• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Kesederhanaan Dalam Novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere Liye: Suatu Tinjauan Psikologi Sastra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gambaran Kesederhanaan Dalam Novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere Liye: Suatu Tinjauan Psikologi Sastra"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN KESEDERHANAAN DALAM NOVEL AYAHKU

(BUKAN) PEMBOHONG KARYA TERE LIYE: SUATU

TINJAUAN PSIKOLOGI SASTRA

SKRIPSI

OLEH

ROIYANI BR MARBUN

110701013

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Gambaran Kesederhanaan dalam Novel Ayahku (Bukan)

Pembohong Karya Tere Liye: Suatu

Tinjauan Psikologi Sastra

Oleh

Roiyani Br Marbun

110701013

Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan memeroleh gelar

sarjana sastra dan telah disetujui oleh:

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. Dra. Yulizar Yunas, M.Hum.

NIP 19620925 198903 1 017 NIP 19500411 198102 2 001

Departemen Sastra Indonesia

Ketua,

Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si.

(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya

yang pernah diajukan dalam memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan

tinggi dan sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang

pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang tertulis diacu dalam

naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya

buat ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar

kesarjanaan yang saya peroleh.

Medan, Oktober 2015

Roiyani Br Marbun

(4)

ABSTRAK

Gambaran Kesederhanaan dalam Novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere Liye: Suatu

Tinjauan Psikologi Sastra

Oleh:

Roiyani Br Marbun

Sastra merupakan wakil jiwa melalui bahasa.Sastra juga memiliki fungsi bagi kehidupan, karena dalam setiap karya sastra terdapat gagasan-gagasan yang berupa ajaran, pengetahuan dan petuah-petuah yang bisa memberikan pengetahuan baru terhadap pembacanya. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan dan memaparkan kesederhanaan tokoh Ayah dan Dam yang tergambar dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong. Dalam mencapai tujuan tersebut, pengumpulan data dilakukan dengan mempergunakan metode membaca heuristik dan hermeneutik.Landasan teori pada penelitian ini adalah psikologi sastra dengan mempergunakan teori kepribadian oleh Sigmun Freud. Melalui teori tersebut akan dipaparkan kesederhanaan tokoh Ayah dan Dam dengan melihat dari gejala id, ego, dan superego. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan melalui wujud-wujud kesederhanaan yang terdapat dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong, bahwa kesederhanaan adalah sikap seseorang yang tidak menonjolkan diri, mampu bergaul dengan banyak orang dengan ramah, dan tidak memandang dirinya lebih dari orang lain, tidak makan minum dengan berlebihan dan tidak memakai barang yang menunjukan kemewahan dan kesombongan.

(5)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena

berkat rahmat, karunia dan kebaikan-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi

yang berjudul Gambaran Kesederhanaan dalam Novel Ayahku (Bukan)

Pembohong karya Tere Liye.Begitu banyak proses yang penulis lalui dalam

penulisan skripsi ini, mulai dari pembuatan draf, ujian proposal hingga akhir

penulisan skripsi, tetapi berkat dukungan dari beberapa pihak, pada akhirnya

penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Maka penulis mengucapkan terima

kasih kepada semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun

tidak langsung dalam penyelesaian skripsi ini, sehingga skripsi ini dapat penulis

selesaikan dengan baik, secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Rektor dan Pembantu Rektor Universitas Sumatera Utara, karena telah

memfasilitasi penulis selama proses perkuliahan di Fakultas Ilmu Budaya.

2. Dekan dan Pembantu Dekan dan semua staf administrasi di Fakultas Ilmu

Budaya USU.

3. Bapak Prof. Dr. Ikhwanudin Nasution, M.Si. selaku Ketua Departemen Sastra

Indonesia, sekaligus sebagai pembimbing I penulis, yang telah membantu,

membimbing dan memberi arahan kepada penulis dalam menyelesaikan sripsi

ini, juga kepada Bapak Drs. Haris Sutan Lubis, M.Sp. selaku Sekretaris

Departemen Sastra Indonesia yang telah memberi saran pada saat ujian

(6)

4. Ibu Dra. Yulizar Yunas, M.Hum. selaku dosen pembimbing II penulis yang

begitu baik dan sabar dalam membimbing penulis serta membantu penulis

dalam penulisan skripsi ini.

5. Ibu Dra. Nurhayati Harahap, M.Hum dan Ibu Dra.Kristiani, M.Hum., selaku

dosen penguji I dan II yang telah memberikan saran pada saat ujian seminar

proposal.

6. Orang tua tercinta, Ayahanda Lion Marbun dan Ibunda Warni Simbolon yang

penulis cintai, yang telah bersusah payah sampai detik ini dan tidak pernah

kehabisan cinta dan doa untuk penulis. Skripsi ini Ananda persembahkan

untuk Ayahanda dan Ibunda. Terima kasih untuk keringat yang sangat

berharga itu. Ananda bangga menjadi putri kalian.

7. Kakak penulis, Ririn Lioni Marbun, S.E yang juga sangat memperhatikan

penulis dan tidak bosan memberi dorongan kepada penulis supaya tidak

malas mengerjakan skripsi agar cepat wisuda, juga kepada Adinda Fine

Marbun, Fungsen Marluga Marbun dan Rizki Marbun yang selalu cerewet

jika melihat penulis sedang malas mengerjakan skripsi.

8. Teman-teman penulis stambuk 2011, khususnya kepada 7 dara cantik, Elina,

Melisa, Natalia, Herti, Jumpa Riama, Bonita, Devi yang berjuang

bersama-sama, selalu berbagi informasi dan saling membantu dari awal semester

sampai akhir semester.

9. Sahabat penulis Loviana Larashati Marpaung, Michael Alfian Grey, Ayank,

Denny, Iren, Vika, Dayanti, dan Andhini yang setia mendoakan dan memberi

(7)

Skripsi ini belum sempurna, oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik

dan saran yang membangun untuk kesempurnaan skripsi ini.Semoga skripsi ini

berguna bagi kita semua.

Medan, Oktober 2015

(8)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN……….…..i

ABSTRAK………..ii

PRAKATA……….iii

DAFTAR ISI………...……….………..vi

BAB I PENDAHULUAN………1

1.1 Latar belakang masalah………....1

1.2 Rumusan masalah………..…..5

1.3 Batasan masalah………..….5

1.4 Tujuan dan manfaat penelitian……….6

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA………7

2.1 Konsep………...……….….7

2.1.1 Gambaran………..………7

2.1.2 Kesederhanaan………..7

2.1.3 Kepribadian……….…10

2.1.4 Psikologi Sastra………..…….11

2.2 Landasan Teori………..13

2.3 Tinjauan Pustaka………....16

BAB III METODE PENELITIAN………21

3.1Sumber Data………...……….21

3.2 Teknik Pengumpulan Data ……….22

(9)

BAB IV GAMBARAN KESEDERHANAAN DALAM NOVEL AYAHKU

(BUKAN) PEMBOHONG……….24

4.1 Sederhana Niat dan Tujuan………28

4.2 Sederhana Berpikir………...30

4.3 Sederhana Keperluan Hidup………...32

4.4 Sederhana dalam Sukacita………..34

4.5 Sederhana dalam Kegigihan Berusaha………...35

4.6 Sederhana Mencari Nama…………...39

BAB V KESEDERHANAAN AYAH DAN DAM DITINJAU DARI SUDUT PADANG PSIKOLOGI SASTRA………...42

5.1 Kesederhanaan Tokoh Ayah...42

5.2 Kesederhanaan Tokoh Dam………..44

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN………..…...50

6.1 Simpulan….……….50

6.2 Saran……….………...51

DAFTAR PUSTAKA………...……52

(10)

ABSTRAK

Gambaran Kesederhanaan dalam Novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere Liye: Suatu

Tinjauan Psikologi Sastra

Oleh:

Roiyani Br Marbun

Sastra merupakan wakil jiwa melalui bahasa.Sastra juga memiliki fungsi bagi kehidupan, karena dalam setiap karya sastra terdapat gagasan-gagasan yang berupa ajaran, pengetahuan dan petuah-petuah yang bisa memberikan pengetahuan baru terhadap pembacanya. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan dan memaparkan kesederhanaan tokoh Ayah dan Dam yang tergambar dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong. Dalam mencapai tujuan tersebut, pengumpulan data dilakukan dengan mempergunakan metode membaca heuristik dan hermeneutik.Landasan teori pada penelitian ini adalah psikologi sastra dengan mempergunakan teori kepribadian oleh Sigmun Freud. Melalui teori tersebut akan dipaparkan kesederhanaan tokoh Ayah dan Dam dengan melihat dari gejala id, ego, dan superego. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan melalui wujud-wujud kesederhanaan yang terdapat dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong, bahwa kesederhanaan adalah sikap seseorang yang tidak menonjolkan diri, mampu bergaul dengan banyak orang dengan ramah, dan tidak memandang dirinya lebih dari orang lain, tidak makan minum dengan berlebihan dan tidak memakai barang yang menunjukan kemewahan dan kesombongan.

(11)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sastra adalah ungkapan jiwa.Sastra merupakan wakil jiwa melalui

bahasa.Luxemburg dkk. (1989:23) mengatakan, ”Sastra dapat dipandang sebagai

suatu gejala sosial. Sastra yang ditulis pada suatu kurun waktu tertentu langsung

berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat zaman itu.”Di dalam karya

sastra, pengarang menyampaikan pesan-pesan moral melalui bahasa, dengan

bahasa itulah pesan disampaikan sehingga terlihat nyata bagi para penikmat sastra.

