• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi Dan Prevalensi Ektoparasit Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Di Desa Tanjung Rejo Percut Sei Tuan Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Identifikasi Dan Prevalensi Ektoparasit Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Di Desa Tanjung Rejo Percut Sei Tuan Sumatera Utara"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI EKTOPARASIT IKAN

LELE DUMBO (Clarias gariepinus) DI DESA TANJUNG REJO

PERCUT SEI TUAN SUMATERA UTARA

SKRIPSI

OLEH

ANISA RILLA LUBIS 100805030

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI EKTOPARASIT IKAN

LELE DUMBO (Clarias gariepinus) DI DESA TANJUNG REJO

PERCUT SEI TUAN SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

OLEH

ANISA RILLA LUBIS 100805030

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

PERSETUJUAN

Judul : Identifikasi Dan Prevalensi Ektoparasit Ikan Lele

Dumbo (Clarias gariepinus) Di Desa Tanjung Rejo Percut Sei Tuan Sumatera Utara

Kategori : Skripsi

Nama : Anisa Rilla Lubis

Program Studi : Sarjana (S1) Biologi

Nomor Induk Mahasiswa : 100805030

Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Sumatera Utara

Disetujui di Medan, Maret 2015

Komisi Pembimbing:

Pembimbing 2 Pembimbing 1

NIP. 19610903 199003 1 002 NIP. 19710910 200012 2 001

Disetujui Oleh

Departemen Biologi FMIPA USU

Ketua,

(4)

ii

PERNYATAAN

IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI EKTOPARASIT IKAN

LELE DUMBO (Clarias gariepinus) DI DESA TANJUNG REJO

PERCUT SEI TUAN SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri. Kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Maret 2015

(5)

PENGHARGAAN

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Identifikasi Dan Prevalensi Ektoparasit Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Di Desa Tanjung Rejo Percut Sei Tuan Sumatera Utara”. skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Sains pada Fakultas MIPA USU Medan.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Masitta Tanjung, S.Si.,M.Si selaku pembimbing 1 dan Bapak Drs. Nursal, M.Si selaku pembimbing 2 yang telah memberi bimbingan dan banyak masukan selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Salomo Hutahaean, M.Si dan Ibu Dr. Erni Jumilawaty, MSi selaku penguji yang telah memberi banyak masukan dan arahan dalam penyempurnaan penulisan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Ibu Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc selaku Ketua Departemen Biologi FMIPA, USU dan Ibu Dr. Saleha Hanum, M.Si selaku Sekretaris Departemen Biologi FMIPA, USU, serta Staf Pengajar Departemen Biologi, FMIPA, USU. Ibu Roslina Ginting dan Bang Erwin selaku Staf Pegawai Departemen Biologi, FMIPA USU.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Ir. Anwar M.si selaku kepala BKIPM Kelas I Medan I yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian di laboratorium BKIPM, kepada Bapak Hasbullah, Bapak Ali, Ibu Fuji, Ibu Retna, Ibu Marlina, dan seluruh pegawai BKIPM yang telah membimbing dan membantu saya dalam penelitian ini.

Ucapan terima kasih terbesar, penulis sampaikan kepada Ayahanda tercinta Andi S. Lubis dan Ibunda tercinta Nauliany Sinaga yang selalu memberikan doa, dukungan, kasih sayang, pengorbanan, semangat, kesabaran, perhatian serta kepercayaan yang begitu besar kepada penulis. Semoga Allah SWT memberikan kesehatan dan umur yang berkah. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada adik-adik tersayang yang telah menjadi sumber kebahagiaan selama ini, Nanda Syahputra Lubis, Nindi Syahputri Lubis, Chairul Zall Lubis dan Alm. Dedek Lubis. Tidak lupa juga penulis ucapkan terimakasih kepada Keluarga Besar Singgah.

(6)

iv

perkuliahan dan penulis berharap persahabatan kita bisa berlanjut selamanya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada stambuk 2010 yang namanya tidak bisa disebutkan satu per satu.

Akhirnya dengan penuh ketulusan dan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. semoga Allah SWT membalas semua kebaikan dan ketulusan kita dengan balasan yang setimpal. Amin Ya Rabbal Alamin.

Medan, Maret 2015

(7)

IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI EKTOPARASIT IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) DI DESA TANJUNG REJO PERCUT SEI

TUAN SUMATERA UTARA

ABSTRAK

Dalam usaha budidaya perikanan, sering ditemukan kendala-kendala yang dapat mengurangi hasil produksi. Salah satu kendala tersebut disebabkan oleh infestasi ektoparasit. Studi mengenai identifikasi dan prevalensi ektoparasit ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) telah dilaksanakan di Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Kelas I, Medan I Araskabu pada bulan Juli sampai September 2014. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis ektoparasit yang menyerang ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dan jumlah prevalensinya. Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) diambil sebanyak 10 ekor secara acak dari kolam budidaya di desa Tanjung Rejo, Percut Sei Tuan. Insang, mukus tubuh, mukus sirip dan mukus mata diambil dengan metode scrapping dan diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 400X. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari total jumlah ikan yang diamati, ada 6 ekor ikan yang terinfeksi ektoparasit, yakni Dactylogyrus sp. dan Gyrodactylus sp.. Dactylogyrus sp. ditemukan pada insang dengan prevalensi 20% dan Gyrodactylus sp. ditemukan pada mukus tubuh dengan prevalensi 50%. Tidak ada ektoparasit yang ditemukan menginfeksi mukus sirip dan mukus mata.

(8)

vi

IDENTIFICATION AND PREVALENCE ON ECTOPARASITES OF LELE DUMBO (Clarias gariepinus) IN TANJUNG REJO PERCUT SEI

TUAN SUMATERA UTARA

ABSTRACT

There are many problems often found in the fish farming field which can reduce the productivity. One of those problems is caused by ectoparasite's infestation. Identification and prevalence study on the ectoparasites of lele dumbo (Clarias gariepinus) was conducted in Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Kelas I, Medan I Araskabu, from July to September, 2014. A total of 10 lele dumbos (Clarias gariepinus) were collected once randomly from a fish farming site located in Tanjung Rejo, Percut Sei Tuan. Gills, body mucus, fins mucus and eyes mucus were collected by scrapping method and observed by using 400X magnification microscope. This study revealed that of the total number examined, 6 fishes were infected with ectoparasites, which included Dactylogyrus sp. and Gyrodactylus sp.. Dactylogyrus sp. were found in gills with 20% of prevalence and Gyrodactylus sp. were found in body mucus with 50% of prevalence. There were no ectoparasites found in fins mucus and eyes mucus.

(9)

DAFTAR ISI

1.3. Tujuan Penelitian 3

1.4. Manfaat Penelitian 3

BAB 2. Tinjauan Pustaka

2.1. Sistematika dan Morfologi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)

4

2.2. Biologi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) 5

2.3. Parasit Ikan 7

2.4. Ektoparasit 8

2.5. Biologi Parasit Monogenea 8

2.6. Prevalensi 10

2.7. Kualitas Air 10

BAB 3. Metodologi Penelitian

3.1. Waktu dan Tempat 12

3.2. Alat dan Bahan 12

3.3. Metode Penelitian 12

3.3.1. Area Penelitian 12

3.3.2. Tahap Pengambilan Sampel 13

3.3.3. Tahap Persiapan Pemeriksaan Sampel 13 3.3.4. Tahap Pemeriksaan Ektoparasit Sampel 13

3.3.5 Indentifikasi Parasit 14

3.3.6 Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan 14

3.4. Analisis Data 15

BAB 4. Hasil dan Pembahasan

4.1. Ektoparasit Pada Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) yang Berasal Dari Desa Tanjung Rejo Percut Sei Tuan

16

(10)

viii

4.2.1. Dactylogyrus sp. 19

4.2.2. Gyrodactylus sp. 21

4.3. Kunci Determinasi Dactylogyrus sp. dan Gyrodactylus sp. 22 4.4. Prevalensi Ektoparasit pada Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) di Desa Tanjung Rejo Percut Sei Tuan

24

BAB 5. Kesimpulan dan Saran

5.1. Kesimpulan 27

5.2. Saran 27

Daftar Pustaka 28

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

3.1. Metode Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan 14 4.1. Ektoparasit Pada Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)

yang Berasal Dari Desa Tanjung Rejo Percut Sei Tuan

16

4.3. Prevalensi ektoparasit pada ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) yang berasal dari Desa Tanjung Rejo Percut Sei Tuan

(12)

x

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) 4

4.1. Dactylogyrus sp. 21

A. Dactylogyrus sp. yang ditemukan dari Desa Tanjung Rejo Percut Sei Tuan

21

B. Dactylogyrus sp 21

4.2. Gyrodactylus sp. 22

A. Gyrodactylus sp. yang ditemukan dari Desa Tanjung Rejo Percut Sei Tuan

22

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Kegiatan Kerja 32

2. Jumlah Ikan yang Diperlukan untuk Mendeteksi Parasit Dengan Tingkat Kepercayaan 80%

33

3. Data Jumlah Parasit Dactylogyrus sp. dan Gyrodactylus sp. di Desa Tanjung Rejo Percut Sei Tuan

33

4. Perhitungan Nilai Prevalensi Serangan Parasit Dactylogyrus sp. dan Gyrodactylus sp.

34

5. Data Kualitas Air Lokasi Pengambilan Sampel Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Di Desa Tanjung Rejo Percut Sei Tuan

(14)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ikan merupakan sumber protein yang penting bagi manusia dan hewan lain. Ikan

menyediakan kebutuhan akan diet protein sebanyak 40% dari total dua pertiga

populasi dunia. Ikan tidak hanya menjadi bahan pangan, tetapi budidaya ikan juga

dijadikan sebagai sumber pencarian dan lapangan pekerjaan. Produk ikan segar

dari daerah tropis sudah menjadi sumber devisa negara terutama pada pasar

negara-negara berkembang (Biu & Akorede, 2013).

