DESEMBER 2014

SKRIPSI

OLEH:

(2)

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015

POTENSI INTERAKSI OBAT ANTIDIABETES

PADA PASIEN RAWAT INAP DIABETES MELITUS TIPE 2

DI RSUD DR. PIRNGADI MEDAN JULI-DESEMBER 2014

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

POTENSI INTERAKSI OBAT ANTIDIABETES

PADA PASIEN RAWAT INAP DIABETES MELITUS TIPE 2

DI RSUD DR. PIRNGADI MEDAN JULI-DESEMBER 2014

OLEH:

OVILIA DELLA PRATIVI NIM 131524039

Disetujui oleh:

Dipertahankan dihadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada Tanggal: 12 November 2015

Pem bimbing I Panitia Penguji,

Hari Ronaldo Tanjung, S.Si., M.Sc., Apt. NIP 197803142005011002

Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt NIP 195103261978022001

Pembimbing II,

Khairunnisa, S.Si, M.Pharm, Ph.D., Apt. NIP 197802152008122001

Hari Ronaldo Tanjung, S.Si., M.Sc., Apt. NIP 197803142005011002

Drs. Saiful Bahri, M.S., Apt.

NIP 195208241983031001

Aminah Dalimunthe, S.Si., M.Si., Apt. NIP 197806032005012004

Medan, November 2015 Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Pejabat Dekan,

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan

karunia yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan

judul “Potensi Interaksi Obat Antidiabetes pada Pasien Rawat Inap Diabetes

Melitus Tipe 2 Di RSUD Dr. Pirngadi Medan Juli-Desember 2014”. Skripsi ini

diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi di

Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan

terima kasih kepada Ibu Dr. Masfria, M.S., Apt. selaku Pejabat Dekan Fakultas

Farmasi USU Medan dan Ibu Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt., selaku Wakil

Dekan I Fakultas Farmasi USU Medan, yang telah menyediakan fasilitas kepada

penulis selama perkuliahan di Fakultas Farmasi. Penulis juga mengucapkan terima

kasih kepada Bapak Hari Ronaldo Tanjung, S.Si., M.Sc., Apt. dan Ibu

Khairunnisa, S.Si, M.Pharm, Ph.D., Apt yang telah membimbing dan memberikan

petunjuk serta saran-saran selama penelitian hingga selesainya skripsi ini. Ibu Prof.

Dr. Rosidah, M.Si., Apt., Bapak Drs. Saiful Bahri, M.S., Apt. dan Ibu Aminah

Dalimunthe, S.Si., M.Si., Apt. selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik,

saran dan arahan kepada penulis dalam menyempurnakan skripsi ini. Bapak Dr.

Kasmirul Ramlan Sinaga, M.S., Apt. selaku penasehat akademik yang selalu

memberikan bimbingan kepada penulis selama masa perkuliahan serta Bapak dan

Ibu staf pengajar Fakultas Farmasi USU Medan yang telah mendidik selama

perkuliahan.

Penulis juga mempersembahkan rasa terima kasih yang tiada terhingga

(5)

Pramadya dan Retno Dhiah Pramesti, atas limpahan kasih sayang, do’a dan

dukungan yang tidak ternilai apapun. Penulis tak lupa mengucapkan terima kasih

kepada teman-teman yang telah banyak membantu selama penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari

kesempurnaan, oleh karena itu penulis menerima kritik dan saran demi

kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan

manfaat bagi kita semua.

Medan, November 2015 Penulis

(6)

POTENSI INTERAKSI OBAT ANTIDIABETES PADA PASIEN RAWAT INAP DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RSUD DR. PIRNGADI MEDAN

JULI-DESEMBER 2014

ABSTRAK

Penyakit diabetes melitus merupakan salah satu penyakit penyebab kematian dan prevalensinya terus bertambah setiap tahunnya. Penderita diabetes melitus tipe 2 mencapai 90-95% dari keseluruhan populasi penderita diabetes dan penyakit ini merupakan penyakit degeneratif yang memerlukan penanganan seksama. Umumnya penderita diabetes menerima terapi antidiabetes kombinasi dengan terapi lainnya atau polifarmasi sehingga berpotensi terjadi interaksi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil penggunaan, frekuensi, jenis obat antidiabetes, mekanisme, tingkat keparahan yang berpotensi untuk berinteraksi pada pasien diabetes melitus tipe 2 serta melihat hubungan usia dan jumlah obat dengan kejadian potensi interaksi obat antidiabetes.

Metode penelitian ini adalah deskriptif dilakukan dengan survey secara retrospektif. Penelitian dilakukan di RSUD Dr. Pirngadi Medan dengan menggunakan rekam medik pasien rawat inap diabetes melitus tipe 2 pada bulan Juli-Desember 2014 yang memenuhi kriteria inklusi. Analisa data dilakukan secara deskriptif dan menggunakan uji Chi Square pada program IBM SPSS 20.

Hasil penelitian menunjukkan dari 90 rekam medik ditemukan kejadian potensi interaksi obat sebesar 68,90%, obat antidiabetes yang berpotensi interaksi adalah insulin aspart (38,40%), metformin 30%, dan insulin detemir 20,80%, mekanisme potensi tertinggi adalah farmakodinamik (72%), potensi dengan tingkat keparahan terbanyak adalah moderate (82,40%), serta tidak ada hubungan antara usia dengan kejadian potensi interaksi (p=0,215) dan adanya hubungan yang signifikan antara jumlah obat dan kejadian potensi interaksi obat (p=0,000). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat potensi interaksi antidiabetes pada pasien rawat inap diabetes melitus tipe 2 di RSUD Dr. Pirngadi Medan Juli-Desember 2014.

Kata kunci: potensi interaksi obat antidiabetes, diabetes melitus tipe 2, RSUD Dr.

(7)

POTENTIAL ANTIDIABETIC DRUG INTERACTION AMONG INPATIENTS WITH TYPE 2 DIABETES MELLITUS IN DR. PIRNGADI MEDAN HOSPITAL JULY-DECEMBER 2014

ABSTRACT

Diabetes mellitus is one of the leading causes of death, and its prevalence increases every year. Type 2 diabetes mellitus patients reach 90-95% of all diabetic population and the disease is a degenerative disease that requires careful handling. Generally, people with diabetes receive antidiabetic therapy in combination with other therapies or polypharmacy that potentially interact.

This study aims to determine the profile drug use, frequency, type of antidiabetic drugs, mechanisms, severity that potentially to interact in patients with type 2 diabetes mellitus and determine the correlation of age and amount of drugs with the incidence of potential antidiabetic drug interactions.

This research method is descriptive survey conducted by the retrospective approach. The study was conducted at Dr. Pirngadi Medan Hospital using medical records of inpatients with type 2 diabetes mellitus in July-December 2014 that fulfilled the inclusion criteria. The data were analyzed descriptively by using Chi Square test on IBM SPSS 20 program.

The results showed of 90 medical records found the incidence of potential drug interactions amounted 68.90%, antidiabetic drug interaction that could potentially interact was insulin aspart (38.40%), metformin (30%), and insulin detemir (20.80%), the highest potential mechanism interaction was pharmacodynamic (72%), with the highest potential severity was moderate (82.40%), there was no correlation between age and incidence of potential interactions (p = 0.215) and there was a significant relationship between the number of drugs and the incidence of potential drug interaction (p = 0.000). Based on the description above it can be concluded that the potential antidiabetic drug interaction in inpatients with type 2 diabetes mellitus in Dr. Pirngadi Medan hospital July-December 2014 exist.

