• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola Spasial Struktur Pasar Jasa Seks Komersial

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pola Spasial Struktur Pasar Jasa Seks Komersial"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

POLA SPASIAL STRUKTUR PASAR JASA SEKS

KOMERSIAL

N. IRIANA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Pola Spasial Struktur Pasar Jasa Seks Komersial adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini.

Bogor, Desember 2005

N.Iriana

(3)

ABSTRAK

N. IRIANA. Pola Spasial Struktur Pasar Jasa Seks Komersial. (AFFENDI ANWAR sebagai ketua, SUNSUN SAEFULHAKIM, dan ERNAN RUSTIADI sebagai anggota komisi pembimbing).

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk memetakan daerah-daerah yang paling kuat daya tariknya sebagai peminta (demander) pekerja seks komersial (PSK) dan daerah-daerah yang paling kuat daya dorongnya sebagai pensuplai (supplier) PSK, serta bagaimana karakteristik daerah-daerah tersebut dan indikator yang mencirikannya. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif, model Entropi Interaksi Spasial dan analisis Geographic Information System (GIS).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa daerah yang mempunyai daya tarik positif tinggi adalah kota Jayapura, Sorong dan Merauke. Daerah yang mempunyai daya tarik negatif tinggi adalah Karawang dan kota Bekasi. Artinya, peningkatan perkembangan pasar PSK di kota Jayapura, Sorong dan Merauke akan mendorong terjadinya perkembangan pasar PSK di daerah-daerah lainnya, sementara itu peningkatan perkembangan pasar PSK di Karawang dan kota Bekasi akan mengakibatkan pasar PSK akan memusat di kedua daerah ini dan cenderung akan menekan pasar PSK di daerah lain.

(4)

ABSTRACT

N. IRIANA. The Spatial Pattern of Market Structure of Commercial Sex Services. (AFFENDI ANWAR as a leader, SUNSUN SAEFULHAKIM, and ERNAN RUSTIADI as members of supervisors).

The main objectives of this study are to map areas with the most attractive power to lure sex workers and areas with the most generative power to supply sex workers; to describe characteristics of those areas and their characterized indicators. The methods of analyses used in this study are descriptive analysis, Entropy Spatial Interaction Model, and Geographic Information System (GIS).

The study shows that the regions with highly positive attractive power are Jayapura, Sorong and Merauke and those with highly negative attractive power are Karawang and Bekasi. These mean that an increase in commercial sex market development in Jayapura, Sorong and Merauke will induce the development of commercial sex market in other areas, meanwhile an increase in commercial sex market development in Karawang and Bekasi, will make the concentration of sex market only in these two areas, and therefore tend to diminish sex market in other areas.

(5)

@ Hak cipta milik N. Iriana, tahun 2005

Hak cipta dilindungi

(6)

POLA SPASIAL STRUKTUR PASAR JASA SEKS

KOMERSIAL

N. IRIANA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu- ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Judul Tesis : Pola Spasial Struktur Pasar Jasa Seks Komersial Nama : N. Iriana

Nomor Pokok : P15500041E

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Affendi Anwar, M.Sc Ketua

Dr. Ir. H.R. Sunsun Saefulhakim, M.Agr Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Anggota Anggota

Diketahui Ketua Program Studi

Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Dekan Sekolah Pascasarjana Wilayah dan Perdesaan

Prof. Dr. Ir. Isang Gonarsjah Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto, M.Sc

(8)

PRAKATA

Dengan memanjatkan puji syukur ke Hadirat Illahi Robbi Al’amin, kami sampaikan tesis penelitian tentang “Pola Spasial Struktur Pasar Jasa Seks Komersial” dalam rangka menyelesaikan jenjang pendidikan Program Pasca Sarjana Strata Dua (S2), Program Studi Ilmu- ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) pada Institut Pertanian Bogor (IPB) di Bogor.

Atas selesainya penulisan ini, tak lupa penulis haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya, terutama kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Affendi Anwar, M.Sc, selaku ketua pembimbing, 2. Dr.Ir.H.R. Sunsun Saefulhakim, M.Agr, selaku pembimbing anggota, 3. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku pembimbing anggota,

4. Prof. Dr. Ir. Isang Gonarsjah, selaku Ketua Jurusan Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan pada Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor (IPB),

5. Arizal Ahnaf, MA, Direktur Statistik Kesejahteraan Rakyat, selaku atasan yang telah memberikan ijin belajar dan membantu moril maupun materiil,

6. ASA/FHI-USAID, IHPCP Phase II-AUSAID dan Ditjen PPM&PL Departemen Kesehatan, yang telah memberi ijin kepada penulis untuk menggunakan data hasil pengumpulan SSP tahun 2002/2003,

7. Keluarga tercinta, Suamiku Soedewo, dan putra-putriku tersayang Deti Kartika Listyani, Agus Fikri Saputra, Muhammad Yahya Ar Ra’du dan Kayla Shevadena, 8. Drs. Wynandin Imawan, MSc, Ir. Aryago Mulia, MSc dan Sri Andayani, MA

serta teman-teman yang tidak bisa disebutkan di sini, yang banyak membantu menyiapkan bahan penulisan tesis ini.

Akhirnya, kritik dan saran yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan isi penelitian yang kami lakukan. Oleh karena penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna.

Bogor, Desember 2005

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Fakfak, Papua, pada tanggal 30 Juni 1966 dari Ayah H.Ma’mun Sudarman dan Ibu Hj.Haimah. Penulis merupakan putri keempat dari tiga belas bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas Negeri 8 Jakarta pada tahun 1985. Dilanjutkan dengan menyelesaikan pendidikan setingkat Sarjana Muda pada Akademi Ilmu Statistik tahun 1988 di Jakarta dan dilanjutkan Tugas Belajar pendidikan Sarjana di Fakultas MIPA Jurusan Statistik pada Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 1992-1994 di Bogor.

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI i

DAFTAR TABEL iii

DAFTAR GAMBAR iv

DAFTAR LAMPIRAN v

I. PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Perumusan Masalah 3

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 4

II. TINJAUAN PUSTAKA 5

2.1. Pasar Jasa 5

2.2. Sejarah Pelacuran di Indonesia 7

2.3. Struktur Organisasi Industri Seks 9

2.4. Relevansi Kondisi Sosial Ekonomi

dan Kultural Terhadap Kejadian PMS 12

2.5. Perdagangan Perempuan 14

2.6. Perubahan Perilaku Seksual di Masyarakat dan Preferensi Seksual 16

2.7. Dampak Epidemi HIV/AIDS 17

2.8. Indikator Kesejahteraan Rakyat 18

2.9. Modal Manusia (human capital) 20

2.10. Model Entropi Interaksi Spasial 21

III. METODOLOGI PENELITIAN 31

3.1. Kerangka Pendekatan Metodologi 31

3.2. Sumber Data 36

3.3. Analisis 42

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 48

4.1. Karakteristik Daerah Kerja PSK 48

4.2. Karakteristik Pekerja Seks Komersial (PSK) 63

4.3. Karakteristik Pelanggan 66

4.4. Pola Spasial Daerah Asal PSK 68

4.5. Pola Spasial Daya Tarik Transaksi Jasa Seks Komersial

(11)

dan Indikator yang Mencirikan Daya Tarik

4.7. Indikator Hambatan Spasial Transaksi Jasa Seks Komersial 83 4.8. Dimensi Kelembagaan Transaksi Jasa Seks Komersial 85

V. KESIMPULAN 87

DAFTAR PUSTAKA 89

Lampiran 1. Peubah per Kabupaten/Kota 91

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Ilustrasi Matriks Aliran Mobilitas Spasial 21

Tabel 2. Ilustrasi Matriks Biaya Mobilitas Spasial 22 Tabel 3. Jumlah Sampel menurut Kelompok Sasaran dan 38

Lokasi Survei SSP 2002/2003 di 19 Kabupaten/Kota

Tabel 4. Persentase PSK berdasarkan Jenis Tempat Kerja 63 di 10 Propinsi Tahun 2002/2003

Tabel 5. Persentase PSK berdasarkan Tempat Kerja dan 64 Kelompok Tarif di 10 Propinsi Tahun 2002/2003

Tabel 6. Persentase PSK menurut Tingkat Pendidikan di 65 10 Propinsi Tahun 2002/2003

Tabel 7. Jumlah dan Persentase Tingkat II Darah Asal PSK

di 30 Propinsi 70

Tabel 8. Likelihood Type I Model Log-Linear Entropi

Interaksi Spasial 74

Tabel 9. Estimasi Parameter Daya Tarik (?j) yang telah diurutkan 75

Tabel 10. Estimasi Parameter Daya Dorong (?i) Positif 80

untuk Beberapa Daerah yang Lebih dari 2,5

Tabel 11. Estimasi Parameter Daya Dorong (?i) Negatif 81

yang Lebih Kecil dari -2,5

(13)

DAFTAR GAMBAR +

Halaman

Gambar 1. Diagram Kerangka Pemikiran 35

Gambar 2. Diagram Proses Analisis Data 47 Gambar 3. Rata-rata Lama Bekerja PSK di 10 Propinsi

Tahun 2002/2003 66

Gambar 4. Persentase PSK yang Pernah Bekerja di Daerah Lain

10 Propinsi Tahun 2002/2003 66

Gambar 5. Distribusi Umur Pelanggan Pria di 10 Propinsi

Tahun 2002/2003 67

Gambar 6. Tingkat Pendidikan Pelanggan Pria di 10 Propinsi

Tahun 2002/2003 68

Gambar 7. Peta Jumlah PSK menurut Daerah Asal 69 Gambar 8. Rata-rata Jumlah Anggota Keluarga Tahun 2004 71 Gambar 9. Rata-rata Lama Sekolah Kepala Keluarga Tahun 2004 72 Gambar 10. Rata-rata Lama Sekolah Anggota Rumah Tangga

