LAMPIRAN
Tabel 1 Data Rugi-Rugi, Profil Tegangan, dan Tingkat Kecocokan DG untuk Tiap Besar DG yang Berbeda yang Diinterkoneksi di Bus 4
No Kapasitas DG
Gambar 2 Tegangan Minimum untuk Tiap Kapasitas DG Dikoneksikan di Bus 4
Tabel 2 Data Rugi-Rugi, Profil Tegangan, dan Tingkat Kecocokan DG untuk Tiap Besar DG yang Berbeda yang Diinterkoneksi di Bus 5
Gambar 3 Total Rugi-Rugi Daya untuk Tiap Kapasitas DG Dikoneksikan di Bus 5
Tabel 3 Data Rugi-Rugi, Profil Tegangan, dan Tingkat Kecocokan DG untuk Tiap Besar DG yang Berbeda yang Diinterkoneksi di Bus 6
No Kapasitas
Gambar 6 Total Rugi-Rugi Daya untuk Tiap Kapasitas DG Dikoneksikan di Bus 6
Tabel 4 Data Rugi-Rugi, Profil Tegangan, dan Tingkat Kecocokan DG untuk Tiap Besar DG yang Berbeda yang Diinterkoneksi di Bus 7
Gambar 7 Total Rugi-Rugi Daya untuk Tiap Kapasitas DG Dikoneksikan di Bus 7
Tabel 5 Data Rugi-Rugi, Profil Tegangan, dan Tingkat Kecocokan DG untuk Tiap Besar DG yang Berbeda yang Diinterkoneksi di Bus 8
No Kapasitas DG
Gambar 10 Profil Tegangan untuk Tiap Kapasitas DG Dikoneksikan di Bus 8
Tabel 6 Data Rugi-Rugi, Profil Tegangan, dan Tingkat Kecocokan DG untuk Tiap Besar DG yang Berbeda yang Diinterkoneksi di Bus 9
Gambar 11 Total Rugi-Rugi Daya untuk Tiap Kapasitas DG Dikoneksikan di Bus 9
Tabel 7 Data Rugi-Rugi, Profil Tegangan, dan Tingkat Kecocokan DG untuk Tiap Besar DG yang Berbeda yang Diinterkoneksi di Bus 10
No Kapasitas
Gambar 14 Profil Tegangan untuk Tiap Kapasitas DG Dikoneksikan di Bus 10
Tabel 8 Data Rugi-Rugi, Profil Tegangan, dan Tingkat Kecocokan DG untuk Tiap Besar DG yang Berbeda yang Diinterkoneksi di Bus 11
Gambar 15 Total Rugi-Rugi Daya untuk Tiap Kapasitas DG Dikoneksikan di Bus 11
Tabel 9 Data Rugi-Rugi, Profil Tegangan, dan Tingkat Kecocokan DG untuk Tiap Besar DG yang Berbeda yang Diinterkoneksi di Bus 12
No Kapasitas
Gambar 18 Profil Tegangan untuk Tiap Kapasitas DG Dikoneksikan di Bus 12
Tabel 10 Data Rugi-Rugi, Profil Tegangan, dan Tingkat Kecocokan DG untuk Tiap Besar DG yang Berbeda yang Diinterkoneksi di Bus 13
Gambar 19 Total Rugi-Rugi Daya untuk Tiap Kapasitas DG Dikoneksikan di Bus 13
Tabel 11 Data Rugi-Rugi, Profil Tegangan, dan Tingkat Kecocokan DG untuk Tiap Besar DG yang Berbeda yang Diinterkoneksi di Bus 14
No Kapasitas
Gambar 22 Tegangan Minimum untuk Tiap Kapasitas DG Dikoneksikan di Bus 14
Tabel 12 Data Rugi-Rugi, Profil Tegangan, dan Tingkat Kecocokan DG untuk Tiap Besar DG yang Berbeda yang Diinterkoneksi di Bus 15
Gambar 23 Total Rugi-Rugi Daya untuk Tiap Kapasitas DG Dikoneksikan di Bus 15
Tabel 13 Data Rugi-Rugi, Profil Tegangan, dan Tingkat Kecocokan DG untuk Tiap Besar DG yang Berbeda yang Diinterkoneksi di Bus 16
No Kapasitas
Gambar 26 Total Rugi-Rugi Daya untuk Tiap Kapasitas DG Dikoneksikan di Bus 16
Tabel 14 Data Rugi-Rugi, Profil Tegangan, dan Tingkat Kecocokan DG untuk Tiap Besar DG yang Berbeda yang Diinterkoneksi di Bus 17
Gambar 27 Total Rugi-Rugi Daya untuk Tiap Kapasitas DG Dikoneksikan di Bus 17
Tabel 15 Data Rugi-Rugi, Profil Tegangan, dan Tingkat Kecocokan DG untuk Tiap Besar DG yang Berbeda yang Diinterkoneksi di Bus 18
No Kapasitas
Gambar 30 Profil Tegangan untuk Tiap Kapasitas DG Dikoneksikan di Bus 18
Tabel 16 Data Rugi-Rugi, Profil Tegangan, dan Tingkat Kecocokan DG untuk Tiap Besar DG yang Berbeda yang Diinterkoneksi di Bus 19
Gambar 31 Total Rugi-Rugi Daya untuk Tiap Kapasitas DG Dikoneksikan di Bus 19
Tabel 17 Data Rugi-Rugi, Profil Tegangan, dan Tingkat Kecocokan DG untuk Tiap Besar DG yang Berbeda yang Diinterkoneksi di Bus 20
No Kapasitas
Gambar 34 Profil Tegangan untuk Tiap Kapasitas DG Dikoneksikan di Bus 20
Tabel 18 Data Rugi-Rugi, Profil Tegangan, dan Tingkat Kecocokan DG untuk Tiap Besar DG yang Berbeda yang Diinterkoneksi di Bus 21
Gambar 35 Total Rugi-Rugi Daya untuk Tiap Kapasitas DG Dikoneksikan di Bus 21
Gambar 36 Tegangan Minimum untuk Tiap Kapasitas DG Dikoneksikan di Bus 21
Tabel 19 Data Rugi-Rugi, Profil Tegangan, dan Tingkat Kecocokan DG untuk Tiap Besar DG yang Berbeda yang Diinterkoneksi di Bus 22
No Kapasitas
Gambar 38 Profil Tegangan untuk Tiap Kapasitas DG Dikoneksikan di Bus 22
Tabel 20 Data Rugi-Rugi, Profil Tegangan, dan Tingkat Kecocokan DG untuk Tiap Besar DG yang Berbeda yang Diinterkoneksi di Bus 23
Gambar 39 Total Rugi-Rugi Daya untuk Tiap Kapasitas DG Dikoneksikan di Bus 23
Tabel 21 Data Rugi-Rugi, Profil Tegangan, dan Tingkat Kecocokan DG untuk Tiap Besar DG yang Berbeda yang Diinterkoneksi di Bus 24
No Kapasitas
Gambar 42 Profil Tegangan untuk Tiap Kapasitas DG Dikoneksikan di Bus 24
Tabel 22 Data Rugi-Rugi, Profil Tegangan, dan Tingkat Kecocokan DG untuk Tiap Besar DG yang Berbeda yang Diinterkoneksi di Bus 25
No Kapasitas
Kapasitas DG (MW)
Gambar 43 Total Rugi-Rugi Daya untuk Tiap Kapasitas DG Dikoneksikan di Bus 25
Tabel 23 Data Rugi-Rugi, Profil Tegangan, dan Tingkat Kecocokan DG untuk Tiap Besar DG yang Berbeda yang Diinterkoneksi di Bus 26
No Kapasitas
Gambar 46 Profil Tegangan untuk Tiap Kapasitas DG Dikoneksikan di Bus 3
Tabel 24 Data Rugi-Rugi, Profil Tegangan, dan Tingkat Kecocokan DG untuk Tiap Besar DG yang Berbeda yang Diinterkoneksi di Bus 27
Gambar 47 Total Rugi-Rugi Daya untuk Tiap Kapasitas DG Dikoneksikan di Bus 27
Tabel 25 Data Rugi-Rugi, Profil Tegangan, dan Tingkat Kecocokan DG untuk Tiap Besar DG yang Berbeda yang Diinterkoneksi di Bus 28
No Kapasitas
Gambar 50 Tegangan Minimum untuk Tiap Kapasitas DG Dikoneksikan di Bus 28
Tabel 26 Data Rugi-Rugi, Profil Tegangan, dan Tingkat Kecocokan DG untuk Tiap Besar DG yang Berbeda yang Diinterkoneksi di Bus 29
Gambar 51 Total Rugi-Rugi Daya untuk Tiap Kapasitas DG Dikoneksikan di Bus 29
Tabel 27 Data Rugi-Rugi, Profil Tegangan, dan Tingkat Kecocokan DG untuk Tiap Besar DG yang Berbeda yang Diinterkoneksi di Bus 30
No Kapasitas
Gambar 54 Tegangan Minimum untuk Tiap Kapasitas DG Dikoneksikan di Bus 30