Keywords: potential interactions of antidiabetic drug, type 2 diabetes mellitus,

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Kerangka Pikir Penelitian ... 4

1.3 Perumusan Masalah ... 5

1.4 Hipotesis ... 6

1.5 Tujuan Penelitian ... 6

1.6 Manfaat penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1 Interaksi Obat ... 8

2.1.1 Definisi Interaksi Obat ... 8

2.1.2 Mekanisme Interaksi Obat ... 9

(9)

2.2 Diabetes Melitus ... 16

2.2.1 Klasifikasi Diabetes Melitus ... 16

2.2.2 Diagnosis Diabetes Melitus ... 18

2.2.3 Penatalaksanaan Diabetes Melitus Tipe 2 ... 22

BAB III METODE PENELITIAN ... 30

3.1 Jenis Penelitian ... 30

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 30

3.2.1 Lokasi Penelitian ... 30

3.2.2 Waktu Penelitian ... 30

3.3 Populasi dan Sampel ... 31

3.3.1 Populasi ... 31

3.3.2 Sampel ... 31

3.4 Definisi Operasional ... 32

3.5 Instrumen Penelitian ... 34

3.5.1 Sumber Data ... 34

3.5.2 Teknik Pengumpulan Data ... 34

3.6 Analisis Data ... 35

3.7 Bagan Alur Penelitian ... 36

3.8 Prosedur Penelitian ... 36

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38

4.1 Karakteristik Umum Subjek Penelitian ... 38

4.1.1 Usia ... 38

(10)

4.2 Profil Penggunaan Obat Antidiabetes pada Pasien Rawat Inap Diabetes Melitus Tipe 2 di RSUD Dr. Pirngadi

Medan Juli-Desember 2014 ... 40

4.3 Persentase Frekuensi Potensi Interaksi Obat Antidiabetes Subjek Penelitian ... 41

4.3.1 Kriteria Usia ... 41

4.3.2 Kriteria Jumlah Obat ... 42

4.4 Gambaran Kejadian Potensi Interaksi Obat Antidiabetes Subjek Penelitian ... 43

4.4.1 Obat Antidiabetes yang Sering Mengalami Potensi Interaksi pada Subjek Penelitian ... 43

4.4.2 Mekanisme Potensi Interaksi Obat Antidiabetes pada Subjek Penelitian ... 47

4.4.3 T i n g k a t K e p a r a h a n P o t e n s i I n t e r a k s i O b a t Antidiabetes pada Subjek Penelitian ... 50

4.5 Hubungan Karakteristik Subjek P enelitian dengan Kejadian Potensi Interaksi Obat Antidiabetes ... 53

4.5.1 Faktor Usia ... 53

4.5.2 Faktor Jumlah Obat ... 54

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 56

5.1 Kesimpulan ... 56

5.2 Saran ... 56

DAFTAR PUSTAKA ... 58

(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.1 Skema kerangka pikir ... 5

2.1 Terapi antihiperglikemik pada pasien DM tipe 2:

rekomendasi umum ... 29

3.1 Bagan alur penelitian potensi interaksi obat antidiabetes pada pasien rawat inap diabetes melitus tipe 2 di RSUD

Dr. Pirngadi Medan Juli-Desember 2014 ... 36

4.1 Hubungan usia dengan potensi interaksi obat ... 54

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

4.1 Karakteristik subjek penelitian jenis kelamin dan usia ... 38

4.2 Karakteristik subjek penelitian jumlah obat ... 39

4.3 Persentase tingkat penggunaan obat antidiabetes pasien rawat inap diabetes melitus tipe 2 di RSUD Dr. Pirngadi Medan Juli-Desember 2014 ... 40

4.4 Persentase potensi interaksi obat antidiabetes pada subjek

penelitian dengan kriteria usia ... 41

4.5 Persentase potensi interaksi obat antidiabetes pada subjek

penelitian dengan kriteria jumlah obat ... 42

4.6 Jenis kejadian potensi interaksi obat antidiabetes pada subjek

Penelitian ... 44

4.7 Obat antidiabetes yang memiliki potensi interaksi pada subjek

penelitian... 45

4.8 Mekanisme potensi interaksi pada jenis kejadian potensi interaksi antidiabetes pada subjek penelitian ... 47

4.9 Persentase mekanisme potensi interaksi obat antidiabetes pada

subjek penelitian ... 48

4.10 Tingkat keparahan pada jenis kejadian potensi interaksi obat

antidiabetes pada subjek penelitian ... 50

4.11 Tingkat keparahan potensi interaksi obat pada subjek penelitian 51

4.12 Frekuensi potensi interaksi obat antidiabetes berdasarkan usia ... 53

4.13 Frekuensi potensi interaksi obat antidiabetes berdasarkan jumlah

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Hasil analisis hubungan beberapa variabel bebas terhadap potensi interaksi obat antidiabetes dengan menggunakan

analisis Chi Square pada program IBM SPSS 20 ... 62

2. Data potensi interaksi obat antidiabetes pada pasien rawat inap diabetes melitus tipe 2 di RSUD Dr. Pirngadi Medan Juli-Desember 2014 ... 65

3. Resep pada rekam medik ... 75

4. Surat izin penelitian ... 76

(14)

POTENSI INTERAKSI OBAT ANTIDIABETES PADA PASIEN RAWAT INAP DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RSUD DR. PIRNGADI MEDAN

JULI-DESEMBER 2014

ABSTRAK

Penyakit diabetes melitus merupakan salah satu penyakit penyebab kematian dan prevalensinya terus bertambah setiap tahunnya. Penderita diabetes melitus tipe 2 mencapai 90-95% dari keseluruhan populasi penderita diabetes dan penyakit ini merupakan penyakit degeneratif yang memerlukan penanganan seksama. Umumnya penderita diabetes menerima terapi antidiabetes kombinasi dengan terapi lainnya atau polifarmasi sehingga berpotensi terjadi interaksi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil penggunaan, frekuensi, jenis obat antidiabetes, mekanisme, tingkat keparahan yang berpotensi untuk berinteraksi pada pasien diabetes melitus tipe 2 serta melihat hubungan usia dan jumlah obat dengan kejadian potensi interaksi obat antidiabetes.

Metode penelitian ini adalah deskriptif dilakukan dengan survey secara retrospektif. Penelitian dilakukan di RSUD Dr. Pirngadi Medan dengan menggunakan rekam medik pasien rawat inap diabetes melitus tipe 2 pada bulan Juli-Desember 2014 yang memenuhi kriteria inklusi. Analisa data dilakukan secara deskriptif dan menggunakan uji Chi Square pada program IBM SPSS 20.

Hasil penelitian menunjukkan dari 90 rekam medik ditemukan kejadian potensi interaksi obat sebesar 68,90%, obat antidiabetes yang berpotensi interaksi adalah insulin aspart (38,40%), metformin 30%, dan insulin detemir 20,80%, mekanisme potensi tertinggi adalah farmakodinamik (72%), potensi dengan tingkat keparahan terbanyak adalah moderate (82,40%), serta tidak ada hubungan antara usia dengan kejadian potensi interaksi (p=0,215) dan adanya hubungan yang signifikan antara jumlah obat dan kejadian potensi interaksi obat (p=0,000). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat potensi interaksi antidiabetes pada pasien rawat inap diabetes melitus tipe 2 di RSUD Dr. Pirngadi Medan Juli-Desember 2014.

Kata kunci: potensi interaksi obat antidiabetes, diabetes melitus tipe 2, RSUD Dr.

(15)

POTENTIAL ANTIDIABETIC DRUG INTERACTION AMONG INPATIENTS WITH TYPE 2 DIABETES MELLITUS IN DR. PIRNGADI MEDAN HOSPITAL JULY-DECEMBER 2014

ABSTRACT

Diabetes mellitus is one of the leading causes of death, and its prevalence increases every year. Type 2 diabetes mellitus patients reach 90-95% of all diabetic population and the disease is a degenerative disease that requires careful handling. Generally, people with diabetes receive antidiabetic therapy in combination with other therapies or polypharmacy that potentially interact.

This study aims to determine the profile drug use, frequency, type of antidiabetic drugs, mechanisms, severity that potentially to interact in patients with type 2 diabetes mellitus and determine the correlation of age and amount of drugs with the incidence of potential antidiabetic drug interactions.

This research method is descriptive survey conducted by the retrospective approach. The study was conducted at Dr. Pirngadi Medan Hospital using medical records of inpatients with type 2 diabetes mellitus in July-December 2014 that fulfilled the inclusion criteria. The data were analyzed descriptively by using Chi Square test on IBM SPSS 20 program.

The results showed of 90 medical records found the incidence of potential drug interactions amounted 68.90%, antidiabetic drug interaction that could potentially interact was insulin aspart (38.40%), metformin (30%), and insulin detemir (20.80%), the highest potential mechanism interaction was pharmacodynamic (72%), with the highest potential severity was moderate (82.40%), there was no correlation between age and incidence of potential interactions (p = 0.215) and there was a significant relationship between the number of drugs and the incidence of potential drug interaction (p = 0.000). Based on the description above it can be concluded that the potential antidiabetic drug interaction in inpatients with type 2 diabetes mellitus in Dr. Pirngadi Medan hospital July-December 2014 exist.

Keywords: potential interactions of antidiabetic drug, type 2 diabetes mellitus,

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit tidak menular (PTM) merupakan 63% penyebab kematian di

seluruh dunia dengan membunuh 36 juta jiwa per tahun, salah satu dari penyakit

tidak menular tersebut adalah diabetes melitus dimana 3% kematian pada tahun

2008 disebabkan oleh diabetes melitus, pada laki-laki dewasa prevalensi diabetes

adalah 9,8% dan pada wanita 9,2%, mencerminkan peningkatan dari 8,3% pada

laki-laki dan 7,5% pada wanita pada tahun 1980. Jumlah penderita diabetes

meningkat dari 153 juta di tahun 1980 menjadi 347 juta di tahun 2008 (WHO,

2011).