Jiwa manusia akan semakin arif jika menyatu dengan karya sastra. Sastra

memang fenomena berharga. Sastra menghadirkan karya dengan berbagai

persoalan kehidupan yang menyertainya.Sastra memiliki fungsi bagi kehidupan,

karena dalam setiap karya sastra terdapat gagasan-gagasan yang berupa ajaran,

pengetahuan dan petuah-petuah yang bisa memberikan pengetahuan baru terhadap

pembacanya. Pengetahuan baru yang didapat tentu sangat bermanfaat bagi

pembaca untuk menghadapi dan menjalani kehidupan bila menemukan situasi

yang sama dengan masalah dalam karya sastra tersebut.

Damono (1984:8) mengatakan, ”Karya sastra adalah ungkapan kesadaran

pengarang, jadi bersifat subjektif. Karya sastra mengandung penilaian kehidupan

nyata dalam bentuk pemikiran tertentu.”

Prabowo (2010:iii) mengatakan, ”Sebuah karya sastra yang lahir dari

(12)

tertentu. Sebuah karya sastra bisa dikatakan karya fiksi dan dengan proses

kreativitas dari pengarang, membuat karya sastra itu menjadi lebih hidup.”

Manusia sebagai objek selalu menghadapi masalah-masalah yang

kemudian dituangkan menjadi karya sastra baik secara lisan maupun tulisan

sehingga penciptaan karya sastra tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia

itu sendiri.Bahasa yang dipergunakan dalam karya sastra berbeda dengan bahasa

kehidupan sehari-hari, karena bahasa yang dipergunakan memiliki nilai

estetis.Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan estetis

adalah mengenai keindahan, menyangkut apresiasi keindahan (alam, seni, dan

sastra).

Atmazaki (2005:31) mengatakan,

”Sebuah karya sastra yang lahir dari pengarang yang menciptakannya, adalah sesuatu yang dibuat dengan tujuan tertentu. ”Bagi seorang sastrawan sastra tidak sekedar bahasa yang dituliskan atau diucapkan; ia tidak sekedar permainan bahasa, tetapi bahasa yang mengandung “makna lebih”. Ia menawarkan nilai-nilai yang dapat memperkaya rohani dan meningkatkan mutu kehidupan. Ia juga memberi peluang kepada manusia untuk mempersalahkan kehidupan sehingga dapat memunculkan gagasan-gagasan yang bermakna. Tidak hanya itu, ia juga mampu memenuhi hasrat manusia untuk berkontemplasi.”

Salah satu karya sastra yang diminati masyarakat adalah novel, karena

novel hadir dengan cerita-cerita menarik.Nurgiyantoro (dalam Mariani, 2012:524)

menjelaskan,

(13)

manusia secara kompleks dengan berbagai konflik, sehingga pembaca memperoleh pengalaman-pengalaman baru tentang kehidupan.”

Novel Ayahku (Bukan) Pembohong memiliki jalan cerita sekaligus

kasus-kasus yang sangat menarik untuk diteliti terlepas dari pandangan tokoh-tokoh di

dalam novel tersebut dalam menjalani kehidupannya, pertentangan batin, menilai

tentang yang baik atau buruk, kekecewaan dan penyesalan, nilai-nilai keluarga,

dan kuatnya karakter tokoh tergambar dalam novel ini, dan yang akan menjadi

objek kajian dalam penelitian ini, adalah gambaran kesederhanaan tokoh yang

ada di dalam novel tersebut.

Kesederhanaan tidak selalu diidentikkan dengan arti serba hemat atau

serba kekurangan, namun makna dari kesederhanaan di sini adalah bijak dalam

mempergunakan rezeki (harta) yang kita miliki dengan tidak hidup

bermewah-mewah dan bijak menjalani hidup dengan lebih mempunyai rasa empati terhadap

orang lain dan novel Ayahku (Bukan) Pembohong karya Tere Liye ini

menggambarkan sebuah kehidupan keluarga yang sederhana.

Ahmadi (1990:239) menjelaskan,

”Keluarga merupakan sebuah grup yang terbentuk dari perhubungan laki-laki dan wanita, perhubungan mana sedikit banyak berlangsung lama untuk menciptakan dan membesarkan anak-anak.Jadi keluarga dalam bentuk yang murni merupakan satu kesatuan sosial yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anak yang belum dewasa.”

Soelaeman (dalam Shochib, 1998:17) menjelaskan ”Dalam pengertian psikologis, keluarga adalah sekumpulan orang yang hidup bersama dalam tempat tinggal bersama dan masing-masing anggota merasakan adanya pertautan batin sehingga terjadi saling mempengaruhi, saling memperhatikan, dan saling menyerahkan diri.”

Di dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong juga digambarkan karakter

(14)

memberi petuah-petuah kepada Dam agar selalu rendah hati, tidak sombong,

hidup secara sederhana tanpa kemewahan dan tidak menilai segala sesuatunya

dengan materi, menjalani hidup seperti air mengalir, dan bersahaja. Dam

dibesarkan dengan petuah dan cerita-cerita hebat ayahnya, sehingga Dam tumbuh

menjadi anak yang berbeda dan juga sederhana. Berikut kutipan yang

menunjukkan bahwa Ayah adalah pribadi yang sederhana: ”Ayah tidak menjadi

hakim agung. Ayah memilih jalan hidup sederhana. Berprasangka baik ke

semua orang…” (Liye, 2011:294)

Sastra adalah fenomena yang tepat didekati secara psikologis.Dalam hal

ini, contohnya adalah novel, karena di dalamnya terdapat fenomena-fenomena

kejiwaan yang tampak lewat perilaku tokoh-tokohnya.Ilmu psikologi diperlukan

untuk melihat dan mengenal manusia lebih dalam dan lebih jauh.Dengan

demikian psikologi dan karya sastra memiliki hubungan yang fungsional.Jika

berbicara tentang kepribadian, maka sangat erat kaitannya dengan psikologi.

Pengertian ilmu psikologi secara ringkas menurut Encyclopedia Britannica

(dalam Taniputera, 2005:17) dijelaskan sebagai berikut:

”Psikologi merupakan cabang dari ilmu pengetahuan yang mempelajari proses mental, seperti kebiasaan pada manusia dan binatang. Kata psikologi sendiri terbentuk dari dua kata, yakni psyche dan logos. Psyche memiliki banyak arti, yakni pikiran atau jiwa; sedangkan logos berarti ilmu. Jadi secara etimologis, psikologi berarti ilmu tentang pikiran atau jiwa. Dengan demikian psikologi sastra bertujuan memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung di dalam suatu karya.”

Novel Ayahku (Bukan) Pembohong dipilih sebagai objek penelitian

dilatarbelakangi oleh pertimbangan, bahwa novel Ayahku (Bukan)Pembohong

(15)

terdapat dalam novel tersebut menceritakan dan menampilkan berbagai

kepribadian serta perilaku yang berkaitan dengan kejiwaan dan pengalaman

psikologis, sehingga penulis memilih kajian psikologi sastra sebagai teori yang

dipergunakan dalam menganalisis novel tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah gambaran kesederhanaan tokoh Ayah dan Dam dalam

novel Ayahku (Bukan) Pembohong?

2. Bagaimanakah kesederhanaan tokoh Ayah dan Dam ditinjau dari

sudut pandang psikologi sastra?

1.3 Batasan Masalah

Batasan masalah diperlukan agar penelitian ini tidak meluas dan

menyimpang dari hal-hal yang direncanakan. Berdasarkan judul penelitian dan

rumusan masalah tersebut, penelitian ini hanya mendeskripsikan kesederhanaan

tokoh Ayah dan Dam yang tergambar dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong

tersebut. Pada akhirnya ruang lingkup pembahasan ini merupakan sebuah

deskripsi yang disertai analisis untuk memberikan pemahaman kepada pembaca

terhadap novel Ayahku (Bukan) Pembohong. Penelitian ini dilakukan dengan

meninjau dari sudut padang psikologi sastra dengan mempergunakan teori

(16)

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mendeskripsikan gambaran kesederhanaan tokoh Ayah dan Dam

dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong.

b. Untuk mendeskripsikan kesederhanaan tokoh Ayah dan Dam ditinjau

dari sudut pandang psikologi sastra.

1.4.2 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah mampu

memberikan manfaat baik secara teoretis maupun manfaat praktis, sebagai

berikut:

a. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan mampu berperan serta dalam

mengembangkan pengkajian psikologis tokoh dalam karya sastra.

b. Manfaat Praktis

Penelitian ini dapat berperan serta dalam mengungkapkan hal-hal

yang menarik untuk memperkaya rohani dan meningkatkan mutu

(17)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Dalam penelitian ini melibatkan beberapa konsep sebagai berikut:

2.1.1 Gambaran

Dalam KBBI (2007:329) Gambaran berarti lukisan. Dalam hal ini

lukisan yang dimaksud bukan benda atau sesuatu yang kongkrit.Lukisan

merupakan cerita atau uraian yang melukiskan sesuatu (hal atau kejadian)

dengan kata-kata. Lebih lanjut defenisi gambaran dikemukakan Kusmiyati

(dalam

http:smartconsultingbandung.blogspot.co.id/2010/pengertian-ilustrasi-gambar.html?m=l: Diakses tanggal 15 September 2015, Pukul

21:45 WIB) yang mengatakan ”Gambaran berarti ilustarasi yang

merupakan pelukisan suatu adegan atau alur cerita guna lebih menjelaskan

suatu adegan.”

2.1.2 Kesederhanaan

Dalam KBBI (2007:1008) Kesederhanaan adalah hal (keadaan,

sifat). Kesederhanaan kata dasarnya adalah sederhana, yang berarti

bersahaja; tidak berlebih-lebihan. Rahmanto (t.t:2) menjelaskan,

(18)

sesuatu yang lebih dibutuhkan.Kemampuan untuk ikhlas menerima yang ada, berusaha untuk berlaku adil dan bersyukur atas setiap rezeki yang diberikan dengan tetap menggunakannya pada hal-hal yang bermanfaat dan berarti.Kemampuan itulah yang memberikan manfaat dan menjadi energi dalam kehidupan kita.”