Tabel 28 Data Rugi-Rugi, Profil Tegangan, dan Tingkat Kecocokan DG untuk Tiap Besar DG yang Berbeda yang Diinterkoneksi di Bus 31
Gambar 55 Total Rugi-Rugi Daya untuk Tiap Kapasitas DG Dikoneksikan di Bus 31
Tabel 29 Data Rugi-Rugi, Profil Tegangan, dan Tingkat Kecocokan DG untuk Tiap Besar DG yang Berbeda yang Diinterkoneksi di Bus 32
No Kapasitas
Gambar 58 Tegangan Minimum untuk Tiap Kapasitas DG Dikoneksikan di Bus 32
Tabel 30 Data Rugi-Rugi, Profil Tegangan, dan Tingkat Kecocokan DG untuk Tiap Besar DG yang Berbeda yang Diinterkoneksi di Bus 33
Gambar 59 Total Rugi-Rugi Daya untuk Tiap Kapasitas DG Dikoneksikan di Bus 33
Tabel 31 Data Rugi-Rugi, Profil Tegangan, dan Tingkat Kecocokan DG untuk Tiap Besar DG yang Berbeda yang Diinterkoneksi di Bus 34
No Kapasitas
Gambar 62 Tegangan Minimum untuk Tiap Kapasitas DG Dikoneksikan di Bus 34
Tabel 32 Data Rugi-Rugi, Profil Tegangan, dan Tingkat Kecocokan DG untuk Tiap Besar DG yang Berbeda yang Diinterkoneksi di Bus 35
Gambar 63 Total Rugi-Rugi Daya untuk Tiap Kapasitas DG Dikoneksikan di Bus 35
Tabel 33 Data Rugi-Rugi, Profil Tegangan, dan Tingkat Kecocokan DG untuk Tiap Besar DG yang Berbeda yang Diinterkoneksi di Bus 36
No Kapasitas
Gambar 66 Tegangan Minimum untuk Tiap Kapasitas DG Dikoneksikan di Bus 36
Tabel 34 Data Rugi-Rugi, Profil Tegangan, dan Tingkat Kecocokan DG untuk Tiap Besar DG yang Berbeda yang Diinterkoneksi di Bus 37
Gambar 67 Total Rugi-Rugi Daya untuk Tiap Kapasitas DG Dikoneksikan di Bus 37
Tabel 35 Data Rugi-Rugi, Profil Tegangan, dan Tingkat Kecocokan DG untuk Tiap Besar DG yang Berbeda yang Diinterkoneksi di Bus 38
No Kapasitas
Gambar 70 Tegangan Minimum untuk Tiap Kapasitas DG Dikoneksikan di Bus 38
Tabel 36 Data Rugi-Rugi, Profil Tegangan, dan Tingkat Kecocokan DG untuk Tiap Besar DG yang Berbeda yang Diinterkoneksi di Bus 39
Gambar 71 Total Rugi-Rugi Daya untuk Tiap Kapasitas DG Dikoneksikan di Bus 39
Lampiran 2
Program Load Flow
% Program for Bus Power Injections, Line & Power flows (p.u)...
Y; % Calling Ybus program..
% Bus Current Injections..
I = Y*Vm;
end
Lpij = real(Lij); Lqij = imag(Lij);
for m = 1:nl
% Program for Newton-Raphson Load Flow Analysis..
clear;
Qmax = busd(:,10)/BMva; % Maximum Reactive Power Limit..
while (Tol > 1e-5) % Iteration starting..
% Calculate change from specified value
J1(i,k) = V(m)* V(n)*(G(m,n)*sin(del(m)-del(n)) -
% J3 - Derivative of Reactive Power Injections with Angles..
J4(i,k) = V(m)*(G(m,n)*sin(del(m)-del(n)) -
Konversi Polar to rectangular
% Polar to Rectangular Conversion % [RECT] = RECT2POL(RHO, THETA)
% RECT - Complex matrix or number, RECT = A + jB, A = Real, B = Imaginary
% RHO - Magnitude
% THETA - Angle in radians
function rect = pol2rect(rho,theta)
rect = rho.*cos(theta) + 1i*rho.*sin(theta);
Newthon Raphson 2
% Program for Newton-Raphson Load Flow Analysis..
Pg = busd(:,5)/BMva; % PGi..
Qg = busd(:,6)/BMva; % QGi..
Pl = busd(:,7)/BMva; % PLi..
Ql = busd(:,8)/BMva; % QLi..
Qmin = busd(:,9)/BMva; % Minimum Reactive Power Limit..
Qmax = busd(:,10)/BMva; % Maximum Reactive Power Limit..
P = Pg - Pl; % Pi = PGi - PLi..
% Calculate change from specified value
end
% J3 - Derivative of Reactive Power Injections with Angles..
J3(i,k) = V(m)* V(n)*(-G(m,n)*cos(del(m)-del(n)) -
% Program to for Admittance And Impedance Bus Formation....
function Y = ybusppg(num) % Returns Y
linedata = linedatas(num); % Calling Linedatas...
tb = linedata(:,2); % To bus number...
% Formation of the Off Diagonal Elements... for k = 1:nl
Y(fb(k),tb(k)) = Y(fb(k),tb(k)) - y(k); Y(tb(k),fb(k)) = Y(fb(k),tb(k));
end
% Formation of Diagonal Elements.... for m = 1:nb
while v<=1.045; no = no + 1;
kapDG = kapDG + 0.05 ;
busdt(busubah,5) = kapDG + w; nrlfppg2;
v= max(V); x= min(V);
Plossnew= [no kapDG v sum(Lpij) x]; Ploss =[Ploss;Plossnew];
end
63
Daftar Pustaka
[1] Chowdhury S,Chowdhury SP, Crossley P. 2009.Microgrids and Active
Distribution Networks. 1st ed. London. IET Renewable Energy Series.
[2] Willis H.L, 2000. Analytical methods and rules of thumb for modeling DG
distribution interaction. IEEE Proc. PES summer meeting. Vol.3,
pp.1643-1644.
[3] Wand C, and Nehrir MH. 2004. Analytical approach for optimal placement of
distributed generation sources in power systems. IEEE Trans. PWRS,
19(4), pp. 2068 – 2076.
[4] Marsudi, D. (2006). Operasi Sistem Tenaga Listrik (2nd ed.). Yogyakarta:
Graha Ilmu.
[5] Suswanto, D. (2009). Sistem Distribusi Tenaga Listrik Untuk Mahasiswa
Teknik ELektro (1 ed.). Padang: Universitas Negeri Padang.
[6] Stevenson, J. W. (1984). Power System Analysis. New York: McGraw-Hill,
Inc.
[7] Ackerman, T. (2000). Distribution Generation : a definition. 1 - 3.
[8] Purchala K, B. (2003). Distributed Generation and The Grid Integration. 4.
[9] Viawan, F. (2008). Voltage Control and Voltage Stability of Power
Distribution System in The Presence of Distribution Generation. sweden:
Chalmers University of Technologies.
[10] Viawan, F. A. (2006). Steady State Operation and Control of Power
Distribution Systems in the Presence of Distributed Generation. Goteborg:
Thesis for The Degree of Licentiate Engineering, Chalmers University of
64
[11] Sutojo D, M. E. (2011). Kecerdasan Buatan. Yogyakarta: ANDI.
35
BAB 3
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilakukan melalui simulasi pada jaringan distribusi 20 kV
dari Gardu Induk Pematang Siantar yang terhubung dengan PLTM AEK SILAU 2
dan PLTmH Tonduhan. Penelitian ini dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan.
Bahan dan Peralatan
Bahan yang digunakan untuk melakukan penelitian ini adalah data
pembangkit dan penyaluran jaringan distribusi 20 kV yang terinterkoneksi dengan
DG. Peralatan yang akan digunakan untuk simulasi optimasi besar dan
penempatan DG ini adalah software MATLAB.
Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dimulai dengan pengambilan data yang dibutuhkan terlebih
dahulu. Kemudian data yang diperoleh, diolah dan disimulasikan.