Sebanyak 31 provinsi di Indonesia (93,9%) menunjukkan kenaikan

prevalensi DM yang cukup berarti. Diketahui prevalensi diabetes di Indonesia

berdasarkan wawancara tahun 2013 adalah 2,1%, angka tersebut lebih tinggi

dibanding dengan tahun 2007 (1,1%) (Kemenkes RI, 2014). Menurut laporan

WHO, Indonesia menempati urutan ke empat terbesar dari jumlah penderita

diabetes melitus dengan prevalensi 8,6% dari total penduduk sedangkan posisi

urutan diatasnya yaitu India, China dan Amerika Serikat dan WHO memprediksi

kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000

menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 (PERKENI, 2011).

Senada dengan WHO, International Diabetes Foundation (IDF) pada

tahun 2009 memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM dari 7 juta pada tahun

(17)

peningkatan jumlah penyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030

(PERKENI, 2011). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (2014) dalam

Riskesdas 2013 melaporkan prevalensi diabetes melitus di Sumatera Utara pada

umur ≥ 18 tahun pada tahun 2013 berdasarkan diagnosis dokter sebesar 1,8% dan

berdasarkan diagnosis dan gejala sebesar 2,3% (Kemenkes RI, 2014).

Diabetes melitus adalah kumpulan penyakit metabolik yang ditandai

dengan hiperglikemia akibat adanya gangguan sekresi insulin, kerja insulin,

ataupun keduanya. Hiperglikemia tersebut berhubungan degan kerusakan jangka

panjang, disfungsi, kegagalan, berbagai organ terutama mata, saraf, jantung, dan

pembuluh darah (ADA, 2012). Selain itu diabetes melitus merupakan faktor risiko

yang penting untuk penyakit jantung koroner (PERKENI, 2011). Diabetes melitus

tipe 2 adalah tipe diabetes yang paling banyak ditemukan dari pada diabetes

melitus tipe 1. Hal ini disebabkan banyaknya faktor resiko yang berkaitan dengan

diabetes tipe 2 tersebut seperti obesitas, gaya hidup, dan pola makan yang buruk

(Charles dan Ivar, 2011).

Penyakit diabetes melitus tipe 2 adalah penyakit seumur hidup (Yunir dan

Soebardi, 2009). Oleh karena itu, terapi pada penyakit ini tentu dilakukan seumur

hidup pula untuk menjaga agar kadar glukosa darah tetap stabil. Terapi

farmakologis dilakukan jika pengendalian glikemia masih gagal setelah dilakukan

perubahan pola hidup (Soegono, 2009). Penderita DM Tipe 2 mencapai 90-95%

dari keseluruhan populasi penderita diabetes, umumnya berusia di atas 45 tahun

(Depkes RI, 2005). Prevalensi diabetes berdasarkan diagnosis dokter dan gejala

meningkat sesuai dengan pertambahan umur, namun pada umur ≥65 tahun

(18)

dinyatakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (2013) dalam

Riskesdas 2013. Rata-rata penderita diabetes melitus tipe 2 berusia 65 tahun dan

ditemukan 26,7% DRP yang mana faktor terbesar yang berkontribusi adalah

polifarmasi (Ogbonna, et al., 2014). Harugeri, et al. (2010) juga menyatakan

bahwa pada usia lanjut sering terjadi polifarmasi sehingga pasien beresiko

mengalami DRP.

Drug Related Problem (DRP) adalah setiap peristiwa atau keadaan yang

melibatkan terapi obat yang menghalangi atau berpotensi menghalangi pasien

mencapai hasil yang optimal dari perawatan medis. Salah satu bentuk dari DRP

adalah interaksi obat (Parthasarathi, et al., 2005). Suatu interaksi terjadi ketika

efek suatu obat diubah oleh kehadiran obat lain, obat herbal, makanan, minuman

atau agen kimia lainnya dalam lingkungannya. Hasilnya dapat berbahaya jika

interaksi menyebabkan peningkatan toksisitas obat. (Stockley, 2008). Interaksi

obat didefinisikan oleh Mateti, et al. (2009) sebagai dua atau lebih obat

berinteraksi sedemikian rupa sehingga efektivitas atau toksisitas salah satu atau

lebih obat berubah. Rambhade, et al. (2012) menemukan bahwa polifarmasi

menyebabkan interaksi antar obat di pusat pelayanan kesehatan di Bhopal, India

tahun 2009. Sari, et. al. (2008) juga menemukan 41,69% resep obat antidiabetik

oral memiliki interaksi di rumah sakit X Depok, Indonesia.

Diabetes melitus termasuk salah satu penyakit degeneratif yang

memerlukan penanganan seksama (PERKENI, 2011). Jenis obat diabetes yang

sering digunakan adalah metformin 42,1%, sulfonylurea 30,8%, dan insulin

(19)

lansia karena penyakit berlangsung lama dan memerlukan terapi kombinasi atau

lebih dari satu obat untuk mendapatkan kontrol yang baik (Shastry, et al., 2015).

Latar belakang di atas menunjukkan bahwa pentingnya pemilihan obat

terutama pada pasien dengan diabetes melitus tipe 2 untuk mengindari atau

menurunkan terjadinya interaksi obat. Hal tersebut membuat penulis tertarik untuk

melakukan penelitian potensi interaksi obat antidiabetes pada pasien diabetes

melitus tipe 2 agar tercapai suatu keberhasilan terapi.

1.2 Kerangka Pikir Penelitian

Penelitian ini mengkaji tentang frekuensi potensi interaksi obat

antidiabetes pada pasien rawat inap diabetes melitus tipe 2 di RSUD Dr. Pirngadi

Medan, mengidentifikasi obat-obat antidiabetes yang sering berpotensi terjadi

interaksi dan mempelajari mekanisme potensi interaksi serta menentukan tingkat

keparahan potensi interaksi obat yang terjadi. Dalam hal ini karakteristik pasien

(usia) dan karakteristik obat (jumlah obat yang diterima pasien) adalah variabel

bebas (independent variable) yang merupakan faktor risiko, kejadian interaksi

obat sebagai variabel terikat (dependent variable). Adapun gambaran kerangka

(20)

Variabel Bebas Variabel Terikat Parameter

Faktor Resiko

Karakteristik Obat: -Jumlah obat

Karakteristik Pasien: -Usia pasien

Potensi Interaksi

Obat antidiabetes

Potensi Interaksi: - Frekuensi Interaksi - Mekanisme Interaksi - Jenis Obat yang

Berinteraksi - Tingkat Keparahan

Interaksi

Gambar 1.1 Skema kerangka pikir penelitian

1.3 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah pada

penelitian di RSUD Dr. Pirngadi Medan Juli-Desember 2014 adalah sebagai

berikut:

a. bagaimana profil penggunaan obat antidiabetes pada pasien rawat inap

diabetes melitus tipe 2?

b. berapakah persentase frekuensi potensi interaksi obat antidiabetes pada pasien

rawat inap diabetes melitus tipe 2?

c. obat antidiabetes, mekanisme interaksi obat antidiabetes, dan tingkat

keparahan apa saja yang sering berpotensi terjadi interaksi pada pasien rawat

inap diabetes melitus tipe 2?

d. apakah ada hubungan antara usia dengan potensi interaksi obat antidiabetes

dan juga antara jumlah obat dengan potensi interaksi obat antidiabetes pada

(21)

1.4 Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka hipotesis pada penelitian ini

adalah sebagai berikut:

a. profil penggunaan obat antidiabetes pada pasien rawat inap diabetes melitus

tipe 2 meliputi insulin, metformin.

b. persentase frekuensi potensi interaksi obat antidiabetes pada pasien rawat

inap diabetes melitus tipe 2 tinggi.

c. obat antidiabetes yang sering berpotensi terjadi interaksi adalah insulin, pola

mekanisme potensi interaksi obat antidiabetes meliputi farmakodinamik,

farmakokinetik, dan unknown, dan tingkat keparahan interaksi obat

antidiabetes yang berpotensi terjadi pasien rawat inap diabetes melitus tipe 2

meliputi major, moderate, minor.

d. ada hubungan antara usia dengan potensi interaksi obat antidiabetes dan juga

antara jumlah obat dengan potensi interaksi obat antidiabetes pada pasien

rawat inap diabetes melitus tipe 2.