Hidayati (dala

WIB) juga menjelaskan,

”Hidup sederhana tidak berarti hidup dalam kesengsaraan, kemiskinan, kemelaratan dan serba kekurangan dan secara psikologis, kesederhanaan bermanfaat dalam menyeimbangkan energi positif dan negatif dalam diri dan kehidupan kita.Energi syukur dan ikhlas dalam kesederhanaan merupakan nutrisi untuk mencapai kebahagiaan, sehingga hati kita senantiasa dipenuhi perasaan-perasaan positif dan pikiran pun lebih jernih dan tenang. Ketenangan psikis akan bersinergi dengan kematangan spiritual. Dalam tataran spiritual, kesederhanaan dapat memberikan energi untuk membuat kita fokus dalam menjalankan sesuatu.”

Kesederhanaan merupakan sikap yang menolak keterlaluan,

dalam arti harus bersikap sewajarnya. Hamka (1984:152) mengatakan

bahwa orang yang sederhana akan jujur, karena kejujuran itulah sederhana

yang lurus. Adapun wujud-wujud kesederhanaan itu adalah:

1.Sederhana Niat dan Tujuan

Sederhana niat, sederhana tujuan, ialah tujuan manusia yang

berakal, dalam arti tidak usah berniat hendak jadi raja, tidak perlu

bercita-cita jadi orang berpangkat dengan gaji besar, yang perlu adalah

meluruskan niat.Sebagai makhluk hidup, kita harus berjasa kepada

(19)

2.Sederhana Berpikir

Pikiran yang matang dapat membedakan yang gelap dan yang

terang, dapat membuang jauh-jauh pendapat yang salah dan pendirian

yang curang.Satu kegilaan yang menghilangkan sederhana ialah merasa

kagum pada diri sendiri.Mempergunakan akal dengan seksama, adalah

sadar bahwa kita datang ke dunia bukanlah untuk melihat-lihat dan

menilik-nilik diri di depan kaca sambil membusungkan dada.

3.Sederhana Keperluan Hidup

Dapat makan dua kali sehari, pakaian dua kali berganti, rumah

yang cukup udaranya untuk tempat diam, dapat menghisap udara dan

bergerak, kita sudah dapat hidup. Hanya nafsulah yang meminta lebih

dari itu, sehingga di dalam memenuhi keperluan hidup kerapkali

manusia lupa akan kesederhanan, membeli sesuatu yang bahkan tidak

diperlukan, hanya untuk memenuhi hasrat.

4.Sederhana dalam Sukacita

Manusia berebut memenuhi kepuasan, berusaha menghibur diri

melalui berbagai cara, namun rasa sukacita itu tidak kunjung diperoleh.

Perasaan sukacita, gembira, bukanlah sifat lahir dan bukan pula dari

kediaman.Kadang orang-orang kaya yang memakan berbagai makanan

di dalamnya, dan tidur di atas kasur yang empuk lebih banyak mengeluh

(20)

hanya tidur beralaskan tikar rombeng. Sebab itu maka perasaan sukacita

bukan dari lahir atau dari kemewahan, melainkan dari batin.

5.Sederhana dalam Kegigihan Berusaha

Hidup sederhana adalah hidupnya orang gigih berusaha.Ia dapat

meletakkan usahanya pada tempat sebagaimana mestinya.

6.Sederhana Mencari Nama

Sederhana mencari nama adalah ketika berbuat kebaikan ia tidak

menyorakkan dan mengumandangkannya sampai membumbung ke

langit untuk mendapatkan nama dan kemasyhuran.

2.1.3 Kepribadian

Semua manusia memiliki kepribadian yang berbeda-beda. Dalam

KBBI (2007:895) Kepribadian adalah ”Sifat hakiki yang tercermin pada

sikap seseorang atau suatu bangsa yang membedakannya dengan orang

atau bangsa lain.”

Dorland (dalam Sumarna, 2015:8) mendefinisikan, ”Kepribadian

merupakan pola khas seseorang dalam berpikir, merasakan, dan

berperilaku yang terlatif stabil dan dapat diperkirakan.”

Feist dan Gregory J. Feist (2010:4) mengatakan, ”Kepribadian

adalah pola sifat dan karakteristik tertentu, yang relatif permanen dan

memberikan, baik konsistensi maupun individualitas pada perilaku

seseorang.”

Allport dkk (dalam Sujanto, 1980:94) secara singkat juga

(21)

sebagai sistem psychophysis yang menentukan caranya yang khas dalam

menyesuaikan diri terhadap sekitar.

Sujanto dkk (1980:3) mengatakan sejak dahulu memang sudah

disepakati bahwa pribadi tiap orang itu tumbuh atas dua kekuatan, yaitu

kekuatan dari dalam dan kekuatan dari luar.Kekuatan dari dalam yang

sudah dibawa sejak lahir, berwujud benih, bibit, atau sering juga disebut

kemampuan-kemampuan dasar.”Adapun yang termasuk faktor dalam atau

faktor pembawaan, ialah segala sesuatu yang telah dibawa oleh anak sejak

lahir, baik yang bersifat kejiwaan maupun yang bersifat

ketubuhan.Kejiwaan yang berwujud pikiran, perasaan, kemauan, fantasi,

ingatan, dan sebagainya, yang dibawa sejak lahir, ikut menentukan pribadi

seseorang.Kekuatan yang kedua yaitu faktor luar yang berasal dari

lingkungan.Adapun yang termasuk faktor lingkungan ialah segala sesuatu

yang ada di luar manusia, baik yang hidup maupun yang mati, misalnya

jenis makanan pokok, pekerjaan orangtua, hasil-hasil budaya yang bersifat

material maupun spiritual.”

2.1.4 Psikologi Sastra

Menurut Ratna (dalam Endraswara, 2008:91) ”Psikologi sastra

adalah analisis teks dengan mempertimbangkan relevansi dan peranan

studi psikologis.” Secara definitif, tujuan psikologi sastra adalah

memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya.

(22)

”Psikologi dan karya sastra memiliki hubungan fungsional, yakni sama-sama berguna untuk sarana mempelajari keadaan jiwa orang lain. Hanya perbedaannya, gejala kejiwaan yang ada di dalam karya sastra adalah gejala-gejala kejiwaan dari manusia-manusia imajiner, sedangkan dalam psikologi adalah manusia-manusia riil. Namun keduanya dapat saling melengkapi dan saling mengisi untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam terhadap kejiwaan manusia, karena terdapat kemungkinan apa yang tertangkap oleh sang pengarang tak mampu diamati oleh psikolog, atau sebaliknya.”

2.2 Landasan Teori

Psikologi berasal dari dua kata Yunani, yaitu psyche yang artinya jiwa dan

logos artinya ilmu pengetahuan. Menurut Walgito (dalam Endraswara, 2008:93)

”Psikologi adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang objek studinya adalah

manusia karena psyche atau psicho mengandung pengertian ”jiwa”. Dengan

demikian, psikologi mengandung makna ”ilmu pengetahuan jiwa.” Walgito

(dalam Wiyatmi, 2011:7) mengatakan, ”Psikologi merupakan suatu ilmu yang

meneliti serta mempelajari tentang perilaku atau aktivitas-aktivitas yang

dipandang sebagai manifestasi dari kehidupan psikis manusia.”

Wiyatmi (2011:7) mengemukakan, ”Dalam psikologi, perilaku atau

aktivitas yang ada pada individu atau organisme dianggap tidak muncul dengan

sendirinya, tetapi sebagai akibat dari adanya stimulus atau rangsang yang

mengenai individu atau organisme itu.”

Hubungan antara psikologi dan sastra sangat berkaitan.Menurut Semi

(dalam Endraswara, 2008:7) ”Karya sastra merupakan produk dari suatu keadaan

(23)

(subconcius) setelah mendapat bentuk yang jelas dituangkan ke dalam bentuk

tertentu secara sadar (concious) dalam bentuk penciptaan karya sastra.”

Psikologi sastra hadir untuk melengkapi pemahaman sastra. Tanpa

kehadiran psikologi sastra dengan berbagai acuan kejiwaan, kemungkinan

pemahaman sastra akan timpang. Daya tarik psikologi sastra adalah terletak pada

aneka ungkapan jiwa.

Banyak hal unik dan menarik ketika mengkaji psikologi sastra. Menurut

Semi dalam (Endraswara, 2008:12) ada beberapa kelebihan penggunaan psikologi

sastra, yaitu:

(1) sangat sesuai untuk mengkaji secara mendalam aspek perwatakan, (2) dengan pendekatan ini dapat memberi umpan balik kepada penulis tentang masalah perwatakan yang dikembangkannya, dan (3) sangat membantu dalam menganalisis karya sastra surcalis, abstrak, dan absurd, dan akhirnya dapat membantu pembaca memahami karya-karya semacam itu.

Sigmund Freud merupakan tokoh pencetus ide psikologi sastra.Penelitian

ini juga menggunakan teori psikoanalisis dari Freud.Dalam teori psikoanalisis,

kepribadian dipandang sebagai suatu struktur yang terdiri dari tiga unsur atau

sistem, yakni id, ego, dan superego. Meskipun ketiga sistem tersebut memiliki

fungsi, kelengkapan, dinamisme dan mekanisme masing-masing, ketiga sistem

kepribadian ini satu sama lain saling berkaitan serta membentuk suatu totalitas.