Variabel yang Diamati
Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah :
- Beban pada jaringan
- Besar impedansi pada jaringan
- Besar kapasitas DG
- Besar tegangan pada sistem jaringan distribusi
36
Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian ini dilakukan seperti berikut ini. Tahap pelaksanaan
penelitian pertama kali adalah dengan mengambil data yang terdiri dari data bus,
impedasi jaringan dan data beban. Kemudian data yang diperoleh, dianalisis aliran
daya pada jaringan distribusi tersebut pada keadaan existing dengan perhitungan
aliran daya. Kemudian Diinterkoneksikan DG sebesar 0,05 MW ke bus 3, lalu
dijalankan program analisa daya untuk mengetahui tegangan minimum dan
rugi-rugi dari sistem. Dari hasil ini kemudian dibandingkan dengan Fuzzy Logic
Toolbox untuk mendapatkan nilai tingkat kecocokan DG. Secara bertahap, nilai
DG dinaikan sebesar 0,05 MW sampai besar tegangan tertinggi pada sistem
mencapai 1.05 pu. Kemudian hal ini diulangi untuk bus yang berbeda. Dimulai
dari bus 4, 5, 6 , . . . , n. setelah hal ini dilakukan semua dan didapatkan besar
kapasitas DG yang terbaik dari tiap bus, maka kapasitas optimal DG dari tiap bus
itu dibandingkan lagi berdasarkan profil tegangannyya dan rugi-rugi jaringan nya.
dimana semua perhitungan dan perulangan ini dilakukan di dalam program
Matlab, dimana program matlab ini dapat dilihat dari lampiran 2.
Penentuan titik optimum interkoneksi DG terhadap jaringan distribusi ini,
37
Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian Mulai
Memasukan data. (data generator,beban dan
impedansi jaringan)
Menjalankan program load flow
Tampilkan Data (Data Total Beban,total
losses dan besar profil tegangan)
Jalankan program load flow
Mendapatkan data baru (Data total beban,total losses
dan besar profil tegangan)
4
2
Apakah sudah mencapai bus
terahkir?
Tentukan bus dimana DG akan ditempatkan
Masukan besar DG= 0.05 MW
1
ya
38
Naikan besar DG bertahap Apakah besar profil tegangan melewati standar
tegangan?
Tidak
Pilih hasil profil tegangan dan rugi-rugi yang paling baik
ya 1
3
2
Lanjutan Gambar 3.1
3.5.1 Prosedur kerja
1. Memasukan Data
Data yang dibutuhkan diambil dari P.T. PLN (Persero) yaitu data one line
diagram dari PM6 yang telah di lumped load dimana pada data ini besar beban
terendah pada jaringan PM6 terdapat pada bus 3 dengan besar 275 kVA dan beban
terbesar pada jaringan PM6 ialah sebesar 1423 kVA. Gambar 3.2 adalah one line
diagram dari jaringan PM6 Pematang Siantar dan dilanjutkan dengan data bus dan
data saluran dari PM6.
Tentukan data yang paling baik berdasarkan
rugi-rugi dan profil tegangan
39
40
Gambar diatas dilengkapi dengan data – data seperti data tipe bus, beban
atau generator pada bus, serta panjang penyulang serta impedansi saluran. Tabel
3.1 dan Tabel 3.2 akan menunjukan data – data tersebut.
Tabel 3.2 Data Bus
Bus Kode
Bus V Theta
Generator Load Injected
41
no Kode
Bus V Theta
Generator Load Injected
MW MVAR MW MVAR Qmax MVAR
35 3 1 0 0.159 0.098
36 3 1 0
37 3 1 0 0.289 0.179
38 3 1 0 0.253 0.157
39 3 1 0 0.222 0.137
Pada tabel di atas, terdapat 10 kolom yang terdiri dari bus, kode bus, V,
theta, MW(Generator), MVAR (Generator), MW(Load), MVAR (Load), Qmax
(Injected), MVAR (Injected). Kolom bus menyatakan nomor bus sesuai dengan
Gambar 3.2. Kolom Kode menyatakan kode bus seperti yang telah dijelaskan pada
Tabel 2.1. V dan theta secara berturut – turut menjelaskan mengenai besar
tegangan dan sudut tegangan pada tiap – tiap bus. Kolom MW dan MVAR pada
Generator menunjukan besar kapasitas daya aktif dan reaktif yang dihasilkan oleh
sebuah pembangkit. Kolom MW dan MVAR pada Load, menunjukan besar
kapasitas MW dan MVAR dari beban terpasang pada masing – masing bus.
Sedangkan Qmax dan MVAR pada kolom Injected biasanya diisi untuk
menunjukan penggunaan kapasitor bank pada jaringan.
Namun, untuk kebutuhan proses perhitungan, pada kolom tegangan dan
sudut fasa harus diisi secara lengkap. Maka pada kolom tegangan, pada awal
perhitungan dianggap semuanya bernilai satu (pu), dan sudut tegangan dianggap
semuanya bernilai nol. Dengan begitu tabel data bus siap untuk diproses dalam
program. Selain itu,dalam menjalankan program load flow diiperlukan juga data
42
Tabel 3.3 Data Saluran
43
Tabel 3.2 di atas terdiri dari lima buah kolom yang berisikan From Bus, To
Bus, R, X, B/2, dan Tap. Kolom From Bus dan To Bus menunjukan saluran dari
sebuah bus “From Bus” ke bus “To bus”. Kolom R dan X menunjukan nilai
resistansi dan reaktansi dari saluran tersebut. Kolom Tap adalah kolom taping dari
transformer, namun untuk sebuah saluran yang tidak mengalami taping
transformer di salah satu ujung busnya, pada kolom tersebut diisikan angka satu.
2. Menjalankan program nrlfppg untuk melakukan perhitungan aliran
daya pada keadaan existing
Perhitungan dilakukan untuk mengetahui aliran daya pada sistem pada saat
sistem masih dalam keadaan existing.
3. Menentukan besar DG yang akan di interkoneksi
Besar Kapasitas DG yang akan di interkoneksi pada tiap bus, dimulai dari
besar 0,1 MW.
4. Menentukan kandidat bus tempat interkoneksi DG tiap masing –
masing wilayah
Kandidat bus dimulai dari bus 3. Tidak dimulai dari bus satu dan dua,
karena bus 1 merupakan slack bus dan bus 2 bukan bagian dari PM6.
5. Menaikan besar DG, sebesar 0,05 MW
Besar DG dinaikan secara bertahap sambil menjalankan program aliran
daya, sampai besar DG mencapai besar tegangan maksimum pada tiap bus sebesar
1.05 pu.
44
6. Menseleksi tempat interkoneksi yang terbaik
Menentukan nilai interkoneksi yang terbaik dengan melihat nilai rugi –
rugi yang terkecil untuk tiap tiap besar DG yang berbeda dengan Fuzzy Logic
Toolbox.
Dimana pada Fuzzy Logic Toolbox ini terdapat 2 masukan dan satu
keluaran. Dimana masukannya adalah rugi-rugi dan tegangan lalu keluarannya
adalah nilai kesesuaian DG. Rugi-Rugi terdiri dari L LM M HM H dan Tegangan
terdiri dari L LN N HN H lalu nilai kesesuaian DG terdiri dari L LM M HM H.