1.5 Tujuan Penelitian

Berdasarkan hipotesis di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

a. mengetahui profil penggunaan obat antidiabetes pada pasien rawat inap

diabetes melitus tipe 2

b. mengetahui persentase frekuensi potensi interaksi obat antidiabetes pada

(22)

c. mengetahui jenis obat antidiabetes, mekanisme potensi interaksi, dan tingkat

keparahan yang berpotensi terjadi pada pada pasien rawat inap diabetes

melitus tipe 2.

d. mengetahui hubungan antara usia dengan potensi interaksi obat antidiabetes

dan juga antara jumlah obat dengan potensi interaksi obat antidiabetes pada

pasien rawat inap diabetes melitus tipe 2.

1.6 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

a. memberikan gambaran mengenai frekuensi potensi interaksi obat antidiabetes

pasien rawat inap diabetes melitus tipe 2.

b. memberikan gambaran tentang profil potensi interaksi obat antidiabetes

meliputi mekanisme potensi interaksi, jenis obat, dan tingkat keparahan yang

berpotensi terjadi pada pasien rawat inap diabetes melitus tipe 2.

c. sebagai landasan bagi tenaga kerja kesehatan untuk meningkatkan pelayanan

kesehatan dengan peresepan secara rasional.

d. sebagai landasan bagi pemerintah terutama profesional kesehatan untuk

membuat strategi pengobatan diabetes melitus tipe 2 sebagai upaya

peningkatkan pelayanan kesehatan sehingga tercapai penggunaan obat secara

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Interaksi Obat

Di antara berbagai faktor yang mempengaruhi respon tubuh terhadap

pengobatan terdapat faktor interaksi obat. Obat dapat berinteraksi dengan

makanan, zat kimia yang masuk dari lingkungan, atau dengan obat lain.

Pengobatan dengan beberapa obat sekaligus memudahkan terjadinya interaksi

obat (Setiawati, 2013).

2.1.1 Definisi Interaksi Obat

Interaksi obat didefinisikan ketika obat bersaing satu dengan yang

lainnya, atau yang terjadi ketika satu obat hadir bersama dengan obat yang lainnya

(Stockley, 2008). Interaksi obat-obat dapat didefinisikan sebagai respon

farmakologis atau klinis terhadap kombinasi obat berbeda ketika obat-obat

tersebut diberikan tunggal (Tatro, 2009). Dua atau lebih obat yang diberikan pada

waktu yang bersamaan dapat menghasilkan efeknya secara bebas atau dapat

berinteraksi. Interaksinya bisa bersifat potensiasi atau antagonis dari satu obat

oleh obat lainnya, atau adakalanya beberapa efek lainnya (BNF, 2014).

Interaksi obat dianggap penting secara klinik bila berakibat

meningkatkan toksisitas dan atau mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi

terutama bila menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi

yang rendah), misalnya glikosida jantung, antikoagulan, dan obat-obat sitostatik

(24)

2.1.2 Mekanisme Interaksi Obat

Mekanisme interaksi obat adalah bagaimana interaksi itu muncul. Ada dua

macam mekanisme interaksi obat yakni interaksi farmakokinetik dan interaksi

farmakodinamik.

2.1.2.1 Interaksi Farmakokinetik

Interaksi farmakokinetik adalah ketika obat diberi bersamaan obat yang

satu mengubah absorpsi, distribusi, metabolisme atau ekskresi obat lain. Hal ini

paling sering diukur dengan perubahan dalam satu atau lebih parameter kinetik,

seperti konsentrasi serum puncak, area di bawah kurva, konsentrasi waktu paruh,

jumlah total obat yang diekskresikan dalam urin (Tatro, 2009). Interaksi

farmakokinetik terdiri dari beberapa tipe :

a. Interaksi pada absorbsi obat

i. Efek perubahan pH gastrointestinal

Obat melintasi membran mukosa dengan difusi pasif tergantung pada

apakah obat terdapat dalam bentuk terlarut lemak yang tidak terionkan. Absorpsi

ditentukan oleh kelarutannya dalam lemak, pH isi usus dan sejumlah parameter

yang terkait dengan formulasi obat. Sebagai contoh adalah absorpsi asam salisilat

oleh lambung lebih besar terjadi pada pH rendah daripada pada pH tinggi

(Stockley, 2008).

ii. Adsorpsi, khelasi, dan mekanisme pembentukan komplek

Arang aktif dimaksudkan bertindak sebagai agen penyerap di dalam usus

untuk pengobatan overdosis obat atau untuk menghilangkan bahan beracun

lainnya, tetapi dapat mempengaruhi penyerapan obat yang diberikan dalam dosis

(25)

contoh, antibakteri tetrasiklin dengan kalsium, bismut aluminium, dan besi,

membentuk kompleks yang kurang diserap sehingga mengurangi efek antibakteri

(Stockley, 2008).

iii. Perubahan motilitas gastrointestinal

Karena kebanyakan obat sebagian besar diserap di bagian atas usus kecil,

obat-obatan yang mengubah laju pengosongan lambung dapat mempengaruhi

absorpsi. Misalnya metoklopramid mempercepat pengosongan lambung sehingga

meningkatkan penyerapan parasetamol (asetaminofen) (Stockley, 2008).

iv. Malabsorbsi dikarenakan obat

Neomisin menyebabkan sindrom malabsorpsi dan dapat mengganggu

penyerapan sejumlah obat-obatan termasuk digoksin dan metotreksat (Stockley,

2008).

b. Interaksi pada distribusi obat

i. Interaksi ikatan protein

Setelah absorpsi, obat dengan cepat didistribusikan ke seluruh tubuh oleh

sirkulasi. Beberapa obat secara total terlarut dalam cairan plasma, banyak yang

lainnya diangkut oleh beberapa proporsi molekul dalam larutan dan sisanya terikat

dengan protein plasma, terutama albumin. Ikatan obat dengan protein plasma

bersifat reversibel, kesetimbangan dibentuk antara molekul-molekul yang terikat

dan yang tidak. Hanya molekul tidak terikat yang tetap bebas dan aktif secara

farmakologi (Stockley, 2008).

ii. Induksi dan inhibisi protein transport obat

Distribusi obat ke otak, dan beberapa organ lain seperti testis, dibatasi oleh

(26)

membawa obat keluar dari sel-sel ketika obat berdifusi secara pasif. Obat yang

termasuk inhibitor transporter dapat meningkatkan penyerapan substrat obat ke

dalam otak, yang dapat meningkatkan efek samping Central Nervous System

(CNS) (Stockley, 2008).

c. Interaksi pada metabolisme obat

i. Perubahan pada metabolisme fase pertama

Meskipun beberapa obat dikeluarkan dari tubuh dalam bentuk tidak

berubah dalam urin, banyak diantaranya secara kimia diubah menjadi yang lebih

mudah diekskresikan oleh ginjal. Jika tidak demikian, banyak obat yang akan

bertahan dalam tubuh dan terus memberikan efeknya untuk waktu yang lama.

Perubahan kimia ini disebut metabolisme, biotransformasi, degradasi biokimia,

atau kadang-kadang detoksifikasi. Beberapa metabolisme obat terjadi di dalam

serum, ginjal, kulit dan usus, tetapi proporsi terbesar dilakukan oleh enzim yang

ditemukan di membran retikulum endoplasma sel-sel hati. Ada dua jenis reaksi

utama metabolisme obat. Yang pertama, reaksi tahap I (melibatkan oksidasi,

reduksi atau hidrolisis) obat-obatan menjadi senyawa yang lebih polar.

Sedangkan, reaksi tahap II melibatkan terikatnya obat dengan zat lain (misalnya

asam glukuronat, yang dikenal sebagai glukuronidasi) untuk membuat senyawa

yang tidak aktif. Mayoritas reaksi oksidasi fase I dilakukan oleh enzim sitokrom

P450 (Stockley, 2008).

ii. Induksi Enzim

Ketika barbiturat secara luas digunakan sebagai hipnotik, perlu terus

(27)

sama, alasannya bahwa barbiturat meningkatkan aktivitas enzim mikrosom

sehingga meningkatkan laju metabolisme dan ekskresinya (Stockley, 2008).

iii. Inhibisi enzim

Inhibisi enzim menyebabkan berkurangnya metabolisme obat, sehingga

obat terakumulasi di dalam tubuh. Jalur metabolisme yang paling sering dihambat

adalah fase oksidasi oleh isoenzim sitokrom P450. Signifikansi klinis dari banyak

interaksi inhibisi enzim tergantung pada sejauh mana tingkat kenaikan serum obat.