Koswara (1986:32) mengemukakan,

(24)

Freud (dalam Taniputera, 2005:44) mengatakan ”Id adalah sistem

kepribadian bawaan atau yang paling asli dari manusia. Pada saat dilahirkan,

seseorang hanya memiliki id saja.Unsur-unsur kepribadian ini merupakan tempat

bersemayamnya naluri-naluri yang sifatnya buta dan tidak terkendali”.

Taniputera (2005:45) mengatakan ”Asas yang mengatur kerjanya id

adalah asas kesenangan guna mencapai kepuasan atau kebahagiaan nurani.

Seseorang bayi yang menangis keras-keras saat lapar atau saat merasa tidak

nyaman adalah karena di dorong oleh id, bahwa dengan dia menangis maka ia

bisa lepas dari ketidaknyamanannya untuk mencapai keinginannya.”

Sistem kepribadian yang kedua adalah Ego.Feist dan Gregory J. Feist

(2010:32-33) menjelaskan, “Ego atau saya, adalah satu-satunya wilayah pikiran

yang memiliki kontak dengan realita.Ego berkembang dari id semasa bayi dan

menjadi satu-satunya sumber seseorang dalam berkomunikasi dengan dunia

luar.Ego dikendalikan oleh prinsip kenyataan (reality principle).Sarwono

(2000:156-157) juga mengatakan, ”Ego dapat pula dipandang sebagai aspek

eksekutif kepribadian, karena ego mengontrol jalan yang ditempuh, memilih

kebutuhan-kebutuhan yang dapat dipenuhi serta cara-cara memenuhinya.”

Koswara (1986:34) mengemukakan,

(25)

Sistem kepribadian yang ketiga adalah Superego.Taniputera (2005:45)

mengatakan, ”Superego merupakan unsur moral atau hukum dari kepribadian

manusia. Ia merupakan aspek moral dari seseorang yang menentukan benar dan

salahnya perbuatan yang dilakukan”.

Superego adalah suatu sistem yang merupakan kebalikan dari id.Sistem ini

sepenuhnya dibentuk oleh kebudayaan. Seorang anak pada waktu kecil mendapat

pendidikan dari orangtua dan melalui pendidikan itulah ia mengetahui mana yang

baik, mana yang buruk, mana yang boleh dilakukan dan mana yang dilarang,

mana yang sesuai dengan norma masyarakat, mana yang melanggar norma. Pada

waktu anak itu menjadi dewasa, segala norma-norma yang diperoleh melalui

pendidikan itu menjadi pengisi dari sistem superego, sehingga superego berisi

dorongan-dorongan untuk berbuat kebaikan, dorongan untuk mengikuti

norma-norma masyarakat dan sebagainya.

Koswara (1986:34-35) mengemukakan, ”Superego (istilah Freud: das

Ueberich) adalah sistem kepribadian berisikan nilai-nilai dan aturan-aturan yang

sifatnya evaluatif (menyangkut baik-buruk). Menurut Freud, superego terbentuk

melalui internalisasi nilai-nilai atau aturan-aturan oleh individu dari sejumlah

figur yang berperan, berpengaruh, atau bararti bagi individu tersebut seperti orang

tua dan guru.”

Feist dan Gregory J. Feist (2010:34) menjelaskan superego memiliki dua

subsistem, suara hati (conscience) dan ego ideal. Freud tidak membedakan kedua

fungsi ini secara jelas, tetapi secara umum, suara hati lahir dari

(26)

kita tentang hal-hal yang sebaiknya tidak dilakukan, sedangkan ego ideal

berkembang dari pengalaman mendapat imbalan atas perilaku yang tepat dan

mengarahkan kita pada hal-hal yang sebaiknya dilakukan.”

2.3 Tinjauan Pustaka

Penelitian terhadap novel Ayahku (Bukan) Pembohong karya Tere Liye

sudah pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Pertama, novel ini diteliti oleh

Fepi Mariani (Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,

Universitas Negeri Padang) dalam jurnalnya yang berjudul ”Profil Ayah dalam

Novel Ayahku(Bukan) Pembohong karya Tere Liye: Tinjauan Sosiologi Sastra.”

Mariani mencoba menerapkan teori sosiologi sastra dalam penelitiannya

dan profil Ayah dengan objek penelitian Ayah dari tokoh utama dalam novel

Ayahku (Bukan) Pembohong karya Tere Liye. Mariani mengatakan.profil yang

dialami tokoh cerita dipengaruhi oleh hubungannya dengan tokoh lain dan dirinya

sendiri dalam cerita tersebut. Sikap atau perilaku atau karakter tokoh dalam

berbicara atau bertindak dan berinteraksi dengan orang lain disebut profil.

Berdasarkan hasil penelitian Mariani profil Ayah yang tergambar dalam

novel Ayahku (Bukan) Pembohong adalah ayah sebagai orang tua, ayah sebagai

suami, ayah sebagai mertua, ayah sebagai kakek, ayah sebagai teman, ayah

sebagai pelindung, ayah sebagai guru, ayah sebagai pendongeng, dan semua itu

dia perankan dengan sangat baik. Aspek nilai budaya dasar yang terdapat dalam

novel Ayahku (Bukan) Pembohong adalah; pandangan hidup, tanggung jawab,

(27)

Kedua diteliti oleh Maria Sulastri Jeharu (Jurusan Sastra Indonesia

Fakultas Sastra, tanpa diketahui asal universitas) dengan artikel yang berjudul

”Konflik Batin Tokoh Utama Novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere

Liye. Jeharu menggunakan analisis psikologi sastra dengan teori struktur

kepribadian dalam menganalisis artikelnya. Jeharu menjelaskan bahwa watak atau

kepribadian tokoh Dam berhubungan erat dengan id, ego, dan superego,

kecemasan (anxitas), serta pertahanan ego. Elemen ego Damyang merasa

terancam karena kecemasan dari alam bawah sadar yang terkadang bertentangan

dengan rasio, menimbulkan beragam perilaku psikologis dan konflik batin dalam

dirinya kepada Ayah.

Penelitian yang dilakukan oleh Jeharu menggunakan dua teori, yaitu teori

struktural dan teori kepribadian. Teori struktural digunakan untuk mengkaji dan

mendeskripsikan fungsi dan hubungan antara unsur bersangkutan, yang bertujuan

memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antara berbagai unsur

karya sastra yang secara bersama-sama menghasilkan makna yang menyeluruh.

Jeharu menuliskan bahwa, dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong

pengarang melukiskan konflik batin antara ayah dan anaknya yang disebabkan

oleh cerita dongeng.Dongeng tersebut secara tak sadar memengaruhi tingkah laku

anaknya.Ketika anaknya menyadari cerita dongeng tersebut tidak masuk di akal,

timbul kebencian terhadap ayahnya. Pengarang memberikan solusi dalam

penyelesain konflik dengan cara menyuguhkan bagian yang menggambarkan rasa

penyesalan anaknya mengenai cerita dongeng. Cerita dongeng ayahnya ternyata

(28)

Pembohong ada tiga solusi yang dilakukan tokoh utama untuk mengatasi konflik

batinnya, yaitu sublimasi, proyeksi, dan rasionalisasi.

Peneliti ketiga Mabruroh (Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan

Sastra Indonesia, Univesitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah) dalam skripsinya

yang berjudul ”Karakter Ayah dalam Novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya

Tere Liye dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA.”

Mabruroh menguraikan karakteristik Ayah melalui 3 cara, yaitu

karakteristik Ayah melalui tingkah laku, karakteristik Ayah melalui ekspresi

wajah, dan karakteristik Ayah melalui motivasi yang melandasi. Karakteristik

Ayah melalui tingkah laku bahwa ia begitu tegas, penuh kasih, penuh percaya diri,

dan penuh tanggung jawab. Ayah sangat gemar bercerita tentang pertualangan

masa mudanya. Sosoknya begitu menarik perhatian saat bercerita, begitu

meyakinkan dengan intonasi suaranya.Ayah juga pribadi yang selalu

menyempatkan diri untuk menemani dan mendukung aktivitas anaknya. Ayah

berwatak teguh dalam memegang prinsip. Karakteristik Ayah melalui ekspresi

wajah, Ayah memasang ekspresi wajah aneh dan cengiran jahil dengan memasang

tangan tanda tanduk di kepala mengungkapkan watak Ayah yang riang gembira

dan sedikit jahil, serta ekspresi wajah menahan amarah dan rasa ketakutan

mengungkapkan wataknya yang mencoba untuk bersabar. Karakteristik Ayah

melalui motivasi yang melandasi, Ayah yang ingin melindungi serta Ayah yang

mengalah karena dilandasi oleh motivasi cintanya terhadap keluarga. Impilikasi

novel Ayahku (Bukan) Pembohong pada pembelajaran di SMA sebagai salah satu

(29)

apasaja yang membangun peristiwa dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong,

novel tersebut juga kaya akan nilai-nilai moral dan pesan-pesan yang dapat

diambil dan di contoh dalam kehidupan.

Peneliti keempat oleh Nadia Agralana (Program Studi Pendidikan Bahasa

dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Universitas Bung Hatta)

dengan jurnal yang berjudul ”Nilai-Nilai Pendidikan Karakter dalam Novel

Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere Liye.”

Agralana menguraikan data yang ia temukan tentang nilai-nilai pendidikan

karakter dalam novel Ayahku (Bukan)Pembohong Karya Tere Liye adalah jujur

ditemukan sebanyak 2 data, disiplin, tanggung jawab, mandiri ditemukan data

sebanyak 18 data, toleransi, cinta damai, demokratis, cinta tanah air, dan kesatuan

ditemukan sebanyak 1 data, percaya diri, kerja keras, kreatif, dan semangat ke

bangsaan ditemukan sebanyak 35 data, rasa ingin tahu, dan gemar membaca

ditemukan sebanyak 23 data, menghargai prestasi, hormat dan santun di temukan

sebanyak 10 data, baik dan rendah hati ditemukan sebanyak 21 data,

kepemimpinan dan adil ditemukan sebanyak 3 data, dermawan, suka menolong,

gotong royong, peduli sosial, peduli lingkungan ditemukan sebanyak 5 data

bersahabat/komunikatif ditemukan sebanyak 3 data.