Tahun 2004 72

Gambar 11. Tingkat Pengangguran Anggota Keluarga Tahun 2004 73

Gambar 12. Peta Daya Tarik Daerah Transaksi Seks Jasa Komersial 76 Gambar 13. Peta Daya Dorong Daerah Asal Seks Jasa Komersial 82

(14)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pada tahun 2003 pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 4,1 persen dan stabilitas makro ekonomi yang ditunjukkan dengan inflasi sebesar 5.8 persen. Berdasarkan hal tersebut banyak pakar ekonomi dalam negeri maupun luar negeri merasa optimistik terhadap prospek pembangunan ekonomi masa depan. Namun dalam kenyataannya pertumbuhan tersebut kualitasnya rendah, karena terlalu didukung oleh pertumbuhan konsumsi (69 persen) dan tidak/kurang didukung oleh pertumbuhan investasi. Disamping itu hutang-hutang negara mencapai lebih dari 500 trilyun rupiah sangat membebani kehidupan ekonomi masyarakat. Dari segi fiskal, kemampuan penerimaan dari pajak juga masih rendah. Sedangkan dari segi pengeluaran, desentralisasi fiskal menimbulkan banyak kebocoran (korupsi) dan tidak mengarah kepada alokasi bagi pembangunan daerah, melainkan kepada pengeluaran rutin. Dari segi moneter, statbilitas makro ekonomi sebenarnya didukung oleh lingkungan eksternal dengan rendahnya tingkat sukubunga dan inflasi dari large ekonomi (US dan Jepang) dan exchange rate dengan melemahnya US $.

(15)

Kegagalan sistem ekonomi, terutama yang mengakibatkan meningkatnya angka pengangguran akan berakibat pada turunnya kualitas modal manusia (human capital) secara perlahan, misalnya tingkat pendidikan dan kesehatan. Pertama -tama para orang tua akan memberhentikan anaknya bersekolah, karena uang yang dimiliki hanya cukup untuk makan. Bila keadaan tidak berubah, orang tua akan mengurangi kualitas makanan sehingga keadaan kesehatan anggota keluarganya menurun. Lama kelamaan bermunculan anak yang kurang gizi. Bila dewasa nanti anak-anak tersebut akan menjadi manusia yang rendah kualitasnya, sehingga tidak dapat bersaing dengan yang lainnya dalam memasuki dunia kerja. Dengan kualitas tersebut, mereka hidup dalam kemiskinan yang hanya memikirkan pangan dan mengabaikan kebutuhan lainnya. Seperti diungkapkan oleh Maslow (sosiolog) dan menurut sebuah Hadits Nabi Muhammad SAW, bahwa kemiskinan (material) menjadi pendorong perilaku kriminal (kekufuran), mereka akan berfikir bagaimana cara cepat untuk mendapatkan uang, misalnya dengan berjudi, mencuri, merampok atau menjadi pekerja seks bagi kaum hawa.

Umumnya tempat-tempat yang menampung kehadiran pekerja seks perempuan di daerah yang sedang berkembang dan mudah dilalui oleh orang-orang yang bepergian. Terbentuknya tempat-tempat tersebut juga karena permintaan orang-orang yang singgah, baik secara terang-terangan maupun secara tersembunyi.

(16)

Di kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan berkembang tempat-tempat hiburan yang bernuansa seks bukan saja untuk memenuhi kebutuhan seks semata, tapi sudah beralih menjadi hiburan “orang-orang kelas atas”, seperti terungkap dalam buku Jakarta Undercover (Emka, 2002 dan 2003). Perkembangan tempat-tempat seperti itu juga terjadi di daerah-daerah lainnya, namun tidak ketahui dimana tempat yang menjadi pusat kekuatan pasar bisnis ini dan bagaimana cara menghambat atau bahkan menghentikan perkembangannya. Sampai saat ini pekerja seks dianggap sebagai penyebar utama penyakit HIV/AIDS, maka apabila kegiatan bisnis seks tersebut semakin berkembang akan semakin pula pend erita HIV/AIDS yang sampai sekarang belum ditemukan obat penyembuhnya. Penderita ini tidak hanya terjadi di lingkungan PSK tetapi juga di lingkungan orang-orang lain yang tidak berhubungan langsung dengan PSK, yang disebarkan melalui pengguna jasa seks PSK. Menurut Badan Dunia (PBB) pada tahun 1999 AIDS telah merupakan penyebab kematian nomor 4 di dunia setelah penyalit jantung, hipertensi/stroke dan infeksi pernapasan. Bila masalah ini tidak segera diatasi, maka kemungkinan besar akan terjadi penurunan mutu/kualitas manusia, yang merupakan modal pembangunan (human capital). Akhirnya kita bisa mengalami loss generation.

1.2. Perumusan Masalah

Kegiatan pekerja seks komersial (PSK) tidak akan pernah berhenti, karena bisnis ini merupakan bisnis tertua di dunia. Namun bisnis ini merupakan bisnis illegal baik secara hukum agama maupun hukum manusia, sehingga harus ditemukan cara untuk mencegah perkembangannya.

(17)

Berbeda dengan pekerja “biasa”, PSK tidak umum bekerja menetap di suatu tempat. Mereka akan berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, untuk memberi kesan “selalu baru”.

Sebagai langkah awal, penelitian ini mempelaja ri mengenai pola spasial struktur pasar jasa seks komersial, untuk mamahaminya maka perlu diperhatikan dan dikemukakan beberapa permasalahan, yaitu:

1. Bagaimana struktur pasar jasa seks komersial?

2. Apakah kondisi daerah asal maupun daerah kerja mempengaruhi struktur pasar jasa seks komersial?

3. Apakah ada pola khusus mengenai mobilitas pekerja seks komersial? 4. Apa penyebab utama berkembangnya pasar jasa seks komersial?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang diungkapkan di atas, maka tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengidentifikasi profil “pelaku” baik pekerja seks komersial maupun pengguna jasanya.

2. Untuk mengetahui pola spasial daerah asal PSK

3. Untuk mengetahui daerah mana yang paling kuat daya tariknya sebagai tempat transaksi seks komersial, karakteristik daerahnya dan indikator yang mencirikan daya tarik tersebut.

4. Untuk mengetahui daerah mana yang paling kuat daya dorongnya sebagai daerah asal pekerja seks komersial, karakteristik daerahnya dan indikator yang mencirikan daya dorong tersebut.

5. Untuk mengetahui indikator yang mencirikan perkembangan daya dorong dan daya tarik (hambatan spasial) transaksi jasa seks komersial

(18)
(19)

II. II. TINJAUAN PUSTAKA III.

2.1. Pasar Jasa

Secara umum produk yang ditawarkan suatu perusahaan dibedakan menjadi 5 kategori. Pertama produk fisik murni, misalnya produk sabun mandi atau shampoo, kedua produk fisik yang diertai jasa pendukung, misalnya produk sepeda motor. Dalam pembelian produk sepeda motor sudah disertai jasa pengantar atau jasa service gratis. Ketiga produk hibrid, yaitu porsi barang dan jasa seimbang, misalnya produk ayam Mc. Donald yang diterima masyarakat sudah diimbangi dengan jasa pelayanan. Keempat produk jasa yang didukung oleh barang misalnya hotel dan yang terakhir adalah jasa murni, yaitu pijat refleksi, konsultasi hukum, dan jasa pelayanan seks.

Menurut Kotler (2004) jasa adalah setiap tindakan atau perbuatan yang dapat ditawarka n oleh suatu pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya bersifat

intangible (tidak berwujud fisik) dan tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu. Produk jasa bisa berhubungan dengan produk fisik maupun tidak. Dalam prakteknya membedakan barang dan jasa sulit dilakukan.

Selanjutnya Kotler (2004) menyebutkan bahwa produk jasa mempunyai ciri-ciri khusus yang dapat dibedakan dengan produk barang fisik, yaitu:

1. Produk jasa yang dikonsumsi tidak dimiliki oleh konsumen. 2. Produk jasa merupakan suatu kenerja yang sifatnya intangibles.

3. Dalam proses produksi jasa, konsumen memiliki peran yang lebih besar untuk turut serta dalam pengolahannya dibandingkan dengan produk barang fisik. 4. Orang-orang yang terlibat dalam proses jasa berperan dalam pembentukan

atau merancang jasa.

5. Produk jasa lebih bervariasi.

(20)

8. Faktor waktu dalam proses jasa dan konsumen jasa relatif lebih diperhatikan. Proses pembelian jasa dirangkai dalam lima tahap. Tahap dimulai dari kesadaran akan adanya kebutuhan, lalu ditindaklanjuti dengan pencarian jasa-jasa yang dapat memenuhi kebutuhan itu. Selanjutnya dilakukan proses evaluasi atas alternatif jasa tersebut. Tahap keempat adalah keputusan pemberlian pada jasa yang dianggap paling cocok oleh konsumen tersebut. Tahap terakhir tahap evaluasi atas produk jasa yang dikonsumsi.

Pembentukan suatu pasar dipengaruhi oleh: aspek geografis, domografis, psikografis, dan perilaku. Komponen utama aspek geografis misalnya bangsa, Negara, propinsi dan kota/kabupaten. Komponen utama aspek demografis meliputi usia, tahap daur hidup, jenis kelamin dan pendapatan, sedangkan komponen utama aspek psikografis adalah kelas sosial, gaya hidup, dan kepribadian. Aspek perilaku, komponen utamanya seperti kesempatan, tingkat penggunaan, status kesetiaan, tahap kesiapan pembeli dan sikap.