Ikan lele merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang sudah

dibudidayakan secara komersial oleh masyarakat Indonesia. Pengembangan usaha

budidaya ikan ini semakin meningkat setelah jenis ikan lele dumbo (Clarias

gariepinus) diintroduksi ke Indonesia pada tahun 1985. Pengingkatan tersebut

terjadi karena ikan lele dumbo dapat dibudidayakan pada lahan dan sumber air

yang terbatas dengan padat tebar tinggi, modal usaha yang relatif rendah dan

banyak disukai konsumen (Sunarma, 2004).

Konsumsi ikan lele dumbo pada beberapa tahun ini mengalami

peningkatan sehingga permintaan konsumen akan ikan ini semakin meningkat.

Hal ini mendorong pembudidaya untuk memproduksi ikan lele dumbo sampai

ukuran konsumsi. Untuk meningkatkan produksi biasanya pembudidaya

melakukan budidaya ikan lele dumbo dalam lahan yang terbatas dengan padat

tebar tinggi, sehingga diharapkan produksi ikan lele dumbo yang dihasilkan akan

banyak dan dapat memenuhi permintaan konsumen (Aquarista et al., 2012).

Walaupun pada awal pengenalan budidaya ikan lele dumbo dianggap

memiliki banyak kelebihan, namun ternyata budidaya ikan ini sendiri memicu

berkembangnya berbagai jenis penyakit parasit sehingga produktivitasnya menjadi

berkurang. Masalah penyakit sering merupakan faktor penghambat terhadap

keberhasilan budidaya (Anshary, 2010).

Penyakit akibat infeksi parasit menjadi salah satu ancaman keberhasilan

(15)

2

area yang terbatas, menyebabkan kondisi lingkungan tersebut sangat mendukung

perkembangan dan penyebaran penyakit infeksi. Kondisi dengan padat tebar

tinggi akan menyebabkan ikan mudah stress sehingga menyebabkan ikan menjadi

mudah terserang penyakit. Selain itu kualitas air, volume air, dan alirannya

berpengaruh terhadap berkembangnya suatu penyakit. Populasi yang tinggi akan

mempermudah penularan karena meningkatnya kemungkinan kontak antara ikan

yang sakit dengan ikan yang sehat (Irianto, 2005).

Serangan parasit dapat menyebabkan kerugian secara ekonomis. Efek

ekonomis parasit pada ikan antara lain pengurangan populasi ikan konsumsi,

pengurangan berat ikan dan terjadinya perubahan morfologi ikan (Akbar, 2011).

Beberapa parasit telah diketahui memiliki potensi zoonosis sehingga perlu diteliti

lebih lanjut demi kesehatan masyarakat. Beberapa jenis ektoparasit telah

dilaporkan dari ikan lele dumbo, yaitu Protozoa (Ichthyopthirius multifilis,

Cryptobia dan Vorticella), Monogenea (Dactylogyrus dan Gyrodactylus) dan

Cestoda (Lytocestus parvulus) (Anshary, 2010).

Untuk memonitor populasi suatu parasit pada ikan dapat dilakukan dengan

cara identifikasi parasit yaitu dengan cara menghitung prevalensi. Prevalensi

adalah presentasi ikan yang terserang parasit atau proporsi dari

organisme-organisme dalam keseluruhan populasi yang ditemukan terjadi pada ikan dalam

waktu tertentu dengan mengabaikan kapan mereka terjangkit (Muntalim, 2010).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hadiroseyani et al. (2006)

pada ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) di daerah Cimanggu ditemukan

ektoparasit Dactylogyrus sp. dengan prevalensi 83,33% dan Gyrodactylus sp.

dengan prevalensi 70% pada bagian insang; di daerah Cijeruk ditemukan

Dactylogyrus sp. dengan prevalensi 100% dan di daerah Cibinong ditemukan

Gyrodactylus sp. dengan prevalensi 13,33%.

Berdasarkan penelitian yang diakukan oleh Yuliartati (2011) pada organ

insang ikan patin (Pangasius djambal) yang diambil dari tiga lokasi

pembudidayaan ikan patin di Kota Makassar, ditemukan parasit Dactylogyrus sp.

dengan prevalensi parasit dari lokasi I sebesar 70%, lokasi II 100% dan lokasi III

100%. Sedangkan penelitian yang dilakukan Akbar (2011) pada ikan betok

(16)

3

23,33%. Pada penelitian yang dilakukan Hadiroseyani et al. (2009), ditemukan

ektoparasit Gyrodactylus sp. pada ikan nila (Oreochromis sp.) dengan prevalensi

100%.

1.2 Permasalahan

Dalam budidaya ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) masih ditemukan

banyak kendala akibat serangan ektoparasit yang menyebabkan timbulnya

penyakit pada ikan, mortalitas tinggi dan produksi menurun sehingga perlu

dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai identifikasi dan prevalensi ektoparasit

yang terdapat pada ikan lele dumbo (Clarias gariepinus).

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis dan prevalensi

ektoparasit yang menginfeksi ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) hasil budidaya

petani di Desa Tanjung Rejo Percut Sei Tuan Sumatera Utara.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi bagi

peneliti selanjutnya dan juga bagi pembudidaya ikan lele dumbo khususnya untuk

(17)

8

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistematika dan Morfologi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)

Klasifikasi ikan lele dumbo menurut Saanin (1984) dalam Hadiroseyani et al.

(2006) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Filum : Vertebrata

Kelas : Pisces

Sub kelas : Teleostei

Ordo : Ostariophysoidei

Famili : Clariidae

Genus : Clarias

Spesies : Clarias gariepinus

Gambar 2.1. Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)

Menurut Indah (2010), Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) memiliki

morfologi yang mirip dengan lele lokal (Clarias batrachus). Bentuk tubuh

memanjang, agak bulat, kepala gepeng dan batok kepalanya keras, tidak bersisik

(18)

5

kelabu seperti jamur kulit manusia (panu). Ikan lele dumbo dalam bahasa Inggris

disebut pula catfish, siluroid, mudfish dan walking catfish.

Menurut Najiyati (1992), bentuk luar ikan lele dumbo yaitu memanjang,

bentuk kepala pipih dan tidak bersisik. Memiliki sungut yang memanjang terletak

di sekitar kepala sebagai alat peraba. Mempunyai alat olfactory yang terletak

berdekatan dengan sungut hidung. Penglihatannya kurang berfungsi dengan baik.

Ikan lele dumbo memiliki 5 sirip yaitu sirip ekor, sirip punggung, sirip dada dan

sirip dubur. Jari-jari sirip dada mengeras dan berfungsi sebagai patil, tetapi pada

lele dumbo patilnya lemah dan tidak beracun. Insang berukuran kecil, sehingga

kesulitan untuk bernafas. Selain bernafas dengan insang, lele dumbo juga

mempunyai alat pernafasan tambahan (arborescent) yang terletak pada insang

bagian atas.

Menurut Puspowardoyo & Djarijah (2003), lele dumbo memiliki patil

yang tidak tajam dan giginya tumpul. Sungut lele dumbo relatif panjang dan

tampak lebih kuat dibandingkan dengan lele lokal. Kulit dadanya terdapat

bercak-bercak kelabu seperti panu pada manusia. Kepala dan punggungnya berwarna

kehitaman atau kecoklatan.

2.2 Biologi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)

Ikan lele dumbo adalah jenis ikan hibrida hasil silangan antara Clarias gariepinus

dengan C. fuscus dan merupakan ikan introduksi yang pertama kali masuk ke

Indonesia pada tahun 1985. Secara biologis ikan lele dumbo mempunyai

kelebihan dibandingkan dengan jenis lele lainnya, antara lain lebih mudah

dibudidayakan dandapat dipijahkan sepanjang tahun, fekunditas telur yang besar

serta mempunyaikecepatan tumbuh dan efisiensi pakan yang tinggi (Hadiroseyani

et al., 2006).

Habitat ikan lele dumbo adalah semua perairan tawar. Di sungai yang

airnya tidak terlalu deras atau di perairan yang tenang seperti danau, waduk,

telaga, rawa, serta genangan-genangan kecil seperti kolam. Ikan lele dumbo tidak

membutuhkan perairan yang mengalir untuk mendukung pertumbuhannya. Hal ini

dimungkinkan oleh adanya kemampuan ikan lele dumbo untuk mengambil

(19)

6

sehingga pada perairan yang tidak mengalir, perairan yang kotor dan berlumpur

dengan kandungan oksigen rendah, ikan lele dumbo masih bisa hidup (Anshary,

2008).