Setelah diuraikan tentang penelitian yang telah dilakukan terhadap novel

Ayahku (Bukan)Pembohong Karya Tere Liye, beberapa penelitian sudah

menyinggung dan membahas tentang karakter tokoh dalam novel, maka tampak

bahwa novel tersebut dapat dipandang dan diteliti dengan sudut pandang yang

(30)

(Bukan)Pembohongmemiliki gambaran karakter-karakter yang sangat kuat,

terutama pada karakter tokoh utama Ayah dan tokoh Dam. Jika peneliti-peneliti

sebelumnya menganalisis karakter tokoh secara garis besar, maka pada

kesempatan ini penulis mencoba mengkaji dengan fokus kepada kesederhanaan

tokoh Ayah dan Dam yang tergambar dan diungkapkan oleh pengarang lewat

perilaku tokoh sehari-hari yang digambarkan lewat dialog-dialog dalam novel

tersebut, dengan menguraikan bagaimana mereka tetap bahagia dengan pilihan

hidup sederhana kemudian meninjau kesederhanaan Ayah dan Dam tersebut

melalui sudut pandang psikologi sastra dengan mempergunakan teori kepribadian

(31)

BAB III

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan dalam kajian ini adalah penelitian

kualitatif. Tantawi (2014:61) mengatakan, ”Data kualitatif adalah data yang

berhubungan dengan nilai atau kesan dari objek.” Penelitian kualitatif bertujuan

memeroleh gambaran seutuhnya mengenai suatu hal menurut pandangan manusia

yang diteliti.Penelitian kualitatif berhubungan dengan ide, persepsi, pendapat atau

kepercayaan orang yang diteliti dan kesemuannya tidak dapat diukur dengan

angka.

3.1. Sumber Data

Adapun yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah:

Judul : Ayahku (Bukan) Pembohong

Pengarang : Tere Liye

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Jumlah Halaman : 304 halaman

Tahun Terbit : April 2011

Warna Sampul : Biru bercampur ungu dan kuning

Gambar Sampul : Gambar apel emas di atas awan, beberapa orang

memakai pakaian bola memegang piala, serta dua

(32)

Desain Sampul : Lambok Hutabarat

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan atau library research (studi

pustaka).Library research bertujuan untuk mengumpulkan datadan informasi

dengan bantuan macam-macam materi yang terdapat di ruangperpustakaan,

misalnya berupa buku-buku, majalah, naskah, catatan sejarah,dokumen, dan

lain-lain. Teknik ini dipakai untuk pengumpulan data utama dan tulisan lain yang

berkaitan dengan cerita dan pengarangnya. Adapun cara kerjanya yaitu, membaca

dan memahami teks novel Ayahku (Bukan) Pembohong secara berulang-ulang,

menemukan kesederhanaan-kesederhanaan dari tokoh Ayah dan Dam yang

tergambar dalam noveltersebut, selanjutnya mencatat data yang penting dan

menarik (fakta-fakta empiris mengenai kepribadian tokoh/fakta-fakta bahasa yang

berwujud gambaran dialog tokoh-tokohnya) kemudian data dikumpulkan dengan

menggunakan metode heuristik dan hermeneutik.

Pradopo (2003:80) menjelaskan,

”Metode membaca heuristik pada cerita rekaan atau novel merupakan metode pembacaan berdasarkan berdasarkan tata bahasa ceritanya yaitu pembacaan novel dari awal sampai dengan akhir cerita secara berurutan, cerita yang memiliki alur sorot balik dapat dibaca secara alur lurus.Hal ini dipermudah dengan dibuatnya sinopsis cerita dari novel yang dibaca tersebut.”

Tantawi (2014:62) mengemukakan,

(33)

3.4 Teknik Analisis Data

Data dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif. Menurut Nazir

(dalam Tantawi, 2014:66) ”Metode deskriptif adalah mendeskripsikan tentang

situasi atau kejadian, gambaran, lukisan, secara sistematis, faktual, akurat

mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena dengan

fenomena pada objek yang diteliti.” Data yang sudah dicatat dan dikumpulkan

pada kartu data kemudian dideskripsikan dan dianalisis dengan teori yang

digunakan. Pendeskripsian dimulai dengan mendata dan menggambarkan

kesederhanaan-kesederhanaan tokoh Ayah dan Dam yang ada dalam novel

Ayahku (Bukan) Pembohong dengan menganalisisnya melalui tinjauan psikologi

sastra dan melihat gejala-gejala kepribadian (id, ego, dan superego)pada tokoh

(34)

BAB IV

GAMBARAN KESEDERHANAAN DALAM NOVEL AYAHKU (BUKAN) PEMBOHONG

Novel Ayahku (Bukan) Pembohong menceritakan tentang seorang Ayah

yang memiliki satu anak bernama Dam, yang dididik dengan cara yang berbeda,

dalam tingkah laku, dalam berpikir, dalam bertindak dan dengan kesederhanaan,

lewat cerita-cerita ayahnya.

”Cerita-cerita Ayah adalah cara ia mendidikku agar tumbuh menjadi anak yang baik, memiliki pemahaman hidup yang berbeda. Cerita Ayah adalah hadiah, hiburan, dan permainan terbaik yang bisa diberikan Ayah, karena hidup kami sederhana, apa adanya.” (Liye, 2011:192-193)

Bahkan sejak kecil Ayah sudah menanamkan pemahaman hidup lewat

dongeng dan cerita tentang pertualangan hebat di masa mudanya,

”Sejak kecil, bahkan sejak aku belum bisa diajak bicara, Ayah sudah bercerita. Ia menghabiskan banyak waktu menemaniku, membacakan buku-buku. Ketika halaman buku-buku itu habis, meski sudah membeli buku-buku terbaru dari toko dan meminjam seluruh tumpukan buku di perpustakaan, Ayah mulai mencomot begitu saja dongeng dari langit-langit kamar. Ia pendongeng yang hebat. Sepotong benda atau satu kata bisa berubah menjadi dongeng yang menakjubkan. Entah sejak kapan, Ayah mulai menceritakan masa kecilnya, masa mudanya.” (Liye, 2011:12)

Ayah membesarkan Dam dengan dongeng dan petuah-petuah tersebut,

agar cerita itu tertanam di otak dan memengaruhi pemahaman hidup dan perilaku

Dam. Hingga pada akhirnya cerita tersebut berhasil membentuk karakter Dam,

sehingga Dam menjadi orang yang pintar, dan berhasil menjadi seorang arsitektur

(35)

”Sebelum beranjak berdiri, aku menyeringai lebar melihat desain setengah jadi di layar laptop.Ini ide yang hebat, fantastis.Aku menggabungkan imajinasiku tentang arsitektur Lembah Bukhara dan perkampungan suku Penguasa Angin.Sejatinya aku tidak pernah membenci cerita-cerita Ayah, aku bahkan menggunakannya dalam hidupku, mulai dari yang terlihat seperti desain-desain yang kubuat, hingga yang tidak terlihat seperti pemahaman hidup dan perangaiku.” (Liye, 2011:164-165)

Bahkan cerita-cerita ayahnya membuat Dam tumbuh menjadi sosok dan

pribadi yang istimewa dan berbeda dari teman-teman sebayanya dengan segala

kebaikan hatinya. Seperti yang terlihat dalam kutipan berikut:

”Kau pasti Dam.Gadis itu sudah tertawa. ”Tidak ada mahasiswa yang akan ringan hati memberikan antrean pada selusin perempuan yang ketawa-ketiwi, hanya tersenyum saat petugas kantin bilang tidak ada kembalian, atau sekedar menyeringai datar ketika mejanya diserobot. Tidak ada orang dengan kebaikan sedetail itu. Kau pasti Dam….” (Liye, 2011:245)

”Kau lupa, kau mewarisi tabiat baik dari cerita-cerita itu. Seluruh penghuni kompleks ini mengenal kau.Dam yang ramah, baik hati, dan ringan tangan membantu.Dam yang ramah, baik hati, dan ringan tangan membantu.Dam selalu menyapa, Dam pandai mendamaikan pertengkaran. Coba kau Tanya sopir angkutan umum di terminal, mereka tahu rumah Dam sang arsitek tidak? Mereka bahkan dengan senang hati mengantar tamu yang bertanya ke rumah kita.” (Liye, 2011:273)

Novel Ayahku (Bukan) Pembohongmenggambarkan sebuah keluarga yang

hidup dalam kesederhanaan, tentang seorang ayah yang memilih jalan hidupnya

untuk hidup secara sederhana bersama istri dan anak tunggalnya, meskipun ia

adalah lulusan master hukum universitas ternama di Eropa, namun ia memilih

untuk menjadi seorang pegawai negeri biasa.Penggambaran kesederhanaan Ayah

(36)

”Ayah hidup sederhana karena itu pilihannya, Dam.” Suara Taani mulai serak.”Astaga, Dam. Ayah lulusan terbaik dari sekolah hukum terbaik di Eropa. Saat pulang dia bisa jadi hakim agung, bisa jadi pejabat tinggi.Dia bisa amat kaya dan berkuasa. Dia memilih sendiri untuk hidup sederhana…” (Liye, 2011:274)