Kualitas jasa diukur berdasarkan dimensi:

a. Reliability, yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan yang sesuai dengan janji yang ditawarkan.

b. Responsiveness, yaitu respon atau kesigapan karyawan dalam membantu pelanggan dan memberikan pelayanan yang cepat dan tanggap, yang meliputi kesigapan karyawan dalam melayani pelanggan, kecepatan karyawan dalam menangani transaksi dan penanganan keluhan pelanggan.

(21)

d. Emphaty, yaitu perhatian pribadi secara individual yang diberikan perusahaan kepada pelanggan seperti kemudahan untuk menghubungi perusahaan, kemampuan karyawan untuk berkomunikasi dengan pelanggan, dan usaha perusahaan untuk memahami keinginan dan kebutuhan pelanggan.

e. Tangibles, meliputi penampilam fasilitas fisik, seperti gedung, ruangan, tempat parkir, kebersihan, kerapihan dan kenyamanan ruangan, kelengkapan peralatan komunikasi dan penampilan karyawan.

2.2. Sejarah Pelacuran di Indonesia

Berdasarkan hasil penelitian Hull et al. (1997), terungkap bahwa asal usul pelacuran modern di Indonesia berasal kerajaan-kerajaan Jawa dimana perdagangan perempuan pada saat itu merupakan bagian pelengkap dari sistem pemerintahan feodal. Ada dua kerajaan yang sangat lama berkuasa di Jawa berdiri tahun 1755, yang merupakan pecahan dari kerajaan Mataram, yaitu Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Mataram merupakan kerajaan Islam Jawa yang terletak di sebelah selatan Jawa Tengah. Pada masa itu konsep kekuasaan seorang raja digambarkan sebagai kekuasaan yang sifatnya agung dan mulia (binatara). Kekuasaan raja Mataram sangat besar. Mereka sering kali dianggap menguasai segalanya, tidak hanya tanah dan harta benda, tapi juga nyawa hamba sahaya mereka. Anggapan ini apabila dikaitkan dengan eksistensi perempuan saat itu mempunyai arti tersendiri.

(22)

lingkungan masyarakat kelas bawah yang dijual atau diserahkan oleh keluarganya dengan maksud agar keluarga tersebut mempunyai keterkaitan dengan keluarga istana. Sebagian selir raja ini dapat meningkat statusnya karena melahirkan anak-anak raja. Perempuan yang dijadikan selir tersebut berasal dari daerah tertentu yang terkenal banyak mempunyai perempuan cantik dan memikat. Terdapat 11 Kabupaten di Jawa yang dalam sejarah terkenal sebagai pemasok perempuan untuk kerajaan; dan sekarang daerah tersebut masih terkenal sebagai sumber wanita pelacur untuk daerah kota. Daerah-daerah tersebut adalah Kabupaten Indramanyu, Karawang, dan Kuningan di Jawa Barat; Pati, Jepara, Grobogan, Wonogiri di Jawa Tengah; serta Blitar, Malang, Banyuwangi, dan Lamongan di Jawa Timur. Kecamatan Gabus Wetan di Indramanyu terkenal sebagai sumber pelacur; dan menurut sejarah daerah ini merupakan salah satu sumber perempuan muda untuk dikirim ke istana Sultan Cirebon sebagai selir.

(23)

yang umumnya mengandalkan adanya solidaritas dari lingkungan dimana dia hidup, pada kasus-kasus tertentu sangat dipengaruhi oleh kepercayaan (agama) yang dianut, cenderung berganti dengan nilai sosial yang lebih individualistik yang berkembang di daerah kota.

Menurut Hull et al. sejak awal tahun 1970-an, telah terjadi transformasi struktural yang luar biasa dalam perekonomian Indonesia. Sektor primer yang tadinya dapat menyediakan lapangan kerja bagi 74 persen penduduk dalam usia kerja pada tahun 1971, kemudian hanya dapat menyediakan lapangan kerja bagi 49 persen penduduk dalam usia kerja pada tahun 1990. Kondisi ini menunjukkan penurunan kemampuan sektor primer dalam menyediakan lapangan kerja bagi angkatan kerja, dan harus diperhitungkan pula bahwa dalam periode tersebut penduduk daerah kota meningkat dari 17 persen dari jumlah penduduk seluruhnya pada tahun 1971 menjadi 31 persen pada tahun 1990. Selain itu, telah terjadi peralihan aktivitas tenaga kerja wanita secara besar-besaran dari kegiatan sektor pertanian ke sektor non pertanian. Banyak di antara tenaga kerja wanita sektor pertanian – perdesaan yang pind ah ke kota untuk mencari pekerjaan di luar sektor pertanian. Di kota, pekerjaan banyak tersedia bagi para tenaga kerja wanita di sektor industri pengolahan, misalnya sebagai

clerk, sektor perdagangan sebagai tenaga penjual, dan di sektor hotel dan restaurant sebagai pramusaji, dan sector jasa sebagai pembantu rumah tangga. Meskipun demikian, upah yang mereka terima dari berbagai kegiatan tersebut relatif rendah. Oleh karena itu, ada kemungkinan pekerjaan di industri seks lebih menarik karena pendapatan yang mereka harapkan dapat mencapai lima sampai sepuluh kali lipat. Faktor jauh dari keluarga dan kebebasan dari kehidupan desa serta adanya fasilitas-fasilitas hiburan di kota, menarik para perempuan muda ini untuk masuk dalam dunia prostitusi (Hull et al.,1997).

(24)

Industri seks dimulai dengan adanya permintaan jasa seks, kemudian dilanjutkan dengan penyediaan jasa seks itu sendiri yang dalam perkembangannya dipengaruhi oleh kualitas jasa pelayanan PSK. Permintaan jasa seks dapat berasal dari penguasa yaitu orang yang mempunyai kekuasaan sehingga dapat membeli jasa seks baik dengan paksa maupun dengan sukarela. Namun permintaan jasa seks juga berasal dari orang yang membutuhkan kebutuhan biologis yang sangat mendesak, kare na tingal terpisah dari keluarga, misalnya pelaut, pedagang, atau tentara. Pada masa kini, permintaan jasa seks berkembang menjadi suatu hiburan orang-orang tertentu, misalnya para eksekutif muda baik yang sudah berkeluarga maupun belum. Gambaran tersebut menunjukkan semakin tinggi tingkat kesejahteraan pemakai jasa seks komersial ini semakin tinggi kualitas jasa yang diinginkan.

Untuk memenuhi segala permintaan jasa seks, penyediaan jasa seks dilakukan dengan berbagai cara, misalnya melalui perdagangan perempuan, terutama perempuan usia belia. Akan tetapi tidak sedikit pula yang menyediakan jasa seks secara sukarela. Perempuan yang menyediakan jasa seks secara sukarela umumnya karena desakan ekonomi keluarga. Namun perempuan-perempuan yang sukarela menjadi penjual jasa seks tersebut berasal dari daerah yang secara kultural menganggap bahwa bekerja sebagai penjual jasa seks merupakan hal yang wajar.

Dalam industri seks sangat dipengaruhi oleh kualitas jasa seks yang biasanya diukur dengan kecantikan dan umur perempuan penjual jasa seks. Menurut observasi Emka (2002 dan 2003), semakin cantik dan semakin muda perempuan maka harganya semakin mahal. Selain itu teknik-teknik pelayanan jasa seks juga mempengaruhi harga PSK. Semakin profesional PSK semakin mahal harganya, namun tetap dibatasi oleh umur PSK. Tempat transaksi jasa seks juga merupakan ukuran harga PSK, misalnya harga jasa seks di hotel berbintang lebih mahal daripada hotel melati.

(25)

memberi sejumlah uang untuk interaksi seksual. Terdapat 3 perbedaan bentuk pelacuran menurut hubungannya dengan pengelola bisnis pelacuran, yaitu:

1. Bekerja sendiri tanpa calo atau majikan, seringkali beroperasi di pinggir jalan atau keluar masuk satu bar ke bar lainnya.

2. Bekerja dengan menggunakan jasa calo yang terkait secara hierarkis. Calo atau perantara bisa “germo” yang mengkhususkan diri pada bisnis pelacuran, pemilik klub malam, guide turis baik local maupun asing, supir taksi, atau pegawai hotel. Biasanya pelacur sendiri hanya memperoleh sebagian kecil dari uang yang dibayarkan oleh kliennya.

3. Berada langsung di bawah naungan sebuah lembaga atau organisasi mapan. Contohnya klub panti pijat, tempat lokalisasi, dan hotel- hotel.

Disamping itu dalam buku tersebut juga disebutkan mengenai alasan perempuan menjadi pelacur. Alasan yang disebutkan ada 3, yaitu:

1. Keadaan ekonomi rumah tangga perempuan pelacur

Berdasarkan kasus-kasus yang ditemukan pada golongan umur tertentu, bahwa sebagian para pelacur berasal dari desa-desa tertentu di Pantai Utara Jawa. Para pelacur ini bekerja sebagai pelacur di kota-kota besar karena alasan ekonomi. 2. Pandangan tentang seksualitas

Ada pandangan masyarakat bahwa keperawanan perempuan harus dipertahankan sebelum kawin. Perempuan yang diketahui (atau dianggap) telah kehilangan keperawanannya akibat peristiwa perkosaan atau terbujuk seorang laki- laki, seringkali mendapatkan cap yang sedemikian buruk. Karenanya, kemudian muncul pandangan bawa sekali “rusak”, nama baik tidak akan bisa diperoleh kembali. Akibatnya, tak ada jalan lain bagi mereka kecuali masuk ke dalam peran yang diciptakan untuk mereka.

(26)

Dalam sistem hierarki antara pelacur dengan para calo atau pemilik usaha pelacuran ada ikatan- ikatan yang sangat mengekang pelacur, sehingga tak mungkin keluar dari jeratan “germo”. Misalnya orang tua miskin mengirim anaknya ke calo tenaga kerja yang kemudian memasukkan mereka ke tempat pelacuran. Uang yang seharusnya dibayarkan ke pelacur, dibayarkan ke orang tua mereka, sedangkan orang tua pelacur tidak mengetahui pekerjaan anaknya.