Jika serum tetap berada dalam kisaran terapeutik interaksi tidak penting secara

klinis (Stockley, 2008).

iv. Interaksi isoenzim sitokrom P450 dan obat yang diprediksi

Siklosporin dimetabolisme oleh CYP3A4, rifampisin menginduksi

isoenzim ini, sehingga tidak mengherankan bahwa rifampisin mengurangi efek

siklosporin (Stockley, 2008).

d. Interaksi pada ekskresi obat

i. Perubahan pH urin

Pada nilai pH tinggi (basa), obat yang bersifat asam lemah (pKa 3-7,5)

sebagian besar terdapat sebagai molekul terionisasi, yang tidak dapat berdifusi ke

dalam sel tubulus maka akan tetap dalam urin dan dikeluarkan dari tubuh.

Sebaliknya, basa lemah dengan nilai pKa 7,5 sampai 10,5. Dengan demikian,

perubahan pH yang meningkatkan jumlah obat dalam bentuk terionisasi

(28)

ii. Perubahan ekskresi aktif tubular renal

Obat yang menggunakan sistem transportasi aktif yang sama di tubulus

ginjal dapat bersaing satu sama lain dalam hal ekskresi. Sebagai contoh,

probenesid mengurangi ekskresi penisilin dan obat lainnya (Stockley, 2008).

iii. Perubahan aliran darah renal

Aliran darah melalui ginjal dikendalikan oleh produksi vasodilator

prostaglandin ginjal. Jika sintesis prostaglandin ini dihambat, ekskresi beberapa

obat dari ginjal dapat berkurang (Stockley, 2008).

2.1.2.2 Interaksi farmakodinamik

Interaksi farmakodinamik adalah interaksi yang mana satu obat

menginduksi perubahan respon pasien terhadap obat tanpa mengubah

farmakokinetik objek obat. Artinya, seseorang dapat melihat perubahan kerja obat

tanpa perubahan konsentrasi plasma. Interaksi farmakologis yaitu penggunaan

bersamaan dari dua atau lebih obat dengan aksi farmakologis yang sama atau

berbeda, misalnya penggunaan alkohol dengan obat anti ansietas dan hipnotik atau

antihistamin. Beberapa dokter mengatakan bahwa reaksi tersebut bukan interaksi

obat dan memang sebagian besar tanpa kecuali reaksi yang dilaporkan merugikan

(Tatro, 2009).

a. Interaksi aditif atau sinergis

Jika dua obat yang memiliki efek farmakologis yang sama diberikan

bersamaan efeknya bisa bersifat aditif. Sebagai contoh, alkohol menekan SSP, jika

diberikan dalam dosis terapi normal sejumlah besar obat (misalnya ansiolitik,

(29)

kadang efek aditif menyebabkan toksik misalnya aditif ototoksisitas,

nefrotoksisitas dan depresi sumsum tulang (Stockley, 2008).

b. Interaksi antagonis atau berlawanan

Berbeda dengan interaksi aditif, ada beberapa pasang obat dengan aktivitas

yang bertentangan satu sama lain. Misalnya efek penurunan glukosa dari

antidiabetes akan ditentang oleh kortikosteroid dengan aktivitas glukokortikoid

(hiperglikemik) dan hiperglikemia yang signifikan telah terlihat dengan

kortikosteroid sistemik. Contonnya adalah penggunaan dosis tinggi fluticasone

inhalasi dengan glibenklamid dan metformin (Stockley, 2008).

2.1.3 Tingkat keparahan interaksi obat

Tingkat keparahan interaksi sangat penting dalam menilai risiko

dibandingkan dengan manfaat terapi alternatif. Dengan penyesuaian dosis yang

tepat atau modifikasi jadwal penggunaan obat, efek negatif dari kebanyakan

interaksi dapat dihindari. Tiga derajat keparahan didefinisikan sebagai berikut:

a. Keparahan minor

Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan minor jika efek yang

ditimbulkan biasanya ringan; konsekuensi mungkin mengganggu atau tidak terlalu

mencolok tapi tidak signifikan mempengaruhi hasil terapi. Pengobatan tambahan

biasanya tidak diperlukan (Tatro, 2009).

b. Keparahan moderate

Sebuah interaksi termasuk dalam keparahan moderate jika efek yang

ditimbulkan dapat menyebabkan penurunan status klinis pasien. Pengobatan

tambahan, rawat inap, atau perpanjangan perawatan di rumah sakit mungkin

(30)

c. Keparahan major

Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan major jika terdapat

probabilitas yang tinggi, berpotensi mengancam jiwa atau dapat menyebabkan

kerusakan permanen (Tatro, 2009).

Profesional perawatan kesehatan perlu menyadari sumber interaksi obat

yang mengidentifikasi kedekatan dan tingkat keparahan interaksi, dan mampu

menggambarkan hasil potensi interaksi dan menyarankan intervensi yang tepat.

Hal ini juga tugas bagi profesional kesehatan untuk dapat menerapkan literatur

yang tersedia untuk setiap situasi. Profesional harus mampu untuk merekomendasi

secara individual berdasarkan parameter-pasien tertentu. Meskipun beberapa

pihak menyarankan efek samping yang dihasilkan dari interaksi obat mungkin

kurang sering daripada yang dipercaya, profesional perawatan kesehatan harus

melindungi pasien terhadap efek berbahaya dari obat-obatan, terutama ketika

interaksi tersebut dapat diantisipasi dan dicegah (Tatro, 2009).

Strategi pelaksanaan interaksi obat meliputi (Fradgley, 2003):

a. Menghindari kombinasi obat yang berinteraksi

Jika risiko interaksi pemakaian obat lebih besar daripada manfaatnya maka

harus dipertimbangkan untuk memakai obat pengganti. Pemilihan obat pengganti

tergantung pada apakah interaksi obat tersebut merupakan interaksi yang

berkaitan dengan kelas obat tersebut atau merupakan efek obat yang spesifik.

b. Penyesuaian dosis obat

Jika interaksi obat meningkatkan atau menurunkan efek obat maka perlu

(31)

kenaikan atau penurunan efek obat tersebut. Penyesuaian dosis diperlukan pada

saat mulai atau menghentikan penggunaan obat yang berinteraksi.

c. Pemantauan pasien

Jika kombinasi yang saling berinteraksi diberikan, maka diperlukan

pemantauan pasien. Keputusan untuk memantau atau tidak tergantung pada

berbagai faktor, seperti karakteristik pasien, penyakit lain yang diderita pasien,

waktu mulai menggunakan obat yang menyebabkan interaksi dan waktu

timbulnya reaksi interaksi obat.

d. Melanjutkan pengobatan seperti sebelumnya

Jika interaksi obat tidak bermakna klinis atau jika kombinasi obat yang

berinteraksi tersebut merupakan pengobatan optimal, pengobatan pasien dapat

diteruskan.

2.2 Diabetes Melitus

Diabetes melitus (DM) adalah suatu penyakit atau gangguan metabolisme

kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar glukosa darah

disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai

akibat insufisiensi fungsi insulin (Depkes RI, 2005).

2.2.1 Klasifikasi Diabetes Melitus

Menurut American Diabetes Association (2015), terdapat 4 klasifikasi

diabetes melitus, yaitu:

a. Diabetes melitus tipe 1

Diabetes melitus tipe 1 sebelumnya disebut dengan istilah diabetes

(32)

kanak-kanak atau remaja (juvenile-onset diabetes) (ADA, 2015). Walaupun

bentuk diabetes ini biasanya muncul pada anak-anak dan remaja, ini juga dapat

muncul pada usia berapa saja. (Triplitt, et al., 2008).

Kasus DM tipe 1 berkisar antara 5-10% dari seluruh populasi penderita

diabetes. Diabetes tipe ini terjadi dikarenakan destruksi autoimun dari sel β

pankreas. Namun beberapa bentuk diabetes tipe 1 tidak diketahui etiologinya

(idiophatic diabetes). Pasien dengan diabetes bentuk ini memiliki insulinopenia

permanen dan cenderung terjadi ketoasidosis episodik dan menunjukkan berbagai

tingkat defisiensi insulin antara episodenya. Tidak ada bukti dari autoimunitas

untuk bentuk diabetes ini dan kurangnya bukti mengenai imunologi autoimunitas

sel β. Diabetes tipe ini biasanya diturunkan dan insulin mutlak dibutuhkan oleh

penderita diabetes tipe ini (ADA, 2015).

b. Diabetes melitus tipe 2

Diabetes melitus tipe 2 sebelumnya dikenal dengan istilah diabetes yang

tidak tergantung insulin (non-insulin-dependent diabetes) atau diabetes yang

muncul setelah dewasa (adult-onset) (ADA, 2015). Penderita DM tipe 2 mencapai

sekitar 90-95% dari seluruh populasi penderita diabetes (Depkes RI, 2005).