Meski hidup tanpa kemewahan, tanpa rumah yang indah, tanpa sebuah

mobil yang terparkir di garasi, bahkan tanpa sepeda motor mereka tetap bahagia,

karena bagi ayahnya kebahagiaan bukanlah hal yang dapat diukur dari seberapa

banyak memiliki barang-barang mewah. Baginya kebahagiaan adalah bagaimana

kita masih tetap mensyukuri apa yang kita miliki, karena kebahagian lahir dari

dalam hati bukan dari orang lain atau barang apapun. Sebagaimana terlihat dalam

kutipan ini:

”Keluarga kami tidak kekurangan, meski juga tidak kaya (jangan bandingkan dengan keluarga Jarjit). Walau lulusan master hukum luar negeri, Ayah hanya menjadi pegawai negeri golongan menengah, bukan hakim, jaksa, atau pejabat penting seperti teman-temannya yang bahkan lulusan sekolah hukum terbaik dalam negeri pun tidak. Lebih tepatnya, hidup kami apa adanya.” (Liye, 2011:51)

”Dari percakapan yang aku kuping dari kepala sekolah, pelatih, tetangga, atau orangtua di sekitarku, mereka sering menyimpulkan: Ayah terlalu jujur dan terlalu sederhana. Dari ibuku, karena aku sekali-dua sering bertanya kenapa kami kemana-mana harus menaiki kendaraan umum, aku hanya mendapat jawaban ”Bukankah itu lebih keren? Kita jadi punya mobil banyak sekali, bukan?”Lantas ibu tertawa—meski Ibu jarang sekali terlihat tertawa.” (Liye, 2011:51-52)

Meski keluarga mereka bukan keluarga kaya dan terpandang tetapi

keluarga mereka adalah keluarga yang dihormati karena Ayah suka membantu

tetangga, juga keramahan sikap, santun, dan tutur kata Ayah, sehingga keluarga

(37)

bahwa ia menghina keluarga Dam. Hal ini setara dengan pernyataan Rahmanto

(t.t:7) ”Sikap sederhana juga tidak akan membuat darajat seseorang menjadi

rendah, malah ia akan dihormati dan dihargai.” Terlihat dalam kutipan berikut:

”Kau bilang apa? Keluarga mereka amat terhormat meski tidak memiliki bola bertanda tangan sialan itu.Keluarga mereka bahkan lebih terhormat dibandingkan kolega bisnis paling kaya papa. Sekali lagi kau menghina keluarga mereka miskin, menghina ayah Dam hanya pegawai negeri rendahan, Papa hukum kau berangkat sekolah jalan kaki,” (Liye, 2011:63)

Penggambaran kesederhanaan keluarga mereka yang dipenuhi

kebahagiaan juga terlihat saat mereka bertiga merayakan ulang tahun Ibu.Meski

tanpa perayaan yang mewah namun mereka merasakan kebahagiaan yang tiada

taranya. Berikut kutipannya:

”Aku dan Ayah merayakan ulang tahun Ibu, menghabiskan waktu di teras rumah. Meski tanpa kado istimewa, tanpa kue tar dan lilin, hanya kami bertiga, acara itu menyenangkan.Aku memberikan gambar Ibu yang kugambar sendiri.”Kau berbakat, Dam.”Ibu berkaca-kaca menerimanya.Ayah, sambil bergaya memetik gitar, terdengar fals dan berantakan. Kami tertawa menyuruh Ayah berhenti. Hanya seperti itulah perayaan ulang tahun Ibu yang ke-40.Di atas segalanya, Ibu terlihat sehat.Itu hadiah paling istimewa.” (Liye, 2011:121)

Kebahagiaan itu dibuktikan dalam kalimat meski tanpa kado istimewa,

tanpa kue tar dan lilin, hanya kami bertiga, acara itu menyenangkan. Gambaran

kesederhanaan yang ditampilkan dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohongini

dapat diuraikan lebih terperinci dari beberapa wujud kesederhanaan, seperti

sederhana niat dan tujuan, sederhana berpikir, sederhana keperluan hidup,

(38)

mencari nama. Keenam wujud inilah yang akan diuraikan secara terperinci, yaitu

bagaimana kesederhanaan tokoh Ayah dan Dam yang tergambar dalam novel

Ayahku (Bukan) Pembohong dan kemudian penulis akan meninjau dari sudut

padang psikologi sastra dengan melihat gejala id, ego, dan superego

menggunakan teori kepribadian oleh Sigmun Freud.

4.1 Sederhana Niat dan Tujuan

Banyak orang menyangka, karena seseorang berpakaian koyak dan murah

atau rumahnya kurang indah orang itu dikatakan sederhana. Jika dari sana hendak

diukur kesederhanaan, kita tidak akan bertemu hakikat yang sebenarnya. Hamka

(1984:153) mengatakan, ”Sederhana niat, sederhana tujuan, ialah tujuan manusia

yang berakal, dalam arti tidak usah berniat hendak jadi raja, tidak perlu

bercita-cita jadi orang berpangkat dengan gaji besar, yang perlu adalah meluruskan niat.”

Dalam novel Ayahku (Bukan) PembohongAyah adalah sosok yang

sederhana secara niat dan tujuan. Ia tidak tergila-gila ingin menjadi masyhur dan

kaya, ia tidak mengejar pangkat yang tinggi dengan tujuan mendapatkan gaji yang

besar, tetapi ia meluruskan niatnya agar ia berjasa bagi kehidupan. Seperti yang

tertulis dalam (Liye, 2011:274) Padahal Ayah merupakan lulusan dari sekolah

hukum terbaik di Eropa, maka saat pulang dia bisa jadi hakim agung, bisa jadi

pejabat tinggi dan dia bisa amat kaya dan berkuasa tetapi Dia memilih untuk

hidup sederhana dalam kesederhanaan. Ayah memahami hakikat hidup bukan

tentang kekayaan atau termasyhur, karena kekayaan adalah warna hidup belaka

(39)

yang mengatakan ”Hakikat hidup ialah tujuan, niat suci, dan sederhana itu

sendiri.”

Hamka (1984:154) juga mengatakan, ”Sederhana niat dan tujuan berarti

ikhlas dengan pemberian Tuhan.” Ayah memiliki kepribadian yang ikhlas, karena

ia menerima apa saja yang dianugerahkan Tuhan kepadanya. Ia tidak tergiur dan

sakit hati bila orang lain menerima nikmat yang melebihi apa yang ada padanya.

Ia sudah merasa cukup dengan apa yang ada padanya, bukan karena pasrah tetapi

karena dia memahami hakikat kehidupan. Dia termasuk kategori orang yang kaya

hati, karena pada hakikatnya kekayaan itu bukanlah tergantung pada banyaknya

harta dan fasilitas melainkan sifat menerima dan merasa cukup dengan apa yang

ada.

Begitu juga dengan Dam, ia memiliki aktivitas lain selain sekolah yaitu

membantu masyarakat kampung, bukan hanya untuk mengharapkan uang atau

bintang yang akan dihiaskan di dada, tetapi ia sadar sebagai makhluk hidup kita

harus berjasa pada kehidupan, sebagai laki-laki ia harus tegak pada garis laki-laki,

yaitu memiliki hati kemanusiaan, dengan niat dan tujuan mulia. Berikut

kutipannya:

”Ideku sederhana.Aku ingin bekerja di luar, membantu perkampungan dekat Akademi Gajah. Setiap sore, lepas jadwal di kelas, aku bisa membantu mereka mengurus lading, menangkap ikan, dan jenis pekerjaan yang tersedia. Mereka butuh lelaki dewasa untuk membantu,..” (Liye, 2011:204-205)

Kesederhanaan niat dan tujuan Dam adalah ketika ia tidak berpikir bahwa

(40)

itu menjadi aktivitas yang menyenangkan untuknya. Seperti dalam kutipan

berikut:

”Itu menjadi pengalaman yang seru, belajar sekaligus bekerja yang sebenarnya.Teman-teman juga membutuhkan bersosialisasi dengan penduduk, bisa menjadi bagian mengisi waktu senggang.Aku pikir itu tidak akan mengganggu aktivitas belajar.” (Liye, 2011:205)

4.2 Sederhana Berpikir

Hamka (1984:154) mengatakan, ”Pikiran yang matang dapat membedakan

yang gelap dan yang terang, dapat membuang jauh-jauh pendapat yang salah dan

pendirian yang curang. Satu kegilaan yang menghilangkan sederhana ialah merasa

kagum pada diri sendiri.Pongah dengan nama dan turunan.”Mempergunakan akal

dengan seksama adalah sadar bahwa kita datang ke dunia bukanlah untuk

melihat-lihat dan menilik-nilik diri di depan kaca sambil membusungkan dada. Kita

datang ke dunia untuk bekerja, dan apa yang kita kerjakan itu pada hakikatnya

bukan jasa seperti yang disangka kebanyakan orang, tetapi kewajiban yang sudah

semestinya dilakukan oleh tiap-tiap orang hidup, seperti Ayah yang sederhana

dalam berpikir, bahwa membantu orang lain adalah wujud kewajibannya sebagai

sesama manusia, bukan menganggapnya sebagai jasa, dan tidak merasa kagum

akan dirinya sendiri atau membusungkan dadanya karena merasa ia orang hebat

sehingga ia pun menjadi pribadi yang disenangi banyak orang. Terlihat dalam

kutipan berikut:

(41)

tidak akan pernah menjadi pemain hebat, karena aku tidak punya inspirasi mendidiknya. Ayah kaulah yang datang ke klub itu, bilang aku berhak mendapatkan kesempatan. Dia mengancam akan melaporkan klub itu ke komite olahraga karena menolakku ikut seleksi hanya gara-gara tinggi badan.” (Liye, 2011:297-298)

Meskipun Ayah sudah membantu sang Kapten, tetapi ia tidak

membusungkan dadanya, ini terbukti pada kalimat Ayah kau pastilah tidak

pernah bilang itu, yang menandakan ia tidak merasa hebat karena pernah

membantu seseorang yang kini sudah menjadi orang berhasil dan mendunia.