Menurut Hull et al. (1997) industri seks dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu industri seks yang terorganisasi dan industri seks yang tidak terorganisasi. Namun demikian, kategori industri seks yang terorganisasi sekalipun tidak memiliki struktur yang pasti. Bisnis seks yang dikelola secara “baik” biasanya memp unyai seorang manajer dan ada hubungan kerja antara manajer dan para karyawannya sebagai pekerja seks. Sering pula terjadi penggunaan jasa perantara (mediator) yang dibayar (berdasarkan komisi) untuk mempertemukan para wanita tuna susila dengan calon klie nnya. Sedangkan para wanita tuna susila yang bekerja pada industri seks tidak terorganisasi akan bekerja sendiri mencari dan menghubungi kliennya. Kelompok tertentu seperti call-girl selalu bekerja sendiri atau kadang-kadang juga memanfaatkan jasa pekerja perantara.

Kaum laki- laki yang mencari pelayanan seks komersial dapat memperoleh wanita-wanita tersebut di lokasi berikut:

• Lokasi tertentu dimana lokasi seks dapat dilaksanakan di tempat, misalnya panti pijat, rumah bordil, lokalisasi rumah bordil

• Lokasi yang telah ditentukan dimana transaksi seks dapat terjadi, tetapi kegiatan seks biasanya dilakukan di tempat lain, misalnya klub malam, salon kecantikan, diskotik, pusat call-girl, lobby, bar, coffee shops.

(27)

Lokasi- lokasi yang disebut di atas biasanya sudah dikenal masyarakat, seperti kompleks rumah bordil atau kawasan dimana para perek bisa dijumpai, atau setidaknya dikenal oleh pelanggan tertentu.

2.4. Dampak Krisis Ekonomi dan Rendahnya Strata Sosial Ekonomi terhadap Peningkatan Perilaku Berisiko Tinggi atau Pekerja Seks Komersial

Krisis ekonomi yang dialami Indonesia berdampak pada meningkatnya jumlah pekerja seks komersial di daera h perkotaan. Semula sebagaian besar mereka berasal dari desa dan umumnya berpendidikan rendah, namun kini banyak yang berasal dari kota bahkan mereka masih pelajar SLTP atau SLTA. Pada umumnya mereka bekerja di jalan-jalan, di mall, atau di restoran baik pada waktu siang hari maupun malam hari. Secara teoritis banyak faktor yang menjadi penyebab kemunculan para remaja ini. Antara lain karena mereka dalam usia ingin tahu dan ingin memiliki pengalaman tentang seksualitas. Karena kebutuhan ekonomi, materialistik, pengaruh teman sebaya, keluarga tidak harmonis, pendekatan pendidikan yang salah dari orang tua atau korban perkosaan yang putus asa atau alasan lain. Besar kemungkinan mereka akan menjadi anak jalanan, karena uang yang didapat tidak cukup untuk sewa kamar atau rumah tinggal. Lama kelamaan mereka dapat menjadi korban perkosaan para pria atau anak laki- laki jalanan. Hal ini sangat memudahkan terjadinya penularan PMS/HIV/AIDS pada mereka sendiri maupun teman kencannya.

(28)

Lingkungan sosial, kultural dan ekonomi dalam banyak hal diduga memberikan andil yang cukup besar terhadap frekuensi kejadian PMS atau Human

Immunodeficiency Virus/Acquired Immuno Deficiency Syndrome. (HIV/AIDS). Menurut

Joesoef dalam Ariadi dkk, 1999 bahwa hubungan antara sosial ekonomi dengan kejadian PMS. Semakin rendah status sosial ekonomi pekerja pekerja seks komersial maka semakin tinggi kejadian PMS. Berdasarkan hasil beberapa kali wawancara yang dilakukan dengan wanita tuna susila di kawasan lokalisasi, memperlihatkan bahwa keberadaan mereka di tempat tersebut dimulai dari upaya mereka untuk memenuhi kebutuhan ekonomi orang tua atau keluarganya sendiri. Hal ini juga tidak terlepas dari adanya kultur yang memperkenalkan pola bahwa anak diharapkan untuk dapat membantu atau memberikan kontribusi ekonomi orang tua atau keluarga. Tidak jarang anggota masyarakat yang masih menganut budaya orang tua mewajibkan anak untuk menghidupi orang tua atau anak mencari nafkah untuk membantu keluarga. Jika anak tidak membantu orang tua atau ikut mencari nafkah oleh masyarakat dinilai sebagai anak yang tidak tahu adat. Bahkan keberadaan seorang ayah yang santai dalam arti tidak mencari nafkah untuk keluarganya masih diterima oleh masyarakat. Sementara itu anaknya (baik pria maupun wanita) yang mulai remaja (tanpa memperhatikan ketrampilan atau pendidikan yang dimiliki anak-anak) telah memikirkan dan mencari nafkah atau mencari uang. Seringkali para anak remaja perdesaan kurang memikirkan peningkatan pendidikan dan ketrampilan dirinya sendiri sebab sebagai anak yang baik mereka wajib mulai mencari uang untuk orang tuanya dan adik-adiknya. Sampai sekarang masih banyak desa yang jauh dari sekolah lanjutan tingkat pertama, sehingga cukup banyak remaja di desa hanya lulusan sekolah dasar. Tragisnya banyak orang beranggapan dan hal ini telah menjadi rahasia umum bahwa mencari uang di kota lebih mudah dibandingkan di desa. Akibatnya pergi ke kota meski keselamatannya belum tentu terjamin dan diantaranya bahkan ada yang tertipu untuk selanjutnya menjadi pekerja seksl komersial.

(29)

pekerja seks komersial peningkatan kejadian PMS mungkin akan besar. Bila PSK tidak teralokasir maka petugas kesehatan akan makin sulit memaksa mereka untuk berobat PMS secara teratur dan benar. Dengan demikian pengobatan PMS pada pelacur menjadi sangat tergantung pada kesadaran dan kemajuan mereka sendiri. Masalahnya wanita penderita PMS tidak menunjukkan gejala atau keluhan dan hanya dapat diketahui melalui pemeriksaan laboratorium. Hal ini dapat berakibat pekerja seks komersial penderita penyakit ini tidak merasa perlu untuk berobat dan tetap melayani tamunya. Dengan demikian bila pekerja seks komersial pengidap PMS mempunyai banyak langganan maka berarti penularan PMS ini akan cepat meluas di antara para langganan dan isteri/pasangan pela nggan.

2.5. Perdagangan Perempuan

Dalam Kompas (Juni 2003) disebutkan bahwa Lola Wagner dari jaringan Yayasan Mitra Kesehatan dan Kemanusiaan (YMKK) menyatakan, saat ini di seluruh Indonesia diperkirakan terdapat 230.000 perempuan dan anak yang terjebak di dalam sindikat perdagangan manusia. Di Kepulauan Riau, Kundur, Karimun, dan Bintan diperkirakan jumlahnya mencapai 10.000, dan sekitar 5.000 di antaranya berada di Batam. Sepuluh persen dari populasi pekerja seks di Batam berusia di bawah 18 tahun.

(30)

seksual maupun yang lainnya, kerja paksa, perbudakan atau praktik -praktik yang mirip perbudakan dan penghambaan. Contoh yang mencolok terjadi di Kalimantan Barat karena provinsi ini merupakan salah satu provinsi yang berbatasan langsung dengan Negara Bagian Serawak, Malaysia Timur. Seperti dituturkan Hairiah SH dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi (LBH Apik) dalam Kompas (Juni 2003), di Kalbar terdapat sekitar 50 jalur jalan setapak yang menghubungkan 55 desa di Kalbar dengan 32 kampung di Serawak. Jaringan kriminal perdagangan perempuan dan anak bahkan melibatkan orang- orang terdekat calon korban, seperti anggota keluarga sendiri dan aparat yang berpengaruh di tingkat desa. "Sebagai imbalan, orangtua yang menyerahkan anaknya kepada calo (1) akan diberi imbalan sebesar Rp 75.000-Rp 100.000. Calo (1) kemudian menyerahkan anak- anak dan perempuan kepada pihak lain (calo 2) di Kota Pontianak. Tugas calo (1) berakhir setelah ia menerima imbalan sebesar Rp 600.000-Rp 700.000 per anak, kalau kelengkapan anak perempuan itu berupa KTP, ijazah, dan akte kelahiran untuk mempermudah pembuatan paspor. Kalau tidak maka calo (1) menerima Rp 200.000-Rp 300.000 lebih rendah dari jumlah yang dijanjikan.

Koordinator Tim Pakar Hukum Departemen Kehakiman dan HAM RI Prof Dr Romli Armasasmita SH, LLM, mengingatkan, RUU tentang Perdagangan perempuan dan Anak di Indonesia harus dirumuskan secara teliti karena Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) dibentuk berdasarkan UU Ketenagakerjaan. Dalam pengertian dan rumusan tentang trafficking, posisi PJTKI sangat vulnerable sebagai subyek implementasi Protokol dan RUU tersebut. Tiga protokol yang menginduk pada Konvensi tentang Kejahatan Transnasional yang Terorganisasi itu merupakan tambahan Konvensi Palermo 2000, yakni Protokol untuk Melindungi, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Manusia, khususnya Perempuan dan Anak-anak, Protokol Antipenyelundupan Migran melalui Darat, Laut, dan Udara serta Protokol Antipenyelundupan Senjata.