Prosesnya Fuzzy Logic nya dilakukan dengan perhitungan Mamdani. Dimana
pada prosesnya terdapat 25 aturan, yaitu :
a. Jika tegangan adalah L dan rugi-rugi adalah H maka Kesesuaian DG
adalah L
b. Jika tegangan adalah L dan rugi-rugi adalah HM maka Kesesuaian DG
adalah L
c. Jika tegangan adalah L dan rugi-rugi adalah M maka Kesesuaian DG
adalah LM
d. Jika tegangan adalah L dan rugi-rugi adalah LM maka Kesesuaian DG
adalah LM
e. Jika tegangan adalah L dan rugi-rugi adalah L maka Kesesuaian DG
adalah LM
f. Jika tegangan adalah LN dan rugi-rugi adalah H maka Kesesuaian DG
adalah L
g. Jika tegangan adalah LN dan rugi-rugi adalah HM maka Kesesuaian
45
h. Jika tegangan adalah LN dan rugi-rugi adalah M maka Kesesuaian DG
adalah LM
i. Jika tegangan adalah LN dan rugi-rugi adalah LM maka Kesesuaian
DG adalah M
j. Jika tegangan adalah LN dan rugi-rugi adalah L maka Kesesuaian DG
adalah M
k. Jika tegangan adalah N dan rugi-rugi adalah H maka Kesesuaian DG
adalah LM
l. Jika tegangan adalah N dan rugi-rugi adalah HM maka Kesesuaian DG
adalah LM
m. Jika tegangan adalah N dan rugi-rugi adalah M maka Kesesuaian DG
adalah M
n. Jika tegangan adalah N dan rugi-rugi adalah LM maka Kesesuaian DG
adalah M
o. Jika tegangan adalah N dan rugi-rugi adalah L maka Kesesuaian DG
adalah HM
p. Jika tegangan adalah HN dan rugi-rugi adalah H maka Kesesuaian DG
adalah LM
q. Jika tegangan adalah HN dan rugi-rugi adalah HM maka Kesesuaian
DG adalah M
r. Jika tegangan adalah HN dan rugi-rugi adalah M maka Kesesuaian DG
adalah M
s. Jika tegangan adalah HN dan rugi-rugi adalah LM maka Kesesuaian
46
t. Jika tegangan adalah HN dan rugi-rugi adalah M maka Kesesuaian
DG adalah HM
u. Jika tegangan adalah H dan rugi-rugi adalah H maka Kesesuaian DG
adalah M
v. Jika tegangan adalah H dan rugi-rugi adalah HM maka Kesesuaian
DG adalah M
w. Jika tegangan adalah H dan rugi-rugi adalah M maka Kesesuaian DG
adalah HM
x. Jika tegangan adalah H dan rugi-rugi adalah LM maka Kesesuaian DG
adalah HM
y. Jika tegangan adalah H dan rugi-rugi adalah L maka Kesesuaian DG
adalah H
7. Menghubungkan DG dengan semua Bus mulai dari bus 3 ,4, 5, . . . n ,
secara bergantian
Satu per satu titik interkoneksi yang telah dipilih, diinterkoneksikan dan
disimulasikan untuk memperoleh data aliran daya tiap-tiap koneksi.
8. Menghitung total nilai rugi–rugi pada masing–masing wilayah apabila
terhubung dengan DG
Apabila seluruh tegangan sudah diselidiki dihitung nilai rugi–rugi yang
terjadi pada jaringan tersebut.
9. Menseleksi tempat interkoneksi yang terbaik
Dalam menentukan titik interkoneksi yang terbaik, nilai dari profil
tegangan dan total dari rugi-rugi sistem untuk tiap-tiap besar DG optimal untuk
47
profil tegangan paling baik dan rugi-rugi sistem yang paling kecil, merupakan titik
48
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berikut adalah hasil penelitian yang telah dilakukan untuk mencari
kapasitas dan lokasi penempatan optimum dari DG pada sistem distribusi, dimana
pada pencarian ini, terlebih dahulu dicari kapasitas optimum dari DG untuk
tiap-tiap bus, lalu setelah didapatkan kapasitas optimum dari DG untuk tiap-tiap-tiap-tiap bus,
akan dicari mana dimana peletakan terbaik berdasarkan profil tegangan dan
rugi-rugi pada sistem distribusi.
Tegangan Minimum dan Total Rugi - Rugi pada Jaringan pada Saat
DG Diinterkoneksikan ke Bus 3 untuk Tiap Besar DG yang Berbeda
Mula-mula DG dikoneksikan pada bus 3 dengan kapasitas DG dimulai dari
besar 0.05 MW dan dinaikan secara bertahap sebesar 0.05 MW hingga tegangan
maksimum mencapai 1.05 pu. Nilai rugi-rugi dan tegangan minimum dari sistem
yang diperoleh untuk tiap kapasitas DG akan menjadi input dalam perhitungan
Fuzzy untuk memperoleh output yaitu tingkat kecocokan DG.
Tabel 4.4 memperlihatkan rugi-rugi total, tegangan minimum dan
maksimum dari yang terdapat pada jaringan distribusi PM6 serta tingkat
kecocokan DG untuk tiap-tiap kapasitas DG yang berbeda saat dikoneksikan ke
49
Tabel 4.1 Data Rugi-Rugi, Profil Tegangan, dan Tingkat Kecocokan DG untuk Tiap Besar DG yang Berbeda yang Diinterkoneksi di Bus 3
50
Berdasarkan tabel di atas maka dapat diperoleh grafik Kapasitas DG vs Rugi-Rugi
dan Kapasitas DG vs Tegangan Minimum dimana masing-masing ditunjukan
pada Gambar 4.1 dan 4.2 berikut ini.
Gambar 4.1 Total Rugi-Rugi Daya untuk Tiap Kapasitas DG Dikoneksikan di Bus 3
51
Pada Gambar 4.1 yaitu grafik Kapasitas DG vs Rugi-Rugi dapat dilihat
bahwa nilai rugi-rugi tidak selalu naik untuk tiap kenaikan kapasitas DG seperti
pada saat kapasitas DG yang dikoneksikan di bus 3 sebesar 1.7 MW, nilai rugi
rugi total pada sistem menurun dikarenakan aliran daya pada sistem berubah. Hal
ini dapat dilihat pada Gambar 2.6 dan pada Persamaan 2.31.
Pada Gambar 4.2 yaitu grafik Kapasitas DG vs Tegangan Minimum dapat
dilihat bahwa untuk setiap penambahan kapasitas DG terjadi kenaikan tegangan
minimum pada sistem dikarenakan kapasitas dari sistem bertambah. Hal ini dapat
dilihat pada Persamaan 4.1.
S = �
2
(4.1)
Dimana dengan semakin meningkatnya daya semu (S) dan tegangan (V)
akan bertambah, sementara nilai dari impedansi jaringan tidak berubah.
Pada Gambar 4.1 dan 4.2 dapat disimpulkan bahwa pada saat DG yang
dikoneksikan pada bus 3 sebesar 1.7 MW, terjadi perubahan aliran daya pada
jaringan PM6 dan kapasitas daya dari sistem bertambah, sehingga rugi-rugi total
pada sistem menjadi berubah dan tegangan minimum pada sistem juga bertambah.
Berdasarkan hasil di atas, maka besar kapasitas DG yang paling baik yang
dapat dipasang pada pada bus 3 adalah sebesar 1.7 MW dengan tingkat kecocokan
DG sebesar 0.371. Dengan tingkat kecocokan ini, tegangan minimum pada sistem
terdapat pada bus 23 yaitu sebesar 0.7592 pu dan tegangan maksimum pada
sistem terdapat pada bus 33 yaitu sebesar 1.05 pu serta rugi-rugi total pada
52
Pada hasil rangkuman ini akan dirangkumkan kapasitas optimal DG pada
tiap bus, profil tegangan pada sistem dan rugi-rugi total pada sistem untuk
tiap-tiap koneksi optimal DG pada tiap-tiap bus. Pada Tabel 4.2 dan Gambar 4.3
dirangkumkan berapa kapasitas optimal DG pada masing-masing bus.
Tabel 4.2 Kapasitas Optimal DG pada Masing-Masing Bus
53
Melalui Tabel 4.2 di atas, dapat dilihat bahwa kapasitas optimum DG yang
terkoneksi pada tiap-tiap bus berbeda-beda besarnya, dimana hal ini disebabkan
oleh karena parameter beban pada tiap-tiap bus dan parameter jaringan antar bus
tidak sama besarnya, selain itu pada keadaan existing pada jaringan PM6 ini telah
ada DG yang dioperasikan oleh karena itu kapasitas optimal dari DG yang
dikoneksikan berbeda-beda.
Dari Tabel 4.2 di atas divisualisasikan di dalam Gambar 4.3 di bawah ini
agar dapat lebih mudah melihat berapa kapasitas optimal dari tiap-tiap
54
55
Setelah kita mengetahui kapasitas optimal DG di tiap bus, maka pada
Tabel 4.3 dapat kita lihat bagaimana kondisi tegangan dan rugi rugi total jaringan
untuk tiap-tiap koneksi optimal DG.
Tabel 4.3 Kondisi Tegangan pada Tiap Koneksi Optimal DG Koneksi DG di
Bus
Profil Tegangan (%)
56
Lanjutan Tabel 4.3 Koneksi DG di
Bus
Profil Tegangan (%)
1 - 1.05 (pu) 0.9 - 1 (pu) 0.8 - 0.9 (pu) 0.7 - 0.8 (pu)
Pada Tabel 4.3, dapat dilihat bahwa untuk tiap kapasitas optimal DG pada
masing-masing bus, profil tegangan pada tiap bus mengalami kenaikan tegangan
yang hampir sama. Oleh karena itu, dalam menentukan titik interkoneksi yang
terbaik kita tidak bisa hanya mengandalkan profil tegangan pada sistem saja, kita
juga perlu membandingkan profil total rugi-rugi pada sistem untuk tiap koneksi
optimal DG pada tiap bus agar kita dapat menentukan titik interkoneksi yang
terbaik dan kapasitas optimalnya. Pada Tabel 4.4 akan dibandingkan Rugi-rugi
jaringan untuk tiap-tiap interkoneksi optimal DG pada bus yang berbeda.