Orang yang sederhana dalam berpikir akan rendah hati. Rendah hati jauh dari

sifat membeda-bedakan golongan dan status sosial, dan rendah hati tidak

memandang dirinya lebih dari orang lain dan tidak mau menonjolkan diri dalam

pergaulan (dalam arti negatif) sekalipun ia mempunyai kelebihan dan

kemampuan. Ayah adalah seorang pribadi yang rendah hati, karena meskipun ia

memiliki pendidikan tinggi sebagai master hukum luar negeri, ia tidak pernah

menonjolkan dirinya, telah dibuktikan dalam dialog yang terdapat dalam (Liye,

2011:274)

Begitu pula dengan Dam, ia juga adalah seorang pribadi sederhana. Ia

menggunakan akalnya dengan seksama dengan tidak memikirkan dirinya sendiri.

Seperti yang terlihat dalam kutipan, ”Tidak ada waktu untuk berpikir soal

kemenangan.Jarjit mengalami masalah, maka aku segera membalik badan.”

(Liye, 2011:17). Lewat apa yang dilakukan Jarjit selama ini kepada Dam, dan

mengingat mereka adalah musuh, seperti layaknya Anjing dan Kucing, maka

(42)

bertanding, dan Dam sudah mendekati kemenangannya, dengan itu ia dapat

membuktikan diri atas kehebatannya tetapi Dam melupakan itu semua. Ia tidak

berpikir soal kemenangannya, dengan merendahkan hati ia berusaha menolong

Jarjit.

”Aku memukul dada Jarjit keras-keras---teknik yang diajarkan pelatih sebagai pertolongan pertama keadaan darurat.Jarjit bergeming.Tubuh tinggi besarnya terkulai lemah.Aku memukul lebih keras.Ayolah, Kawan kau bisa melakukannya.Aku berseru cemas.Tetap tidak ada reaksi.Beruntung, sebelum aku panik, Jarjit tersendak memuntahkan air.Ia siuman. Aku membantunya bersandar.” (Liye, 2011:17)

4.3 Sederhana Keperluan Hidup

Sederhana keperluan hidup adalah bersikaprealistis dan proposional,

artinya menyelaraskan antara kebutuhan atau keinginan dengan kemampuan

secara proporsional. Ada pepatah yang mengatakan: “Jangan lebih besar pasak

daripada tiang”. Bersikaplah yang sedang-sedang saja, tidak boros dan juga tidak

kikir.Seseorang yang hidup proporsional menyeimbangkan antara keinginan, dan

hidupnya senantiasa terarah.Ia mampu membedakan mana yang menjadi

kebutuhan dan mana yang hanya sekedar keinginan. Ayah sadar betul akan hal

ini, sehingga dalam memenuhi kebutuhan hidupnya ia tidak pernah berfoya-foya.

Ia tahu memilah-milah mana yang penting dan mana yang tidak. Seperti yang

digambarkan oleh pernyataan Dam berikut ini:

(43)

Bukan karena Ayah adalah orang yang kikir, ini terbukti saat ia akhirnya

membeli tiket VIP untuk menonton pertandingan sepak bola di stadion, semua itu

karena ia ingin menyenangkan hati Dam, karena ia sayang kepada Dam. Seperti

yang terlihat dalam kutipan ”Ayah memutuskan menelepon call center

pemesanan, membeli tiga tiket VIP sekaligus, untukku, Ayah, dan Ibu. Itu benda

paling mahal yang dibeli Ayah seumur hidupnya…” (Liye, 2011:87)

Ayah juga tidak membeli sepeda motor, bukan karena ia enggan, namun

ia berpikir selagisepeda motor tidak terlalu menjadi kebutuhan utama, ia masih

bersedia naik angkutan umum. Terlihat dalam kutipan berikut, ”Pulang sekolah,

dengan menumpang angkutan umum, Ayah menjemputku.” (Liye, 2011:22)

Sama halnya seperti Ayah, Dam juga mewarisi kesederhanaan dari beliau.

Saat ia ditawari akan diberi hadiah jika menang lomba renang estafet, ia tidak

menginginkan hadiah mewah layaknya seperti anak-anak lain, yang terbiasa

diberi hadiah mainan atau barang-barang mahal. Seperti yang digambarkan dalam

dialog berikut ini:

”Kau ingin hadiah apa jika menang?” Ayah bertanya.

”Aku menggeleng, tidak ingin hadiah apa-apa.Tepatnya sejak kecil aku terbiasa dibesarkan tanpa hadiah, kejutan, dan sejenisnya.Bagiku hadiah hanya berbentuk cerita-cerita Ayah, masakan special Ibu, dan jenis hadiah yang tidak lazim kalian bayangkan.” (Liye, 2011:97)

Bahkan hingga menjadi seorang mahasiswa ia hanya menggunakan motor

vespa sebagai kendaraannya disaat teman-teman sebayanya menggunakan motor

mewah bahkan menggunakan mobil pergi ke kampus. Seperti dalam kutipan

berikut, ”Hari itu gerimis membasuh kota. Aku memperlambat laju motor vespa,

(44)

4.4 Sederhana dalam Sukacita

Hamka (1984:170) mengatakan, ”Perasaan sukacita, gembira, bukanlah

sifat lahir dan bukan pula dari kediaman. Kadang orang kaya yang memakan

berbagai makanan di dalamnya, dan tidur di atas kasur yang empuk lebih banyak

mengeluh dari si miskin yang hanya tinggal di dalam sebuah gubuk dan yang

hanya tidur beralaskan tikar rombeng.”Sebab itu maka perasaan sukacita bukan

dibawa saat lahir atau karena kemewahan.

Di saat orang lain mencintai dunia dengan segala isinya dan

berlomba-lomba mencari kebahagiaan lewat kemewahan yang ada, Ayah sibuk memikirkan

filsafat hidup, mencari makna kehidupan, dan prinsip-prinsip hidup yang agung.

Ia berpikir mengapa manusia bisa tiba-tiba merasa senang dengan sebuah hadiah,

kabar baik, atau keberuntungan, tetapi dengan cepat kesenangan itu hilang saat

menerima sesuatu yang buruk, seolah-olah manusia dikendalikan oleh situasi,

hingga Ayah memutuskan melakukan pertualangan saat ia masih muda, hingga

akhirnya ia mendapat pemahaman hidup yang benar, kini baginya kebahagiaan

itu lahir dari batin, dari hati dengan mata air yang bening. Sosok Ayah penuh

dengan sukacita, kebahagiaan meski tanpa kemewahan. Seperti yang tersirat di

pikirannya dalam kutipan berikut:

(45)

Itulah sebabnya Ayah tidak kekurangan dalam kebahagiaan, meskipun ia

harus menjalani hidupnya tanpa kemewahan dan uang yang banyak.

Kesederhanaan dalam sukacita Dam digambarkan dalam kutipan berikut:

”Sungguh, aku tidak suka dengan hadiah-hadiah itu. Aku hanya ingin hadiah Ibu lekas sembuh. Jadi, jika Ibu tidak bisa menontonku memenangkan piala ini, setidaknya dengan kondisi sehat Ibu bisa melihat langsung sang Kapten bersama kami minggu depan. Itu hadiah terindah.” (Liye, 2011:102)

Penggambaran lain adalah saat ia meminta hadiah dari ayahnya digantikan

agar ia diizinkan untuk bersalaman dengan sang Kapten dan berfoto bersamanya.

Hanya dengan hal itu Dam sudah merasa sukacita, ia tidak memerlukan hadiah

yang lain. Terlihat dalam kutipan berikut, “Aku ingin hadiah, eh, minggu depan

pas tur sepak bola itu, aku ingin bersalaman dengan sang Kapten, berfoto

bersamanya. Aku ingin hadiah itu.”(Liye, 2011:98) karena sejak kecil Dam sudah

dididik dalam hal kesederhanaan. Seperti yang digambarkan dalam kutipan

berikut, ”Dam sejak kecil tidak pernah mendapatkan kesenangan, berlebihan,

bukan? Bahkan keluarga kita tidak pernah mendapatkan kesenangan berlebihan.”

(Liye, 2011:87)

4.5 Sederhana dalam Kegigihan Berusaha

Hidup sederhana adalah hidupnya orang yang gigih berusaha.Ia dapat

meletakkan usahanya pada tempat sebagaimana mestinya. Dalam novel Ayahku

(Bukan) Pembohongsosok Ayah juga menggambarkan pribadi yang gigih

(46)

Mulai dari kegigihannya melakukan pertualangan di masa mudanya, saat

melakukan perjalanan yang jauh ia tidak merasa lelah. Terlihat dalam kutipan

berikut:

”Setelah lewat tiga tahun membawa ransel berat di punggung, Ayah tiba di penghujung perjalanan. Sudah puluhan ribu mil dilewati, tidak terhitung sepatu dan sandal yang rusak, setidaknya tiga kali Ayah kehabisan bekal dan harus menetap dua-tiga bulan, bekerja serabutan, mengumpulkan uang untuk melanjutkan perjalanan.” (Liye, 2011:150)

Ayah begitu bersemangat dan tidak mengenal lelah walau ia hanya

berjalan kaki berpuluh ribu mil. Penggambaran kegigihan Ayah juga terlihat

dalam kutipan berikut: ”Sang Guru menatap Ayah lamat-lamat, berpikir sejenak.