(31)

Transnasional Mabes Polri Brigjen (Pol) Aryanto Sutadi menyatakan, Kepolisian RI mulai tahun ini membenahi penanganan kasus perdagangan perempuan dan anak-anak. Polda DKI Jakarta telah menginvestigasi dan membebaskan 174 perempuan dan anak-anak korban perdagangan manusia yang berkedok panti pijat "Sari Ayu".Polda DKI juga menahan dua laki- laki tersangka pelaku perdagangan perempuan muda ke Malaysia Januari 2003. Tahun sebelumnya, Polda Jawa Barat menahan dua tersangka pelaku yang membawa tujuh perempuan dari Indramayu untruk diperdagangkan ke Surabaya. Meski demikian, seluruh upaya Polri itu dihadang jaringan yang kuat dari sindikat kriminal yang tak segan-segan melakukan semua cara untuk memuluskan bisnis mereka. Sangat disayangkan, pejabat tertinggi di Batam, Kalimantan Barat, Indramayu, Singkawang -daerah-daerah pengirim dan penerima terbesar dari praktik perdagangan manusia di Indonesia-hanya mengirimkan wakilnya untuk berbicara dalam forum yang penting itu.

2.6. Perubahan Perilaku Seksual di Masyarakat dan Preferensi Seksual

Dengan tingginya angka urbanisasi baik dalam status sebagai pekerja di pabrik, pekerja bangunan, pegawai took/salon/panti pijat, pelajar atau mahasiswa maka risiko adanya perzinahan mungkin saja terjadi. Para tenaga kerja pada umumnya adalah kelompok remaja awal baik yang belum maupun sudah menikah. Bagi tenaga kerja wanita melakukan perzinahan mungkin dalam rangka menambah pendapatan, kesenangan atau sebab lain. Tetapi bagi tenaga kerja pria kegiatan seks tersebut umumnya dalam rangka pemenuhan kebutuhan seks mereka.

(32)

kemampuan ekonomi mereka seringkali memilih pekerja seks komersial jalanan (umumnya termasuk kategori murahan).

Dari penelitian yang dilakukan Joesoef dkk (1988) memperlihatkan bahwa kelompok pekerja seks komersial perempuan ini memiliki “prevalence rate” PMS cukup tinggi yakni sebanyak 42 persen. Keadaan ini cukup membahayakan terhadap adanya peningkatan penularan PMS pada kelompok usia produktif tersebut. Apalagi jika kemudian mereka melakukan hubungan seks dengan isteri masing- masing di daerah, maka penularan PMS pun diperkirakan akan semakin meluas. Seharusnya para suami ini (pekerja migran atau pelajar) harus berobat sampai sembuh sebelum berhubungan seks dengan isteri mereka. Tetapi kondisi keuangan yang terbatas, mereka umumnya tidak berobat dengan sempurna pada petugas kesehatan yang kompeten, melainkan melakukan pengobatan sendiri misalnya dengan supertetra yang dibeli di penjual obat jalanan.

2.7. Dampak Epidemi HIV/AIDS

(33)

diintegrasi sosial, keruntuhan aspirasi dan terganggunya perkembangan ekonomi. Penyebaran infeksi HIV/AIDS menimbulkan rasa takut yang berlebihan dan akan melahirkan penolakan, prasangka, stigmatisasi, diskriminasi, dan pengucilan terhadap orang atau kelompok yang tertular HIV. Hal ini merupakan tantangan terhadap rasa solidaritas, keadilan, dan rasa kemanusiaan yang melanda masyarakat.

Sementara itu dalam sektor kesehatan penyebaran infeksi HIV akan berdampak pada meningkatnya pelayanan kesehatan secara cepat. Pengeluaran untuk pelayanana penderita AIDS akan bertambah baik secara absolut maupun relatif terhadap biaya kesehatan secara keseluruhan. Apabila jumlah penderita telah mengalami peningkatan yang sangat cepat sehingga rumah sakit tidak mampu lagi menampung mereka, ini memaksa sektor kesehatan mengembangkan perawatan di luar rumah sakit misalny dalam bentuk rumah perawatan dalam masyarakat (community based care).

(34)

pengurangan gizi anak dan isterinya (keluarga) serta memiliki kemampuan ekonomi yang terbatas untuk keperluan membayar sekolah anak-anak, biaya kesehatan ataupun biaya investasi dan produksi.

Pelayanan medis penyakit AIDS memang merupakan persoalan yang serius di bidang ekonomi. Hanya para penderita yang secara ekonomi mampu, yang akan mendapatkan pelayanan memadai. Sebagian besar penderita yang umumnya penduduk di negara dunia ketiga atau negara miskin harus menyerah terkapar dan mati secara mengenaskan. Belum lagi umumnya para penderita merupakan kelompok berusia produktif.

2.8. Indikator Kesejahteraan Rakyat

Kebutuhan untuk melihat phenomena atau masalah dalam perspektif waktu dan tempat, sering menuntut adanya ukuran baku. Dalam ilmu- ilmu sosial salah satu masalah pokok pengembangan ukuran baku itu ialah soal kuantifikasi. Tidak semua masalah sosial mudah dikuantifikasikan. Bahkan sisi paling peka dari problematik sosial lazimnya mustahil diukur secara angka. Solidaritas sosial, tenggang rasa, gotong royong, ketahanan sosial adalah dimensi terpenting dari kuantitas bermasyarakat, namun hampir mustahil secara langsung diukur. Begitu juga dimensi-dimensi kualitas berbangsa seperti rasa kebangsaan, patriotik, disiplin nasional, moralitas, ketahanan budaya, tata nilai, rasa keadilan, perikemanusiaan dan kebebasan estetika.

Indikator sosial muncul sebagai salah satu alternatif ukuran pembangunan dimulai sejak tahun 1966 oleh US Departement of Health, Education and Welfare (HEW) dengan penerbitannya: Towards a Social Reports, dan sering disebut indikator sosial. Konsep indekator sosial terpenting dari HEW ditekankan pada: - Indikator Sosial harus bersifat normatif (sesuatu yang lebih baik)

(35)

Dengan kemampuan personil yang ada dan terbatasnya data yang tersedia, maka pada tahun 1973 BPS menerbitkan Indikator Sosial 1971, yang mencakup indikator :

a. Bidang Kependudukan b. Bidang Pangan

c. Bidang Papan d. Bidang Kesehatan e. Bidang Pendidikan

f. Bidang Transportasi dan Komunikasi g. Bidang Lingkungan dan Masyarakat h. Bidang Lektur dan Penerbitan i. Bidang Rekreasi dan Olahraga

Pada tahun 1980 BPS menerbitkan Indikator Kesejateraan Rakyat 1979 sebagai pengganti Indikator Sosial. Perubahan nama dari Indikator Sosial menjadi Indikator Kesejahteraan Rakyat merupakan kesepakatan yang diambil dari Lokakarya Indikator Sosial yang diselenggarakan pada bulan April 1980. Penggantian istilah dari Indikator Sosial menjadi Indikator Kesejahteraan Rakyat dimaksudkan untuk menekankan masalah “Stage of Welfare”, bukan keadaan sosial yang amat luas. Indikator Kesejahteraan Rakyat 1979 terdiri dari bidang-bidang:

a. Penduduk, Keluarga Berencana dan Migrasi b. Pendidikan dan Sosial Budaya

c. Kesehatan, Gizi, Konsumsi, dan Pengeluaran Rumah Tangga d. Tenaga Kerja

e. Keamanan dan Ketertiban Umum f. Lingkungan Hidup dan Perumahan

(36)

2.9. Modal Manusia (Human Capital)

Model pembangunan pada negara berkembang seperti Indonesia ini, lebih memfokuskan pada penambahan modal fisik daripada pemenuhan kebutuhan manusia. Dengan anggapan bahwa di negara berkembang terdapat relatif terlalu banyak manusia tetapi amat langka modal fisik (barang dan jasa), maka manusia merupakan beban pembangunan.

Manusia merupakan modal pembangunan karena sesungguhnya tak ada pembangunan yang tidak menggunakan manusia, walau tingkat penggunaannya berbeda dari satu strategi ke strategi lainnya. Manusia merupakan konsumen pembangunan karena pembangunan itu sendiri bertujuan mensejahterakan manusia. Bila modal manusia ditingkatkan maka dapat memperbesar produksi barang dan jasa, maka manusia tidak lagi menjadi beban pembangunan melainkan menjadi suatu modal pembangunan (Ananta, 1985).

Sebagai kapasitas modal manusia terdiri dari faktor kesehatan dan pendidika n. Menurut Ananta (1995) keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang menghasilkan modal manusia. Oleh karena itu keluarga perlu diperdayakan agar keluarga menjadi sejahtera dan menghasilkan modal manusia yang bermutu, antara lain dengan memperluas kesempatan mengikuti pendidikan. Keluarga yang telah berpendidikan akan mencari dan menggunakan informasi kesehatan lebih efektif daripada keluarga yang kurang atau tidak berpendidikan, sedangkan di sisi lain kesehatan yang baik merupakan faktor penting untuk mendapatkan pendidikan yang baik. Modal manusia yang bermutu tinggi pada akhirnya dapat menjalankan pembangunan dengan baik.

2.10. Model Entropi Interaksi Spasial

(37)

orang, kendaraan, barang, dsb. Yang dimaksud dengan tempat (lokasi) bisa berupa desa, kecamatan, kabupaten/kota, propinsi, dsb. Secara matriks, pola mobilitas spasial ini dapat diilustrasikan sebagaimana pada Tabel 1. Salahsatu hambatan penting dalam melakukan mobilitas spasial adalah biaya mobilitas spasial per individu antara tempat dengan tempat tujuan. Dalam kondisi tertentu di mana kondisi geografis dan ketersediaan prasarana/sarana yang relatif homogen, biayaa mobilitas spasial ini bisa didekati (berbanding lurus) dengan jarak. Ilustrasi matriks jarak (biaya mobilitas) antara berbagai tempat asal dan tempat tujuan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 1: Ilustrasi Matriks Aliran Mobilitas Spasial Tempat Tujuan

1 2 ... j ... n Total

1 F11 F12 ... ... ... F1n O1

2 F21 F22 ... ... ... F2n O2

... ... ... ... ... ... ... ...

i ... ... ... Fij ... ... Oi

... ... ... ... ... ... ...