Tabel 4.4 Profil Total Rugi-Rugi sebelum dan sesudah Koneksi
Optimal DG
57
Dapat dilihat dari Tabel 4.4, nilai rugi-rugi total sistem pada saat sebelum
interkoneksi dan sesudah interkoneksi. saat koneksi DG di bus 23 terdapat nilai
rugi-rugi pada sistem yang paling kecil dibandingkan dengan interkoneksi DG di
bus yang lainya yaitu sebesar 2.4932. Pada saat ini, nilai dari rugi-rugi pada
sistem bertambah sebesar 1.18% dari keadaan sebelum DG diinterkoneksikan.
Agar lebih mudah melihat bagaimana pengaruh dari kapasitas DG dan
lokasi interkoneksi DG pada profil tegangan dan rugi-rugi jaringan pada sistem,
maka melalui Gambar 4.4 dan 4.5 dapat dilihat bagaimana profil tegangan dan
rugi-rugi jaringan dari sistem untuk tiap interkoneksi optimal DG pada bus yang
berbeda.
58
59
60
Melalui Gambar 4.4 dan 4.5 di atas dapat dilihat bahwa dengan masuknya
DG pada sistem, maka sistem akan mengalami kenaikan tegangan secara
keseluruhan pada tiap bus dan terjadi perubahan rugi-rugi jaringan pada sistem.
Perubahan rugi-rugi dan profil tegangan ini diakibatkan oleh karena kehadiran DG
membuat kapasitas daya dari sistem bertambah dan aliran daya pada sistem
menjadi berubah.
Melalui data profil rugi-rugi total jaringan dan profil tegangan di atas,
didapatkan data bahwa penempatan DG yang paling Optimal adalah pada bus 23
dengan kapasitas DG sebesar 0.4 MW dengan tingkat kesesuaian DG sebesar
0.585, Dimana ketika DG diinterkoneksikan pada bus 23 rugi-rugi pada sistem
menjadi sebesar 2.4932 MW dan Pada kondisi ini sistem mengalami kenaikan
rugi-rugi 1.18%, yang semula sebesar 2.4636 menjadi 2.4932. Pada kondisi ini
juga profil tegangan pada sistem yang mempunyai batas tegangan yang diizinkan
menjadi 51.26% dimana sebelum adanya koneksi DG tambahan profil tegangan
61
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari hasil pembahasan dan penelitian yang dilakukan, diperoleh
kesimpulan sebagai berikut :
1. Semakin besar kapasitas DG yang di interkonesikan pada bus yang sama,
seperti pada bus 3, maka nilai profil tegangan pada jaringan akan semakin
meningkat, dapat dilihat pada Gambar 4.2, dimana hal ini dikarenakan
kapasitas daya dari sistem semakin bertambah.
2. Dengan kapasitas DG yang sama tetapi diletakan di tempat berbeda, pada
Tabel 4.2 bus 10 dan 11, kedua bus mempunyai rugi-rugi yang berbeda
dan profil tegangan yang berbeda dikarenakan lokasi interkoneksi pada
bus yang berbeda menyebabkan perubahan aliran daya yang berbeda juga.
3. Pada simulasi yang telah dilakukan, titik interkoneksi DG yang paling baik
adalah pada bus 23 dengan kapasitas DG sebesar 0.4 MW, dimana pada
titik ini, sistem mempunyai rugi-rugi sistem yang paling kecil
dibandingkan dengan rugi-rugi titik interkoneksi yang lainya dan
mempunyai profil tegangan yang lebih baik juga.
Saran
Saran dari penulis sebagai pengembangan tugas ahkir ini adalah sebagai
62
1. Melakukan metode optimasi ini pada jaringan distribusi lainya baik
jaringan distribusi yang pada keadaan existing nya telah ada DG maupun
tidak ada DG.
2. Menggunakan metode optimasi lain seperti Algoritma Genetika, Swarm
Optimation dan lain sebagainya untuk menentukan titik interkoneksi dan
kapasitas terbaik dari DG.
3. Melakukan peninjauan ulang akan hasil penelitian ini dengan meninjau
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Sistem Tenaga Listrik
Sistem tenaga listrik merupakan kumpulan peralatan listrik yang saling
terhubung membentuk suatu sistem yang digunakan untuk membangkitkan tenaga
listrik pada pusat pembangkit tenaga listrik dan menyalurkan tenaga listrik
melalui suatu jaringan transmisi dan jaringan distribusi hingga sampai ke
pelanggan. Gambar 2.1 merupakan gambar segaris suatu sistem tenaga listrik
yang terdiri dari pusat pembangkit, transmisi, dan distribusi [4].
Pusat Pembangkit
Transmisi Distribusi
Gardu Induk Step Up
Gardu Induk Step Down
Beban
Gambar 2.1 One Line Diagram Sistem Tenaga Listrik
Suatu pembangkit tenaga listrik ditempatkan pada lokasi tertentu
berdasarkan sumber daya alam yang digunakan. Jenis pembangkit tenaga listrik
yang digunakan adalah seperti Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA),
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), Pembangkit Listrik Tenaga Gas
(PLTG), Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD), dan Pembangkit Listrik
Tenaga Panas Bumi (PLTP). Setelah tenaga listrik dibangkitkan kemudian tenaga
listrik disalurkan ke transformator step up. Hal ini disebabkan karena lokasi
pelanggan tenaga listrik yang tersebar luas dan jauh dari pusat pembangkit tenaga
6
Pada transformator step-up, tegangan yang dibangkitkan oleh pembangkit
listrik dinaikkan menjadi tegangan tinggi sesuai dengan Sistem kelistrikan di
Indonesia menggunakan standart tegangan tinggi di antara 150kV, 275kV dan
500kV. Tenaga listrik ini kemudian disalurkan ke gardu induk sebagai pusat
beban melalui saluran transmisi. Setelah sampai di gardu induk, tegangan tinggi
pada saluran transmisi kemudian diturunkan menggunakan transformator step
down pada gardu induk menjadi tegangan menengah sebesar 20 kV.
Tegangan menengah 20 kV disalurkan melalui jaringan distribusi primer
hingga transformator distribusi. Pada transformator distribusi, tegangan menengah
20 kV diturunkan menjadi tegangan rendah 380/220 V. Tegangan rendah ini
kemudian disalurkan melalui jaringan distribusi sekunder hingga sampai ke
pelanggan.
Jaringan Distribusi
Jaringan distribusi merupakan salah satu bagian dari suatu sistem tenaga
listrik yang terletak paling dekat dengan pelanggan. Jaringan distribusi berfungsi
untuk menyalurkan tenaga listrik dari gardu induk ke pelanggan. Permasalahan
utama pada jaringan distribusi adalah banyaknya gangguan yang sering terjadi.
Intensitas gangguan yang terjadi pada jaringan distribusi lebih banyak dari pada
gangguan di sistem tenaga listrik yang lain [4].
Permasalahan yang terjadi pada jaringan distribusi dapat mengakibatkan
terganggunya kontinuitas pelayanan tenaga listrik dari gardu induk ke pelanggan.
Tingkat kontinuitas pelayanan tenaga listrik setiap jaringan distribusi
7
Berdasarkan bentuk jaringan, jaringan distribusi dapat dibedakan menjadi
beberapa jenis [5]:
1. Sistem radial terbuka
2. Sistem radial paralel
3. Sistem rangkaian tertutup
4. Sistem network
5. Sistem interkoneksi
Studi Aliran Daya
Studi aliran daya merupakan suatu bagian yang penting dalam analisis
sistem tenaga. Studi aliran daya diperlukan untuk tahap perencanaan, pengaturan
biaya, dan dapat menjadi peramalan untuk perencanaan pengembangan jaringan di
masa depan. Beberapa parameter yang perlu diperhatikan dalam aliran daya
adalah menentukan besar dan sudut fasa dari tegangan pada masing – masing bus,
serta daya aktif dan reaktif yang mengalir pada setiap line.
Dalam penyelesaian sebuah aliran daya, sistem dioperasikan dalam
keadaan seimbang. Besaran – besaran yang menjadi parameter dalam studi aliran
daya adalah besar tegangan | |, sudut fasa �, daya aktif P, dan daya reaktif Q.
2.3.1 Konsep Perhitungan Aliran Daya
Perhitungan aliran daya pada dasarnya adalah menghitung besar tegangan,
sudut fasa dan rugi – rugi pada jaringan dalam kondisi tunak dan dengan beban
seimbang.