Suyanto (2007) menyatakan bahwa ikan lele dumbo mencapai

kedewasaannya setelah mencapai ukuran 100 g atau lebih. Jika sudah masanya

berkembang biak, ikan jantan dan betina akan berpasangan dan mencari tempat

untuk yang aman untuk bersarang. Ikan lele dumbo yang siap kawin ditandai

dengan dari ciri-ciri fisiknya dan faktor usia. Ciri fisik yang paling menonjol

adalah perut yang sangat buncit pada betina sedangkan pada jantan terlihat lebih

agresif dalam mengejar betina.

Ikan mulai mencapai kematangan seksual ketika berumur 1 tahun dengan

panjang tubuh berkisar 150-750 mm. Pada perkawinannya, induk betina

melepaskan telurnya bersamaan waktunya dengan jantan melepaskan sperma di

dalam air. Telur yang dibuahi dijaga oleh induk betina sampai telur menetas dan

kuat berenang. Lama proses penjagaan ini antara lima sampai sepuluh hari.

Seekor induk betina dapat menghasilkan 1000 sampai 4000 butir telur sekali

memijah. Dalam tempo 36-48 jam setelah perkawinan, telur akan menetas

(Suyanto, 2007).

Stadia perkembangan awal hidup ikan secara umum terdiri dari tahapan

stadia telur, larva dan juvenil. Telur akan menetas menjadi larva dengan kantung

telur yang belum berkembang. Pada fase larva, organ-organ tubuhnya belum

sempurna karena masih dalam proses perkembangan. Larva lele dumbo

mempunyai kisaran ukuran antara 5-7mm dengan berat antara 1,2-3 mg. Pada

stadia penyerapan kuning telur, larva akan mengalami perkembangan karakter

sementara (transient larval character) seperti pola pigmen, duri dan sirip

dibagian kepala ataupun bagian lainnya yang memang dibutuhkan dalam

adaptasinya dengan kondisi lingkungan. Secara bertahap, larva kemudian

mengalami perkembangan yang mendekati karakter dewasa terutama karakter

meristik. Pada tahap akhir perkembangan larva, ikan mengalami perubahan dan

memasuki stadia juvenil. Dalam 30-40 hari lele dumbo akan mencapai ukuran 5-7

cm siap dijadikan bibit. Dalam 2-3 bulan lele dumbo siap dipanen (Alpanda,

(20)

7

2.3 Parasit Ikan

Keberhasilan suatu usaha budidaya ikan tidak terlepas dari masalah penyakit dan

parasit ikan. Meskipun jarang terjadi pada kolam-kolam yang terawat dengan baik,

wabah penyakit dan parasit yang menyerang ikan dapat menimbulkan kerugian

besar bagi petani ikan karena sering menyebabkan kematian ikan secara massal.

Adapun organisme penyebab penyakit yang biasa menyerang ikan umumnya

berasal dari golongan jamur, bakteri, virus, parasit dan hewan invertebrata lainnya

(Yuliartati, 2011).

Organisme penyebab penyakit pada ikan sangatlah beragam, salah satunya

adalah ektoparasit. Ektoparasit ni menginfeksi sirip, sisik, operkulum dan insang

ikan. Beberapa faktor yang berperan terhadap serangan penyakit pada ikan adalah

kepadatan ikan yang dibudidayakan, budidaya secara monokultur, stress, faktor

biotik dan abiotik yaitu faktor fisika dan kimia air serta berbagai organisme

patogen (Purwaningsih, 2013).

Penyakit akibat infeksi parasit menjadi ancaman utama keberhasilan

akuakultur, pemeliharaan ikan dalam jumlah besar dan padat tebar tinggi pada

area yang terbatas, menyebabkan kondisi lingkungan tersebut sangat mendukung

perkembangan dan penyebaran penyakit infeksi. Kondisi kolam dengan padat

tebar tinggi akan menyebabkan ikan mudah stress sehingga sangat mudah

diserang penyakit terutama parasit. Semakin tinggi tingkat kepadatan, maka

semakin besar kemungkinan gesekan yang dapat terjadi antara ikan yang dapat

menularkan parasit secara langsung atau menimbulkan luka yang dapat menjadi

sasaran organisme pathogen (Anshary, 2010). Padat penebaran tinggi dalam

budidaya serta pergantian air yang kurang memungkinkan parasit dapat

berkembang dengan cepat.

Parasit merupakan organisme yang hidup pada organisme lain yang

mengambil makanan dari tubuh organisme tersebut, sehingga organisme

tempatnya makan (inang) akan mengalami kerugian (Kabata, 1985). Parasitisme

adalah hubungan dari salah satu spesies parasit dengan inangnya. Inang berperan

sebagai tempat untuk memperoleh makanan dan nutrisi bagi parasit, sehingga

tubuh inang merupakan lingkungan yang paling utama untuk habitat parasit (Riko

(21)

8

2.4 Ektoparasit

Infeksi parasit merupakan salah satu faktor penghambat dalam budidaya ikan.

Berdasarkan letak organ yang terinfeksi oleh parasit, Kabata (1985)

mengelompokkan parasit menjadi dua kelompok yang berbeda yaitu ektoparasit

dan endoparasit. Ektoparasit adalah parasit yang terdapat pada bagian luar tubuh

ikan atau di bagian yang masih mendapat udara dari luar. Ektoparasit menyerang

kulit, sirip dan insang ikan.; sedangkan endoparasit adalah parasit yang hidupnya

di dalam tubuh inang, misalnya di dalam alat pencernaan, peredaraan darah atau

organ dalam lainnya (Riko et al., 2012).

Kerugian akibat infestasi ektoparasit memang tidak sebesar kerugian

akibat infeksi organisme patogen lain seperti virus dan bakteri, namun infestasi

ektoparasit dapat menjadi salah satu faktor predisposisi bagi infeksi organisme

patogen yang lebih berbahaya. Kerugian non lethal lain dapat berupa kerusakan

organ luar yaitu kulit dan insang, pertumbuhan lambat dan penurunan nilai jual

(Fidyandini et al., 2012).

Serangan ektoparasit pada ikan akan menurun sejalan dengan

bertambahnya umur dan ukuran ikan. Semakin besar ukuran ikan maka sistem

ketahanan tubuh ikan akan semakin baik. Kondisi ketahanan tubuh ikan yang

berukuran benih masih lemah dan sangat rentan terhadap perubahan lingkungan

sehingga lebih mudah terserang parasit (Rustikawati et al., 2004). Beberapa

golongan parasit yang bersifat ektoparasit antara lain adalah Ciliata, Flagellata,

Monogenea, Copepod, Isopod, Branchiuran dan lintah, sedangkan endoparasit

adalah parasit yang ditemukan pada organ bagian dalam inang. Golongan parasit

yang masuk kelompok endoparasit antara lain adalah Digenea, Cestoda,

Nematoda, Acantocephala, Coccidia, Microsporidia, dan Amoeba (Yuliartati,

2011).

2.5 Biologi Parasit Monogenea

Umumnya ikan-ikan yang hidup di alam dapat terinfeksi oleh berbagai jenis

parasit cacing-cacingan seperti Monogenea, Digenea, Nematoda dan

Acanthocepala. Monogenea umumnya ektoparasit dan jarang bersifat endoparasit.

(22)

9

parasit yang sebagian besar menyerang bagian luar tubuh ikan (ektoparasit)

jarang menyerang bagian dalam tubuh ikan (endoparasit) biasanya menyerang

kulit dan insang (Talunga, 2007).

Monogenea merupakan cacing pipih dengan ukuran panjang 0,15-20 mm

bentuk tubuhnya fusiform, haptor di bagian posterior dengan kait sentral sepasang

dan sejumlah kait marginal. Salah satu spesies dari kelas Monogenea yang paling

sering muncul pada ikan air tawar adalah Dactylogyrus sp. dan Gyrodactylus sp.

Dactylogyridae mempunyai alat bantu organ tambahan pada tubuhnya yang biasa

disebut squamodisk yang berfungsi sebagai perekat, selanjutnya dikatakan bahwa

ada sekitar 1500 spesies Monogenea yang ditemukan pada ikan (Yuliartati, 2011).

Kharisma (2008) mengatakan bahwa ciri ikan yang terserang Monogenea

adalah produksi lendir pada bagian epidermis akan meningkat, kulit terlihat lebih

pucat dari normalnya, frekuensi pernapasan terus meningkat karena insang tidak

dapat berfungsi secara sempurna, kehilangan berat badan (kurus)

melompat-lompat ke permukaan air dan terjadi kerusakan berat pada insang. Pada tahun

1990, serangan parasit Dactylogyrus sp. diketahui menyebabkan kematian sekitar

50% dari ikan yang terinfeksi. Hal tersebut menunjukkan bahwa Dactylogyrus sp.

merugikan dan berbahaya bagi usaha budidaya (Kabata, 1985).

Monogenea termasuk parasit obligat yang ditunjukkan dengan

ketidakmampuan melangsungkan hidupnya tanpa inang. Waktu hidup Monogenea

tanpa inang relatif lebih pendek dibandingkan dengan yang masih menempel pada

inang. Hal ini diakibatkan Monogenea yang telah dilepaskan dari inang tidak

mendapatkan pasokan makanan dari inang, baik yang berasal dari sel epitel, lendir

maupun darah. Ketiadaan pasokan makanan ini mengakibatkan Monogenea tidak

mempunyai energi untuk mempertahankan hidupnya, termasuk untuk

menyesuaikan tekanan osmotiknya sebagai upaya adaptasi terhadap salinitas

(Riko et al., 2012).