Tempat Asal

n Fn1 Fn2 ... ... ... Fnn On

[image:37.596.119.508.299.588.2]

Total D1 D2 ... Dj ... Dn

N

Tabel 2: Ilustrasi Matriks Biaya Mobilitas Spasial Tempat Tujuan

1 2 ... j ... N

1 d11 d12 ... ... ... d1n

2 d21 d22 ... ... ... d2n

... ... ... ... ... ... ...

I ... ... ... dij ... ...

... ... ... ... ... ...

Tempat Asal

N dn1 dn2 ... ... ... dnn

Model entropi interaksi spasial secara matematis dapat dirumuskan sebagai memaksimumkan fungsi entropi:

( )

= j i ij ij E E N E S ij , ! ! max (1)
(38)

(a) i j

ij j

ij F O

E =

=

(2)

(b) j

i ij i

ij F D

E =

=

(3)

(c) d E d F T

i j ij ij i j

ij

ij =

∑∑

=

∑∑

(4)

Keterangan:

Fij : banyaknya individu yang melakukan mobilitas spasial antara tempat asal ke-i dengan tempat tujuan ke-j

Eij : nilai harapan (expected value) banyaknya individu yang melakukan mobilitas spasial antara tempat asal ke-i dengan tempat tujuan ke-j

dij : jarak tempuh (rataan biaya mobilit as spasial per individu) antara tempat asal ke-i dengan tempat tujuan ke-j

Oi : banyaknya individu yang melakukan mobilitas spasial berasal dari tempat asal ke-i

Dj : banyaknya individu yang melakukan mobilitas spasial menuju ke tempat tujuan ke-j

T : total jarak tempuh yang dilakukan (total biaya mobilitas spasial yang dikeluarkan) oleh keseluruhan N buah individu

N : keseluruhan individu yang melakukan mobilitas spasial

S(Eij) : nilai entropi dari mobilitas spasial yang diharapkan dilakukan oleh keseluruhan N buah individu antar berbagai alternatif tempat asal i (i=1,2, ..., I) dengan berbagai alternatif tempat tujuan j (j=1,2, ..., J)

Untuk memudahkan perhitungan, Wilson (1967, 1970) menyatakan bahwa pemaksimuman fungsi entropi pada Persamaan (1) adalah ekivalen dengan pemaksimuman nilai logarithma dari fungsi entropi tersebut. Dan dengan menggunakan aproksimasi Stirling maka dapat ditulis:

( )

[

]

( )

∑∑

(

)

= − −         = i j ij ij ij j i ij

ij N E E E

E N E

S ln ! ln

(39)

Yang dimaksud dengan Model Entropi Interaksi Spasial adalah pemaksimuman fungsi logaritma entropi pada Persamaan (5) dengan memperhatikan kendala-kendala pada Persamaan (2) s.d. Persamaan (4). Bergantung pada fungsi kendala mana saja yang diperhatikan dalam model, secara umum Model Entropi Interaksi Spasial ini dapat dikategorikan kedalam 4 jenis, yaitu: (1) Model Entropi Interaksi Spasial Tanpa Kendala (Unconstrained Entropy Model), (2) Model Entropi Interaksi Spasial dengan Kendala Produksi (Production-Constrained Entropy Model), (3) Model Entropi Interaksi Spasial dengan Kendala Tarikan (Attraction-Constrained Entropy Model), dan (4) Model Entropi Interaksi Spasial dengan Kendala Ganda (Doubly Constrained Entropy Model).

Yang dimaksud dengan Model Entropi Interaksi Spasial Tanpa Kendala adalah Pemaksimuman fungsi logarithma entropi pada Persamaan (5) dengan hanya memperhatikan fungsi kendala (c) pada Persamaan (4). Yang dimaksud dengan Model Entropi Interaksi Spasial dengan Kendala Produksi adalah Pemaksimuman fungsi logarithma entropi pada Persamaan (5) dengan hanya memperhatikan fungsi kendala (a) pada Persamaan (2) dan fungsi kendala (c) pada Persamaan (4). Yang dimaksud dengan Model Entropi Interaksi Spasial dengan Kendala Tarikan adalah Pemaksimuman fungsi logarithma entropi pada Persamaan (5) dengan hanya memperhatikan fungsi kendala (b) pada Persamaan (3) dan fungsi kendala (c) pada Persamaan (4). Yang dimaksud dengan Model Entropi Interaksi Spasial dengan Kendala Ganda adalah Pemaksimuman fungsi logarithma entropi pada Persamaan (5) dengan memperhatikan fungsi kendala (a) pada Persamaan (2), fungsi kendala (b) pada Persamaan (3) dan fungsi kendala (c) pada Persamaan (4).

(40)

(

)

( )

(

)

    − +       +     − + − − =

∑∑

∑∑

i j ij ij i ij j j j j ij i i i i j ij ij ij ij E d T E D E O E E E N E L β γ λ

β ln ! ln

,

(6)

Pemaksimuman Fungsi Lagrange pada Persamaan (6) ini menghasilkan:

0

ln − − − ⋅ =

− = ∂ ∂ ij j i ij ij d E E L β γ λ (6a) 0 = − = ∂ ∂

j ij i i E O L λ (6b) 0 = − = ∂ ∂

i ij j j E D L γ (6c) 0 = − = ∂ ∂

∑∑

i j ij ijE d T L β (6d)

Persamaan (6b) ekivalen dengan fungsi kendala (a) pada Persamaan (2). Persamaan (6c) ekivalen dengan fungsi kendala (b) pada Persamaan (3). Persamaan (6d) ekivalen dengan fungsi kendala (c) pada Persamaan (4). Adapun dari Persamaan (6a), dengan menyerap tanda negatif kedalam parameternya, dapat ditulis hubungan matematis berikut:

( )

i

( ) (

j ij

)

ij d

E =exp λ ⋅expγ ⋅exp β ⋅ (7a)

Dengan mensubstitusikan Persamaan (7a) kedalam fungsi kendala (a) pada Persamaan (2), maka dapat diperoleh:

( )

( ) (

)

i

j

ij j

i j

ij d O

E = ⋅

⋅ ⋅ =

exp λ expγ exp β (7b)
(41)

( )

exp

( ) (

exp

)

1 exp −     ⋅ ⋅ ⋅ =

j ij j i

i O γ β d

λ (7c)

Dengan mensubstitusikan Persamaan (7a) kedalam fungsi kendala (b) pada Persamaan (3), maka dapat diperoleh:

( )

( )

(

)

j

i

ij i

j i

ij d D

E = ⋅

⋅ ⋅ =

exp γ exp λ exp β (7d)

Dengan demikian, maka:

( )

exp

( )

exp

(

)

1

exp −       ⋅ =

i ij i j

j D λ β d

γ (7e)

Dengan menotasikan:

( ) (

)

i

j

ij

j d =A

  

expγ exp β 1 (7f)

( )

(

)

j

i

ij

i d  =B

  

−1

exp

exp λ β (7g)

maka Persamaan (17a) dapat ditulis kembali menjadi:

(

ij

)

j j i i

ij A O B D d

E = ⋅ ⋅ ⋅ ⋅exp β⋅ (7h)

Parameter-parameter model pada Persamaan (7h), yaitu Ai sebanyak I buah (A1,

A2, ..., AI), Bj sebanyak J buah (B1, B2, ..., BJ), dan β, dapat dilakukan dengan dua

pendekatan, yaitu:

(1) Metode Iterasi, dan

(2) Metode Log-Linear Poisson Model.

Model Log-Linear yang setara dengan Model Interaksi Spasial Berkendala Ganda seperti pada Persamaan (7h) di atas dapat ditulis sebagai berikut:

ij j

i

ij d

E =α +λ + µ + β ⋅

(42)

Model ini selanjutnya dapat pula dikembangkan dengan menambah K buah covariate X1ij, X2ij, ..., XKij, yang merefleksikan berbagai karakteristik yang diperhitungkan

dapat mempengaruhi tingkat kemudahan/kesulitan berinteraksi antara lokasi i dengan lokasi j. Denga n demikian Model pada Persamaan (8a) dapat ditulis kembali menjadi:

+ ⋅ + + + = k kij k ij j i

ij d X

E α λ µ β δ

ln (8b)

Upton dan Fingleton menamai model yang terakhir ini sebagai Augmented Doubly Constraint Spatial Interaction Model.

Kalau kita bandingkan antara Persamaan (7h) dengan Persamaan (8a), maka dapat diperoleh pemahaman bahwa:

(

)

( )

( )

i i i i i i i i i O A O A O

A λ λ

λ ≈ln ⋅ → ⋅ =exp → = exp

dan

(

)

( )

( )

j j j j j j j j j D B D B D

B µ µ

µ ≈ln ⋅ → ⋅ =exp → = exp

Sehingga Persamaan 8b dapat juga ditulis:

      + + ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ =

k kij k ij j j i i

ij A O B D d X

E exp α β δ

Seperti telah diuraikan di atas, dari berbagai bentuk model entropi interaksi sepasial, kita dapat merumuskan tiga jenis parameter penting dari model, yaitu: (1) Parameter yang terkait dengan kendala Supply atau Bangkitan Perjalanan (Trip

Generation) dari masing- masing Tempat Asal, yang dalam model dinyatakan dengan simbol λi. Jenis parameter ini dapat diberi nama sebagai Parameter Daya Dorong (Generation Power) dari masing- masing Tempat Asal.