Pada setiap bus ada 4 variabel operasi yang terkait, yaitu daya aktif, daya
8
dapat dihitung, dua dari empat variabel diatas harus diketahui untuk setiap bus,
sedangkan variabel yang lainnya dihitung. Setiap bus dalam sistem tenaga listrik
dikelompokkan menjadi 3 tipe bus, yaitu [6] :
1. Bus beban
Bus beban adalah bus yang tidak memiliki unsur pembangkitan tenaga
listrik / generator, dan terhubung secara langsung dengan beban (konsumen).
Bus beban biasa disebut dengan P-Q bus, karena pada bus ini, yang dapat diatur
adalah kapasitas daya yang terpasang. P merupakan daya aktif terpasang dalam
satuan Watt (W), sedangkan Q merupakan daya reaktif terpasang dalam satuan
Volt Ampere Reaktif (VAR). Hubungan antara daya aktif dan daya reaktif
terhubung dengan nilai cos phi (cos φ).
2. Bus generator
Bus generator atau biasa disebut bus voltage controlled. Disebut
demikian, karena tegangan pada bus ini biasanya dijaga konstan. Pada bus ini
terhubung dengan generator yang dapat dikontrol daya aktif dan tegangannya.
Pengaturan daya aktif pada bus ini diatur dengan mengontrol penggerak mula
(prime mover), sedangkan pengaturan tegangan pada bus ini diatur dengan
mengontrol arus eksitasi pada generator. Oleh karena daya aktif (P) dan tegangan
(V) yang dapat dikontrol, maka bus ini sering disebut sebagai P-V bus.
3. Bus referensi
Pada bus referensi atau biasa disebut slack bus, adalah sebuah bus
generator yang dianggap sebagai bus utama karena merupakan bus yang memiliki
kapasitas daya yang paling besar. Oleh karena daya yang dapat disalurkan oleh
9
bisa diatur, sedangakan besar daya aktif dan reaktifnya akan dicari dalam
perhitungan.
Dalam sistem pemrograman, tipe bus identik dengan kode angka.
Dimana kode untuk bus referensi adalah angka 1, kode untuk bus generator adalah
angka 2, dan kode untuk bus beban adalah angka 3. Untuk lebih jelasnya dari
pembagian tipe dan kode bus, dapat dilihat dari Tabel 2.1 berikut ini :
Tabel 2.1 Tipe Bus Dalam Sistem Tenaga Listrik.
Tipe bus Kode Bus Nilai yang diketahui
Nilai yang dihitung
Bus beban 3 P, Q V, δ
Bus generator 2 P, V Q, δ
Bus referensi 1 V, δ P, Q
2.3.2 Persamaan aliran daya
Sistem tenaga listrik tidak hanya terdiri dari 2 bus, melainkan terdiri dari
beberapa bus yang akan diinterkoneksikan satu sama lain. Daya listrik yang
diinjeksikan oleh generator kepada salah satu bus, bukan hanya dapat diserap oleh
beban bus tersebut, melainkan juga dapat diserap oleh beban di bus yang lain.
Kelebihan daya pada bus akan dikirimkan melalui saluran transmisi ke bus-bus
lain yang kekurangan daya.
Diagram satu garis beberapa bus dari suatu sistem tenaga diperlihatkan
10
Gambar 2.2 Diagram Satu Garis dari N-Bus dalam Suatu Sistem Tenaga
Arus pada bus I dapat ditulis:
= + − + − + … + � − �
= + + + … + � − − − … − � � (2.1)
Kemudian, kita definisikan:
= + + + … + �
= −
= −
↓
� = − �
11
= [
… �
�
⋮ ⋮ ⋮
… �
] (2.2)
Sehingga Ii pada Persamaan (2.1) dapat ditulis menjadi:
= + + + … + � � (2.3)
Atau dapat ditulis:
= + ∑��= � �
�≠ (2.4)
Persamaan daya pada bus I adalah:
− � = ∗ ; dimana ∗ adalah conjugate pada bus i
= −
�∗ (2.5)
Dengan melakukan substitusi Persamaan (2.5) ke Persamaan (2.4) maka
diperoleh:
−
�∗ = + ∑��=�≠ � � (2.6)
Dari Persamaan (2.6) terlihat bahwa persamaan aliran daya bersifat tidak
linier dan harus diselesaikan dengan metode numerik iteratif.
2.3.3 Metode Newton-Raphson
Kecepatan relatif dari bermacam-macam metode analisis aliran beban
sukar dipastikan. Salah satu metoda untuk menghitung aliran daya adalah metode
Newton-Raphson. Metode ini memiliki perhitungan lebih baik untuk sistem tenaga
yang lebih besar dan tidak linier. Metode ini juga memiliki keuntungan dalam hal
12
dalam bentuk polar. Dimana penurunan rumus nya dapat dilihat sebagai berikut
[4] :
Pada suatu bus dimana besarnya tegangan dan daya reaktif yang tidak
diketahui, nilai real dan imajiner tegangan untuk setiap iterasi didapatkan dengan
menghitung nilai daya reaktif terlebih dahulu. Dari Persamaan (2.5) diperoleh:
−
�∗ = + ∑��=�≠ � � (2.7)
Dimana i = n, sehingga diperoleh:
− � = ∗∑��= � � (2.8)
= − �{ ∗∑��= � �} (2.9)
Untuk menerapkan metode Newton-Raphson pada penyelesaian persamaan
aliran kita menyatakan tegangan bus dan admitansi saluran dalam bentuk polar.
Jika kita pilih bentuk polar dan kita uraikan Persamaan (2.7) ke dalam unsur real
dan imajiner maka didapatkan:
= | | ∠�
� = | �| ∠��
� = | �| ∠��
Sehingga didapatkan:
− � = ∑��= | � �| ∠��+ ��− � (2.9)
= ∑��= | � �| cos ��+ ��− � (2.10)
= − ∑��= | � �| sin ��+ ��− � (2.11)
Persamaan (2.10) dan Persamaan (2.11) merupakan langkah awal
perhitungan aliran daya dengan metode Newton-Raphson. Penyelesaian aliran
13
merupakan nilai perkiraan awal yang diterapkan sebelum dimulai perhitungan
aliran daya.
Hasil perhitungan daya menggunakan Persamaan (2.10) dan Persamaan
(2.11) akan diperoleh nilai dan . Hasil ini digunakan untuk menghitung
nilai ∆ dan ∆ menggunakan persamaan berikut:
∆ = � − (2.12)
∆ = � − (2.13)
Hasil perhitungan Persamaan (2.12) dan Persamaan (2.13) digunakan
untuk membentuk matriks Jacobian. Persamaan matriks Jacobian disusun sebagai
berikut:
Secara umum Persamaan (2.14) dapat disederhanakan ke dalam bentuk:
[∆∆ ] = [ ][∆| | ]∆� (2.15)
Unsur Jacobian diperoleh dengan membuat turunan parsial dari Persamaan
(2.10) dan Persamaan (2.11) dan memasukkan nilai tegangan perkiraan pada
iterasi pertama. Dimana dalam menentukan matriks Jacobian adalah sebagai
berikut:
Jumlah baris dan kolom matriks dibuat berdasarkan dengan [(2n-2-m) x
14
jumlah baris dan kolom J2 dibuat berdasarkan [(n-1) x (n-1-m)], jumlah baris dan
kolom J3 dibuat berdasarkan [(n-1-m) x (n-1)], lalu jumlah baris dan kolom J4
dibuat berdasarkan [(n-1-m) x (n-1-m)].
Komponen diagonal dan off diagonal dari J1 adalah :
�
�� = ∑��≠ | � �| cos ��+ �� − � (2.16)
�
�� = −| � �| cos ��+ ��− � j ≠ 1 (2.17)
Komponen diagonal dan off diagonal dari J2 adalah :
�
�� = | cos � + ∑��≠ | | cos ��+ �� − � (2.18)
�
�� = −| �| cos �� + ��− � j ≠ 1 (2.19)
Komponen diagonal dan off diagonal dari J3 adalah :
�
�� = ∑��≠ | � �| cos ��− ��+ � (2.20)
�
�� = −| � �| cos ��− ��+ � j ≠ 1 (2.21)
Komponen diagonal dan off diagonal dari J4 adalah :
�
�� = − | sin � − ∑��≠ | | sin ��+ ��+ � (2.22)
�
�� = −| �| sin ��+ ��− � j ≠ 1 (2.23)
Setelah mendapatkan nilai matriks Jacobian selanjutnya dilakukan
perhitungan pada nilai ∆� dan ∆| | dengan cara melakukan inverse matriks
Jacobian, sehingga diperoleh bentuk sebagai berikut:
15
Setelah nilai ∆� dan ∆| | didapat, kita dapat menghitung nilai
tersebut untuk iterasi berikutnya, yaitu dengan menambahkan nilai ∆� dan
∆| | , sehingga diperoleh persamaan berikut:
� + = � + ∆� (2.25)
| | + = | | + ∆| | (2.26)
Hasil perhitungan Persamaan (2.25) dan Persamaan (2.26) digunakan lagi
dalam proses iterasi selanjutnya, yaitu dengan memasukkan nilai hasil ke dalam
Matriks (2.14) sebagai langkah awal perhitungan aliran daya. Proses ini dilakukan
secara terus menerus sampai diperoleh nilai yang konvergen.