Diabetes jenis ini dikarakterisasi oleh resistensi insulin dan berkurangnya

sensitivitas insulin. Timbulnya DM tipe 2 dikaitkan dengan pola gaya hidup yang

buruk, seperti: kurangnya olahraga, obesitas, dan diet tinggi lemak dan rendah

serat (Triplitt, et al., 2008).

c. Diabetes Melitus Gestasional (Gestational Diabetes Mellitus/GDM)

Diabetes melitus gestasional adalah intoleransi glukosa yang timbul

(33)

diklasifiksikan memiliki diabetes tipe 2. GDM adalah diabetes yang didiagnosa

pada trimester kedua atau ketiga kehamilan yang tidak jelas-jelas diabetes. (ADA,

2015). Sekitar 7% dari seluruh wanita hamil menderita GDM. Deteksi klinis

penting sebagai terapi untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas perinatal

(Triplitt, et al., 2008)

d. Diabetes tipe spesifik

Tipe spesifik diabetes dikarenakan oleh penyebab lain seperti sindrom

monogenik diabetes (seperti neonatal diabetes dan maturity-onset diabetes of the

young {MODY}), penyakit eksokrin pankreas (seperti fibrosis sistik), dan obat

atau bahan kimia yang menginduksi diabetes (seperti pada pengobatan HIV/AIDS

atau setelah transplantasi organ) (ADA, 2015).

2.2.2 Diagnosis Diabetes Melitus

Diagnosis Diabetes melitus (DM) harus didasarkan atas pemeriksaan

konsentrasi glukosa darah. Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan

asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk

diagnosis dapat digunakan darah utuh (whole blood), vena ataupun kapiler dengan

memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan

oleh WHO. Untuk pemantauan hasil pengobatan dapat diperiksa glukosa darah

kapiler. Uji diagnostik DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan

gejala/tanda DM. (Purnamasari, 2009).

PERKENI (2011) menjelaskan diagnosis DM dilakukan jika terdapat

gejala klasik DM seperti poliuria, polidipsi, polifagia, dan penurunan berat badan

(34)

a. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200mg/dL sudah cukup untuk

menegakkan diagnosis DM.

b. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126mg/dL

c. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO

≥200mg/dL (11,1 mmol/L) TTGO yang dilakukan dengan standar WHO,

menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang

dilarutkan ke dalam air. Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih

sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan gukosa plasma puasa,

namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit

dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakuakan karena

membutuhkan persiapan khusus.

d. Pemeriksaan HbA1c (≥6,5%) oleh ADA (2015) sudah dimasukkan menjadi

salah satu kriteria diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium

yang telah terstandardisasi dengan baik.

Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik akan menimbulkan komplikasi

akut dan kronis. Menurut PERKENI (2011) komplikasi DM dapat dibagi menjadi

dua kategori, yaitu :

a. Komplikasi akut

i. Hipoglikemia

Hipoglikemia adalah kadar glukosa darah seseorang di bawah nilai normal

(<50 mg/dl). Gejala umum hipoglikemia adalah pusing, lemas, gemetar,

pandangan berkunang-kunang, pitam (pandangan menjadi gelap), keluar keringat

dingin, detak jantung meningkat, sampai hilang kesadaran. Apabila tidak segera

(35)

yang terlalu rendah menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan energi

sehingga tidak berfungsi bahkan dapat mengalami kerusakan (Depkes RI, 2005).

ii. Ketoasidosis Diabetik

Hiperglikemia adalah apabila kadar gula darah meningkat secara tiba-tiba.

Gejala hiperglikemia adalah poliuria, polidipsia, polifagia, kelelahan yang parah,

dan pandangan kabur. Hiperglikemia yang berlangsung lama dapat berkembang

menjadi keadaan metabolisme yang berbahaya, antara lain ketoasidosis diabetik

(Depkes RI, 2005). Ketoasidosis diabetik adalah keadaan dekompensasi-

kekacauan metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis,

terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif (Soewondo, 2009).

Kebutuhan tubuh terpenuhi setelah sel lemak pecah dan membentuk senyawa

keton, keton akan terbawa dalam urin dan dapat dicium baunya saat bernafas.

Akibat akhir adalah darah menjadi asam, jaringan tubuh rusak, tak sadarkan diri

dan mengalami koma (Utami dan Tim Lentera, 2003).

iii. Koma Hiperosmoler Non Ketotik (KHNK)

Hiperglikemia yang berlangsung lama juga dapat berkembang menjadi

Koma Hiperosmoler Non Ketotik (KHNK) (Depkes RI, 2005). Sindrom KHNK

ditandai oleh hiperglikemia, hiperosmolar tanpa adanya ketosis. Gejala klinis

utamanya adalah dehidrasi berat, hiperglikemia berat dan seringkali disertai

gangguan neurologis dengan atau tanpa adanya ketosis. Perjalanan klinis KHNK

biasanya berlangsung dalam jangka waktu tertentu (beberapa hari sampai

beberapa minggu), dengan gejala khas meningkatnya rasa haus disertai poliuri,

polidipsi, dan penurunan berat badan. Koma hanya ditemukan kurang dari 10%

(36)

iv. Kemolakto Asidosis/Asidosis Laktat

Kemolakto asidosis/asidosis laktat terjadi akibat peningkatan konsentrasi

asam laktat darah, yang disebabkan gangguan perfusi dan hipoksemia. Tingginya

konsentrasi asam laktat dapat dipakai sebagai prediktor kegagalan metabolise

karbohidrat dan berat penyakikit/kematian (Seowondo dan Hendarto, 2009).

Gejala yang muncul biasanya berupa stupor hingga koma. Pemeriksaan gula darah

biasanya hanya menunjukkan hiperglikemia ringan (glukosa darah dapat normal

atau sedikit turun) (Utami dan Tim Lentera, 2003).

b. Komplikasi kronis

i. Komplikasi makrovaskuler

Tiga jenis komplikasi makrovaskuler yang umum berkembang pada

penderita DM adalah penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh darah dan otak,

dan penyakit pembuluh darah perifer. Walaupun komplikasi makrovaskuler dapat

juga terjadi pada DM tipe 1, namun yang lebih sering merasakan komplikasi

makrovaskuler ini adalah penderita DM tipe 2 yang umumnya menderita

hipertensi, dislipidemia dan/atau kegemukan. Kombinasi dari penyakit-penyakit

makrovaskuler dikenal dengan berbagai nama antara lain Insulin Resistance

Syndrome, Hyperinsulinemic Syndrome, Syndrome X (Depkes RI, 2005).

ii. Komplikasi mikrovaskuler

Komplikasi mikrovaskuler terutama terjadi pada penderita DM tipe 1.

Hiperglikemia yang persisten dan pembentukan protein yang terglikasi (termasuk

HbA1c) menyebabkan dinding pembuluh darah semakin lemah dan menyebabkan

(37)

komplikasi-komplikasi mikrovaskuler seperti retinopati, nefropati, dan neuropati

(Depkes RI, 2005).

2.2.3 Penatalaksanaan Diabetes Melitus

Penatalaksanaan diabetes menurut (Depkes RI, 2005) memiliki tujuan

akhir untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas DM, yang secara spesifik

ditujukan untuk mencapai 2 target utama, yaitu:

a. Menjaga agar kadar glukosa plasma berada pada kisaran normal

b. Mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi diabetes

2.2.3.1 Terapi Non Farmakologi

a. Pengaturan diet

Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan diabetes.

Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam

hal karbohidrat, protein dan lemak. Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan,

status gizi, umur, stress akut dan kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan

untuk mencapai dan mempertahankan berat badan ideal. Penurunan berat

badan telah dibuktikan dapat mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki

respon sel-sel β terhadap stimulus glukosa. Selain jumlah kalori, pilihan jenis

bahan makanan dan masukan serat juga sebaiknya diperhatikan (Depkes RI,

2005).

b. Olahraga

Berolahraga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula

darah tetap normal. Prinsipnya, tidak perlu olahraga berat, olahraga ringan asal

(38)

Beberapa contoh olahraga yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi,

bersepeda, berenang, dan lain sebagainya. Olahraga akan memperbanyak jumlah

dan juga meningkatkan penggunaan glukosa (Depkes RI, 2005).

2.2.3.2 Terapi Farmakologi

Apabila penatalaksaan terapi obat (pengaturan diet dan olahraga) belum

berhasil mengendalikan kadar glukosa darah penderita, maka perlu dilakukan

langkah berikutnya berupa penatalaksaan terapi obat, baik dalam bentuk terapi

obat hipoglikemik oral, terapi insulin, atau kombinasi keduanya.

a. Insulin

Insulin merupakan protein kecil yang mengandung 51 asam amino

tersusun dalam 2 rantai (A dan B) yang dihubungkan oleh jembatan disulfida.