(43)

dengan simbol µj. Jenis parameter ini dapat diberi nama sebagai Parameter Daya Tarik (Attraction Power) dari masing- masing Tempat Tujuan.

(3) Parameter yang terkait dengan kendala Jarak/Biaya Mobilitas Spasial (Spatial Deterent) antar Tempat Asal dan Tempat Tujuan, yang dalam model dinyatakan dengan simbol β. Seperti dijelaskan dalam Rumus 18b, parameter jenis ini juga dapat ditambah dengan berbagai parameter lain yang menunjukkan hambatan mobilitas spasial akibat multidimensi perbedaan karakteristik antara Tempat Asal dan Tempat Tujuan, yang dalam model dinyatakan dengan simbol δk. Jenis parameter ini dapat diberi nama sebagai Parameter Hambatan Spasial (Spatial Deterent), yang dapat dirinci untuk berbagai aspek (dimensi) hambatan: jarak, biaya transpor, serta berbagai perbedaan karakteristik antara tempat asal dan tempat tujuan.

Makna dari masing- masing jenis parameter di atas dapat dipahami dari proses penurunan model entropi di atas: memaksimumkan nilai entropi interaksi spasial dengan kendala Supply, Demand, dan Hambatan Spasial. Suatu kondisi dengan nilai entropi interaksi spasial yang tinggi memiliki pengertian bahwa pada kondisi tersebut pola interaksi spasial meluas: interaksi terjadi pada banyak alternatif pasangan antara Tempat Asal dan Tempat Tujuan. Kalau dilihat pada Tabel 1, pada kondisi ini banyak sekali cell yang terisi. Sebaliknya, suatu kondisi dengan nilai entropi interaksi spasial yang rendah memiliki pengertian bahwa pada kondisi tersebut pola interaksi spasial menyempit: interaksi hanya terjadi pada sedikit alternatif pasangan antara Tempat Asal dan Tempat Tujuan. Kalau dilihat pada Tabel 1, pada kondisi ini sedikit sekali cell yang terisi. Dengan demikian, makna untuk masing- masing parameter secara ringkas dapat dirumuskan sebagai berikut:

(44)

perkembangan tempat tersebut tapi juga berdampak pada perkembangan di tempat-tempat lainnya. Sebaliknya, semakin kecil angkanya (negatif tandanya, significant uji statistiknya), mengindikasikan bahwa apabila total supply dari suatu Tempat Asal i ditingkatkan, maka interaksi spasial akan semakin memenyempit (terkonsentrasi ke satu tempat). Dengan ekspresi lain dapat dikatakan pada kondisi ini pengembangan suatu Tempat Asal hanya meningkatkan perkembangan tempat tersebut yang disertai dengan matinya perkembangan di tempat-tempat lainnya. Jika angkanya semakin mendekati nol (baik bertanda positif maupun negatif, tapi tidak significant uji statistiknya), mengindikasikan bahwa apabila total supply dari suatu Tempat Asal i

ditingkatkan maupun diturunkan, maka pola interaksi spasial relatif tidak akan mengalami perubahan yang significant. Dengan ekspresi lain dapat dikatakan pada kondisi ini pengembangan (ataupun penghambatan pengembangan) suatu Tempat Asal relatif tidak akan berdampak terhadap perkembangan tempat tersebut maupun tempat-tempat lainnya.

(45)

Tempat Tujuan j ditingkatkan maupun diturunkan, maka pola interaksi spasial relatif tidak akan mengalami perubahan yang significant. Dengan ekspresi lain dapat dikatakan pada kondisi ini pengembangan (ataupun penghambatan pengembangan) suatu Tempat Tujuan relatif tidak akan berdampak terhadap perkembangan tempat tersebut maupun tempat-tempat lainnya.

(46)
(47)

IV. III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Kerangka Pemikiran

Menurut teori pasar, terdapat dua unsur yang membentuk pasar yaitu permintaan dan penawaran. Permintaan terjadi karena adanya keinginan (willing) dan kemampuan (ability). Pergeseran permintaan timbul karena adanya perubahan pendapatan, selera, dan jumlah konsumen, sedangkan penawaran tergantung dari kualitas dan banyaknya produsen. Teori pasar tersebut juga berlaku pada pasar jasa seks komersial.

Sisi penawaran berasal dari penduduk yang terpaksa bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari- hari, tanpa membutuhkan pendidikan atau keterampilan khusus. Umumnya mereka tinggal di daerah yang tingkat perkembangannya rendah, bahkan daerah miskin, yang tidak tersedia lapangan usaha yang dapat memberikan penghasilan yang memadai. Karena tidak ada pekerjaan yang dapat menghasilkan uang, mereka menjadi penganggungan, maka untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya para penduduk meninggalkan tempat tinggal menuju suatu tempat yang mereka tidak tahu pasti apa yang akan dikerjakan. Di tempat yang dituju, umumnya daerah perkotaan, banyak tersedia lapangan usaha yang membutuhkan pendidikan khusus atau formal, sedangkan mereka tidak memiliki persyaratan tersebut, tidak dapat dapat memasuki lapangan kerja yang ada. Mereka tidak mungkin kembali ke kampung halaman karena belum berhasil mendapatkan penghasilan, sedangkan bekal uang yang dibawa semakin habis. Berbagai cara dilakukan agar mereka dapat kembali ke kampung halaman dengan membawa uang.

(48)

menjadi pekerja seks mudah dan cepat mendapat uang yang banyak, akhirnya mereka mau bekerja sebagai pekerja seks.

Kemiskinan merupakan alasan klasik yang diungkapkan pekerja seks komersial. Namun demikian setelah para pekerja seks memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih baik pun mereka tidak mau berhenti bekerja sebagai pekerja seks, mereka merasa malu bekerja di lingkungan masyarakat umum karena mereka akan dikucilkan masyarakat. Alasan lainnya kenapa mereka tidak mau berhenti atau meninggalkan ‘dunia hitam’ tersebut adalah karena penghasilan yang mereka dapatkan jauh lebih besar dibandingkan pekerjaan lain dengan bekal pendidikan mereka yang rendah.

Sisi permintaan jasa seks berasal dari berbagai kalangan untuk memenuhi kebutuhan seks, di antaranya adalah penduduk yang mobilitasnya tinggi, yaitu penduduk yang sering melakukan perjalanan tanpa membawa keluarga dan pergi untuk waktu yang cukup lama. Mereka umumnya berasal dari daerah yang tingkat perkembangannya tinggi atau daerah kaya. Pengguna jasa pekerja seks bisa juga berasal dari penduduk setempat yang tingkat kesejahteraannya sudah tinggi atau pendatang yang tinggal sendiri tanpa keluarga. Permintaan mengenai jasa seks tidak pernah berhenti, karena semakin tinggi tingkat kesejahteraan seseorang, maka semakin selektif dalam memperoleh pelayanan seks ko mersial.

Struktur pasar jasa seks komersial berbeda dengan pasar konvensional, yang mempunyai lokasi tertentu dan mudah diketahui umum. Lokasi pasar jasa seks komersial hanya diketahui oleh orang yang ingin dan atau biasa menggunakan jasa seks komersial. Transaksi dalam pasar ini ada beraneka ragam, misalnya tawar menawar langsung dilakukan oleh langsung penjual dan pembeli atau tawar menawar dilakukan oleh pihak lain.

(49)

baik dalam menerima tamu atau menerima panggilan khusus. Bahkan mobilitas pekerja seks diatur sedemikian rupa sehingga mereka tidak mudah untuk keluar dari pekerjaan ini. Sebaliknya pada pasar jasa yang tidak terorganisir, tidak ada sistem manajemen, sehingga pekerja seks dapat keluar dari pekerjaannya dengan mudah. Pasar jasa seks komersial yang terorganisir mempunyai suatu tempat tertentu (lokalisasi), yang resmi disediakan oleh pemerintah. Namun demikian ada yang tidak mempunyai tempat tertentu dan terselubung, misalnya panti pijat, salon, bar, atau karaoke. Pada pasar jasa seks komersial yang tidak terorganisir, selain tidak mendapat ijin praktek dari pemerintah, pekerja seks umumnya bekerja sendiri-sendiri. Lokasi umumnya adalah di jalanan, café atau tempat tinggal pekerja seks. Transaksi dilakukan langsung oleh pekerja seks dan pelanggannya.

Struktur pasar jasa seks komersial di suatu daerah berbeda dengan daerah lainnya. Bisa saja pada suatu daerah terdapat pasar yang terorganisir dan daerah yang lain terdapat pasar yang tidak terorganisir, atau pada suatu daerah terdapat kedua struktur pasar jasa seks komersial tersebut. Namun demikian secara umum struktur pasar antar daerah dapat dikategorikan menjadi 3 strata, yaitu strata atas, menengah, dan bawah. Pasar strata atas umumnya adalah pasar jasa seks komersial yang terorganisir dan tempatnya bukan di lokalisasi. Sedangkan pasar strata menengah dan bawah adalah pasar jasa terorganisir yang terlokalisasi dan yang tidak terorganisir. Asumsi dari pembagian strata ini adalah bahwa struktur pasar jasa seks komersial di suatu daerah dipengaruhi oleh asal pekerja seks, umur dan pendidikannya.

(50)

Dengan mengetahui karakteristik daerah asal PSK, karakteristik PSK, daya dorong daerah asal serta indikator dari daya dorong maka dapat diketahui daerah yang mempunyai daya dorong kuat serta cara menghambat daya dorong. Diasumsikan bahwa daya dorong dipengaruhi tingkat kesejahteraan daerah asal pekerja seks. Akan tetapi daya dorong bisa juga dipengaruhi oleh lingkungan atau budaya yang sudah melekat di daerah tersebut, misalnya di suatu wilayah terdapat keluarga pekerja seks yang lebih sejahtera dibandingkan keluarga biasa, maka menjadi pekerja seks merupakan suatu hal yang biasa. Informasi ini diperoleh dari studi literatur atau hasil studi lain.