Dactylogyrus sp. dan Gyrodactylus sp. sering menyerang ikan di kolam

atau keramba yang kepadatannya tinggi. Gyrodactylus sp. biasa menyerang sirip

sedangkan Dactylogyrus sp. sering menyerang insang. Ikan yang terserang

biasanya menjadi kurus dan kulitnya tidak terlihat bening lagi. Sirip ekor rontok

(23)

10

menggosok-gosokkan tubuhnya ke dasar kolam atau benda keras lainnya.

Infestasi Dactylogyrus sp. akan menyebabkan suatu penyakit yang disebut

Dactylogyriasis (Purwaningsih, 2013).

Tingginya nilai prevalensi Dactylogyrus sp. karena ektoparasit ini

berkembang biak dengan cepat. Dactylogyrus sp. berkembang biak dengan cara

bertelur dan ratusan ekor parasit dapat menginfeksi satu ekor ikan. Serangan

Dactylogyrus sp. terutama terjadi pada benih ikan berukuran 3-5 cm yang berada

pada kondisi perairan terburuk. Faktor kualitas air dapat mempengaruhi banyak

tidaknya telur yang dihasilkan oleh Dactylogyrus sp. Jumlah telur yang dihasilkan

bergantung kepada kadar oksigen terlarut dalam air. Pada kadar oksigen terlarut

rendah, maka telur yang dihasilkan tinggi, sebaliknya jika kadar oksigen terlarut

dalam air tinggi, maka jumlah telur yang dihasilkan sedikit (Rustikawati et al.,

2004).

2.6 Prevalensi

Untuk mengetahui tingkat infeksi/serangan parasit dalam populasi inang dikenal

istilah prevalensi, intensitas dan kelimpahan parasit. Prevalensi menggambarkan

persentase ikan yang terinfeksi oleh parasit tertentu dalam populasi ikan,

intensitas menggambarkan jumlah parasit tertentu yang ditemukan pada ikan yang

diperiksa dan terinfeksi, sedangkan kelimpahan rata-rata adalah jumlah rata-rata

parasit tertentu yang ditemukan dalam populasi pada ikan baik yang terinfeksi

maupun tidak (Yuliartati, 2011).

Intensitas dan prevelensi ektoparasit yang tinggi juga dipengaruhi oleh

kepadatan ikan yang tinggi pada kolam pemeliharaan. Kepadatan yang tinggi

dapat menyebabkan ikan menjadi stress. Pada kolam dengan kepadatan ikan yang

tinggi, ikan akan saling bergesekan satu dengan lainnya, sehingga akan terjadi

penularan ektoparasit dengan cepat (Rustikawati et al., 2004).

2.7 Uji Kualitas Air

Kualitas air meliputi sifat air dan kandungan mahluk hidup, zat, energi, atau

komponen lain dalam air. Dalam pemeliharaan ikan, selain pakan faktor

(24)

11

kelangsungan hidup ikan. Agar pertumbuhan dan kelangsungan hidup optimal,

maka diperlukan kondisi lingkungan yang optimal untuk kepentingan proses

fisiologis pertumbuhan. Beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh, antara lain:

suhu, salinitas, pH, oksigen dan lain-lain (Yuliartati, 2011).

Menurut Pedoman Teknis Pembenihan Ikan Lele Dumbo Seri

Pengembangan Hasil Penelitian Perikanan No. PHP/KAN/PT/20/1992 Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian, ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)

dapat tumbuh secara optimal pada suhu 28-30oC, pH 6,5-9 dan DO (ppm) >5

(Ilyas, 1992). Ikan lele dumbo masih dapat hidup pada kondisi lingkungan

perairan yang jelek. Kondisi air dengan kandungan oksigen yang sangat minim

lele dumbo masih dapat bertahan hidup, karena lele dumbo memiliki alat

pernafasan tambahan yang disebut organ arborescent (Hadiroseyani et al., 2006).

Temperatur merupakan faktor lingkungan yang utama pada perairan

karena merupakan faktor pembatas terhadap pertumbuhan dan penyebaran hewan

(Michael, 1994). Secara umum kenaikan temperatur perairan akan meningkatkan

aktivitas fisiologis organisme (Asdak, 1995). Menurut hukum Van't Hoffs,

kenaikan temperatur sebesar 10oC akan meningkatkan aktivitas fisiologis

organisme sebesar 2-4 kali lipat.

Derajat keasaman (pH) air biasanya dimanfaatkan untuk menentukan

indeks pencemaran dengan melihat tingkat keasaman dan kebasaan (Asdak, 1995).

Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme akuatik pada umumnya terdapat

antara 7-8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam atau sangat basa akan

membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan

terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi (Siagian, 2009).

Oksigen terlarut juga merupakan faktor penting dalam menetapkan

kualitas air, karena air yang polusi organiknya tinggi memiliki oksigen terlarut

yang sangat sedikit (Michael, 1994). Biota di perairan tropis memerlukan oksigen

terlarut minimal 5 mg/l, sedangkan biota beriklim sedang memerlukan oksigen

terlarut mendekati jenuh. Oksigen yang diserap akan digunakan untuk aktivitas

tubuh seperti bergerak, bertumbuh dan berkembang biak sehingga tidak boleh

kekurangan agar aktivitas terus berlangsung. Kandungan oksigen (O2) optimum

(25)

8

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan September

2014. Pengambilan sampel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dilakukan di

Desa Tanjung Rejo Percut Sei Tuan kemudian dibawa untuk diidentifikasi di

Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan Kelas I

Medan I , Desa Araskabu Kecamatan Beringin Deli Serdang.

3.2 Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah ember, bak bedah,

dissecting set, sonde, gunting, pinset, spatula, nampan, penggaris, spit, timbangan,

kamera digital, alat tulis, slide glass, cover glass, cawan petri, mikroskop,

thermometer, dan pH meter. Bahan yang digunakan adalah plastik 1 kg, kertas

label, tissue gulung, NaCl 0,85%, akuades, MnSO3, KOH-KI, H2SO4, Na2S2O3,

indikator amilum, dan ikan lele dumbo (Clarias gariepinus).

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Area Penelitian

Sampel diambil dari kolam budidaya yang terletak di Desa Tanjung Rejo

Percut Sei Tuan, Sumatera Utara. Area kolam memiliki panjang 3 m, lebar 1,5 m

dan tinggi 40 cm. Dasar kolam yaitu tanah yang dilapisi dengan terpal. Sumber air

kolam berasal dari air PAM dicampur dengan air parit. Sistem aerasi

menggunakan aerator yang dihubungkan dengan selang. Pergantian air dilakukan

sebulan sekali dan untuk memelihara kualitas air ditambahkan juga probiotik M4.

Pemberian pakan dilakukan dua kali sehari dengan memberikan pakan berupa

kombinasi antara pellet, cacing, dan juga tanaman air. Kolam memiliki kepadatan

(26)

13

3.3.2 Tahap Pengambilan Sampel

Ikan yang dijadikan sampel adalah ikan lele dumbo siap panen dengan

kriteria umur 3 bulan, berat 100-250 g, panjang 20-25 cm. Jumlah ikan yang

diperlukan untuk mendeteksi parasit berdasarkan tingkat kepercayaan 80% adalah

sebanyak 10 ekor menurut Amos (1985) dalam Badan Standar Nasional (2009)

(Lampiran 2) dan diambil secara acak (Alamanda et al., 2007). Sampel yang

diambil ditampung dalam ember dan dimasukkan ke dalam kantong plastik berisi

air untuk selanjutnya dibawa dan diperiksa di Balai Karantina Ikan, Pengendalian

Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan Kelas I Medan I , Desa Araskabu

Kecamatan Beringin Deli Serdang.

3.3.3 Tahap Persiapan Pemeriksaan Sampel

Sebelum melakukan pemeriksaan parasit, sampel ikan dimatikan terlebih

dahulu dengan menusukkan sonde tepat pada bagian medulla oblongata.

Kemudian dicatat bobot (g) dan jenis kelamin setiap ikan sampel (Hadiroseyani et

al., 2006).

3.3.4 Tahap Pemeriksaan Ektoparasit Sampel

Tahap-tahap pemeriksaan ektoparasit sampel adalah:

a. Pemeriksaan Insang : insang dipisahkan berdasarkan letaknya (kanan-kiri)

kemudian diletakkan di cawan berisi NaCl 0,85%. Selanjutnya digunting tiap

lembaran insang dan diletakkan di atas slide glass. Diamati di bawah

mikroskop.

b. Pemeriksaan sirip : diambil mukus dari seluruh sirip dengan menggunakan

spatula kemudian diletakkan di atas slide glass dan ditetesi NaCl 0,85%.

Selanjutnya diamati di bawah mikroskop.

c. Pemeriksaan mukus tubuh: diambil mukus dari seluruh tubuh ikan dengan

menggunakan spatula, kemudian diletakkan di atas slide glass dan ditetesi

NaCl 0,85%. Selanjutnya diamati di bawah mikroskop.

d. Pemeriksaan mata : diambil mukus dari mata dengan menggunakan spatula,

kemudian diletakkan di atas slide glass dan ditetesi NaCl 0,85%. Selanjutnya

(27)

14

3.3.5 Identifikasi Parasit

Pengamatan parasit dilakukan dengan menggunakan mikroskop dan

identifikasi parasit dengan menggunakan buku identifikasi Kabata (1985), buku

identifikasi parasit protozoa Lom & Iva (1992), buku Indentifikasi Parasit Wasito

et al. (1999) dan Dana et al., (1994).