Secara ringkas, metode penyelesaian aliran daya menggunakan metode
Newton-Raphson dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Tentukan nilai-nilai dan yang mengalir ke dalam sistem
pada setiap bus untuk nilai yang diperkirakan dari besar tegangan (V)
dan sudut fasanya (δ) untuk iterasi pertama atau nilai tegangan yang
ditentukan paling akhir untuk iterasi berikutnya
2. Hitung � pada setiap rel
3. Hitung nilai-nilai untuk Jacobian dengan menggunakan nilai-nilai
perkiraan atau yang ditentukan dari besar dan sudut fasa tegangan
dalam persamaan untuk turunan parsial yang ditentukan dengan
persamaan diferensial Persamaan (2.10) dan Persamaan (2.11)
4. Inverse matriks Jacobian dan hitung koreksi-koreksi tegangan ∆� dan
∆| | pada setiap rel
5. Hitung nilai yang baru dari | | dan � dengan menambahkan nilai ∆�
16
6. Kembali ke langkah 1 dan ulangi proses tersebut dengan menggunakan
nilai besar dan sudut fasa tegangan yang ditentukan oleh nilai hasil
terakhir sehingga semua nilai yang diperoleh lebih kecil dari indeks
ketepatan yang dipilih.
2.3.4 Contoh perhitungan aliran daya menggunakan metode Newton-Raphson
Contoh :
Dilakukan perhitungan aliran daya menggunakan metode Newton-Raphson
seperti yang dijelaskan sebelumnya. Dimisalkan sebuah jaringan distribusi seperti
digambarkan pada Gambar 2.3 mempunyai satu slack bus, satu bus generator dan
satu bus beban.
Gambar 2.3 Single Line Diagram Sistem Distribusi dengan Tiga Bus
Didapatkan nilai matriks Y dari jaringan distribusi tersebut sebagai
17
=
[
− −
− −
− − ]
= [− + �− � − + �± � − + �− + �
− + � − + � − � ]
Dengan menggunakan Persamaan (2.9), didapatkan:
= | || || | cos � − � + � + | | | | cos � − � + � +
| | | | cos �
= −| || || | sin � − � + � − | | | | sin � − � + � −
| | | | sin �
= | || || | cos � − � + � + | | | | cos � − � + � +
| | | | cos �
Setelah didapatkan nilai P2 dan nilai Q2, dilakukan perhitungan untuk
mendapatkan nilai ∆ dan ∆ sesuai Persamaan (2.12) dan Persamaan
(2.13) sebagai berikut:
∆ = ℎ − ℎ ��
∆ = ℎ − ℎ ��
Dimana matriks jacobian dibentuk dengan persamaan :
�
�� = | || || | sin � − � + � + | | | | | | sin � − � + � |
�
18
� 2
��2 = | || | cos � − � + � + | || | cos � − � + � +
| | | | cos �
�
�� = −| | | | | | sin � − � + �
�
�� = | || || | sin � − � + � + | | | | | | sin � − � + � |
�
� = −| | | | cos � − � + �
�
�� = | || || | cos � − � + � + | | | | | | sin � − � + � |
�
�� = −| | | | | | cos � − � + �
� 2
��2 = −| || | cos � − � + � − | || | sin � − � + � −
| | | | sin �
ℎ = - + = − − � . pu
ℎ = = 2 pu
∆ = ℎ− = -4 - (-1,14) = -2,86
∆ = ℎ− = -2,5-(-2,28) = -0,22
∆ = ℎ− = 2 – 0,5616 = 1,4384
19
[− ,,
− , ] = [
, , ,
, , ,
, , , ][
∆� ∆� ∆
]
Dimana, hasil perhitungan dari atas akan didapatkan :
∆� = − ,
∆� = ,
∆ = − ,
Lalu hasil selisih di atas ditambahkan dengan nilai awal
� = 0 + (-0,045263) = 0,045263
� = + − , = ,
= + − , = ,
Lalu nilai yang didapatkan di atas, dimasukan lagi ke dalam matriks
jacobian untuk dilakukan perhitungan pada interasi ke 2, lalu dilanjutkan sampai
nilai menjadi konvergen. Lalu nilai ahkir yang akan didapatkan adalah sebagai
berikut :
� = 0,047058 + (-0,0000038) = 0,04706
� = , + − , = ,
= , + − , = ,
Lalu nilai di atas dimasukan ke dalam Persamaan 2.9 untuk mencari
20
= −| || || | sin � − � + � − | | | | sin � − � + �
− | | | | sin �
= | || || | cos � − � + � + | | | | cos � − � + �
+ | | | | cos �
= −| || || | sin � − � + � − | | | | sin � − � + �
− | | | | sin �
Maka hasil yang didapatkan adalah sebagai berikut
= 1,4085 pu
= 2,1842 pu
= 1,4617 pu
Hasil perhitungan tersebut masih belum akurat sepenuhnya dan
dibutuhkan iterasi lanjutan untuk menghasilkan data yang konvergen. Perhitungan
iterasi yang terlalu banyak menjadi alasan digunakan simulasi menggunakan
program komputer dalam melihat aliran daya pada suatu sistem kelistrikan.
Distributed generation
2.4.1 Defenisi Distributed generation
Terdapat berbagai pengertian tentang Distributed generation. beberapa hal
tentang pengertian DG adalah sebagai berikut [7] :
1) Electric Power Research Institute mengartikan bahwa DG adalah
21
2) Preston and Rastler mengartikan bahwa DG adalah pembangkit yang
berskala dari beberapa KW hingga 100 MW.
3) Cardell mengartikan bahwa DG adalah pembangkit berskala 500 kW
dan 1 MW.
Akan tetapi umumnya, pengertian Distributed generation adalah sebuah
pembangkit yang teletak di daerah sistem distribusi ataupun pada daerah dekat
beban [7].
DG memiliki rating berdasarkan definisi yang diperoleh berdasarkan
literatur. Rating maksimum yang dapat dikoneksikan pada sebuah sistem
distribusi tergantung pada beban dari sistem distribusi tersebut. Meskipun tidak
ada ketentuan yang pasti untuk menentukan klasifikasi tingkat dari DG, namun
berdasarkan besar daya yang dihasilkan, dapat disimpulkan bahwa klasifikasi DG
atas [7] :
1) Micro : ~1 Watt sampai dengan < 5 kW
2) Small : 5 kW sampai dengan < 5 MW
3) Medium : 5 MW sampai dengan 50 MW
4) Large : 50 MW sampai dengan ~ 300 MW
2.4.2 Teknologi dari DG
DG dapat dibedakan berdasarkan energi utama yang digunakan, yaitu
[9][10]:
A.Internal Combustion Engines (ICE)
ICE merupakan salah satu teknologi yang umum digunakan untuk DG.
22
dari beberapa kW hingga MW. ICE juga memiliki efisiensi dan keandalan operasi
yang tinggi. Karakteristik ini dikombinasikan dengan kemampuan mesin untuk
memulai kerja yang cepat selama terjadi pemadaman. Hal ini membuat ICE
menjadi pilihan utama dalam keadaan darurat atau menjadi cadangan daya listrik.
Kelemahan utama dari ICE adalah:
1) Biaya perawatan (maintenance) dan bahan bakar yang tinggi (tertinggi
di antara teknologi DG lain)
2) Emisi NOX yang tinggi (tertinggi di antara teknologi DG lain)
3) Tingkat kebisingan yang tinggi
B. Turbin Gas
Turbin gas dengan segala ukuran dewasa ini telah luas digunakan. Turbin
gas ukuran kecil 1-20 MW umum digunakan dalam aplikasi Combined Heat and
Power (CHP). Turbin gas kecil ini khususnya sangat berguna ketika dibutuhkan
uap dengan temperatur yang tinggi. Biaya perawatan dan emisi yang dihasilkan
oleh turbin gas sedikit lebih rendah dibandingkan dengan ICE. Tetapi tingkat
kebisingan untuk turbin gas masih tergolong tinggi.