Selanjutnya dengan mengetahui karakteristik daerah kerja, karakteristik pelanggan, daya tarik daerah kerja serta indikator dari daya tarik maka dapat diketahui daerah yang daya tariknya kuat serta cara menghambat daya tarik. Dalam hal ini daerah kerja merupakan daerah Survei Surveilens Perilaku (SSP) yang merupakan daerah yang telah terdeteksi adanya penderita HIV/AIDS yang jumlahnya semakin meningkat. Dengan mengasumsikan daya tarik berkaitan dengan tingkat perkembangan daerah, maka daerah kerja pekerja seks yang merupakan daerah survei SSP mempunyai daya tarik bagi pekerja seks atau bisnis seks.

(51)

Daerah dengan tingkat perkembangan tinggi Daerah dengan tingkat

perkembangan rendah

Supply PSK Kemiskinan: tingkat pengangguran tinggi (mutu modal manusia rendah)

Pasar Jasa Seks Komersial

Demand PSK

. Karakteristik PSK . Karakteristik wilayah . Daya dorong

. Indikator daya dorong

. Karakteristik pelanggan . Karakteristik

wilayah . Daya tarik . Indikator daya tarik

. Menghambat perkembangan pasar jasa seks komersial

. Menghambat perkembangan HIV/AIDS

Mutu modal manusia tetap terjaga Sumber daya

manusia berkualitas

. Daerah yang daya tariknya kuat . Cara menghambat daya tarik

(52)

Gambar 1. Diagram Kerangka Pemikiran

3.2. Sumber Data

Penelitian ini umumnya menggunakan data-data hasil survei yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), yaitu:

a. Survei Surveilens Perilaku (SSP)

Survei Surveilens Perilaku (SSP) yang dilaksanakan atas kerjasama BPS, Dirjen Pemberantasan penyakit menular dan penyehatan lingkungan-Depkes dan proyek Aksi Stop AIDS (ASA) yang didukung oleh Family Health International (FHI) dan The United State AID (USAID). SSP dilaksanakan di 13 lokasi terpilih dan terletak di 10 propinsi yang menjadi target wilayah kerja ASA/FHI dan 3 propinsi dengan dukungan AusAID.

(53)

Agency for International Development (AusAID), yaitu Kota Denpasar (Bali), Kota Kupang (NTT), dan Kota Makassar (Sulawesi Selatan).

Sasaran SSP adalah wanita dan pria yang perilaku seksnya berisoko tinggi. Untuk wanita, kelompok berisiko tinggi adalah wanita yang paling sering berganti pasangan seks, seperti penjaja seks komersial (PSK) yang melakukan transaksi secara terbuka di tempat lokalisasi/rumah bordil atau di jalanan (wantia penjaja seks langsung) dan wanita yang melayani seks pelanggannya untuk memperoleh tambahan pendapatan dimana ia bekerja, seperti wanita yang bekerja di panti pijat/salon/spa, bar/karaoke/diskotek/café/retoran, dan hotel/motel/cottage (wantia penjaja seks tidak langsung).

Definisi (batasan) mengenai penduduk dengan perilaku berisiko tinggi yang dicakup dalam SSP adalah sebagai berikut:

. Pekerja seks komersial (PSK) yang dicakup dalam survei ini terdiri atas 2 jenis: PSK langsung dan tidak langsung. PSK langsung adalah wanita yang beroperasi secara terbuka sebagai penjaja seks komersial, sedangkan PSK tidak langsung adalah wanita yang beroperasi secara terselubung sebagai penjaja seks komersial, yang biasanya bekerja pada bidang-bidang perkerjaan tertentu.

. Pelanggan yang dicakup dalam survei ini adalah pria yang bekerja dan harus meninggalkan rumah atau keluarganya dalam jangka waktu cukup lama, karena diduga mempunyai kecenderungan membeli jasa seks dan atau mempunyai pasangan seks lain selain istri/pasangan tetapnya. Misalnya sopir/kernet truk, anak buah kapal (ABK)/pelaut/nelayan, tenaga bongkar muat (TKBM), dan tukang ojek.

(54)

cluster survey menunjukkan bahwa besarnya sampel sekitar 200-400 responden pada setiap sasaran masyarakat berperilaku berisiko tinggi sudah cukup mewakili populasi (representatif), termasuk mengukur perubahan perilaku.

Lokasi SSP ditentukan setelah mendapatkan masukan dari komisi penanggulangan AIDS Daerah (KPAD), dengan pertimbangan lokasi survei merupakan daerah konsentrasi kegiatan jasa pelayanan seks dan sekaligus daerah sasaran survei serologi HIV yang dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan.

Perkiraan jumlah populasi WPS langsung dan WPS tidak langsung diperoleh dari listing secara independen ke setiap lokasi dengan menggunakan peta dasar yang diperoleh dari lembaga pemerintah daerah setempat. Identifikasi lokasi baru beserta populasinya dilakukan dengan cara sistem putaran bola salju (snowballing system). Dalam proses listing dari suatu lokasi ke lokasi lain di lapangan, peta wilayah administratif digunakan untuk operasional lapangan dan dalam peta tersebut digambar letak setiap lokasi secara geografis. Hasil listing ini merupakan kerangka sampel untuk pemilihan lokasi dan penentuan target sampel dalam setiap lokasi.

[image:54.596.127.495.604.722.2]

Pemilihan acak (random sampling) digunakan untuk pemilihan sampel. Pemilihan lokasi secara sistematik sampling dengan menggunakan peluang jumlah populasi dalam lokasi. Pemilihan responden dalam setiap lokasi dilakukan secara acak. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara tatap muka antara petugas SSP dengan responden.

Tabel 3. Jumlah Sampel menurut Kelompok Sasaran dan Lokasi Survei SSP 2002/2003 di 19 Kabupaten, 10 Propinsi di Indonesia

No Kabupaten/Kota PSK Langsung

(orang)

PSK Tidak Langsung (orang)

Jumlah Sampel PSK (orang)

1 Kab. Deli Serdang 250 - 250

2 Kota Medan - 200 200

3 Kepulauan Riau 250 200 450

4 Kota Palembang 250 200 450

5 Jakarta Utara 250 250 500

6 Kab. Karawang 250 - 250

(55)

8 Kota Bekasi - 100 100

9 Kota Semarang 257 193 450

10 Kota Surabaya 246 254 500

11 Kota Manado 100 167 267

12 Kota Bitung 100 123 233

13 Kota Denpasar 255 197 452

14 Kota Kupang 268 182 460

15 Kota Makassar 251 199 450

16 Kota Ambon 107 200 307

17 Kota Jayapura 253 197 450

18 Kota Sorong 248 202 450

19 Kab. Merauke 123 127 250

Jumlah 3509 3051 6560

Sumber: BPS, 2003, diolah dari publikasi SSP 2002/2003

Bias terhadap hasil SSP telah diupayakan seminimal mungkin, di antaranya: 1. Petugas lapangan adalah tim yang terdiri atas dinas-dinas dan lembaga

swadaya/yayasan yang terkait dan terbiasa dalam berhubungan dengan PSK dan wilayah kerjanya, misalnya dinas sosial, dinas pariwisata, dan kantor pelabuhan.

2. Sebelum melakukan pencacahan tim melakukan rapat kerja untuk mendapatkan informasi daerah-daerah mana yang dianggap sebagai tempat praktek PSK, bagaimana cara menuju tempat tersebut dan siapa yang dapat ditemui sehingga tim dapat memasuki wilayah tersebut.

3. Berdasarkan hasil rapat kerja, tim melakukan penelurusan seluruh wilayah untuk mendapatkan informasi perkiraan jumlah PSK di setiap tempat kerjanya dan waktu yang tepat untuk mewawancarai PSK yang akan terkena sampel agar tidak mengganggu.

Data-data yang diambil dari SSP adalah data-data yang berkaitan dengan karakteristik pekerja seks komersial (PSK), yaitu:

- jumlah PSK berdasarkan daerah asal

(56)

- umur PSK

- tingkat pendidikan PSK (tidak sekolah/tidak tamat SD, tamat SD, tamat SLTP, tamat SLTA ke atas)

- tarif PSK (= Rp 40.000, Rp 41.000 - 75.000), Rp 76.000 - 150.000, > Rp 150.000)

- rata-rata lamanya bekerja s

Gambar

Tabel 2: Ilustrasi Matriks Biaya Mobilitas Spasial
Tabel 3. Jumlah Sampel menurut Kelompok Sasaran dan Lokasi Survei SSP 2002/2003 di 19 Kabupaten, 10 Propinsi di Indonesia
Gambar 2. Indikator yang Diagram Proses Analisis mempengaruhi daya Indikator yang mempengaruhi daya
Tabel 5. Persentase PSK menurut Tempat Kerja dan Kelompok Tarif di 10 Propinsi Tahun 2002/2003
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pola asuh orangtua dan guru diukur berdasarkan empat aspek yang dapat menumbuhkan daya juang siswa, yaitu tindakan yang dilakukan orangtua dan guru saat anak

Beberapa ketentuan dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Lembaran Negara Republik

b) Kegiatan Inti; Kegiatan inti merupakan proses pembelajaran untuk mencapai tujuan, yang dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan,

[r]

Apabila penawaran yang masuk kurang dari 3 (tiga) peserta maka pelelangan dinyatakan gagal. Pembukaan Dokumen Penawaran dilakukan pada hari yang sama segera setelah

[r]

[r]

Sifat larut air ini menunjukkan bahwa dinding sel bakteri Gram positif bersifat lebih polar, sehingga senyawa bioaktif yang bersifat polar dengan mudah masuk