3.3.6 Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan

Sebagai parameter pendukung dilakukan pengukuran terhadap kualitas air

kolam antara lain berupa: suhu, pH, dan kadar oksigen terlarut (DO) dapat dilihat

pada Tabel 3.1. (Siagian, 2009).

Tabel 3.1. Metode Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan

No. Faktor Fisik Alat Cara Kerja

1. Suhu Termometer Diambil 1 ember sampel air, kemudian dimasukkan termometer ke dalamnya, biarkan beberapa saat lalu di baca skala dari termometer tersebut dan dicatat hasil yang tertera pada skala termometer.

2. pH pH meter Dicelupkan pH meter ke dalam sampel air, lalu dibaca pH air yang tertera pada keterangan.

3. DO dimasukkan sampel air ke dalam botol

(28)

15

3.4 Analisis Data

Data hasil penelitian diberikan dalam bentuk gambar dan tabel serta dianalisis

secara deskriptif berdasarkan hasil identifikasi pada ikan lele dumbo kemudian

dihitung prevalensi. Menurut Fernando et al. (1972), tingkat prevalensi parasit

terhadap ikan dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Prevalensi = N

n x 100%

Keterangan:

Prevalensi = Prevalensi (%)

N = Jumlah ikan yang terinfeksi parasit (ekor)

n = Jumlah sampel yang diamati (ekor)

Kategori infeksi berdasarkan prevalensi menurut William &

Bunkley-William (1996) dalam Hariyadi (2006) dapat dilihat pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2. Kategori infeksi berdasarkan prevalensi

No Nilai Kategori

1 100-99% Always

2 98-90% Almost always

3 89-70% Usually

4 69-50% Frequently

5 49-30% Commonly

6 29-10% Often

7 9-1% Occasionally

8 <1-0,1% Rarely

9 <0,1-0,01% Very rarely

(29)

8

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Ektoparasit Pada Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) yang Berasal Dari Desa Tanjung Rejo Percut Sei Tuan

Dari hasil penelitian yang dilakukan, terdapat beberapa jenis parasit yang

berasal dari Desa Tanjung Rejo Percut Sei Tuan yang dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Ektoparasit pada Ikan Lele Dumbo ( Clarias gariepinus) di Desa Tanjung Rejo Percut Sei Tuan

n: Jumlah parasit yang didapat

Dari Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa ada dua jenis ektoparasit yang ditemukan pada

ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) yang berasal dari Desa Tanjung Rejo Percut

Sei Tuan pada organ insang yaitu Dactylogyrus sp. dari Filum Platyhelminthes,

Kelas Trematoda, Ordo Monogenea, Famili Dactylogridae; sedangkan pada

mukus yaitu Gyrodactylus sp. dari Filum Platyhelminthes, Kelas Trematoda, Ordo

Monogenea, Famili Gyrodactylidae. Sedangkan pada mata dan sirip tidak

ditemukan adanya serangan ektoparasit. Mata memiliki sedikit lendir sehingga

parasit tidak bisa beradapatasi karena ketersediaan makanan di mata sedikit. Hal

ini sesuai dengan pernyataan Kabata (1985), bahwa lendir merupakan makanan

(30)

17

Sesuai penelitian yang dilakukan Akbar (2011), ditemukan ektoparasit Trichodina

sp. yang menyerang bagian mata. Akan tetapi dari 10 ekor ikan yang diperiksa

tidak ada Trichodina sp. yang ditemukan menginfeksi bagian mata. Hal ini

disebabkan karena kurangnya ketersedian makanan ektoparasit tersebut di bagian

mata sehingga Trichodina sp. kurang bisa beradaptasi. Selain itu menurut

Rustikawati et al. (2004), adanya infeksi bersama dua atau lebih spesies parasit

dapat mengurangi jumlah salah satu atau beberapa spesies parasit atau dapat

meningkatkan jumlah spesies lain karena adanya persaingan untuk mendapatkan

inang dan juga perebutan makanan.

Menurut penelitian yang dilakukan Nurdiyanto & Sumartono (2006),

ditemukan ektoparasit Gyrodactylus sp. yang menyerang bagian sirip. Akan tetapi

dari 10 ekor Clarias gariepinus yang diperiksa tidak ditemukan adanya

ektoparasit Gyrodactylus sp. Hal ini disebabkan karena sirip ikan adalah bagian

yang aktif bergerak sehingga jika ada Gyrodactylus sp. yang menempel akan

terlepas dengan mudah. Menurut Nurdiyanto & Sumartono (2006), Gyrodactylus

sp. mudah terbawa aliran air baik di akuarium maupun kolam.

Pada Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa tidak semua ikan yang diperiksa

terserang ektoparasit. Dari 10 ekor sampel yang diperiksa, hanya ada 2 ekor ikan

yang terserang Dactylogyrus sp. yaitu ikan 6 dan 8 dengan kisaran jumlah parasit

1-4 individu. Sedangkan ikan yang terserang Gyrodactylus sp. pada bagian mukus

tubuh ada 5 ekor yaitu ikan 1, 3, 4, 5, dan 8 dengan kisaran jumlah parasit 1-4

individu. Sedangkan ikan 2, 7, 9, dan 10 tidak terserang ektoparasit. Hal ini

disebabkan karena ikan memiliki tingkat imunitas yang berbeda-beda sehingga

ada ikan yang terserang dan ada yang tidak terserang ektoparasit.

Menurut Nurdiyanto & Sumartono (2006), tingkat imunitas atau ketahanan

tubuh suatu hospes akan berpengaruh terhadap distribusi suatu parasit. Semakin

tinggi tingkat imunitas suatu hospes maka parasit akan sulit menginfeksi.

Ketahanan tubuh antara satu hospes dengan hospes lain tidaklah sama, sehingga

akan mempengaruhi tingkat distribusi suatu parasit. Rustikawati et al. (2004),

menyatakan bahwa serangan ektoparasit pada ikan akan menurun sejalan dengan

bertambahnya umur dan ukuran ikan. Semakin besar ukuran ikan maka sistem

(31)

18

Berdasarkan Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa ektoparasit yang ditemukan

menginfeksi organ secara spesifik. Menurut Sisilia (2000), ektoparasit

menginfeksi inangnya pada bagian yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan

nutrien untuk kelangsungan hidupnya. Menurut Kabata (1985), parasit dapat

menginfeksi, menempati dan berkembang biak pada habitat tertentu pada organ

inangnya dan serangan parasit tersebut dapat terjadi pada dua atau lebih organ

inangnya.

Dinar et al., (2013) mengemukakan bahwa Dactylogyrus sp. menginfeksi

insang semua jenis ikan air tawar, terutama ukuran benih. Menurut (Yuliartati,

2011), parasit Dactylogyrus sp. ditemukan berada pada organ insang karena

parasit ini merupakan cacing insang atau habitat hidupnya adalah di insang ikan

dan siklus hidupnya secara langsung. Organ yang paling rentan terserang parasit

adalah insang. Hal ini disebabkan karena insang merupakan organ pernapasan

yang langsung bersentuhan dengan lingkungan sekitarnya yang menyaring

bahan-bahan yang terlarut, menyaring partikel-partikel pakan dan mengikat oksigen.

Dari Tabel 4.1 kita ketahui bahwa ektoparasit paling banyak menyerang

mukus tubuh. Hal ini disebabkan karena kulit merupakan salah satu bagian yang

berhubungan langsung dengan air maka parasit akan lebih mudah menempel di

bagian kulit dibandingkan dengan organ lainnya, selain itu kulit juga mengandung

banyak lendir. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kabata (1985), bahwa kulit ikan

seluruhnya dilindungi oleh lendir yang merupakan makanan yang baik bagi

parasit dan kulit merupakan organ yang dapat dijadikan tempat hidup ektoparasit.

Nurdiyanto & Sumartono (2006) mengatakan bahwa Gyrodactylus sp. biasa

menyerang kulit dan sirip ikan serta menyebabkan penyakit gyrodactylasis.

Menurut Hadiroseyani et al. (2006) bahwa Gyrodactylus dan Dactylogyrus

memiliki distribusi yang sangat luas, pada ikan lele dumbo dapat ditemukan pada

permukaan tubuh sampai sirip kaudal. Infeksi parasit ini dapat menyebabkan

iritasi dan infeksi sekunder. Gyrodactylus dan Dactylogyrus tidak memerlukan

inang antara untuk dapat menginfeksi inang lain. Ikan yang terserang parasit jenis

ini akan memperlihatkan tanda–tanda kulitnya pucat, bintik merah pada bagian

kulit tertentu, produksi lendir tidak normal, sisik dan kulit biasanya terkelupas dan

(32)

19

Menurut Hadiroseyani et al. (2006), jenis-jenis ektoparasit yang sering

menginfeksi ikan lele dumbo (Clarias gariepinus ) adalah Vorticella sp.,

Cryptopobia sp., Trichodina sp., Ichthyopthirius multiifilis, Epystilis sp.,

Myxobolus sp., dan Oodinium Sp.. Pada penelitian yang dilakukan hanya

didapatkan dua jenis ektoparasit. Hal ini kemungkinan disebabkan karena kondisi

lingkungan kolam tempat sampel lele dumbo diambil berbeda dengan lingkungan

alaminya.