C.Combined Cycle Gas Turbines (CCGT)
Pada CCGT, campuran udara pembuangan sisa bahan bakar bertukar
energi dengan air di boiler untuk menghasilkan uap air yang digunakan untuk
menggerakkan turbin uap. Pergerakan turbin uap bertujuan untuk mengubah
energi gerak tersebut menjadi tambahan energi listrik pada generator. Kemudian,
23
Teknologi CCGT menjadi cukup populer dikarenakan efisiensi yang
tinggi. Namun, instalasi turbin gas di bawah 10 MW umumnya bukan merupakan
combined-cycle.
D.Microturbines
Microturbines menghasilkan daya ac dengan frekuensi tinggi. Sebuah
inverter daya digunakan untuk mengubah frekuensi ini ke dalam kisaran frekuensi
yang dapat digunakan. Unit individu dari microturbines berkisar dari 30-200 kW.
Tetapi beberapa microturbines dapat digabungkan menjadi beberapa unit
(multiple unit). Temperatur pembakaran yang rendah membuat emisi NOX
menjadi sangat rendah. Microturbines juga menghasilkan tingkat kebisingan yang
lebih rendah dibandingkan teknologi pembangkit lain yang memiliki ukuran sama.
Kebanyakan Microturbines menggunakan gas alam. Penggunaan energi
terbarukan seperti ethanol sangat memungkinkan untuk digunakan. Kekurangan
utama dari microturbines adalah biaya bahan bakar yang lebih tinggi bila
dibandingkan dengan ICE.
E.Fuel Cells
Fuel cells merupakan peralatan elektrokimia yang merubah energi kimia
dari sebuah bahan bakar menjadi energi yang dapat digunakan (listrik dan panas)
tanpa pembakaran.
Fuel cells menghasilkan listrik dengan efisiensi yang tinggi hingga
24
berarti. Hal ini yang menjadi keuntungan utama dari fuel cells. Tantangan utama
dalam pengembangan fuel cells adalah biaya investasi yang tinggi.
F. Solar Photovoltaic (PV)
Sistem Photovoltaic (PV) melibatkan perubahan langsung dari cahaya
matahari menjadi listrik. Penerapan dari sistem PV sangat didukung dengan
ketersediaan sinar matahari sepanjang hari, siklus kerja yang lama, perawatan
yang mudah, biaya operasi yang rendah, ramah lingkungan, serta waktu untuk
mendesain, menginstal, dan kemampuan untuk memulai kerja yang cepat.
Umumnya modul individu PV mempunyai kisaran daya dari 20 W hingga 100
kW. Beberapa penghalang untuk sistem PV yaitu biaya instalasi PV yang relatif
tinggi dibandingkan teknologi DG lain.
G.Tenaga Angin
Tenaga angin memainkan peran yang penting dalam pembangkitan listrik
dari energi terbarukan. Tantangan utama dari teknologi tenaga angin adalah
penyaluran listrik yang masih sering terputus dan keandalan jaringan. Hal ini
dikarenakan teknologi tenaga angin memanfaatkan kekuatan alam yang tidak bisa
hadir sepanjang waktu. Tantangan lain dalam pengembangan teknologi ini adalah
ketersedian pembangkit tersebut dikarenakan lokasi terbaik untuk pembangunan
teknologi ini adalah pada daerah terpencil tanpa akses ke jaringan transmisi yang
25
H. Small Hydropower (SHP)
Small Hydropower (SHP) umumnya digunakan untuk menunjukkan tenaga
air dengan kapasitas daya kurang dari 10 MW. Istilah lain yang sering digunakan
adalah mini hydropower dengan kapasitas di antara 100 KW dan 1 MW dan micro
hydropower dengan kapasitas di atas 100 KW.
I. Solar Thermal
Sistem solar thermal menghasilkan listrik dengan mengkonsentrasikan
cahaya matahari yang datang dan kemudian memerangkap panas dari cahaya
matahari tersebut yang digunakan untuk menaikkan temperatur cairan ke derajat
temperatur yang sangat tinggi untuk menghasilkan uap air dan menghasilkan
listrik.
Pengembangan konsentrasi cahaya matahari sekarang memungkinkan
pembangkitan daya listrik dari beberapa kilowatt hingga ratusan megawatt.
J. Panas Bumi
Energi panas bumi tersedia sebagai panas yang diemisikan dari dalam
bumi, biasanya dalam bentuk air panas atau uap. Pembangkit listrik tenaga panas
bumi membutuhkan biaya modal yang tinggi tetapi dengan biaya operasi yang
rendah. Teknologi panas bumi ini juga ramah lingkungan tanpa ada emisi CO2
26
2.4.3 Dampak dari pemasangan DG pada jaringan
Terpasangnya DG pada jaringan menyebabkan beberapa dampak yang
perlu diperhatikan yaitu faktor perubahan arah aliran daya, rugi – rugi daya pada
saluran, dan perubahan profil tegangan pada sistem.
Jaringan konvensional merupakan jaringan dengan aliran daya satu arah.
Namun dengan adanya DG maka aliran daya tidak dapat dianggap bergerak pada
satu arah lagi. DG berada di daerah dekat beban dan di daerah sistem distribusi.
Munculnya DG menyebabkan jaringan menjadi dua arah, dimana hal ini dapat
ditunjukan pada Gambar 2.4 dan 2.5 di bawah ini.
27
Gambar 2.5 Aliran Daya Dua Arah
Perubahan pola aliran daya yang terjadi pada saluran mengakibatkan
perubahan nilai arus yang mengalir pada jaringan distribusi. Hal ini
mengakibatkan perubahan nilai rugi – rugi daya pada jaringan. Faktor yang
mempengaruhi nilai rugi – rugi pada jaringan adalah resistansi dari penghantar,
serta besar arus yang melalui penghantar tersebut. Bertambah besarnya daya yang
disalurkan dari sebuah sumber daya ke beban melalui sebuah penghantar
mengakibatkan penghantar tersebut akan menghantarkan arus yang lebih besar,
28
Gambar 2.6 Diagram Aliran Daya dengan Koneksi DG
Dari Gambar 2.6 didapatkan persamaan sebagai berikut :
S = P + jQ (2.27)
I = �
� (2.28)
I = +
� (2.29)
∆U = − (2.30)
≈ �� � – �� + �� �− ± �� (2.31)
Dari persamaan di atas diketahui, bahwa nilai drop tegangan berubah,
semakin bertambah atau berkurang, tergantung jika DG menyerap daya reaktif
atau memberi daya reaktif. Jika DG menyerap daya reaktif terlalu besar, maka
drop tegangan pada sistem semakin bertambah. oleh karena itu, rugi-rugi dapat
semakin bertambah bukannya berkurang.
Jika DG diletakan di tempat yang tepat dengan besar yang tepat,
penambahan DG pun tidak lagi menambah rugi, melainkan mengurangi
rugi-rugi dari sistem. Perubahan pola aliran daya akibat interkoneksi DG pada jaringan
distribusi dapat berdampak bertambahnya nilai rugi – rugi atau berkurangnya
29
Bertambahnya daya yang mengalir pada jaringan akan menyebabkan
naiknya tegangan pada saluran. Maka dari itu dibutuhkan juga pengaturan
tegangan yang tepat sehingga beban – beban dapat terlayani dengan baik [8].
2.4.4 Dampak kapasitas DG pada jaringan distribusi
Dalam mengatasi dampak negatif yang ditimbulkan oleh koneksi dari DG,
maka diperlukanlah penentuan besar optimal yang dapat dipasang pada tiap tiap
bus serta diperlukannya juga penentuan lokasi terbaik dalam pemasangan DG.
Naiknya tegangan yang disebabkan oleh DG dikarenakan ukuran DG yang
terlalu besar dan beban yang terlalu rendah yang berada di sekitar DG [10]. Oleh
karena itu, jika DG yang digunakan memiliki kapasitas daya yang besar, maka
agar tidak terjadi naiknya tegangan DG yang hendaknya diletakan di daerah
berbeban besar juga. DG yang dapat membangkitkan daya reaktif sendiri, seperti
diesel, ketika DG mensuplai daya yang besar, DG harus dioperasikan dalam
keadaan menyerap daya reaktif karena ketika DG menyerap daya reaktif yang
besar, maka kelebihan tegangan pada sistem dapat diatasi [9][10]. Jika DG tidak
dapat membangkitkan daya reaktif sendiri, seperti solar cell, maka DG harusnya
dioperasikan pada keadaan unity power factor, sampai tegangan pada DG
mencapai tegangan maksimum, dan jika daya yang diperlukan lebih banyak lagi,
maka diperlukannya pengatur tegangan untuk menyesuaikan tegangan pada