Insulin dilepaskan dari sel β pankreas dengan laju basal yang rendah dan dengan

laju yang jauh lebih tinggi bila terstimulasi sebagai respon terhadap berbagai

rangsangan, terutama glukosa. Insulin meningkatkan simpanan lemak dan glukosa

di dalam sel target khusus dan mepengaruhi pertumbuhan sel dan fungsi

metabolik berbagai jaringan (Nolte dan Karam, 2012).

Sediaan insulin yang beredar di pasaran mengandung hanya peptida aktif

insulin. Ada empat jenis sediaan insulin injeksi antara lain:

i. Insulin kerja ultra pendek (rapid acting Insulin),

Insulin kerja ultra pendek mempuyai daya absorpsi pada tempat suntikan

lebih cepat (90% dalam 100 menit) dibandingkan dengan insulin regular (90%

dalam 150 menit). Onset kerja lebih cepat, puncak konsentrasi lebih tinggi dan

lebih dini, serta lama kerja lebih singkat (Deliana, et al., 2007). Contohnya insulin

(39)

5-6 jam. Insulin lispro dengan onset 15-30 menit dan masa kerja maksimum 4-6

jam (Triplitt, et al., 2008).

ii. Insulin kerja pendek (short acting insulin)

Potensi dan efek hipoglikemia insulin kerja pendek atau insulin regular,

hampir sama dengan insulin kerja ultra pendek. Selain dapat diberikan subkutan,

insulin regular adalah insulin yang dapat diberikan secara intra vena, oleh karena

itu insulin ini biasa dipakai untuk mengatasi keadaan akut seperti ketoasidosis,

pasien baru, dan tindakan bedah (Deliana, et al., 2007). Contohnya adalah insulin

regular yang memiliki onset 0,5-1 jam dengan masa kerja maksimum 6-8 jam

(Triplitt, et al., 2008).

iii. Insulin kerja menengah (intermediate insulin)

Insulin kerja menengah mempunyai onset yang lambat dan masa kerja

yang panjang tetapi masih kurang dari 24 jam. Insulin jenis ini dapat digunakan

dua kali sehari (Deliana, et al., 2007). Contohnya adalah insulin NPH (Neutral

Protamine Hagedorn) dengan onset 2-4 jam dan masa kerja maksimum 14-18 jam

(Triplitt, et al., 2008).

iv. Insulin kerja panjang (long acting insulin)

Mengingat masa kerja yang panjang, maka pemakaian insulin ini cukup

diberikan satu kali dalam satu hari. Penggunaan insulin kerja panjang secara

bermakna mengurangi kejadian hipoglikemia pada malam hari (nocturnal

hypoglycemia). Penggunaan insulin ini juga secara bermakna dapat menurunkan

kadar HbA1c serta frekuensi terjadinya hipoglikemia (Deliana, et al., 2007).

(40)

24 jam. Kemudian insulin glargine dengan onset 4-5 jam dan masa kerja

maksimum 24 jam (Triplitt, et al., 2008).

b. Obat Antidiabetik Oral

i. Golongan Sulfonilurea

Sulfonilurea digunakan sebagai salah satu terapi pada DM tipe 2 karena

dapat menstimulasi sekresi insulin. Mekanisme sekresi insulin terjadi karena

sulfonilurea dapat berikatan dengan subunit SUR1 pada kanal kalium yang

sensitif ATP (k-ATP) di sel β pankreas sehingga dapat menginduksi terjadinya

penutupan kanal k-ATP. Penutupan kanal tersebut menyebabkan depolarisasi

membran sel β pankreas sehingga kanal Ca2+

yang sensitif tegangan terbuka dan

terjadi influks kalsium. Peningkatan kalsium intraseluler menstimulasi eksositosis

pelepasan granul insulin dan meningkatkan sekresi insulin (Triplitt, et al., 2008).

Obat yang termasuk dalam golongan ini, yaitu glibenklamid, gliklazid,

glipizid, glikuidon, dan glimepirid. Efek samping obat golongan ini yang sering

terjadi, yaitu hipoglikemia dan peningkatan berat badan (Triplitt, et al., 2008).

ii. Golongan Biguanida

Golongan ini yang tersedia adalah metformin, metformin meningkatkan

sensitivitas insulin baik pada hati dan jaringan perifer. Metformin juga menekan

nafsu makan hingga berat badan tidak meningkat, sehingga layak diberikan pada

penderita yang overweight. Efek samping dari baguanida adalah gangguan

gastrointestinal meliputi diare dan rasa tidak nyaman pada perut (Triplitt, et al.,

(41)

iii. Golongan Tiazolidindion

Golongan obat baru ini memiliki kegiatan farmakologis yang luas dan

berupa penurunan kadar glukosa dan insulin dengan jalan meningkatkan kepekaan

bagi insulin dari otot, jaringan lemak dan hati, sebagai efeknya penyerapan

glukosa ke dalam jaringan lemak dan otot meningkat. Contoh: Pioglitazone,

Rosiglitazone (Triplitt, et al., 2008).

iv. Golongan Inhibitor Alfa Glukosidase

Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim glukosidase

alfa di dalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan hiperglikemia

postprandrial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak menyebabkan

hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin. Contoh: Acarbose

dan Miglitol (Triplitt, et al., 2008).

v. Golongan DPP 4 Inhibitor

Penghambat Dipeptidyl Peptidase 4 (DPP-4) menghambat kerja DPP-4

dalam menguraikan inkretin. Penghambat DPP-4 juga bekerja seperti GLP-1

(Glucagon like Peptide-1) yaitu menstimulasi insulin dan menghambat sekresi

glukagon, namun penghambat DPP-4 tidak menghambat pengosongan lambung.

Contoh penghambat DPP-4 adalah sitagliptin dan vildagliptin. Penghambat DPP-4

memiliki waktu paruh yang panjang kecuali Vildagliptin. Efek samping yang

sering terjadi pada penggunaan Penghambat DPP-4 adalah diare, mual, muntah

(42)

vi. Inhibitor ko-transporter natrium-glukosa 2 (Sodium-Glucose cotransporter

2 inhibitor/SGLT 2)

Inhibitor SGLT 2 menghadirkan penurunan glukosa tidak bergantung

insulin dengan memblok reabsorpsi glukosa di tubulus proksimal ginjal dengan

menginhibisi SGLT 2. Agen ini menghadirkan penurunan berat badan sedang dan

penurunan tekanan darah. Contohnya adalah canagliflozin, depagliflozin,

empagliflozin. Obat ini meningkatkan glukosuria, sehingga efek samping yang

dapat timbul adalah infeksi genitourinary, poliuria, hipotensi, pusing, peningkatan

LDL-C dan peningkatan kreatinin (sementara) (ADA, 2015).

2.2.3.3 Algoritma Penatalaksanaan Diabetes Melitus Tipe 2

American Diabetes Association (2015) telah mengeluarkan algoritma

penatalaksanaan DM tipe 2 dengan tahapan sebagai berikut:

a. Tahap 1

Kebanyakan pasien harus memulai dengan perubahan gaya hidup

(konseling gaya hidup, edukasi penurunan berat badan, olahraga, dll.). Apabila

perubahan gaya hidup saja tidak cukup untuk mempertahankan tujuan glikemik,

monoterapi metformin harus ditambahkan apabila tidak intoleransi dan

dikontraindikasikan. Metformin adalah agen farmakologis awal yang lebih disukai

untuk DM tipe 2.

b. Tahap 2

Apabila target HbA1C tidak tercapai dalam 3 bulan dengan monoterapi,

metformin dapat digunakan kombinasi dengan salah satu dari agen berikut:

Sulfonilurea, Thiazolidindion, inhibitor DPP-4, agonis reseptor GLP-1,

(43)

pada variasi pasien, penyakit, karakteristik obat, dengan sasaran menurunkan

KGD dan meminimalisir efek samping, terutama hipoglikemia. Obat golongan

lain tidak ditampilkan pada Gambar 2.1 misalnya α-glukosidase inhibitor,

kolesevelam, bromokriptin, pramlintide karena biasa digunakan pada keadaan

spesifik, tetapi tidak diutamakan disebabkan efikasinya sederhana, frekuensi

pemberian, dan/atau efek sampingnya. Mulai terapi dengan kombinasi saat

HbA1C ≥9%.

c. Tahap 3

DM tipe 2 merupakan penyakit degeneratif yang semakin lama akan

semakin parah dikarenakan progres alaminya sehingga terapi insulin akhirnya

banyak diindikasikan untuk pasien ini. Pertimbangan terapi kombinasi dengan

insulin dimulai saat KGD ≥300-350mg/dL (16,7-19,4 mmol/L) dan/atau HbA1C

≥10-12%. Insulin basal sendiri adalah regimen insulin awal yang cocok. Insulin

basal biasanya diresepkan dengan metformin dan kemungkinan dengan satu

tambahan agen noninsulin. Apabila insulin basal yang telah dititrasi untuk KGD

puasa dapat diterima, tetapi kadar HbA1C masih diatas target, kombinasi terapi

injeksi dapat dipertimbangkan untuk dimulai guna menangani fluktuasi glukosa

postprandial. Pilihan menambahkan agonis reseptor GLP1-1 atau insulin saat

makan, yang terdiri dari satu sampai tiga injeksi analog insulin kerja ultra pendek

(lispro, aspart, glulisine) dapat diberikan saat sebelum makan. Atau juga dapat

menggunakan insulin campuran (formulasi NPH-regular premixed 70/30, 70/30

asprat mix). Alternatif terapi “basal-bolus” dengan multipel injeksi harian (insulin

(44)

Pemilihan agen farmakologis didasarkan pada individu dan pertimbangan

seperti efikasi, biaya, efek samping yang potensial, resiko hipoglikemia, dan

preferensi pasien.