Kolam pengambilan sampel memiliki dasar tanah dan dilapisi terpal

dengan pergantian air teratur. Ikan lele dumbo di lokasi pengambilan sampel juga

diberi makan secara teratur dan kebersihan airnya selalu dijaga. Pada lingkungan

alami, ikan lele dumbo hidup pada perairan yang keruh, berlumpur dan airnya

jarang berganti. Perbedaan kondisi lingkungan tersebut menyebabkan ektoparasit

lain yang biasanya menyerang tidak ditemukan.

Menurut Talunga (2007), tingkat serangan penyakit tergantung pada jenis

dan jumlah mikroorganisme yang menyerang ikan, kondisi lingkungan dan daya

tahan tubuh ikan juga turut memacu cepat tidaknya penyakit itu menyerang ikan.

Parasit dapat menyerang ikan baik secara langsung maupun secara tidak langsung.

Secara langsung dapat terjadi dengan adanya kontak langsung antara ikan yang

sehat dengan ikan yang terinfeksi, sedangkan secara tidak langsung dapat terjadi

apabila kekebalan tubuh ikan mulai menurun akibat stress sehingga parasit dengan

mudah dapat menyerang ikan tersebut.

4.2. Jenis Ektoparasit Pada Lele Dumbo (C. gariepinus) di Desa Tanjung Rejo Percut Sei Tuan

Berikut ini adalah jenis-jenis ektoparasit yang ditemukan pada ikan lele dumbo

(Clarias gariepinus) di Desa Tanjung Rejo Percut Sei Tuan:

4.2.1 Dactylogyrus sp.

Pada penelitian ini, ditemukan parasit Dactylogyrus sp. yang menempel pada

bagian insang ikan dengan ciri-ciri yang didapat dari hasil penelitian yaitu pada

bagian kepala ditemukan 4 tonjolan dengan 2 pasang mata yang terletak di bagian

(33)

20

mengambil nutrisi (Gambar 4.1 A). Menurut Hadiroseyani et al. (2006), Dactylogyrus diidentifikasi berdasarkan dua pasang bintik mata yang terdapat dibagian

anterior, memiliki empat tonjolan pada bagian anterior dan 14 kait marginal (Gambar 4.1

B).

Berikut ini klasifikasi dari Dactylogyrus sp. :

Kingdom : Animalia

Filum : Platyhelminthes

Kelas : Trematoda

Ordo : Monogenea

Famili : Dactylogridae

Genus : Dactylogyrus

Spesies : Dactylogyrus sp. (Dana et al., 1994).

Menurut Gusrina (2008), Dactylogyrus sp. (nama umum: Gill fluke) adalah

Monogenea yang bertelur dan memiliki dua pasang jangkar. Pada bagian

tubuhnya terdapat posterior haptor. Haptor tidak memiliki struktur cuticular dan

memiliki satu pasang kait dengan satu baris kutikular, memiliki 16 kait utama,

satu pasang kait yang sangat kecil. Dactylogyrus sp. mempunyai ophistapor

(posterior sucker) dengan 1–2 pasang kait besar dan 14 kait marginal yang

terdapat pada bagian posterior. Kepala memiliki 4 lobe dengan dua pasang mata

yang terletak di daerah pharynx (Gambar 4.1). Penyerangan dimulai dengan

cacing dewasa menempel pada insang atau bagian tubuh lainnya.

Irawan (2004) mengemukakan bahwa Dactylogyrus sp. sering menyerang

ikan di kolam yang kepadatannya tinggi dan juga ikan-ikan yang kurang maka

lebih rentan terserang parasit ini dibanding ikan yang kecukupan pakan. Adanya

infeksi Dactylogyrus akan menyebabkan suatu penyakit yang disebut

dactylogyriasis.

Dactylogyrus menghasilkan telur berwarna coklat muda. Setelah menetas,

onkomirasidium lalu menginfestasi organ insang ikan sebagai hospes definitifnya

(Nurdiyanto & Sumartono, 2006). Ikan yang diserang parasit ini akan menjadi

kurus, insang akan terlihat pucat dan bengkak sehingga operculum terbuka dan

(34)

21

A B

Gambar 4.1.. (A) Dactylogyrus sp. yang ditemukan dari Desa Tanjung Rejo Percut Sei Tuan

(B) Dactylogyrus sp. (Dana et al., 1994)

4.2.2 Gyrodactylus sp.

Berikut ini klasifikasi dari Gyrodactylus sp. :

Kingdom : Animalia

Filum : Platyhelminthes

Kelas : Trematoda

Ordo : Monogenea

Famili : Gyrodactylidae

Genus : Gyrodactylus

Spesies : Gyrodactylus sp. (Dana et al., 1994).

Gyrodactylus merupakan salah satu kelas Monogenea yang termasuk subkelas

Monopisthocotylea. Gyrodactylus memiliki panjang 0,5-0,8 mm dan hidup pada

permukaan tubuh ikan air tawar. Parasit dewasa melekat pada hospes dengan

suatu modifikasi ujung posterior yang dikenal dengan haptor atau lebih tepatnya

opisthapor sedangkan haptor yang terletak di ujung anteriornya disebut prohaptor.

Gyrodactylus sp. diidentifikasi berdasarkan tidak terdapatnya dua pasang

bintik mata pada bagian anterior dan sepasang kait besar dan 16 kait kecil

(35)

22

dari parasit tersebut dapat menyebabkan iritasi dan infeksi sekunder (Gambar 4.2.

A, dan Gambar 4.2. B) (Hadiroseyani et al., 2006).

A B

Gambar 4.2. (A) Gyrodactylus sp. yang ditemukan dari Desa Tanjung Rejo Percut Sei Tuan

(B) Gyrodactylus sp. (Dana et al., 1994)

Gyrodactylus sp. sering ditemukan menginfeksi ikan air tawar. Infeksi

Gyrodactylus sp. akan menyebabkan suatu penyakit yang disebut dengan

gyrodactyliasis. Gyrodactylus sp. biasa menyerang kulit dan sirip ikan. Ikan yang

terserang dapat diketahui dari kulitnya yang pucat, bintik-bintik merah di bagian

tubuh ikan, produksi lendir tidak normal, sisik dan kulit terkelupas serta ikan

berenang tidak beraturan (Nurdiyanto & Sumartono, 2006).

4.3 Kunci Determinasi Dactylogyrus sp. dan Gyrodactylus sp.

Berikut ini adalah kunci determinasi ektoparasit Dactylogyrus sp. dan

Gyrodactylus sp.:

A. Filum Platyhelminthes

Kunci determinasi mencari kelas dari filum Platyhelminthes

1) Ektoparasit. Satu organ penempel posterior, dengan satu pasang atau lebih

media hook dan sejumlah margin hook...Monogenea

(36)

23

2) Satu organ penempel dengan hook atau sucker. Usus tidak ada. Tubuh seperti

pita bersegmen atau tidak...Cestoda

Terdapat dua sucker seperti organ penempel, satu pada posterior, terminal atau

sub terminal. Usus ada, biasanya bifurcate. Tubuh tidak bersegmen, pipih

sampai fusiform ...Trematoda

B. Ordo Monogenea

Kunci determinasi famili dari ordo Monogenea:

1) Opisthapor dengan 14 marginal hook...2

Opisthapor tidak seperti di atas...3

2) Squamodisc tidak ada...Dactylogrydae

Squamodisc ada...Diplectanidae

3) Opisthapor dengan 16 marginal hook...Gyrodactylidae

Opisthapor dengan 2 pasang marginal clamp...Discocotylidae

C. Famili Dactylogrydae

Kunci determinasi genus dari famili Dactylogrydae

1) Satu pasang anchor...Dactylogyrus

Dua pasang anchor...2

2) Anchor dengan dua connecting bar, keduanya berbentuk huruf V, masing-

masing bersambungan atau berfusi. Satu bar kadang-kadang terdiri dari dua

bagian...Actinocleidus

Anchor dengan 2 connecting bar, satu berbentuk V, sering dengan pinggir yang

bergerigi pada bagian distal, sering dengan 2 bar tambahan yang

bersambungan...Cichlidogyrus

D. Famili Gyrodactylidae

Kunci determinasi genus dari famili Gyrodactylidae

1) Haptor tidak dilengkapi struktur chitin sebagai tambahan pada marginal hook

dan median hook serta bar. Bagian outer dan inner pada median hook tidak

dapat dibedakan dengan jelas. Connecting bar utama biasanya dilengkapi

dengan membranoid atau flap...Gyrodactylus

2) Haptor dilengkapi dengan struktur chitin tambahan pada marginal hook dan

median hook dan ada satu atau dua connecting bar. Median hook mempunyai

(37)

24

3) Ada dua connecting bar; median hook tanpa outer...Paragyrodactylus

4.4 Prevalensi Ektoparasit pada Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) di Desa Tanjung Rejo Percut Sei Tuan

Prevalensi ektoparasit pada ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) yang berasal

dari Desa Tanjung Rejo Percut Sei Tuan dapat dilihat pada Tabel 4.3 berikut ini:

Tabel 4.3. Prevalensi ektoparasit pada ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) yang berasal dari Desa Tanjung Rejo Percut Sei Tuan

Gyrodactylus sp. 50% Frequently (50-69%)

Dari Tabel 4.3 dapat dilihat bahwa prevalensi ektoparasit Dactylogyrus sp. yang

menginfeksi insang adalah sebesar 20% yang dalam Kategori Prevalensi Williams

& Williams (1996) dalam Hariyadi (2006) dimasukkan dalam kategori Often

sedangkan prevalensi ektoparasit Gyrodactylus sp. yang menginfeksi mukus

tubuh sebesar 50% dimasukkan dalam kategori Frequently.