Seberapa tangguh Ayah berusaha mencari tahu? Ayah berkata mantap, apa pun

akan Ayah lakukan.” (Liye, 2011:289) Kutipan tersebut membuktikan bahwa

sosok Ayah tidak pantang menyerah dan selalu berusaha untuk mewujudkan

keinginannya, dalam hal ini Ayah begitu gigih untuk mencari tahu hakikat

kebahagiaan sejati dan berkata bahwa ia akan melakukan apapun untuk mencari

tahu.

Dalam mencari tahu hakikat kebahagiaan sejati Ayah bekerja begitu keras,

karena sang Guru menyuruhnya untuk membuat sebuah danau di tanah yang luas.

Kegigihan Ayah digambarkan dalam kutipan berikut:

(47)

Setahun berlalu, danau itu jadi. Ayah tersenyum senang. Tidak lama lagi jawaban pertanyaan itu akan datang. Lihatlah, danau yang Ayah buat sebening air mata.”(Liye, 2011:289-290)

Malam sebelum sang Guru datang hujan pun turun dan danau yang Ayah

gali menjadi kotor dan keruh sehingga Ayah harus bekerja lagi dengan membuat

saringan di setiap parit agar air keruh dan kotor dari mata air ketika hujan turun

tetap bening saat tiba di danau. Ayah mengerjakannya dengan senang hati. Ayah

juga memperbaiki seluruh parit yang bermuara ke danau, memastikan tidak ada

sumbernya yang bermasalah. Setahun berlalu lagi namun ketika sang Guru

menusuk-nusuk dasar danau dengan sepotong bambu, lantai danau yang terbuat

dari tanah langsung mengeluarkan kepul lumpur kotor kecokelatan. Semua usaha

Ayah terlihat sia-sia namun pada akhirnya Ayah berhasil membuat danau

sempurna sebening air mata. Semua pencapaian usaha dan kegigihan Ayah

tergambar dalam kutipan berikut:

(48)

Semua usaha dan kegigihan Ayah mendapatkan hasil yang baik, karena

ketika gagal satu kali Ayah tidak menyerah dan patah semangat, dan ketika gagal

kedua kalinya Ayah tetap tidak putus asa dan berusaha memperbaiki semua

kegagalannya. Begitu pula dengan Dam, ia juga merupakan seorang anak yang

gigih dalam berusaha, baik dalam pendidikannya maupun dalam memenuhi

keinginannya. Seperti dalam kutipan, ”Aku berlatih dua kali lebih semangat

dibanding anggota klub lain---datang lebih awal; pulang paling akhir.” (Liye,

2011:51). Juga untuk mengejar peringkat, Dam begitu gigih berusaha, seperti

dalam kutipan, ”Untuk masuk sepuluh besar pun aku harus belajar habis-habisan.”

(Liye, 2011:67). Hal ini menandakan meskipun Dam bukan orang yang pintar

tetapi ia berusaha gigih untuk meraih peringkat sepuluh besar.

Penggambaran kegigihan Dam lainnya adalah saat ia begitu gigih bekerja

di perkampungan penduduk, dengan mengumpulkan gaji serta bonus yang ia

terima selama bekerja untuk biaya pengobatan ibunya. Dalam kutipan berikut:

”Aku bisa membantu mengurus ternak sapi, mulai dari memberi makan,

memandikan, memeras, hingga menjual hasil perasan susu ke pedagang dari

kota.” (Liye, 2011:205) Gaji yang ia kumpulkan akan ia gunakan untuk perawatan

Ibu dibuktikan dalam kutipan berikut,

(49)

Semua hasil usaha dan kegigihan Dam bukan hanya untuk dinikmatinya

sendiri, itu membuktikan bahwa Dam berusaha bukan untuk mewujudkan

obsesinya saja, tetapi ia gigih bekerja dan membantu orang lain untuk Ibunya.

4.6 Sederhana Mencari Nama

Salah satu perangai kegila-gilaan di zaman ini, ialah mencari nama dan

kemasyuran. Misalnya seseorang mengeluarkan uang untuk sumbangan maka

disorakkan sampai membumbung ke langit bahwa ia telah menyumbang, atau

pemimpin yang mengumandangkan kepada rakyat bahwa dialah pemimpin sejati,

juga menonjolkan dirinya karena tittle dan lulusannya, namun berbeda dengan

sosok Ayah, ia merupakan pribadi yang sederhana dalam mencari nama karena

meskipun ia adalah lulusan sekolah hukum ternama di Eropa ia tidak

mengumandangkannya ke semua orang untuk memasyhurkan namanya. Bahkan

Ayah berteman dan mengenal begitu dekat dengan sosok sang Kapten yang

merupakan bintang dunia, namun ia menyembunyikan hal itu dan tidak

membeberkannya kepada orang lain kecuali kepada anaknya, Dam. Dapat dilihat

dalam kutipan berikut:

(50)

”Sekarang, apa aku tidak salah dengar? Ayah bilang dia mengenal langsung sang Kapten? Ini jelas beribu kali lebih keren dibanding bola Jarjit.” (Liye, 2011:15)

Karena kesederhanaannya, Ayah tidak sibuk membesarkan namanya

setelah semua yang ia lakukan kepada sang Kapten. Ayah tidak menganggap

bahwa apa yang ia lakukan sudah besar, sehingga ayah menyembunyikan diri dari

sang Kapten padahal sang Kapten merasa bahwa Ayah adalah orang yang sangat

berjasa dan berarti bagi sang Kapten. Berikut kutipannya:

”Senang akhirnya bisa bertemu dengan keluarga kau, Dam.Satu-satunya penyesalanku adalah aku tidak pernah tahu di mana ayah kau tinggal. Dia raib begitu saja setelah lulus sekolah masternya. Aku bertahun-tahun menyuruh agen ku mencari tahu. Saat tur ke kota kau tiga puluh tahun silam, aku berharap ayah kau menyapa, ternyata tidak. Aku bertanya ke panitia pertandingan, tidak ada yang tahu.Untunglah keponakanku yang pemalas ini ikut mencari.Dia berhasil mendapatkan nomor telepon ayah kau beberapa bulan lalu, dan pernah menghubungi ayah kau.Kami merencanakan datang saat libur musim kompetisi.Lihat, aku datang amat terlambat. Ayah kau sudah pergi.” (Liye, 2011:298)

Kutipan tersebut di atas membuktikan bahwa ayah adalah pribadi yang

begitu sederhana dalam mencari nama. Ia tidak memamerkan kepada khalayak

umum jika ia pernah membantu sang Kapten yang sudah berhasil dan menjadi

bintang dunia. Dapat dibuktikan dalam kutipan berikut ini:

(51)

Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kesederhanaan bukan

berarti melambangkan orang yang serba kekurangan. Sikap sederhana tidak akan

membuat darajat seseorang menjadi rendah, tetapi ia akan dihormati dan dihargai.

Dengan kepribadian Ayah yang begitu sederhana keluarga mereka menjadi

keluarga yang terhormat.Berikut kutipannya: ”Sampaikan salamku padanya,

Dam. Aku senang sekali saat tahu putra ayah kau yang datang makan malam

(52)

BAB V

KESEDERHANAAN AYAH DAN DAM DITINJAU DARI SUDUT PADANG PSIKOLOGI SASTRA

Setelah penggambaran kesederhanaan Ayah dan Dam yang telah

diuraikan di atas, selanjutnya kesederhanaan Ayah dan Dam akan ditinjau dari

sudut padang psikologi sastra dengan melihat gejala id, ego, dan superego

menggunakan teori kepribadian Sigmun Freud. Telah dijelaskan sebelumnya

bahwa Sigmund Freud merupakan tokoh pencetus ide psikologi sastra, ia

membagi kepribadian atas tiga unsur atau sistem, yakni id, ego, dan superego.

Sudah diuraikan pula bahwa Dorland (dalam Sumarna, 2015:8) mendefinisikan,

”Kepribadian merupakan pola khas seseorang dalam berpikir, merasakan, dan

berperilaku yang terlatif stabil dan dapat diperkirakan.”Kesederhanaan

merupakan sebuah pola perilaku atau sifat. Berikut ini adalah kesederhanaan

tokoh Ayah dan Dam dengan melihat gejala id, ego, dan superego.

5.1 Kesederhanaan Tokoh Ayah

Gejala id tokoh Ayah adalah ketika ia memilih hidup dalam

kesederhanaan meskipun ia adalah seorang lulusan master hukum ternama dari

luar negeri, karena id disebut prinsip kesenangan, dan kederhanaan dalam

memeroleh kepuasannya tersebut terlihat dalam (Liye, 2011:274) yang telah

dikutip sebelumnya. Menjadi sederhana adalah pilihan Ayah sendiri, karena

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu menganalisis aspek motivasi yang ada dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong karya Tere Liye dengan tinjauan psikologi sastra.. Kemudian Implementasi

Trianggulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah trianggulasi sumber, yaitu peneliti melakukan penelitian terhadap novel Ayahku Bukan Pembohong karya Tere

Tujuan penelitian ini adalah untuk memaparkan (1) struktur yang membangun novel Ayahku Bukan Pembohong karya Tere Liye (2) nilai pendidikan karakter dalam

Sujanto dkk (1980:3) mengatakan sejak dahulu memang sudah disepakati bahwa pribadi tiap orang itu tumbuh atas dua kekuatan, yaitu kekuatan dari dalam dan kekuatan dari

mengucapkan rasa sedihnya karena tidak sempat bertemu dengan

Data dalam penelitian ini adalah unsur intrinsik yang mendukung terbentuknya profil ayah dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong karya Tere Liye: ditinjau dari segi

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan struktur pembangun novel Ayahku (Bukan) Pembohong karya Tere Liye, mendeskripsikan aspek motivasi yang

Secara khusus, analisis ini bertujuan (1) untuk mengungkapkan hubungan unsur alur, penokohan, dan latar yang membangun novel Ayahku (Bukan) Pembohong karya