Gambar 2.1Terapi antihiperglikemik pada pasien DM tipe 2: rekomendasi umum.

Keterangan: DPP-4-i, inhibitor DPP-4; fx, fraktur; GI, gastrointestinal; GLP-1-RA, reseptor agonis GLP-1; GU, genitourinari; HF, heart failure (gagal jantung); Hipo, hipoglikemia; SGLT2-i, inhibitor SGLT 2; SU, sulfonilurea; TZD, thiazolidindion. * Pertimbangkan memulai tahap ini saat A1C ≥9%.

(45)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif

dilakukan dengan survei. Menurut Travers (1978) yang dikutip oleh Sevilla, et al.

(2007) penelitian deskriptif merupakan rancangan penelitian yang digunakan

untuk mengumpulkan informasi dari kondisi yang ada. Dalam hal ini penelitian

dilakukan dengan menggunakan data sekunder pasien penderita diabetes melitus

tipe 2 yang memenuhi kriteria inklusi dengan pendekatan secara retrospektif,

dalam hal ini adalah rekam medik dan laporan pemakaian obat pasien rawat inap

diabetes melitus di RSUD Dr. Pirngadi Medan Juli-Desember 2014.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di RSUD Dr. Pirngadi Medan yang berlokasi di Jl.

Prof. H. M. Yamin, SH No. 47 Medan. Lokasi ini dipilih karena berdasarkan

pertimbangan RSUD Dr. Pirngadi Medan merupakan rumah sakit rujukan dan

merupakan rumah sakit kelas B.

3.2.2 Waktu Penelitian

Pengambilan dan pengumpulan data dilakukan pada bulan Maret 2015

(46)

= 3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi adalah kumpulan dari keseluruhan pengukuran, objek, atau

individu yang akan dikaji yang menjadi fokus perhatian suatu kajian (Harinaldi,

2005). Populasi dalam penelitian ini adalah data rekam medik pasien rawat inap

diabetes melitus tipe 2 di RSUD Dr. Pirngadi Medan Juli-Desember 2014.

Populasi target diperoleh dari rekam medik pasien rawat inap diabetes melitus tipe

2 di RSUD Dr. Pirngadi Medan Juli-Desember 2014 sejumlah 840.

3.3.2 Sampel

Sampel merupakan sebagian, atau subset (himpunan bagian), dari suatu

populasi (Harinaldi, 2005). Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah

data rekam medik pasien rawat inap diabetes melitus tipe 2 di RSUD Dr. Pirngadi

Medan Juli-Desember 2014 yang memenuhi kriteria inklusi. Sampel diambil

secara acak sederhana dihitung berdasarkan rumus sampel minimal Slovin.

Rumus sampel minimal Slovin merupakan salah satu metode yang digunakan

untuk menentukan jumlah sampel minimal yang diambil bila diketahui jumlah

populasinya (Sevilla, 2007).

Rumus sampel minimal Slovin sebagai berikut:

N

n = 1 + N(e)²

840 n =

1 + 840. (0,1)

840 1 + 840(0,01)

840

= 1 + 8,4 = 840 9,4 = 89,36

Keterangan:

n : Jumlah Sampel

N : Jumlah Populasi (840)

(47)

Dengan jumlah populasi sebesar 840 dan batas toleransi kesalahan 10%

maka diperoeh besar sampel minimal 89,36.

Sampel yang dipilih harus memenuhi kriteria inklusi .

Kriteria inklusi:

a. rekam medik atau laporan pemakaian obat pasien yang dirawat di instalasi

rawat inap RSUD Dr. Pirngadi Medan dengan diagnosis penyakit diabetes

melitus tipe 2 pada bulan Juli-Desember 2014.

b. data rekam medik pasien lengkap, memuat: data pasien (nama, jenis kelamin,

usia, tanggal masuk rumah sakit), diagnosis penyakit, data penggunaan obat

antidiabetes.

c. kategori semua gender dan usia.

d. mendapat terapi ≥ 2 obat.

Kriteria eksklusi:

a. Data rekam medik pasien lengkap tetapi tidak dapat dibaca.

3.4 Definisi Operasional

a. subyek penelitian adalah rekam medik atau laporan pemakaian obat pasien

rawat inap dengan diagnosis penyakit diabetes melitus tipe 2 di RSUD Dr.

Pirngadi Medan Juli-Desember 2014.

b. penyakit diabetes melitus tipe 2 adalah suatu kumpulan gejala klinis

(sindroma klinis) yang timbul oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa

darah kronis akibat kekurangan insulin maupun menurunnya kepekaan

(48)

c. rekam medik adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang

identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain

kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan.

d. data laporan pemakaian obat per pasien adalah berkas yang berisikan data

tentang pemakaian obat pada pasien rawat inap dengan diagnosis diabetes

melitus tipe 2 yang dirawat inap di RSUD Dr. Pirngadi Medan pada periode

Juli-Desember 2014.

e. periode pengamatan adalah suatu rentang waktu untuk menentukan besarnya

insidensi pada periode tersebut.

f. potensi interaksi obat antidiabetes adalah potensi obat antidiabetes dengan

obat antidiabetes atau dengan obat lain untuk berinteraksi sedemikian rupa

sehingga efektivitas atau toksisitas salah satu atau lebih obat berubah.

g. persentase kejadian potensi interaksi antidiabetes adalah persentase potensi

interaksi obat antidiabetes yang ditemukan pada subjek penilitian.

h. usia subjek dihitung sejak tahun lahir sampai dengan ulang tahun terakhir,

kelompok usia ditentukan menjadi tahun, 25-34 tahun, 35-44 tahun, 45-54

tahun, 55- 64 tahun, 65-74 tahun, dan ≥75 tahun.

i. jenis obat adalah obat antidiabetes yang berpotensi interaksi.

j. mekanisme interaksi adalah bagaimana interaksi obat terjadi apakah secara

farmakokinetik, farmakodinamik atau unknown.

k. tingkat keparahan interaksi obat adalah minor, moderate, atau major.

l. interaksi farmakokinetik adalah salah satu obat mengubah tingkat absorpsi,

Gambar

Gambar 1.1 Skema kerangka pikir penelitian
Gambar 2.1Terapi antihiperglikemik pada pasien DM tipe 2: rekomendasi umum.
Gambar 3.1 Bagan alur  penelitian potensi interaksi obat antidiabetes pada pasien rawat inap diabetes melitus tipe 2 di RSUD Dr
Tabel 4.1 Karakteristik subjek penelitian jenis kelamin dan usia Karakteristik Subjek Jumlah RM (n=90)
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

[r]

Gambar 21 tampak samping memperlihatkan bahwa jarak titik pusat massa terhadap titik gandeng sebesar 21 mm, sementara itu pada Gambar 21 tampak depan dapat

1 Tidak semua negara memiliki konstitusi tertulis atau Undang-Undang Dasar, contohnya adalah Kerajaan Inggris yang biasanya disebut sebagai negara

The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XL-5, 2014 ISPRS Technical Commission V Symposium, 23 – 25 June 2014, Riva

Dalam rangka terwujudnya tujuan negara Indonesia tersebut maka dalam setiap kebijakan negara yang diambil oleh para penyelenggara negara (termasuk di dalamnya upaya melakukan

1 Halaman broken link dimodifikasi (cek dengan mengetik http://depkes.go.id/error) agar menampilkan pemberitahuan kepada pengunjung kesalahan mereka sekaligus disediakan

Camat juga berperan sebagai kepala wilayah (wilayah kerja, namun tidak memiliki daerah dalam arti daerah kewenangan), karena melaksanakan tugas umum pemerintahan di wilayah