Prevalensi Dactylogyrus sp. lebih rendah dibandingkan dengan prevalensi

Gyrodactylus sp. Hal ini disebabkan karena lingkungan perairan di lokasi

pengambilan sampel Clarias gariepinus kurang sesuai untuk pertumbuhan

ektoparasit Dactylogyrus sp. yang akibatnya ektoparasit tidak mampu untuk

beradaptasi disana. Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah perubahan suhu.

Menurut hasil pengukuran faktor fisik kimia yang dilakukan (Lampiran 5), suhu

air tempat pengambilan sampel yaitu 29o C.

Menurut Nurdiyanto & Sumartono (2006), puncak intensitas

Dactylogyrus sp. terjadi pada suhu 20oC-26oC, namun untuk perkembangan telur

sampai dewasa kelamin membutuhkan suhu 24oC-28oC. Ditambahkan pula oleh

Schaperclaus (1992) bahwa parasit Dactylogyrus sp. selain sering menyerang

pada musim kemarau, juga memerlukan waktu untuk berkembangbiak antara

(38)

25

suhu 24-28oC. Diduga suhu yang tidak sesuai menyebabkan prevalensi Dactylogyrus sp. rendah, selain itu rendahnya prevalensi ektoparasit juga

dipengaruhi oleh keberadaan jenis ektoparasit lain sehingga terjadi persaingan

dalam perebutan makanan dan juga perebutan inang.

Rustikawati et al. (2004) menambahkan bahwa adanya infeksi bersama

antara dua atau lebih spesies parasit dapat mengurangi jumlah salah satu atau

beberapa spesies parasit atau dapat meningkatkan jumlah spesies lain karena

adanya persaingan untuk mendapatkan inang. Selain itu dikatakan pula oleh

Nurdiyanto & Sumartono (2006) bahwa rendahnya prevalensi ektoparasit dapat

juga disebabkan karena populasi jenis parasit memang hanya sedikit terdapat di

perairan tersebut.

Rendahnya prevalensi parasit juga disebabkan karena kondisi kolam

berbeda dengan kondisi ekologi alami ikan lele dumbo. Ikan lele dumbo secara

alami biasanya menempati perairan berlumpur dan kotor, sedangkan di lokasi

pengambilan sampel air kolam secara teratur diganti sebulan sekali dan dasar

kolam juga terbuat dari terpal bukan tanah. Menurut Rosita et al. (2012) bila

kondisi kualitas air optimum untuk keperluan kehidupan ikan, maka ikan akan

memiliki ketahanan terhadap serangan parasit yang bisa menimbulkan penyakit

sehingga intensitas parasit juga akan menurun.

Menurut Pedoman Teknis Pembenihan Ikan Lele Dumbo Seri

Pengembangan Hasil Penelitian Perikanan No. PHP/KAN/PT/20/1992 Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian, ikan lele dumbo tumbuh optimal pada

suhu 28-30oC, pH 6,5-9 dan DO (ppm) >5 (Ilyas, 1992). Pada saat penelitian,

dilakukan juga pengukuran faktor fisik dan kimia perairan (Lampiran 5). Hasilnya

menunjukkan bahwa suhu, pH dan DO di tempat pengambilan sampel masih

sesuai standar untuk pertumbuhan optimal ikan lele dumbo. Akan tetapi dengan

suhu air 29oC kurang sesuai untuk pertumbuhan optimal Dactylogyrus sp.

(Nurdiyanto & Sumartono, 2006). Hal itu menyebabkan prevalensi Dactylogyrus

sp. lebih rendah daripada Gyrodactylus sp.

Ditambahkan pula oleh Hadiroseyani et al. (2009) bahwa apabila terjadi

perubahan lingkungan diluar kisaran toleransinya, Monogenea tidak dapat

(39)

26

terjadi di luar kisaran toleransi suatu hewan (termasuk parasit), maka cepat atau

lambat hewan tersebut akan mengalami kematian. Hal ini sesuai dengan pendapat

Talunga (2007) bahwa parasit Monogenea dapat berkembang dengan cepat

disebabkan beberapa faktor antara lain kepadatan yang tinggi, nutrisi kurang baik,

kualitas air yang kurang baik yang dapat menyebabkan ikan stress sehingga

memungkinkan perkembangan parasit dengan cepat.

Dari Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa prevalensi Gyrodactylus sp. yang

terdapat pada mukus tubuh lebih tinggi daripada Dactylogyrus sp.. Hal ini

disebabkan karena Clarias gariepinus memiliki lendir yang banyak di permukaan

tubuhnya sehingga ektoparasit Gyrodactylus sp. lebih mudah menempel dan

memperoleh makanan.

Hal ini sesuai dengan pernyataan Kabata (1985), bahwa kulit ikan

seluruhnya dilindungi oleh lendir yang merupakan makanan yang baik bagi

parasit dan kulit merupakan organ yang dapat dijadikan tempat hidup ektoparasit.

Yuliartati (2011) menyatakan bahwa prevalensi tiap jenis parasit tidak

selalu sama karena banyaknya faktor yang berpengaruh, salah satu faktor yang

berpengaruh adalah ukuran inang. Pada beberapa spesies ikan, semakin besar

ukuran/berat inang, semakin tinggi infeksi oleh parasit tertentu. Inang yang lebih

tua dapat mengandung jumlah parasit yang lebih besar, meskipun apabila telah

terjadi saling adaptasi maka inang menjadi toleran terhadap parasitnya.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hadiroseyani et al. (2006)

pada ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) di daerah Cimanggu ditemukan

ektoparasit Dactylogyrus sp. dengan prevalensi 83,33% dan Gyrodactylus sp.

dengan prevalensi 70% pada bagian insang; di daerah Cijeruk ditemukan

Dactylogyrus sp. dengan prevalensi 100% dan di daerah Cibinong ditemukan

Gyrodactylus sp. dengan prevalensi 13,33%.

Berdasarkan penelitian yang diakukan oleh Yuliartati (2011) pada organ

insang ikan patin (Pangasius djambal) yang diambil dari tiga lokasi

pembudidayaan ikan patin di Kota Makassar, ditemukan parasit Dactylogyrus sp.

dengan prevalensi parasit dari lokasi I sebesar 70%, lokasi II 100% dan lokasi III

(40)

22

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:

a. Ektoparasit yang menyerang ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) di Desa

Tanjung Rejo Percut Sei Tuan ada dua jenis, yaitu Dactylogyrus sp. dan

Gyrodactylus sp., Dactylogyrus sp. terdapat pada insang dan Gyrodactylus sp.

terdapat pada mukus tubuh. Kedua ektoparasit tersebut berasal dari Filum

Platyhelminthes dan Ordo Monogenea.

b. Prevalensi Dactylogyrus sp. yang menyerang ikan lele dumbo (Clarias

gariepinus) pada bagian insang adalah 20% dan Gyrodactylus sp. pada mukus

tubuh adalah 50%, sedangkan pada mata dan sirip tidak ditemukan adanya

ektoparasit.

5.2. Saran

Dalam usaha budidaya ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) , senantiasa

memperhatikan kesehatan ikan dan menjaga lingkungan budidaya sehingga

(41)

26

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, J. 2011. Identifikasi Parasit pada Ikan Betok (Anabas testudieus). Journal of Bioscientiae. 8(2) Juli 2011, hal. 36-45.

Alamanda, I. E., Handajani, N. S dan Agung B. 2007. Penggunaan Metode Hematologi dan Pengamatan Endoparasit Darah untuk Penetapan Kesehatan Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) di Kolam Budidaya Desa Mangkubumen Boyolali. Jurnal Biodiversitas8(1): 34-38.

Alpanda, M. 2013. Pengaruh Pemberian Suhu Terhadap Efisiensi Pemanfaatan Kuning Telur (Yolk-Sac) Sebagai Indikator Kelangsungan Hidup Larva Lele Dumbo (Clarias gariepinus). [Skripsi]: Bandung: Universitas Padjajaran.

Anshary, H. 2008. Pembelajaran Parasitologi Ikan. Program Studi Budidaya Perairan Jurusan Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin Makassar.

Anshary, H. 2010. Infeksi dan Patologi Parasit Actinocleidus sp. (Monogenea) pada Insang Ikan Lele Dumbo, Clarias gariepinus. Jurnal Perikanan (J. Fish. Sci.)12 (2): 22-30.

Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Fakultas Pertanian PPSDAL. UGM Press. Yogyakarta.

Aquarista, F. Iskandar dan Ujang. S. 2012. Pemberian Probiotik Dengan Carrier Zeolit Pada Pembesaran Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus). Jurnal Perikanan dan Kelautan3(4): 133-140.

Badan Standar Nasional, 2009. Prosedur Pengambilan Contoh Sampel Ikan Untuk Pemeriksaan Penyakit. Jakarta: Gd. Manggala Wanabakti.

Biu, A. A. and Akorede G. J. 2013. Prevalence of Endoparasites of Clarias gariepinus (Burchell 1822) in Maiduguri, Nigeria. Nigerian Journal of Fisheries and Aquaculture1(1): 31.

Dana. D. et al., 1994. Petunjuk Teknis Determinasi Parasit Ikan. Buku 3. Pusat Karantina Pertanian. Jakarta.

Dinar, F. R, Damiana, R. E dan Risa, T. 2013. Infestasi Cacing Parasitik Pada Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus). Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan. ITB. 1(1): 8-14

Fernando CH, JI Furtado, AV Gusev, G. Hanek and S.A Kakonge. 1972. Methods

For the Study of Freshwater Fish Parasites. Univ. Waterloo, Biol. Series. Fidyandini, H.P., Surbekti, S dan Kismiyati. 2012. Identifikasi Dan Prevalensi

Ektoparasit Pada Ikan Bandeng (Chanos Chanos) Yang Dipelihara Di

(42)

29

Gusrina. 2008. Budidaya Ikan. Jilid 1. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Hadiroseyani, Y., P. Hariyadi & S. Nuryati. 2006. Inventarisasi parasit Lele Dumbo Clarias sp. Di daerah Bogor. Jurnal Akuakultur Indonesia 5(2): 167- 177.

Hadiroseyani, Y., L. S. Harti & S. Nuryati. 2009. Pengendalian Infestasi Monogenea Ektoparasit Benih Ikan Nila Gift (Oreochromis sp.) Dengan Penambahan Garam. Jurnal Akuakultur Indonesia8(2):31-38.

Hariyadi ARS. 2006. Pemetaan Investasi Cacing Parasitik dan Resiko Zoonosis pada Ikan Laut di Perairan Indonesia Bagian Selatan [Tesis]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Ilyas, S, E. Setiadi, F. Cholik, R. Arifudin; Krismono dan D. Wahyu. 1992. Pedoman Teknis Pembenihan Ikan Lele dumbo (Clarias gariepinus) Seri Pengembangan Hasil Penelitian Perikanan No. PHP/KAN/PT/20/1992 Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Indah. 2010. Uji Biokimia Serta Uji Indek Antimikrobial Asap Cair Tempurung Kelapa Terhadap Isolat Bakteri Dari Ikan Lele Dumbo (Clarias sp.). [Skripsi].Universitas Sumatera Utara.

Irawan. 2004. Budidaya Ikan Air Tawar: Ikan Gurame, Ikan Nila. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Irianto, A. 2005. Patologi Ikan Teleostei. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Kabata, Z. 1985. Parasites and Disease of Fish Culture In the Tropics. Taylor and Francis. London and Philadelpia.

Kharisma, A. M. 2008. Tingkat Infeksi dan Phatologi Parasit Monogenea Actinocleidus sp. Pada Insang Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Di Beberapa Lokasi Budidaya Yang Berbeda. [Skripsi]. Program Studi Budidaya Perairan Jurusan Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin Makassar. Hal: 14.

Lom, J and I. Dykova. 1992. Protozoan Parasites of Fishes. Elsevier: Amsterdam. Madinawati. Serdiati, N dan Yoel. 2011. Pemberian Pakan Yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan Dan Kelangsungan Hidup Benih Ikan Lele Dumbo (C. gariepinus). Media Litbang Sulteng,5 (2): 18.

Michael, P. 1994. Metode Ekologi untuk Penyelidikan Lapangan dan Laboratorium. Jakarta: UI Press.

Muntalim. 2010. Prevalensi Dan Derajat Infeksi Dactylogyrus sp. Pada Insang Benih Bandeng (Chanos chanos) Di Tambak Tradisional Kecamatan Glagah Kabupaten Lamongan. Grouper1(1): 5-12.

Najiyati, S. 1992. Memelihara Lele Dumbo di Kolam Taman. Penebar Swadaya. Jakarta.

(43)

30

Nurdiyanto dan Sumartono. 2006. Model Distribusi Monogenea Pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Di Daerah Istimewa Yogyakarta. J. Sain Vet. 24(2): 126.

Purwaningsih, I. 2013. Identifikasi Ektoparasit Protozoa Pada Benih Ikan Mas (Cyprinus carpio Linnaeus, 1758) Di Unit Kerja Budidaya Air Tawar (UKBAT) Cangkringan Sleman DIY. [Skripsi]. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Hal: 40-46.

Puspowardoyo, H. dan Djarijah, A. 2003. Pembenihan dan Pembesaran Lele Dumbo Hemat Air. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Riko, Y. A., Rosidah & Titin, H. 2012. Intensitas Dan Prevalensi Ektoparasit Pada Ikan Bandeng (Chanos chanos) Dalam Keramba Jaring Apung (KJA) Di Waduk Cirata Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 3(4): 231-241.

Rosita., Mangalik, A., Adriani M., & M. Mahbub. 2012. Indentifikasi Dan Potensi Parasit Pada Sumber Daya Ikan Hias Di Danau Lais Kalimantan Tengah. Enviro Scienteae8(1): 164-174.

Rustikawati, I., Rostika, R., Iriana, D. & Herlina, E. 2004. Intensitas dan Prevalensi Ektoparasit pada Benih Ikan Mas (Cyprinus carpio L.) yang Berasal dari Kolam Tradisional dan Longyam di Desa Sukamulya Kecamatan Singaparna Kabupaten Tasikmalaya. Akuakultur Indonesia

3(3): 33.

Talunga, J. 2007. Tingkat Infeksi dan Patologi Parasit Monogenea (Cleidodistus sp.) Pada Insang Ikan Patin (Pangasius sp.). [Skripsi]. Makassar: Program Studi Budidaya Perairan Jurusan Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin Makassar

Schaperclaus, W. 1992. Fish Disease Volume 2. Rotterdam.

Siagian, C. 2009. Keanekaragaman dan Kelimpahan Ikan Serta Keterkaitannya dengan Kualitas Perairan di Danau Toba Balige Sumatera Utara. [Tesis]. Universitas Sumatera Utara, Biologi.

Sisilia, N. S. 2000. Parasit Pada Ikan Neon Tetra (Paracheirodon myers) Yang Diekspor Melalui Badan Karantina Ikan Bandara Sukarno-Hatta. Jakarta [Skripsi] Institut Pertanian Bogor.

Sunarma, A. 2004. Peningkatan Produktivitas Usaha Lele (Clarias sp.). Departemen Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan. Suyanto, S.R. 2004. Budidaya Ikan Lele. Penebar Swadaya. Jakarta.

Wasito, R. et al., 1999. Teknik Pengembangbiakan dan Penyimpanan Specimen HPI/ HPIK (Parasit, Mikotik, Bakteri dan Virus). Editor: S. Hariyanto, Pusat Karantina Pertanian, Jakarta.

(44)

22

LAMPIRAN

LAMPIRAN 1. Kegiatan Kerja

Kolam Budidaya

Pengukuran ikan Pengambilan insang ikan

Pengukuran ikan lele Pengambilan insang

(45)

32

LAMPIRAN 2. Jumlah Ikan yang Diperlukan untuk Mendeteksi Parasit Dengan Tingkat Kepercayaan 80%

Populasi Prevalensi

Gambar

Tabel 3.1. Metode Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan
Tabel 3.2. Kategori infeksi berdasarkan prevalensi
Gambar 4.1.. (A) Dactylogyrus sp. yang ditemukan dari Desa Tanjung Rejo                                  Percut  Sei Tuan                          (B)  Dactylogyrus sp
Gambar 4.2.   (A) Gyrodactylus sp. yang ditemukan dari Desa Tanjung Rejo

Referensi

Dokumen terkait

Diulang setiap 7( menit sekali drng dengan &#34;$ ml cairan, angkat drng dengan &#34;$ ml cairan, angkat lengan tempat penyuntikan selama lengan tempat penyuntikan

5 ilmu sekarang ini yang mampu memahami sifat fisika dan kimia nanopartikel telah menarik perhatian peneliti untuk mengguna nanopartikel emas dalam kajian yang lebih luas,

Jika M adalah sebuah bilangan sedemikian sehingga tidak terdapat anggota himpunan yang lebih besar dari M tetapi terdapat sedikitnya satu anggota yang lebih besar daripada

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh radiasi sinar gamma terhadap sifat mekanik dan tingkat keausan dari UHMWPE sehingga dapat memenuhi

POLA TINDAK KRIMINALITAS DENGAN FAKTOR SOSIAL-EKONOMI DI KOTA SURAKARTA TAHUN 2006-2015” sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi di Fakultas Ekonomi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa independensi auditor berpengaruh secara signifikan terhadap kualitas audit Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan, sementara

Usaha-usaha yang dilakukan dalam meminimalisir kecelakaan kerja oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan dengan Dinas Pemadam Kebakaran Kota Pekanbaru sudah berjalan dengan

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa instrumen yang berjumlah 34 butir pernyataan inilah yang akan digunakan sebagai instrumen final untuk mengukur suasana toko.. Sesuai